Beranda blog Halaman 448

Kaidah Tafsir: Pengertian dan Hakikatnya dalam Memahami Al-Quran

0
Kaidah Tafsir
Kaidah Tafsir

Dalam salah satu hadisnya Rasulullah bersabda (خيركم من تعلم القرآن و علمه)  “Sebaik-baik kamu adalah yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya”. Maka seseorang yang al-Qur’an berhenti pada dirinya belumlah dapat dikatakan “sebaik-baiknya manusia” sampai ia mampu mengajarkannya.

Maka jika ingin menjadi seorang pengajar tentu sebelumnya sudah harus menguasai materi ajar yang akan ia ajarkan kepada orang lain. Dari sudut pandang inilah lahir upaya untuk memahami al-Qur’an secara mendalam yang salah satu produknya ialah ilmu kaidah tafsir—yang menjadi fokus bahasan pada artikel ini.

Memahami Kata Kaidah dan Tafsir

Sebagai langkah awal menjadi pengajar al-Qur’an, maka mengenal dan menghafal berbagai ta’rifat (definisi) khususnya yang terdapat dalam bidang keilmuan al-Qur’an dan tafsir adalah hal yang mustahab (dianjurkan). Oleh karena itu, sebelum masuk ke pembahasan yang lebih mendalam tentang kaidah tafsir, perlu dijabarkan terlebih dahulu definisi dari dua kosa kata penyusunnya yakni kaidah dan tafsir secara etimologis dan terminologis.

Secara etimologis/ secara bahasa kata kaidah (قاعدة), dalam bahasa Arab memiliki makna “asas/ fondasi” apabila dikaitkan dengan bangunan, dan memiliki makna “tiang” apabila dikaitkan dengan kemah.

Baca Juga: Tujuh Kaidah Penting Dalam Proses Penafsiran Ayat Al-Quran

Adapun secara terminologis terdapat beberapa istilah yang dirumuskan ulama untuk menjelaskan makna kaidah. Ada dua definisi yang ditampilkan oleh Quraish Shihab di dalam karyanya Kaidah Tafsir sebagai penjelasan makna istilahi dari kata kaidah. Adapun kedua definisi tersebut ialah :

قضية كلية منطبقة على جميع جزئيتها

“Rumusan yang bersifat kulli (menyeluruh) yang mencakup atas semua bagian-bagiannya”. (al-Ta’rifat li Jurjani).

حكم كلي يعترف بها على أحكام جزئية

“Ketentuan umum yang dengannya diketahui ketentuan-ketentuan yang menyangkut rincian”.

Adapun hal yang harus digarisbawahi dari definisi “kaidah” ini ialah pada kata kulli. Kata kulli disana tidaklah melegitimasi bahwa semuanya tercakup tanpa terkecuali. Karena dalam pembahasan kaidah ada yang disebut dengan syadz atau yang tidak tercakup oleh kaidah. Semisal yang terjadi pada penggalan Q.S al-A’raf: 56 :

إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ

Jika melihat pada kaidah bahasa tentunya terdapat kesalahan disana, kata qaribun yang menjadi khabar dari kata rahmat seharusnya diubah menjadi qaribatun. Karena menurut kaidah antara mubtada’ dan khobar haruslah berkesusaian baik dalam hal jinsi/ jenis (mu’anats-mudzakar), kuantitas (mufrad, mutsanna, jama’) dan seterusnya.

Maka dalam kasus ini tidak logis jika yang disalahkan adalah al-Qur’an. Karena kaidah lahir berdasarkan telaah atas al-Qur’an sehingga jika memang harus ada objek yang disalahkan tentunya itu adalah kaidah bahasa itu sendiri. Meskipun “anomali kebahasaan” ini dijelaskan beragam oleh para mufassir di mana salah satu alasannya ialah adat dari bangsa Arab sendiri.

Selanjutnya definisi kata “tafsir”. Secara etimologis kata tafsir diartikan dengan penjelasan atau penampakan makna. Dalam kitabnya Maqayis fi al-Lughah, Ibn Faris menjelaskan bahwa kata-kata yang tersusun atas tiga huruf yakni fa-sa-ra mengandung makna keterbukaan dan kejelasan. Maka kata tafsir yang merupakan bentuk derivasi dari fassara mengandung makna kesungguhan membuka atau upaya terus-menerus membuka.

Maka apabila kata tafsir disandingkan dengan al-Qur’an, maka melahirkan sebuah displin ilmu yakni tafsir al-Qur’an yang salah satu definisi singkatnya ialah penjelasan tentang maksud firman-firman Allah sesuai dengan kadar kemampuan manusia atau lebih spesifik lagi jika melihat definisi yang dibawakan Imam al-Zarkasyi yang menguraikan bahwasanya tafsir secara istilah :

علم يفهم به كتاب الله المنزل على نبيه محمد صلى الله عليه وسلم وبيان معانيه واستخراج أحكامه وحكمه 

Ilmu yang dengannya dipahami al-Qur’an dan penjelasan maknanya serta menarik hukum-hukumnya dan hikmah-hikmah yang ada di dalamnya. Adapun Abdul Mustaqim menambahkan bahwa tafsir dapat dibagi menjadi dua yakni 1) tafsir sebagai produk pemikiran penafsir (intaj) dan 2) tafsir sebagai ilmu atau proses metodologi pembentukan pemikiran (thoriqoh).

Hakikat Kaidah Tafsir

Menurut Quraish Shihab, hakikat Kaidah Tafsir adalah “ketetapan-ketetapan yang membantu seorang penafsir untuk menarik makna/pesan-pesan al-Qur’an dan menjelaskan apa yang musykil dari kandungan ayat-ayatnya”. Ketetapan-ketetapan inilah yang menjadi barometer bagi mufasir untuk memahami kandungan dan pesan-pesan al-Qur’an yang dalam penerapannya memerlukan kejelian dan kehati-hatian.

Apalagi sebagian dari kaidah yang dijadikan patron itu dapat mengandung pengecualian-pengecualian. Maka dari sini tentunya kejelian dan penguasaan sangatlah dibutuhkan dalam mengaplikasikan kaidah karena di dalamnya terdapat beragam alternatif yang bahkan bertolak belakang.

Pada ayat harb (perang) misalnya Q.S. al-Taubah [9]: 36:

 وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً

Dan perangilah kaum musyrikin secara totalitas sebagaimana mereka memerangi kalian secara totalitas”.

Harus dipahami bahwasanya ayat ini tidak boleh diaplikasikan semena-mena tanpa pertimbangan. Perlu adanya pertimbangan akan prinsip dasar al-Qur’an berdasarkan kaidah yang ditetapkan. Abdul Mustaqim menguraikan sebuah kaidah berkaitan dengan penafsiran ayat-ayat harb dan qital yakni أية السلم مقدم على أية الحرب (ayat yang memuat nilai-nilai perdamaian diutamakan dari ayat-ayat yang memuat kekerasan dan peperangan—apabila disalahpahami).

Baca Juga: Kaidah Asbabun Nuzul: Manakah yang Harus didahulukan, Keumuman Lafaz atau Kekhususan Sabab?

Dari kaidah itu didapati bahwa prinsip asli dari al-Qur’an adalah perdamaian. Maka ayat-ayat harb dan qital tidak bisa dijadikan dalil asal-asalan untuk memayungi nafsu yang penuh kebencian.

Penerapan kaidah tersebut menjadi bukti betapa pentingnya penguasaan kaidah sebelum mencoba menafsirkan al-Qur’an. Sebab tanpa penguasaan kaidah yang baik akan sangat rawan terjadi kesalahan penafsiran.

Apalagi hanya berpegang pada terjemah literalnya saja, sebagaimana fenomena tafsir asal-asalan yang dewasa ini banyak dijumpai. Maka mari perdalam dulu keilmuan dan jangan sekali-sekali berlagak paham al-Qur’an kalau memahaminya saja masih lewat terjemahan. Wallahu a’lam.

Enam Ayat Kauniyah dalam QS. Al-Baqarah [2]: 164 dan Hikmahnya

0
Enam ayat kauniyah
Enam ayat kauniyah

Allah menurunkan dua jenis tanda kepada manusia agar mereka bisa mengenal Allah dan selalu mengingat-Nya. Pertama adalah ayat-ayat qauliyah, yaitu ayat-ayat yang telah difirmankan Allah secara langsung yang terhimpun dalam mushaf Al-Quran. Kedua adalah ayat-ayat kauniyah, yaitu tanda-tanda kebesaran Allah selain yang terdapat dalam Al-Quran. Ayat-ayat kauniyah ini bisa berupa alam semesta beserta fenomena alam yang terjadi di dalamnya.

Dalam Surat Al-Baqarah ayat 164, ternyata Allah telah memberi tahu kepada manusia untuk mengingat Allah melalu ayat-ayat kauniyah-Nya. Ayat-ayat kauniyah yang terdapat dalam Surat Al-Baqarah ayat 164 tersebut bukan berarti tanda-tanda kebesaran Allah hanya terbatas pada penjelasan di dalam surat. Melainkan sebagai sebuah contoh dan isyarat agar manusia mengerti akan kebesaran dan kekuasaan Allah. Isyarat-isyarat tersebut hanya bisa dijangkau oleh manusia yang mau bertafakur.

Baca juga: Merenungi Tanda-Tanda Kekuasaan Allah di Surat Ar-Rum ayat 20-25

Tafsir Surat Al-Baqarah ayat 164: enam ayat kauniyah Allah

Sebelum masuk kepada penjelasan tafsir, berikut ini adalah lafadz Surat Al-Baqarah ayat 164:

إِنَّ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱخْتِلَٰفِ ٱلَّيْلِ وَٱلنَّهَارِ وَٱلْفُلْكِ ٱلَّتِى تَجْرِى فِى ٱلْبَحْرِ بِمَا يَنفَعُ ٱلنَّاسَ وَمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلسَّمَآءِ مِن مَّآءٍ فَأَحْيَا بِهِ ٱلْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِن كُلِّ دَآبَّةٍ وَتَصْرِيفِ ٱلرِّيَٰحِ وَٱلسَّحَابِ ٱلْمُسَخَّرِ بَيْنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ لَءَايَٰتٍ لِّقَوْمٍ يَعْقِلُونَ

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.”

