Beranda blog Halaman 454

Petunjuk Al-Quran tentang Tiga Pondasi Dasar Penetapan Hukum dalam Islam

0
Dasar Penetapan Hukum Islam
Dasar Penetapan Hukum Islam

Al-Quran mengandung berbagai tuntunan kehidupan bagi umat manusia, mulai dari hukum, akhlak, ibadah, muamalah dan lainnya. Mengenai pengambilan hukum dari dalam Al-Quran, ada tiga pondasi dasar penetapan hukum Islam yang harus diperhatikan. Tiga pilar inipun berdasar pada petunjuk Al-Quran itu sendiri.

Perintah dan larangan yang disebut dalam Al-Quran ini kemudian oleh ulama direalisasikan menjadi sebuah produk hukum. Oleh karena itu, harus diperhatikan bahwa perintah dan larangan dalam syari’at itu dibangun berdasarkan 3 pilar, yaitu: ‘Adamul  Haraj, Taqlil Al-Takalif, dan Al-Tadrij Fi Al-Tasyri’. (Syekh Muhammad Hadari Bik, Tarikh Tasyri’ Al-Islam)

Baca Juga: Tujuh Kaidah Penting Dalam Proses Penafsiran Ayat Al-Quran

  1. ‘Adamul Haraj (menghilangkan beban atau ketidak mampuan). Allah Swt memberi kenikmatan kepada hambanya apa yang diperintahkan dan yang dilarang tanpa membebani hambanya, juga berdasarkan kemampuan untuk melaksanakanya. Banyak bukti bahwa Allah membangun syari’at bukan untuk membebani, di antaranya Allah berfirman:

وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالْأَغْلَالَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِم

“Dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka” (Al-A’raf [7]:157)

لَا يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” (Al-Baqarah [2]: 286)

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍ

“ Dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan” (Al-Hajj [22]:78)

يُرِيْدُ اللهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيْفًا

“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah” (An-Nisa [4]:28)

Dari dalil-dalil yang telah disebutkan, kita dapat merenungi betapa syari’at Islam dipenuhi dengan banyak kemudahan. Sebagaimana contoh kecil ketika kita shalat tidak mampu untuk berdiri, syariat menganjurkan kita shalat dengan duduk, dan jika kita juga tidak mampu duduk boleh mendirikan dengan cara berbaring. Dan masih banyak contoh-contoh lainya yang menunjukkan kemudahan-kemudahan syariat Islam.

Baca Juga: Pentingnya Niat dan Keimanan dalam Mewujudkan Kebermaknaan Suatu Amalan

  1. Taqlil al-Takalif (sedikit beban). Pondasi dasar penetapan hukum Islam yang kedua ini merupakan hasil dari penerapan adamul haraj (menghilangkan beban) karena dapat dikatakan banyaknya beban itu akan memberatkan.

Sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Quran surat Al-Maidah Ayat 101-102 :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَسْـَٔلُوا۟ عَنْ أَشْيَآءَ إِن تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ وَإِن تَسْـَٔلُوا۟ عَنْهَا حِينَ يُنَزَّلُ ٱلْقُرْءَانُ تُبْدَ لَكُمْ عَفَا ٱللَّهُ عَنْهَا ۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ. قَدْ سَأَلَهَا قَوْمٌ مِّن قَبْلِكُمْ ثُمَّ أَصْبَحُوا۟ بِهَا كَٰفِرِينَ 

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al-Qur’an itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha pengampun lagi Maha penyantun. Sesungguhnya telah ada segolongan manusia sebelum kamu menanyakan hal-hal yang serupa itu (kepada Nabi mereka), kemudian mereka tidak percaya kepadanya.” (Al-Maidah [5]: 102).

Masalah-masalah tentang hal inilah yang dilarang Allah kepada semua hamba-Nya. Allah tidak mengharamkan suatu perkara bagi hamba-Nya, melainkan pertanyaan merekalah (manusia) yang menjadi sebab keharamannya. Walaupun seperti itu Allah tetap memaafkan  mereka.

Ada hadis Nabi Muhammad riwayat Abu Hurairah yang juga menyinggung hal di atas,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِسُؤَالِهِمْ وَاخْتِلَافِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Biarkanlah apa yang aku tingalkan untuk kalian, bahwasanya orang-orang sebelum kalian binasa karena mereka gemar bertanya dan menyelisihi Nabi mereka. Jika aku melarang kalian dari sesuatu maka jauhilah, dan apabila aku perintahkan kalian dengan sesuatu maka kerjakanlah semampu kalian” (HR. al-Bukhari no. 6744)

Menarik diperhatikan dalam hadis ini yaitu redaksi “semampu kalian” di belakang perintah untuk mengerjakan tuntunan Rasulullah saw. Ini berarti Allah melalui RasulNya tidak menuntut pelaksanaan perintah agama di luar kemampuan hambaNya. Hal ini berbeda dengan perintah untuk menjauhi larangannya, harus bisa menjauhinya. hanya saja Ibnu Hajar dalam Fathul Bari tetap memberi catatan. ‘kecuali dalam keadaan darurat’. Hal ini juga bisa dipertimbangkan menjadi dasar penetapan hukum Islam.

Baca Juga: Tafsir Surah Hud Ayat 112: Perintah Istiqomah Dalam Kebaikan

  1. Al-Tadrij Fi al-Tasyri’ (tahapan dalam syariat). Pondasi dasar hukum Islam berikutnya adalah bertahap dalam penentuan hukum, tidak semuanya langsung diubah total.

Berkat kehadiran Nabi Muhammad Saw umat Islam memperoleh landasan hukum yang akan terus berlaku dan menjadi kebaikan untuk kehidupan manusia. Allah ingin menjauhkan hambanya dari segala hal yang buruk, yang dapat membahayakan. Maka Allah menetapkan syariat-Nya secara bertahap, sedikit demi sedikit agar hukum Allah jelas, mudah diterima, dan agama Allah menjadi sempurna.

Seperti bertahapnya hukum khamr atau minuman keras. Ketika Rasulullah ditanyai para sahabat perihal hukum minum khamr dan berjudi yang telah menjadi kebiasaan masyarakat Arab Jahiliyah, Rasulullah menjawab mereka dengan lisan Al-Quran (firman Allah) :

فِيْهِمَا إِثْمٌ كَبِيْرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا

“Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari pada manfaatnya” (Al-Baqarah [2]: 219)

Hukum meminum khamr dan berjudi pada ayat tersebut belum jelas keharamanya. Para ulama fikih sekalipun memahami ayat tersebut mengandung hukum yang masih samar, karena pada ayat tersebut lebih membahas baik buruknya khamr dari pada halal dan keharamannya.

Kemudian khamr jelas digunakan ketika sedang shalat dan mereka dalam keadaan mabuk, maka turunlah ayat Al-Quran surat An-Nisa untuk menjawab hal tersebut :

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوْا لَاتَقْرَبُوْا الصَّلَاةَ وَاَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوْنَ مَا تَقُوْلُوْنَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan” (An-Nisa [4]: 43)

Ayat ini bukan sebagai pembatalan larangan pada ayat sebelumnya, namun sebagai penguat dari ayat sebelumnya. Kemudian Rasulullah menjelaskan secara jelas larangan dan hukum meminum khamr. Sebagaimana Allah berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِنَّمَا ٱلْخَمْرُ وَٱلْمَيْسِرُ وَٱلْأَنصَابُ وَٱلْأَزْلَٰمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ ٱلشَّيْطَٰنِ فَٱجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”. (Al-Maidah [5]: 90)

Sedemikian bentuknya ajaran Islam yang sarat akan makna, tidak memberatkan melainkan memudahkan, tidak membebani melainkan memberi solusi. Tahapan demi tahapan yang diberikan tidak lain agar dapat diterima semua kalangan tidak memandang latar belakang. Wallahu A’lam

Mengenal Lebih Jauh Tentang Tafsir Ilmi: Pengertian dan Perkembangannya

0
Tafsir Ilmi
Tafsir Ilmi

Tafsir ilmi atau scientific exegesis merupakan salah satu corak penafsiran al-Qur’an yang menggunakan pendekatan teori-teori sains untuk menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an. Tafsir ilmi juga dapat disebut sebagai corak penafsiran yang dimaksudkan untuk menggali teori-teori ilmiah dan pemikiran filosofis dari ayat-ayat al-Qur’an (Mustaqim, 2016: 136).

Ada beberapa definisi atas tafsir ilmi yang diungkapkan oleh beberapa tokoh. Misalnya, Fahd al-Rumi yang mengatakan bahwa tafsir ilmi adalah sebuah ijtihad seorang mufassir dalam menemukan hubungan antara ayat-ayat kauniyah (kosmos) al-Quran dengan penemuan ilmu-ilmu eksperimen yang bertujuan untuk mengungkapkan kemukjizatan al-Quran sebagai sumber ilmu yang sesuai dan sejalan di setiap waktu dan tempat (al-Rumi, TT: 549).

