Beranda blog Halaman 455

Kata-Kata Asing dan Cikal Bakal Kamus Al-Quran

0
Cikal Bakal Kamus Al-Quran
Cikal Bakal Kamus Al-Quran

Bagi kita orang yang terlahir di Indonesia, wajar-wajar saja menganggap bahasa Al-Quran sebagai bahasa asing. Namun ternyata, generasi-generasi awal Islam pun mengakui sebagian kata dalam Al-Quran juga ada yang asing. Istilah ini lebih dikenal dengan gharib al-Quran. Tentu, ini menunjukkan adanya keunikan dan kekayaan tersendiri dalam bahasa Al-Quran. Karena orang yang terlahir sebagai bangsa Arab pun tidak seluruhnya mampu memahami. Inilah yang kemudian menjadi cikal bakal kamus Al-Quran.

Kenyataan bahwa bahasa Arab juga memiliki sisi ke’asing’an ini diakui oleh para pakar. Ibnu Qutaibah (w. 276 H), az-Zajjaj (w. 377 H), Ibn al-Asir (w. 606 H), Ibnu al-Ha’im (w. 815 H) dan Abu Hayyan al-Andalusi (w. 745 H) menyebutnya demikian. Bahasa Arab ada yang maknananya bisa dipahami oleh semua kalangan, namun ada juga yang hanya dipahami oleh orang yang berpengetahuan luas. Meskipun secara dasar, ke’asing’an itu sangatlah relatif, namun keberadaan gharib al-Qur’an menjadi bukti atas ke’asing’an itu.

Baca juga: Lembaran Surah Taha dan Kisah Keislaman Umar bin Khattab

Cikal bakal kamus Al-Qur’an mulai ada sejak generasi awal. Hal ini bermula pada beberapa kisah saat sahabat membaca Al-Qur’an namun ia tidak mengetahui maknanya. Misalnya, ketika Umar bin Khattab sedang berceramah di mimbar, ia pun membacakan ayat 31 Surat ‘Abasa, yakni وَفَٰكِهَةً وَأَبًّا (dan buah-buahan serta rumput-rumputan). Namun, saat itu Umar bin Khattab hanya mengetahui makna fakihah, dan kebingungan atas makna abba.

Di lain kesempatan, Sahabat yang dikenal sebagai habrul ummah (samudera umat), dan tarjuman Al-Qur’an (juru bicara Al-Qur’an) Ibnu Abbas pun pernah tidak mengetahui kata dalam Al-Qur’an. Saat itu Ibnu Abbas kesulitan memaknai فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ, beruntungnya ia mendengar dua orang dari suku pedalaman Arab yang sedang cekcok tentang kepemilikan sumur. Orang pertama menyebut ana fatartuha dan yang lain berkata ana ibtada’tuha. Kedua kata ini artinya mereka saling mengaku sebagai orang yang pertama kali membuat sumur. Setelah melihat percekcokan itu, Ibnu Abbas baru tahu makna kata fatir.

Umar bin Khattab juga pernah mengangap kata takhawwuf dalam Surah An-Nahl ayat 47 sebagai kata yang asing. Ia pun bertanya di hadapan sahabat, “Apa pendapat kalian tentang makna takhawwuf?” Kemudian seorang dari Bani Huzail menunjukkan jawabannya, “Dalam dialek bangsa kami, takhawwuf bermakna tanaqqus (berangsur-angsur)” seraya menunjukkan syair gubahan Abu Kabir Al-Hudzali.

Baca juga: Makki Al-Qaisi, Imam Qiraat yang Terlupakan dan Keragaman Bacaan yang Dihadirkannya

Kata Asing dan Peran Ibnu Abbas

Ibnu Abbas merupakan salah satu sahabat yang memopulerkan pemaknaan kata asing dalam Al-Qur’an dengan merujuk syair Arab kuno. Ibnu Abbas pun menyebut bahwa syair merupakan ensiklopedia bangsa Arab yang mana jika kesulitan memaknai kata dalam Al-Qur’an, maka merujuk syair itu akan mendapatkan maknanya.

Suatu ketika di serambi Ka’bah, Ibnu Abbas pernah kedatangan dua orang dari kelompk Khawarij Nafi’ ibn Al-Azraq dan Najdah ibn Uwaimir. Kedua orang itu meminta penjelasan makna kata-kata asing dalam Al-Qur’an, namun refrensi yang digunakan oleh Ibnu Abbas adalah syair. Misalnya mereka bertanya makna عِزِينَ dalam Surat Al Ma’arij ayat 37, maka Ibnu Abbas pun menjawab berdasarkan syair Arab yang bermakna sekelompok kawan.

Secara makna, ayat عَنِ ٱلْيَمِينِ وَعَنِ ٱلشِّمَالِ عِزِينَ ini bermakna “dari kanan dan dari kiri dengan berkelompok-kelompok”.

Dan syair yang digunakan sebagai rujukan Ibnu Abbas adalah syair anggitan Ubaid ibn al-Abrash sebagai berikut,

فجاءوا يهرعون إليه حتى يكونوا حول منبره عزينا

“Mereka datang kepadanya tergopoh-gopoh, akhirnya mereka berkelompok di sekitar mimbar”.

Kisah ini pun tercatat dalam kitab Al-Itqan fi ulumil Qur’an karangan Imam As-Suyuthi. Selain itu, peristiwa tanya jawab Ibnu Abbas dengan Nafi’ ibn al-Azraq dan Najdah ibn Uwaimir tadi juga didokumentasikan dengan judul masa’il Nafi ibn al-Azraq fi Gharib al-Qur’an. Menariknya, kata-kata yang ditanyakan itu mencapai 190 permasalahan. Sehingga kisah ini kemudian dianggap menjadi cikal bakal adanya kamus Al-Qur’an.

Baca juga: Mengenal Jami’ al-Bayan, Pelopor Tafsir Al-Quran Dalam Islam Karya Ibnu Jarir At-Thabari

Perkembangan Kamus Al-Qur’an

Muchlis Hanafi mencatat bahwa seiring berkembangnya Islam, pembahasan gharib al-Qur’an merupakan salah satu tema yang populer. Tak hanya itu, penyusunan kamus Al-Qur’an pun ia bagi menjadi dua kelompok, yakni kamus berdasarkan urutan mushafi, dan alfabetis. Hal ini ia jelaskan dalam artikelnya Leksikografi Al-Qur’an; ke Arah Penyusunan Kamus Al-Qur’an”.

Pembagian pertama menurut Hanafi yakni berdasarkan urutan mushaf. Maka kamus model ini ditulis berdasarkan Surat Al-Fatihah sampai terakhir akhir mushaf. Cara ini merupakan gaya yang digunakan mayoritas penulis kamus Al-Qur’an. Mereka yaitu Zaid bin ‘Ali (w.120 H), Abū ‘Ubaidah (w. 210 H), Abū ‘Abdirrahmān al-Yazidi (w. 237 H), Ibn Qutaibah (w. 276 H), Gulām Sa‘lab (w. 354 H), Makki bin Abī Talib (w. 437 H), AlKirmani (w.531 H), Ibn al-Jauzi (w. 597 H), Ibn al-Mulaqqin (w.804 H), Ibn al-Hā’im (w.815 H) dan lainnya.

Sementara gaya kamus Al-Qur’an berdasarkan alfabetis ini juga ada dua bentuk. Pertama alfabetis tanpa membedakan huruf asli dan tambahan, contoh kamus ini adalah Nuzat al-Qulub fi Tafsir Gharib Al-Qur’an karya Abu Bakar Muhammad bin Uzaiz as-Sijistani (w. 330 H). Sedangkan contoh kamus Al-Qur’an yang alfabetis dan hanya memperhatikan asal kata adalah kitab Al-Girbani: Gharib al-Qur’an wa al-Hadits karya Abu Ubaid al-Harawi (w. 401 H).

Perkembangan kamus seperti ini pun merambah ke Indonesia seperti yang berhasil diterbitkan oleh Tim Prof. M. Quraish Shihab dengan judul Ensiklopedia Al-Qur’an. Kamus ini berbeda dari kamus yang menggunakan bahasa Arab, karena urutannya berdasarkan alfabet latin.

Proses Panjang adanya kamus Al-Qur’an merupakan karya kongkret dari adanya kata-kata asing yang terhimpun dari gharib al-Qur’an. Karena dokumentasi kisah Ibnu Abbas tadi, kamus seperti ini dapat kita jumpai saat ini.

Wallahu a’lam[].

Mengenal Istilah Mutaqaribain dalam Ilmu Tajwid dan Contohnya dalam Al-Quran

0
Mutaqaribain
Mutaqaribain

Pembahasan tentang hubungan antar huruf masih diangkat dalam tulisan kali ini. Bukan pada huruf yang memiliki kesamaan sebagaimana mutamatsilain, namun yang berdekatan atau berjauhan makhraj maupun sifatnya. Keduanya biasa dikenal dengan nama Mutaqaribain dan Mutaba’idain. Pada tulisan ini kita akan fokus pada penjelasan tentang mutaqaribain.

Pengertian Mutaqaribain

Beberapa ulama Qurra, seperti Qamhawi dalam al-Burhan fi Tajwid al-Quran dan Sa’ad Abdul Hamid dalam Taysir al-Rahman fi Tajwid al-Quran, membagi pengertian  Mutaqaribain menjadi tiga.

