Beranda blog Halaman 455

Jangan Menghina dan Pilih Kasih Terhadap Non Muslim! Ini dalil Larangannya

0
Larangan menghina dan pilih kasih terhadap non Muslim
Larangan menghina dan pilih kasih terhadap non Muslim

Salah satu misi besar dakwah Nabi Muhammad SAW adalah mengajak untuk berserah pada agama Islam dan mengesakan Allah. Hal ini misalnya ada pada firman Allah dalam Surat Fushilat ayat 37, yang berisi larangan untuk bersujud sembah pada selain-Nya dan perintah untuk mengesakan-Nya. Akan tetapi, kepada lintas agama, Allah tidak lantas menyeru untuk menistakan. Justru, Ia melarang untuk menghina dan pilih kasih terhadap non Muslim, Sebagaimana yang tertera pada Surat Al-An’am ayat 108:

وَلَا تَسُبُّواْ ٱلَّذِينَ يَدۡعُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ فَيَسُبُّواْ ٱللَّهَ عَدۡوَۢا بِغَيۡرِ عِلۡمٖۗ كَذَٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمۡ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِم مَّرۡجِعُهُمۡ فَيُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ

“Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan”

Baca juga: Tafsir Ahkam: Bolehkah Non-Muslim Masuk ke Masjidil Haram?

Larangan menistakan non Muslim

Fakhruddin ar-Razi dalam Mafatihul Ghaib menyebutkan bahwa ayat ini berisi larangan untuk menghina orang yang tak sekeyakinan dengan Islam. Ia selanjutnya berpendapat bahwa di balik larangan ini, Allah memberi alarm untuk memperingatkan umat Islam sekalian agar dalam berdakwah tidak terjerembab dalam perbuatan tidak bermanfaat. Juga, ajakan agar umat Islam tidak bertindak seperti orang bodoh, melalui penghinaan terhadap non Muslim.

Adalah tidak pada tempatnya bila menjadikan perbedaan agama sebagai alasan untuk menghinakan non Muslim. ‘Abdurrahman as-Sa’di dalam Tafsir al-Karim ar-Rahman pun memaknai ayat ini sebagai pengakuan Islam atas keberadaan agama lain dengan segala ajarannya. Hal ini lantaran Allah telah menghiasai tiap amal masing-masing agama, sehingga tiap penganutnya pun menganggap apa yang ia lakukan itu adalah hal terpuji.

Baca juga: Makna Kebebasan Beragama dan Toleransi dalam Al-Quran

Adanya perbedaan ini harusnya menumbuhkan sikap tenggang rasa dan keinginan untuk saling memahami. Sebagaimana yang tertera dalam Surat Al-Hujurat ayat 13, yang secara eksplisit menginformasikan keberagaman sebagai sunnatullah (ketetapan Allah). Dan juga, ini yang paling penting ada pada frasa li ta’arafu (saling mengenal), yang merupakan tujuan dari penciptaan keberagaman itu sendiri. Tentu saja, mengenal disini demi menumbuhkan rasa ingin saling memahami, sehingga dapat bersikap toleran, alih-alih menistakan terhadap yang tidak seiman.

Perbedaan juga bukan alasan untuk pilih kasih

Selain larangan menjadikan perbedaan agama sebagai alasan untuk menghina, Allah juga melarang menjadikan perbedaan agama sebagai alasan untuk pilih kasih. Yakni ada pada surat Al-Baqarah ayat 272:

لَّيۡسَ عَلَيۡكَ هُدَىٰهُمۡ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يَهۡدِي مَن يَشَآءُۗ وَمَا تُنفِقُواْ مِنۡ خَيۡرٖ فَلِأَنفُسِكُمۡۚ وَمَا تُنفِقُونَ إِلَّا ٱبۡتِغَآءَ وَجۡهِ ٱللَّهِۚ وَمَا تُنفِقُواْ مِنۡ خَيۡرٖ يُوَفَّ إِلَيۡكُمۡ وَأَنتُمۡ لَا تُظۡلَمُونَ

“Bukanlah kewajibanmu (Muhammad) menjadikan mereka mendapat petunjuk, tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Apa pun harta yang kamu infakkan, maka (kebaikannya) untuk dirimu sendiri. Dan janganlah kamu berinfak melainkan karena mencari ridha Allah. Dan apa pun harta yang kamu infakkan, niscaya kamu akan diberi (pahala) secara penuh dan kamu tidak akan dizhalimi (dirugikan).”

Ayat ini turun berkenaan dengan himbauan Nabi kepada umat Islam untuk tidak memberi sedekah kepada non Muslim. Dalam Asbabun Nuzul karya Al-Wahidi, terlampir satu hadis riwayat Sa’id bin Jubair yang menjadi latar turunnya ayat ini, Rasulullah bersabda:  

لَا تَصَدَّقُوا إِلَّا عَلَى أَهْلِ دِينِكُمْ

“Janganlah kalian bersedekah kecuali kepada yang seagama denganmu!”

Baca juga: Larangan Memaki Sesembahan Non-Muslim: Salah Satu Ajaran Toleransi Dalam al-Quran

Lalu turunlah ayat ini, hingga kemudian Nabi meralat larangannya:

تَصَدَّقُوا عَلَى أَهْلِ الْأَدْيَانِ

“Bersedekahlah kalian semua kepada umat beragama”

Sebenarnya, motif Nabi bukan lantaran rasa egois sehingga antipati pada agama lain. Al-Baghawi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa larangan Nabi untuk bersedekah pada non Muslim merupakan strategi dakwah terhadap non Muslim agar mengikuti Islam. Tetapi, karena cara itu dinilai kurang tepat, ayat tersebut turun untuk mengingatkan bahwa hidayah itu urusan Allah, dan tugas manusia adalah untuk menebar kebaikan tanpa paksaan.

Perintah untuk sedekah tidak hanya pada sesama Muslim dapat diartikan dengan perintah untuk tetap menjalin relasi baik kepada non Muslim dengan tidak pilih kasih. Sehingga, seorang Muslim tidak boleh apatis ketika non Muslim butuh bantuan.

Demikianlah agama Islam, agama yang rahmah mengajarkan umat manusia untuk menjunjung toleransi. Jangan pilih kasih dalam membantu apalagi seenaknya menghinadinakan sesama manusia. Sebagaimana petuah Gus Dur, “Sikap toleransi tumbuh dari masing-masing individu untuk memberikan nilai di masyarakat”

Wallahu a’lam[]

Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 46-48

0
tafsir surat al baqarah
Penamaan “Surat Al-Baqarah”

Setelah pada pembahasan yang lalu berbicara mengenai  Bani Israil dan hal-hal yang dapat merugikan diri mereka sendiri, pada Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 46-48 ini berbicara mengenai asal-muasal Bani Israil mendapatkan limpahan nikmat dari Allah swt.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 44-45


Limpahan nikmat yang dipaparkan dalam Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 46-48 ini adalah berkat nenek moyang mereka berpegang teguh terhadap sifat-sifat mulia dan menjahui sifat tercela. Nenek moyang mereka tiada lain adalah Nabi Ya’qub as.

Dalam Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 46-48 ini juga berisi himbauan kepada Bani Israil agar kembali ke jalan yang benar serta mensyukuri segala nikmat yang telah Allah swt berikan kepada mereka dengan cara menerima syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.

Ayat 46

Orang-orang yang khusyuk benar-benar yakin bahwa mereka pasti akan kembali kepada Allah dan menemui-Nya pada hari akhirat nanti, di mana semua amalan manusia akan diteliti, dan setiap orang akan menerima balasan atas semua perbuatan yang telah dilakukannya selama di dunia. Berdasarkan keyakinan semacam itu, dia akan selalu taat kepada peraturan-peraturan Allah serta khusyuk dalam menjalankan ibadah dan amal kebajikan.

Ayat 47

Allah telah melebihkan Bani Israil dari bangsa-bangsa lain yang pada masa itu telah mempunyai peradaban dan kebudayaan yang tinggi, misalnya bangsa Mesir dan penduduk tanah suci Palestina. Allah kembali memanggil mereka pada permulaan ayat ini dengan menyebut nama nenek moyang mereka “Israil”, ialah Nabi Yakub a.s. karena dialah yang menjadi asal kebangsaan, dan sumber kemuliaan mereka. Nikmat yang telah dilimpahkan kepadanya dapat dinikmati oleh mereka semuanya.

Kelebihan yang telah dikaruniakan Allah kepada mereka dahulunya adalah karena nenek moyang mereka sangat berpegang teguh kepada sifat-sifat yang mulia, dan menjauhi sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan jelek, karena setiap orang yang mulia dan diutamakan dari orang-orang lain tentu ingin menjaga kehormatan itu, sehingga ia menjauhi sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan yang hina.

Bani Israil yang ada pada masa turunnya ayat ini telah jauh menyimpang dari sifat-sifat mulia yang dipegang teguh oleh nenek moyang mereka. Oleh karena itu, Allah memperingatkan mereka kepada nikmat dan keutamaan yang telah diberikan itu untuk menyadarkan mereka bahwa Allah yang telah memberikan kelebihan kepada mereka tentu berhak pula suatu ketika untuk memberikannya kepada orang lain, misalnya kepada Nabi Muhammad saw, dan umatnya.

Bani Israil itu sepatutnya lebih memperhatikan ayat-ayat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Seseorang yang diberi kelebihan sepatutnya lebih dahulu berbuat keutamaan daripada orang lain.

