Beranda blog Halaman 457

Kisah Ibnu Muqlah; Berjasa dalam Penulisan Khat dan Mushaf namun Tragis di Karir Politik

0
Kisah Ibnu Muqlah
Kisah Ibnu Muqlah/ pecinta kaligrafi

Nama Ibnu Muqlah sangat terkenal dalam dunia kaligrafi. Dikenal sebagai Imam Al-Khattathin, kontribusinya sangat besar dalam penulisan khat dan mushaf Al-Qur’an. Jika kita melihat mushaf-mushaf yang kita pakai saat ini, maka ada satu jenis khat yang sangat masyhur digunakan, yaitu khat naskhi. Khat ini merupakan salah satu al-khat al-mansub hasil modifikasi Ibnu Muqlah. Kepiawaian dan jasanya dalam bidang khat sangat diakui, bahkan masih kita rasakan sampai saat ini.

Lahir dengan nama Muhammad Abu Ali bin Ali bin al-Hasan bin Abdullah bin Muqlah, skill kaligrafinya memang turun temurun dari leluhurnya. Kakeknya merupakan seorang penulis mushaf, sehingga naluri untuk mengembangkan kaligrafi pun tumbuh dalam dirinya. Ibnu Muqlah lahir pada akhir bulan Sawwal 272 H di Baghdad dan pernah menjabat sebagai wazir/menteri untuk tiga khalifah Dinasti Abbasiyah, yakni Al-Muqtadir (908-932 M), Al-Qahir (932-934 M), dan Al-Radhi (934-940 M).

Baca juga: Pengertian Kata Taubat dan Perintah Bertaubat dalam Al-Quran

Proses Berguru dan Karya Ibnu Muqlah

Ibnu Muqlah dalam ilmu khat berguru pada Ishaq bin Ibrahim al-Ahwal. Proses pembelajaran Ibnu Muqlah sebelumnya  fokus pada khat kufi. Namun, kecerdasannya dalam ilmu geometri membuatnya menemukan tata cara menulis dengan mengukur huruf per huruf secara detail dan tepat. Dengan kemampuannya itu, tebal-tipis, tinggi rendah, tegak-miring suatu huruf pun bisa serasi indah.

Ukuran-ukuran itu, dirangkum oleh Ibnu Muqlah dalam tiga standar, yakni titik, alif, dan lingkaran. Menurut Didin Sirajuddin pakar kaligrafi Indonesia, tiga standar ini semula digunakan Ibnu Muqlah pada khat Naskhi yang kemudian berkembang menjadi tsuluts, farisi, diwani, Raihan, muhaqqiq, dan riq’ah. Selain tiga standar ini, kesempurnaan goresan tulisan juga menjadi ajaran utama Ibnu Muqlah.

Selain kaidah penulisan, karya agung Ibnu Muqlah juga berupa mushaf dan kitab lainnya. Di antara karya-karya itu, mushaf yang ditemukan Ibnu Bawwab di kota Syairaz. Kemudian mushaf yang disimpan di masjid Jami’ al-Udabbas Sevilla, risalah untuk gurunya Al-Ahwal, Diwan (syair-syair), kitab ikhtiyar al-Asy’aar, kitab Jumal al-Khath, dan Risalah Wazir Ibn Muqlah fi ilmil khatti wal Qalam.

Baca juga: Mengenal Mushaf Pra-Utsmani (1): Sejarah Awal Mula Penulisan Mushaf dan Klasifikasinya

Salah satu mushaf yang ditemukan oleh Ibnu Bawwab itu, sayangnya hanya ditemukan juz 29 saja. Yang menarik lagi, salah satu goresan tangan indah Ibnu Muqlah dikirimkan sebagai surat untuk melerai peperangan antara kaum muslim dan Romawi. Bahkan surat tulisannya itu disimpan di gereja Konstantinopel dan pada hari-hari besar dipamerkan pada khalayak. Hal ini terdapat dalam keterangan Hilal Naji dalam bukunya, Ibnu Muqlah Khatkhathan wa Adiban wa Insanan.

Meskipun dikenal sebagai orang yang paling berjasa dalam penulisan khat dan mushaf, kisah tragis juga melingkupi Ibnu Muqlah di akhir hayatnya. Ibnu Muqlah awalnya memiliki karir politik bagus saat menjadi petugas pajak, karena reputasi dan integritasnya ini ia semakin naik. Namun politik tetaplah politik, karier Ibnu Muqlah pun naik turun.

Salah satu puncaknya justru berakhir tragis di era al-Radhi. Saat itu, posisi wazir Ibnu Muqlah lengser karena hasutan al-Mudzaffar bin Yaqut. Al-Mudzaffar menghasutnya sebagai penyebab krisis di kekhalifahan. Lantas, Khalifah Al-Radhi pun percaya hasutan itu dan menghukum Ibnu Muqlah, bahkan membakar koleksi kaligrafi dan rumahnya. Tak hanya itu, ada tokoh lain yang tidak menyukai Ibnu Muqlah sehingga Al-Radhi juga semakin membencinya.

Singkat cerita, Ibnu Muqlah menerima hukuman potong tangan kanan dan dijebloskan ke penjara. Meski tangan kanannya dipotong, Ibnu Muqlah masih aktif menulis kaligrafi, dan melakukan protes dengan kirim surat. Hingga akhirnya ia menerima hukuman potong lidah, dan meninggal di penjara.

Baca juga: Abu Aswad Ad-Du’ali dan Kisah Pemberian Tanda Baca dalam Mushaf Al-Quran

Dari kisah di atas, kita bisa belajar, bahwa tidak semua orang yang berjasa mendapatkan penghargaan, karena akan selalu ada yang ingin menjegalnya. Di era khulafaur rasyidin kita pun mendengar  kehidupan Sayyidina Umar, Utsman, dan Ali juga berakhir dengan duka yang menyayat.

Sebagai generasi umat muslim, tidak ada hal yang paling penting selain narasi perdamaian. Dampaknya tentu besar dan indah, seperti surat indah yang dikirimkan Ibnu Muqlah untuk Romawi.  Mari kita terus sebarkan perdamaian di tengah hiruk pikuk perpolitikan yang kadang menyedihkan.

Wallahu a’lam[]

Ini Dia Enam Tips Memperlancar Rezeki Menurut Al-Quran

0
tips memperlancar rezeki
tips memperlancar rezeki

‘Setiap makhluk hidup di dunia sudah disediakan rezekinya oleh Allah’. Kurang lebih demikian ketentuan Allah dalam Al-Quran surat Hud ayat 6 terkait rezeki untuk makhlukNya. Tidak hanya menjamin rezeki setiap makhluk, Allah melalui Al-Quran juga memberi beberapa tips memperlancar rezeki. Siapa yang peka dan menjalankan tips itu, maka dia yang akan memperoleh hasilnya.

Sukris Sanardi dalam Spiritualitas Bisnis Mencari Ridho Ilahi membagikan tips memperlancar rezeki versi Al-Quran sebagai berikut:

Pertama, bertakwa. Dalam Al-Quran disampaikan bahwa orang yang bertakwa kepada Allah, maka Allah akan memberinya jalan keluar untuk setiap permasalahannya dan Ia juga akan memberinya rezeki yang banyak. Janji Allah ini tertulis dalam akhir ayat 2 dan awal ayat 3 surat At-Talaq [65],

وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مَخْرَجًا  () وَّيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُۗ

“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya (2) dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya (3).”

Pada ayat ini, orang yang bertakwa oleh Allah dijanjikan dua hal. Pertama yaitu solusi atau jalan keluar dari suatu masalah atau keruwetan yang dihadapinya. Kedua yaitu rezeki yang akan diterima. Dua janji Allah ini dapat kita baca dalam hadis riwayat As-Sadiy yang dinukil oleh Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat di atas.

Baca Juga: Takwa dan Tawakkallah, Tips Mencari Rezeki Menurut Al-Quran

Dalam kitab tafsirnya, diceritakan bahwa sahabat Awf bin Malik Al-Asyja’i mengadu kepada Rasulullah saw perihal anaknya yang ditangkap oleh orang kafir. Ia sangat sedih dan kawatir. Rasulullah kemudian menyuruhnya bertakwa dan bersabar, “Sesungguhnya Allah akan memberikanmu jalan keluar”. Tidak lama setelah itu, putra Awf berhasil melarikan diri, dalam kaburnya ini putra Awf melewati domba orang kafir, lalu ia pun membawa domba itu bersamanya kembali kepada ayahnya. Putra Awf pun bebas dari tahanan kafir, dan dia juga membawa seekor domba bersamanya. Sang ayah sangat bahagia.

Dalam konteks riwayat sabab nuzul tersebut, sahabat Awf bertakwa dengan senantiasa mematuhi perintah Rasulullah dan tentu dengan terus melaksanakan perintah Allah pula. Hal ini sesuai dengan pengertian takwa yang diberikan oleh para ulama bahwa takwa yaitu menjalankan perintah Allah dan menjauhi laranganNya.

