Beranda blog Halaman 259

Tafsir Surah Nuh ayat 16

0
Tafsir Surah Nuh
Tafsir Surah Nuh

Tafsir Surah Nuh ayat 16 menerangkan bahwa Allah menciptakan bulan bercahaya dan matahari bersinar. Dijelaskan lebih detail pula tentang tata surya secara ilmiah dalam Tafsir Surah Nuh ayat 16 berikut ini.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Nuh ayat 15


Ayat 16

Nabi Nuh menerangkan kepada kaumnya bahwa Allah yang disembah itu menciptakan bulan bercahaya dan matahari bersinar. Dari ayat itu dapat dipahami bahwa:

  1. Matahari memancarkan sinar sendiri, sedang bulan mendapat cahaya dari matahari. Cahaya yang dipancarkan bulan berasal dari sinar matahari yang dipantulkannya ke bumi. Oleh karena itu, sinar matahari lebih keras dan terang dari cahaya bulan.
  2. Sinar dan cahaya itu berguna bagi manusia, tetapi bentuk kegunaannya berbeda-beda.;Ayat yang membedakan cahaya dan sinar dari dua benda langit, matahari dan bulan telah berkali-kali dikemukakan. Bintang mempunyai sumber sinar, sedangkan planet tidak. Penjelasan mengenai hal ini dapat dilihat pada Surah Yunus/10: 5. 

Uraian mengenai hal ini secara ilmiah adalah demikian:

Dalam membicarakan benda-benda angkasa, Al-Qur’an juga sudah membedakan bintang dan planet. Bintang adalah benda langit yang memancarkan sinar, sedangkan planet hanya memantulkan sinar yang diterima dari bintang.

هُوَ الَّذِيْ جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاۤءً وَّالْقَمَرَ نُوْرًا وَّقَدَّرَهٗ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوْا عَدَدَ السِّنِيْنَ وَالْحِسَابَۗ مَا خَلَقَ اللّٰهُ ذٰلِكَ اِلَّا بِالْحَقِّۗ يُفَصِّلُ الْاٰيٰتِ لِقَوْمٍ يَّعْلَمُوْنَ   ٥

Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dialah yang menetapkan tempat-tempat orbitnya, agar kamu mengetahui bilangan tahun, dan perhitungan waktu. Allah tidak menciptakan demikian itu melainkan dengan benar. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui. (Yunus/10: 5)

Matahari adalah benda angkasa terbesar dalam tata surya kita. Ia merupakan gumpalan gas yang berpijar, dengan garis tengah sekitar 1,4 juta km. Jarak rata-rata antara titik pusat bumi dan matahari sekitar 150 juta km. Di pusat matahari, suhu mencapai sekitar 20.0000C.

Dalam ilmu astronomi, matahari merupakan benda langit yang digolongkan ke dalam jenis bintang. Di jagad raya ini terdapat miliaran, bahkan triliunan bintang. Matahari adalah salah satunya. Bintang merupakan benda langit yang memancarkan sinar karena di permukaan maupun bagian dalam bintang masih berlangsung reaksi-reaksi nuklir hidrogen yang dahsyat. Hasil reaksi inilah yang menimbulkan pancaran sinar. Sedangkan 10 benda langit yang mengorbit matahari, termasuk di dalamnya bumi (dan bulan yang mengorbit bumi), digolongkan ke dalam jenis planet.

Jumlah bintang diperkirakan lebih dari 6 miliar, bahkan boleh jadi mencapai 100 miliar. Akan tetapi, hanya sekitar 6.000 bintang yang dapat diamati dengan mata telanjang. Suhu, warna, ukuran, dan kepadatan bintang bervariasi. Bintang yang terpanas umumnya berwarna putih kebiruan. Suhu permukaannya dapat mencapai 20.0000C. Sedangkan yang kurang panas berwarna kuning, sebagaimana matahari. Ukurannya ada yang melebihi ribuan atau jutaan kali ukuran Matahari.

Adapun jarak bintang terdekat dari tata surya adalah 4.000 tahun cahaya. Apabila kecepatan cahaya 186.000 mil per detik, maka jarak bintang terdekat tersebut mencapai 104 x 109 mil. Cahaya bintang terdekat ke tata surya, Alpha Centauri, memerlukan waktu 4 tahun untuk mencapai bumi. Sedang bintang “terjauh”, Riga, cahayanya baru mencapai bumi lebih dari 1.000 tahun kemudian. Bandingkan dengan cahaya matahari yang mencapai bumi dalam hanya 4 menit saja.

Planet dapat dikategorikan sebagai bintang yang telah ‘mati’. Permukaannya telah mendingin, dan berubah menjadi padatan. Planet tidak memancarkan sinar. Akan tetapi, apabila ia disinari oleh satu sumber sinar (misal matahari), maka ia akan memantulkannya, sehingga tampak seperti bercahaya. Dengan demikian, kata ‘bercahaya’ dapat diartikan sebagai dapat dilihat oleh mata karena memantulkan sinar yang diterima dari sumber sinar. Bulan bercahaya karena memantulkan sinar yang diterimanya dari matahari.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Nuh ayat 17-22


 

Tafsir Surah Nuh ayat 15

0
Tafsir Surah Nuh
Tafsir Surah Nuh

Tafsir Surah Nuh ayat 15 merupakan seruan Nabi Nuh kepada kaumnya untuk memperhatikan langit yang terdiri atas tujuh tingkatan. 


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Nuh ayat 14


Ayat 15

Dalam Tafsir Surah ayat 15 ini, Nuh meminta kaumnya agar memperhatikan langit yang terdiri atas tujuh tingkat. Ayat ini dapat berarti khusus untuk kaum Nuh dan dapat pula berarti umum (untuk seluruh manusia) karena ayat ini menggunakan kata-kata alam tarau (tidakkah kamu memperhatikan). Memperhatikan di sini artinya dengan mempergunakan pikiran. Oleh karena itu, cara memperhatikan yang diperintahkan adalah dengan cara yang lazim digunakan dunia ilmu pengetahuan.

Ayat ini berarti khusus untuk umat Nabi Nuh maksudnya adalah mereka seharusnya mempergunakan pancaindra dan akal dalam mengamati alam ini. Dengan pengamatan demikian, mereka juga bisa mengetahui betapa besar dan hebat alam ini. Bahwa langit itu begitu luas dan bertingkat-tingkat juga dapat mereka pahami menurut pemahaman mereka yang sederhana. Mereka seharusnya mengakui kebesaran Allah dengan beriman kepada-Nya.

