Beranda blog Halaman 447

Tafsir Surat Ar-Rahman Ayat 17: Peredaran Bumi, Bulan, dan Matahari serta Empat Musim dan Iklim Bumi

0
peredaran bumi, bulan, matahari dan empat musim
peredaran bumi, bulan, matahari dan empat musim

Bumi adalah planet dihuni oleh jutaan umat manusia dari masa ke masa. Di bumi, manusia tinggal dengan semua kejadian alam yang menopang kehidupannya. Mulai dari silih bergantinya siang dan malam, pasang dan surut air laut, terjadinya empat musim, hingga adanya iklim bumi yang berbeda-beda di setiap wilayah.

Gejala-gejala dan peristiwa alam tersebut merupakan ayat kauniyah. Tanda-tanda yang Allah berikan kepada manusia agar ia bisa mengenal dan mengingat-Nya, tentunya bagi manusia yang mau berfikir dan bertafakkur. Karena begitu besar kasih sayang-Nya kepada manusia hingga apa yang ada di bumi ini sejatinya hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan manusia, termasuk gejala pergantian empat musim dan adanya perbedaan iklim di masing-masing wilayah bumi. Adanya empat musim dan perbedaan iklim tersebut ternyata juga diisyaratkan Allah dalam Surat Ar-Rahman ayat 17.

Peredaran Bumi, Bulan, dan Matahari

Dalam surat Ar-Rahman ayat 17, Allah memberikan penegasan terhadap ayat kauniyah-Nya. Allah swt merajai dan mengatur kejadian di alam semesta. Adapun lafadz surat Ar-Rahman ayat 17 adalah sebagai berikut:

رَبُّ ٱلْمَشْرِقَيْنِ وَرَبُّ ٱلْمَغْرِبَيْنِ

“Tuhan yang memelihara kedua tempat terbit matahari dan Tuhan yang memelihara kedua tempat terbenamnya.”

Di dalam Tafsir Kemenag ayat tersebut mengandung penjelasan tentang peredaran matahari dan bulan. Allah telah menciptakan keduanya kemudian mengatur peredarannya dengan perhitungan yang cermat dan tepat. Allah memelihara dua tempat tersebut, dua tempat terbenam matahari. Kemudian atas perubahan-perubahan tersebut muncullah siang dan malam serta musim yang silih berganti, kemudian iklim yang berbeda-beda di setiap bagian bumi.

Baca juga: Tafsir Surat Ar-Rahman Ayat 1-4: Inilah Dua Kenikmatan Besar Pada Manusia

Dua Timur dan Dua Barat menyiratkan bentuk Bumi yang bulat. Karena hanya pada benda-benda yang berbentuk seperti bola saja peristiwa-peristiwa yang seoerti itu dapat terjadi. Dalam ilmu pengetahuan seperti geografi bentuk bumi ini senyatanya memang bulat. Adanya aat ini membuktikan bahwa Al-Quran dan ilmu pengetahuan memang tidak ada pertentangan.

Ayat ini juga mengandung pengertian tentang peredaran Bumi yang mengelilingi Matahari. Kedua tempat terbit dan terbenam matahari yang disebutkan pada ayat di atas merupakan akibat dari berputarnya Bumi terhadap Matahari. Waktu perederan merekapun sangat tepat dan tidak pernah terlambat. Atas gerak peredaran Bumi dan Matahari tersebut muncullah kejadian siang dan malam seperti yang juga difirmankan Allah swt dalam surat Al-Qashash ayat 71, 72, dan 73.

Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah menjelaskan bahwa peredaran Bumi ini tidak hanya berkaitan dengan Matahari saja, tetapi juga bersinggungan dengan Bulan. Bulan yang pada siang hari tidak tampak, dan hanya terlihat pada malam hari adalah akibat dari gerak orbit Bulan yang mengelilingi Bumi. Beberapa kejadian seperti fenomena gerhana bulan dan juga gerhana Matahari juga sebagai akibat dari gerak orbit ini.

Peredaran Bulan ini akhirnya dapat digunakan manusia sebagai acuan dalam menentukan sistem penanggalan dalam Islam. Sistem penanggalan tersebut bernama penanggalan Hijriyah. Di samping pula terdapat sistem penanggalan yang menurut peredaran Matahari yaitu sistem penanggalan Syamsiyah.

Baca juga: Tafsir Surat Al-Qamar Ayat 1: Fenomena Terbelahnya Bulan

Isyarat Empat Musim dan Perbedaan Iklim di Bumi

Peredaran Bumi, Bulan, dan Matahari yang terdapat dalam surat Ar-Rahman ayat 17 juga menimbulkan fenomena-fenomena alam lain yang juga berdampak bagi kehidupan manusia di bumi. Akibat peredaran tersebut muncullah empat musim di Bumi yang silih berganti.

Al-Mahalli dan As-Suyuthi dalam Tafsir Jalalain menuturkan bahwa ayat tersebut mengandung pengertian musim dingin dan musim panas. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah Quraish Shihab menjelaskan secara lebih detail dan rinci mengenai isyarat empat musim yang terdapat dalam surat Ar-Rahman ayat 17. Fenomena terbit dan terbenamnya Matahari di dua tempat tersebut disebabkan oleh kecondongan garis edar Bumi yang mengedari Matahari selama 523,5 derajat.

Ketika belahan Bumi utara yang condong ke Matahari pada musim panas akan mengakibatkan siang lebih panjang daripada malam. Kondisi ini berlangsung hingga matahari mencapai ujung utara garis bujur timur dan Barat. Lalu kembali sedikit demi sedikit hingga tiba musim gugur.

Kondisi pada musim ini mengakibatkan malam lebih panjang daripada siang dan berlangsung hingga Matahari bergeser ke selatan yang menjadi tanda dimulainya musim dingin. Kemudian Matahari akan bergeser hari demi hari hingga mencapai garis bujur Timur dan Barat pada saat musim semi.

Wahbah al-Zuhaili dalam al-Tafsir al-Wasith menjelaskan bahwa dua tempat terbit dan terbenam suah Ar-Rahman ayat 17 di atas adalah tempat terbit dan terbenam pada musim panas dan hujan yang  berarti Allah menjaga, mengatur dan memelihara matahari sehingga terjadi empat musih di bumi yaitu  semi, panas, gugur dan dingin. Selain itu akibat gerak orbit Bumi dan Maatahari ini muncullah perbedaan iklim yang terjadi di wilayah Bumi seperti iklim seperti iklim sedang, dingin, tropis dan subtropis.

Dalam kitab Tafsir Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Takwil, al-Baidhawi menjelaskan bahwa dari surat Ar-Rahman ayat 17 tersebut mengandung pengetahuan tentang perbedaan iklim serta pergantian musim. Selain itu mengandung pengertian juga bahwa terdapat faedah manfaat yang Allah berikan kepada manusia dari fenomena tersebut.

Adanya perbedaan iklim dan pergantian musim tersebut membawa dampak yang baik bagi manusia seperti terjadinya musim tanam, musim panen, dan sebagainya yang memberikan manusia, hewan, tumbuhan, dan makhluk Allah yang lain untuk beraktivitas. Wallahu A’lam

Kisah Nabi Zulkifli Dalam Al-Quran: Sosok Hamba Yang Penyabar

0
Kisah Nabi Zulkifli
Kisah Nabi Zulkifli

Kisah nabi Zulkifli merupakan salah satu kisah Al-Qur’an yang menginspirasi. Beliau merupakan salah seorang nabi yang diutus oleh Allah swt kepada bani Israil dari sekian banyak nabi. Nabi Zulkifli dikenal sebagai sosok hamba yang penyabar, memenuhi janji, amanah, jujur, dan sanggup menanggung risiko maupun kesulitan dari dakwah yang dilakukan kepada kaumnya.

Nabi Zulkifli merupakan putra nabi Ayyub yang mempunyai nama asli Basyar. Beliau tinggal di negeri Syam yang dipimpin oleh seorang raja tua dan tidak memiliki keturunan. Awal mula dia dipanggil Zulkifli adalah ketika suatu hari sang raja sedang mencari penggantinya. Ia menyerahkan akan menyerahkan kekuasaan kepada siapa saja yang mau bertanggung jawab menjalankan amanah umat (zulkifli) dan orang-orang yang bertakwa kepada Allah swt.