Apabila keutamaan yang diberikan kepada Bani Israil itu disebabkan karena banyaknya para nabi dipilih dari kalangan mereka, maka hal itu tidaklah menjamin bahwa setiap pribadi dari Bani Israil itu lebih utama dari orang yang berada di luar lingkungan mereka.

Bahkan ada kemungkinan bahwa orang lain lebih mulia dari mereka apabila mereka sendiri telah meninggalkan sunah dan ajaran-ajaran nabi-nabi mereka. Sementara orang lain menjadikannya petunjuk dan pedoman hidup mereka dengan sebaik-baiknya.

Apabila keutamaan mereka itu disebabkan kedekatan mereka kepada Allah, bahkan mereka pernah menganggap dirinya sebagai syabullah al-mukhtar, karena mereka dulunya mengikuti syariat-Nya, maka hal itu hanya berlaku pada diri nabi-nabi bersama orang-orang yang menjalankan syariat-syariatnya tanpa menyimpang dari ajaran-ajaran tersebut, dan tetap berjalan pada jalan yang benar, sehingga mereka berhak menerima kelebihan dan keutamaan itu. Tetapi mereka yang sudah meninggalkan ajaran-ajaran para nabi tentu tidak dapat lagi dipandang sebagai “orang-orang yang dekat” kepada Allah.


Baca juga: Kalimat Thayyibah itu Menebarkan Energi Positif, Tafsir Surat Ibrahim Ayat 24-26


Ayat 48

Allah memperingatkan kepada Bani Israil yang ada pada waktu turunnya ayat ini, agar mereka kembali ke jalan yang benar, mengikuti agama Allah, yang telah disempurnakan dengan wahyu-wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.

Dengan jalan itu mereka dapat menjaga diri mereka dari azab hari Kiamat, yang tak akan dapat dibendung oleh siapa pun juga, tak seorang pun dapat menyelamatkan diri dari padanya kecuali orang-orang yang beriman dan bertakwa serta mengikuti syariat dan petunjuk-petunjuk Allah.

Allah swt menjelaskan bahwa pada hari Kiamat nanti tak seorang pun dapat memberikan pertolongan kepada orang lain agar terbebas dari azab-Nya, dan setiap orang bertanggung jawab atas perbuatannya masing-masing. Seseorang tidak dapat memikul dosa orang lain, walaupun dia bersedia.

Hal ini merupakan ketegasan dari Allah atas ketidakbenaran anggapan mereka bahwa berdasarkan keutamaan yang ada pada mereka, mereka akan memperoleh syafaat. Padahal anggapan itu tidak benar, karena orang-orang yang berimanlah yang akan memperoleh syafaat dari Allah.

Syafaat ialah pertolongan yang diberikan oleh rasul atau orang-orang tertentu untuk meringankan azab atau beban seseorang di akhirat, atas izin Allah. Dalam hubungan ini Allah swt berfirman:

وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِّزْرَ اُخْرٰى

Dan seseorang tidak akan memikul beban dosa orang lain. (al An’am/6:164)

وَاِنْ تَدْعُ مُثْقَلَةٌ اِلٰى حِمْلِهَا لَا يُحْمَلْ مِنْهُ شَيْءٌ وَّلَوْ كَانَ ذَا قُرْبٰىۗ

Dan jika seseorang yang dibebani berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul bebannya itu, tidak akan dipikulkan untuknya sedikit pun, meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya. (Fatir/35:18)

يَوْمَ يَفِرُّ الْمَرْءُ مِنْ اَخِيْهِۙ  ٣٤  وَاُمِّهٖ وَاَبِيْهِۙ  ٣٥  وَصَاحِبَتِهٖ وَبَنِيْهِۗ  ٣٦  لِكُلِّ امْرِئٍ مِّنْهُمْ يَوْمَىِٕذٍ شَأْنٌ يُّغْنِيْهِۗ  ٣٧

Pada hari itu manusia lari dari saudaranya, dan dari ibu dan bapaknya, dan dari istri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang menyibukkannya. (‘Abasa/80:34-37)

Walau peringatan ini ditujukan kepada Bani Israil, namun berlaku juga bagi umat Islam, agar mereka selama hidup di dunia berusaha mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya, agar kelak pada hari Kiamat terhindar dari azab Allah. Caranya ialah dengan mengikuti petunjuk-petunjuk Allah dan melaksanakan syariat-syariat-Nya.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 49-50


(Tafsir Kemenag)

Inilah Huruf Qasam dalam Al-Quran dan Sebabnya

0
huruf qasam dan sebabnya
wawu, salah satu huruf qasam

Kata Qasam (sumpah) dalam Al-Quran tidak selalu disertakan pada setiap kalimat qasam. Terkadang, kata qasam menggunakan huruf-huruf tertentu untuk me-muta’addi-kan kata qasama. Setidaknya ada tiga huruf yang lazim digunakan dalam Qasam Al-Quran, sebagai berikut.

  1. Huruf waw (و), semisal dalam S. Az-Zariyat [51]: 23,

فَوَرَبِّ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ اِنَّهٗ لَحَقٌّ مِّثْلَ مَآ اَنَّكُمْ تَنْطِقُوْنَ ࣖ

Maka demi Tuhan langit dan bumi, sungguh, apa yang dijanjikan itu pasti terjadi seperti apa yang kamu ucapkan. (Q.S. Az-Zariyat [51]: 23)

  1. Huruf ta (ت), semisal dalam Q.S. An-Nahl [16]: 56

وَيَجْعَلُوْنَ لِمَا لَا يَعْلَمُوْنَ نَصِيْبًا مِّمَّا رَزَقْنٰهُمْۗ تَاللّٰهِ لَتُسْـَٔلُنَّ عَمَّا كُنْتُمْ تَفْتَرُوْنَ

Dan mereka menyediakan sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepada mereka, untuk berhala-berhala yang mereka tidak mengetahui (kekuasaannya). Demi Allah,  kamu pasti akan ditanyai tentang apa yang telah kamu ada-adakan. (Q.S. An-Nahl [16]: 56)

Sumpah dengan menggunakan huruf ta tidak boleh menggunakan kata yang menunjukkan sumpah dan sesudah ta harus disebutkan kata Allah atau rabb.

  1. Huruf ba, semisal dalam S. al-Qiyamah [75]: 1,

لَآ اُقْسِمُ بِيَوْمِ الْقِيٰمَةِۙ

Aku bersumpah dengan hari Kiamat, (Q.S. al-Qiyamah [75]: 1)

Kalimat qasam (sumpah) dengan menggunakan huruf ba boleh diikuti kata yang menunjukkan sumpah, sebagaimana contoh di atas, dan boleh pula tidak menyertakan kata sumpah, sebagaiman dalam Q.S. Shad [38]: 82,

قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَاُغْوِيَنَّهُمْ اَجْمَعِيْنَۙ

(Iblis) menjawab, “Demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, (Q.S. Shad [38]: 82)

Terjadinya qasam dikarenakan adanya sabab, yakni sesuatu yang melatarbelakangi sumpah. Dalam hal ini misalnya, Allah swt bersumpah dengan sesuatu disebabkan sebagian manusia mengingkari ataupun mereka menganggap remeh sesuatu tersebut. Tanggapan ini terjadi dari ketidaktahuan mereka tentang faedah sesuatu yang diterima, atau lupa dan buta dari hikmah Allah swt.

Baca juga: Menilik Pengertian Qasam dalam Al-Quran

Hasan Mansur Nasution dalam Rahasia Sumpah Allah Dalam Al-Quran bahwa hal ini pula dapat terjadi karena pendapat seseorang terbalik dengan yang sebenarnya, yang kemudian berakidah tidak sesuai dengan yang ditetapkan Allah. Sehingga kenyataan yang demikian itu menjadi sebab bagi Allah untuk bersumpah.

Salah satu I’jaz Al-Quran adalah menjelaskan tentang situasi umat zaman dahulu, bahkan informasi tentang hari kemudian yang bisa dikatakan mustahil dapat dipercaya dan dibenarkan bagi orang-orang yang cenderung mendewakan akalnya, sehingga perlu adanya penekanan atau penegasan untuk meyakinkan orang-orang yang menerima informasi. Selanjutnya, terjadinya sumpah (qasam) dalam Al-Quran di mana memiliki tujuan dan maksud yang mempunyai arti lebih dari apa yang dijelaskan di atas, yaitu untuk dipikirkan dan diteliti. Hal ini akan membawa mereka kepada keyakinan yang kuat.

Di sampinn itu, kita tahu bahwa Al-Quran diturunkan di tengah-tengah masyarakat jahiliyah yang memiliki watak keras, angkuh dan sombong. Watak yang dipenuhi dengan ketidakpuasan bahkan penolakan terhadap sesuatu yang baru, lebih-lebih status sosial informan (Muhammad) yang membawa berita adalah orang yang tidak “terpandang” di kalangan masyarakat Makkah; bukan dari golongan para raja, pembesar kaum Quraisy, bahkan beliau dikenal sebagai seorang yatim dan pengembala kambing. Padahal beliau Rasul saw adalah bergelar al-Amin, akan tetapi mereka mengingkari risalahnya bahkan memusuhi hingga hendak membinasakan Rasul saw.

