Beranda blog Halaman 449

Hari Disabilitas Internasional: Ini 4 Artikel tentang Disabilitas dalam Tafsir Al-Quran

0
Hari Disabilitas Internasional
Hari Disabilitas Internasional

Tepat hari ini tanggal 3 Desember Hari Disabilitas Internasional diperingati setiap tahunnya. Sejak tahun 1992 Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menetapkan tanggal ini sebagai Hari Disabilitas Internasional.

Peringatan Hari Disabilitas Internasional ini bertujuan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang disabilitas, menghilangkan stigma terhadap penyandang disabilitas dan memberikan dukungan untuk meningkatkan kemandirian dan kesamaan hak penyandang disabilitas dalam berbagai aspek kehidupan.

Tema Hari Disabilitas Sedunia tahun ini adalah Building Back Better: toward a disability-inclusive, accessible and sustainable Covid-19 World, atau membangun kembali kehidupan yang lebih baik, lebih ekslusif, lebih berkelanjutan pasca pandemi Covid-19.

Dalam rangka memperingati hal tersebut, tafsiralquran.id merangkum 4 artikel yang membahas seputar disabilitas dalam Al-Quran. Keempat artikel ini menerangkan bagaimana Al-Quran mendorong kesamaan hak dan kesetaraan tanpa diskriminasi terhadap penyandang disabilitas.

Prinsip Humanisme dan Wacana Disabilitas dalam al-Quran

Artikel ini menjelaskan beberapa ayat dalam Al-Quran yang memberikan pesan baik secara tersurat maupun tersirat mengenai pentingnya bersikap humanis di kehidupan sosial. Ayat pertama yaitu Surat Al-Hujurat Ayat 11. Dalam konteks wacana disabilitas, ayat ini menegaskan bahwa sudah semestinya manusia melihat manusia lainnya dengan kacamata kemanusiaan—melihatnya benar-benar sebagai manusia.

Ayat lain adalah Surat Al-Hujurat Ayat 13. Melalui ayat ini, Al-Quran melengkapi pengajaran sebelumnya pada Q.S. al-Hujurat [49]: 11 dan menegaskan bahwa kehadiran ragam jenis manusia di muka bumi ini merupakan suratan takdir dari Allah. Artikel ini juga menerangkan Ayat 61 Surat An-Nur.

Perspektif Al-Quran terhadap Penyandang Disabilitas: Tafsir Surat An-Nur Ayat 61

Artikel ini mengulas secara spesifik Surat An-Nur Ayat 61. Menurut penulis artikel, setidaknya ada tiga poin yang penting dicatat dari Ayat ini: Pertama, tidak ada dosa bagi penyandang disabilitas atau orang sakit jika tidak mampu melaksanakan ibadah dengan sempurna karena kesulitan yang diakibatkan oleh disabilitasnya ataupun sakitnya.

Kedua, tidak apa-apa jika seseorang makan bersama penyandang disabilitas dan orang sakit di manapun dan kapanpun sebagaimana ia makan dengan orang lain biasanya. Ketiga, setiap kali memasuki rumah, sebaiknya seseorang mengucap salam.

Tafsir Surat Al-Fath Ayat 17: Islam Memberi Kemudahan Bagi Penyandang Difabel

Artikel ini secara spesifik membahas Surat Al-Fath Ayat 17. Menurut Penulisnya, Ayat ini  menegaskan bahwa Islam memberi kemudahan bagi penyandang difabel dengan membolehkan mereka untuk tidak ikut berperang. Namun ayat ini tidak menunjukkan keharaman bagi mereka untuk mengikuti hal tersebut.

Dalam konteks kekinian, penyandang difabel dapat ikut berjihad dalam situasi dan konteks tertentu seperti menjaga keutuhan bangsa dan negara melalui jihad literasi atau jihad ilmiah dan sebagainya.

Kisah Abdullah bin Ummi Maktum: Penyandang Disabilitas Penyebab Turunnya Surah ‘Abasa

Artikel ini mengulas tentang seorang sahabat terkenal bernama Abdullah bin Ummi Maktum atau sering dikenal Ibnu Ummi Maktum. Ia adalah seorang penyandang disabilitas penyebab turunnya surah ‘Abasa.

Penulis artikel menyimpulkan bahwa Al-Quran melalui Surat ‘Abasa ingin mengajarkan kepada rasul-Nya bahwa tugasnya adalah menyampaikan ayat-ayat-Nya kepada seluruh manusia tanpa kecuali. Wallahu A’lam.

Tafsir Surat Al-Fath Ayat 17: Islam Memberi Kemudahan Bagi Penyandang Difabel

0
Islam Memberi Kemudahan bagi Penyandang Difabel
Islam Memberi Kemudahan bagi Penyandang Difabel (ilustrasi: Human Right Watch)

Dalam perspektif Islam, kehadiran penyandang difabel diakui dan dihargai. Mereka sebagai manusia memiliki hak yang sama dengan manusia lainnya, tanpa terkecuali. Mereka berhak untuk hidup, bekerja, berpendapat, berkeluarga dan sebagainya. Di sisi lain, Islam memberi kemudahan bagi penyandang difabel pada aspek tertentu karena sulit untuk dilakukan oleh mereka.

Islam memberi kemudahan bagi penyandang difabel dalam rangka menjaga dan memberi ruang gerak prioritas bagi mereka. Menurut Prof. Ismail Muhammad Hanafi, seorang guru besar di Universitas Internasional Afrika, amanah pemberian hak istimewa ini – dalam wujud yang berbeda – juga harus diemban oleh negara. Penyandang difabel berhak mendapatkan akomodasi memadai agar mereka mampu bersaing di masyarakat.

Surah Al-Fath [48] Ayat 17: Kemudahan Bagi Penyandang Difabel

Salah satu ayat Al-Qur’an yang menyatakan bahwa Islam memberi kemudahan bagi penyandang difabel adalah surah al-Fath [48] ayat 17 yang berbunyi:

لَيْسَ عَلَى الْاَعْمٰى حَرَجٌ وَّلَا عَلَى الْاَعْرَجِ حَرَجٌ وَّلَا عَلَى الْمَرِيْضِ حَرَجٌ ۗ وَمَنْ يُّطِعِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ يُدْخِلْهُ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ ۚ وَمَنْ يَّتَوَلَّ يُعَذِّبْهُ عَذَابًا اَلِيْمًا ࣖ ١٧

“Tidak ada dosa atas orang-orang yang buta, atas orang-orang yang pincang, dan atas orang-orang yang sakit (apabila tidak ikut berperang). Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia akan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; tetapi barangsiapa berpaling, Dia akan mengazabnya dengan azab yang pedih.” (QS. Al-Fath [48] ayat 17).

Menurut Quraish Shihab, surah al-Fath [48] ayat 17 merupakan kelanjutan dari ayat sebelumnya yang berbicara tentang kecaman terhadap orang-orang yang enggan untuk memenuhi ajakan pergi berjihad. Ayat ini ingin menegaskan bahwa orang-orang yang diberi izin untuk tidak melaksanakan jihad melawan kaum Quraisy Mekah hanya penyandang difabel dan orang sakit.

Baca Juga: Prinsip Humanisme dan Wacana Disabilitas dalam al-Quran

Surah al-Fath [48] ayat 17 seakan-akan menyatakan, “Tiada dosa atas orang yang buta bila tidak memenuhi ajakan itu (berjihad) dan tidak juga atas orang pincang yakni cacat dan demikian juga tidak atas orang sakit dengan jenis penyakit apapun. Maka barang siapa di antara mereka tidak memenuhi ajakan itu, maka hal tersebut dapat ditoleransi baginya.” (Tafsir Al-Misbah [13]: 196)

Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya dengan menyambut ajakan itu  – baik yang sehat maupun yang memiliki beragam uzur yang dibenarkan – niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di bawah istana-istana-Nya, sungai-sungai, dan barang siapa yang berpaling enggan menyambut ajakan itu niscaya akan disiksa-Nya dengan siksa yang pedih.”

Ayat di atas tidak menggunakan redaksi pengecualian yakni tidak menyatakan bahwa kecuali orang buta dan seterusnya. Ini mengisyaratkan bahwa sejak awal penyandang difabel tidak dibebani untuk pergi berperang. Kendati demikian, pernyataan tidak ada dosa tanpa menyebut dalam hal apa ketiadaan dosa itu mengisyaratkan bahwa kehadiran mereka tidak terlarang. Jadi, tidak masalah jika penyandang difabel atau orang sakit ikut berjihad (Tafsir Al-Misbah [13]: 197).

