Beranda blog Halaman 446

Tafsir Surat Al A’raf ayat 35-37

0
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102

Dalam tafsir surat Al A’raf ayat 35-37 ini terdiri dari tiga pembahasan yakni ayat 35 yang membahas diutusnya para rasul kepada tiap-tiap umat. Ayat 36 yang membahas adanya orang-orang yang tidak percaya pada para Rasul, dan ayat 37 membahas orang-orang dzalim yang mendustakan ayat-ayat bahkan memperolok Allah.


Baca Juga : Tafsir Surat Al A’raf ayat 33-34


Ayat 35

 Ayat ini mengingatkan manusia tentang kedatangan para rasul yang diutus kepada tiap-tiap umat pada masa yang telah ditentukan. Mereka adalah manusia, bukan makhluk lain, yang diberi tugas menyampaikan ayat-ayat Allah yang menjelaskan mana yang halal dan mana yang haram, mana yang hak dan mana yang bathil, agar manusia tidak sesat, dan tidak menyimpang dari jalan yang benar. Dibacakannya ayat-ayat Allah, agar jelas mana yang diperintahkan untuk dikerjakan dan diamalkan, dan mana yang dilarang untuk dijauhi dan dihindarkan.

Maka orang-orang yang patuh dan taat terhadap ajaran yang dibawa para rasul itu, bertakwa kepada Allah dan senantiasa memperbaiki dirinya serta mengerjakan amal-amal saleh, orang-orang itu akan berbahagia dan gembira. Tidak ada baginya rasa takut dan sedih, baik ketika hidup di dunia ataupun di akhirat kelak. Hidup berbahagia dan gembira adalah merupakan karunia Allah yang sangat berharga. Lebih berharga dari harta dan kekayaan yang berlimpah.

Ayat 36

Ayat ini menerangkan bahwa ada manusia yang tidak mau percaya kepada ayat-ayat Allah. Bukan saja tidak percaya, tetapi ditantangnya setiap Rasul yang datang membawa ayat-ayat Allah dengan sombong dan angkuh. Mereka merasa tidak pantas dipimpin oleh seorang Rasul yang mereka anggap kurang kemuliaannya (status sosialnya), kurang kekayaannya dan kurang umurnya dari mereka.

Seperti halnya pemuka-pemuka suku Quraisy yang menantang Nabi Muhammad dengan sombong dan takabur, tidak mau percaya kepadanya dan tidak mau mengikutinya. Sebab mereka menganggap merekalah yang lebih berhak jadi pemimpin, seperti Abu Jahal, Abu Sufyan dan lain-lain. Mereka itu menganggap dirinya lebih mulia dari Nabi Muhammad. Begitu pula pemimpin-pemimpin Yahudi tidak mau percaya atas kerasulan Nabi Muhammad, karena bukan dari golongan Bani Israil, tetapi dari golongan bangsa Arab.

Raja-raja dan pemimpin-pemimpin Majusi juga begitu, tidak mau menerima kerasulan Nabi Muhammad pada permulaannya, karena mereka memandang hina terhadap orang Arab. Tetapi akhirnya banyak juga di antara mereka yang masuk agama Islam di samping banyak pula yang membangkang, ingkar dan menolak sama sekali kerasulan Nabi saw. Mereka itulah yang akan menjadi penghuni neraka untuk selama-lamanya.

Ayat 37

Ayat ini menjelaskan bahwa berdusta kepada Allah dan ayat-ayat-Nya, adalah pekerjaan yang paling zalim. Mengada-adakan dusta dan kebohongan terhadap Allah ialah mewajibkan yang tidak diwajibkan Allah, memutar-balikkan hukum-hukum, yang halal dikatakan haram, yang haram dikatakan halal, yang hak dikatakan batil, yang batil dikatakan hak, atau berani mengatakan bahwa Allah beranak dan bersekutu.

Mendustakan ayat-ayat Allah berarti menolak, mempermainkan dan mengejeknya, perbuatan mereka dianggap sebagai perbuatan yang paling zalim, mereka akan menikmati kesenangan di dunia untuk sementara, namun di akhirat mereka akan diazab dengan azab yang sangat pedih. Itulah ketentuan Allah yang tertulis dalam kitab suci-Nya.  Firman Allah:

نُمَتِّعُهُمْ قَلِيْلًا ثُمَّ نَضْطَرُّهُمْ اِلٰى عَذَابٍ غَلِيْظٍ

Kami biarkan mereka bersenang-senang sebentar, kemudian Kami paksa mereka (masuk) ke dalam azab yang keras. (Luqman/31: 24);

Ketika orang yang zalim itu menikmati kesenangan di dunia, tiba-tiba hal itu berakhir, karena ajalnya sudah tiba ketika malaikat maut datang mencabut nyawanya.

Barulah timbul penyesalan, ketika malaikat mengajukan pertanyaan kepadanya, manakah orang-orang yang kamu seru selama ini, kamu sembah, minta tolong dan tidak mau menyembah dan minta tolong kepada Allah? Panggillah mereka untuk menolong kamu agar terhindar dari bahaya api neraka yang kamu hadapi ini.

Tapi apa daya, dengan sangat menyesal mereka menjawab, “Orang-orang yang kami sembah dan kami minta tolong sudah hilang lenyap dari kami, kami tidak tahu ke mana pergi dan di mana tempatnya. Putuslah harapan kami untuk mendapat pertolongan darinya.” Maka dengan terus terang mereka mengakui bahwa mereka telah mejadi kafir dan sesat karena menyembah dan minta tolong kepada berhala-berhala dan pemimpin-pemimpin yang mereka persekutukan dengan Allah.

Kejadian yang digambarkan ini adalah peringatan dan ancaman Allah terhadap orang kafir, agar berhati-hati jangan mengikuti propaganda dan tipu daya seseorang yang akibatnya akan membawa kepada kekafiran dan kesesatan.

(Tafsir Kemenag)


Baca Juga: Tafsir Surat Yasin Ayat 2-4: Sumpah Allah atas Kerasulan Nabi Muhammad saw


Tafsir Surat Al-A’raf Ayat 180: Anjuran Berdoa dan Berdzikir dengan Asmaul Husna

0
Anjuran doa dan dzikir dengan asmaul husna
Anjuran doa dan dzikir dengan asmaul husna

Asmaul husna adalah nama-nama indah yang dimiliki Allah. Secara etimologis, asmaul husna berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata, yaitu al-asma’ dan al-husna. Kata al-asma’ adalah jamak dari lafadz ismun, yang berarti nama. Sedangkan al-husna merupakan mashdar dari lafadz al-ahsan yang berarti baik, bagus, atau indah. Allah pun mengancurkan untuk berdoa dan berdzikir dengan asmaul husna.

Dalam Al-Quran Surat Al-A’raf ayat 180, Allah telah menjelaskan nama-nama lain dari-Nya yang disebut asmaul husna. Di dalam asmaul husna pula terkandung sifat-sifat Allah yang sangat mulia nan agung. Pengenalan Allah mengenai nama-nama indah-Nya kepada manusia dimaksudkan agar manusia senantiasa mengingat-Nya dalam kondisi dan situasi apapun. Bentuk dari ingat Allah bisa diekspresikan dengan penggunaan dzikir asmaul husna ini, baik bil qolbi maupun bil lisan.

Baca juga: Baca Ayat Ini Sebagai Doa Agar Orang Mendapatkan Hidayah Islam

Tafsir Surat Al-A’raf ayat 180, anjuran berdoa dengan asmaul husna

Surat Al-A’raf ayat 180 mengandung penjelasan mengenai asmaul husna. Adapun ayatnya berbunyi sebagaimana berikut:

وَلِلَّهِ ٱلْأَسْمَاءُ ٱلْحُسْنَىٰ فَٱدْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا ٱلَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِى أَسْمَٰئِهِۦ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Hanya milik Allah asmaul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.