Pertama,

الحَرْفَانِ الَّلذَانِ تَقَارَبَا فيِ الْمَخْرَجِ وَ الصِّفَةِ

Dua huruf yang berdekatan makhraj dan sifatnya. Contohnya huruf Nun dan Lam pada lafadz مِنْ لَدُنْهُ

Kedua,

الحَرْفَانِ الَّلذَانِ تَقَارَبَا فيِ الْمَخْرَجِ دُوْنَ الصِّفَةِ

Dua huruf yang berdekatan makhrajnya, sifatnya tidak. Contoh huruf Dhod dan Ra dalam kata وَاضْرِبْ لَهُمْ

Ketiga,

هُمَا الحَرْفَانِ الَّلذَانِ تَقَارَبَا فيِ الصِّفَةِ دُوْنَ الْمَخْرَجِ

Dua huruf yang berdekatan sifatnya, makhrajnya tidak.  Contoh huruf Dal dan Kaf pada lafadz  لَقَدْ كَانَ لَكُمْ

Definisi menurut pendapat yang paling kuat adalah yang ketiga, yakni dua huruf yang berdekatan sifatnya, namun makhrajnya tidak.

Pembagian Mutaqaribain

Macam-macam Idgham Mutaqaribain memiliki kesamaan dengan Idgham Mutamatsilain dan Mutajanisain, yakni tiga jenis dengan nama yang sama. Perbedaannya hanya pada sifat hurufnya yang berdekatan. Ketiga jenis tersebut yaitu,

  1. Shaghir

Jenis ini berlaku jika huruf yang pertama sukun sedangkan yang kedua berharakat. Hukum bacaannya adalah Idhar pada sebagian besar bacaannya , Contoh lafadz مِن رِزْقٍ.

2. Kabir

Jika terdapat dua huruf berharakat maka disebut Mutaqaribain Kabir. Hukum bacaannya adalah idhar. contoh: و الَّذَارِيَاتِ ذَرْوًا

3. Muthlaq

Apabila huruf yang pertama berharakat dan yang kedua sukun, Namanya Mutaqaribain Muthlaq. Hukum bacaannya menurut seluruh ahlul Qurra adalah Idhar contoh: سُنْدُسٍ

Setelah mengetahui sekilas tentang Mutaqaribain, perlu untuk mengetahui pasangannya, yakni Mutaba’idain. keduanya memiliki perbedaaan pada posisi makhraj dan sifat hurufnya.

Contoh-contoh dalam al-Qur’an

Surat al-Baqarah Ayat 29

وَلَقَدْ جَاءَكُمْ مُوْسَى بِالْبَيِّنَاتِ

Surat al-Isra’ Ayat 80

وَ قُلْ رَّبِّ أَدْخِلْنِيْ مُخْرَجَ صِدْقٍ

Surat an-Nas Ayat 5

الَّذِيْ يُوَسْوِسُ فىِ صُدُوْرِالنَّاسِ

Lembaran Surah Taha dan Kisah Keislaman Umar bin Khattab

0
Kisah Keislaman Umar
Kisah Keislaman Umar

Umar bin Khattab adalah salah satu dari empat sahabat terdekat Nabi Muhammad saw (al-khulafa’ al-rasyidin). Sebagai umat Islam, kita tentu tidak asing dengan namanya, sosok yang terkenal dengan keberanian tiada tara dan yang menopang Islam di Mekah kala kaum Quraisy semakin gencar menggempur. Namun siapa sangka – dibalik citra sosok pemberani – kisah keislaman Umar berkaitan dengan lembaran surah Taha yang menggetarkan hatinya.

Sebelum masuk Islam, Umar bin Khattab dikenal sebagai seorang yang memiliki permusuhan kuat terhadap Islam dan kaum muslimin. Karena pada waktu itu, para bangsawan Arab – termasuk Umar – sangat tidak setuju dengan dakwah nabi Muhammad saw. Menurut mereka, beliau telah menyimpang dari ajaran nenek moyang dan berpotensi merusak tatanan masyarakat Arab.

Dalam pandangan Umar bin Khattab – sebagai salah satu pemuka Quraisy – nabi Muhammad saw telah memecah belah kaum Quraisy yang selama ini berada dalam keadaan damai dan beliau juga dianggap telah menghina agama serta tuhan-tuhan yang dipercaya oleh bangsa mereka. Oleh karena itu, nabi saw harus dihilangkan agar berbagai masalah itu terselesaikan. Namun atas izin Allah swt, ia malah beriman dan menjadi sosok pelindung Islam di Mekah.

Kisah Keislaman Umar bin Khattab Setelah Mendengar Surah Taha

Menurut Abdul Hasan ‘Ali al-Hasani dalam bukunya Sirah Nabawiyah, kisah keislaman Umar bin Khattab bermula ketika nabi Muhammad saw berdoa kepada Allah swt agar salah seorang dari pemuka bangsa Quraisy masuk Islam dan kehadirannya diharapkan dapat menopang kaum Muslimin di Mekah yang mayoritas berasal dari kalangan masyarakat biasa.

Dikisahkan, pada suatu malam Umar bin Khattab datang ke Masjidil Haram secara sembunyi-sembunyi untuk mendengarkan bacaan shalat Nabi Muhammad saw. Pada waktu itu nabi saw sedang membaca surah al-Haqqah dan Umar yang mendengarnya lalu kagum dan berkata pada dirinya sendiri, “Demi Allah, ini adalah syair sebagaimana yang dikatakan kaum Quraisy.”

Kemudian Umar mendengar Rasulullah membaca ayat 40-41 (yang menyatakan bahwa Al-Qur’an bukan syair). Lantas ia berkata, “Kalau begitu berarti dia itu dukun.” Lalu ia mendengar Rasulullah membaca ayat 42 (yang menyatakan bahwa Al-Qur’an bukanlah perkataan dukun). Akhirnya ia berkata, “Telah terbetik Islam di dalam hatiku.” Akan tetapi karena kuatnya fanatisme terhadap agama nenek moyang, maka beliau tetap memusuhi Islam.

Pada suatu hari – setelah kehadiran nabi saw dianggap berbahaya – Umar keluar dengan menghunus pedangnya bermaksud membunuh Rasulullah. Dalam perjalanan, ia bertemu dengan Nu’aim bin Abdullah al-‘Adawi, seorang laki-laki dari Bani Zuhrah. Lelaki itu berkata kepada Umar bin Khattab, “Mau ke mana engkau wahai Umar?” Umar bin Khattab menjawab, “Aku ingin membunuh Muhammad.”

Nu’aim lalu menuding Umar telah menipu diri sendiri, sebab saudara perempuan Umar, Fatimah binti Khattab dan anak pamannya, Sa’id bin Zaid sudah masuk Islam mengikuti ajaran Muhammad saw. Nu’aim berkata, “Jadi engkau harus mengurusi mereka lebih dulu.” Mendengar jawaban itu, Umar pun berbalik badan dan tak jadi ke bukit Shafa. Ia kemudian menuju kediaman adik perempuannya dengan perasaan marah dan malu.

Ketika sampai di rumah adiknya, Umar langsung masuk ke pekarangan dan sayup-sayup mendengar suara bacaan Al-Qur’an Fatimah, Sa’id dan Khabbab yang kebetulan juga ada di sana. Saat mengetahui bahwa yang datang Umar, Fatimah dan Sa’id menyembunyikan lembaran surah Taha. Umar sempat menanyakan suara bacaan yang dibaca Fatimah. Namun baik Fatimah mau pun Sa’id kompak menjawab tak ada suara apa-apa.

Tak puas dengan jawaban adik dan iparnya, Umar mencengkeram Sa’id sambil berkata, “Aku telah diberitahu bahwa kalian telah menjadi pengikut agama Muhammad.” Fatimah lantas bermaksud membela suaminya, namun ia malah mendapat pukulan dari Umar hingga berdarah. Umar menyesal telah memukul sang adik, lalu dengan suara tak lagi meninggi dia meminta agar Fatimah dan Sa’id menunjukkan lembaran surah Taha yang baru saja mereka baca.

Sang adik, Fatimah kemudian menjawab, “Kamu itu kotor. Tidak boleh menyentuh kitab itu kecuali orang yang bersuci. Oleh karenanya, mandilah terlebih dahulu wahai saudaraku!” Lantas Umar bin Khattab mandi dan mengambil lembaran surah Taha yang ada pada adik perempuannya. Ketika membaca surah Taha, dia memuji dan memuliakan isinya, kemudian minta ditunjukkan keberadaan Rasulullah saw.

Ketika Khabab mendengar perkataan Umar bin Khattab, dia muncul dari persembunyiannya dan berkata, “Aku akan beri kabar gembira kepadamu, wahai Umar! Aku berharap engkau adalah orang yang didoakan Rasulullah saw pada malam Kamis, “Ya Allah, muliakan Islam dengan Umar bin Khattab atau Abu Jahl (Amru) bin Hisyam.”

Berangkatlah Umar menuju rumah nabi Muhammad saw dengan membawa pedang. Ketika sampai di sana, ia mengetuk pintu dan menunggu jawaban dari dalam rumah. Salah seorang sahabat pada waktu itu menengoknya dari celah pintu dan segera memberitahu Rasulullah yang sedang berkumpul dengan sahabat lain bahwa Umar telah datang dengan membawa pedang.

