Beranda blog Halaman 454

Menepis Anggapan “al-Yawma Akmaltu Lakum Dinakum” sebagai Ayat yang Terakhir Turun

0
Ayat yang terakhir turun
Ayat yang terakhir turun

Sekilas saat menyimak surat Al-Maidah ayat 3 yang berbunyi “Pada hari ini telah aku sempurnkana agama kalian,” kita akan memiliki anggapan bahwa ayat tersebut adalah ayat yang terakhir diturunkan. Terlebih saat mengetahui bahwa itu diturunkan saat Hajjatul Wada’ atau haji terakhir Nabi Muhammad. Bagaimana bisa? Ya, karena telah disempurnakannya agama menunjukkan bahwa tidak akan ada lagi ajaran syariat baru lagi. Dengan kata lain, tidak akan ada wahyu lagi diturunkan.

Sayyid Muhammad ‘Alawi Al-Maliki dalam Faidul Khabir menepiskan anggapan tersebut. Ia memang tidak menyatakan secara langsung bahwa ayat tersebut bukanlah ayat Al-Quran yang terakhir kali diturunkan. Namun beliau menyatakan bahwa tidak ada pertentangan antara Surat Al-Maidah ayat 3 dengan fakta masih adanya wahyu yang diturunkan setelah ayat tersebut. Hal ini dikarenakan pemahaman bahwa Al-Maidah ayat 3 menyatakan agama Islam telah sempurna sehingga tidak ada wahyu lain yang diturunkan setelahnya, adalah pemahaman kurang tepat (Faidul Khabir/60).

Baca juga: Beda Pendapat Tentang Ayat Al-Quran yang Terakhir Diturunkan

Tentang Al-Maidah ayat 3 dan tafsir kata “al-yawma akmaltu”

Surat Al-Maidah ayat 3 yang menyinggung telah disempurnakannya agama Islam berbunyi:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Aku ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS. Al-Maidah [05] 3).

Imam Ibn Katsir dalam tafsirnya menyatakan bahwa pendapat yang benar adalah, ayat di atas diturunkan di saat haji terakhir Rasulullah salallahualaihi wasallam (Hajjatul Wada’). Dan itu adalah Hari Jumat. Keterangan ini diriwayatkan dari ‘Umar ibn Khattab, Mu’awiyah ibn Abi Sufyan, ‘Abdullah ibn ‘Abbas dan banyak lagi ulama. Ini juga pendapat yang diyakini Ibn Jarir At-Thabari di dalam tafsirnya (Tafsir Ibn Katsir/3/29).

Baca juga: Surat Al-Maidah Ayat 3: Isyarat Kewafatan Nabi Muhammad Saw

Terkait tafsir dari kata “al-yawma akmaltu lakum dinakum”, Ibn Jarir di dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ada dua riwayat mengenai hal itu.

Pertama, makna dari “dinakum” adalah ajaran Islam itu sendiri. Sehingga maksud dari “akmaltu” adalah semua ajaran Islam tentang hukum, perintah, larangan, halal, haram dan segala tuntunan yang dibutuhkan manusia, semuanya telah diturunkan pada hari itu. Yaitu Hari Arafah, saat haji terakhir Nabi Muhammad. Ulama yang meyakini pendapat ini menyatakan, setelah ayat ini tidak ada ayat tentang hukum yang diturunkan. Dan nabi wafat 81 hari setelahnya.

Kedua, makna dari “dinakum” adalah haji. Yaitu haji yang dilakukan di saat haji terakhir Rasulullah. Dan makna “akmaltu” adalah disempurnakannya haji tersebut dengan dapat terlaksana tanpa perlu berkumpul dengan kaum musyrik. Kaum muslim dapat beribadah sendirian dengan leluasa tanpa berdampingan dengan kaum musyrik. Tidak seperti sebelum ditakhlukkannya kota Makkah, dimana masih banyak berhala dan kaum musyrik di sekitar Ka’bah.

Makna agama adalah haji

Dari dua pendapat di atas, Ibn Jarir At-Thabari mengunggulkan pendapat yang menyatakan bahwa makna dari agama adalah haji. Sehingga yang terjadi bukanlah semua ajaran Islam telah diturunkan besertaan ayat itu. Tapi, haji umat Islam telah disempurnakan pada saat itu dengan bentuk tidak lagi beribadah bersama kaum musyrik.

Ibn Jarir beralasan, orang yang memiliki ilmu tidak akan membantah bahwa setelah surat Al-Maidah ayat 3 diturunkan, masih ada wahyu lain yang diturunkan. Bahkan menjelang wafatnya Nabi, wahyu semakin banyak yang turun. Ibn Jarir kemudian mengutip keterangan sahabat bahwa ayat yang terakhir diturunkan adalah Surat An-Nisa ayat 176 tentang hukum waris (Tafsir At-Thabari/9/517-521).

Baca juga: Surat Al-Isra’ [17] Ayat 23: Perintah Berbakti Kepada Kedua Orang Tua

Bila ada riwayat bahwa Surat Al-Maidah ayat 3 turun 81 hari sebelum wafatnya Nabi, maka Surat Al-Baqarah ayat 281 turun selisih 9 hari sebelum wafatnya Nabi. Banyak ulama tatkala membahas tema ayat yang terakhir diturunkan, mengutip keterangan Sa’d ibn Jubair yang diriwayatkan Ibn Abi Hatim, bahwa ayat terakhir yang diturunkan dari keseluruhan Al-Quran adalah Al-Baqarah ayat 281. Dan Nabi wafat 9 hari setelahnya. Keterangan ini tentunya semakin menguatkan pendapat At-Thabari (Tafsir Ibn Abi Hatim/10/487). Wallahu a’lam[]

Tafsir Abu Bakar atas Wafatnya Nabi Muhammad Saw.

0
Tafsir Abu Bakar
Belajar Kepada Abu Bakar

Kisah Qarun Dalam Al-Quran: Orang Paling Kaya Pada Zaman Nabi Musa

0
Kisah Qarun dalam Al-Quran
Kisah Qarun dalam Al-Quran

Pada zaman nabi Musa as, ada seorang saudagar kaya bernama Qarun. Menurut beberapa riwayat ia adalah salah satu kerabat nabi Musa. Tak hanya memiliki banyak harta, Qarun juga termasuk orang yang berilmu. Bahkan dikatakan bahwa dirinya adalah ahli kitab Taurat selain nabi Musa dan Harun. Namun kisah Qarun dalam Al-Quran berakhir tragis, karena ia beserta seluruh hartanya tersebut ditenggelamkan oleh Allah swt akibat kesombongan.

Semasa hidup, Qarun dikenal sebagai sosok yang multi-talenta. Ia dijuluki dengan sebutan “Munawir” karena kemerduan suaranya dalam membaca kitab Taurat. Selain itu, Qarun juga adalah laki-laki yang lihat dalam berbisnis dan mengetahui berbagai trik untuk memperlancar usahanya. Berkat itu, ia menjadi seorang saudagar sukses dan dikenal sebagai orang paling kaya pada zaman nabi Musa.

Jauh sebelum kekayaan Qarun melimpah ruah, sebenarnya ia hanyalah seorang lelaki miskin yang tidak mampu menafkahi keluarganya. Bosan dengan keadaan tersebut, lalu Qarun meminta nabi Musa untuk mendoakannya agar Allah swt memberikan harta benda yang banyak. Nabi Musa menyetujuinya tanpa ragu karena dia tahu bahwa Qarun adalah seorang yang sangat saleh dan pengikut ajaran Ibrahim yang sangat baik.

