Beranda blog Halaman 451

Tafsir Surat Al ‘Alaq Ayat 1-7

0
tafsir surat al a'laq
Tafsiralquran.id

Pada pembahasan yang lalu berbicara mengenai buah Tin dan Zaitun serta potensi yang dimiliki oleh manusia, selanjutnya Tafsir Surat Al ‘Alaq Ayat 1-7 berbicara mengenai proses pengetahuan dan penciptaan manusia.


Baca selanjutnya: Tafsir Surat Al Tin Ayat 4-8


Di awal pembahasan Tafsir Surat Al ‘Alaq Ayat 1-7 Allah swt memerintahkan kepada manusia untuk membaca. Membaca tersebut antara lain mempelajari, meneliti, mendalami, dan lain sebagainya. Objek pembacaannya meliputi segala ayat Allah, baik  ayat-ayat Alquran maupun ayat-ayat alam semesta. Salah satu dari ayat Allah swt adalah proses penciptaan manusia.

Dalam Tafsir Surat Al ‘Alaq Ayat 1-7 anjuran untuk membaca disebut dua kali. Hal ini menandakan bahwa pembelajaran memang butuh proses. Tidak ujuk-ujuk langsung paham dan berhasil. Dari penyebutan sebanyak dua kali ini mengindikasikan untuk mengulang minimal dua kali. Namun sayangnya sebagian manusia terkadang mengingkari ayat-ayat Allah swt.

Ayat 1

Allah memerintahkan manusia membaca (mempelajari, meneliti, dan sebagainya.) apa saja yang telah Ia ciptakan, baik ayat-ayat-Nya yang tersurat (qauliyah), yaitu Alquran, dan ayat-ayat-Nya yang tersirat, maksudnya alam semesta (kauniyah).

Membaca itu harus dengan nama-Nya, artinya karena Dia dan mengharapkan pertolongan-Nya. Dengan demikian, tujuan membaca dan mendalami ayat-ayat Allah itu adalah diperolehnya hasil yang diridai-Nya, yaitu ilmu atau sesuatu yang bermanfaat bagi manusia.

Ayat 2

Allah menyebutkan bahwa di antara yang telah Ia ciptakan adalah manusia, yang menunjukkan mulianya manusia itu dalam pandangan-Nya. Allah menciptakan manusia itu dari ‘alaqah (zigot), yakni telur yang sudah terbuahi sperma, yang sudah menempel di rahim ibu.

Karena sudah menempel itu, maka zigot dapat berkembang menjadi manusia. Dengan demikian, asal usul manusia itu adalah sesuatu yang tidak ada artinya, tetapi kemudian ia menjadi manusia yang perkasa. Allah berfirman:

وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَكُمْ مِّنْ تُرَابٍ ثُمَّ اِذَآ اَنْتُمْ بَشَرٌ تَنْتَشِرُوْنَ  ٢٠

Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak. (ar-Rµm/30: 20)

Asal usulnya itu juga labil, zigot itu bisa tidak menempel di rahim, atau bisa terlepas lagi dari rahim itu, sehingga pembentukan manusia terhenti prosesnya. Oleh karena itu, manusia seharusnya tidak sombong dan ingkar, tetapi bersyukur dan patuh kepada-Nya, karena dengan kemahakuasaan dan karunia Allah-lah, ia bisa tercipta.

Allah berfirman menyesali manusia yang ingkar dan sombong itu:

اَوَلَمْ يَرَ الْاِنْسَانُ اَنَّا خَلَقْنٰهُ مِنْ نُّطْفَةٍ فَاِذَا هُوَ خَصِيْمٌ مُّبِيْنٌ   ٧٧

Dan tidakkah manusia memperhatikan bahwa Kami menciptakannya dari setetes mani, ternyata dia menjadi musuh yang nyata! (Yasin/36: 77)

Menurut kajian ilmiah, ‘alaqah merupakan bentuk perkembangan pra-embrionik, yang terjadi setelah percampuran sel mani (sperma) dan sel telur. Moore dan Azzindani menjelaskan bahwa ‘alaqah dalam bahasa Arab berarti lintah (leech) atau suatu suspensi (suspended thing) atau segumpal darah (a clot of blood).

Lintah merupakan binatang tingkat rendah, berbentuk seperti buah per, dan hidup dengan cara menghisap darah. Jadi ‘alaqah merupakan tingkatan (stadium) embrionik, yang berbentuk seperti buah per, di mana sistem kardiovaskuler (sistem pembuluh-jantung) sudah mulai tampak, dan hidupnya tergantung dari darah ibunya, mirip dengan lintah.

‘Alaqah terbentuk sekitar 24-25 hari sejak pembuahan. Jika jaringan pra-embrionik ‘alaqah ini diambil keluar (digugurkan), memang tampak seperti segumpal darah (a blood clot like). Lihat pula telaah ilmiah pada penjelasan Surah Nµh/71 ayat 14.


Baca juga: Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 5-7: Balasan Bagi yang Tak Patuh Perintah


Ayat 3

Allah meminta manusia membaca lagi, yang mengandung arti bahwa membaca yang akan membuahkan ilmu dan iman itu perlu dilakukan berkali-kali, minimal dua kali. Bila Alquran atau alam ini dibaca dan diselidiki berkali-kali, maka manusia akan menemukan bahwa Allah itu pemurah, yaitu bahwa Ia akan mencurahkan pengetahuan-Nya kepadanya dan akan memperkokoh imannya.

Ayat 4-5

Di antara bentuk kepemurahan Allah adalah Ia mengajari manusia mampu menggunakan alat tulis. Mengajari di sini maksudnya memberinya kemampuan menggunakannya. Dengan kemampuan menggunakan alat tulis itu, manusia bisa menuliskan temuannya sehingga dapat dibaca oleh orang lain dan generasi berikutnya.

Dengan dibaca oleh orang lain, maka ilmu itu dapat dikembangkan. Dengan demikian, manusia dapat mengetahui apa yang sebelumnya belum diketahuinya, artinya ilmu itu akan terus berkembang. Demikianlah besarnya fungsi baca-tulis.

Ayat 6-7

Allah menyesali manusia karena banyak mereka yang cenderung lupa diri sehingga melakukan tindakan-tindakan yang melampaui batas, yaitu kafir kepada Allah dan sewenang-wenang terhadap manusia.

Kecenderungan itu terjadi ketika mereka merasa sudah berkecukupan. Dengan demikian, ia merasa tidak perlu beriman, dan karena itu ia berani melanggar hukum-hukum Allah. Begitu juga karena sudah merasa berkecukupan, ia merasa tidak butuh orang lain dan merasa berkuasa, dan karena itu ia akan bertindak sewenang-wenang terhadap orang lain itu.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al ‘Alaq Ayat 8-19


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 5-7: Balasan Bagi yang Tak Patuh Perintah

0
Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 28-30
Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 28-30

Setelah kita kupas isi Surat Al-Mulk sebelumnya tentang perbuatan baik dan prinsip keseimbangan hidup, selanjutnya, akan diungkap bagaimana balasan bagi orang-orang yang tak patuh pada perintah Allah. Informasi ini Allah sampaikan dalam Surat Al-Mulk ayat 5-7, yang secara sederhana membidik dua objek yang dapat balasan itu, yakni setan dan orang-orang kufur. Balasan apa itu? Dan apa maksud setan dan orang kufur? Berikut ini penjelasannya.

Surat Al-Mulk ayat 5-7, balasan bagi yang tak patuh

وَلَقَدۡ زَيَّنَّا ٱلسَّمَآءَ ٱلدُّنۡيَا بِمَصَٰبِيحَ وَجَعَلۡنَٰهَا رُجُومٗا لِّلشَّيَٰطِينِۖ وَأَعۡتَدۡنَا لَهُمۡ عَذَابَ ٱلسَّعِيرِ

وَلِلَّذِينَ كَفَرُواْ بِرَبِّهِمۡ عَذَابُ جَهَنَّمَۖ وَبِئۡسَ ٱلۡمَصِيرُ

إِذَآ أُلۡقُواْ فِيهَا سَمِعُواْ لَهَا شَهِيقٗا وَهِيَ تَفُورُ

“Dan sungguh, telah Kami hiasi langit yang dekat, dengan bintang-bintang dan Kami jadikannya (bintang-bintang itu) sebagai alat-alat pelempar setan, dan Kami sediakan bagi mereka azab neraka yang menyala-nyala.”

“Dan orang-orang yang ingkar kepada Tuhannya akan mendapat azab Jahanam. Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.”