Hamzah bin Abdul Muthalib berkata, “Bukalah pintunya, kalau dia menginginkan kebaikan, maka kita akan menerimanya, tetapi kalau menginginkan kejelekan, maka kita akan membunuhnya dengan pedang.” Kemudian Rasulullah menemui Umar bin Khattab dan berkata kepadanya, “Ya Allah, ini adalah Umar bin Khattab. Ya Allah, muliakan Islam dengan Umar bin Khattab.”

Seketika itu pula Umar ber-syahadat dan orang-orang yang berada di rumah tersebut bertakbir dengan keras. Berkenaan dengan keislaman Umar, Abdullah bin Mas’ud pernah berkomentar, “Kami senantiasa berada dalam kejayaan semenjak Umar bin Khattab masuk Islam.” Demikian kisah keislaman Umar bin Khattab yang mendapat hidayah berkat doa Rasulullah saw. Wallahu a’lam.

Mencontoh Spirit dan Doa Nabi Sulaiman dalam Mensyukuri Nikmat

0
Doa Nabi Sulaiman untuk mensyukuri nikmat
Doa Nabi Sulaiman untuk mensyukuri nikmat

Nafsu manusia memang tidak pernah puas terhadap apa yang telah dimilikinya, berapa pun besarnya nikmat yang telah Allah berikan kepadanya. Sifat manusia yang tidak mensyukuri nikmat tersebut seringkali menjadikannya terjerumus ke dalam jurang kesalahan. Banyak manusia yang mengalami depresi karena terus merasa kekurangan. Banyak pula yang syok dan darah tinggi sebab kecewa karena keinginannya tidak terpenuhi.

Hal yang sangat jauh dari seorang mukmin yang mempunyai Allah sebagai sandaran. Padahal Allah sendiri telah berjanji dalam surah Ibrahim ayat 7 bahwa Allah akan menambah nikmat seorang hamba apabila ia bersyukur, dan akan mengadzab hamba-Nya yang tidak bersyukur.

Islam menuntun kita untuk selalu menjadi hamba yang bersyukur. Dalam Al-Quran kita bisa meneladani Nabi Sulaiman. Nabi Sulaiman adalah salah satu nabi yang pandai bersyukur. Beliau dianugerahi Allah kerajaan dan kekayaan luar biasa, namun tidak pernah terbesit kufur nikmat sedikitpun dalam hatinya. Beliau gunakan seluruh nikmat yang tersebut sebagai sarana ibadah, karena beliau sadar bahwa pada hakikatnya semua itu milik-Nya, atas pemberian-Nya, dan akan kembali kepada-Nya. Sebagai seorang muslim, spirit Nabi Sulaiman ini perlu kita tiru, dan doa beliau bisa kita contoh.

Baca juga: Tafsir Surat Ibrahim Ayat 7: Hikmah dan Cara Mensyukuri Nikmat Allah

Meniru spirit Nabi Sulaiman

Dalam Tafsir al-Mishbah, Quraish Shihab menjelaskan, Nabi Sulaiman adalah seorang pewaris kerajaan dari ayahnya, Nabi Daud. Kerajaan yang dikuasainya tidak hanya meliputi manusia saja, melainkan dari golongan hewan dan juga golongan jin. Tidak ada seorang manusia sesudah beliau yang mampu menyamai besarnya kerajaaan yang beliau miliki. Hal ini seperti pinta beliau yang terekam dalam surah Shad ayat 35:

 قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكًا لَا يَنْبَغِي لأحَدٍ مِنْ بَعْدِي إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ

 “Ya Tuhanku, ampunilah segala apa yang telah aku lakukan dan berikanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang pun sesudahku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi lagi banyak karunia-Nya”

Kerajaan yang Nabi Sulaiman dapatkan berkenaan dengan pembuatan Masjid Baitul Maqdis. Menurut penjelasan Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Quran al-‘Adzim, berdasarkan hadis riwayat Imam Ibnu Majah dan Imam Nasai, ketika Nabi Sulaiman telah menyelesikan pembuatan Baitullah tersebut, Allah memberikan hadiah kepada Nabi Sulaiman berupa permintaan yang akan dikabulkan-Nya.

Baca juga: Kisah Nabi Sulaiman Dalam Al-Quran: Kepribadiannya Sebelum Menjadi Raja

Nabi Sulaiman pun akhirnya meminta tiga perkara. Permintaan pertama yaitu meminta ilmu kebijaksanaan yang sesuai dengan kebijaksanaan Allah. Permintaan kedua adalah meminta kerajaaan yang tidak dimiliki seseorang sesudahnya. Dan yang ketiga adalah meminta seseorang yang datang ke masjid tersebut dengan niat untuk shalat di dalamnya, maka bersihlah dosa-dosanya sebagaimana ketika ia dilahirkan ibunya.

Sebagai umat Islam, spirit Nabi Sulaiman tersebut dapat kita teladani. Nabi Sulaiman tidak lantas mendapatkan nikmat secara instan. Tetapi, terlebih dahulu ia menunaikan tugas dari Allah dengan perasaan gembira. Dan ketika diberi hadiah Allah berupa permintaan, yang beliau minta tidaklah hanya berupa materi kerajaan semata. Namun juga ilmu kebijaksanaan dan yang paling penting adalah nilai spiritual agar manusia selalu beribadah kepada Allah.

Berdoa agar dijadikan hamba yang senantiasa bersyukur

Meskipun dianugerahi kenikmatan melimpah dan kerajaan yang tidak ada yang menandingi, Nabi Sulaiman tidak merasa sombong dan congkak. Beliau justru meminta agar Allah menjadikannya seorang hamba yang selalu bersyukur. Berikut doa beliau yang perlu kita contoh dan amalkan dalam Surat An-Naml ayat 19:

رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَدْخِلْنِي بِرَحْمَتِكَ فِي عِبَادِكَ الصَّالِحِينَ

“Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang (ibu dan ayahku) dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh.”

Sifat hewani manusia memang tidak pernah puas terhadap apapun yang dimilikinya. Seperti yang telah disabdakan Rasulullah SAW “andaikan manusia diberi dua lembah yang penuh harta, tentu ia masih menginginkan lembah yang ketiga. Yang bisa memenuhi perut manusia hanyalah tanah” (HR. Bukhari).

Baca juga: Kisah Nabi Sulaiman dan Ratu Balqis Dalam Al-Quran

Namun, sifat hewani tersebut dapat dihindari dengan meminta perlindungan kepada Allah melalui doa dan ikhtiar. Karena seorang manusia juga mempunyai sifat-sifat ilahiyah dan akan hadir tatkala ia membersihkan diri dan mendekatkan diri kepada Allah. Sifat mengeluh dan tamak akibat kurang syukur pun bisa dibuang jika manusia mau. Tentunya, diri kita akan merasa bahagia jika kita senantiasa merasa syukur dan cukup dengan segala nikmat yang telah diberikan-Nya. Wallahu a’lam[]

Mengenal Mushaf Pra-Utsmani (3): Mushaf Ibnu Mas’ud

0
Mushaf Ibnu Mas'ud
Mushaf Ibnu Mas'ud

Sebelum adanya proses stardarisasi mushaf, beberapa sahabat Nabi telah memiliki berbagai kumpulan salinan Al-Qur’an yang kemudian dijadikan oleh sekumpulan komunitas umat Islam sebagai rujukan bacaan Al-Qur’an. Salah satu produk mushaf pra-utsmani yang terkenal dan memiliki pengaruh yang luas saat itu adalah mushaf Ibnu Mas’ud.

Biografi Ibnu Mas’ud

Seorang sahabat ahli Al-Qur’an yang memiliki nama asli Abdullah ibn Mas’ud ini dilahirkan dari seorang ayah yang bernama Mas’ud ibn Ghafil dan ibu yang bernama Ummu ‘Abd bint ‘Abd Wadd. Keluarga Ibnu Mas’ud ini masih bagian dari kabilah Hudzail, karena nasab keluarga tersebut tersambung hingga Hudzail ibn Mudrikah ibn Ilyas ibn Mudhar.

Ibnu Mas’ud juga mendapatkan kunyah (nama panggilan) dari Rasulullah dengan sebutan Abu Abdurrahman. Selain itu, beliau juga memiliki laqab (julukan) dengan nama Ibnu Ummi ‘Abd. Ibnu Mas’ud menikah dengan dua istri, yaitu Raithah dan Zainab. Dari pernikahan tersebut menghasilkan tiga anak laki-laki dan beberapa anak perempuan. Beliau dalam beberapa kesempatan juga turut serta berpartisipasi dalam beberapa peperangan, seperti Perang Badr, Perang Uhud, dan Perang Yarmuk.

Baca Juga: Para Tabi’in Utama Jebolan Madrasah Tafsir Ibn Mas’ud di Irak

Selama hidupnya, Ibnu Mas’ud tumbuh dalam keadaan senantiasa berdekatan dengan Rasulullah, baik siang maupun malam dan dalam keadaan mukim ataupun safar. Sehingga tidak heran dengan kedekatan tersebut, Ibnu Mas’ud mampu meriwayatkan 70 surah secara langsung dari lisan Nabi.