Argumentasi di atas juga dikuatkan oleh riwayat yang menyatakan bahwa Abdullah bin Ummi Maktum, seorang sahabat yang matanya buta, ikut dalam pertempuran Qadisiyyah yang terjadi saat kepemimpinan Umar bin Khattab. Dia tampil dengan gagah mengenakan mantel baju besi dan benar-benar siap untuk berkorban jiwa damn raga. Dia juga telah bersumpah untuk membawa dan melindungi kaum Muslimin atau terbunuh dalam prosesnya.

Ketika surah ‘Abasa berbicara mengenai sikap Al-Qur’an yang memberikan perlindungan dan pengayoman kepada penyandang difabel, dan surah an-Nur [24] ayat 61 berbicara mengenai perlakuan Al-Qur’an yang memberikan hak yang sama antara penyandang difabel dan manusia lainnya, maka surah al-Fath [48] ayat 17 menyatakan bahwa Islam memberi kemudahan bagi penyandang difabel untuk melakukan ibadah – termasuk berjihad – sesuai kemampuan mereka.

Al-Qur’an tidak memaksa penyandang difabel untuk beribadah secara normal sebagaimana mestinya, karena adanya kesulitan dan ketidakmampuan. Selain itu, kesempurnaan fisik bukanlah hal yang menjamin ketakwaan kepada Allah swt. Bisa jadi mereka yang memiliki kekurangan dalam hal fisik justru lebih mulia di mata Allah Swt secara spiritualitas. Kekurangan fisik bukanlah penghalang untuk mendekatkan diri pada-Nya, dan bukanlah penghalang untuk beribadah.

Allah swt menegaskan di dalam Al-Qur’an bahwa semua manusia sama derajat-nya, yang membedakan ialah takwanya kepada Allah. Dia menciptakan manusia dengan berbeda dengan tujuan agar saling mengenal. Karena itu, Nabi Muhammad saw datang membawa nilai-nilai kesetaraan, kesamaan dan melawan berbagai tindakan diskriminasi. Beliau juga mengajarkan kepada umatnya untuk bersikap rendah hati, menyayangi yang lemah dan berlaku arif.

Baca Juga: Perspektif Al-Quran terhadap Penyandang Disabilitas: Tafsir Surat An-Nur Ayat 61

Dengan demikian, surah al-Fath [48] ayat 17 mengatakan bahwa Islam memberi kemudahan bagi penyandang difabel dengan membolehkan mereka untuk tidak ikut berperang. Namun ayat ini tidak menunjukkan keharaman bagi mereka untuk mengikuti hal tersebut. Dalam konteks kekinian, penyandang difabel dapat ikut berjihad dalam situasi dan konteks tertentu seperti menjaga keutuhan bangsa dan negara melalui jihad literasi atau jihad ilmiah dan sebagainya.

Berdasarkan penjelasan di atas, ada beberapa hal yang bisa disimpulkan, yakni: Islam menghargai dan mengakomodir penyandang difabel sebagaimana manusia lainnya; mereka diberikan keistemewaan khusus – seperti kebolehan untuk tidak berperang – dalam rangka memberi ruang gerak prioritas agar mereka mampu bertahan dan bersaing di tengah masyarakat; penyandang difabel juga dapat berjuang atau berjihad melalui jalan-jalan yang mungkin dilakukan. Wallahu a’lam.

Prinsip Humanisme dan Wacana Disabilitas dalam al-Quran

0
Wacana Disabilitas
Prinsip Humanisme dan Wacana Disabilitas

Ekplorasi prinsip humanisme Al-Quran terhadap disabilitas menjadi salah satu wujud sumbangsih dalam mempromosikan wacana disabilitas dalam kaca mata agama. Sebab diketahui bahwa wacana disabilitas masih menjadi wacana yang hangat diperbincangkan dan dikaji (interested discourse) secara mendalam di dunia internasional.

Hal ini terbukti dengan serangkaian pertemuan internasional yang digelar oleh United Nation (PBB) sejak awal deklarasinya di tahun 1971 yang menyerukan kepada seluruh anggotanya untuk menegakkan hak-hak kaum difabel (Ghaly, 2008).

Dalam kontestasi politik misalnya, wacana disabilitas dijadikan sebagai salah satu dari sekian banyak wacana yang dipertanyakan kepada para calon pemangku tampuk pemerintahan tertinggi di negeri ini (Tempo, 2019).

Hal ini menjadi salah satu indikator bahwa wacana disabilitas adalah salah satu dari sekian banyak wacana penting yang harus didalami dan ditindaklanjuti baik dengan tindakan nyata di lapangan maupun melalui penyebaran narasi-narasi positif dalam berbagai perspektif.

Baca Juga: Perspektif Al-Quran terhadap Penyandang Disabilitas: Tafsir Surat An-Nur Ayat 61

Paradigma besar yang di bangun dalam wacana disabilitas saat ini adalah paradigma yang mengedepankan HAM (human rights), artinya penyandang disabilitas tidak lagi dipandang sebelah mata dengan tatapan “belas kasih” semata (charity based) namun segenap hak-haknya sebagai manusia juga harus diberikan dengan prinsip egaliter.

Dengan bangunan paradigma tersebut, penyandang disabilitas tidak lagi dipandang sebagai objek—sebagaimana dalam paradigma terdahulu—namun ditempatkan sebagai subjek partisipatif (Sholeh, 2015).

Prinsip Humanisme Al-Quran dalam Wacana Disabilitas

Dalam rangka menyongsong bangunan paradigma humanisme atas kaum difabel yang bermuara pada penempatannya sebagai subjek partisipatif, tentu harus ada tatanan social ethics yang jelas di masyarakat. Tatanan etika sosial itu harus dilandaskan atas semangat humanisme yang memandang setiap manusia benar-benar sebagai manusia.

Salah satu ikhtiyar umat beragama dalam mendukung terwujudnya tatanan etika sosial yang humanis adalah dengan mengeksplorasi sikap-sikap humanisme yang diajarkan oleh agamanya. Maka dalam hal ini, Islam secara khusus melalui kitab sucinya Al-Quran memberikan beberapa pedoman dalam mewujudkan tatanan etika sosial yang humanis.

Terdapat ayat-ayat Al-Quran yang memberikan pesan baik secara tersurat maupun tersirat mengenai pentingnya bersikap humanis di kehidupan sosial. Di antara pengajaran Al-Quran tersebut jika dikaitkan dengan wacana disabilitas terepresentasikan dalam beberapa ayat yang akan diuraikan berikut ini:

  1. Surat al-Hujurat [49]: 11

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّنْ قَوْمٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُوْنُوْا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاۤءٌ مِّنْ نِّسَاۤءٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّۚ وَلَا تَلْمِزُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوْا بِالْاَلْقَابِۗ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوْقُ بَعْدَ الْاِيْمَانِۚ وَمَنْ لَّمْ يَتُبْ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.

Dalam ayat ini Al-Quran menegaskan bahwa tidak dibenarkan jika sesama manusia saling merendahkan. Sebab penglihatan manusia tidak memiliki kemampuan untuk menilai manusia lainnya. Maka sikap merasa “lebih baik” tidak ada ada dalam kamus ajaran Islam dan sudah semestinya dihindari oleh umat Islam.

Baca Juga: Tafsir Surat An-Nisa Ayat 36: Allah Tidak Menyukai Sifat Sombong dan Angkuh

Dalam konteks wacana disabilitas, ayat ini menegaskan bahwa sudah semestinya manusia melihat manusia lainnya dengan kacamata kemanusiaan—melihatnya benar-benar sebagai manusia. Tanpa sengaja menambahkan embel-embel yang dianggapnya sebagai kekurangan (karena nampak oleh penglihatan) sebab adanya keinginan untuk terlihat lebih baik.

  1. Surat al-Hujurat [49]: 13

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.”

Melalui ayat ini, Al-Quran melengkapi pengajaran sebelumnya pada Q.S. al-Hujurat [49]: 11 dan menegaskan bahwa kehadiran ragam jenis manusia di muka bumi ini merupakan suratan takdir dari Allah. Keniscayaan atas realitas plural ini bertujuan agar manusia saling mengenal antara jenis yang satu dengan jenis lainnya. Sebab dengan begitu manusia akan semakin mengetahui keluasan kekuasaan Penciptanya.