“Apabila mereka dilemparkan ke dalamnya mereka mendengar suara neraka yang mengerikan, sedang neraka itu membara”

Ayat pertama memberi informasi tentang bintang (mashabih) dan dua fungsinya, yakni menghiasai langit bumi (sama’a d dunya) dan alat pelempar setan (rujuman lisysyayatin). Tetapi, bila mengacu pada hadis riwayat Qatadah yang dikutip at-Thabari, Ibnu Katsir, dan Az-Zuhayli, bintang memiliki 3 fungsi; dua fungsi yang tersebut sebelumnya ditambah kemampuannya memberi tanda alam di daratan dan lautan. Hal ini tampaknya sama dengan pakar astronomi dan geologi, yang menjadikan rasi bintang sebagai petunjuk arah. Sementara itu, pemaknaan mashahib sebagai bintang adalah berdasarkan zat bintang itu sendiri yang terang dan menerangi.

Baca juga: Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 1-2: Bukti Kuasa Allah dan Barometer Pribadi Berkualitas

Sama’ad dunya sebagaimana yang dijelaskan Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah dan Ar-Razi dalam Mafatihul Ghaib, diartikan dengan langit terdekat dengan bumi (as-sama’ al-qurba)–yang bisa terjangkau oleh pandangan mata-. Dan oleh karena itu, diberi imbuhan ad-dunya yang berarti dekat. Beda dengan pengertian as-sama’ versi Ibnu Sidah dalam Tafsir Al-Muntakhab, yakni angkasa luas.

Terdapat perbedaan pemaknaan pula pada frasa rujuman lisysyayatin versi pakar astronomi. Mengutip Tafsir Al-Mishbah, Sebagian dari mereka memaknainya dengan meteor,berdasarkan argumen bahwa bintang tidak bisa menampik jin yang mendekat. Sementara, pakar astronomi yang lain memaknainya dengan sinar kosmis yang bersumber dari bintang, berdasarkan argumen sinar kosmis yang dihasilkan bintang berasal dari jenis photon dan terdiri dari sinar ultra violet bertenaga rendah sampai sinar X yang bertenaga lebih dari 50.000 elektron volt. Dengan kekuatan inilah, sinar kosmis mampu menjadi alat pelempar setan.

Baca juga: Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 3-4: Prinsip Keseimbangan Hidup dalam Melihat Kuasa Allah

Sinar kosmis yang dihasilkan bintang menjadi azab bagi setan di dunia. Sementara di akhirat, setan juga dapat azab berupa neraka, sebagaimana akhir ayat 5 tersebut. Dua siksaan ini menurut Wahbah az-Zuhayli adalah karena setan itu tidak hanya rusak secara dirinya sendiri, tetapi, mereka juga perusak.

Pada ayat selanjutnya, dijelaskan satu golongan lagi yang dapat azab neraka jahannam, yakni orang-orang kufur kepada Rabb-nya. Ayat ini sebenarnya merupakan penegasan dari ayat sebelumnya, bahwa yang mendapat azab bukan saja setan, tetap tiap orang yang ingkar terhadap Allah. Demikianlah Ibnu ‘Asyur dalam at-Tahrir wat Tanwir.

Siapa setan, siapa kafir?

Terdapat perdebatan soal siapa yang dimaksud setan pada ayat kelima. Ibnu ‘Asyur mengartikannya dengan setan hakiki (makhluk dimensi lain yang bermuasal dari api dan membangkang pada Allah). Hal ini karena ia mengaitkan setan di sini dengan yang disebut dalam surat As-Shaffat, berdasarkan titik temu setan yang telah mencuri kabar langit, sehingga ia ditampik oleh benda langit.

Berbeda dengan Ibnu ‘Asyur, Az-Zuhayli cenderung mengartikannya dengan setan sebagai sifat pembangkan sehingga bisa mencakup jin mau pun manusia. Hal ini tampak saat ia menafsirkan kata as-shayatin pada ayat kelima dengan minal jinn wal ins (dari golongan jin dan manusia) dan alladzina kafaru pada awal ayat 6 dengan syayatin minal jinn wal ins (setan dari golongan jin dan manusia).

Pendapat pertama bisa jadi lebih relate karena konteks ayat sedang berbicara tentang benda langit, dan manusia bukan termasuk penduduk langit. Tetapi, kembali lagi, masing-masing mufassir di atas memiliki argumennya sendiri untuk membangun makna mereka.

Baca juga: Sering Membaca Surat Al-Mulk? Berikut ini Lima Keutamaannya

Sementara itu, kafir yang disebut pada awal ayat keenam ialah seluruh orang yang menyekutukan Allah. Demikianlah Ibnu ‘Asyur. Sementara itu, Az-Zuhayli mempertegasnya dengan segolongan manusia maupun jin yang tak patuh terhadap Allah dan mendustakan utusanNya. 

Baik setan dan orang kafir, mereka sama-sama tidak patuh pada perintah untuk menyembah Allah dan mempercayai utusan-utusannya. Karena inilah mereka pantas untuk mendapat siksa neraka.

Seusai menyebutkan balasan bagi mereka yang tak patuh berupa neraka, Allah kemudian menggambarkan bagaimana neraka itu. Orang yang tak patuh bila dilempar ke dalam neraka, ia akan mendengar suaranya yang mengerikan karena kobaran api yang membara. Quraish Shihab menjelaskan, neraka amat menggelegak, hampir saja terpecah-pecah oleh amarah. Orang yang masuk ke dalamnya kesulitan bernapas, karena berada di tengah api yang begitu panasnya.

Kelompok ayat tersebut di atas merespons kondisi masyarakat yang tidak patuh pada ajaran Nabi, atau bisa disebut dengan komunitas Arab Jahiliyyah yang masih memegang teguh politeisme dan segala kebrutalan perilaku mereka. Artinya, dakwah Islam pada saat itu sangat sulit di terima karena Islam masih menjadi minoritas. Oleh karenanya, dakwah dengan ancaman (indzar) seperti ayat di atas menjadi satu strategi jitu untuk mengajak mereka masuk Islam. Wallahu a’lam[]

Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 51-55

0
tafsir surat al baqarah
Penamaan “Surat Al-Baqarah”

Setelah pada ayat yang lalu berbicara mengenai pertolongan Allah swt terhadap Bani Israil atas penindasan Fir’aun, Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 51-55 ini berbicara mengenai diturunkannya Taurat kepada Nabi Musa as dan anugerah Allah swt kepada Bani Israil yang begitu banyak serta teguran Allah swt kepada Bani Israil seringkali mengingkari nikmat tersebut.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 49-50


Pertama dalam Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 51-55 ini dijelaskan mengenai perkara Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa as. Pada saat Nabi Musa as sedang mempersiapkan diri untuk menerima wahyu, di belakang, kaum Bani Israil malah menjadikan patung anak sapi sebagai sesembahan.

Selanjutnya Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 51-55 ini membahas mengenai perintah Allah swt kepada Nabi Muhammad saw untuk menceritakan kembali kisan Nabi Musa as sewaktu menerima Taurat kepada Bani Israil yang sezaman dengan Nabi Muhammad saw. Selain itu juga dipapakan mengenai proses taubat bagi kaum Bani Israil yang durhaka.

Ayat 51

Pada ayat ini Allah swt mengingatkan mereka kepada nikmat yang lain sesudah nikmat-nikmat-Nya yang tersebut di atas, yaitu Allah menjanjikan kepada Musa a.s. akan memberikan Taurat kepadanya, dan Allah menentukan waktunya yaitu selama 40 malam.

Mereka menganggap bahwa waktu yang ditetapkan itu terlalu lama maka mereka membuat patung anak sapi dari emas dan mereka sembah. Dengan demikian mereka telah menganiaya diri mereka sendiri karena perbuatan syirik yang mereka lakukan.

Sikap mereka itu sangat mengherankan, sebab janji Allah kepada Nabi Musa a.s. akan menurunkan Kitab Taurat sebenarnya merupakan nikmat dan keutamaan yang amat besar bagi Bani Israil, tetapi mereka balas dengan perbuatan yang amat keji, yaitu kekafiran dan kebodohan.

Ayat 52

Allah Maha Pengasih dan Maha Pengampun kepada hamba-Nya. Walaupun Bani Israil telah melakukan kekafiran dan kemusyrikan sedemikian rupa, namun Allah masih memberikan maaf dan ampunan kepada mereka, agar mereka mensyukuri-Nya.

Allah tidak segera menimpakan azab kepada mereka melainkan ditangguhkan-Nya sampai datangnya Nabi Musa a.s. dan memberitahukan kepada mereka cara menebus dosa, agar selanjutnya mereka mensyukuri nikmat-Nya.

Ayat 53

Dalam ayat ini Allah swt mengingatkan lagi kepada mereka tentang nikmat-Nya yang lain yaitu Kitab Taurat yang diturunkan kepada mereka sebagai bukti untuk menguatkan kerasulan Nabi Musa a.s. Kitab tersebut diturunkan kepada mereka melalui Nabi Musa a.s. untuk mereka jadikan petunjuk.