Di saat ruwet dan tertimpa masalah, misal kesulitan dalam rezeki, di saat itulah ketakwaan manusia diuji, masihkah akan tetap istiqamah bertakwa kepada Allah atau malah kecewa dan berpalig dariNya? Siapa yang tetap bertakwa kepada Allah, maka Allah tidak hanya akan memberi jalan keluar, namun juga akan memberi rezeki yang tidak pernah disangka.

Kedua, tawakal kepada Allah. Tips memperlancar rezeki berikutnya yaitu tawakal. Setelah bertakwa, maka kita diminta untuk bertawakal. Perintah ini menjadi lanjutan dari ayat tentang perintah bertakwa di tips yang pertama, yaitu surat At-Talaq ayat 3,

وَمَنْ يَّتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ فَهُوَ حَسْبُهٗ ۗاِنَّ اللّٰهَ بَالِغُ اَمْرِهٖۗ قَدْ جَعَلَ اللّٰهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا

“Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu.”

Setelah beriman, istiqamah melaksanakan semua perintah Allah dan senantiasa menjauhi laranganNya, manusia juga diminta untuk bertawakal. Tawakal didefinisikan dalam Tafsir At-Thabari yaitu memasrahkan dengan sepenuhnya semua urusan dan permasalahan hanya kepada Allah, karena memang hanya Dia tempat bergantung dan meminta pertolongan.

Kepasrahan penuh ini berarti yakin kepada Allah bahwa Ia akan memberikan yang terbaik untuk hamba-hambaNya. Namun sikap pasrah ini bukan berarti diam, tidak melakukan apa-apa. Ini yang sering disalah pahami dari istilah tawakal. Padahal tawakal adalah berupaya keras dan berdoa maksimal. Maksimal dalam berdoa ini antara lain dengan memposisikan diri benar-benar sebagai hamba yang tidak punya kuasa apa-apa, disertai keyakinan bahwa Allah akan memberikan yang terbaik baginya.

Persoalan ekonomi sering menjadi hantu yang sangat ditakuti dalam kehidupan. Tawakal dalam konteks ini adalah berusaha dengan sekuat tenaga dalam bekerja, dan jangan lupa berdoa dengan penuh kepasrahan dan keyakinan. Bukankah Allah sudah menentukan ukuran setiap sesuatu, termasuk kesulitan ekonomi yang dihadapi oleh hamba-hambaNya?

Ketiga, memperbanyak istighfar. Tips memperlancar rezeki yang ketiga yaitu perbanyaklah meminta ampunan kepada Allah atau beristighfar. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Al-Quran surat Nuh ayat 10-12,

فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوْا رَبَّكُمْ اِنَّهٗ كَانَ غَفَّارًاۙ  10 يُّرْسِلِ السَّمَاۤءَ عَلَيْكُمْ مِّدْرَارًاۙ 11 وَّيُمْدِدْكُمْ بِاَمْوَالٍ وَّبَنِيْنَ وَيَجْعَلْ لَّكُمْ جَنّٰتٍ وَّيَجْعَلْ لَّكُمْ اَنْهٰرًاۗ 12

“Maka aku berkata (kepada mereka), “Mohonlah ampunan kepada Tuhanmu, Sungguh, Dia Maha Pengampun (10) niscaya Dia akan menurunkan hujan yang lebat dari langit kepadamu (11) dan Dia memperbanyak harta dan anak-anakmu, dan mengadakan kebun-kebun untukmu dan mengadakan sungai-sungai untukmu (12)”

Selain perintah untuk beristighfar di ayat 10, pada ayat berikutnya diinformasikan bahwa Allah menurunkan hujan sebagai tanda pemberian rezeki, juga memperbanyak harta dan anak-anak. Ini artinya ada hubungan keterkaitan antara istighfar dengan rezeki yang diperoleh.

Disampaikan pula dalam sebuah hadis riwayat Ibn Abbas dalam Sunan Abu Dawud bahwa memperbanyak istighfar dapat juga dapat memperlancara rezeki,

“مَنْ لَزِمَ الاِسْتِغْفَارَ جَعَلَ اللَّهُ لَهُ مِنْ كُلِّ ضِيقٍ مَخْرَجًا وَمِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجًا، وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِب”

“Siapa yang tetap senantiasa beristighfar, maka Allah menjadikan baginya jalan keluar dari permasalahnnya, kejembaran dalam kesusahannya, dan memberinya rezeki yang tidak disangka-sangka”

Keempat, memberi nafkah keluarga. Tips memperlancar rezeki yang kelima ini berdasar pada surat Saba’ ayat 39,

قُلْ اِنَّ رَبِّيْ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَّشَاۤءُ مِنْ عِبَادِهٖ وَيَقْدِرُ لَهٗ  ۗوَمَآ اَنْفَقْتُمْ مِّنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهٗ ۚوَهُوَ خَيْرُ الرّٰزِقِيْنَ

Katakanlah, “Sungguh, Tuhanku melapangkan rezeki dan membatasinya bagi siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya.” Dan apa saja yang kamu infakkan, Allah akan menggantinya dan Dialah pemberi rezeki yang terbaik.

Al-Qurtubi dalam tafsirnya mengatakan bahwa nafkah keluarga itu adalah nafkah dalam niat untuk ketaatan kepada Allah. Seseorang yang menafkahi keluarganya dalam rangka ketaatan kepada Allah, maka akan memperoleh pahala di akhirat dan pahala di dunia berupa rezeki.

Baca Juga: 9 Sumber Rezeki Yang Disebutkan dalam Al-Quran

Kelima, bersedekah. Kalau tadi memberi nafkah pada keluarga, maka tips memperlancar rezeki berikutnya yaitu bersedekah. Hal ini karena ada jaminan Allah bahwa sedekah itu akan menyuburkan rezeki. Sebagaimana dalam surat Al-Mujadilah ayat 13,

ءَاَشْفَقْتُمْ اَنْ تُقَدِّمُوْا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوٰىكُمْ صَدَقٰتٍۗ

“Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah”

Keenam, bekerja atau berusaha, apapun usaha atau pekerjaan yang dilakukan. Ini juga menuntut manusia untuk berkreasi sekreatif mungkin. Hal ini sebagaimana firman Allah yang menyinggung tentang peran usaha hambaNya dalam merubah nasibnya, yaitu surat Ar-Ra’d ayat 11

اِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۗ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.”

Demikian Al-Quran memberikan tips memperlancar rezeki. Setidaknya ada enam tips sebagaimana yang tersebut di atas. Selamat Mencoba. Wallahu A’lam

Ingin Diberi Kelancaran Urusan? Baca Doa Nabi Musa Ini!

0
Doa Nabi Musa
Doa Nabi Musa

Setiap manusia pasti punya masalah masing-masing. Tidak ada satu manusia pun di atas bumi ini yang lepas dari masalah. Baik masalah dengan diri sendiri, keluarga, pekerjaan, maupun yang lainnya. Dalam Al-Quran terdapat satu doa yang bisa dipanjatkan agar segala urusan dilancarkan. Yaitu Doa Nabi Musa. Pada waktu itu Nabi Musa bertemu dengan nur Allah SWT di Bukit Tursina. Bersamaan dengan itu pula Nabi Musa diangkat Allah SWT menjadi seorang rasul.

Nabi Musa menyadari beratnya risalah yang ia emban tersebut. Menjadi seorang rasul bukanlah suatu urusan yang mudah. Di samping dituntut menjadi pemimpin, pembimbing bagi kaumnya, kualitas pribadi seorang rasul pun juga akan dijadikan uswah (teladan). Belum lagi tantangan yang harus dihadapi juga berasal dari kaumnya yang pandai berlogika dan berargumentasi yaitu Bani Israil. Nabi Musa pun akhirnya meminta kekuatan kepada Allah SWT agar sanggup memikul beban yang akan ia hadapi. Doa Nabi Musa tersebut terekam dalam Al-Quran surah Thaha ayat 25-28.

Meminta dilapangkan dada

Setelah menerima amanah dari Allah SWT untuk menjadi rasul dan menyerukan dakwah, Nabi Musa berdoa dengan ayat berikut:

قَالَ رَبِّ ٱشْرَحْ لِى صَدْرِى

“Nabi Musa berkata: Ya Tuhanku, lapangkanlah dadaku”(Q.S. Thaha: 25)

Baca juga: Ingin Dikenang Baik di Dunia dan Akhirat? Amalkan Doa Nabi Ibrahim Ini!