Muhammad Husein al-Dzahabi juga mengemukakan bahwa yang disebut sebagai tafsir ilmi adalah Tafsir yang dilakukan untuk menentukan istilah-istilah keilmuan dalam ayat-ayat al-Quran dan berijtihad guna memunculkan beberapa ilmu dan pandangan filsafat dari ayat-ayat tersebut (al-Dzahabi, 1409: 474).

Baca Juga: Mengenal Tafsir Ilmi, Tafsir Jawahir Karangan Thanthawi Jauhari

Tafsir ilmi dapat dikatakan terbangun dari paradigma bahwa al-Qur’an tidak hanya memuat ilmu-ilmu agama atau hal-hal yang terkait dengan ibadah ritual, tetapi juga memuat ilmu-ilmu dan teori-teori ilmu pengetahuan. (Mustaqim, 2016: 136). Di mana bagian inilah (sisi kosmologis) merupakan bagian yang jarang tersentuh (Madjid, 2005: 290).

Dalam perkembangannya, tafsir ilmi tidak lepas dari perdebatan. Menurut pandangan Islah Gusmian, ada sebuah pertanyaan mendasar yang mendorong terjadinya persepsi dan respon yang berbeda-beda di kalangan sarjana al-Qur’an. Jadi manakah yang didahukan antara pemahaman ilmiah yang kemudian dicarikan justifikasinya dari al-Qur’an ataukah pemahaman al-Qur’an yang kemudian menjadi inspirasi bagi riset ilmu pengetahuan? (Gusmian, 2013: 248)

Perdebatan ini setidaknya menyebabkan para sarjana al-Qur’an terbagi dalam tiga kelompok besar. Pertama, kelompok pembela (al-mudafi’). Kelompok ini berargumen bahwa tradisi tafsir ilmi telah dikenal dalam khazanah pemikiran Islam.

Beberapa bukti empirisnya dapat dilihat dari lahirnya tafsir al-Jawahir fi tafsir al-Qur’an al-Karim yang disusun oleh Tanthawi Jauhari (Jauhari, 1974), kemudian penafsiran Fakhruddin al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib-nya yang filosofis dan penuh nuansa sains (al-Razi. 1420). Serta penjelasan Abdul Madjid Abdussalam yang mengklaim bahwa prinsip-prinsip tafsir ilmi sudah diletakkan oleh Abu Hamid al-Ghazali satu abad sebelum Fakhruddin al-Razi, dalam magnum opusnya, Ihya ‘Ulumiddin (Syafi’i, 2012: 32).

Adapun argumentasi al-Qur’an yang dijadikan sebagai landasan pandangan mereka adalah Q.S al-An’am: 38 dan Q.S al-Nahl: 89. Dua ayat ini dipahami sebagai informasi bahwa berbagai ilmu pengetahuan memang telah disebutkan dalam al-Qur’an, termasuk teori-teori sains modern. Selain itu, dalam al-Qur’an sendiri terdapat banyak ayat yang memerintahkan manusia untuk memperhatikan berbagai fenomena dan gejala alam (Mustaqim, 2016: 138).

Kedua, kelompok penolak (al-mu’aridh). Terdapat sejumlah sarjana al-Qur’an yang memposisikan dirinya sebagai kelompok yang kontra. Misalnya, Muhammad Husein al-Dzahabi, al-Syatibi, dan Mahmud Syaltut. Beberapa argumen yang mereka lontarkan diantaranya; 1) al-Qur’an bukan kitab sains melainkan kitab hidayah; 2) tidak perlu melegitimasi ilmu pengetahuan yang sifatnya relatif dan nisbi dengan al-Qur’an (Khir, 2000: 27).

Ketiga, kelompok moderat. Kelompok ini tidak menolak penggunaan sains dalam menafsirkan al-Qur’an akan tetapi lebih menekankan kepada persyaratan yang harus dipenuhi agar tidak terjadi penyimpangan dalam menafsirkan al-Qur’an.

Maka penggunaan kaidah-kaidah tafsir harus tetap diutamakan, baru setelah itu dikombinasikan dengan teori-teori sains yang sudah mapan sehingga akan membantu proses penafsiran al-Qur’an khususnya yang berhubungan dengan ayat-ayat kauniah (Khir, 2000: 27). Beberapa tokoh yang masuk dalam kategori ini diantaranya Hassan al-Banna, Muhammad Abdullah Daraz dan Sayyid Quthb (Muchlisin, 2017: 245).

Baca Juga: Syekh Tantawi Jauhari: Sang Pelopor Tafsir Ilmi Modern

Memang sejatinya al-Qur’an bukanlah kitab ilmu pengetahuan. Namun dalam kapasitasnya sebagai kitab hidayah (petunjuk), al-Qur’an memberikan isyarat-isyarat akan pentingnya mengembangkan ilmu pengetahuan (Mustaqim, 2016: 138).

Sayyid Quthb juga menyebutkan bahwa setiap perkembangan pengetahuan manusia yang mampu menyingkap “tanda-tanda” Tuhan di alam ini akan sangat membantu untuk menegaskan kebenaran al-Qur’an. Namun asumsi dasar yang harus dipegang dalam memposisikan diri sebagai golongan moderat adalah bahwa al-Qur’an susungguhnya tidak akan bertentangan dengan realitas dan kebenaran objektif ilmiah.

Mengurai Sejarah Kemunculan dan Urgensi Kronologi Al-Quran dalam Ilmu Tafsir

0
Kronologi Al-Quran
Ilustrasi salah satu mushaf al-Quran

Unit-unit wahyu Al-Quran disampaikan kepada nabi Muhammad Saw selama kurang lebih 23 tahun, selaras dengan perkembangan misi kenabian. Sebagian besar sahabat mengetahui proses ini sehingga mereka bisa memahami berbagai konteks historis ayat Al-Quran. Namun ketika kodifikasi Al-Quran dilakukan, muncul beberapa problematika kronologi Al-Quran yang disebabkan ketidakmampuan mushaf utsmani mengakomodir kronologi pewahyuan.

Para sarjana Muslim klasik menyadari permasalahan ini. Mereka menekankan tentang urgensi pengetahuan tentang penanggalan atau aransemen kronologi bagian-bagian Al-Quran dalam rangka memahami kitab suci tersebut. Al-Quran sebagai bagian dari tradisi lisan (oral traditioni) – meskipun telah dibukukan – harus dipahami dalam konteks kelisanan agar maknanya bisa tersampaikan. Karena teks tanpa konteks akan menghasilkan tafsir tak terbatas.

Bagi mufasir klasik, untuk memahami teks Al-Quran secara akurat seseorang memerlukan beberapa piranti khusus, salah satunya adalah pengetahuan tentang konteks pewahyuan. Abu al-Qasim al-Hasan bin Habib al-Nisaburi (w. 406 H), sebagaimana dikutip oleh al-Suyuthi misalnya, menegaskan bahwa seseorang tidak berhak berbicara mengenai Al-Quran tanpa bekal memadai tentang pengetahuan dan problematika kronologi Al-Quran.

Pijakan Awal Dalam Menentukan Kronologi Al-Quran

Pijakan utama para mufasir klasik untuk menentukan penanggalan kronologi Al-Quran adalah riwayat-riwayat dan tafsir sahabat yang masih bercampur baur dengan hadis. Riwayat-riwayat ini biasanya mengungkapkan bahwa bagian tertentu Al-Quran diwahyukan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Misalnya surah al-Anfal [8] dihubungkan dengan perang Khandaq dan surah al-Fath [48] dengan perjanjian Hudaibiyah.

Riwayat-riwayat di atas merupakan data historis yang teramat penting untuk membantu menyusun kronologi Al-Quran, hanya saja riwayat seperti ini jumlahnya sangat terbatas dan umumnya bertalian dengan wahyu-wahyu pada periode Madinah di mana Islam sudah mulai terkonsolidasi. Sedangkan riwayat-riwayat yang berkaitan dengan wahyu-wahyu periode Mekah, jumlahnya sangat sedikit dan sebagian besar data tersebut kurang meyakinkan detailnya.

Riwayat-riwayat semacam ini dalam tradisi kesarjanaan Islam disebuat dalam pembahasan khusus, yakni “sebab-sebab pewahyuan” (asbab alunuzul). Sayangnya, data-data tradisional yang dikumpulkan mufasir klasik memiliki beberapa kelemahan, diantaranya: minimnya dan ketidaklengkapan data; riwayat-riwayat yang ada sangat rentan terhadap kritik; dan adanya inkonsistensi dalam periwayatan, baik dari sisi perawi maupun isi (matan).