Ayat ini juga berlaku secara umum, yaitu ditujukan kepada umat Nabi Muhammad sampai sekarang dan masa yang akan datang. Sampai sekarang pun para ahli tafsir belum dapat memastikan “langit” yang terdiri atas tujuh tingkat itu. Tapi tentang “langit” itu tidak mustahil akan ditemukan oleh generasi yang akan datang. Mengenai langit, ayat lain menginformasikan:

اَوَلَمْ يَرَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْٓا اَنَّ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنٰهُمَاۗ وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاۤءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّۗ  اَفَلَا يُؤْمِنُوْنَ   ٣٠

Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwa langit dan bumi keduanya dahulunya menyatu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya; dan Kami jadikan segala sesuatu yang hidup berasal dari air; maka mengapa mereka tidak beriman? (al-Anbiya’/21: 30)


Baca Juga: Tafsir Surat Az Zumar Ayat 63: Kunci Langit dalam Al Quran


Apa yang baru dapat dipahami oleh para ilmuwan sekarang adalah bahwa alam semesta ini terjadi dari satu massa yang amat padat, kemudian meledak, dan memunculkan galaksi-galaksi, tata surya, planet-planet, dan sebagainya. Akan tetapi, itu pun masih merupakan teori yang disebut teori big bang (ledakan besar).

Dari ayat ini dapat dipahami bahwa perintah memikirkan dan merenungkan kekuasaan dan kebesaran Allah itu tertuju kepada seluruh manusia, baik yang tinggi tingkat pengetahuannya maupun yang masih rendah. Seluruh manusia sanggup dan mampu melakukannya, sehingga menambah kuat imannya kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa.

Ayat ini juga mengajarkan kepada manusia mengenai cara mengenal dan mencari agama-Nya, yaitu dengan merenungkan kejadian alam ini. Dengan perenungan itu, manusia akan sampai kepada Penciptanya. Pencipta alam ini tentulah Yang Mahatahu dan Mahakuasa, bukan sesuatu yang tidak tahu apa-apa dan tidak berdaya sama sekali. Dialah yang menentukan segala sesuatu, Yang Maha Esa, tidak berserikat dengan sesuatu apa pun. Oleh karena itu, agama yang benar adalah agama yang mengakui keesaan Tuhan dan ibadah yang benar ialah ibadah yang langsung ditujukan kepada-Nya, tidak menggunakan perantara dan sebagainya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Nuh ayat 16


 

Tafsir Surah Nuh ayat 14 part 2

0
Tafsir Surah Nuh
Tafsir Surah Nuh

Tafsir Surah Nuh ayat ayat 14 part 2 melanjutkan tentang proses pencitaan manusia secara ilmiah, setelah tingkatan sari pati tanah dan nutfah tibalah di tingkatan ke 3 yakni ‘alaqah yang merupakan bentuk perkembangan setelah sel mani dan sel telur bercampur. Selanjutnya proses penciptaan manusia dalam Tafsir Surah Nuh ayat 14 part 2…


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Nuh ayat 14 part 1


Yang pertama, menyiratkan tentang hakikat keluarnya air mani melalui alat genetalia, yang kesehariannya untuk membuang kotoran (urine). Yang terakhir ini menunjukkan proses masuknya nutfah (sperma) ke dalam rahim.

  1. Tingkat ‘alaqah. ‘Alaqah merupakan bentuk perkembangan pra-embrionik, yang terjadi setelah percampuran sel mani (sperma) dan sel telur. Moore dan Azzindani (1982) menjelaskan bahwa ‘alaqah dalam Bahasa Arab berarti lintah (leech) atau suatu suspensi (suspended thing) atau segumpal darah (a clot of blood). Lintah merupakan binatang tingkat rendah, berbentuk seperti buah pir, dan hidup dengan cara menghisap darah. Jadi ‘alaqah merupakan tingkatan (stadium) embrionik, yang berbentuk seperti buah pir, di mana sistem kardiovaskuler (sistem pembuluh-jantung) sudah mulai tampak, dan hidupnya tergantung dari darah ibunya, mirip dengan lintah. ‘Alaqah terbentuk sekitar 24-25 hari sejak pembuahan. Jika jaringan pra-embrionik ‘alaqah ini diambil keluar (digugurkan), memang tampak seperti segumpal darah (a blood clot like).
  2. Tingkat Mudhgah. ‘Alaqah yang terbentuk sekitar 24-25 hari setelah pembuahan, kemudian berkembang menjadi mudhgah pada hari ke 26-27, dan berakhir sebelum hari ke-42. Cepatnya perubahan dari ‘alaqah ke mudhgah terlihat dalam penggunaan kata fa pada surah 23:14. Dalam bahasa Arab kata fa menunjukkan rangkaian perubahan yang cepat. Secara umum, mudhgah diterjemahkan sebagai ‘segumpal daging’. Mudhgah merupakan tingkatan embrionik yang berbentuk seperti ‘kunyahan permen karet’, yang menunjukkan permukaan yang tidak teratur. Mudhgah atau ‘segumpal daging’ terdiri dari sel-sel atau jaringan-jaringan yang telah mengalami diferensiasi maupun yang belum mengalami diferensiasi. sebagaimana dapat dilihat pada penjelasan pada Surah al-Hajj/22: 5 di atas oleh Moore dan Azzindani. Pada ayat 5, surah al-Hajj/22, dijelaskan: “….,kemudian dari segumpal daging (mudhgah) yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim,…” Moore dan Azzindani (1982), menerjemahkan dengan kalimat “….,kemudian dari segumpal daging (mudhgah) yang telah terdiferensiasi dan yang belum terdiferensiasi, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim,…” . Memang hakikat dari mudhgah, terdiri dari sel-sel atau jaringan/organ yang telah mengalami diferensiasi maupun yang belum.
  3. Tingkat pembentukkan tulang. Setelah tingkat mudhgah inilah, mulai dibentuk tulang. Ini sangat bersesuaian sekali dengan embryology modern dewasa ini.
  4. Tingkat pembungkusan tulang oleh daging, Janin mulai terbentuk.
  5. Tingkat bayi dalam kandungan, merupakan perkembangan lanjutan dari Tingkat ke-6 di atas. Kemudian dilanjutkan dengan penyempurnaan pembentukan manusia. Wallahu a‘lam bish-shawab

Demikianlah perjalanan hidup manusia yang menunjukkan bahwa kejadian manusia itu melalui proses yang rumit dan rentan. Oleh karena itu, terwujudnya mereka di alam ini hendaknya disyukuri dengan beriman kepada Allah.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Nuh ayat 15


 

Tafsir Surah Nuh ayat 14 part 1

0
Tafsir Surah Nuh
Tafsir Surah Nuh

Tafsir Surah Nuh ayat 14 part 1, Nabi Nuh mengingatkan umatnya akan kebesaran Allah swt yang telah menciptakan manusia. Dalam Tafsir Surah Nuh ayat 14 part 1 ini, dijelaskan bahwa manusia diciptakan secara bertahap dari setetes mani. 


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Nuh ayat 13


Ayat 14

Tafsir Surah Nuh ayat 14 part 1, Nabi Nuh mengingatkan lagi kebesaran dan kekuasaan Allah yang terdapat di dalam diri mereka, yaitu bahwa mereka diciptakan-Nya secara bertahap. Dari setetes air mani, kemudian menjadi zigot, darah, seberkas lempeng daging dan tulang, janin, dan kemudian dilahirkan. Dari bayi yang tidak tahu suatu apa pun, mereka menjadi manusia dewasa, berketurunan, dan akhirnya meninggal dunia. Berdasarkan kekuasaan Allah itu, mereka seharusnya beriman kepada-Nya.