Menurut penafsiran Abdurrahman as-Sa’di dalam Tafsir al-Qur’an as-Sa’di dan juga di dalam Tafsir Kemenag, terdapat 6 kandungan ayat kauniyah yang Allah jelaskan dalam Surat Al-Baqarah ayat 164 tersebut. Adapun 6 ayat kauniyah tersebut adalah:

Pertama, Allah menciptakan langit yang dapat kita lihat sekarang ini dengan keluasannya serta aneka ragam isinya seperti bintang-bintang, matahari yang menjadi pusat tatasurya, bulan yang peredarannya menajadi patokan penanggalan manusia, dan segala benda langit yang mempunyai maslahat manusia. Kemudian Allah menciptakan bumi sebagai hamparan yang cocok untuk ditinggali manusia, yang mana juga terdapat gunung-gunung, lautan, hutan-hutan, sungai-sungai dan segala sesuatu di dumi yang juga untuk keperluan manusia.

Baca juga: Ketahui Manfaat Gunung Sebagai Pasak Bumi, Ini Penjelasannya dalam Al Quran

Kedua, pergantian siang dan malam yang dengan teratur silih berganti, tidak pernah terlambat sedikitpun. Tidak ada malam yang mendahului siang dan begitu pula sebaliknya seperti yang difirmankan Allah dalam Surat Yasin ayat 40. Di beberapa tempat belahan bumi Allah juga kuasa mengatur waktu lamanya siang ataupun malam. Adakalanya siang lebih lama daripada malam, begitu juga sebaliknya.

Ketiga, melajunya kapal-kapal di lautan dengan bentuk yang begitu besar, membawa beratus-ratus ton barang dan hal yang bermanfaat bagi manusia dalam kehidupannya. Laut dapat menjadi satu jalan transportasi manusia. Bahkan di sepanjang periode peradaban manusia, laut telah menjadi jalur transportasi utama yang biasa kita kenal dengan jalur sutra.

Keempat, diturunkannya hujan dari langit. Air hujan ini hakikat aslinya membawa kebermanfaatan bagi manusia. Air hujan menyebabkan tumbuhanya tanaman-tanaman yang bermanfaat bagi manusia. Selain itu, ketika turun hujan, airnya ini tertampung ke dalam sumber-sumber mata air yang kemudian dialirkan melalui sungai kanal dan pipa-pipa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari manusia.

Untuk penafsiran ayat kauniyah yang kelima, terdapat perbedaan antara Tafsir as-Sa’di dan Tafsir Kemenag. Dalam Tafsir as-Sa’di, kandungan ayat kauniyah yang kelima adalah berhembusnya angin, baik angin panas atau dingin, baik yang bertiup ke timur maupun barat, ataupun ke selatan dan utara sesuai dengan kebutuhan manusia. Namun dalam Tafsir Kemenag, ayat kauniyah kelima ini diartikan sebagai hewan. Allah telah menciptakan binatang-binatang baik yang di darat maupun di laut yang semuanya tersebut dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia.

Baca juga: Inilah Empat Manfaat Hujan dalam Al Quran

Dalam menafsirkan kandungan ayat kauniyah yang keenam, antara Tafsir as-Sa’di dan Tafsir Kemenag juga berbeda. Menurut as-Sa’di, ayat kauniyah yang keenam adalah awan yang berada di antara langit dan bumi. Wujudnya yang berpindah-pindah di suatu daerah ke daerah lain agar dapat menurunkan hujan di sini dan tidak turun hujan di daerah lain sesuai kehendak Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Sementara dalam Tafsir Kemenag, ayat kauniyah yang keenam adalah perihal angin. Angin membawa tanda-tanda bagi peristiwa alam yang lain seperti akan turunnya hujan. Angin juga dapat membawa kabar untuk suatu peristiwa alam yang menakutkan dan dapat membinasakan umat manusia.

Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-’Adhim menuturkan bahwa asbabun nuzul ayat ini adalah jawaban untuk orang kafir Quraisy atas tantangan mereka kepada Rasulullah agar menunjukkan keajaiban yang paling mustahil. Allah pun sebenarnya sanggup untuk membuat semua itu terjadi sebagai sebuah adzab bagi mereka yang tidak mau beriman. Namun, karena kelembutan hati Rasulullah, beliau meminta agar Allah tidak mengadzab kaumnya dan memilih untuk terus berdakwah setiap hari meskipun banyak penolakan dari kaumnya.

Hikmah enam ayat kauniyah

Dari enam ayat kauniyah yang terkandung dalam Surat Al-Baqarah ayat 164, terdapat hikmah yang bisa dipetik manusia. Pertama, ayat-ayat kauniyah di langit dan di bumi menegaskan tentang wujud Allah sebagai Rabb (Pengatur) dan Ilah (Tuhan) yang memiliki sifat sempurna dan suci dari semua kekurangan. Allah lah yang menciptakan dan merajai seluruh alam, serta bertanggung jawab atas kehidupan yang terdapat di dalamnya. Mulai dari yang paling besar hingga yang kasat mata. Dalam teori emanasi Alfarabi dan Ibnu Sina, seluruh alam ini pada hakikatnya adalah manifestasi dari sifat tajjalli Allah SWT.

Hikmah kedua adalah adanya penetapan ayat tanzilah qur’aniyah (ayat Al-Quran) bahwa Allah adalah Rabb dan Ilah manusia serta menetapkan kenabian Rasulullah sebagai utusannya di muka bumi. Sedangkan hikmah ketiga adalah semua ayat-ayat kauniyah tersebut hanya bisa dipahami oleh orang-orang yang mau menggunakan akalnya dan bagi mereka mau berfikir akan kuasa Allah. Penjelasan tersebut senada dengan Qurais Shihab dalam Tafsir al-Misbah bahwa dengan hadirnya ayat-ayat kauniyah, apalagi telah difirmankan Allah sendiri semestinya manusia benar-benar mengamati akan bisa meraba adanya kekuasaan Allah di balik semua itu. Wallahu a’lam[]

Kisah Kesetiaan Abu Bakar As-Shiddiq dibalik Surah At-Taubah Ayat 40

0
Abu Bakar As-Shiddiq
Abu Bakar As-Shiddiq dalam Surat At-Taubah Ayat 40

Abu Bakar As-Shiddiq adalah salah satu sahabat karib nabi Muhammad saw sejak di Mekah. Ia lahir di Mekkah 2 tahun 6 bulan setelah tahun Gajah. Ayahnya bernama Utsman bin Abu Quhafah dan ibunya Salamah, yang bergelar Ummul Khair. Abu Bakar memiliki nama asli Abdul Ka’bah, namun setelah memeluk Islam, namanya berganti menjadi Abdullah.

Nama Abu Bakar merupakan hadiah diberikan langsung oleh Rasulullah saw yang artinya “Bapak anak unta muda”. Nabi saw memberikan julukan tersebut karena kesetiaan Abu Bakar as-Shiddiq sebagai sahabat yang bersegera memeluk agama Islam setelah sampai kepadanya risalah dakwah. Abu Bakar termasuk di antara orang-orang yang paling awal memeluk agama Islam atau yang dikenal dengan sebutan as-sabiqun al-awwalun.

Sedangkan gelar as-Shiddiq diberikan nabi Muhammad saw karena kesetiaan Abu Bakar kepada beliau setelah ia membenarkan dengan adanya peristiwa isra mi’raj Rasulullah saw tanpa keraguan sedikitpun meskipun peristiwa tersebut melampaui batas rasionalitas. Ini adalah salah satu bukti keutamaan dan kelebihan Abu Bakar as-Shiddiq dibanding sahabat-sahabat lainnya.

Totalitas dan kesetiaan Abu Bakar as-Shiddiq dalam memperjuangkan dan menegakkan agama Allah bersama Rasul sejak awal era keislaman tak perlu diragukan lagi. Ketegaran dan semangat jihad Abu Bakar yang menjadikannya tidak ragu untuk menghunuskan pedang melawan Abdullah, putranya sendiri yang berperang dalam barisan kafir Quraisy pada perang Badar.

Baca Juga: Tafsir Surat An-Nur Ayat 22 dan Kisah Kekecewaan Abu Bakar As-Siddiq

Dalam sebuah riwayat bahkan dikisahkan bahwa Abu Bakar as-Shiddiq menyumbangkan seluruh hartanya untuk menyokong dakwah Islam di Jazirah Arab. Melihat hal tersebut, Rasulullah saw bertanya kepadanya, “Wahai Abu Bakar, apa yang kamu tinggalkan untuk keluargamu?” Abu Bakar menjawab, “Saya tinggalkan untuk mereka Allah dan Rasul-Nya.”

Bisa dikatakan bahwa Abu Bakar as-Shiddiq adalah salah satu pilar penyokong penyebaran Islam. Nama Abu Bakar juga tercatat sebagai sahabat yang berjasa besar melindungi nabi saw pada saat terjadi serangan bertubi-tubi dalam perang Uhud. Keistimewaan lain dari Abu Bakar adalah satu-satunya orang yang dipercayai Rasul untuk menggantikan mengimami salat pada saat beliau sakit.

Kisah Kesetiaan Abu Bakar as-Shiddiq Menemani Nabi Muhammad saw Dibalik Surah At-Taubah Ayat 40

Ketika penentangan terhadap ajaran Islam di Mekah semakin memuncak, Allah swt memerintahkan Nabi hijrah, para sahabat pun bersegera berangkat. Baik laki-laki atau perempuan, tua dan muda, dewasa maupun anak-anak, bertolak dari Mekkah menuju Madinah. Mereka menempuh perjalanan 460 Km melintasi gurun yang panas dan gersang.

Ibnu Hisyam dalam kitab Sirah Nabawiyah-nya mencatat, Abu Bakar adalah salah seorang sahabat yang bersegera memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya untuk berhijrah. Ia meminta izin kepada Rasulullah untuk berhijrah. Namun beliau saw bersabda, “Jangan terburu-buru. Semoga Allah menjadikan untukmu teman (hijrah)”. Maksudnya, Rasulullah berharap agar Abu Bakar menjadi temannya saat berhijrah menuju Madinah.