Selain itu ayat ini juga menegaskan bahwa dari sekian banyak ragam jenis manusia di muka bumi ini, tidak ada satupun yang dinilai lebih baik berdasarkan jenisnya—semuanya pada derajat yang sama. Sebab plus-minusnya manusia itu dinilai berdasarkan baik-buruknya perangainya.

Maka dalam konteks wacana disabilitas, ayat ini seakan mengisyaratkan bahwa manusia, baik yang dikategorikan difabel ataupun tidak, sejatinya tidak ada yang boleh merasa lebih baik. Sebab perbedaan yang tampak itu hakikatnya merupakan bentuk kekuasaan Allah yang harusnya dijadikan bahan oleh manusia untuk semakin merasa kecil dan tidak memiliki apa-apa untuk dibanggakan. Perbedaan itu juga tidak menentukan hakikat nilai manusia yang sesungguhnya.

  1. Surat al-Nur [24]: 61

لَيْسَ عَلَى الْاَعْمٰى حَرَجٌ وَّلَا عَلَى الْاَعْرَجِ حَرَجٌ وَّلَا عَلَى الْمَرِيْضِ حَرَجٌ وَّلَا عَلٰٓى اَنْفُسِكُمْ اَنْ تَأْكُلُوْا مِنْۢ بُيُوْتِكُمْ اَوْ بُيُوْتِ اٰبَاۤىِٕكُمْ اَوْ بُيُوْتِ اُمَّهٰتِكُمْ اَوْ بُيُوْتِ اِخْوَانِكُمْ اَوْ بُيُوْتِ اَخَوٰتِكُمْ اَوْ بُيُوْتِ اَعْمَامِكُمْ اَوْ بُيُوْتِ عَمّٰتِكُمْ اَوْ بُيُوْتِ اَخْوَالِكُمْ اَوْ بُيُوْتِ خٰلٰتِكُمْ اَوْ مَا مَلَكْتُمْ مَّفَاتِحَهٗٓ اَوْ صَدِيْقِكُمْۗ لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَأْكُلُوْا جَمِيْعًا اَوْ اَشْتَاتًاۗ

Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu, makan (bersama-sama mereka) di rumah kamu atau di rumah bapak-bapakmu, di rumah ibu-ibumu, di rumah saudara-saudaramu yang laki-laki, di rumah saudara-saudaramu yang perempuan, di rumah saudara-saudara bapakmu yang laki-laki, di rumah saudara-saudara bapakmu yang perempuan, di rumah saudara-saudara ibumu yang laki-laki, di rumah saudara-saudara ibumu yang perempuan, (di rumah) yang kamu miliki kuncinya atau (di rumah) kawan-kawanmu. Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendiri-sendiri.”

Ayat ini merupakan salah satu ayat yang berbicara secara lugas mengenai sikap seorang muslim terhadap kaum difabel. Di mana kalimat (…اَنْ تَأْكُلُوْا مِنْۢ بُيُوْتِكُمْ) “makan bersama di rumahmu dst.” merupakan isyarat bahwa hendaklah umat Islam memperlakukan kaum difabel dari latar belakang apapun dengan mengedepankan rasa kemanusiaan.

Baca Juga: Wahyu Al-Quran dan Keteladanan Nabi Muhammad Saw Sebagai Pejuang Kemanusiaan

Artinya tidak boleh ada rasa ingin menjauhi atau bahkan mendiskreditkan mereka. Sebagai umat beragama yang mengedepankan etika dalam berkehidupan, seharusnya umat Islam memperlakukan mereka dengan penuh rasa kasih sayang dan merangkul serta mengajak untuk menjalani kehidupan dengan baik layaknya manusia pada umumnya.

Uraian ketiga ayat merupakan salah satu upaya menggaungkan wacana sikap ideal dalam memperlakukan kaum difabel secara etis. Serta dalam rangka mewujudkan masyarakat Islam madani (Islamic civil society) yang menerapkan prinsip moral Al-Quran di kehidupan sosial. Wallahu a’lam.

Tafsir Surat Al Qadr Ayat 3-5

0
Tafsir Surat Al Qadr
Tafsiralquran.id

Setelah pada pembahasan yang lalu berbicara mengenai perbedaan arti kata anzala dan nazzala serta keutaman Lailatul Qodar, Tafsir Surat Al Qadr Ayat 3-5 menerangkan lebih lanjut mengenai malam Lailatul Qodar tersebut.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al Qadr Ayat 1-2


Dalam Tafsir Surat Al Qadr Ayat 3-5 ini dipaparkan bagaimana kondisi malam yang sangat istimewa tersebut. Malam yang penuh cahaya hidayah dan lebih mulia dari seribu waktu ini merupakan waktu yang istimewa yang menjadi permulaan turunnya syariat untuk seluruh umat manusia.

Lebih lanjut Tafsir Surat Al Qadr Ayat 3-5 dipaparkan mengenai keistimewaan lain pada malam Lailatul Qodar ini. Misalnya tentang turunnya malaikat Jibril dan menampakkan wujud aslinya serta keberkahan yang menyelimuti malam itu.

Ayat 3

Pada ayat ini, Allah menerangkan keutamaan Lailatul-Qadr yang sebenarnya. Malam itu adalah suatu malam yang memancarkan cahaya hidayah sebagai permulaan tasyri’ yang diturunkan untuk kebahagiaan manusia. Malam itu juga sebagai peletakan batu pertama syariat Islam, sebagai agama penghabisan bagi umat manusia, yang sesuai dengan kemaslahatan mereka sepanjang zaman.

Malam tersebut lebih utama dari seribu bulan yang mereka lalui dengan bergelimang dosa kemusyrikan dan kesesatan yang tidak berkesudahan. Ibadah pada malam itu mempunyai nilai tambah berupa kemuliaan dan ganjaran yang lebih baik dari ibadah seribu bulan.

Sebutan kata “seribu” dalam ayat ini tidak bermaksud untuk menentukan bilangannya. Akan tetapi, maksudnya untuk menyatakan banyaknya yang tidak terhingga sebagaimana yang dikehendaki dengan firman Allah:

يَوَدُّ اَحَدُهُمْ لَوْ يُعَمَّرُ اَلْفَ سَنَةٍ

Masing-masing dari mereka ingin diberi umur seribu tahun. (al-Baqarah/2: 96)

Apakah ada malam yang lebih mulia daripada malam yang padanya mulai diturunkan cahaya hidayah untuk manusia setelah berabad-abad lamanya mereka berada dalam kesesatan dan kekufuran?

Apakah ada kemuliaan yang lebih agung daripada malam di mana cahaya purnama ilmu makrifah ketuhanan menerangi jiwa Muhammad saw yang diutus sebagai rahmat untuk seluruh manusia, menyampaikan berita gembira dan ancaman serta memanggil mereka ke jalan yang lurus, menjadikan mereka umat yang melepaskan manusia dari belenggu perbudakan dan penindasan penguasa yang zalim di timur dan barat, dan mempersatukan mereka sesudah berpecah-belah dan bermusuh-musuhan?


Baca juga: Ketika Al-Quran Menceritakan Proses Nuzulul Quran


Maka seyogyanya umat Islam menjadikan malam tersebut sebagai hari raya karena malam itu merupakan waktu turunnya undang-undang dasar samawi yang mengarahkan manusia ke arah yang bermanfaat bagi mereka. Penurunan ini juga memperbaharui janji mereka dengan Tuhan yang berhubungan dengan jiwa dan harta sebagai tanda syukur atas nikmat pemberian-Nya serta mengharapkan pahala balasan-Nya.

Ayat 4

Dalam ayat ini, Allah menyatakan sebagian dari keistimewaan malam tersebut, yaitu turunnya para malaikat bersama Jibril dari alam malaikat sehingga tampak oleh Nabi saw, terutama Jibril yang menyampaikan wahyu.

Penampakan Jibril kepada Nabi saw dalam rupanya yang asli adalah perintah Allah, setelah Ia mempersiapkan Nabi-Nya untuk menerima wahyu yang akan disampaikannya kepada manusia yang mengandung kebajikan dan keberkahan.