Ayat di atas dalam Tafsir Al-Wajiz karangan Wahbah Zuhayli adalah penjelasan mengenai agungnya kemuliaan Allah dan luasnya sifat-sifat-Nya bahwa Ia memiliki asmaul husna, semua nama yang baik. Menurut Wahbah Zuhayli, semua nama-Nya tersebut menunjukkan sifat kesempurnaan yang dengan itu Ia menjadi husna (bagus). Dan apabila nama tersebut tidak menunjukkan sifat, namun hanya sekedar nama, maka bukanlah disebut husna.

Baca juga: Doa Al-Quran: Surat Ali Imran Ayat 8 untuk Ketetapan Hati dalam Iman

Dalam Tafsir al-Mizan fi tafsir Al-Qur’an, Husain Thabathaba’i membahas khusus tentang asmaul husna dalam satu bab yang diberi judul Kalam fi al-Asma al-Husna fi Fushul. Thabathaba’i menerangkan bahwa asmaul husna terlepas dari semua sifat kekurangan atau sifat-sifat negatif.

Thabathaba’i sedikit berbeda dengan Zuhayli perihal penyandaran asma wa sifat. Thabathaba’i tidak membedakan antara keduanya kecuali perihal sifat. Sifat menurutnya menunjukkan makna yang melekat pada dzat secara umum baik itu ‘ainiyyah atau gairiyyah. Sedangka asma’ menunjukkkan dzat yang telah disifati. Dalam penafsiran Thabathaba’i, nama Allah ditilik dari ranah tafsir itu tidak tauqifiyyah dikarenakan ketiadaan dalil yang menunjukkan ketauqifiyyah-an itu. Sedangkan dalam ranah fiqih nama-nama Allah itu tauqifiyah.

Terlepas mengenai penjelasan asma wa sifat Allah, asmaul husna adalah nama Allah yang menunjukkan kesempurnaan-Nya. Ia tidak memiliki kekurangan sama sekali. Asmaul husna juga menunjukkan keesaan Allah seperti yang diungkapkan Zuhayli dan Thabathaba’i, karena hanya Dia-lah satu-satunya Dzat yang memiliki sifat-sifat mulia tersebut. Dan ketika nama tersebut disandarkan kepada selain-Nya dengan maksud menyekutukan-Nya, maka sifat-sifat mulia yang terkandung di dalamnya otomatis akan hilang. Hal itu karena yang pantas menyandang asmaul husna adalah Allah, Tuhan Yang Maha Esa.

Anjuran berdoa dan berdzikir dengan asmaul husna

Asmaul husna ini bisa dijadikan amalan berdoa dan berdzikir sehari-hari bagi umat Islam. Wahbah Zuhayli dalam Tafsir Al-Wajiz juga memberikan keterangan bahwa hakikatnya manusia akan selalu menyebut-Nya dalam siatuasi apapun. Misal ketika manusia dalam keadaan sulit rezeki, maka ia akan cenderung membutuhkan satu Dzat penolong yang Maha memberi rezeki. Atau ketika mausia dalam keadaan terpepet banyak masalah, maka ia membutuhkan suatu Dzat penolong Yang Maha meluaskan keadaan hati.

Begitupun seterusnya. Manusia pasti, dan akan selalu membutuhkan Dzat Yang Maha agung di setiap kondisi yang dihadapinya. Karena sifat-sifat Allah yang agung tersebut termanifestasikan ke dalam sifat makhluk-Nya. Hanya saja sifat ilahiyah yang terdapat dalam diri sang makhluk sangatlah terbatas, dan hanya Allah lah yang memiliki sifat sempurna yang tak terbatas. Ini menunjukkan betapa lemahnya manusia di hadapan Rabb-Nya.

Baca juga: Kisah 70 Sahabat Nabi dan Dzikir Hasbunallah Wa Ni’mal Wakil

Maka dari itu, dalam Surat Al-A’raf ayat 180 Allah berfirman “maka mohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asma al husna itu”. Menurut penuturan Wahbah Zuhayli, anjuran Allah ini mencakup doa ibadah dan doa meminta. Dia dipanggil dalam setiap keinginan yang sesuai dengan keinginan tersebut permohonan misalnya mengucapkan “ya Allah ampunilah aku, sayangilah aku”.

Selain berdoa, berdzikir dengan asmaul husna juga dianjurkan karena Rasulullah pernah bersabda “Hari Kiamat tidak akan datang sampai lafal “Allah…Allah…” tidak disebutkan di bumi (HR Muslim). Dalam hadis yang dikeluarkan oleh Abu Daud dan Ibnu Majah, Rasulullah juga menganjurkan untuk membaca lafadz-lafadz asmaul husna ketika dalam kondisi gundah, “Allahu Allahu rabbii, laa usyriku bihi syaian (Allah... Allah adalah tuhanku, aku tidak akan menyekutukanNya dengan sesuatu apapun)” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah). Wallahu a’lam[]

Tafsir Surat Al A’raf ayat 33-34

0
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102

Dalam Tafsir surat Al A’raf ayat 33-34 ini dijelaskan apa saja yang telah diharamkan oleh Allah terhadap umat manusia. Bukan tanpa sebab semua larangan tersebut bertujuan untuk menghindarkan dari segala macam bahaya. Selain itu tafsir surat Al A’raf ayat 33-34 juga mengisahkan tentang orang-orang yang kaya namun menggunakan kekayaan mereka untuk berfoya-foya dan bermaksiat.


Baca Juga: Tafsir Ahkam: Selain Haram, Apakah Khamr Itu Najis?


Ayat 33

Dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada Rasulullah untuk menyampaikan kepada orang-orang yang musyrik dan kafir apa yang telah diharamkan Allah. Yang diharamkan Allah itu bukanlah seperti yang telah diharamkan oleh orang-orang musyrik yang tiada ada dalilnya atau tidak ada wahyu yang turun untuk mengharamkannya, tetapi mereka buat-buat saja, seperti mengharamkan memakai pakaian ketika tawaf atau mengharamkan makan daging ketika mengerjakan haji. Sesungguhnya yang diharamkan Allah tersebut dalam ayat ini harus dijauhi benar-benar, karena bahayanya sangat besar, baik terhadap yang mengerjakannya maupun terhadap umat manusia semuanya, larangan-larangan Allah itu adalah sebagai berikut:

  1. Mengerjakan perbuatan yang keji secara lahir atau tersembunyi, termasuk ke dalam perbuatan yang keji seperti berzina, homoseksual, perbuatan jijik dan kotor yang menimbulkan dosa yang besar.
  2. Perbuatan yang menimbulkan dosa, seperti minum khamar, berjudi dan lain-lain.
  3. Perbuatan yang melampaui batas, berlaku aniaya sesama manusia, dan memperkosa hak pribadi atau hak bersama.
  4. Mempersekutukan Allah, ini adalah perbuatan yang paling keji dan merupakan dosa yang besar yang tidak akan mendapat ampunan dari Allah. Mempersekutukan sesuatu dengan Allah, seperti dengan berhala, batu kuburan, pohon kayu dan lain-lain, menunjukkan suatu perbuatan bodoh tanpa mempergunakan akal dan pikiran.
  5. Membuat-buat hukum yang tidak diperintahkan Allah atau memutar balikkan hukum, yang halal dikatakan haram dan yang haram dikatakan halal. Perbuatan seperti ini sangat dilarang Allah, sebab bisa menimbulkan pemahaman agama yang salah atau bisa menjadikan keyakinan agama yang benar jadi agama yang bathil.