Lebih dari itu, mereka kaum kafir Quraisy selalu meminta pembuktian risalah Nabi saw, maka Allah swt dalam hal ini memerintahkan Nabi saw untuk menyampaikan ayat di bawah ini

وَقَالُوْا لَوْلَآ اُنْزِلَ عَلَيْهِ اٰيٰتٌ مِّنْ رَّبِّهٖ ۗ قُلْ اِنَّمَا الْاٰيٰتُ عِنْدَ اللّٰهِ ۗوَاِنَّمَآ اَنَا۠ نَذِيْرٌ مُّبِيْنٌ

Dan mereka (orang-orang kafir Mekah) berkata, ”Mengapa tidak diturunkan mukjizat-mukjizat dari Tuhannya?” Katakanlah (Muhammad), ”Mukjizat-mukjizat itu terserah kepada Allah. Aku hanya seorang pemberi peringatan yang jelas.” (Q.S. Al-Ankabut [29]: 50)

Baca juga: Bagaimana Tafsir atas Huruf Muqattaah?

Bukti-bukti yang bersifat suprarasional yang mereka minta tidak lain disebabkan karena kebutaan mereka terhadap hikmah Allah swt. Padahal bukti atau mukjizat kebenaran dan kerasulan Muhammad saw yang sebenarnya adalah informasi yang disampaikannya yakni Al-Quran. Tetapi mereka diselimuti oleh atmosfir keangkuhan, kebutaan hati dan pikiran sebagaimana digambarkan-Nya dalam Q.S. Ash-Shafft [61]: 6,

وَاِذْ قَالَ عِيْسَى ابْنُ مَرْيَمَ يٰبَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ اِنِّيْ رَسُوْلُ اللّٰهِ اِلَيْكُمْ مُّصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيَّ مِنَ التَّوْرٰىةِ وَمُبَشِّرًاۢ بِرَسُوْلٍ يَّأْتِيْ مِنْۢ بَعْدِى اسْمُهٗٓ اَحْمَدُۗ فَلَمَّا جَاۤءَهُمْ بِالْبَيِّنٰتِ قَالُوْا هٰذَا سِحْرٌ مُّبِيْنٌ

Dan (ingatlah) ketika Isa putra Maryam berkata, “Wahai Bani Israil! Sesungguhnya aku utusan Allah kepadamu, yang membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan seorang Rasul yang akan datang setelahku, yang namanya Ahmad (Muhammad).” Namun ketika Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata, “Ini adalah sihir yang nyata.” (Q.S. Ash-Shaff [61]: 6)

Ash-Shabuny dalam Shafwah At-Tafasir menjelaskan bahwa ayat di atas menunjukkan secara eksplisit melalui isyarat nabi Isa as. terhadap Bani Israil bahwa akan datang suatu saat setelahnya seorang nabi yang namanya Ahmad yang mengetahui kitab Taurat dan membenarkan hukum-hukumnya serta tidak ada perselisihan antara keduanya (al-Quran dan at-Taurat).

Namun realitanya, justru Bani Israil mengatakan bahwa kabar gembira atau mukjizat yang dibawa Muhammad merupakan sihir yang nyata, sebagaimana mereka katakan pada masa kerasulan Isa as dengan mukjizatnya yang dapat menghidupkan sesuatu yang mati dan menyembuhkan orang yang buta dan penyakit kusta.

Demikianlah sebab yang melatari mengapa Allah swt menggunakan qasam terhadap berita yang urgen dan esensial dalam Al-Quran adalah guna menegaskan dan memperkuat berita-berita tersebut, sekaligus mengisyaratkan bahwa Al-Quran merupakan satu-satunya mukjizat Nabi Muhammad saw yang nyata, absolut dan kredibel, diindikasikan dengan adanya proses edukasi dan bimbingan langsung dari Allah swt melalui firman-Nya. Wallahu A’lam.

Mengenal Mushaf Pra-Utsmani (5): Mushaf Ali ibn Abi Thalib

0
Mushaf Ali ibn Abi Thalib
Mushaf Ali ibn Abi Thalib

Dalam rangkaian tulisan-tulisan sebelumnya telah dijelaskan bahwa pada masa Nabi, telah terjadi proses transmisi wahyu dari penyampaian secara lisan menjadi tulisan. Proses penulisan wahyu yang dilakukan oleh sejumlah sahabat Nabi tersebut dalam beberapa sumber diperkirakan mencapai 23 naskah Al-Qur’an. Salah satu naskah yang akan dibahas dalam artikel ini adalah salinan Al-Qur’an dalam mushaf Ali ibn Abi Thalib.

Biografi Ali ibn Abi Thalib

Sahabat Nabi yang memiliki nama Ali ibn Abi Thalib ini dilahirkan oleh seorang ayah yang bernama Abu Thalib ibn Abdul Muththalib dan ibu yang bernama Fathimah bint Asad ibn Hasyim. Beliau dilahirkan pada 10 tahun sebelum pengutusan risalah kenabian Muhammad. Selain nama tersebut, beliau juga memiliki kunyah (nama panggilan) Abu al-Hasan, Abu Turab, dan Abu al-Sibthain. Selain itu beliau juga dikenal dengan sebutan Amir al-Mu’minin, Rabi’ al-Khulafa’ al-Rasyidin, dan Bab al-Ilm (pintunya ilmu).

Pada saat usia remaja, Ali ibn Abi Thalib dinikahkan oleh Nabi dengan putrinya yaitu Fathimah al-Zahra. Dari perkawinan tersebut Ali ibn Abi Thalib dikaruniai dua anak yaitu Hasan dan Husain. Selama hidupnya, Ali ibn Abi Thalib banyak berperan dalam pengembangan dakwah Islam. Hal ini dibuktikan dengan diangkatnya Ali sebagai khalifah keempat pengganti Utsman. Serta, beliau juga beberapa kali ikut berperang bersama Nabi, seperti ketika perang Badar, Khandaq, dan Khaibar.

Baca Juga: Mengenal Mushaf Pra-Utsmani (2): Mushaf Ubay ibn Ka’ab

Ali ibn Abi Thalib ini termasuk sahabat yang banyak mengetahui langsung terkait proses turunya Al-Qur’an. Hal ini dikarenakan beliau sejak kecil telah banyak berinteraksi dengan Rasulullah, baik pada saat Nabi di Makkah maupun Madinah. Sehingga potensi Ali untuk menyerap ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an lebih besar dari pada sahabat lainya.

Diriwayatkan dari Ibn Abd al-Barr, bahwasanya Ali ibn Abi Thalib juga termasuk sahabat yang mengumpulkan Al-Qur’an pada masa Nabi. Bahkan, dalam sejumlah riwayat disebutkan bahwa Ali ibn Abi Thalib adalah orang pertama dari kalangan sahabat yang mengumpulkan Al-Qur’an, berdasarkan perintah Nabi. Sehingga, tidak heran jika dalam sebuah riwayat, Ali ibn Abi Thalib berkata: “Wallahi, tidak ada ayat yang turun kecuali aku telah mengetahui berkenaan dengan apa ayat tersebut, dimana ayat tersebut diturunkan, dan untuk siapa ayat tersebut diturunkan”.

Tidak diketahui secara pasti kapan Ali ibn Abi Thalib mengumpulkan salinan Al-Qur’an dalam bentuk mushaf. Namun, dalam sebuah riwayat yang dikutip oleh al-Zanjani menyebutkan, tatkala Nabi wafat, Ali ibn Abi Thalib bersumpah untuk mengumpulkan Al-Qur’an. Atas sumpah tersebut, Ali kemudian mengurung diri selama tiga hari untuk menulis Al-Qur’an secara kronologis berdasarkan hafalannya. Terdapat juga pendapat yang mengatakan jika proses pengumpulan mushaf Ali ibn Abi Thalib ini dilakukan selama enam bulan pasca Nabi wafat.

Ali ibn Abi Thalib wafat dalam keadaan syahid pada 17/19 Ramadhan 40 H, dimana saat itu usia beliau sudah mencapai 63 tahun. Beliau dibunuh ketika sedang shalat subuh oleh seorang khawarij yang bernama Abdurrahman ibn Muljam. Jenazah Ali ibn Abi Thalib dimakamkan di Dar al-Imarah, Kufah. Adapun menurut kaum syi’ah, beliau dimakamkan di Najaf, Irak.