Dengan memahami isinya serta mengamalkan syariat dan petunjuk-petunjuk yang terkandung di dalamnya, diharapkan mereka kembali menjadi orang baik-baik, dan tidak lagi terjerumus kepada kesesatan yang lain, misalnya menyembah patung-patung, dan sebagainya.

Ayat 54

Dalam ayat ini Allah swt memerintahkan kepada Rasulullah agar menyampaikan kepada Bani Israil yang hidup semasanya pada waktu itu bahwa Musa a.s. sekembali dari munajat dengan Tuhannya, mendapati kaumnya menyembah patung anak sapi, lalu dia berkata kepada kaumnya:

“Hai kaumku, sesungguhnya dengan perbuatan kamu menjadikan anak sapi itu sebagai tuhanmu, kamu telah membinasakan diri kamu sendiri, dan telah melenyapkan pahala yang sedianya akan kamu terima di sisi Tuhanmu. Alangkah baiknya, seandainya kamu menepati janji yang telah diikrarkan, dan kamu mengikuti syariatku. Oleh sebab itu, bertobatlah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu, dan janganlah berbuat kebodohan semacam itu, dimana kamu telah meninggalkan Tuhanmu yang sesungguhnya, lalu kamu mengambil anak sapi sebagai sembahanmu.”

Musa a.s. juga memerintahkan kepada mereka, “Bunuhlah diri kamu.” Maksudnya, agar orang-orang yang tidak berbuat kejahatan di antara mereka membunuh mereka yang telah bersalah itu, atau mereka yang telah berbuat kejahatan itu saling membunuh, atau mereka disuruh membunuh diri mereka sendiri sebagai pernyataan tobat kepada Allah. Dalam Perjanjian Lama Kitab Keluaran xxxii.27-28 disebutkan yang mati akibat pembunuhan itu 3000 orang.

Kemudian Musa a.s. mengatakan kepada mereka bahwa bertobat dan membunuh diri sebagai pernyataan tobat itu lebih baik bagi mereka di sisi Allah daripada terus-menerus berbuat kedurhakan yang menyebabkan mereka ditimpa azab. Apabila mereka telah bersih dari dosa itu, barulah mereka patut menerima pahala dan ganjaran.

Abdullah Yusuf Ali berpendapat “bunuhlah nafsumu”; anfusakum dalam ayat ini berarti nafsu, bukan pribadi. Hampir sejalan dengan pendapat al-Qasimi, Muhammad Asad, dan lain-lain.

Pada akhir ayat ini Allah menerangkan bahwa setelah mereka melakukan yang diperintahkan Musa, Allah menerima tobat dan memaafkan kesalahan mereka, karena Dialah yang memberikan jalan kepada orang-orang yang berdosa itu untuk bertobat, dan Dia menerima tobat mereka. Sebab Dia Maha Pengasih kepada orang-orang yang mau bertobat kepada-Nya. Seandainya tidak demikian, tentulah segera ditimpakan kebinasaan kepada mereka karena dosa-dosa besar yang mereka lakukan itu.


Baca juga: Inilah Kisah-Kisah Israiliyat dalam Tafsir Al-Munir karya Syekh Nawawi Al-Bantany, Begini Penjelasannya


Ayat 55

Dalam ayat ini Allah mengingatkan Bani Israil kepada sifat-sifat dan keingkaran nenek moyang mereka kepada Nabi Musa, yaitu mereka pernah berkata kepada Nabi Musa. “Kami tidak akan beriman kepadamu sampai kami dapat melihat Allah secara kasat mata.” Karena sikap dan kelakuan mereka itu Allah menurunkan azab kepada mereka, yaitu halilintar yang menyambar mereka.

Nabi Musa memilih tujuh puluh orang yang akan pergi bersamanya ke bukit Sinai untuk meminta ampun atas kesalahan mereka menyembah anak sapi. Mereka mengatakan kepada Nabi Musa a.s. bahwa sebelum mereka dapat melihat Allah dengan mata kepala mereka sendiri, mereka tidak akan beriman, tidak akan membenarkan ucapan Nabi Musa a.s. bahwa Taurat itu adalah Kitab Allah.

Mereka juga tidak akan percaya bahwa Musa telah mendengar perkataan Allah, dan mereka juga tidak akan percaya bahwa Allah memerintahkan untuk menerima perkataan-Nya dan mengamalkannya. Lalu datanglah halilintar menyambar mereka, sedang yang lain menyaksikan peristiwa itu dengan jelas (lihat pula al-A’raf/7:156).

Demikianlah sikap Bani Israil terhadap Nabi Musa, mereka selalu bertingkah dan membangkang. Maka datanglah azab Allah kepada mereka. Bermacam-macam penyakit menimpa mereka. Binatang-binatang kecil yang menyebarkan berbagai penyakit telah membinasakan sejumlah besar dari mereka. Maka tidaklah mengherankan ketika Nabi Muhammad saw datang menyeru mereka kepada agama lslam, mereka bersikap menentang dan menolak seruan itu.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 56-58


(Tafsir Kemenag)

Memahami Makna Kata Jaza dalam Al-Quran dan Penggunaannya

0
Kata Jaza dalam Al-Quran
Kata Jaza dalam Al-Quran (Surat Ar-Rahman Ayat 60)

Beragam kosa kata dalam Al-Quran memiliki makna yang sifatnya istimewa. Keistimewaan itu disebabkan oleh beberapa aspek di antaranya makna dasar yang beragam, makna yang mempertimbangkan konteks kalimat maupun makna yang ditakwilkan sebab tidak tepat jika dimaknai hakikat maknanya. Oleh sebab itu lahirlah kajian-kajian atas berbagai kosa kata dalam Al-Quran. Salah satunya yang akan dibahas pada tulisan kali ini ialah memahami makna kata jaza dalam Al-Quran.

Kata jaza (جزاء) merupakan bentuk mashdar dari (يجزي جزي). Kata jaza sendiri jika ditelusuri melalui Mu’jam karya al-Ashfihani memiliki makna dasar (الغناء والكفاية) atau “balasan yang cukup dan sesuai dengan yang dikerjakan”. Adapun jika ditelusuri melalui Mu’jam al-Wasith karya Ibrahim Musthofa (1972: 121) dimaknai dengan (الثواب والعقاب) atau “balasan kebaikan/ reward (bagi kebaikan yang dikerjakan) dan hukuman/ punishment (bagi keburukan yang dikerjakan).

Atas dua makna dasar dari kata jaza tersebut didapati bahwa jaza bisa dimaknai sebagai balasan yang setimpal terhadap pekerjaan yang dilakukan, di mana balasan itu dapat berupa reward ataupun punishment tergantung sifat pekerjaan yang dikerjakan. Maka jaza dapat dikatakan kosa kata yang netral dan akan dimaknai secara negatif maupun positif tergantung dari negatif atau positifnya pekerjaan yang dilakukan maupun kejelasan mengenai bentuk balasan yang diberikan (maknanya bergantung pada konteks kalimat/ siyaq al-kalam).

Baca Juga: Inilah Macam-Macam Qasam dalam Al-Quran, Simak Penjelasannya

Dalam Al-Quran, menurut Wahbah Zuhaili (2008: 386) kata jaza dengan segala derivasi bentuk katanya terulang 116 kali di mana 42 kali merujuk pada makna balasan yang baik. Salah satu contoh ayatnya adalah Q.S. al-Ahqaf [46]: 14:

اُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ الْجَنَّةِ خٰلِدِيْنَ فِيْهَاۚ (جَزَاۤءً) ۢبِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

“Mereka itulah para penghuni surga, kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.”

Dan 49 kali merujuk pada makna balasan yang buruk atau iqab. Seperti halnya pada Q.S. al-An’am [6]: 146:

وَعَلَى الَّذِيْنَ هَادُوْا حَرَّمْنَا كُلَّ ذِيْ ظُفُرٍۚ وَمِنَ الْبَقَرِ وَالْغَنَمِ حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ شُحُوْمَهُمَآ اِلَّا مَا حَمَلَتْ ظُهُوْرُهُمَآ اَوِ الْحَوَايَآ اَوْ مَا اخْتَلَطَ بِعَظْمٍۗ ذٰلِكَ (جَزَيْنٰهُمْ) بِبَغْيِهِمْۚ وَاِنَّا لَصٰدِقُوْنَ

“Dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan semua (hewan) yang berkuku, dan Kami haramkan kepada mereka lemak sapi dan domba, kecuali yang melekat di punggungnya, atau yang dalam isi perutnya, atau yang bercampur dengan tulang. Demikianlah Kami menghukum mereka karena kedurhakaannya. Dan sungguh, Kami  Mahabenar.”