Dari perbuatan seperti inilah timbul perpecahan dalam agama, mereka mengaku tahu dalam persoalan agama, tapi yang sebenarnya mereka tidak mempunyai pengetahuan, malahan mereka membodohi orang lain. Disengaja atau tidak disengaja, pekerjaan mengada-ada seperti ini dilarang Allah, apalagi untuk menentukan suatu hukum dalam Islam.

Untuk menentukan hukum itu, harus ada dalil yang nyata, baik dari Al-Qur′an ataupun sunah yang mu’tabarah, tidak dapat diterka-terka atau main sangka-sangka saja. Main terka atau sangka-sangka itu, tidaklah termasuk ilmu. Ilmu itu menumbuhkan keyakinan. Firman Allah:

وَلَا تَقُوْلُوْا لِمَا تَصِفُ اَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هٰذَا حَلٰلٌ وَّهٰذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُوْا عَلَى اللّٰهِ الْكَذِبَ

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta”inihalal dan ini haram,untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. (an-Nahl/16: 116) 

Ayat 34

Ayat ini menjelaskan kenyataan sejarah, bahwa tiap-tiap umat atau bangsa itu ada ketentuan yang disebut ajalnya, yaitu batas waktu tertentu untuk maju atau mundur, jaya atau hancur. Yang menentukan ialah Allah sesuai dengan sunah-Nya dan kehendak-Nya. Ketentuan ajal maksudnya ialah ketentuan waktu turunnya azab bagi umat atau bangsa yang telah durhaka, tidak mau menerima kebenaran, berlaku sewenang-wenang sekehendak nafsunya, dan tidak segan-segan mengerjakan yang keji dan  mungkar.

Maka ketentuan turunnya azab itu ada dua macam, yaitu yang pertama: umat itu hancur musnah sampai hilang dari permukaan bumi. Seperti malapetaka yang telah diturunkan Allah kepada kaum Nuh, ’Ad, Tsmud, Fir‘aun, Luth dan yang lainnya. Umat itu telah hilang dari permukaan bumi sebab kedurhakaan dan keingkaran mereka tidak menerima ajaran-ajaran yang dibawa oleh masing-masing rasul.

Sudah diberi peringatan berkali-kali, namun mereka tidak percaya, bahkan semakin membangkang dan sombong. Maka tibalah ajal mereka dengan kehancuran dan kebinasaan sampai musnah.

Firman Allah:

وَكَذٰلِكَ اَخْذُ رَبِّكَ اِذَآ اَخَذَ الْقُرٰى وَهِيَ ظَالِمَةٌ  ۗاِنَّ اَخْذَهٗٓ اَلِيْمٌ شَدِيْدٌ 

Dan begitulah siksa Tuhanmu apabila Dia menyiksa (penduduk) negeri-negeri yang berbuat zalim. Sungguh, siksa-Nya sangat pedih, sangat berat. (Hud/11: 102);

Azab yang merupakan kehancuran seperti ini, hanya khusus berlaku bagi umat-umat terdahulu yang tidak akan terjadi lagi pada umat Nabi Muhammad, sebab kedatangan Nabi Muhammad adalah rahmat bagi semua penghuni alam ini. Allah berfirman:

وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ

Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam. (al-Anbiya′/21: 107)

Ketentuan kedua: umat itu menjadi hina, miskin, bodoh, dijajah, dan lain-lain. Allah menurunkan azab bukan untuk menghancurkannya, tapi umat itu hilang kebesarannya dan kemuliaannya, jatuh menjadi umat yang hina-dina, tidak ada harga dan kemuliaan lagi.

Kenyataan sejarah sudah banyak menunjukkan bahwa umat yang pada mulanya  jaya dan terhormat, tapi akhirnya menjadi hina dan melarat, sebab mereka berfoya-foya menghamburkan harta kekayaan untuk maksiat. Berlaku sewenang-wenang berbuat aniaya sesama manusia, menghabiskan harta umat dengan cara yang tidak benar, baik dengan korupsi, menipu dan lain-lain. Penyakit syirik merebak dengan suburnya, di samping menyembah Allah, mereka juga menyembah makhluk-Nya.

Maka datanglah ajal umat atau bangsa itu, mereka menjadi umat yang lemah dan hina di mata manusia. Kedatangan azab tidak dapat ditangguhkan walaupun sesaat dan tidak pula dapat dimajukan. Tidak seorang pun yang tahu saat datangnya azab itu, apakah di waktu malam, atau di waktu siang, kadang-kadang datangnya dengan tiba-tiba, di saat umat itu sedang lengah, sedang lupa daratan, sedang bersenang-senang, turunlah azab Allah dengan sekonyong-konyong.

Seandainya diketahui kapan ajal itu akan datang, tentu mereka minta ditangguhkan, dan mereka segera memperbaiki kesalahan-kesalahan mereka, dan meninggalkan perbuatan keji dan dosa dan lain-lain.

Datangnya ajal secara tiba-tiba itu, memberikan pengertian bahwa Allah Mahakuasa dan tidak bisa dihalangi dan ditandingi oleh kekuasaan manusia. Akhirnya umat itu menyesal, namun penyesalan itu tidak berguna.

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat al-Baqarah Ayat 2: Al-Quran Adalah Kitab Sempurna

0
Al-Quran adalah kitab sempurna
Al-Quran adalah kitab sempurna (Surat Al-Baqarah Ayat 2)

Al-Quran adalah kitab suci yang Allah swt turunkan kepada nabi Muhammad saw melalui perantara Jibril sebagai bukti keabsahan kenabian Muhammad saw sekaligus sebagai mukjizat bagi beliau guna membantu penyebaran dan pengajaran Islam. Bagi umat Islam, Al-Quran adalah kitab sempurna yang tidak memiliki keraguan di dalamnya.

Al-Quran sebagai kalamullah memiliki posisi sentral di dalam hati umat Islam. Sebab ia berasal dari Allah swt dan memiliki peranan besar dalam kehidupan umat Islam sejak masa nabi Muhammad saw hingga saat ini. Maka tak heran, muncul berbagai bentuk penghormatan terhadap Al-Quran, baik secara pemahaman maupun tindakan-tindakan tertentu seperti peletakan di tempat yang tinggi.

Ada banyak argumentasi-argumentasi yang menujukan bahwa Al-Quran merupakan kitab sempurna yang tidak memiliki keraguan di dalamnya. Salah satunya adalah dalil dari Al-Quran sendiri, yakni surat al-Baqarah [2] ayat 2 yang berbunyi:

ذٰلِكَ الْكِتٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيْهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَۙ ٢

“Kitab (Al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 2).

Menurut Quraish Shihab, ayat ini secara tegas menunjukkan Al-Quran adalah kitab yang sempurna (dengan alif lam), tidak ada keraguan di dalamnya yakni pada kandungannya dan kesempurnaannya serta berfungsi sebagai petunjuk bagi seluruh manusia. Namun kendati demikian, beliau menegaskan bahwa yang mendapatkan manfaat darinya (Al-Quran) hanyalah orang-orang bertakwa.

Baca Juga: Enam Ayat Kauniyah dalam QS. Al-Baqarah [2]: 164 dan Hikmahnya

Penggunaan kata dzalikal kitab pada surat al-Baqarah [2] ayat 2 ini bertujuan memberi kesan bahwa kitab suci Al-Quran berada dalam kedudukan yang amat tinggi, dan sangat jauh dari jangkauan makhluk (transenden), karena dia bersumber dari Allah Yang Maha Tinggi. Sedangkan hadza (ini) di ayat yang lain berfungsi untuk menunjukkan betapa dekat tuntunan Al-Quran pada fitrah manusia.

Al-Kitab bermakna Al-Quran. Al yang dibubuhkan pada awal kata kitab dipahami dalam arti kesempurnaan. Dengan demikian, al-Kitab yakni Al-Quran adalah kitab sempurna. Sedemikian sempurnanya sehingga tidak ada satu kitab yang wajar dinamai al-kitab selain kitab Al-Quran yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw (Tafsir Al-Misbah [1]: 86).