Dalam musyawarah yang panjang dan alot di Darun Nadwah, para pemuka Quraisy akhirnya memutuskan untuk membunuh Nabi Muhammad saw. Algojo dipilih dari para pemuda perkasa yang berasal dari tiap-tiap kabilah Quraisy dilengkapi dengan pedang tajam. Hal ini bertujuan agar Bani Hasyim dan Bani Muthallib (kabilah asal nabi Muhammad saw) tidak berani untuk menuntut balas, sebab semua kabilah Quraisy terlibat dalam pembunuhan tersebut.

Alkisah, rencana para pemuka Quraisy gagal dan nabi Muhammad berhasil pergi dari Mekah dengan selamat. Namun untuk mengecoh pengejarnya, nabi mengambil jalan memutar. Beliau bersama Abu Bakar as-Shiddiq kemudian menuju gua Tsur untuk bersembunyi, sedangkan para pemuda Quraisy mencoba mengikuti jejak-jejak langkah kaki keduanya. Mereka ingin segera menemukan nabi Muhammad dan membunuhnya.

Nabi dan Abu Bakar kemudian berlalu dan memanjat bukit Tsur untuk masuk ke dalam gua kecil. Sebelum masuk ke gua, Rasul melihat kota Mekah dari kejauhan. Pancaran lampu-lampu kota itu terlihat indah, beliau serasa tak rela meninggalkan tanah kelahirannya. Rasul berkata dalam hatinya, “Alangkah indahnya kau negeriku, kau lah tumpuan cintaku, kalau aku tak usir oleh kaumku, aku tak akan rela meninggalkanmu, Mekah.”

Nabi dan Abu Bakar pun masuk ke dalam gua. Mulut gua itu sangat sempit, hanya bisa dilewati oleh satu orang. Sebelum Rasul masuk, Abu Bakar terlebih dahulu memastikan keamanan gua. Ia tidak ingin Rasul disakiti hewan-hewan berbisa di dalam gua. Setelah aman, Abu Bakar mempersilahkan Rasul masuk ke dalam gua. Ini adalah sedikit gambaran kesetiaan Abu bakar kepada Nabi saw.

Ketika berada di dalam gua, Abu Bakar melihat beberapa lobang di sana. Sebagai orang gurun ia memahami betul bahwa pastilah ada makhluk yang menghuni lobang tersebut, terutama ular berbisa. Abu Bakar lalu membuka sandalnya, ditaruhnya kaki kanannya di mulut lubang itu agar Rasulullah terhindari dari serangan ular yang mungkin akan keluar.

Firasat Abu Bakar terbukti, tak lama setelah ia menutupi lobang dengan kakinya, ia dipatuk oleh ular berbisa. Abu Bakar berusaha sekuat tenaga menahan rasa sakitnya agar tidak bersuara, sebab pada waktu itu nabi saw sedang beristirahat di pangkuannya. Karena rasa sakit yang luar biasa, Abu bakar sampai meneteskan keringat dingin.

Baca Juga: Asma Putri Abu Bakar, Sahabat dan Mufassir Perempuan yang Berjasa Dalam Hijrah Nabi

Di tengah tidurnya, nabi Muhammad saw merasakan tetesan keringat. Beliau berkata, “Wahai sahabatku, apakah engkau menangis? Abu Bakar menjawab, “Tidak rasul, kakiku digigit ular.” Lalu ditariknya kaki Abu Bakar dari lubang itu, maka kemudian Rasulullah berkata pada ular, “Hai, tahukah kamu? Jangankan daging atau kulit Abu Bakar, rambut Abu Bakar pun haram kau makan.” Dikisahkan bahwa kaki Abu Bakar diobati dengan air liur nabi saw dan keduanya kemudian sampai ke Madinah dengan selamat.

Kisah kesetiaan Abu Bakar as-Shiddiq dalam menemani nabi di atas Allah swt abadikan dalam surah at-Taubah ayat 40 yang bermakna:

إِلَّا تَنْصُرُوهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللَّهُ إِذْ أَخْرَجَهُ الَّذِينَ كَفَرُوا ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِ لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا فَأَنْزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَيْهِ وَأَيَّدَهُ بِجُنُودٍ لَمْ تَرَوْهَا وَجَعَلَ كَلِمَةَ الَّذِينَ كَفَرُوا السُّفْلَى وَكَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Jika kamu tidak menolongnya (Muhammad), sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir mengusirnya (dari Mekah); sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, ketika itu dia berkata kepada sahabatnya, “Jangan engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.”Maka Allah menurunkan ketenangan kepadanya (Muhammad) dan membantu dengan bala tentara (malaikat-malaikat) yang tidak terlihat olehmu, dan Dia menjadikan seruan orang-orang kafir itu rendah. Dan firman Allah itulah yang tinggi. Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana” (QS. at-Taubah ayat 40). Wallahu a’lam.

Tafsir Surat Al Bayyinah Ayat 1-4

0
Tafsir Surat Al Bayyinah
Tafsiralquran.id

Setelah pada pembahasan surat yang lalu berbicara mengenai Lailatul Qadar serta keistimewaannya, berikutnya dalam Tafsir Surat Al Bayyinah Ayat 1-4 ini berbicara mengenai orang-orang yang merasa terusik dengan datangnya Nabi Muhammad saw sebagai utusan Allah swt.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al Qadr Ayat 3-5


Pembicaraan pertama dalam Tafsir Surat Al Bayyinah Ayat 1-4 ini terkait dengan keengganan orang-orang kafir baik Yahudi, Nasrani, maupun orang-orang munafik untuk meninggalkan tradisi nenek moyang mereka sebelum adanya bukti yang nyata bagi mereka tentang kerasulan Nabi Muhammad saw.

Dijelaskan pula dalam Tafsir Surat Al Bayyinah Ayat 1-4 ini bahwa orang-orang kafir dan sebangsanya itu terguncang dengan kerasulan Nabi Muhammad saw. Sebelumnya, masing-masing dari mereka saling mengajukan diri dari golongannya tentang siapa yang nantinya akan menjadi nabi.

Ayat 1

Dalam ayat ini, Allah mengungkapkan bahwa orang-orang yang mengingkari kerasulan Nabi Muhammad, yang terdiri dari orang-orang Yahudi, Nasrani, dan orang-orang musyrik, tidak akan melepaskan kekufuran mereka, dan tidak mau meninggalkan tradisi nenek moyang mereka, sampai datang bukti nyata, yaitu diutusnya Nabi Muhammad.

Kedatangan Nabi saw menimbulkan keguncangan dalam akidah dan adat istiadat yang telah berurat dan berakar dalam diri mereka. Mereka menyatakan bahwa apa yang dibawa oleh Nabi saw tidak ada beda atau lebihnya dari apa yang terdapat dalam agama mereka.

Dengan demikian, menurut mereka, tidak ada kebaikan mengikuti yang baru dengan meninggalkan yang lama, bahkan mengikuti yang lama lebih menenteramkan jiwa karena tidak bertentangan dengan sikap nenek moyang mereka.

Ayat 2-3

Dalam ayat-ayat ini, Allah menjelaskan bahwa yang dimaksud bukti itu adalah hati pribadi Nabi saw yang membacakan untuk orang kafir halaman-halaman Alquran yang bersih dari campur tangan manusia, dari segala macam kesalahan, dan dari penambahan, yaitu bukti yang memancarkan kebenaran. Allah berfirman:

لَّا يَأْتِيْهِ الْبَاطِلُ مِنْۢ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهٖ

(Yang) tidak akan didatangi oleh kebatilan baik dari depan maupun dari belakang (pada masa lalu dan yang akan datang). (Fussilat/41: 42)

Di dalam Alquran itu tersimpul ajaran-ajaran yang benar yang terdapat dalam kitab-kitab para nabi yang terdahulu, seperti Nabi Musa, Nabi Isa, dan Nabi Ibrahim. Dalam ayat lain yang hampir sama maksudnya, Allah berfirman:

وَاِنَّهٗ لَفِيْ زُبُرِ الْاَوَّلِيْنَ    ١٩٦

Dan sungguh, (Alquran) itu (disebut) dalam kitab-kitab orang yang terdahulu. (asy-Syu’ara’/26: 196)

اِنَّ هٰذَا لَفِى الصُّحُفِ الْاُوْلٰىۙ   ١٨

صُحُفِ اِبْرٰهِيْمَ وَمُوْسٰى ࣖ   ١٩

Sesungguhnya ini terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu, (yaitu) kitab-kitab Ibrahim dan Musa. (al-A’la/87: 18-19)

Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan al-kitab ialah surah dan ayat Alquran , karena setiap surah itu adalah kitab yang kokoh. Ada juga yang memahami sebagai hukum dan peraturan yang terkandung dalam firman-firman Allah yang tidak ada kebatilannya. Dalam ayat lain, Allah berfirman:

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْٓ اَنْزَلَ عَلٰى عَبْدِهِ الْكِتٰبَ وَلَمْ يَجْعَلْ لَّهٗ عِوَجًا ۜ  ١

قَيِّمًا لِّيُنْذِرَ بَأْسًا شَدِيْدًا مِّنْ لَّدُنْهُ وَيُبَشِّرَ الْمُؤْمِنِيْنَ الَّذِيْنَ يَعْمَلُوْنَ الصّٰلِحٰتِ اَنَّ لَهُمْ اَجْرًا حَسَنًاۙ   ٢

Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Kitab (Alquran ) kepada hamba-Nya dan Dia tidak menjadikannya bengkok; sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan akan siksa yang sangat pedih dari sisi-Nya dan memberikan kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan kebajikan bahwa mereka akan mendapat balasan yang baik.    (al-Kahf/18: 1-2)


Baca juga: Memahami Makna Kata Ikhlas dan Penafsirannya dalam Al-Quran


Ayat 4

Keadaan orang-orang kafir Yahudi, Nasrani, dan musyrikin sesudah Nabi saw datang berlainan dengan keadaan mereka sebelumnya.

Mereka sebelum Nabi saw datang dalam keadaan kufur, terbenam dalam kejahilan dan hawa nafsu, tetapi setelah Nabi saw datang, segolongan dari mereka beriman. Dengan demikian, keadaan mereka tidak seperti dahulu. Golongan yang tidak beriman malah meragukan kebenaran yang dibawa Nabi saw, bahkan ada yang tidak mempercayai kebenarannya sama sekali.