Namun, terdapat penyebutan sebanyak 25 kali yang tidak bisa dikategorikan sebagai balasan yang baik maupun buruk. Sebab ketiadaan atau tidak diketahuinya konteks kalimat maupun penjelasan mengenai bentuk balasan yang diberikan, sehingga tidak bisa dikategorisasi sebagai bagian dari balasan yang baik ataupun buruk. Contohnya pada Q.S. al-Najm [53]: 41:

ثُمَّ يُجْزٰىهُ الْجَزَاۤءَ الْاَوْفٰىۙ

“kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna/ secara kontan sesuai perbuatan”.

Menurut Quraish Shihab (2007: 391) secara umum di dalam Al-Quran, jaza atau balasan itu diorientasikan kepada balasan yang akan diterima di akhirat kelak. Adapun yang merupakan pengecualian dari hal tersebut (balasan yang diberikan di dunia) antara lain:

  1. Balasan kepada Bani Israil berupa kenistaan hidup di dunia (Q.S al-Baqarah [2]: 85)

فَمَا جَزَاۤءُ مَنْ يَّفْعَلُ ذٰلِكَ مِنْكُمْ اِلَّا خِزْيٌ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۚوَيَوْمَ الْقِيٰمَةِ يُرَدُّوْنَ اِلٰٓى اَشَدِّ الْعَذَابِۗ وَمَا اللّٰهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُوْنَ

“Maka tidak ada balasan (yang pantas) bagi orang yang berbuat demikian di antara kamu selain kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari Kiamat mereka dikembalikan kepada azab yang paling berat. Dan Allah tidak lengah terhadap apa yang kamu kerjakan.”

Ayat ini menggambarkan bagaimana perilaku Bani Israil yang sangat tidak beradab dan menunjukkan pengingkaran mereka terhadap kitab yang dibawa Musa (Taurat). Maka dari itu Allah membalas tindakan mereka dengan memberikan kehidupan yang nista di dunia dan menyiapkan adzab yang pedih bagi mereka di hari pembalasan kelak.

  1. Keselamatan dan kesejahteraan bagi Nabi Nuh (Q.S al-Shaffat [37]: 80)

اِنَّا كَذٰلِكَ نَجْزِى الْمُحْسِنِيْنَ

“Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.”

Ayat ini berkaitan dengan ayat sebelumnya dimana dalam kronologi tersebut nabi Nuh As. diselamatkan oleh Allah dari bencana yang besar yakni banjir air bah yang menenggelamkan semua yang dilewatinya kecuali rombongan nabi Nuh As. dan pengikutnya yang berada di atas bahtera. Maka keselamatan yang diberikan itu balasan bagi Nuh dan kaumnya di dunia yang senantiasa tetap menjaga keimanan mereka (al-Qurthubi, 1964: 89).

  1. Keselamatan dan kesejahteraan bagi Nabi Ibrahim (Q.S al-Shaffat: 105)

قَدْ صَدَّقْتَ الرُّءْيَا ۚاِنَّا كَذٰلِكَ نَجْزِى الْمُحْسِنِيْنَ

“Sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu. Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.”

Ayat ini menceritakan tentang kisah Nabi Ibrahim yang mempercayai mimpi yang datang kepadanya dan memerintahkannya untuk menyembelih putranya (al-Qurthubi, 1964: 30). Berkat kesabarannya untuk menerima dan melaksanakan apa yang Allah perintahkan dalam mimpinya.

Maka Allah pun mengganti putra Ibrahim yang hampir disembelih oleh bapaknya sendiri akibat ketaqwaan bapaknya yang begitu tinggi terhadap Tuhannya dengan kambing kibas sebagai bentuk balasan (di dunia) atas keimanan dan ketaqwaannya.

Baca Juga: Takwa dan Tawakkallah, Tips Mencari Rezeki Menurut Al-Quran

Maka bisa disimpulkan bahwa jaza dalam Al-Quran memiliki makna yang sesuai dengan makna dasarnya yakni balasan. Namun “balasan” ini dalam Al-Quran bisa berupa balasan dalam konteks positif maupun negatif dan hal ini bergantung pada siyaq al-kalam dan penjelasan dalam ayat maupun tafsir mengenai bentuk balasannya.

Kata jaza dalam Al-Quran juga mayoritas dimaknai sebagai balasan yang akan diberikan di akhirat kelak kecuali tiga ayat yang telah dijelaskan oleh Prof. Quraish Shihab di atas. Semoga penjelasan memahami makna kata jaza dalam Al-Quran ini bisa menambah wawasan Al-Quran pembaca. Wallahu a’lam.

Tafsir Surat Al Tin Ayat 4-8

0
tafsir surat al tin
Tafsiralquran.id

Pembahasan yang lalu berbicara mengenai dua tempat mulia, yaitu gunung Sinai dan “negeri yang damai” (Makkah) dan keduanya dijadikan sebagai objek sumpah, Tafsir Surat Al Tin Ayat 4-8 berbicara mengenai manusia sebagai makhluk paling indah dengan segala potensi yang dimilikinya.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al Tin Ayat 2-3


Maksud dari potensi dalam pembahasan Tafsir Surat Al Tin Ayat 4-8 ini adalah kondisi fisik dan psikis yang berbeda dengan makhluk lain. Dari kondisi fisik dan psikis yang begitu sempurna manusia mampu mencipatakan teknologi begitu rupa. Namun sebaliknya jika potensi tersebut tidak dimaksimalkan sebaik mungkin maka hanya akan menjadi manusia yang tidak berguna.

Pembahasan dalam Tafsir Surat Al Tin Ayat 4-8 ini diakhiri dengan pembicaran mengenai keimanan kepada Allah swt dan amal salih. Iman dan amal salih merupakan syarat mutlak seseorang untuk menjadi seseorang yang mulia di hadapan Allah swt.

Ayat 4

Setelah bersumpah dengan buah-buahan yang bermanfaat atau tempat-tempat yang mulia itu, Allah menegaskan bahwa Dia telah menciptakan manusia dengan kondisi fisik dan psikis terbaik.

Dari segi fisik, misalnya, hanya manusia yang berdiri tegak sehingga otaknya bebas berpikir, yang menghasilkan ilmu, dan tangannya juga bebas bergerak untuk merealisasikan ilmunya itu, sehingga melahirkan teknologi.

Bentuk manusia adalah yang paling indah dari semua makhluk-Nya. Dari segi psikis, hanya manusia yang memiliki pikiran dan perasaan yang sempurna. Dan lebih-lebih lagi, hanya manusia yang beragama. Banyak lagi keistimewaan manusia dari segi fisik dan psikis itu yang tidak mungkin diuraikan di sini.

Penegasan Allah bahwa Dia telah menciptakan manusia dengan kondisi fisik dan psikis terbaik itu mengandung arti bahwa fisik dan psikis manusia itu perlu dipelihara dan ditumbuhkembangkan.

Fisik manusia dipelihara dan ditumbuhkembangkan dengan memberinya gizi yang cukup dan menjaga kesehatannya. Dan psikis manusia dipelihara dan ditumbuhkembangkan dengan memberinya agama dan pendidikan yang baik. Bila fisik dan psikis manusia dipelihara dan ditumbuhkembangkan, maka manusia akan dapat memberikan kemanfaatan yang besar kepada alam ini. Dengan demikianlah ia akan menjadi makhluk termulia.


Baca juga: Dua Jenis Kematian menurut Al-Quran: Tafsir Surat Az-Zumar Ayat 42


Ayat 5

Manusia yang paling baik dan sempurna kejadiannya itu akan menjadi tidak berguna bila tidak dijaga pertumbuhannya dan tidak dipelihara kesehatannya. Manusia yang paling sempurna rohaninya itu akan menjadi jahat dan merusak di muka bumi ini bila tidak diberi agama dan pendidikan yang baik.

Manusia yang lemah akan menjadi beban, dan manusia yang jahat akan merusak masyarakatnya. Akhirnya di akhirat ia akan masuk neraka. Dengan demikian, manusia itu akan menjadi makhluk terhina.

Ayat 6

Yang terhindar dari kehinaan itu adalah orang-orang yang beriman dan berbuat baik. Dengan demikian, tolok ukur kemuliaan adalah iman dan perbuatan baik itu. Hal itu karena iman berarti mengakui adanya Allah dan nilai-nilai yang diajarkan-Nya.

Pengakuan itu akan menjadi jalan hidup atau akidahnya, dan karena telah menjadi akidahnya, maka nilai-nilai itu akan dilaksanakannya dengan sepenuh hatinya. Karena nilai-nilai yang diajarkan Allah seluruhnya baik, maka manusia yang melaksanakannya akan menjadi manusia baik pula. Semakin tinggi akidah seseorang semakin baik perbuatannya, sehingga ia akan menjadi manusia terbaik dan termulia.

