Beranda blog Halaman 450

Mengenal Kitab Arba’in tentang Keutamaan Al-Quran

0
KItab arba'in tentang keutamaan Al-Quran
KItab arba'in tentang keutamaan Al-Quran

Jamak kita temui kitab-kitab yang berisi empat puluh hadis atau lazim disebut kitab arba’in (al-arba’iniyyat) dan dikarang oleh para ulama dengan metode tematik. Misalnya adalah kitab Arba’in An-Nawawi karya Abu Zakaria Muhy al-Din bin Syaraf al-Nawawi al-Damasyqi yang menghimpun 42 hadits tentang ushulud din, pondasi agama.

Sudah menjadi suatu tradisi bagi para ulama untuk menghimpun permasalahan dalam agama dalam sebuah rangkuman. Arba’in An-Nawawi bukanlah satu-satunya kitab dengan metode rangkuman tersebut. Bahkan saking jamaknya kitab-kitab al-arba’iniyyat, tidak diketahui siapa ulama  yang pertama kali mengarang kitab dengan metode ini.

Namun berdasarkan beberapa catatan dalam berbagai mukadimah kitab al-arba’iniyyat, seperti dalam mukadimah anotasi Arba’in An-Nawawi karya Imam Nawawi Banten, ulama pertama yang menulis karya kitab arba’in ialah Imam Abdullah bin al-Mubarak yang hidup pada 118 -181 H.

Setelah Ibn al-Mubarak beberapa ulama mengikuti metode penulisan tersebut seperti Muhammad bin Aslam al-Thusi, al-Hasan bin Sufyan al-Nasa’i, Abu Bakar al-Ajri, Abu Bakar Muhammad bin Ibrahim al-Ashfahani, al-Daruquthni, al-Hakim, Abu Nu’aim, dan lain sebagainya.

Motif Penulisan

Penulisan kitab arba’in oleh para ulama tersebut tidak serta merta berdasarkan kreatifitas belaka. Akan tetapi, adalah sebuah harapan mereka demi masuk pada golongan yang diberi kabar gembira oleh Rasulullah dalam sabdanya;

من حفظ على أمتي أربعين حديثا من أمر دينها بعثه الله يوم القيامة في زمرة الفقهاء و العلماء

“Barangsiapa di antara umatku, yang hafal empat puluh hadis mengenai urusan agamanya, maka kelak pada hari kiamat, Allah akan membangkitkannya termasuk ke dalam golongan ahli fikih dan ahli ilmu.”

Baca juga: Inilah Keutamaan Shalat Menurut Al-Quran: Tafsir QS. Al-Ankabut [29] Ayat 45

Akan tetapi dalam mukadimahnya, Imam Nawawi mengatakan bahwa hadis tersebut dinilai hadis dhaif oleh para ahli hadis meski banyak perawi yang meriwayatkannya dengan redaksi yang berbeda. Kendati, para ahli hadis juga bersepakat bolehnya mengamalkan hadis dhaif sebatas dalam perkara fadhail al-a’mal (keutaman-keutamaan suatu amal).

Arbain tentang Keutamaan Al-Quran

Barangkali di antara kitab al-arba’iniyyat yang paling masyhur adalah kitab arbain karya Imam Nawawi al-Damasyqi yang diberi anotasi (syarh) banyak sekali oleh para ulama. Sebut saja sebagai contoh kitab al-Majalis al-Sainiyyah karya Syaikh Ahmad al-Fasyani yang dikaji di berbagai pesantren tradisional. Lalu Imam Nawawi Banten juga memberi anotasi pada kitab ulama Damaskus tersebut.

Kepopuleran kitab Arbain Nawawi tersebut tidak bisa terlepas dari isinya yang membabarkan hadits-hadits ushul al-din, pondasi agama, yang menjadi bekal utama setiap muslim. Dengan demikian, kitab tersebut sangat penting diajarkan pertama kali sebelum umat islam mempelajari anasir-anasir ilmu agama lainnya.

Saya kira, kitab al-arba’iniyyat yang tak kalah pentingnya adalah kitab Arba’una Haditsan fi Fadhail Al-Quran al-Adzim (2005) karya Sayyid Abd al-Rahman bin Abdullah Balfaqih, Hadramaut, Yaman. Kitab ini memuat 40 (bab) hadis mengenai keutamaan-keutaman Al-Quran. Bisa disepakati kitab arba’in yang memuat tema istimewa ini sangat jarang. Kitab arba’in sebelumnya yang memuat tema Al-Quran ini adalah karangan Mulla Ali al-Qari al-Makki (1014 H) yang berjudul Faidh al-Mu’in ‘ala Jam’ al-Arba’in fi Fadhl al-Qur’an al-Mubin (1987 M).

Sayyid Abd al-Rahman Balfaqih lahir pada 1089 H di Tarim, Hadramaut, Yaman. Beliau merupakan seorang putra dari pasangan Sayyid Abdullah bin Ahmad, seorang pemuka Alawiyyin pada masanya dan Sayyidah Maryam, cucu Sayyid Abdurrahman al-Idrus. Mulanya, beliau belajar kepada ayahnya hingga usia sepuluh tahun, kemudian kepada kakeknya dari jalur ibu, Sayyid Muhammad al-Idrus. Setelah kepada kakeknya, beliau belajar kepada pamannya, al-Habib Abdurrahman al-Idrus.

Selain belajar kepada ayah, kakek dan pamannya, Sayyid Abdurrahman juga belajar kepada Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad (1044-1132 H) serta kepada ulama-ulama masyhur lainnya dari berbagai wilayah, seperti Yaman, Haramain(Makkah-Madinah) dan Syam. Tercatat puluhan lebih ulama yang menjadi guru beliau di berbagai negara. Di antara karya beliau adalah Risalah al-Murid, al-Shu’ud fi Tadzkirah al-Ukhuwah, Fath Bashair al-Mustarsyidin dan lain sebagainya.

Baca juga: Memahami Makna Kata Jaza dalam Al-Quran dan Penggunaannya

Sistematika Penyusunan

Kitab Arbauna Haditsan fi Fadhail Al-Quran ini disusun dengan sistematika sederhana sesuai penomoran dari satu hingga empat puluh. Setiap nomor dinukilkan satu atau beberapa hadis yang terkait. Biasanya adalah hadits yang memiliki makna sama namun dengan redaksi yang berbeda. Model ini dibuat untuk memudahkan pembaca mengeksplorasi kandungan makna yang berkenaan dengan suatu keutamaan Al-Quran pada tiap redaksi hadis.

Dengan demikian, meski penomoran pada kitab ini hanya empat puluh, akan tetapi hadits yang dicantumkan dalam kitab ini mencapai 132 hadits. Sayyid Abdurrahman dalam mukadimahnya telah mengutarakan bahwa dalam kitabnya tersebut tidak ada satu hadits pun yang cacat atau bahkan maudhu’. Namun setelah ditelusuri di berbagai kitab hadits babon, pen-tahqiq kitab ini menemukan beberapa hadits yang dinilai oleh para muhaddits sebagai hadis yang dhaif seperti pada hadits nomor 63, 65, 79.

Muhammad Bazib, sang pen-tahqiq kitab ini, mengatakan alasan kenapa hadits dhaif juga dikutip dalam kitab ini adalah sederhana, yakni penyandaran Sayyid Abdurrahman dalam menukil hadis dhaif tersebut kepada guru-gurunya dahulu, terutama pada kitab Kanz al-‘Ummal, anggitan Ali al-Muttaqi al-Hindi dan juga merujuk pada al-Jami’ al-Shaghir karya Jalaluddin al-Suyuthi. Biarpun, beliau telah berusaha menukil hadits-hadits dengan mengklasifikasinya dahulu sebelum dimasukkan ke dalam susunan kitabnya dan sebagian besar hadis dalam kitab beliau dapat digunakan sebagai hujjah.

Sisi lain yang menarik dari kitab ini adalah dilengkapi dengan anotasi atau catatan pada mufradat-mufradat yang sulit dan jarang digunakan (gharib) dan satuan kalimat yang rumit dipahami. Dengan begitu sidang pembaca dapat mudah memahami makna suatu hadis tanpa membuka kamus atau kitab pendukung lainnya. Wallahu A’lam.

Mengurai Dua Peta Tipologi Pemikiran Tafsir Kontemporer

0
Tipologi Pemikiran Tafsir Kontemporer
Tipologi Pemikiran Tafsir Kontemporer (ilustrasi: islamic-college.ac.uk)

Dalam perkembangan pemikiran tafsir kontemporer, terdapat berbagai macam jenis bentuk pemikiran yang kemudian disederhanakan dalam beberapa tipologi pemikiran. Ragam tipologi pemikiran tafsir kontemporer ini kemudian dijadikan sebagai acuan dalam menganalisis serta mengklasifikasi berbagai pemikiran tafsir berdasarkan data-data yang didapat.

