Beranda blog Halaman 453

Mengenal Tafsir Firdaus An-Naim, Tafsir Nusantara Asal Madura

0
tafsir firdaus an-naim
manarul wafa, salah satu karya thaifur ali wafa

Salah satu tafsir Al-Quran berbasis kearifan lokal adalah Tafsir Firdaus An-Naim karya Thaifur Ali Wafa, ulama asal Madura. Tafsir ini menggunakan mode pesantren tradisional namun dalam memaknainya Thaifur sering menggunakan memaknani jenggot (baca: menafsirkan atau menulisnya) atau gundul dalam bahasa Madura. Tafsir ini memiliki keunikan di antaranya dalam menafsirkan, beliau begitu detail mengupas ayat dan kental akan nuansa kearifan lokal budaya Madura.

Latar Belakang Penulisan

Dalam mukaddimah Tafsir Firdaus An-Naim termaktub,

“Dari Anas r.a. berkata, Rasulullah saw. bersabda ahli Alquran. maka wajib bagi setiap orang yang mukmin untuk menyibukkan dirinya dengan membaca Alquran. Supaya menjadi ahl al-Rahman sehingga mempunyai akhlak seperti akhlak Nabi. Maka dari itu kalian harus membacanya dengan pelan-pelan dan menghayati maknanya secara kompehensif. Begitu juga memahami rahasia-rahasia yang ada di dalamnya. Dengan demikian kalian akan termasuk dalam orang yang damai, tentram dan beruntung. Oleh Karenanya tidak mungkin bisa mendapatkan hal tersebut kecuali dengan mengetahui dan mengungkap, menjelaskan serta menerangkan ayat-ayat tersebut.”

Jadi jelas bahwa penyusunan tafsir ini dilatarbelakangi oleh keprihatian Thaifur akan minimnya pemahaman masyarakat lokal akan tafsir Al-Quran sehingga ia merasa perlu menulis tafsir Al-Quran secara komprehensif.

Baca juga: Mengenal Thaifur Ali Wafa Al-Muduri, Mufasir Kontemporer Asal Madura

Sistematika Penyusunan

Penyusunan tafsir ini terdiri dari 6 jilid. Jilid pertama memuat muqaddimah, Surat Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisa. Pada jilid pertama ini terdiri dari 6 juz dengan ketebalan sebanyak 520 halaman. Sedangkan jilid kedua, dimulai dari Surat Al-Maidah, Al-An’am, Al-A’raf, Al-Anfal, At-Taubah yang terdiri dari 5 juz, dimulai dari juz 7 sampai juz 11 dengan 595 halaman.

Adpaun jilid ketiga berisi 5 juz, mulai dari juz 12 sampai juz ke-16, yang diawali Surat Yunus sampai surat Al-Kahfi dengan ketebalan 520 lembar. Pada jilid keempat, Surat Maryam menjadi pembukaan dari tafsir ini, kemudian disusul surat Thaha, Surat Al-Anbiya sampai surat Al-Ankabut, terdiri dari 5 juz dan sebanyak 567 halaman.

Jilid kelima diawali dengan Surat Ar—Rum, Luqman, As-Sajdah sampai pada surat Al-Jatsiyah, dan terdapat 4 juz dengan ketebalan 469 halaman. Selanjutnya, jilid keenam adalah paling banyak memuat surat dimulai dari Surat Al-Ahqaf sampai penutup surat Al-Quran yaitu Surat An-nas terdiri dari 5 juz dari total 30 juz dan memiliki 459 halaman.

Sistematika Penulisan

Tafsir Firdaus An-Naim diawali dengan keterangan identitas surat, meliputi tempat turunnya surat (makkiyah atau madaniyah), jumlah surat, kalimat surat dan jumlah total huruf dari surat. Bahkan, jika ada perbedaan di antara ulama, Thoifur menyebutkannya dalam tafsirnya. Setelah itu disebutkan makna kosakata dari kalimat.

Selain itu, biasanya beliau menggunakan kata penegasan berupa “ay” terkadang yang bermakna tegese (baca: menegaskan bahwa). Terkadang pula, sebelum memulai penafsirannya beliau menyitir nama-nama lain dari surat-surat tersebut kemudian disebutkan faedah atau keutamaan-keutamaannya.

Sumber dan Metode Penafsiran

Dalam menafsirkan Al-Quran beliau banyak merujuk setidaknya 10 kitab tafsir, yaitu Tafsir Khozin, Tafsir An-Nasafi, Tafsir Jalalain, Tafsir Marah Labid, Tafsir Ar-Razi, Tafsir Ruh Al-Ma’ani, Tafsir karangan Amin Al-Harary (Hadaiq Ar-Ruwah), Tafsir Al-Jilany, Tafsir Khowy, Tafsir Dur Al-Mantsur.

Baca juga: Mengenal Tafsir Iklil, Kitab Tafsir Berbahasa Jawa Pegon dan Makna Gandul

Sedangkan metode penafsirannya adalah metode tafsir bil ra’yi dengan corak adabi-fiqhi. Berikut penafsiran Thoifur Ali Wafa dalam Surat Al-Baqarah ayat 51.

وَاِذْ وٰعَدْنَا مُوْسٰىٓ اَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً ثُمَّ اتَّخَذْتُمُ الْعِجْلَ مِنْۢ بَعْدِهٖ وَاَنْتُمْ ظٰلِمُوْنَ

Dan (ingatlah) ketika Kami menjanjikan kepada Musa empat puluh malam. Kemudian kamu (Bani Israil) menjadikan (patung) anak sapi (sebagai sesembahan) setelah (kepergian)nya, dan kamu (menjadi) orang yang zalim. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 51)

“Dan ingatlah ketika kami menjanjikan musa bin Imran a.s. Allah azza wa jalla telah banyak menceritakan tentangnya dan tentang kisahnya di dalam Alquran yang agung. begitu juga dengan cerita selainnya, dari Nabi-Nabi dan Rasul-rasul. menurutku hikmah dari kisah-kisah tersebut sesungguhnya segala sesuatu yang telah berjalan antara umatnya dan apa yang telah tarjadi pada mereka pada zaman tersebut adalah fakta yang benar. yang menjadi suatu pelajaran bagi umat setelahnya. banyak juga telah berlalu antar umatnya dengan umat Nabi-Nabi dan diantara umat-umatnya yang akan menjadi pelajran didalamnya bagi umat Nabi Muhammad ini secara sempurna. Allah telah mengingatkan sesungguhnya umatnya terutama Fir’aun dan kelompoknya, kebanyakan orang hati mereka keras. adapun Fir’aun maka Allah telah memerintahkan musa a.s. Untuk berdakwah kepadanya untuk ibadah kepada Allah dan mengesakannya dan melihatkannya dari hujjah-hujjah yang pasti, mukjizat yang jelas, dan ayat-ayat yang jelas menuruti segala perkataannya dan pasrah dengan hati dan pikirannya. Akan tidak bertambah melainkan malah memusuhi seprti dalam firman Allah, Dan sungguh, Kami telah memperlihatkan kepadanya (Fir’aun) tanda-tanda (kekuasaan) Kami semuanya, ternyata dia mendustakan dan enggan (menerima kebenaran). Fir’aun berkata, “Apakah engkau datang kepada kami untuk mengusir kami dari negeri kami dengan sihir. kemudian Fir’aun mengumpulkan ahli sihir didaerahnya, ada yang mengatak dua puluh ribu ada yang mengatakan lima belas ribu.”

Ketika mengkaji Surat Al-Baqarah pula, tafsir ini juga menafsirkan ayat sangat detail ayat per ayat yang berkaitan dengan aspek kebahasaan dan fiqih. Namun akan sangat ringkas di mana ketika mengulas ayat yang sudah pernah dibahas sebelumnya.

Demikianlah pengenalan kita terhadap Tafsir Firdaus An-Naim, kitab tafsir Al-Quran asal Ambunten Timur, Sumenep Madura. Wallahu A’lam.

Tafsir Surat Al Insyirah Ayat 1-4

0
tafsir surat al insyirah
Tafsiralquran.id

Pada surat sebelumnya, yakni surat al Duha, dipaparkan mengenai anugerah Allah swt untuk melapangkan jiwa Nabi Muhammad saw, Tafsir Surat Al Insyirah Ayat 1-4 ini kurang lebih juga berbicara mengenai hal tersebut. Allah swt telah melapangkan jiwa Nabi Muhammad saw agar siap menghadapi kaumnya untuk mendakwahkan syariat Allah swt.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Ad Duha Ayat 7-11


Dalam Tafsir Surat Al Insyirah Ayat 1-4 ini dipaparkan pula mengenai janji Allah swt kepada Nabi Muhammad saw bahwasannya bebannya akan diringankan dan Allah swt juga akan meninggikan derajat Nabi Muhammad saw.