Baca Juga: Ibrah Kisah Nabi Daud: dari Taubat hingga Manajemen Ibadah

Allah pun mengabulkan doa nabi Musa. Akhirnya, Qarun kemudian memiliki ribuan gudang harta yang penuh berisikan emas dan perak. Dikisahkan bahwa setiap keluar rumah ia selalu berpakaian mewah didampingi oleh 600 orang pelayan terdiri atas 300 laki-laki dan 300 lagi pelayan perempuan. Bukan hanya itu, ia juga dikelilingi oleh 4.000 pengawal dan diiringi 4.000 binatang ternak yang sehat, plus 60 ekor unta yang membawa kunci-kunci gudang kekayaannya.

Kisah Qarun Dalam Al-Quran: Azab Allah Swt Terhadap Orang Sombong

Kisah Qarun dalam Al-Quran dapat ditemukan pada surah al-Qashash [28] ayat 67-83. Secara umum, kelompok ayat ini bercerita tentang kekayaan Qarun yang begitu besar, kemudian ia sombong dan tidak mau bersedekah kepada orang yang membutuhkan, karena menurutnya semua itu adalah hasil jerih payahnya. Akibat dari perbuatan sombong itu, Allah swt lalu membinasakan Qarun beserta seluruh harta bendanya.

Pada mulanya, Qarun meminta doa kepada nabi Musa agar menjadi kaya dengan tujuan untuk lebih taat beribadah dan membantu sesama. Namun lambat laun, ia melupakan tujuan tersebut dan malah ingkar terhadap segala nikmat yang telah Allah swt berikan. Menurutnya, semua harta adalah buah dari kerja kerasnya, bukan anugerah Allah swt.

Firman Allah swt, “Dia (Karun) berkata, “Sesungguhnya aku diberi (harta itu), semata-mata karena ilmu yang ada padaku.” Tidakkah dia tahu, bahwa Allah telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan orang-orang yang berdosa itu tidak perlu ditanya tentang dosa-dosa mereka.” (QS. al-Qashash [28]: 78).

Kedurhakaan Qarun kian menjadi-jadi manakala ia menghamburkan hartanya untuk kepentingan duniawi semata. Ia banyak mempergunakan hartanya dalam kesesatan, kezaliman, dan permusuhan, sehingga membuatnya menjadi orang yang sombong, mabuk dan terlena dengan itu semua. Ia juga mendurhakai Allah dan memilih untuk menyembah Sobek, dewa berkepala buaya serta dewa-dewa lainnya.

Tak hanya durhaka pada Allah, dia pun kemudian mengkhianati nabi Musa. Al-Quran menyejajarkan pengkhianatan Qarun dengan penolakan Firaun, Ramses II, atas ajaran tauhid yang dibawa Musa. Ini disebut dalam surah al-Ankabut ayat 39:

وَقَارُونَ وَفِرْعَوْنَ وَهَامَانَ وَلَقَدْ جَاءَهُمْ مُوسَى بِالْبَيِّنَاتِ فَاسْتَكْبَرُوا فِي الْأَرْضِ وَمَا كَانُوا سَابِقِينَ

”Dan (juga) Qarun, Fir‘aun dan Haman. Sungguh, telah datang kepada mereka Musa dengan (membawa) keterangan-keterangan yang nyata. Tetapi mereka berlaku sombong di bumi, dan mereka orang-orang yang tidak luput (dari azab Allah).

Suatu hari, nabi Musa diperintahkan oleh Allah untuk mengerjakan Zakat. Nabi Musa lalu mengutus salah seorang pengikutnya untuk mengambil zakat dari Qarun. Begitu sampai, Qarun langsung marah dan tidak mau memberikan sedikit pun dari kekayaannya. Karena menurut Qarun, kekayaannya itu adalah hasil kerja keras dan usaha sendiri, tidak ada kaitan dengan siapa pun, tidak ada kaitan dengan Allah, atau dewa mana pun. (Qashash al-Anbiya: 602)

Qarun sangat tidak suka dinasihati dan diminta untuk berzakat oleh nabi Musa. Karena itu, ia berusaha merusak dan menghancurkan citra nabi Musa. Suatu ketika, ia pernah menyewa seorang perempuan untuk menuduh nabi Musa telah melakukan hal yang tidak senonoh. Mendengar hal itu, nabi Musa sangat sedih dan terpukul, beliau lalu shalat dua rakaat dan meluruskan segala tuduhan termasuk mengingatkan si perempuan.

Kedurhakaan Qarun mencapai puncaknya ketika ia merasa lebih baik dan lebih terhormat dari seluruh manusia, termasuk nabi Musa as. Ia mengatakan bahwa dirinya tidak membutuhkan nasihat kebenaran dari siapapun. Bahkan, ia tidak merasa butuh dengan apa pun, termasuk ampunan dan ancaman Allah swt. Baginya, seluruh harta miliknya sudah cukup untuk melakukan segala hal (Qashash al-Anbiya: 605).

Akibat kesombongan Qarun tersebut, ia kemudian diazab oleh Allah swt dengan cara ditenggelamkan ke dalam perut bumi beserta seluruh harta yang selama ini dibanggakannya. Firman Allah swt, “Maka Kami benamkan dia (Karun) bersama rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya satu golongan pun yang akan menolongnya selain Allah, dan dia tidak termasuk orang-orang yang dapat membela diri.” (QS. al-Qashash [28]: 81).

Baca Juga: Surat Asy-Syuara Ayat 65 – 68: Kisah Kehancuran Firaun dan Tentaranya

Kisah Qarun dalam Al-Quran ditutup dengan peringatan dari Allah swt kepada seluruh manusia, bahwa bumi tidak diperuntukkan bagi orang-orang yang dipenuhi kesombongan dan keangkuhan. Firman-Nya, “Negeri akhirat itu Kami jadikan bagi orang-orang yang tidak menyombongkan diri dan tidak berbuat kerusakan di bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Qashash [28]: 83).

Dari kisah Qarun dalam Al-Quran di atas, ada beberapa pelajaran yang dapat diambil, diantaranya: 1) kita harus senantiasa bersyukur atas karunia Allah swt, baik yang dirasakan secara langsung maupun tidak; 2) segala pencapaian kita di dunia merupakan bagian dari rezeki Allah meskipun kita merasa mengusahakannya; 3) Jangan lupa berbagi dengan sesama atas segala nikmat; 4) manusia tidak sepatutnya bersikap sombong. Wallahu a’lam.

Mengenal Mushaf Pra-Utsmani (4): Mushaf Ibnu Abbas

0
Mushaf Ibnu Abbas
Mushaf Ibnu Abbas

Pada masa pewahyuan Al-Qur’an, Nabi telah menunjuk beberapa sahabat untuk menjadi penulis wahyu (kuttab al-wahy). Sehingga pada masa kenabian, salah satu kegiatan utama dari para sahabat saat itu adalah mentransmisikan wahyu Al-Qur’an dari lisan Nabi menuju tulisan di berbagai media lembaran (shahifah). Proses transmisi inilah yang kemudian menghasilkan ragam mushaf Al-Qur’an. Salah satu dari ragam produk mushaf tersebut adalah mushaf Ibnu Abbas.

Biografi Ibnu Abbas

Seorang sahabat Nabi yang menjadi pakar Al-Qur’an ini memiliki nama asli Abdullah ibn Abbas. Beliau dilahirkan dari seorang ayah yang bernama Abbas ibn Abdul Muththalib (paman Nabi) dan ibu yang bernama Umm al-Fadhl Lubabah al-Kubra bint al-Harits al-Hilaliyah. Diriwayatkan oleh al-Sa’di bahwasanya ibu Ibnu Abbas ini merupakan perempuan kedua yang pertama masuk Islam setelah Sayyidah Khadijah.

Dalam kitab Abdullah ibn ‘Abbas: Habr al-Ummah wa Turjuman al-Qur’an karya Musthafa Sa’id al-Khan, dijelaskan bahwa Ibnu Abbas memiliki kunyah (nama panggilan) berupa Abu al-Abbas. Terkait tahun kelahiranya, para ulama berbeda pendapat, apakah beliau lahir setelah hijrah Nabi atau sebelum hijrah. Namun, al-Waqidi menjelaskan bahwa sebagian besar ulama berpendapat jika Ibnu Abbas lahir pada tiga tahun sebelum Nabi berhijrah. Sehingga tatkala Nabi wafat, Ibnu Abbas berusia 13 tahun (pendapat lain 15 tahun).