Baca Juga: Mengenal Mushaf Pra-Utsmani (3): Mushaf Ibnu Mas’ud

Struktur Sistematika Mushaf Ali ibn Abi Thalib

Salah satu karakteristik mushaf Ali ibn Abi Thalib adalah terkait jumlah dan susunan surah yang berbeda dengan mushaf utsmani. Dalam kitab Tarikh al-Qur’an karya Abu Abdillah al-Zanjani, beliau menyebutkan bahwa jumlah surah dalam mushaf Ali ibn Abi Thalib terdapat sebanyak 109 surah. Jumlah keseluruhan surah tersebut terbagi dalam tujuh bagian juz, sebagaimana rincian dalam tabel berikut:

No. Nama Surah No. Nama Surah No. Nama Surah
Juz 1 38 al-Mulk 76 al-Qalam
1 al-Baqarah 39 al-Muddatstsir 77 Nuh
2 Yusuf 40 al-Ma’un 76 al-Mursalat
3 al-’Ankabut 41 al-Lahab 77 al-Dhuha
4 al-Rum 42 al-Ikhlash 78 al-Takatsur
5 Luqman 43 al-’Ashr Juz 6
6 Fussilat 44 al-Qari’ah 79 al-A’raf
7 al-Dzariyat 45 al-Buruj 80 Ibrahim
8 al-Insan 46 al-Tin 81 al-Kahfi
9 al-Sajdah 47 al-Naml 82 al-Nur
10 al-Nazi’at Juz 4 83 Shad
11 al-Takwir 48 al-Ma’idah 84 al-Zumar
12 al-Infithar 49 Yunus 85 al-Jatsiyah
13 al-Insyiqaq 50 Maryam 86 Muhammad
14 al-A’la 51 al-Syu’ara 87 al-Hadid
15 al-Bayyinah 52 al-Zukhruf 88 al-Muzzammil
Juz 2 53 al-Hujurat 89 al-Qiyamah
16 Ali Imran 54 Qaf 90 al-Naba’
17 Hud 55 al-Qamar 91 al-Ghasyiyah
18 Yusuf 56 al-Mumtahanah 92 al-Fajr
19 al-Hijr 57 al-Thariq 93 al-Lail
20 al-Ahzab 58 al-Balad 94 al-Nashr
21 al-Dukhan 59 al-Insyirah Juz 7
22 al-Rahman 60 al-’Adiyat 95 al-Anfal
23 al-Haqqah 61 al-Kautsar 96 al-Taubah
24 al-Ma’arij 62 al-Kafirun 97 Thaha
25 ‘Abasa Juz 5 98 Fathir
26 al-Syams 64 al-An’am 99 al-Shaffat
27 al-Qadr 65 al-Isra’ 100 al-Ahqaf
28 al-Zalzalah 65 al- Anbiya’ 101 al-Fath
29 al-Humazah 66 al-Furqan 102 al-Thur
30 al-Fil 67 al-Qashash 103 al-Najm
31 Quraisy 68 al-Mu’min 104 al-Shaff
Juz 3 69 al-Mujadilah 105 al-Taghabun
32 al-Nisa’ 70 al-Hasyr 106 al-Thalaq
33 al-Nahl 71 al-Jumu’ah 107 al-Muthaffifin
34 al-Mu’minun 72 al-Munafiqun 108 al-Falaq
35 Yasin 73 al-Qalam 109 al-Nas
36 al-Syura 74 Nuh
37 al-Waqi’ah 75 al-Jinn

Jika dilihat dalam tabel tersebut, dapat diketahui bahwa dalam mushaf Ali ibn Abi Thalib tidak mencantumkan lima surah, yaitu surah al-Fatihah [1], surah al-Ra’d [13], surah Saba’ [34], surah al-Tahrim [66], dan surah al-’Alaq [96]. Tidak diketahui secara pasti terkait alasan Ali ibn Abi Thalib tidak mencantumkan lima surah tersebut. Dapat dimungkinkan jika lima surah tersebut terlewat secara tidak sengaja dalam proses penulisan wahyu.

Baca Juga: Mengenal Mushaf Pra-Utsmani (4): Mushaf Ibnu Abbas

Karakteristik lain juga dapat ditemukan dalam perbedaan penggunaan kerangka redaksi ayat Al-Qur’an. Ibnu Abi Dawud dalam karyanya al-Mashahif, menyebutkan bahwa terdapat perbedaan kerangka redaksi dalam Q.S. al-Baqarah [2] ayat 285. Jika dalam mushaf utsmani tertulis dengan redaksi demikian:

اٰمَنَ الرَّسُوْلُ بِمَآ أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَّبِّهِ وَالْمُؤْمِنُوْنَ

 Maka dalam mushaf Ali ibn Abi Thalib redaksinya berbeda dan berubah menjadi seperti berikut:

اٰمَنَ الرَّسُوْلُ بِمَآ أُنْزِلَ إِلَيْهِ وَآمَنَ الْمُؤْمِنُوْنَ

Untuk lebih rincinya, Taufik Adnan Amal dalam karyanya Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, menjelaskan bahwa terdapat beberapa perbedaan mendasar antara mushaf Ali ibn Abi Thalib dengan mushaf utsmani, yaitu: Pertama, perbedaan vokalisasi konsonan yang sama, semisal kata ghairi dibaca ghaira. Kedua, pemberian titik diakritis (i’jam) terhadap kerangka konsonantal yang sama ataupun yang berbeda, seperti titik jim dan nun dalam kata janafan diganti dengan dihapusnya titik jim dan ditambah dengan titik ya sehingga berubah menjadi haifan.

Ketiga, penyisipan kata atau sekelompok kata dalam sejumlah ayat, misalnya kata ihdina (Q.S. al-Fatihah [1]: 6) disisipi kata tsabbitna sehingga menjadi ihdina tsabbitna shirat al-mustaqim. Keempat, perbedaan kerangka konsonantal yang mengekspresikan sinonim kata-kata tertentu, semisal kata al-shadafaini (Q.S. al-Kahfi [18]: 96) diganti menjadi al-jabalaini. Serta, terkadang juga ditemukan susunan kata yang terbalik, seperti kata al-maut bi al-haqq (Q.S. Qaf [50]: 19) dibalik menjadi al-haqq bi al-maut. Wallahu A’lam

Tafsir Surat Ad Duha Ayat 7-11

0
Tafsir Surat Ad Duha
Tafsiralquran.id

Setelah pada pembahasan sebelumnya berbicara mengenai anugerah dan nikmat yang diberikan Allah swt kepada Nabi Muhammad saw, pada Tafsir Surat Ad Duha Ayat 7-11 ini berbicara mengenai hal-ihwal pada masa diturunkannya Alquran kepada Nabi Muhammad saw.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Ad Duha Ayat 1-6


Hal-ihwal yang dibahas dalam Tafsir Surat Ad Duha Ayat 7-11 ini adalah keadaan masyarakat Arab pada waktu itu yang sangat jauh dari akhlak terpuji dan suka berpecah belah menjadi suuku-suku dan kabilah-kabilah serta bermusuhan satu sama lain. Maka dari itulah Nabi Muhammad saw diutus untuk mengajarkan akhlak terpuji dengan syariat yang diturunkan oleh Allahs saw berupa Alquran.

Selain itu dalam Tafsir Surat Ad Duha Ayat 7-11 ini Allah juga memerintahkan Nabi Muhammad untuk selalu berbelas kasih kepada kaumnya. Misalnya ketika kaumnya bertanya maka dijawab dengan kasih sayang dan lemah lembut.

Ayat 7

Dalam ayat ini, Allah mengungkapkan, bahwa Dia mendapatkan Nabi Muhammad dalam keadaan tidak mengerti tentang syariat dan tidak mengetahui tentang Alquran. Kemudian Allah memberikan petunjuk kepadanya.

Hal yang sangat membingungkan Nabi Muhammad adalah apa yang dilihatnya di kalangan bangsa Arab sendiri tentang kerendahan akidah, kelemahan pertimbangan disebabkan pengaruh dugaan-dugaan yang salah, kejelekan amal perbuatan, dan keadaan mereka yang terpecah-belah dan suka bermusuhan. Mereka menuju kepada kehancuran karena memakai orang-orang asing yang leluasa bertindak di kalangan mereka yang terdiri dari bangsa Persi, Habsyi, dan Romawi.

Jalan apakah yang harus ditempuh untuk membetulkan akidah-akidah mereka, membebaskan mereka dari pengaruh adat istiadat yang buruk itu, dan cara bagaimana yang harus dijalankan untuk membangunkan mereka dari tidur yang nyenyak itu?

Umat-umat nabi lain pun tidak lebih baik keadaannya daripada umatnya. Tetapi walaupun begitu, Allah tidak membiarkan Nabi Muhammad menjalankan dakwah tanpa bantuan-Nya. Allah bahkan memberikan wahyu yang menjelaskan kepadanya jalan yang harus ditempuh dalam usaha memperbaiki keadaan kaumnya. Allah berfirman:

وَكَذٰلِكَ اَوْحَيْنَآ اِلَيْكَ رُوْحًا مِّنْ اَمْرِنَا ۗمَا كُنْتَ تَدْرِيْ مَا الْكِتٰبُ وَلَا الْاِيْمَانُ وَلٰكِنْ جَعَلْنٰهُ نُوْرًا نَّهْدِيْ بِهٖ مَنْ نَّشَاۤءُ مِنْ عِبَادِنَا

Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) rµh (Alquran) dengan perintah Kami. Sebelumnya engkau tidaklah mengetahui apakah Kitab (Alquran) dan apakah iman itu, tetapi Kami jadikan Alquran itu cahaya, dengan itu Kami memberi petunjuk siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. (asy-Syµra/42: 52)

Ayat 8

Dalam ayat ini, Allah menyatakan bahwa Nabi Muhammad adalah seorang yang miskin. Ayahnya tidak meninggalkan pusaka baginya kecuali seekor unta betina dan seorang hamba sahaya perempuan. Kemudian Allah memberinya harta benda berupa keuntungan yang amat besar dari memperdagangkan harta Khadijah dan ditambah pula dengan harta yang dihibahkan Khadijah kepadanya dalam perjuangan menegakkan agama Allah.

Dari keterangan-keterangan tersebut di atas, sesungguhnya Allah mengatakan kepada Nabi Muhammad bahwa Dialah yang memeliharanya dalam keadaan yatim, menghindarkannya dari kebingungan, dan menjadi-kannya berkecukupan. Allah tidak akan meninggalkan Nabi Muhammad selama hidupnya.


