Beranda blog Halaman 456

Imam At-Thabari, Sang Maestro Tafsir Al-Quran Pertama Dalam Islam

0
at-thabari
at-thabari, mufasir al-quran pertama (almunawwirkomplekq)

Imam At-Thabari atau Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir At-Thabari (224-310 H) merupakan seorang mujtahid akbar cum mufasir Al-Quran pertama dalam Islam yang ditandai dengan Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Quran. Ia menguasai berbagai disiplin keilmuan seperti tafsir, fiqih, bahkan kedokteran.

Sketsa Biografis

Adz-Dzahabi dalam al-Tafsir wa al-Mufassirun bahwa At-Thabari bernama lengkap Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jarir Ibnu Yazid Ibnu Khalid At-Thabari. Beliau dilahirkan di Amul, ibu kota dari propinsi Tabaristan pada tahun 224 H di mana termasuk daerah terbesar di kawasan Sahlah, dan wafat pada 310 H. Selain ahli tafsir, beliau juga pakar di bidang hadits, fiqih, tarikh, bahkan kedokteran.

Beliau juga mempunyai kunyah Abu Ja’far sebagai bentuk penghormatan padanya dan hal ini sudah menjadi tradisi Arab ketika mereka banyak menggunakan kunyah dari nama pemimpin mereka. At-Thabari sendiri tidak mempunyai seorang anak, bahkan dia tidak pernah mempunyai istri alias jomblo selama hidupnya. Beliau juga merupakan pendiri mazhab Al-Jaririyah.

Perjalanan Hidup dan Intelektual

Imam At-Thabari tumbuh dan besar di lingkungan intelektual, maka tak heran jika usia 7 tahun ia sudah hafal Al-Quran. Hal tersebut pernah disampaikannya dalam Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Quran bahwa ia telah menghafal Al-Quran dalam usia 7 tahun dan menjadi imam shalat ketika berusia 8 tahun, serta menulis hadits-hadits pada usia 9 tahun. Sangat luar biasa sekali.

Baca juga: Mutawalli As-Sya’rawi: Mufasir Kontemporer dari Mesir

Sebagaimana dijelaskan Muhammad Bakr Isma‘il dalam Ibnu Jarir Wa Manhajuhu fi al-Tafsir bahwa karir pendidikan At-Thabari dimulai dari kampung halamannya yaitu Amul, sebuah tempat yang cukup kondusif dalam hal keilmuan. Ia diasuh oleh ayahnya sendiri, lalu dikirim ke Rayy, Basrah, Kufah, Mesir, Syiria dalam rangka rihlah fi thalab al-‘ilm di usianya yang masih belia. Sehingga namanya makin berkibar di kalangan masyarakat karena otoritas keilmuannya.

Di Rayy, ia nyantri kepada Ibn Humayd, Abu Abdullah Muhammad bin Humayd al-Razi. Selanjutnya ia menuju Baghdad guna belajar kepada Ibn Hanbal, ternyata sesampainya di Baghdad Ibn Hanbal telah wafat. Maka, At-Thabari pun harus putar haluan menuju dua kota besar selatan Baghdad yakni Basrah dan Kufah sambil mampir ke wasit karena searah perjalanan dalam rangka studi dan riset.

Tak berhenti di situ, Franz Rosenthal dalam The History of Al-Tabari menjelaskan bahwa At-Thabari di Basrah juga belajar kepada Muhammad Abd Ala al-San’ani (w. 245 H/ 859 M), Muhammad bin Musa al-Harasi (w. 248 H/ 862 M) dan Abu As’as Ahmad bin Al-Miqdam (w. 253 H/ 867 M). Dalam bidang Hadits, ia juga belajar kepada al-Musanna bin Ibrahim al-Ibil. Dalam bidang fiqih khususnya mazhab Syafi’i, ia berguru kepada Al-Hasan bin Muhammad al-Za’farany.

Sedangkan dalam bidang tafsir ia berguru kepada Humayd bin Mas’adah dan Basir Mu’az al-Aqadi (w. 245 H/ 859-860 M), meski sebelumnya ia pernah belajar tafsir kepada seorang Kufah bernama Hannad bin Al-Sari (w. 243 H/ 857 M). Dalam bidang qiraat misalnya, ia belajar kepada Hamzah dan Warasy.

Selain itu, At-Thabari juga pernah singgah di Beirut, Libanon untuk memperdalam ilmu qiraat kepada al-Ababs bin al-Walid al-Bairuni. Serta di Mesir ia bertemu dengan sejarawan kenamaan yakni Ibn Ishaq dan atas jasanya, At-Thabari mampu menyusun karya sejarahnya yang terbesar yaitu Tarikh al-Umam wa al-Mulk.

Setelah bepergian ke sana kemari dalam rangka rihlah intelektual, kemudian ia memantapkan diri untuk berdomisili di Kota Baghdad, sekaligus menjadi domisili terakhirnya. Di sinilah ia menelurkan sejumlah karya hingga menjelang kewafatannya yang dishalat oleh masyarakat baik siang dan malam hari hingga beberapa waktu setelah wafatnya.

Imam At-Thabari wafat pada usia 86 tahun (w. 310 H). Nama At-Thabari juga masyhur di Barat, bahkan biografinya pertama kali diterbitkan di Leiden pada tahun 1879-1910 M. Julius Welhousen menempatkan itu ketika membicarakan zaman (660-750) dalam buku The Arab Kingdom and its Fall.

Baca juga: Muhammad Ali Ash-Shabuni, Begawan Tafsir Ayat Ahkam Asal Aleppo, Suriah

Karya At-Thabari

At-Thabari adalah ulama yang sangat produktif bahkan beberapa karyanya merupakan pembabad jalan bagi ulama lain untuk mengembangkan keilmuan Islam. Berikut sejumlah karyanya yang terekam,

  • Tahdzib al-Atsar wa Tafsil al-Sabit an Rasulillah min al-Akbar atau disebut oleh al-Qathi dengan Syarh al-Asar.
  • Al-Tabshirah fî Ma’alim al-Din
  • Ikhtilaf al-‘Ulama’ al-Amshar fî Ahkam Syara’i al-Islam. Manuskrip ini tersimpan rapi di rak perpustakaan Berlin. Kitab tersebut telah disebarluaskan oleh Doktor Frederick dan dicetak oleh percetakan al-Mausu‘at di Mesir pada tahun 1320  H / 1902 M dengan judul Ikhtilaf Fuqaha‘. Dan berjumlah 3000 lembar.
  • Al-Fashl bain al-Qira’at
  • Sharih al-Sunnah
  • Tarikh al-Umam wa al-Muluk (Tarikh at-Thabari, kitab sejarah) atau kitab Ikhbar ar-Rasul al-Muluk
  • Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wîl Ayyi al-Qur’an (Tafsîr at-Thabari, kitab tafsir). Kitab ini merupakan tafsir 30 juz lengkap dicetak di Kairo pada tahun 1312 H oleh al-Mathba‘ah al-Maimunah, kemudian dicetak kembali dengan desain yang lebih bagus oleh al-Mathba‘ah al-Umairiyah antara tahun 1322- 1330 H sebagaimana yang diterbitkan oleh Dar al-Ma’arif Mesir edisi terbaru yang ditahqiq oleh Muhammad Mahmud Syakir menjadi 15 jilid/.

Dua kitab nomor 6 dan 7 inilah ditanyakan oleh teman-temannya, tapi jawaban Imam At-Thabari membuat mereka mengernyitkan dahi. Pertanyaan mereka adalah seberapa tebal dua kitab itu? Bukan pertanyaan “seperti apa isinya, bagaimana metodologi penyusunannya dan hal esensial lainnya”. Tentu saja pertanyaan mereka membuat At-Thabari kecewa, hingga ia mengatakan, “inna lillahi, matat al-himam” (sungguh kita adalah milik Allah, semangat benar-benar telah hilang). Sehingga setelah perenungan mendalam, akhirnya At-Thabari memutuskan meringkas dua kitab itu, dan ringkasan itulah yang sampai pada kita sekarang.

Dan masih banyak lagi kitab-kitab Imam At-Thabari yang belum ter-cover di sini. At-Thabari sangat dikagumi oleh para ulama karena otoritas keilmuannya yang mumpuni. Al-Hasan bin Ali al-Ahwazi, ulama qiraat menyatakan bahwa Abu Ja’far at-Thabari adalah seorang ulama fiqih, hadits, tafsir, nahwu, qiraat tarikh, dan ‘arudh. Dalam semua bidang tersebut ia melahirkan karya yang berkualitas tinggi yang mengungguli karya para pengarang atau ulama lainnya. Semoga kita mampu meneladani keilmuan At-Thabari. Aamiin. Wallahu A’lam.

Agar Semangat Mencari Ilmu: Tafsir Surat al-Mujadilah Ayat 11

0
Agar Semangat Mencari Ilmu
Agar Semangat Mencari Ilmu

Tujuan hidup di dunia ini bukanlah untuk mencari popularitas atau kedudukan tinggi di mata manusia. Sebagai hamba Allah, kita tidak membenarkan jika di dunia ini hanya memikirkan kepentingan diri sendiri. Berbagi kebahagiaan dengan orang lain adalah sebuah perintah. Selain perintah, suara hati yang tulus juga sangat menginsafi, bahwa indahnya kebahagian jika dapat dirasakan banyak orang. Berbagi tempat dalam suatu majelis juga termasuk kebaikan yang diperintahkan oleh agama. Karena di dalam majelis terdapat mutiara ilmu yang agung hingga dapat menumbuhkan semangat dalam mencari ilmu .

