Beranda blog Halaman 452

Kompleksitas Bahasa Arab Sebagai Bahasa Al-Quran

0
Kompleksitas Bahasa Arab
Kompleksitas Bahasa Arab

Berbicara perihal Kompleksitas Bahasa Arab Sebagai Bahasa Al-Qur’an mengingatkan pada sebuah maqalah fenomenal Amin al-Khulli yang mengatakan bahwa al-Qur’an adalah Kitab Berbahasa/ Sastra Arab terbesar. Sebab sudah bukan rahasia lagi bahwa al-Qur’an memuat kompleksitas bahasa audiens awalnya.

Penguasaan atas kompleksitas bahasa Arab menjadi kunci awal sebelum masuk pada samudera al-Qur’an yang tidak bertepi. Maka sudah menjadi kewajiban bagi seseorang yang ingin mempelajari al-Qur’an secara mendalam untuk menguasai bahasa Arab sebelum melanjutkan pada perangkat ilmu-ilmu lainnya yang dibutuhkan.

Ulama yang menyadari akan tingkat kesulitan menguasai bahasa Arab bagi umat Islam yang berasal bukan dari bangsa Arab, melakukan berbagai terobosan untuk memudahkan. Salah satunya ialah menyederhanakan kompleksitas bahasa Arab dengan menyusun kaidah-kaidah atau rumus-rumus struktur kebahasaan.

Kompleksitas Bahasa Arab

Turun di tanah Arab, menjadikan al-Qur’an mengakomodir unsur-unsur budaya Arab demi mampu menjalin interaksi dan menyampaikan pesan-pesan ilahiyah yang ada di dalamnya. Salah satu unsur budaya tersebut ialah bahasa. Bahasa Arab adalah bahasa yang diadopsi al-Qur’an sebagai media penyampaian pesan ilahi.

Sebagai bahasa al-Qur’an, bahasa Arab memiliki tingkat kompleksitas yang sangat tinggi. Beragamnya derivasi kata dan makna yang bisa dihasilkan hanya dari beberapa huruf yang menjadi kata dasarnya, menjadikan bahasa Arab terlihat sangat pantas diadopsi sebagai bahasa al-Qur’an.

Kekayaan kosa kata bahasa Arab tersebut dapat terlihat pada kata sederhana yang kerap kali digunakan maupun sudah umum diketahui maknanya oleh kebanyakan orang. Kata قال misalnya, yang terdiri dari tiga huruf yakni qaf, wau, lam dan memiliki makna asli bergerak. Secara umum kata قال ini dimaknai berbicara, namun perlu diketahui bahwa ada makna lain yang banyak orang kadang belum mengetahuinya yakni tidur siang.

Masih banyak kata-kata lain yang berakar sama namun memiliki makna yang berbeda. Sehingga penting untuk mengetahui siyaqul kalam (konteks pembicaraan) sehingga tidak salah dalam pengambilan makna. Perbedaan bunyi menghasilkan perbedaan makna inilah yang dijadikan alasan oleh Abul Aswad ad-Du’ali untuk membubuhkan harakat sehingga meminimalisir terjadinya kesalahan.

Baca Juga: Abu Aswad Ad-Du’ali dan Kisah Pemberian Tanda Baca dalam Mushaf Al-Quran

Beberapa Bukti Kompleksitas Bahasa Arab

Pada bagian ini akan ditampilkan beberapa kaidah kebahasaan yang menjadi salah satu bukti bahwa bahasa Arab adalah bahasa yang kompleks. Maka menghafal kaidah-kaidah atau teori-teori kebahasaan menjadi salah satu wasilah dalam upaya membuka jalan mempelajari al-Qur’an sampai mendalam. Kaidah-kaidah yang akan dijadikan sebagai demonstrasi bukti kompleksitas bahasa Arab antara lain:

  1. (كان + فعل مضارع (يفيد للمداومة (Kana + Fi’il Mudhari’ menunjukkan kebiasaaan yang berkesinambungan)

Kaidah ini menunjukkan suatu kebiasaan yang dahulu sering dilakukan dan berlanjut hingga saat ini atau jika yang dijelaskan adalah sosok tertentu, maka kebiasaan itu dilakukannya sampai akhir hayatnya. Sebagai contoh:

مَا الْمَسِيْحُ ابْنُ مَرْيَمَ اِلَّا رَسُوْلٌۚ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُۗ وَاُمُّهٗ صِدِّيْقَةٌ ۗ كَانَا يَأْكُلَانِ الطَّعَامَ ۗ اُنْظُرْ كَيْفَ نُبَيِّنُ لَهُمُ الْاٰيٰتِ ثُمَّ انْظُرْ اَنّٰى يُؤْفَكُوْنَ

“Al-Masih putra Maryam hanyalah seorang Rasul. Sebelumnya pun sudah berlalu beberapa rasul. Dan ibunya seorang yang berpegang teguh pada kebenaran. Keduanya biasa memakan makanan. Perhatikanlah bagaimana Kami menjelaskan ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan) kepada mereka (Ahli Kitab), kemudian perhatikanlah bagaimana mereka dipalingkan (oleh keinginan mereka).”

Penggalan ayat (كَانَا يَأْكُلَانِ الطَّعَام) jika ditelaah dengan kaidah ini, maka maknanya bahwa Isa As. dan Maryam As. layaknya manusia biasa, mereka senantiasa makan di kala lapar dan mereka tidaklah berpuasa sepanjang hari seakan tidak butuh makanan. Kebiasaan manusiawi ini mereka lakukan terus menerus sepanjang hayatnya.

Maka konsekuensi yang ingin disampaikan dari ayat ini bahwa baik Isa As. maupun Maryam As. memiliki kebiasaan layaknya manusia pada umumnya yakni makan di kala lapar. Maka kenapa keduanya masih diyakini sebagai Tuhan?

  1. (فعل مضارع (يفيد للتجدد (Fi’il Mudhari’ berfaidah pengulangan yang terjadi terus-menerus)

Kaidah ini menunjukkan fungsi fi’il mudhori’ yang memberi faidah akan suatu perkara yang terus berulang kejadiannya. Contohnya :

إِنَّ اللَّهَ لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ يُحْيِي وَيُمِيتُ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ

“Sesungguhnya Allah, bagi-Nya kekuasaan langit dan bumi, Dia yang yang menghidupkan dan Dia juga yang mematikan, dan tidak ada bagi kalian penolong selain Allah” (Q.S al-Taubah [9]: 112).

Kata (يُحْيِي وَيُمِيتُ)menunjukkan bahwa perkara “menghidupkan dan mematikan” adalah perkara yang akan senantiasa terjadi dan terus berulang sampai hari akhir kelak. Dan kedua perkara tersebut hanyalah satu fa’il (subjek)nya yakni Allah Swt.

  1. (اسم (يفيد للثبوت (Isim yang berfaidah penetapan atau pengukuhan)

Kaidah ini menunjukkan sebuah penetapan atau pengukuhan. Seperti halnya kata أنا كاتب dan أنا الكاتب. Kata أنا كاتب sederhanya dimaknai bahwasanya mutakkalim baik dia menulis maupun tidak maka dalam eksistensinya ia tetaplah menjadi menulis. Hal ini tentu berbeda dengan kata yang kedua أنا الكاتب, penambahan “al” (penanda ma’rifat) di sana mengubah maknanya menjadi “saya adalah satu-satunya penulis”. Adapun dalam al-Qur’an contohnya:

هُوَ اللّٰهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ لَهُ الْاَسْمَاۤءُ الْحُسْنٰىۗ يُسَبِّحُ لَهٗ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ

“Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Dia memiliki nama-nama yang indah. Apa yang di langit dan di bumi bertasbih kepada-Nya. Dan Dialah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.”

Maka konsekuensi dari kaidah ini, penggalan ayat tersebut harus dimaknai dengan: “Dialah Allah satu-satunya pencipta, satu-satunya pengada, satu-satunya pembentuk rupa”. Dengan begitu, tidak ada pencipta, pengada/penemu, perupa yang mampu menandingi-Nya. Semuanya khayali, hanya Dia-lah yang sejati.

Baca Juga: Kosa Kata Bahasa Asing dalam Al-Quran

  1. Mashdar

Mashdar biasanya digunakan sebagai pengganti fi’il, namun ternyata menurut Prof. Abdul Mustaqim posisi mashdar tersebut juga juga memiliki implikasi makna yang lebih dalam. Contohnya pada  Q.S al-Anbiya [21]: 107:

 وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

Kata “rahmat” disana tidak hanya menunjukkan bahwa Rasulullah adalah pembawa rahmat (Islam) melainkan juga diri Rasulullah sendirilah rahmat tersebut.

Maka dari salah satu kaidah yang menunjukkan kompleksitas bahasa arab sebagai bahasa al-Qur’an ini, didapati sebuah pelajaran penting bahwa Islam sebagai agama rahmat diturunkan melalui perantara manusia yang dirinya sendiri juga menjadi rahmat bagi semesta alam. Jadi masih adakah alasan bagi pengikutnya untuk saling melaknat? Wallahu a’lam bishshawab.

Penjelasan Al-Quran tentang Fenomena Alam Semesta Bertasbih kepada Allah

0
Fenomena Alam Semesta Bertasbih kepada Allah
Fenomena Alam Semesta Bertasbih kepada Allah

Apakah yang bertasbih kepada Allah adalah manusia saja? Apabila kalian mengira bahwa selama ini yang bertasbih kepada Allah hanya manusia saja adalah keliru. Karena banyak ayat Al-Quran yang menerangkan bahwa alam semesta bertasbih kepada Allah SWT. Semua makhluk di dunia ini bertasbih kepada Allah. Salah satu ayat Al-Quran yang menjelaskan tentang hal ini adalah surat Al-Isra ayat 44:

تُسَبِّحُ لَهُ ٱلسَّمَٰوَٰتُ ٱلسَّبْعُ وَٱلْأَرْضُ وَمَن فِيهِنَّ وَإِن مِّن شَىْءٍ إِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِۦ وَلَٰكِن لَّا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ إِنَّهُۥ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا

“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.”