Para mufassir (Al-Mahalli dan Al-Suyuthi: Tafsir Jalalayn; Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Wajiz; Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah) dan dalam kitab tafsir lain seperti Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir al-Mukhtasar, dan Zubad al-Tafsir menjelaskan bahwa dalam ayat ini Nabi Musa meminta untuk diberikan kelapangan dada, dan kebesaran jiwa agar bisa menanggung beban risalah. Rintangan yang akan dihapainya pastilah sangat berat. Tidak semua orang dapat menerima risalah itu sudah pasti. Cobaan dan fitnah dari manusia pasti ditemui. Hingga cemooh dan caci maki pun juga tidak bisa dihindari. Maka dari itu permintaan Nabi Musa untuk diberikan kelapangan dada adalah keniscayaan. Karena dengan kelapangan dada dan kebesaran jiwa, manusia akan mampu bersabar menghadapi cobaan sebesar apapun.

Meminta dimudahkan urusan

Doa Nabi Musa selanjutnya adalah meminta dimudahka urusan. Adapun ayatnya adalah sebagai berikut:

وَيَسِّرْ لِىٓ أَمْرِى

“Dan mudahkanlah untukku urusanku”(QS. Thaha: 26)

Dalam mengemban tugas risalah yang berat, mengharap kepada Sang Penguasa Alam untuk dimudahkan segala kesulitan adalah jalan terbaik. Sebab hanya Dia-lah satu-satunya Dzat yang mampu mengubah keadaan dikala sedang dalam kesulitan. Dan apabila perkara yang sulit telah dimudahkan oleh Allah, maka jalan manusia untuk melaluinya akan tercapai. Begitu pula dengan yang diharapkan Nabi Musa. Ia percaya hanya Allah lah yang mampu meringankan segala urusannya sebagai bentuk kepasrahannya bahwa pada hakikatnya ia hanyalah seorang hamba-Nya.

Baca juga: Doa Nabi Zakaria dan Tafsir Ali Imran [3]: 38

Meminta kelancaran biacara

Permintaan Nabi Musa yang ketiga adalah meminta dilancarkan dalam berbicara:

وَٱحْلُلْ عُقْدَةً مِّن لِّسَانِىِْ يَفْقَهُوا۟ قَوْلِى

“Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku.”(Q.S. Thaha: 27-28).

Nabi Musa sejak kecil memang mengalami kekakuan lidah karena memakan bara api. Ketika masih bayi Nabi Musa memang dijadikan percobaan oleh Fir’aun disuruh memilih antara mainan dan bara api. Jika ia memilih mainan maka akan dibunuh karena seorang Nabi pastilah cerdas. Nabi Musa memang awalnya memilih mainan. Namun Malaikat Jibril langsung mengalihkan tangan Nabi Musa untuk memilih bara api. Oleh karena itu Nabi Musa sejak kecil telah kehilangan kefasihan berbicara.

Nabi Musa menyadari akan kekurangannya tersebut. Maka dalam rangkaian doanya ia sekaligus juga meminta kepada Allah diluweskan lidahnya agar kaumnya dapat mengerti apa yang disampaikan oleh Nabi Musa. Dan dapat menerima risalah yang dibawanya.

Baca juga: Ingin Punya Keturunan Yang Saleh? Amalkan 3 Doa Nabi Ibrahim Ini

Doa Nabi Musa yang telah termaktub dalam Al-Quran ini bisa kita amalkan sehari-hari. Terutama apabila kita sedang mengalami kesulitan dan kesukaran sebuah urusan. Tiga poin yang bisa kita minta ketika menghadapi kesulitan adalah meminta dilapangkan dadanya agar senantiasa kuat dan sabar menghadapi cobaan. Kemudian meminta agar segala masalah yang menimpa kita dimudahkan oleh Allah seberat apapun masalah tersebut. Dan yang terakhir adalah meminta kelancaran dalam berbicara dan mudahnya menyampaikan pengetahuan. Allah Yang Maha Kuasa akan senantiasa mendengar keluhan hamba-Nya dan pasti mengabulkan doa-doa hambanya yang tulus. Wallahu a’lam[]

Hasan Hanafi, Eksponen Penting Dalam Hermeneutika Al-Quran

0
hasan hanafi wafat
hasan hanafi wafat

Al-Quran selalu menarik untuk dikaji dan didekati dengan pendekatan tertentu, salah satunya adalah hermeneutika. Memang hermeneutika sendiri mulanya digunakan untuk mengkaji bibel, namun seiring perkembangan zaman kajian hermeneutika telah merambah pada studi penafsiran Al-Quran.

Salah satu eksponen penting yang mengorbitkan pendekatan ini adalah Hasan Hanafi. Melalui tafsir pembebasan atau kritik emansipatorisnya, ia mencoba untuk mengurai benang kusut atau jalan buntu sekaligus memperkaya khazanah penafsiran Al-Quran. Menurutnya, pendekatan hermeneutika sangat relevan sebab merefleksikan suatu kata (teks) Al-Quran yang berusia kurang lebih 1500 tahun silam untuk dapat dipahami, diresepsi, diaktualisasi dan dimanifestasikan dalam konteks kekinian.

Biografi Hasan Hanafi

Hasan Hanafi merupakan seorang cendekiawan Muslim asal Mesir kelas dunia (internationally-qualified scholars). Ia bernama lengkap Hassan Hanafi Hassanaein, lahir di Kairo tanggal 13 Februari 1935. Jhon L. Esposito dalam The Oxford Encyclopedia Of Modern Islamic World menjelaskan bahwa karir pendidikan Hanafi dimulai dari Sekolah Menengah “Khalil Agha” tahun 1952, sarjana muda filsafat di Universitas Kairo tahun 1956. Kemudian ia melanjutkan studi master dan Ph.D-nya di Universitas Sorbonne, Prancis.

Baca juga: Hassan Hanafi dan Paradigma Tafsir Pembebasan; Sebuah Refleksi Metodologis

Kemudian di tahyn 1966 ia berhasil merampungkan master dan Ph.D-nya dengan tesis berjudul, Les Methodes d’Exegese, essai sur La science des Fondamen de la Comprehension, ilm Usul al-Fiqh (Metodologi Penafsiran: Sebuah Upaya Rekonstruksi Ilmu Ushul Fiqh)”. Lalu disertasi Ph.D-nya dengan judul, L’Exegese de la Phenomenologie, L’etat actual de la metode phenomenologique et son application au phenomene religiux (Tafsir Fenomenologis: Status Quo Metode Fenomenologi dan Aplikasinya dalam Fenomena Keagamaan)”.

Kedua karya akademik tersebut merupakan upaya Hasan Hanafi untuk menghadapkan ilmu ushul fiqih pada mazhab filsafat fenomenologi Husserl. Di Prancis pula sebagaimana penuturan Hasan Hanafi dalam al-Din wa al Tsaurah fi Mishr bahwa ia dilatih untuk berfikir secara metodologis melalui kuliah-kuliah ataupun dijejali karya-karya orientalis. Meskipun Hasan Hanafi tidak menampik bahwa ia sendiri belum menerbitkan atau menyusun karya sistematis mengenai hermeneutika Al-Quran (pengakuan tersebut ditulis tahun 2002).

Selain itu, ia juga merupakan akademisi cum aktifis dengan segudang karya di berbagai media sehingga menariik atensi kalangan intelektual Arab, Barat, Eropa, dan bahkan Indonesia sendiri. Gebrakan Hanafi paling tidak memantik kajian dari sederet tokoh-tokoh kaliber dunia seperti Kazuo Shimogaki, Muhsin Mili, Issa J. Boullata, Ali Harb, Abdurrahman Wahid, Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, serta diskusi-diskusi serius yang diadakan LkiS dan Yayasan Paramadina semenjak tahun 1993.

Reputasinya sebagai intelektual muslim semakin tersebar se-antero dunia internasional yang kemudian ia meraih gelar akademik tertinggi sebagai guru besar luar baisa (visiting professor) di pelbagai unievrsitas top kelas dunia seperti Prancis (1969), Belgia (1970), USA (1971-1975), Kuwait (1979), Maroko (1982—1984), Jepang (1984-1985), Uni Emirat Arab (1985) dan bahkan sebagai academic consultant di Universitas Perserikatan Bangsa-Bangsa di Tokyo.

Kiprah Intelektual Hasan Hanafi

Menurut Amin Abdullah, Hasan Hanafi adalah sarjana pertama yang mencetuskan terminologi hermeneutika Al-Quran yang kemudian diikuti oleh scholars lainnya termasuk di Indonesia sendiri. Adapun tulisan dan karya Hasan Hanafi dibagi menjadi tiga periode. Pertama, tahun 1960-an di mana tertuang dalam tesis dan disertasinya. Upaya tersebut terlihat dalam Muqaddimah fi ‘Ilmi al-Istighrab Maufiquna min Turats al-Gharbi, yang konklusinya sebagai berikut;

1) metode interpretasi sebagai pembaharuan dalam bidang ushul fiqih; 2) fenomenologi sebagai metode untuk memahami realitas agama; 3) mensimplifikasi ilmu ushul fiqih sesuai dengan realitas sosial; 4) keharusan agama berdasar realitas kekinian; 5) bagaimana memahami serta menjelaskan teks-teks masa lalu.