Artikel ini akan menguraikan dua peta tipologi penafsiran kontemporer yang cukup komprehensif digunakan untuk menganalisis dan mengklasifikasi data terkait pemikiran tafsir kontemporer. Pertama, peta tipologi penafsiran yang dikemukakan oleh Abdullah Saeed. Kedua, peta tipologi penafsiran yang dikemukan oleh Sahiron Syamsuddin.

Abdullah Saeed dalam karyanya, Intepreting the Qur’an, membagi tipologi pemikiran tafsir kontemporer ke dalam tiga kelompok yakni 1) tekstualis; 2) semi tekstualis dan 3) kontekstualis (Saeed, 2006: 3).

Baca Juga: Mengulik Hermeneutika Al-Quran ala Hasan Hanafi (1): Beberapa Pemikiran

Menurutnya, penafsir yang tergolong dalam kelompok tekstualis adalah penafsir yang mengambil makna literal teks semata dan berasumsi bahwa makna literal teks sudah mewakili nilai universal al-Qur’an sehingga cukup dijadikan sebagai pedoman dari zaman ke zaman.

Kedua, penafsir semi tekstualis adalah penafsir yang sudah memperhatikan aspek kebahasaan namun tetap tidak memperhatikan aspek sosio-historis teks sehingga tetap masih menghasilkan makna yang kaku dan kurang relevan dengan zaman.

Terakhir, penafsir kontekstualis, merupakan penafsir yang mempertimbangkan secara detail aspek linguistik serta konteks sosio-historis dari sebuah teks baik konteks yang mengiringi lahirnya teks (konteks mikro) maupun konteks yang melingkupi zaman teks itu muncul (konteks makro). Aliran kontekstualis ini menekankan akan nilai-nilai universal yang terdapat dalam teks (al-tsawabit) yang dapat diambil dan selalu relevan dengan zaman.

Adapun peta tipologi yang ditawarkan oleh Sahiron Syamsuddin yang dikemukakannya dalam karyanya, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, terdiri atas tiga macam tipologi yakni 1) quasi-objektivis konservatif; 2) quasi  subjektivis; 3) quasi-objektivis progresif (Sahiron, 2009: 54).

Aliran quasi-subjektivis konservatif adalah yang berpandangan bahwa ajaran-ajaran al-Qur’an harus dipahami, ditafsirkan dan diaplikasikan pada masa kini sebagaimana dipahami, ditafsirkan dan diaplikasikan pada saat Al-Qur’an diturunkan kepada Muhammad Saw. dan generasi muslim awal.

Penafsir yang masuk dalam tipologi ini baru masuk dalam level makna zahir, artinya baru mendapati level makna terendah dalam memahami Al-Qur’an sehingga tidak mampu memberikan kontribusi secara teologis terkait masalah-masalah modern-kontemporer. Hal ini menurut al-Zarkasyi disebabkan oleh terlalu berpegangnya sang mufassir pada ilmu dzhahir (tekstual) sehingga menghasilkan level makna terendah (al-Zarkasyi, 1988: 181).

Kedua, aliran subjektivis merupakan aliran yang berpegang pada subjektivitas penafsir dan independensinya dalam menafsirkan teks. Dalam level yang ekstrim, tipologi ini bahkan tidak membuka kembali kodifikasi-kodifikasi penafsiran terdahulu maupun penafsiran hadis yang termuat dalam kitab-kitab hadis dan berfokus terhadap upaya untuk menafsirkan teks agar menghasilkan makna yang kontributif bagi perkembangan zaman.

Pemikiran pada tipologi ini biasanya sangat menekankan aspek linguistik sehingga fokus utamanya adalah mengkaji sisi-sisi kebahasaan teks yang mampu dikembangkan kembali pemaknaannya dan melakukan kajian interteks jadi membiarkan al-Qur’am menafsirkan dirinya sendiri.

Baca Juga: Muhammad Abduh: Mufasir Pelopor Pembaharuan Pemikiran di Dunia Islam

Terakhir, aliran quasi-objektivis progresif adalah aliran lebih dekat dengan aliran pertama, sebab tetap berusaha untuk menggali makna historis dari teks. Hanya saja, makna historis yang didapat hanya dijadikan sebagai pijakan awal untuk menggali maqashid/ ratio legis/ maghza/ significance yang berada di balik teks dan kemudian dikembangkan untuk menghasilkan produk penafsiran baru yang membawa nilai-nilai universal teks yang tidak memiliki batas kadaluarsa.

Manapun tipologi yang didapati dari pemikiran para mufassir, masing-masing tetap telah melakukan usaha keras demi menyingkap makna. Maka tugas peneliti bukanlah untuk menghakiminya secara hitam putih, namun mengeksplor masing-masing pemikiran secara objektif. Wallahu a’lam.

Muhammad Thahir Ibnu ‘Asyur dan Empat Prinsip Penafsirannya

0
Ibnu 'Asyur dan empat prinsip penafsirannya
Ibnu 'Asyur dan empat prinsip penafsirannya

Ia mempunyai nama lengkap Muhammad Tahir bin Muhammad bin Muhammad Tahir bin Muhammad bin Muhammad Syazili bin’Abd al-Qadir bin Muhammad bin ‘Asyur. Seorang ulama ahli tafsir yang lebih kerap disapa dengan sebutan Ibnu ‘Asyur ini lahir pada tahun 1879 dari sebuah keluarga terhormat yang berasal dari Andalusia.

Keluarga Ibnu ‘Asyur terkenal sebagai keluarga religius sekaligus pemikir. Ibunya bernama Fatimah, anak perempuan dari Perdana Menteri Muhammad al-Aziz bin Attar. Sedangkan kakeknya bernama Muhammad Tahir bin Muhammad bin Muhammad Syazili, seorang ahli nahwu, ahli fikih, yang pernah menjabat sebagai ketua qadi pada tahun 1851, bahkan pernah menjadi mufti pada tahun 1860 di Tunisia.

Ibnu ‘Asyur dibesarkan dalam lingkungan kondusif bagi seorang yang cinta ilmu. Ia belajar al-Qur’an, baik hafalan, tajwid, maupun qira’at nya di sekitar tempat tinggalnya. Setelah hafal al-Qur’an, ia belajar di melanjutkan perjalannya dalam mencari ilmu pada sekitar awal abad 14 H dengan bergabung dalam lembaga pendidikan Zaitunah, salah satu lembaga di Tunisia yang model pendidikannya setaraf dengan al-Azhar di Mesir.

Setelah menyelesaikan pendidikannya, Ibnu ‘Asyur menjadi salah satu ulama besar di Tunisia. Kemudian pada tahun 1913 ia diangkat menjadi qadi (hakim) madzab Maliki dan diangkat menjadi pemimpin mufti (Basy Mufti) madzab Maliki pada tahun 1927. Selain itu, ia juga terpilih menjadi anggota Majma’ al-Lughah al-‘Arabi di Mesir dan Damskus pada tahun 1950 serta anggota Majma’ al-Ilmi al-Arabi di Damaskus pada tahun 1955.

Baca juga: Mengenal 8 Maqasid Al Quran  Versi Ibnu ‘Asyur

Ibnu ‘Asyur hidup sezaman dengan ulama ternama di Mesir bernama Muhammad al-Khadr Husein at-Tunisy. Keduanya adalah teman seperjuangan, ulama yang sangat luar biasa, memiliki tingkat keimanan yang tinggi, serta sama-sama pernah dijebloskan ke dalam bui lantaran karena mempertahankan pemahaman dan ideologinya serta menanggung penderitaan yang sangat berat demi memperjuangkan negara dan agama. Muhammad al-Khidr ditakdirkan oleh Allah menjadi Mufti Mesir, sedangkan Ibnu ‘Asyur menjadi Syeikh Besar Islam di Tunisia.

Pada waktu itu, Tunisia dipimpin oleh seorang yang menggiring Ibnu ‘Asyur berseteru dengan pemerintah. Ia menentang pemerintahan dengan mengumpulkan kekuatan untuk menyampaikan pesan agama. Konon, kedudukannya sebagai Syekh Besar Islam dicopot akibat perbuatannya. Akhirnya, Ibnu ‘Asyur memutuskan untuk berdiam diri di rumah sambil membaca dan menulis. Pada masa-masa tersebut, ia menulis karya tafsir berjudul Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir yang kemudian menjadi salah satu master piece-nya.

Baca juga: Tujuh Kaidah Penting Dalam Proses Penafsiran Ayat Al-Quran

Pada akhirnya, Ibnu ‘Asyur wafat pada tahun 1973 dengan meninggalkan beberapa karya dari berbagai macam disiplin ilmu seperti tafsir, maqashid syari’ah, fikih, dan usul fikih. Diantara karyanya adalah: Alaisa al-Subh bi Qarib, Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyah, Uslul an-Nizamal-Ijtima’i fi al-Islam, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, dan Mujiz al-Balaghah.