Turunnya malaikat ke bumi adalah dengan izin Allah, tidak perlu kita menyelidiki bagaimana cara dan apa rahasianya. Kita cukup beriman saja dengannya. Adapun yang dapat diketahui manusia tentang rahasia alam ini hanya sedikit sekali, sebagaimana diterangkan dalam firman Allah:

وَمَآ اُوْتِيْتُمْ مِّنَ الْعِلْمِ اِلَّا قَلِيْلًا

Sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit. (al-Isra’/17: 85);Malam itu (Lailatul-Qadr) adalah hari raya umat Islam karena merupakan waktu turunnya Alquran dan malam bersyukur kepada Allah atas kebajikan  serta kenikmatan yang dikaruniakan-Nya. Pada saat itu, malaikat ikut bersyukur bersama manusia atas kebesaran malam Qadar, sebagai tanda kemuliaan manusia yang menjadi khalifah Allah di muka bumi.

Di antara tanda-tanda Lailatul-Qadr adalah matahari terbit tanpa sinarnya yang memancar. Ibnu ‘Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda tentang Lailatul-Qadr:

لَيْلَةٌ سَمْحَةٌ طَلْقَةٌ، لاَ حَارَّةٌ وَلاَ باَرِدَةٌ، تُصْبِحُ شَمْسُهَا صَبِيْحَتَهَا صَفِيْقَةً حَمْرَاءَ.

(رواه أبو داود)

Lailatul qadar adalah malam yang tenang dan cerah, tidak panas dan tidak dingin, serta matahari pada pagi harinya berwarna merah terang. (Riwayat Abµ Dawud)

Ayat 5

Dalam ayat ini, Allah menyatakan bahwa malam tersebut dipenuhi kebajikan dan keberkahan dari permulaan sampai terbit fajar, karena turunnya Alquran yang disaksikan oleh para malaikat ketika Allah melapangkan dada Nabi-Nya dan memudahkan jalan untuk menyampaikan petunjuk serta bimbingan kepada umatnya.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Bayyinah Ayat 1-4


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 8-11: Penyesalan Orang yang Ingkar di Hari Kiamat

0
Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 28-30
Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 28-30

Di antara petunjuk akan kasih sayang Allah ialah menciptakan alam semesta beserta isinya untuk kehidupan manusia, hamba-hamba-Nya. Tidak hanya itu, bahkan Allah juga mengutus para rasul dengan membawa risalah untuk disampaikan kepada mereka, agar mereka dapat menggapai kebahagiaan yang hakiki di dunia maupun di akhirat. Namun, bagaimana jika mereka masih mengingkari kehendak Allah pada hari kiamat? Maka, terimalah penyesalan bagi orang yang ingkar di hari kiamat.

Penyesalan orang yang ingkar pada hari kiamat sebagaimana tertulis dalam firman-Nya, yakni Surat Al-Mulk ayat 8-11:

تَكَادُ تَمَيَّزُ مِنَ الْغَيْظِ كُلَّمَا أُلْقِيَ فِيهَا فَوْجٌ سَأَلَهُمْ خَزَنَتُهَا أَلَمْ يَأْتِكُمْ نَذِيرٌ

قَالُوا بَلَى قَدْ جَاءَنَا نَذِيرٌ فَكَذَّبْنَا وَقُلْنَا مَا نَزَّلَ اللَّهُ مِنْ شَيْءٍ إِنْ أَنْتُمْ إِلَّا فِي ضَلَالٍ كَبِيرٍ

وَقَالُوا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ

فَاعْتَرَفُوا بِذَنْبِهِمْ فَسُحْقًا لِأَصْحَابِ السَّعِيرِ

“Hampir-hampir (neraka) itu terpecah-pecah lantaran marah. Setiap kali dilemparkan ke dalamnya sekumpulan (orang-orang kafir), penjaga-penjaga (neraka itu) bertanya kepada mereka: “Apakah belum pernah datang kepada kamu (di dunia) seorang pemberi peringatan?””

“Mereka menjawab: “Benar ada”, sesungguhnya telah datang kepada kami seorang pemberi peringatan, maka kami mendustakan(nya) dan kami katakan: “Allah tidak menurunkan sesuatupun; kamu tidak lain hanyalah di dalam kesesatan yang besar””

Baca juga: Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 5-7: Balasan Bagi yang Tak Patuh Perintah

“Dan mereka berkata: “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala””

“Mereka mengakui dosa mereka. Maka kebinasaanlah bagi penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala”

Tafsir Surat Al-Mulk ayat 8-11

Pada Tafsir al-Misbah karangan Quraish Shihab, tertulis tentang tafsir ayat 8 Surat Al-Mulk, bahwa ketika mereka (orang-orang yang ingkar di hari kiamat) dilemparkan dalam neraka, mereka mendengar suaranya yang amat mengerikan, menggelegak dengan sangat dahsyatnya. Hampir-hampir saja neraka itu terpecah-pecah karena terlalu marahnya dengan mereka. Setiap kali sekelompok orang dari mereka dilemparkan, dengan nada mengejek para penjaga neraka berkata, “Apakah belum pernah datang kepada kalian seorang rasul yang mengingatkan kalian hari pertemuan ini?”

Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi dalam Tafsir al-Jalalain juga senada dengan Quraish Shihab, sama-sama menafsirkannya dengan (Hampir-hampir neraka itu terpecah-pecah). Menurut suatu qira’at, lafal tamayyazu dibaca tatamayyazu yang sesuai dengan asalnya, artinya terbelah-belah (lantaran marah) karena murka kepada orang kafir. Setelah mengetahui akan siksa tersebut, mereka baru menyesali atas kesalahan yang telah mereka perbuat selama di dunia.

Akan tetapi, penyesalaan hanyalah sia-sia. Betapa besar penyesalan mereka atas tingkah laku buruk mereka ketika di dunia. Dan pada saat itu, penyesalan mereka sudah tidak berguna lagi. Ibarat nasi yang telah menjadi bubur. Andaikata penyesalan itu sebelum siksa berada di depan mereka (yaitu pada waktu mereka hidup di dunia), maka penyesalan itu akan bermanfaat bagi mereka. Karena mereka masih bisa memperbaiki pada masa hidupnya di dunia.

Baca juga: Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 3-4: Prinsip Keseimbangan Hidup dalam Melihat Kuasa Allah

Penyesalan orang yang ingkar di hari kiamat

Penyesalan yang paling berat dan penyesalan yang tidak ada gunanya adalah penyesalan orang yang ingkar di hari kiamat. Kenapa bisa seperti itu? Karena penyesalan orang yang ingkar pada hari kiamat merupakan gambaran penyesalan dari orang-orang kafir. Sesungguhnya penyesalan mereka karena datang saat rasa sesal yang tidak dapat memperbaiki keadaan.

Akan tetapi, jika penyesalan itu masih ada kesempatan untuk memperbaiki apa yang disesalinya, maka penyesalan itu akan sangat berguna. Dalam kitab Adhwâ’ul Bayân karangan Syaikh Asy-Syanqithi, ada dua macam penyesalan yang tidak bermanfaat bagi seseorang. Pertama, penyesalan di waktu ajal tiba. Di antara contohnya adalah penyesalan orang-orang fasik, sebagaiamana mereka yang tidak mau melaksanakan kewajiban bersedekah dan lainnya. Kemudian yang kedua, penyesalan pada waktu siksa akan menimpa (pada hari kiamat). Meskipun penyesalan itu sangat kuat, Allah tetap tidak menerima penyesalan mereka.

Baca juga: Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 1-2: Bukti Kuasa Allah dan Barometer Pribadi Berkualitas

Dan sesungguhnya penyesalan mereka (orang-orang kafir) di jawab Allah pada firmannya surat as-sajdah ayat 14:

فَذُوقُوا بِمَا نَسِيتُمْ لِقَاءَ يَوْمِكُمْ هَٰذَا إِنَّا نَسِينَاكُمْ ۖ وَذُوقُوا عَذَابَ الْخُلْدِ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

“Maka rasakanlah siksa ini disebabkan kamu mengingkari pertemuan dengan harimu ini (hari kiamat); “sesungguhnya kami telah melupakan kamu pula dan rasakanlah siksa yang kekal, disebabkan apa yang selalu kamu kerjakan””

Sungguh sangat menyedihkan. Janganlah penyesalan itu datang pada kita, dan semoga mata kita dijauhkan dari pandangan neraka baik pada saat hari kiamat maupun setelah di alam akhirat. Wallahu a’lam[]

Kisah Kelahiran Nabi Ishaq dalam Al-Quran

0
Kisah kelahiran Nabi Ishaq dalam Al-Quran
Kisah kelahiran Nabi Ishaq dalam Al-Quran

Kisah Nabi Ishaq telah beberapa kali disebutkan dalam Al-Quran. Terdapat tiga surat yang menjelaskan tentang kisah Nabi Ishaq yaitu surat Hud ayat 69-74, surat Adz-Dzariyat ayat 24-30, surat Shad ayat 45-47. Dalam surat-surat tersebut, pembahasan mengenai Nabi Ishaq kebanyakan adalah menyangkut kelahirannya. Tulisan ini akan menceritakan kisah kelahiran Nabi Ishaq dalam Al-Quran.