Baca juga: Inilah Delapan Metode Tafsir Tematik ala Hassan Hanafi

Sedangkan pada periode kedua sekitar tahun 1970-an, ia menulis Qadlaya Mu’ashirah fi Fikrina al-Mu’ashir yang menggambarkan bagaimana iman seorang pemikir menganalisa realitas dan berusaha merevitalisasi khazanah klasik Islam sebagai jalan keluar bagi masyaralat yang tengah mengalami kebuntuan. Dan pada tahun 1977, karya Qadlaya ini juga mengintrodusir beberapa pemikir Barat, seperti Spinoza, Kant, Hegel, Max Weber dan Herbert Marcuse, agar pembaca memahami dan mengambil metode bagaimana tokoh-tokoh di atas memahami persoalan masyarakat, lalu mengadakan revolusi pemikiran.

Adapun di periode ketiga, Hasan Hanafi menelurkan karya 1) Ad-Din wa al-Tsaurah fi Mishri (1989), yang membahas gerakan keagamaan kontemporer (contemporary religious movement) dan integritas umat, 2) Dirasat Islamiyah (1982), memuat tentang metode studi keislaman melalui ushul fiqih, filsafat dan pembaharuannya, 3) At-Turats wa al-Tajdid (1983), tentang tradisi dan pembaharuan sebagai sikap yang diperlukan umat Islam dalam merespon tradisi dan khazanah Barat agar tidak terseret atau bahkan teralienasi.

4) Min al-Aqidah Ila al-Tsaurah (1988), berisi rekonstruksi ilmu kalam beserta diseminasinya hingga abad ke-20, 5) Muqaddimah fi ‘Ilmi al-Istiqhrab (1992), membahas pemikiran Hasan hanafi terhadap tradisi Barat, 6) Islam in the Modern World (2000), di mana buku ini terdiri dua bagian, pertama religion, ideology and development; kedua, tradition, revolution, and culture. Buku ini berusaha mengidiologikan dan meletakaan posisi agama serta fungsinya dalam konstruksi pembangunan negara dunia ketiga.

Hermeneutika yang dikembangkan oleh Hasan Hanafi memang bukan sekadar metode untuk memahami teks Al-Quran saja, melainkan mencakup penjelasan tentang proses, situasi sejarah dan geenralisasi makna universal yang olehnya disebut sebagai hermenutika emansipatoris atau hermeneutika pembebasan bagi kalangan sarjana.

Lebih dari itu, ia juga memposisikan Al-Quran untuk mendeskripsikan manusia sesuai dengan kapasitas kemanusiaanya yaituu hubungan horizontal, tugasnya di dunia, kedudukannya dalam sejarah, serta peran sosial-politik sehingga mampu membawa kepada makna teks bahkan realitas itu sendiri. Wallahu A’lam.

Pengertian Kata Taubat dan Perintah Bertaubat dalam Al-Quran

0
Kata Taubat
Kata Taubat

Kata taubat yang sudah menjadi kosa kata bahasa Indonesia berasal dari kata bahasa Arab. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata taubat mengandung dua pengertian. Pertama, taubat berarti sadar dan menyesali dosanya (perbuatan salah atau jahat) dan berniat akan memperbaiki tingkah laku dan perbuatannya. Kedua, kata taubat berarti kembali kepada agama (jalan, hal) yang benar. “Bertaubat” berarti menyadari, menyesali, dan berniat hendak memperbaiki (perbuatan yang salah).

Dalam bahasa Arab, kata taubat itu adalah bentuk dasar (mashdar) dari kata “taba” (تَابَ), “yat­ubu” (يَتُوْبُ), “taubah” (تَوْبَةً). Kata “taubat” berarti “kembali ke jalan yang benar”. Secara istilah, taubat berarti kembali kepada Allah dengan melepaskan segala ikatan penyimpangan yang pernah dilakukan, kemudian bertekad untuk melaksanakan segala hak-hak Allah swt.

Baca Juga: Doa Al-Quran: Doa Taubat Nasuha

Kata taubat dapat didasandarkan kepada manusia maupun Allah. Kata taubat yang disandarkan kepada manusia berarti “memohon ampun atas segala dosa dan kembali kepada jalan Allah. Orang yang melakukan taubat disebut “ta’ib”, dan orang yang selalu dan senantiasa bertaubat disebut “tawwab”.

Adapun kata taubat yang disandarkan kepada Allah berarti memberi ampun kepada hamba yang bertaubat. Allah disebut at-tawwab, karena Allah senantiasa memberikan pengampunan kepada hamba-hamba-Nya. At-Tawwab adalah salah satu nama Allah (al-Asma’ al-Husna) yang sangat Agung. Dengan sifat “a-tawwab” itu Allah mengampuni dosa-dosa hamba-Nya.

Imam al-Gazali dalam kitab Ihya’ Ul­m ad-Din, menyatakan bahwa taubat dari dosa dengan cara kembali kepada Allah merupakan jalan pembuka bagi orang-orang yang sedang mengadakan perjalanan. Modal bagi orang-orang yang beruntung, langkah awal para murid, dan teropong bagi orang-orang pilihan dan orang-orang yang dekat kepada-Nya (muqarrabin).

Taubat dilakukan oleh para Nabi, mulai dari Adam hingga Muhammad saw. Taubat bagi anak-anak Adam dan umat para Nabi, termasuk kita sebagai umat Nabi Muhammad, adalah sangat layak dilakukan. Bertaubat berarti mengikuti sunnah (kebiasaan) para Nabi dan Rasulullah.

Bertaubat seringkai dikacaukan pengertiannya dengan istigfar. Pada hakikatnya keduanya berbeda. Bertaubat berkaitan dengan permohonan ampun terhadap dosa besar yang dilakukan, sedangkan istigfar berkaitan dengan permohonan ampun terhadap dosa kecil yang telah dilakukan.

Seseorang yang telah melakukan dosa besar dipandang telah keluar dari jalan Allah, telah keluar dari rel yang telah ditentukan Allah, dan cara untuk kembali kepada rel itu, ialah dengan jalan bertaubat. Seseorang yang melakukan dosa kecil belum dipandang keluar dari jalan Allah, karena itu, maka cukup bagi seseorang yang melakukan tindakan demikian untuk meohon ampun kepada Allah.

Taubat merupakan salah bentuk kebajikan yang harus dilakukan oleh setiap manusia, baik yang merasa diri berdosa maupun tidak. Taubat bagi orang-orang yang berdosa merupakan jalan untuk memohonkan ampun kepada Allah agar dosa-dosanya diampukan Allah, sedangkan taubat bagi orang-orang merasa tidak berdosa merupakan jalan yang baik untuk menumpuk pahala. Oleh sebab itu, taubat merupakan salah satu perintah agama yang harus dilakukan oleh umat.

Di dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang memerintahkan untuk melakukan taubat, demikian pula di dalam hadisnya, Rasulullah memerintahkan dan memberikan pujian kepada orang-orang yang melakukan hal yang sama. Istilah taubat dan kata-kata bentukannya, baik dalam bentuk kata kerja, maupun kata benda, disebut sebanyak 87 kali di dalam Al-Qur’an. Di antara perintah bertaubat di dalam Al-Qur’an terdapat di dalam S. Al-Tahrim [66]: 8:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ يَوْمَ لَا يُخْزِي اللَّهُ النَّبِيَّ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا مَعَهُ نُورُهُمْ يَسْعَى بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersama dengan dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: “Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”.”

Yang dimaksud dengan taubatan nasuha adalah taubat yang semurni-murninya dan taubat yang dilakukan dengan sungguh. Taubat yang seperti ini menghasilkan kesadaran yang tinggi bagi seseorang yang telah bertaubat untuk meninggalkan segala perbuatan dosa yang telah dilakukan selama-lamanya dengan keyakinan yang kuat bahwa dia tidak akan mengulangi perbuatan-perbuatan dosa itu. Dia tidak akan pernah mengulanginya lagi. Taubat nasuha itu meyakinkan pelaku taubat untuk meningkatkan amal ibadah dan amal kebajikan. Taubat yang seperti yang dapat menghasilkan pengampunan dosa dan \dengan begitu Allah memasukkannya ke dalam surga.