Manusia yang memiliki sikap hidup yang didasarkan atas iman dan perbuatan baik itu akan memperoleh balasan dari Allah tanpa putus-putusnya. Iman dan perbuatan baiknya itu akan berbuah di dunia, berupa kesentosaan hidup baginya dan bagi masyarakatnya, dan kebahagiaan hidup di akhirat di dalam surga.

Ayat 7

Allah mempertanyakan bila masih ada manusia yang menganggap bohong apa yang disampaikan-Nya kepada Nabi Muhammad bahwa kemuliaan manusia itu diukur dari imannya dan perbuatan baiknya. Hal itu karena iman itulah yang akan membuahkan perbuatan baik, sedangkan keingkaran hanya akan membuahkan kejahatan.

Ayat 8

Allah menegaskan bahwa menerapkan ketentuan tentang kemuliaan manusia itu didasarkan atas iman dan perbuatan baiknya, itu adalah bukti bahwa Allah Mahabijaksana. Hal itu karena iman itulah yang akan membuahkan perbuatan baik, sedangkan keingkaran hanya akan membuahkan kejahatan, sebagaimana disampaikan di atas. Bila kemuliaan diletakkan pada kekafiran dan kejahatan, itu akan menghancurkan alam ini.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al ‘Alaq Ayat 1-7


(Tafsir Kemenag)

Studi Al-Quran di Barat, Antara Iman dan Objektifitas Akademik

0
Studi Al-Quran di Barat
Studi Al-Quran di Barat

Dalam sebuah buku diktat tentang studi Al-Quran di Barat yang ditulis oleh beberapa akademisi berjudul The Blackwell Companion to the Quran, saya tertarik dengan pernyataan Christopher Buck dalam sub bagian yang ditulisnya. Di awal tulisan, Buck menulis sebuah pernyataan menarik: The Quran, the holy book of Islam, may well be the most powerful book in human history (Al-Quran, Kitab Suci umat Islam,  boleh jadi adalah buku yang paling berpengaruh dalam sejarah umat manusia).

Pengakuan Christoper Buck di atas saya kira bukan atas dasar keimanan, karena setahu saya Ia bukan Muslim. Pernyataan di atas semata-mata adalah pandangannya sebagai akademisi yang mengagumi pengaruh Al-Quran. Banyak di kalangan akademisi Barat pengkaji Studi Agama terutama Islam yang sangat apresiatif terhadap Al-Quran. Bahkan sikap apresiatif ini bisa dibilang sebagai kecenderungan yang paling dominan, untuk tidak menyebut seluruhnya.

Studi Al-Quran memang tidak hanya berkembang di Negara-Negara Islam, akan tetapi juga berkembang di Barat. Pasca peristiwa 9/11 pada tahun 2001, geliat studi Al-Quran di Barat kemudian melahirkan banyak kajian tidak hanya di kampus-kampus dengan Studi Agama di dalamnya, tetapi juga di kampus-kampus Negeri yang tidak ada Studi Agama/Timur di dalamnya.

Baca Juga: Robert of Ketton dan Dinamika Penerjemahan Al-Quran, Menjawab Kesimpulan Keliru Soal Kontribusi Orientalis dalam Studi Al-Quran

Masuknya kajian Al-Quran bahkan sempat menimbulkan polemik di kalangan masyarakat Barat. Christopher Buck menceritakan satu kasus di University of North Carolina pada tahun 2002, setahun setelah peristiwa 9/11. Kampus tersebut membuka kelas Summer Reading Program dengan buku utama karya Michael Sell berjudul Approaching the Quran: The Early Revelation.

Keputusan kampus ini banyak ditentang karena pengajaran buku ini dianggap dapat mencederai semangat Establisment Clause, klausul dalam UU Amerika Serikat yang melarang Negara untuk menunjuk satu agama resmi dan juga melarang pemerintah untuk memihak satu agama tertentu.

Kasus ini cukup menimbulkan polemik hingga diperkarakan ke pengadilan dan diberitakan oleh berbagai media. Dalam tahap-tahap pengadilan dari mulai pengadilan terendah (circuit courts of appeal) hingga pengadilan tertinggi Mahkamah Agung (US Supreme Court), kelompok penentang ini kalah.

Sebagaimana dikutip Buck, Hakim Agung N. Carlton Tilley menyatakan: “buku Approching the Quran tidak bisa disamakan dengan pengajaran praktik agama yang menyalahi Establisment Clause, penulis buku ini hanya menjelaskan Al-Quran bukan untuk mempromosikannya.”

Baca Juga: Michael Sells, Mengenalkan Aspek Aural dan Skriptural Sebagai Pendekatan Terhadap Al-Qur’an

Dari contoh kasus di atas, mungkin timbul pertanyaan apa bedanya menjelaskan Al-Quran dengan mempromosikannya? Secara singkat bisa dikatakan bahwa yang pertama berada dalam bingkai akademik (mempelajari), sedang yang kedua dalam bingkai doktrin agama (meyakini/mengimani).

Meski demikian, keduanya tetap bisa berjalan beriringan. Artinya seseorang bisa mengimani al-Quran sebagai doktrin sekaligus bisa melihatnya sebagai sebuah objek akademik seperti yang telah dilakukan oleh sarjana Muslim selama ini.

Adanya perbedaan tersebut merupakan hasil dari sejarah panjang polarisasi yang ada di dunia Barat. Terutama timbul dari adanya perbedaan yang mencolok antara pendekatan tradisional Muslim dengan pendekatan akademik Barat. Yang paling mencolok dari pendekatan akademik Barat adalah karakternya yang skeptis, analitik, dan kritis terhadap Al-Quran.

Baca Juga: Introducing English Semantics: Teori Semantika Al-Quran Ala Charles W. Kreidler

Untuk menjembatani kedua pendekatan di atas, Wilfred Cantwell Smith memiliki penjelasan yang cukup memadai. Dalam “Comparative Religion: Whither—and Why?” Smith mengenalkan istilah insider-outsider dynamic. Smith mengatakan bahwa pada prinsipnya jalan terbaik dalam menggeluti Al-Quran adalah masuk dan melihat dari perspektif orang yang mengimani (emic) sembari menjaga objektivitas akademik (etic).

Perspektif yang ditawarkan Smith di atas diterima dengan baik dan menjadi hal yang biasa dalam Studi Al-Quran di Barat dewasa ini. Pada gilirannya, kajian atas al-Quran terus berkembang di ranah akademik dengan beragam pendekatan. Hingga saat ini, banyak sekali sarjana Muslim yang belajar di Barat untuk memperdalam Studi Al-Quran dalam kapasitas mereka sebagai akademisi dengan perpektif emic sekaligus etic. Wallahu A’lam.

Mengenal Empat Pembacaan Nashr Hamid Abu Zaid terhadap Al-Quran

0
nashr hamid abu zaid
nashr hamid abu zaid (islamlib)

Seorang yang mempunyai nama lengkap Nashr Hamid Rizk Abu Zaid ini lahir di desa Quhafah dekat kota Thantha’ Mesir pada tanggal 10 Juli 1943. Ayahnya adalah seorang aktivis Ikhwanul Muslimin. Di usianya yang ke 8 tahun, Nashr sudah hafal al-Quran. Bahkan ketika masa remajanya, beliau sudah terbiasa menjadi imam masjid di mesir.

Nashr pernah bergabung dengan gerakan Ikhwanul Muslimin dan karena namanya ada dalam daftar keanggotaan pulalah, beliau dijebloskan ke penjara walaupun hanya satu hari karena masih di bawah umur. Sejak saat itu juga, Nashr telah tertarik dengan pemikiran-pemikiran Sayyid Quthb  tentang keadilan dan penafsiran Islam. Beliau juga sudah terbiasa menjadi imam masjid di mesir pada usia remajanya.

Pada tahun 1960, Nashr Hamid lulus dari sekolah teknik Thantha. Kemudian melanjutkan pendidikannya di Universitas Cairo dengan mengambil jurusan bahasa dan sastra Arab, tepatnya pada tahun 1968. Selain menjadi mahasiswa, Nashr juga bekerja sebagai seorang Teknisi Elektronik di Organisasi Komunikasi Nasional di Cairo. Sehingga, waktu siangnya digunakan untuk bekerja dan waktu malamnya digunakan untuk kuliah.

Nashr Hamid kemudian berhasil menyelesaikan studinya pada tahun 1972 dengan predikat cumlaude. Beliau kemudian diangkat menjadi dosen dengan jurusan yang sama. Pada waktu itu, ada kebijakan bagi setiap asisten dosen baru untuk mengambil studi islam sebagai kajian utama dalam riset Master dan Doktor. Sejak saat itulah, Nashr mulai melakukan studi tentang Al-Quran, Problem Interpretasi dan Hermeneutika.