Perbantahan dan perselisihan hebat terkadang terjadi antara orang-orang musyrik dengan orang-orang Nasrani. Orang Yahudi berkata kepada orang musyrik, “Sesungguhnya Allah akan mengutus nabi dari kalangan bangsa Arab penduduk Mekah.”

Mereka menerangkan sifat-sifat nabi serta mengancam orang-orang seraya mengatakan bahwa bila nabi itu lahir, mereka akan membantunya dengan menyokong semua tindakannya dan bekerja sama untuk menghancurkan orang-orang musyrik.

Dalam keadaan yang demikianlah Nabi Muhammad diutus. Lalu orang-orang musyrik memusuhi dan menentang Nabi habis-habisan. Mereka juga mengajak orang-orang Arab lainnya untuk memusuhi beliau dan menyakiti pengikut-pengikutnya yang hatinya telah disinari dengan keimanan dan melapangkan dadanya untuk mengenal kebenaran.

Kemudian Allah dalam ayat ini menghibur Nabi-Nya dengan mengatakan bahwa beliau tidak perlu susah atau gundah karena sikap dan tantangan mereka terhadap dirinya. Hal itu juga merupakan sikap mereka terhadap para nabi terdahulu sehingga mereka berpecah-belah.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Bayyinah Ayat 5-8


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 12-14: Allah Maha Mengetahui Sesuatu, Sekalipun Isi Hati Manusia

0
Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 28-30
Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 28-30

Termasuk yang harus diimani oleh umat Islam adalah bahwa Allah mengetahui segala sesuatu, karena memang ini termasuk dari 20 sifat wajib Allah yang harus dipercayai. Tidak hanya itu, kesadaran bahwa Allah mengetahui segala sesuatu membuat muslim yang sedang membersihkan hatinya bisa lebih waspada untuk bertindak, atau dalam bahasa tasawuf dikenal dengan muraqabah (sikap awas). Demikianlah Allah menyampaikan dalam Surat Al-Mulk ayat 12-14 bahwa Ia Maha mengetahui, sekalipun terhadap isi hati manusia. Di samping juga menjanjikan kebaikan bagi yang dapat melaksanakan muraqabah.

إِنَّ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ كَبِيرٌ

وَأَسِرُّوا قَوْلَكُمْ أَوِ اجْهَرُوا بِهِ إِنَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ

أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ

“Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Tuhannya yang tidak terlihat oleh mereka, mereka memperoleh ampunan dan pahala yang besar.”

“Dan rahasiakanlah perkataanmu atau nyatakanlah. Sungguh, Dia Maha Mengetahui segala isi hati.”

“Apakah (pantas) Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui? Dan Dia Mahahalus, Maha Mengetahui.”

Baca juga: Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 8-11: Penyesalan Orang yang Ingkar di Hari Kiamat

Janji Allah bagi yang takut dan selalu sadar terhadap pengawasanNya

Seperti biasa, setelah menjelaskan orang yang tak patuh dan ancaman untuk mereka, Allah kemudian menunjukkan kebalikannya, yakni janji kepada hamba yang patuh, yang dalam konteks ini berupa orang-orang yang takut terhadap Allah. Pendapat demikian sebagaimana yang diutarakan kebanyakan mufassir, yang antara lain Ar-Razi dalam Mafatihul Ghayb, Al-Biqa’i dalam Nudzm ad-Durar, dan Quraish Shihab dalam Al-Mishbah.

Surat Al-Mulk ayat 14 mendeskripsikan perihal orang yang senantiasa takut terhadap Allah sekalipun Ia tidak terjangkau oleh penglihatan manusia. Dalam istilah tasawuf, ini dikenal dengan muraqabah, yang termasuk satu dari enam maqam (tingkatan) untuk membentuk pribadi yang waspada.

Mengutip Ihya’ ‘Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali, muraqabah didefinisikan dengan sikap menjaga rahasia dengan senantiasa awas terhadap Allah Yang gaib dengan situasi bagaimana pun (mura’atussirr bi mulahadzatil ghayb ma’a kulli lahdhatin wa lafzatin). Artinya, seseorang selalu merasa diperhatikan gerak-geriknya oleh Allah, sehingga ia selalu menjaga tindakannya.

Baca juga: Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 5-7: Balasan Bagi yang Tak Patuh Perintah

Muraqabah ini juga termasuk manifestasi dari ihsan, berdasarkan penggalan hadis tentang iman Islam dan ihsan Nabi riwayat Abu Hurairah dalam Shahih Al-Bukhari:

الإحْسَانُ أنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأنَّكَ تَرَاهُ، فإنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فإنَّه يَرَاكَ

“Ihsan ialah ketika kamu menyembah Allah seakan kamu melihatNya, atau bila tidak, Allah Yang melihatMu”

Ihsan adalah level tertinggi diantara iman dan Islam, karena untuk memraktikkannya, seorang hamba juga dituntut untuk ikhlas dan senantiasa sadar bahwa Allah senantiasa mengawasinya. Sehingga, meski ia sedang sendiri, ia tetap takut untuk berbuat keburukan. Hal ini semakna dengan Quraish Shihab saat ia memaknai ayat 12 ini dengan orang yang kagum dan takut terhadap Allah walaupun mereka sedang sendiri atau Allah tidak tampak oleh penglihatannya.

Balasan bagi orang yang takut dan sadar bahwa Allah selalu mengawasinya tak lain ialah ampunan dan ganjaran melimpah. Ada satu rahasia mengapa ampunan (al-maghfirah) disebut lebih dahulu daripada ganjaran (ajrun) di ayat tersebut. Sebagaimana yang disampaikan Ibnu ‘Asyur dalam at-Tahrir wat Tanwir, pendahuluan ampunan karena untuk melegakan hati umat Islam pada waktu itu yang takut akan tertimpa siksa atas perbuatan kufurnya sebelum masuk Islam. Selain juga, lanjut Ibnu ‘Asyur, sebagai wujud daf’ud darr muqaddamun ‘ala jalbil mashalih (menolak kemudaratan lebih didahulukan dari menarik manfaat).

Baca juga: Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 1-2: Bukti Kuasa Allah dan Barometer Pribadi Berkualitas

Penegasan keluasan ilmu Allah

Ayat 13 dan 14 turun untuk merespons anggapan kaum musyrik Mekah bahwa Allah tidak mengetahui pembicaraan mereka yang samar. Berdasarkan hadis riwayat Ibnu ‘Abbas dalam Asbabun Nuzul anggitan al-Wahidi, suatu ketika mereka (kaum musyrikin Mekah membicarakan Nabi), sementara Jibril memantau pembicaraan mereka itu. Kemudian mereka saling berkata:

أَسِرُّوا قَوْلَكُمْ لِئَلَّا يَسْمَعَ إِلَهُ مُحَمَّدٍ

“lirihkanlah suaramu agar Tuhannya Muhammad tidak dengar”

Lalu, turunlah ayat ini untuk memberi tahu bahwa Allah mengetahui segala sesuatu, sekalipun isi hati manusia.

Perintah untuk melirihkan (asirru) atau melantangkan suara (ijharu) sejatinya bermakna taswiyyah (menyamaratakan). Dengan mengacu pada sebab turunnya ayat dan frasa setelahnya yang berarti “Allah sungguh mengetahui segala isi hati”. Sehingga, adalah sama saja, mereka, orang-orang musyrik bicara lantang atau lirih, Allah pasti tahu segala detil perkataannya. Hal ini serupa dengan firman Allah dalam surat At-Tur ayat 16:

ٱصۡلَوۡهَا فَٱصۡبِرُوٓاْ أَوۡ لَا تَصۡبِرُواْ سَوَآءٌ عَلَيۡكُمۡۖ إِنَّمَا تُجۡزَوۡنَ مَا كُنتُمۡ تَعۡمَلُونَ

“Masuklah ke dalamnya (rasakanlah panas apinya); baik kamu bersabar atau tidak, sama saja bagimu; sesungguhnya kamu hanya diberi balasan atas apa yang telah kamu kerjakan.

Bidzatis shudur diartikan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya dengan ma khatara fil qulub (sesuatu yang terbersit dalam hati). Pengertian ini kemudian dikembangkan oleh Ibnu ‘Asyur dengan segala yang berlalu-lalang dalam hati manusia, baik itu niat, gertakan hati, dan lain sebagainya.

Meskipun memiliki konteks khusus, ayat ini menyapa seluruh manusia. Sehingga, siapa pun yang main rahasia-rahasiaan baik berupa perkataan atau perbuatan, sesungguhnya Allah telah lebih dulu mengetahui rahasia itu, bahkan sejak dalam rencana.

Allah kemudian menegaskan kemaha-mengetahuiNya atas segala sesuatu pada ayat ke-14 dengan mengungkapkan pertanyaan bernada inkar. “Apakah pantas Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui?”

Pengetahuan Allah terhadap segala sesuatu merupakan keniscayaan, karena Ia Yang Maha menciptakan. Sebagaimana yang disampaikan Ibnu ‘Asyur, sifat ilmu yang dimiliki Allah berhubungan dengan ciptaanNya dan keadaan ciptaanNya itu. Hal ini tak lain sebab proses penciptaan ialah mewujudukan sesuatu dengan bentuk tertentu. Dan untuk itu, Sang Pencipta pasti memiliki kehendak dan pengetahuan terhadap yang akan Ia ciptakan.

Lafadz lathif dan khabir yang menjadi pemungkas ayat 14 mempertegas  ilmu Allah yang meliputi semua hal. Al-Ghazali mengartikan lathif dengan Dzat Yang mengetahui kemaslahatan secara detil dan seluk-beluk rahasianya. Sementara khabir berarti Yang mengetahui sesuatu hingga lini terkecilnya.