Tidak ada keraguan padanya atau di dalamnya, yakni bukti rasional dan emosional menyangkut kebenaran sumber dan kandungan Al-Quran sangat jelas, sehingga tidak wajar seseorang ragu terhadapnya. Ada yang membaca surat al-Baqarah [2] ayat 2 dengan berhenti pada kata raib, sehingga memahami ayat ini sebagai larangan ragu, yakni jangan ragu (la raib).

Pembacaan ini memberi makna kepada kita agar tidak ragu kepada Al-Quran, sebab Al-Quran adalah kitab sempurna yang tidak memiliki keraguan di dalamnya. Maksudnya, jangan ragu tentang kebenaran yang dikandungnya, jangan ragu mengamalkannya, karena dia adalah petunjuk atau di dalamnya ada petunjuk bagi seluruh manusia, terutama bagi orang yang bertakwa.

Ragu yang dimaksud dalam ayat ini bukanlah ragu yang bermakna positif, tetapi ragu dalam arti sangkaan buruk. Itulah yang dimaksud dari kata raib. Adapun syak atau keraguan yang mendorong seseorang untuk berpikir positif, maka Al-Quran tidak melarangnya. Karena keraguan semacam ini akan dapat mengantarkan seseorang menemukan kebenaran. (Tafsir Al-Misbah [1]: 87).

Sebagian ulama memahami kata raib dalam arti kegelisahan jiwa, sebab keraguan menimbulkan kegelisahan. Petaka juga dinamai raib karena ia juga menimbulkan kegelisahan. Ada pula ulama yang memaknai kata raib sebagai keraguan yang mendekati syakk. Artinya, raib adalah keraguan yang kadarnya di bawah syak, yakni di bawah 50 persen.

Dengan demikian, dapat dipahami dari surat al-Baqarah [2] ayat 2 bahwa Al-Quran menyatakan tidak ada keraguan dalam dirinya. Namun di sisi lain, ia tidak melarang – melalui kata raib – adanya keraguan bersifat positif yang dapat menghantarkan pelakunya berfikir secara mendalam tentang kebenaran. Karena iman dalam tahap pertapa tidak luput dari berbagai pertanyaan.

Baca Juga: Surah Al-Baqarah [2] Ayat 168: Anjuran Makan Makanan Halal dan Bergizi

Selanjutnya, surat al-Baqarah [2] ayat 2 menegaskan bahwa Al-Quran yang sempurna tanpa keraguan adalah petunjuk (hudan) bagi orang-orang bertakwa. Maksudnya, Al-Quran tidak hanya mengandung petunjuk bagi orang-orang bertakwa, tetapi ia sendiri adalah perwujudan dari petunjuk tersebut. Dengan demikian, Al-Quran adalah penampilan dari hidayah ilahi (Tafsir Al-Misbah [1]: 88).

Kemudian, takwa artinya menghindar. Jadi, orang bertakwa adalah orang yang menghindar. Yang dimaksud oleh ayat ini mencakup tiga penghindaran. Pertama, menghindar dari kekufuran dengan jalan beriman kepada Allah. Kedua, berupaya melaksanakan perintah Allah sekuat tenaga dan menjauhi larangan-Nya. Ketiga dan yang tertinggi, menghindar dari segala aktivitas yang menjauhkan hati dan pikiran dari Allah swt.

Takwa adalah penamaan bagi setiap orang yang beriman dan mengerjakan amal kebaikan. Seorang yang mencapai puncak ketaatan adalah orang yang bertakwa. Meskipun demikian, orang beriman dan mengerjakan amal saleh tetapi belum mencapai puncaknya ataupun belum luput dari dosa, ia tetap bisa disebut orang yang bertakwa. Namun tentunya ia pada tingkatan berbeda dengan orang bertakwa yang berada pada puncak ketakwaannya. Wallahu a’lam.

Tafsir Surat Al A’raf ayat 32

0
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102

Dalam tafsir surat Al A’raf ayat 32 dijelaskan bahwa salah satu kegemaran manusia adalah menggunakan pakaian yang indah serta memakan makanan yang baik serta halal. Jika dua hal tersebut ditinggalkan tidaklah terhitung beribadah. Namun hal tersebut jika dilakukan akan mendorong manusia untuk berpikir dinamis dan kretif.

Bahkan dalam penutup tafsir surat Al A’raf ayat 32 dijelaskan pula adab berpakaian dan makanan.


Baca juga: Surat Al-Isra Ayat 26-27: Larangan Menyia-Nyiakan Makanan


Ayat 32

Orang-orang Arab pada masa jahiliah, terutama dari kabilah Bani Amir telah mengharamkan memakai pakaian ketika tawaf sekeliling Ka’bah, telah mengharamkan sebagian makanan ketika mengerjakan haji seperti makan daging, makan yang berlemak dan lain-lain. Orang-orang Nasrani dan Yahudi pun, sebagian mereka juga mengharamkan makan yang baik-baik seperti halnya perbuatan orang Arab pada masa jahiliah itu. Maka ayat ini dengan tegas memerintahkan kepada Nabi Muhammad, untuk menanyakan kepada mereka, siapa yang mengharamkan semuanya itu? Jelaslah bahwa yang mengharamkan itu mereka sendiri, bukan merupakan wahyu yang disampaikan Allah kepada Rasul-Nya.

Pakaian dan perhiasan memang sudah disediakan Allah untuk mereka dan Allah tidak mengharamkan makanan yang baik-baik, yang lezat-lezat seperti rezeki yang halal dari Allah. Memakai pakaian yang indah, berdandan dan berhias, serta makan makanan yang lezat-lezat yang dihalalkan Allah adalah merupakan kesenangan dan kegemaran manusia. Agama Islam membolehkannya, selama tidak bertentangan dengan hukum Allah.

Meninggalkan kesenangan dan kegemaran seperti itu tidaklah termasuk ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Kegemaran berpakaian yang bagus dan kegemaran makan makanan yang baik lagi halal, akan mendorong manusia untuk berpikir dinamis dan kreatif meningkatkan pertanian, membuat irigasi, serta meningkatkan kemajuan dalam bidang industri, seperti pabrik benang, pabrik kain, meningkatkan pemeliharaan binatang-binatang, seperti biri-biri, ulat sutera, binatang-binatang ternak dan lain-lain.

“Orang (mukmin) yang makan makanan yang baik lagi pandai bersyukur, sama derajatnya dengan orang puasa yang sabar menahan lapar.” (Riwayat Ahmad, at-Tirmidzi, an-Nasa′i dan al-Hakim dari Abu Hurairah).

Firman Allah:

وَمَنْ اَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِيْ فَاِنَّ لَهٗ مَعِيْشَةً ضَنْكًا وَّنَحْشُرُهٗ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اَعْمٰى   

Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh, dia akan menjalani kehidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta. (Taha/20: 124);

Pada penutup ayat ini diterangkan  bahwa Allah sudah menjelaskan ayat-ayat-Nya bagi kaum yang mengetahui. Di antaranya dalam ayat ini dijelaskan perkara adab berpakaian dan makanan yang sebagian manusia belum mengetahuinya, malahan dianggapnya masalah kecil saja. Padahal makan dan minum yang tidak berlebihan itu merupakan pokok pangkal kesehatan. Bila badan tidak kuat dan tidak sehat, semua pekerjaan tidak akan terlaksana, baik untuk mencari kehidupan, ataupun untuk beribadah kepada Allah. Begitu juga berdandan dan berpakaian, merupakan tanda kebahagiaan dan kesejahteraan dan erat juga hubungannya dengan kesehatan. Orang-orang yang berdandan dan berpakaian bagus, adalah terhormat dan terpuji, asal berdandan dan berpakaian bagus dengan niat yang baik, bukan untuk menyombongkan diri.