Tahap-tahap kejadian manusia yang menunjukkan kekuasaan Allah itu dinyatakan pula dalam ayat-ayat lain:

هُوَ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُّطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ يُخْرِجُكُمْ طِفْلًا ثُمَّ لِتَبْلُغُوْٓا اَشُدَّكُمْ ثُمَّ لِتَكُوْنُوْا شُيُوْخًا ۚوَمِنْكُمْ مَّنْ يُّتَوَفّٰى مِنْ قَبْلُ وَلِتَبْلُغُوْٓا اَجَلًا مُّسَمًّى وَّلَعَلَّكُمْ تَعْقِلُوْنَ  ٦٧

Dialah yang menciptakanmu dari tanah, kemudian dari setetes mani, lalu dari segumpal darah, kemudian kamu dilahirkan sebagai seorang anak, kemudian dibiarkan kamu sampai dewasa, lalu menjadi tua. Tetapi di antara kamu ada yang dimatikan sebelum itu. (Kami perbuat demikian) agar kamu sampai kepada kurun waktu yang ditentukan, agar kamu mengerti. (al-Gafir/40: 67)


Baca Juga: Hakikat Penciptaan Manusia dalam Surah al-Dzariyat ayat 56


Dalam ayat lain, Allah berfirman:

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ مِنْ سُلٰلَةٍ مِّنْ طِيْنٍ ۚ  ١٢  ثُمَّ جَعَلْنٰهُ نُطْفَةً فِيْ قَرَارٍ مَّكِيْنٍ ۖ  ١٣  ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظٰمًا فَكَسَوْنَا الْعِظٰمَ لَحْمًا ثُمَّ اَنْشَأْنٰهُ خَلْقًا اٰخَرَۗ فَتَبَارَكَ اللّٰهُ اَحْسَنُ الْخَالِقِيْنَۗ   ١٤

Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami menjadikannya air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian, air mani itu Kami jadikan sesuatu yang melekat, lalu sesuatu yang melekat itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian, Kami menjadikannya makhluk yang (berbentuk) lain. Mahasuci Allah, Pencipta yang paling baik. (al-Mu’minun/23: 12-14)

Secara ilmiah, tahapan penciptaan manusia itu dapat dijelaskan sebagai berikut:

  1. Tingkat sari pati tanah, ketika manusia belum bisa disebut sebagai apa-apa. Mohon dilihat kembali penjelasan tentang “sari pati tanah’ pada telaah ilmiah Surah al-Hijr/15 ayat 26, 28, dan 33.

2. Tingkat nuthfah. Ketika semua sari pati tanah, masuk ke dalam tubuh kita, kemudian digunakan oleh tubuh sebagai ‘starting materials’ dalam proses metabolisme pembentukan nuthfah di dalam sel-sel reproduksi. Nuthfah diterjemahkan sebagai air mani atau setetes mani. Pengertian harfiahnya adalah tetes atau bagian kecil dari fluida (cairan kental, konsentrat). Dalam dunia sains, merupakan konsentrasi fluida yang mengandung sperma. Disebut pula sebagai nuthfatun amsyaj atau setetes mani yang bercampur. Ini mengandung arti percampuran dua nuthfah atau benih, yaitu dari pihak laki-laki (sperma) dan dari pihak wanita (sel telur, ovarium). Dalam Surah al-Insan/76:2, tampak sekali bahwa hanya satu tetes mani (satu sperma) yang bercampur (membuahi) ovarium. Ini sangat bersesuaian dengan ilmu embryology. Nuthfah disebut pula sebagai air yang hina (ma’in mahin, al-Mursalat/77: 20) atau air yang terpancar (ma’in dafiq, ath-Thariq/86: 6).

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Nuh ayat 14 part 2


 

Tafsir Surah Nuh ayat 5-13

0
Tafsir Surah Nuh
Tafsir Surah Nuh

Tafsir Surah Nuh ayat 1-13 mengisahkan perjuangan Nabi Nuh dalam berdakwah, Nabi Nuh menyampaikan risalah Islam siang dan malam tetapi umatnya tidak menghiraukannya. Bahkan dalam Tafsir Surah Nuh ayat 5-13 ini dijelaskan bahwa umat Nabi Nuh tidak mengindahkan janji Allah kepada mereka, hal ini sebab mereka sangat keras kepala.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Nuh ayat 1-4


Ayat 5-6

Nabi Nuh mengeluhkan sikap kaumnya kepada Allah bahwa sekalipun ia sudah menyeru umatnya siang dan malam, tetapi mereka tetap tidak menghiraukannya. Bahkan, mereka semakin diseru, semakin menjauh dan lari dari seruan itu.

Ayat 7

Nabi Nuh juga mengeluhkan bahwa setiap kali ia menyeru mereka agar beriman dan tidak lagi menyembah berhala-berhala agar dosa-dosa mereka diampuni, mereka menyumbatkan jari-jari mereka ke lubang telinga agar tidak mendengar seruannya. Mereka bahkan menutupi muka masing-masing supaya tidak melihatnya. Hal ini didorong oleh kebencian mereka terhadapnya. Lebih dari itu, mereka juga semakin ingkar dan sombong.

Ayat 8-9

Nabi Nuh mengadukan kepada Allah bahwa segala upaya telah ia lakukan supaya mereka beriman. Ia telah menyeru mereka secara terang-terangan di hadapan umum, dan adakalanya dengan dua cara sekaligus, yaitu mengajak mereka secara bersama di depan umum, dan mendekati mereka seorang demi seorang secara pribadi. Akan tetapi, mereka tetap menampik dan menolak seruan itu.

Dari ayat ini dapat dipahami bahwa Nabi Nuh telah melaksanakan tugas tanpa menghiraukan bahaya yang dapat mengancam jiwanya. Nuh sangat cinta kepada kaumnya, dan beliau ingin mereka beriman supaya terhindar dari azab Allah. Dan ia telah melaksanakan tugasnya dengan penuh pengabdian kepada Allah.

Ayat 10

Nuh menyeru kaumnya agar memohon ampun kepada Allah atas dosa-dosa mereka menyembah berhala. Bila mereka memohon ampunan, maka Allah pasti akan mengabulkannya, karena Ia Maha Pengampun. Keimanan mereka akan menghapus dosa-dosa syirik yang telah mereka lakukan.