Ayat 1

Dalam ayat ini dinyatakan bahwa Allah telah melapangkan dada Nabi Muhammad dan menyelamatkannya dari ketidaktahuan tentang syariat. Nabi juga dirisaukan akibat kebodohan dan keras kepala kaumnya. Mereka tidak mau mengikuti kebenaran, sedang Nabi saw selalu mencari jalan untuk melepaskan mereka dari lembah kebodohan, sehingga ia menemui jalan untuk itu dan menyelamatkan mereka dari kehancuran yang sedang mereka alami.

Maksud dari ayat ini adalah Allah telah membersihkan jiwa Nabi saw dari segala macam perasaan cemas, sehingga dia tidak gelisah, susah, dan gusar. Nabi juga dijadikan selalu tenang dan percaya akan pertolongan dan bantuan Allah kepadanya. Nabi juga yakin bahwa Dia yang menugasinya sebagai rasul, sekali-kali tidak akan membantu musuh-musuhnya.

Ayat 2-3

Dalam ayat-ayat ini, Allah mengungkapkan bahwa Dia berkenan meringankan beban yang dipikulkan kepada Nabi Muhammad dalam menunaikan penyebaran risalah-Nya. Dengan demikian, dengan mudah Nabi dapat menyampaikannya kepada manusia, dan dengan jiwa yang tenteram menghadapi tantangan musuh-musuhnya walaupun kadang-kadang tantangan itu berbahaya.

Setelah Muhammad diangkat menjadi rasul, maka beliau mulai melaksanakan tugas menyampaikan agama Allah kepada orang-orang Quraisy. Karena timbul reaksi yang kuat dari mereka, beliau menyiarkan agama Islam dengan sembunyi-sembunyi. Oleh karena itu, beliau merasakan sangat berat melakukan tugas itu.

Dengan masuk Islamnya beberapa orang pembesar Quraisy seperti Umar bin Kha¯¯±b, Hamzah, dan lain-lain, Rasulullah merasa ringan melaksanakan tugasnya. Hal ini ditambah lagi dengan datangnya perintah Allah untuk menyiarkan agama Islam dengan terang-terangan dan adanya jaminan Allah untuk menolong beliau, sebagaimana firman-Nya:

فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَاَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِيْنَ   ٩٤

اِنَّا كَفَيْنٰكَ الْمُسْتَهْزِءِيْنَۙ  ٩٥

الَّذِيْنَ يَجْعَلُوْنَ مَعَ اللّٰهِ اِلٰهًا اٰخَرَۚ فَسَوْفَ يَعْلَمُوْنَ   ٩٦

Maka sampaikanlah (Muhammad) secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang yang musyrik. Sesungguhnya Kami memelihara engkau (Muhammad) dari (kejahatan) orang yang memperolok-olokkan (engkau), (yaitu) orang yang menganggap adanya tuhan selain Allah. Mereka kelak akan mengetahui (akibatnya). (al-Hijr/15: 94-96)


Baca juga: Tuntunan Al-Quran dalam Melaksanakan Tahapan Taubat dari Dosa-Dosa


Ayat 4

Dalam ayat ini diterangkan bahwa Allah mengangkat derajat Nabi Muhammad, meninggikan kedudukan dan memperbesar pengaruhnya. Apakah ada kedudukan yang lebih mulia dari kedudukan nubuwwah (kenabian) yang telah dianugerahkan Allah kepadanya? Apakah ada yang lebih utama dari tersebarnya ke seluruh dunia pengikut-pengikut yang setia yang patuh menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangannya.

Mereka melakukan yang demikian itu karena yakin bahwa dalam menjalankan perintah-perintahnya itu terdapat keuntungan yang besar, sedang mendurhakainya adalah kerugian besar. Apakah ada sebutan yang lebih mulia dan dapat membanggakan hati daripada menyebut namanya bersama nama Allah Yang Maha Pengasih, sebagai tanda kesempurnaan insani? Sebutan mana lagi yang lebih mulia daripada sebutan yang dijadikan tanda pengakuan kerasulannya dan pengakuan tersebut dijadikan syarat seseorang menjadi penghuni surga.

Selain dari itu, Nabi saw telah membebaskan umat manusia dari perbudakan, kebodohan, dan kerusakan pikiran, serta membawa manusia kembali kepada fitrah yang menjamin kebebasan berpikir dan berkehendak. Dengan demikian, manusia dapat menemukan yang hak dan mengetahui siapakah sebenarnya yang harus disembah.

Mereka kemudian bersatu dalam keimanan dan beribadah kepada Allah Yang Maha Esa, sesudah mereka berbeda-beda dalam penyembuhan mereka. Beliaulah yang menyingkirkan awan-awan kegelapan dari mereka, serta menerangi jalan yang harus ditempuh untuk menuju kepada kejayaan dan kebahagiaan.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Insyirah Ayat 5-8


(Tafsir Kemenag)

Alasan Mengapa Surat Al-Ikhlas Sebanding Sepertiga Al-Quran Menurut Imam Ghazali

0
Surat Al-Ikhlas Sebanding Al-Quran Menurut Imam Ghazali
Surat Al-Ikhlas Sebanding Al-Quran Menurut Imam Ghazali

Surat Al-Ikhlas merupakan salah satu surah yang populer. Kepopuleran ini bukan hanya karena ayatnya pendek sehingga setiap muslim hafal luar kepala. Namun juga karena surat ini memiliki keistimewaan yang luar biasa. Keistimewaan ini dalam hadis sahih disebutkan, surat Al-Ikhlas sebanding sepertiga Al-Quran.

عن أبي سعيد الخدري : «أن رجلا سمع رجلا يقرأ قُلْ : هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ يرددها ، فلما أصبح ، جاء إلى النبي صلّى اللَّه عليه وسلّم ، فذكر ذلك له ، وكأن الرجل يتقالّها ، فقال النبي صلّى اللَّه عليه وسلّم : والذي نفسي بيده ، إنها لتعدل ثلث القرآن». أخرج البخاري وأبو داود والنسائي

Dari Abu Said Al-Khudri, bahwasannya ada seorang laki-laki membaca Qulhuwa Allahu ahad yang ia ulang-ulang terus. Lalu ketika pagi hari, ia datang kepada Nabi Muhammad Saw. dan menceritakan hal itu kepada beliau. Dan orang itu seakan sedikit masih membacanya. Lalu Nabi Muhammad Saw. bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan Nya. Sesungguhnya surah ini menyamai dengan sepertiga Al-Qur’an.” (HR. Al-Bukhari, Abu Daud, dan An-Nasa’i).

Dari hadis ini kemudian banyak sekali pemahaman bahwa cukuplah membaca tiga kali surah Al-Ikhlas untuk mengkhatamkan Al-Quran. Tentu pemahaman seperti ini salah kaprah. Untuk mengkhatamkan Al-Quran ya perlu membaca seluruh surat Al-Quran. Namun, nampaknya kita perlu mengetahui maksud dari sepertiga Al-Qur’an itu apa.

Baca juga: Sering Membaca Surat Al-Mulk? Berikut ini Lima Keutamaannya

Menurut Imam Al-Ghazali dalam kitab Jawahir Al-Qur’an, kitab suci Al-Qur’an itu memiliki tiga pokok kandungan yakni mengenal Allah (ma’rifatullah), pengetahuan tentang akhirat, dan mengetahui jalan yang lurus (Shiratal mustaqim). Dari tiga kandungan ini, surat Al-Ikhlas membahas tentang ke-Esa-an Allah dan ketauhidan untuk mengenal Allah. Surat Al-Ikhlas juga menafikan segala bentuk kesyirikan dan penyerupaan dengan makhluk. Surat ini menyifati Allah dengan sifat Al-Shamad, yang mana seluruh makhluk bergantung dan butuh kepada Allah.

 قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ ١ اَللّٰهُ الصَّمَدُۚ ٢ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْۙ ٣ وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ

“Katakanlah (Muhammad), “Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah tempat meminta segala sesuatu. (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.”

Inilah yang kemudian perlu dipahami umat muslim. Bahwa sepertiga Al-Quran itu bukanlah hitungan matematis, yang mana jika membaca tiga kali surat Al-Ikhlas seakan-akan khatam membaca Al-Quran. Maksud dari sepertiga Al-Qur’an ini justru karena kandungannya, karena hakikat dari Al-Ikhlas sangat dalam dan melingkupi esensi ketauhidan. Dan jika kita membaca tiga kali surah Al-Ikhlas bukankah hanya membaca satu kandungan saja. Sedangkan masih ada dua kandungan pokok lagi yakni pengetahuan tentang akhirat, dan mengetahui jalan yang lurus (Shiratal mustaqim).

Adapun pendeknya ayat surat Al-Ikhlas juga tidak menjadi tolak ukur kandungan Al-Qur’an. Mungkin secara umum, kita akan berpandangan bahwa banyaknya ayat berarti juga banyak kandungannya. Pandangan ini bertolak belakang dengan hakikat Al-Qur’an.