Baca Juga: Mengenal Mushaf Pra-Utsmani (1): Sejarah Awal Mula Penulisan Mushaf dan Klasifikasinya

Sejak kecil, Ibnu Abbas senantiasa bercengkrama dengan Rasulullah. Hal ini dikarenakan Ibnu Abbas masih keponakan Nabi. Selain itu, bibinya yang bernama maimunah juga merupakan salah satu istri Rasulullah. Sehingga dari unsur kekerabatan inilah, Ibnu Abbas kemudian banyak meriwayatkan ucapan Nabi secara langsung, mulai dari penjelasan tentang Al-Qur’an maupun hal-hal lainya. Tidak berhenti di situ, setelah Nabi wafat, Ibnu Abbas juga mengambil ilmu dari berbagai pembesar sahabat saat itu.

Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa pada saat Ibnu Abbas berada di rumah Maimunah, beliau menyiapkan tempat wudhu untuk Nabi. Tatkala Nabi tahu bahwa yang menyiapkan tersebut adalah Ibnu Abbas, maka beliau kemudian mendo’akan Ibnu Abbas dengan do’a berikut:

اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِيْ الدِّيْنِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيْلَ

Ya Allah, fahamkanlah ia dalam agama dan ajarilah ia tafsir

Berkat do’a tersebut, Ibnu Abbas kemudian dikenal sebagai seorang sahabat yang ahli dalam berbagai bidang keilmuan, khususnya tentang Al-Qur’an. Sehingga tidak heran jika Ibnu Mas’ud memberikan gelar kepada Ibnu Abbas sebagai Turjuman Al-Qur’an (penerjemah/penafsir Al-Qur’an terbaik). Selain itu, beliau juga dikenal dengan gelar al-Bahr (ilmunya seluas lautan) dan Habr al-Ummah (intelektual umat).

Berkat kepakaranya dalam bidang Al-Qur’an tersebut, menjadikan Ibnu Abbas sebagai rujukan utama madrasah tafsir para tabi’in di Makkah. Beberapa tabi’in jebolan madrasah Ibnu Abbas antara lain adalah Said ibn Jubair, Mujahid ibn Jabir, dan Ikrimah ibn Abdillah. Ibnu Abbas wafat pada tahun 68 H, dimana saat itu usia beliau sudah mencapai 70 tahun. Beliau wafat dan dimakamkan di kota Tha’if, Makkah.

Baca Juga: Mengenal Mushaf Pra-Utsmani (2): Mushaf Ubay ibn Ka’ab

Struktur Sistematika Mushaf Ibnu Abbas

Salah satu karakteristik mushaf Ibnu Abbas adalah adanya dua surah tambahan yaitu surah al-Khal’ dan surah al-Hafd, sebagaimana juga ditemukan dalam mushaf Ubay ibn Ka’ab. Sehingga dua surah tambahan tersebut mengakibatkan jumlah total surah dalam mushaf Ibnu Abbas menjadi 116 surah. Namun, dalam perincian susunan surahnya, al-Syahrastani dalam kitabnya Mafatih al-Asrar wa Mashabih al-Abrar hanya menyebutkan sebanyak 114 surah, tidak memasukkan dua surah tambahan tersebut. Lebih detailnya bisa dilihat dalam tabel berikut:

No. Nama Surah No. Nama Surah No. Nama Surah
1 al-’Alaq 39 Yasin 77 al-Naba’
2 Nun 40 al-Furqan 78 al-Nazi’at
3 al-Dhuha 41 al-Malaikah (Fathir) 79 al-Infithar
4 al-Muzzammil 42 Maryam 80 al-Insyiqaq
5 al-Muddatstsir 43 Thaha 81 al-Rum
6 al-Fatihah 44 al-Syu’ara 82 al-’Ankabut
7 al-Lahab 45 al-Naml 83 al-Muthaffifin
8 al-Takwir 46 al-Qashash 84 al-Baqarah
9 al-A’la 47 al-Isra’ 85 al-Anfal
10 al-Lail 48 Yunus 86 Ali Imran
11 al-Fajr 49 Hud 87 al-Hasyr
12 al-Insyirah 50 Yusuf 88 al-Ahzab
13 al-Rahman 51 al-Hijr 89 al-Nur
14 al-’Ashr 52 al-An’am 90 al-Mumtahanah
15 al-Kautsar 53 al-Shaffat 91 al-Fath
16 al-Takatsur 54 Luqman 92 al-Nisa’
17 al-Din (al-Ma’un) 55 Saba’ 93 al-Zalzalah
18 al-Fil 56 al-Zumar 94 al-Hajj
19 al-Kafirun 57 al-Mu’min 95 al-Hadid
20 al-Ikhlash 58 Fussilat 96 Muhammad
21 al-Najm 59 al-Syura 97 al-Insan
22 al-A’ma (‘Abasa) 60 al-Zukhruf 98 al-Thalaq
23 al-Qadr 61 al-Dukhan 99 al-Bayyinah
24 al-Syams 62 al-Jatsiyah 100 al-Jumu’ah
25 al-Buruj 63 al-Ahqaf 101 al-Sajdah
26 al-Tin 64 al-Dzariyat 102 al-Munafiqun
27 Quraisy 65 al-Ghasyiyah 103 al-Mujadilah
28 al-Qari’ah 66 al-Kahfi 104 al-Hujurat
29 al-Qiyamah 67 al-Nahl 105 al-Tahrim
30 al-Humazah 68 Nuh 106 al-Taghabun
31 al-Mursalat 69 Ibrahim 107 al-Shaff
32 Qaf 70 al-Anbiya’ 108 al-Ma’idah
33 al-Balad 71 al-Mu’minun 109 al-Taubah
34 al-Thariq 72 al-Ra’d 110 al-Nashr
35 al-Qamar 73 al-Thur 111 al-Waqi’ah
36 Shad 74 al-Mulk 112 al-’Adiyat
37 al-A’raf 75 al-Haqqah 113 al-Falaq
38 al-Jinn 76 al-Ma’arij 114 al-Nas

Terdapat beberapa perbedaan mendasar antara mushaf Ibnu Abbas dengan mushaf resmi utsmani, yaitu: Pertama, perbedaan vokalisasi teks, semisal kata fi ‘ibadi (في عبادى) dibaca fi ‘abdi (في عبدى). Kedua, pemberian titik diakritis (i’jam) terhadap kerangka konsonantal yang sama ataupun yang berbeda, seperti titik ba dalam kata hadabin (حدب) dirubah menjadi titik tsa serta ditambah titik jim pada huruf ha, sehingga dibaca menjadi jadatsin (جدث).

Baca Juga: Mengenal Mushaf Pra-Utsmani (3): Mushaf Ibnu Mas’ud

Ketiga, perbedaan kerangka grafis, seperti ayat wa atimmu al-hajja wa al-umrah lillah (وأتممو الحج والعمرة لله) dalam mushaf utsmani, tetapi dalam mushaf Ibnu Abbas tertulis wa aqimu al-hajja wa al-umrah li al-bait (واقيمو الحج والعمرة للبيت). Keempat, terdapat sisipan kata tambahan dalam sebuah ayat, semisal penyisipan kata malakun dalam kalimat fanadaha min tahtiha (Q.S. Maryam [19]: 24), sehingga bacaanya menjadi fanadaha malakun min tahtiha (فنادىها ملك من تحتها).