Ayat 11-12

Nabi Nuh menyampaikan kepada kaumnya janji Allah bila mereka beriman kepada-Nya, yaitu:

  1. Allah akan menurunkan hujan lebat yang akan menyuburkan tanah mereka dan memberikan hasil yang berlimpah sehingga mereka akan makmur.
  2. Allah akan menganugerahkan kepada mereka kekayaan yang berlimpah.
  3. Allah akan menganugerahkan anak-anak yang banyak untuk melanjutkan keturunan mereka, sehingga tidak punah.
  4. Allah akan menyuburkan kebun-kebun mereka, sehingga memberi hasil yang berlimpah.
  5. Allah akan memberi mereka sungai-sungai dan irigasi untuk mengairi kebun-kebun mereka, sehingga subur dan hijau.

Janji Allah kepada umat Nuh sangat cocok dengan masyarakat waktu itu. Umat Nabi Nuh adalah nenek moyang umat manusia sekarang. Kebudayaan mereka masih dalam taraf permulaan kebudayaan manusia. Akan tetapi, janji Allah itu tidak menarik hati mereka sedikit pun. Hal ini menunjukkan keingkaran mereka yang sangat hebat.

Janji Allah itu mengandung isyarat bahwa Ia menyuruh mereka mempergunakan akal pikiran. Mereka seakan-akan disuruh memikirkan kegunaan hujan bagi mereka. Hujan akan menyuburkan bumi tempat mereka berdiam, menghasilkan tanam-tanaman dan buah-buahan yang mereka perlukan.

Sebagian hasil pertanian itu bisa mereka makan dan sebagian lainnya dijual, sehingga menambah kekayaan mereka. Hujan akan mengalirkan air menjadi sungai-sungai yang bermanfaat bagi mereka. Jika mereka mau menggunakan pikiran seperti itu, mereka tentu akan sampai kepada kesimpulan tentang siapa yang menurunkan hujan dan menyuburkan bumi sehingga menghasilkan keperluan-keperluan hidup mereka. Akhirnya, mereka tentu akan sampai kepada suatu kesimpulan sebagaimana seruan yang disampaikan Nuh kepada mereka, yaitu beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa dan yang menciptakan semua keperluan mereka.

Ayat 13

Nabi Nuh menasihati kaumnya bahwa mereka seharusnya mengakui kekuasaan Allah yang Mahabesar. Mereka juga seharusnya berharap agar dimuliakan Allah dengan beriman kepada-Nya. Akan tetapi, hal itu tetap tidak mereka lakukan.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Nuh ayat 14


 

Tafsir Surah Nuh ayat 1-4

0
Tafsir Surah Nuh
Tafsir Surah Nuh

Tafsir Surah Nuh ayat 1-4 menerangkan bahwa tujuan Nabi Nuh diutus kepada kaumnya adalah untuk menyampaikan agama-Nya,  dijelaskan pula dalam Tafsir Surah Nuh ayat 1-4 bahwa Nabi Nuh menyeru 3 hal yang harus diikuti oleh kaumnya yakni; menyembah Allah, bertakwa kepada-Nya dan menjauhi hal yang dilarang-Nya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Jinn 28 Ayat


Ayat 1

Ayat ini menerangkan bahwa Allah telah mengutus Nabi Nuh kepada kaumnya untuk menyampaikan agama-Nya, supaya mereka takut kepada azab-Nya yang dahsyat sebelum saatnya tiba, serta beriman dan mengikuti ajarannya.

Nabi Nuh adalah nabi dan rasul Allah yang ketiga setelah Adam dan Idris. Beliau diutus kepada kaumnya yang menyembah berhala. Allah memerintahkan Nuh agar berdakwah kepada kaumnya itu supaya mereka beriman kepada-Nya dan menghentikan penyembahan berhala. Allah mengancam bahwa jika mereka tidak mengindahkan peringatan itu, mereka akan ditimpa azab yang dahsyat sebagai akibat keingkaran mereka.

Ayat 2

Nuh segera berdakwah untuk melaksanakan tugas kerasulannya. Ia mengatakan bahwa ia benar-benar rasul Allah untuk mengajak mereka beriman dan meninggalkan penyembahan berhala.

Ayat 3

Dalam ayat ini, diterangkan isi seruan Nabi Nuh, yaitu:

  1. Hendaklah mereka menyembah Allah saja, Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan selain Dia. Dalam perintah menyembah Allah yang disampaikan Nuh itu, terkandung isyarat agar mereka mengerjakan segala yang wajib, dan menghentikan segala yang diharamkan. Dari perintah Allah untuk hanya menyembah-Nya, dapat dipahami bahwa agama yang dianut kaum Nuh itu adalah agama syirik.
  2. Hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, yaitu melaksanakan semua yang diperintahkan dan menjauhi segala yang dilarang-Nya.
  3. Menaati segala yang diperintahkan dan dilarangnya, karena apa yang ia perintahkan dan larang itu berasal dari Allah. Menaati Nuh berarti menaati Allah. Untuk dapat beribadah dengan baik kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, kaum Nuh perlu mengikuti penjelasan dan contoh yang diberikan Nabi Nuh.

Ayat 4

Dalam ayat ini, diterangkan janji Allah kepada kaum Nuh bila mereka mematuhi seruannya, yaitu:

  1. Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka. Dosa-dosa mereka karena menyembah berhala-berhala itu akan terhapus oleh keimanan mereka.
  2. Allah akan memanjangkan umur mereka. Sekalipun umur mereka telah ditentukan, namun jika mereka beriman, Allah akan memanjangkan umur mereka dan menghentikan azab yang akan dijatuhkan kepada mereka. Melakukan yang demikian itu merupakan perkara yang mudah bagi Allah, karena Dia Mahakuasa dan Maha Menentukan segala sesuatu yang dikehendaki-Nya.

Sehubungan dengan masalah menangguhkan kedatangan ajal, yakni memanjang umur yang disebut dalam ayat ini, sebagian ahli tafsir menyatakan bahwa Allah akan mengubah takdir yang telah ditentukan-Nya, jika Dia menghendakinya. Oleh karena itu, taat kepada Allah, melakukan perbuatan-perbuatan takwa, dan menghubungkan silaturrahim dapat memanjangkan umur manusia. Nabi Muhammad bersabda.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ : مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَينُْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ. (رواه البخاري)

Dari Anas bin Malik, Rasulullah saw bersabda: Barang siapa menghendaki diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya maka hendaknya ia menjalin silaturrahim. (Riwayat al-Bukhari)

Hal ini akan lebih jelas maksudnya jika dihubungkan dengan ilmu jiwa. Menurut ilmu jiwa, ada hubungan timbal-balik antara jasmani seseorang dengan rohaninya. Kesehatan rohani besar pengaruhnya terhadap kesehatan jasmani, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, orang dikatakan sehat jika jasmani dan rohaninya sehat. Pada umumnya orang yang tekun mengerjakan amal saleh dan menghubungkan silaturrahim adalah orang yang sehat rohaninya. Dengan perkataan lain, takwa kepada Allah dapat menghilangkan penyakit-penyakit rohani. Jika rohani sehat, tentulah jasmani sehat pula dan umur pun akan panjang.