Baca Juga: Surat An-Nisa [4] Ayat 17-18: Taubat Nasuha Menurut Al-Qur’an

Di antara hadis Nabi yang memerintahkan taubat ialah:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ خَطَبَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوبُوا إِلَى اللَّهِ قَبْلَ أَنْ تَمُوتُوا وَبَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ قَبْلَ أَنْ تُشْغَلُوا وَصِلُوا الَّذِي بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ رَبِّكُمْ بِكَثْرَةِ ذِكْرِكُمْ لَهُ وَكَثْرَةِ الصَّدَقَةِ فِي السِّرِّ وَالْعَلاَنِيَةِ تُرْزَقُوا وَتُنْصَرُوا وَتُجْبَرُوا

Dari Jabir ia berkata, Rasulullah berkhutbah di hadapan kami, beliau berkata: “Wahai manusia, bertaubatlah kalian kepada Allah sebelum mati dan bersegerah melakukan amal-amal saleh sebelum engkau sibuk, jalinlah hubungan baik (silaturrahim) dengan sesama kalian dan dengan Allah, dengan memperbanyak berzikir kepada-Nya dan memperbanyak sadaqah, baik dalam keadaan sunyi maupun terang-terangan agar kalian diberi rezeki, ditolong, dan dirahmati Allah swt.

Kita tahu bahwa Rasulullah adalah seseorang yang tidak memiliki dosa (maksum). Rasulullah yang tidak memiliki dosa dan dijauhkan oleh Allah dari dosa-dosanya melakukan taubat dalam sehari sebanyak 100 kali taubat. Bagaimana dengan kita yang memiliki dosa yang banyak, sudah tentu seharusnya bertaubat lebih banyak lagi daripada taubat yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. Oleh sebab itu, bertaubatlah sebanyak mungkin agar engkau bersih dari dosa-dosamu.

Tafsir Surat Al An’am Ayat 164-165

0
tafsir surat al an'am
tafsiralquran.id

Setelah pada pembahasan yang lalu berbicara mengenai perintah Allah kepada Nabi Muhammad untuk memasrahkan hidupnya hanya kepada Allah, Tafsir Surat Al An’am Ayat 164-165 juga membahas tentang perintah Allah kepada Nabi Muhammad untuk menyatakan bahwa ia tidak akan mempersekutukan Allah. Karena hanya Allah yang pantas untuk dimintai pertolongan.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al An’am Ayat 160-163


Kesimpulan Tafsir Surat Al An’am Ayat 164-165 ini adalah bahwa hidup dan kehidupan ini telah disoroti dengan sinar cahaya petunjuk dari segenap penjuru, karena di dalamnya diterangkan perkara-perkara akidah atau kepercayaan serta dalil-dalilnya.

Ayat 164

Dalam ayat ini terdapat perintah kepada Nabi Muhammad agar mengatakan kepada kaumnya, bahwa mengapa ia akan mencari Allah yang lain dengan mempersekutukan-Nya dalam ibadah, berdoa untuk keperluan hidupnya agar Dia menolongnya atau melindunginya dari kesusahan dan bahaya? Mahasuci Allah dari persekutuan itu.

Dialah Tuhan bagi segala sesuatu, Dialah yang menciptakan semesta alam. Selanjutnya pada ayat ini diterangkan, bahwa semua perbuatan manusia akan dipertangungjawabkan- nya sendiri, dan orang yang berbuat dosa akan menanggung sendiri dosanya itu, karena dosa seseorang tidak akan dipikul oleh orang lain. Masing-masing menerima pahala amal baiknya dan memikul dosa amal buruknya. Hal ini berulang-ulang disebutkan dalam Alquran.

 Firman Allah:

اَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِّزْرَ اُخْرٰىۙ    ٣٨

وَاَنْ لَّيْسَ لِلْاِنْسَانِ اِلَّا مَا سَعٰىۙ    ٣٩

(Yaitu) bahwa seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya. (an-Najm/53: 38-39)

Ayat ini cukup memberi petunjuk dan jalan hidup yang bermutu tinggi dan praktis, karena di samping harus beramal dan bekerja harus pula diperhitungkan dengan cermat dan teliti setiap amal perbuatan yang dikerjakannya. Sebab amal pekerjaan atau perbuatan itu sangat besar pengaruhnya dalam membawa nasib keberuntungan dan keruntuhan seseorang, baik di dunia maupun di akhirat. Di akhirat, perselisihan manusia dalam beragama akan diselesaikan.


Baca juga: Hikmah Adanya Nasakh dan Mansukh Dalam Al-Quran, Begini Penjelasannya


Ayat 165

Apabila kita kembali menelaah surah Alquran itu secara keseluruhan, maka kita akan dapat mengambil kesimpulan bahwa hidup dan kehidupan ini telah disoroti dengan sinar cahaya petunjuk dari segenap penjuru, karena di dalamnya diterangkan perkara-perkara akidah atau kepercayaan serta dalil-dalilnya.

Rasul telah menyampaikan perintah Allah melalui wahyu untuk membantah orang-orang kafir yang membangkang, dalam masalah kebangkitan hari akhirat dan al-jaza′ (balasan amal), tentang hubungan manusia dengan Penciptanya, hubungan manusia dengan sesama manusia terutama dalam berbuat baik kepada kedua ibu-bapak, tentang pertentangan dalam agama, amal perbuatan dan lain-lain.

Dari kenyataan sejarah sepanjang masa, terbukti manusia tetap manusia, dahulu maupun sekarang senantiasa terjadi permusuhan walaupun sesama saudara dan sesama manusia, maka akan dapat dirasakan pula hubungan dan hikmahnya pada akhir ayat ini:

“Dan Dialah yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi dan Dia mengangkat (derajat) sebagian kamu di atas yang lain, untuk mengujimu atas (karunia) yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu sangat cepat memberi hukuman dan sungguh, Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang.”

Ayat ini seakan mengatakan, sesungguhnya Tuhanmu yang menciptakan segala sesuatu, Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi ini dan Dia meninggikan derajat sebagian kamu dari yang lainnya, baik kedudukan dan harta maupun kepintaran dan lain-lainnya, karena Dia hendak mengujimu dengan apa yang telah diberikan-Nya kepadamu.

Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksa-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang yang benar-benar minta ampun kepada-Nya dan Maha Penyayang bagi hamba-Nya yang mukmin.

Ayat ini menegaskan, bahwa Allah-lah yang menjadikan manusia penguasa-penguasa di bumi untuk mengatur kehidupan rakyatnya dan Dia pulalah yang meninggikan derajat sebagian mereka dari sebagian lainnya.

Semua itu adalah menurut sunatullah untuk menguji mereka masing-masing bagaimana mereka menyikapi karunia Allah yang diberikan Tuhan kepadanya. Mereka akan mendapat balasan dari ujian itu, baik di dunia maupun di akhirat.

Penguasa-penguasa diuji keadilan dan kejujurannya, si kaya diuji bagaimana dia membelanjakan hartanya, si miskin dan si penderita diuji kesabarannya. Oleh karena itu, manusia tidak boleh iri hati dan dengki dalam pemberian Tuhan kepada seseorang, karena semua itu dari Allah dan semua pemberian-Nya adalah ujian bagi setiap orang.

Baca setelahnya:

(Tafsir Kemenag)

Jangan Menggunjing! Pesan Surat Al-Hujurat Ayat 12 Untuk Menjaga Tali Persaudaraan

0
Menjaga tali persaudaraan
Menjaga tali persaudaraan

Kadang, hati seseorang yang kecewa kepada orang lain akan meluapkan emosi dan kemudian muncul rasa iri. Saat mengalami perasaan tidak enak ini, ia terus merutuki dirinya sendiri dan sebisa mungkin mencari cara agar orang yang membuatnya emosi merasakan sakit seperti yang ia rasakan. Tak jarang ia menggunjing orang tersebut. Dan tentu saja hal ini dilarang, karena menggunjing sama saja mencemarkan nama orang lain. Allah berfirman dalam surat Al-Hujurat ayat 12 “wa laa yaghtab ba’dhukum ba’dhan” (jangan menggunjing sebagian kalian pada sebagian yang lain), sebagai salah satu cara untuk menjaga tali persaudaraan.

Baca juga: Surat Saba [34] Ayat 24-25: Isyarat Larangan Sikap Fanatisme dan Ekstrim

Surat Al-Hujurat ayat 12, jangan menggunjing orang lain!

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱجۡتَنِبُواْ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعۡضَ ٱلظَّنِّ إِثۡمٞۖ وَلَا تَجَسَّسُواْ وَلَا يَغۡتَب بَّعۡضُكُم بَعۡضًاۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمۡ أَن يَأۡكُلَ لَحۡمَ أَخِيهِ مَيۡتٗا فَكَرِهۡتُمُوهُۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٞ رَّحِيمٞ

“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang”

Mengutip at-Tahrir wat-Tanwir anggitan Ibnu ‘Asyur, ayat ini menjadi ayat kelima di Surat Al-Hujurat yang diawali dengan sapaan kepada mukminin. Hal ini mengindikasikan lima ayat tersebut menunjukkan sifat dan sikap buruk yang samar dalam berinteraksi. Kesamaran ini yang menyebabkan sifat buruk tersebut sulit dihindari dan selalu menggerayangi hati manusia.