Perintah untuk berbagi tempat dalam suatu majelis sebagaimana juga tertulis dalam firman Allah SWT, Surat al-mujadilah ayat 11:

 يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قِيْلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوْا فِى الْمَجٰلِسِ فَافْسَحُوْا يَفْسَحِ اللّٰهُ لَكُمْۚ وَاِذَا قِيْلَ انْشُزُوْا فَانْشُزُوْا يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ

Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, “Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,” maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, “Berdirilah kamu,” maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan.

Baca juga: Mengenal Mushaf Pra-Utsmani (2): Mushaf Ubay ibn Ka’ab

Tafsir Surat al-Mujadilah Ayat 11

Dalam Tafsir Jalalain karangan Jalaluddin As-Syuyuti ayat di atas memaparkan ada dua perintah dari Allah Swt. untuk hamba-Nya. Yang pertama, memberikan kelapangan saat diperlukan dalam suatu majelis. Kedua, berdirilah saat keadaan mengharuskan berdiri.

Kemudian Kelapangan yang dimaksud sebagaimana dijelaskan dalam Tafsir Jalalain. Dari lafadz “tawassa’u“, yaitu luaskanlah. Lapang atau luas ini berlaku di majelis mana saja. Maksudnya bukan berarti kita harus membuat majelis yang luas, akan tetapi selalu memberikan kesempatan dan keluasan tempat bagi yang baru datang.

Selanjutnya, dalam kitab Lubanul Nuqul Fi Asbabun Nuzul Karangan As-Suyuti, bahwa surat al-mujadilah ayat 11 memiliki sabab nuzul yakni dari Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Muqotil bahwa ayat ini turun pada hari Jumat. Peristiwa tersebut terjadi ketika melihat beberapa sahabat yang dulunya mengikuti perang badar dari kalangan muhajirin maupun anshor, diantaranya Tsabit ibn Qais mereka telah didahului orang dalam hal tempat duduk dekat dengan Rasulullah. Lalu merekapun berdiri dihadapan Rasulullah saw, kemudian mereka mengucapkan salam dan Rasullullah menjawab salam mereka.

Baca juga: Ini Dia Enam Tips Memperlancar Rezeki Menurut Al-Quran

Pada kitab Tafsir al-Maraghi Karya Ahmad Mustafa al-Maraghi. Mereka  (orang-orang yang berdiri) menunggu untuk diberi kelapangan, tetapi mereka tidak diberi kelapangan. Rasullullah merasa berat hati kemudian beliau mengatakan kepada orang-orang disekitar beliau ,”berdirilah engkau wahai fulan, berdirilah engkau wahai fulan”. Mereka pun menjadi tampak berat dan ketidak enakan beliau tampak oleh mereka. Kemudian mereka berkata, “Demi Allah swt, dia tidak adil kepada mereka”. Orang-orang itu telah mengambil tempat duduk mereka dan ingin berdekat dengan Rasulullah saw tetapi dia menyuruh mereka berdiri dan menyuruh duduk orang-orang yang datang terlambat.

Agar Semangat dalam Menuntut Ilmu 

Menurut Tafsir al-Misbah karangan Quraish Shihab, ayat di atas merupakan tuntunan akhlak yang menyangkut perbuatan dalam majelis untuk menjalin harmonisasi dalam satu majelis. 

Dengan begitu siapapun mereka berhak mengikuti majelis ilmu. Meskipun mereka terlihat berbeda dengan kita, baik itu dalam keyakinan, ras, budaya dan lainnya. Karena di dalam mencari ilmu dibutuhkan hati nurani yang lapang dan tentram, tidak hanya bisa duduk dekat dengan Rasulullah SAW, akan tetapi pesan Rasulullah SAW yang kita dengar dan yang kita amalkan yang nantinya akan menjadi saksi mendapatkan syafaat Rasulullah SAW. 

Baca juga: Ibrah Kisah Nabi Daud: dari Taubat hingga Manajemen Ibadah

Surat al-Mujadilah ayat 11 merupakan sebuah firman Allah SWT yang memberikan semangat orang yang mengikuti majelis ilmu agar tetap memiliki sifat yang lapang dan rela membagi kebahagian terhadap siapapun, karena sungguh Allah yang Maha Pemurah akan memberikan derajat bagi orang-orang yang berilmu. wallahu a’lam[]

 

Tafsir Fiqh (3): Ibn Al-Arabi dan Ahkam al-Qur’an-nya

0
Ibn Al-Arabi
Ibn Al-Arabi

Ibn Al-Arabi dan Ahkam al-Qur’an­-nya menjadi edisi ketiga dari serial “Tafsir Fiqh” yang membahas sisi-sisi menarik dari tafsir bercorak fiqh serta biografi mufassirnya. Sampai seri ketiga ini, judul dari kitab tafsir yang dibahas masih dengan frasa yang sama yakni Ahkam al-Qur’an. Namun kali ini mufassirnya berasal dari Eropa, benua yang saat ini mulai dijadikan rujukan akan kajian Qur’annya yang kritis.

Nama lengkap muallif ialah Al-Qadhi Abu Bakr Muhammad ibn Abdillah ibn Muhammad ibn Abdillah ibn Ahmad al-Ma’arifi al-Andalusi. Dalam dunia akademik ia lebih dikenal dengan nama Abu Bakr ibn al-Arabi al-Maliki. Ia dilahirkan di kota Isbili atau sekarang dikenal dengan kota Sevilla, pada tahun 468 H. Ayahnya merupakan seorang faqih sekaligus pejabat tinggi di Sevilla. Dikatakan juga bahwa ayahnya adalah salah satu dari murid Ibn Hazm.

Di usia yang baru menginjak 9 tahun, Ia dan ayahnya terpaksa meninggalkan Sevilla dan Andalus karena adanya pertikaian politik. Keduanya memilih Mesir lalu Syam sebagai tempat persinggahan. Setelah kurang lebih 3 tahun berada di Syam, mereka kembali bermigrasi dan kali ini Baghdad menjadi persinggahannya. Dalam sebuah informasi diketahui Ibn al-Arabi juga pernah singgah ke Mekkah.

Selama perjalanan lintas negara yang dilaluinya, Ia mengisinya dengan belajar kepada setiap ulama yang ada di masing-masing negara. Sebuah informasi yang mengungkapkan bahwa Ibn al-Arabi sempat berguru pada Imam al-Ghazali di Baghdad. Maka tidak heran jika akhirnya ia menjadi seorang yang menguasai berbagai keilmuan Islam mulai dari Fiqh dan Ushulnya, Hadis, Riwayat, Masalah Khilafiyah, Kalam, Tafsir. Qira’at hingga Sastra.

Baca Juga: Tafsir Fiqh: Mengenal Al-Jashash dan Ahkam al-Quran-nya

Di usianya yang menginjak 26 tahun, Ibn al-Arabi harus merelakan kepergian ayahnya yang kala itu wafat pada usia 57 tahun. Selepas itu, ia memutuskan untuk kembali ke tanah kelahirannya dan berkat keluasan ilmu yang dimilikinya, ia menjadi seorang ulama besar di Andalus.

Masyarakat Andalus maupun ulama yang hidup semasa dengan Ibn al-Arabi menganggapnya sebagai ulama yang sangat berakhlak. Bahkan banyak penuntut ilmu yang berasal dari luar Andalus, datang jauh-jauh untuk berguru padanya. Ia juga dipercaya sebagai Qadhi atau hakim. Tingkatan dan wibawanya sebagai penegak keadilan begitu tinggi hingga bahkan orang-orang yang terlibat perkara sudah nampak gusar tatkala melihatnya.

Sepanjang usianya, Ia menuliskan dan mewariskan berbagai karya ilmiah di antaranya Ahkam al-Qur’an, Kitab al-Masalik fi Syarh Muwatha’ Malik, Aridhah al-Ahwadzi ala Kitab al-Tirmidzi, al-Mahshul fi Ushul al-Fiqh, Kitab al-Nasikh wa al-Mansukh, Takhlish al-Takhlish dan beberapa lainnya.

Ada sebuah riwayat yang mengatakan bahwa Ibn al-Arabi menggarap kitab tafsirnya Ahkam al-Qur’an selama kurang lebih 20 tahun dan telah menghabiskan 8000 kertas. Kemudian dalam riwayat yang lain dikatakan bahwa Ibn al-Arabi selesai menuliskan tafsirnya dalam 8 jilid.

Ibn al-Arabi wafat di tahun 543 H pada saat tengah berada di Maroko dan kemudian jasadnya dibawa ke Kota Fez lalu dimakamkan di sana. Ia tidak hanya meninggalkan nama besarnya serta kisah mengenai perangainya yang adil dan penuh etika, ia juga meninggalkan warisan intelektual yang begitu berharga bagi perbendaharaan khazanah Islam.

Sisi Menarik dalam Kitab Ahkam al-Qur’an li Ibn al-Arabi

Sisi menarik pertama yang akan ditemukan ketika membaca kitab ini pertama kali adalah pada isi pembahasannya. Kitab ini menyajikan seluruh surah dalam al-Qur’an namun hanya menafsirkan ayat-ayat yang memiliki muatan hukum.