Pada akhir ayat ini, Allah menegaskan bahwa apabila Ia telah menetapkan ajal seseorang atau semua manusia, setelah ikhtiarnya, maka kedatangannya itu tidak dapat ditangguhkan atau tidak pula dapat dipercepat sesaat pun.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Nuh Ayat 5-13


 

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 25-26

0
tafsir surah al isra'
tafsir surah al isra'

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 25-26 berbicara mengenai perintah Allah agar seseorang benar-benar memperhatikan urusan berbakti kepada orang tua. Meskipun untuk urusan-urusan remeh seseorang tetap harus menjunjung kesopanan.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 24


Ayat 25

Allah swt lalu memperingatkan kaum Muslimin agar benar-benar memperhatikan urusan berbakti kepada kedua ibu bapak dan tidak menganggapnya sebagai urusan yang remeh.

Dijelaskan bahwa Allah Maha Mengetahui apa yang tergerak dalam hati mereka, apakah benar-benar berbakti kepada kedua ibu bapak dengan rasa kasih sayang dan penuh kesadaran, ataukah hanya pernyataan lahiriah saja, sedangkan di dalam hati mereka sebenarnya durhaka dan membangkang.

Itulah sebabnya, Allah menjanjikan bahwa apabila mereka benar-benar berbuat baik, yaitu benar-benar menaati tuntutan Allah dan berbakti kepada kedua ibu bapak, maka Dia akan memberikan ampunan kepada mereka atas perbuatan yang melampaui batas-batas ketentuan-Nya. Allah Maha Pengampun kepada siapa saja yang mau bertobat dan kembali menaati perintah-Nya.

Dalam ayat ini terdapat janji baik yang ditujukan kepada orang-orang yang hatinya terbuka untuk berbakti kepada ibu bapaknya. Sebaliknya, terdapat ancaman keras yang ditujukan kepada orang-orang yang meremehkannya, apalagi yang sengaja mendurhakai kedua ibu bapaknya.


Baca juga: Tafsir Nusantara: Mengenal Tafsir Fatihah Karya Raden Haji Hadjid


Ayat 26

Pada ayat ini, Allah swt memerintahkan kepada kaum Muslimin agar memenuhi hak keluarga dekat, orang-orang miskin, dan orang-orang yang dalam perjalanan. Hak yang harus dipenuhi itu ialah: mempererat tali persaudaraan dan hubungan kasih sayang, mengunjungi rumahnya dan bersikap sopan santun, serta membantu meringankan penderitaan yang mereka alami.

Sekiranya ada di antara keluarga dekat, ataupun orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan itu memerlukan biaya untuk keperluan hidupnya maka hendaklah diberi bantuan secukupnya untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Orang-orang yang dalam perjalanan yang patut diringankan penderitaannya ialah orang yang melakukan perjalanan karena tujuan-tujuan yang dibenarkan oleh agama. Orang yang demikian keadaannya perlu dibantu dan ditolong agar bisa mencapai tujuannya.

Di akhir ayat, Allah swt melarang kaum Muslimin bersikap boros yaitu membelanjakan harta tanpa perhitungan yang cermat sehingga menjadi mubazir.

Larangan ini bertujuan agar kaum Muslimin mengatur pengeluar-annya dengan perhitungan yang secermat-cermatnya, agar apa yang dibelanjakan sesuai dengan keperluan dan pendapatan mereka. Kaum Muslimin juga tidak boleh menginfakkan harta kepada orang-orang yang tidak berhak menerimanya, atau memberikan harta melebihi dari yang seharusnya.

Keterangan lebih lanjut tentang bagaimana seharusnya kaum Muslimin membelanjakan hartanya disebutkan dalam firman Allah swt:

وَالَّذِيْنَ اِذَآ اَنْفَقُوْا لَمْ يُسْرِفُوْا وَلَمْ يَقْتُرُوْا وَكَانَ بَيْنَ ذٰلِكَ قَوَامًا

Dan (termasuk hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih) orang-orang yang apabila menginfakkan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, di antara keduanya secara wajar. (al-Furqan/25: 67)

Adapun keterangan yang menjelaskan makna yang terkandung dalam ayat tentang larangan boros yang berarti mubazir dapat diperhatikan dalam hadis-hadis Nabi sebagai berikut:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ: مَرَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  بِسَعْدٍ وَهُوَ يَتَوَضَّأُ، فَقَالَ: مَا هٰذَا السَّرَفُ يَا سَعْدُ؟ قَالَ: أَوَفِى الْوُضُوْءِ اِسْرَافٌ؟ قَالَ: نَعَمْ وَإِنْ كُنْتَ عَلَى نَهْرٍ جَارِ. (رواه ابن ماجه)

Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar, ia berkata, “Rasulullah saw bertemu Sa’ad pada waktu berwudu, lalu Rasulullah bersabda, “Alangkah borosnya wudumu itu hai Sa’ad!” Sa’ad berkata, “Apakah di dalam berwudu ada pemborosan?” Rasulullah saw bersabda, “Ya, meskipun kamu berada di sungai yang mengalir.” (Riwayat Ibnu Majah)

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّهُ قَالَ: أَتَى رَجُلٌ مِنْ بَنِى تَمِيْمٍ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنِّي ذُوْمَالٍ كَثِيْرٍ وَذُوْوَلَدٍ وَحَاضِرَةٍ فَأَخْبِرْنِيْ كَيْفَ أُنْفِقُ وَكَيْفَ أَصْنَعُ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : تُخْرِجُ الزَّكَاةَ مِنْ مَالِكَ إِنْ كَانَ فَإِنَّهَا طُهْرَةٌ تُطَهِّرُكَ وَتَصِلُ أَقْرِبَاءَكَ وَتَعْرِفُ حَقَّ السَّائِلِ وَالْجَارِ وَالْمِسْكِيْنِ. فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ: أَقْلِلْ لِى، فَقَالَ وَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِيْنَ وَابْنَ السَّبِيْلِ وَلاَ تُبَذِّرْ تَبْذِيْرًا. فَقَالَ حَسْبِيْ يَا رَسُوْلَ اللهِ اِذَا أَدَّيْتُ الزَّكَاةَ إِلَى رَسُوْلِكَ فَقَدْ بَرِئْتُ مِنْهَا إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَمْ إِذَا أَدَّيْتَهَا إِلَى رَسُوْلِي فَقَدْ بَرِئْتَ مِنْهَا وَلَكَ أَجْرُهَا وَإِثْمُهَا عَلَى مَنْ بَدَّلَهَا. (رواه أحمد)

Diriwayatkan dari Anas bin M±lik bahwa ia berkata, “Datanglah seorang laki-laki dari Bani Tamim kepada Rasulullah saw seraya berkata, “Wahai Rasulullah! Saya adalah seorang yang berharta, banyak keluarga, anak, dan tamu yang selalu hadir, maka terangkanlah kepadaku bagaimana saya harus membelanjakan harta, dan bagaimana saya harus berbuat.”