Surat Al-Hujurat ayat 12 terdiri dari setidaknya tiga adab berelasi dengan orang lain. Pertama, larangan untuk berprasangka buruk. Kedua, larangan untuk memata-matai (stalking) yang berkonotasi negatif, misalnya mencari-cari kesalahan orang. Ketiga, larangan untuk ghibah.

Baca juga: Pakaian Isbal, Indikator Kesombongan, dan Tafsir Ayat-Ayat Takabur dalam Al-Quran

Untuk yang ketiga, Allah lebih mewanti-wanti agar benar-benar dihindari. Hal ini ditunjukkan dengan pencantuman tamsil orang yang ghibah dengan orang yang memakan daging saudaranya sendiri. Sebagaimana pendapat Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Quranul Adzim, yang bertendensi pada hadis riwayat Abu Hurairah dalam Sunan Abu Daud:

كل المسلم على المسلم حرام ماله وعرضه ودمه. حسب امرئ من الشر أن يحقر أخاه المسلم

“Haram harta, kehormatan, darah, tiap muslim atas muslim lainnya. Orang yang tercela perangainya ialah ia yang menghinakan saudara semuslimnya sendiri”

Jika ayat ini menjadi dasar larangan ghibah, lalu apa maksud dari ghibah?

Masih dalam kitab yang sama, ghibah diartikan Nabi SAW dengan “dzikruka akhaka bi ma yukrihu” (menyebutkan sesuatu yang tidak disenangi saudaramu atau menggunjing”. Ibnu ‘Asyur juga mendefinisikannya dengan mengucapkan sesuatu yang tidak disenangi orang lain saat orang itu tidak ada.

Maka kita temukan titik temu bahwa analogi menggunjing orang lain sama saja dengan memakan mayat saudaranya. Artinya, yang menggunjing sama saja iya menggunjing dirinya sendiri. Karena ia dengan orang yang ia gunjing sejatinya setubuh, sepersaudaraan, sehingga ia melakukan hal yang ia tidak suka.  Dalam satu riwayat hadis, menggunjing juga diumpakan seperti anjing yang muntah lalu menjilat kembali muntahan itu. Sama dengan penggunjing. Ia menebar aib orang lain, yang secara tidak langsung termasuk aibnya sendiri.

Baca juga: Tafsir Surat An-Nisa Ayat 36: Allah Tidak Menyukai Sifat Sombong dan Angkuh

Tidak menggunjing demi menjaga tali persaudaraan

Dengan kita tidak menggunjing orang, kita telah melakukan satu ikhtiar untuk menjaga tali persaudaraan. Karena kita telah menyembunyikan aib orang lain. Yang tentu saja, bila aib itu diumbar, orang yang bersangkutan akan sakit hati kepada kita, sehingga tali persaudaraan akan merenggang. Dengan demikian, mayoritas mufassir dan para fuqaha –selain syafi’iyyah- menghukumi gunjingan ini dengan maksiat besar. Karena dampak yang ditimbulkannya fatal.

Dan, bila prinsip tauhid sosial sudah diterapkan, maka tidak ada sikap menjelek-jelekkan orang lain dengan menggunjingnya. Karena, perasaan satu tubuh dan satu persaudaraan telah tertancap dalam hati. Prinsip tauhid sosial dan persaudaraan ini antara lain disarikan dari surat Al-Hujurat ayat 10:

إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ إِخۡوَةٞ فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَ أَخَوَيۡكُمۡۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ تُرۡحَمُونَ

“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.

Semoga kita semua dilindungi Allah dari perbuatan buruk pada orang lain, sehingga tali persaudaraan ini senantiasa terjalin dengan baik. Amin.

Wallahu a’lam[]

Kisah Dzulqarnain dalam Al-Quran, Raja yang Saleh dan Bijaksana

0
Kisah Dzulqarnain dalam Al-Quran
Kisah Dzulqarnain dalam Al-Quran

Cerita umat terdahulu sering dikisahkan dalam Al-Qur’an. Hal itu tidak lain bertujuan agar umat manusia mangembil ibrah dari kejadian masa lalu. Salah satu kisah orang saleh di masa lalu yang diceritakan Al-Quran adalah kisah Dzulqarnain. Ia diceritakan dalam Al-Quran sebagai sosok pengembara yang kuat, bijaksana, dan selalu menyeru kepada kebaikan. Rangkaian cerita Dzulqarnain ini bisa kita temukan dalam surah Al-Kahfi ayat 83-101.

Asbabun nuzul ayat ini berkenaan dengan pertanyaan dari pendeta Yahudi kepada Nabi. Mereka berskutu dengan orang Quraisy untuk menguji kenabian Rasulullah SAW. Mereka mengajukan pertanyaan perihal para pemuda yang hilang, roh, dan seorang pengembara yang telah menjelajahi wilayah Timur dan Barat. Semua pertanyaan itu dijawab oleh Allah melalui firman-Nya, dan ayat ini pun turun untuk menjawab pertanyaan mereka mengenai sosok pengembara itu yang disebut Dzulqarnain.

Baca juga: Surat An-Nisa [4] Ayat 17-18: Taubat Nasuha Menurut Al-Qur’an

Seorang Raja yang Saleh

Al-Quran tidak memberikan secara detail identitas Dzulqarnain tersebut serta lokasi tinggalnya. Penjelasan dari para ulama tafsir pun berbeda-beda. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa Dzulqarnain adalah seorang raja karena merujuk pada hadis yang bersumber dari Ibnu Ishaq.

Beberapa pendapat terdahulu mengatakan bahwa Dzulqarnain ini adalah Iskandar Al-Maqduni (Alexander dari Makedonia). Ada juga yang berpendapat bahwa ia adalah raja dari Himyar karena penyebutan Dzu. Namun dua pendapat pertama banyak dikritik dan tertolak karena bersanad lemah. Pendapat terakhir yang kuat mengatakan bahwa Dzulqarnain adalah raja dari Persia yang bernama Koresy (539-560 SM) seperti yang dikatakan Ibn ‘Asyur.

Terlepas dari berbagai macam perbedaan pendapat mengenai identitas Dzulqarnain, sifat-sifat mulianya perlu kita ulas. At-Thabari mengutip pendapat dari Atsar sebagaimana pula yang dikutip Hifnawi dari Hamid Utsman bahwa Sayyidina Ali pernah ditanya perihal Dzulqarnain, apakah ia seorang nabi ataukah malaikat? Lantas Ali pun menjawab “Bukan ini (nabi), dan bukan itu (malaikat), ia adalah seorang hamba yang saleh, yang menyeru kaumnya kepada Allah ta’ala, lalu mereka melukai kepalanya, kemudian ia menyeru lagi, namun mereka melukai kepalanya (yang sebelah lagi).” Jami’ al-Bayan (16/8), Al-Nuhas fi Ma’ani Al-Qur’an (4/283).

 Baca juga: Mengenal Mushaf Pra-Utsmani (1): Sejarah Awal Mula Penulisan Mushaf dan Klasifikasinya

Menurut Ibnu Katsir Dzulqrnain adalah seorang raja yang adil dan bijaksana yang telah menjelajahi bumi bagian Timur dan Barat. Ia adalah seroang mukmin penyebar agama Allah, mempunyai banyak keajaiban atas kuasa Allah SWT. Ia mengajak penduduk negeri-negeri yang ditaklukkannya untuk beriman kepada Allah. Bidayah wa an-Nihayah (1/493).

Diberikan Kelebihan Ilmu dan Kekuatan Menjelajah Bumi Allah

Suatu ketika dalam perjalanannya ia sampai di belahan bumi bagian Barat dan ia mendapati suatu kaum. Lalu Allah pun mengilhami Dzulqarnain apakah akan menghukum mereka siksaan atau berbuat baik. Karena Dzulqarnain diberikan Allah ketajaman siyasah syar’iyyah, ia pun membuat dua keputusan pada kaum tersebut. Pada kaum yang berbuat kerusakan akan dihukum dan dikembalikan kepada Tuhannya, di mana mereka akan diazab dengan sangat pedih.

Adapun yang beriman dan beramal saleh, ia akan mendapatkan balasan yang baik, dan mereka akan mendapatkan kemudahan-kemudahan. Cerita ini termaktub dalam surah Al-Kahfi: 85-88 menunjukkan kebijaksanaan Dzulqarnain dalam membuat keputusan sesuai syara’ serta ketaqwaannya dalam menjalankan perintah Allah SWT.

Dzulqarnain kemudian melanjutkan perjalanan di bagian bumi lain yang dalam al-Quran disebut Baina al-Saddain (suatu wilayah di antara dua gunung yang sama tingginya). Di sana ia bertemu bertemu suatu kaum yang hidup ketakutan karena terancam suatu kelompok yang bernama Ya’juj dan Ma’juj sepeti yang diterangkan al-Quran surah Al-Kahfi ayat 94.