Baca juga: Menepis Anggapan “al-Yawma Akmaltu Lakum Dinakum” sebagai Ayat yang Terakhir Turun


Ayat 9

Sesudah menyatakan dalam ayat-ayat terdahulu tentang bermacam-macam nikmat yang diberikan kepada Nabi Muhammad, maka pada ayat ini, Allah meminta kepada Nabi-Nya agar mensyukuri nikmat-nikmat tersebut, serta tidak menghina anak-anak yatim dan memperkosa haknya.

Sebaliknya, Nabi Muhammad diminta mendidik mereka dengan adab dan sopan-santun, serta menanamkan akhlak yang mulia dalam jiwa mereka, sehingga mereka menjadi anggota masyarakat yang berguna, tidak menjadi bibit kejahatan yang merusak orang-orang yang bergaul dengannya. Nabi Muhammad bersabda:

أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِي الْجَنَّةِ كَهَاتَيْنِ

(رواه الترمذي عن سهل بن سعد)

Aku (kedudukanku) dan orang yang mengasuh anak yatim di surga (sangat dekat), seperti dua ini (dua jari, yaitu telunjuk dan jari tengah).(Riwayat at-Tirmizi dari Sahl bin Sa’ad)

Barang siapa yang telah merasa kepahitan hidup dalam serba kekurangan maka selayaknya ia dapat merasakan kepahitan itu pada orang lain. Allah telah menghindarkan Nabi Muhammad dari kesengsaraan dan kehinaan, maka selayaknya Nabi memuliakan semua anak yatim sebagai tanda mensyukuri nikmat-nikmat yang dilimpahkan Allah kepadanya.

Ayat 10

Dalam ayat ini, Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad agar orang-orang yang meminta sesuatu kepadanya jangan ditolak dengan kasar dan dibentak, malah sebaliknya diberi sesuatu atau ditolak secara halus. Ada pendapat bahwa yang dimaksud dengan kata as-sa’il adalah orang yang memohon petunjuk, maka hendaknya pemohon ini dilayani dengan lemah lembut sambil memenuhi permohonannya.

Ayat 11

Dalam ayat ini, Allah menegaskan lagi kepada Nabi Muhammad agar memperbanyak pemberiannya kepada orang-orang fakir dan miskin serta mensyukuri, menyebut, dan mengingat nikmat Allah yang telah dilimpahkan kepadanya.

Menyebut-nyebut nikmat Allah yang telah dilimpahkan kepada kita bukanlah untuk membangga-banggakan diri, tetapi untuk mensyukuri dan mengharapkan orang lain mensyukuri pula nikmat yang telah diperolehnya. Dalam sebuah hadis, Nabi saw mengatakan:

لاَ يَشْكُرُ اللهَ مَنْ لاَ يَشْكُرُ النَّاسَ.

(رواه أبو داود والترمذي عن أبي هريرة)

Orang yang tidak berterima kasih kepada manusia tidak mensyukuri Allah. (Riwayat Abµ D±wud dan at-Tirmizi dari Abµ Hurairah).

Kebiasaan orang-orang kikir sering menyembunyikan harta kekayaannya untuk menjadi alasan tidak bersedekah, dan mereka selalu memperdengarkan kekurangan. Sebaliknya, orang-orang dermawan senantiasa menampakkan pemberian dan pengorbanan mereka dari harta kekayaan yang dianugerahkan kepada mereka dengan menyatakan syukur dan terima kasih kepada Allah atas limpahan karunia-Nya itu.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Insyirah Ayat 1-4


(Tafsir Kemenag)

Menilik Pengertian Qasam dalam Al-Quran

0
Pengertian Qasam dalam Al-Quran
Pengertian Qasam dalam Al-Quran

Al-Quran selalu menarik untuk dikaji dari aspek apapun, salah satunya adalah qasam. Qasam di sini adalah qasam yang bermakna sumpah (al-yamin). Secara umum lafal qasam termaktub di dalam Al-Quran kurang lebih 27 kali dengan 19 ayat di antaranya menunjuk makna sumpah. Dengan itu, pada tulisan ini akan membahas terkait pengertian qasam dalam al-Quran

Ragam Pendapat Ulama                                                           

Ahmad Warson Munawwir dalam Kamus Al-Munawwir: Arab-Indonesia Terlengkap menyampaikan bahwa kata qasam secara etimologi bermakna membagi, memberikan, budi pekerti, mempertimbangkan, ganteng, sumpah dan sebagainya. Tetapi dalam konteks ulumul Quran kata qasam dimaknai sebagai pernyataan tegas dan kesungguhan mutakallim (pembicara) dengan bentuk mufrad اقسم   atau  القسم  bentuk jamaknya adalah   اقسام  atau الأقسام .

Baca juga: Kalimat Thayyibah itu Menebarkan Energi Positif, Tafsir Surat Ibrahim Ayat 24-26

Dalam pengertian yang lain makna اقسم memiliki arti yang sama dengan حلف dan اليمين ketiganya dimaknai sebagai sumpah. Dinamakan yamin karena orang-orang Arab ketika bersumpah sembari memegang tangan kanan sahabatnya. Menurut Al-Zarkasyi dalam Al-Burhan fi Ulum Al-Quran, kata qasam di kalangan ulama nahwu digunakan untuk menguatkan informasi yang disampaikan.

Berbeda dengan Al-Zarqany, Louis Ma’luf dalam Al-Munjid, misalnya, dalam konteks bangsa Arab, sumpah yang diucapkan oleh orang Arab itu biasanya menggunakan nama Allah atau selainnya yang cenderung ditinggikan atau lebih agung.

Adapun definisi qasam menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) sendiri adalah pernyataan yang diungkapkan secara resmi dengan bersaksi atas nama tuhan atau terhadap sesuatu yang dianggap suci, guna menguatkan, meyakinkan, dan kesungguhan informasi yang dinyatakan; pernyataan yang disertai tekat melakukan sesuatu untuk menguatkan kebenaran atau berani menanggung resiko apapun terhadap konsekuensi pernyataannya; janji atau ikrar yang teguh untuk melakukan sesuatu.

Baca juga: Tafsir Fiqh (4): Al-Qurthubi dan al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an

Sedangkan menurut istilah, Qasam Al-Quran adalah ilmu yang membahas tentang sumpah-sumpah dalam Al-Quran. Imam Az-Zarqany mengartikan qasam (sumpah) adalah kalimat untuk menguatkan pemberitaan (جعله يؤكد بها الخبر). Adapun Ibnu Qayyim dalam At-Tibyan fi Aqsam Al-Quran menjelaskan bahwa qasam adalah perkataan yang menguatkan muqsam alaih (konten) dan memastikannya (يراد بالقسم توكيده وتحقيقه).

Tidak jauh berbeda dengan pendapat kedua ulama di atas, menurut Manna Al-Qatthan sumpah adalah

 تأكيده الشيئ بذكر معظم بالواو اواحدى اخواتها

“Memperluas maksud dengan disertai penyebutan sesuatu yang memiliki kedudukan lebih tinggi dengan memfungsikan huruf wawu atau alat lainnya”.

Sementara itu, Al-Jurjani sebagaimana yang dikutip oleh Hasan Mansur Nasution mengartikan qasam sebagai sesuatu yang dikemukakan untuk menguatkan salah satu dari dua berita dengan menyebutkan nama Allah atau sifatnya. Qasam dapat pula diartikan sebagai bahasa Al-Quran dalam menegaskan atau menguatkan suatu pesan atau pernyataan dengan menyebut nama Allah atau ciptaan-Nya sebagai muqsam bih Dengan demikian Qasam Al-Quran adalah ilmu-ilmu yang membahas tentang arti, maksud, rahasia dan hikmah sumpah-sumpah Allah swt yang terdapat dalam Al-Quran.

Baca juga: Siapakah Al-Hawariyyun yang Disebut dalam Al-Quran? Ini Penjelasannya

Lebih dari itu, kita juga mendapati ternyata diksi sumpah dalam Al-Quran tidak hanya qasam melainkan حلف. Meskipun esensialnya sama, kata حلف  cenderung digunakan sebagai ungkapan yang mengisyaratkan adanya kebohongan sang pengucap atau bahwa sumpah itu berpotensi untuk dibatalkan dengan membayar kaffarat atau sanksi sebagaimana termaktub dalam Q.S. Al-Mujadilah [58]: 18,

يَوْمَ يَبْعَثُهُمُ اللّٰهُ جَمِيْعًا فَيَحْلِفُوْنَ لَهٗ كَمَا يَحْلِفُوْنَ لَكُمْ وَيَحْسَبُوْنَ اَنَّهُمْ عَلٰى شَيْءٍۗ اَلَآ اِنَّهُمْ هُمُ الْكٰذِبُوْنَ

(Ingatlah) pada hari (ketika) mereka semua dibangkitkan Allah, lalu mereka bersumpah kepada-Nya (bahwa mereka bukan orang musyrik) sebagaimana mereka bersumpah kepadamu; dan mereka menyangka bahwa mereka akan memperoleh sesuatu (manfaat). Ketahuilah, bahwa mereka orang-orang pendusta. (Q.S. al-Mujadilah [58]: 18)

Pada ayat tersebut Al-Quran membedakan qasam dengan half, karena half berpotensi untuk dibatalkan, sebab itu kebohongan sumpah kafir Quraisy dilukiskan dengan kata halafa sedang sumpah siapa pun yang dinilai benar dalam sumpahnya secara umum dilukiskan dengan kata qasama. Dengan demikian sumpah Allah dalam Al-Quran menggunakan kata qasama, sehingga dinamakan Aqsam Al-Quran. Wallahu a’lam[].

Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir dalam Al-Quran: Refleksi Kepatuhan Terhadap Guru

0
Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir
Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir

Kisah nabi Musa dan nabi Khidir adalah salah satu kisah dalam Al-Qur’an yang paling terkenal. Kisah ini bercerita tentang perjalanan pengembaraan ilmu nabi Musa as ketika berguru perihal hikmah dan spritualitas dengan salah seorang hamba Allah swt yang telah dianugerahkan ilmu laduni (hikmah dan ma’rifah), yakni nabi Khidir as.

Kisah nabi Musa dan Nabi Khidir ini diceritakan lengkap dalam Al-Qur’an, yakni pada surah al-Kahfi [18] ayat 60-82. Menurut sebagian ulama, kisah ini merupakan bentuk pengajaran Allah swt kepada kita bahwa selalu ada orang yang lebih berilmu daripada kita. Oleh karenanya jangan pernah berlaku angkuh dan sombong. Di sisi lain, kisah ini juga mengajarkan tentang kepatuhan terhadap guru.

Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir Dalam Al-Qur’an: Refleksi Kepatuhan Terhadap Guru

Dalam sebuah hadis riwayat al-Bukhari diterangkan bahwa kisah nabi Musa dan nabi Khidir bermula ketikan nabi Musa melakukan pidato di tengah kerumunan bangsa Israil. Pada waktu itu, salah seorang dari mereka bertanya kepada nabi Musa, “Siapa manusia yang paling berilmu?” nabi Musa merenung sejenak dan mengingat-ingat setiap orang di sekitarnya dan menjawab, “Aku.”

Baca Jugaa: Belajar Metode Demonstrasi dari Kisah Nabi Khidir dan Musa

Allah swt kemudian menegur Nabi Musa karena tidak menyatakan yang paling tahu adalah Allah. Dia kemudian mewahyukan kepadanya, “Sungguh, Aku memiliki seorang hamba-Ku di pertemuan antara dua lautan, dan lebih berilmu dari kamu.” Mendengar firman Allah yang dibawa Jibril, Nabi Musa sadar bahwa dia terburu-buru menyampaikan jawaban.

Setelah mendengar penjelasan Allah swt melalui malaikat Jibril, nabi Musa menjadi penasaran, siapakah gerangan hamba alim yang dimaksud itu dan bagaimana keadaannya? Kemudian dengan tekad yang bulat beliau berkeinginan bertemu dengan hamba Allah itu untuk mengunjunginya sekaligus menimba ilmu pengetahuan kepadanya (Qashash al-Anbiya: 571).

Alkisah, nabi Musa bertemu dengan nabi Khidir di antara pertamuan dua laut. Lalu Khidir berkata, apa yang engkau inginkan wahai Musa?” Musa berkata dengan penuh kelembutan dan kesopanan, “Apakah aku dapat mengikutimu agar engkau dapat mengajariku sesuatu yang engkau telah memperoleh karunia dari-Nya.”

Khidir berkata, “Tidakkah cukup di tanganmu Taurat dan bukankah engkau telah mendapatkan wahyu. Sungguh wahai Musa, jika engkau ingin mengikutiku, engkau tidak akan mampu bersabar bersamaku.” Musa menjawab, “In sya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam satu urusan pun.”

Pada waktu itu, agar dapat pergi dengan nabi Khidir, nabi Musa diberi syarat untuk tidak mengomentari apapun. Setelah persyaratan disepakati, akhirnya Musa pergi bersama Khidir. Ketika Mereka berjalan di tepi laut, ada sebuah perahu yang berlayar, lalu mereka berbicara dengan orang-orang yang ada di sana agar mau mengangkut mereka.

Para pemilik perahu mengenal Khidir, lantas mereka pun membawanya beserta Musa tanpa meminta upah sedikit pun. Namun, nabi Musa dibuat terkejut, karena nabi Khidir melubangi perahu itu. Ia mencabut papan demi papan dari perahu, lalu ia melemparkannya ke laut sehingga papan-papan itu dibawa ombak ke tempat yang jauh.

Musa berkata, “Apakah engkau melubanginya agar para penumpangnya tenggelam? Sungguh, engkau telah melakukan sesuatu yang tercela,” Mendengar pertanyaan lugas Musa, Khidir menoleh kepadanya dan menunjukkan bahwa usaha Musa untuk belajar tidak mungkin dilakukan. Nabi Musa meminta maaf kepada Khidir karena ia lupa dan mengharap pembelajaran dilanjutkan.

Perjalanan lalu dilanjutkan dan mereka menemui sebuah kebun yang dijadikan tempat bermain oleh anak-anak kecil. Ketika anak-anak kecil itu sudah letih bermain, salah seorang mereka tampak bersandar di suatu pohon dan tertidur. Tiba-tiba, Musa dibuat terkejut ketika melihat Khidir membunuh anak kecil yang sedang tidur itu. Musa kembali berkomentar, namun segera berhenti setelah Khidir mengingatkan bahwa ia tidak akan mampu bersabar bersamanya.

Perjalanan mereka berakhir di suatu desa, di mana warganya sangat pelit karena tidak ada satu pun warga yang mau memberikan tempat penginapan atau makanan. Namun, lagi-lagi Musa dibuat terkejut melihat gurunya Khidir, karena pada malam hari ia memperbaiki sebuah rumah di desa itu. Padahal mereka sama sekali tidak menerima kebaikan dari warga desa (Qashash al-Anbiya: 579).

Musa kemudian berkata, “Seandainya engkau mau, engkau bisa mendapat upah atas pembangunan bangunan itu.” Mendengar perkataan ini, Khidir berkata kepadanya, “Ini adalah batas perpisahan antara dirimu dan diriku.” Khidir mengingatkan Musa tentang pertanyaan yang seharusnya tidak dilontarkan dan ia mengingatkan bahwa pertanyaan yang ketiga adalah akhir dari pertemuan.

Kisah nabi Musa dan nabi Khidir Al-Qur’an ini ditutup dengan penjelasan berbagai hikmah dari tindakan-tindakan nabi Khidir. Beliau berkata, “Perahu itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.”

“Dan adapun anak itu maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin dan aku khawatir bahwa dia akan mendorong orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Aku berdoa supaya Tuhan mereka mengganti dengan anak yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam dari kasih sayangnya (kepada ibu dan bapaknya).”

Baca Juga: Kisah Qarun Dalam Al-Quran: Orang Paling Kaya Pada Zaman Nabi Musa

“Adapun penjelasan tentang  rumah yang aku renovasi di suatu desa,  karena rumah itu adalah kepunyaan anak yatim yang di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedangkan ayahnya seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki supaya ketika mereka dewasa barulah simpanan tersebut dikeluarkan sebagai rahmat dari Tuhanmu. Sungguh, aku melakukan ini semua atas petunjuk Allah swt.”

Dari kisah nabi Musa dan nabi Khidir di atas, ada beberapa hal yang dapat dipelajari, yaitu: Seorang guru memiliki otoritas tertentu terkait pembelajaran dan murid sepantasnya tidak berkomentar atas hal-hal yang dia tidak pahami. Murid sebaiknya memiliki kepatuhan terhadap guru terkait dengan aturan-aturan yang ditetapkan si guru. Adapun jika ada sesuatu yang ditanyakan atau dikritik, maka hendaknya disampaikan dengan baik. Jangan sampai pertanyaan atau kritik jatuh ke arah ketidakhormatan dan ketidaksukaan. Wallahu a’lam.

Kalimat Thayyibah itu Menebarkan Energi Positif, Tafsir Surat Ibrahim Ayat 24-26

0
Kalimat Thayyibah
Kalimat Thayyibah

Akhir-akhir ini kita dipertontonkan dengan banyak perkataan kasar atau ungkapan buruk di ruang publik. ‘Kenormalan baru’ ini akhirnya menjadi tren dan diikuti oleh khalayak. Sungguh sangat disesalkan. Jika kita mau sejenak saja mengingat masa kecil, sedari belajar berbicara, kita diajari oleh orang tua kita dengan ucapan yang baik. Guru-guru kita di sekolah juga mengajari kita dengan kalimat thayyibah, bukan sebaliknya.

Perkataan yang baik atau kalimat thayyibah ini bahkan juga sudah disinggung lama sekali dalam Al-Quran, mulai dari kriteria dan pengaruhnya. Surat Ibrahim Ayat 24-26 menyinggung tentang kalimat thayyibah atau perkataan yang baik dan kebalikannya yaitu kalimat khabitsah (perkataan buruk). Berikut bunyi ayatnya,

اَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللّٰهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ اَصْلُهَا ثَابِتٌ وَّفَرْعُهَا فِى السَّمَاۤءِۙ 24 تُؤْتِيْٓ اُكُلَهَا كُلَّ حِيْنٍ ۢبِاِذْنِ رَبِّهَاۗ وَيَضْرِبُ اللّٰهُ الْاَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ 25 وَمَثَلُ كَلِمَةٍ خَبِيْثَةٍ كَشَجَرَةٍ خَبِيْثَةِ ِۨاجْتُثَّتْ مِنْ فَوْقِ الْاَرْضِ مَا لَهَا مِنْ قَرَارٍ 26

“Tidakkah kamu memperhatikan bagai-mana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya (menjulang) ke langit, (24) (pohon) itu menghasilkan buahnya pada setiap waktu dengan seizin Tuhannya. Dan Allah membuat perumpamaan itu untuk manusia agar mereka selalu ingat (25) Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun (26)”

Kalimat thayyibah itu perkataan yang memberikan energi positif

Mufasir seperti At-Thabari dan Al-Qurthubi menyebut kalimat thayyibah dengan kalimat tauhid, la ilaha illallah. Az-Zamakhshari dalam Al-Kasysyaf menambahi definisi kalimat thayyibah dengan setiap kalimat yang baik, seperti kalimat tasbih, tahmid, takbir, istighfar, dan semacamnya.