Sekalipun data-data tersebut memiliki berbagai kelemahan, itu semua – baik bersifat historis, semi-historis atau legenda – mesti diterima sebagai pijakan penentuan kronologi Al-Quran. Sikap semacam ini – meskipun menuai kritik – dipegang oleh mayoritas mufasir klasik. Bahkan sebagian sarjana barat seperti Theodor Noldeke juga menggunakan data-data tersebut dengan beberapa filtrasi terhadap riwayat-riwayat yang lemah.

Selain melalui riwayat-riwayat, problematika kronologi Al-Quran juga dapat dilihat secara langsung dari Al-Quran. Beberapa ayat Al-Quran bahkan menyinggung peristiwa tertentu yang pernah terjadi dalam sejarah pewahyuan Al-Quran. Contohnya adalah surah ar-Rum [30]: 2-5, yang menyebutkan kekalahan Bizantium dari Persia. Bagian ini barangkali merujuk kepada peristiwa jatuhnya Kota Yerusalem ke tangan Persia pada 614 M.

Berbeda dari masa Mekah, rujukan-rujukan historis pada periode Madinah bisa diberi penanggalan lebih akurat berdasarkan sumber-sumber lain. Contohnya adalah Perang Badr (624) disebut dalam Ali ‘Imran [3]: 123, Perang Hunain dalam at-Taubah [9]: 25, perubahan kiblat dari Yerusalem ke Makkah di penghujung 623 M atau awal 624 M dalam al-Baqarah [2]: 142-150, penetapan ibadah haji dan ritus-ritusnya di sekitar 624 M dalam al-Baqarah [2]: 158,159; 5:95, dan lain-lain.

Problematika Kronologi Al-Quran Jilid Dua

Problematika kronologi Al-Quran jilid dua dimulai ketika Al-Quran ditetapkan sebagai sumber primer hukum Islam secara yuridis. Penetapan ini berperan signifikan dalam upaya penyusunan aransemen kronologi Al-Quran. Ini tergambar jelas dalam berbagai diskursus tradisional terkait nasikh-mansukh. Para sarjana muslim klasik mengakui adanya perbedaan ayat-ayat Al-Quran secara literal, sehingga mereka berkesimpulan bahwa ada ayat yang terhapus hukumnya.

Jika mereka menemukan ada dua ayat yang membahas konsekuensi hukum tertentu dan ayat-ayat tersebut bertentangan secara literal tanpa bisa dipersatukan, maka mereka akan melakukan penghapusan hukum pada salah satu ayat. Ayat yang paling akhir atau belakangan turun dianggap sebagai ayat penghapus hukum pada ayat yang turun terlebih dahulu. Dengan demikian, konsekuensi hukum sebelumnya diganti dengan konsekuensi hukum terbaru.

Elaborasi doktrin nasikh-mansukh ini bahkan pada abad ke-8 hingga abad ke-11 telah mencapai suatu proporsi yang sangat mengerikan dan dramatis dalam sejarah pemikiran Islam. Ibn Syihab al-Zuhri (w. 742) menyebutkan bahwa ada 42 ayat mansukhat, al-Nahhas (w. 949) mengidentifikasi ada 138 ayat mansukhat, dan Ibn Salamah (w. 1020) mengemukakan ada 238 ayat mansukhat. Kecenderungan ini terlihat masih tetap bertahan pada beberapa abad berikutnya.

Pada masa al-Suyuthi, ratusan ayat mansukhat itu telah direduksi menjadi hanya 20 ayat. Sementara pada masa Syah Wali Allah, jumlah ayat yang di-nasakh tinggal 5 ayat. Melihat bagaimana ayat-ayat mansukhat kian lama kian berkurang dalam kuantitasnya seiring dengan berlalunya masa, Sayyid Ahmad Khan (w. 1898) kemudian secara tegas memproklamasikan bahwa di dalam al-Quran tidak terdapat doktrin nasikh-mansukh sebagaimana dipahami para fukaha.

Terlepas dari perdebatan eksistensi doktrin nasikh-mansukh, kehadirannya – disadari atau tidak – telah berpengaruh signifikan terhadap sejarah awal kemunculan problematika kronologi Al-Quran, terutama terkait penentuan penyusunan unit-unit wahyu Al-Quran secara kronologis di kalangan mufasir klasik. Tak jarang, ideologi nasikh-mansukh yang dimiliki mufasir mempengaruhi peletakan urutan ayat tertentu dalam kronologi pewahyuan. Wallahu a’lam.

Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 3-4: Prinsip Keseimbangan Hidup dalam Melihat Kuasa Allah

0
Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 28-30
Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 28-30

Allah yang Maha perkasa dan Maha bijaksana, Dialah yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Demikian sepenggal bunyi Surat Al-Mulk ayat 3. Surat yang menjelaskan tanda kekuasaan Allah SWT yang sulit dijangkau dengan akal dan penglihatan hambaNya.  Sungguh, pada langit dan bumi benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah SWT yang harus hambaNya percayai. Dan Allah SWT dalam setiap menciptakan sesuatu pasti ada tujuan dan fungsi yang ditujukan kepada hamba-hambaNya.

Berikut Firman Allah Surat al-Mulk ayat 3-4:

الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ طِبَاقًا مَا تَرَى فِي خَلْقِ الرَّحْمَنِ مِنْ تَفَاوُتٍ فَارْجِعِ الْبَصَرَ هَلْ تَرَى مِنْ فُطُورٍ

ثُمَّ ارْجِعِ الْبَصَرَ كَرَّتَيْنِ يَنْقَلِبْ إِلَيْكَ الْبَصَرُ خَاسِئًا وَهُوَ حَسِيرٌ

“Dialah yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat sesuatu yang tidak seimbang pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih. Maka lihatlah sekali lagi, adakah kamu lihat sesuatu yang cacat”

“Kemudian ulangi pandangan (mu) sekali lagi (dan) sekali lagi, niscaya pandanganmu akan kembali kepadamu tanpa menemukan cacat dan ia (pandanganmu) dalam keadaan letih” (Q.S. al-Mulk [67]: 3-4)

Baca juga: Sering Membaca Surat Al-Mulk? Berikut ini Lima Keutamaannya

Pada Tafsir al-Misbah karya Quraish Shihab, Surah ini merupakan surah ke-76 dari segi pengurutan turunnya surat-surat Al-Quran. Jumlah ayatnya 30, dan ada juga yang menghitungnya sebanyak 31 ayat. Surat ini disepakati oleh ulama sebagai Surah Makkiyah, yakni turun sebelum Nabi berhijrah ke Madinah. Kemudian pakar hadis, at-Tirmizi meriwayatkan melalui Abu Hurairah bahwa Nabi saw menamainya Surah Tabarakallazi biyadihi al-Mulk, demikian dalam bentuk satu kalimat yang diangkat dari ayatnya yang pertama.

Dalam riwayat at-Tirmizi yang lain melalui Ibn ‘Abbas ditemukan juga nama Tabaraka al-Mulk. Ada juga riwayat yang menyatakan bahwa ia dinamai Nabi saw. menyifatinya dengan al-Munjiyah yang bermakna penyelamat, dan al-Mani’ah yang artinya penghalang. Akan tetapi namanya yang paling populer adalah Tabarak dan al-Mulk.

Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 3-4

Surat ini, menurut Sayyid Qutb sebagaimana yang dikutip oleh M. Quraish Shihab bertujuan untuk menciptakan pandangan baru bagi masyarakat muslim tentang wujud dan hubungan-Nya dengan Allah sang Maha pencipta wujud. Gambaran menyeluruh melampaui alam bumi yang sempit dan ruang dunia yang terbatas menuju alam langit, bahkan menuju kepada kehidupan akhirat.

Kemudian pada ayat di atas dijelaskan (Dialah yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis). Jika menurut Maurice Bucaille pada karya al-Qur’an et ia Science yang sudah diterjemahkan oleh Rasjidi dengan judul Qur’an dan Sains, angka tujuh dijelaskan dalam Al-Quran sebanyak 24 kali. Tentu saja dengan maksud bermacam-macam. Seringkali angka tujuh itu berarti banyak (tidak bisa terhitung) dan kita tidak tahu dengan pasti sebabnya angka tersebut dipakai.

Bagi orang-orang Yunani dan orang-orang Romawi, angka 7 juga mempunyai arti banyak yang tidak ditentukan. Dalam Al-Qurtan, angka 7 dipakai tujuh kali untuk memberikan bilangan kepada langit, angka 7 dipakai satu kali untuk menunjukkan langit-langit yang tidak disebutkan.

Baca juga: Tafsir Surat Yasin ayat 1: Pengantar Tafsir dan Keutamaan Membacanya

Dari sini dapat diambil hikmah, bahwa memang bentuk kekuasaan Allah SWT ada juga yang tidak bisa terlihat oleh pandangan mata manusia biasa. Akan tetapi, Maha besar Allah, kita sebagai hambaNya harus mampu mengimani bentuk kekuasaan Allah SWT.