Sabda Rasulullah:

أَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ ثَوْبٍ دُوْنٍ فَقَالَ: أَلَكَ مَالٌ؟ قُلْتُ: نَعَمْ. قَالَ: مِنْ أَيِّ الْمَالِ. قُلْتُ، قَدْ أَتَانِيَ الله ُمِنَ اْلإِبِلِ وَالْغَنَمِ وَالْخَيْلِ وَالرَّقِيْقِ. قَالَ: فَإِذَا أَتَاكَ اللهُ فَلْيُرَ أَثَرُ نِعْمَتِهِ عَلَيْكَ وَكَرَامَتِهِ لَكَ (رواه أبو داود عن أبي الأحوص عن أبيه)

Saya datang kepada Rasulullah, dengan pakaian yang buruk, maka Rasulullah bertanya, “Adakah engkau mempunyai harta? “Saya jawab, “Ya,” Rasulullah bertanya pula, “Harta apa saja? “Saya jawab, “Allah memberikan karunia kepada saya unta, kambing, kuda dan budak.” Berkata Rasulullah, “Kalau Allah sudah mengaruniaimu harta, maka hendaklah dapat dilihat bekas nikmat Allah itu dan kemuliaan-Nya kepadamu. (Riwayat Abu Daud dari Abu al-Ahwas dari ayahnya).

(Tafsir Kemenag)


Baca juga: Surah Al-Baqarah [2] Ayat 168: Anjuran Makan Makanan Halal dan Bergizi


 

 

Tafsir Surat Al A’raf ayat 30-31

0
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102

Dalam tafsir surat Al A’raf ayat 30-31, khususnya pada ayat 30 dijelaskan bahwa manusia terbagi menjadi dua golongan. Sedangkan dalam ayat 31 dijelaskan anjuran untuk menggunakan pakaian yang bersih ketika shalat. Baca selengkapnya tafsir surat Al A’raf ayat 30-31 di bawah ini.


Baca Juga: Dia yang Berlaku Baik Kepadamu, Lebih Baiklah Kepadanya! Pesan Surat An-Nisa Ayat 86


Ayat 30

Manusia terbagi atas dua golongan. Golongan pertama adalah golongan yang telah diberi petunjuk oleh Allah di dunia ini untuk mengerjakan salat, menyembah-Nya dengan ikhlas dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu yang lain.

Sedang golongan kedua, adalah golongan yang telah sesat karena mengikuti ajakan setan dan meninggalkan perintah Allah Penciptanya. Setan itulah yang dijadikan pelindungnya, bukan Allah. Anehnya mereka sudah sesat dengan menempuh jalan yang dilarang oleh Allah mengerjakan perbuatan yang tidak diridai-Nya, tetapi masih menyangka bahwa mereka memperoleh petunjuk. Orang yang demikian adalah orang yang paling merugi, sebagaimana firman Allah:

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْاَخْسَرِيْنَ اَعْمَالًا ۗ  ١٠٣  اَلَّذِيْنَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُوْنَ اَنَّهُمْ يُحْسِنُوْنَ صُنْعًا   ١٠٤  

Katakanlah (Muhammad), “Apakah perlu Kami beritahukan kepadamu tentang orang yang paling rugi perbuatannya? (Yaitu) orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka mengira telah berbuat sebaik-baiknya. (al-Kahf/18: 103-104)

Ayat 31

Dalam ayat ini Allah memerintahkan agar manusia memakai zinah (pakaian bersih yang indah) ketika memasuki masjid dan mengerjakan ibadat, seperti salat, thawaf dan lain-lainnya.

Yang dimaksud dengan memakai zinah ialah memakai pakaian yang dapat menutupi aurat dengan memenuhi syarat-syarat hijab. Lebih sopan lagi kalau pakaian itu selain bersih dan baik, juga indah yang dapat menambah keindahan seseorang dalam beribadah menyembah Allah, sebagaimana kebiasaan seseorang berdandan dengan memakai pakaian yang indah di kala akan pergi ke tempat-tempat undangan dan lain-lain.

Maka untuk pergi ke tempat-tempat beribadah untuk menyembah Allah tentu lebih pantas lagi, bahkan lebih utama. Hal ini bergantung pada kemauan dan kesanggupan seseorang, juga bergantung pada kesadaran. Kalau seseorang hanya mempunyai pakaian selembar saja, cukup untuk menutupi aurat dalam beribadah, itu pun memadai. Tetapi kalau seseorang mempunyai pakaian yang agak banyak, maka lebih utama kalau ia memakai yang bagus. Rasulullah telah bersabda:

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَلْبَسْ ثَوْبَيْهِ فَإِنَّ الله َعَزَّ وَجَلَّ أَحَقُّ مَنْ تَزَيَّنَ لَهُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ ثَوْبَانِ فَلْيَتَّزِرْ إِذَا صَلَّى وَلاَ يَشْتَمِلْ أَحَدُكُمْ فِيْ صَلاَتِهِ اشْتِمَالَ الْيَهُوْدِ

(رواه الطبراني والبيهقي عن ابن عمر)

“Apabila salah seorang di antaramu mengerjakan salat hendaklah memakai dua kain, karena untuk Allah yang lebih pantas seseorang berdandan. Jika tidak ada dua helai kain, maka cukuplah sehelai saja untuk dipakai salat. Janganlah berkelumun dalam salat, seperti berkelumunnya orang-orang Yahudi.” (Riwayat at-Thabrani dan al-Baihaqi dari Ibnu Umar)

Diriwayatkan dari Hasan, cucu Rasulullah, bahwa apabila ia akan mengerjakan salat, ia memakai pakaian yang sebagus-bagusnya. Ketika ia ditanya orang dalam hal itu, ia menjawab, “Allah itu indah, suka kepada keindahan, maka saya memakai pakaian yang bagus.

Dalam ayat ini, Allah mengatur urusan makan dan minum. Kalau pada masa Jahiliyah, manusia yang mengerjakan haji hanya makan makanan yang mengenyangkan saja, tidak makan makanan yang baik dan sehat yang dapat menambah gizi dan vitamin yang diperlukan oleh badan, maka dengan turunnya ayat ini, makanan dan minuman itu harus disempurnakan gizinya dan diatur waktu menyantapnya dengan terpelihara kesehatannya.

Dengan begitu manusia lebih kuat mengerjakan ibadat. Dalam ayat ini diterangkan bahwa memakai pakaian yang bagus, makan makanan yang baik dan minum minuman yang bermanfaat adalah dalam rangka mengatur dan memelihara kesehatan untuk dapat beribadah kepada Allah dengan baik. Karena kesehatan badan banyak hubungannya dengan makanan dan minuman. Makanan dan minuman yang berlebihan berakibat terganggunya kesehatan. Karena itu, Allah melarang berlebihan dalam makan dan minum.