Empat prinsip penafsiran Ibnu ‘Asyur

Adapun kaitannya dengan penafsiran, Ibnu ‘Asyur mempunyai empat prinsip yang dijadikan pegangan dalam sebuah penafsiran, yaitu:

Pertama, Prinsip Maslahat (kebaikan). Menurutnya, hakikat dari diturunkannya Al-Quran adalah untuk kemaslahatan manusia. Oleh karenanya sebuah penafsiran harus mempunyai maslahah bagi pembacanya, sebagaimana contoh berikut:

وَجَعَلْنَا نَوْمَكُمْ سُبَاتًا

 وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ لِبَاسًا

 وَجَعَلْنَا النَّهَارَ مَعَاشًا

“Dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat, dan Kami jadikan malam sebagai pakaian. dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan.” (QS. An-Naba: 9-11)

Menurut Ibnu ‘Asyur, malam akan terasa nikmat dan nyaman apabila digunakan untuk istirahat dan tidur, sedangkan siang akan terasa nyaman apabila digunakan untuk bekerja.

Kedua, Prinsip Objektivitas penafsiran. Menurutnya, seorang mufasir tidak boleh mengedepankan ideologi, kelompok, madzhab, atau politik tertentu. Al-Quran harus ditafsirkan dengan semangat objektifitas yang tinggi.

Baca juga: Kaidah Asbabun Nuzul: Manakah yang Harus didahulukan, Keumuman Lafaz atau Kekhususan Sabab?

Salah satu contoh usaha Ibnu ‘Asyur dalam menafsirkan secara objektif adalah ketika ia berbeda pendapat dengan imam Malik, yang mana Ibnu ‘Asyur menganut madzhab imam Malik. Namun, Ibnu ‘Asyur mengunggulkan pendapat imam Hanafi yang mengatakan bahwa kulit bangkai binatang itu bisa dipakai untuk keperluan apa saja setelah disamak. Sementara imam Malik berpendapat bahwa kulit bangkai binatang hanya bisa suci bagian luarnya saja, sedangkan bagian dalamnya tidak bisa suci meskipun telah disamak.

Ketiga, Prinsip Pembacaan Komprehensif. Menurutnya, suatu ayat tidak boleh dipahami secara parsial. Sebagaimana contoh berikut:

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُوا

 “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. an-Nisa:1).

Menurut Ibnu ‘Asyur, ayat di atas mempunyai keterkaitan dengan ayat sebelumnya yaitu QS. An-Nisa ayat 2 yang menjelaskan tentang perempuan yatim.  Dengan melalui pembacaan tersebut, ia berkesimpulan bahwa seseorang tidak boleh menikahi perempuan yatim karena hartanya yang melimpah dan kecantikannya sehingga tidak bisa berbuat adil.

Baca juga: Mungkinkah Terjadi Pengulangan Turunnya Ayat Al-Quran?

Keempat, Prinsip Kesatuan Sebuah Surat dalam Al-Quran. Menurutnya, suatu surat di dalam Al-Quran merupakan satu kesatuan yang memiliki tujuan-tujuan tertentu, sehingga sebuah surat haruslah ditafsirkan secara utuh dan komprehensif.

Misalnya ketika menafsirkan surat al Ikhlas, Ibnu ‘Asyur menyebutkan bahwa surat tersebut memiliki beberapa tujuan, diantaranya: menetapkan keesaan Tuhan, menegaskan bahwa segala sesuatu bergantung kepada Allah, dan Menepis anggapan orang kafir bahwa Allah diperanakkan sebagaimana Nabi Isa yang mereka anggap sebagai Tuhan.

Wallahu a’lam[]

Tafsir Surat Al ‘Alaq Ayat 8-19

0
tafsir surat al a'laq
Tafsiralquran.id

Setelah pada pembahasan yang telah lalu dijelaskan mengenai proses penciptaan manusia dan proses memperoleh pengetahuan, selanjutnya Tafsir Surat Al ‘Alaq Ayat 8-19 menjelaskan mengenai ancaman bagi orang-orang yang durhaka kepada Allah swt.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al ‘Alaq Ayat 1-7


Dalam Tafsir Surat Al ‘Alaq Ayat 8-19 ini juga dijelaskan mengenai kasus pelarangan salat di Masjidil Haram. Kasus ini terjadi antara Nabi Muhammad swa sebagai orang yang dilarang dan Abu Jahal sebagai orang yang melarang. Allah swt mengecam keras orang-orang yang melarang pelaksanaan ibadah di Masjidil Haram.

Selain itu dalam Tafsir Surat Al ‘Alaq Ayat 8-19 ini juga dipaparkan mengenai tantangan Allah swt kepada orang-orang kafir, termasuk Abu Jahal, untuk mendatangkan bala bantuan ketika Allah swt mengutus malaikat Zabaniah agar membasmi mereka. Pada akhir pembahasan, Allah swt menegaskan agar umat muslim tidak merasa takut sedikitpun untuk melaksakan ibadah.

Ayat 8

Allah menegaskan kepada Nabi Muhammad bahwa mereka yang durhaka itu akan kembali kepada-Nya. Mereka pasti mati dan akan berhadapan dengan-Nya untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Bila mereka harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, berarti mereka nanti akan tahu, bahwa mereka akan diazab dan menyesal. Dalam ayat lain, Allah berfirman mengenai bagaimana keadaan yang akan dialami para pendurhaka itu:

وَلَا تَحْسَبَنَّ اللّٰهَ غَافِلًا عَمَّا يَعْمَلُ الظّٰلِمُوْنَ ەۗ اِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيْهِ الْاَبْصَارُۙ  ٤٢

  مُهْطِعِيْنَ مُقْنِعِيْ رُءُوْسِهِمْ لَا يَرْتَدُّ اِلَيْهِمْ طَرْفُهُمْ ۚوَاَفْـِٕدَتُهُمْ هَوَاۤءٌ ۗ    ٤٣

Dan janganlah engkau mengira, bahwa Allah lengah dari apa yang diperbuat oleh orang yang zalim. Sesungguhnya Allah menangguhkan mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak, mereka datang tergesa-gesa (memenuhi panggilan) dengan mengangkat kepalanya, sedang mata mereka tidak berkedip-kedip dan hati mereka kosong. (Ibrahim/14: 42-43)

Ayat 9-10

Allah bertanya kepada Nabi Muhammad, yang maksudnya meminta beliau memperhatikan orang yang melarang manusia melakukan salat. Orang yang dilarang adalah Nabi Muhammad saw untuk melakukan salat di Masjidil Haram. Sedangkan yang melarang adalah Abµ Jahal. Ia mengancam Nabi saw dengan kata-kata:

قَالَ أبو جَهْلٍ: لَئِنْ رَأَيْتُ مُحمَّدًا يُصَلِّي عِنْدَ الكَعْبَةِ لَأَطََأَنَّ عَلَى عُنُقِهِ. فَبَلَغَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: لَئِنْ فَعَلَ لَأَخَذَتْهُ الْمَلاَئِكَةُ.

(رواه البخاري عن ابن عباس)

Abµ Jahal berkata, “Jika saya melihat Muhammad salat di Ka’bah, saya akan lindas-lindaskan tengkuknya (ke tanah).” Ketika hal itu sampai kepada Nabi saw., beliau bersabda, “Jika itu ia lakukan, malaikat akan menghajarnya.” (Riwayat al-Bukhari dari Ibnu ‘Abbas)

Ayat 11-12

Selanjutnya Allah meminta Nabi Muhammad memperhatikan, seandainya orang yang dilarang salat di masjid itu membawa hidayah dan membimbing orang kepada iman, dan mengajak orang kepada ketakwaan, yaitu mengerjakan kebaikan dan kebenaran. Tindakan itu pasti lebih baik, karena pasti menguntungkan dirinya dan masyarakatnya.

Orang yang berperilaku seperti itu adalah Nabi Muhammad sendiri. Itu adalah dua perilaku yang bertolak belakang dan bertentangan seperti siang dan malam: yang pertama jahat dan membawa kepada kejahatan, dan yang kedua baik dan membawa kepada kebaikan.


Baca juga: Mengenal Lebih Jauh Tentang Tafsir Ilmi: Pengertian dan Perkembangannya


Ayat 13-14

Selanjutnya Allah meminta Nabi Muhammad memperhatikan orang yang melarang orang beribadah itu, yaitu Abµ Jahal sebagai contoh, apakah jika ia memandang Allah dan ajaran-ajaran-Nya dusta, lalu berpaling, dan tidak mau menggubrisnya. Ia tidak tahu bahwa Allah melihat perbuatannya itu. Tidak demikian halnya, Allah mengetahui setiap perbuatan dosanya itu dan akan memberikan balasannya.