Maka Rasulullah saw bersabda, “Hendaklah kamu mengeluarkan zakat dari hartamu jika kamu mempunyai harta, karena sesungguhnya zakat itu penyucian yang menyucikan kamu, peliharalah silaturrahim dengan kaum kerabatmu, dan hendaklah kamu ketahui tentang hak orang yang meminta pertolongan, tetangga, dan orang miskin.

Kemudian lelaki itu berkata, “Wahai Rasulullah! Dapatkah engkau mengurangi kewajiban itu kepadaku?” Rasulullah saw membacakan ayat: Dan berikanlah haknya kepada kerabat dekat, juga kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.

Lalu lelaki itu berkata, “Cukuplah bagiku wahai Rasulullah, apabila aku telah menunaikan zakat kepada amil zakatmu, lalu aku telah bebas dari kewajiban zakat yang harus dibayarkan kepada Allah dan Rasul-Nya,”

lalu Rasulullah saw bersabda, “Ya, apabila engkau telah membayar zakat itu kepada amilku, engkau telah bebas dari kewajiban itu dan engkau akan menerima pahalanya, dan orang yang menggantikannya dengan yang lain akan berdosa.” (Riwayat Ahmad)


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 27-29


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Ahkam: Dalil Keluarnya Benda Asing dari Kemaluan Atau Dubur Tidak Membatalkan Wudhu

0
Dalil Keluarnya Benda Asing dari Kemaluan Atau Dubur Tidak Membatalkan Wudhu
Dalil Keluarnya Benda Asing dari Kemaluan Atau Dubur Tidak Membatalkan Wudhu

Imam Malik sebagai salah satu imam mazhab fikih yang ada empat, memiliki pendapat yang berlawanan dengan mayoritas ulama’ terkait batalnya wudhu sebab keluarnya sesuatu dari kemaluan atau dubur. Apabila benda tersebut tergolong asing atau lumrahnya tidak keluar dari kelamin atau dubur, maka tidak dikategorikan membatalkan wudhu. Hal ini mencakup benda yang tidak seharusnya keluar dari kelamin atau dubur seperti halnya kerikil atau cacing kremi, atau memang lumrahnya keluar tapi lewat jalan yang berbeda seperti halnya kentut dari kelamin bagi perempuan.

Salah satu hal yang menarik dikaji perihal permasalahan tafsir ahkam terkait hal ini adalah bagaimana Imam Malik beserta pendukungnya memahami Surat Al-Maidah ayat 6 tentang batalnya wudhu sebab membuang hajat. Bagaimana bisa Imam Malik dalam persoalan membuang hajat, dapat membedakan hukum antara benda yang biasa dikeluarkan dan benda yang tergolong asing? Adakah petunjuk di dalam Al-Qur’an atau hadis yang mengecualikan benda asing? Simak penjelasan pakar tafsir dan fikih berikut ini:

Baca juga: Tafsir Surah Ath-Thur Ayat 21: Orang-Orang Beriman Akan Bersama Anak-Cucunya di Surga

Kerangka Berpikir Mazhab Malikiyah

Imam Al-Mawardi; salah seorang pakar perbandingan mazhab menyatakan, ulama’ berbeda pendapat terkait batalnya wudhu sebab keluarnya sesuatu dari kelamin dan dubur, apabila sesuatu tersebut tergolong asing. Imam Malik menyatakan apabila yang keluar adalah benda asing semacam kerikil dan lainnya, maka wudhunya tidak batal.

Salah satu dasar yang menurut beliau menunjukkan bahwa benda asing tidak membatalkan wudhu, adalah hadis Nabi yang diriwayatkan dari Abu Hurairah dan berbunyi:

« لاَ وُضُوءَ إِلاَّ مِنْ صَوْتٍ أَوْ رِيحٍ »

Tidak perlu wudhu kecuali sebab sesuatu yang bersuara dan berbau (HR. At-Tirmidzi)

Imam Malik memahami hadis di atas sebagai petunjuk, bahwa yang sesuatu yang keluar dari kelamin dan dubur hendaknya sesuatu yang umumnya keluar dari dua jalan tersebut. Dan hadis tersebut memberi contoh sebagaimana benda yang bersuara dan berbau (Al-Hawi Al-Kabir/1/307).

Oleh karena itu, Imam Malik memiliki tiga pertimbangan dalam menentukan batalnya wudhu sebab membuang hajat. Yakni melihat benda apa yang keluar, darimana ia keluar dan bagaimana cara ia keluar. Apabila ketiganya muncul sebagaimana umumnya manusia alami, maka membatalkan. Apabila tidak, maka tidak membatalkan. Contoh benda yang tidak umum adalah kerikil, contoh jalan yang tidak umum adalah kentut dari kelamin bagi perempuan, dan contoh cara yang tidak umum adalah keluarnya sperma tanpa merasakan kenikmatan. Ketiganya tidak membatalkan wudhu (Al-Fiqhu Al-Islami/1/419).

Baca juga: Tiga Macam Bentuk Jadal (Perdebatan) Yang Direkam dalam Al-Quran

Kerangka berpikir ini berbeda dengan apa yang diyakini oleh Mazhab Hanafiyah dan Syafi’iyah. Mazhab Hanafiyah hanya mempertimbangkan benda yang keluar saja. Yang terpenting benda yang keluar adalah najis, entah dari mana ia keluar dan bagaimana cara ia keluar, maka ia membatalkan wudhu. Sehingga bekam pun dianggap membatalkan wudhu. Sedang Mazhab Syafi’iyah hanya mempertimbangkan jalan keluarnya saja. Sehingga apapun yang keluar, yang terpenting dari kelamin dan dubur, maka membatalkan. Seperti halnya kerikil keluar dari dubur (Bidayatul Mujtahid/1/31).

Memahami Redaksi Membuang Hajat Dalam Surat Al-Maidah

Imam Al-Qurthubi menjelaskan bagaimana Mazhab Malikiyah memahami redaksi “membuang hajat” di dalam Al-Qur’an, yang menjadi dasar keluarnya sesuatu dari kelamin dan dubur dapat membatalkan wudhu. Bahwa suatu istilah apabila maknanya dapat ditunjukkan oleh pemahaman umum masyarakat tentang istilah tersebut, maka tentunya pemakaian istilah tersebut berdasar pemahaman umum masyarakat. Bukan pemahaman yang tidak umum (Tafsir Al-Jami’ Liahkamil Qur’an/5/220).

Selain itu, pemakaian kata ghaith yang arti sebenarnya adalah tempat tersembunyi, dalam Surat Al-Maidah ayat 6 untuk istilah kakus, juga merujuk pada kebiasaan masyarakat yang biasa mencari tempat tersembunyi untuk membuang hajat. Sehingga dalam penentuan kreteria membuang hajatnya, juga perlu merujuk sebagaimana yang ditemui di masyarakat (Ahkamul Qur’an Libni Arabi/2/385).