Kisah kelahiran Nabi Ishaq ini begitu unik. Kelahiran Nabi Ishaq pada awalnya dianggap suatu yang sulit dan mustahil. Ibu Nabi Ishaq, Sarah, sulit mempunyai anak. Namun setelah Nabi Ishaq lahir, kondisinya berbalik. Dari Nabi Ishaq ternyata banyak keturunan yang dilahirkan. Ia bahkan dijuluki cikal bakal Bani Israil. Karena dari keturunannya terlahirlah beberapa orang yang menjadi nenek moyang bangsa Israil. Dan darinya pula banyak nabi yang dilahirkan dari kaum Bani Israil.

Baca juga: Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir dalam Al-Quran: Refleksi Kepatuhan Terhadap Guru

Kelahiran Nabi Ishaq dan kabar gembira bagi Nabi Ibrahim dan Sarah

Nabi Ishaq adalah putera kedua dari Nabi Ibrahim, sedang ibunya adalah Sarah. Dalam Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 133 dan 136, namanya disebut berurutan setelah Ibrahim, Ismail, kemudian Ishaq. Pada mulanya Sarah menduga bahwa ia adalah seorag wanita yang mandul. Karena sampai tua pun ia tidak kunjung memiliki keturunan. Kondisi ini pula yang menyebabkan ia menyuruh Nabi Ibrahim untuk menikahi Hajar agar memilki keturunan. Dan dari Hajar, lahirlah seorang putra yaitu Nabi Ismail.

Setelah kelahiran Nabi Ismail, Nabi Ibrahim kemudian berdoa kepada Allah agar mengaruniakan putera dari rahim Sarah. Karena Sarah adalah seorang perempuan yang juga taat kepada Allah. Hal ini terbukti dengan reaksi Sarah yang tersenyum ketika mendengar kabar bahwa Allah akan mengadzab kaum Nabi Luth yang membangkang seperti yang diterangkan Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim. Doa Nabi Ibrahim pun didengar oleh Allah.

Dalam Al-Quran, kisah tentang kabar gembira dari Allah untuk Nabi Ibrahim dan Sarah serta akan lahirnya Nabi Ishaq ini terdapat dalam rangkaian surah surah Hud ayat 69-74 dan surat Adz-Dzariyat ayat 24-30. Kisah itu diawali ketika Allah mengutus beberapa malaikat untuk memberi kabar kepada Nabi Ibrahim. Menurut Ibnu Katsir jumlah malaikat yang diutus itu ada 3, yaitu Jibril, Mikail, dan Israfil. Malaikat-malaikat tersebut menjelma menjadi seorang manusia yang sangat tampan dan bertamu ke rumah Nabi Ibrahim.

Baca juga: Kisah Nabi Isa, Lahir Tanpa Ayah Hingga Diangkat ke Langit

Nabi Ibrahim dan Sarah memuliakan tamu-tamu tersebut degan menghidangkan santapan makanan yang terbuat dari daging sapi. Tapi tamu-tamunya tersebut hanya diam, dan Nabi Ibrahim pun ketakutan seperti yang diterangkan Allah dalam surat Hud Adz-Dzariyat ayat 28 dan surat Hud ayat 70. Melihat Nabi Ibrahim yang ketakutan, para tamunya tersebut akhirnya mengaku bahwa sebenarnya mereka adalah malaikat yang diutus Allah untuk menyampaikan kabar kepada Nabi Ibrahim.

Kabar yang pertama adalah akan dibinasakannya kaum Luth yang membangkang. Sontak, Sarah yang pada waktu itu berada di balik tirai berdiri dan tersenyum mendengar kabar itu. Masih menurut Ibnu Katsir, tersenyumnya Sarah ini adalah karena kabar pertama yaitu tentang dibinasakannya kaum Nabi Luth yang membangkang. Penjelasan ini menurut Ibnu Katsir kareana ayat tersenyumnya Sarah dalam surat Hud ayat 71 lebih dahulu dibanding kabar tentang kelahiran Ishaq.

Kemudian para malaikat yang menjelma menjadi tamu tersebut mengabarkan berita kedua bahwa Nabi Ibrahim dan Sarah akan memiliki seorang putera. Dalam surat Adz-Dzariyat ayat 72 dan surat Hud ayat 29 disebutkan bahwa Sarah sangat merasa heran, karena pada saat itu kondisi suaminya sudah sangat tua sedang dirinya juga seorang yang tua dan juga mandul. Namun sekali lagi Allah menjelaskan dalam surat Adz-Dzariyat ayat 30 dan surat Hud ayat 73 bahwa ini adalah ketetapan dan kuasa Allah SWT.

Kelahiran Nabi Ishaq menjadi awal mula kelahiran kaum Bani Israil dan para nabi

Kelahiran Nabi Ishaq ini adalah suatu yang menggembirakan bagi Nabi Ibrahim dan Sarah. Selain karena yang diidamkan bagi mereka dikabulkan oleh Allah, putra yang dititipkan kepada mereka ini adalah seorang yang alim dan saleh. Seorang yang memiliki akhlak yang tinggi, menyeru manusia pada kebenaran, dan selalu mengingat akhirat seperti yang difirmankan Allah dalam surat Shad ayat 45-46.

Nabi diangkat Allah menjadi seorang nabi yang meneruskan perjuangan dakwah ayahnya. Namun hingga usia ayahnya sudah cukup tua, Nabi Ishaq tidak kunjung menikah. Hal tersebut adalah wajar, karena menurut An-Nafasi dalam Madariku at-Tanzil wa Haqa’iqu at-Ta’wil dan Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Quran al-Adhim, usia Nabi Ibrahim ketika Nabi Ishaq lahir adalah sekitar 99 tahun. Nabi Ibrahim melarangnya menikahi perempuan di negeri Kana’an karena mereka tidak mengenal Allah. Lalu Nabi Ibrahim menikahkan Nabi Ishaq dengan perempuan yang masih menjadi keluarga jauh. Perempuan itu bernama Rifqah binti Batnail bin Nahur.

Baca juga: Ibrah Kisah Nabi Daud: dari Taubat hingga Manajemen Ibadah

Dari Rifqah ini Nabi Ishaq dikarunia dua orang putra. putra satu bernama Al-’Ish dan satunya bernama Ya’qub. Al-’Ish inilah disebut-sebut sebagai nenek moyang bangsa Romawi. Sedang putra keduanya,Ya’qub diangkat menjadi nabi. Kedua putra Nabi Ishaq tersebut akhirnya melahirkan keturunan-keturunan yang disebut sebagai Bani Israil.

Dalam kajian sejarah silisah para nabi, keturunan-keturunan Nabi Ishaq selanjutnya juga banyak diangkat Allah sebagai Nabi untuk kaum Bani Israil. Putra Nabi Ya’qub juga diangkat menjadi Nabi yaitu Nabi Yusuf. Keturunan selanjutnya yang diangkat menjadi nabi dari golongan Bani Israil adalah Nabi Ayyub, Nabi Musa, Nabi Harun, Nabi Zulkifli, Nabi Daud, Nabi Sulaiman, Nabi Ilyas, Nabi Ilyasa, Nabi Yunus, Nabi Zakariya, Nabi Yahya, dan terakhir Nabi Isa.

Wallahua a’lam[]

Dua Potensi Manusia yang Dijelaskan dalam Al-Quran: Tafsir Surat Asy-Syams Ayat 7 – 10

0
Potensi Manusia
Potensi Manusia

Jiwa yang dalam bahasa agama disebut nafsu, adalah sebuah kekuatan dan merupakan potensi manusia. Jiwa mendorong manusia untuk berkeinginan dan berbuat. Manusia yang bernafsu pasti selalu berkeinginan.

Seseorang yang ingin keluar dari rumahnya menuju suatu tempat, hal itu karena dorongan nafsu. Setiap keinginan yang muncul dari seseorang disebabkan karena dorongan nafsunya.