Ayat 15-16

Allah mencela orang yang melarang orang beribadah di dalam masjid, dengan contohnya Abµ Lahab. Allah mengancam bahwa bila mereka tidak menghentikan perbuatannya, Allah akan mencabut ubun-ubunnya, yaitu menarik nyawanya sehingga mati seketika. Hukuman itu dijatuhkan padanya karena ubun-ubun itu adalah denyut kehidupannya, sedangkan denyut kehidupannya itu selalu penuh kebohongan dan dosa.

Ayat 17-18

Allah mempersilakan mereka yang sewenang-wenang dan melarang orang melakukan ibadah itu untuk meminta bantuan kelompok mereka.

Ayat ini khususnya ditujukan kepada Abµ Jahal, yang dikenal sebagai pemimpin terbesar orang-orang yang menentang Nabi saw di Mekah. Allah mengancam bahwa bila Abµ Jahal memanggil teman-teman komplotannya untuk meminta tolong, maka Allah akan memanggil malaikat-malaikat Zabaniyah, yaitu para penjaga neraka yang sangat bengis.

Artinya, ia di dunia akan celaka dan di akhirat akan masuk neraka. Ancaman itu kemudian terbukti, yaitu pada tahun kedua setelah umat Islam hijrah ke Medinah, terjadi Perang Badar, di mana Abµ Jahal sebagai pemimpin Quraisy mati terbunuh. Dan di akhirat nanti ia pasti masuk neraka.

Ayat 19

Allah meminta Nabi saw atau siapa saja yang ingin beribadah agar tidak takut dan tidak mematuhi ancaman orang yang melarang mereka beribadah. Mereka diminta untuk tetap melaksanakan ibadah dengan tekun, terutama salat, dan menggunakan masjid untuk melaksanakannya. Dalam ayat lain, Allah berfirman:

وَلَا تُطِعِ الْكٰفِرِيْنَ وَالْمُنٰفِقِيْنَ وَدَعْ اَذٰىهُمْ وَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗوَكَفٰى بِاللّٰهِ وَكِيْلًا   ٤٨

Dan janganlah engkau (Muhammad) menuruti orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, janganlah engkau hiraukan gangguan mereka dan bertawakallah kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai pelindung. (al-Ahzab/33: 48)

Di samping salat, umat Islam diminta pula mengerjakan ibadah-ibadah sunat lainnya dalam rangka mendekatkan diri kepada-Nya, baik itu berupa salat-salat sunat maupun zikir-zikir, dan sebagainya.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Qadr Ayat 1-2


(Tafsir Kemenag)

Al-Quran dan Faktor Kemunculan Ilmu Nahwu

0
Faktor Kemunculan Ilmu Nahwu
Faktor Kemunculan Ilmu Nahwu

Telah disepakati oleh para ulama bahwa alasan peletakan dasar ilmu nahwu adalah guna menjaga “keselamatan” al-Quran dan menjaga ke-saliqah-an masyarakat Arab dalam berbahasa dan terhindar dari lahn (kesalahan berbahasa). Tujuan itulah yang menyebabkan faktor kemunculan ilmu nahwu.

Seiring semakin meluasnya penyebaran Islam dengan membawa bahasa aslinya, bahasa Arab, para linguis Arab risau akan tercampurnya bahasa Arab dengan bahasa bangsa-bangsa lain yang masuk Islam. Sementara semangat mempelajari Islam dan bahasa Arab—bahasa yang menjadi pilihan lahirnya agama Islam dan piranti untuk memahami al-Quran—semakin tinggi pada diri para bangsa non-Arab ini.
Baca juga: Tafsir Surat Yasin Ayat 2-4: Sumpah Allah atas Kerasulan Nabi Muhammad saw

Muasal Gejala Lahn

Lahn (kesalahan berbahasa) merupakan gejala yang telah muncul sejak masa Rasulullah Saw. Hal ini ditunjukkan oleh riwayat yang menceritakan salah seorang sahabat Nabi yang salah berucap dalam majelis Nabi. Lantas Nabi memerintahkan sahabat lainnya untuk membenarkan kesalah ucapan saudaranya itu. Kendati gejala tersebut merupakan hal yang lumrah, seperti kesalahan berbahasa umumnya, akan tetapi semakin diperparah akibat percampuran bangsa Arab dengan bangsa lainnya.

Dengan demikian, kita melihat, ajakan Nabi untuk membenarkan lahn keluar melalui lisan sahabat Umar bin Khattab. Al-Zabidiy meriwayatkan dari Qasim bin Asbagh dari Abi Utsman al-Hindi bahwasanya surat Umar telah sampai kepada mereka yang sedang berada di Azerbaijan berisi perintah-perintah untuk umat Islam di sana dan salah satunya perintah belajar bahasa Arab.

Riwayat lainnya menceritakan kala masa Umar bin Khattab, ada seorang badui yang datang ke Madinah untuk belajar al-Quran. Lalu salah seorang di antara penduduk Madinah mengajarinya membaca al-Quran. Al-Qurthubi juga meriwayatkan cerita tersebut dari Ibn Abi Malikah. Suatu kali datanglah seorang badui—pada masa Umar bin Khattab—dan meminta salah satu penduduk Madinah untuk mengajarinya al-Quran, “Adakah yang berkenan mengajariku apa yang diturunkan kepada Muhammad?” lalu seorang lelaki menawarkan dirinya dan dimulailah pengajaran dengan membacakan surah al-Taubah [9].

Kala sampai pada ayat ketiga, lelaki yang mengajari badui tadi membaca surah al-Taubah [9] ayat 3 : Innallaha bari’un min al-musyrikina wa rasulihi (dengan membaca jarr rasulihi). Tiba-tiba si badui menyela, “Benarkah Allah berlepasdiri dari rasulnya? Jika Allah berlepasdiri dari rasulnya, maka saya pun juga berlepasdiri darinya.”

Baca juga: Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 5-7: Balasan Bagi yang Tak Patuh Perintah

Cerita ini akhirnya sampai ke telinga Umar bin Khattab lalu memintanya untuk bertemu dengan Umar. “Benarkah kau berlepas diri dari Rasulullah?” si badui menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, aku datang dari kampung ke Madinah sini tanpa mengerti satu ilmu pun tentang al-Quran. Lalu aku bertanya adakah yang berkenan mengajariku al-Quran. Lalu seorang lelaki tadi mengajariku dengan surah al-Taubah,” dan melanjutkan cerita sebagaimana di atas.

Semua riwayat qiraat al-Quran yang tujuh berbunyi—dengan men-dhammah rasuluhu, bukan rasulihi;

وَاَذَانٌ مِّنَ اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖٓ اِلَى النَّاسِ يَوْمَ الْحَجِّ الْاَكْبَرِ اَنَّ اللّٰهَ بَرِيْۤءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِيْنَ ەۙ وَرَسُوْلُهٗ ۗفَاِنْ تُبْتُمْ فَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْۚ وَاِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوْٓا اَنَّكُمْ غَيْرُ مُعْجِزِى اللّٰهِ ۗوَبَشِّرِ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِعَذَابٍ اَلِيْمٍۙ  ٣

Artinya: “Dan satu maklumat (pemberitahuan) dari Allah dan RasulNya kepada umat manusia pada hari haji akbar, bahwa sesungguhnya Allah dan RasulNya berlepas diri dari orang-orang musyrik. Kemudian jika kamu (kaum musyrikin) bertobat, maka itu lebih baikmu; dan kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa kamu tidak dapat melemahkan Allah. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang kafir (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih.” (al-Taubah [9] : 3)

Pada ayat tersebut, kesalahan pada rasuluhu menjadi rasulihi sangatlah fatal. Sebab jika dibaca rasulihi, maka berarti Allah berlepasdiri dari orang-orang musyrik dan (juga berlepasdiri) dari rasulnya. Wajar jika si badui tadi menyela dan bertanya bagaimana bisa Allah berlepasdiri dari rasulnya. Jika Allah saja berlepasdiri dari rasulnya, apalagi si badui tadi, pikirnya.

Selain itu, gejala lahn juga terjadi pada surah al-Haqqah [69] ayat 37:

لَّا يَأْكُلُهُ  اِلَّا الْخَاطِـُٔوْنَ  ٣٧

Artinya; “Tidak ada yang memakannya kecuali orang-orang yang berdosa.”

Kesalahan pada ayat tersebut adalah lafal al-khathi’un(rafa’-fail) dibaca al-khathi’in(nashab). Cerita ini diriwayatkan al-Anbari dalam Tarikh Adab al-‘Arabiy (1997) karya Musthafa Sadiq al-Rafi’i.

Kedua kesalahan di atas—barangkali ada riwayat lainnya—membuat Ibrahim Abdullah Rafidah dalam bukunya al-Nahw wa Kutub al-Tafsir(1990) meyakini bahwa gejala lahn muncul sejak awal-awal masa Islam, bisa jadi terjadi juga kesalahan pada ayat lainnya selain kedua ayat tersebut.