Selanjutnya, pada kitab Tafsir Al-Maraghi karya Ahmad ibn Mustafa Al-Maraghi. (1365H), ayat tersebut dimaknai bahwa sesungguhnya Allah  SWT menyebutkan sedikit dari bukti-bukti ilmu pengetahuanNya, yang tidak akan pernah habis walaupun tertelan oleh masa. Kita sebagai hambaNya tidak akan melihat kekacauan dan ketidakseimbangan dalam setiap kekusaan Allah SWT. Hal ini karena tidak ada satupun dari ciptaannya yang melampaui batas yang telah ditentukanNya baik dengan menambah ataupun mengurangi. Jadi, semua yang ada pada Allah SWT itu sudah kehendakNya dan berjalan sesuai dengan ketentuan.

Prinsip keseimbangan hidup dalam memandang kekuasaan Allah

Pada Tafsir Jalalain karangan Jalaluddin As-Suyuti dan Al-Mahalli disebutkan, Allah telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Yakni, sebagian di antaranya berada di atas sebagian yang lain tanpa bersentuhan. Maka, kita sebagai hambaNya yang biasa, ketika sekali tidak melihat pada ciptaan Allah SWT pada tujuh langit yang berlapis-lapis itu atau pada makhluk yang lain, menganggap itu sesuatu yang tidak seimbang. Karena itu, Allah meminta untuk “lihatlah berulang-ulang!”. Artinya, “lihatlah kembali ke langit (adakah kamu lihat) padanya (keretakan?)”, Maksudnya retak dan berbelah-belah.

Baca juga: Keseimbangan Hidup Manusia Menurut Al-Quran: Tafsir QS. Al-Qasas Ayat 77

Inti pelajaran yang bisa kita petik pada ayat ini, yang tampaknya tidak bisa dilihat langit ketujuh tersebut, namun keberadaanya memang ada. Alam ini dan ilmu pengetahuan Allah SWT begitu luas. Jauh lebih banyak yang kita tidak ketahui dari pada yang kita ketahui. Jauh lebih banyak yang kita tidak pernah alami dari pada yang kita alami. Oleh karena itu, dalam memandang ciptaan Allah SWT, kita disuruh oleh Allah untuk memandang berkali-kali sebelum menilai atau menyimpulkan. Karena, kadang pengetahuan dan pengalaman yang kita dapatkan tidaklah cukup atau belum cukup untuk menyimpulkan sesuatu secara benar.

Dalam kehidupan pun begitu, kadang ada orang-orang yang sedang dilanda kesempitan yang bahkan menyalahkan Allah SWT dengan menuduh Allah tidak adil. Padahal, yang terjadi sebenarnya hanyalah akal fikiran mereka yang belum sampai mengerti dan memahami betapa sangat adilnya Allah.

Diantara cara kita untuk mengenal Allah adalah dengan melihat dan merenungi ciptaanNya. Dan ketika kesempurnaan itu telah kita ketahui, maka Allah memerintahkan kita untuk melihat kedua kalinya. Karena sesungguhnya, seorang hamba yang berusaha  mencari aib dan celanya, ia tidak akan melihat aib dan kekurangan dari segala yang diciptakan oleh Allah SWT. Wallahu a’lam[]

Surat Al-Baqarah [2] Ayat 264: Jangan Merusak Pahala Sedekah

0
Jangan merusak pahala sedekah
Perintah jangan merusak pahala sedekah

Sedekah merupakan salah satu pokok ajaran Islam. Secara singkat, ia dapat dimaknai sebagai mengamalkan atau menginfakkan harta di jalan Allah (untuk ibadah dan kemanusiaan), baik berupa harta yang bersifat materi ataupun non-materi. Pelaku sedekah akan mendapatkan ganjaran setimpal. Oleh karena itu, sebaiknya ia jangan merusak pahala sedekah.

Bagi umat Islam, sedekah merupakan bukti bahwa ajaran Islam tidak hanya menekankan kepada pentingnya keimanan kepada Allah Swt, tetapi juga menegaskan tentang pentingnya manifestasi keimanan tersebut dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan. Dua aspek ini (keimanan dan amal saleh) tidak bisa dipisahkan, karena tanpa kehadiran salah satu dari keduanya, keislaman seseorang belum bisa dikatakan sempurna.

Baca Juga: Jangan Ragu Untuk Bersedekah! Inilah 4 keutamaan Sedekah Menurut Al-Quran

Dalam konteks bermasyarakat, keutamaan sedekah adalah dapat menjadi sarana penyambung tali kasih antara setiap entitas masyarakat, baik yang kaya maupun yang miskin. Melalui keterhubungan ini, akan tercipta sikap tenggang rasa, simpati dan empati diantara mereka. Karenanya, jangan merusak pahala sedekah dan berbagai manfaatnya dengan menyebut-nyebut berbagai pemberian yang telah dilakukan.

Surah Al-Baqarah [2] Ayat 264: Jangan Merusak Pahala Sedekah

Dalam Al-Qur’an Allah swt memerintahkan umat Islam agar jangan merusak pahala sedekah dengan menyakiti orang yang diberi atau berbuat riya. Perintah ini termaktub pada surah al-Baqarah [2] ayat 264 yang berbunyi:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُبْطِلُوْا صَدَقٰتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْاَذٰىۙ كَالَّذِيْ يُنْفِقُ مَالَهٗ رِئَاۤءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ فَمَثَلُهٗ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَاَصَابَهٗ وَابِلٌ فَتَرَكَهٗ صَلْدًا ۗ لَا يَقْدِرُوْنَ عَلٰى شَيْءٍ مِّمَّا كَسَبُوْا ۗ وَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْكٰفِرِيْنَ ٢٦٤

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu merusak sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menginfakkan hartanya karena ria (pamer) kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari akhir. Perumpamaannya (orang itu) seperti batu yang licin yang di atasnya ada debu, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, maka tinggallah batu itu licin lagi. Mereka tidak memperoleh sesuatu apa pun dari apa yang mereka kerjakan. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir. (QS. Al-Baqarah [2]: 264).

Secara singkat surah al-Baqarah [2] ayat 264 berbicara mengenai perintah agar jangan merusak pahala sedekah dengan menyebut-nyebutnya sehingga membuat perasaan si penerima menjadi sakit hati. Orang yang melakukan hal demikian posisinya sama dengan orang yang riya dan tidak beriman kepada Allah swt. Ia tidak akan mendapatkan sesuatu apapun dari perbuatan sedekahnya.

Menurut Quraish Shihab, pada ayat ini Allah menggunakan panggilan mesra, yakni Wahai orang-orang yang beriman.” Panggilan mesra itu kemudian disusul perintah larangan jangan membatalkan, yakni ganjaran sedekah kamu. Perintah Allah swt dalam bentuk narasi ini menandakan bahwa Dia dengan penuh cinta memerintahkan hambanya agar tulus dalam bersedekah.

Kata ganjaran atau pahala memang tidak disebutkan pada ayat di atas. Ini menunjukkan bahwa sebenarnya bukan hanya ganjaran atau hasil sedekah yang hilang, tetapi juga sedekah itu sendiri, keduanya hilang tak berbekas. Padahal sebelumnya Allah swt bermaksud untuk memberikan ganjaran berlipat-lipat atas perbuatan baik itu, yakni bersedekah kepada sesama (Tafsir Al-Misbah [1]: 571).

Seakan-akan Allah swt berfirman, “Wahai orang-orang beriman yang telah bersedekah, jangan merusak pahala sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan mengganggu perasaan si penerima. Jika kamu melakukan itu – seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya ingin mendapat pujian, dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian – maka jangan keberatan apabila pahala dan sedekah itu hilang tak tersisa.”

Allah swt juga mengumpamakan orang yang bersedekah namun menyebut-nyebut sedekahnya – sehingga membuat perasaan si penerima menjadi tidak nyaman atau sakit hati – laksana batu (shafwan) yang licin yang di atasnya ada debu, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, maka tinggallah batu itu licin lagi Mereka tidak memperoleh sesuatu apa pun dari apa yang mereka kerjakan. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir.

Kata shafwan pada ayat ini seakar dengan kata shafa yang berarti suci, bersih dari noda dan kotoran. Kata ini juga bisa diterjemahkan dengan makna sangat bersih dan licin, karena shafwan dibubuhi oleh huruf alif dan nun pada akhir katanya yang mengandung makna sangat. Dengan demikian, batu yang dimaksud pada surah al-Baqarah [2] ayat 264 adalah batu yang sangat bersih dan permukaannya sangat licin laksana marmer.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 261: Keutamaan Sedekah

Barang siapa yang bersedekah – baik materi maupun non-materi – dibarengi dengan perbuatan yang dapat menyinggung atau menyakiti hati si penerima, maka ia tidak akan mendapatkan ganjaran dari sedekahnya tersebut. Bahkan sedekahnya bisa dikatakan tidak ada atau hilang layaknya debu di atas batu marmer licin yang disiram dengan air yang deras dan tidak ada yang tersisa kecuali penyesalan (Tafsir Al-Misbah [1]: 573).