Seluruh alam bertasbih kepada Allah, baik makhluk hidup maupun benda mati

Beberapa kali Allah telah menerangkan dalam Al-Quran tentang tasbihnya seluruh makhluk di alam semesta. Baik itu makhluk hidup seperti hewan-hewan dan tumbuh-tumbuhan, maupun benda mati seperti gunung-gunung. Ayat yang menjelaskan tentang hal tersebut adalah surah An-Nur ayat 41:

أَلَمْ تَرَ أَنَّ ٱللَّهَ يُسَبِّحُ لَهُۥ مَن فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱلطَّيْرُ صَٰفَّٰتٍ كُلٌّ قَدْ عَلِمَ صَلَاتَهُۥ وَتَسْبِيحَهُۥ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ

Tidaklah kamu tahu bahwasanya Allah: kepada-Nya bertasbih apa yang di langit dan di bumi dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengetahui (cara) sembahyang dan tasbihnya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.”

Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim menuturkan bahwa yang dimaksud dengan apa yang ada di langit dan bumi adalah seluruh makhluk baik dari kalangan malaikat, manusia, jin, semua hewan serta benda mati. Hal ini pun senada dengan keterangan dari Wahbah Zuhayli dalam Tafsir Al-Wajiz bahwa seluruh makhluk Allah yang bertasbih itu berasal dari makhluk hidup seperti bangsa hewan maupun benda-benda mati.

Dalam suatu hadis riwayat Abu Hurairah, Rasulullah SAW pernah menyebutkan bahwa semut juga bertasbih. Rasululullah pada saat itu menceritakan kepada sahabat-sahabatnya bahwa pada zaman dahulu Nabi Musa pernah duduk dibawah pohon yang rindang. Pada saat bersantai tiba-tiba ia merasa kesakitan karena ada bagian tubuhnya yang digigit seekor semut. Nabi Musa pun marah lantas menyuruh pasukannya untuk membakar sarang semut tersebut. Namun Nabi Musa ditegur Allah perihal tersebut seperti yang disabdakan Rasulullah SAW “Hanya karena kamu digigit oleh seekor semut, lalu kamu membinasakan sebuah umat yang bertasbih” (HR Bukhari Muslim).

Kisah ini serta ayat-ayat yang difirmankan oleh Allah membuktikan bahwa hewan-hewan seperti burung dan semut juga turut bertasbih. Melalui ayat-ayat dan kisah ini indikasinya tidak hanya dua jenis hewan di atas. Melainkan seluruh hewan di alam ini pun juga bertasbih menyucikan dan mengagungkan nama Allah, alam semesta bertasbih.

Dalam ayat lain Allah memberikan keterangan perihal benda mati yang juga bertasbih. Allah memberikan satu contoh yaitu gunung-gunung. Ayat-ayat tersebut pada waktu itu merujuk kepada Nabi Daud karena ia adalah salah satu nabi yang diberikan mukjizat oleh Allah mengerti bahasa hewan dan memiliki kerajaan bukan dari manusia saja, melainkan dari makhluk lain. Gunung-gunung tersebut diperintahkan Allah untuk bertasbih bersama-sama dengan Nabi Daud. Adapun ayat-ayat tersebut terdapat dalam surah surah Saba’ ayat 10:

وَلَقَدْ آتَيْنَا دَاوُدَ مِنَّا فَضْلا يَا جِبَالُ أَوِّبِي مَعَهُ وَالطَّيْرَ وَأَلَنَّا لَهُ الْحَدِيدَ

Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Daud karunia dari Kami. (Kami berfirman), “Hai gunung-gunung dan burung­-burung, bertasbihlah berulang-ulang bersama Daud.”

Kemudian juga dalam surah Shad ayat 18-19:

إِنَّا سَخَّرْنَا الْجِبَالَ مَعَهُ يُسَبِّحْنَ بِالْعَشِيِّ وَالإشْرَاقِ . وَالطَّيْرَ مَحْشُورَةً كُلٌّ لَهُ أَوَّابٌ

Sesungguhnya Kami menundukkan gunung-gunung untuk bertasbih bersama dia (Daud) di waktu petang dan pagi, dan (Kami tundukkan pula) burung-burung dalam keadaan terkumpul. Masing-masingnya amat taat kepada Allah.”

Seperti penjelasan oleh Ibnu Katsir dan Wahbah Zuhayli di atas, bahwa pada dasarnya semua makhluk Allah itu bertasbih. Baik yang di langit maupun di bumi, baik yang hidup ataupun mati. Semua alam bertasbih memuji Allah tanpa terkecuali. Dan bahwa manusia yang congkak saja yang tidak mau bertasbih memuji dan menyucikan-Nya.

Baca juga: Kenali Kandungan Surat Al-Waqiah dan Beberapa Keuatamaannya

Bertasbih dengan caranya masing-masing

Pada pambahasan di atas telah diterangkan bahwa semua makhluk di alam ini bertasbih kepada Allah. Lalu yang menjadi pertanyaan, bagaimana cara mereka bertasbih?

Ibnu Musthafa Al-Maraghi dalam Tafsir al-Maraghi mendefinisikan tasbih adalah suatu bentuk penyucian nama dan dzat Allah dari segala macam sifat yang tidak pantas disandang-Nya. Sedang Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim menjelaskan pengertian yang lebih lebar bahwa semua makhluk yang ada di langit dan di bumi turut menyucikan Allah, mengagungkan, memuliakan, dan membesarkan-Nya dari apa yang dikatakan orang-orang musyrik. Seluruh alam semesta mempersaksikan keesaan Allah sebagai Tuhan mereka.

Mengenai cara bertasbihnya makhluk, Al-Maraghi dalam Tafsir al-Maraghi memberikan keterangan bahwa mereka betasbih dengan cara masing-masing. Jika makhluk tersebut mempunyai akal seperti manusia maka cara tasbihnya adalah dengan beribadah seperti menyebut asma Allah dengan lisannya. Dalam hadis riwayat Abu Hurairah, Rasululullah pun memberikan tuntutan mengenai amalan tasbih untuk umatnya, “barang siapa yang mengucapkan subhanallah wa bihamdih dalam sehari seratus kali maka kesalahan-kesalahannya dihapuskan meskipun seperti buih di lautan” (Muttafaqun ‘alaih).

Baca juga; Alasan Mengapa Surat Al-Ikhlas Sebanding Sepertiga Al-Quran Menurut Imam Ghazali

Al-Mahalli dan Al-Suyuthi dalam Tafsir Jalalayn memberikan penjelasan bahwa seluruh tasbih dan shalatnya makhluk dengan caranya masing-masing, sedang Allah yang mengetahui apa yang mereka perbuat. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah juga sependapat dengan hal itu, beliau menambahkan penjelasan bahwa bertasbihnya makhluk adalah dengan menjalankan tugasnya sebagaimana fitrahnya masing-masing. Hal ini juga didasarkan pada hadis Rasulullah ketika beliau melarang umatnya untuk membunuh seekor katak “suara katak adalah tasbihnya,” (HR An-Nasai).

Pendapat-pendapat para mufassir di atas juga disepakati oleh Buya Hamka dalam Tafsri Al-Azhar. Ia memberikan tambahan komentar bahwa seluruh makhluk Allah di alam semesta ini bertasbih menyucikan-Nya dan mengangungkan-Nya baik dengan lisan maupun dengan isyarat aktivitas tubuhnya.

Kebesaran Allah memang tidak akan berkurang meskipun manusia tidak mengagungkan-Nya, bahkan jika pun manusia tidak menyembah-Nya. Namun tujuan bertasbih adalah untuk manusia sendiri. Manusia yang hakikatnya adalah seorang hamba maka selayaknya ia mengagungkan nama-Nya dan menyucikan-Nya. Menyucikan dan mengangungkan-Nya adalah wujud amal seorang hamba yang saleh karena ia tunduk dan taat kepada Sang Penciptanya.

Kenali Kandungan Surat Al-Waqiah dan Beberapa Keutamaannya

0
Kandungan Surat Al-Waqiah
Kandungan Surat Al-Waqiah

Surat Al-Waqiah sudah sangat populer di tengah-tengah masyarakat. Kabar tentang keutamaan surat ini, yaitu sebagai bacaan yang dapat mengundang datangnya rezeki merupakan salah satu sebab kepopulerannya. Benarkah demikian? Selain mengenai keutamaan tersebut, apa saja isi kandungan surat Al-Waqiah? Mari kita simak muqaddimah tafsir surat Al-Waqiah berikut.

Surat Al-Waqiah terdiri dari 96 ayat, ada yang mengatakan pula 95 ayat. Muhammad ibn Umar Nasif dalam Bithaqat at-Ta’rif bi Suwar al-Mushaf asy-Syarif  menyebut urutan turunnya surat ini yaitu surat ke 45, diturunkan setelah surat Taha dan sebelum surat Asy-Syu’ara. Menurutnya, penamaan surat Al-Waqiah karena ayat pembuka di dalamnya, yaitu dibuka dengan kalimat ‘Al-Waqiah’.

Baca Juga: Tiga Keutamaan Membaca Surah Al-Waqiah

Kandungan Surat Al-Waqiah

Surat yang tergolong makkiyah ini, menurut beberapa ulama membahas tema besar tentang kiamat, mulai dari penegasan tentang benar-benar akan datangnya hari kiamat, keadaan manusia di hari kiamat, keadaan ahli surga dan ahli neraka, balasan bagi orang yang bersyukur dan kufur. Oleh karena tema yang dikandungnya, surat Al-Waqiah disebut juga oleh beberapa mufasir seperti Az-Zuhaili dengan Surat Al-Qiyamat

Az-Zuhaili dalam Tafsir Al-Wasith menjelaskan bahwa surat ini membincang tentang penegasan adanya hari kiamat, dan saat itu akan benar-benar terjadi. Mufasir asal tanah Syam ini melanjutkan bahwa pada kiamat nanti akan ada dua kelompok manusia berdasarkan amal perbuatan mereka, sebagaimana disampaikan dalam surat. Satu kelompok manusia diberi nama ashab al-yamin, sedang kelompok lainnya adalah ashab asy-syimal.