Larangan berlebihan itu mengandung beberapa arti, di antaranya:

  1. Jangan berlebihan dalam porsi makan dan minum itu sendiri. Sebab, makan dan minum dengan porsi yang berlebihan dan melampaui batas akan mendatangkan penyakit. Makan kalau sudah merasa lapar, dan kalau sudah makan, janganlah sampai terlalu kenyang. Begitu juga dengan minuman, minumlah kalau merasa haus dan bila rasa haus hilang, berhentilah minum, walaupun nafsu makan atau minum masih ada.
  2. Jangan berlebihan dalam berbelanja untuk membeli makanan atau minuman, karena akan mendatangkan kerugian. Kalau pengeluaran lebih besar dari pendapatan, akan menyebabkan hutang yang banyak. Oleh sebab itu, setiap orang harus berusaha agar jangan besar pasak dari tiang.
  3. Termasuk berlebihan juga adalah makan dan minum yang diharamkan Allah. Dalam hal ini Rasulullah telah bersabda:

كُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَتَصَدَّقُوْا وَالْبَسُوْا فِيْ غَيْرِ مَخِيْلَةٍ وَلاَ سَرَفٍ فَإِنَّ الله َيُحِبُّ أَنْ يُرَى أَثَرُ نِعَمِهِ عَلَى عَبْدِهِ رواه أحمد والترمذي والحاكم عن أبي هريرة

Makanlah, minumlah, bersedekahlah, dan berpakaianlah dengan cara yang tidak sombong dan tidak berlebihan. Sesungguhnya Allah suka melihat penggunaan nikmat-Nya kepada hamba-Nya. (Riwayat Ahmad, at-Tirmidzi dan al-Hakim dari Abu Hurairah)

Perbuatan berlebihan yang melampaui batas selain merusak dan merugikan, juga Allah tidak menyukainya. Setiap pekerjaan yang tidak disukai Allah, kalau dikerjakan juga, tentu akan mendatangkan bahaya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Juga: Inilah Amalan Agar Mudah Bangun Untuk Ibadah Shalat Malam

Tafsir Surat Yusuf Ayat 3: Mengapa Kisah Nabi Yusuf adalah Kisah Terbaik?

0
Tafsir Surat Yusuf Ayat 3: Mengapa Kisah Nabi Yusuf adalah Kisah Terbaik
Tafsir Surat Yusuf Ayat 3: Mengapa Kisah Nabi Yusuf adalah Kisah Terbaik

Kisah Nabi Yusuf merupakan kisah inspiratif yang tertulis dalam al-Quran. Selain itu, kisah Nabi Yusuf pada al-Quran ternyata juga memiliki sabab nuzul yang unik- pada zaman Rasulullah SAW, para sahabat meminta Nabi Muhammad untuk bercerita di kala mereka sedang merasa bosan. Kemudian dari peristiwa itulah ayat ini turun, yakni surat Yusuf ayat 1-3.

Kemudian menariknya, pada tafsir surat Yusuf ayat 3, ternyata kisah Nabi Yusuf ini mendapat julukan sebagai kisah terbaik. Mengapa demikian?

نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ أَحْسَنَ الْقَصَصِ بِمَا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ هَذَا الْقُرْآنَ وَإِنْ كُنْتَ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الْغَافِلِينَ 3

Kami menceritakan kepadamu (Muhammad) kisah yang paling baik dengan mewahyukan Alquran in kepdamu, dan sesungguhnya engkau sebelum itu termasuk  orang yang tidak mengetahui. (Q.S Yusuf 3).

Baca juga: Kisah Kesabaran Nabi Yusuf Yang Membuat Kagum Nabi Muhammad

Berawal dari kebosanan para sahabat dan mereka meminta agar Rasulullah saw. bercerita dengan mereka. Kemudian Allah SWT menurunkan surat Yusuf. Hal ini sesuai dengan riwayat Ibn Jarir al-Tabary.

Dari ‘Aun bin ‘Abdillah, ia berkata: Para sahabat mengalami kebosanan yang mencekam. Mereka berkata: Wahai Rasulullah, berilah kami sebuah perkataan!. Maka Allah menurunkan (Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik…) al-Zumar ayat 23. Kemudian para sahabat mengalami kebosanan yang mencekam lagi pada waktu yang lain. Mereka berkata: Wahai Rasulullah, berceritalah!. Mereka mengingikan cerita selain dari Alquran. Kemudian Allah menurun surah Yusuf 1-3. Mereka menginginkan perkataan yang baik, maka Allah menunjukkan kepada mereka, sebaik-baiknya perkataan. Mereka menginginkan cerita, Allah menunjukkan kepada mereka sebaik-sebaknya cerita.

Selanjutnya, menurut riwayat dari al-Hakim dalam al-Mustadrak ‘ala al-Shahihain li al-Hakim:

Dari Sa’ad bin Abi Waqqas mengenai firman Allah swt (kami telah bercerita dengan sebaik-baiknya cerita..) surah yusuf ayat 3. Sa’ad bin Abi Waqqas berkata: Alquran telah turun kepada Raslullah saw. kemudian Rasulullah saw. membacakan kepada para sahabat pada suatu waktu. Mereka berkata: wahai Rasulullah, seandainya engkau bercerita kepada kami. Maka Allah swt menurunkan surah Yusuf 1-3. Pada waktu yang lain Rasulullah saw. membacakan Alquran kepada para sahabar. Kemudian para sahabat berkata: wahai Rasulullah, seandainya engkau memberikan perkataan kepada kami. Maka Allah swt menurunkan surah al-Zumar ayat 23. Semua itu diperintah dengan Alquran.

Pendapat al-Hakim hadis ini shahih al-isnad (shahih isnad) dan Imam Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya.

Menurut Abu Ja’far dalam Syarah Musykil al-Atsar, hadis ini merupakan permintaan sahabat kepada Rasulullah SAW untuk bercerita agar bisa melembutkan hati mereka. Maka Allah menurunkan surat Yusuf. Allah SWT mengetahui mereka tidak menginginkan cerita dari Alquran. Kemudian mereka meminta sebuah perkataan, maka Allah menurunkan surah az-Zumar dan seterusnya seperti dalam hadis. Mengapa Allah swt. menurunkan surah Yusuf dan al-Zumar padahal sahabat tidak menginkannya. Semua itu sebagai jawaban kepada mereka, karena mereka tidak kembali pada Alquran atas segala sesuatu yang sebenarnya sudah ada dalam al-quran.

Baca juga: Ibrah Kisah Nabi Yusuf, Penjara sebagai Sarana Mendekatkan Diri kepada Allah

Alasan Kisah Nabi Yusuf Menjadi Kisah Terbaik

Allah menjelaskan informasi mengenai umat terdahulu dan masa-masa terdahulu dengan penjelasan terbaik. Menurut al-Baghawi kisah Nabi Yusuf merupakan kisah terbaik karena memuat pelajaran, hikmah, kata yang lembut yang membuat diri gembira dan kemanfaatan yang baik bagi agama dan dunia.

Pada kisah Nabi Yusuf juga memiliki faidah khusus, seperti misalnya di dalam kisah Nabi Yusuf ada kisah perjalanan para raja, para budak, para ulama, sikap menghormati perempuan, sabar atas siksaan musuh dan balasan terbaik pada mereka setelah berjumpa.

Ada ungkapan menarik dari Khalid bin Ma’dan dan Ibn ‘Atha’ mengenai surah Yusuf ini. Khalid bin Ma’dan berkata: ahli surga menangis di dalam surga karena surah Yusuf dan Maryam. Sedangkan Ibn ‘Atha’ juga mengatakan: 

Seseorang yang bersedih dan mendengar surah Yusuf maka ia mendapatkan ketentraman

Sesungguhnya kita termasuk orang-orang yang lalai dan tidak mengetahui pada kisah Nabi Yusuf sebelum Allah mewahyukannya, lanjutan penjelasan dalam Tafsir al-Baghawi, II/474. 

Baca juga: Mengulik Terjemah dan Ragam Penafsiran Al-Quran: Tafsir Surat Yusuf Ayat 18-20

Menurut Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim al-Tsa’laby, Ada lima alasan menurut hukama’ mengapa kisah Nabi Yusuf adalah kisah terbaik:

Pertama, tidak ada kisah di dalam Alquran yang mencakup pelajaran, hikmah, kata yang lembut yang membuat diri gembira sebagaimana kisah Nabi Yusuf.