Baca juga; Syah Waliyullah Al-Dahlawi: Tokoh Pencetus Asbabun Nuzul Makro

Imam Al-Ghazali pun menegaskan bahwa kuantitas ayat tidak menentukan kualitasnya. Sehingga meskipun ayatnya sedikit seperti Al-Ikhlas, sangat memungkinkan untuk memiliki kandungan yang mendalam.

Imam Al-Ghazali menyebut, “Karena minimnya pengetahuan hakikat Al-Qur’an dan hanya berpandangan secara zahir terhadap kata-kata Al-Quran. Jadilah engkau (mayoritas muslim) mengira bahwa banyaknya kandungan ditentukan oleh panjangnya ayat. Begitupun sebaliknya hal itu persis dengan orang yang mengutamakan banyaknya dirham daripada berlian yang berharga, akibat hanya melihat banyaknya dirham.”

Keistimewaan surat Al-Ikhlas sebanding dengan sepertiga Al-Quran karena berisi tentang ma’rifatullah, dan kandungan untuk mengenal Allah ini layaknya berlian yang berharga. Terakhir, perihal keistimewaan surat Al-Ikhlas ini diibaratkan oleh Imam Al-Ghazali layaknya wakaf saat ibadah haji.

Baca juga; Jangan Menghina dan Pilih Kasih Terhadap Non Muslim! Ini dalil Larangannya

Dalam hadis menyebut, Ibadah haji adalah wukuf. Ini artinya, bagian terpenting dalam ibadah haji adalah wukuf, sementara amalan lainnya mengikuti. Tanpa melaksanakan wukuf, tentu seluruh amalan dalam haji runtuh. Begitu juga dengan pemahaman orang terhadap kandungan Al-Quran, tanpa memahami kandungan Surat Al-Ikhlas maka pemahamannya tidak akan sempurna.

Wallahu a’lam []

Apakah Setiap Hukum Ditetapkan Bersamaan Dengan Turunnya Ayat?

0
Ketetapan hukum dalam Al-Quran

Salah satu fungsi utama Al-Quran adalah sebagai penjelas syariat. Terkait fungsi tersebut, maka banyak ditemukan ayat-ayat Al-Quran yang mengandung sebuah ketetapan hukum yang akan diberlakukan kepada umat Islam. Secara umum, kita berpandangan bahwa tatkala terdapat ayat hukum yang turun, maka pada saat itu juga hukum tersebut diberlakukan. Namun benarkah demikian, apakah setiap hukum diberlakukan bersamaan dengan turunya ayat?

Menjawab pertanyaan tersebut, Syaikh Khalid ibn Utsman al-Sabt dalam karyanya yang berjudul Qawa’id al-Tafsir Jam’an wa Dirasatan, menjelaskan bahwa terdapat sebuah kaidah asbabun nuzul yang berkenaan dengan ketetapan sebuah hukum, sebagaimana berikut:

نُزُوْلُ الْقُرْآنِ تَارَةً يَكُوْنُ مَعَ تَقْرِيْرِ الْحُكْمِ وَتَارَةً يَكُوْنُ قَبْلَهُ وَالعَكْسُ

Kadang kala turunnya ayat Al-Qur’an bersamaan dengan penetapan hukum, terkadang juga turun sebelum penetapan hukum, dan sebaliknya

Baca Juga: Petunjuk Al-Quran tentang Tiga Pondasi Dasar Penetapan Hukum dalam Islam

Secara lebih komprehensif, beliau menjelaskan kaidah tersebut dengan memberikan tiga pembagian konsep turunnya sebuah ayat Al-Qur’an, yaitu:

  1. Ma Nazala Ma’a Taqrir al-Hukm (bersamaan dengan ketetapan hukum)

Konsep yang pertama ini menjelaskan bahwa kandungan hukum dalam sebuah ayat yang turun bersamaan juga dengan ditetapkanya hukum tersebut. Sehingga tatkala ayat ini turun, maka pada saat itu juga hukumnya diberlakukan. Pandangan yang pertama ini adalah pandangan yang umumnya berlaku pada sebagian besar ayat Al-Quran.

Salah satu contoh ayat yang masuk kategori pertama ini, seperti ayat tentang keharaman khamr dan perintah akan kewajiban berpuasa dalam Q.S. al-Baqarah [2] ayat 183:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ – ١٨٣

Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa

Baca Juga: Kaidah Asbabun Nuzul: Manakah yang Harus didahulukan, Keumuman Lafaz atau Kekhususan Sabab?

  1. Ma Nazala Qabla Taqrir al-Hukm (sebelum ketetapan hukum)

Konsep yang kedua ini menjelaskan bahwa terdapat kandungan hukum dalam sebuah ayat yang turun sebelum praktik hukum tersebut ditetapkan. Salah satu contoh ayat yang masuk dalam kategori kedua ini adalah Q.S. al-A’la [87] ayat 14-15:

قَدْ اَفْلَحَ مَنْ تَزَكّٰىۙ – ١٤وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهٖ فَصَلّٰىۗ – ١٥

Sungguh beruntung orang yang menyucikan diri (dengan beriman), dan mengingat nama Tuhannya, lalu dia shalat

Ayat di atas berbicara terkait penetapan hukum zakat fitrah dan shalat ‘id. Namun, sebagaimana diketahui, ayat ini masuk kategori makkiyah (turun sebelum Nabi hijrah). Sedangkan zakat fitrah dan shalat ‘id baru disyariatkan dan dipraktikkan ketika Nabi berada di Madinah.

Dalam keadaan yang demikian, maka ayat tersebut berfungsi sebagai isyarat akan adanya ketetapan hukum yang bakal diberlakukan bagi umat Islam. Fungsi ini juga berlaku pada ayat-ayat lain yang juga praktiknya dilakukan jauh setelah ayat tersebut diturunkan, seperti Q.S. al-Balad [90]: 1-2, Q.S. al-Qamar [54]: 45, dan Q.S. al-Muzzammil [73]: 20.

Baca Juga: Belajar Sabab Nuzul dalam Menafsirkan Al Quran Sangat Penting!

  1. Ma Nazala Ba’da Taqrir al-Hukm (setelah ketetapan hukum)

Konsep yang terakhir ini menjelaskan bahwa terdapat kandungan hukum dalam sebuah ayat yang turun pada saat praktik hukum tersebut telah telah diberlakukan dan dilaksanakan umat Islam. Contoh ayat dari kategori ketiga adalah ayat tentang wudhu yang disampaikan Q.S. al-Ma’idah [5] ayat 6:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِۗ وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْاۗ وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ مِّنْهُ ۗمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِّنْ حَرَجٍ وَّلٰكِنْ يُّرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهٗ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ – ٦

Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki. Jika kamu junub, maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur

Dijelaskan dalam sebuah riwayat yang disampaikan oleh Sayyidah ‘Aisyah, bahwasanya ayat tentang wudhu ini turun pada saat Rasulullah bersama rombongan sedang dalam keadaan perjalanan menuju Madinah. Sampai di sini dapat dipahami bahwa ayat ini masuk kategori ayat madaniyah.

Namun, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama, praktik shalat telah disyariatkan pada saat malam isra’ mi’raj di Makkah, tepatnya pada 10 tahun lebih 3 bulan setelah risalah kenabian. Dan semenjak disyariatkanya shalat tersebut, Nabi tidak pernah menjalankan shalat tanpa wudhu. Sehingga, dalam hal ini praktik wudhu telah dilakukan sebelum ayat tersebut turun. Lantas apa hikmah dari hal ini?

Ibnu Abd al-Barr menjelaskan bahwa hikmah dari turunya ayat wudhu meskipun praktik wudhu sudah lebih dahulu dilakukan adalah supaya kewajiban wudhu menjadi bagian yang dibaca dalam Al-Qur’an. Hal ini juga berlaku pada ayat tentang shalat jum’at dalam Q.S. al-Jumu’ah [62] ayat 9, yang juga praktiknya sudah lebih dahulu dilakukan sebelum turunya ayat.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa tidak semua hukum syariat yang terkandung dalam sebuah ayat diberlakukan bersamaan dengan turunya ayat tersebut. Tetapi terdapat hukum yang diberlakukan jauh setelah ayat tersebut turun, ataupun telah diberlakukan sebelumnya. Semua hal tersebut terjadi bukan tanpa alasan, tetapi setiap hal tersebut memiliki hikmah dan fungsi masing-masing. Wallahu A’lam

Tuntunan Al-Quran dalam Melaksanakan Tahapan Taubat dari Dosa-Dosa

0
dosa-dosa
Taubat dari dosa-dosa

Dosa-dosa yang dilakukan oleh manusia dapat dibagi atas dua kelompok, yaitu dosa-dosa yang dilakukan terhadap sesama manusia dan dosa yang dilakukan terhadap Allah. Dosa-dosa yang dilakukan oleh seseorang akibat kezaliman yang dilakukan terhadap orang lain, seperti menyakiti fisik maupun non-fisik dan mengambil haknya.

Dosa-dosa yang dilakukan oleh seseorang karena melanggar hak-hak Allah Swt., seperti meninggalkan salat, meninggalkan puasa, atau melanggar hak-hak Allah yang lain.