Baca juga: Hasan Hanafi, Eksponen Penting Dalam Hermeneutika Al-Quran

Pada tahun 2010, Nashr Hamid kembali ke haribaan Allah Swt dengan meninggalkan banyak karya dalam bentuk tulisan, di antaranya: Al-Ittijahat al-‘Aql fi al-Tafsir: Dirasat fi Qadiyat al-Majaz ‘ind al-Mu’tazilah (Pendekatan Rasional dalam Interpretasi; Studi terhadap Majaz menurut Kaum Mu’tazilah), Falsafat al-Ta’wil: Dirasat fi Ta’wil al-Qur’an ind Muhyiddin Ibn ‘Arabi (Interpretasi Filosofis : Studi terhadap Interpretasi al-Qur’an menurut Ibn ‘Arabi), Mafhum al-Nass; Dirasat fi Ulum al-Qur’an (konsep Teks; Studi dalam ilmu-ilmu al-Qur’an), Naqd al-Khitab al-Dini (Kritik Wacana Keagamaan), dan al-Imam al-syafi’i wa Ta’sis al-Aidiulujiyyat al-Wasatiyyat (Imam syafi’i dan pembentukan ideologi mederat).

Adapun kaitannya dengan penafsiran, Nashr mengungkapkan bahwa realitas penafsir, tafsir dan teks melalui diskursus semiotika merupakan ‘keluarga’ dari linguistik struktural. Menurutnya, interpretasi bukanlah konsep yang hanya terbatas pada teks-teks kebahasaan saja, justru lebih luas.

Dari segi kebahasaan misalnya, keluasan tersebut secara umum mencangkup peristiwa-peristiwa (al-ahdas), realitas-realitas (al-waqa’i), dan fenomena-fenomena (al-dzawahir) secara keseluruhan. Dalam artian konsep interaksi itu berada pada konteks semiotika secara holistik. Sehingga, hubungan antara penafsir, pembaca, teks dan realita, seharusnya tidak berjalan secara mekanis belaka, namun lebih pada proses dialektis.

Empat Pembacaan Nasr terhadap Al-Quran

Secara garis besar, pembacaan Nashr terhadap Al-Quran terbagi menjadi empat, berikut penjelasannya:

Pertama, Al-Quran sebagai sebuah pesan tidak bisa lepas dari kesadaran penafsir mengenai Al-Quran sebagai teks linguistik yang memiliki karakteristik sendiri. Menurutnya, di dalam makna bahasa terdapat dua dimensi yang terlihat kontradiktif, namun sebenarnya saling melengkapi. Nashr menyebutnya dengan dalalah (makna yang dibangun berdasarkan gramatikal teks, sehingga menghasilkan makna-makna gramatik) dan maghza (menunjukkan pada makna dalam konteks sosio-historis).

Kedua, Al-Quran sebagai kitab bahasa adalah teks yang bersifat historis dalam bahasa yang lahir pada masyarakat tertentu, dan mewakili sifat-sifat kulturalnya. Selain “konteks narasi” dalam memaknai teks Al-Quran perlu juga memahami “konteks kultural” dan “konteks pembacaan” teks tersebut. Sebab Al-Quran diturunkan pada konteks ruang dan waktu. Sehingga konteks dimana Al-Quran diturunkan tentunya berkaitan erat dengan teks al-Qur’annya.

Baca juga: Mengulik Hermeneutika Al-Quran ala Hasan Hanafi (1): Beberapa Pemikiran

Dalam bahasa lainnya, al-Qur’an sebagai teks bahasa tidak bisa dianalisis melalui bahasa secara inhern. Oleh karenanya, Nashr menganggap bahwa persoalan konteks budaya secara luas merupakan persoalan penting yang tidak dapat ditinggalkan.

Ketiga, Pemahaman generasi muslim pertama terhadap teks al-Qur’an tidak dianggap sebagai pemahaman yang final dan absolut. Proses interpretasi tidak akan pernah berakhir, dan reinterpretasi akan selalu terjadi di sepanjang masa. Menurut Nashr, interpretasi teks dapat dilakukan oleh siapapun yang memiliki kompetensi dan dengan syarat-syarat tertentu.

Ketika melakukan interpretasi, penafsir harus meninggalkan segala macam horizon subjektif yang berada di otaknya. Maksudnya, meninggalkan kecenderungan penekanan aspek internal teks sebagai hubungan-hubungan semantis yang menghasilkan pembacaan terikat (al-qira’ah al-bariah). Hal ini menyebabkan pembacaan terhadap teks selalu terikat dengan data-data kebahasaan pada teks itu. Hubungan antara teks dengan dunia di luar teks terabaikan. Padahal, kenyataannya teks tidak dapat dipisahkan dari faktor-faktor eksternal yang turut mempengaruhinya.

Model pembacaan lain yang harus ditinggalkan penafsir adalah pembacaan tendensius (al-qira’ah al-mugridah), yaitu pembacaan teks yang dilakukan sesuai dengan ideologi yang dianut oleh penafsir. Pembacaan tendensius merupakan pembacaan yang dilakukan atas dasar kepentingan, sehingga hasil yang dicapai akan selalu bersifat obyektif.

Keempat, Nashr menganalisis tingkatan-tingkatan konteks (as-siyaq) yang menurutnya sangat penting dalam studi al-Qur’an dan linguistik. Dalam studi teks, pembahasan as-siyaq sangatlah beragam. Nashr berusaha memberikan fokus dan batasan-batasan dengan mengarahkan telaah terhadap teks-teks yang bersifat kebudayaan atau teks-teks dalam pengertian semiotik. Batasan-batasan tersebut meliputi; konteks sosio-kultural (as-siyaq al-saqafi al-ijtima’i), konteks eksternal (as-siyaq al-khariji atau at-takhatub), konteks internal (as-siyaq ad-dakhili), konteks bahasa (as-siyaq al-lughawi), dan konteks pembacaan atau pentakwilan (as-siyaq al-qira’ah atau as-siyaq at-ta’wil).

Pembacaan yang dilakukan oleh Nashr Hamid adalah model pembacaan yang disebut al-qira’ah al-muntijah (pembacaan produktif). Walaupun beliau memisah makna dalam teks menjadi dua, yaitu dalalah dan magza. Namun, pada dasarnya dalalah dan magza merupakan dua bentuk yang digunakan untuk satu pekerjaan. Magza tidak dapat dipisahkan dari sentuhan dalalah, sebab dalalah yang dapat mengantarkan magza sampai pada makna paling jauh. Sementara itu, untuk mengungkapkan makna dalalah harus melalui media at-tafsirah (tanda).

Jadi model pembacaan dengan al-qira’ah al-muntijah berangkat dari analisis tanda bahasa (at-tafsirah) untuk memperoleh makna tekstual (dalalah), setelah itu dihubungkan dengan makna konteks sosio-historis untuk memperoleh magza. Dengan demikian pendekatan, pemikiran, pemaknaan terhadap teks keagamaan bisa lebih dinamis, kontekstual, inklusif, dan relevan dengan wacana masyarakat dewasa ini. Wallahu A’lam

Bacaan Al-Quran Agar Diberi Kemudahan Dalam Mencari Rezeki

0
Agar diberi kemudahan dalam mencari rezeki
Surat Al-Fath Ayat 1 agar diberi kemudahan dalam mencari rezeki

Setiap orang mungkin berharap agar diberi kemudahan dalam mencari rezeki dan mendapatkan keberkahan dari rezeki tersebut. Sebab pada faktanya bekerja untuk mencari nafkah bukanlah perkara yang mudah. Ada yang harus bekerja membanting tulang dengan susah-payah, ada yang harus memeras otak tiada henti dan ada pula yang bekerja dengan sepenuh pikiran dan tenaga.

Bukan hanya itu saja, beberapa orang bahkan kesulitan untuk sekedar mendapatkan pekerjaan yang layak, baik itu karena ketiadaan pekerjaan ataupun ketidakmampuan untuk bekerja. Akibatnya, tidak sedikit dari masyarakat Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan dan sulit untuk memenuhi kebutuhan harian mereka. Realitas ini menunjukkan bahwa mencari rezeki dipenuhi dengan perjuangan.

Meskipun demikian, harus diketahui bahwa kesulitan dan kesusahan dalam mencari rezeki jika dimaknai dengan positif maka dapat bernilai ibadah. Dalam ajaran Islam, mencari nafkah merupakan suatu perbuatan mulia yang akan diberi ganjaran oleh Allah swt. Dalam hal ini, mencari nafkah memiliki dua fungsi utama, yakni sebagai sarana memenuhi kebutuhan dan bagian ibadah kepada Allah swt.