Baca juga: Memahami Makna Kata Jaza dalam Al-Quran dan Penggunaannya

Faktor-Faktor Kemunculan Ilmu Nahwu

Lantaran riwayat-riwayat di atas, Ibrahim (1990) membagi faktor kemunculan ilmu nahwu menjadi dua, yaitu faktor umum dan khusus. Faktor khusus yang pertama adalah banyaknya lahn pada sebagian ayat al-Quran memunculkan teori-teori peletakan ilmu nahwu. Kedua, adanya riwayat ajakan Ziyad kepada Abu al-Aswad untuk meletakkan dasar ilmu nahwu. “Buatlah sesuatu yang dapat menjadi imam dan bermanfaat bagi manusia serta dapat mengetahui Kitabullah.” Kelak dibuatlah ilmu nahwu itu.

Adapun faktor umumnya adalah pertama, untuk menjaga dan merawat keselamatan al-Quran dari gejala lahn. Kedua adalah upaya mendokumentasikan teks-teks al-Quran supaya menjaganya dari kesalahan dalam membaca. Ketiga adalah pemberian tanda pada mushaf untuk membedakan huruf satu dengan huruf lainnya. Sebab kesalahan pada huruf ketika membaca al-Quran ini sama fatalnya dengan kesalahan membaca harakat yang dapat merubah makna al-Quran.

Baca juga: Kompleksitas Bahasa Arab Sebagai Bahasa Al-Quran

Faktor-faktor yang dibabarkan Ibrahim dalam Tarikh Adab al-‘Arabiy kemudian diklasifikasi oleh Syuqi Dhaif dalam Madaris al-Nahwiyyah menjadi dua; teoligis dan politis. Faktor-faktor yang berkaitan dengan al-Quran dimasukkan dalam faktor teologis, sementara yang berkaitan dengan ekspansinya Islam ke wilayah-wilayah non-Arab (‘ajam) oleh Syauqi disebut sebagai faktor politis.

Pada akhirnya, tujuan ilmu nahwu yang mulanya untuk menjaga lahn dalam membaca al-Quran dan berkomunikasi, kini menjadi suatu ilmu tersendiri yang sarat dengan analisis filosofis pada setiap bab-babnya. Wallahu a’lam.

Kisah Abdullah bin Ummi Maktum: Penyandang Disabilitas Penyebab Turunnya Surah ‘Abasa

0
Abdullah bin Ummi Maktum
Kisah Abdullah bin Ummi Maktum dan Surah 'Abasa

Pada masa Nabi Muhammad saw ada dua muazin yang paling terkenal, yakni Bilal bin Rabah, seorang mantan budak berkulit hitam dari Habasyah (sekarang Ethiopia), dan Abdullah bin Ummi Maktum, seorang penyandang disabilitas penyebab turunnya surah ‘Abasa. Kehadiran dua tokoh ini menunjukkan bahwa sejak awal Islam secara simbolik telah melawan berbagai diskriminasi yang ada dalam masyarakat Arab.

Bilal bin rabah dan Abdullah bin Ummi Maktum merupakan orang-orang yang pertama kali masuk Islam atau sering disebut sebagai al-sabiqun al-awwalun. Meskipun Abdullah bin Ummi Maktum digambarkan sebagai penyandang disabilitas, sebab tidak bisa melihat alias buat, ia dikenal berilmu dan beradab serta memiliki kepekaan yang tinggi. Tak heran bila dirinya mampu mengetahui dengan detail pergeseran waktu, sehingga tugas muazin diserahkan kepadanya.

Abdullah bin Ummi Maktum adalah sahabat yang giat beribadah. Diceritakan suatu hari ia mengikuti pengajian Rasulullah saw. Dalam kesempatan itu, baginda rasul menyampaikan kewajiban setiap Muslim yang mendengar azan untuk segera menunaikan shalat berjamaah. Setelah mendengar penjelasan nabi saw, ia lalu bertanya apa yang harus dilakukannya sebagai penyandang disabilitas.

Wahai Rasulullah saw, apakah saya juga diwajibkan kendati saya tidak bisa melihat?” tanya Ibnu Ummi Maktum. Rasul menjawab, “Apakah kamu mendengar seruan azan?” Ibnu Ummi Maktum menjawab, “Ya, saya mendengarnya.” Rasul pun memerintahkannya agar ia tetap pergi ke masjid meskipun sambil merangkak.” Maksud perintah nabi ini adalah ia harus ke masjid sekalipun dengan jalan perlahan.

Baca Juga: Lembaran Surah Taha dan Kisah Keislaman Umar bin Khattab

Maka dengan penuh keimanan, setiap kali azan berkumandang dan waktu shalat tiba, Ibnu Ummi Maktum pun segera pergi ke masjid dan berjamaah dengan Rasulullah saw. Suatu ketika di waktu subuh, saat azan dikumandangkan, ia bergegas ke masjid. Di tengah perjalanan, kakinya tersandung batu hingga akhirnya mengeluarkan darah. Namun, tekadnya sudah bulat untuk tetap berjamaah ke masjid. Ini menggambarkan betapa kuatnya keimanan dan semangat beragamanya.

Abdullah bin Ummi Maktum mempunyai naluri yang sangat peka untuk mengetahui waktu. Setiap menjelang fajar, dengan perasaan jiwa yang segar ia keluar dari rumahnya, dengan bertopang tongkat atau bersandar pada lengan salah seorang kaum Muslimin untuk mengumandangkan azan di masjid Rasul. Dia selalu bergantian azan dengan Bilal bin Rabah. Jika salah satu dari mereka berdua azan, maka yang lainnya bertindak mengumandangkan iqamat.

Salah satu azan yang sering dikumandangkan oleh Abdullah bin Ummi Maktum adalah azan sebelum subuh, yakni azan penanda bahwa waktu shalat malam akan segera habis sekaligus sebagai penanda datangnya subuh. Oleh karena itu, Rasulullah saw mengatakan, “Makan dan minumlah hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan. Beliau mengumandangkan adzan hingga terbit fajar (shubuh).” (HR. Bukhari no. 1919 dan Muslim no. 1092).

Ibnu Ummi Maktum: Penyandang Disabilitas Penyebab Turunnya Surah ‘Abasa

Ada kisah menarik terkait Abdullah bin Ummi Maktum, yakni kisah yang menjadi penyebab turunnya surah ‘Abasa. Pada suatu hari, Nabi saw tengah duduk bersama para pemuka Quraisy. Tiba-tiba Abdullah menanyakan sesuatu ke beliau, tapi Rasul tak menghiraukannya karena sedang sibuk berbicara dengan beberapa tokoh Quraisy yang di antaranya ada Syaibah bin Rabi’ah.

Setelah selesai berunding dengan para pemuka Quraisy, Rasulullah saw kemudian bersiap untuk pulang ke rumah. Namun, beliau mendadak merasa kesakitan sebagaimana kondisi turunnya wahyu biasanya. Saat itulah Firman Allah berupa surah ‘Abasa ayat 1 sampai 16 turun yang secara umum menjelaskan tentang kesetaraan manusia, baik itu orang kaya maupun miskin, baik penyandang disabilitas maupun tidak dan sebagainya.

Dia (Muhammad) berwajah masam dan berpaling, karena seorang buta telah datang kepadanya (Abdullah bin Ummi Maktum). Dan tahukah engkau (Muhammad) barangkali dia ingin menyucikan dirinya (dari dosa), atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, yang memberi manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup (pembesar-pembesar Quraisy), maka engkau (Muhammad) memberi perhatian kepadanya, padahal tidak ada (cela) atasmu kalau dia tidak menyucikan diri (beriman).” (QS. ‘Abasa [80]: 1-7)

Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), sedang dia takut (kepada Allah), engkau (Muhammad) malah mengabaikannya. Engkau (Muhammad) malah mengabaikannya. Sekali-kali jangan (begitu)! Sungguh, (ajaran-ajaran Allah) itu suatu peringatan, maka barangsiapa menghendaki, tentulah dia akan memperhatikannya, di dalam kitab-kitab yang dimuliakan (di sisi Allah), yang ditinggikan (dan) disucikan, di tangan para utusan (malaikat), yang mulia lagi berbakti.” (QS. ‘Abasa [80]: 8-16).

Aisyah ra juga berkata, “Diturunkan ‘Abasa wa Tawallaa’ berkenaan dengan Ibnu Ummi Maktum yang buta, ia mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata: ‘Wahai Rasulullah berilah saya bimbingan’. Sedangkan di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat itu ada salah seorang pembesar kaum musyrikin.”