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang ketika melakukan taubat. Syarat-syarat itu akan sngat terkait dengan dosa-dosa yang dilakukan karena pelanggaran terhadap hak-hak Allah atau terhadap hak-hak manusia.

Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang ketika melakukan taubat atas dosa-dosa karena melanggar hak-hak Allah Swt adalah sebagai berikut:

  1. Menyadari dan mengakui adanya perbuatan dosa yang dilakukan,
  2. Menyesali diri dari perbuatan maksiat yang telah dilakukan,
  3. Bertekad untuk meninggalkan perbuatan maksiat itu.
  4. Bertekad untuk tidak akan mengulangi lagi perbuatan seperti itu.
  5. Setelah bertaubat, memperbanyak dan meningkatkan amal kebajikan, tidak hanya dari segi kuantitasnya, tetapi juga kualitasnya, tidak hanya yang wajib, tetapi juga yang sunat.

Seseorang yang telah bertaubat atas dosa-dosa mereka kepada Allah, harus menguatkan iman dan meningkatkan amal-amal salehnya. Hal ini dinyatakan oleh Allah dalam beberapa ayat Al-Qur’an.

Baca Juga: Pengertian Kata Taubat dan Perintah Bertaubat dalam Al-Quran

Di antaranya adalah terdapat di dalam QS. Maryam [19]: 59-60:

فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا 59 إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ شَيْئًا 60

“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan. Kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh, maka mereka itu akan masuk surga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikitpun.”

Orang yang melakukan perbuatan-perbuatan dosa kepada Allah harus meningkatkan amal salehnya setelah mereka melakukan taubat. Hal ini dinyatakan oleh Allah di dalam QS. Al-Furqan [25]: 70-71 disebutkan:

إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا 70 وَمَنْ تَابَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَإِنَّهُ يَتُوبُ إِلَى اللَّهِ مَتَابًا 71

“Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan orang-orang yang bertaubat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya.

Kemudian syarat-syarat yang perlu dipenuhi ketika hendak bertaubat atas dosa-dosa yang dilakukan dalam konteks melanggar hak-hak sesama manusia adalah sebagai berikut: 

  1. Menyadari dan mengakui adanya perbuatan dosa yang dilakukan terhadap sesama.
  2. Memohon maaf kepada yang bersangkutan, jika dosa itu menyangkut kehormatan orang lain.
  3. Mengembalikan harta kepada pemiliknya, jika dosa itu menyangkut pengambilan harta benda orang lain tanpa hak.
  4. Menyesali diri dari perbuatan maksiat yang telah dilakukan
  5. Bertekad untuk meninggalkan perbuatan maksiat itu.
  6. Bertekad untuk tidak akan mengulangi lagi perbuatan seperti itu.
  7. Setelah bertaubat, memperbanyak dan meningkatkan amal kebajikan, tidak hanya dari segi kuantitasnya, tetapi juga kualitasnya, tidak hanya yang wajib, tetapi juga yang sunat.

Hal ini dinyatakan oleh Allah di dalam QS. Al-Ma’idah [5]: 38-39:

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ () فَمَنْ تَابَ مِنْ بَعْدِ ظُلْمِهِ وَأَصْلَحَ فَإِنَّ اللَّهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ 

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Maka barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Yang penting digaris bawahi dari penggalan dua ayat di atas adalah bukan soal hukuman (punishment), akan tetapi ayat terakhir yang menekankan pengampunan atas taubat yang dilakukan. Dalam sejarahnya pun, sangat jarang sekali Rasulullah Saw melaksanakan potong tangan. 

Baca Juga: Surat An-Nisa [4] Ayat 17-18: Taubat Nasuha Menurut Al-Qur’an

Bahkan dalam riwayat Imam Ahmad bin Hanbal diceritakan sebagai berikut: 

Diriwayatkan dari Abdullah, suatu ketika seorang lelaki datang kepadanya dan menceritakan tentang kejadian di masa Rasulullah SAW, lelaki itu berkata : “sesungguhnya orang yang pertama kali dipotong tangan dari kalangan muslimin, adalah seorang lelaki yang dibawa ke hadapan Rasulullah SAW, kemudian dikatakan kepada beliau “Wahai Rasulullah, lelaki ini telah mencuri “kemudian tampaklah kesedihan pada wajah Rasulullah SAW, sebagian sahabatpun bertanya “Wahai Rasul, apa yang terjadi denganmu ? “ Rasulullah SAW pun menjawab : “Apalagi yang bisa aku perbuat, sedangkan kalian telah membantu setan untuk memutuskan hukuman kepada saudara kalian, padahal Allah SWT maha pengampun yang senang memberikan pengampunan, sedangkan seorang waliyul amr, jika sebuah perkara tentang hukum had telah dilaporkan kepadanya, maka seyogianya ia memutuskannya” kemudian Rasulullah SAW membaca (ayat 22 dari surat An-Nur yang artinya) : dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (HR. Ahmad)

Dari riwayat hadis di atas tampaklah bahwa sebenarnya yang paling diutamakan adalah sikap saling memaafkan dan menerima taubat. Rasulullah saw pun sangat berat hati dan sangat sedih ketika terpaksa melakukan potong tangan. Wallahu A’lam

Syah Waliyullah Al-Dahlawi: Tokoh Pencetus Asbabun Nuzul Makro

0
Syah Waliyyullah Al-Dahlawi
Syah Waliyyullah Al-Dahlawi

Syah Waliyullah al-Dahlawi merupakan salah satu pembaharu Islam yang hidup pada masa kemunduran imperium Mughal. Pada periode ini, Syah Waliyullah memberikan perhatian khusus dalam menyelamatkan kelangsungan muslim di anak benua ini. Fokus dari pembaharuan Syah Waliyullah adalah menolak penyelewengan moral masyarakat India, menolak sinkretisme yang berlebihan dalam paham mayoritas sufi, dan menyerukan pemurnian ajaran Islam.

Berbeda dengan Muhammad Abdul Wahab dengan Gerakan Wahabinya di Jazirah Arab, sikap pembaharuan yang dilakukan Syah Waliyullah al-Dahlawi tidak seradikal Abdul Wahab. Ia tidak menolak keadaan pada masanya secara total, tetapi ia mencoba memperbaiki ajaran dan keyakinan yang ada serta mengembalikannya kepada esensi ajaran Islam awal. Dia tidak mempunyai keinginan untuk melawan sufi, tetapi ia ingin memberikan bentuk baru dan memurnikannya.

Biografi Singkat Syah Waliyullah Al-Dahlawi (W. 1768 M)

Syah Waliyullah al-Dahlawi lahir pada tanggal 21 Februari 1703 M di Moza Phalat, Delhi, India dan meninggal pada 20 Agustus 1762 M. Nama lengkapnya adalah Syed Qutb ad-Din Ahmad Waliyullah bin ‘Abd ar-Rahim al-‘Umari al-Dahlawi, atau biasa dikenal dengan nama Syah Waliyullah Dehlawi. Jika nasabnya diruntut, maka Syah Waliyullah akan sampai pada Umar bin al-Khattab, sementara garis ayahnya sampai pada Ali bin Abi Thalib.

Syah Waliyullah al-Dahlawi berasal dari keluarga terpandang yang memiliki status sosial tinggi di masyarakatnya. Ayahnya bernama Syaikh Abd. Rahim (1054-1131 H) merupakan seorang Qadhi’ ternama sekaligus sebagai maha guru di madrasah al-Rahimiyah, sebuah sekolah yang dibangun oleh keluarga al-Dahlawi. Berdasarkan latar belakang tersebut, tak heran jika al-Dahlawi memiliki kecenderungan terhadap ilmu-ilmu agama.

Baca Juga: Mengenal Imam An-Naisaburi dan Kitabnya Ghara’ib al-Qur’an wa Ragha’ib al-Furqan

Dengan dibekali ilmu yang diberikan oleh ayahnya, al-Dahlawi tumbuh sebagai seorang yang mampu menguasai berbagai cabang ilmu keislaman. Pada umur 5 tahun ia belajar dengan giat di Madrasah milik ayahnya dan pada umur 7 tahun ia telah hafal Al-Qur’an seluruhnya. Pada tahun 1731 M, ia pergi ke Hijaz untuk memperdalam ilmu-ilmu keagamaan seperti hadis, fikih dan tasawuf.

Dalam ilmu tasawuf, Syah Waliyullah al-Dahlawi telah mendapatkan ‘ijazah’ dari seorang gurunya yang bernama Syaikh Abu Tahir al-Madani seorang ulama sufi terkenal. Mengenai perjalanannya ke Hijaz, menurut M. Mujeeb, disebabkan karena ia ingin menghindar dari ancaman ulama-ulama tradisional India, sebab al-Dahlawi telah memberanikan diri menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa Persia, suatu usaha yang dianggap masih tabu pada saat itu.