Harus diketahui bahwa nafsu memiliki dua potensi, yang dianugerahkan Allah Swt sejak diri ketika manusia telah diciptakan oleh Allah Swt dengan sempurna di dalam rahim (kandungan) ibu. Hal ini seperti yang digambarkan oleh Allah di dalam QS. al-Syams [91]: 7-10:

 (7)وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا

(8)فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا

(9)قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا

(10)وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا

“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”

Dua potensi manusia yang digambarkan oleh Allah di dalam ayat-ayat di atas ialah potensi buruk (fujur) dan potensi baik (taqwa). Dua potensi manusia inilah yang mendorongnya berbuat jahat dan berbuat baik. Setiap manusia yang memiliki jiwa yang sehat pasti memiliki dua potensi itu. Dua potensi itulah yang meliputi manusia dalam segala keadaan.

Manusia yang beruntung adalah manusia yang mampu menyucikan dirinya dengan senantiasa menjaga potensi baik. Sehingga ia dapat terus melakukan perbautan baik. dan menghindarkan dirinya dari perbuatan jahat akibat dorongan dari potensi buruk.

Dua potensi manusia ini akan melahirkan dua jenis perbuatan, yaitu perbuatan yang baik dan perbuatan yang buru. Potensi baik dari jiwa akan melahirkan akhlak-akhlah mulia (terpuji) yang di dalam bahasa agama disebut akhlaq mahmudah dan potensi buruk dari jiwa akan melahirkan akhlak buruk (akhlaq madzmumah).

Baca Juga: Pengertian Akhlak Menurut Para Mufasir dan Hakikat Perbuatan Manusia

Jiwa yang baik akan selalu mendorong pemiliknya untuk selalu berbuat baik, dan ini akan menghasilkan pahala dan ganjaran kebaikan, sedangkan jiwa yang buruk akan selalu mendorong pemiliknya untuk selalu berbuat buruk, dan ini akan menghasilkan dosa yang pada akhirnya akan mendapatkan siksaan dari Allah.

Rasulullah adalah seorang manusia biasa, seperti manusia yang lain, yang diberi tugas kenabian dan kerasulan untuk memperbaiki akhlak. Sebagai penuntun manusia untuk memiliki akhlak yang mulia, maka Rasulullah harus memiliki terlebih dahulu akhlak yang mulia.

Ia adalah panutan bagi semua umatnya sejak masanya hingga akhir zaman. Tidak diragukan lagi bahwa Rasulullah memiliki akhlak yang sangat mulia dan terpuji, yang tidak ada tandingan dan bandingannya.

Hal ini seperti yang dikatakan oleh Allah di dalam Surat al-Qalam [68]: 4: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.”

Begitu pentingnya akhlak mulia ini, sehingga Allah mengutus Nabi Muhammad untuk memperbaiki akhlak manusia. Hal ini dinyatakan sendiri oleh Rasulullah dalam sabdanya riwayat Imam Malik: “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”

Akhlak yang sangat mulia yang dimiliki Rasulullah menjadikan beliau manusia panutan bagi seluruh umatnya, baik dalam ucapannya, perbuatannya, dan sikapnya. Banyak sekali hadis-hadis Rasulullah yang menggambarkan tentang akhlak Rasulullah yang sangat mulia itu.

Rasulullah sebagai panutan telah ditegaskan oleh Allah di dalam firman-Nya di dalam QS. Al-Ahzab [33]: 21: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”

Baca Juga: Akhlak Nabi saw yang Mempersatukan Umat dan Tafsir Surat At-Taubah Ayat 107-109

Jadi, dapat dikatakan bahwa akhlak adalah cerminan, gambaran jiwa manusia yang terpendam yang terwujud dalam bentuk yang nyata oleh mata, terdengar oleh telinga, baik dalam bentuk perbuatan, sikap, perilaku, dan ucapan-ucapan. Akhlak yang mulia merupakan cermin dari kemuliaan jiwa seseorang. Sebaliknya, akhlak yang buruk adalah cermin dari jiwa yang buruk.

Tafsir Surat Al Qadr Ayat 1-2

0
Tafsir Surat Al Qadr
Tafsiralquran.id

Pada pembasahan sebelumnya berbicara mengenai proses penciptaan manusia, prosesnya mendapatkan pengetahuan serta adanya kasus pelarangan salat dalam masjid, pada Tafsir Surat Al Qadr Ayat 1-2 ini berbicara mengenai Lailatul Qodar.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al ‘Alaq Ayat 8-19


Sebelum masuk pada pembahasan Tafsir Surat Al Qadr Ayat 1-2, didahului dengan pemaparan beberapa surat yang redaksinya dainggap mirip dengan surat al Qadr, yaitu ayat yang secara spesifik menyatakan turunnya kepada Nabi Muhammad saw.

Setelah itu Tafsir Surat Al Qadr Ayat 1-2 menjelaskan tentang ayat yang diturunkan secara berangsur-angsur, penjelasan mengenai perbedaan antara kata anzala dan nazzala lalu diakhiri dengan penjelasan mengenai keutamaan Lailatul Qadr.

Ayat 1

Terdapat empat tempat dalam Alquran yang menerangkan tentang penurunannya kepada Nabi saw yaitu:

Pertama, Dalam Surah al-Qadr.

Kedua,  Dalam Surah ad-Dukhan, yaitu pada firman-Nya:

حٰمۤ  ۚ   ١  وَالْكِتٰبِ الْمُبِيْنِۙ   ٢  اِنَّآ اَنْزَلْنٰهُ فِيْ لَيْلَةٍ مُّبٰرَكَةٍ اِنَّا كُنَّا مُنْذِرِيْنَ  ٣  فِيْهَا يُفْرَقُ كُلُّ اَمْرٍ حَكِيْمٍۙ   ٤  اَمْرًا مِّنْ عِنْدِنَاۗ اِنَّا كُنَّا مُرْسِلِيْنَۖ   ٥  رَحْمَةً مِّنْ رَّبِّكَ ۗاِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُۗ   ٦

Ha Mim. Demi Kitab (Alquran) yang jelas, sesungguhnya Kami menurunkannya pada malam yang diberkahi. Sungguh, Kamilah yang memberi peringatan. Pada (malam itu) dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan dari sisi Kami. Sungguh, Kamilah yang mengutus rasul-rasul, sebagai rahmat dari Tuhanmu. Sungguh, Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui. (ad-Dukhan/44: 1-6)

Ketiga, Dalam Surah al-Baqarah, yaitu pada firman-Nya:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَان

Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Alquran, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). (al-Baqarah/2: 185)

Keempat, Dalam Surah al-Anfal, yaitu pada firman-Nya:

وَاعْلَمُوْٓا اَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِّنْ شَيْءٍ فَاَنَّ لِلّٰهِ خُمُسَهٗ وَلِلرَّسُوْلِ وَلِذِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنِ وَابْنِ السَّبِيْلِ اِنْ كُنْتُمْ اٰمَنْتُمْ بِاللّٰهِ وَمَآ اَنْزَلْنَا عَلٰى عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعٰنِۗ وَاللّٰهُ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ   ٤١

Dan ketahuilah, sesungguhnya segala yang kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak yatim, orang miskin dan ibnu sabil, (demikian) jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqan, yaitu pada hari bertemunya dua pasukan. Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (al-Anfal/8: 41)

Ayat Surah al-Qadr menyatakan bahwa turunnya Alquran dari Lauh Mahfµz ke Baitul-‘Izzah jelas pada malam Lailatul Qadr. Ayat Surah ad-Dukhan menguatkan turunnya Alquran pada malam yang diberkahi, ayat Surah al-Baqarah menunjukkan turunnya Alquran pada bulan Ramadan.

Sedangkan Surah al-Anfal/8: 41 di atas menerangkan penyelesaian pembagian rampasan perang pada Perang Badar. Perang ini disebut yaumul-furqan karena merupakan pertempuran antara tentara Islam dengan tentara kafir, di mana kemenangan berada di tangan tentara Islam.

Dalam ayat ini diungkapkan bahwa Allah menurunkan Alquran pertama kali kepada Nabi saw pada malam yang mulia. Kemudian diturunkan terus-menerus secara berangsur-angsur menurut peristiwa dan suasana yang menghendakinya dalam jangka waktu dua puluh dua tahun lebih sebagai petunjuk bagi manusia dalam mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat nanti.