Baca juga: Tafsir Nusantara: Mengenal Tafsir Fatihah Karya Raden Haji Hadjid

Uraian di atas menunjukkan bagaimana ragam ulama’ dalam memahami redaksi pendek berbunyi “membuang hajat”. Hal ini menunjukkan bahwa kadang tidaklah mudah memahami Al-Qur’an, juga tidaklah bisa dengan mudah kita mengklaim bahwa pemahaman kita adalah pemahaman yang paling benar. Wallahu a’lam bish showab [].

Ayat-Ayat Al-Qur’an yang Turun Lebih dari Sekali dan Hikmah di Baliknya

0
Ayat-Ayat Al-Qur’an yang Turun Lebih dari Sekali dan Hikmah di Baliknya
Ayat-Ayat Al-Qur’an yang Turun Lebih dari Sekali dan Hikmah di Baliknya

Pada umumnya, setiap ayat dalam Al-Qur’an diturunkan sekali kepada Nabi Muhammad saw. Masing-masing ayat tersebut kemudian diklasifikasikan sebagai ayat atau surah makkiyah (turun sebelum Nabi hijrah) atau madaniyah (turun setelah Nabi hijrah). Namun ada beberapa ayat Al-Qur’an yang turun lebih dari sekali, di mana ayat yang sudah turun sebelumnya, kembali turun kepada Nabi Muhammad saw di kemudian hari. Implikasinya, ayat tersebut dapat digolongkan sebagai ayat makkiyah dan madaniyah sekaligus.

Diulangnya penurunan beberapa ayat itu mengandung berbagai hikmah dan faedah. Sayyid Muhammad al-Maliki dalam al-Qawaid al-Asasiyah fi Ulum al-Qur’an (hal. 21) menyebutkan tiga hikmah dalam pengulangan penurunan ayat tersebut, yaitu; berfungsi untuk mengingatkan kembali (tadzkir) dan sebagai nasihat (mauidhzah), adanya maksud penting (wujud al-muqtadha) yang perlu disampaikan kembali, dan untuk menunjukkan keutamaan yang lebih pada ayat yang diturunkan tersebut.

Hikmah-hikmah tersebut bisa lebih dipahami dengan mengulas sebab turun dan kandungan ayat-ayat yang turun lebih dari sekali tersebut. Berikut sedikit ulasan mengenai ayat-ayat yang turun lebih dari sekali, yang dimuat dalam berbagai kitab Ulumul Qur’an:

Baca juga: Mungkinkah Terjadi Pengulangan Turunnya Ayat Al-Quran?

  1. Surah Al-Fatihah

Al-Fatihah merupakan surah Al-Qur’an yang memiliki banyak keutamaan. Nama lainya yaitu al-sab’u al-matsani (tujuh yang diulang-ulang), merujuk pada jumlah ayat surah Al-Fatihah dan pembacaanya yang diulang-ulang pada setiap rakaat salat. Bukan hanya pembacaanya yang disyariatkanya dibaca berulang-ulang, Al-Fatihah juga diturunkan secara berulang-ulang sebanyak dua kali kepada Nabi Muhammad. Sekali di Makkah dan sekali di Madinah. Pengulangan itu menunjukkan pengagungan pada surah Al-Fatihah.

Surah ini diturunkan di Makkah berdasarkan riwayat dari Sayyidina Ali karramallahu wajhah, sahabat Ibnu Abbas ra., Abu Hurairah ra., dan mayoritas ulama’. Sementara sekelompok ulama’ meriwayatkan turunya surah ini di Madinah, termasuk di antaranya riwayat Manshur dari Mujahid. Mujahid berkata; “Sesungguhnya Iblis berteriak melengking dengan keras (karena kesakitan) sebanyak empat kali, yaitu saat dilaknat, saat diturunkan dari surga, saat diutusnya Nabi Muhammad saw., dan saat diturunkanya pembukanya Al-Qur’an (surah Al-Fatihah) yang diturunkan di Madinah.” (Tafsir Surah Al-Fatihah, hal. 16-17).

  1. Surah Al-Ikhlash

Surah ke-112 dalam urutan mushaf ini diwahyukan sebanyak dua kali, sebagai jawaban atas pertanyaan dan tantangan dari kaum Musyrik di Makkah dan para Ahlul Kitab di Madinah. Orang-orang musyrik Makkah bertanya pada Rasulullah saw; “Jelaskan sifat-sifat Tuhanmu untuk kami!”, kemudian turunlah ayat “Qul huwa Allahu ahad (artinya: Katakanlah (Nabi Muhammad), Dialah Allah yang Maha Esa)” sampai akhir surah.

Sementara itu, saat di Madinah, Nabi juga mendapatkan pertanyaan yang sama dari orang Yahudi, di antaranya Ka’b bin al-Asyraf dan Huyay bin Akhthab, lalu surah Al-Ikhlas kembali diwahyukan pada Nabi Muhammad saw. (Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul, hal. 219). Diulangnya penurunan surah ini, memiliki hikmah sebagai pengingat kembali kejadian yang menjadi sebab penurunan surah, untuk menghindari lupa terhadapnya.

Baca juga: Mungkinkah Kisah-Kisah Al-Quran Terulang Kembali? Ini Penjelasannya Menurut As-Sya’rawi

  1. Ayat Ruh (QS. Al-Isra’ ayat 85)

Berdasarkan kesepakatan ulama’, surah Al-Isra’ termasuk surah makkiyah. Di dalamnya, banyak ayat-ayat turun untuk merespon pertanyaan-pertanyaan dari kaum musyrik Makkah tentang Dzul Qurnain, Ashabul Kahfi, dan sebagainya. Namun terdapat riwayat yang dimuat dalam dua kitab shahih masyhur dari Sahabat Ibnu Mas’ud RA., bahwa ayat ruh dalam surah Al-Isra’ turun berkenaan dengan pertanyaan orang Yahudi di Madinah (Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, Juz 1 hal. 30). Di dalam ayat tersebut dijelaskan, bahwa ruh termasuk urusan Allah, di mana manusia hanya diberikan sedikit pengetahuan tentangnya.

  1. At-Taubah ayat 113

Ayat ini turun di Makkah saat wafatnya Abu Thalib, paman terkasih Nabi yang tidak sempat bersyahadat. Rasulullah saw. kemudian bersabda: “Demi Allah, sungguh akan aku mintakan ampunan (pada Allah) untukmu, selama aku tidak dilarang”. Kemudian turunlah ayat ini, firman Allah Swt.:

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قربى

Artinya: “Tidak ada hak bagi Nabi dan orang-orang yang beriman untuk memohonkan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik sekalipun mereka itu kerabat(nya).….”

Ayat ini juga kembali turun di Madinah. Salah satunya berdasarkan riwayat dari Sayidina Ali – karramallahu wajhah-, beliau berkata: “Aku mendengar seorang lelaki memintakan ampun bagi orang tuanya yang keduanya musyrik, lalu aku menegurnya, ‘Apa kamu memintakan ampun bagi orang tuamu, sedangkan keduanya musyrik?’, ia menjawab ‘Nabi Ibrahim memintakan ampun untuk ayahnya, sedang ayahnya pun musyrik’. Kemudian aku menceritakan hal itu pada Nabi Muhammad saw.” Lalu, turunlah ayat 113 surah At-Taubah ayat 113 ini.