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpaling dari Ibnu Ummi Maktum dan berbalik ke arah lelaki pembesar musyrikin tersebut, lalu beliau berkata: ‘Apakah menurutmu apa yang aku sampaikan kepadamu ini baik?”, maka lelaki pembesar musyrikin itu menjawab: ‘Tidak’. Peristiwa inilah penyebab turunnya surah ‘Abasa.” (HR. at-Tirmidzi no. 2651)

Baca Juga: Abu Aswad Ad-Du’ali dan Kisah Pemberian Tanda Baca dalam Mushaf Al-Quran

Patut diketahui bahwa berpalingnya Rasulullah saw dari Abdullah bin Ummi Maktum bukan dalam rangka merendahkan dirinya, hanya saja pada waktu itu beliau sedang sibuk berbicara dengan para pemuka Quraisy sehingga tidak memiliki waktu untuk menjawab pertanyaan Abdullah bin Ummi Maktum. Sikatnya, nabi saw kala itu sedang fokus dalam mendakwahi pembesar Quaisy yang beliau anggap sebagai pijakan utama mendakwahi seluruh penduduk Mekah.

Menurut al-Qasyani, pada surah ‘Abasa ayat 1 sampai 16 Allah swt ingin mengajarkan kepada rasul-Nya bahwa tugasnya adalah menyampaikan ayat-ayat-Nya kepada seluruh manusia tanpa kecuali. Siapa saja yang menginginkan agar dirinya suci dan bersih dari segala dosa, maka haruslah disambut dan diperhatikan, serta lebih berhak untuk disikapi dengan lemah lembut. Tidak peduli apakah mereka itu kaum pejabat atau rakyat jelata, kaya atau miskin, laki-laki atau perempuan, tua atau muda. Wallahu a’lam.

Tafsir Surat Al-Qamar Ayat 1: Fenomena Terbelahnya Bulan

0
Tafsir Surat Al-Qamar ayat 1: Terbelahnya bulan
Tafsir Surat Al-Qamar ayat 1: Terbelahnya bulan

“Bulan telah terbelah!”, satu kalimat yang benar adanya di dalam Al-Quran. Sebagai kitab suci yang wajib kitai imani, maka segala peristiwa yang telah dijelaskan dalam Al-Quran harus kita percayai kebenarannya. Termasuk mengenai kalimat yang menyatakan fenomena terbelahnya bulan ini. Namun, dalam pembacaan Al-Quran tentunya tidak cukup hanya sebatas cuplikan sepotong ayat atau terjemahan. Maka dari itu penting membaca suatu ayat dengan menafsirkannya bagi seorang mufassir dan mengikuti penjelasan mufassir bagi yang awam. Ayat yang menyatakan tentang terbelahnya bulan ini terdapat dalam surah Al-Qamar ayat 1:

ٱقْتَرَبَتِ ٱلسَّاعَةُ وَٱنشَقَّ ٱلْقَمَرُ

“Telah dekat datangnya saat itu dan telah terbelah bulan”

Lalu bagaimana sebenarnya yang dimaksud tentang fenomena terbelahnya bulan dalam ayat tersebut? Simak penjelasan berikut ini!

Baca juga: Tafsir Ilmi Kemenag: Bumi yang Dinamis dan Relevansinya Bagi Kehidupan

Mukjizat Rasululullah SAW

Turunnya ayat-ayat Al-Quran tidak terlepas dari asbabun nuzul-nya. Termasuk mengenai Surat Al-Qamar ayat 1. Dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim, Ibnu Katsir menjelaskan hadis yang berkenaan dengan peristiwa tersebut melalui beberapa jalur sanad. Dari hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, kejadian ini memang benar adanya pada masa Rasulullah saw. Pada waktu itu kaum kafir dan muysrik terus menerus mendesak Rasulullah menunjukkan mukjizatnya. Lalu, suatu ketika, rembulan di langit Makkah menunjukkan suatu tanda keterbelahan yaitu munculnya warna merah. Namun, kaum kafir tetap saja pada pendiriannya dan malah mengatakan bahwa itu adalah sihir Rasulullah.

Jika hal itu adalah benar-benar hanya sihir, maka bulan sebenarnya tidaklah terbelah. Dan untuk membutikan hal tersebut kafir Quraisy menyuruh seorang musafir untuk memeriksa benarnya kejadian itu. Musafir itupun memeriksa setiap sudut wilayah, baik barat, timur utara dan selatan di tempat yang berbeda hasilnya tetap sama. Di mana pun tempatnya musafir tersebut melihat bulan yang terbelah itu. Versi cerita ini sanadnya melalui jalur Anas bin Malik dan Ibnu Mas’ud.

Baca juga: Mengapa Empat Bulan Ini Disebut Bulan Haram? Simak Penjelasannya

Al-Mahalli dan As-Suyuthi dalam Tafsir Jalalayn juga menggunakan hadis riwayat Ibnu Mas’ud. Karena dalam Tafsir Jalalayn disebutkan bahwa pada saat itu terbelahnya bulan menjadi dua bagian. Satu bagian berada di atas bukit Abu Qubais, dan satunya lagi berada di atas bukit Qaiqa’an. Meski banyak hadis yang memberikan versi cerita yang berbeda, satu hal yang penting adalah peristiwa tersebut adalah bukti mukjizat dari Rasulullah.

Para rasul pada zaman dahulu umumnya memang dikaruniai Allah berupa mukjizat yang digunakan untuk melemahkan argumentasi kaum yang membangkangnya. Mukjizat para rasul terdahulu biasa berupa kejadian ajaib dan hal-hal yang mustahil dari kejadian alam. Sedang Rasulullah sangat jarang diketahui mukjizatnya yang berasal dari tanda-tanda alam, salah satunya seperti peristiwa terbelahnya bulan ini. Namun hal yang jarang kita sadari bahwa sebenarnya Rasulullah diberikan mukjizat yang lebih besar dan lebih agung daripada mukjizat dari tanda-tanda alam. Mukjizat itu berupa kitab suci Al-Quran yang isinya tidak pernah lekang oleh keadaan zaman hingga yaumul qiyamah.

Menjadi tanda dekatnya hari kiamat

Dalam Surat Al-Qamar ayat 1, terdapat dua peringatan yang Allah tegaskan. Di samping penegasan terhadap mukjizat atas Rasulullah, terbelahnya bulan juga menjadi tanda bahwa hari akhir itu semakin dekat. Peringatan-peringatan tersebut tidak hanya ditujukan untuk kaum kafir Quraisy saja, melainkan juga kepada umat Rasulullah yang hidup setelahnya dan juga seluruh manusia jika ia mau memahami.

Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah memberikan penjelasan lebih rinci mengenai peristiwa terbelahnya bulan sebagai tanda hari akhir itu semakin dekat. Ketika hari akhir itu tiba, maka peristiwa-peristiwa alam yang tidak lazim akan semakin jelas terlihat. Peringatan ini sekali lagi juga ditegaskan untuk kaum-kaum yang membangkang, bahwa ketika sangkakala telah ditiupkan, tidak hanya rembulan yang pecah, gunung-gunung, bintang, planet dan dan seluruh jagat raya ini akan hancur.

Baca juga: Penjelasan Al-Quran tentang Fenomena Alam Semesta Bertasbih kepada Allah

Mereka yang berada di dalam kubur akan dibangkitkan kembali. Manusia-manusia kebingungan ibarat belalang-belalang yang beterbangan. Semua manusia akan mempertanggungjawabkan semua amal perbuatannya ketika di dunia. Satu peristiwa yang luput dari kaum kafir tersebut dan kaum-kaum yang membangkan. Seolah-olah mereka hidup di dunia ini tidak mendapatkan balasan atas apa yang telah diperbuatnya. Masih menurut Quraish Shihab, ayat ini mengandung sebuah ancaman untuk orang-orang yang membangkang.

Allah selalu memberikan isyarat-isyarat yang jelas mengenai peristiwa yang akan dialami manusia nantinya melaui firman-firman-Nya. Hal-hal tersebut juga sebenarnya menjadi peringatan kita bahwasannya hari akhir itu memang nyata. Melalui ayat-ayat qauliyah maupun kauniyah-Nya telah sangat gamblang dijelaskan akan hal tersebut. Tentunya bagi orang-orang yang mau berfikir, orang-orang yang lembut sanubarinya, dan mau menerima kebenaran yang telah disampaikan Allah kepadanya.

Wallahu a’lam[]

Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 56-58

0
tafsir surat al baqarah
Penamaan “Surat Al-Baqarah”

Masih dalam pembahasan mengenai Bani Israil. Pada pembahasan yang telah lalu dipaparkan mengenai nikmat dan azab yang diperoleh kaum Bani Israil, selanjutnya Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 56-58 ini berbicara lagi mengenai jenis nikmat lain yang diberikan kepada kaum Bani Israil.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 51-55


Salah satu nikmat yang disebut dalam Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 56-58 ini adalah perkembangan keturunan mereka. Hal ini agar keturunan-keturunan Bani Israil tersebut dapat mengambil pelajaran atas kejadian yang menimpa sebagian nenek moyang mereka di masa lalu.

Selain itu, nikmat lain yang dipaparkan dalam Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 56-58 ini adalah ketika mereka berada dalam belantara Sinai. Dalam keadaan tersebut Allah menganugerahkan awan agar mereka terlindung dari terik matahari dan juga dianugerahi nikmat mann dan salwa.