Sementara itu, Ibnu Asyur dalam At-Tahrir wa At-Tanwir mengartikan thayyibah di sini dengan manfaat. Mengikuti pengertian ini, kalimat thayyibah berarti tidak hanya dibatasi pada kalimat-kalimat yang biasa jadi wiridan umat Islam, seperti kalimat tahlil, tahmid, tasbih, takbir, istighfar, hawqalah dan semacamnya, melainkan setiap kalimat yang membawa manfaat, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.

Baca Juga: Tafsir Surah An-Nisa’ 148-149: Allah Tidak Menyukai Perkataan Buruk

Nah, untuk manfaat ini coba kita baca lagi deskripsi kalimat thayyibah dalam ayat. Di situ Allah mengumpakannya dengan “pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya (menjulang) ke langit, (pohon) itu menghasilkan buahnya pada setiap waktu”. Perumpamaan ini membawa kita untuk merenungi pohon dan manfaat yang diberikannya.

Mulai dari akar, batang, daun, hingga buahnya, pohon memberi manfaat penuh untuk keberlangsungan hidup manusia. Pohon yang tumbuh dengan baik ia akan ikut membersihkan udara, membantu daya serap air dalam tanah, batangnya bisa dimanfaatkan untuk bangunan dan semacamnya. Pohon yang tumbuh dengan baik juga bisa memberi kenyamanan bagi siapapun yang berteduh di bawahnya.

Artinya, pohon yang tumbuh dengan baik, dari setiap bagian-bagiannya akan mendatangkan manfaat untuk sekelilingnya. Begitupun dengan perkataan yang baik. Ia akan mendatangkan juga menularkan kemanfaatan dan hal-hal positif, tidak hanya bagi dirinya sendiri melainkan pula untuk sekelilingnya. Bukankah itu yang dikatakan oleh Rasulullah sebagai paling baiknya manusia?

Sebaliknya, kalimat khabitsah atau perkataan yang buruk dilukiskan dengan “pohon yang buruk, yang telah dicabut akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun”. Pohon yang tidak tumbuh dengan baik tentu mengurangi kemanfaatannya, atau bahkan tidak bermanfaat sama sekali, yang ada ia merepotkan orang lain. Pada akhirnya ia mati dan menjadi sampah.

Demikian pula dengan perkataan yang buruk, jangankan manfaat, ia justru akan mendatangkan mudharat, baik untuk dirinya sendiri maupun sekelilignya. Perkataan buruk tersebut menjadikan sang penutur tidak ubahnya seperti sampah yang kotor dan mencemari orang-orang di sekelilingnya.

Kapan kita harus berkata dengan santun (kalimat thayyibah)?

Kapanpun, siang ataupun malam, pagi dan sore, saat terang maupun gelap, di saat bahagia ataupun sedih, di waktu senggang maupun sibuk, ketika susah juga senang, saat menangis maupun tertawa, ketika tegar maupun rapuh, saat sepi dan ramai, tenang ataupun gaduh, ketika berdiri maupun duduk, di saat panas juga hujan, cerah dan mendung, sedang bekerja atau rebahan, di kala cinta ataupun benci, sedang marah ataupun sabar.

Jadi ingat kata-kata Andrea Hirata dalam Guru Aini, ‘Beda orang sabar dan tidak sabar adalah, meski muntab, orang sabar tetap menjaga kesantunan berbahasa’.

Di mana kita harus berkata dengan perkataan yang baik? di manapun, di rumah, di sekolah, di tempat kerja, di gedung mewah, di pinggir jalan, di masjid, di pusat perbelanjaan, di toko kelontongan, di pasar tradisional, di tempat wisata, di dunia nyata maupun di dunia maya.

Baca Juga: Dia yang Berlaku Baik Kepadamu, Lebih Baiklah Kepadanya! Pesan Surat An-Nisa Ayat 86

Dan kepada siapa saja? siapapun, kepada teman anda, musuh anda, karib dan lawan anda, ia yang anda hormati, terlebih ia yang anda benci, bos atau atasan anda, bawahan anda, ia yang lebih muda, terutama yang lebih tua, orang yang mengajari dan yang anda ajari, follower anda juga hater anda, orang yang anda kenal maupun yang baru anda temui, dan lainnya.

You are what you say (anda adalah apa yang anda ucapkan). Dalam pepatah Arab juga ada salamat al-insan fi hifdz al-lisan (keselamatan manusia terdapat dalam penjagaan lidahnya). Perkataan anda adalah identitas dan nilai anda. Wallahu A’lam

Tafsir Fiqh (4): Al-Qurthubi dan al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an

0
Al-Qurthubi
Al-Jami li Ahkam al-Quran karya Al-Qurthubi

Al-Qurthubi dan al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an akan menjadi objek yang diulas pada edisi keempat dari serial “Tafsir Fiqh” kali ini. Ia memiliki nama lengkap Abu Abdullah Muhammad ibn Ahmad ibn Abi Bakr ibn Farh al-Anshari al-Qurthubi al-Andalusi al-Maliki. Ia lahir tahun 1214 M Cordoba, sebuah kota di Spanyol (Andalusia). Kota Cordoba inilah yang kemudian dinisbatkan pada namanya sehingga ia dikenal dengan panggilan al-Qurthubi.

Sebagai begawan tafsir terkemuka, al-Qurthubi memulai pengembaraan ilmunya di tanah kelahirannya sendiri. Di sana ia mempelajari banyak khazanah keilmuan Islam, di antaranya keilmuan bahasa Arab, ilmu-ilmu al-Qur’an, Fiqh dan Ushulnya. Keilmuan dasar yang telah ia pelajari ini kemudian ia kembangkan tatkala berkelana ke negeri Timur (diketahui bahwa salah satu negeri yang disinggahi adalah Mesir).

Ada beberapa tokoh yang disebutkan sebagai guru-guru maupun orang yang berjasa dalam   suksesnya karir keilmuan al-Qurthubi. Mereka adalah Abi al-Abbas ibn Umar al-Qurthubi (penulis “al-Mufhim fi Syarh Shahih Muslim”) dan Abi Ali al-Hasan ibn Muhammad al-Bakri (guru yang menurunkan sanad Hadis kepada al-Qurthubi) serta Ibn Khusaib yang bersedia menjadikan rumahnya sebagai tempat tinggal al-Qurthubi selama menuntut ilmu di Mesir dan bahkan hingga menjelang ajalnya menjemput.

Dari sisi keilmuan, al-Qurthubi adalah seorang yang cendekiawan yang menguasai berbagai bidang keilmuan dalam khazanah Islam. Hal ini dibuktikan dari karya-karya ilmiah yang diwariskannya yang mencakup berbagai bidang di antaranya al-Tadzkar fi Afdhal al-Adzkar¸ Syarh Asma’ al-Husna, al-Tadzkirah bi Ahwal al-Mawta wa Umur al-Akhirah, Kitab Syarh al-Taqashshi, Kitab Qam’ al-Harsh bi al-Zuhd wa al-Qana’ah, al-I’lam bi Ma fi Din al-Nashara min al-Mafasid wa al-Auham wa Idzhar Mahasin Din al-Islam, al-Jami’ li  Ahkam al-Qur’an dan lainnya.

Baca Juga: Tafsir Fiqh: Mengenal Al-Jashash dan Ahkam al-Quran-nya

Adapun dari sisi karakter, dikatakan bahwa al-Qurthubi adalah seorang hamba yang shalih, ulama yang arif serta seorang yang zuhud. Maka tidak heran jika banyak dari judul kitabnya yang isinya tentang dzikrullah maupun etika-etika yang dianjurkan dalam Islam. Ia juga terkenal sebagai seorang ulama yang pandai mengatur waktu, sehingga selalu mampu meluangkan waktunya untuk menulis maupun beribadah.

Pengembaraan ilmu Sang Faqih nan Sufi ini harus usai setelah ia menghembuskan nafas terakhirnya di Mesir pada tahun 1273 M, di usia 59 tahun. Ia dimakamkan di Meniya, sebuah daerah sebelah timur sungai Nil, yang merupakan kediaman Ibn Khusaib.

Sisi Menarik al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an

Sisi menarik pertama yang akan dibahas ialah mengenai isi dari tafsir ini. Ibn Farhun mengemukakan bahwa kitab ini tergolong kitab besar dalam bidang tafsir, ia juga mendeskripsikan bahwa kitab tafsir ini ditulis tanpa mencantumkan kisah-kisah atau sejarah sebagai materi penafsirannya. Namun lebih condong pada materi-materi yang berkaitan dengan pengambilan (istinbath) seperti Qira’at, I’rab/ Lugah, serta Nasihk-Mansukh.