Kedua, dikatakan terbaik karena masanya yang lama diantara permulaan dan akhir kisah. Pendapat Ibn ‘Abbas dan mayoritas ulama: masa diantara mimpi Nabi Yusuf dan kembalinya bapak serta saudaranya adalah empat puluh tahun. Sedangkan pendapat Hasan al-Bashry selama enam puluh tahun.

Ketiga, menjadi kisah terbaik karena baiknya kedekatan Nabi Yusuf dengan saudaranya, sabar atas aniaya mereka, diamnya ketika bertemu mereka dari menyebut sesuatu yang telah mereka ambil serta kemuliaannya dalam memaafkan mereka.

Keempat, Kisah Nabi Yusuf adalah kisah terbaik karena di dalamnya menyebutkan para Nabi, orang-orang shalih, malaikat, setan, manusia, jin, hewan ternak, burung, raja-raja, para budak, perdagangan, orang-orang alim, orang-orang bodoh, lak- laki, perempuan beserta trik dan tipu dayanya. Di dalam kisahnya juga memuat tauhid, kemurnian, sejarah, tafsir mimpi, politik dan perencanaan pendapatan.

Kelima, menjadi kisah terbaik karena memuat kisah seorang kekasih dan kekasihnya. Namun ada pendapat ahsan al-qasas disitu mempunyai arti a’jab, mengagumkan.(al-Kasyf wa al-Bayan ‘an Tafsir al-Quran, V/197). Wallahu a’lam[]

 

Tafsir Surat Al A’raf ayat 28-29

0
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102

Dalam tafsir surat Al A’raf ayat 28-29, diterangkan tindakan orang-orang yang berbuat kejahatan dan juga keingkaran dengan mengatasnamakan Allah itu tidak dibenarkan.Karena Allah memiliki sifat yang sempurna jauh dari hal-hal yang tercela.

Kemudian dalam tafsir surat Al A’raf ayat 28-29 khususnya di ayat 29 Allah membantah kekeliruan tersebut dengan perintah kepada Nabi Muhammad untuk menyampaikan kepada mereka agar berlaku adil, salat setiap waktu, istiqamah, ikhlas dan baik di dalam semua hal.


Baca juga: Tafsir Surat Yasin Ayat 9-10: Perumpamaan Bagi Orang yang Tidak Beriman


Ayat 28

Ayat ini menerangkan bahwa orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, dan orang-orang yang telah menjadikan setan sebagai pemimpinnya, apabila berbuat kejahatan, seperti mengingkari Allah dan menyekutukan-Nya, mereka mengemukakan alasan dan uzur, “Begitulah yang kami ketahui dan kami dapati dari nenek moyang kami.

Kami hanya mengikuti apa yang telah dikerjakan mereka, bahkan Allah telah memerintahkan kepada kami yang demikian, dan kami hanya menuruti perintah-Nya.” Pengakuan mereka jelas tidak dapat dibenarkan, karena Allah mempunyai sifat kesempurnaan, tidak mungkin dan tidak masuk akal akan menyuruh dan memerintahkan mereka berbuat jahat dan keji seperti perbuatan tersebut di atas. Sebenarnya yang memerintahkan mereka berbuat jahat dan keji tentunya tiada lain melainkan setan sebagaimana firman Allah:

اَلشَّيْطٰنُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُمْ بِالْفَحْشَاۤءِ

Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kemiskinan kepadamu dan menyuruh kamu berbuat keji (kikir)… (al-Baqarah/2: 268);

Mereka mengeluarkan perkataan yang dialamatkan kepada Allah, bahwa Dialah yang menyuruh berbuat jahat dan keji. Itu adalah ucapan yang tidak beralasan yang tidak didasarkan atas pengetahuan, padahal yang demikian itu akan mereka pertanggungjawabkan nanti di akhirat sebagaimana firman Allah:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ ۗاِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ اُولٰۤىِٕكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔوْلًا

Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya. (al-Isra′/17: 36)

Ayat 29

Ayat ini memperbaiki kekeliruan mereka, terbukti Allah memerintahkan Nabi Muhammad untuk mengatakan kepada mereka, “Bahwasanya Allah hanya memerintahkan kepada-ku agar berlaku adil, salat setiap waktu, istiqamah, ikhlas dan baik di dalam semua hal,” sebagaimana firman Allah:

اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَاِيْتَاۤئِ ذِى الْقُرْبٰى وَيَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. (an-Nahl/16: 90)

Allah menyuruh agar mereka mengarahkan mukanya ke Ka’bah yang telah ditetapkan menjadi kiblat bagi setiap orang yang salat, baik di mesjid maupun di tempat lain, penuh dengan keikhlasan, karena suatu amal tanpa disertai keikhlasan tidak akan diterima oleh Allah, sebagaimana sabda Nabi Muhammad:

إِنَّ الله َتَعَالٰى لاَ يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلِ إِلاَّ مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا (رواه النسائي عن أبي أمامة)

“Sesungguhnya Allah tidak akan menerima amal kecuali dikerjakan dengan ikhlas untuk (memperoleh rida)-Nya.” (Riwayat an-Nasa’i dari Abu Umamah)

Untuk mendorong mereka agar tetap ingat dan patuh kepada Allah, tidak terpengaruh kepada ajakan dan bujukan setan, mereka harus selalu ingat kepada Allah. Hal itu karena Allah telah menciptakan mereka pada mulanya dan kapada-Nya pulalah mereka akan kembali kelak. Pada hari pembalasan, mereka akan mempertanggungjawabkan semua perbuatan yang telah mereka kerjakan di dunia.

وَلَقَدْ جِئْتُمُوْنَا فُرَادٰى كَمَا خَلَقْنٰكُمْ اَوَّلَ مَرَّةٍ وَّتَرَكْتُمْ مَّا خَوَّلْنٰكُمْ وَرَاۤءَ ظُهُوْرِكُمْۚ

Dan kamu benar-benar datang sendiri-sendiri kepada Kami sebagaimana Kami ciptakan kamu pada mulanya, dan apa yang telah Kami karuniakan kepadamu, kamu tinggalkan di belakangmu (di dunia). (al-An’am/6: 94)

(Tafsir Kemenag)


Baca juga: Ingin Dikenang Baik di Dunia dan Akhirat? Amalkan Doa Nabi Ibrahim Ini!


Tafsir Surat Al-Maidah Ayat 8: Dalil Sila Kelima Pancasila, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

0
keadilan sosial
keadilan sosial

Nilai yang terkandung pada sila kelima adalah tujuan Negara Indonesia mewujudkan suatu kesejahteraan dan keadilan sosial untuk seluruh warganya. Hal ini secara eksplisit termuat dalam Pembukaan UUD 1945, “…negara melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Negara, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Nilai yang tekandung dalam sila tersebut didasari dan dijiwai oleh sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, serta Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawatan/perwakilan dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Dalam sila kelima ada nilai-nilai yang merupakan tujuan Negara sebagai tujuan dalam hidup bersama.

Maka di sana ada nilai keadilan sosial yang terwujud dalam kehidupan bersama. Keadilan tersebut didasari oleh hakikat keadilan kemanusiaan yaitu keadilan dalam hubungan manusia dengan dirinya sendiri, keadilan manusia dengan manusia lain, manusia dengan masyarakat, bangsa dan negaranya, serta hubungan manusia dengan Tuhannya.