Ayat 56

Dalam ayat ini Allah mengingatkan kepada Bani Israil yang ada pada masa Nabi Muhammad saw bahwa setelah banyak di antara mereka itu mati karena azab tersebut di atas, maka keturunan mereka yang masih tinggal kembali berkembang biak, padahal tadinya mereka mengira jumlah mereka akan semakin berkurang.

Allah telah menakdirkan mereka berkembang kembali, agar mereka dapat mengambil pelajaran dari pengalaman yang pahit itu, sehingga mereka mau mensyukuri nikmat-nikmat Allah.

Allah menceritakan hal itu kepada kita dengan menghadapkan pembicaraan kepada Bani Israil yang ada ketika datangnya Nabi Muhammad saw untuk menunjukkan bahwa umat manusia ini pada hakikatnya adalah satu.

Segala cobaan yang telah diturunkan-Nya, berupa kebaikan atau musibah, nikmat atau kesengsaraan, semuanya merupakan pelajaran bagi umat yang datang kemudian dengan menerangkan yang telah terjadi atas umat-umat terdahulu, agar manusia mengetahui bahwa semua bangsa di dunia ini mempunyai tanggung jawab terhadap sesamanya.

Kebahagiaan seseorang sangat erat hubungannya dengan kebahagiaan orang lain. Demikian pula kesengsaraan yang dideritanya. Setiap pribadi akan tertimpa kesengsaraan akibat perbuatan dosa yang telah meluas di lingkungannya, walaupun ia sendiri tidak ikut melakukan dosa-dosa tersebut.

Ayat 57

Dalam ayat ini Allah mengingatkan lagi kepada Bani Israil tentang nikmat-Nya yang lain yang dilimpahkan-Nya kepada nenek moyang mereka, yakni Allah telah menaungi mereka dengan awan mendung dari terik panas matahari yang menimpa mereka.

Hal ini terjadi ketika mereka meninggalkan Mesir, dan menyeberangi Laut Merah. Mereka sampai ke gurun pasir dan ditimpa panas terik yang amat sangat. Lalu mereka mengadu kepada Nabi Musa.

Begitu dia berdoa kepada Allah, memohon pertolongan untuk mereka, Allah mengirim awan mendung untuk menaungi mereka, hingga mereka dapat berjalan sampai ke negeri yang mereka tuju.

Di samping itu Allah mengaruniakan pula makanan untuk mereka yaitu makanan yang disebut mann yang manis seperti madu, yang turun terus-menerus sejak terbit fajar sampai matahari terbenam, serta bahan makanan lain yang disebut salwa, yaitu semacam burung puyuh. Masing-masing mereka mengambil secukupnya untuk makan sampai keesokan harinya.

Menghadapi suhu udara yang sangat panas di tengah gurun pasir orang mudah terkuras habis energi dan tenaga yang dimilikinya. Oleh karena itu sebagai pengganti energi yang hilang diperlukan makanan dan minuman yang banyak mengandung zat gula. Mann adalah sejenis makanan yang manis atau minuman berenergi seperti madu yang sangat dibutuhkan di daerah gurun pasir.

Jika seseorang memakan makanan yang mengandung banyak zat gula kecuali meningkatkan energi dan memberi dampak rasa senang, juga membuat orang lebih bersemangat.

Di samping makanan yang kandungan gulanya tinggi juga dibutuhkan daging yang mengandung protein dan lemak. Salwa adalah sejenis burung puyuh yang dagingnya memiliki kandungan protein dan lemak yang sangat tinggi, makanan ini dibutuhkan oleh orang-orang yang berada di gurun pasir yang panas sekali.

Allah Mahamengetahui dan Mahabijaksana dengan memberikan makanan Mann dan Salwa kepada Bani Israil yang melakukan perjalanan panjang dan berat dari Mesir ke Syria.

Allah memerintahkan agar mereka memakan makanan yang baik, dari rezeki yang telah dilimpahkan-Nya. Makanan yang baik ialah makanan yang halal dan bermanfaat bagi kesehatan dan pertumbuhan badan. Ini menunjukkan bahwa apa pun yang diperintahkan Allah kepada manusia, manfaatnya adalah untuk diri mereka sendiri, bukan untuk-Nya.

Sebaliknya, apa pun yang dilarang-Nya agar dijauhi oleh manusia, semua itu adalah untuk menyelamatkan mereka sendiri dari malapetaka yang akan menimpa mereka karena perbuatan itu.


Baca juga: Urgensi Taubat dari Perbuatan Dosa dalam Surat Al-Furqan Ayat 68 – 70


Seorang ahli kimia bahan alam dari Belgia, Dr. Errera (1893) menduga bahwa manna merupakan jenis tumbuhan rendah, yang termasuk lumut kerak (lichenes) dari golongan unattached lichens (lumut kerak yang tidak melekat, mudah lepas). Setelah melakukan pengamatan, Errera menduga bahwa manna sangat mungkin merupakan spesies lumut kerak yang dikenal dengan nama saintifik: Aspicilia esculenta.

Lumut kerak aspicilia esculenta ini sangat mudah terbawa oleh angin atau badai, sehingga nampak seolah-oleh diturunkan (anzalnaa, diturunkan) dari langit. Lumut kerak ini mempunyai kandungan gizi yang tinggi dan mengandung pula zat antibiotika (thayyib, makanan yang baik-baik).

Sedangkan salwa, kemungkinan besar adalah burung puyuh. Dapatlah dimengerti bahwa Bani Israil dapat bertahan lama (sekitar 40th) di belantara Sinai, karena mendapatkan rahmat dari Allah swt., berupa makanan manna, yang merupakan sumber karbohidrat dengan gizi tinggi dan terkandung pula antibiotik di dalamnya. Sedangkan untuk sumber protein didapat dari salwa. Wallahu alam bis-sawab.

Ayat 58

Pada permulaan ayat ini, Allah swt memerintahkan Bani Israil untuk memasuki suatu daerah (Baitul Maqdis) dan menikmati makanan-makanan yang ada di sana dan mensyukuri nikmat-Nya, karena mereka telah diselamatkan dari pengejaran musuh dalam perjalanan yang amat sulit.

Mereka diperintahkan untuk mengucapkan doa kepada Allah, agar mereka diampuni dari segala dosa yang telah mereka lakukan. Allah menegaskan bahwa jika mereka mematuhi perintah tersebut, Dia akan mengampuni semua kesalahan mereka, dan akan memberikan tambahan pahala dan karunia kepada orang-orang yang berbuat kebajikan.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 60-59


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat Ar-Rum Ayat 30: Agama Sebagai Fitrah Manusia

0
Surat Ar-Rum Ayat 30
Surat Ar-Rum Ayat 30

Artikel ini akan menguraikan tentang penafsiran Surat Ar-Rum Ayat 30. Ayat ini menjelaskan soal fitrah penciptaan manusia sebagai makhluk yang beragama. Allah Swt berfirman:

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; ‎‎(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut ‎fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang ‎lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Surat Ar-Rum Ayat 30)‎

Pada hakekatnya, setiap manusia lahir ke dunia ini dengan membawa ‎fitrah berupa keyakinannya kepada agama (Islam). Demikian ditegaskan oleh ‎para ulama tafsir, ketika menjelaskan tentang maksud ayat di atas.‎

Seiring berjalannya waktu, maka fitrah yang sudah Allah tetapkan ‎tersebut, akan tetap atau berubah tergantung pada kondisi lingkungan di ‎mana manusia itu berada.‎

Nabi Muhammad Saw menegaskan, “Setiap anak dilahirkan dalam ‎keadaan suci (fitrah)—beragama Islam—, maka tergantung kedua orang ‎tuanyalah yang akan menjadikannya seorang yahudi, nasrani atau majusi.”‎

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Wajibkah Seorang Ibu Menyusui Anaknya?