Termasuk dalam kelompok yang pertama adalah para Nabi, Rasul, orang-orang yang membenarkan mereka dan berjuang di jalan mereka. Balasan untuk kelompok ini adalah tempat yang spesial, tempat paling terhormat, surga yang paling atas. Dalam kelompok ini juga ada klasifikasi khusus yang disebut dengan ashab al-maymanah, balasan bagi mereka antara lain surga yang paling bawah. Sementara untuk ashab asy-syimal (kebalikan ashab al-yamin) ini berada di neraka jahim.

Ada tambahan sedikit dari Ibnu Asyur mengenai kandungan surat Al-Waqiah yang ditulis dalam At-Tahrir wa At-Tanwir. Di samping bahasan tentang penegasan tentang hari kiamat, gambaran mengenai manusia, balasan yang manusia peroleh, surat ini juga bertujuan menginformasikan tentang bukti-bukti ke-Maha Kuasa-an Allah, baik berupa fenomena alam, maupun dalam bentuk menghidupkan dan mematikan makhlukNya.

Baca Juga: Spiritualitas dalam Proses Bercocok Tanam: Tafsir Surat Al-Waqiah Ayat 63-67

Satu lagi isi dalam surat Al-Waqiah yaitu penguatan tentang status Al-Quran. Kitab suci ini benar-benar bersumber dari Allah. Al-Quran merupakan berkah yang diberikan Allah kepada manusia, namun sayang sekali sedikit yang menyukurinya, mengambil pelajaran dan memahami petunjuknya, yang banyak adalah mendustakannya dan abai pada kandungan serta tuntunannya.

Ar-Razi dalam Mafatih Al-Ghayb mengkombinasi dua keterangan di atas. Bedanya, ia mendapatkan kesimpulan ini berdasar pada Analisa munasabah atau keterkaitan surat Al-Waqiah dengan surat sebelumnya, dan juga munasabah keseluruhan surat dari awal sampai akhir. Pada intinya, surat ini menetapkan (kembali) balasan atas perbuatan manusia, pahala maupun siksa, juga informasi tentang bukti-bukti kekuasaan dan keagungan Allah swt.

Keutamaan Surat Al-Waqiah 

Beberapa keutamaan surat Al-Waqiah antara lain, pertama dan yang sudah sangat populer adalah orang yang membaca surat Al-Waqiah dapat terhindar dari kemiskinan. Dinukil oleh Al-Qurthubi dalam tafsirnya riwayat tentang kekawatiran Ibn Mas’ud -yang waktu itu dalam keadaan sakit parah- terhadap kehidupan anak perempuannya. Ia kawatir anak perempuannya akan melarat ketika ditinggal olehnya, dan ia pun memerintah kepada anaknya untuk membaca surat Al-Waqiah setiap malam.

Hal ini berdasar pada hadis Rasulullah,

مَنْ قَرَأَ سُوْرَةَ الْوَاقِعَةَ كُلَّ لَيْلَةٍ لَمْ تُصِبْهُ فَاقَةٌ أَبَدًا

“Siapa yang membaca surat Al-Waqiah setiap malam, maka ia tidak akan tertimpa kemiskinan (kemelaratan) selamanya.”

Kedua, menguatkan keutamaan yang pertama, surat Al-Waqiah sebagai surat yang mendatangkan rezeki. Adalah riwayat dari sahabat Ibnu Abbas dan Anas yang mendasarinya. Riwayat ini dikutip oleh Asy-Syaukani dalam Fathul Qadir. Dalam riwayat ini disebutkan bahwa surat Al-Waqiah adalah surat al-ghina (surat yang mendatangkan kecukupan harta), dan oleh karenanya diperintah untuk membaca dan mengajarkannya kepada istri dan anak-anak.

«سورة الواقعة سورة الغنى، فاقرؤوها، وَعَلِّمُوهَا أَوْلَادَكُمْ»

“Surat Al-Waqiah adalah surat yang mendatangkan rezeki (kekayaan), maka bacalah dan ajarkan syrat ini kepada anak-anakmu!” Dalam versi sahabat Anas, ada tambahan “ajarkanlah kepada istri dan anak-anakmu!”

Baca Juga: Surat Al-Waqi’ah Ayat 77-80: Makna “Muthahharun” Menurut Para Mufasir

Ketiga, surat Al-Waqiah termasuk salah satu surat yang membuat Rasulullah beruban. Dalam Sunan At-Tirmidzi dinarasikan bahwa suatu ketika Abu Bakar memberi tahu Nabi bahwa ia telah beruban, dan Nabi menimpali dengan

شَيَّبَتْنِي هُودْ وَالْوَاقِعَةُ وَالْمُرْسَلَات وَ عَمَّ يَتَسَاءَلُون و إِذَا الشَّمْسُ كُوِّرَتْ

“Aku telah dibuat beruban oleh surat Hud, Al-Waqiah, Al-Mursalat, An-Naba’ (‘Amma Yatasa’alun) dan At-Takwir.”

Dikonfirmasi oleh Al-Mubarakfuri dalam Tuhfat Al-Ahwadziy bahwa yang dimaksud redaksi ‘telah dibuat beruban’ di sini bukan berarti uban Rasulullah bertambah, melainkan ini adalah ungkapan Rasulullah yang berhubungan dengan dekatnya waktu kematian. Ini tidak lain karena kandungan Al-Waqiah tidak jauh dari seputar kiamat dan kehidupan setelah kematian.

Demikian beberapa kandungan surat Al-Waqiah dan keutamaannya. Ini dimaksudkan sebagai muqaddimah, perkenalan awal dengan surat yang sangat populer di masyarakat sebelum menelaahnya lebih jauh. Mari kita mulai membacanya, merenunginya dan semoga dapat mengambil petunjuk-petunjuknya. Amin.

Wallahu A’lam.

Tafsir Surat Al Tin Ayat 1

0
tafsir surat al tin
Tafsiralquran.id

Setelah pada pembahasan yang telah lalu berbicara mengenai nikmat yang Allah berikan kepada Nabi Muhammad saw dan agar nikmat itu selalu disyukuri, Tafsir Surat Al Tin Ayat 1 berbicara mengenai buah Tin dan Zaitun. Sebagai pembuka, Allah swt menjadikan buah Tin dan Zaitun sebagai objek sumpah.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al Insyirah Ayat 5-8


Penjelasan mengenai buah Tin dan Zaitun dalam Tafsir Surat Al Tin Ayat 1 ini diawali dengan pembicaraan mengenai perbedaan pendapat ulama mengenai arti dari al-Tin dan al-Zaitun. Setelah itu pemebahasan beralih pada kajian ilmiah atas kandungan dari buah Tin dan Zaitun. Kandungan di dalamnya sangat bermanfaat bagi manusia.

Ayat 1

Dalam ayat ini, Allah bersumpah dengan tin dan zaitun. Ada yang berpendapat bahwa tin dan zaitun adalah nama buah yang dikenal sekarang, yang menunjukkan kelebihan kandungan yang dimiliki kedua buah itu. Ada pula yang berpendapat bahwa yang dimaksud adalah tempat banyaknya tin dan zaitun itu tumbuh, yaitu Yerusalem, tempat Nabi Isa lahir dan menerima wahyu.

Dua nama tumbuhan, ara (at-tin) dan zaitun (az-zaitµn), dan dua tempat (Bukit Sinai—tempat Nabi Musa memerima wahyu; dan kota yang aman (Mekah)—tempat Nabi Muhammad menerima wahyu), digunakan Allah untuk menjadi semacam bukti kebenaran sumpah-Nya.

Beberapa ulama menyatakan bahwa at-tin dan az-zaitµn sebenarnya juga menunjuk pada dua tempat. At-tin adalah bukit di sekitar Damaskus, Siria. Sementara az-zaitµn adalah tempat Nabi Isa menerima wahyu.

Ada juga yang memahami at-tin dan az-zaitµn sebagai jenis tumbuhan. Buah ara (at-tin) adalah buah dari sejenis pohon yang banyak tumbuh di kawasan Timur Tengah. Buahnya bila telah matang berwarna coklat, dan mempunyai biji seperti tomat. Rasanya manis dan dinilai memiliki gizi yang tinggi.

Penelitian ilmiah menunjukkan bahwa buah ara memiliki kandungan serat yang sangat tinggi dibandingkan buah lainnya. Satu buah ara yang sudah dikeringkan mengandung 20% serat dari yang dianjurkan untuk dikonsumsi orang setiap harinya.

Sebagaimana diketahui, penelitian yang dilakukan dalam beberapa dekade terakhir menunjukkan bahwa serat dari tumbuhan sangat penting agar alat pencernaan dapat berfungsi dengan baik. Serat akan membantu sistem pencernaan dan juga dapat mencegah seseorang terkena kanker usus.

Kandungan yang dimiliki oleh buah ara juga sangat menjanjikan. Buah ini mengandung antioksidan yang dapat mencegah timbulnya beberapa penyakit.

Antioksidan berperan untuk menetralisir beberapa unsur yang merusak (free radicals), baik yang dihasilkan di dalam tubuh (karena beberapa reaksi kimia dalam pencernaan) atau masuk ke dalam tubuh dari luar. Kandungan c pada buah ara juga tinggi. Bahan Phenol ini berfungsi sebagai antiseptik untuk membunuh mikroba.


Baca juga: Mengenal Lebih Jauh Tentang Tafsir Ilmi: Pengertian dan Perkembangannya


Penelitian di Universitas Rutgers di Amerika Serikat mengungkapkan bahwa kandungan yang tinggi dari omega-3, omega-6 dan phytosterol, maka buah ara sangat potensial untuk menurunkan kadar kolesterol dalam darah. Sebagaimana diketahui, omega-3 dan omega-6 tidak dapat diproduksi oleh tubuh. Keduanya hanya dapat diperoleh dari asupan makanan.