Akhir kata, walaupun Ibnu Abbas sangat masyhur dan menjadi rujukan utama dalam kajian tafsir Al-Qur’an. Namun, Taufik Adnan Amal menjelaskan dalam karyanya Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, bahwa mushaf Al-Qur’an hasil salinan Ibnu Abbas ini tidak memiliki pengaruh yang kuat dalam masyarakat Arab sebagaimana pengaruh mushaf Ibnu Mas’ud terhadap penduduk Kufah. Wallahu A’lam

Mengenal Istilah Mutaba’idain dalam Ilmu Tajwid dan Contohnya

0
Mutabaidain
Mutabaidain

Pembahasan dalam tulisan kali ini masih berkaitan erat dengan artikel sebelumnya tentang mutaqaribain. Bila pembahasan mutaqaribain seputar dua huruf yang berdekatan makhraj maupun sifatnya, maka pembahasan mutabaidain sebaliknya, mengulas huruf yang berjauhan makhraj dan sifatnya.

Pengertian Mutabaidain Menurut Para Ulama

Sebagian besar ulama Qurra sepakat mendefinisikan Mutabaidain sebagai

الحَرْفَانِ اللَّذَانِ تَبَاعَدَا مَخْرَجًا وَاخْتَلَفَا صِفَةً

Dua huruf yang makhraj hurufnya berjauhan dan sifat hurufnya berbeda. Hukum bacaannya hanya satu yaitu Idzhar (jelas).

Syekh As-Samandawy dengan memakai sya’ir dalam kitab Laali al-Bayan juga menjelaskannya sebagai berikut:

وَمُتَبَاعِدَانِ حَيْثُ مَخْرَجًا # تَبَاعَدَا وَالْخَلْفُ فِى الصِّفَاتِ جَا

Dan Mutabaidain adalah dua huruf yang berjauhan Makhrajnya dan berbeda sifat (huruf)nya

Pembagiannya Menurut Ahlul Qurra

Ahlul Qurra kembali membagi istilah Mutabaidain menjadi tiga jenis, sebagaimana istilah-istilah sebelumnya yakni Mutajanisain, Mutabaidain dan Mutaqaribain.

  1. Shaghir

Berlaku jika huruf yang pertama sukun dan huruf yang kedua berharakat. Contohnya pada nun sukun yang bertemu huruf-huruf Halq (tenggorokan): أَنْعَمْتَ

2. Kabir

Berlaku jika kedua hurufnya berharakat. Contoh: مُسْتَهْزِءُؤْنَ

3. Muthlaq

Berlaku pada posisi huruf pertama berharakat dan huruf kedua sukun. Contoh: قَوْلٌ

Contoh-contohnya dalam al-Qur’an

Surat al-An’am ayat 31

وَهُمْ يَحْمِلُوْنَ أَوْزَارَهُمْ عَلَى ظُهُوْرِهِمْ

Surat An-Nisa Ayat 88

أَنْ تَهْدُوْا مَنْ أَضَلَّ الله

Surat al-A’raf Ayat 204

وَ إِذَا قُرِئَ القُرْأَنُ فَاسْتَمِعُوْا لَهُ

Karakteristik Mutamatsilain, Mutajanisain, Mutaqaribain dan Mutabaidain

Setelah kita membahas keempat istilah tersebut, baik dalam artikel ini maupun artikel-artikel sebelumnya, terlihat beberapa perbedaannya. Mutamatsilain dan Mutajanisain membahas tentang hukum huruf yang memiliki kesamaan dari makhraj maupun sifatnya.

Sedangkan, Mutabaidain dan Mutaqaribain hanya membahas huruf yang sifatnya dan makhrajnya berjauhan maupun berdekatan. Meskipun begitu, keempatnya memiliki pembagian jenis bacaan yang sama (Shaghir, Kabir, dan Muthlaq).

Adanya pembahasan tersendiri oleh Ulama Qurra mengenai hukum huruf yang sama dan berdekatan, menurut hemat penulis perlu menjadi perhatian, terkhusus untuk para pembaca al-Qur’an. Hal itu disebabkan adanya  kemiripan makhraj dan sifat huruf dalam al-Qur’an luput dari ketelitian para pembacanya.

Wallahu A’lam. Semoga bermanfaat.

Kisah Nabi Isa, Lahir Tanpa Ayah Hingga Diangkat ke Langit

0
Kisah Nabi Isa dalam Al-Quran
Kisah Nabi Isa dalam Al-Quran

Dalam Al-Quran, kisah Nabi Isa disebutkan dalam surat Ali ‘Imran ayat 49-55, Al-Maidah ayat 110-118, An-Nisa ayat 157-158, dan surat Maryam ayat 16-36. Di sisi Allah kedudukan ia sangatlah mulia. Ketika Isra’ Mi’raj, Rasulullah menemuinya di langit kedua. Ia juga merupakan salah satu nabi yang dijuluki Ulul ‘Azmi. Julukan tersebut diberikan kepada para rasul yang mempunyai ketabahan dan kesabaran luar biasa dalam mengemban risalah.

Nabi Isa merupakan Nabi terakhir yang diutus Allah untuk Bani Israil. Maka tidak heran kalau dalam agama Nasrani, Nabi Isa begitu dimuliakan. Tapi umat nasrani memuliakan Nabi Isa bukanlah sebagai seorang nabi, melainkan sebagai anak Allah yang biasa mereka sebut Yesus. Begitu pula dengan umat Yahudi yang menganggap Nabi Isa adalah anak Allah yang mereka sebut dengan nama Uzair.

Baca juga: Ibrah Kisah Nabi Daud: dari Taubat hingga Manajemen Ibadah

Secara akidah, pandangan umat Islam tidaklah sama seperti umat Yahudi dan Nasrani. Umat Islam memang memuliakan Nabi Isa, namun kedudukannya sebatas sebagai rasul seperti yang ditegaskan Al-Quran. Perbedaan anggapan tersebut sebenarnya berkaitan dengan kisah hidup Nabi Isa sendiri yang jarang diketahui kebanyakan manusia. Dan bagi umat Islam hal tersebut merupakan kekuasaan dan kebesaran Allah. Karena bagi-Nya, mudah saja menciptakan sesuatu yang menurut logika manusia adalah sesuatu yang mustahil.

Diciptakan tanpa ayah dari rahim wanita mulia

Nabi Isa adalah seseorang yang lahir dari salah satu wanita paling mulia di dunia, Maryam bintu ‘Imran. Maryam adalah seorang wanita salihah dan sangat menjaga diriya. Ia mengabdikan dirinya sepenuhnya untuk beribadah kepada Allah dengan cara mengasingkan diri dan beriktikaf di Baitul Maqdis.

Suatu hari, Maryam diuji oleh Allah. Ia didatangi malaikat Jibril yang mengabarkan kepadanya bahwa ia akan memiliki seorang anak. Maryam heran, bagaimana mungkin ia akan memiliki seorang anak padahal tidak pernah sama sekali tersentuh oleh laki-laki. Namun, bagi Allah itu adalah hal yang mudah. Hal tersebut akan menjadi bukti atas kuasa Allah yang telah menciptakan alam semesta ini dengan sempurna.

Kuasa Allah pun terjadi. Maryam mengandung, dan ia melahirkan seorang bayi. Bayi tersebut adalah Nabi Isa. Tentu saja kelahiran bayi tersebut mengundang cemoohan dari masyarakat. Maryam mereka fitnah sebagai wanita yang tidak baik-baik karena melahirkan seorang anak tanpa suami.

Baca juga: Kisah Ibnu Muqlah; Berjasa dalam Penulisan Khat dan Mushaf namun Tragis di Karir Politik

Namun Maryam tetap sabar menghadapi cobaan tersebut. Ia bernadzar untuk berpuasa bicara pada hari itu seperti yang terekam dalam surat Maryam ayat 26. Menurut penuturan Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim, puasa yang dilakukan Maryam bertujuan untuk diam terhadap berbagai lontaran pertanyaan karena pasti masyarakatnya tidak percaya terhadap kejadian ini. Allah pun lantas menghibur Maryam dengan memberikan mukjizat kepada Nabi Isa yang masih bayi untuk bicara, dan menjawab pertanyaan-pertanyaan kaumnya. Kisah Maryam dan kelahiran Nabi Isa ini bisa ditemukan dalam surah 16-36.