Namun pendapat ini banyak mendapatkan pertentangan, karena Syah Waliyullah sendiri tidak pernah bercerita sebagaimana ia banyak menceritakan pengalamannya melalui beberapa kitabnya. Ada satu hal menarik dari perjalanan al-Dahlawi tersebut, menurut penuturannya dalam kitab Fuyu’ al-Haramain dan at-Tafhimat, ia telah bertemu dengan ruh Nabi Muhammad saw. dan memperoleh makrifat, ilmu, bimbingan serta berbagai keistimewaan dari Nabi.

Dengan pengalamannya ini ia diberi gelar Uwaisy dan Wasi, bahkan sebagian besar ulama India pada saat itu menyebutnya sebagai mujaddid. Cerita yang hampir sama juga dituturkan dalam kitabnya Hujjah Allah al-Baligah bahwa suatu ketika ia bermimpi bertemu dengan al-Hasan dan al-Husain, keduanya seakan memberi sebuah pena (qalam) seraya mengatakan bahwa pena itu mereka dapatkan dari Rasulullah saw.

Tahun 1145 H, Syah Waliyullah al-Dahlawi kembali ke India, tepatnya setelah selama 14 bulan berada di Hijaz. Dengan kekuatan ilmu dan keyakinannya serta dengan pengalaman-pengalaman spiritual yang ia dapatkan sewaktu berada di Makkah. Ia mulai bertambah gencar melakukan gerakan-gerakan pembaharuan di India. Pada saat bersamaan, ia meneruskan pekerjaannya yang lama sebagai guru dan banyak mengarang buku.

Karya-karya al-Dahlawi tak kurang dari 50 karangan dari berbagai disiplin ilmu, mulai dari Al-Qur’an, hadis, sejarah atau tarikh, fikih, usl al-fiqh, tasawuf, filsafat dan sebagainya. Di antaranya adalah Fath al-Rahman bi Tarjamat al-Qur’an, al-Fawz al-Kabir, Fath al Kabir bima> Labuda> min Hifzhihi fi al-Tafsir, al-Maswa min Ahadits al-Muwatha’, al-Musaffa, Hujat Allah al-Balighah, al-Inshaf fi Bayani Asbab al-Ikhtilaf,  dan sebagainya.

Kondisi Sosial-Keagamaan Syah Waliyullah al-Dahlawi dan Pemikirannya

Historisitas ulama India di masa Shah Waliyullah al-Dahlawi hidup, tidak dapat dipisahkan dengan faktor sosial politik di India sendiri. Menjelang era tranformasi modern di anak benua India, Imperium Mughal – sebagaimana imperium Usmani dan Safawiyah merupakan sebuah rezim patrimonial – dengan kuat menekankan identitas India dan Persia yang kosmopolitan.

Kehidupan keagamaan Muslim di anak benua ini sangat pluralistik. Demikian juga struktur komunal keagamaan khususnya Muslim sebagai kaum minoritas di India tidak terbentuk dalam komunitas tunggal, melainkan terdiri dari berbagai kelompok etnis, nasab dan sejumlah kelas penduduk, bahkan terdiri dari beberapa kasta masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari budaya pengelompokan masyarakat di India.

Muslim India membentuk sejumlah badan keagamaan berdasarkan persekutuan mazhab hukum, seperti tarekat sufi dan kelompok fanatik terhadap tokoh tertentu. Sebagian mereka adalah warga Sunni dan sebagian Syi’i  yang sulit dibedakan lantaran kuatnya simpati warga Sunni terhadap keluarga Ali. Warga Sunni sendiri dibedakan antara mereka yang komitmen terhadap skripturalis dan mereka yang berprinsip terhadap sufisme populer.

Pengaruh Syi’i di India juga sangat besar karena ada penguasa Muslim yang berasal dari aliran ini. Golconda dan Kashmir yang memerintah rezim Mughal mempunyai seorang istri Syi’i dan sejumlah kaum Syi’i pada saat itu menduduki jabatan tinggi. Pengikut Syi’i di India tidak hanya dari Syiah dua belas tetapi juga dari Nizariyah dan Bohras.

Latar belakang sosial-keagamaan itulah yang kemudian membuat Syah Waliyullah al-Dahlawi mencoba untuk melakukan pembaharuan agar sejumlah konsep sekitar makna sosial keyakinan agama Islam tidak saling bertabrakan (the social meaning of Islamic religious belief) dan ajaran Islam kembali murni sebagaimana yang dibawa oleh nabi Muhammad saw.

Baca Juga: Muhammad al-Ghazali, Mufassir Penggerak Hermeneutika dari Timur Tengah

Dalam bidang tafsir, salah satu pemikiran Syah Waliyullah al-Dahlawi yang sering dikutip dan memiliki sumbangsih besar dalam rangka memahami ayat Al-Qur’an adalah teori asbabun nuzul makro dan mikro. Namun ia menggunakan istilah berbeda, yakni asbabun nuzul haqiqi dan asbabun nuzul juz’i. Konsep inilah yang kemudian hari mempengaruhi sarjana-sarjana kontemporer seperti Syahrur dan Abdullah Said.

Al-Dahlawi dalam kitabnya al-Fawz al-Kabir fi Ushul al-Tafsir, menyatakan bahwa asbabun nuzul yang ditampilkan para mufasir selama ini kurang valid (asbabun nuzul juz’i). Karena menurutnya, kebanyakan data sejarah tersebut ialah kisah yang sebenarnya tidak relevan untuk dijadikan asbabun nuzul. Sekalipun kisah itu relevan, semua itu hanya satu bagian dari seluruh realitas pewahyuan ayat Al-Qur’an dan seringkali bersifat parsial-subjektif.

Oleh karenanya, menurut Syah Waliyullah al-Dahlawi diperlukan pemahaman mendalam terhadap sejarah pewahyuan secara utuh dan komprehensif. Ini dapat dilakukan melalui pengamatan atas keseluruhan kisah-kisah pewahyuan dan realitas sosial budaya yang ada di masyarakat Arab pada saat itu (asbabun nuzul haqiqi). Melalui dialektika antara realitas budaya dengan wahyu Al-Qur’an ini akan dihasilkan pemahaman komprehensif dan kontekstual. Wallahu a’lam.

Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 1-2: Bukti Kuasa Allah dan Barometer Pribadi Berkualitas

0
Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 28-30
Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 28-30

Secara garis besar, Surat Al-Mulk sebagaimana surat Makiyyah pada umumnya, menekankan ajaran pengesaan terhadap Allah. Wahbah az-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir menyebutkan setidaknya ada enam poin dalam surat ini. yakni; menetapkan eksistensi Allah dan keesaanNya, keluasan ilmu dan kuasaNya, peringatan terjadinya hari kiamat, mengingatkan akan nikmat Allah atas hambaNya, menghubungkan rezeki dengan menjelajah bumi, serta tawakkal. Dalam pembuka, tepatnya, Surat Al-Mulk ayat 1-2, disampaikanlah bukti kuasa Allah, yang salah satunya penciptaan hidup dan mati.

تَبَٰرَكَ ٱلَّذِي بِيَدِهِ ٱلۡمُلۡكُ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٌتَبَٰرَكَ ٱلَّذِي بِيَدِهِ ٱلۡمُلۡكُ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٌ

ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلۡمَوۡتَ وَٱلۡحَيَوٰةَ لِيَبۡلُوَكُمۡ أَيُّكُمۡ أَحۡسَنُ عَمَلٗاۚ وَهُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡغَفُور

“Mahasuci Allah yang menguasai (segala) kerajaan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.”

“Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa, Maha Pengampun.”


Baca juga: Sering Membaca Surat Al-Mulk? Berikut ini Lima Keutamaannya

Rahasia pujian sebagai intro surat

Allah memuji diriNya dalam pembuka surat ini bukan tanpa alasan. Mengutip az-Zuhaili, Allah memuji diriNya untuk mengajari (li al-ta’lim) dan memberi betunjuk (al-irsyad), bahwa Allah-lah pengelola seluruh semesta. Hal ini tentu berkaitan dengan akhir surat Tahrim, yang bercerita dua golongan manusia yang bertolak belakang.

Dalam Nudzm al-Durar, Al-Biqa’i menegaskan, pujian Allah berupa keagungan, kesucian, dan keluhuranNya ialah sebagai bukti dari kuasaNya membinasakan orang yang inkar terhadap ajaranNya, yakni istri Nabi Nuh dan Nabi Luth. Serta, mengangkat derajat orang yang mengimani dan patuh kepadaNya, yakni Maryam binti Imran, dan ‘Asyiah istri Fir’aun si pembangkang sekali pun.

Sementara versi Ibnu ‘Asyur, pujian pada awal surat ini adalah sebagai bara’atul istihlal (intro yang mengandung maksud ayat). Apa maksud ayat satu ini? Yakni menampik tuduhan kaum musyrikin bahwa Allah punya sekutu.