Suatu hari, ketika sang raja yang arif dan bijaksana akan pensiun dan resah karena belum memiliki calon pengganti yang tepat. Dia pun mengadakan sayembara kala itu dan mengumpulkan semua rakyatnya di depan kerajaan. Sang raja berkata, “Wahai rakyatku, aku ingin mengangkat seseorang untuk memimpin kalian di masa hidupku agar aku dapat melihat tindak tanduknya.” (Qashash al-Anbiya: 393).

Dia lantas berkata, “Siapa yang mampu mengembang tiga tugas dariku, yakni sanggup berpuasa di siang hari, salat di malam hari, dan menahan emosi. Ia akan aku angkat menjadi pemimpin negeri ini.” Namun tidak ada satu pun dari rakyatnya yang menjawab, karena tiga tugas yang ia berikan sangatlah berat dan sulit untuk dilaksanakan secara terus-menerus kecuali bagi orang-orang pilihan.

Hingga akhirnya, berdirilah seorang pemuda bernama Basyar sambil mengangkat tangan kanannya dan berkata, “Hamba sanggup!” tegas nabi Zulkifli. Berulang-ulang sang raja bertanya kepada rakyatnya, namun tidak ada yang menjawab selain sang pemuda tadi. Maka terpilihlah Basyar menggantikan sang raja, dan namanya pun berubah menjadi Zulkifli yang berarti “orang yang sanggup memegang janji.”

Kisah Nabi Zulkifli Dalam Al-Qur’an: Sosok Hamba Yang Penyabar

Nabi Zulkifli as pun menjadi raja Syam saat itu. Sosok hamba yang penyabar ini mampu memimpin negerinya dengan baik. Beliau bahkan lebih mementingkan urusan rakyatnya dibandingkan urusan dirinya dan keluarganya. Dia memegang teguh janjinya untuk berpuasa di siang hari dan jalan di malam hari, serta selalu sabar dalam keadaan apapun. Ia juga tidak pernah marah-marah apalagi terlihat murka.

Suatu ketika, terjadi pemberontakan di negeri Syam oleh orang-orang yang durhaka kepada Allah swt. Nabi Zulkifli lalu meminta prajurit dan rakyatnya untuk datang ke medan pertempuran. Namun, tidak ada satu rakyat pun yang berani melawan mereka karena takut mati. Sehingga mereka meminta nabi Zulkifli mendoakan kepada Allah swt untuk menjamin keberlangsungan hidup mereka.

Tanpa berpikir dua kali, nabi Zulkifli dengan sabar berdoa kepada Allah swt dan doanya tersebut segera dikabulkan oleh-Nya. Allah swt berfirman, “Aku telah mengetahui permintaanmu, dan aku mendengar doamu. Semua itu akan Aku kabulkan.”  Kemenangan pun dapat diraih tanpa seorang pun dari mereka yang gugur dalam pertempuran atas izin Allah swt.

Pada suatu hari, Iblis datang untuk melakukan tipu daya agar nabi Zulkifli gagal dalam mengemban tugasnya sebagai raja dan ketua dewan hakim. Iblis tersebut ternyata memiliki tipu daya yang begitu licik. Ia berubah wujud menjadi seorang manusia tua dan mengetuk pintu rumah nabi Zulkifli as untuk menggoyahkan kesabaran beliau (Qashash al-Anbiya: 395).

“Siapa Anda,” ujar nabi Zulkifli kepada setan yang menyamar. “Hamba musafir, semua barang kepunyaan hamba dirampok orang,” balas setan tersebut. Dengan rasa iba, nabi Zulkifli meminta setan yang menyamar tersebut datang besok hari ke kerajaannya. Namun, yang ditunggu tak kunjung datang. Padahal Nabi Zulkifli sudah meluangkan waktu untuk membantu setan yang menyamar itu.

Suatu saat, nabi Zulkifli merasa sangat ngantuk dan berpesan kepada keluarganya agar tidak mengizinkan orang lain menemuinya di waktu istirahat siang. Lagi dan lagi, setan datang untuk mengganggu nabi Zulkifli. Setan kembali menjelma menjadi pria tua, datang dan mengetuk rumah sosok hamba yang penyabar ini. Akan tetapi, keluarga beliau melarangnya karena nabi Zulkifli telah berpesan agar tidak ada yang mengganggu istirahatnya.

Tidak terima atas penolakan, setan yang menyamar itu pun masuk melalui lubang di dinding rumah. Dia membangunkan nabi Zulkifli yang sedang tertidur pulas. “Lihatlah dari mana aku datang,” ujar si setan. Menyadari bahwa pintu rumahnya terkunci, tetapi bapak tua tersebut tetap bisa masuk, nabi Zulkifli pun berseru, “Kau musuh Allah!”

Setan itu pun menjawab, “benar, kau telah membuatku putus asa untuk menggoda dirimu. Maka Aku melakukan perbuatan yang kau saksikan sendiri secara langsung agar kau marah kepadaku.” Tanpa rasa kesal sedikit pun, ternyata nabi Zulkifli as tidak marah dan ia tetap sabar meski terus-menerus diganggu bahkan ia sampai-sampai beberapa hari ia tidak bisa beristirahat.

Berkat kesabarannya tersebut, Allah swt memuji nabi Zulkifi dalam surah al-Anbiya’ [21] ayat 85-86 dan surah Shad [38] ayat 48 yang masing-masing berbunyi:

وَاِسْمٰعِيْلَ وَاِدْرِيْسَ وَذَا الْكِفْلِۗ كُلٌّ مِّنَ الصّٰبِرِيْنَ ۙ ٨٥ وَاَدْخَلْنٰهُمْ فِيْ رَحْمَتِنَاۗ اِنَّهُمْ مِّنَ الصّٰلِحِيْنَ ٨٦

“Dan (ingatlah kisah) Ismail, Idris dan Zulkifli. Mereka semua termasuk orang-orang yang sabar. Dan Kami masukkan mereka ke dalam rahmat Kami. Sungguh, mereka termasuk orang-orang yang saleh.” (QS. Al-Anbiya’ [21]: 85-86).

وَاذْكُرْ اِسْمٰعِيْلَ وَالْيَسَعَ وَذَا الْكِفْلِ ۗوَكُلٌّ مِّنَ الْاَخْيَارِۗ ٤٨

“Dan ingatlah Ismail, Ilyasa‘dan Zulkifli. Semuanya termasuk orang-orang yang paling baik.” (QS. Sad [38]: 48).

Dari pemaparan di atas, ada beberapa hikmah yang dapat dipelajari melalui kisah nabi Zulkifli dalam Al-Qur’an, yakni seorang seharusnya menjadi sosok yang penyabar sebagaimana dirinya. Dalam konteks kekinian, kita di tengah berbagai masalah dan cobaan seperti covid-19 harus sabar terhadap itu semua sebagaimana nabi Zulkifli sabar atas godaan setan. Di sisi lain, kita juga melaksanakan dan mengupayakan perubahan ke arah yang lebih baik. Wallahu a’lam.

Tafsir Surat al-Mulk Ayat 15: Berkelanalah! Hingga Sadar Kefanaan Dunia dan Kekekalan Allah

0
Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 28-30
Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 28-30

Berkelanalah, agar kita mengerti arti penciptaan dunia untuk MakhlukNya.  Pergilah, agar kita paham indahnya bumi dan isinya adalah bentuk ciptaan Allah, yang patut kita syukuri. Akan tetapi sesungguhnya Allah menyukai rasa syukur kita dengan menjelajah bumi demi untuk kemaslahatan segala makhlukNya. Kita menikmati rezeki makanan dan lainnya dari bumi, sebagai tanda bahwa bumi adalah bentuk kekuasaan Allah yang tiada habisnya untuk keperluan makhlukNya. Surat al-Mulk ayat 15 sebagai pengingat bahwa Allah memberikan rezeki melalui segala bentuk bumi. Maka jelajailah bumi.

هُوَ الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمُ الْاَرْضَ ذَلُوْلًا فَامْشُوْا فِيْ مَنَاكِبِهَا وَكُلُوْا مِنْ رِّزْقِهِ وَاِلَيْهِ النُّشُوْرُ

Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi, maka jelajahilah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan. (Q.S. al-Mulk [67]: 15)

Baca juga: Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 12-14: Allah Maha Mengetahui Sesuatu, Sekalipun Isi Hati Manusia

Tafsir Surat al-Mulk Ayat 15

Pada kitab Tafsir al-Misbah karangan Quraish Shihab tertulis bahwa Allah lah yang telah menundukkan bumi sehingga memudahkan kalian. Maka, jelajahilah di seluruh pelosoknya dan makanlah dari rezeki yang dikeluarkan dari bumi itu untuk kalian. Sesungguhnya hanya kepada-Allah lah kita akan dibangkitkan untuk diberi balasan.