Kisah Nabi Isa diangkat ke langit oleh Allah

Nabi Isa adalah seorang rasul yang diutus Allah untuk menyampaikan ajaran yang hak. Ia menghadapi berbagai cobaan berat. Bukan hanya penolakan dari kaumnya yang ia hadapi. Namun cemoohan dan tudingan fitnah bertubi-tubi dari kaumnya juga dirasakannya. Meskipun telah banyak mukjizat yang ditunjukkan Nabi Isa kepada kaumnya. Namun tetap saja, mereka tidak mau percaya kepadanya.

Kisah Nabi Isa yang diangkat ke langit juga dilatarbelakangi atas konspirasi buruk yang dilakukan oleh kaumnya. Hal ini seperti yang dijelaskan Al-Quran “Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.” (Q.S. Ali ‘Imran: 54). Raja Romawi yang saat itu telah terkena hoaks buruk akan Nabi Isa akhirnya memerintahkan kaum Bani Israil untuk membunuh Nabi Isa.

Baca juga: Kisah Dzulqarnain dalam Al-Quran, Raja yang Saleh dan Bijaksana

Pada waktu itu, kebencian kaumnya telah memuncak. Karena berbagai fitnah untuk penghentian dakwah tidak berhasil. Nabi Isa bahkan bisa menunjukkan mukjizatnya yang tidak hanya satu seperti yang difirmankan Allah dalam surah Alu ‘Imran: 49, dan Al-Maidah: 110. Kebencian tersebut akhirnya membuat kaumnya berencana untuk membunuh Nabi Isa.

Nabi Isa dan pengikut setianya yang dalam al-Quran disebut ­­al-harawiyyun seringkali berkumpul di Baitul Maqdis untuk beribadah, belajar, berdiskusi, dan dalam rangka mengasingkan diri dari perilaku keji kaumnya. Ketika itu mereka sedang berada di Baitul Maqdis. Namun seorang pengikut Nabi Isa telah berkhianat dan mengatakan kepada kaum Bani Israil tentang keberadaan Nabi Isa.

Dalam situasi yang mencekam tersebut, apalah daya manusia jika kuasa Allah berkehendak lain. Allah menyelamatkan Nabi Isa dengan mengangkatnya naik ke langit. Kemudian Allah menyerupakan wajah seorang yang berkhianat tersebut persis seperti Nabi Isa. Akhirnya, mereka pun menyalib Nabi Isa dan membunuhnya. Kisah ini Allah ceritakan dalam surah An-Nisa’ ayat 157-158.

Baca juga: Kisah Nabi Idris: Pelopor Berbagai Ilmu dan Inovasi Umat Manusia

Menurut Jalaluddin as-Suyuthi dalam Tafsir ad-Durrul Mantsur fi Tafsir bi al-Ma’tsur, Nabi Isa ini diangkat ke langit oleh Allah dan akan diwafatkan di akhir zaman sesuai dengan hadis yang diriwayatkan Ibn Abbas. Pendapat ini senada dengan hadis riwayat Hasan Al-Bashri “Sungguh telah tetaplah bukti bahwa beliau (Nabi Isa Ibn Maryam) itu hidup. Ada suatu khabar hyang telah sampai dari Nabi Muhammad, ‘Sesungguhnya ia (Nabi Isa) itu akan turun (ke bumi), dan membunuh dajjal’. Kemudian Allah mewafatkan Nabi Isa setelah itu.” (Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghayb).

Wallahu a’lam[]

Surat Al-Isra’ [17] Ayat 23: Perintah Berbakti Kepada Kedua Orang Tua

0
berbakti kepada kedua orang tua
Berbakti kepada kedua orang tua

Berbakti kepada kedua orang tua (birrul walidain) merupakan naluri dan fitrah manusia. Dalam jiwa setiap orang pasti tertanam sifat cinta dan hormat – selama tidak ada sesuatu yang mereduksi sifat tersebut – kepada kedua orang tua baik itu ayah maupun ibu. Karena keduanya adalah penyebab eksistensi (keberadaan) manusia di dunia. Berkat jasa keduanya ini, maka Allah swt memberikan perintah berbakti kepada kedua orang tua.

Dalam ajaran Islam, posisi kedua orang tua sangatlah penting. Terdapat banyak ayat Al-Qur’an dan hadis yang berbicara mengenai kemuliaan kedua orang tua dan kewajiban berbakti kepada keduanya. Bahkan sebuah hadis menerangkan bahwa berbakti kepada kedua orang tua adalah salah satu amalan hamba yang paling dicintai oleh Allah swt

Abu ‘Amr asy-Syaibani meriwayatkan, pemilik rumah ini (seraya menunjuk ke rumah Abdullah bin Mas’ud) menyampaikan kepadaku;

Aku bertanya kepada Rasulullah saw, “Amalan apakah yang paling dicintai oleh Allah?” rasul menjawab, “Shalat pada (awal) waktunya.” Kemudian apa lagi? Nabi Menjawab lagi, “Berbakti kepada kedua orang tua.” Aku bertanya kembali, “Kemudian apa lagi?” “Kemudian jihad fi Sabilillah.”

Baca Juga: Doa Untuk Orang Tua dalam Al-Quran dan Tafsir Surat Al-Isra’ [17]: 24

Ibnu Mas’ud mengatakan, “Beliau terus menyampaikan kepadaku (amalan yang paling dicintai oleh Allah), andaikan aku meminta tambahan, maka beliau akan menambahkan kepadaku”. (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Nasa’i).

Surah Al-Isra’ [17] Ayat 23: Perintah Berbakti Kepada Kedua Orang Tua

Salah satu ayat Al-Qur’an yang berbicara mengenai perintah berbakti kepada kedua orang tua adalah surah al-Isra’ [17] ayat 23 yang berbunyi:

 وَقَضٰى رَبُّكَ اَلَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّآ اِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسٰنًاۗ اِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ اَحَدُهُمَآ اَوْ كِلٰهُمَا فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفٍّ وَّلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا ٢٣

Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.” (al-Isra’ [17]: 23)

Menurut Quraish Shihab, ayat di atas menyatakan Dan Tuhanmu yang selalu membimbing dan berbuat baik kepadamu telah menetapkan dan memerintahkan supaya kamu, yakni engkau wahai Nabi Muhammad dan seluruh manusia jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbakti kepada kedua orang tua, yakni ibu bapak kamu dengan kebaktian sempurna.

Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya mencapai ketuaan, yakni berumur lanjut atau dalam keadaan lemah sehingga mereka terpaksa berada di sisimu, yakni dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” atau suara dan kata yang mengandung makna kemarahan atau pelecehan atau kejemuan.

Dan janganlah engkau membentak keduanya menyangkut apapun yang mereka lakukan, apalagi melakukan yang lebih buruk dari membentak dan ucapkanlah kepada keduanya dalam setiap percakapanmu dengan keduanya – dalam kondisi dan situasi apapun – perkataan yang mulia yakni perkataan yang baik, lembut dan penuh kebaikan serta penghormatan.

Pada surah al-Isra’ [17] ayat 23 ini, Allah swt menyandingkan perintah agar tidak menyekutukan-Nya pada sesuatu apapun dengan perintah berbakti kepada kedua orang tua sebaik mungkin. Menurut sebagian ulama tafsir, penyandingan tersebut menunjukkan bahwa posisi orang tua secara teologis dalam ajaran Islam begitu agung (Tafsir Al-Misbah [7]: 442-446).