Secara sistematis penyajiannya dimulai dengan menyebutkan surah terlebih dahulu kemudian jumlah ayat hukum di dalamnya. Baru kemudian Ibn al-Arabi menafsirkan satu persatu ayat yang dinilainya masuk dalam kategori ayat-ayat hukum dengan membahasnya berdasarkan jumlah masalah yang ada di dalamnya.

Sisi menarik kedua, dalam penafsirannya Ibn al-Arabi menjelasan masalah hukum/ fiqh dalam ayat dengan mengacu pada madzhab yang dipeganginya yaitu madzhab Maliki. Meskipun hanya berporos pada satu perspektif fiqh namun Ibn al-Arabi tidak sampai pada level fanatisme ekstrim. Maksudnya bukan berarti Ibn al-Arabi tidak pernah mengarahkan kritikan pedas nan tajam pada lawannya, namun ia kadang berlaku inshaf (adil/toleran) dalam melihat sanggahan dari madzhab yang berbeda akan tetapi kadang juga ia berlaku keras.

Baca Juga: Tafsir Fiqh (2): Ilkiya Al-Harasi dan Ahkam al-Qur’an-nya

Menurut al-Dzahabi, meskipun Ibn al-Arabi bisa dikatakan sebagai seorang yang merdeka dalam berpikir, namun pengaruh fanatisme madzhab masih dominan. Hal ini berpengaruh besar dalam pendapat yuridisnya. Jika akalnya lebih dominan maka pendapat hukumnya bisa lebih adil, namun jika madzhab yang lebih dominan maka akan terlihat jauh dari kata adil.

Sisi menarik selanjutnya adalah perhatiannya pada sisi kebahasaan serta penolakannya atas penggunaan Israiliyyat dan hadis dha’if. Bagi Ibn al-Arabi bahasa merupakan salah satu elemen penting dalam beristinbat. Maka akan sangat mudah didapati dalam tafsirnya, telaah kebahasaan sebagai langkah awal dalam beristinbat hukum. Adapun dalam penolakannya terhadap penggunaan Israiliyyat dan hadis dha’if disebabkan oleh mindset fiqhnya. Sebab kedua elemen itu tidak bisa divalidasi sebagai sumber informasi dalam pengambilan hukum. Wallahu a’lam.

Mengenal Mushaf Pra-Utsmani (2): Mushaf Ubay ibn Ka’ab

0
Mushaf Ubay ibn Ka'ab
Mushaf Ubay ibn Ka'ab

Setelah memahami tentang sejarah awal mula penulisan mushaf dan klasifikasinya. Maka, pada kesempatan kali ini penulis ingin melengkapi artikel sebelumnya dengan pembahasan terkait produk-produk mushaf pra-utsmani yang ditulis oleh beberapa sahabat Nabi. Dalam hal ini, penulis mengawali pembahasan tersebut dengan kajian singkat terkait mushaf Ubay ibn Ka’ab.

Biografi Ubay ibn Ka’ab

Sahabat yang memiliki nama lengkap Ubay ibn Ka’ab al-Anshariy al-Mu’awiy al-Madaniy al-Badriy ini dilahirkan dari seorang ayah yang bernama Ka’ab ibn Qais, dan Ibu yang bernama Shuhailah bint al-Aswad. Jika ditelusuri lebih jauh, maka silsilah nasab ayah maupun ibunya sama-sama bermuara pada satu titik nasab yang sama yaitu ‘Umar ibn Malik ibn al-Najjar. Keluarga Ubay sendiri berasal dari suku Khazraj.

Selain nama tersebut, beliau juga memiliki kunyah (nama panggilan) dengan nama Abu al-Mundzir dan Abu al-Thufail. Sahabat Ubay ibn Ka’ab ini termasuk orang yang masuk Islam pada periode yang cukup awal. Beliau juga turut serta membantu Nabi dalam beberapa pertempuran besar, seperti perang Badr, dan perang Uhud.

Tidak diketahui secara pasti kapan Ubay ibn Ka’ab mulai mengumpulkan salinan-salinan wahyu ke dalam mushafnya. Namun, bisa dipastikan bahwa awal mula Ubay menulis wahyu adalah ketika Nabi telah berhijrah ke Madinah. Karena pada saat itu, Nabi mulai menunjuk beberapa sahabat untuk menjadi penulis wahyu, dan salah satu sahabat yang ditunjuk tersebut adalah Ubay ibn Ka’ab.

Baca Juga: Mengenal Mushaf Pra-Utsmani (1): Sejarah Awal Mula Penulisan Mushaf dan Klasifikasinya

Dalam sebuah riwayat dijelaskan bahwa Ubay ibn Ka’ab termasuk penulis wahyu yang sangat dipercaya oleh Nabi. Hal ini disebabkan karena Nabi lebih mendahulukan mendiktekan wahyu kepada Ubay dari pada kepada Zaid ibn Tsabit. Kepercayaan tersebut menjadikan Ubay ibn Ka’ab sebagai sahabat yang ahli dalam hal-hal yang berkaitan dengan Al-Qur’an, baik dari aspek qira’ah, asbab al-nuzul, tafsir, dan makki-madani.

Keahlihan tersebut dapat dibuktikan dalam sebuah riwayat yang menceritakan bahwa suatu ketika Ibnu Abbas bertanya kepada Ubay terkait jumlah surah yang diturunkan di Madinah. Maka, Ubay pun menjawab bahwa jumlah surah madaniyah terdapat sebanyak 27 surah, sedangkan sisanya adalah surah makkiyah.

Kepakaranya dalam bidang Al-Qur’an tersebut, mengakibatkan ia mendapatkan berbagai julukan, seperti Sayyid al-Qurra’ (pemimpin para pembaca/penghafal Al-Qur’an), Aqra’ al-Ummah dan Sayyid al-Muslimin. Selain itu, beliau juga diberi otoritas oleh Nabi untuk mengajarkan Al-Qur’an kepada umat Islam saat itu. Sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Abdullah ibn ‘Amr, dalam sebuah sabda Nabi, yaitu:

اسْتَقْرِئُوْا القُرْآنَ مِنْ أَرْبَعَةٍ: مِنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ وَسَالِمٍ مَوْلَى أَبِيْ حُذَيْفَةَ وَأُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ وَمُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ

Carilah bacaan Al-Qur’an dari empat orang: Abdullah ibn Mas’ud, Salim maula Abu Hudzaifah, Ubay ibn Ka’ab dan Mu’adz ibn Jabal” (H.R. Bukhari no. 3806)

Terkait tahun kematianya, sulit untuk memastikan kapan beliau wafat. Hal ini dikarenakan terdapat ragam riwayat sumber literatur Islam klasik yang menyebutkan bahwa Ubay ibn Ka’ab wafat pada 19 H, 20 H,dan 22 H. Intinya menurut Schwally, sahabat Ubay sudah wafat sebelum dibentuknya komite pengumpulan Al-Qur’an masa khilafah Utsman ibn ‘Affan. Sehingga jika menggunakan pendapat ini, dapat dipastikan bahwa Ubay ibn Ka’ab tidak ikut berkontribusi dalam proses kodifikasi teks Al-Qur’an yang kemudian menghasilkan mushaf utsmani.

Baca Juga: Abu Aswad Ad-Du’ali dan Kisah Pemberian Tanda Baca dalam Mushaf Al-Quran

Struktur Sistematika Mushaf Ubay ibn Ka’ab

Dalam kitab al-Itqan fi Ulum al-Qur’an karya Jalaluddin al-Suyuthi, beliau menyebutkan bahwa jumlah surah pada mushaf Ubay ibn Ka’ab terdapat sebanyak 116 surah. Namun karena terdapat penggabungan surah, antara surah [105] dengan [106] atau surah [93] dengan [94], maka totalnya menjadi 115 surah. Walaupun demikian, dalam proses perincianya, al-Suyuthi tidak memasukkan delapan surah yaitu surah [74], [25], [32], [35], [68], [76], [85], dan [111]. Skema perincian tersebut dapat dijelaskan dalam tabel berikut:

No. Nama Surah No. Nama Surah No. Nama Surah
1 al-Fatihah 37 al-Fath 73 al-Alaq
2 al-Baqarah 38 al-Qital* 74 al-Hujurat
3 al-Nisa’ 39 al-Dzihar* 75 al-Munafiqun
4 Ali ‘Imran 40 al-Mulk 76 al-Jumu’ah
5 al-An’am 41 al-Sajdah 77 al-Tahrim
6 al-A’raf 42 Inna Arsalna Nuh 78 al-Fajr
7 al-Ma’idah 43 al-Ahqaf 79 al-Balad
8 Yunus 44 Qaf 80 al-Lail
9 al-Anfal 45 al-Rahman 81 al-Infithar
10 al-Taubah 46 al-Waqi’ah 82 al-Syams
11 Hud 47 al-Jin 83 al-Thariq
12 Maryam 48 al-Najm 84 al-A’la
13 al-Syu’ara 49 al-Ma’arij 85 al-Ghasyiyah
14 al-Hajj 50 al-Muzzammil 86 al-Shaff
15 al-Kahfi 51 al-Muddatstsir 87 al-Bayyinah
16 al-Nahl 52 al-Qamar 88 al-Dhuha
17 al-Ahzab 53 al-Dukhan 89 al-Insyirah
18 al-Isra’ 54 Luqman 90 al-Qari’ah
19 al-Zumar 55 al-Jatsiyah 91 al-Takatsur
20 Thaha 56 al-Thur 92 al-’Ashr
21 al-Anbiya’ 57 al-Dzariyat 93 al-Khal’**
22 al-Nur 58 Nun 94 al-Hafd**
23 al-Mu’minun 59 al-Haqqah 95 al-Humazah
24 Saba’ 60 al-Hasyr 96 al-Zalzalah
25 al-Ankabut 61 al-Mumtahanah 97 al-’Adiyat
26 al-Mu’min 62 al-Mursalat 98 al-Fil
27 al-Ra’d 63 al-Naba’ 99 al-Quraisy
28 al-Qashash 64 al-Qiyamah 100 al-Ma’un
29 al-Naml 65 al-Takwir 101 al-Kautsar
30 al-Shaffat 66 al-Thalaq 102 al-Qadr
31 Shad 67 al-Nazi’at 103 al-Kafirun
32 Yasin 68 al-Taghabun 104 al-Nashr
33 al-Hijr 69 ‘Abasa 105 al-Lahab
34 al-Syura 70 al-Muthaffifin 106 al-Ikhlas
35 al-Rum 71 al-Insyiqaq 107 al-Falaq
36 al-Hadid 72 al-Tin 108 al-Nas

Dalam tabel tersebut terdapat dua surah yang bertanda (*), dalam mushaf utsmani dua surah tersebut adalah surah Muhammad dan surah al-Mujadilah. Sedangkan, dua surah yang bertanda (**), merupakan dua surah tambahan dalam mushaf Ubay ibn Ka’ab, yaitu surah al-Hafd dan surah al-Khal’. Khaulah ‘Abid Khalf al-Dulaimiy dalam karyanya yang berjudul Qira’ah Ubay ibn Ka’ab Dirasah Nahwiyyah wa Lughawiyyah, menjelaskan redaksi dua surah tambahan tersebut yaitu, pertama, surah al-Hafd yang didalamnya tertulis:

اللَّهُمَّ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نُصَلِّي وَنَسْجُدُ وَإِلَيْكَ نَسْعَى وَنَحْفِدُ, نَخْشَى عَذَابَكَ وَنَرْجُوْ رَحْمَتَكَ إِنَّ عَذَابَكَ بِالكُفَّارِ مُحِيْقٌ

Sedangkan, yang dimaksud dengan surah tambahan kedua, yaitu surah al-Khal’ adalah sebuah do’a yang memilki redaksi sebagaimana berikut:

اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْتَعِيْنُكَ وَنَسْتَغْفِرُكَ وَنُثْنِي عَلَيْكَ الخَيْرَ وَلَا نَكْفُرُكَ وَنُؤْمِنُ بِكَ وَنخلع وَنَتْرُكُ مَنْ يَفْجُرُكَ

Dalam salinan mushaf Ubay ibn Ka’ab ditemukan perbedaan ortografis dengan mushaf yang dikenal saat ini. Misalnya kata للرجال (li al-rijali) dalam mushaf saat ini ditulis dengan huruf alif, teteapi di mushaf Ubay ditulis dengan huruf ya. Sehingga berubah menjadi للرجيل (li al-rijaili). Selain itu, terdapat juga bacaan yang berbeda dalam mushaf Ubay ibn Ka’ab dengan bacaan resmi dalam mushaf resmi utsmani, baik dari segi vokalisasi, kerangka konsonantal, penambahan atau pengurangan terhadap kata dan ayat, serta masih banyak lainya.

Baca Juga: Sejarah Jual-Beli Mushaf Al-Quran di Era Awal Islam

Mushaf Ubay ibn Ka’ab ini termasuk mushaf pra-utsmani yang cukup berpengaruh luas dalam masyarakat Arab saat itu, khususnya di daerah Syiria. Namun, pada saat proses standardisasi teks Al-Qur’an pada masa Utsman, mushaf Ubay termasuk mushaf yang dibakar guna mewujudkan unifikasi mushaf. Walaupun demikian, riwayat qira’ah dari Ubay ibn Ka’ab tetap berkembang dan digunakan hingga saat ini. Hal ini dikarenakan tujuh sanad qira’at yang berkembang saat ini, semuanya bermuara pada sanad Ubay ibn Ka’ab. Wallahu A’lam

Ibrah Kisah Nabi Daud: dari Taubat hingga Manajemen Ibadah

0
Kisah Nabi Daud
Kisah Nabi Dawud

Kisah Nabi Daud dalam Al-Quran termasuk yang banyak diceritakan. Namanya tersebut 16 kali yang tersebar dalam 9 surah. Dalam surah Shad tersebut 5 kali, kemudian dua kali dalam surah Al-Anbiya’, An-Naml, dan Saba’, serta satu kali dalam surah Al-Baqarah, An-Nisa’, Al-Maidah, dan Al-Isra’. Banyaknya nama Daud yang disebutkan dalam Al-Quran seakan memberi tahu kita bahwa kisah Nabi Daud sangat menarik untuk diambil ibrah. Dan beberapa ibrah yang bisa diambil adalah mengenai taubat Nabi Daud dan juga perihal manajemen ibadah beliau.

Nabi Daud adalah salah satu Nabi yang diutus untuk kaum Bani Israil. Beliau diberi kekuasaan berupa kerajaan oleh Allah. Sebelumnya, beliau adalah seorang pemuda pemberani yang diutus Allah untuk membantu Raja Thalut melawan Raja Jalut yang zalim. Dalam cerita-cerita Abrahamik, Nabi Daud adalah salah satu raja ideal setelah Nabi Sulaiman. Selain karena sosoknya yang bijak dan luasnya pengaruh kerajaan, Nabi Daud juga telah mengawali pembangunan Baitul Maqdis. Sebuah pusat ibadah dan sentral ikon pada masanya yang kemudian diselesaikan oleh putranya, Nabi Sulaiman.

Nabi Daud juga diberikan mukjizat mengerti bahasa binatang. Beliau juga mempunyai suara yang sangat merdu. Padanya Allah menurunkan kitab yang dinamai Zabur. Berkat mukjizat yang telah dianugerahkan Allah kepada Nabi Daud tersebut, Allah pun menyuruh gunung-gunung, burung-burung, dan makhluk seluruh alam untuk bertasbih bersama-sama Nabi Daud setiap sore dan petang. Hal ini tercantum dalam surah Saba’ ayat 10-11 dan surah Shad ayat 18-19.

Baca juga: Kisah Dzulqarnain dalam Al-Quran, Raja yang Saleh dan Bijaksana

Kesalahan Nabi Daud hingga ditegur Allah

Ketika menjadi seorang raja, Nabi Daud juga dipercaya rakyatnya untuk menjadi qadhi (hakim). Beliau memang seorang yang sangat adil nan bijaksana dalam mengambil keputusan. Setiap permasalahan dan sengketa yang dialami oleh rakyatnya diadukan kepada beliau untuk diputus secara adil. Allah memberinya kearifan seperti yang difirmankan-Nya dalam surah Shad ayat 20.

Pernah suatu hari terjadi sengketa antara dua orang pemilik kambing. Pemilik kambing pertama mengadukan kepada Nabi Daud perihal kambingnya yang hanya satu untuk diserahkan kepada pemilik kambing kedua yang padahal telah memiliki kambing 99 ekor. Pemilik kambing kedua rupanya berniat menggenapi kambingnya menjadi 100 ekor dengan memaksa saudaranya tersebut untuk menyerahkan kambingnya.

Nabi Daud pun memutuskan perkara tersebut dengan membenarkan ucapan pemilik kambing pertama. Namun, pemilik kambing kedua ternyata menimpal balik ucapan Nabi Daud. Ia mengatakan kepada Nabi Daud, bahwa seharusnya yang dihukum adalah Nabi Daud. Lantas beliau pun mengingat kesalahannya dan sangat menyesalinya.

Baca juga: Abu Aswad Ad-Du’ali dan Kisah Pemberian Tanda Baca dalam Mushaf Al-Quran

Dulu saat Nabi Daud memimpin, seluruh penduduk sejahtera dan makmur. Nabi Daud pun dikagumi rakyatnya, dan punya otoritas atas kewibawaannya. Suatu ketika Nabi Daud terpesona dengan seorang perempuan yang telah dipinang. Pemuda yang meminang tersebut ternyata adalah prajurit Nabi Daud yang sangat setia. Nabi Daud pun mengirim pemuda tersebut berperang. Dalam hatinya Nabi Daud menginginkan pemuda tersebut mati syahid agar ia bisa menikahi perempuan tersebut. Hingga akhirnya yang diinginkan Nabi Daud pun terjadi, pemuda tersebut meninggal, lalu Nabi Daud menikahi perempuan tersebut. Versi cerita ini terbebas dari riwayat Israiliyat seperti yang ditegaskan dalam Tafsir Ibnu Katsir dan dikutip oleh Syekh Nawawi al-Bantani dalam Tafsir Marah al-Labid.

Akibat kesalahan yang telah diperbuat, Nabi Daud akhirnya bertaubat dengan beribadah dan bersujud sepanjang waktu. Ada yang meriwayatkan bahwa Nabi Daud tidak mengangkat kepalanya kecuali pada saat mendesak saja. Allah pun mengampuni kesalahannya dan menerima taubatnya. Kisah Nabi Daud ini diabadikan Allah dalam surah Shad ayat 21-26.