Maksudnya, berjalanlah kalian ke mana pun yang kamu kehendaki di berbagai kawasannya, serta lakukanlah perjalanan mengelilingi semua daerah dan kawasannya untuk keperluan mata pencaharian dan perniagaan. Dan ketahuilah bahwa upaya kalian tidak dapat memberi manfaat sesuatu apapun bagi kalian, kecuali Allah sendiri yang berkehendak untuk memudahkannya.

Meskipun bumi itu bulat, dan terus menerus berputar, namun Allah SWT tetap memudahkan kita untuk tetap bisa menjelajah tanpa mengkhawatirkan peredaran bumi yang terus berputar.

Sebagaimana dengan apa yang disampaikan oleh Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Abdur Rahman, bahwa sahabat Umar bin Khatab pernah mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah bersabda: Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal, niscaya Dia akan memberimu rezeki, sebagaimana Allah memberi rezeki kepada burung. Maksudnya ialah burung ketika pergi di pagi hari dengan keadaan lapar, kemudian pada saat pulang tepatnya pada petang hari, burung tersebut sudah dalam keadaan kenyang.

Baca juga: Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 8-11: Penyesalan Orang yang Ingkar di Hari Kiamat

Selanjutnya lafaz Dzaluul pada ayat 15 surat al-mulk adalah mufrad, jamaknya dzulul. Berasal dari kata adz dzillah atau dzalla-yadzullu yang berarti rendah, hina, tunduk, patuh, belas kasihan, mudah dan sebagainya. Al Husain bin Muhammad Ad Damaaghani mengatakan bahwa lafadz dzaluul di dalam Al Qur’an mengandung beberapa makna, yaitu tawaddu’, lemah lembut, kehinaan, terbentang dan terbelenggu.

Dalam Safwah At- Tafasirdzaluul pada ayat ini bermakna lunak dan mudah dijadikan tempat berjalan. Kemudian jika pada tafsir Al Azhardzaluul diartikan dengan rendah, maknanya bumi rendah di bawah kaki manusia atau di bawah pijakan manusia. Maka, bagaimanapun tingginya gunung, apabila manusia mendakinya, namun puncak gunung itu tetap terletak di bawah kaki manusia juga.

Baca juga: Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 5-7: Balasan Bagi yang Tak Patuh Perintah

Berkelanalah! Hingga Sadar Kefanaan Dunia dan Kekekalan Allah

Berkelana atau pun menjelajah bumi adalah menjadikan semakin jelas bahwa di dunia ini tidak ada yang kekal, kecuali bentuk kekuasaan Allah dan dapat berakhir juga karena kehendak Allah. Menjelajah juga sangat positif, selain memang sangat dianjurkan dalam al-Quran. Dengan menjelajah, manusia diharapkan akan semakin bersyukur dan mendapatkan banyak hikmah serta pelajaran dari berbagai kejadian yang dihadapinya di perjalanan.

Dengan begitu, menjelajah bumi akan menemukan kebesaran Allah, pengetahuan luar biasa, berbagai macam ilmu hidup serta mampu memahami hakikat kehidupan, dan menyadari atas perihal kefanaan dunia, segala sesuatu tidak terlepada dengan kehendak Allah SWT. Bahkan selai itu juga, lebih merasuk dalam memahami ayat-ayat Allah sehingga kita akan senantiasa menunduk bertasbih dan khusyuk kepada Allah. Dan tentunya Allah SWT memberikan kelimpahan rezeki melalui bentuk kekuasaaNya yaitu bumi. Wallahu a’lam [].

Mengenal 55 Nama Al-Quran Beserta Alasan Penamaanya (1)

0
Nama Al-Quran
Nama Al-Quran

Disebutkan dalam kitab al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an karya Jalaluddin al-Suyuthi, Abu al-Ma’aliy ‘Uzaiziy ibn ‘Abd al-Malik atau yang lebih dikenal dengan nama Syaidzalah menjelaskan bahwasanya Al-Qur’an memiliki 55 nama dengan berbagai alasan pemilihan nama tersebut. Jika diuraikan, maka nama Al-Quran tersebut adalah:

  1. Kitab

Nama Al-Quran yang pertama yaitu “al-Kitab”, karena di dalamnya terkumpul dan terhimpun berbagai ilmu pengetahuan, kisah-kisah terdahulu, dan Akhbar. Hal ini dikarenakan makna bahasa dari Kitab adalah menghimpun (al-Jam’u). Sebagaimana dalam Q.S. al-Dukhan [44] ayat 2:

وَالْكِتٰبِ الْمُبِيْنِۙ – ٢

Demi Kitab (Al-Qur’an) yang jelas

  1. Mubin

Penamaan Al-Quran dengan nama “al-Mubin” dikarenakan fungsi Al-Qur’an adalah memperjelas yang hak dari yang batil. Sebagaimana telah disebutkan dalam kutipan ayat pada nama Al-Quran sebelumnya.

Baca Juga: Penjelasan Tentang Nama Al-Quran: Az-Zikr dan Al-Kitab

  1. Qur’an

Dinamakan dengan nama “al-Qur’an” karena Al-Qur’an merupakan bacaan yang di dalamnya terkumpul hal-hal yang berkaitan dengan kisah, perintah, larangan, ayat, surah, dan lain sebagainya. Sebagaimana dalam Q.S. al-Qiyamah [75] ayat 17:

اِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهٗ وَقُرْاٰنَهٗ ۚ – ١٧

Sesungguhnya Kami yang akan mengumpulkannya (di dadamu) dan membacakannya

  1. Karim

Al-Qur’an diberi nama “al-Karim” karena terdapat sifat kemuliaan yang terkandung di dalamnya. Sebagaimana dalam Q.S. al-Waqi’ah [56] ayat 77:

اِنَّهٗ لَقُرْاٰنٌ كَرِيْمٌۙ – ٧٧

dan (ini) sesungguhnya Al-Qur’an yang sangat mulia

  1. Kalam

Dinamakan dengan “al-Kalam”, dikarenakan Al-Qur’an dapat mempengaruhi akal orang yang mendengarkan untaian ayat-ayatnya. Sebagaimana dalam Q.S. al-Taubah [9] ayat 6:

…حَتّٰى يَسْمَعَ كَلٰمَ اللّه…

agar dia dapat mendengar firman Allah

  1. Nur

Al-Qur’an dinamakan dengan “al-Nur” karena dengan cahaya tersebut, umat manusia mampu mengetahui hal-hal yang rumit dalam perkara halal dan haram. Sebagaimana dalam Q.S. al-Nisa’ [4] ayat 174:

وَاَنْزَلْنَآ اِلَيْكُمْ نُوْرًا مُّبِيْنًا – ١٧٤

dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al-Qur’an)

Baca Juga: Penjelasan Tentang Nama Al-Quran: al-Quran, al-Furqan, dan al-Tanzil

  1. Huda

Dinamakan dengan nama “al-Huda” karena di dalam Al-Qur’an terdapat petunjuk-petunjuk yang menuntun umat manusia ke jalan yang benar (al-Haqq). Sebagaimana dalam Q.S. Yunus [10] ayat 57:

وَهُدًى وَّرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِيْنَ – ٥٧

dan petunjuk serta rahmat bagi orang yang beriman

  1. Rahmah

Al-Qur’an dikenal dengan nama “al-Rahmah” karena Al-Qur’an merupakan rahmat terbesar dari Allah yang diberikan kepada umat Islam. Sebagaimana telah disebutkan dalam kutipan ayat pada nama Al-Qur’an sebelumnya.