Demikianlah tafsir Surat Al-Mulk ayat 12-14 cukup kuat untuk menjadi dalil akan keluasan ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu. Semoga, kita dapat belajar untuk sadar bahwa kita selalu dalam pantauan Allah, sehingga perbuatan baik dilakukan dengan ikhlas, tidak lagi pandang tempat, waktu, atau untuk siapa kita berbuat. Wallahu a’lam[]

 

Memahami Makna Kata Ikhlas dan Penafsirannya dalam Al-Quran

0
Kata Ikhlas
Makna Kata Ikhlas

Secara etimologi, kata ikhlas yang sudah menjadi bahasa baku bahasa Indonesia berasal dari kata bahasa Arab, yaitu “ikhlāsh” (إِخْلاَصٌ). Kata ikhlas dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai “hati yang bersih (jujur); tulus hati”. Keikhlasan yaitu ketulusan hati, kejujuran, kerelaan”. Dari sini dapat dipahami bahwa ikhlas tempatnya di hati, dan merupakan salah satu perbuatan hati.

Di dalam bahasa Arab, kata ikhlas (إِخْلاَصٌ) adalah bentuk dasar dari kata kerja akhlasha (أَخْلَصَ) – yukhlishu (يُخْلِصُ). Kata ini mengandung banyak arti, yaitu “mengerjakan sesuatu dengan hati yang bersih, memurnikan, mengambil intisari sesuatu, dan memilih”.

Jadi, kata ikhlas berarti “pengerjaan sesuatu dengan hati yang bersih, pemurnian hati dengan tulus, dan pengambilan intisari sesuatu. Sebagai contoh adalah ungkapan yang berbunyi أَخْلَصَ الْمُدَرِّسُ فِي التَّدْرِيْسِ (Akhlasha al-mudadris fi al-tadris), yang berarti “Guru itu ikhlas di dalam mengajar.”

Kata إِخْلَاص itu sendiri terambil dari kata dasar khalasha (خَلَصَ)- yakhlushu (يَخْلُصُ), khulushan (خُلُوْصًا), yang mengadung beberapa arti, yaitu “murni, tidak bercampur dengan sesuatu yang lain, bersih, jernih, dan bebas dari sesuatu”.

Sebagai contoh ialah ungkapan yang berbunyi: هَذَا مَاءٌ خَالِصٌ (Ini adalah adalah air bening), yaitu air yang tidak bercampur dengan sesuatu yang lain. Kalau sudah bercampur dengan sesuatu yang lain, maka air itu tidak disebut lagi “al-khalish”.

Baca Juga: Pengertian Kata Taubat dan Perintah Bertaubat dalam Al-Quran

Dari pengertian yang dikemukakan di atas dapat diketahui bahwa kata ikhlas ditujukan untuk menunjukkan makna kesucian dan ketulusan hati dalam melakukan sesuatu pekerjaan. Ikhlas itu dikaitkan dengan perbuatan, yaitu upaya yang dilakukan untuk menyucikan dirinya dari sifat-sifat mencampuri kemurnian dan ketulusan hati. Orang yang memiliki sifat ikhlas disebut “mukhlish”, yaitu orang yang hatinya selalu bersih dan suci dalam melakukan perbuatan.

Sifat ikhlas itu hanya ditujukan kepada satu hal saja. Kalau seseorang menyatakan bahwa “Dia ikhlas kepada Allah melakukan sesuatu”, hal itu menunjukkan bahwa pekerjaan yang dilakukannya hanya ditujukan untuk Allah dan karena Allah swt, tidak ada campur baurnya dengan tujuan atau untuk yang lain.

Hati saya ikhlas berarti hatinya yang tertuju kepada Allah dan amal yang dilakukannya hanya untuk Allah. Hati seseorang yang ikhlas itu suci, bersih, dan bening bagaikan air putih, bersih, dan bening yang ada di dalam sebuah gelas, yang belum dicampur dengan cairan lainnya. Kalau sudah bercampur dengan sesuatu yang lain, bukan disebut ikhlas lagi.

Bentuk kata إخلاص tidak ditemukan di dalam Al-Quran. Yang ada hanyalah bentuk-bentuk yang lain yang merupakan derivasinya, seperti خلصوا (khalashu), خالص (khaalish), أخلصوا (akhlashuu), مخلص (mukhlish), dan مخلصون (mukhlishuun). Bentukan-bentukan (derivasi) dari kata إخلاص yang terdapat di dalam Al-Qur’an terulang sebanyak 31 kali yang terulang dalam berbagai ayat dalam berbagai surah.

Allah swt. menyatakan dalam berbagai ayat tentang pentingnya sikap ikhlas dalam beragama dan beramal. Sikap ikhlas ini menjadi penting karena sesuatu amal akan menjadi bermakna karena keikhlasan niat, dan ketulusannya. Di antara ayat-ayat yang menerangkan tentang ikhlas itu ialah ayat-ayat berikut:

QS. Al-Nisa’ [4]: 146 yang menggunakan kata أخلصوا (akhlashuu):

إِلَّا ٱلَّذِينَ تَابُواْ وَأَصۡلَحُواْ وَٱعۡتَصَمُواْ بِٱللَّهِ وَأَخۡلَصُواْ دِينَهُمۡ لِلَّهِ فَأُوْلَٰٓئِكَ مَعَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَۖ وَسَوۡفَ يُؤۡتِ ٱللَّهُ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ أَجۡرًا عَظِيمٗا ١٤٦

“Kecuali orang-orang yang taubat dan Mengadakan perbaikan [berbuat pekerjaan-pekerjaan yang baik] dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.”

QS. Al-Zumar [39]: 11 yang menggunakan kata مخلصا (mukhlishan):

قُلۡ إِنِّيٓ أُمِرۡتُ أَنۡ أَعۡبُدَ ٱللَّهَ مُخۡلِصٗا لَّهُ ٱلدِّينَ ١١

“Katakanlah: “Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.”

QS. Ghaafir [40]: 65 yang menggunakan kata مخلصين (mukhlishiin):

هُوَ ٱلۡحَيُّ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ فَٱدۡعُوهُ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَۗ ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ ٦٥

“Dialah yang hidup kekal, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan dia; Maka sembahlah Dia dengan memurnikan ibadat kepada-Nya. segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.”

Pendapat Tsa’lab yang dikutip Mahmud al-Mishri menyatakan bahwa al-mukhlishiin adalah orang-orang yang menyerahkan ibadah mereka kepada Allah swt. Hati mereka telah disucikan dan dibersihkan oleh Allah swt. Karena itu, al-mukhlishiin itu disebut juga sebagai orang-orang pilihan (terpilih).

Baca Juga: Tuntunan Membina Keluarga dalam Al-Quran: Surat At-Taghabun Ayat 6

Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa seseorang dalam memeluk agama Allah dan mengerjakan segala yang diperintahkan dan meninggalkan segala yang dilarang oleh Allah swt., harus didasarkan atas keikhlasan, ketulusan, dan kebersihan hati. Oleh sebab itu, ikhlas merupakan landasan sebuah amal. Amal yang dilakukan harus didasarkan atas keikhlasan yang hanya kepada Allah swt. Sebuah amal yang dilakukan tanpa dilandasi keikhlasan, ketulusan, dan kemurnian hati menjadi amal yang sia-sia.

Secara terminologi kata ikhlas diartikan oleh para ulama, yang dihimpun oleh Mahmud al-Mishri, sebagai berikut:

Al-Kafawi, yang dikutip oleh Mahmud al-Mishri, menyatakan bahwa ikhlas adalah beribadah dengan meniatkan penyembahan terhadap sesuatu yang disembah. Kata ini, menurutnya, diartikan, sebagai penyucian rahasia, perkataan, dan amal.

Abu Utsman al-Maghrabi, yang juga dikutip oleh Mahmud al-Mishri, menyatakan bahwa ikhlas dalah sikap seseorang yang melupakan pandangan seluruh makhluk Allah terhadap amal yang ia lakukan lantaran selalu merasa dilihat dan diawasi oleh Tuhannya. Jadi, bila ia menghiasi amalnya demi manusia dengan sesuatu yang tidak ada di dalam dirinya, berarti ia telah jatuh dari pandangan Allah swt.

Tafsir Surat Ar-Rahman Ayat 1-4: Inilah Dua Kenikmatan Besar Pada Manusia

0
Surat Ar-Rahman
Surat Ar-Rahman

Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah Swt, sepanjang hayatnya tidak akan pernah mampu menghitung betapa banyak nikmat yang ia dapatkan, betapa banyak karunia yang diberikan oleh Allah Swt. Mulai ia lahir ke bumi ini, hingga ia pindah ke alam barzakh. Meskipun begitu, sebagai insan yang beriman, sudah seharusnya ber-tadabbur, ber-tafakkur seberapa besar nikmat yang diberikan oleh Tuhannya, sebagai langkah awal untuk menuju rasa syukur kepada-Nya.

Surat Ar-Rahman menyampaikan betapa banyak nikmat yang diberikan oleh Allah Swt, oleh sebab itu surat ini mengulang ayat : فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ  (Artinya :’ Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?’) sebanyak 31 kali. Beberapa nikmat besar disampaikan pada Surat Ar-Rahman ayat 1 – 4,

اَلرَّحْمٰنُۙ عَلَّمَ الْقُرْاٰنَۗ خَلَقَ الْاِنْسَانَۙ عَلَّمَهُ الْبَيَانَ

(Allah) Yang Maha Pengasih, Yang telah mengajarkan Al-Qur’an. Dia menciptakan manusia, mengajarnya pandai berbicara. (Q.S. Ar-Rahman [55]: 1-4)

Syekh Ahmad As-Shawi dalam Hasyiyah As-Showi ‘ala Tafsir Jalalain menyampaikan :

وافتتح هذه السورة بلفظ ( الرَّحْمَنُ ) إشارة الى أنها مشتلمة على نعم عظيمة , وذالك لأن الرحمن هو المنعم بجلائل النعم كما وكيفا

Artinya : ‘Surat ini dimulai dengan lafadz الرَّحْمَنُ menunjukkan bahwa surat ini mencakup banyak nikmat yang besar, karena lafadz الرَّحْمَنُ bermakna Dzat yang memberi nikmat-nikmat besar, baik secara kualitas maupun kuantitas.’ (Syekh As-Shawi, Hasyiyah Showi ‘ala Tafsir Jalalain. [Beirut: Dar Al-Fikr, 2014] juz 4, hal. 125)

Imam Fakhrudin Ar-Razi, mengisahkan bahwa suatu hari Ibrahim bin Adham melihat ada burung Gagak mengambil potongan roti. Beliau pun terheran dan mengikuti burung tersebut, ternyata burung tadi membawa potongan roti dan memberikannya pada seorang lelaki yang kedua tangannya terikat.