Kata ihsan pada ayat ini memiliki dua makna, yaitu memberi nikmat kepada pihak lain (orang tua), dan perbuatan baik. Kata “ihsan” sendiri lebih luas dari sekadar memberi nikmat atau nafkah. Maknanya bahkan lebih tinggi dan lebih dalam daripada kandungan makna adil. Jika adil adalah memperlakukan orang lain sama dengan perlakuannya kepada Anda, maka makna kata “ihsan” adalah memperlakukan dirinya lebih baik dari perlakuannya terhadap Anda.

Selanjutnya, Allah swt menggunakan kata bi sebagai penghubung ketika berbicara perintah berbakti kepada kedua orang tua, bukan kata ila atau li. Menurut pakar bahasa, ini menunjukkan bahwa Dia tidak menghendaki adanya jarak – walau sedikit – dalam hubungan antara anak dan orang tua. Anak harus selalu mendekat dan merasa dekat kepada kedua orang tua atau bahkan melekat kepadanya, karena dalam kata bi ada makna ilshaq, yakni kelekatan.

Baca Juga: Teladan Akhlak Nabi Muhammad SAW Kepada sang Ibunda: ‘Saya Anak dari Seorang Perempuan’

Pada bagian akhir surah al-Isra’ [17] ayat 23, Allah swt memerintahkan manusia untuk menjaga kedua orang tua di masa renta mereka, baik salah satunya atau keduanya berada dalam pengasuhan – maksudnya berada dalam tanggungan – maupun hidup secara mandiri. Ayat ini menekankan jika orang tua berada dalam penjagaan anaknya, maka seharusnya ia merawat mereka dengan sebaik-baiknya sebagaimana keduanya telah merawat si anak ketika kecil.

Terakhir, ayat di atas juga menuntut seorang anak agar tidak hanya menyampaikan yang benar, tepat dan sesuai dengan adat kebiasaan yang ada dalam suatu masyarakat, tetapi ia juga harus menyampaikan yang terbaik dan termulia. Kalaupun seandainya orang tua melakukan suatu “kesalahan” terhadap anak, maka kesalahan itu harus dianggap tidak ada/dimaafkan (dalam arti dilupakan), karena tidak ada orang tua yang bermaksud buruk terhadap anaknya. Wallahu a’lam.

Mengenal Rawai’ Al-Bayan, Tafsir Ayat Ahkam Karya Ali Ash-Shabuny

0
rawai' al-bayan
rawai' al-bayan

Pada masa konptemporer, perhatian ulama terhadap tafsir ahkam masih cukup besar. Hal ini terlihat dari beberapa karya tafsir ayat ahkam yang muncul pada paruh pertama abad ke-20, serta menjadi referensi para sarjana Islam dewasa ini. Di antara tafsir ahkam kontemporer adalah Tafsir Rawai’ al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min Al-Quran karya Muhammad Ali Ash-Shabuny (1347 H/ 1928 M).

Tafsir Rawai’ al-Bayan atau Tafsir Ash-Shabuny mendapat penerimaan yang luas dalam dunia Islam termasuk Indonesia, baik kalangan akademisi maupun praktisi. Bahkan, tafsir ini menjadi referensi utama atau buku wajib (kutub al-daras) di Indonesia, terutama di PTAI, khususnya Fakultas Syariah dan Ushuluddin.

Profil Tafsir

Tafsir Rawai’ al-Bayan merupakan magnum opus terbesar Ash-Shabuny dalam kajian tafsir, khususnya tafsir ayat ahkam. Tafsir ini terdiri atas dua jilid besar (699 hal jilid 1 dan 701 hal jilid II) yang merangkum dan merincikan ayat-ayat hukum dalam Al-Quran. Dibandingkan tafsir ayat ahkam sebelumnya, misalnya Ahkam Al-Quran karya al-Jassas, Ahkam Al-Quran karya Ibnu ‘Arabi, Ahkam Al-Quran karya al-Baihaqi.

Tafsir ayat ahkam di atas menghimpun riwayat-riwayat tafsir ahkam dari Imam Syafii, Muhammad Ali al-Sayis dengan Tafsir Ayat Al-Ahkam-nya, maka buah karya Ash-Shabuny ini merupakan tafsir ahkam yang komprehensif dari segi pembahasannya. Di samping mengulas ayat dari segi penafsiran dan kandungan hukum, Ash-Shabuny juga mengkaji aspek fungsional dari hukum Islam yaitu hikmah al-tasyri’, di mana hal ini tidak begitu mendalam di era tafsir ahkam sebelum Tafsir Rawai’ al-Bayan.

Spesifikasi Tafsir

Tafsir Rawai’ al-Bayan mengkaji kurang lebih 70 pokok tema tentaang ayat ahkam, dengan rincian 40 bahasan diuraiman pada juz pertama, dan 30 bahasan diulas pada juz kedua. Pada setiap pokok bahasan, Ash-Shabuny mengklasifikasikan dengan menggunakan term al-muhadharah, misalnya tatkala mengkaji surah al-Fatihah yang menjadi awal pembahasan dengan al-muhadharah al-ula, kemudian ia menyebutkan tema yang menjadi pokok bahasan ayat.

Baca juga: Muhammad Ali Ash-Shabuni, Begawan Tafsir Ayat Ahkam Asal Aleppo, Suriah

Secara teknis, penulisan Tafsir Rawai’ al-Bayan menggunakan sistematika maudhu’i (tematik) sebagaimana yang telah dipetakan di muka. Adapun jumlah ayat hukum yang dikaji sebanyak 248 ayat yang tersebar dalam 21 surat. Dengan rincian, surat al-Baqarah 20 tema, Ali Imran 2 tema, An-Nisa 7 tema, Al-Maidah 4 tema, At-Taubah 2 tema, Al-Anfal 3 tema, Al-Hajj 1 tema, An-Nur 9 tema, Luqman 1 tema, Al-Ahzab 7 tema, Saba’ 1 tema, Shad 1 tema, Muhammad 2 tema, Al-Hujurat 1 tema, Al-Waqiah 1 tema, Al-Mujadalah 2 tema, Al-Mumtahanah 1 tema, Al-Jum’ah 1 tema, At-Thalaq 2 tema, dan Al-Muzammil 1 tema.

Berdasar jumlah tema yang dibahas, model penyajian Tafsir Rawai’ al-Bayan disebut tematik plural, yaitu model penyajian di mana dalam satu karya terdapat banyak tema yang menjadi objek kajian. Walau demikian, tidak semua tema ayat hukum diulas oleh Ash-Shabuny dalam Tafsir Rawai’ al-Bayan.

Persoalan hutang piutang dalam Surat Al-Baqarah ayat 282, misalnya, merupakan ayat hukum terpanjang dalam Al-Quran, persoalan ini tidak menjadi objek kajian Ash-Shabuny. Demikian pula, masalah harta warisan dalam Surat An-Nisa ayat 11-12 juga tidak dibahasnya. Hal ini boleh jadi dikarenakan tema ayat ahkam yang terhidang dalam Tafsir Rawai’ al-Bayan adalah materi-materi perkuliahan yang disesuaikan dengan kebutuhan kala itu.

Metode Penafsiran dan Aplikasinya

Tafsir Rawai’ al-Bayan menggunakan metode tafsir bil ra’yi. Berikut aplikasi penafsirannya, Dalam Surat Al-Ahzab ayat 39 tentang aurat perempuan. Menurut Ash-Shabuny, setiap perempuan muslim berkewajiban memakai jilbab. Jilbab di sini diartikan sebagai pakaian yang menutupi seluruh anggota perempuan yang menyerupai mala’ah (semacam baju kurung wanita).

Menurutnya wajah wanita adalah bagian pokok dari perhiasan wanita, sentral kencantikan. Karenanya dalam persoalan ini, Ash-Shabuny mewajibkan seorang muslimah menampakkan wajahnya sesuai firman Allah swt Q.S. An-Nur Ayat 31.