Bahkan, dalam kitab Abdullah ibn Mas’ud: ‘Amid Hamlah al-Qur’an wa Kabir Fuqaha’ al-Islam karya ‘Abd al-Sattar al-Syaikh, terdapat riwayat yang menjelaskan bahwa Ibnu Mas’ud adalah orang pertama setelah Rasulullah yang membaca Al-Qur’an secara lantang dan terang-terangan di Makkah. Sekalipun saat itu mendapat tanggapan keras dari kaum kafir Quraisy saat itu.

Kemudian, sama halnya dengan Ubay ibn Ka’ab, Ibnu Mas’ud juga diberi otoritas oleh Nabi untuk mengajarkan Al-Qur’an kepada umat Islam. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Jami’ al-Masanid wa al-Sunan dari jalur Abu Mu’awiyah, dalam sebuah sabda Nabi berikut:

خُذُوْ القُرْآنَ مِنْ أَرْبَعَةٍ: مِنْ ابْنِ مَسْعُوْدٍ وَأُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ وَمُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ وَسَالِمِ مَوْلَى أَبِيْ حُذَيْفَةَ

Ambillah bacaan Al-Qur’an dari empat orang: Ibnu Mas’ud, Ubay ibn Ka’ab, Mu’adz ibn Jabal dan Salim maula Abu Hudzaifah” (Hadis no. 748)

Ibnu Mas’ud wafat pada tahun 32 H/33 H di kota Madinah, dimana saat itu umur beliau telah mencapai 60 tahun. Dalam proses pemakamanya, khalifah Utsman ibn ‘Affan turut serta melakukan shalat jenazah terhadap jasad sang pakar Al-Qur’an tersebut. Beliau dimakamkan di pemakaman Baqi’, Madinah.

Baca Juga: Mengenal Mushaf Pra-Utsmani (1): Sejarah Awal Mula Penulisan Mushaf dan Klasifikasinya

Struktur Sistematika Mushaf Ibnu Mas’ud

Salah satu karakteristik mushaf Ibnu Mas’ud adalah terletak pada susunan surah yang berbeda dengan mushaf utsmani. Dalam kitab al-Itqan fi Ulum al-Qur’an karya Jalaluddin al-Suyuthi, beliau menyebutkan bahwa jumlah surah pada mushaf Ibnu Mas’ud terdapat sebanyak 112 surah, karena dalam mushaf tersebut tidak memasukkan surah al-Mu’awwidzatain (al-Falaq dan al-Nas).

Namun, dalam proses perincianya, al-Suyuthi hanya menyebutkan 108 surah. Dengan demikian, maka ketika proses perincianya al-Suyuthi tidak menyebutkan surah al-Fatihah [1], Qaf [50], al-Hadid [57], dan al-Haqqah [69]. Skema rincian susunan surah mushaf Ibnu Mas’ud tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut:

No. Nama Surah No. Nama Surah No. Nama Surah
1 al-Baqarah 37 Luqman 73 ‘Abasa
2 al-Nisa’ 38 al-Zumar 74 al-Insan
3 Ali ‘Imran 39 al-Mu’min 75 al-Mursalat
4 al-A’raf 40 al-Zukhruf 76 al-Qiyamah
5 al-An’am 41 Fushshilat 77 al-Naba’
6 al-Ma’idah 42 al-Syura 78 al-Takwir
7 Yunus 43 al-Ahqaf 79 al-Infithar
8 al-Taubah 44 al-Jatsiyah 80 al-Ghasyiyah
9 al-Nahl 45 al-Dukhan 81 al-A’la
10 Hud 46 al-Fath 82 al-Lail
11 Yusuf 47 al-Hasyr 83 al-Fajr
12 al-Kahfi 48 al-Sajdah 84 al-Buruj
13 al-Isra’ 49 al-Thalaq 85 al-Insyiqaq
14 al-Anbiya’ 50 al-Qalam 86 al-’Alaq
15 Thaha 51 al-Hujurat 87 al-Balad
16 al-Mu’minun 52 al-Mulk 88 al-Dhuha
17 al-Syu’ara 53 al-Taghabun 89 al-Thariq
18 al-Shaffat 54 al-Munafiqun 90 al-’Adiyat
19 al-Ahzab 55 al-Jumu’ah 91 al-Ma’un
20 al-Hajj 56 al-Shaff 92 al-Qari’ah
21 al-Qashash 57 al-Jinn 93 al-Bayyinah
22 al-Naml 58 Nuh 94 al-Syams
23 al-Nur 59 al-Mujadilah 95 al-Tin
24 al-Anfal 60 al-Mumtahanah 96 al-Humazah
25 Maryam 61 al-Tahrim 97 al-Fil
26 al-Ankabut 62 al-Rahman 98 Quraisy
27 al-Rum 63 al-Najm 99 al-Takatsur
28 Yasin 64 al-Thur 100 al-Qadr
29 al-Furqan 65 al-Dzariyat 101 al-Zalzalah
30 al-Hijr 66 al-Qamar 102 al-’Ashr
31 al-Ra’d 67 al-Waqi’ah 103 al-Nashr
32 Saba’ 68 al-Nazi’at 104 al-Kautsar
33 al-Malaikah (Fathir) 69 al-Ma’arij 105 al-Kafirun
34 Ibrahim 70 al-Mudatstsir 106 al-Lahab
35 Shad 71 al-Muzammil 107 al-Ikhlash
36 Muhammad 72 al-Muthaffifin 108 al-Insyirah

Taufik Adnan Amal dalam karyanya Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an menjelaskan bahwa perbedaan mendasar antara mushaf Ibnu Mas’ud dengan mushaf utsmani adalah terkait beberapa aspek berikut: Pertama, perbedaan vokalisasi konsonan yang sama, semisal kata rusydan dibaca rasydan. Kedua, pemberian titik diakritis (i’jam) terhadap kerangka konsonantal yang sama ataupun yang berbeda, seperti titik ba dalam kata busyran diganti dengan titik nun sehingga berubah menjadi nusyran.

Ketiga, penyisipan atau pengurangan kata/sekelompok kata, misalnya kata tathawwa’a khairan disisipi kata bi sehingga menjadi tathawwa’a bi khairin. Keempat, perbedaan kerangka grafis kata-kata tertentu, semisal kata ihdina (Q.S. al-Fatihah [1]: 6) dalam teks utsmani dibaca arsyidna dalam teks mushaf Ibnu Mas’ud. Serta masih banyak ragam perbedaan lainya.

Baca Juga: Mengenal Mushaf Pra-Utsmani (2): Mushaf Ubay ibn Ka’ab

Sebagai tambahan, Ibn Abi Dawud menceritakan dalam kitabnya al-Mashahif, tatkala Utsman mengirim salinan resmi mushaf utsmani ke Kufah, sekaligus dengan perintah untuk membakar mushaf-mushaf lainya, termasuk mushaf milik Ibnu Mas’ud. Mendengar hal itu, maka Ibnu Mas’ud pun marah seraya berkata:

Bagaimana engkau menyuruhku untuk membaca qira’ah (hasil salinan teks) Zaid ibn Tsabit, sedangkan aku telah membaca Al-Qur’an dari lisan Nabi secara langsung sebanyak 70 surah, dan Zaid saat itu hanya memiliki rambut dua helai (masih kecil). Bahkan, saat itu ia dalam keadaan sedang bermain dengan anak-anak kecil lainya

Namun demikian, pada akhirnya Ibnu Mas’ud pun mulai ridha dan menerima salinan mushaf resmi hasil kodifikasi dari tim penulis wahyu yang dibentuk oleh Utsman ibn ‘Affan. Sehingga mengakibatkan beberapa penduduk Kufah mulai menerima mushaf utsmani sebagai ganti dari mushaf Ibnu Mas’ud.

Walaupun di Kufah terdapat sejumlah muslim yang menerima mushaf utsmani, namun tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian besar penduduk Kufah masih berpegang pada mushaf Ibnu Mas’ud. Hal ini dikarenakan mushaf Ibnu Mas’ud termasuk mushaf yang paling berpengaruh di Kufah. Kuatnya pengaruh tersebut dapat dilihat dari sejumlah produk mushaf sekunder yang masih menjadikan mushaf Ibnu Mas’ud sebagai rujukan utama, seperti mushaf Alqamah ibn Qaism, mushaf al-Rabi’ ibn Khutsaim, dan masih banyak lainya. Wallahu A’lam

Makki Al-Qaisi, Imam Qiraat yang Terlupakan dan Keragaman Bacaan yang Dihadirkannya

0
Imam Qira'at Makki Al-Qaisi
Imam Qira'at Makki Al-Qaisi yang terlupakan

Ada salah satu Imam dalam kajian qiraat yang hampir terlupakan, yaitu Imam Makki Al-Qaisi. Ilmu qiraat sendiri adalah salah satu kajian penting dalam studi Al-Quran. Sebab, ilmu ini akan mengkaji keabsahan teks Al-Quran baik dari segi pengucapan maupun penulisannya. Selain itu, menurut KH. Ahsin Sakho Muhammad, fenomena qiraat menjadi bukti menyatunya unsur langit dan bumi, adanya harmonisasi antara kalamullah yang sakral dengan realitas budaya manusia dalam bertutur kata.

Nah, dalam mengkaji qiraat ada beberapa nama yang selalu dikutip seperti Ibn Mujahid (w. 324 H), Abu ‘Amr Ad-Dani (w. 444 H) dan Ibn Al-Jazari (w. 833 H). Namun, ternyata ada nama lain dalam kajian qiraat yang tak boleh dinafikan perannya, yaitu Imam Makki al-Qaisi (355-437 H).