  1. Furqan

Al-Quran memiliki nama “al-Furqan”, dikarenakan Al-Qur’an mampu membedakan antara yang haq dan batil, sebagaimana didefinisikan oleh Mujahid. Sebagaimana dalam Q.S. al-Furqan [25] ayat 1:

تَبٰرَكَ الَّذِيْ نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلٰى عَبْدِهٖ لِيَكُوْنَ لِلْعٰلَمِيْنَ نَذِيْرًا ۙ – ١

Mahasuci Allah yang telah menurunkan Furqan (Al-Qur’an) kepada hamba-Nya (Muhammad), agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam (jin dan manusia)

  1. Syifa’

Nama Al-Quran berikutnya adalah “al-Syifa’”, karena Al-Qur’an dapat dijadikan sebagai obat untuk mengobati penyakit hati berupa kekufuran, kebodohan, dan dengki. Serta, juga dapat digunakan untuk mengobati penyakit fisik. Sebagaimana dalam Q.S. al-Isra’ [17] ayat 82:

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْاٰنِ مَا هُوَ شِفَاۤءٌ

Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an (sesuatu) yang menjadi penawar

  1. Mau’idhah

Dinamakan dengan nama “al-Mau’idhah” karena di dalam Al-Qur’an terdapat banyak pelajaran dan nasihat yang harus diikuti oleh umat Islam. Sebagaimana dalam Q.S. Yunus [10] ayat 57:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاۤءَتْكُمْ مَّوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَشِفَاۤءٌ لِّمَا فِى الصُّدُوْرِ

Wahai manusia! Sungguh, telah datang kepadamu pelajaran (Al-Qur’an) dari Tuhanmu, penyembuh bagi penyakit yang ada dalam dada

  1. Dzikr

Nama Al-Quran dengan sebutan “al-Dzikr” dikarenakan dalam Al-Qur’an terdapat berbagai nasihat (mawa’idh) dan cerita akan umat-umat terdahulu. Sebagaimana dalam Q.S. al-Anbiya’ [21] ayat 50:

وَهٰذَا ذِكْرٌ مُّبٰرَكٌ اَنْزَلْنٰهُۗ اَفَاَنْتُمْ لَهٗ مُنْكِرُوْنَ ࣖ – ٥٠

Dan ini (Al-Qur’an) adalah suatu peringatan yang mempunyai berkah yang telah Kami turunkan. Maka apakah kamu mengingkarinya?

Baca Juga: Mengenal Penamaan Surat dalam Al-Quran, Begini Penjelasannya

  1. Mubarak

Al-Quran diberi nama “al-Mubarak”, karena ia mengandung keberkahan. Sebagaimana telah disebutkan dalam kutipan ayat pada nama Al-Qur’an sebelumnya.

  1. ‘Aliy

Dinamakan dengan nama “al-’Aliy” karena Al-Qur’an merupakan kitab suci yang mengandung nilai yang tinggi nan agung. Sebagaimana dalam Q.S. al-Zukhruf [43] ayat 4:

وَاِنَّهٗ فِيْٓ اُمِّ الْكِتٰبِ لَدَيْنَا لَعَلِيٌّ حَكِيْمٌ ۗ – ٤

Dan sesungguhnya Al-Qur’an itu dalam Ummul Kitab (Lauh Mahfuzh) di sisi Kami, benar-benar (bernilai) tinggi dan penuh hikmah

  1. Hikmah

Al-Quran dinamakan sebagai “Hikmah” dikarenakan Al-Qur’an diturunkan berdasarkan Qanun al-Mu’tabar (hukum yang dapat diambil ibrah), dimana hal tersebut berfungsi untuk menempatkan sesuatu pada tempatnya. Selain itu, dalam Al-Qur’an juga terkandung hikmah-hikmah sempurna. Sebagaimana dalam Q.S. al-Qamar [54] ayat 5:

حِكْمَةٌ ۢ بَالِغَةٌ فَمَا تُغْنِ النُّذُرُۙ – ٥

(itulah) suatu hikmah yang sempurna, tetapi peringatan-peringatan itu tidak berguna (bagi mereka)

  1. Hakim

Penamaan “al-Hakim” terhadap Al-Quran dikarenakan ayat-ayat yang ada dalam di dalamnya dengan memiliki keajaiban susunan dan keindahan makna. Sebagaimana dalam Q.S. Yunus [10] ayat 1:

الۤرٰ ۗتِلْكَ اٰيٰتُ الْكِتٰبِ الْحَكِيْمِ – ١

Alif Lam Ra. Inilah ayat-ayat Al-Qur’an yang penuh hikmah

  1. Muhaimin

Al-Quran dinamakan sebagai “al-Muhaimin” dikarenakan Al-Qur’an menjadi saksi terhadap adanya kitab-kitab samawi terdahulu dan kejadian umat pada masa lampau. Sebagaimana dalam Q.S. al-Maidah [5] ayat 48:

مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتٰبِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ

yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjaganya

  1. Habl

Al-Quran memiliki nama lain “al-Habl” yaitu tali. Hal ini dikarenakan barangsiapa yang berpegang teguh pada tali (Al-Qur’an) tersebut maka ia akan mendapatkan pentunjuk dan masuk surga. Sebagaimana dalam Q.S. Ali ‘Imran [3] ayat 103:

وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللّٰهِ جَمِيْعًا

Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah

  1. Shirath Mustaqim

Nama lain dari Al-Quran adalah “al-Shirath al-Mustaqim”. Hal ini dikarenakan Al-Qur’an merupakan panduan yang menuntun kita menuju jalan yang lurus yaitu surga. Sebagaimana dalam Q.S. al-An’am [6] ayat 153:

وَاَنَّ هٰذَا صِرَاطِيْ مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُ

Dan sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus. Maka ikutilah!

“Sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan akan siksa yang sangat pedih

Demikian 20 dari 55 nama Al-Quran yang dicatat oleh As-Suyuthi. Nantikan lanjutannya di tulisan berikutnya. Wallahu A’lam

Tafsir Surat Az Zalzalah Ayat 1-8

0
tafsir surat az zalzalah
Tafsiralquran.id

Pada pembahasan lalu telah dijelaskan mengenai orang-orang Yahudi, Nasrani, dan orang-orang munafik yang terusik dengan datangnya Nabi Muhammad sebagai utusan Allah swt, dalam Tafsir Surat Az Zalzalah Ayat 1-8 ini menjelaskan tentang guncangan bumi yang membuat penghuninya kelimpungan.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al Bayyinah Ayat 5-8


Adapun yang dimaksud dengan guncangan bumi dalam Tafsir Surat Az Zalzalah Ayat 1-8 ini adalah gempa yang dahsyat. Seakan-akan bumi mengeluarkan seluruh bebannya dan melepasnya setelah sekian lama ditahan. Hari itu merupakan hari kiamat. Seluruh manusia dalam kebingungan. Pada hari itu manusia terbagi menjadi dua golongan. Mereka yang beramal baik akan selamat dan yang buruk akan celaka.

Apakah manusia menunggu datangnya hari itu untuk bertaubat? Padahal dalam skala kecil kejadian seperti ini sering terjadi sebagaimana dicontohkan dalam Tafsir Surat Az Zalzalah Ayat 1-8 ini. Terjadi gempa, terjadi tsunami, dan juga bencana lumpur yang terjadi di Sidoarjo yang sampai saat ini belum jelas juntrungannya.

Ayat 1

Dalam ayat ini, Allah mengungkapkan bahwa bumi bergeletar dan berguncang sedahsyat-dahsyatnya, sebagaimana diterangkan firman Allah dalam ayat lain:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمْۚ اِنَّ زَلْزَلَةَ السَّاعَةِ شَيْءٌ عَظِيْمٌ   ١

Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu; sungguh, guncangan (hari) Kiamat itu adalah suatu (kejadian) yang sangat besar. (al-Hajj/22: 1)

اِذَا رُجَّتِ الْاَرْضُ رَجًّاۙ   ٤

Apabila bumi diguncangkan sedahsyat-dahsyatnya. (al-Waqi’ah/56: 4)

Keterangan ini menunjukkan tentang dahsyatnya keadaan ketika itu. Hal itu dimaksudkan untuk menarik perhatian orang-orang kafir agar memikirkan dan merenungkannya. Seakan-akan dikatakan kepada mereka bahwa apabila bumi sebagai benda padat bisa menggeletar dengan dahsyat pada hari itu, maka mengapa mereka sendiri tidak mau sadar dari kelalaian dengan meninggalkan kekafirannya.

Ayat 2

Dalam ayat ini, Allah menyatakan bahwa pada hari terjadi kegun-cangan itu, karena dahsyatnya, bumi menghamburkan isi perutnya yang terpendam berupa logam, harta simpanan, dan mayat-mayat dari kubur. Dalam ayat lain, Allah berfirman:

وَاِذَا الْاَرْضُ مُدَّتْۙ   ٣

وَاَلْقَتْ مَا فِيْهَا وَتَخَلَّتْۙ   ٤

Dan apabila bumi diratakan, dan memuntahkan apa yang ada di dalamnya dan menjadi kosong. (al-Insyiqaq/84: 3-4)

Contohnya, sebagaimana terjadi dengan letusan gunung Krakatau pada tahun 1883, gempa dan tsunami di Aceh pada tahun 2004, lumpur panas di Sidoarjo Jawa Timur sejak tahun 2006, dan lain-lain yang begitu dahsyat sehingga mengeluarkan lava dan isi perut bumi. Guncangan pada hari kiamat jauh lebih dahsyat lagi.