Baca Juga: Ini Dia Enam Tips Memperlancar Rezeki Menurut Al-Quran

Mencari rezeki adalah kewajiban setiap muslim sebagai bagian dari ikhtiar mereka di dunia sekalipun Allah swt telah menjamin keberlangsungan rezeki masing-masing individu. Bahkan para nabi juga bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka. Nabi Muhammad saw pernah bersabda:

عَنِ المِقْدَامِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ، خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ، وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ، كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ» رَوَاهُ الْبُخَارِى

Artinya: “Dari Miqdam ra, dari Rasulullah saw bersabda: tidaklah seseorang makan makanan yang lebih baik daripada makan hasil kerjanya sendiri dan sesungguhnya Nabi Daud AS makan dari hasil buah tangan (pekerjaan) nya sendiri” (HR. al-Bukhari).

Bacaan Al-Quran Agar Diberi Kemudahan Dalam Mencari Rezeki

Bekerja atau mencari nafkah dalam ajaran Islam tidak sekedar berlandaskan tujuan yang bersifat duniawi, namun lebih kepada bekerja untuk ibadah. Bekerja akan membuahkan hasil dan hasil itulah yang bisa memberikan makan, tempat tinggal, pakaian, menafkahi keluarga sekaligus menjalani bentuk ibadah lain dengan baik.

Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah sangat mencintai orang-orang mukmin yang suka bekerja keras dalam usaha mencari mata pencaharian”. (HR. Tabrani dan Bukhari). Dalam hadis lain yang sanadnya sampai ke ‘Aisyah ra, beliau juga mengatakan:   “Seseorang bekerja keras ia akan diampuni Allah”. (HR. Tabrani dan Bukhari).

Habiburrahman El-Shirazy dalam Ayat-Ayat Cinta menyederhanakan relasi usaha dan takdir dengan ungkapan, “Takdir Tuhan ada di ujung usaha manusia. Tuhan Maha adil, Dia akan memberikan sesuatu kepada Umat-Nya sesuai dengan kadar usaha dan ikhtiarnya.” Artinya, meskipun setiap orang telah dijamin rezekinya, namun ia tetap harus berusaha untuk mencari rezeki tersebut.

Selain melakukan usaha sungguh-sungguh dalam mencari rezeki, seseorang juga harus berdoa dan bertawakal kepada Allah swt dalam setiap langkahnya. Karena Dia adalah Yang Maha Pemberi Rezeki dan Maha Penentu. Seseorang harus memastikan bahwa setiap perkataan dan perbuatannya dilandasi dengan sikap ini kapanpun dan dimanapun ia berada.

Imam al-Ghazali dalam adz-Dzahabul Ibris mengatakan bahwa disamping bekerja dalam rangka mencari rezeki – pada saat bersamaan – seseorang juga dapat mengamalkan bacaan Al-Quran agar diberi kemudahan dalam mencari rezeki. Menurutnya, ayat Al-Quran yang dapat dibaca adalah surah al-Fath [48] ayat 1 dan surah al-Anfal [8] ayat 19 yang masing-masing berbunyi:

اِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُّبِيْنًاۙ ١

“Sungguh, Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata.” (Al-Fath [48]: 1)

اِنْ تَسْتَفْتِحُوْا فَقَدْ جَاۤءَكُمُ الْفَتْحُۚ وَاِنْ تَنْتَهُوْا فَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْۚ وَاِنْ تَعُوْدُوْا نَعُدْۚ وَلَنْ تُغْنِيَ عَنْكُمْ فِئَتُكُمْ شَيْـًٔا وَّلَوْ كَثُرَتْۙ وَاَنَّ اللّٰهَ مَعَ الْمُؤْمِنِيْنَ ࣖ ١٩

Jika kamu meminta keputusan, maka sesungguhnya keputusan telah datang kepadamu; dan jika kamu berhenti (memusuhi Rasul), maka itulah yang lebih baik bagimu; dan jika kamu kembali, niscaya Kami kembali (memberi pertolongan); dan pasukanmu tidak akan dapat menolak sesuatu bahaya sedikit pun darimu, biarpun dia jumlahnya (pasukan) banyak. Sungguh, Allah beserta orang-orang beriman. (Al-Anfal [8]: 19).

Baca Juga: 9 Sumber Rezeki Yang Disebutkan dalam Al-Quran

Amalan ini al-Ghazali dapatkan dari seseorang laki-laki penduduk Mekah, ia berkata, Dahulu aku tertimpa kesulitan rezeki, aku lalu mengadukannya kepada seorang laki-laki saleh. Ia lantas berkata kepadaku: “Tulislah di sebuah kertas, lalu gantungkan pada lenganmu firman Allah swt surah al-Fath [48] ayat 1 dan surah al-Anfal [8] ayat 19.”

Si laki-laki tersebut kemudian mengamalkan apa yang diperintahkan oleh orang saleh. Berkat izin Allah swt, setelah itu pintu rezeki dibukakan untuknya dan dia diberi kemudahan dalam mencari rezeki. Berdasarkan riwayat inilah imam al-Ghazali berpandangan bahwa surah al-Fath [48] ayat 1 dan surah al-Anfal [8] ayat 19 adalah bacaan pembuka rezeki.

Berdasarkan keterangan di atas, ada beberapa hal yang dapat dijadikan catatan, yakni: 1) setiap manusia wajib untuk berusaha mencari rezeki semampu mungkin; 2) usaha mencari nafkah merupakan suatu perbuatan ibadah, bukan hanya sebatas pemenuhan kebutuhan harian; 3) usaha harus dibarengi dengan doa dan tawakal kepada Allah swt. Misalnya dengan membaca surah al-Fath [48] ayat 1 dan surah al-Anfal [8] agar diberi kemudahan dalam mencari rezeki. Wallahu a’lam.

Mungkinkah Terjadi Pengulangan Turunnya Ayat Al-Quran?

0
pengulangan turunnya ayat Al-Quran
pengulangan turunnya ayat Al-Quran

Salah satu kajian ulumul Qur’an yang masih menjadi polemik dan perdebatan antara beberapa ulama adalah terkait kemungkinan adanya proses pengulangan turunnya sebuah ayat Al-Quran. Perdebatan tersebut terbagi menjadi dua kelompok, satu sisi terdapat ulama yang menolak adanya pengulangan turunnya ayat Al-Quran, dan di sisi lain terdapat ulama yang menerima hal tersebut.

Melalui artikel singkat ini penulis ingin sedikit mengurai perdebatan masalah tikrar al-nuzul tersebut berdasarkan beberapa pendapat dan kaidah yang telah disusun oleh para ulama’.

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, penulis akan menyampaikan terkait argumentasi kelompok yang menolak adanya pengulangan turunnya ayat Al-Quran. Dalam kitab al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an karya Imam Jalaluddin al-Suyuthi, dijelaskan bahwa mereka yang menolak hal tersebut berpandangan bahwa mencari sesuatu yang sudah ada atau dalam kata lain mengulangi sesuatu yang sudah pernah disampaikan itu tidak ada faedahnya sama sekali. Jika demikian, benarkah pandangan tersebut?

Baca Juga: Belajar Sabab Nuzul dalam Menafsirkan Al Quran Sangat Penting!

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis ingin mencantumkan sebuah kaidah dasar terkait problem pengulangan turunnya ayat Al-Quran tersebut. Kaidah ini disampaikan oleh Khalid ibn Utsman al-Sabt dalam karyanya Qawa’id al-Tafsir Jam’an wa Dirasatan, sebagaimana berikut:

الأَصْلُ عَدَمُ تِكْرَارِ النُّزُوْلِ

Hukum asalnya adalah tidak ada pengulangan turunnya ayat Al-Quran

Dalam kaidah tersebut, Khalid ibn Utsman al-Sabt menjelaskan bahwa memang secara asalnya tidak ada pengulangan turunnya ayat Al-Quran. Namun ia melanjutkan bahwa apabila terdapat riwayat yang sanadnya shahih dan redaksinya sharih (jelas) tentang adanya kejadian proses pengulangan turunnya ayat, maka riwayat tersebut dapat dikeluarkan dari ketetapan kaidah asal tersebut. Sehingga, dapat dipahami bahwa tidak bisa dipungkiri memang terdapat beberapa riwayat yang menunjukkan keberadaan pengulangan turunnya ayat Al-Quran.

Terjadinya proses pengulangan turunnya ayat Al-Quran tersebut bukanlah tanpa alasan. Khalid ibn Utsman al-Sabt menyebutkan bahwa pengulangan ayat tersebut memiliki tiga fungsi utama, yaitu: (1) sebagai pengingat (tadzkir) terhadap suatu hukum yang terkandung dalam ayat yang telah diturunkan sebelumnya; (2) sebagai bentuk penegasan dan penekanan (ta’kid) atas ayat yang diturunkan ulang tersebut; dan (3) sebagai penjelas bahwa kejadian yang baru tersebut masuk dalam ketetapan hukum sebuah ayat yang telah disampaikan sebelumnya.