Baca juga:Inilah Perbedaan Munasabah Dengan Asbabun Nuzul

Menurut Al-Alusy Ya’juj dan Ma’juj adalah orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, negeri kami, dengan membunuh dan merampas makanan apapun yang ada di muka bumi Ruh al-Ma’any (26/39). Kaum yang teraniaya tersebut mengeluhkan perihal Ya’juj dan Ma’juj tersebut kepada Dzulqarnain dan memintanya untuk membuatkan dinding pembatas antara mereka. Dzulqarnain pun akhirnya mengabulkan permintaan kaum tersebut. Hal ini semata-mata karena sifat luhurnya yang ingin memperbaiki kerusakan di muka bumi, dan sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah atas kekuasaan yang diberikan kepadanya seperti yang telah diabadikan Allah dalam surah Al-Kahfi: 95-97.

Allah memberikan kekuasaan kepada Dzulqarnain untuk membuatkan tembok penghalang menggunakan teknologi dan pengetahuan. Tembok penghalang tersebut terbuat dari besi yang dipanaskan dengan api yang mendidih. Dengan pengetahuan tersebut tembok yang sudah jadi sangatlah kuat sehingga Ya’juj dan Ma’juj tidak bisa keluar ataupun melubanginya sampai hari kiamat nanti dan bumi menjadi debu. Mereka tidak bisa menuju negeri lain, karena tembok tersebut adalah jalan satu-satunya Futuh al-Ilahiyah (3/49).

Meskipun Dzulqarnain telah berhasil membuat proyek besar tersebut, tidak lantas kemudian hatinya menjadi congkak dan sombong karena ilmu dan kekuasaan. Justru ia merasa rendah hati karena ia tidak mau upah meski ia ditawari imbalan yang mahal. Ia merasa bahwa segala ilmu, kekuatan, dan kekuasaan yang ia miliki hanya milik Allah semata, dan akan hancur atas kehendak Allah. Hal ini seperti yang difirmankan Allah dalam surah Al-Kahfi ayat 98-101 bahwa semua kekuatan yang di bumi akan musnah pada hari di mana sangkakala ditiupkan.

Tafsir Surat Al An’am Ayat 160-163

0
tafsir surat al an'am
tafsiralquran.id

Setelah pada ayat yang lalu berbicara mengenai ancaman bagi orang yang mendustakan Alquran, dalam Tafsir Surat Al An’am Ayat 160-163 berbicara mengenai balasan bagi orang-orang yang beramal salih.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al An’am Ayat 157-159


Selanjutnya dalam Tafsir Surat Al An’am Ayat 160-163 ini Nabi Muhammad saw diperintahkan untuk memproklamirkan dirinya sebagai utusan Allah yang membawa kabar baik dan membantah anggapan orang-orang yang menganggap bahwa Nabi Uzair dan Nabi Isa adalah anak Allah.

Tafsir Surat Al An’am Ayat 160-163 ini diakhri dengan perintah Allah swt kepad Nabi Muhammad untuk memasrahkan diri sepenuhnya kepada Allah swt. Baik ibadahnya, pekerjaannya, serta seluruh hidupnya.

Ayat 160

Pada ayat ini diterangkan dengan jelas, bahwa siapa berbuat amal baik, maka Allah akan memberikan pahala balasannya di hari akhirat dengan sepuluh kali lipat amalnya. Barang siapa berbuat kejahatan hanya dibalas setimpal dengan kejahatannya, sebab Allah tidak akan menganiaya sedikitpun atau merugikan mereka.

Yang dimaksud dengan orang yang beramal baik di sini ialah orang-orang mukmin, karena amal baik orang kafir sebelum masuk Islam tidak akan bermanfaat bagi mereka di akhirat, seperti yang diterangkan di dalam firman Allah:

ذٰلِكَ هُدَى اللّٰهِ يَهْدِيْ بِهٖ مَنْ يَّشَاۤءُ مِنْ عِبَادِهٖ ۗوَلَوْ اَشْرَكُوْا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَّا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

Itulah petunjuk Allah, dengan itu Dia memberi petunjuk kepada siapa saja di antara hamba-hamba-Nya yang Dia kehendaki. Sekiranya mereka mempersekutukan Allah, pasti lenyaplah amalan yang telah mereka kerjakan. (al-An’am/6: 88)

Maksud dari ungkapan “balasan sepuluh kali lipat” di sini belum termasuk apa yang dijanjikan Allah dengan balasan yang jauh lebih banyak dan berlipat ganda kepada orang-orang yang membelanjakan hartanya di jalan Allah sampai 700 kali lipat.

اِنْ تُقْرِضُوا اللّٰهَ قَرْضًا حَسَنًا يُّضٰعِفْهُ لَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْۗ وَاللّٰهُ شَكُوْرٌ حَلِيْمٌ

Jika kamu meminjamkan kepada Allah dengan pinjaman yang baik, niscaya Dia melipatgandakan (balasan) kepadamu dan mengampuni kamu. Dan Allah Maha Mensyukuri, Maha Penyantun. (at-Tagabun/64: 17)

Di dalam hadis Nabi Muhammad, banyak dijumpai tentang balasan amal baik dan amal jahat bahkan diterangkan  pahala bagi orang yang belum mengerjakan suatu perbuatan baik tapi hanya sekadar niat atau ketetapan hati untuk meluluhkannya. Hal ini tersebut dalam sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah yang menceritakan sebagai berikut:

قَالَ رَسُوْلُ الله ُصَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ اِذَا هَمَّ عَبْدِي بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبْتُهَا لَهُ حَسَنَةً فَاِنْ عَمِلَهَا كَتَبْتُهَا عَشْرَ حَسَنَاتٍ ِالَى سَبْعَمِائَةَ ضَعْفِ وَاِذَا هَمَّ بِسَيِّئَةٍ  وَلَمْ يَعْمَلْهَا لَمْ أَكْتُبْهَا عَلَيْهِ فَاِنْ عَمِلَهَا كَتَبْتُهَا سَيِّئَةً وَاحِدَةً

(رواه البخارى ومسلم)

Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda, “Allah berfirman, apabila hamba-Ku hendak mengerjakan kebaikan dan tidak dikerjakannya, maka tulislah baginya satu pahala kebajikan. Dan apabila dikerjakannya, maka tulislah sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat pahala kebaikan. Dan apabila hamba-Ku hendak mengerjakan suatu pekerjaan jahat, janganlah dituliskan (jangan dicatat) sebagai suatu kesalahan sebelum dikerjakannya. Dan apabila dikerjakannya, catatlah baginya satu kesalahan (kejahatan).” (Riwayat al-Bukhāri dan Muslim)

Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda, “Allah berfirman kepada malaikat-Nya, apabila hamba-Ku hendak mengerjakan suatu pekerjaan jahat, janganlah dituliskan (jangan dicatat) sebagai suatu kesalahan sebelum dikerjakannya.

Dan apabila dikerjakannya, catatlah baginya satu kesalahan (kejahatan). Dan jika ditinggalkannya (tidak jadi diperbuatnya) karena Aku (karena Allah), maka tulislah baginya satu kebajikan. Dan apabila ia hendak mengerjakan kebaikan dan tidak dikerjakannya, maka tulislah baginya satu pahala kebajikan. Dan apabila dikerjakannya, maka tulislah sampai tujuh ratus kali lipat pahala kebaikan baginya.”


Baca juga: Mengenal Penamaan Surat dalam Al-Quran, Begini Penjelasannya


Ayat 161

Pada ayat ini Rasulullah saw mendapat perintah agar mengatakan kepada kaumnya dan semua umat manusia, sesungguhnya aku telah diberi petunjuk oleh Tuhan dengan wahyu-Nya kepada jalan yang benar untuk memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

Itulah agama Ibrahim bukan agama-agama lain yang mengandung syirik yang selalu dihubungkan orang kepadanya secara tidak benar karena Ibrahim bukanlah termasuk orang yang musyrik.

Ayat ini sekaligus membantah kepercayaan orang-orang Arab Mekah, bahwa malaikat itu adalah puteri-puteri Allah, dan membantah orang-orang Yahudi yang mengatakan bahwa Uzair anak Allah dan orang-orang Nasrani yang mengatakan bahwa Isa anak Allah. Masing-masing mengatakan bahwa agama yang mereka anut adalah agama Ibrahim, padahal mereka telah menyimpang dari agama Ibrahim.

Ayat 162-163

Dalam ayat ini Nabi Muhammad, diperintahkan agar mengatakan bahwa sesungguhnya salatnya, ibadahnya, serta semua pekerjaan yang dilakukannya, hidup dan matinya adalah semata-mata untuk Allah Tuhan semesta alam yang tiada sekutu bagi-Nya. Itulah yang diperintahkan kepadanya. Rasul adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri kepada Allah dalam mengikuti dan mematuhi semua perintah dan larangan-Nya.