Sehubungan dengan uraian di atas, para ulama mengatakan bahwa kata anzala dan nazzala berbeda penggunaan dan maknanya. Oleh sebab itu, makna anzalnahu dalam Surah al-Qadr menunjukkan turunnya kitab suci Alquran pertama kali dan sekaligus dari Lauh Mahfµz ke langit dunia.

Kemudian diturunkan berangsur-angsur dari langit dunia kepada Nabi Muhammad, yang dibawa oleh Malaikat Jibril selama 22 tahun, 2 bulan dan 22 hari. Sedangkan makna nazzala bermakna diturunkan berangsur-angsur.


Baca juga: Potret Iluminasi Mushaf Al-Quran Nusantara Dulu dan Kini


Tidak diragukan lagi bahwa manusia sangat memerlukan Alquran sebagai pedoman yang menjelaskan sesuatu yang mereka ragukan dalam hal-hal yang berhubungan dengan soal-soal keagamaan atau masalah-masalah duniawi. Alquran juga menerangkan kepada mereka kejadian manusia dan kejadian yang akan datang ketika datangnya hari kebangkitan.

Manusia memerlukan pegangan tersebut karena tanpanya, mereka tidak dapat memahami prinsip-prinsip kemaslahatan yang sebenarnya untuk membentuk peraturan-peraturan dan undang-undang. Oleh sebab itu, benarlah pendapat yang menyatakan bahwa manusia tidak dapat melepaskan diri dari agama dan petunjuk rohani yang menentukan ukuran dan nilai sesuatu setelah mengetahui secara ilmiah keadaan dan khasiat sesuatu.

Ayat 2

Kemudian dalam ayat ini, Allah menyatakan keutamaan Lailatul-Qadr yang tidak dapat diketahui oleh para ulama dan ilmuwan, bagaimanapun tingginya ilmu pengetahuan mereka. Pengertian dan pengetahuan Nabi-Nya pun tidak sanggup menentukan kebesaran dan keutamaan malam itu. Hanya Allah yang mengetahui segala hal yang gaib, yang menciptakan alam semesta, yang mewujudkannya dari tidak ada menjadi ada.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Qadr Ayat 3-5


(Tafsir Kemenag)

Potret Iluminasi Mushaf Al-Quran Nusantara Dulu dan Kini

0
Iluminasi Mushaf Al-Quran Nusantara
Iluminasi Mushaf Al-Quran Nusantara/ khazanah mushaf nusantara

Keberadaan iluminasi dalam mushaf Al-Quran Nusantara tentu dimulai dengan adanya penyalinan mushaf di kalangan kesultanan. Layaknya simbol, iluminasi dalam mushaf acap kali digunakan oleh kalangan ‘berpunya’ karena menunjukkan kemegahan dan kewibawaan. Berbeda dengan mushaf yang digunakan oleh para santri atau pelajar, mushaf mereka cenderung sederhana dan apa adanya. Dalam rentetan masa, potret pembuatan iluminasi mushaf Al-Quran yang dimotori oleh pihak ‘berpunya’ ternyata tidak hanya dilakukan tempo dulu, melainkan juga masa kini.

Kegiatan pembuatan iluminasi dalam mushaf Al-Qur’an tempo dulu biasa dikerjakan oleh seniman illuminator/juru hias naskah. Pekerjaan ini pun berbeda dengan kaligrafer, yang mana ia hanya fokus pada penulisan ayat Al-Qur’an. Dalam salah satu catatan Ali Akbar peneliti Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Nusantara, yang berjudul Iluminasi menyebutnya demikian. Profesi kaligrafer/juru tulis dan illuminator/juru hias naskah memang berbeda.

Ali Akbar pun mencontohkan ada salah satu mushaf koleksi Museum Negeri Aceh dengan kode No.4028 yang belum sempat ditulisi ayat Al-Quran. Dalam naskah ini, bagian awal mushaf hanya ada ornamennya saja dan masih dalam keadaan kosong. Dari analisanya, Ali Akbar menyimpulkan bahwa tradisi pembuatan iluminasi dalam mushaf Nusantara tidak jauh beda dengan apa yang terjadi di Turki. Dalam tradisi penyalinan mushaf, Turki sejak lama memang membedakan profesi kaligrafer dan illuminator.

Baca juga: Perspektif Al-Quran terhadap Penyandang Disabilitas: Tafsir Surat An-Nur Ayat 61

Setelah berabad-abad pembuatan iluminasi dilakukan secara manual, hadirnya percetakan batu mulai mengurangi aktivitas seni ini. Lajnah pentashihan Al-Quran pun mencatat bahwa semarak pembuatan iluminasi di Indonesia hanya bertahan hingga akhir abad ke-19. Baru pada tahun 1995, tepatnya dalam rangka peringatan 50 tahun Indonesia merdeka Mushaf Istiqlal diresmikan. Mushaf ini menjadi salah satu titik balik munculnya mushaf-mushaf indah dengan terobosan iluminasi khas. Kemudian disusul beberapa mushaf kontemporer lainnya seperti Mushaf Sundawi (1997), Mushaf at-Tin (2000), Mushaf Jakarta (2002), Mushaf Kalimantan Barat (2003), dan Mushaf al-Bantani (2010).

Termasuk juga yang dilakukan oleh Keraton Yogyakarta. Pada tahun 2011, Keraton merujuk mushaf kuno Kanjeng Kiai Al-Qur’an, telah berhasil membuat mushaf baru dengan nama “Mushaf Karaton Yogyakarta Hadiningrat”. Pada masa-masa kontemporer inilah pembuatan iluminasi semakin berkembang dan bertransformasi melalui teknologi digital.

Semarak Iluminasi Mushaf Al-Qur’an Digital Se-Nasional

Bulan lalu, Lajnah Pentashihan Al-Quran resmi mengumumkan pemenang Lomba Nasional Iluminasi Mushaf Al-Quran. Dari segi penyelenggaraan, lomba ini sangat berbeda dari lomba pada umumnya. Biasanya perlombaan iluminasi sepaket dengan lomba kaligrafi dalam perhelatan MTQ. Atau dalam ajang perlombaan lain, lomba iluminasi/ornamen seperti ini dikerjakan secara manual. Sementara lomba ini digelar secara digital dan hanya mengirim file saja.

Lomba ini meliputi kesatuan paket karya iluminasi yang terdiri atas konsep karya, sampul/kulit mushaf (depan, punggung, dan belakang), iluminasi awal mushaf (Surah al-Fatihah dan awal Surah al-Baqarah), bingkai halaman teks Al-Qur’an, menghiasi tanda ‘ain ruku’, hizb, juz, manzil, waqaf lazim, dan sajdah, kemudian kepala surah, serta tanda ayat.

Tentu penyelenggaraan lomba seperti ini membawa angin segar bagi para illuminator mushaf. Pemerintah sebagai pihak yang ‘berpunya’ memfasilitasi dan membuka kembali tradisi luhur tempo dulu. Lomba yang dibuka selama 2,5 bulan akhirnya berhasil mengumpulkan 146 karya. Menarik memang, karena dewan juri pun terdiri dari kalangan profesional dengan berbagai kehalian seperti seni mushaf, seni kriya, dan desain grafis. Dari sekian karya itu, ada 6 juara dan 10 nominasi favorit. Di antara pemenang itu, dua di antaranya dari para pembelajar kaligrafi Ahaly Hamidi.

Baca juga: Tafsir Surat Ar-Rum Ayat 30: Agama Sebagai Fitrah Manusia

Ahaly Hamidi merupakan komunitas kaligrafer yang belajar kaligrafi dengan metode Hamidi. Komunitas ini telah tersebar di beberapa kota Indonesia, bahkan di Asia. Dua karya dari komunitas ini berhasil menyabet juara 2 dan juara 3. Mengutip dari hamidionline.net, kedua karya ini menampilkan ornamen yang terinspirasi dari mushaf Jawa kuno, dan mushaf Jombang. Ornamen yang digunakan dalam iluminasi juara dua mengusung adat Jogja, serta ukiran khas Jawa. Sementara iluminasi juara tiga mengangkat khazanah Jombang yakni Candi Rimbi, bunga cengkeh, bunga sepatu, dan bunga kopi.