Selanjutnya, keagungan itu juga dibuktikan dengan otoritasNya sebagai pemilik kerajaan semesta alam. Maka, Ibnu ‘Asyur dalam at-Tahrir wa al-Tanwir kemudian menyimpulkan otoritas tunggal Allah atas alam raya ini adalah petunjuk bahwa Ia adalah Tuhan Yang Esa. Demikianlah ayat pertama ini ditutup dengan kuasa Allah atas segala sesuatu.

Allah pencipta kematian dan kehidupan

Kemampuan menciptakan hidup dan mati yang disampaikan Surat Al-Mulk ayat 2 merupakan salah satu sifat Allah Yang Maha kuasa. Disebutkannya mati dan hidup Menurut Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah, adalah karena dua hal ini paling signifikan untuk meyakinkan manusia atas kuasa Allah. Hidup dan mati hanya Allah yang bisa menciptakan. Tanpa hidup dan mati manusia takkan ada.

Ada beberapa pendapat tentang didahulukannya penciptaan mati atas hidup, yang antara lain disampaikan ar-Razi dalam Mafatihul Ghaib.

Pertama, karena fase hidup manusia berawal semenjak ditiupkannya ruh kehidupan –sekitar 4 bulan kehamilan-. Sementara masa pembuahan, kemudian menjadi zigot, belum ada ruh.

Baca juga; Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 3-4: Prinsip Keseimbangan Hidup dalam Melihat Kuasa Allah

Kedua, mati di situ ialah analogi dari dunia yang fana. Manusia ketika masih di pentas dunia sebenarnya dalam kematian. Barulah memasuki alam ukhrawi, ia bangkit dalam kehidupan sejati. Pendapat ini tampaknya bertendensi dari hadis yang dikutip at-Thabari dalam Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Ayil Quran, yang berarti “Allah menghinakan Bani Adam dengan kematian, menjadikan dunia tempat hidup nan fana, menjadikan akhirat tempat balasan nan abadi

Ketiga, karena kematian lebih kuat untuk memotivasi manusia beramal untuk tabungan akhirat. Sehingga, disebutlah kematian lebih awal, agar pembaca lebih memerhatikan, merenungi, dan menjadikannya semangat untuk berbuat baik.

Baca juga; Surat Al-Baqarah [2] Ayat 264: Jangan Merusak Pahala Sedekah

Lalu, apa makna hidup dan mati? Ada perbedaan di antara mufassir. Quraish Shihab dalam menyampaikan beberapa perbedaan itu. Pertama -dan ini yang mayoritas-, hidup ialah keadaan sesuatu itu bisa merasa, mengetahui, dan bergerak. Pendapat kedua dari al-Mutawalli as-Sya’rawi, mengartikan hidup ketika sesuatu bisa bergunana selayaknya kegunaannya. Seperti manusia, bisa bernapas, berpikir, bergerak. Seperti pula tanah, bisa menjadi ladang cocok tanam.

Sedangkan tentang mati, Quraish Shihab mengartikannya sebagai ketiadaan manusia di pentas bumi. Artinya, kematian yang hakiki bagi manusia setelah ia hidup di bumi sebatas pada perpindahan dimensi.

Berbuat baik, barometer pribadi berkualias

Ayat kedua dari Surat Al-Mulk memberi pelajaran pada kita bahwa perbuatan baik menjadi barometer untuk mewujudkan pribadi yang berkualitas. Pada akhir ayat ini, Allah menyebutkan inti kehidupan dan kematian. Yakni untuk menguji manusia, mana yang paling baik perbuatannya. At-Thabari menafsirkan ahsanu ‘amala dengan mana yang paling taat dan semangat mencari rida Allah. Disebutkannya ahsanu ‘amalan (yang paling baik perbuatannya) tanpa dibarengi dengan aswa’u ‘amala (yang paling buruk perbuatannya) semata untuk menarik perhatian manusia. Quraish Shihab menjelaskan, agar manusia semangat untuk berlomba-lomba dalam kebaikan.

Perbuatan baik tentu beraneka macam dan tarafnya. Pun begitu perbuatan buruk. Taraf perbuatan buruk dan baik bisa hanya untuk personal, bisa menyentuh persoalan ajaran Islam, atau struktur masyarakat. Demikianlah yang dijelaskan Ibnu ‘Asyur.

Lalu, mengapa ujian itu berupa hidup dan mati? Ibnu ‘Asyur menjelaskan, Allah menjadikan hidup dan mati sebagai ujian untuk menguji mana yang paling baik dan buruk perbuatannya, karena dengan diberi kehidupan, manusia akan punya kesempatan berbuat baik. Begitu juga untuk berbuat buruk. Sampai ia menjumpai kematian, ia diadili, dinilai oleh Allah, sesuai kebaikan dan kejelekan yang ia perbuat.

Demikianlah Allah dengan kuasaNya atas segala yang di dunia dan akhirat menciptakan kematian dan kehidupan untuk manusia. Selain dari dimensi tauhid, sehingga bisa memperteguh iman kita atas keesaanNya, dua ayat ini juga menasehati kita bahwa sejatinya yang dipandang Allah adalah perbuatan kita selama di bumi. Sudahkah baik perbuatan yang kita salurkan, baik berupa ibadah kepadaNya, atau kebaikan untuk diri sendiri dan sesama? Wallahu a’lam[]

Inilah 4 Doa Taubat Para Nabi dalam Al-Quran

0
Doa taubat nabi dalam Al-Quran
Doa taubat nabi dalam Al-Quran

Taubat merupakan suatu keharusan dalam Islam, karena sifat manusia tidak pernah luput dari salah dan lupa. Taubat juga merupakan satu bentuk cara untuk menyucikan jiwa dari kotoran dosa dan maksiat. Allah sendiri bahkan sangat menyukai hamba-Nya yang bertaubat dan menyucikan dirinya seperti yang difirmankan dalam QS. Al-Baqarah [2]: 222. Al-Quran pun menyediakan beberapa doa taubat dari para Nabi, yang akan diulas dalam tulisan ini.

Sebagai seorang manusia yang mempunyai sifat-sifat basyariyah (manusiawi), para nabi pun juga pernah melakukan suatu kesalahan. Meskipun kesalahan mereka bukan kategori sebuah dosa karena para nabi bersifat maksum. Namun para nabi juga memohon ampun kepada Allah atas kesalahan yang mereka lakukan.

Selain mereka juga adalah seorang hamba, taubat para nabi tersebut secara laten juga ingin memberikan uswah kepada umat-umat mereka agara senantiasa meminta ampunan kepada Allah dan bertaubat. Karena pastinya dosa dan maksiat yang dilakukan umat sebagai manusia awam pastilah lebih banyak. Doa taubat para nabi tersebut diabadikan Allah dalam Al-Quran agar kita sebagai umat terakhir bisa juga mencontohnya sebagai amalan untuk bertaubat. Adapun ayat-ayatnya sebagai berikut.

Baca juga: Mencontoh Spirit dan Doa Nabi Sulaiman dalam Mensyukuri Nikmat

Doa Taubat Nabi Adam

رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ ٱلْخَٰسِرِينَ

“Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (Q.S. Al-A’raf: 23)

Ayat ini sebenarnya adalah lafadz doa yang diucapkan Nabi Adam dan Hawa. Seperti yang dijelaskan Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an al-Adhim bahwa hal itu berkenaan dengan kesalahan mereka berdua yang telah memakan buah dari pohon yang dilarang oleh Allah. Adam dan Hawa terjebak rayuan Iblis yang bersumpah atas nama Allah.

Baca juga: Ingin Diberi Kelancaran Urusan? Baca Doa Nabi Musa Ini!

Nabi Adam dan Hawa harus menerima hukuman dikeluarkan dari surga dan turun ke bumi. Namun, bersamaan itu pula Allah mengampuni taubat mereka berdua seperti yang difirmankan Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 36-37. Dalam Tafsir Al-Wajiz, Wahbah Zuhayli menjelaskan bahwa Allah akan senantiasa memberikan petunjuk kapada manusia apabila ia melakukan dosa dan kesalahan ia bertaubat. Manusia tersebut sejatinya mengikuti Nabi Adam. Adapun manusia yang tidak mau bertaubat maka sejatinya ia mengikuti Iblis yang congkak dan semakin menjauhkan diri dari Allah.

Doa Taubat Nabi Nuh

رَبِّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ أَنْ أَسْـَٔلَكَ مَا لَيْسَ لِى بِهِۦ عِلْمٌ وَإِلَّا تَغْفِرْ لِى وَتَرْحَمْنِى أَكُن مِّنَ ٱلْخَٰسِرِينَ

“Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari memohon kepada Engkau sesuatu yang aku tiada mengetahui (hakekat)nya. Dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi” (Q.S Hud: 47)

Ini adalah doa Nabi Nuh atas sebuah anggapan dan kesalahan yang Ia lakukan. Dalam tafsir Kemenag dijelaskan bahwa Nabi Nuh pernah memohonkan ampun kepada anaknya Kan’an. Padahal Kan’an sendiri adalah seorang kafirul qalbi (orang yang tertutup hatinya) untuk menerima ajaran kebenaran dari ayahnya. Hal tersebut ia lakukan semata-mata karena rasa kasih sayangnya sebagai seorang ayah.