Mengambil ibrah tentang taubat Nabi Daud

Nabi Daud telah dianugerahi Allah berupa nikmat yang banyak, mukjizat, dan kekuasaan besar di antara makhluknya. Namun beliau pernah terjebak satu kesalahan yaitu pernah membuka hatinya untuk menerima rasa ingin menguasai secara lebih, meskipun hal itu adalah hak rakyatnya dari golongan kecil.

Dari kisah Nabi Daud tersebut bisa diambil hikmah untuk kita hari ini. Ia menjadi penanda bagi kita bahwa setiap manusia pasti tidak terlepas dari penyakit hati termasuk sifat tamak. Setan memanglah sangat licik. Ia bisa masuk di berbagai celah sekalipun sekecil lubang jarum. Seorang kekasih Allah seperti Nabi Daud pun juga tak luput dari kesalahan. Apalagi kita sebagai manusia biasa pasti sangat sering melakukan kesalahan dan dosa.

Baca juga: Kisah Nabi Idris: Pelopor Berbagai Ilmu dan Inovasi Umat Manusia

Namun, kesalahan dan kekhilafan adalah suatu keniscayaan bagi manusia. Dan Allah pun membuka pintu selebar-lebarnya bagi manusia untuk bertaubat. Allah menyukai seseorang yang bertaubat dan menerima seseorang yang bertaubat dengan tulus. Karena setelah ia bertaubat, ia akan menjadi manusia yang jauh lebih baik dari sebelumnya.

Mencontoh manajemen ibadah Nabi Daud

Pribadi Nabi Daud sangatlah mulia dan beliau sangat tekun beribadah (Al-Nubuwwah wa al-Anbiya’:357-358). Apalagi setelah beliau bertaubat, tidak kurang-kurang beliau beribadah kepada Allah (Tafsir fi Dhilal al-Quran 5:2897). Bahkan Rasulullah pernah bersabda “puasa yang lebih disukai Allah adalah puasanya Daud, dan shalat yang paling disukai Allah adalah shalatnya Daud. Beliau tidur seperdua malam, bangun sepertiganya, lalu tidur di seperenamnya. Puasa beliau adalah satu hari puasa, dan satu hari berbuka” (H.R. Bukhari Muslim).

Puasa Daud yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW adalah syar’u man qablana (syariat orang-orang saleh terdahulu). Menurut Rasululullah ini adalah sebaik-baik puasa yang dilakukan umatnya dan paling disukai Allah. Bagi umat Rasulullah SAW, menjalankan puasa sepanjang waktu memang tidak diperbolehkan karena umatnya tidak akan sanggup. Secara medis pun puasa sepanjang waktu setiap hari memang merusak kesehatan. Maka porsi yang seimbang bagi umat Rasulullah SAW jika ingin beribadah secara total adalah berpuasa Daud.

Manajemen ibadah Nabi Daud juga bisa kita teladani hari ini. Seperti yang disabdakan dan disunnahkan Rasulullah, Nabi Daud tidur di seperdua malam yang artinya tidur lebih awal. Kemudian bangun di sepertiga malam, untuk melakukan shalat tahajud. Setelah itu tidur di seperenam malam. Waktu tidur seperti ini adalah ideal bagi manusia. Pengelolaan jam tidur dan ibadah seperti ini dapat membuat tubuh tidak mudah jatuh sakit serta dapat mempertajam fikiran karena heningnya waktu tersebut.

Baca juga: Tafsir Ayat Poligami yang Tidak Pernah Usai dan Kisah Imam Abu Hanifah Membela Perempuan

Salah satu manajemen ibadah yang bisa dicontoh dari Nabi Daud adalah waktu berdzikir. Selama hidupnya beliau tidak pernah meninggalkan dzikir di waktu pagi dan petang. Rasulullah pun juga melakukan hal demikian. Karena waktu-waktu tersebut adalah waktu yang mustajab di mana seluruh alam juga bertasbih. Ibarat pagi adalah pembukaan dan petang adalah penutupnya. Wallahu a’lam[]

Surah Al-Baqarah [2] Ayat 168: Anjuran Makan Makanan Halal dan Bergizi

0
makanan halal dan bergizi
makanan halal dan bergizi

Agama Islam melalui Al-Qur’an dan sunah telah mengajarkan pemeluknya untuk memperhatikan secara teliti berbagai persoalan kehidupan, seperti permasalahan keagamaan dan sosial, termasuk urusan konsumsi. Mereka diperintahkan oleh Allah swt agar – hanya – memakan makanan halal dan bergizi (baik). Sebab makanan sangat berpengaruh dalam menunjang aktivitas harian manusia, baik itu berkenaan dengan ibadah maupun relasi sosial.

Dalam beberapa tahun belakangan, telah banyak dipelajari tentang pengaruh berbagai makanan dan nutrisi pada kesehatan jasmani. Semakin baik kombinasi makanan, maka semakin baik pula bagi tubuh manusia. Kombinasi yang baik maksudnya adalah makanan dan minuman yang gizinya seimbang. Namun untuk mengetahui manfaat dan dampak kombinasi makanan tertentu, diperlukan penelitian dan analisa mendalam.

Untuk mengukur keseimbangan asupan gizi bagi tubuh, biasanya para ahli gizi menggunakan istilah status gizi. Ia adalah keadaan tubuh yang merupakan refleksi dari apa yang dimakan seseorang sehari-hari. Status gizi dikatakan baik apabila pola makan seseorang seimbang. Artinya, frekuensi dan jenis makanan yang dikonsumsi sesuai dengan kebutuhan tubuh, tidak lebih dari kebutuhan (obesitas) dan tidak pula kurang (kurang gizi).

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Petunjuk Al-Quran Tentang Makanan yang Halal dan Haram

Dalam ajaran Islam – terutama Al-Qur’an – problematika keseimbangan gizi dan pola makan teratur sebagaimana yang dijelaskan di atas juga telah diatur. Karena pada dasarnya, Islam adalah agama yang sempurna dan komprehensif menurut pemeluknya.  Di dalam Al-Qur’an dijelaskan berbagai ketentuan-ketentuan hukum yang bersifat simbolik-universal seperti anjuran memakan makanan halal dan bergizi (baik).

Surah Al-Baqarah [2] Ayat 168: Anjuran Makan Makanan Halal dan Bergizi

Salah satu ayat Al-Qur’an yang berbicara anjuran memakan makanan halal dan bergizi (baik) adalah surah al-Baqarah [2] ayat 168 yang berbunyi:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ كُلُوْا مِمَّا فِى الْاَرْضِ حَلٰلًا طَيِّبًا ۖوَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ ١٦٨

“Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.” (Al-Baqarah [2] ayat 168)

Menurut Quraish Shihab, ajakan ayat di atas ditujukan bukan hanya kepada orang-orang beriman – tetapi juga untuk seluruh manusia – seperti terbaca di atas (an-nas). Hal ini menunjukkan bahwa bumi disiapkan Allah untuk seluruh manusia, mukmin atau kafir. Setiap upaya dari siapa pun untuk memonopoli hasil-hasilnya, baik ia kelompok kecil maupun besar, keluarga, suku, bangsa atau kawasan, dengan merugikan yang lain, maka itu bertentangan dengan ketentuan Allah Swt.

Pada surah al-Baqarah [2] ayat 168 ini seluruh manusia diajak untuk memakan makanan halal dan bergizi (baik). Karena itu baik bagi tubuh mereka dalam jangka panjang dan dapat menunjang berbagai aktifitas harian mereka di dunia. Menurut sebagian ulama, kata kulu pada ayat ini tidak bersifat wajib, tetapi bersifat anjuran yang sebaiknya dilaksanakan (mendekati posisi wajib).

Anjuran memakan makanan halal dan bergizi (baik) Allah sampaikan karena tidak semua yang ada di dunia otomatis halal dimakan atau digunakan. Dia menciptakan ular berbisa bukan untuk dimakan, tetapi antara lain untuk digunakan bisanya sebagai obat. Ada burung-burung yang diciptakan-Nya untuk memakan serangga yang merusak tanaman (Tafsir Al-Misbah [1]: 379).

Dengan demikian, tidak semua yang ada di bumi menjadi makanan yang halal, karena bumi tidak hanya diciptakan untuk manusia, walaupun sebagian besar isinya dimanfaatkan untuk kepentingan manusia. Karena itu, manusia yang telah diberikan anugerah akal dan wahyu oleh swt Allah diperintahkan untuk memilah-milih makanan yang halal. Tidak hanya halal secara syariat, tetapi juga bergizi (baik) menurut kesehatan.

Makanan hal di sini maksudnya adalah makanan yang tidak haram, yakni makanan yang dilarang oleh agama Islam. Makanan haram ada dua macam jenisnya, yaitu makanan haram karena zatnya seperti babi, bangkai dan darah; dan makanan yang haram dari segi perolehannya, seperti makanan yang tidak diizinkan oleh pemiliknya untuk di mana atau digunakan. Makanan hal tidak termasuk ke dalam dua jenis makanan tersebut.