Baca juga: Benarkah Syair Itu Haram? Simak Penafsiran Surat Yasin Ayat 69

Dari kisah ini Imam Ar-Razi menggarisbawahi, bahwa sifat الرَّحْمَنُ sangat luas, bahkan terhadap burung gagak pun Allah Swt memberinya sifat rahmat(kasih sayang). Dan sifat الرَّحْمَنُ adalah salah satu asmaul husna yang khusus hanya bagi Allah Swt. (Imam Ar-Roziy, Tafsir Kabir, [Kairo : Dar Al-Hadits,2012] juz 1, hal. 261)

Dua Nikmat Besar Pada Manusia

Pertama, nikmat terbesar yang disampaikan dalam surat Ar-Rahman adalah diajarkannya Al-Quran, karena Al-Quran adalah wahyu Allah Swt yang paling mulia, dan diberikan kepada Nabi yang paling mulia pula. Menurut Syekh Sulaiman Al-Jamal di dalam Tafsir Jamal menjelaskan lafadz علم mempunyai dua objek; Al-Quran, dan objek yang satunya dibuang (mahdzuf), yaitu lafadz الإنسان (yang bemakna semua manusia). (Syekh Sulaiman Al-Jamal, Tafsir Jamal, [Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, 2013] juz 7, hal. 361)

Walhasil, ayat kedua ini menyampaikan ; Allah Swt, dengan sifat Maha Kasih sayangNya menurunkan Al-Quran kepada Nabi Muhammad Saw, untuk kemudian diajarkan kepada semua umat manusia, guna dijadikan pedoman dalam kehidupan mereka.

Baca juga: Perintah Dakwah yang Menyejukkan dalam Al-Quran

Kedua, setelah menyampaikan nikmat terbesar berupa diajarkannya Al-Quran, ayat ketiga dan keempat dalam Surat Ar-Rahman menjelaskan nikmat besar selanjutnya, yaitu tercipta sebagai manusia. Syekh Wahbah Az-Zuhailiy menjelaskan sebagai berikut :

النعمة الثانية والثالثة خلق جنس الإنسان لإعمار الكون، وتعليمه البيان أي الكلام والنطق والفهم، وهو مما فضّل به الإنسان على سائر الحيوان

Artinya : Nikmat yang kedua dan ketiga adalah diciptakan sebagai manusia, untuk meramaikan dunia, dan mengajarkannya bayan, yaitu berbicara dan kefahaman, hal itu termasuk salah satu yang dianugerahkan kepada manusia, tidak kepada hewan.” (Syekh Wahbah Az-Zuhailiy, Tafsir Munir, [Beirut : dar Al-Fikr, 2018], juz 14, hal. 215)

Dari sini kita bisa mengampil kesimpulan bahwa surat Ar-Rahman ayat 1-4 menjelaskan dua nikmat besar yang diberikan kepada kita, yaitu Al-Quran, sebagai pedoman hidup, dan diciptakan sebagai manusia yang mampu berfikir guna memahami ayat-ayat qauliyah dan ayat-ayat kauniyyah. Wallahu A’lam

Kenali Dua Tipe Pembuka Surat Al-Quran dan Rahasianya

0
pembuka surat Al-Quran
pembuka surat Al-Quran

Kajian terhadap Al-Quran dari masa ke masa tidak pernah mengalami kekurangan pembahasan, justru terus berkembang. Hal ini dikarenakan Al-Quran dipandang sebagai korpus terbuka yang sangat potensial untuk menerima segala bentuk upaya eksplorasi kandungan Al-Quran, baik dalam bentuk pembacaan, penerjemahan, maupun penafsiran. Salah satu yang menjadi objek kajian tersebut adalah terkait proses pengungkapan fungsi dan rahasia yang terkandung dalam ragam pembuka surat Al-Quran.

Klasifikasi Pembuka Surat Al-Quran

Imam az-Zarkasyi dalam karyanya al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, membagi ragam tipologi pembuka surat Al-Qur’an menjadi 10 bagian. Namun, yang menjadi kajian pembahasan secara panjang lebar hanya pada tipologi yang pertama dan kedua. Oleh karena itu, artikel ini hanya mengurai terkait dua tipe pembuka surat Al-Qur’an, sebagaimana berikut:

Baca Juga: Ayat-ayat Spesial itu Dikenal dengan Huruf Muqattaah

  1. al-Istiftah bi al-Tsana’ (pembukaan dalam bentuk pujian)

Tipologi yang pertama ini menjelaskan terkait pembuka surat Al-Quran yang menggunakan bentuk redaksi pujian. Tipologi ini masih dibagi oleh az-Zarkasyi menjadi dua fungsi yaitu sebagai penetapan sifat pujian (itsbat li shifat al-madh), dan berfungsi sebagai bentuk penghilangan dan penyucian dari sifat-sifat kekurangan (nafy wa tanzih min shifat al-naqsh).

Contoh kategori pembuka surat Al-Quran yang berfungsi sebagai penetapan sifat pujian terhadap Allah antara lain adalah, pertama, pembukaan dengan redaksi alhamdulillah (الحمد لله), yang terdapat dalam lima surat, yaitu surat al-Fatihah, surat al-An’am, surat al-Kahfi, surat al-Saba’ dan surat Fathir. Kedua, pembukaan dengan redaksi tabaraka (تبارك), yang disebutkan dalam dua surat, yaitu surat al-Furqan dan surat al-Mulk.

Kemudian, terkait contoh kategori pembuka surat Al-Quran yang memiliki fungsi sebagai bentuk penyucian Allah dari sifat-sifat kekurangan yang disandarkan kepada-Nya antara lain, pertama, pembukaan surat dengan redaksi subhana (سبحان) dalam surat al-Isra’. Kedua, menggunakan redaksi sabbih (سبّح), sebagaimana dalam surat al-A’la. Ketiga, menggunakan redaksi sabbaha lillahi (سبّح لله), sebagaimana disebutkan dalam surat al-Hadid, surat al-Hasyr, dan surat as-Shaff. Keempat, dengan redaksi yusabbihu lillahi (يسبّح لله), yang terdapat dalam surat al-Jumu’ah, dan surat at-Taghabun.

Baca Juga: Bagaimana Tafsir atas Huruf Muqattaah?

  1. al-Istiftah bi Huruf al-Tahajjiy (pembukaan dalam bentuk huruf ejaan)

Bentuk kedua ini merupakan pembuka surat Al-Quran yang diawali oleh sebuah simbol berupa huruf-huruf ejaan hija’iyah yang terpisah atau lebih dikenal dengan istilah al-huruf al-muqaththa’ah. Terdapat 14 huruf yang digunakan sebagai pembuka surat Al-Qur’an, yaitu alif, ba’, mim, shad, ra’, kaf, ha’, ya’, ‘ain, tha’, sin, kha’, qaf, dan nun. Kumpulan huruf tersebut digunakan sebagai pembuka dalam 29 surat Al-Qur’an.

Semua huruf tersebut tersusun dalam beberapa varian bentuk, yaitu: (1) dalam bentuk satu huruf, seperti Shad (surat Shad), Qaf (surat Qaf), dan Nun (surat al-Qalam); (2) dua huruf, seperti Tha-Ha, Tha-Sin, Ya-Sin, dan Ha-Mim. Semuanya ditemukan dalam sepuluh pembukaan surat; (3) dua belas surat yang dibuka dengan tiga huruf muqaththa’ah, seperti Alif-Lam-Mim, Alif-Lam-Ra, dan Tha-Sin-Mim; (4) empat huruf, seperti Alif-Lam-Mim-Shad (surat al-A’raf), dan Alif-Lam-Mim-Ra (surat al-Ra’d); (5) lima huruf, seperti Kaf-Ha-Ya-‘Ain-Shad (surat Maryam), dan Ha-Mim-‘Ain-Sin-Qaf (surat asy-Syura).

Terkait pembuka surat yang menggunakan bentuk satu huruf, para ulama berbeda pendapat. Ada yang berpandangan hal tersebut sebatas huruf biasa, namun terdapat juga yang menganggap bahwa itu bukanlah huruf, melainkan sebuah nama khusus untuk suatu hal tertentu.

Pandangan unik lainya adalah apabila sebuah surat diawali oleh satu huruf muqaththa’ah, maka isi surat tersebut berbicara terkait hal-hal yang berkaitan dengan huruf pembuka tersebut. Misalnya, dalam surat Qaf, karena diawali dengan Qaf, maka mayoritas pesan-pesan dalam surat tersebut tersusun dari huruf Qaf (al-kalimat al-qafiyah), seperti penyebutan tentang al-Qur’an, ar-Raqib, al-Muttaqin, al-Qatl, ar-Rizq, al-Qaum, dan lain sebagainya yang intinya huruf Qaf menjadi salah satu partikel unsur dari kalimat tersebut.

Baca Juga: Mengapa Surat At-Taubah Tanpa Basmalah? Begini Penjelasannya Dalam Tafsir Al-Mishbah

Pandangan Ulama Terhadap Huruf Muqaththa’ah

Para ulama berbeda pendapat dalam memandang dan memahami makna dari al-huruf al-muqaththa’ah. Semua perbedaan pandangan tersebut oleh Imam az-Zarkasyi dibagi menjadi dua kelompok, yaitu: pertama, kelompok ulama yang berpandangan bahwa makna al-huruf al-muqaththa’ah hanya diketahui oleh Allah. Sehingga mereka bersikap sebatas mengimani secara dzahir, dan menyerahkan kepada Allah terkait pemahaman kandungan makna huruf tersebut. Kelompok pertama ini biasanya menggunakan redaksi “Allah a’lam bi muradihi” dalam memaknai huruf muqaththa’ah.

Pandangan yang demikian mendapat kritik dari Imam ar-Razi dan beberapa ahli kalam. Hal ini dikarenakan tidak mungkin Allah memerintahkan manusia untuk mentadabburi Al-Quran, sedangkan mereka sendiri tidak mampu memahami makna kata dari ayat Al-Quran tersebut.