Baca juga: Tafsir Surat Ali Imran Ayat 103: Dalil Sila Ketiga Pancasila, Persatuan Indonesia

Agama Islam sangat memerintahkan setiap muslim untuk senantiasa berbuat adil, bahkan kepada orang yang dibencinya. Sebagaimana dahulu di zaman Nabi Saw, orang-orang mukmin meskipun sudah menaklukkan kota Makkah mereka tetap diperintahkan berbuat adil terhadap orang-orang kafir. Karena dengan keadilan kehidupan bersama bisa stabil. Sebagaimana disampaikan pada Q.S. Al-Maidah [5]: 8,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ لِلّٰهِ شُهَدَاۤءَ بِالْقِسْطِۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْا ۗاِعْدِلُوْاۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ

Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan. (Q.S. Al-Maidah [5]: 8)

Imam Fakhrudin Ar-Razi di dalam Tafsir Mafatihul Ghaib menjelaskan inti sari frasa ayat “ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا “ sebagai berikut :

فَهَذَا خِطَابٌ عَامٌّ، وَمَعْنَاهُ أَمَرَ اللَّه تَعَالَى جَمِيعَ الْخَلْقِ بِأَنْ لَا يُعَامِلُوا أَحَدًا إِلَّا عَلَى سَبِيلِ الْعَدْلِ وَالْإِنْصَافِ، وَتَرْكِ الْمَيْلِ وَالظُّلْمِ وَالِاعْتِسَافِ

Artinya: “Ayat ini merupakan khithab yang general, maknanya; Allah swt memerintahkan semua makhluknya untuk tidak berinteraksi dengan siapa pun kecuali dengan cara yang adil, dan tidak melenceng, dzalim, serta menyimpang (Imam Fakhrudin Ar-Razi, Tafsir Mafatihul Ghaib, [Kairo : Dal Al-Hadits, 2012] juz 6, hal. 168)

Baca juga: Tafsir Surat Al-Hujurat Ayat 13: Dalil Sila Kedua Pancasila

Selanjutnya beliau, menegaskan kembali dengan menjelaskan frasa ayat “اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى” seperti ini :

فَنَهَاهُمْ أَوَّلًا عَنْ أَنْ يَحْمِلَهُمُ الْبَغْضَاءُ عَلَى تَرْكِ الْعَدْلِ/ ثُمَّ اسْتَأْنَفَ فَصَرَّحَ لَهُمْ بِالْأَمْرِ بِالْعَدْلِ تَأْكِيدًا وَتَشْدِيدًا الى أن قال .. وَفِيهِ تَنْبِيهٌ عَظِيمٌ عَلَى وُجُوبِ الْعَدْلِ مَعَ الْكُفَّارِ الَّذِينَ هُمْ أَعْدَاءُ اللَّه تَعَالَى، فَمَا الظَّنُّ بِوُجُوبِهِ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ هُمْ أَوْلِيَاؤُهُ وَأَحِبَّاؤُهُ.

Artinya : ‘Kemudian, pertama Dia (Allah Swt) melarang mereka untuk menjadikan kebencian berbuat tidak adil, kemudian mulai menjelaskan perintah berbuat adil secara tegas… di sini ada peringatan secara tegas adanya kewajiban berbuat adil terhadap orang-orang kafir yang notabenenya musuh Allah Swt, lantas bagaimana kewajiban adil terhadap orang mukmin yang notabenenya kekasih Allah Swt?. (Imam Fkhrudin Ar-Razi, Tafsir Mafatihul Ghaib, [Kairo : Dal Al-Hadits, 2012] juz 6, hal. 168)

Memahami penjelasan di atas, tampak jelas bahwa Al-Quran secara tegas memerintahkan umat islam untuk berbuat adil terhadap siapapun, tanpa pandang bulu. Inti sari inilah yang menjadi pondasi kuat sila kelima. Wallahu A’lam.

Tafsir Surat Al ‘Asr Ayat 1-3

0
tafsir surat al 'asr
Tafsiralquran.id

Pada pembahasan sebelumnya telah membicarakan mengenai orang-orang yang bersikap sombong dengan membanggakan banyaknya harta, keturunan, hingga jabatan, dalam Tafsir Surat Al ‘Asr Ayat 1-3 berbicara mengenai hakikat keadaan manusia yang akan selalu merugi.

Baca sebelumnya: Tafsir Surat At Takasur Ayat 4-8

Pembahasan dalam Tafsir Surat Al ‘Asr Ayat 1-3  ini diawali sumpah dengan menggunakan objek masa/waktu. Makna dari sumpah ini ingin mengingatkan manusia agar berhati-hati dengan waktu. Apabila tidak efektif dalam menggunakan waktu untuk hal-hal positif, ia akan terjerumus dalam kerugian. Terkait dengan waktu ini, Allah swt juga ingin menunjukkan kekuasaanya dalam berbagai macam kejadian di dunia. Semisal pergatian siang dan malam.

Dalam Tafsir Surat Al ‘Asr Ayat 1-3 ini dipaparkan pula tips agar kita terhindar dari kerugian. Yaitu beriman kepada Allah swt secara sungguh-sungguh, melakukan hal-hal positif atau beramal saleh, dan terakhir adalah saling menasehati dalam kebaikan dan kebenaran.

Ayat 1

Dalam ayat ini, Allah bersumpah dengan masa yang terjadi di dalamnya bermacam-macam kejadian dan pengalaman yang menjadi bukti atas kekuasaan Allah yang mutlak, hikmah-Nya yang tinggi, dan Ilmu-Nya yang sangat luas.

Perubahan-perubahan besar yang terjadi pada masa itu sendiri, seperti pergantian siang dengan malam yang terus-menerus, habisnya umur manusia, dan sebagainya merupakan tanda keagungan Allah.

Dalam ayat lain, Allah berfirman:

وَمِنْ اٰيٰتِهِ الَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ

Dan sebagian dari tanda-tanda kebesaran-Nya ialah malam, siang, matahari, dan bulan. (Fussiilat/41: 37)

Apa yang dialami manusia dalam masa itu dari senang dan susah, miskin dan kaya, senggang dan sibuk, suka dan duka, dan lain-lain menunjukkan secara gamblang bahwa bagi alam semesta ini ada pencipta dan pengaturnya.

Dialah Tuhan yang harus disembah dan hanya kepada-Nya kita memohon untuk menolak bahaya dan menarik manfaat. Adapun orang-orang kafir menghubungkan peristiwa-peristiwa tersebut hanya kepada suatu masa saja, sehingga mereka beranggapan bahwa bila ditimpa oleh sesuatu bencana, hal itu hanya kemauan alam saja.

Baca juga: Dua Potensi Manusia yang Dijelaskan dalam Al-Quran: Tafsir Surat Asy-Syams Ayat 7 – 10

Allah menjelaskan bahwa masa (waktu) adalah salah satu makhluk-Nya dan di dalamnya terjadi bermacam-macam kejadian, kejahatan, dan kebaikan. Bila seseorang ditimpa musibah, hal itu merupakan akibat tindakannya. Masa (waktu) tidak campur tangan dengan terjadinya musibah itu.

Ayat 2

Dalam ayat ini, Allah mengungkapkan bahwa manusia sebagai makhluk Allah sungguh secara keseluruhan berada dalam kerugian bila tidak menggunakan waktu dengan baik atau dipakai untuk melakukan keburukan.

Perbuatan buruk manusia merupakan sumber kecelakaan yang menjerumuskannya ke dalam kebinasaan. Dosa seseorang terhadap Tuhannya yang memberi nikmat tidak terkira kepadanya adalah suatu pelanggaran yang tidak ada bandingannya sehingga merugikan dirinya.

Ayat 3

Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa jika manusia tidak mau hidupnya merugi, maka ia harus beriman kepada-Nya, melaksanakan ibadah sebagaimana yang diperintahkan-Nya, berbuat baik untuk dirinya sendiri, dan berusaha menimbulkan manfaat kepada orang lain.

Di samping beriman dan beramal saleh, mereka harus saling nasihat-menasihati untuk menaati kebenaran dan tetap berlaku sabar, menjauhi perbuatan maksiat yang setiap orang cenderung kepadanya, karena dorongan hawa nafsunya.

Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Humzah Ayat 1-8

(Tafsir Kemenag)