Setidaknya ada dua karya penting al-Qaisi dalam kajian qiraat, yaitu Al-Ibanah ‘an Ma’ani Al-Qira`at; kitab tipis namun kaya referensi sebagai pengantar untuk mengkaji qiraat lebih jauh dalam kitabnya yang lain yang berjudul Al-Kasyfu ‘an Wujuh Al-Qira`at.

Baca juga: Jangan Menggunjing! Pesan Surat Al-Hujurat Ayat 12 Untuk Menjaga Tali Persaudaraan

Selain wacana qiraat, beliau juga menulis sejumlah tema seperti naskh wa al-mansukh, i’jaz al-Quran, dan juga seputar ilmu tajwid. Karenanya dari segi otoritas, al-Qaisi mempunyai peranan penting dalam perkembangan studi Al-Quran pada abad ke-5 H. Lantas, mengapa namanya penting untuk diperhatikan dalam kajian qiraat secara khusus?

Alasan pertama adalah karya-karya beliau yang menjadi rujukan penting bagi ulama-ulama selanjutnya dalam studi qiraat. Bahkan sekelas Imam Ibn al-Jazari pun banyak mengutip pandangan Imam Makki Al-Qaisi. Dengan kata lain, bagi para pengkaji yang ingin mendalami kajian ilmu qiraat, wajib hukumnya membaca kitab-kitab al-Qaisi.

Kedua, beliau mengangkat beberapa isu yang menarik untuk dibincangkan lebih lanjut. Misalnya seputar makna hadis al-ahruf al-sab’ah dan klasifikasi qiraat yang dibahas oleh Makki al-Qaisi menggambarkan perkembangan ilmu qiraat pada abad ke-5 H.

Baca juga: Tafsir Ayat Poligami yang Tidak Pernah Usai dan Kisah Imam Abu Hanifah Membela Perempuan

Gagasan lain yang dijelaskan oleh Al-Qaisi adalah bahwa bacaan setiap imam qiraat juga dapat disebut huruf, sehingga ada ungkapan qara`a biharfi nāfi’, biharfi ubay, dan lain-lain. Penjelasan al-Qaisi tersebut menggambarkan dimensi kelisanan yang sangat kuat dalam proses tranmisi qiraat. Memang dapat dipahami bahwa fenomena al-Quran pada awalnya adalah potret kelisanan. Bahkan di saat Al-Quran sudah menjadi “teks”, dimensi kelisanan Al-Quran tetap terjaga dengan eksistensi ilmu qiraat, tajwid, dan lain-lain.

Hal lain yang unik dari Al-Qaisi adalah seputar istilah yang digunakan dalam wacana qiraat. Ia memilih istilah al-masyhurah untuk menggambarkan qiraat yang dikenal secara luas daripada menggunakan diksi al-mutawatirah. Boleh jadi memang di masa Makki Al-Qaisi, penggunaan kata yang pertama lebih populer daripada yang kedua atau bisa saja kedua kata tersebut masih sering digunakan secara bersamaan dan belum ada definisi pembeda antara keduanya. Barulah pada perkembangan selanjutnya istilah qiraat mutawatir menjadi diksi yang mempunyai arti baku sebagaimana yang dipahami saat ini.

Makki al-Qaisi juga mengajak kita untuk melihat wacana qiraat secara beragam. Ini menjadi poin plus untuk menegaskan pentingnya mempelajari keragaman qiraat. Sehingga kita tidak menjadi umat yang “kagetan”. Misalnya saja pada akhir kitab Al-Ibanah, beliau memberikan contoh keragaman qiraat dari surat Al-Fatihah. Beliau membagi pusparagamnya ke dalam tiga bagian.

Pertama, perbedaan imam sab’ah yang terkenal, diamalkan bacaannya dan sesuai dengan rasm. Inilah bacaan yang kita kenal hingga saat ini. Misalnya bacaan Imam ‘Ashim dan Kisa`i maliki yaum ad-din, dengan alif pada kata malik. Sedangkan imam lainnya membaca kata tersebut dengan tanpa alif sehingga menjadi maliki yaum ad-din. Bacaan lain yang berbeda misalnya pada kata ash-shirath. Ada ulama yang membacanya dengan huruf sin menjadi as-sirath. Ada juga ulama yang melantunkannya dengan isymam, antara huruf shad dan zay, al-zshirat.

Kedua, perbedaan bacaan imam yang terkenal, tetapi tidak masuk dalam qiraat sab’ah, sesuai dengan mushaf dan juga ada yang membacanya dengan riwayat ini. Misalnya bacaan dari Imam Hasan al-Bashri, beliau membaca al-hamdi lillahi, dengan kasrah pada huruf dal. Bacaan lainnya dari Abu Shalih yaitu malika yaum ad-din dengan dibaca fathah huruf kaf. Bacaan ini sudah mulai asing kita dengarkan, tetapi secara praktik tetap dapat dibenarkan menurut Makki al-Qaisi.

Baca juga: Jejak Qiraat Imam Nafi’ dalam Manuskrip Al-Quran Keraton Kacirebonan

Ketiga, perbedaan bacaan imam yang terkenal, tetapi tidak masuk dalam qiraat sab’ah, bertentangan dengan mushaf dan tidak diamalkan bacaannya. contohnya riwayat dari Abu Hurairah tentang bacaan maliiki yaum al-din, dibaca panjang huruf lam nya. Bacaan lain dari Ibn as-Suwar al-Ganawi yaitu hiyyaka na’budu wa hiyyaka nasta’in, yaitu mengganti huruf hamzah dengan ha’ pada kata iyyaka.

Selain itu, ada juga riwayat dari Abu ‘Amr yang membaca kata ash-shirat dengan az-zirath, menggunakan huruf zai. Meskipun bacaan ini dari Abu ‘Amr yang notabene merupakan salah satu qurra` sab’ah, namun dalam konteks riwayat, bacaan ini termasuk yang tidak dapat diamalkan karena tidak sesuai dengan rasm. Sehingga tidak semua riwayat yang bersumber dari imam tujuh secara langsung dapat diterima. Karenanya penting kejelian seorang pengkaji qiraat untuk melihat ini.

Sampai di sini, terlihat dengan jelas keragaman bacaan yang dihadirkan oleh Makki Al-Qaisi. Usahanya untuk membagi bacaan ke dalam tiga kategori tersebut memperlihatkan keluasan ilmu Al-Qaisi dalam qiraat yang tidak perlu diragukan lagi.

Melanjutkan dari apa yang telah dilakukan oleh Makki Al-Qaisi tersebut, kita pun harus belajar qiraat. Minimal memahami bahwa dalam membaca Al-Quran itu tidak tunggal. Ada beragam cara sehingga kita tidak boleh memaksakan untuk seragam.

Meskipun demikian, jelas bahwa dalam keragaman bacaan Al-Quran juga ada batasan-batasan yang harus diperhatikan. Inilah kata kunci yang menarik untuk direfleksikan. Belajar qiraat itu berarti belajar tentang kebebasan sekaligus batasan dalam memilih bacaan mana yang mau kita lantunkan. Tentunya semakin luas pengetahuan, semakin luwes sikap kita dalam menghadapi perbedaan. Itulah teladan Al-Qaisi yang perlu kita teruskan. Wallahu a’lam[]

Bacaan Al-Qur’an Agar Proses Melahirkan Lancar dan Mudah

0
proses melahirkan lancar dan mudah
Proses melahirkan lancar dan mudah

Setiap perempuan – terutama ibu yang sedang mengandung – tentu berharap agar proses melahirkan lancar dan mudah. Pasalnya, proses melahirkan adalah salah satu peristiwa yang paling penting bagi mereka, di mana hidup dan mati dipertaruhkan. Jika proses melahirkan berlangsung terlalu lama, maka kehidupan bayi dan ibu bisa terancam.

Pada faktanya, proses melahirkan memang sangat sulit dan begitu menyakitkan. Hanya para perempuan yang bisa memahami dinamika proses melahirkan, sedangkan laki-laki tidak mampu memahaminya bahkan untuk sekedar membayangkan. Dengan demikian, jika ingin mengetahui perjuangan proses melahirkan, maka ibu adalah narasumber pertama.

Menurut para ahli, selama proses melahirkan, setiap ibu akan mengalami rasa sakit hingga 57 Del (satuan rasa sakit) atau sama dengan rasa sakit akibat 20 tulang yang patah bersamaan. Padahal tubuh manusia hanya mampu menanggung rasa sakit hingga 45 Del. Tak heran, hampir semua agama di dunia sangat menghormati ibu, terutama agama Islam.

Agar proses melahirkan lancar dan mudah, para ibu harus mempersiapkan beberapa hal dan menghindari beberapa hal pula. Menurut Tekoa King, seorang professor kebidanan dan ginekologi di University of California, lancar tidaknya proses melahirkan sangat dipengaruhi oleh kebugaran tubuh si ibu. Oleh karena itu, sebaiknya para ibu menjaga kebugaran dan kesehatan tubuh.

Baca Juga: Teladan Akhlak Nabi Muhammad SAW Kepada sang Ibunda: ‘Saya Anak dari Seorang Perempuan’

Ibu yang memiliki tubuh sehat dan bugar, ia cenderung mengalami proses melahirkan lancar dan lebih mudah. Tekoa bahkan mengatakan, “kebugaran meningkatkan daya tahan tubuh. Jika tubuh seorang ibu bugar dan dalam kondisi optimal, maka tubuhnya cenderung lebih toleran terhadap proses melahirkan dan intervensi medis tidak diperlukan.”