Kedua jenis asam lemak ini juga sangat berpengaruh terhadap kinerja jantung, otak, dan sistem syaraf. Phytosterol sendiri berfungsi untuk menghilangkan kolesterol yang diperoleh dari daging, sebelum kolesterol tersebut masuk ke dalam sistem jaringan darah.

Pohon ara mengandung mineral yang cukup lengkap dibandingkan buah lainnya. Dari 40 gram buah ara mengandung 244 mg kalium (sebanyak 7% dari kebutuhan per hari), 53 mg kalsium (6% dari kebutuhan per hari), dan 1,2 mg besi (6% dari kebutuhan per hari). Tingginya kadar kalsium ini hanya dikalahkan oleh jeruk.

Buah ara juga dipercaya mempercepat penyembuhan pada seseorang yang sedang sakit. Buah ini mengandung bahan-bahan yang diperlukan agar badan si pasien cepat segar dan berenergi. Komponen nutrisi utama yang dikandung buah ara adalah gula. Persentasenya cukup tinggi, yaitu sebanyak 51% sampai 74% dari seluruh bagian buah.

Demikian pula halnya dengan zaitun. Sederetan penelitian telah mengungkapkan berbagai manfaat buah zaitun untuk kesehatan manusia. Zaitun, yang diberi pujian sebagai “pohon yang penuh berkah” dalam ayat 35 Surah an-Nµr/24, adalah tumbuhan perdu.

Jenis-jenisnya tersebar di kawasan sekitar Laut Tengah. Pohonnya dapat mencapai umur ratusan tahun. Buah zaitun dapat dipanen untuk masa yang sangat panjang.

Sebagai bahan makanan, buah zaitun mengandung beberapa unsur yang diperlukan manusia, seperti protein yang cukup tinggi, zat garam, besi dan fosfor, vitamin A dan B. Zaitun juga dikenal sebagai penghalus kulit dan digunakan dalam industri sabun.

Minyaknya juga memiliki kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki minyak hewani atau minyak nabati lainnya. Diketahui bahwa minyak zaitun menyehatkan jantung dan pembuluh darah.

Beberapa kegunaan minyak zaitun adalah untuk kesehatan jantung dan pembuluh darah, pencegahan kanker, arthistis, memperlambat proses penuaan, membantu pertumbuhan pada anak-anak, menurunkan tekanan darah tinggi, serta kegunaan lain bagi berbagai organ bagian dalam.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Tin Ayat 2-3


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat Az-Zumar Ayat 42: Dua Jenis Kematian menurut Al-Quran

0
Dua jenis kematian
Dua jenis kematian

Mati merupakan kondisi di mana fisik manusia tidak lagi bisa bergerak. Namun bukan hanya sebatas fisik yang tidak bergerak, melainkan ketidaksadaran akal fikiran. Umumnya definisi, kematian adalah tidak adanya nyawa lagi dalam diri manusia. Jika definisi tersebut disepakati, maka Al-Quran pun juga memberikan sebuah penjelasan mengenai jenis-jenis kematian pada manusia. Dalam surat Az-Zumar ayat 42, Allah menjelaskan bagaimana keadaan jiwa manusia tatkala ia dimatikan. Dan di sana diterangkan pula dua jenis kematian yang terjadi pada manusia.

Allah memegang jiwa setiap manusia

Adapun lafadz surat Az-zumar ayat 42 adalah sebagai berikut:

ٱللَّهُ يَتَوَفَّى ٱلْأَنفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَٱلَّتِى لَمْ تَمُتْ فِى مَنَامِهَا ۖ فَيُمْسِكُ ٱلَّتِى قَضَىٰ عَلَيْهَا ٱلْمَوْتَ وَيُرْسِلُ ٱلْأُخْرَىٰٓ إِلَىٰٓ أَجَلٍ مُّسَمًّى ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَءَايَٰتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir.”

Baca juga: Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 3-4: Prinsip Keseimbangan Hidup dalam Melihat Kuasa Allah

Al-Asyqar dalam Zubad al-Tafsir menjelaskan bahwa Allah lah yang memegang ruh-ruh sesudah ajal mereka tiba. Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim memberikan tambahan penjelasan perihal jiwa-jiwa ini. Ibnu Katsir merujuk sebuah hadis marfu’ dari Bukhari dan Muslim yang diriwayatkan Ibnu Mandah bahwa terdapat tempat tersendiri bagi berkumpulnya jiwa-jiwa tersebut. Tempat tersebut bernama mala’ul a’la.

Allah memang bertanggung jawab atas seluruh jiwa makhluk-Nya. Mau berapa pun banyak makhluk yang telah Ia ciptakan di alam semesta ini, tidak akan bisa manusia berlari atas takdir ini meski ia berusaha sekuat tenaga untuk menghindari. Manusia juga tidak akan pernah bisa bersembunyi ke manapun jika telah tiba masa ajalnya nanti. Karena semua ruang di alam semesta ini sejatinya adalah makhluk Allah juga, dan jiwa-jiwa manusia tersebut sebenarnya juga milik Allah. Jadi, tidak pantas jika manusia merasa sombong sedikit pun dalam hidupnya.

Kematian besar (kubra) dan kematian kecil (sughra)

Selain memberikan keterangan tentang tanggung jawab Allah atas jiwa hamba-Nya, dalam surat Az-Zumar juga dijelaskan mengenai keadaan jiwa manusia pada saat ajalnya tiba. Hal inilah yang dinamakan kematian. Namun menurut ayat ini, ada dua jenis kematian yang dialami manusia.

Kematian pertama dinamakan kematian besar (kubra). Dalam an-Nafahat al-Makiyyah, As-Syawi menjelaskan bahwa kematian kubra ini terjadi jika jadwal ajal yang telah ditetapkan Allah terhadap manusia itu tiba, anusia akan dimatikan oleh malaikat yang bertugas mencabut nyawa. Kemudian jiwa itu ditahan Allah di alam barzakh dan tidak bisa kembali ke tubuhnya lagi di dunia.

Sedangkan kematian kecil (sughra) adalah diangkatnya jiwa manusia pada saat ia tertidur. Allah pun juga bertanggung jawab terhadap jiwa-jiwa ini. Mereka ditahan oleh-Nya, namun tidak hanya sementara karena jadwal kematiannya belum tiba. Jiwa-jiwa yang ditahan ini kemudian dilepaskan Allah ketika ia bangun dan tersadar.

Baca juga: Maqashid Al-Quran dari Ayat-Ayat Perang [3]: Menghormati Jiwa Hingga Menjaga Alam

Sebab itu pula Rasulullah menganjurkan umatnya dalam sebuah hadis riwayar Abu Hurairah “Jika salah seorang dari kalian akan beristirahat di atas kasurnya, maka hendaklah ia menyapu tempat tidurnya dengan ujung sarungnya. Sebab ia tidak tau apa yang sebelumnya ada di atas Kasur itu. kemudian hendaklah ia berdo’a: “Dengan nama-Mu Wahai Tuhanku aku rebahkan tubuhku, dan dengan nama-Mu aku bangun. Jika Engkau memegang jiwaku, maka kasihanilah ia; dan jika Engkau melepaskannya, maka peliharalah ia sebagaimana Engkau memelihara hamba-hamba-Mu yang saleh.”” (HR Bukhari Muslim)

Al-Mahalli dan As-Suyuthi dalam Tafsir Jalalayn memberikan pengertian lebih lanjut mengenai kondisi jiwa-jiwa manusia ini. Jiwa-jiwa yang dilepaskan itu hanyalah dimatikan perasaannya saja, tetapi ia masih hidup. Hal ini terjadi pada kematian kecil (sughra) atau yang terjadi pada orang yang tertidur. Berbeda halnya dengan jiwa yang benar-benar dimatikan, yaitu kematian kubra. Ruh dan perasaan mereka dimatikan sedang jiwanya diangkat dan ditahan di alam barzakh.

Baca juga: Jangan Pernah Berputus Asa: Tafsir Surat Az-Zumar Ayat 53

As-Syawi dalam an-Nafahat al-Makiyyah juga memberikan tambahan penjelasan bahwa jiwa antara manusia mati kubra dan mati sughra ini bisa bertemu di alam barzakh dan berbincang-bincang. Namun, dalam kematian sughra, jiwa mereka akan kembali ke tubuhnya di dunia lagi ketika ia bangun tidur. Wallahu a’lam[]

Inilah Kisah-Kisah Israiliyat dalam Tafsir Al-Munir karya Syekh Nawawi Al-Bantany, Begini Penjelasannya

0
kisah israiliyat
kisah israiliyat

Kita tentu tidak asing dengan kisah Israiliyat. Israiliyat adalah kisah atau kabar tentang masa silam yang berisi kisah tentang para nabi atau orang shalih lainnya. Kisah Israiliyat sebenarnya kisah yang bersumber dari ahli kitab, yang mayoritas bersumber dari orang-orang Yahudi yang masuk agama Islam. Dalam salah satu tafsir Al-Quran karya Ulama Nusantara, Syekh Nawawi al-Bantany yaitu Tafsir Al-Munir sangat sarat akan nuansa kisah Israiliyat di dalamnya.

Kisah-kisah Israiliyat yang Dipandang Benar

Dalam Tafsir Al-Munir terdapat banyak kisah Israiliyat, adapun di sini penulis ingin memaparkan kisah Israiliyat yang dipandang benar karena didukung oleh dalil-dalil dari Al-Quran dan hadis-hadis Nabi SAW yang sahih.

Ketika menafsirkan firman Allah dalam Q.S. al-Kahfi/18: 60, Syaikh Nawawi mengemukakan sebuah kisah berikut ini.