Kedua, dari sisi konsistensinya dalam melacak jejak riwayat kutipan yang diambilnya. Jika pembaca membaca kitab ini maka akan didapati di mana al-Qurthubi begitu konsisten dalam menuliskan subjek yang ia kutip pendapatnya. Sebab dari konsistensinya ialah bentuk pertanggungjawabannya atas perkataannya dalam muqaddimah kitab ini:

Syarat yang saya tetapkan dalam kitab ini ialah menyandarkan pendapat kepada orang yang mengeluarkan pendapat tersebut, serta hadis kepada periwayatnya. Sebab dikatakan bahwa itu merupakan prasyarat dari keberkahan ilmu serta usaha untuk menghilangkan kebiasaan yang terdapat dalam kitab Fiqh maupun Tafsir yang jarang menyertakan asal-muasal dari kutipan yang diambil. Tentu ketidakjelasan ini akan berakibat pada tidak diterimanya hujjah maupun istidlal”.

Bisa dikatakan bahwa ini yang menjadi sebab penolakannya atas materi kisah-kisah ataupun sejarah. Sebab keduanya terkadang hanya menurut “katanya” dan susah untuk divalidasi kebenarannya. Meskipun dalam beberapa kesempatan didapati bahwa ia mengutip kisah-kisah Israiliyyat yang jarang diriwayatkan pada kitab-kitab sejenis.

Ketiga, sisi fanatismenya. Jika ditilik dalam penjelasan tafsirnya maka akan didapati bahwa al-Qurthubi bukanlah seorang penganut maupun pentolan madzhab yang fanatik. Meskipun jamak diketahui bahwa sebagai seorang yang berasal dari Andalus, madzhab yang diikutinya ialah madzhab Maliki namun itu tidak menjadi patokannya dalam menjelaskan sisi yuridis dari ayat-ayat hukum yang dikajinya.

Baca Juga: Tafsir Fiqh (3): Ibn Al-Arabi dan Ahkam al-Qur’an-nya

Sebagai pengkaji al-Qurthubi justru bersikap objektif dengan membahas sisi yuridis ayat dengan menunjukkan berbagai pendapat yang tersedia. Lalu ia melakukan analisis dari masing-masing pendapat, baik dengan melakukan mujadalah maupun kritik, sampai akhirnya condong pada pendapat yang dianggapnya lebih kuat dari yang lain. Dari sini bisa dilihat bahwa al-Qurthubi adalah sosok mufassir sekaligus faqih yang netral, objektif serta memiliki kapasitas keilmuan yang begitu mumpuni.

Itulah tiga sisi menarik yang bisa dikupas dari al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya al-Qurthubi. Hal terpenting, dalam ranah keilmuan, yang harus diteladani darinya adalah kepribadiannya sebagai seorang pengkaji yang memposisikan dirinya untuk tetap netral, objektif serta menguasai objek keilmuan yang dikaji. Wallahu a’lam.

Tafsir Surat Ad Duha Ayat 1-6

0
Tafsir Surat Ad Duha
Tafsiralquran.id

Tafsir Surat Ad Duha Ayat 1-6 ini berbicara mengenai dua hal. Sebelum memulai penjelasan mengenai dua hal tersebut Allah swt lebih dahulu bersumpah dengan waktu duha dan waktu malam. Sumpah ini tidak lain menunjukkan keagungan waktu dan objek yang dijadikan sumpah.

Hal pertama yang terkadung dalam Tafsir Surat Ad Duha Ayat 1-6 ini adalah ungkapan Allah atas untuk melapangkan jiwa Nabi Muhammad saw pada hari-hari mendatang setelah adanya cemoohan yang dilakukan oleh orang-orang kafir. Ini juga merupakan anugerah yang akan Allah berikan kepada Nabi Muhammad. Kedua, adalah nikmat kasih sayang Allah swt melalui kedua orang tua asuhnya yakni Abdul Muttalib dan Abu Thalib.

Ayat 1-3

Dalam ayat-ayat ini, Allah bersumpah dengan dua macam tanda-tanda kebesaran-Nya, yaitu duha (waktu matahari naik sepenggalah) bersama cahayanya dan malam beserta kegelapan dan kesunyiannya, bahwa Dia tidak meninggalkan Rasul-Nya, Muhammad, dan tidak pula memarahinya, sebagaimana orang-orang mengatakannya atau perasaan Rasulullah sendiri.

Ayat 4

Dalam ayat ini, Allah mengungkapkan sesuatu yang melapangkan dada Nabi saw dan menenteramkan jiwanya, bahwa keadaan Nabi dalam kehidupannya di hari-hari mendatang akan lebih baik dibandingkan dengan hari-hari yang telah lalu. Kebesarannya akan bertambah dan namanya akan lebih dikenal. Allah akan selalu membimbingnya untuk mencapai kemuliaan dan untuk menuju kepada kebesaran.

Seakan-akan Allah mengatakan kepada Rasul-Nya, “Apakah engkau kira bahwa Aku akan meninggalkanmu? Bahkan kedudukanmu di sisi-Ku sekarang lebih kukuh dan lebih dekat dari masa yang sudah-sudah.”

Janji Allah kepada Nabi Muhammad terus terbukti karena sejak itu nama Nabi saw semakin terkenal, kedudukannya semakin bertambah kuat, sehingga mencapai tingkat yang tidak pernah dicapai oleh para rasul sebelumnya. Allah telah menjadikan Nabi Muhammad sebagai rahmat, petunjuk, dan cahaya untuk seluruh alam dan seluruh hamba-Nya.

Allah menjadikan cinta kepada Nabi Muhammad termasuk cinta kepada-Nya juga; mengikuti Nabi dan mematuhinya adalah jalan untuk memperoleh nikmat-nikmat-Nya, serta menjadikan umat Nabi sebagai saksi-saksi untuk manusia seluruhnya. Nabi saw sendiri telah menyiarkan agama Allah sesuai dengan kehendak-Nya sehingga sampai ke pelosok-pelosok dunia.

Ini adalah suatu kebesaran yang tiada bandingnya, suatu keunggulan yang tiada taranya, dan suatu kemuliaan yang tidak ada yang dapat mengimbanginya. Semua itu adalah anugerah Allah yang diberikan kepada orang yang dikehendaki-Nya.


Baca juga: Kisah Qarun Dalam Al-Quran: Orang Paling Kaya Pada Zaman Nabi Musa


Ayat 5

Dalam ayat ini, Allah menyampaikan berita gembira kepada Nabi Muhammad, bahwa Dia akan terus-menerus melimpahkan anugerah-Nya kepada beliau, sehingga beliau menjadi senang dan bahagia.

Di antara pemberian-Nya itu ialah turunnya wahyu terus-menerus setelah itu sebagai petunjuk bagi Nabi saw dan umatnya untuk mendapat kebahagiaan hidup di dunia dan hari akhirat. Dia akan memenangkan agama yang dibawa Nabi Muhammad atas seluruh agama lainnya dan Dia akan mengangkat kedudukannya di atas kedudukan manusia seluruhnya.

Ayat 6

Dalam ayat ini, Allah mengingatkan nikmat yang pernah diterima Nabi Muhammad dengan mengatakan:

“Bukankah engkau hai Muhammad seorang anak yatim, tidak mempunyai ayah yang bertanggung jawab atas pendidikanmu, menanggulangi kepentingan serta membimbingmu, tetapi Aku telah menjaga, melindungi, dan membimbingmu serta menjauhkanmu dari dosa-dosa perilaku orang-orang Jahiliah dan keburukan mereka, sehingga engkau memperoleh julukan manusia sempurna.”

Nabi saw hidup dalam keadaan yatim karena ayahnya meninggal dunia sedangkan ia masih dalam kandungan ibunya. Ketika lahir, Allah memelihara Muhammad saw dengan cara menjadikan kakeknya, Abdul Muttalib, mengasihi dan menyayanginya. Nabi Muhammad berada dalam asuhan dan bimbingannya sampai Abdul Muttalib wafat, sedang umur Nabi ketika itu delapan tahun.

Dengan meninggalnya Abdul Muttalib, Nabi Muhammad menjadi tanggungan paman beliau, Abµ Talib, berdasarkan wasiat dari Abdul Muttalib. Abµ Talib telah mengerahkan semua perhatiannya untuk mengasuh Nabi saw, sehingga beliau meningkat dewasa dan diangkat menjadi rasul.

Setelah Muhammad diangkat menjadi rasul, orang-orang Quraisy memusuhi dan menyakitinya, tetapi Abµ Talib terus membelanya dari semua ancaman orang musyrik hingga Abµ Talib wafat.

Dengan wafatnya Abµ Talib, bangsa Quraisy mendapat peluang untuk menyakiti Nabi dengan perantaraan orang-orang jahat di kalangan mereka yang menyebabkan beliau terpaksa hijrah.

Betapa hebatnya penggemblengan Allah dan asuhan-Nya terhadap Nabi Muhammad. Biasanya keyatiman seorang anak menjadi sebab kehancuran akhlaknya karena tidak ada pengasuh dan pembimbing yang bertanggung jawab.

Apalagi suasana dan sikap penduduk Mekah lebih dari cukup untuk menyesatkan Nabi saw. akan tetapi, perlindungan Allah yang sangat rapi dapat mencegah beliau menemani mereka. Dengan demikian, jadilah beliau seorang pemuda yang sangat jujur, terpercaya, tidak pernah berdusta, dan tidak pernah berlumur dengan dosa orang-orang Jahiliah.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Ad Duha Ayat 7-11


(Tafsir Kemenag)