Bacaan Al-Qur’an Agar Proses Melahirkan Lancar dan Mudah

Selain dengan usaha menjaga kebugaran tubuh melalui makanan sehat bergizi dan olahraga-olahraga ringan sesuai anjuran dokter, para ibu juga bisa mengamalkan bacaan Al-Qur’an agar proses melahirkan lancar dan mudah, yakni dengan mengamalkan surah al-Fatihah [2] ayat 1-7 dan surah al-Insyiqaq [84] ayat 1-4 yang masing-masing berbunyi:

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ ١ اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ ٢ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِۙ ٣ مٰلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِۗ ٤ اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُۗ ٥ اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَۙ ٦ صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ەۙ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ ࣖ ٧

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, Pemilik hari pembalasan.  Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (QS. al-Fatihah [2]: 1-7)

اِذَا السَّمَاۤءُ انْشَقَّتْۙ ١ وَاَذِنَتْ لِرَبِّهَا وَحُقَّتْۙ ٢ وَاِذَا الْاَرْضُ مُدَّتْۙ ٣ وَاَلْقَتْ مَا فِيْهَا وَتَخَلَّتْۙ ٤

“Apabila langit terbelah, dan patuh kepada Tuhannya, dan sudah semestinya patuh, dan apabila bumi diratakan, dan memuntahkan apa yang ada di dalamnya dan menjadi kosong.” (QS. al-Insyiqaq [84]: 1-4)

Surah al-Fatihah [2] ayat 1-7 dikenal sebagai obat segala penyakit. Bagi ibu hamil – selain dalam shalat lima waktu – surah ini bisa diamalkan dan dibaca setiap hari sebanyak tujuh kali selama masa kehamilan. Kemudian ditiupkan pada bagian perut di mana si bayi berada agar rasa sakit yang biasa dialami ibu hamil bisa mereda dan si bayi mendapatkan keberkahan.

Ibnu Qayyim berkata, “Aku pernah tinggal beberapa waktu di kota Mekah. Ketika itulah aku menderita beberapa penyakit. Sementara aku tidak berobat ke dokter dan tidak pula menemukan obat, aku mengobati diriku dengan membaca Surah al-Fatihah [2] ayat 1-7 dan mendapatkan kesembuhan. Aku pun menceritakan kepada orang-orang yang mengeluhkan sakit dan kebanyakan mereka sembuh dengan cepat.”

Sedangkan surah al-Insyiqaq [84] ayat 1-4 sebaiknya dibaca menjelang kelahiran. Menurut al-Ghazali dalam kitabnya adz-Dzahabul Ibris, surah ini dapat digunakan untuk membantu proses melahirkan lancar dan lebih mudah bagi seorang ibu, terutama mereka yang baru pertama kali melahirkan. Cara mengamalkannya ada dua, yakni dengan dibaca atau ditulis lalu dikalungkan.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Wajibkah Seorang Ibu Menyusui Anaknya?

Amalan ini didapatkan oleh imam al-Ghazali dari Sufyan ats-Tsauri. Dikisahkan bahwa suatu hari beliau pernah menulis surah al-Insyiqaq [84] ayat 1-4 dan kata “keluarlah darinya” untuk dijadikan kalung bagi seorang perempuan yang sakit karena susah melahirkan. Kemudian beliau shalat dua hajat dua rakaat dan tak lama si bayi keluar dengan selamat.

Terakhir, dua surah Al-Qur’an tersebut hanya berfungsi sebagai washilah pembantu agar proses melahirkan lancar dan mudah, sedangkan yang memberi kemudahan hanyalah Allah Swt. Oleh karena itu, berdoalah dan mengharap kepada-Nya secara sungguh-sungguh tanpa keraguan. Lalu sebagai bagian dari ikhtiar, si ibu terlebih dahulu juga harus menjaga kesehatan dan kebugaran tubuh melalui pola makan sehat serta olahraga ringan sesuai anjuran dokter. Wallahu a’lam.

Surat An-Nashr dan Isyarat Wafatnya Nabi Muhammad Saw.

0
surat an-nashr
surat an-nashr

Sejarah mencatat, Al-Quran pernah menjadi salah satu pemberi isyarat telah dekatnya saat wafatnya Nabi Muhammad salallahualaihi wasallam. Sayangnya, hanya beberapa sahabat saja yang memahami isyarat itu. Nabi sendiri memahami isyarat tersebut, namun beliau tidak memberi tahu orang lain, kecuali Siti Fatimah, putrinya. Usai turunnya ayat tersebut beliau memilih untuk memperbanyak membaca tasbih dan istighfar sampai beliau wafat. Isyarat ini terdapat dalam surat An-Nashr

Surat di dalam Al-Quran yang menurut ulama menunjukkan telah dekat masa wafatnya Nabi adalah Surat An-Nashr. Sahabat-sahabat yang memahami bahwa ayat tersebut adalah isyarat wafatnya Nabi, adalah sahabat Umar ibn Khattab dan Ibn Abbas. Riwayat sahih dari keduanyalah yang menceritakan hal itu. Simak penjelasannya berikut ini:

Baca Juga: Siapa Saja Mufassir di Era Sahabat? Edisi Abdullah Ibn Abbas

Riwayat Tentang Surat An-Nashr Sebagai Isyarat Wafatnya Nabi

Beberapa ahli tafsir mengungkapkan adanya kesapakatan di antara para sahabat bahwa Surat An-Nashr adalah isyarat tentang dekatnya masa wafatnya Nabi Muhammad (Fathul Qadir/8/77). Mereka kemudian mengutip sebuah keterangan yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari di dalam kitab sahihnya dari Ibn Abbas:

قَالَ كَانَ عُمَرُ يُدْخِلُنِى مَعَ أَشْيَاخِ بَدْرٍ ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ لِمَ تُدْخِلُ هَذَا الْفَتَى مَعَنَا ، وَلَنَا أَبْنَاءٌ مِثْلُهُ فَقَالَ إِنَّهُ مِمَّنْ قَدْ عَلِمْتُمْ . قَالَ فَدَعَاهُمْ ذَاتَ يَوْمٍ ، وَدَعَانِى مَعَهُمْ قَالَ وَمَا رُئِيتُهُ دَعَانِى يَوْمَئِذٍ إِلاَّ لِيُرِيَهُمْ مِنِّى فَقَالَ مَا تَقُولُونَ ( إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ * وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ ) حَتَّى خَتَمَ السُّورَةَ ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ أُمِرْنَا أَنْ نَحْمَدَ اللَّهَ وَنَسْتَغْفِرَهُ ، إِذَا نُصِرْنَا وَفُتِحَ عَلَيْنَا . وَقَالَ بَعْضُهُمْ لاَ نَدْرِى . أَوْ لَمْ يَقُلْ بَعْضُهُمْ شَيْئًا . فَقَالَ لِى يَا ابْنَ عَبَّاسٍ أَكَذَاكَ تَقُولُ قُلْتُ لاَ . قَالَ فَمَا تَقُولُ قُلْتُ هُوَ أَجَلُ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَعْلَمَهُ اللَّهُ لَهُ ( إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ ) فَتْحُ مَكَّةَ ، فَذَاكَ عَلاَمَةُ أَجَلِكَ ( فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا ) قَالَ عُمَرُ مَا أَعْلَمُ مِنْهَا إِلاَّ مَا تَعْلَمُ

Ibn ‘Abbas berkata, suatu kali ‘Umar membawa serta aku bersama para tetua perang badar. Sebagian dari mereka lalu protes,“Mengapa engkau membawa serta anak muda ini bersama kami? Kami memiliki anak sepertinya.” ‘Umar lalu berkata, “Kalian sudah tahu siapa dia.”

Suatu hari, ‘Umar lalu memanggil mereka dan mengajak serta aku (Ibn ‘Abbas berkata) dan sepertinya ‘Umar memanggilku saat itu untuk menunjukkan sesuatu dariku pada mereka. ‘Umar kemudian berkata, “Menurut kalian, apa isi dari ayat “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu Lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong (sampai surat selesai) (QS. An-Nasr [110] 1-3)?”

Sebagian dari mereka berkata, “Kita diperintah untuk memuji dan meminta ampun kepada Allah, ketika kita memperoleh pertolongan dan kemenangan”. Sebagian lain menjawab,“kami Tidak tahu” atau tidak berkata apapun. ‘Umar lalu bertanya kepadaku, “Hai Ibn ‘Abbas, apa seperti itu juga yang akan engkau katakan?” Aku menjawab,“Tidak”.“Lalu bagaimana menurutmu?” tanya ‘Umar. “Itu adalah isyarat ajal Rasulillah salallahualaihi wasallam.

Allah memberi tahu Nabi Muhammad, ketika telah datang pertolongan Allah dan terbukanya kota yaitu kota Makkah, maka itu tanda ajalmu sudah dekat. Maka bertasbihlah dengan memuji kepada allah serta memintalah ampun. Sesungguhnya Allah maha menerima taubat” jawabku. ‘Umar lalu berkata, “Tidak ada yang aku ketahui dari surat tersebut kecuali yang engkau ketahui.” (HR. Imam Bukhari)

Riwayat di atas menerangkan bagaimana banyak dari kalangan para sahabat, yang tidak mengetahui ada isyarat tentang dekatnya waktu wafatnya Nabi dalam surat An-Nashr. ‘Umar lah yang mulanya merasa kurang yakin dengan pemahamannya, yang kemudian meminta pendapat Ibn Abbas dan mendapati Ibn Abbas membenarkan pemahamannya.