Ayat 3

Dalam ayat ini, Allah mengungkapkan bahwa orang-orang yang mengalami dan menyaksikan kejadian yang dahsyat dan membuat terperanjat orang-orang yang melihatnya, berkata, “Apa gerangan yang terjadi pada bumi. Ini belum pernah terjadi sebelumnya?” Dalam ayat lain, Allah berfirman:

وَتَرَى النَّاسَ سُكٰرٰى وَمَا هُمْ بِسُكٰرٰى

Dan kamu melihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk.  (al-Hajj/22: 2)


Baca juga: Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 8-11: Penyesalan Orang yang Ingkar di Hari Kiamat


Ayat 4-5

Dalam ayat ini, Allah menyatakan bahwa ketika terjadinya keguncangan yang dahsyat itu, saat bumi bergetar dan mengalami kehancuran serta kerusakan, seakan-akan ia menjelaskan kepada manusia bahwa kejadian yang belum pernah terjadi ini tidak menurut ketentuan yang berlaku bagi alam semesta dalam keadaan biasa.

Allah menjelaskan bahwa sebab terjadinya keguncangan tersebut adalah atas perintah-Nya semata. Ketika bumi diperintahkan hancur, maka bumi akan hancur luluh.

Pada dasarnya ayat 1-5 di atas berkenaan dengan hari kiamat. Namun dari skala lebih kecil ayat-ayat tersebut dapat ditafsirkan dengan proses geologi terjadinya gempa, yang sudah barang tentu besarannya jauh lebih kecil dibanding kejadian kiamat kelak.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya menurut kajian ilmiah bahwa lempengan-lempengan kulit bumi bergerak dan saling berinteraksi satu sama lain. Pada tempat-tempat saling bertemu, pertemuan lempengan ini menimbulkan gempa bumi.

Sebagai contoh adalah Indonesia yang merupakan tempat pertemuan tiga lempeng: Eurasia, Pasifik, dan Indo-Australia. Bila dua lempeng bertemu, maka terjadi tekanan (beban) yang terus menerus, dan bila lempengan tidak tahan lagi menahan tekanan (beban) tersebut, maka lepaslah beban yang telah terkumpul ratusan tahun itu, dan dikeluarkan dalam bentuk gempa bumi.

Pada hari itu bumi menceritakan beritanya. Beban berat yang dikeluarkan dalam bentuk gempa bumi, merupakan satu proses geologi yang berjalan bertahun-tahun. Begitu seterusnya, setiap selesai beban dilepaskan, kembali proses pengumpulan beban terjadi.

Proses geologi atau berita geologi  ini dapat direkam baik secara alami maupun dengan menggunakan peralatan geofisika ataupun geodesi (lihat juga an-Naml/27: 88, at-Tµr/52: 6). Telaah tentang gempa bumi dapat dilihat pula pada Surah an-Naba’/78: 17-20.

Ayat 6

Dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa pada hari terjadinya kerusakan dan kehancuran bagi bumi serta terjadinya alam baru dan hidup baru, muncullah manusia dalam keadaan yang berbeda-beda dan berkelompok.

Orang-orang yang beramal baik tidak sama dengan orang-orang jahat. Orang-orang yang taat tidak sama dengan orang yang berbuat maksiat. Mereka muncul untuk diperlihatkan Allah kepada mereka apa yang telah mereka lakukan dan untuk memetik hasil usaha mereka selama hidup di dunia.

Ayat 7-8

Dalam ayat-ayat ini, Allah merincikan balasan amal masing-masing. Barang siapa beramal baik, walaupun hanya seberat atom niscaya akan diterima balasannya, dan begitu pula yang beramal jahat walaupun hanya seberat atom akan merasakan balasannya. Amal kebajikan orang-orang kafir tidak dapat menolong dan melepaskannya dari siksa karena kekafirannya. Mereka akan tetap sengsara selama-lamanya di dalam neraka.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al ‘Adiyat Ayat 1-11


(Tafsir Kemenag)

Kriteria Akhlak Mulia dalam Islam dan Empat Sifat Sebagai Pilarnya

0
Akhlak Mulia
Akhlak Mulia

Islam merekatkan akhlak mulia – yang sarat pahala dan keutamaan ini – dengan ibadah, muamalah, dan adat kebiasaan. Segala bentuk ibadah atau pendekatan diri sang hamba kepada Tuhannya selalu diselimuti oleh tata akhlak tertentu. Hal yang sama dapat kita jumpai dalam kebiasaan atau adat yang ditetapkan agama tidak pernah lepas dari akhlak mulia.

Mari kita selintas melihat bagaimana keterangan soal akhlak mulia dalam berbagai ibadah dalam Islam. Pertama dalam ibadah shalat. Nabi saw bersabda: “Jika mendengar iqamat, bersegaralah kalian melaksanakan shalat. Laksanakanlah shalat dengan tenang dan tidak terburu-buru.” (HR Bukhari dan Muslim)

Shalat memiliki hikmah bagi jiwa sang hamba yang melaksanakan shalat, di antaranya seperti disebutkan dalam firman Allah swt.: “..Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar..”(al-‘Ankabut [29] : 45)

Akhlak mulia kedua dalam ibadah puasa. Allah swt. berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (al-Baqarah [2] : 183).

Nabi saw menambahkan dalam hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah r.a.: “Puasa adalah perisai (dari siksa api neraka). Bilamana salah seorang dari kalian berpuasa maka janganlah ia bertutur kata yang tidak baik atau berkata senonoh (Jorok (rafats) artinya mengeluarkan perkataan yang menimbulkan birahi, perbuatan yang tidak senonoh, atau hubungan seksual ). Jika ada seseorang memeranginya dan memancing amarahnya, hendaklah ia berkata, ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa. Sesungguhnya aku sedang berpuasa.’” (HR Bukhari dan Muslim; hadits sahih)

Baca Juga: Pengertian Akhlak Menurut Para Mufasir dan Hakikat Perbuatan Manusia

Kemudian ketiga dalam ibadah haji, Allah swt. berfirman,“..Barang siapa mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, maka janganlah dia berkata jorok (rafats), berbuat maksiat dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji..” (al-Baqarah [2] : 197)

Keempat dalam ibadah zakat, Allah swt. berfirman:, “Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka..”(al-Taubah [9] : 103)

Allah swt. juga berfirman, “Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik daipada sedekah yang diiringi tindakan yang menyakiti..” (al-Baqarah [2] : 263)

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu merusak sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan menerima)..” (al-Baqarah [2] : 262)

Lalu kelima dalam bahtera rumah tangga, Allah berfirman, “..(Setelah itu suami dapat) menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik..” (al-Baqarah [2] : 229)

“..Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut..” (an-Nisa [4] : 19)

Dalam hal jual beli dan muamalah yang lain, abu Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa yang bersikap curang maka ia tidaklah termasuk bagian dari kami.” (HR Muslim; hadits sahih). Ada lagi hadis yang lain yang menyatakan: “Sebaik-baik (mukmin) di antara kalian adalah (mukmin) yang paling baik dalam melunasi utangnya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Syaddad bin Aus meriwayatkan bahwa Nabi saw. Bersabda: “Sesungguhnya Allah mewajibkan ihsan dalam setiap tindakan. Bila kalian bertempur maka lakukanlah dengan cara yang baik dan bila kalian menyembelih, jadikanlah sembelihan tersebut baik pula dengan (cara) menajamkan alat tersebut. Berikanlah rasa nyaman kepada hewan sembelihannya.” (HR Muslim)

Berkaitan dengan keterangan akhlak mulia yang tertera dalam Ayat Al-Quran dan Hadis di atas, kita juga perlu memahami pilar atau dasar yang menjadi landasan bagi akhlak-akhlak yang lain. Akhlak-akhlak yang lain itu harus didasarkan pada pilar-pilar itu. Sebab, akhlak-akhlak yang lain dapat ditegakkan apabila berada di atas pilar-pilar itu.

Imam Ibnu Qayyim dalam al-Madarij menuturkan bahwa akhlak mulia berdiri di atas empat pilar utama yang saling mendukung antara satu dan yang lain. Empat pilar itu adalah kesabaran, keberanian, keadilan, dan kesucian.