Dua ayat ini mengandung ajaran Allah kepada Muhammad, yang harus disampaikan kepada umatnya, bagaimana seharusnya hidup dan kehidupan seorang muslim di dalam dunia ini. Semua pekerjaan salat dan ibadah lainnya harus dilaksanakan dengan tekun sepenuh hati karena Allah, ikhlas tanpa pamrih.

Seorang muslim harus yakin kepada kodrat dan iradat Allah yang tidak ada sekutu bagi-Nya. Allah-lah yang menentukan hidup mati seseorang. Oleh karena itu seorang muslim tidak perlu takut mati dalam berjihad di jalan Allah dan tidak perlu takut hilang kedudukan dalam menyampaikan dakwah Islam, amar ma‘ruf nahi munkar. Ayat ini selalu dibaca dalam salat sesudah takbiratul ihram sebagai doa iftitah kecuali kata: اوّل المسلمين   diganti dengan  من المسلمين .


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al An’am Ayat 164-165


(Tafsir Kemenag)

Surat An-Nisa [4] Ayat 17-18: Taubat Nasuha Menurut Al-Qur’an

0
Taubat Nasuha
Taubat Nasuha

Secara bahasa taubat berasal dari bahasa Arab taba-yatubu yang memiliki arti kembali, menyesal, dan jera. Artinya, orang yang bertaubat berarti kembali dari sesuatu yang dicela dalam syariat menuju sesuatu yang dipuji oleh syariat. Taubat nasuha juga bisa diartikan “kembali” kepada Allah, kembali taat kepada Allah pasca kemaksiatan, dan menyesali segala perbuatan dosa yang telah lalu.

Sedangkan taubat secara terminologi adalah menyesal dengan sepenuh hati atas dosa yang telah lalu, memohon ampunan (istigfar) dengan lisan, menghentikan kemaksiatan dari badan, bertekad untuk tidak mengulanginya lagi di masa depan. Pengertian taubat nasuha yang sebenarnya adalah kembali kepada Allah dengan konsekuensi menjalankan apa yang diwajibkan dan meninggalkan apa yang dilarang (Tafsir al-Munir: 706).

Dalam ajaran tasawuf, taubat menduduki maqam pertama karena ia menghapus dosa yang menjadi penghalang utama antara manusia dan Tuhannya. Oleh sebab itu, sebelum menempuh maqam-maqam lain, seorang salik harus bertaubat dari segala dosa yang telah dia perbuat. Jadi, taubat adalah bagian terpenting dalam perjalanan seseorang menuju Allah swt. Tidak ada ibadah yang benar apabila tidak disertai rasa bersalah, menyesal, dan berharap kepada ampunan-Nya.

Baca Juga: Doa Al-Quran: Doa Taubat Nasuha

Taubat dalam arti taubat nasuha adalah usaha manusia untuk menyesali segala kesalahan yang lalu dan tidak akan mengulangi lagi di waktu yang akan datang. Taubat adalah bagian dari usaha manusia untuk menyucikan jiwa dari sifat-sifat yang tidak terpuji yang diharapkan berimplikasi terhadap tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari, baik tingkah laku manusia yang berhubungan dengan Tuhan, rasul, orang tua, atau sesama manusia dengan lingkungannya.

Surat An-Nisa [4] Ayat 17-18: Taubat Nasuha Menurut Al-Qur’an

Berkenaan dengan taubat nasuha, Allah swt berfirman dalam surah an-Nisa [4] ayat 17-18 yang berbunyi:

اِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللّٰهِ لِلَّذِيْنَ يَعْمَلُوْنَ السُّوْۤءَ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ يَتُوْبُوْنَ مِنْ قَرِيْبٍ فَاُولٰۤىِٕكَ يَتُوْبُ اللّٰهُ عَلَيْهِمْ ۗ وَكَانَ اللّٰهُ عَلِيْمًا حَكِيْمًا ١

وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِيْنَ يَعْمَلُوْنَ السَّيِّاٰتِۚ حَتّٰىٓ اِذَا حَضَرَ اَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ اِنِّيْ تُبْتُ الْـٰٔنَ وَلَا الَّذِيْنَ يَمُوْتُوْنَ وَهُمْ كُفَّارٌ ۗ اُولٰۤىِٕكَ اَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابًا اَلِيْمًا ١٨

“Sesungguhnya bertobat kepada Allah itu hanya (pantas) bagi mereka yang melakukan kejahatan karena tidak mengerti, kemudian segera bertobat. Tobat mereka itulah yang diterima Allah. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.” (Surah an-Nisa [4] ayat 17)

 “Dan tobat itu tidaklah (diterima Allah) dari mereka yang melakukan kejahatan hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) dia mengatakan, “Saya benar-benar bertobat sekarang.” Dan tidak (pula diterima tobat) dari orang-orang yang meninggal sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan azab yang pedih.” (Surah an-Nisa [4] ayat 18)

Menurut Quraish Shihab, secara umum ayat ini berbicara mengenai taubat nasuha dan bagaimana taubat seseorang bisa diterima atau ditolak. Dalam surah an-Nisa [4] ayat 17-18 ini Allah mengingatkan manusia tentang apa makna taubat dan kondisi seorang pentaubat yang bisa diterima taubatnya, yakni orang yang melakukan dosa dalam keadaan kelemahan dalam akal, atau gerak yang menjadikan dia bagaikan tidak tahu.

Pada ayat Nisa [4] Ayat 17-18, Allah swt. seakan berfirman, “hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan, baik dosa kecil maupun dosa besar lantaran kejahilan, yakni didorong oleh ketidaksadaran akan dampak buruk dari kejahatan itu, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, yakni paling lambat sesaat sebelum berpisahnya ruh dari jasad, maka mereka itulah – yang kedudukannya cukup tinggi – yang diterima Allah taubatnya.”

Dan Allah swt. sejak dahulu hingga kini Maha Mengetahui siapa yang tulus dalam taubatnya lagi Maha bijaksana, yakni menempatkan segala sesuatu pada tempatnya secara wajar dan proporsional menurut-Nya, sehingga Dia menerima taubat siapa yang wajar diterimanya dan menolak siapa yang pantas ditolak taubatnya.” (Tafsir Al-Misbah [2]: 378).

Dan tidaklah taubat, yakni pengampunan dosa itu diberikan Allah swt untuk orang-orang yang mengerjakan kejahatan-kejahatan, yakni orang yang durhaka terus menerus silih berganti tanpa penyesalan, hingga apabila datang kepada seseorang di antara mereka itu kematian, yakni sesaat sebelum keluarnya ruh dari jasad yang biasa ditandai dengan bunyi “gher” barulah ia mengatakan: “Sesungguhnya aku bertaubat sekarang.

Dan tidak pula ada pemberian pengampunan untuk orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran, yakni mereka yang mati membawa serta bersama kematian itu kekufurannya yang – sebelumnya ketika hidup – tidak disertai dengan taubat nasuha. Itulah orang-orang yang telah Kami sediakan buat mereka siksa yang pedih.” (Tafsir Al-Misbah [2]: 379)

Baca Juga: Tafsir Surah Hud Ayat 112: Perintah Istiqomah Dalam Kebaikan

Menurut sebagian ulama – yakni Muhammad al-Bayjuri, imam an-Nawawi, dan imam al-Qusyairi – taubat nasuha dari segala dosa adalah kewajiban, baik itu berupa dosa kecil atau besar, baik dosa yang nampak atau yang tidak (seperti penyakit hati berupa riya, ‘ujub, dan lain-lain). Jika dosa dihasilkan dari maksiat yang hanya berkaitan dengan pelaku dan Allah, tidak berhubungan dengan hak manusia, maka taubat harus memenuhi tiga syarat, yaitu sebagai berikut:

Pertama, seseorang yang ingin bertaubat nasuha harus menyesali semua perilaku menyimpang dari syariat yang telah dilakukannya dan memohon ampun atas semua itu. Kedua, segera meninggalkan perilaku tersebut dan perilaku serupa serta tidak mencoba mendekati perbuatan itu bagaimanapun alasannya. Ketiga, bertekad dengan sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi perbuatan maksiat.

Namun jika perbuatan dosa berkaitan dengan hak manusia lain, maka ada satu syarat tambahan yang wajib dilakukan ketika bertaubat nasuha, yaitu menyelesaikan hak tersebut pada orang yang bersangkutan. Jika ia memakai harta orang lain, maka ia harus mengembalikan barang yang digunakan kepada pemiliknya, atau meminta pembebasan tanggungan pada yang bersangkutan dan sebagainya. Wallahu a’lam.