Kemudian, kelompok kedua adalah mereka yang berpandangan bahwa makna dari al-huruf al-muqaththa’ah dapat dipahami dengan berbagai perbedaan perspektif pemahaman. Berbagai perbedaan pendapat tersebut telah menghasilkan dua puluh macam bentuk interpretasi terhadap al-huruf al-muqaththa’ah. Dalam hal ini, penulis tidak akan mendeskripsikan semua macam pandangan tersebut, dikarenakan media yang terbatas ini.

Beberapa pandangan dari kelompok kedua ini antara lain yaitu: pertama,  pandangan Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa setiap huruf muqaththa’ah tersebut terambil dari nama-nama sifat Allah. Contohnya seperti kalimat alif laam mim (الم), alif-nya bermakna Allah, laam-nya dimaknai lathif (Yang Maha Lembut), dan mim-nya diartikan majid (Yang Maha Mulia).

Kedua, dalam sebuah riwayat dari Ibnu Abbas, disebutkan bahwa alif laam mim (الم) merupakan singkatan dari ana Allah a’lam (Allah Maha Mengetahui), alif laam mim shad (المص) bermakna ana Allah afshal (Allah Maha Menentukan), dan alif laam ra’ (الر) dimaknai sebagai singkatan dari ana Allah ara (Allah Maha Melihat).

Ketiga, terdapat ulama yang berpandangan bahwa pada saat proses penurunan wahyu, kaum Arab saat itu tidak mendengarkan wahyu Al-Qur’an yang turun kepada mereka dengan sungguh-sungguh, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Fussilat [41]: 26. Oleh karena itu, kemudian Allah menurunkan wahyu dalam bentuk huruf muqaththa’ah supaya orang-orang Arab saat itu takjub. Sehingga dengan ketakjuban tersebut mengakibatkan mereka tertarik dan lebih mendengarkan terhadap pesan-pesan Al-Qur’an yang disampaikan Nabi.

Keempat, sebagai bentuk pemberitahuan bahwa Al-Quran pada mulanya tersusun dari huruf seperti alif, ba’, dan seterusnya. Sehingga sebagian Al-Qur’an ada yang dalam bentuk huruf ejaan terpisah, dan ada juga yang telah tersusun rapi dalam bentuk kalimat. Hal ini berfungsi untuk memberi tahu kaum Arab saat itu bahwasanya Al-Qur’an turun sesuai dengan bahasa mereka, yang juga tersusun dari kumpulan huruf.

Sebagai tambahan, Theodore Noldeke memandang bahwa ragam huruf muqaththa’ah ini bukanlah bagian dari ayat Al-Qur’an, melainkan hanya berupa inisial dari nama-nama penulis wahyu pada masa pra-kodifikasi mushaf utsmani. Misalnya, kalimat “alif-lam-ra” merupakan bentuk inisial dari nama Abdullah ibn Zubair. Kemudian, huruf “shad” inisial untuk Hafshah, “kaf” untuk Abu Bakar, dan “nun” untuk Utsman ibn ‘Affan.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa setiap pembuka surat Al-Qur’an memiliki fungsi dan tujuan tertentu. Terkait pembuka surat dalam bentuk huruf muqaththa’ah, para ulama masih berbeda pendapat dalam memaknainya. Hal ini dikarenakan tidak adanya penjelasan Nabi terkait hal tersebut, sehingga mengakibatkan para ulama berijtihad sesuai kemampuan masing-masing. Karena hasil ijtihad ulama, maka hasil interpretasi tersebut bisa benar dan juga bisa salah. Wallahu A’lam

Meneguhkan Kembali Konsep Kalimatun Sawa’ dalam Surat Ali Imran Ayat 64 pada Konteks Keindonesiaan

0
Kalimatun sawa' dalam konteks Indonesia
Kalimatun sawa' dalam konteks Indonesia

Dalam surat Ali Imran ayat 64, terdapat lafadz kalimatun sawa’ yang berarti “satu kata yang sama”. Istilah kalimatun sawa’ dalam penafsiran modern pernah dipopulerkan oleh mufassir nusantara seperti Hasbi as-Shiddiqy. Al-Siddiqy menggunakan istilah kalimatun sawa’ sebagai konsep kesepakatan di tengah perbedaan keyakinan. Secara sederhana, kalimatun sawa’ berarti suatu titik temu di tengah perbedaan untuk menghindari perselisihan agar mencapai kemaslahatan bersama.

Indonesia adalah negara yang masyarakatnya sangat majemuk. Penduduknya terdiri dari berbagai etnis, adat istiadat, suku bangsa, agama, dan budaya. Satu sisi, pluralitas yang dimiliki Indonesia adalah anugerah kekayaan dari Yang Maha Kuasa. Di sisi lain, kemajemukan tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia, karena sangat rawan menimbulkan konflik dan perpecahan. Di Indonesia, konsep kalimatun sawa’ ini bukanlah barang yang baru. Ia telah diluncurkan oleh para founding father bangsa sebagai titik temu dalam membangun negara kesatuan ini. Namun, kekerasan dan konflik yang kerap kali muncul di Indonesia mendakwakan bahwa kalimatun sawa’ selayaknya mulai disapa dan diteguhkan kembali bagi generasi penerusnya.

Baca juga: Kalimat Thayyibah itu Menebarkan Energi Positif, Tafsir Surat Ibrahim Ayat 24-26

Tafsir surat Ali Imran ayat 64: kalimatun sawa’ sebagai titik temu

Sebelum masuk penjelasan tafsir, berikut lafadz surat Ali Imran ayat 64:

قُلْ يَٰٓأَهْلَ ٱلْكِتَٰبِ تَعَالَوْا۟ إِلَىٰ كَلِمَةٍ سَوَآءٍۭ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا ٱللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِۦ شَيْـًٔا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِّن دُونِ ٱللَّهِ ۚ فَإِن تَوَلَّوْا۟ فَقُولُوا۟ ٱشْهَدُوا۟ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ

“Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah”. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”

Dalam menafsirkan surat Ali Imran ayat 64, para mufassir nusantara juga bisa dijadikan rujukan sahih. Mereka adalah Syaikh Nawawi al-Bantani dengan Tafsir Marh al-Labd, Hasbi as-Shiddieqy dengan Tafsir Al-Qur’anul Majid an-Nuur, Buya Hamka dengan Tafsir Al-Azhar, dan M. Quraish Shihab dengan Tafsir al-Misbah.

Asbabun nuzul ayat di atas terjadi ketika Rasulullah berada di Madinah. Syaikh Nawawi menjelaskan bahwa konteks ayat ini diturunkan kepada Nasrani Najran. Mereka tidak mau menerima ajakan Rasulullah untuk memeluk Islam dengan terus berdalil dan tidak mau membayar jizyah (pajak). Selain kepada Nasrani Najran, ayat ini juga ditujukan kepada kaum Yahudi Madinah yang juga berselisih paham dengan Nasrani Najran perihal agama Nabi Ibrahim. Hal ini pun akhirnya melibatkan Rasulullah sebagai kepala negara untuk mencari jalan keluar atas perselisihan yang terjadi. Akhirnya turunlah perintah Allah untuk meninggalkan perdebatan dan mencari suatu bentuk penengah. Dan penengah tersebut dinamakan “kalimatun sawa”.

Baca juga: Pembangunan Masjid dan Keberagaman Umat: Refleksi Surat Al-Hujurat Ayat 13

Senada dengan an-Nawawi, Hasbi as-Shiddiqy menafsrikan “kalimatun sawa” sebagai suatu pernyataan yang adil dan seimbang. Dalam penjelasannnya yang lebih lanjut ia menjelaskan bahwa selain keadilan dan keseimbangan, dapat juga berarti untaian pembicaraan yang disepakati oleh rasul dan kitab yang telah diturunkan, yaitu Zabur, Taurat, Injil, dan Al-Quran. Istilah ini dapat diartikan sebagai konsep kesepakatan di tengah perbedaan keyakinan untuk menghindari perselisihan agar mencapai kemaslahatan bersama.

Konsep as-Shiddiqy ini disepakati pula oleh Buya Hamka. Ia menyataka bahwa betapapun terdapat perbedaan dalam agama Yahudi, Nasrani, dan Islam, pada kulitnya, pasti terdapat satu kalimat, satu kata yang sama yang menjadi titik pertemuan ketiga agama samawi tersebut. sekiranya ketiganya rela dan sudi kembali kepada satu kalimat tersebut niscaya tidak aka nada perselisihan di antara ketiganya.

Meneguhkan kembali kalimatun sawa’ dalam konteks keindonesiaan

Keempat mufassir nusantara di atas sepakat bahwa “kalimatun sawa” adalah titik temu atau suatu kata sepakat. Dalam konteks Rasulullah di Madinah, penjelasan “kalimatun sawa” dijabarkan pada ayat selanjutnya yaitu “tidak menyembah selain Allah, tidak mempersekutukannya, serta tidak menjadikan tuhan-tuhan selain Allah”.

Persamaan tersebutlah yang menjadikan ketiganya dapat bekerjasama dalam membangun sebuah negara yang madani di Madinah. Mereka akan tetap pada keyakinannya masing-masing namun saling bertoleransi dalam urusan duniawiyah. Kareana dalam agama Islam sendiri memang tidak ada paksaan bagi seseorang untuk memeluknya seperti yang difirmankan Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 256.

Dalam konteks Indonesia “kalimatun sawa” ini ternyata telah dirumuskan oleh para pendiri bangsa menjadi sebuah bentuk landasan negara. Cendekiawan muslim Sayyid Hosen Nasr menyatakan bahwa kalimatun sawa adalah a common words. Sedang Nurcholish Madjid mengistilahkan “kalimatun sawa” sebagai common platform (platform umum). Common platform tersebut tertera pada Pancasila terutama pada sila pertama karena menjadi dasar keempat sila selanjutnya. Ia menyatakan bahwa dalam sila pertama tersebut terdapat unsur relijiusitas.