Berdasarkan ayat di atas, kita dapat memahami bahwa Allah swt telah memerintahkan agar kita jangan merusak pahala sedekah dengan tindakan yang dapat mencederai sedekah tersebut, terutama tindakan yang dapat menyakiti si penerima. Di sisi lain, ayat ini berarti memerintahkan kita untuk ikhlas dalam bersedekah dan menjaga perasaan orang yang diberi sedekah. Wallahu a’lam.

Sering Membaca Surat Al-Mulk? Berikut ini Lima Keutamaannya

0
keutamaan membaca surat al-Mulk
keutamaan membaca surat al-Mulk

Surat Al-Mulk merupakan salah satu surat favorit untuk dijadikan wirid yang dibaca tiap hari. Bahkan, tak sedikit komunitas masyarakat yang menjadikan pembacaan surat ini sebagai tradisi ritual. Ada yang membacanya sehabis Isya’, ada pula yang membacanya sehabis Subuh, dan lain sebagainya. Lalu, apa sih, keutamaan surat Al-Mulk ini sehingga bisa sebesar itu pengaruhnya?

Surat yang turun di Mekah ini setidaknya memiliki lima keutamaan. Pertama, surat ini akan membantu pembacanya agar dosanya diampuni Allah. Keutamaan ini berlandaskan hadis riwayat Abu Hurairah yang dikutip Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an al-‘Adzim:

عن أبي هريرة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: إنَّ سُورَةَ في القُرآنِ ثَلاثِينَ آيةً شَفَعَتْ لصَاحبِها حتى غُفِر له: تَبَارَكَ الذي بِيَدِه المُلكُ

“Diriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Rasulullah SAW, ia bersabda: “Sesungguhnya, dalam Al-Quran ada satu surat sepanjang 30 ayat, yang membantu pembacanya untuk diberi ampunan oleh Allah. Surat itu ialah surat Tabarakalladzi biyadihil mulk (Surat Al-Mulk)””

Hadis ini dinilai hadis hasan dalam Sunan at-Turmudzi, Sunan Abi Daud, Sunan an-Nasa’i, dan Sunan Ibnu Majah.

Baca juga: Urgensi Taubat dari Perbuatan Dosa dalam Surat Al-Furqan Ayat 68 – 70

Kedua, Surat ini menjaga pembacanya hingga ia masuk surga. Sebagaimana hadis riwayat Anas yang disitir oleh Ibnu Katsir:

عن أنس قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : سُورةٌ في القُرآنِ خَاصَمَتْ عَن صَاحِبِها حتى أدخَلَتْهُ الجَنةَ : تَبَارَكَ الذي بِيَدِهِ المُلكُ.

Diriwayatkan dari Anas, ia berkata: “Nabi bersabda: “surat dalam Al-Quran yang bisa menjaga pembacanya hingga memasukkannya ke surga ialah surat tabarakalladzi biyadihil mulk.””

Ketiga, surat ini selalu dibaca Nabi sebelum ia tidur. Sebagaimana hadis riwayat Jabir dalam Sunan at-Turmudzi:

عن جابر: أنَّ رَسُولَ اللهِ كَانَ لَا ينامُ حَتى يَقْرَأَ الم تَنزيل (سورة السجدة) وتبارك الذي بيده الملك

Riwayat dari Jabir: “Sesungguhnya Nabi SAW tidak tidak sampai ia membaca Surat As-Sajdah dan tabarakalladzi biyadihil mulk.””

Baca juga: Kalimat Thayyibah itu Menebarkan Energi Positif, Tafsir Surat Ibrahim Ayat 24-26

Keempat, salah satu surat idaman Nabi, sampai ia berharap surat ini ada dalam hati tiap Muslim. Berdasarkan Hadis sahih sanad dalam Al-Mustadrak yang disusun oleh Hakim an-Naisaburi:

عن إبن عباس قال  : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لَوَدَدْتُ أنَّها في قَلبِ كُلِّ إنسانٍ مِن أُمتِي يَعني : تبارك الذي بيده الملك

“Riwayat Ibnu ‘Abbas, ia berkata: Nabi SAW bersabda: “sungguh saya senang bila dalam hati tiap umatku ada surat tabarakalladzi biyadihil mulk.””

Kelima, surat yang mencegah dan menyelamatkan pembaca dari azab kubur. Sebagaimana hadis riwayat Ibnu ‘Abbas dalam Sunan At-Turmudzi:

هي المَانِعَةُ هِيَ المُنْجِيَةُ تُنْجِيْهِ مِنْ عَذَابِ القَبْرِ

“Ia (Surat Al-Mulk) adalah pencegah dan penyelamat, yang menyelamatkan orang mati dari azab kubur.”

Hadis ini disabdakan oleh Nabi ketika salah seorang sahabatnya membangun tenda di atas kuburan. Sahabat tersebut mulanya tidak sadar kalau itu kuburan, sampai ia mendengar suara seseorang membaca Surat Al-Mulk hingga selesai. Lantas, Sahabat ini lapor pada Nabi dan berkata:

“Wahai Rasul, saya membangun tenda di atas kuburan, tetapi saya tidak tahu kalau tanah itu kuburan, sampai saya dengar suara orang membaca Surat Al-Mulk sampai khatam.”

Baca juga: Tafsir Fiqh (4): Al-Qurthubi dan al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an

Kemudian Nabi bersabda bahwa surat tersebut adalah surat penghalang dan penyelamat yang menyelamatkan orang mati itu dari azab kubur.  

Surat Al-Mulk adalah salah satu surat yang turun di Mekah (Makkiyyah), yang terdiri dari 30 ayat. Menyitir Ibnu ‘Asyur dalam at-Tahrir wa al-Tanwir, Secara tertib turunnya, Surat Al-Mulk menempati urutan ke 76, setelah Surat Al-Mukminin dan sebelum Surat Al-Haqqah.

Penamaan Al-Mulk, sebagaimana yang dijelaskan Wahbah az-Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir, ialah karena surat ini dibuka dengan pengagungan terhadap Allah, Dzat yang menguasai segala kerajaan (al-mulk), di bumi dan langit.

Surat ini juga memiliki nama lain, berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW di atas. Antara lain, Surat Al-Munjiah dan Al-Waqi’ah, karena keutamaan surat ini yang dapat menyelamatkan dan menjaga pembacanya dari azab kubur. Selain itu, Surat Al-Mujadilah, karena menjadi pendebat para malaikat yang hendak menyiksa pembaca surat ini di kubur. Surat ini juga akrab disebut dengan Tabarak, yang dinisbatkan pada awal surat.

Demikianlah keutamaan Surat Al-Mulk yang dinukil dari hadis-hadis Nabi. Semoga, dengan mengetahui keutaman itu, kita semakin termotivasi untuk istikamah membacanya, dan tentu saja menyelami makna tiap ayatnya. Wallahu a’lam[]

Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 49-50

0
tafsir surat al baqarah
Penamaan “Surat Al-Baqarah”

Setelah pada pembahasan yang lalu berbicara mengenai himbauan agar Bani Israil kembali ke jalan yang benar dengan cara mensyukuri nikmat yang telah diberikan Allah swt, pada Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 49-50 berbicara mengenai pertolongan Allah swt kepada Bani Israil atas penindasan terhadap Bani Israil.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 46-48


Dalam Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 49-50 ini juga dijelaskan mengenai asal muasal Bani Israil. Mulai dari asal pertama, transimigrasinnya, sifat-sifat dan wataknya yang cerdas dan pekerja keras.

Selanjutnya Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 49-50 berbicara mengenai pertolongan Allah swt keapada Bani Israil atas penindasan Fir’aun. Pertolongan Allah swt tersebut melalui diutusnya Nabi Musa as untuk menyelamatkan Bani Israil.

Ayat 49

Peringatan lain kepada Bani Israil tentang nikmat Allah yang lain, yaitu mereka telah diselamatkan dari kesengsaraan yang mereka alami, akibat kekejaman Fir’aun, raja Mesir, pada waktu Bani Israil bertempat tinggal di sana.

Orang pertama dari kalangan Bani Israil yang masuk ke Mesir ialah Nabi Yusuf. Kemudian saudara-saudaranya datang pula ke sana dan tinggal bersamanya. Selanjutnya, mereka memiliki banyak keturunan di sana, sehingga dalam masa + 400 tahun (dari masa Nabi Yusuf sampai dengan Nabi Musa) jumlah mereka telah mencapai ratusan ribu orang. Penduduk asli semakin terdesak, karena Bani Israil itu giat bekerja dan memiliki pikiran yang lebih cerdas.

Di samping itu, mereka sangat mementingkan diri sendiri, karena mereka masih tetap menganggap diri mereka sebagai syabullah al-mukhtar. Sebab itu, mereka tidak mau bersatu dengan penduduk asli, dan tidak mau bekerja sama dan membantu mereka dalam kehidupan sehari-hari.