وَقُلْ لِّلْمُؤْمِنٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ اَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ وَلَا يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلٰى جُيُوْبِهِنَّۖ وَلَا يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلَّا لِبُعُوْلَتِهِنَّ

Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka (Q.S. An-Nur [24]: 31)

Dari aplikasi contoh penafsiran di atas, tampak jelas bahwa pendapat Ash-Shabuny keras dan tegas. Meskipun dalam penafsirannya ia juga mengemukakan pendapat dari empat imam mazhab.

Selain itu, Ash-Shabuny menaruh perhatian lebih kepada aspek kebahasaan, dapat diamati bahwa ketiga unsur tata bahasa Arab, yakni morfologis (sharaf), sintaksis (nahwu), dan semantik (balaghah) digunakannya sebagai basic framework (kerangka dasar) sekaligus basis analisis linguistiknya.

Namun jika dibandikan dengan analisis kebahasaan Bin al-Syathi’ dalam Al-Tafsir al-Bayani li al-Qur’an al-Karim, maupun Quraish Shihab dalam Tafsir al-Qur’an al-Karim: Tafsir Atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Turunnya Wahyu, analisis Ash-Shabuny masih bersifat konvensional, yaitu makna tekstual suatu ayat hanya dilihat dari ketiga unsur tata bahasa Arab saja, tidak lebih dari itu.

Baca juga: Mengenal Shafwah At-Tafasir Karya Ali Ash-Shabuni

Keunikan Tafsir

Di antara keistimewaan dan keunikan Tafsir Rawai’ al-Bayan adalah Ash-Shabuny menjelaskan hikmah at-tasyri’ (kandungan hukum atau maqashid) yang menjadi khatimah (penutup) bahasannya. Secara aksiologis, hikmah at-tasyri’ memuat hikmah dibalik penetapan suatu hukum yang bertujuan menyingkap makna filososi suatu hukum secara rasional dan logis.

Dalam konteks ini, Abdullah al-Khayyat mengapresiasi apa yang dikemukakan Ali Ash-Shabuny dalam Tafsir Rawai’ al-Bayan ini. Misalnya dalam masalah poligami, Ash-Shabuny menjelaskan bahwa alasan dibalik poligami yang dilakukan Rasulullah saw adalah tidak hanya menyangkut syahwat birahi saja, melainkan ada aspek sosial-budaya dan sebagainya, yang meliputi aspek pendidikan, penetapan hukum, sosial-kemasyarakatan, sosial-politik. Oleh karena itu, kata Ash-Shabuny, poligami Rasulullah saw tidak lepas dari visi kenabian yang diembannya yang mencakup keempat poin di atas. Wallahu A’lam.

Tafsir Surat Yasin ayat 1: Pengantar Tafsir dan Keutamaan Membacanya

0
Surat Yasin
Surat Yasin

Surat Yasin adalah salah satu surat yang sangat diminati oleh umat Muslim di Indonesia. Tidak kurang sekali dalam seminggu surat ini rutin dibacakan, dilantunkan bersama-sama di rumah, langgar, surau, masjid, ataupun pesantren. Menunjukkan kalau surat ini begitu istimewa, diyakini, dan diaplikasi dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagian masyarakat masih belum mengetahui bagaimana tafsir surat Yasin ayat 1 beserta keutamaan membacanya. Tulisan kali ini akan mengulas sedikit tentang tafsir dan keutamaan dari surah Yasin.

Berdasarkan tartib mushafi (urutan mushaf) surat Yasin ada diurutan ke 36 dari 114 surat, dan urutan ke 41 berdasrakan tartib nuzuli (urutan turunnya). Dalam tafsirnya, at-tahrir wa at-tanwir, Ibnu ‘Asyur mengatakan bahwa beberapa ulama masih berselisih pendapat terkait jumlah ayat dalam surah ini, ada yang mengatakan 83 ayat, ada juga yang berpendapat 82 ayat. Namun, mayoritas sepakat kalau jumlah ayat pada surah Yasin totalnya adalah 83 ayat.

Secara keseluruhan pakar tafsir seperti at-Thabari, Zamakhsyari, dan Qurthubi mengkategorikan surat ini sebagai surat Makkiyah, meski pada ayat 12 dalam surat ini menurut Ibnu ‘Athiyah diturunkan di Madinah, namun pendapat ini ditolak oleh Ibnu ‘Asyur, ia menganggap bahwa ayat tersebut sejatinya turun di Makkah namun dijadikan hujjah oleh sebagian kelompok untuk mengatakannya turun di Madinah.

Allah Swt berfirman:

يس

Artinya:

Yaasiin.

Kata Yasin sendiri merupakan salah satu dari 14 huruf muqatta’ah dalam Alquran yang tersebar di 29 surat. Masing-masing huruf memilki interpretasi yang berbeda, ada yang menafsirkannya dengan nama Allah, Alquran, nama surat, dan lain-lain. Sebagaimana yang ditulis oleh Lukman Hakim terkait penafsiran huruf muqatta’ah.

Mengutip dalam tafsir al-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, ada 4 penafsiran terkait Ya-sin, bahwa kata Ya-Sin (1) merupakan bentuk muqsam bih (kata yang digunakan untuk bersumpah), kata yang seperti ini juga dapat ditemukan dalam surah-surah lain  seperti ad-dhuha, al-‘Asr, al-Tin, ar-Rahman, dan semacamnya.

Selanjutnya, At-Thabari menilai bahwa kata Ya-Sin (2) merupakan bagian dari Asma’ Allah (nama-nama Allah), al-Thabari juga mengutip pendapat Qatadah yang menilai kata Ya-Sin (3) adalah nama Alquran. Pendapat lain yang dinukil olehnya, dan sedikit berbeda ialah datang dari Ibnu ‘Abbas yang menafsirkan kata Ya-Sin (4) dengan Yaa Insaan (wahai manusia).

Surat Yasin juga dikenal dengan Qalbul Qur’an, para ulama Salaf menamai demikian berdasarkan teks hadith yang berbunyi:

لكل شيء قلبا و قلب القرآن يس

“Setiap sesutau memilki qalb (inti/hati) dan qalb Alquran adalah Ya-Sin

Ada beberapa hadis yang menjelaskan keutamaan membaca Ya-Sin, misalnya hadis yang diriwayatkan oleh Ummu Darda’ dari Nabi Muhammad Saw, beliau bersabda:

مَا مِنْ مَيِّتٍ يُقْرَأُ عَلَيْهِ سُوْرَةُ يس اِلاَّ هَوّنَ الله عَلَيْه

“Tidaklah seorang mayyit yang dibacakan atasnya surah Ya-Sin, kecuali Allah akan memberikan ketenangan/kemudahan padanya”

Dalam kitab Musnad ad-Darimi, juga dijelaskan sebagaimana hadith yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda:

مَنْ قَرَأَ يس في ليَيْلَةٍ ابْتِغَاءَ وَجْهِ الله , غُفِرَ لَهُ فِي تِلْكَ الَّليْلَة

“Barangsiapa yang membaca surat Ya-Sin pada malam hari karena menghaap ridha Allah, diampuni baginya (dosa) dimalam tersebut”

Masih banyak lagi hadis-hadis yang membahas tentang keutamaan-keutamaan surah Ya-Sin, meski hadis-hadis tersebut tergolong lemah (dhoif), namun para muhadditsin (pakar hadis) sepakat untuk memperbolehkan hadith-hadith tersebut diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, sebagaimanana rutinitas di Indonesia. Wallahu a’lam bi Shawab.

Kata-Kata Asing dan Cikal Bakal Kamus Al-Quran

0
Cikal Bakal Kamus Al-Quran
Cikal Bakal Kamus Al-Quran

Bagi kita orang yang terlahir di Indonesia, wajar-wajar saja menganggap bahasa Al-Quran sebagai bahasa asing. Namun ternyata, generasi-generasi awal Islam pun mengakui sebagian kata dalam Al-Quran juga ada yang asing. Istilah ini lebih dikenal dengan gharib al-Quran. Tentu, ini menunjukkan adanya keunikan dan kekayaan tersendiri dalam bahasa Al-Quran. Karena orang yang terlahir sebagai bangsa Arab pun tidak seluruhnya mampu memahami. Inilah yang kemudian menjadi cikal bakal kamus Al-Quran.