Sekali lagi perlu digarisbawahi bahwa anjuran memakan makanan halal dan bergizi (baik) diperuntukkan bagi seluruh manusia, tidak terkecuali seorangpun. Seakan-akan Allah swt berfirman, “Wahai orang-orang muslim dan kafir, makanlah makanan yang halal, bertindaklah sesuai dengan hukum, karena itu bermanfaat untuk kalian dalam kehidupan dunia kalian.” (Tafsir Al-Misbah [1]: 380).

Namun meskipun demikian, tidak semua makanan yang halal otomatis baik. Karen yangg dinamai halal terdiri dari empat macam: wajib, sunnah, mubah dan makruh. Aktivitas pun demikian. Ada aktivitas yang walaupun halal, namun makruh atau sangat tidak disukai Allah, seperti misalnya pemutusan hubungan. Selain itu, tidak semua yang halal sesuai dengan kondisi masing-masing.

Baca Juga: Agar Doa Cepat Terkabul? Makanlah Yang Halal

Secara umum – berdasarkan kecocokan masing-masing individu – ada makanan halal yang baik buat si A yang memiliki kondisi kesehatan tertentu, dan ada juga yang kurang baik untuknya, meskipun itu baik bagi yang lain. Ada makanan yang halal, tetapi tidak bergizi, dan itu memiliki dampak yang kurang baik. Adapun makanan yang diperintahkan oleh ayat di atas adalah makanan yang halal lagi baik untuk kesehatan.

Berdasarkan penjelasan surah al-Baqarah [2] ayat 168, dapat dipahami bahwa manusia, baik muslim maupun non-muslim, dianjurkan untuk memakan makanan halal dan bergizi (baik). Ayat ini secara eksplisit juga mengajarkan kita untuk bertindak selektif dalam memilih makanan sesuai dengan kebutuhan tubuh masing-masing, tidak makan secara sembarang dan berlebihan. Wallahu a’lam.

Mengulik Hermeneutika Al-Quran ala Hasan Hanafi (2): Tiga Fase Analisis

0
hermeneutika al-quran
hermeneutika al-quran

Hermeneutika bagi Hanafi tidak hanya membicarakan teknis penafsiran secara metodis dan filosofis semata, akan tetapi juga mengulik dimensi kesejarahan teks dan kepentingan praksis dalam kehidupan. Menurutnya ada tiga langkah operasional hermeneutika atau tiga fase yang menjadi pisau analisis Hanafi, yaitu kesadaran historis atau kritik historis, kesadaran eidetik, dan kesadaran praktis yang akan dibahas dalam artikel ini.

Kritik Historis

Kritik historis adalah sebuah kritik untuk memastikan keorsinilan teks yang disampaikan Nabi saw dalam konteks sejarah. Artinya berdimensi horizontal-historis dan bukan pada tataran vertikal-metafisis. Karenanya, keaslian teks Al-Quran hanya bisa digaransi oleh kritik historis, maka kritik historis harus ditempatkan secara objektif yang bebas dari intervensi bahkan dominasi atau hegemoni teologis, filosofis, mistis, atau bahkan fenomenologis.

Adapun prinsip-prinsip kritik historis menurut Hanafi ialah 1) teks ditulis secara in verbatim (persis dengan redaksi yang difirmankan pertama kali); 2) teks utuh, tanpa ada reduksi; 3) Nabi atau malaikat harus bersikap netral, hanya sekadar sebagai “penyambung lidah” atau alat komunikasi murni dari Tuhan secara in verbatim kepada manusia.

Baca juga: Massimo Campanini; Pengkaji Al-Quran Kontemporer dari Italia

Hermeneutika kritis emansipatoris tidak berurusan dengan revelation (wahyu) in verbatim tatkala masih dalam pemikiran Tuhan atau belum di-landing-kan kepada Nabi-Nya dan umatnya. Teks akan in verbatim apabila tidak melewati masa pengalihan lisan, di mana Nabi saw hanya sekadar merupakan penyampai (muballigh). Teks tidak lagi in verbatim karena banyak kata yang terdistorsi meski makna dan siyaqul kalam-nya tetap dipertahankan. Inilah oleh Hanafi disebut teks asli atau sempurna, sebab tidak ada teks suci lain yang ditulis in verbatim dan utuh melebihi teks Al-Quran.

Kritik Eidetis

Hasan Hanafi dalam Dirasat Islamiyah menandaskan bahwa kritik eidetik sebagai proses pemahaman terhadap teks, berfungsi untuk memahami dan menginterpretasi teks setelah validitasnya dita’kidi oleh kesadaran historis. Serta menjadikan ilmu ushul fiqih menjadi lebih sempurna dan komprehensif dalam proses istinbath hukum.

Dalam proses kritik eidetik, Hanafi mempersyaratkan; 1) penafsir harus melepaskan diri dari dogma ayau pemahaman-pemahaman yang ada, kecuali alat untuk analisa linguistik; 2) setiap fase dalam teks mengingatkan bahwa teks Al-Quran turun secara gradual serta mengalami “perkembangan” yang harus dipahami sebagai suatu struktur yang berdiri sendiri.

Selain itu, masih terkait analisis pemahaman, Hanafi juga memberikan prasyarat, di antaranya 1) analisa bahasa, dengan analisis linguistik-sintaksis, sebagai pisau analisis untuk membawa kepada pemahaman terhadap makna teks kitab suci (Al-Quran); 2) analisis konteks historis, yang memusatkan diri pada latar belakang sejarah yang melahirkan teks itu sendiri;

3) generalisasi, mengangkat makna dari situasi “saat” dan situasi sejarahnya sehingga relevan untuk konteks kekinian dan bahkan masa depan sekalipun. Bagi Hanafi, asbabun nuzul bukan penentu tunggal realitas, namun justru diundang oleh realitas aktual itu sendiri.

Kritik Praktis

Bagi Hanafi, kritik praktis merupakan penyempurnaan kalam Tuhan di dunia. Dogma tidak lebih hanya sebagai motivasi yang diitujukan untuk praksis. Karena menurutnya wahyu Al-Quran sebagai dasar dogma merupakan motivasi bagi tindakan manusia di samping obyek pengetahuan.

Sebagai dogma, ia hanya dapat direkognisi eksistensinya apabila didasari sifat keduniaannya sebagai sebuah sistem ideal, namun juga dapat termanifestasikan dalam perilaku manusia. Karena satu-satunya sumber legitimasi dogma adalah aplikasinya pada dunia praktis. Itulah sebabnya mengapa yurisprudensi (ilmu ushul fiqih) dianggap ‘”ilmu tanzil”, yang dibedakan dari “ilmu ta’wil” dalam tradisi sufisme. Sebab yang terakhir ini menghendaki gerak dari manusia kepada Tuhan (dari horizontal menuju vertikal/ bottom up), sementara yurisprudensi menghendaki transformasi Tuhan membumi kepada kehidupan manusia (top-down) sebagaimana dijelaskan Hanafi dalam Humum al-Fikr wa al Wathan.

Baca juga: Tayyar Altikulac: Filolog Muslim Pengkaji Manuskrip Al-Qur’an Kuno

Generalisasi pada tahap eidetis ini selanjutnya membuka jalan bagi kritik praksis sebagaimana penjelasan di muka. Hermeneutika kritik emansipatoris merupakan pembacaan Al-Quran dengan maksud-maksud praksis yang menaruh perhatian besar pada transformasi masyarakat. Karena itu, kebenaran teoritis tidak diperoleh dengan argumentasi tertentu melainkan dari kemampuannya menjadi sebuah motivasi bagi tindakan.

Maka, finalisasi dari proses hermeneutika ini, core-nya adalah bagaiamana output penafsiran ini bisa diaplikasikan dalam kehidupan manusia, dapat memberi motivasi atau melandasi kemajuan dan kesempurnaan kehidupan manusia. Tanpa keberhasilan tahap ketiga ini, betapapun hebatnya hasil interpretasi ia tetap tidak dapat dikatakan sempurna dan berhasil tanpa membumi kepada kehidupan manusia. Sebab di sinilah memang maqashid atau tujuan akhir di-landing-kannya teks suci (Al-Quran).

Dari sini terlihat bahwa fungsi hermeneutika kritis emanispatoris sebagai sarana jihad untuk melawan berbagai macam sekat-sekat dan eksploitasi dalam masyarakat, yang kemudian bermuara pada kesadaran manusia (self or citizen’s awareness).

Kesimpulan

Dari tiga fase analisis di atas, Hasan Hanafi mengharapkan hermeneutika kritis emansipatoris dapat bersifat teoritik sekaligus praksis-aplikatif yang berfungsi sebagai analisis filologi murni terhadap teks yang tidak akan memperbincangkan masalah prinsipil dalam penafsiran (ekstrovert).

Dan secara filosofis digunakan untuk menunjukkan problematika yang concern pada problem pembacaan, yang menyerap teks ke dalam perbincangannya sendiri (introvert). Serta pada akhirnya, semua hasil penafsiran itu mampu menyempurnakan kehidupan dan peradaban manusia itu sendiri. Bukankah itu yang dikehendaki dari maksud teks Al-Quran? J Wallahu A’lam.

Mengulik Hermeneutika Al-Quran ala Hasan Hanafi (1): Beberapa Pemikiran

0
hermeneutika al-quran
hermeneutika al-quran (bincangsyariah)

Dalam artikel yang lalu telah diintrodusir biografi Hasan Hanafi, sekarang kita menginjak pada tataran pemikiran hermeneutika Al-Quran-nya. Sebagaimana diketahui bersama, Hasan Hanafi mempunyai pemikiran berupa hermeneutika Al-Quran kritik emansipatoris, yaitu memahami makna Al-Quran dalam konteks kekinian tanpa tercerabut dari konteks historis dan yang terpenting pemahaman tersebut tidak berkutat dalam wacana.