Melihat keadaan yang demikian, penduduk asli negeri itu semakin khawatir, sebab apabila Bani Israil itu semakin banyak jumlahnya, maka mereka akan menguasai keadaan dan penduduk asli akan semakin terdesak. Oleh sebab itu, mereka berusaha untuk melemahkan kekuatan Bani Israil.

Mula-mula dengan mewajibkan kerja paksa kepada mereka. Kemudian semakin meningkat dengan pembunuhan anak-anak lelaki mereka, dan hanya anak-anak perempuan mereka yang dibiarkan hidup. Sekitar peristiwa ini bandingkan dengan Kitab Keluaran i.16 ; perintah Fir’aun kepada para bidan.

Penyiksaan dan penderitaan Bani Israil tergambar dalam Keluaran i.22, dan pada beberapa bagian lagi dalam Perjanjian Lama. Fir’aun memerintahkan kepada setiap suku rakyatnya untuk membunuh setiap lelaki Bani Israil, walaupun anak-anak kecil mereka.

Penderitaan yang dialami Bani Israil itu merupakan ujian bagi mereka karena mereka telah melupakan nikmat-Nya dan telah melakukan bermacam-macam dosa. Kemudian Allah swt mengampuni dan menerima tobat mereka, dan dikaruniakan-Nya pula nikmat yang besar, yaitu diselamatkan dari kesengsaraan yang mereka alami dari kekejaman Fir’aun. Tetapi rahmat ini pun merupakan ujian bagi mereka, apakah nantinya mereka akan mensyukuri nikmat itu, atau tidak.

Umat Islam dapat mengambil pelajaran yang sangat berharga dari kisah Bani Israil itu. Allah swt, mula-mula telah melimpahkan bermacam-macam nikmat-Nya kepada umat Islam, sehingga umat telah bersatu di bawah panji-panji Islam dan hidup dalam persaudaraan yang kukuh, serta berhasil membangun negara Islam yang kuat. Tetapi kemudian terjadilah perpecahan di antara umat Islam, sehingga Allah swt mendatangkan malapetaka kepada mereka.

Khilafah Abbasiyah di Bagdad diruntuhkan oleh bangsa Tartar. Kemudian terjadi Perang Salib dalam waktu yang panjang sekitar 200 tahun. Sementara itu bangsa-bangsa barat menyusup ke negeri-negeri Islam, menguasai sumber-sumber kekayaan mereka sehingga umat Islam di mana-mana menjadi lemah.


Baca juga: Jangan Menghina dan Pilih Kasih Terhadap Non Muslim! Ini dalil Larangannya


Ayat 50

Dalam ayat ini disebutkan nikmat lain yang diberikan kepada Bani Israil, yaitu Allah telah menyelamatkan mereka ketika meninggalkan Mesir di bawah pimpinan Nabi Musa a.s. dari kejaran Fir’aun bersama tentaranya.

Setelah Allah mengangkat Musa menjadi Rasul, Dia memerintahkan agar menyeru Fir’aun dan kaumnya untuk beriman kepada-Nya, menuntut Fir’aun agar membebaskan Bani Israil yang berada di negeri itu, dan menghentikan kekejaman yang dilakukan terhadap mereka. Sebagai jawabannya, Fir’aun memperhebat siksaan dan kekejamannya terhadap Bani Israil dan memerintahkan rakyatnya untuk meningkatkan kerja paksa yang ditimpakan kepada mereka.

Kemudian Allah memberikan berbagai mukjizat kepada Musa a.s. dan saudaranya, Nabi Harun, antara lain tongkat Nabi Musa yang dapat berubah menjadi ular dan dapat menelan ular-ular yang dijelmakan oleh para pesihir yang dikerahkan Fir’aun untuk melawan mukjizat Nabi Musa a.s.

Melihat kenyataan itu, para pesihir itu pun mengakui kekalahan mereka, lalu menyatakan beriman kepada Tuhan. Akhirnya Fir’aun mengusir dan mengejar-ngejar mereka. Maka berangkatlah mereka meninggalkan negeri itu di bawah pimpinan Nabi Musa a.s., sedangkan Fir’aun dan bala tentaranya mengejar mereka.

Ketika mereka sampai di tepi Laut Merah yang membatasi kota Suez dengan Semenanjung Sinai, Allah memerintahkan Nabi Musa agar memukulkan tongkatnya ke laut. Lalu Musa a.s. melakukannya. Maka terbelahlah air laut dan terbentanglah dua belas jalur jalan raya yang akan dilalui Nabi Musa a.s. bersama pengikut-pengikutnya yang terdiri dari dua belas rombongan, sehingga selamatlah mereka sampai ke seberang.

Sementara itu Fir’aun bersama rombongannya terus mengejar mereka. Tetapi ketika mereka sampai di tengah-tengah laut itu, air laut kembali bertaut, sehingga mereka semuanya tenggelam ditelan air laut. Kejadian itu disaksikan oleh Bani Israil yang telah selamat sampai ke seberang.

Terbelahnya laut merupakan salah satu dari berbagai mukjizat Nabi Musa a.s. untuk membuktikan kepada manusia bahwa Allah adalah Mahakuasa. Dialah yang menciptakan alam ini dan Dia pula yang menetapkan undang-undang alam yang berlaku sepanjang masa, dan Dia berkuasa pula mengubah atau membatalkan undang-undang alam tersebut apabila dikehendaki-Nya.

Hukum alam yang berlaku pada air ialah bahwa air sebagai salah satu benda cair tidak dapat terpisah tanpa adanya benda lain yang memisahkannya. Undang-undang inilah yang diubah dan dibatalkan-Nya ketika terbelahnya air laut itu. Air laut tersibak dan berdiri seperti dinding-dinding yang tegak lurus tanpa ada sesuatu yang menahannya, sehingga terbentanglah jalan di antara dinding-dinding tersebut.

Demikian besarnya nikmat yang telah dilimpahkan Allah kepada Bani Israil. Mereka telah dibebaskan dari kekejaman Fir‘aun dan rakyatnya. Kemudian mereka diselamatkan pula ketika menyeberang laut. Sesudah itu mereka menyaksikan dengan mata kepala sendiri tenggelamnya musuh-musuh mereka di tengah laut yang tentu saja menggembirakan hati mereka. Sepatutnyalah mereka mensyukuri nikmat-nikmat tersebut.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 51-55


(Tafsir Kemenag)

Urgensi Taubat dari Perbuatan Dosa dalam Surat Al-Furqan Ayat 68 – 70

0
perbuatan dosa
Urgensi taubat dari perbuatan dosa

Manusia dalam hidupnya tidak akan pernah lepas dan bersih dari dosa, sebagaimana dia tidak pernah terlepas dari perbuatan baik. Artinya, bagaimanapun baiknya seorang manusia, pasti memiliki kesalahan dan melakukan perbuatan dosa.

Sebaliknya bagaimanapun jahatnya seorang manusia, pasti ada juga perbuatan baik yang dilakukannya. Ini berarti bahwa tidak satu pun manusia yang bersih dari dosa, dan tidak ada satu pun manusia yang bersih dari perbuatan baik. Mengapa demikian?

Setiap manusia diciptakan oleh Allah Swt dengan membawa dua potensi, yaitu potensi baik dan potensi buruk. Potensi baik selalu membawa seseorang untuk melakukan perbuatan baik, dan potensi buruk selalu membawa seseorang kepada perbuatan buruk. Kedua potensi ini selalu tarik-menarik di dalam diri seseorang untuk melakukan pekerjaan, baik atau buruk.

Baca Juga: Surat An-Nisa [4] Ayat 17-18: Taubat Nasuha Menurut Al-Qur’an

Jika potensi baik yang menang, maka seseorang akan melakukan pekerjaan baik. Jika yang dominan adalah potensi buruk, maka seseorang akan melakukan pekerjaan buruk. Agar selalu berbuat baik, seseorang harus berupaya agar potensi baik itu selalu mendominasi situasi kehidupan dengan cara melakukan segala yang diperintahkan Allah swt., dan meninggalkan segala hal yang dilarang. Seseorang yang selalu melanggar perintah Allah, kecenderungannya untuk melakukan hal-hal yang buruk akan bertambah besar.

Taubat dari perbuatan salah dan perbuatan dosa adalah salah satu ciri dari hamba-hamba Allah yang sangat disayangi dan dicintai oleh Allah Swt. Hal ini telah dinyatakan oleh Allah di dalam QS. al-Furqan [25]: 68-70:

وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا () يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَانًا () إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا      فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), 69. (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina, 70. kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Di antara ciri-ciri hamba-hamba Allah yang disayangi dan dicintai Allah Swt itu adalah orang yang tidak melakukan dosa-dosa besar, seperti tidak menyembah Allah Swt bersama dengan tuhan yang lain (tidak menyekutukan Allah), tidak membunuh jiwa yang diharamkan kecuali dengan alasan yang benar, dan tidak berzina. Semua ini adalah dosa-dosa besar.