“Nabi Musa a.s telah meyakini bahwa tidak ada seorang pun di muka bumi ini yang lebih pandai daripada aku. Lalu Allah berfirman, “Hai Musa, sesungguhnya Aku mempunyai seorang hamba di muka bumi ini yang sangat tekun beribadah kepada-Ku melebihi kamu dan dis lebih pandai daripada kamu yaitu Khidr. “Kemudian Nabi Musa berkata, “Wahai Tuhanku, berilah aku petunjuk untuk menemuinya.”

Maka Allah berfirman kepadanya, “Ambillah seeokor ikan asin dan pergilah ke tepi laut sehingga engkau menjumpai sebuah batu besar, di dekatnya ada mata air kehidupan, maka percikkanlah airnya itu kepada ikan tersebut sehingga ikan itu hidup kembali, maka di sanalah engkau akan  bertemu dengan Khidr.” Kemudian Nabi Musa mengambil seekor ikan yang disimpannya di dalam sebuah keranjang. Kemudian ia berpesan kepada muridnya (Yusya bin Nun bin Afrayim bin Yusuf a.s.) “Apabila ikan itu menghilang beritahulah aku. Lalu keduanya pergi berjalan kaki.”

Kisah ini dipandang benar, karena selain ada isyarat dalam Al-Quran surat al-Kahfi ayat 60 dan ayat-ayat sesudahnya atas kebenaran kisah tersebut, juga kisah itu diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dalam kitab Sahih keduanya dari sahabat Ubay bin Ka’b.

Baca juga: Israiliyat Dalam Tafsir, Validkah? Berikut Pandangan Ibnu Khaldun

Kisah Nabi Sulaiman a.s.

Ketika menafsirkan firman Allah Q.S. Shaad/38:34 Syaikh Nawawi mengemukakan sebuah kisah berikut ini.

“Diriwayatkan dari Nabi saw bahwa beliau telah bersabda, “Nabi Sulaiman a.s. telah berkata, “Sungguh mala mini aku akan menggauli sebanyak tujuh puluh istri. Setiap istri itu tentu akan melahirkan anak yang ahli menunggang kuda yang digunakan untuk berjuang di jalan Allah. Namun ia tidak mengucapkan insyaallah ta’aala. Lalu ia menggauli istri-istrinya itu, namun tidak ada yang hamil kecuali hanya seorang istrinya yang melahirkan anak dalam keadaan cacat. Kemudian anaknya itu dibawa ke atas singgasananya lalu diletakkan di atas pangkuannya. Demi Dzat yang diriku berada dalam kekuasaan-Nya, seandainya ia mengucapkan:insyaallah, tentu mereka berjuang di jalan Allah dengan menunggang kuda.”

Kisah ini juga diipandang benar, karena selain ada isyarat dalam Q.S. Shaad ayat 34, ini juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya. Imam Muslim juga dalam kitab Shahihnya, dan Imam at-Tirmidzi dalam kitab Sunannya.

Kisah-kisah Israiliyat yang Dipandang Tidak Benar

Kisah-kisah Israiliyat berikut ini dipandang tidak benar karena bertentangan dengan syariat islam, tidak didukung oleh Al-Quran dan hadis yang sahih atau tidak bisa diterima oleh akal yang sehat. Misalnya Kisah Nabi Ayyub di bawah ini,

Ketika menafsirkan Q.S. al-Anbiya’/21:83, Syaikh Nawawi mengemukakan sebuah kisah berikut ini.

“Nabi Ayyub a.s. itu adalah orang Rum dari keturunan ‘Ish bin Ishaq dan ibunya dari keturunan Nabi Luth a.s. Allah telah menjadikannya seorang nabi dan telah memberikannya harta yang banyak berupa binatang baik ternak maupun yang melata dan kebun. Allah juga telah mengarunia beberapa anak kepadanya baik laki-laki maupun perempuan. Beliau sangat penyayang terhadap orang-orang miskin, menanggung beban anak-anak yatim, janda-janda, dan memuliakan tamu.

Lalu Allah Ta’ala memberi ujian kepadanya dengan merobohkan sebuah rumah yang membinasakan anak-anaknya, melenyapkan segala hartanya dan menimpakan penyakit di badannya selama delapan belas tahun. Dari atas kepala sampai ujung kakinya keluar kutil-kutil yang menimbulkan rasa gatal yang sangat dahsyat. Beliau menggaruknya dengan kuku-kukunya sehingga kuku-kukunya itu rontok. Kemudian beliau menggaruknya dengan tembikar dan batu, dan terus-menerus menggaruknya sampai dagingnya berjatuhan dan berbau busuk. Kemudian beliau diusir oleh penduduk kampungnya dan mereka meletakkannya di atas sampah. Lalu dibuatkan untuknya sebuah saung (semacam kemah)”.

Baca juga: Bagaimana Kisah Harut dan Marut Sebenarnya dalam Al-Quran?

Nabi Ayyub a.s. adalah salah seorang nabi dari para nabi kaum Bani Israil. Dengan demikian kisah tersebut adalah kisah Israiliyat yang dikemukakan secara panjang lebar dalam perjanjian lama. Sedangkan yang mempopulerkan kisah itu kepada kaum Muslim khususnya kepada ulama ahli tafsir, sesuai dengan penelitian Ibn Kasir adalah Wahb bin Munabbbih. Seorang ulama ahli tafsir dari Yaman yang berasal dari agama Yahudi, ia termasuk orang yang banyak meriwayatkan kisah israiliyat.

Yaqut al-Hamawi berkata, “Wahb adalah orang yang banyak meriwayatkan kisah israiliyat yang diambilnya dari kitab-kitab terdahulu.” Bahkan menurut pengarang Muslim terkenal, Haji Khalifah “Wahb bin Munabbih telah mengarang sebuah kitab yang diberi judul “Kitab al-Israiliyat”.

Berkenaan dengan kisah-kisah israiliyat yang dikemukakan oleh Wahb bin Munabbih ini, Muhammad Husain adz-Dzahabi telah berkata: Wahb bin Munabbih telah banyak meriwayatkan kisah Israiliyat dan banyak pula kisah Israiliyat yang disandarkan kepadanya. Kisah-kisah tersebut ada yang bernilai dan ada yang tidak, ada yang sahih dan ada yang cacat, yang semuanya itu dijadikan sumber untuk mencela dan mencacinya, sehingga ia dituduh pendusta, penipu dan perusak pemikiran ulama Islam.

Kisah Nabi Dawud a.s.

Ketika menafsirkan firman Allah Q.S. Saad/38:21-24 Syaikh Nawawi mengemukakan kisah berikut ini.

“Dan dikatakan bahwa Uriya telah melamar seorang perempuan dan keluarganya telah menerima lamarannya. Kemudian Nabi Dawud a.s. melamar perempuan itu ketika Uriyah sedang tidak ada di tempat karena ia sedang melaksanakan tugas berperang. Lalu perempuan itu bersedia  dinikahi oleh Nabi Dawud a.s. karena memandang kedudukannya”.

Kisah ini jelas tidak dapat dibenarkan karena beberapa hal sebagai berikut. Pertama, Tidak ada dasar yang kuat untuk dijadikan pegangan baik dalam Al-Quran maupun hadis.

Kedua, kisah tersebut dapat menodai sifat ‘ismah (terpelihara dari dosa) bagi Nabi Dawud a.s. karena orang yang bukan nabi pun tidak dibenarkan melamar seorang perempuan yang sudah dilamar orang lain, apalagi Nabi Dawud a.s. seorang nabi dan rosul pilihan Allah swt. Dan ternyata, di dalam syari’at Nabi Dawud pun sama dengan syari’at kita yakni diharamkan hukumnya melamar perempuan yang sudah dilamar oleh orang lain. Wallahu A’lam.

Pemeliharaan Al-Quran Pada Masa Nabi Muhammad Saw

0
Pemeliharaan Al-Quran
Pemeliharaan Al-Quran (Manuskrip Al-Quran yang tersimpan di Birmingham, Inggris)

Pemeliharaan Al-Quran pada masa nabi Muhammad saw dilakukan dengan dua cara utama, yaitu: menyimpannya ke dalam “dada manusia” atau menghafalnya; dan merekamnya secara tertulis di atas berbagai jenis bahan untuk menulis, seperti pelepah kurma dan kulit hewan. Jadi, ketika para sarjana muslim berbicara mengenai jam’ul Qur’an pada masa nabi, maka yang dimaksud adalah pengumpulan wahyu Al-Quran melalui dua cara tersebut.

Pada mulanya, bagian-bagian Al-Quran yang diwahyukan kepada nabi Muhammad saw dipelihara dalam ingatan beliau dan para sahabat. Setelah itu, setiap pengikut nabi secara massif menghafalkan Al-Quran. Tradisi hafalan yang kuat di kalangan masyarakat Arab turut membantu proses pemeliharaan Al-Quran pada masa nabi ini.

Nabi saw juga memotivasi pengikutnya untuk menghafal Al-Quran. Terdapat Sejumlah hadis menjelaskan berbagai upaya Nabi dalam merangsang penghafalan wahyu-wahyu yang telah diterimanya. Salah satu di antaranya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Utsman bin Affan bahwa Rasulullah pernah bersabda: “Yang terbaik di antara kamu adalah mereka yang mempelajari al-Quran dan kemudian mengajarkannya.” (HR. Bukhari).

Baca Juga: Mana yang Lebih Utama, Membaca Al-Quran dengan Hafalan atau dengan Melihat Mushaf?

Dalam proses pemeliharaan Al-Quran pada masa nabi Muhammad saw, ada beberapa sahabat yang terkenal sebagai huffzahul Qur’an, yakni: Ubay bin Ka‘ab (w. 642 M), Mu‘adz bin Jabal (w. 639 M), Zaid bin Tsabit, dan Abu Zaid al-Anshari (w. 15H) Ali bin Abi Thalib, Sa‘d bin Ubaid (w.637 M), Abu al-Darda (w.652 M), dan Ubaid bin Mu‘awiyah. Utsman bin Affan, Tamim al-Dari (w. 660 M), Abdullah bin Mas‘ud (w. 625 M), Salim bin Ma‘qil (w. 633 M), Ubadah bin Shamit, Abu Ayyub (w. 672 M), dan Mujammi‘ bin Jariyah.