Dari keterangan hadis di atas jelaslah bahwa setiap manusia dilahirkan ‎dalam kondisi beragama (Islam). Agama itu fitrah yang sudah ada sejak ‎manusia lahir, bahkan ketika mereka masih berada di alam rahim. Demikian ‎ditegaskan dalam ayat yang lain.‎

Begitu melekatnya fitrah berupa agama ini di dalam diri manusia, maka ‎meski seseorang larut dalam pelukan nafsu duniawi, yang seringkali ‎melenakannya dari ajaran agama, atau bahkan melupakannya pada tuhan, ‎pada saat tertentu akan muncul kerinduan dalam dirinya untuk kembali ‎kepada agama, kembali kepada tuhannya.‎

Jika seseorang menuruti kata hatinya untuk kembali kepada Tuhannya, ‎kepada ajaran agamanya, maka sangat mungkin pintu hidayah akan terbuka ‎lebar baginya. Namun sebaliknya, jika ia lebih memperturutkan hawa ‎nafsunya, tidak mengindahkan kata hatinya, maka dia akan semakin ‎terjerumus pada kesesatan dan gelimang dosa.‎

Az-Zamakhsyari dalam kitab tafsirnya al-Kasysyaf menjelaskan ayat di ‎atas dengan mengutip sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan oleh Imam ‎Muslim yang menyatakan, “setiap hamba-Ku Aku ciptakan dalam keadaan ‎lurus (berpegang teguh pada ajaran agama), kemudian setan telah ‎melencengkannya dari agamanya, serta menyuruhnya untuk menyekutukan-‎Ku dengan yang lainnya.”‎

Baca Juga: Biografi Al-Zamakhsyari: Sang Kreator Kitab Tafsir Al-Kasysyaf

Dari keterangan hadis qudsi di atas jelaslah bahwa pada hakekatnya ‎kita diciptakan oleh Allah dalam kondisi berpegang teguh pada agama, berada ‎pada fitrah Allah. Tetapi, tipu daya setanlah yang kemudian memalingkan kita ‎dari ajaran agama kita.

Setan telah memperdaya kita untuk mengingkari Allah, ‎dengan menjadikan selain Allah sebagai tuhan. Ada di antara umat manusia ‎yang kemudian kembali kepada fitrah agamanya. Adapula yang tetap berada ‎pada kesesatan dan kekufuran.‎

Satu hal yang harus kita sadari bersama adalah bahwa selama hayat ‎masih di kandung badan, selalu ada kesempatan untuk kembali kepada ‎agama, kembali kepada Tuhan. Tuhan sangat senang jika ada hamba-Nya ‎yang telah lama berkelana, mengembara mengarungi kehidupan ini, serta jauh ‎dari-Nya, kemudian dia kembali ke jalan-Nya.

Seperti halnya orang tua yang ‎telah lama ditinggal anaknya pergi merantau kemudian kembali pulang ke ‎pangkuannya. Bahkan, kasih sayang Tuhan kepada hamba-hamba-Nya jauh ‎melebihi kasih sayang orang tua kepada anak-anaknya.‎

Alangkah sayangnya, jika kesempatan hidup di dunia ini yang hanya ‎sekali, tidak dimanfaatkan untuk menjalani fitrah kemanusiaan, yaitu ‎memeluk erat agama, medekatkan diri kepada Tuhan, menjadi hamba-hamba-‎Nya yang dikasihi dan dicintai-Nya. Betapa malangnya diri ini, jika hidup di ‎dunia ini yang hanya sementara, diisi dengan amal yang sia-sia, yang hanya ‎akan membawa kita pada penyesalan tiada tara di akhirat kelak.‎

Mari kembali kepada fitrah kita, yaitu fitrah untuk beragama, fitrah ‎untuk selalu dekat dengan Tuhan, fitrah untuk menjadi hamba-hamba yang ‎dikasihi dan dicintai-Nya.‎

Dengan tetap pada fitrah itu, maka kita semua berharap semoga kelak, ‎ketika Tuhan mengambil kita untuk kembali kepada-Nya, Tuhan akan ‎memanggil dengan panggilan mesra: “Wahai jiwa-jiwa yang tenang, ‎kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridla dan diridlai-Nya. Maka ‎masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam ‎surga-Ku.”‎ Wallahu A’lam.

Tafsir Surat Yasin Ayat 2-4: Sumpah Allah atas Kerasulan Nabi Muhammad saw

0
Surat Yasin Ayat 2-4
Surat Yasin Ayat 2-4

Pada tulisan sebelumnya telah diulas karakteristik surat Yasin, keutamaannya dan makna dari kata yasin itu sendiri. Adapun kali ini penulis akan mengajak pembaca menelaah tafsir Surat Yasin Ayat 2-4 tentang kerasulan Nabi Muhammad saw dari berbagai kitab tafsir otoritatif.

    () وَالْقُرْآنِ الْحَكِيمِ () إِنَّكَ لَمِنَ الْمُرْسَلِينَ () عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيم

Demi al-Qur’an yang penuh hikmah.

Sesungguhnya kamu salah seorang dari rasul-rasul.

(yang berada) di atas jalan yang lurus.

Ayat kedua dari surat Yasin di atas merupakan kalimat sumpah. Allah Swt bersumpah dengan al-Qur’an yang penuh hikmah. Selain dengan al-Qur’an, Allah Swt juga pernah bersumpah dengan dirinya sendiri, arsy, waktu subuh dan lain sebagainya.

Allah Swt tidak bersumpah dengan sesuatu kecuali hal itu mulia dan istimewa di sisi-Nya serta patut direnungkan (tadabbur) oleh manusia. Salah satunya kitab suci al-Qur’an.

Baca Juga: Tafsir Surat Yasin ayat 1: Pengantar Tafsir dan Keutamaan Membacanya

Ibn asyur mengatakan, sumpah Allah Swt di sini setidaknya bertujuan dua hal. Pertama, menunjukkan kemuliaan al-Qur’an sebagai komponen sumpah (muqsam bih). Kedua, menguatkan isi pernyataan Allah Swt sendiri pada ayat setelahnya, bahwa Nabi Muhammad saw termasuk rasul yang lurus.

Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki mendefinisikan al-Qur’an sebagai berikut:

هو الكلام المنزل على سيدنا محمد صلى الله عليه وسلم المعجز بسورة منه

“Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw yang satu surat darinya dapat menjadi mukjizat.”

Allah Swt di sini menyebut al-Qur’an sebagai al-hakim, yang bijaksana. Menurut Hamka, ini karena isi dan susunan al-Qur’an selalu relevan untuk setiap zaman.

Al-hakim juga dapat bermakna penuh kandungan hikmah. Quraish Shihab menerangkan bahwa al-Qur’an mengandung banyak hikmah yang dapat mengantarkan manusia pada kemaslahatan duniawi dan ukhrawi, serta menghindarkannya dari segala malapetaka baik di dunia maupun di akhirat.

Allah Swt bersumpah dengan al-Qur’an akan kerasulan Nabi Muhammad saw. Dan bahwa beliau berada di jalan yang lurus. Jalan yang menyampaikan kepada aqidah, syariat dan keistiqamahan. Demikian penjelasan dari Wahbah az-Zuhaili.

Al-Qur’an dengan kesempurnaan struktur bahasa dan kandungannya yang luar biasa itu menjadi bukti nyata kerasulan Nabi Muhammad yang buta huruf (ummi). Tidak mungkin beliau yang tidak memiliki latar belakang tradisi agama terdahulu mampu menciptakan karya yang begitu luar biasa seperti al-Qur’an.

Rasulullah saw bukan sekadar rasul biasa, melainkan beliau merupakan penghulu para rasul bahkan seluruh manusia. Sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat at-Tabrani:

اَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ وَلَا فَخْرَ

Saya penghulu keturunan Adam as. tapi saya tidak sombong (HR. at-Tabrani no. 1648)

Adapun kata shirat al-mustaqim pada ayat keempat, oleh Nawawi ditafsirkan dengan syariat yang teguh. Bahkan menurut beliau, syariat Islam yang dibawakan Nabi Muhammad saw merupakan syariat yang paling teguh dan kokoh di antara syariat-syariat sebelumnya.

Quraish Shihab mengulas hal ini lebih dalam. Sirat baginya adalah jalan yang lebar, sedangkan mustaqim berarti lurus. Sirat berbeda dengan sabil yang juga berarti jalan. Kata sirat dalam al-Qur’an selalu berbentuk tunggal (mufrad), yang mengisyaratkan bahwa ia hanya ada satu dan merupakan jalan yang benar.

Baca Juga: Keutamaan Surat Yasin Dalam Tradisi Masyarakat Muslim Indonesia

Berbeda sengan sabil yang bisa berarti jalan yang benar maupun jalan yang salah. Maka sirat mustaqim adalah jalan yang lebar, luas lagi lurus yang mengantarkan seseorang kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.

Tiga ayat di atas turun sebagai respon atas orang-orang kafir Quraish yang meragukan kerasulan Nabi Muhammad saw. Sebagaimana keterangan dari Ibn Abbas yang disitir oleh Al-Qurtubi dalam kitab tafsirnya:

قال ابن عباس : قالت كفار قريش لست مرسلا ، وما أرسلك الله إلينا ، فأقسم الله بالقرآن المحكم أن محمدا من المرسلين

Ibn Abbas berkata, “Orang-orang kafir suku Quraish berujar; ‘Engkau bukanlah seorang rasul. Allah tidak mengutusmu kepada kami.’ Seusai mereka berkata demikian, Allah Swt bersumpah dengan al-Qur’an bahwa Nabi Muhammad saw termasuk di antara para rasulnya.”

Demikian penjelasan singkat mengenai Surat Yasin Ayat 2-4. Nantikan penjelasan Tafsir Surat Yasin pada tulisan-tulisan berikutnya. Wallahua’lam.