Jika perbuatan-perbuatan dosa besar dilakukan maka akan memberi hukuman yang sangat berat dan belipat ganda kepada pelaku, dan mereka akan kekal dengan azab itu. Akan tetapi, apabila pelakunya itu melakukan taubat, kembali kepada Allah dan memohon ampun atas segala dosanya, maka dosa-dosanya akan dihapuskan oleh Allah dan digantikannya dengan kebajikan-kebajikan.

Taubat adalah sarana yang dipersiapkan oleh Allah swt. kepada umat manusia untuk kembali ke jalan Allah pada saat berada di persimpangan jalan, dan yang menyimpang dari jalan yang dikehendaki Allah, dan yang berada pada kondisi dosa.

Baca Juga: Pengertian Kata Taubat dan Perintah Bertaubat dalam Al-Quran

Taubat adalah jalan keluar untuk kembali kepada Allah setelah seseorang melakukan pelanggaran terhadap perintah-Nya. Taubat bagi orang yang telakukan perbuatan dosa adalah perbuatan puji dalam pandangan Allah. Hal ini seperti yang digmabarkan di dalam hadsi Nabi yang menyatakan:

كُلُّكُمْ خَطَّـاءُ وْنَ وَخَيْـرُ الْخَطَّائِيْـنَ التَّـوَّابُوْنَ

“Semua kalian berbuat kesalahan, dan orang-orang yang paling baik di antara mereka yang melakukan kesalahan itu adalah orang-orang yang bertaubat.”

Jadi, taubat mempunyai urgensi yang sangat penting dalam rangka menyadari kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan, menyesali perbuatan yang telah dilakukan, dan memohon ampun kepada Allah swt. Atas semua dosa yang telah dilakukan disertai tekad yang kuat untuk meninggalkan dan menjauhi yang kesalahan yang pernah dilakukan, dan meningkatkan amal kebajikan di masa-masa berikutnya. Semua taubat yang dimohon secara sungguh dan tulus akan dikabulkan oleh Allah Swt.

Inilah Macam-Macam Qasam dalam Al-Quran, Simak Penjelasannya

0
macam-macam qasam
bersumpah atas nama Allah

Pembagian qasam dalam Al-Quran didasarkan pada jenisnya yang terkadang jelas menyertakan kalimat qasam, dan adakalanya hanya menggunakan huruf tertentu sebagai simbolik qasam. Hal ini senada dengan pendapat Manna’ Al-Qattan dalam Mabahits fi Ulum Al-Quran yang menyatakan bahwa macam-macam qasam dalam Al-Quran dibagi dua, yaitu; zhahir dan mudhmar.

Qasam Zhahir

Adalah sumpah yang di dalamnya disebutkan fiil qasam dan muqsam bih. Dan di antaranya ada yang dihilangkan fiil qasamnya, sebagaimana pada umumnya, karena dicukupkan dengan huruf berupa waw, ta dan ba. Dalam beberapa tempat, terdapat fi’il qasam yang didahului la nafiyah (لا). Sebagaimana firman Allah swt dalam Q.S al-Qiyamah [75]: 1-2,

لَآ اُقْسِمُ بِيَوْمِ الْقِيٰمَةِۙ وَلَآ اُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ

Aku bersumpah dengan hari Kiamat, dan aku bersumpah demi jiwa yang selalu menyesali (dirinya sendiri). (Q.S. Al-Qiyamah [75]: 1-2)

Sebagian mengatakan, bahwa la pada dua ayat tersebut, yang menafikan sesuatu, bukan la untuk qasam, tetapi la nafiah  yang menafikan sesuatu yang mahzhuf yang takdirnya sesuai dengan maqam nya. Ada yang menyatakan bahwa la disini adalah la zaidah (tambahan).

Baca juga: Menilik Unsur-Unsur Qasam dalam Al-Quran

Sedangkan dalam pendapat yang lain berkata bahwa la tersebut untuk menafikan qasam, seakan-akan ia mengatakan, “Aku tidak bersumpah kepadamu dengan hari itu dan nafsu itu”. Tetapi aku bertanya kepadamu tanpa sumpah, apakah kamu mengira bahwa kami tidak akan mengumpulkan tulang belulang setelah hancur berantakan setelah kematian? Masalah sudah amat jelas, sehingga tidak lagi memerlukan sumpah.

Tidak puas dengan pendapat di atas, sebagian ulama berpendapat bahwa la sebagai la nafiah ia menganggap ada kalimat yang dihilangkan setelah huruf la sesuai dengan maqam yang ada, sehingga jika ditampakkan maka akan berbunyi, “la sihhah lima taz’umun annahu la hisab wala ’iqab”. Jadi, la nafiyah tersebut menafikan kalimat yang dihilangkan sesudahnya, yang artinya; “tidak benar dugaan kalian bahwa tidak ada balasan dan siksa”.

Pendapat Manna’ al-Qattan di atas ditandaskan oleh Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, bahkan ia menganggap di samping menafikan sesuatu yang datang sesudahnya, kata la juga dapat menafikan sesuatu sebelumnya, atau yang tersirat dalam benak pengucapnya, yaitu tidak seperti yang orang-orang kafir Quraisy yang menganggap bahwa kebangkitan tidak akan terjadi.

Bisa juga kata la dipahami sebagai fungsi menguatkan sumpah dan dengan demikian ayat-ayat seperti ini diterjemahkan dengan “Aku benar-benar bersumpah”. Adapun jawab qasam dalam ayat tersebut mahzhuf, yang ditunjukan oleh ayat berikutnya, yaitu pada Q.S al-Qiyamah [75]: 3,

اَيَحْسَبُ الْاِنْسَانُ اَلَّنْ نَّجْمَعَ عِظَامَهٗ ۗ

Apakah manusia mengira bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang-belulangnya? (Q.S. Al-Qiyamah [75]: 3)

Dengan demikian, pada dasarnya jawab qasam yang terkandung adalah لتبعثنّ ولا تحا سبنّ  (pasti kamu akan dibangkitkan, dan pasti kamu akan dihisab). Ungkapan pertanyaan dalam ayat ketiga tersebut mengindikasikan dan menguatkan kepastian adanya hari kembangkitan dan pembalasan atau hisab, yang mereka (kafir Quraisy) anggap bahwa semua itu tidak akan pernah terjadi setelah adanya kematian.

Baca juga: Inilah Huruf Qasam dalam Al-Quran dan Sebabnya

Qasam Mudhmar

Mudhmar merupakan bentuk qasam yang di dalamnya tidak dijelaskan fiil qasam dan tidak pula muqsam bih, tetapi ia ditunjukkan oleh lam taukid (lam yang berfungsi untuk menguatkan isi pembicaraan) yang masuk dalam jawab qasam, seperti firman Allah berikut:

۞ لَتُبْلَوُنَّ فِيْٓ اَمْوَالِكُمْ وَاَنْفُسِكُمْۗ وَلَتَسْمَعُنَّ مِنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَمِنَ الَّذِيْنَ اَشْرَكُوْٓا اَذًى كَثِيْرًا ۗ وَاِنْ تَصْبِرُوْا وَتَتَّقُوْا فَاِنَّ ذٰلِكَ مِنْ عَزْمِ الْاُمُوْرِ

Kamu pasti akan diuji dengan hartamu dan dirimu. Dan pasti kamu akan mendengar banyak hal yang sangat menyakitkan hati dari orang-orang yang diberi Kitab sebelum kamu dan dari orang-orang musyrik. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang (patut) diutamakan. (Q.S. Ali Imran [3]: 186)

Selanjutnya, apabila qasam berfungsi untuk memperkuat muqsam ‘alaih, maka beberapa fiil dapat difungsikan sebagai qasam jika konteks kalimatnya menunjukkan makna qasam. Misalnya dalam Q.S. Ali Imran [3]: 187,

وَاِذْ اَخَذَ اللّٰهُ مِيْثَاقَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ لَتُبَيِّنُنَّهٗ لِلنَّاسِ وَلَا تَكْتُمُوْنَهٗۖ فَنَبَذُوْهُ وَرَاۤءَ ظُهُوْرِهِمْ وَاشْتَرَوْا بِهٖ ثَمَنًا قَلِيْلًا ۗ فَبِئْسَ مَا يَشْتَرُوْنَ

Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi Kitab (yaitu), “Hendaklah kamu benar-benar menerangkannya (isi Kitab itu) kepada manusia, dan janganlah kamu menyembunyikannya,” lalu mereka melemparkan (janji itu) ke belakang punggung mereka dan menjualnya dengan harga murah. Maka itu seburuk-buruk jual-beli yang mereka lakukan. (Q.S. Ali Imran [3]: 75)

Huruf lam pada ayat: لَتُبَيِّنُنَّهٗ لِلنَّاسِ adalah “lam qasam”, dan kalimat sesudahnya adalah jawab qasam, sebab “akhadzallahu mitsaaq” bermakna “istihlaf” (mengambil sumpah). Demikianlah pengenalan kita terhadap macam-macam qasam dalam Al-Quran. Wallahu A’lam.