Pertama, Sifat Sabar akan membantu seseorang untuk lebih tahan banting, mampu menahan amarah, tidak merugikan orang lain, bersikap lemah-lembut, santun, dan tidak tergesa-gesa dalam melakukan sesuatu.

Kedua, Sifat Selalu Menjaga Kesucian Diri dapat mendorong seseorang untuk tidak tergelincir ke dalam perkataan dan tindakan yang merendahkan dan menjatuhkan martabatnya. Selain itu, dapat mendorongnya untuk selalu lepat pada perasaan malu yang merupakan kunci segala kebaikan. Sifat menjaga kesucian ini juga menghindarkannya untuk terlibat dalam perbuatan keji, kikir, dusta, menggunjing, dan mengadu domba.

Ketiga, Sifat Berani menjadikan seseorang kuat untuk menjaga harga diri, mudah untuk membumikan norma dan akhlak mulia, serta ringan tangan. Dengan begitu, ia tidak ragu mengeluarkan atau berpisah dengan harta yang dicintainya. Sifat ini juga mempermudah untuk menahan amarah dan bersikap santun. Dengan modal keberanian, seseorang dapat menggenggam erat ketegasan jiwanya serta mengekangnya dengan tali baja yang tak mudah putus.

Baca Juga: Inilah 9 Ayat yang Menjelaskan Nabi Muhammad saw Sebagai Sosok Panutan

Abu Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa Rasul saw. bersabda, “Keberanian bukanlah seperti ditunjukkan dalam bergulat, melainkan dalam menguasai jiwa ketika marah.” (HR Bukhari dan Muslim). Oleh karena itu, hakikat keberanian seseorang adalah kemampuan untuk melawan musuh besarnya, yaitu hawa nafsu.

Keempat, Sifat Adil dapat mengasah sikap seseorang untuk terus berupaya meluruskan perangainya, membantunya antara bersikap terlalu berlebihan dan bersikap terlalu kurang. Sifat ini mendorong untuk terus bersikap dermawan dan murah hati; sikap tengah-tengah antara kikir dan boros. Selain itu, sifat ini dapat menyuntikkan sifat pemberani; sikap tengah-tengah antara pengecut dan nekat. Adil juga dapat melahirkan sifat santun; penengah antara sifat pemarah dan rendah diri. Wallahu A’lam.

Surat Al-Ankabut Ayat 2: Agar Tidak Berputus Asa dari Rahmat Allah Swt

0
Tidak berputus asa dari rahmat Allah
Tidak berputus asa dari rahmat Allah Swt

Artikel ini akan menguraikan mengenai Surat Al-Ankabut Ayat 2. Topik yang diangkat seputar ujian dan cobaan hidup bagi orang yang beriman. Dalam menghadapi ujian tersebut, Al-Quran mengajarkan untuk tidak berputus asa dari rahmat Allah Swt. Dalam Surat Al-Ankabut ayat 2 Allah Swt berfirman:

أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) ‎mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?” (Q.S. ‎Al-Ankabut : 2)‎

Hidup ini memang penuh ujian dan cobaan. Ada yang diuji dengan ‎kecemasan dan kekhawatiran akan masa depannya yang masih belum pasti. Ada ‎yang diuji dengan kemiskinan, kelaparan, kekurangan harta benda. Ada yang ‎diuji dengan penyakit yang tak kunjung sembuh.

Baca Juga: Kisah Raja Najasyi dan Obat Sakit Kepala dari Terjemah Ayat Al-Quran

Ada yang diuji dengan ‎kematian serta kehilangan orang-orang yang dicintai. Ada yang diuji dengan ‎keresahan serta kecemasan ketika jodoh tidak kunjung datang sementara umur ‎terus bertambah. Ada yang diuji dengan kekhawatiran dan ketakutan ketika ‎keturunan tak jua hadir setelah bertahun-tahun berumah tangga. Ada pula yang ‎diuji dengan kegalauan saat tak kunjung mendapat pekerjaan.‎

Kesemua ujian dan cobaan itu adalah cara Allah untuk melihat kualitas ‎diri para hamba-Nya. Siapakah di antara mereka yang paling baik amalnya, paling ‎baik imannya.‎

Apakah dengan hadirnya ujian dan cobaan hidup itu membuat seorang ‎hamba terus menerus mengeluh, meratapi nasib, mengutuk keadaan, bahkan ‎mempertanyakan keadilan Tuhan? Ataukah justru dengan hadirnya beragam ‎ujian dan cobaan hidup itu semakin membuat seorang hamba menyadari ‎kelemahannya, sembari terus menerus memperbaiki diri, meningkatkan kualitas ‎pribadinya, meningkatkan kualitas serta intensitas kedekatkannya kepada Allah?‎

Dari ujian dan cobaan hidup yang dihadirkan itu juga akan terlihat jelas, ‎siapakah yang mudah putus asa, gampang menyerah, serta tidak tahan dengan ‎kenyataan hidup yang dialaminya?

Siapa pula yang meskipun ujian datang ‎bertubi-tubi silih berganti, cobaan seakan tak pernah berhenti menghampiri, ‎tetapi ia tetap sabar dan tabah serta berserah diri kepada Sang Ilahi?‎

Al-Qur’an mengajarkan kepada kita untuk tidak berputus asa dari rahmat ‎Allah. Karena rahmat Allah sangat luas. Bahkan rahmat-Nya melebihi murka-Nya. ‎

Tidak berputus asa dari rahmat Allah artinya yakin sepenuh hati bahwa ‎Allah sangat sayang kepada hamba-hamba-Nya. Tidak berputus asa dari rahmat ‎Allah artinya tetap melakukan ikhtiar maksimal dalam menjalani hidup ini, ‎meskipun serangkaian ujian dan cobaan selalu datang menghadang.

Tidak ‎berputus asa dari rahmat Allah artinya selalu berbaik sangka kepada Allah, bahwa ‎setiap kenyataan hidup yang kita hadapi pasti menyimpan hikmah serta pelajaran ‎yang sangat berharga yang hendak disampaikan Allah kepada kita. Tidak ‎berputus asa dari rahmat Allah artinya bahwa rencana Allah pasti yang terbaik.‎

Tidak berputus asa dari rahmat Allah adalah salah satu ciri keimanan ‎seseorang. Allah Swt. melarang hamba-hamba-Nya ‎untuk berputus asa dari rahmat-Nya. Karena putus asa adalah sikap orang-orang ‎kafir.‎

Baca Juga: Tafsir Surat Ar-Rahman Ayat 1-4: Inilah Dua Kenikmatan Besar Pada Manusia

Seorang mukmin harus yakin sepenuh hati bahwa setiap masalah pasti ‎ada solusinya, setiap persoalan pasti ada jalan keluarnya, setiap ujian dan cobaan ‎pasti ada nilai serta pesan yang ingin disampaikan oleh Allah kepada hamba-‎hamba-Nya.‎

Sejauh mana tingkat keimanan seorang bisa dilihat seberapa sabar dan ‎tabah ketika ditimpa ujian dan cobaan hidup. Sehebat apa kualitas keimanan ‎seseorang bisa diukur dari seberapa ikhlasnya menerima ketetapan (qadha) dan ‎takdir (qadar) Allah Swt.‎

Berbahagialah orang-orang yang ketika ditimpa ujian, diterpa cobaan, ‎tetap sabar dan tabah serta ikhlas dengan keyakinan yang penuh bahwa itu ‎adalah cara Allah untuk melihat kualitas keimanannya. ‎

Tafsir Surat Yasin Ayat 7-8: Orang-Orang yang Terbelenggu dalam Kekafiran

0
Surat Yasin Ayat 7-8
Surat Yasin Ayat 7-8

Pada pembahasan yang lalu telah dipaparkan mengenai tafsir Surat Yasin Ayat 5-6 yang berbicara secara khusus tentang kerasulan Nabi Muhammad saw sebagai pemberi peringatan kepada seluruh umat manusia. Kali ini kita akan membicarakan mengenai tafsir Surat Yasin Ayat 7-8 yang berbicara mengenai orang-orang yang terbelenggu dalam kekafiran.

Secara garis besar pembahasan ini berkaitan dengan orang-orang yang sudah dicap kafir oleh Allah swt dan perumpamaan bagi mereka yang terbelenggu oleh kekafirannya tersebut. Untuk lebih jelasnya mari kita diskusikan bersama pada pemaparan berikutnya.