Tulisan Sebagai Mnemonic Bagi Penghafal Al-Quran

Jika kita menengok sejarah pemeliharaan Al-Quran pada masa nabi Muhammad saw, maka dapat ditemukan adanya upaya penulisan Al-Quran. Hanya saja, perekaman Al-Quran dalam bentuk tulisan selalu dipandang sebagai alat bantu untuk mengingat, bukan tujuan utama (Mnemonic). Jadi – sebelum ditulis – setiap unit-unit wahyu Al-Quran telah tersimpan seluruhnya dalam ingatan para sahabat.

Riwayat paling awal tentang pengumpulan wahyu Al-Quran melalui tulisan pada masa nabi saw bisa ditemukan dalam kisah keislaman Umar bin Khaththab, yakni empat tahun menjelang hijrahnya nabi ke Madinah. Dalam riwayat tersebut diterangkan bahwa beberapa muslim membaca surah Taha melalui perantara shahifah (lembaran). Bahkan keislaman Umar terjadi setelah ia membaca shahifah ini.

Dari kisah tersebut dapat dipahami bahwa sejak awal Islam di Mekah, telah ada usaha serius untuk menulis Al-Quran. Kesimpulan semacam ini mendapat justifikasi dari al-Quran sendiri. Nama-nama yang digunakan untuk merujuk pesan Ilahi yang dibawa Muhammad, seperti Al-Quran, al-kitab atau wahy, secara tersamar mengungkapkan suatu gambaran latar belakang tertulis.

Salah satu ayat Al-Quran yang turun pada periode Mekah juga telah menyiratkan perekaman wahyu-wahyu yang diterima Nabi secara tertulis, yakni surah al-Ankabut [29] ayat 48: “Dan engkau (Muhammad) tidak pernah membaca sesuatu kitab sebelum (Al-Quran) dan engkau tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu; sekiranya (engkau pernah membaca dan menulis), niscaya ragu orang-orang yang mengingkarinya.”

Setelah hijrah ke Madinah, Nabi mempekerjakan sejumlah sekretaris untuk menuliskan wahyu (kuttab al-wahy). Di antara para sahabat yang biasa menuliskan wahyu adalah empat khalifah pertama, Mu‘awiyah (w. 680), Ubay bin Ka‘ab, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Mas‘ud, Abu Musa al-Asy‘ari (w. 664), dan lain-lain. Syaikh Abu Abdullah az-Zanjani, salah satu sarjana Syi‘ah terkemuka abad ke-20, bahkan menyebut 34 nama sahabat Nabi yang ditugaskan mencatat wahyu.

Para sekretaris itu bertanggung jawab dalam penulisan Al-Quran secara langsung kepada nabi. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Nabi saw menitahkan para sekretarisnya menempatkan bagian Al-Quran yang baru diwahyukan pada posisi tertentu dalam rangkaian wahyu terdahulu atau surah tertentu, sehingga susunan mushaf Al-Quran dianggap tauqifi atau berdasarkan petunjuk langsung nabi.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dari Utsman ibn Affan bahwa apabila diturunkan kepada Nabi suatu wahyu, ia memanggil sekretaris untuk menuliskannya, kemudian bersabda “Letakkanlah ayat ini dalam surat yang menyebutkan begini atau begitu.”

Imam al-Suyuthi juga mengungkapkan suatu riwayat dari Zaid: “Kami biasa menyusun Al-Quran dari catatan-catatan kecil dengan disaksikan Rasulullah.” Banyak riwayat jenis ini yang bisa ditemukan dalam kitab-kitab hadis. Riwayat-riwayat semacam itu pada dasarnya menunjukkan bahwa penggabungan unit-unit wahyu atau penempatannya ke dalam bagian surah-surah Al-Quran dilakukan atas petunjuk Nabi Muhammad saw.

Baca Juga: Mengenal Mushaf Pra-Utsmani (1): Sejarah Awal Mula Penulisan Mushaf dan Klasifikasinya

Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa pengumpulan wahyu Al-Quran melalui tulisan telah dilakukan pada masa nabi saw. Bahkan, dalam kasus wahyu-wahyu Madaniyah yang memuat ketentuan-ketentuan hukum, pasti merupakan suatu kebutuhan yang mendesak untuk segera merekamnya secara tertulis. Hanya saja ketika nabi wafat, Al-Quran belum dikumpulkan ke dalam suatu mushaf tunggal.

Dari penjelasan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa pemeliharaan Al-Quran pada masa nabi Muhammad saw dilakukan dengan dua cara, yakni pengumpulan wahyu Al-Quran melalui hafalan dan pengumpulan wahyu Al-Quran melalui tulisan. Dua cara ini saling menguatkan antara satu sama lain dalam rangka menjaga otentisitas dan kesinambungan Al-Quran di dunia. Wallahu a’lam.

Tafsir Surat Al Insyirah Ayat 5-8

0
tafsir surat al insyirah
Tafsiralquran.id

Setelah pada ayat sebelumnya berbicara mengenai jaminan pertolongan dan kelapangan hati dari Allah swt, Tafsir Surat Al Insyirah Ayat 5-8 ini berbicara mengenai konsistensi dan ketabahan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw untuk menghadapi kaumnya.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al Insyirah Ayat 1-4


Dalam Tafsir Surat Al Insyirah Ayat 5-8 ini Allah swt juga mengingatkan kepada Nabi Muhammad untuk selalu bersyukur atas semua nikmat yang Allah swt berikan kepadanya dengan cara tawakkal dan beramal saleh. Selain itu Nabi Muhammad saw juga dianjurkan untuk tidak mengharap apapun dari ibadahnya kecuali rida Allah swt.

Ayat 5

Dalam ayat ini, Allah mengungkapkan bahwa sesungguhnya di dalam setiap kesempitan, terdapat kelapangan, dan di dalam setiap kekurangan sarana untuk mencapai suatu keinginan, terdapat pula jalan keluar. Namun demikian, dalam usaha untuk meraih sesuatu itu harus tetap berpegang pada kesabaran dan tawakal kepada Allah.

Ini adalah sifat Nabi saw, baik sebelum beliau diangkat menjadi rasul maupun sesudahnya, ketika beliau terdesak menghadapi tantangan kaumnya. Walaupun demikian, beliau tidak pernah gelisah dan tidak pula mengubah tujuan, tetapi beliau bersabar menghadapi kejahatan kaumnya dan terus menjalankan dakwah sambil berserah diri dengan tawakal kepada Allah dan mengharap pahala daripada-Nya.

Begitulah keadaan Nabi saw sejak permulaan dakwahnya. Pada akhirnya, Allah memberikan kepadanya pendukung-pendukung yang mencintai beliau sepenuh hati dan bertekad untuk menjaga diri pribadi beliau dan agama yang dibawanya. Mereka yakin bahwa hidup mereka tidak akan sempurna kecuali dengan menghancurleburkan segala sendi kemusyrikan dan kekufuran.

Lalu mereka bersedia menebus pahala dan nikmat yang disediakan di sisi Allah bagi orang-orang yang berjihad pada jalan-Nya dengan jiwa, harta, dan semua yang mereka miliki. Dengan demikian, mereka sanggup menghancurkan kubu-kubu pertahanan raja-raja Persi dan Romawi.

Ayat tersebut seakan-akan menyatakan bahwa bila keadaan telah terlalu gawat, maka dengan sendirinya kita ingin keluar dengan selamat dari kesusahan tersebut dengan melalui segala jalan yang dapat ditempuh, sambil bertawakal kepada Allah. Dengan demikian, kemenangan bisa tercapai walau bagaimanapun hebatnya rintangan dan cobaan yang dihadapi.

Dengan ini pula, Allah memberitahukan kepada Nabi Muhammad bahwa keadaannya akan berubah dari miskin menjadi kaya, dari tidak mempunyai teman sampai mempunyai saudara yang banyak dan dari kebencian kaumnya kepada kecintaan yang tidak ada taranya.


Baca juga: Sering Membaca Surat Al-Mulk? Berikut ini Lima Keutamaannya


Ayat 6

Ayat ini adalah ulangan ayat sebelumnya untuk menguatkan arti yang terkandung dalam ayat yang terdahulu. Bila kesulitan itu dihadapi dengan tekad yang sungguh-sungguh dan berusaha dengan sekuat tenaga dan pikiran untuk melepaskan diri darinya, tekun dan sabar serta tidak mengeluh atas kelambatan datangnya kemudahan, pasti kemudahan itu akan tiba.

Ayat 7

Sesudah menyatakan nikmat-nikmat-Nya kepada Nabi Muhammad dan janji-Nya akan menyelamatkan beliau dari bahaya-bahaya yang menimpa, Allah memerintahkan kepadanya agar menyukuri nikmat-nikmat tersebut dengan tekun beramal saleh sambil bertawakal kepada-Nya.

Bila telah selesai mengerjakan suatu amal perbuatan, maka hendaklah beliau mengerjakan amal perbuatan lainnya. Sebab, dalam keadaan terus beramal, beliau akan menemui ketenangan jiwa dan kelapangan hati. Ayat ini menganjurkan agar Nabi saw tetap rajin dan terus-menerus tekun beramal.