Lebih dari itu, benar-benar mampu membawa pada perubahan sosial masyarakat, inlah yang menjadi fokus kajian atau distingsi dari hermeneutika Hasan Hanafi. Berikut penjelasannya di bawah ini.

Hermeneutika ala Hasan Hanafi pertama kali dikemukakan melalui karyanya Religius Dialogue and Revolution. Di mana ia melihat hermeneutika sebagai aksiomatika, sebagaimana halnya pandangan Al-Quran terhadap kitab suci lainnya, status wanita menurut Al-Quran dan ajaran Yahudi dan sebagainya. Pun dalam Dirasat Islamiyyah bab Ushul Fiqh dan Dirasat Falsafiyyah utamanya dalam bahasan Qira’ah Nash.

Di dalam disertasinya, ia menggunakan pendekatan hermeneutika kritis emansipatoris dalam memahamai fenomenologi keberagamaan, dan mengimplementasikannya dalam La Phenomenologie de L’Exegese, esay d’une hermeneutique existentielle a partir du Nueveau Testament’ (Fenomenologi Penafsiran: Risalah Penafsiran Eksistensialisme terhadap Perjanjian Baru) tahun 1965-1966.

Dua Agenda dan Piranti Besar

Concern Hasan Hanafi dalam mengembangkan hermeneutika Al-Quran-nya dibangun atas dua agenda, yaitu persoalan metodis atau teori penafsiran dan persoalan filosofis. Secara metodis, hanafi seolah hendak menggariskan beberapa new line (garis baru) dalam memahami Al-Quran dengan tumpuan utama pada dimensi liberasi dan emansipatoris Al-Quran.

Sementara agenda filosofis, Hanafi telah bertindak sebagai kritikus bahkan dekonstruktor tethadap teori lama yang dianggap sebagai kebenaran dalam metodologi penafsiran Al-Quran. Maka, dalam konteks ini ia mencoba merekonstruksi hermeneutika ala dirinya dengan menggunakan beberapa piranti besar, yaitu ushul fiqih, fenomenologi, Marxis, dan hermeneutika itu sendiri.

Baca juga: Hasan Hanafi, Eksponen Penting Dalam Hermeneutika Al-Quran

Melalui empat komposisi tersebut, Hanafi membangun sebuah teori hermeneutika yang mewadahi gagasan pembebasan dalam Islam. Atau tafsir revolusioner yang menjadi pijakan normatif-ideologis bagi umat Islam – ntuk menghadapi segala bentuk represi, eksploitas, dan ketidakadilan – yang mengusung hermeneutika lebih bersifat praksis dan mampu menjadi problem solver.

Menurut Hanafi dalam Islam in The Modern world bahwa tanggungjawab tafsir ialah mengungkapkan eksistensi manusia baik secara individu maupun sosial dengan berbagai situasinya sesuai pesan ajaran Islam itu sendiri (shalih likulli zaman wa makan).

Hermeneutika sebagai Aksiomatika

Hermeneutika sebagai aksiomatika menurutnya berarti deskripsi proses hermeneutika sebagai ilmu pengetahuan yang rasional, format, obyektif dan universal, yakni dengan mengkonstruksi sebuah metode yang bersifat rasional, obyektif dan universal dalam memahami teks-teks klasik Islam.

Hermeneutika juga memainkan peranan yang sama seperti teori keseluruhan dan teori penjumlahan dalam matematika, di mana meletakkan semua aksiomanya di muka dan mencoba dahulu merampungkan problem hermeneutika tanpa mengacu pada data relevan khusus sehingga akan menjadi semacam mathesis universal.

Aksiomatisasi hermeneutika menurutnya, mengasosiasi semua masalah yang terdapat dalam kitab suci dan mencoba menyelesaikannya di muka atau in principil dengan meletakkan masalah dengan penyelesaian secara bersama-sama dalam bentuk aksiomatis. Hal ini agar menciptakan sebuah disiplin penafsiran yang obyektif, rigorus (tepat, akurat dan universal).

Selain itu, dimaksudkan agar tafsir Al-Quran dapat menyentuh masyarakat secara luas dan empiris dengan segala problematika yang dihadapi, tidak hanya sebatas pada aspek teoritis, tapi juga praksis-aplikatif. Hanafi memberikan stressing (penekanan) pada pentingnya ideologi dan “kepentingan” untuk dibawa ke dalam proses penafsiran.

Sebab menurutnya, pembacaan teks yang dilakukan oleh penafsir tidak terlepas dari background sosial budaya serta pengarun intern yang ia miliki. Sederhananya, seorang penafsir dalam menafsirkan harus mengenal siapa dirinya di satu sisi, serta obyektif dan tidak brutal (sewenang-wenang) dalam menafsirkan teks Al-Quran pada sisi yang lain. Karena baginya, hermeneutika mengajarkan metode yang bersifat normatif sehingga diperlukan kelihaian (expertise) dalam kerja-kerja penafsiran.

Baca juga: Introducing English Semantics: Teori Semantika Al-Quran Ala Charles W. Kreidler

Dalam Qadlaya Muashirah, ia berpendapat bahwa kebanyakan tafsir Al-Quran terkungkung dalam tema-tema tautologis (cocokologi) dan repetitif yang sebetulnya tidak relevan. Mentransformasikan penafsiran dari sekadar melegitimasi dogma menuju gerkan revolusi dan dan dari tradisi ke modernisasi, inilah yang kemudian ia sebut dengan sebagai tindakan “regresif-progresif”.

Menurut Hanafi dalam Min al-Nash ila al-Waqi’, apabila teks bertentangan dengan maslahat, maka maslahatlah yang harus didahulukan, sebab teks hanya sekadar wasilah (tools), adapun maslahat adalah ghayah atau maqashid dari teks itu sendiri. Interelasi antara interpretasi dan realitas memang bagi Hanafi demikian signifikan dalam hermeneutika. Bahkan, jika kita amati Hasan Hanafi selalu mengaitkan hermeneutika pada tataran “praksis” hal ini tidak terlepas dari pengaruh Marxisme dalam benaknya. Wallahu A’lam.

Beda Pendapat Tentang Ayat Al-Quran yang Terakhir Diturunkan

0
ayat terakhir al-quran
ayat terakhir al-quran

Pernahkah anda ditanya tentang ayat Al-Quran yang terakhir kali diturunkan? Lalu anda tidak bisa menjawabnya, atau malah menjawab bahwa ayat tersebut adalah ayat yang berbunyi “pada hari ini telah aku sempurnakan agama kalian”? Atau malah punya anggapan bahwa ayat Al-Quran yang terakhir kali diturunkan adalah ayat yang berbunyi “Dan takutlah pada hari (ketika) kamu semua dikembalikan kepada Allah.”?

Tema tentang ayat yang terakhir kali diturunkan, adalah salah satu tema yang mendapat perhatian tersendiri di kalangan ulama ahli ilmu-ilmu Al-Quran. Tidak seperti tema tentang surat yang pertama kali diturunkan, dimana beberapa ulama mengunggulkan pendapat terkuat adalah yang meyakini Al-‘Alaq adalah yang pertama kali diturunkan, ada sekitar 10 pendapat mengenai ayat Al-Quran yang terakhir diturunkan dan belum ada yang menilai secara mendalam.

Berbagai Pendapat Tentang Ayat Al-Quran yang Terakhir Turun

Banyaknya atsar yang sahih tentang ayat Al-Quran yang terakhir diturunkan, tapi tidak sampai berstatus marfu’ (disandarkan pada Nabi). Hal ini membuat keberadaan pendapat tentang ayat yang terakhir turun menjadi beragam. Az-Zamzami dalam nadham tafsirnya hanya menyebutkan secara ringkas 3 pendapat saja. Imam As-Suyuthi di dalam Al-Itqan menyebutkan sekitar 8 pendapat. Az-Zarqani dalam Manahil Al-Irfan menyebutkan sekitar 10 pendapat.

Baca juga: Sababun Nuzul Mikro dan Makro: Pengertian dan Aplikasinya

Berikut 10 ayat yang diyakini ke-10 pendapat tersebut sebagai ayat terakhir yang diturunkan (Manahilul ‘Irfan/1/70):

  1. Surat Al-Baqarah ayat 281. Berdasar riwayat An-Nasa’i dari Ibn ‘Abbas.
  2. Surat Al-Baqarah ayat 278. Berdasar riwayat Al-Bukhari dari Ibn ‘Abbas, dan Imam Al-Baihaqi dari Ibn ‘Umar.
  3. Surat Al-Baqarah ayat 282. Berdasat riwayat Ibn Jarir dari Sa’d Ibn Musayyab.
  4. Surat Ali Imran ayat 195. Berdasar riwayat Ibn Marduwaih dari Ummi Salamah.
  5. Surat An-Nisa ayat 93. Berdasat riwayat Al-Bukhari dari Ibn ‘Abbas.
  6. Surat An-Nisa ayat 176. Berdasat riwayat Al-Bukhari dan Muslim dari Barra’ ibn ‘Azib
  7. Surat Al-Maidah. Berdasat riwayat At-Tirmidzi dan Al-Hakim dari ‘Aisyah.
  8. Surat At-Taubah ayat 128. Berdasat riwayat Al-Hakim dan Ibn Marduwaih dari Ubay Ibn Ka’ab.
  9. Surat Al-Kahfi ayat 110. Berdasat riwayat Ibn Jarir dari Mu’awiyah.
  10. Surat An-Nasr. Berdasat riwayat Muslim dari Ibn ‘Abbas.