Menilik Unsur-Unsur Qasam dalam Al-Quran

0
unsur qasam al-quran
bersumpah dengan alquran (pcnukendal)

Pada artikel terdahulu telah dibahas pengertian qasam, ragam pendapat para ulama, huruf-huruf qasam dan sebab-sebabnya, maka pada artikel ini berfokus pada unsur-unsur qasam. Unsur-unsur qasam adalah unsur-unsur yang terkandang dalam kata qasam itu sendiri.

Struktur qasam terdiri dari tiga unsur, yaitu sighat qasam, muqsam bih dan muqsam ‘alaih. Berikut penjelasannya,

Pertama, sighat qasam adalah sighat yang digunakan untuk menunjukkan qasam/sumpah, baik dalam bentuk fiil maupun huruf seperti ba, ta, dan waw sebagai pengganti fiil qasam karena sumpah sering digunakan dalam keseharian. Contoh qasam dengan memakai kata kerja (fiil), misalnya dalam Q.S. An-Nahl [16]: 38,

وَاَقْسَمُوْا بِاللّٰهِ جَهْدَ اَيْمَانِهِمْۙ لَا يَبْعَثُ اللّٰهُ مَنْ يَّمُوْتُۗ بَلٰى وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا وَّلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَۙ

Dan mereka bersumpah dengan (nama) Allah dengan sumpah yang sungguh-sungguh, “Allah tidak akan membangkitkan orang yang mati.” Tidak demikian (pasti Allah akan membangkitkannya), sebagai suatu janji yang benar dari-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui, (Q.S. An-Nahl [16]: 38)

Kedua, muqsam bih yaitu sesuatu yang dijadikan sumpah oleh Allah swt. Sumpah dalam Al-Quran ada kalanya dengan memakai nama Allah swt dan adakalanya menggunakan nama-nama ciptaan-Nya. Aisyah binti Abd Rahman binti Syathi’ dalam Al-Tafsir Al-Bayani Li Al-Quran Al-Karim menjelaskan bahwa qasam yang menggunakan nama Allah swt dalam Al-Quran hanya terdapat dalam tujuh tempat, yaitu Surah An-Nisa ayat 65, Surah Yunus ayat 53, Surah Al-Hijr ayat 92, Surah Maryam ayat 68, Surah Saba’ ayat 3, Surah At-Taghabun ayat 7, Surah Al-Ma’arif ayat 40.

Baca juga: Menilik Pengertian Qasam dalam Al-Quran

Salah satu contohnya adalah,

۞ وَيَسْتَنْۢبِـُٔوْنَكَ اَحَقٌّ هُوَ ۗ قُلْ اِيْ وَرَبِّيْٓ اِنَّهٗ لَحَقٌّ ۗوَمَآ اَنْتُمْ بِمُعْجِزِيْنَ ࣖ

Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad), “Benarkah (azab yang dijanjikan) itu?” Katakanlah, “Ya, demi Tuhanku, sesungguhnya (azab) itu pasti benar dan kamu sekali-kali tidak dapat menghindar.” (Q.S. Yunus [10]: 53)

Selain pada tujuh tempat di atas, Allah memakai qasam dengan nama-nama ciptaanNya, seperti dalam Q.S. al-Waqiah.[56]: 75,

۞ فَلَآ اُقْسِمُ بِمَوٰقِعِ النُّجُوْمِ

Lalu Aku bersumpah dengan tempat beredarnya bintang-bintang. (Q.S. al-Waqiah [56]: 75)

Bolehkah manusia bersumpah atas nama selain Allah swt?

Dalam hal ini kita harus menggarisbawahi bahwa Allah mempunya hak prerogatif untuk bersumpah dengan apa yang dikehendaki-Nya. Berbeda bagi manusia ia dilarang bersumpah atas sesuatu apapun selain Allah swt. Manna Khalil al-Qattan dalam Mabahits fi Ulum Al-Quran menerangkan sebagaimana diceritakan Umar bin Khattab bahwa Rasulullah saw bersabda,

من حلف بغير الله فقد كفر او اشرك

“Barang siapa bersumpah dengan selain (nama) Allah, ia telah kafir atau telah mempersekutukan (Allah)

ان الله يقسم بما شاء من خلقه وليس لأحد ان يقسم الا با لله

“Allah boleh bersumpah dengan makhluk yang dikehendakinya, namun tidak boleh bagi seorangpun bersumpah kecuali dengan (nama) Allah.” (Diriwayatkan al-Hasan dan dikeluarkan oleh Ibn Abi Hatim)

Baca juga: Inilah Huruf Qasam dalam Al-Quran dan Sebabnya

Maka, qasam Allah sepenuhnya berhak menggunakan sesuatu apapun. Tatkala Allah swt bersumpah dengan (nama) makhluk-Nya bahwasannya itu mengindikasikan keutamaan dan kemanfaatan ciptaan-Nya, agar manusia mengambil hikmah daripadanya. Di samping itu, Allah tunjukkan bahwa setiap makhluk memiliki pencipta, yaitu Allah swt.

Ketiga, muqsam ‘alaih kadang juga disebut jawab qasam. Muqsam ‘alaih merupakan suatu pernyataan yang datang mengiringi qasam, berfungsi sebagai jawaban dari qasam. Dengan kata lain, pernyataan yang karenanya qasam diucapkan. Dalam Al-Quran terdapat dua muqsam ‘alaih, yaitu yang disebutkan secara tegas dan yang dihilangkan.

Jenis yang pertama terdapat dalam ayat-ayat sebagai berikut:

وَالذّٰرِيٰتِ ذَرْوًاۙ فَالْحٰمِلٰتِ وِقْرًاۙ فَالْجٰرِيٰتِ يُسْرًاۙ فَالْمُقَسِّمٰتِ اَمْرًاۙ اِنَّمَا تُوْعَدُوْنَ لَصَادِقٌۙ وَّاِنَّ الدِّيْنَ لَوَاقِعٌۗ

Demi (angin) yang menerbangkan debu, dan awan yang mengandung (hujan), dan (kapal-kapal) yang berlayar dengan mudah, dan (malaikat-malaikat) yang membagi-bagi urusan, sungguh, apa yang dijanjikan kepadamu pasti benar, dan sungguh, (hari) pembalasan pasti terjadi. (Q.S. Az-Zariyat [51]: 1-6)

Jenis kedua muqsam ‘alaih atau jawab qasam dihilangkan atau dibuang karena alasan sebagai berikut sebagaimana diturukan oleh As-Suyuhti dalam Al-Itqan fi Ulum Al-Quran, 1) dalam muqsam bih nya sudah terkandung makna muqsam ‘alaih, 2) qasam tidak memerlukan jawaban karena sudah dapat dipahami dari redaksi ayat.

Seperti halnya pendapat al-Biqa’i dalam Nazhm al-Dhurar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar yang mengatakan bahwa tidak ada sumpah tanpa muqsam ‘alaih. Maka dapat dikatakan bahwa seluruh sumpah Allah terdapat muqsam ‘alaih, baik yang termaktub dalam Al-Quran maupun menurut pemahaman atau penafsiran.

Salah contoh muqsam ‘alaih yang dihilangkan,

وَالْفَجْرِۙ وَلَيَالٍ عَشْرٍۙ وَّالشَّفْعِ وَالْوَتْرِۙ وَالَّيْلِ اِذَا يَسْرِۚ هَلْ فِيْ ذٰلِكَ قَسَمٌ لِّذِيْ حِجْرٍۗ اَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِعَادٍۖ

Demi fajar, demi malam yang sepuluh, demi yang genap dan yang ganjil, demi malam apabila berlalu. Adakah pada yang demikian itu terdapat sumpah (yang dapat diterima) bagi orang-orang yang berakal? Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap (kaum) ‘Ad? (Q.S. al-Fajr [89]: 1-6)

Keberadaan qasam dalam ayat di atas ialah waktu yang mengandung amal-amal baik, karena itu muqsam ‘alaih tidak disebutkan. Allah swt hendak mengingatkan dan menegaskan kepada manusia bahwa dalam waktu-waktu yang disebutkan dalam ayat di atas terdapat banyak keutamaan. Seakan mengajak manusia untuk banyak beribadah dan beramal baik pada waktu-waktu tersebut.

Kesempurnaan kalimat itu juga mengantarkan pada pemahaman kandungan yang dimaksud dalam qasam (sumpah), sehingga maksud dan tujuan qasam (sumpah) mudah dipahami tanpa menyebutkan muqsam ‘alaih-nya. Wallahu A’lam