Baca juga: Ingin Punya Keturunan Yang Saleh? Amalkan 3 Doa Nabi Ibrahim Ini

Permohonan ampun Nabi Nuh atas Kan’an pun mendapat teguran dari Allah. Karena seorang kafirul qalbi dari kebenaran Allah tidak pantas didoakan, meskipun dari sanak keluarga sendiri. Lalu Nabi Nuh pun menyesal atas kekhilafannya dan bertaubat dengan doa sebagaimana ayat di atas.

Doa Taubat Nabi Ibrahim

وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنتَ ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ

“Dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” (Q.S Al-Baqarah: 128)

Ayat ini sebenarnya berkaitan dengan permohonan Nabi Ibrahim agar diberi petunjuk mengenai tata cara beribadah. Selain itu ayat ini berkaitan dengan permohonan Nabi Ibrahim agar keluarga dan keturunannya tetap teguh memegang ajaran Allah. Adapun salah satu nilai ibadah yang dipinta Nabi Ibrahim dari ayat ini adalah bertaubat. Karena menurut Muhammad bin Shalih As-Syawi dalam an-Nafahat al-Makiyyah, bagaimanapun kondisinya seorang hamba pasti tidak lepas dari pengaruh nafsu yang menjerumuskan pada maksiat dan perlu untuk bertaubat.

Baca juga: Doa Nabi Zakaria dan Tafsir Ali Imran [3]: 38

وَٱغْفِرْ لَنَا رَبَّنَا إِنَّكَ أَنتَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْحَكِيمُ

“Dan ampunilah kami ya Tuhan kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Q.S Al-Mumtahanah: 5)

Menurut Wahbah Zuhayli dalam Tafsir al-Wajiz, doa taubat yang dipanjatkan Nabi Ibrahim ini sebenarnya berkaitan dengan kekafiran dan kemusyrikan kaumnya termasuk pula ayahnya. Nabi Ibrahim pernah meminta ampunan Allah atas ayahnya. Namun ketika telah jelas status yang diberikan Allah kepada ayah Nabi Ibrahim beserta kaumnya bahwa mereka adalah orang yang ingkar. Nabi Ibrahim segera menarik diri, mendekatkan kepada Allah agar dilindungi dari mereka dan dari kemusyrikan, seraya memohon ampun atas kesalahan-kesalahan yang ia lakukan.

Doa Taubat Nabi Musa

رَبِّ إِنِّى ظَلَمْتُ نَفْسِى فَٱغْفِرْ لِى فَغَفَرَ لَهُۥٓ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلْغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ

“Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri karena itu ampunilah aku”. Maka Allah mengampuninya, sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S Al-Qashas: 16)

Jika ditilik dari rangkaian ayat sebelumnya, doa Nabi Musa pada ayat ini sebenarnya berkaitan dengan kesalahannya atas satu perbuatannya yang didorong oleh nafsu. Dalam an-Nafahat al-Makiyyah Muhammad bin Shalih al-Syawi menjelaskan bahwa ketika itu Nabi Musa memasuki kota Memphis, sebuah kota di kerajaan Mesir Kuno. Pada waktu itu ia menemukan dua orang lelaki yang saling berkelahi. lelaki pertama dari Qibthi dan lelaki kedua dari Bani Israil.

Lelaki kedua pun meminta pertolongan Nabi Musa untuk mengalahkan musuhnya karena sesama dari Bani Israil. Nabi Musa pun menyetujuinya lalu meninju lelaki pertama tersebut hingga meninggal seperti yang termaktub dalam surah Al-Qashash ayat 15. Namun kemudian Nabi Musa sangat menyesali perbuatannya tersebut karena ia menyadari bahwa kala itu dirinya sedang dikuasai syetan. Lantas, ia pun bertaubat dengan sepenuhnya seraya melantunkan doa sebagaimana ayat di atas. Wallahu a’lam[]

Mengenal Thaifur Ali Wafa Al-Muduri, Mufasir Kontemporer Asal Madura

0
thaifur ali wafa
thaifur ali wafa, mufasir kontemporer asal madura (matamaduranews)

Dari sederet tokoh mufasir Indonesia terselip salah satu nama mufasir yang nyaris amat sangat jarang diketahui bahkan terlewatkan, yaitu KH. Thaifur Ali Wafa Al-Muduri. Beliau merupakan ulama cum mufasir asal Madura yang berdarah biru. Beliau mempunyai satu kitab tafsir berjudul “Firdaus An-Na’im”.

Tafsir Firdaus An-Naim ini jarang diketahui oleh orang sebab hampir tidak disebutkan oleh beberapa penelitian tentang perkembangan tafsir di Indonesia. Padahal jika ditilik dari masa penulisannya, tafsir ini menempati periode abad ke-20 ditinjau dalam pemetaan literatur tafsir Indonesia. Berikut kami ulas biografi, pendidikan dan karya KH. Thaifur Ali Wafa al-Muduri.

Biografi KH. Thaifur Ali Wafa Al-Muduri

Beliau bernama lengkap Thaifur bin Ali Wafa Muharrar al-Muduri. Marga Ali Wafa sendiri dinisbahkan kepada nama ayahnya, seorang ulama masyhur paling berpengaruh di Madura. Martin Van Bruinessen dalam Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi Islam di Indonesia menyebutkan bahwa KH. Thaifur Ali Wafa al-Muduri memiliki reputasi yang cukup diperhitungkan dalam jagat penafsiran baik dilihat secara personal sebagai seorang ulama maupun kapasitas keilmuannya (Tarekat Naqsyabandiyah).

Secara nasab, Thaifur Ali Wafa berasal dari Syaikh Abdul Qudus yang terkenal dengan jinahar sebagaimana dijelaskan dalam Manar al-Wafa fi Nabdhah min Tarjamah al-Faqir ‘Afwa Allah Thaifur Ali Wafa, buku otobiografi atas permintaan keponakannya Junaid Muhammad Imam. Sedangkan ibunya bernama Muthmainnah binti Dhilhajja, merupakan keturunan salah satu kesultanan di Sumenep, Madura. Thaifur Ali Wafa lahir pada Selasa 20 Sya’bam 1384 H di Ambunten, suatu desa yang terletak di bagian timur Sumenep, Madura.

Baca juga: Mufasir Indonesia: Biografi Syekh Mahfudz At Tarmasi

Pendidikan Thaifur Ali Wafa

Thaifur Ali Wafa mewarisi intelektualitas ayahnya. Dalam pengakuannya sebagaimana termaktub dalam Manar al-Wafa fi Nabdhah min Tarjamah al-Faqir ‘Afwa Allah Thaifur Ali Wafa, ia menyebut sosok ayah sangat berperan besar dalam mengkonstruksi pemikirannya.

Semasa kecil beliau sudah mengenyam pendidikan agama dari ayahnya, Ali Wafa Al-Muharrar berbagai macam keilmuan seperti ushul al-aqa’id, tauhid, fiqih, nahwu, Al-Quran dan sebagainya melalui sorogan. Bahkan istimewanya, tidak hanya melalui pendidikan indoktrinasi, akan tetapi ayahnya sudah menjaga kewira’iannya sejak usia 6 tahun, seperti dilarang makan ikan dan memakan makanan yang ada di pasar.

Sayangnya, sebelum akil baligh ayah beliau wafat dan ibunya menitipkan Thaifur Ali Wafa pada Syaikh Ali Hisyam. Di dalam asuhan sang guru inilah ia mereguk samudera keilmuan yang lebih luas lagi. Berbagai syarh kitab disodorkan kepada beliau seperti Syarh Safinah, Syarah Bidayah, dan seterusnya. Menginjak usia 14 tahun, beliau ikut gurunya ke Mekkah untuk pertama kalinya. Akan tetapi, pada kesempatan ini beliau hanya untuk menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makam Nabi Muhammad saw saja.

Di usia remaja ini pula beliau telah mengkhitbah seorang putri Syaikh Abdullah Salil al-Khalil. Lalu di usia 15 tahun beliau kedatangan tamu Syaikh Ahmad Zainy bin Miftahul Arifin dari Jakarta. Kemudian, sang guru memintanya untuk nyantri kepada tamu tersebut karena Syaikh Ahmad Zainy merupakan salah satu orang yang sangat ‘alim dan masyhur dalam bidang akhlak dan tasawuf.

Setelah nyantri beberapa tahun, beliau lalu berangkat ke Mekkah untuk kedua kalinya dalam usia 18 tahun bersama Sayyid Fadhil Muhammad bin Shalih al-Muhdlar. Kali ini beliau tidak hanya sekadar berhaji dan berziarah, namun juga menimba ilmu sampai pada tahun 1406 Hijriyah beliau baru pulang, saat itu usianya baru 23 tahun.