Baca juga: Walid bin Mughirah, Tokoh Kafir Quraish yang Memuji Al-Quran

Diawali dengan ayat ketujuh, Allah Swt memastikan bahwa kebanyakan dari orang-orang kafir tersebut tidak akan beriman selamanya. Bunyi dari Surat Yasin Ayat 7 tersebut sebagai berikut:

لَقَدْ حَقَّ الْقَوْلُ عَلٰٓى اَكْثَرِهِمْ فَهُمْ لَا يُؤْمِنُوْنَ

“Sungguh, pasti berlaku perkataan (hukuman) terhadap kebanyakan mereka, karena mereka tidak beriman.”

Benar bahwa orang-orang yang sudah dicap tersebut pada akhirnya meninggal dunia dalam keadaan kafir. Nawawi al-Bantani dalam Marah Labid secara jelas mengatakan bahwa mereka terbunuh dalam Perang Badar yang terjadi pada 17 Rhamadan tahun 2 Hijriyah. Namun apakah dengan begitu keimanan dan kekafiran sepenuhnya ditentukan Allah? Tentang ini Quraish Shihab mengemukakan analisis menarik.

Bertumpu pada kata al-Qaul yang bermakna ketetapan Allah, dalam Tafsir Al-Misbah Quraish Shihab menyatakan bahwa terjadinya ketetapan tersebut akibat dari perilaku mereka sendiri. Mereka secara kontinyu mengikuti bisikan iblis dan perilaku tersebut pada akhirnya memantapkan jiwa mereka serta menutup hati mereka dari kebenaran. Salah satu contoh bisikan iblis ini adalah ketekunan mereka dalam mencari kenikmatan dunia dan meninggalkan akhirat dengan ingkar kepada Nabi Muhammad saw.

Hal ini yang menjadikan mereka dicap dengan kekafiran oleh Allah Swt hingga ajal menjemput. Tidak ada ampunan lagi bagi mereka atas apa yang mereka perbuat sewaktu hidupnya, yakni dengan mengingkari kerasulan Nabi Muhammad saw. Keingkaran mereka itu tidak hanya terbesit dalam hati namun juga tampak dalam  perbuatan. Sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Jahal yang ingin melukai Nabi Muhammad saw.

Al-Shawi dalam Hasyiah al-Shawi menyatakan bahwa Abu Jahal bersumpah kepada kaumnya bahwa ia akan mencelakai Nabi Muhammad saw dengan cara menjatuhkan batu saat Nabi sedang salat.

Ketika Abu jahal melihat Nabi sedang melakukan salat di masjid, ia lantas bergegas untuk memenuhi niatnya. Nahas ketika batu sudah di tangan dan siap dijatuhkan tiba-tiba tangannya refleks melepaskan batu tersebut dan ia gagal melakukan aksinya. Lalu ia kembali kepada kaumnya dan menceritakan kejadian aneh yang baru saja menimpanya.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Bolehkah Non-Muslim Masuk ke Masjidil Haram?

Ada dua orang yang tertantang untuk melakukan hal serupa setelah mendengar cerita dari Abu Jahal. Namun hasilnya tetap nihil. Bahkan dua orang tersebut mengalami hal yang lebih mengerikan. Satu orang ditimpa kebutaan dan seorang yang lain mengalami trauma akibat halusinasinya yang akan diterkam binatang buas. Kejadian ini sekaligus menjadi sebab nuzul dari surat yasin ayat 8:

اِنَّا جَعَلْنَا فِيْٓ اَعْنَاقِهِمْ اَغْلٰلًا فَهِيَ اِلَى الْاَذْقَانِ فَهُمْ مُّقْمَحُوْنَ

“Sungguh, Kami telah memasang belenggu di leher mereka, lalu tangan mereka (diangkat) ke dagu, karena itu mereka tertengadah.”

Wahbah Zuhaili dalam al-Tafsir al-Munir menyatakan bahwa ayat ini merupakan perumpamaan bagi orang-orang yang sudah dicap kafir oleh Allah swt. Keadaan itu membuat mereka tidak bisa melakukan apa-apa. Tidak bisa memandang ke muka maupun ke bekalang. Juga tidak bisa menoleh ke kanan maupun kiri. Menunduk pun tidak bisa. Terkait kondisi terbelenggu ini, Nawawi al-Bantani mengemukakan pemaknaannya.

Al-Bantani memaknai perumpamaan ini dengan orang yang sedang dicegah kedua tangannya untuk menafkahkan hartanya di jalan Allah swt. Hal ini terjadi karena mereka sudah memantapkan jiwanya untuk mengingkari kerasulan Nabi Muhammad saw. Sehingga tidak akan terbesit sedikitpun dalam jiwa mereka untuk menolong Nabi Muhammad saw. Alih-alih membantu kelancaran dakwah Nabi Muhammad saw, percaya pun mereka enggan.

Kiranya demikian penjelasan singkat tafsir Surat Yasin ayat 7-8 yang menjelaskan tentang orang-orang yang dicap kafir oleh Allah swt hingga meninggal Dunia serta serta perumpamaan bagi mereka yang terbelenggu oleh kekafirannya. Nantikan penjelasan tafsir Surat Yasin selanjutnya. Wallahu A’lam

Mushaf Sultan Ternate; Pernah Dianggap Tertua di Nusantara dengan Dua Kolofon Berbeda

0
Mushaf Sultan Ternate
Mushaf Sultan Ternate

Dalam penelitian benda-benda bersejarah, tentu sangat wajar jika terjadi perevisian hasil temuan. Misalkan dahulu kala hasil temuan menyebutkan A, setelah ditelusuri bisa saja berubah menjadi B. Hal ini juga berlaku dalam khazanah mushaf Al-Qur’an Nusantara. Adalah manuskrip Mushaf Sultan Ternate yang pernah mengalami proses demikian. Semula mushaf ini didapuk sebagai mushaf tertua yang pernah ditemukan di wilayah Nusantara, namun tiga puluh tahun kemudian tesis ini pun dibantahkan.

Menariknya, perevisian hasil temuan ini bukan karena ada mushaf lain yang lebih tua dari mushaf Sultan Ternate itu, melainkan karena dalam mushaf ini terdapat dua kolofon yang berbeda. Kolofon pertama di depan, dan kedua di belakang. Dalam kasus ini, penyebutan mushaf tertua bersumber dari kolofon belakang, sementara kolofon depan semula masih ‘terabaikan’. Baru di peneltian berikutnya, kolofon depan dibaca dan kesimpulan pun berubah.

Baca juga: Sejarah Jual-Beli Mushaf Al-Quran di Era Awal Islam

Alkisah pada Februari 1979, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Jakarta melakukan penelitian di Ternate. Hasil penelitian itu menerbitkan makalah “Al-Qur’an Kuna di Ternate” yang dilaporkan oleh A. Cholid Sodrie. Penelitian ini menyebutkan bahwa mushaf Sultan Ternate ditulis oleh al-Faqih as-Salih ‘Afifuddin Abdul Bakri bin Abdullah al-Adni dan selesai pada 7 Zulkaidah 1050 H (18 Februari 1641 M).

Hasil penelitian ini kemudian dikutip oleh beberapa peneliti yang lain, Ali Akbar peneliti Lajnah pentashihan Al-Qur’an mendokumentasikan rentetan dialektika ini. Ia pun menuliskan artikel “Mushaf Sultan Ternate Tertua di Nusantara? Menelaah Ulang Kolofon”. Ia menyebut, laporan Sodrie dikutip oleh Hasan Muarif Ambary dan dimuat dalam Jurnal Aspects of Indonesian Archaeology pada tahun 1980 dan di majalah Archipel yang terbit di Paris pada tahun 1982. Lebih lanjut, Ambary menuliskan keterangan ini dalam bukunya “Menemukan Peradaban”.

Seiring berjalannya waktu, banyak penulis yang belum berkesempatan meneliti secara langsung pun mengutip hasil penelitian di atas. Bahkan dalam suatu surat dari Yayasan Festival Istiqlal kepada Sultan Ternate juga menyebutkan bahwa mushaf tersebut merupakan mushaf tertua di Indonesia. Hingga akhirnya ada penelitian lebih lanjut oleh Ali Akbar atas saran dari Annabel The Gallop, seorang ahli seni naskah Islam Nusantara dari British Library, London.

Baca juga: Potret Iluminasi Mushaf Al-Quran Nusantara Dulu dan Kini

 Telaah Ali Akbar atas Mushaf Sultan Ternate 

Ali Akbar mencatat rinci fisik Mushaf Sultan Ternate. Mushaf ini berukuran 31 x 20,5 x 10 cm dengan bidang teks 22 x 11 cm, dan jumlah barisnya 13 baris per halaman. Mushaf ini menggunakan kertas Eropa dan memiliki iluminasi yang indah. Tinta yang digunakan merupakan warna hitam dan merah. Hitam untuk ayat, dan merah untuk tanda bulat di akhir ayat, tanda juz, tanda tajwid, serta hadis-hadis keutamaan membaca surah tertentu di awal setiap surah.