Selain itu, riwayat ini menunjukkan betapa pekanya seorang Ibn Abbas terhadap isyarat kandungan dalam ayat Al-Quran. Ini pula yang menyebabkannya menjadi sahabat rujukan dalam hal penafsiran Al-Quran, bahkan metode tafsir isyari yang berkembang di kemudian hari, dinisbatkan pada penafsirannya tersebut.

Baca Juga: Surat Al-Maidah Ayat 3: Isyarat Kewafatan Nabi Muhammad Saw

Penjelasan Nabi Muhammad Saw. Kepada Fatimah

Ibn Rajab dalam Lathaiful Ma’arif menerangkan, mengutip sebuah riwayat dari Ibn ‘Abbas, keterangan serupa dengan yang diyakini oleh Ibn ‘Abbas dan ‘Umar di atas, pernah disampaikan Nabi Muhammad kepada putrinya, Fatimah. Nabi Muhammad menjelaskan, Surat An-Nashr adalah semacam pemberitahuan pada dirinya bahwa tatkala datang pertolongan Allah dan kota Makkah berhasil ditaklukkan, maka itu berarti ajal beliau semakin dekat. Allah memerintahkan beliau untuk bersiap-siap dengan memperbanyak bertasbih dan istighfar.

Ibn Abbas kemudian menceritakan, usai turunnya An-Nashr, Nabi Muhammad tampak lebih giat lagi dalam melakukan ibadah. Beliau memperbanyak tasbih, istighfar dan beri’tikaf di malam bulan Ramadhan. Ummu Salamah juga menceritakan, bahwa di akhir hayatnya Rasulullah tidak duduk maupun berdiri, datang maupun pergi, kecuali berdzikir subhanallah wabihamdihi (Lathaiful Ma’arif/108).

Mengenal Jami’ al-Bayan, Pelopor Tafsir Al-Quran Dalam Islam Karya Ibnu Jarir At-Thabari

0
tafsir at-thabari
tafsir at-thabari

Tafsir At-Thabari atau Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Quran merupakan tafsir Al-Quran pertama di antara sekian banyak kitab-kitab tafsir pada era klasik Islam, juga sekaligus sebagai tafsir pertama yang diketahui secara nayata, sedangkan tafsir sebelumnya telah hilang ditelan zaman. Tafsir ini menjadi milestone (tonggak sejarah) dunia penafsiran Al-Quran di era klasik Islam.

Identitas Tafsir At-Thabari

Musthafa Shawi al-Juwaini dalam Manahij fi al-Tafsir mengatakan bahwa Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Quran merupakan tafsir yang ditulis pada akhir kurun yang ketiga dan Imam At-Thabari mulai mengajarkan kitab ini pada muridnya dari tahun 283 H-290 H. Tafsir ini terdiri dari 30 juz yang masing-masing berjilid besar dan tebal.

Tafsir At-Thabari dicetak untuk pertama kalinya ketika beliau berusia 60 tahun (284 H/ 899 M). Dengan dicetaknya Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Quran ini maka jagat penafsiran Al-Quran dan ilmu turunannya mulai berkembang. Syekh Islam Taqi al-Din Ahmad bin Taimiyah pernah ditanya tentang tafsir yang manakah yang lebih dekat dengan Al-Quran dan As-Sunnah? Beliau menjawab bahwa di antara semua tafsir yang ada pada kita, Tafsir Imam Muhammad bin Jarir At-Thabari inilah yang paling otentik.

Lebih dari itu, pemikir kontemporer Mohamed Arkoun dalam buku Berbagai Pembacaan aAl-Quran mengatakan bahwa Tafsir At-Thabari atau Jami’ al-Bayan telah mendapatkan lisensi yang otoritatif tiada tara baik di kalangan muslimin maupun Islamolog. Imam At-Thabari telah mengkodifikasi satu karya monumental yang terdiri dari 30 jilid, satu jumlah yang mengesankan di era itu dengan akhbar (berita, cerita—cerita, tradisi, dan informasi) yang tersebar se-antero Timur Tengah selama 3 abad hijriyah.

Baca juga: Imam At-Thabari, Sang Maestro Tafsir Al-Quran Pertama Dalam Islam

Bentuk Penafsiran

Tafsir At-Thabari dikenal sebagai tafsir bil ma’tsur yang mendasarkan penafsirannya pada riwayat Nabi saw, para sahabat, tabi’in, dan seterusnya. Ibnu Jarir dalam tafsirnya telah mengkompromikan antara riwayah dan dirayah. Dari aspek riwayah, biasanya ia tidak memerika mata rantai periwayatannya, meskipun kerap mengkritik sanad dengan melakukan ta’dil dan tarjih tentang hadits-hadits itu sendiri. Sekalipun begitu, untuk menentukan makna yang paling tepat terhadap sebuah tafsir, Imam At-Thabari juga menggunakan ra’yu (akal).

Metode Penafsiran

Metode yang dipakai oleh Imam At-Thabari dalam tafsirnya Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Quran adalah metode tahlili, yang imulai dengan mengupas makna semantik, dan i’rab jika diperlukan. Apabila tidak mendapati rujukan riwayat dari hadits, barulah ia melakukan pemaknaan terhadap kalimat, dan ia kuatkan dengan untaian bait syair dan prosa klasik yang berfungsi sebagai syawahid.

Dengan langkah demikian, proses tafsir (takwil) pun terjadi. Tatkala berhadapan dengan ayat-ayat yang munasabah mau tidak mau Ibnu Jarir At-Thabari harus menggunakan logika (manthiq). Metode semacam ini termasuk kategori tafsir tahlili dengan orientasi penafsiran bil ma’tsur dan bil ra’yi yang merupakan inovasi baru di bidang tafsir kala itu atas tradisi penafsiran yang berlaku sebelumnya.

Sumber Penafsiran

Adapun sumber penafsiran yang digunakan dalam Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Quran atau Tafsir At-Thabari adalah bil ma’tsur sebagaimana yang disinggung di atas. Hanya saja ada sedikit yang ebrbeda, yaitu Imam At-Thabari mengambil riwayat yang lebih unggul dari para mufasir generasi sebelumnya. Bahkan beliau tidak hanya sekadar “mensitasi” riwayat Nabi saw dan mufasir sebelumnya, melainkan juga mengkritisi atau memberikan hasyiyah (komentar) nama riwayat yang shahih dan tidak.

Dengan demikia, sumber penafsiran Imam At-Thabari banyak mengambil hadits Nabi saw, pendapat sahabat, tabi’in, syair Arab dan sirah nabawiyah. Tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Quran atau Tafsir At-Thabari ini juga mencakup banyak beberapa disiplin ilmu, seperti kebahasaan, qiraat dengan pentarjihan terhadap riwayat qiraat yang dikutip. Hal ini bertujuan agar berfungsi sebagai bayan (penjelas) akan makna kata atau teks ayat Al-Quran yang ditafsirkan. Beliau juga menyeleksi dan memilih keterangan yang sekiranya baginya adalah paling kuat atau unggul.

Baca juga: Tafsir Fiqh (3): Ibn Al-Arabi dan Ahkam al-Qur’an-nya

Langkah Penafsiran

Imam At-Thabari dalam menafsirkan menempuh beberapa langkah sebagai berikut, 1) menempuh jalan tafsir atau ta’wil; 2) mengaitkan ayat satu dengan ayat lain (munasabah) sebagai pengaplikasian teoritis Al-Quran “yufassiru ba’duh ba’dhan”; 3) menafsirkan Al-Quran dengan As-Sunnah atau Al-Hadits; 4) bersandar pada analisis kebahasaan bagi kata yang riwayatnya masih diperselisihkan;

5) mengeksplorasi syari dan pprosa Arab tatkala menjelaskan makna kosakata dan kalimat; 6) memperlihatkan aspek i’rab dengan analogis untuk ditahqiq dan ditarjih; 7) pemaparan ragam qiraat dalam kerangka menyingkap (al-kasyf) makna ayat; 8) merentangkan perdebatan di bidnag fiqih dan teori hukum Islam (ushul fiqih); 9) mencermati kembali munasabah ayat sebelum dan sesudahnya, meski dalam kadar yang relatif kecil; 10) melakukan sinkronisasi antar makna ayat untuk memperoleh kejelasan sehingga mampu menangkap makna secara utuh dan tidak sepotong-potong.

Disitngsi Penafsiran

Yang unik – dan yang seharusnya memang – Tafsir At-Thabari selalu menganalisis aspek kebahasan yang sarat akan nuansa syair, prosa Arab Kuno, variasi qiraat, perdebatan isu kalam, dan diskursus seputar kasus hukum tanpa harus mengklaim kebenaran subjektif sehingga Imam At-Thabari tidak menunjukkan sikap fanatisme bermazhabnya atau alirannya. Kekritisannya ini kemudian mengantarkan pada satu kesimpulan bahwa At-Thabari termasuk mufasir profesional dan konsisten dengan bidang sejarah yang beliau kuasai.