Ketika di Mekkah beliau sangat memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya. Di saat senggang, ia muthala’ah serta menulis apa saja materi dari gurunya. Alhasil setelah menimba ilmu dari Mekah, beliau menelurkan banyak karya sekitar 42 kitab. Selang 3 tahun kemudian, yakni 1409 Hijriyah beliau kembali lagi ke Mekkah atas permintaan Syaikh Usman.

Untuk ketiga kalinya ini, beliau lebih banyak menghabuskan berkhidmah dengan mengajar santri yang lain, meskipun juga terkadang masih nyantri dirasah Syaikh Usman. Hingga pada tahyn 1413, ibunya berangkat ke Mekkah untuk menunaikan haji dan umrah. Di samping itu, beliau juga meminta kepada Syaikh Usman untuk membawa anaknya kembali ke rumah, dan Syaikh Usman mengizinkannya.

Rihlah intelektualnya telah membawa Thaifur Ali Wafa sebagai salah satu guru Tarekat Nasqsyabandiyah Mudzahriyah. Ia menerima ijazah dari KH. Lathifi Baidhawi, Ulama asal Malang, yang juga merupakan murid dari ayahnya. Thaifur mengaku ia menerima ijazah tersebut saat berusia 33 tahun. Di bawah pimpinan Thaifur, pengikut Tarekat Naqsyabandiyahh memiliki ribuan jama’ah yang tersebar di beberapa kecamatan di Sumenep, seperti Ambunten, Gapura, Batang-batang, dan lain sebagainya. Bahkan konon tersebar hingga Kalimantan. Sewaktu masih hidup, kegiatan tarekat ini biasa diselenggarakan setiap jumat pagi. Kegiatan tersebut diberi nama Khatmil Khawajakan atau oleh orang Madura disebut hojhegen.

Baca juga: Mufasir Indonesia: Hasbi Ash-Shiddieqy, Pelopor Khazanah Kitab Tafsir Kontemporer di Indonesia

Karya-karya

Thaifur Ali Wafa dapat dikatakan termasuk ulama yang produktif. Ia mempunyai banyak karya yang berbahasa Arab dan Indonesia. Adapun magnum opus-nya adalah Tafsir Firdaus An-Na’im yang terdiri 6 jilid. Berikut karya lengkapnya,

Kitab fiqih seperti Riyadhah Al-Muhibbin, Tuhfah al-Raki’ wa al-Sajid, Kasy al-Auham, Mazil al-‘Ina, Al-Badr al-Munir, Kasyf al-Khafa, At-Tadrib, Tasywidh al-Afkar, Nadzam Ghayah al-Ikhtishar, Miftah al-Ghawamidh, Dar al-Taj.

Kitab qawa’id al-Lughah misalnya Al-Qatuf al-Dunyah (membahas kaidah-kaidah bahasa Arab untuk pemula), Al-Manahil Asy-Syafi’i (membahas ilmu ‘arudh), Al-Furqad al-Rafi’, ilmu balaghal (ma’ani, bayan dan badi’), Al-Riyadh al-Bahiyyah (berisi nadzam ilmu Nahwu).

Kitab aqidah atau tasawuf seperti Sallam al-Qashidin (membahas isi-isi dalam kitab Ihya’ Ulumiddin), Jawahir al-Qalaid fi Nazm al-‘Aqaid (Nazm berisi ilmu akidah).

Kitab sirah seperti Masyakkah al-Anwar fi Ikhtisar Sirah Sayyid al-Abrar, Nur al-Zalam fi Bayan Wujud Ismah Sayyidina Adam A.S. wa ‘ala Nabiyyina saw, Nayl al-‘Arb: Syarh Maulid al’Azb, Alfiyah bin Ali Wafa: fi Sirah wa Syamail wa Khasaish al-Naby al-Mustafa saw.

Kitab tafsir seperti Al-Raud al-Nadhir Syarh Qaul al-Munir (berisi ulumut tafsir), Ar-Rijal Al-Nasim (membahas kalimat basmalah), Tafsir Firdaus An-Na’im (kitab tafsir Al-Quran 30 juz lengkap, terdiri 6 jilid kitab).

Demikian pengenalan kita kepada Thaifur Ali Wafa, begawan tafsir Al-Quran asal Madura. Wallahu A’lam.

Menilik Keutamaan dan Tujuan Qasam dalam Al-Quran

0
keutamaan dan tujuan qasam
keutamaan dan tujuan qasam (syariah.iainkediri)

Manna Al-Qatthan dalam Mabahits fi Ulum Al-Quran menyampaikan bahwa keutamaan qasam (sumpah) itu merujuk pada disiplin ilmu balaghah, yakni al-‘ilm al-ma‘ani. Tingkatan psikologis mukhatab (lawan bicara) menjadi acuan dalam mengklasifikasikan tinjauan terhadap faedah atau keutamaan qasam.

Dalam al-‘ilm al-ma‘ani umpamanya, dikategorikan tiga pola ungkapan yang berbeda (yang disebut sebagai adrubul khabar as-Tsalatsah) berdasarkan model-model mukhatab. Tiga macam penggunaan kalimat tersebut adalah ibtida’i, talabi, dan inkari.

Ibtida’i merupakan pola penggunaan kalimat yang dimaksudkan terhadap mukhatab yang sama sekali tidak memiliki persepsi (masyarakat awam) akan pernyataan hukum yang disampaikan kepadanya. Dapat dikatakan pula orang yang netral dan wajar-wajar saja dalam menerima suatu berita, tidak ragu-ragu dan tidak mengingkarinya. Model seperti ini tidak memerlukan ta’kid, termasuk ta’kid yang berupa qasam.

Thalabi adalah pola penggunaan kalimat yang ditujukan terhadap mukhatab yang ragu-ragu dalam menerima informasi, sehingga untuk meyakinkan dan menghilangkan keraguannya dibutuhkan ta’kid (penguatan), baik qasam maupun ta’kid lainnya.

Baca juga: Inilah Macam-Macam Qasam dalam Al-Quran, Simak Penjelasannya

Inkari adalah pola penggunaan kalimat yang digunakan untuk mukhatab yang cenderung menolak informasi. Isi pernyataan tidak diterima, sehingga dalam situasi ini posisi qasam sebagai ta’kid sangat urgen guna mengupayakan dan meyakinkan mukhatab atas kebenaran isi informasi yang disampaikan. Dengan kata lain, kondisi seperti ini beritanya harus disertai dengan kalam inkari (diperkuat sesuai dengan kadar keingkarannya).

Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa Allah menggunakan kalimat qasam dalam Al-Quran untuk menghilangkan keraguan bahkan kenaifan, menegakkan hujjah dan menguatkan berita-berita Al-Quran yang cenderung diragukan dan ditolak kebenarannya oleh manusia.

Al-Qur’an diturunkan untuk seluruh umat manusia yang menanggapinya dengan bermacam-macam sesuai keadaan psikologi dan sosial-budayanya. Ada yang ragu-ragu, ada yang menolak, dan bahkan ada yang sangat resisten, sehingga posisi qasam dalam Al-Quran menemukan titik signifikansinya.

Tujuan Qasam dalam Al-Quran

Merujuk pada uraian faedah atau keutamaan qasam, maka kalimat qasam dalam Al-Quran bertujuan untuk memberikan penegasan dan pengukuhan atas informasi yang disampaikan dalam suatu pesan atau pernyataan dengan menyebut nama Allah atau ciptaanNya. Allah swt menggunakan kalimat qasama atau aqsamu khusus dalam ungkapan sumpah-Nya mengindikasikan kesungguhan dan kebenaran serta tidak sedikitpun cenderung terhadap kepalsuan berita yang disampaikan dalam Al-Quran.

Baca juga: Inilah Huruf Qasam dalam Al-Quran dan Sebabnya

Sejalan dengan tanggapan manusia pada umumnya bahwa mereka juga memiliki kelemahan dan kekurangan dalam menyikapi berbagai persoalan kehidupan, sehingga terhadap orang-orang tertentu dibutuhkan penjelasan, penegasan dan penguatan ungkapan berita untuk mengantarkan kepada sikap responsif yang relevan dengan berita-berita yang allah sampaikan dalam al-Quran. Dengan demikian, Manna’ Khalil Al-Qatthan  dalam Mabahits-nya mengatakan bahwa tujuan qasam tidak lain adalah untuk menegaskan dan menguatkan berita-berita Al-Quran agar dapat meyakinkan orang-orang yang memiliki keraguan dan sikap penolakan.

Ungkapan qasam dalam Al-Quran diharapkan dapat meyakinkan manusia yang cenderung ragu-ragu dan menolak berita-berita Al-Quran, hingga menjadi argumentasi dan hujjah yang kuat, serta tidak terbantahkan. Manusia bersikap responsif terhadap syariat Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw, melalui dalih yang argumentatif, kredibel dan akuntabel agar menjadi hamba yang dapat sami’na wa ata’na kepada Allah swt. dan berhasil mengemban tugasnya sebagai khalifah fil ardh guna bekal keselamatannya kelak di akhirat. Wallahu A’lam.