Ayat 8

Dalam ayat ini, Allah menegaskan agar Nabi Muhammad tidak mengharapkan pahala dari hasil amal perbuatannya, akan tetapi hanya menuntut keridaan Allah semata. Karena Dia-lah sebenarnya yang dituju dalam amal ibadah dan pada-Nyalah tempat merendahkan diri.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Tin Ayat 1


(Tafsir Kemenag)

Belajar Organisasi dari Semut dalam Surat An-Naml Ayat 18-19

0
An-Naml ayat 18-19
An-Naml ayat 18-19

Semut adalah binatang yang kisahnya disebutkan dalam Al-Quran, dan namanya digunakan sebagai nama surat. Surat tersebut adalah surat An-Naml, surat urutan ke 27, dan termasuk golongan Surat Makkiyyah. Penyebutan tersebut tentu menjadi kebanggan tersendiri bagi bangsa semut. Penyebutan bangsa semut dalam Al-Quran juga menyiratkan bahwa terdapat suatu keistimewaan dari makhluk ini yang bisa diambil hikmah dan pelajaran. Salah satunya adalah kemampuan organisasi yang dijelaskan dalam Surat An-Naml ayat 18-19.

Tafsir Surat An-Naml ayat 18-19

Semut dikisahkan dalam Surat An-Naml ayat 18 dan 19. Adapun ayatnya adalah sebagai berikut:

حَتَّىٰٓ إِذَآ أَتَوْا۟ عَلَىٰ وَادِ ٱلنَّمْلِ قَالَتْ نَمْلَةٌ يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّمْلُ ٱدْخُلُوا۟ مَسَٰكِنَكُمْ لَا يَحْطِمَنَّكُمْ سُلَيْمَٰنُ وَجُنُودُهُۥ وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ

فَتَبَسَّمَ ضَاحِكًا مِّن قَوْلِهَا وَقَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِىٓ أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ ٱلَّتِىٓ أَنْعَمْتَ عَلَىَّ وَعَلَىٰ وَٰلِدَىَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَٰلِحًا تَرْضَىٰهُ وَأَدْخِلْنِى بِرَحْمَتِكَ فِى عِبَادِكَ ٱلصَّٰلِحِينَ

Hingga apabila mereka sampai di lembah semut berkatalah seekor semut: “Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari””

Maka, dia (Sulaiman) tersenyum lalu tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdoa, “Ya Tuhanku, anugerahkanlah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan agar aku mengerjakan kebajikan yang Engkau ridai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh.””

Baca juga: Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir dalam Al-Quran: Refleksi Kepatuhan Terhadap Guru

Ayat-ayat ini menerangkan, ketika itu Nabi Sulaiman bersama bala tentaranya yang sangat banyak melewati suatu lembah di negeri Syam. Di lembah tersebut ternyata terdapat sekawanan semut. Menurut al-Mahalli dan as-Suyuthi dalam Tafsir Jalalayn, semut adalah makhluk yang dapat berbicara dan berkomunikasi tentunya dengan bahasa mereka sendiri. Melihat pasukan Nabi Sulaiman, salah seekor pemimpin semut pun berkata kepada kawan-kawannya untuk memasuki sarang agar tidak diinjak oleh Nabi Sulaiman beserta bala tentaranya.

Nabi Sulaiman yang diberi mukjizat Allah bisa mendengar bahasa binatang pun mendengar perkataan salah seekor semut tersebut. Nabi Sulaiman pun tersenyum lantas berdoa dan bersyukur kepada Allah seperti yang tercantum dalam surat An-Naml ayat 19 di atas.

Dalam Tafsir al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur’an al-Karim, Thantawi Jauhari menjelaskan bahwa tersenyumnya Nabi Sulaiman ini bisa jadi disebabkan tiga hal. Pertama, karena heran atas semut yang menakut-nakuti teman-temannya. Kedua, karena Nabi Sulaiman merasa senang dengan ilmu khusus dari Allah SWT yaitu bisa mengetahui bahasa hewan. Ketiga, karena sebagai oetunjuk bagi pembaca Al-Quran agar memiliki hati yang mulia, hatinya diisi ilmu dan juga hikmah. Apalagi keajaiban-keajabian semut dan keanehan-keanehan ilmu hikmah yang Allah titipkan di dalam firman-Nya.

Baca juga: Kisah Nabi Isa, Lahir Tanpa Ayah Hingga Diangkat ke Langit

Hikmah yang bisa dipetik dari ayat ini adalah pelajaran tentang rasa syukur seperti yang dilakukan bangsa semut. Meskipun mereka makhluk kecil, hati mereka sangat mulia. Mereka mensyukuri nikmat Allah dengan menerima segala ketentuan-Nya atas takdir mereka. Mereka juga tidak menyelahkan Nabi Sulaiman beserta pasukannya jika mereka terinjak dan binasa. Karena mereka sadar bahwa jika pasukan Nabi Sulaiman menginjaknya, hal itu adalah tanpa sengaja. Meskipun semut adalah makhluk kecil, namun mereka juga senantiasa bertasbih keoada Allah serta mensyukuri segala ketentuan dan takdir atas mereka.

Belajar organisasi dari bangsa semut

Bahasan mengenai semut dalam Al-Quran ini menarik jika dikaji dengan tafsir bil ‘ilmi (tafsir saintifik). Karena dalam disiplin ilmu sains, semut adalah makhluk hidup yang masuk dalam kajian ilmu biologi. Semut adalah hewan dari jenis serangga kecil yang ternyata dalam menjalankan kehidupannya mereka sangat terorganisir, sistematik, dan kekeluargaan.

Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah, menafsirkan surat An-Naml ayat 18-19 menggunkaan tafsir bil ‘ilmi. Beliau memberikan penjelasan rinci bahwa semut merupakan jenis hewan yang hidup bermasyarakat dengan berkelompok. Mereka memiliki etos kerja dan disiplin hidup berkelompok yang tinggi. Kelompok-kelompok semut sangat mementingkan untuk saling menjaga pertemuan dan silaturrahim di satu tempat dari waktu ke waktu. Pertemuan ini dimaksudkan untuk saling mengenal dan tukar menukar barang layaknya pertemuan di sebuah pasar bersama. Tak hanya itu, kekeluargaan dan tenggang rasa semut juga sangat tinggi. Ketika bertemu, mereka saling bertukar sapa dengan penuh perhatian dan saling menanyakan keadaan masing-masing.

Thantawi Jauhari dalam Tafsir al-Jawahir juga turut memberikan penjelasan surat An-Naml ayat 18-19 ini dengan tafsir bil ‘ilmi. Ia menjelaskan bahwa semut-semut tersebut mempunyai jiwa gotong royong yang tinggi. menyusuri tempat-tempat yang sukar, mereka membantu para semut-semut lansia dan anak-anak semut untuk menyeberang. Jika teman mereka kesulitan dalam mengangkut makanan, mereka akan bergotong royong membantunya. Ketika seorang semut mati, mereka akan menguburkannya dalam tanah, persis seperti manusia.

Baca juga: Ibrah Kisah Nabi Daud: dari Taubat hingga Manajemen Ibadah

Dalam ilmu biologi, fenomena sistematisasi dan organisasi di kawanan semut ini juga dijelaskan. Kehidupan bangsa semut sangat bergantung pada organisasi kekeluargaan. Mereka mempunyai seorang ratu yang menjadi komando, mengatur, dan mengelola kehidupan dalam kawanan mereka. Mereka sering menyimpan bahan-bahan makanan yang telah mereka kumpulkan di sarangnya. Hal ini dimaksudkan sebagai persediaan bahan makanan mereka ketika musim kemarau datang. Dan ketika hujan atau makanan yang tersimpan dalam sarang mereka basah terkena air, mereka akan mengeringkannya lagi.

Beberapa proyek yang biasa dilakukan semut ini seringkali membuat decak kagum manusia. Sebagai makhluk yang kecil mereka bisa membuat jalan-jalan yang sangat panjang dari tanah yang sangat kokoh. Mereka melakukan hal ini pada siang hari, lalu pada malam hari mereka kembali ke sarangnya. Proyek pembuatan jalan yang sangat panjang ini tentu saja tidak bisa dilakukan tanpa adanya sistem organisasi yang mapan dan disiplin di kawanan semut sendiri.

Allah telah menciptakan makhluk yang sangat istimewa seperti semut. Di sinilah kita sebagai manusia dapat belajar dari mereka, terutama mencontohnya dalam hal berorganisasi. Hal ini membuktikan bahwa dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat, tatanan organisasi yang baik dapat membuat segala kehidupan manusia lebih teratur dan lebih mudah. Wallahu a’lam[]

Tafsir Ilmi Kemenag: Bumi yang Dinamis dan Relevansinya Bagi Kehidupan

0
Tafsir Ilmi Kemenag
Tafsir Ilmi Kemenag tentang Bumi yang Dinamis

“Uraian Tafsir Ilmi Kemenag Mengenai Bumi yang Dinamis dan Relevansinya Bagi Kehidupan” akan menjadi pembahasan menarik kali ini. Sebab selain melihat sisi-sisi kosmologis dalam al-Qur’an secara saintis, tafsir ilmi juga memberikan pesan tersirat tentang betapa pentingnya memiliki dan memadukan wawasan keilmuan agama dan sains sebagai panduan dalam menjalani kehidupan sebagai manusia beragama yang baik.

Dalam Tafsir Ilmi Kemenag ada uraian pembahasan menarik tentang Bumi yang diberi judul “Bumi yang Dinamis”. Sebelum masuk pada penafsiran ayat-ayat yang bekaitan dengan tema bahasan, dalam Tafsir Ilmi Kemenag ini dijelaskan terlebih dahulu mengenai teori sains bahwa Bumi sejak pembentukannya merupakan planet yang dinamis.

Sebagai planet yang dinamis, tentunya Bumi tidaklah diam. Adanya gerakan-gerakan tektonik yang dipahami sebagai teori tektonik lempeng menjadi bukti bahwa sejatinya bagian kulit bumi yang terdiri dari beberapa lempeng raksasa selalu bergerak dan berinteraksi satu sama lain. Dalam suatu waktu lempeng-lempeng itu bisa saling berbenturan, bersinggungan atau saling menjauh (Kemenag, 2012: 58).