Catatan Akhir

Penafsiran Al-Quran secara umum dimulai pada abad keempat hijriyah yang dipelopori oleh Ibn Jarir At-Thabari (w. 310 H/ 922 M) dengan magnum opus-nya Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Quran atau Tafsir At-Thabari. Pasca At-Thabari, lalu diikuti oleh Ibnu Katsir (w. 774 H/ 1377 M) dalam karyanya al-Dhur al-Mantsur fi al-Tafsir bi al-Ma’tsur. Model inilah yang kemudian dikenal sebagai tafsir bil ma’tsur. Selain itu, kemudian muncul berbagai metode dan teknik penafsiran lain dalam menafsirkan Al-Quran. Wallahu A’lam.

Imam At-Thabari, Sang Maestro Tafsir Al-Quran Pertama Dalam Islam

0
at-thabari
at-thabari, mufasir al-quran pertama (almunawwirkomplekq)

Imam At-Thabari atau Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir At-Thabari (224-310 H) merupakan seorang mujtahid akbar cum mufasir Al-Quran pertama dalam Islam yang ditandai dengan Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Quran. Ia menguasai berbagai disiplin keilmuan seperti tafsir, fiqih, bahkan kedokteran.

Sketsa Biografis

Adz-Dzahabi dalam al-Tafsir wa al-Mufassirun bahwa At-Thabari bernama lengkap Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jarir Ibnu Yazid Ibnu Khalid At-Thabari. Beliau dilahirkan di Amul, ibu kota dari propinsi Tabaristan pada tahun 224 H di mana termasuk daerah terbesar di kawasan Sahlah, dan wafat pada 310 H. Selain ahli tafsir, beliau juga pakar di bidang hadits, fiqih, tarikh, bahkan kedokteran.

Beliau juga mempunyai kunyah Abu Ja’far sebagai bentuk penghormatan padanya dan hal ini sudah menjadi tradisi Arab ketika mereka banyak menggunakan kunyah dari nama pemimpin mereka. At-Thabari sendiri tidak mempunyai seorang anak, bahkan dia tidak pernah mempunyai istri alias jomblo selama hidupnya. Beliau juga merupakan pendiri mazhab Al-Jaririyah.

Perjalanan Hidup dan Intelektual

Imam At-Thabari tumbuh dan besar di lingkungan intelektual, maka tak heran jika usia 7 tahun ia sudah hafal Al-Quran. Hal tersebut pernah disampaikannya dalam Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Quran bahwa ia telah menghafal Al-Quran dalam usia 7 tahun dan menjadi imam shalat ketika berusia 8 tahun, serta menulis hadits-hadits pada usia 9 tahun. Sangat luar biasa sekali.

Baca juga: Mutawalli As-Sya’rawi: Mufasir Kontemporer dari Mesir

Sebagaimana dijelaskan Muhammad Bakr Isma‘il dalam Ibnu Jarir Wa Manhajuhu fi al-Tafsir bahwa karir pendidikan At-Thabari dimulai dari kampung halamannya yaitu Amul, sebuah tempat yang cukup kondusif dalam hal keilmuan. Ia diasuh oleh ayahnya sendiri, lalu dikirim ke Rayy, Basrah, Kufah, Mesir, Syiria dalam rangka rihlah fi thalab al-‘ilm di usianya yang masih belia. Sehingga namanya makin berkibar di kalangan masyarakat karena otoritas keilmuannya.

Di Rayy, ia nyantri kepada Ibn Humayd, Abu Abdullah Muhammad bin Humayd al-Razi. Selanjutnya ia menuju Baghdad guna belajar kepada Ibn Hanbal, ternyata sesampainya di Baghdad Ibn Hanbal telah wafat. Maka, At-Thabari pun harus putar haluan menuju dua kota besar selatan Baghdad yakni Basrah dan Kufah sambil mampir ke wasit karena searah perjalanan dalam rangka studi dan riset.

Tak berhenti di situ, Franz Rosenthal dalam The History of Al-Tabari menjelaskan bahwa At-Thabari di Basrah juga belajar kepada Muhammad Abd Ala al-San’ani (w. 245 H/ 859 M), Muhammad bin Musa al-Harasi (w. 248 H/ 862 M) dan Abu As’as Ahmad bin Al-Miqdam (w. 253 H/ 867 M). Dalam bidang Hadits, ia juga belajar kepada al-Musanna bin Ibrahim al-Ibil. Dalam bidang fiqih khususnya mazhab Syafi’i, ia berguru kepada Al-Hasan bin Muhammad al-Za’farany.

Sedangkan dalam bidang tafsir ia berguru kepada Humayd bin Mas’adah dan Basir Mu’az al-Aqadi (w. 245 H/ 859-860 M), meski sebelumnya ia pernah belajar tafsir kepada seorang Kufah bernama Hannad bin Al-Sari (w. 243 H/ 857 M). Dalam bidang qiraat misalnya, ia belajar kepada Hamzah dan Warasy.

Selain itu, At-Thabari juga pernah singgah di Beirut, Libanon untuk memperdalam ilmu qiraat kepada al-Ababs bin al-Walid al-Bairuni. Serta di Mesir ia bertemu dengan sejarawan kenamaan yakni Ibn Ishaq dan atas jasanya, At-Thabari mampu menyusun karya sejarahnya yang terbesar yaitu Tarikh al-Umam wa al-Mulk.

Setelah bepergian ke sana kemari dalam rangka rihlah intelektual, kemudian ia memantapkan diri untuk berdomisili di Kota Baghdad, sekaligus menjadi domisili terakhirnya. Di sinilah ia menelurkan sejumlah karya hingga menjelang kewafatannya yang dishalat oleh masyarakat baik siang dan malam hari hingga beberapa waktu setelah wafatnya.

Imam At-Thabari wafat pada usia 86 tahun (w. 310 H). Nama At-Thabari juga masyhur di Barat, bahkan biografinya pertama kali diterbitkan di Leiden pada tahun 1879-1910 M. Julius Welhousen menempatkan itu ketika membicarakan zaman (660-750) dalam buku The Arab Kingdom and its Fall.

Baca juga: Muhammad Ali Ash-Shabuni, Begawan Tafsir Ayat Ahkam Asal Aleppo, Suriah

Karya At-Thabari

At-Thabari adalah ulama yang sangat produktif bahkan beberapa karyanya merupakan pembabad jalan bagi ulama lain untuk mengembangkan keilmuan Islam. Berikut sejumlah karyanya yang terekam,

  • Tahdzib al-Atsar wa Tafsil al-Sabit an Rasulillah min al-Akbar atau disebut oleh al-Qathi dengan Syarh al-Asar.
  • Al-Tabshirah fî Ma’alim al-Din
  • Ikhtilaf al-‘Ulama’ al-Amshar fî Ahkam Syara’i al-Islam. Manuskrip ini tersimpan rapi di rak perpustakaan Berlin. Kitab tersebut telah disebarluaskan oleh Doktor Frederick dan dicetak oleh percetakan al-Mausu‘at di Mesir pada tahun 1320  H / 1902 M dengan judul Ikhtilaf Fuqaha‘. Dan berjumlah 3000 lembar.
  • Al-Fashl bain al-Qira’at
  • Sharih al-Sunnah
  • Tarikh al-Umam wa al-Muluk (Tarikh at-Thabari, kitab sejarah) atau kitab Ikhbar ar-Rasul al-Muluk
  • Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wîl Ayyi al-Qur’an (Tafsîr at-Thabari, kitab tafsir). Kitab ini merupakan tafsir 30 juz lengkap dicetak di Kairo pada tahun 1312 H oleh al-Mathba‘ah al-Maimunah, kemudian dicetak kembali dengan desain yang lebih bagus oleh al-Mathba‘ah al-Umairiyah antara tahun 1322- 1330 H sebagaimana yang diterbitkan oleh Dar al-Ma’arif Mesir edisi terbaru yang ditahqiq oleh Muhammad Mahmud Syakir menjadi 15 jilid/.

Dua kitab nomor 6 dan 7 inilah ditanyakan oleh teman-temannya, tapi jawaban Imam At-Thabari membuat mereka mengernyitkan dahi. Pertanyaan mereka adalah seberapa tebal dua kitab itu? Bukan pertanyaan “seperti apa isinya, bagaimana metodologi penyusunannya dan hal esensial lainnya”. Tentu saja pertanyaan mereka membuat At-Thabari kecewa, hingga ia mengatakan, “inna lillahi, matat al-himam” (sungguh kita adalah milik Allah, semangat benar-benar telah hilang). Sehingga setelah perenungan mendalam, akhirnya At-Thabari memutuskan meringkas dua kitab itu, dan ringkasan itulah yang sampai pada kita sekarang.

Dan masih banyak lagi kitab-kitab Imam At-Thabari yang belum ter-cover di sini. At-Thabari sangat dikagumi oleh para ulama karena otoritas keilmuannya yang mumpuni. Al-Hasan bin Ali al-Ahwazi, ulama qiraat menyatakan bahwa Abu Ja’far at-Thabari adalah seorang ulama fiqih, hadits, tafsir, nahwu, qiraat tarikh, dan ‘arudh. Dalam semua bidang tersebut ia melahirkan karya yang berkualitas tinggi yang mengungguli karya para pengarang atau ulama lainnya. Semoga kita mampu meneladani keilmuan At-Thabari. Aamiin. Wallahu A’lam.