Baca juga: Iluminasi Mushaf Al-Bantani; Ekspresi Identitas Keislaman Masyarakat Banten

Dalam agama Islam sila pertama tersebut mengandung unsur tauhid uluhiyah yang membawa konsekuensi pada kepatuhan kepada Allah serta menjalankan perintahnya termasuk bersikap baik pada sesama manusia. Sila pertama juga menjadi titik temu karena ia menjadi common platform bagi warga negara Indonesia yang mempunyai karakteristik keberagamaan meski dengan keyakinan yang berbeda.

Jika merujuk pada pendapat Quraish Shihab dalam mendefinisikan ahlul kitab dalam tafsir al-Misbah, maka konsep Pancasila sebagai “kalimatun sawa” adalah tepat. Karena menurutnya, ahlul kitab pada surat Ali Imran ayat 64 tersebut tidak hanya ditujukan kepada ketiga agama Yahudi, Nasrani, dan Islam saja seperti pendapat Hasbi as-Shiddiqy dan Buya Hamka. Namun lebih luas pemaknaannya kepada seluruh kaum yang mempunyai kitab suci sebagai kepercayaanya. Dan “kalimatun sawa” dalam surat Ali Imran ayat 61 tersebut menurut Quraish Shihab akan terus relevan hingga akhir zaman.

Melihat realitas Indonesia yang hari ini masih banyak konflik dan kekerasan karena perbedaan keyakinan. Rasanya perlu merefleksikan dan meneguhkan kembali konsep “kalimatun sawa” yang kita miliki hari ini. Pertama sebagai satu cara untuk menghindari perselisihan paham dan menjaga kesatuan. Kemudian yang kedua adalah sebagai wujud syukur kita kepada Allah Yang Maha Esa karena diberikan anugerah pluralitas dan masyarakat yang multikultur nan majemuk. Wallahu a’lam[]

Tafsir Surat Yasin Ayat 5-6: Diutusnya Nabi Muhammad SAW Sebagai Pemberi Peringatan

0
Surat Yasin Ayat 5 - 6
Surat Yasin Ayat 5 - 6

Pada pembahasan sebelumnya sudah dijelaskan tentang tafsir ayat 2-4 dimana Allah swt bersumpah dengan Al-Quran atas kerasulan Nabi Muhammad saw. Kali ini penulis akan menyampaikan penafsiran ayat selanjutnya yakni tafsir surat Yasin ayat 5-6 diutusnya Nabi Muhammad saw sebagai pemberi peringatan.

() تَنْزِيلَ الْعَزِيزِ الرَّحِيمِ

() لِتُنْذِرَ قَوْمًا مَا أُنْذِرَ آبَاؤُهُمْ فَهُمْ غَافِلُونَ

(sebagai wahyu) yang diturunkan oleh (Allah) Yang Mahaperkasa, Maha Penyayang, agar engkau memberi peringatan kepada suatu kaum yang nenek moyangnya belum pernah diberi peringatan, karena itu mereka lalai. (Q.S. Yasin [36]: 5-6)

Kata tanzil adalah masdar dari nazzala-yunazzilu yang artinya menurunkan. Lalu apa makusd dari diturunkan pada ayat ini?. Setidaknya ada tiga aspek makna yang bisa digunakan. Pertama, menurut al-Shabuni, Quraish Shihab dan mayoritas ulama tafsir, memahami bahwa yang diturunkan adalah Al-Quran, ini merujuk kepada ayat ke-2 yang mana Allah menegaskan kedudukan Al-Quran sebagai kitab suci yang diturunkan kepada nabi yang ummi, yakni Nabi Muhammad saw. dan Al-Quran bukanlah karangan manusia.

Penegasan semacam ini juga bisa dilihat dalam ayat-ayat lain, diantaranya dalam QS. As-Syu’ara: 192, As-Sajdah: 2, Az-Zumar: 1, dan Al-Ghafir: 2. Bahkan Allah menantang mereka yang meragukan dan beranggapan bahwa Al-Quran adalah karangan manusia agar membuat Al-Quran semisalnya, Allah berfirman:

وَاِنْ كُنْتُمْ فِيْ رَيْبٍ مِّمَّا نَزَّلْنَا عَلٰى عَبْدِنَا فَأْتُوْا بِسُوْرَةٍ مِّنْ مِّثْلِهٖ ۖ وَادْعُوْا شُهَدَاۤءَكُمْ مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ

Dan jika kamu meragukan (Al-Qur’an) yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah satu surah semisal dengannya dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. (Q.S. AL-Baqarah [2]: 23)

Baca juga: Tafsir Surat Yasin ayat 1: Pengantar Tafsir dan Keutamaan Membacanya

Makna kedua,  kata tanzil dimaknai dengan irsal, yakni diutusnya Nabi Muhammad saw merujuk pada ayat ke-3 dalam surah ini.  Diantara mufassir yang berpendapat demikian diantaranya adalah at-Thabari dan al-Qurthubi.

Sedangkan makna yang ketiga, adalah semua aspek dalam agama Islam itu sendiri. Merujuk pada kata shirath al-Mustaqim pada ayat 4, adapun mufassir yang berpendapat demikian adalah Ibnu Kathir dan al-Maraghi. Menurut Ibnu Kathir kata ini menunjukkan segala aspek dari agama Islam yang mana hal itu diturunkan oleh Allah kepada hambanya.

Ibnu Katsir menukil ayat Al-Quran untuk menguatkan gagasannya tersebut. Yakni QS. Asy-Syura: 52-53 yang menerangkan tentang diutusnya Muhammad saw untuk membimbing manusia kepada jalan yang lurus, yakni jalan yang telah di syariatkan oleh Allah.

Diakhir ayat ini, Allah menggunakan kata al-‘Aziz dan ar-Rahim. Beberapa muafssir memahami bahwa al-‘Aziz menunjukkan kekuasaan Allah yang menurunkan Al-Quran, dan mengutus Muhammad saw, sedangkan ar-Rahim adalah sifat penyayang Allah kepada ciptaan-Nya, termasuk kepada mereka yang bertaubat dan meminta ampunan dari-Nya.

Sedangkan pada tayat ke-6, Wahbah Zuhaili menerangkan bahwa tujuan diturunkannya Al-Quran dan diutusnya Nabi Muhammad saw adalah untuk litunzira Qaumam ma unzira Abaauhum yakni memberi peringatan kepada bangsa Arab yang mana belum pernah ditemui (pemberi peringatan) sebelumnya kepada nenek moyang mereka (pada zaman fatrah).

Masa fatrah adalah masa dimana tidak ada (kosong) kehadiran nabi, sehingga beberapa ulama seperti Syeikh Nawawi al-Bantani, Syeikh Ibrahim al-Baijuri berpendapat bahwa pada masa ini ahli fatrah jikapun mereka berpindah keyakinan atau melakukan kemusyrikan, maka mereka terbebas dari siksa api neraka.

Baca juga: Tafsir Surat Yasin Ayat 2-4: Sumpah Allah atas Kerasulan Nabi Muhammad saw

Kaitannya dengan masyarakat Arab dalam ayat ini adalah bahwa kondisi mereka berbeda dengan masa nenek moyang mereka (di zaman fatrah) yang sama sekali tidak ada rasul yang diutus. Sedangkan pada era mereka Allah telah mengutus seorang rasul sebagai pembawa risalah untuk menunjukkan ajaran yang lurus dan benar, yakni Nabi Muhammad saw.

Ash-Shobuni menyebutkan bahwa alasan diutunsya Nabi Muhammad saw sebagai pemberi peringatan kepada masyrakat Arab adalah fahu ghafiulun karena mereka telah lalai (menolak) dari iman, petunjuk, syari’at, lalai dalam menjalankan hukum-hukum yang telah ditetapkan (disampaikan) kepada mereka, terjebak dalam kegelapan dunia, serta menyembah berhala-berhala yang mereka anggap sebagai tuhan. Di ayat lain Allah juga menegaskan peran nabi Muhammad sebagai pemberi peringatan, diantaranya QS. As-Sajdah: 3 Allah berfirman:

اَمْ يَقُوْلُوْنَ افْتَرٰىهُ ۚ بَلْ هُوَ الْحَقُّ مِنْ رَّبِّكَ لِتُنْذِرَ قَوْمًا مَّآ اَتٰىهُمْ مِّنْ نَّذِيْرٍ مِّنْ قَبْلِكَ لَعَلَّهُمْ يَهْتَدُوْنَ

Tetapi mengapa mereka (orang kafir) mengatakan, “Dia (Muhammad) telah mengada-adakannya.” Tidak, Al-Qur’an itu kebenaran (yang datang) dari Tuhanmu, agar engkau memberi peringatan kepada kaum yang belum pernah didatangi orang yang memberi peringatan sebelum engkau; agar mereka mendapat petunjuk. (Q.S. As-Sajdah [32]: 3)

Terkahir, mengutip dari pendapat Ibnu Kathir, Quraish Shihab, dan tafsir Kemenag, bahwa meski pada ayat ini konteks yang dituju untuk diberikan peringatan adalah masyarakat Arab, namun secara keseluruhan maksud dari ayat ini ditujukan kepada umat manusia.

Sebab ini didasari dengan beberapa ayat lain yang mendukung bahwa dakwah nabi teruntuk umat manusia, misalnya dalam QS. al-A’raf : 158,

قُلْ يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنِّيْ رَسُوْلُ اللّٰهِ اِلَيْكُمْ جَمِيْعًا ۨالَّذِيْ لَهٗ مُلْكُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَ يُحْيٖ وَيُمِيْتُۖ فَاٰمِنُوْا بِاللّٰهِ وَرَسُوْلِهِ النَّبِيِّ الْاُمِّيِّ الَّذِيْ يُؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَكَلِمٰتِهٖ وَاتَّبِعُوْهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُوْنَ

Katakanlah (Muhammad), “Wahai manusia! Sesungguhnya aku ini utusan Allah bagi kamu semua, Yang memiliki kerajaan langit dan bumi; tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, (yaitu) Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya). Ikutilah dia, agar kamu mendapat petunjuk.” (Q.S. Al-A’raf [7]: 158)

Demikian penjelasan singkat tafsir surat Yasin ayat 5-6, nantikan penjelasan tafsir surat Yasin selanjutnya. Wallahu A’lam