  1. Hud ayat 114

Surah Hud menurut kesepakatan ulama’ termasuk golongan surah makkiyah. Namun ada riwayat bahwa ayat 114 dari surah ini turun di Madinah. Beberapa ulama’ ragu akan riwayat tersebut, karena kesepakatan status makkiyah-nya surah Hud. al-Zarkasyi membantah keraguan itu dengan menjawab, tidak ada yang salah dengan riwayat ini, karena itu berarti ayat ini turun dua kali, sekali di Makkah dan sekali di Madinah.

Ayat ini turun di Madinah berkenaan dengan Abu Yasir yang mengaku pada Rasul, bahwa ia telah mencium seorang perempuan di rumahnya. Kemudian turunlah ayat ini yang artinya kurang lebih: “Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan dari malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat”.

  1. Akhir Surah An-Nahl dan Awal Surah ar-Rum

Menurut Ibnu al-Hashar sebagaimana yang dicatat al-Suyuthi dalam Al-Itqan (Juz 1 hal. 130), diulangnya penurunan ayat Al-Qur’an dengan turun lebih dari sekali merupakan bentuk dari pengingat kembali dan pembelajaran. Beliau menyebutkan, termasuk dari golongan ayat itu adalah akhir surah An-Nahl dan awal surah Ar-Rum.

Wallahu a’lam bish shawab.

Baca juga: Agen dalam Mekanisme Pewahyuan Al-Quran: Tuhan, Jibril ataukah Keduanya?

Tafsir Surah Yasin Ayat 29-32

0
Tafsir Surah Yasin
Tafsir Surah Yasin

Tafsir Surah Yasin Ayat 29-32 menjelaskan bahwa Allah akan menimpakan azab kepada kaum yang ingkar dan mensutai agama Allah. Mudah bagi-Nya untuk membinasakan mereka, dengan itu Dia hendak memberi pelajaran bagi kaum lainnya agar tidak bersikap serupa, baik kaum dimasa itu maupun kaum setelahnya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Yasin Ayat 22-28


Ayat 29

Pada ayat ini, Allah menerangkan azab yang ditimpakan kepada kaum yang musyrik, kafir, dan mendustakan agama-Nya. Allah tidak perlu menurunkan pasukan-pasukan malaikat untuk membinasakan mereka, melainkan cukup dengan satu teriakan saja dari malaikat Jibril, maka orang-orang kafir tersebut menjadi kaku dan tak bernyawa lagi. Peristiwa itu terjadi sedemikian cepatnya, sebagai bukti betapa besarnya kekuasaan Allah.

Ayat 30

Allah menerangkan bahwa sikap dan tingkah laku kaum kafir semacam ini sangat disesalkan. Mereka tidak hanya menolak seruan iman, tetapi juga memperolok-olokkan para rasul dan orang-orang yang telah beriman. Bahkan, tak jarang mereka menganiaya dan membunuhnya.

Jika mereka mau berpikir dengan akal yang sehat, pastilah mereka menerima seruan iman dari para rasul dan orang-orang yang telah beriman. Allah menerangkan kedudukan orang-orang kafir di akhirat nanti tatkala mereka ditimpa azab yang dahsyat karena mendustakan para rasul.

Ayat 31

Allah lalu memperingatkan mereka agar mau memperhatikan nasib yang menimpa kaum kafir berabad-abad sebelum mereka yang telah ditimpa kemurkaan Allah, sehingga mereka hancur-lebur dan lenyap dari muka bumi. Mereka takkan pernah muncul kembali di dunia ini.

Ibnu Katsir berkata, “Kebanyakan ulama salaf meriwayatkan bahwa yang dimaksud dengan ‘negeri’ dalam ayat ini ialah negeri Antakiyah, dan mereka yang diutus itu ialah para utusan Nabi Isa, ke negeri itu untuk menyampaikan risalahnya.”

Ada beberapa hal yang membuat kita keberatan menerima riwayat ini karena faktor-faktor berikut:

  1. Tidak mungkin Allah menghancurkan negeri Antakiyah karena penduduk negeri itu adalah penduduk negeri yang pertama kali beriman kepada Isa. Allah tidak akan menghancurkan suatu negeri yang penduduknya sedang beriman dan memenuhi seruan rasul yang diutus kepada mereka.

  1. Dalam ayat ini diterangkan bahwa negeri itu dihancurkan Allah, sehingga seluruh negeri dan penduduknya itu menjadi musnah. Al-Qur’an menerangkan bahwa Allah menurunkan azab kepada orang-orang kafir berupa kehancuran dan kemusnahan mereka dengan negerinya, sampai Kitab Taurat diturunkan. Setelah Kitab Taurat diturunkan, Allah tidak pernah menurunkan azab yang seperti itu.

Baca Juga: Bagaimana Sikap Kita Terhadap Ajaran dalam Kitab Taurat dan Injil?


Hal ini dipahami dari firman-Nya:

وَلَقَدْ اٰتَيْنَا مُوْسَى الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِ مَآ اَهْلَكْنَا الْقُرُوْنَ الْاُوْلٰى بَصَاۤىِٕرَ لِلنَّاسِ وَهُدًى وَّرَحْمَةً لَّعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ

Dan sungguh, telah Kami berikan kepada Musa Kitab (Taurat) setelah Kami binasakan umat-umat terdahulu, untuk menjadi pelita bagi manusia dan petunjuk serta rahmat, agar mereka mendapat pelajaran. (al-Qashas/28: 43)

  1. Tidak ada satu nash pun yang kuat sehubungan dengan riwayat itu, seperti keterangan yang menerangkan kapan dan dimana peristiwa itu terjadi, dan sebagainya.

Sementara itu kaum muslimin percaya kepada kisah-kisah yang terdapat dalam Al-Qur’an. Tidak semua kisah dijelaskan Al-Qur’an secara terperinci.

Kisah-kisah itu ada yang diterangkan dengan terperinci dan ada yang tidak. Akan tetapi, tiap-tiap kisah itu ada maksud dan tujuannya. Oleh karena itu, kaum muslimin tidak perlu mengetahui perincian dari kisah yang disebutkan pada ayat di atas. Namun kaum muslimin agar menjadikan kisah-kisah itu sebagai pelajaran dan iktibar, sehingga dapat menambah dan menguatkan iman masing-masing.

Ayat 32

Pada ayat ini, Allah menegaskan bahwa mereka semuanya, baik yang dahulu, sekarang, maupun yang akan datang, pasti akan dikumpulkan ke hadirat-Nya untuk mempertanggungjawabkan perbuatan dan tingkah laku mereka selama di dunia.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Yasin Ayat 33-36