Baca Juga: Mengenal Lebih Jauh Tentang Tafsir Ilmi: Pengertian dan Perkembangannya

Indonesia sendiri yang secara geografis terletak di daerah cincin api (ring of fire). Indonesia dikelilingi oleh empat lempeng utama yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia, lempeng Laut Filipina, dan lempeng Pasifik. Sebagai akibat dari proses tektonik yang terjadi, peristiwa gempa sering terjadi di sebagian besar wilayah Indonesia (Pusat Studi Gempa Nasional, 2012: 2).

Masuk dalam pembahasan ayat, di sini dijelaskan mengenai ayat-ayat yang berkaitan dengan pembahasan “tektonik lempeng”. Beberapa ayat yang berkaitan dengan gerak dinamis bumi yang menimbulkan gempa bumi antara lain: Q.S al-Naml [27]: 88; Q.S al-Syura [42]: 32; Q.S al-Tur [52]: 6; Q.S al-Zalzalah [99]: 1-4; Q.S al-Tur [52]: 1-10.

Dalam Q.S al-Naml [27]:  88 misalnya, Allah Swt berfirman:

وَتَرَى الْجِبَالَ تَحْسَبُهَا جَامِدَةً وَهِيَ تَمُرُّ مَرَّ السَّحَابِ صُنْعَ اللَّهِ الَّذِي أَتْقَنَ كُلَّ شَيْءٍ إِنَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَفْعَلُونَ

“Dan engkau akan melihat gunung-gunung yang engkau kira tetap di tempatnya, padahal ia berjalan (seperti) awan berjalan. (Itulah) ciptaan Allah yang mencipta dengan sempurna segala sesuatu. Sungguh, Dia Mahateliti apa yang kamu kerjakan.”

Melalui ayat di atas, jelas dikatakan bahwa gunung-gunung tidaklah diam pada tempatnya (jamidah) sebagaimana yang biasanya orang kira. Akan tetapi sejatinya gunung-gunung itu bergerak layaknya awan. Karena itulah dalam Q.S al-Syura [42]: 32 yang lain, Allah menjelaskan tentang salah satu tanda-tanda kekuasaannya yakni kapal-kapal di laut yang berlayar bagai gunung-gunung.

Sebagaimana yang telah dijelaskan di awal, bahwa gerakan dinamis Bumi-lah yang menjadi penyebab adanya fenomena gempa bumi. Salah satu buktinya adalah adanya penemuan fosil-fosil kehidupan laut di atas pegunungan-pegunungan tinggi (Kemenag, 2012: 60-61).

Gunung-gunung sebagai bagian dari lempengan-lempengan yang disebut sebagai kulit bumi (litosfer), sejatinya mengambang di atas lapisan astenosfer yang cukup panas—tempat magma berada—yang menyebabkan sifatnya menyerupai sifat fluida (cairan/ benda cair)—meskipun sejatinya astenosfer bukanlah benda cair.

Penemuan ini dikonfirmasi oleh al-Qur’an dalam Q.S al-Thur [52]: 6, “dan laut yang di dalam tanahnya ada api”—sebagai perbandingan lihat Q.S. al-Takwir [81]: 6. Penjelasan ini sekaligus menggambarkan bahwa kapal yang mengambang di atas laut itu tidak lebih dari sesuatu yang sangat kecil dan tidak sebanding dengan ciptaan Allah. Kita dapat membayangkan bagaimana kapal-kapal dalam bentuk benua berlayar dan bergerak (Kemenag, 2012: 63-64).

Contoh selanjutnya adalah penafsiran Q.S al-Zalzalah [99]: 1-4:

                      إِذَا زُلْزِلَتِ الْأَرْضُ زِلْزَالَهَا () وَأَخْرَجَتِ الْأَرْضُ أَثْقَالَهَا () وَقَالَ الْإِنْسَانُ مَا لَهَا ()    يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا

“Apabila bumi diguncangkan dengan guncangan yang dahsyat. Dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandungnya). Dan manusia bertanya, “Apa yang terajdi pada bumi ini?”. Pada hari itu bumi menyampaikan beritanya.”

Dijelaskan dalam Tafsir Ilmi Kemenag bahwa kata atsqalaha yang berarti segala isi bumi (ayat ke-2). Maknanya, suatu waktu Bumi akan mengeluarkan isi perut yang dikandungnya baik berupa energi gempa bumi atau melalui erupsi gunung api. Secara umum ayat ini kerapkali dipahami sebagai kejadian di hari akhir kelak.

Namun, sebagian penafsir juga mengemukakan bahwa gambaran kiamat dalam skala yang lebih kecil—parsial dan tidak menyeluruh—itu dapat dilihat pada peristiwa gempa tektonik, yang diperuntukkan sebagai peringatan bagi manusia.

Dalam ayat ke-3, dikatakan bahwa manusia bertanya, “apa yang terjadi pada bumi ini?”. Pada gempa yang terjadi di Aceh ataupun gempa besar lainnya yang terjadi di daerah lain, hampir semua manusia berpikir apakah ini kiamat? Di ayat selanjutnya dikatakan, “pada hari itu bumi menyampaikan beritanya”.

Dalam Tafsir Ilmi Kemenag ini, diuraikan bahwa yang dimaksud dengan berita yang disampaikan adalah rekam jejak mengenai peristiwa gempa bumi baik melalui tubuh batuan atau tanah maupun melalui fosil-fosil terumbu karang. Sebagaimana bukti rekam jejak gempa yang ditemukan oleh LIPI yang bekerja sama dengan Caltech di kepulauan Mentawai (Kemenag, 2012: 67-71).

Adapun pada Q.S al-Thur [52]: 1-10, salah satu penjelasan per-kata yang diangkat adalah kata al-masjur (ayat ke-6). Kalimat wa al-bahr al-masjur pada ayat ke-6 biasanya dimakna dengan laut yang dijadikan bergelombang oleh Allah yang penyebab langsungnya dapat berupa angin atau akibat patahan di dasar laut dan letusan gunung api yang dapat menimbulkan gelombang tsunami.

Namun kata masjur sendiri jika telaah secara bahasa adalah isim maf’ul (bentuk objek) dari fi’il (kata kerja) sajara, yang bermakna dipancarkan atau dinyalakan/ dipanaskan. Maka setelah dilakukannya penelitian ditemukan bahwa di dasar laut juga terdapat aliran lava yang kemudian menimbulkan gunung api dasar laut yang dapat meletus layaknya gunung api di daratan. Maka berdasar fenomena inilah ada alternatif terjemahan atas Q.S. al-Thur [52]: 6 yakni “dan laut yang di dalam tanahnya ada api”.

Relevansi Bagi Kehidupan

Setelah membaca tafsir tematik tentang “Bumi yang Dinamis” ataupun tafsir-tafsir ilmi lainnya lalu apa yang akan didapati pembaca? Apa kira-kira manfaat yang bisa diambil (istifadah) melalui penafsiran yang bercorak ilmi dan apa kiranya yang membedakan dengan tafsir-tafsir bercorak lain?

Penulis akan berusaha menguraikan beberapa hal untuk menjawabnya. Pertama, tafsir ilmi dapat memberikan penjelasan yang scientific mengenai fenomena atau gejala-gejala alam yang terjadi di sekitar manusia. Dalam fenomena gempa misalnya, penjelasan ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan fenomena ini akan membuka wawasan masyarakat akan realitas geografis Indonesia serta apa yang disebut dengan “tektonik lempeng” atau gerak dinamis Bumi.

Ini akan menyadarkan masyarakat bahwa Indonesia memang terletak di kawasan yang disebut ring of fire, yang tepat berada di atas empat lempeng besar dunia sehingga sangat rentan terkena bencana gunung meletus, gempa bumi maupun tsunami. Kesadaran ini akan mendorong masyarakat Indonesia untuk senantiasa mengikuti pelatihan-pelatihan mitigasi bencana, agar dapat meminimalisir jumlah korban saat bencana terjadi.

Jika dikatakan bahwa bencana-bencana vulkanis-tektonis yang menimpa Indonesia sebagai azab, maka sudah sepantasnya seluruh kawasan negara yang penduduknya gemar bermaksiat bahkan tidak beriman (kafir) ditimpakan azab yang serupa sehingga lenyap orang-orang yang gemar bermaksiat dan tidak beriman pada Allah. Namun sayangnya hal ini dibantah sendiri oleh al-Qur’an dalam Q.S al-Nahl [16]: 61 dan Q.S Fathir [35]: 45.

Kedua, karakteristik tafsir ilmi yang mengkombinasikan antara dimensi teologis dan sains, memberikan penjelasan yang mengarahkan pada penghayatan akan hakikat alam semesta. Menurut Nurcholis Madjid, penjelesan mengenai hakikat alam akan berimplikasi pada sikap apresiatif terhadap alam dan meninggalkan sifat eksploitatif (Madjid, 1992: 55).

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 3-4: Prinsip Keseimbangan Hidup dalam Melihat Kuasa Allah

Penghayatan ini juga akan mendorong manusia pada sikap apresiatif terhadap alam semesta. Karena dibaliknya selalu nampak tanda-tanda kekuasaan Allah, sebagaimana dalam penafsiran Q.S al-Syura [42]: 32.

Ketiga, penjelasan tafsir ilmi yang menafsirkan fenomena-fenonema alam dalam al-Qur’an—yang secara umum dipahami sebagai fenomena di hari kaiamat—sebagai skala kecil dari kiamat, dapat memberikan kesadaran kepada manusia bahwa bencana alam yang sifatnya parsial saat ini adalah gambaran kecil dari kegaduhan alam secara total di hari akhir.

Maka tuntutan bagi manusia adalah bagaimana ia mampu memanfaatkan waktunya secara optimal untuk memenuhi kebutuhan vertikalnya (habl min Allah) dengan terus ber-muhasabah dan menjaga keimanannya, serta memenuhi kebutuhan horizontalnya (habl min al-nas) dengan bersikap sebagai manusia yang memanusiakan manusia serta bermanfaat bagi manusia lainnya. Wallahu a’alam.