Selain itu, terjadinya pengulangan turunnya ayat tersebut merupakan bentuk penurunan ayat yang sama namun dengan huruf yang berbeda. Hal ini dikarenakan Al-Quran turun atas tujuh huruf. Dan selama periode Makkah ayat turun hanya berdasar satu huruf yaitu huruf Quraisy, sehingga enam huruf sisanya turun pada periode Madinah. Oleh karena itu, ketika menyikapi adanya pengulangan turunnya surah al-Fatihah, Imam al-Suyuthi berpendapat demikian:

“Boleh saja surah al-Fatihah itu turun pada kali pertama berdasar satu huruf, dan turun yang kedua dengan huruf-huruf yang lainya, seperti kata maliki dan maaliki, kata ash-shiraath dan ash-shirath, dan lain sebagainya.”

Baca Juga: Kaidah Asbabun Nuzul: Manakah yang Harus didahulukan, Keumuman Lafaz atau Kekhususan Sabab?

Salah satu contoh ayat yang turun berulang selama dua kali adalah ayat tentang ruh dalam Q.S. al-Isra’ [17] ayat 85:

وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الرُّوْحِۗ قُلِ الرُّوْحُ مِنْ اَمْرِ رَبِّيْ وَمَآ اُوْتِيْتُمْ مِّنَ الْعِلْمِ اِلَّا قَلِيْلًا – ٨٥

Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ruh. Katakanlah, Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit

Diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud bahwasanya ayat tersebut turun ketika Nabi berada di Madinah. Pada saat itu, terdapat seorang Yahudi yang bertanya kepada Nabi perihal ruh. Mendengar pertanyaan tersebut, Nabi pun kemudian berdiri seraya mengangkat kepala beliau ke langit, tidak lama kemudian turunlah ayat tersebut.

Baca Juga: Ketika Al-Quran Menceritakan Proses Nuzulul Quran

Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengomentari riwayat tersebut, bahwasanya ayat tersebut merupakan ayat madaniyah, padahal semua isi surah al-Isra’ adalah makkiyah. Sehingga menunjukkan bahwa ayat tersebut turun di Madinah untuk kedua kalinya, sebagaimana pernah diturunkan di Makkah.

Selain ayat tersebut, Imam al-Zarkasyi menyebutkan dua ayat lainya yang turun selama dua kali yaitu Q.S. al-Taubah [9]: 113 dan Q.S. Hud [11]: 114. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa memang dimungkinkan adanya pengulangan turunnya ayat Al-Quran. Terjadinya pengulangan ayat tersebut bukanlah tanpa alasan, namun di dalamnya terdapat fungsi dan hikmah tertentu yang berkaitan terhadap ayat yang diulang tersebut. Sehingga, pengulangan ayat ini memiliki berbagai faedah yang luar biasa. Wallahu A’lam

Tafsir Surat Al Tin Ayat 2-3

0
tafsir surat al tin
Tafsiralquran.id

Pada pembahasan yang lalu berbicara mengenai buah Tin dan Zaitun serta kandungan keduanya dengan dijadikan sebagai objek sumpah, Tafsir Surat Al Tin Ayat 2-3 berbicara mengenai gunung Sinai dan ‘”negeri yang damai”. Keduanya pun dijadikan sebagai objek sumpah oleh Allah swt.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al Tin Ayat 1


Penjelasan mengenai gunung Sinai dalam Tafsir Surat Al Tin Ayat 2-3 ini juga tertera dalam ayat lain, yakni surat al ‘Araf ayat 144. Gunung Sinai merupakan tempat Nabi Musa menerima kita Taurat. Sedangkan maksud dari “negeri yang damai” adalah Makkah, tempat kelahiran Nabi Muhammad saw.

Ayat 2

Setelah itu, Allah bersumpah dengan Gunung Sinai, tempat Nabi Musa menerima wahyu (Taurat). Mengenai bahwa Nabi Musa menerima wahyu di tempat itu dikisahkan pula antara lain dalam Surah al-A’raf/7: 144. Allah berfirman:

قَالَ يٰمُوْسٰٓى اِنِّى اصْطَفَيْتُكَ عَلَى النَّاسِ بِرِسٰلٰتِيْ وَبِكَلَامِيْ ۖفَخُذْ مَآ اٰتَيْتُكَ وَكُنْ مِّنَ الشّٰكِرِيْنَ  ١٤٤

(Allah) berfirman, “Wahai Musa! Sesungguhnya Aku memilih (melebihkan) engkau dari manusia yang lain (pada masamu) untuk membawa risalah-Ku dan firman-Ku, sebab itu berpegang-teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu dan hendaklah engkau termasuk orang-orang yang bersyukur.” (al-A’raf/7: 144)

Dalam ayat sebelumnya dikisahkan bagaimana Nabi Musa naik bukit Sinai untuk menerima wahyu. Dalam ayat ini dinyatakan pengangkatan Musa sebagai nabi dan menerima wahyu yaitu kitab Taurat.


Baca juga: Inilah Kisah-Kisah Israiliyat dalam Tafsir Al-Munir karya Syekh Nawawi Al-Bantany, Begini Penjelasannya


Ayat 3

Selanjutnya Allah bersumpah dengan “negeri yang damai”. Maksudnya adalah Mekah, tempat Nabi Muhammad lahir dan menerima wahyu. Bahwa Mekah adalah tempat asal Nabi Muhammad dinyatakan pula antara lain dalam Surah Muhammad/47: 13:

وَكَاَيِّنْ مِّنْ قَرْيَةٍ هِيَ اَشَدُّ قُوَّةً مِّنْ قَرْيَتِكَ الَّتِيْٓ اَخْرَجَتْكَۚ اَهْلَكْنٰهُمْ فَلَا نَاصِرَ لَهُمْ   ١٣

Dan betapa banyak negeri yang (penduduknya) lebih kuat dari (penduduk) negerimu (Muhammad) yang telah mengusirmu itu. Kami telah membinasakan mereka; maka tidak ada seorang pun yang menolong mereka. (Muhammad/47: 13)

Dalam ayat ini terdapat informasi bahwa beliau telah dipaksa meninggalkan negeri asalnya, yaitu tempat kelahirannya (Mekah) dan hijrah ke Medinah.

Berdasarkan ayat-ayat lain lebih tepat dipahami bahwa ketiga ayat di atas menyatakan tempat ketiga nabi itu lahir atau menerima tugas kenabian mereka. Di dalam ayat-ayat lain, ketiga nabi itu memang sering disebutkan bersamaan, misalnya dalam Surah a¡-Saff/61: 5-6:

وَاِذْ قَالَ مُوْسٰى لِقَوْمِهٖ يٰقَوْمِ لِمَ تُؤْذُوْنَنِيْ وَقَدْ تَّعْلَمُوْنَ اَنِّيْ رَسُوْلُ اللّٰهِ اِلَيْكُمْۗ فَلَمَّا زَاغُوْٓا اَزَاغَ اللّٰهُ قُلُوْبَهُمْۗ وَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْفٰسِقِيْنَ   ٥

وَاِذْ قَالَ عِيْسَى ابْنُ مَرْيَمَ يٰبَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ اِنِّيْ رَسُوْلُ اللّٰهِ اِلَيْكُمْ مُّصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيَّ مِنَ التَّوْرٰىةِ وَمُبَشِّرًاۢ بِرَسُوْلٍ يَّأْتِيْ مِنْۢ بَعْدِى اسْمُهٗٓ اَحْمَدُۗ فَلَمَّا جَاۤءَهُمْ بِالْبَيِّنٰتِ قَالُوْا هٰذَا سِحْرٌ مُّبِيْنٌ   ٦

“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Wahai kaumku! Mengapa kamu menyakitiku, padahal kamu sungguh mengetahui bahwa sesungguhnya aku utusan Allah kepadamu?” Maka ketika mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.(5)

Dan (ingatlah) ketika Isa putra Maryam berkata, “Wahai Bani Israil! Sesungguhnya aku utusan Allah kepadamu, yang membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan seorang rasul yang akan datang setelahku, yang namanya Ahmad (Muhammad).” Namun ketika rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata, “Ini adalah sihir yang nyata.” (6) (as-Saff/61: 5-6)

Dalam Perjanjian Lama, Kitab Ulangan 33 ayat 2 juga dinyatakan tempat ketiga nabi itu, “Tuhan telah datang dari Sinai, dan terbit kepada mereka di Seir, kelihatan Dia dengan gemerlapan cahayanya dari Gunung Paran.”

Sinai adalah Sinai tempat Nabi Musa menerima wahyu, Seir adalah pegunungan di Baitul Maqdis tempat Nabi Isa lahir dan menerima kenabian, dan pegunungan Paran adalah pegunungan Mekah, tempat Nabi Muhammad lahir dan menerima kenabiannya.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Tin Ayat 4-8


(Tafsir Kemenag)