Kenyataan bahwa bahasa Arab juga memiliki sisi ke’asing’an ini diakui oleh para pakar. Ibnu Qutaibah (w. 276 H), az-Zajjaj (w. 377 H), Ibn al-Asir (w. 606 H), Ibnu al-Ha’im (w. 815 H) dan Abu Hayyan al-Andalusi (w. 745 H) menyebutnya demikian. Bahasa Arab ada yang maknananya bisa dipahami oleh semua kalangan, namun ada juga yang hanya dipahami oleh orang yang berpengetahuan luas. Meskipun secara dasar, ke’asing’an itu sangatlah relatif, namun keberadaan gharib al-Qur’an menjadi bukti atas ke’asing’an itu.

Baca juga: Lembaran Surah Taha dan Kisah Keislaman Umar bin Khattab

Cikal bakal kamus Al-Qur’an mulai ada sejak generasi awal. Hal ini bermula pada beberapa kisah saat sahabat membaca Al-Qur’an namun ia tidak mengetahui maknanya. Misalnya, ketika Umar bin Khattab sedang berceramah di mimbar, ia pun membacakan ayat 31 Surat ‘Abasa, yakni وَفَٰكِهَةً وَأَبًّا (dan buah-buahan serta rumput-rumputan). Namun, saat itu Umar bin Khattab hanya mengetahui makna fakihah, dan kebingungan atas makna abba.

Di lain kesempatan, Sahabat yang dikenal sebagai habrul ummah (samudera umat), dan tarjuman Al-Qur’an (juru bicara Al-Qur’an) Ibnu Abbas pun pernah tidak mengetahui kata dalam Al-Qur’an. Saat itu Ibnu Abbas kesulitan memaknai فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ, beruntungnya ia mendengar dua orang dari suku pedalaman Arab yang sedang cekcok tentang kepemilikan sumur. Orang pertama menyebut ana fatartuha dan yang lain berkata ana ibtada’tuha. Kedua kata ini artinya mereka saling mengaku sebagai orang yang pertama kali membuat sumur. Setelah melihat percekcokan itu, Ibnu Abbas baru tahu makna kata fatir.

Umar bin Khattab juga pernah mengangap kata takhawwuf dalam Surah An-Nahl ayat 47 sebagai kata yang asing. Ia pun bertanya di hadapan sahabat, “Apa pendapat kalian tentang makna takhawwuf?” Kemudian seorang dari Bani Huzail menunjukkan jawabannya, “Dalam dialek bangsa kami, takhawwuf bermakna tanaqqus (berangsur-angsur)” seraya menunjukkan syair gubahan Abu Kabir Al-Hudzali.

Baca juga: Makki Al-Qaisi, Imam Qiraat yang Terlupakan dan Keragaman Bacaan yang Dihadirkannya

Kata Asing dan Peran Ibnu Abbas

Ibnu Abbas merupakan salah satu sahabat yang memopulerkan pemaknaan kata asing dalam Al-Qur’an dengan merujuk syair Arab kuno. Ibnu Abbas pun menyebut bahwa syair merupakan ensiklopedia bangsa Arab yang mana jika kesulitan memaknai kata dalam Al-Qur’an, maka merujuk syair itu akan mendapatkan maknanya.

Suatu ketika di serambi Ka’bah, Ibnu Abbas pernah kedatangan dua orang dari kelompk Khawarij Nafi’ ibn Al-Azraq dan Najdah ibn Uwaimir. Kedua orang itu meminta penjelasan makna kata-kata asing dalam Al-Qur’an, namun refrensi yang digunakan oleh Ibnu Abbas adalah syair. Misalnya mereka bertanya makna عِزِينَ dalam Surat Al Ma’arij ayat 37, maka Ibnu Abbas pun menjawab berdasarkan syair Arab yang bermakna sekelompok kawan.

Secara makna, ayat عَنِ ٱلْيَمِينِ وَعَنِ ٱلشِّمَالِ عِزِينَ ini bermakna “dari kanan dan dari kiri dengan berkelompok-kelompok”.

Dan syair yang digunakan sebagai rujukan Ibnu Abbas adalah syair anggitan Ubaid ibn al-Abrash sebagai berikut,

فجاءوا يهرعون إليه حتى يكونوا حول منبره عزينا

“Mereka datang kepadanya tergopoh-gopoh, akhirnya mereka berkelompok di sekitar mimbar”.

Kisah ini pun tercatat dalam kitab Al-Itqan fi ulumil Qur’an karangan Imam As-Suyuthi. Selain itu, peristiwa tanya jawab Ibnu Abbas dengan Nafi’ ibn al-Azraq dan Najdah ibn Uwaimir tadi juga didokumentasikan dengan judul masa’il Nafi ibn al-Azraq fi Gharib al-Qur’an. Menariknya, kata-kata yang ditanyakan itu mencapai 190 permasalahan. Sehingga kisah ini kemudian dianggap menjadi cikal bakal adanya kamus Al-Qur’an.

Baca juga: Mengenal Jami’ al-Bayan, Pelopor Tafsir Al-Quran Dalam Islam Karya Ibnu Jarir At-Thabari

Perkembangan Kamus Al-Qur’an

Muchlis Hanafi mencatat bahwa seiring berkembangnya Islam, pembahasan gharib al-Qur’an merupakan salah satu tema yang populer. Tak hanya itu, penyusunan kamus Al-Qur’an pun ia bagi menjadi dua kelompok, yakni kamus berdasarkan urutan mushafi, dan alfabetis. Hal ini ia jelaskan dalam artikelnya Leksikografi Al-Qur’an; ke Arah Penyusunan Kamus Al-Qur’an”.

Pembagian pertama menurut Hanafi yakni berdasarkan urutan mushaf. Maka kamus model ini ditulis berdasarkan Surat Al-Fatihah sampai terakhir akhir mushaf. Cara ini merupakan gaya yang digunakan mayoritas penulis kamus Al-Qur’an. Mereka yaitu Zaid bin ‘Ali (w.120 H), Abū ‘Ubaidah (w. 210 H), Abū ‘Abdirrahmān al-Yazidi (w. 237 H), Ibn Qutaibah (w. 276 H), Gulām Sa‘lab (w. 354 H), Makki bin Abī Talib (w. 437 H), AlKirmani (w.531 H), Ibn al-Jauzi (w. 597 H), Ibn al-Mulaqqin (w.804 H), Ibn al-Hā’im (w.815 H) dan lainnya.

Sementara gaya kamus Al-Qur’an berdasarkan alfabetis ini juga ada dua bentuk. Pertama alfabetis tanpa membedakan huruf asli dan tambahan, contoh kamus ini adalah Nuzat al-Qulub fi Tafsir Gharib Al-Qur’an karya Abu Bakar Muhammad bin Uzaiz as-Sijistani (w. 330 H). Sedangkan contoh kamus Al-Qur’an yang alfabetis dan hanya memperhatikan asal kata adalah kitab Al-Girbani: Gharib al-Qur’an wa al-Hadits karya Abu Ubaid al-Harawi (w. 401 H).

Perkembangan kamus seperti ini pun merambah ke Indonesia seperti yang berhasil diterbitkan oleh Tim Prof. M. Quraish Shihab dengan judul Ensiklopedia Al-Qur’an. Kamus ini berbeda dari kamus yang menggunakan bahasa Arab, karena urutannya berdasarkan alfabet latin.

Proses Panjang adanya kamus Al-Qur’an merupakan karya kongkret dari adanya kata-kata asing yang terhimpun dari gharib al-Qur’an. Karena dokumentasi kisah Ibnu Abbas tadi, kamus seperti ini dapat kita jumpai saat ini.

Wallahu a’lam[].