Iluminasi dengan mengadopsi gaya Jogja

Iluminasi mengadopsi mushaf Jombang

Dari sampel dua karya ini nampaknya upaya Lajnah Pentashihan Al-Qur’an untuk menyemarakkan kembali pembuatan iluminasi pun berhasil. Tentu, apresiasi dan pencarian karya iluminasi terbaik di negeri ini patut kita banggakan. Terlebih, melalui kesenian mushaf seperti inilah wajah Islam sesungguhnya akan nampak indah, dan menjadi oase dari gersangnya praktik keagamaan berbasis politik. Wallahu a’lam[]

 

Perspektif Al-Quran terhadap Penyandang Disabilitas: Tafsir Surat An-Nur Ayat 61

0
Penyandang Disabilitas

Selama ini penyandang disabilitas sering mendapatkan berbagai stigma negatif, baik itu secara implisit atau eksplisit. Stigma ini hadir akibat pengaruh stereotip bahwa penyandang disabilitas memiliki kekurangan dan tidak mampu melakukan berbagai hal dengan baik. Bahkan tak jarang mereka menjadi kaum termarjinalkan. Sebagian masyarakat melupakan bahwa mereka memiliki hak yang sama dengan manusia lainnya.

Dalam ajaran Islam, tindakan-tindakan di atas tidaklah dibenarkan, sebab nabi Muhammad saw datang dengan membawa nilai-nilai kesamaan dan kesetaraan. Misalnya, dalam kisah asbabun nuzul surah ‘Abasa Allah swt ingin menunjukkan bahwa setiap orang – termasuk penyandang disabilitas – berhak diperhatikan. Tidak peduli apakah mereka itu kaum pejabat atau rakyat jelata, kaya atau miskin, laki-laki atau perempuan, tua atau muda.

Dengan demikian, dalam ajaran Islam setiap orang – terlepas dari warna kulit, kesukuan, kebangsaan, bahasa, dan kemampuan – memiliki hak yang sama dengan manusia lainnya, tanpa terkecuali. Dalam hal ini, penyandang disabilitas memilik hak sebagaimana hak yang dimiliki orang lain seperti hak untuk hidup, berkeluarga dan sebagainya. Berbagai stigma negatif yang dapat mengganggu hak tersebut tidak dibenarkan adanya, karena dapat mencederai esensi ajaran Islam.

Surah An-Nur [24] Ayat 61: Penyandang Disabilitas Memiliki Hak Yang Sama

Salah satu ayat yang berbicara tentang ajaran bahwa penyandang disabilitas memiliki hak yang sama dengan manusia lainnya adalah surah an-Nur [24] ayat 61 yang berbunyi:

لَيْسَ عَلَى الْاَعْمٰى حَرَجٌ وَّلَا عَلَى الْاَعْرَجِ حَرَجٌ وَّلَا عَلَى الْمَرِيْضِ حَرَجٌ وَّلَا عَلٰٓى اَنْفُسِكُمْ اَنْ تَأْكُلُوْا مِنْۢ بُيُوْتِكُمْ اَوْ بُيُوْتِ اٰبَاۤىِٕكُمْ اَوْ بُيُوْتِ اُمَّهٰتِكُمْ اَوْ بُيُوْتِ اِخْوَانِكُمْ اَوْ بُيُوْتِ اَخَوٰتِكُمْ اَوْ بُيُوْتِ اَعْمَامِكُمْ اَوْ بُيُوْتِ عَمّٰتِكُمْ اَوْ بُيُوْتِ اَخْوَالِكُمْ اَوْ بُيُوْتِ خٰلٰتِكُمْ اَوْ مَا مَلَكْتُمْ مَّفَاتِحَهٗٓ اَوْ صَدِيْقِكُمْۗ لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَأْكُلُوْا جَمِيْعًا اَوْ اَشْتَاتًاۗ فَاِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوْتًا فَسَلِّمُوْا عَلٰٓى اَنْفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِّنْ عِنْدِ اللّٰهِ مُبٰرَكَةً طَيِّبَةً ۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمُ الْاٰيٰتِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُوْنَ ࣖ ٦١

Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu, makan (bersama-sama mereka) di rumah kamu atau di rumah bapak-bapakmu, di rumah ibu-ibumu, di rumah saudara-saudaramu yang laki-laki, di rumah saudara-saudaramu yang perempuan, di rumah saudara-saudara bapakmu yang laki-laki, di rumah saudara-saudara bapakmu yang perempuan, di rumah saudara-saudara ibumu yang laki-laki, di rumah saudara-saudara ibumu yang perempuan, (di rumah) yang kamu miliki kuncinya atau (di rumah) kawan-kawanmu. Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendiri-sendiri. Apabila kamu memasuki rumah-rumah hendaklah kamu memberi salam (kepada penghuninya, yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, dengan salam yang penuh berkah dan baik dari sisi Allah. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat(-Nya) bagimu, agar kamu mengerti. (QS. An-Nur [24]: 61)

Menurut Quraish Shihab, surah an-Nur [24] ayat 61 ini menyatakan bahwa: tidak ada halangan dan dosa bagi orang buta untuk tidak melaksanakan secara sempurna kewajiban-kewajiban yang menuntut penggunaan pandangan mata, tidak pula bagi orang pincang untuk kewajiban yang mengahruskan penggunaan kaki yang sehat, tidak pula bagi orang sakit yang penyakitnya menghalangi atau memberatkan dia melakukan sesuatu seperti berpuasa.

Kemudian ayat ini menegaskan bahwa, dan tidak ada pula halangan bagi diri kamu sendiri, untuk makan bersama-sama mereka yang memiliki uzur itu, karena mereka tidak dapat bekerja untuk mencari nafkah, baik itu di rumah kamu atau di rumah bapak-bapakmu, di rumah ibu-ibumu, di rumah saudara-saudaramu yang laki-laki, di rumah saudara-saudaramu yang perempuan, di rumah saudara-saudara bapakmu yang laki-laki, atau di rumah manapun yang telah diizinkan.

Ayat di atas secara umum berisi 3 poin utama, yakni: 1) tidak ada dosa bagi penyandang disabilitas atau orang sakit jika tidak mampu melaksanakan ibadah dengan sempurna karena kesulitan yang diakibatkan oleh disabilitasnya ataupun sakitnya; 2) tidak apa-apa jika seseorang makan bersama penyandang disabilitas dan orang sakit di manapun dan kapanpun sebagaimana ia makan dengan orang lain biasanya; 3) setiap kali memasuki rumah, sebaiknya seseorang mengucap salam.

Ada beberapa riwayat mengenai asbabun nuzul surah an-Nur [24] ayat 61 ini. Namun penulis lebih condong kepada riwayat yang menyatakan bahwa dahulu – sebelum nabi datang – orang-orang merasa tidak enak makan bersama penyandang disabilitas dan orang sakit, karena berbagai kekhawatiran. Misalnya, seseorang tidak enak makan bersama orang pincang karena dia tidak dapat duduk dengan sempurna sehingga dapat mengganggu teman duduknya dan sebagainya.

Orang-orang sungkan makan bersama penyandang disabilitas karena takut menzalimi mereka. Kemudian Allah swt menurunkan surah an-Nur [24] ayat 61 sebagai isyarat kebolehan makan bersama penyandang disabilitas dan orang sakit. Dia juga memerintahkan agar seseorang juga tidak sungkan makan di rumah keluarga atau sahabat dan kerabatnya atau rumah yang diserahkan padanya. Setiap orang boleh makan di sana dengan cara yang ma’ruf dan dibolehkan agama.

Menurut al-Maraghi dalam tafsirnya, dalam ayat ini Allah swt menjelaskan bahwa orang buta, orang pincang dan orang sakit tidak berdosa untuk makan bersama-sama orang yang sehat, dan juga tidak berdosa makan di rumah yang di dalamnya terdapat istri dan keluarganya, termasuk rumah anak karena rumah anak seperti rumahnya sendiri, atau di rumah kerabatnya yang sudah diketahui bahwa mereka merasa senang jika ia makan di rumah mereka.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa surah an-Nur [24] ayat 61 menjelaskan tentang penyandang disabilitas memiliki hak yang sama dengan manusia lainnya. Oleh karena itu, semestinya seorang muslim tidak memiliki stigma negatif terhadap mereka, apalagi membuat penyandang disabilitas merasa terpinggirkan dan tidak berarti. Sebab Islam datang membawa nilai kesetaraan, kesamaan, dan melawan segala tindakan diskriminasi. Wallahu a’lam.