Dalam mushaf ini sebgaimana disebutkan di awal bahwa ada dua kolofon, yakni di depan dan di belakang. Kolofon belakang terdapat dua bahasa yakni bahasa Melayu dan bahasa Arab. Sementara kolofon depan bertuliskan bahasa Arab. Dalam kolofon belakang ternyata ada dua keterangan tahun penanggalan. Teks Melayu bertuliskan tahun 1185 dengan penulisan angka, sementara teks Arab bertuliskan “sanat khamsīn ba’da alif min Hijratihi sallallāhu ‘alaihi wa sallama” yang artinya tahun 1050 Hijriyah.

Selain itu, di kolofon belakang pun ada dua penulis yang tercantum. Dalam teks Melayu tertulis Haji Abdul Alim bin Abdul Hamid imam bi-kuta Ternate, sementara dalam teks Arab tertulis nama al-Faqih as-Salih ‘Afifuddin Abdul Bakri bin Abdullah al-Adni. Inilah yang sebenarnya dipastikan kembali oleh Ali Akbar.

Kemudian ia pun membaca kolofon depan dalam bahasa Arab yang ternyata hampir mirip dengan redaksi bahasa Melayu di kolofon belakang. Dalam kolofon depan, tertera dengan jelas penulisan mushaf ini berakhir pada 9 Zulhijjah 1185 H (14 maret 1772) dan penulisnya Haji Abdul Alim bin Abdul Hamid. Keterangan inilah yang kemudian digunakan untuk merevisi penyebutan mushaf tertua Nusantara pada tahun 2010.

Akhir kesimpulan, Ali Akbar menilai bahwa kolofon yang menyebut penulis al-Faqih as-Salih ‘Afifuddin Abdul Bakri bin Abdullah al-Adni dan tahun 1050 H merupakan penanggalan untuk penulisan teks-teks ilmu Al-Qur’an yang juga dikutip oleh Haji Abdul Alim dalam mushaf ini.

Baca juga: Mengenal Mushaf Pra-Utsmani (5): Mushaf Ali ibn Abi Thalib

“Jadi, tarikh ini bukanlah tarikh penulisan mushaf Sultan Ternate, tetapi tarikh ketika ‘Afīf al-Dīn selesai menulis teks ilmu-ilmu Al-Qur’an yang dikutip oleh Haji Abdul Alim dalam mushaf ini,” tulisnya.

Pembahasan seperti ini tentu memberikan kesadaran bagi kita selaku seorang pembelajar. Bahwa terdapat kemungkinan suatu hasil temuan direvisi oleh pengkaji berikutnya. Tradisi seperti ini patut kita tiru sebagai penghargaan atas usaha orang terdahulu, namun juga tidak taqlid buta atas kesimpulan yang pernah ada. Semoga bermanfaat.

Wallahu a’lam[]

Tafsir Surat Al Bayyinah Ayat 5-8

0
Tafsir Surat Al Bayyinah
Tafsiralquran.id

Pada pembahasan yang lalu berbiacara mengenai perpecahan karena masing-masing dari kelompok Yahudi dan Nasrani menahbiskan diri bahwa yang akan menjadi nabi selanjutnya dari kalangan mereka, dalam Tafsir Surat Al Bayyinah Ayat 5-8 ini Allah swt merespon kejadian tersebut dengan nada mencerca bahwa tugas mereka hanyalah menyembah Allah swt dan tidak menyekutukannya.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al Bayyinah Ayat 1-4


Selanjutnya dalam Tafsir Surat Al Bayyinah Ayat 5-8 memaparkan keadaan orang-orang yang ingkar terhadap kerasulan Nabi Muhammad saw. Kelak mereka akan mendapatkan siksa dari Allah swt akibat keingkaran mereka.

Setelah itu dalam Tafsir Surat Al Bayyinah Ayat 5-8 ini bercara mengenai pahala yang kelak akan didapatkan oleh orang-orang yang beriman kepada Nabi Muhammad saw. Salah satu nikmat yang akan diperoleh oleh mereka adalah kenikmatan surga ‘Adn.

Ayat 5

Karena adanya perpecahan di kalangan mereka, maka pada ayat ini dengan nada mencerca Allah menegaskan bahwa mereka tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah-Nya. Perintah yang ditujukan kepada mereka adalah untuk kebaikan dunia dan agama mereka, dan untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.

Mereka juga diperintahkan untuk mengikhlaskan diri lahir dan batin dalam beribadah kepada Allah dan membersihkan amal perbuatan dari syirik sebagaimana agama yang dibawa oleh Nabi Ibrahim yang menjauhkan dirinya dari kekufuran kaumnya kepada agama tauhid dengan mengikhlaskan ibadah kepada Allah.

Ikhlas adalah salah satu dari dua syarat diterimanya amal, dan itu merupakan pekerjaan hati. Sedang yang kedua adalah mengikuti sunah Rasulullah. Allah berfirman:

ثُمَّ اَوْحَيْنَآ اِلَيْكَ اَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ اِبْرٰهِيْمَ حَنِيْفًا

Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), “Ikutilah agama Ibrahim yang lurus.” (an-Nahl/16: 123)

Firman-Nya yang lain:

مَاكَانَ اِبْرٰهِيْمُ يَهُوْدِيًّا وَّلَا نَصْرَانِيًّا وَّلٰكِنْ كَانَ حَنِيْفًا مُّسْلِمًا

Ibrahim bukanlah seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang lurus dan muslim. (Ali ‘Imran/3: 67)

Mendirikan salat dalam ayat ini maksudnya adalah mengerjakannya terus-menerus setiap waktu dengan memusatkan jiwa kepada kebesaran Allah, untuk membiasakan diri tunduk kepada-Nya. Sedangkan yang dimaksud dengan mengeluarkan zakat yaitu membagi-bagikannya kepada yang berhak menerimanya sebagaimana yang  telah ditentukan oleh Al-Qur’an a-l Karim.

Keterangan ayat di atas tentang keikhlasan beribadah, menjauhkan diri dari syirik, mendirikan salat, dan mengeluarkan zakat, adalah maksud dari agama yang lurus yang tersebut dalam kitab-kitab suci lainnya.


Baca juga: Tafsir Surat Ar-Rahman Ayat 1-4: Inilah Dua Kenikmatan Besar Pada Manusia


Ayat 6

Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa orang-orang kafir dari kalangan Ahli Kitab dan orang musyrik telah mengotori jiwanya dengan syirik dan maksiat-maksiat serta mengingkari kebenaran nyata kenabian Muhammad saw.

Mereka akan disiksa Allah dengan siksaan yang tidak memungkinkan mereka untuk melepaskan diri darinya untuk selama-lamanya, yaitu api neraka yang menyala-nyala. Siksaan itu sebagai balasan atas perbuatan mereka. Mereka itu tergolong makhluk yang paling buruk.

Ayat 7

Dalam ayat ini, Allah menerangkan ganjaran bagi orang-orang yang beriman. Jiwa mereka telah disinari oleh cahaya petunjuk dan membenarkan apa yang dibawa oleh Nabi saw. Mereka juga mengamalkannya dengan mengorbankan jiwa, harta, dan apa saja yang dimilikinya pada jalan Allah, serta bertingkah laku baik dengan seluruh hamba Allah. Mereka itu tergolong makhluk yang paling baik.

Ayat 8

Kemudian dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa yang akan mereka terima dari Tuhan mereka adalah surga Adn yang di dalamnya terdapat bermacam-macam kesenangan dan kelezatan, lebih lengkap dan sempurna dari kesenangan dan kelezatan dunia, dan di bawahnya mengalir sungai-sungai.

Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Mereka berhak menerima balasan tersebut karena mereka berada dalam keridaan Allah dan tetap dalam ketentuan-ketentuan-Nya.

Mereka mendapat pujian dan mencapai apa yang mereka inginkan dari kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Mereka diridai Allah dan mereka pun rida kepadanya. Ganjaran-ganjaran yang merupakan kebahagiaan dunia dan akhirat hanya diperoleh orang-orang yang jiwanya penuh dengan takwa kepada Allah.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Az Zalzalah Ayat 1-8


(Tafsir Kemenag)