Baca juga: Jangan Keliru! Jumlah 6666 Ayat Itu Perspektif Kandungan Al-Quran, Bukan Jumlah Matematis

Pendapat Ulama Terkait Ragam Perbedaan Ayat Al-Quran yang Terakhir Diturunkan

Terkait banyaknya perbendaan pendapat mengenai ayat yang terakhir diturunkan serta tidak ada yang disandarkan pada Nabi (marfu’), Hasan Al-Musawa dalam Faidul Khabir berkomentar, banyaknya pendapat itu bisa saja dilatar belakangi: 1) Itu adalah pendapat pribadi sang pengucap; 2) Bisa saja itu ayat terakhir yang didengar sang rawi dan ia tidak tahu ada ayat lain yang turun setelahnya; 3) Maksud dari ayat terakhir adalah terakhir dalam tema tertentu; 4) Maksud dari terakhir adalah, setelah ayat tersebut tidak ada ayat lain yang menusakhnya (Faidul Khabir/59-60).

Imam Az-Zarqani memberikan komentar berbeda. Ia memberi catatan-catatan penting dalam setiap pendapat dari 10 pendapat yang disebutkan di atas. Untuk pendapat ke-1 sampai 3, mengutip dari Imam As-Suyuthi, melihat ketiganya dari surat yang sama bisa jadi 3 ayat itu turun bersamaan. Hanya saja, mungkin ada beberapa orang yang menunjuk ayat tersebut lewat bagian yang berbeda-beda.

Az-Zarqani juga mengungkapkan pendapat pribadinya, bahwa dirinya memiliki kecondongan bahwa ayat yang terakhir turun adalah Surat Al-Baqarah ayat 281 atau sesuai pendapat yang pertama. Az-Zarqani memberikan dua alasan: pertama, ayat tersebut berisi isyarat telah selesainya wahyu dengan adanya dorongan bersiap menghadapi kematian, serta perhitungan amal yang takkan ada kecurangan di dalamnya; kedua, adanya atsar dari Sa’d ibn Jubair yang diriwayatkan oleh Ibn Abi Hatim, yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad wafat sembilan hari setelah ayat tersebut turun. Pendapat serta alasan serupa juga diungkapkan Yasin ibn Isa Al-Fadani dalam catatan kakinya atas kitab Nahjut Taisir (Nahjut Taisir/60).

Untuk pendapat ke-4, 5, 6, 8, dan 9, melihat redaksi hadis yang dijadikan pijakan oleh kesemuanya, disebut-sebut ayat terakhir yang diturunkan adalah hanya terbatas pada tema tertentu. Tidak secara mutlak. Sedang untuk pendapat ke-7 dan 10, bisa dengan mudah dilihat bahwa yang sedang mereka bicarakan adalah soal surat, bukan ayat (Manahilul ‘Irfan/1/70).

Kisah Ibnu Muqlah; Berjasa dalam Penulisan Khat dan Mushaf namun Tragis di Karir Politik

0
Kisah Ibnu Muqlah
Kisah Ibnu Muqlah/ pecinta kaligrafi

Nama Ibnu Muqlah sangat terkenal dalam dunia kaligrafi. Dikenal sebagai Imam Al-Khattathin, kontribusinya sangat besar dalam penulisan khat dan mushaf Al-Qur’an. Jika kita melihat mushaf-mushaf yang kita pakai saat ini, maka ada satu jenis khat yang sangat masyhur digunakan, yaitu khat naskhi. Khat ini merupakan salah satu al-khat al-mansub hasil modifikasi Ibnu Muqlah. Kepiawaian dan jasanya dalam bidang khat sangat diakui, bahkan masih kita rasakan sampai saat ini.

Lahir dengan nama Muhammad Abu Ali bin Ali bin al-Hasan bin Abdullah bin Muqlah, skill kaligrafinya memang turun temurun dari leluhurnya. Kakeknya merupakan seorang penulis mushaf, sehingga naluri untuk mengembangkan kaligrafi pun tumbuh dalam dirinya. Ibnu Muqlah lahir pada akhir bulan Sawwal 272 H di Baghdad dan pernah menjabat sebagai wazir/menteri untuk tiga khalifah Dinasti Abbasiyah, yakni Al-Muqtadir (908-932 M), Al-Qahir (932-934 M), dan Al-Radhi (934-940 M).

Baca juga: Pengertian Kata Taubat dan Perintah Bertaubat dalam Al-Quran

Proses Berguru dan Karya Ibnu Muqlah

Ibnu Muqlah dalam ilmu khat berguru pada Ishaq bin Ibrahim al-Ahwal. Proses pembelajaran Ibnu Muqlah sebelumnya  fokus pada khat kufi. Namun, kecerdasannya dalam ilmu geometri membuatnya menemukan tata cara menulis dengan mengukur huruf per huruf secara detail dan tepat. Dengan kemampuannya itu, tebal-tipis, tinggi rendah, tegak-miring suatu huruf pun bisa serasi indah.

Ukuran-ukuran itu, dirangkum oleh Ibnu Muqlah dalam tiga standar, yakni titik, alif, dan lingkaran. Menurut Didin Sirajuddin pakar kaligrafi Indonesia, tiga standar ini semula digunakan Ibnu Muqlah pada khat Naskhi yang kemudian berkembang menjadi tsuluts, farisi, diwani, Raihan, muhaqqiq, dan riq’ah. Selain tiga standar ini, kesempurnaan goresan tulisan juga menjadi ajaran utama Ibnu Muqlah.

Selain kaidah penulisan, karya agung Ibnu Muqlah juga berupa mushaf dan kitab lainnya. Di antara karya-karya itu, mushaf yang ditemukan Ibnu Bawwab di kota Syairaz. Kemudian mushaf yang disimpan di masjid Jami’ al-Udabbas Sevilla, risalah untuk gurunya Al-Ahwal, Diwan (syair-syair), kitab ikhtiyar al-Asy’aar, kitab Jumal al-Khath, dan Risalah Wazir Ibn Muqlah fi ilmil khatti wal Qalam.

Baca juga: Mengenal Mushaf Pra-Utsmani (1): Sejarah Awal Mula Penulisan Mushaf dan Klasifikasinya

Salah satu mushaf yang ditemukan oleh Ibnu Bawwab itu, sayangnya hanya ditemukan juz 29 saja. Yang menarik lagi, salah satu goresan tangan indah Ibnu Muqlah dikirimkan sebagai surat untuk melerai peperangan antara kaum muslim dan Romawi. Bahkan surat tulisannya itu disimpan di gereja Konstantinopel dan pada hari-hari besar dipamerkan pada khalayak. Hal ini terdapat dalam keterangan Hilal Naji dalam bukunya, Ibnu Muqlah Khatkhathan wa Adiban wa Insanan.

Meskipun dikenal sebagai orang yang paling berjasa dalam penulisan khat dan mushaf, kisah tragis juga melingkupi Ibnu Muqlah di akhir hayatnya. Ibnu Muqlah awalnya memiliki karir politik bagus saat menjadi petugas pajak, karena reputasi dan integritasnya ini ia semakin naik. Namun politik tetaplah politik, karier Ibnu Muqlah pun naik turun.

Salah satu puncaknya justru berakhir tragis di era al-Radhi. Saat itu, posisi wazir Ibnu Muqlah lengser karena hasutan al-Mudzaffar bin Yaqut. Al-Mudzaffar menghasutnya sebagai penyebab krisis di kekhalifahan. Lantas, Khalifah Al-Radhi pun percaya hasutan itu dan menghukum Ibnu Muqlah, bahkan membakar koleksi kaligrafi dan rumahnya. Tak hanya itu, ada tokoh lain yang tidak menyukai Ibnu Muqlah sehingga Al-Radhi juga semakin membencinya.

Singkat cerita, Ibnu Muqlah menerima hukuman potong tangan kanan dan dijebloskan ke penjara. Meski tangan kanannya dipotong, Ibnu Muqlah masih aktif menulis kaligrafi, dan melakukan protes dengan kirim surat. Hingga akhirnya ia menerima hukuman potong lidah, dan meninggal di penjara.

Baca juga: Abu Aswad Ad-Du’ali dan Kisah Pemberian Tanda Baca dalam Mushaf Al-Quran

Dari kisah di atas, kita bisa belajar, bahwa tidak semua orang yang berjasa mendapatkan penghargaan, karena akan selalu ada yang ingin menjegalnya. Di era khulafaur rasyidin kita pun mendengar  kehidupan Sayyidina Umar, Utsman, dan Ali juga berakhir dengan duka yang menyayat.

Sebagai generasi umat muslim, tidak ada hal yang paling penting selain narasi perdamaian. Dampaknya tentu besar dan indah, seperti surat indah yang dikirimkan Ibnu Muqlah untuk Romawi.  Mari kita terus sebarkan perdamaian di tengah hiruk pikuk perpolitikan yang kadang menyedihkan.

Wallahu a’lam[]