Beranda blog Halaman 446

Surat Ibrahim Ayat 34: Menghitung Nikmat Allah dan Rasa Iri Melihat Orang Lain

0
menghitung nikmat Allah
Menghitung nikmat Allah

Artikel ini akan mengulas penggalan ayat yang cukup populer di kalangan masyarakat. Tentu kita pernah dengan adagium “jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak mampu menghitungnya. Ya, potongan ayat ini terdapat dalam Surat Ibrahim [14] Ayat 34. Allah Swt berfirman:

وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ

“…Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan ‎mampu menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan ‎sangat mengingkari (nikmat Allah).” (Q.S. Ibrahim: 34)‎

Disadari atau tidak, manusia sering merasa iri melihat kehidupan orang ‎lain yang lebih baik darinya. Ketika melihat orang yang lebih kaya, lebih pintar, ‎lebih dihormati, lebih sukses darinya, tidak jarang muncul keinginan dalam diri ‎seseorang untuk bisa seperti mereka, atau bahkan bisa melebihi mereka.‎

Baca Juga: Kisah Qarun Dalam Al-Quran: Orang Paling Kaya Pada Zaman Nabi Musa

Sebetulnya, keinginan tersebut sangat wajar dan manusiawi. Karena ‎pada hakekatnya, setiap orang tentu mendamba kehidupan yang lebih baik ‎dari waktu ke waktu. Jika rasa iri tersebut dalam arti positif, yaitu bertujuan ‎memotivasi diri untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya, dengan ‎meningkatkan etos kerja, mengembangkan diri dengan bekal pengetahuan ‎dan keterampilan, maka hal itu sah-sah saja.‎

Persoalannya adalah, jika rasa iri itu dalam arti negatif, yaitu ‎memunculkan rasa tidak suka kepada orang lain. Sehingga apa pun yang ‎berkaitan dengan orang lain, berupa harta, ilmu, jabatan serta kehormatan ‎yang dia miliki menjadi alasan seseorang untuk membencinya.

Lebih buruk ‎lagi, karena rasa benci kepada seseorang, maka dengan berbagai cara orang ‎yang iri itu berusaha untuk dapat menjatuhkannya. Membuat usahanya ‎bangkrut, misalnya, memfitnahnya, atau bahkan yang paling sadis ‎membunuhnya. Semua dilakukan karena kebenciannya kepada seseorang, ‎yang notabene, dalam pandangannya lebih segala-galanya dari dirinya.‎

Inilah kondisi umum yang terjadi pada diri seseorang yang tidak ‎pandai bersyukur. Dia selalu melihat orang lain lebih baik serta lebih sukses ‎darinya. Dia selalu melihat rumput tetangga lebih hijau.‎

Padahal, kalau dia sadari, dalam dirinya sungguh banyak nikmat, ‎anugerah serta potensi yang Allah berikan dan harus disyukuri. Nikmat hidup, ‎nikmat sehat, nikmat kesempatan serta nikmat-nikmat lainnya adalah ‎anugerah serta modal luar biasa yang Allah berikan. Tinggal bagaimana ‎seseorang menggunakannya.‎

Dalam masyarakat Jawa ada istilah sawang-sinawang, yaitu ‎kecenderungan seseorang yang melihat kehidupan orang lain lebih baik, lebih ‎menyenangkan darinya. Padahal, belum tentu orang yang dia anggap ‎menyenangkan kehidupannya, dalam kenyataannya juga seperti itu.

Bisa jadi ‎kehidupan orang yang memandang orang lain lebih baik, jutru lebih baik dan ‎lebih menyenangkan daripada kehidupan orang yang dilihatnya. Begitulah ‎kehidupan manusia. Selalu saja ada perasaan kurang dalam dirinya. ‎

Maka, untuk bisa menikmati dan mensyukuri kehidupan ini, tidak lain ‎adalah dengan cara melihat ke dalam diri kita sendiri, bukan melihat ke luar ‎‎(baca: orang lain). Kita lihat apa yang kita miliki, bukan apa yang kita ‎inginkan. Bukan pula melihat apa yang orang lain miliki.‎

Lihat ke dalam, bukan ke luar. Lihat apa yang ada dalam diri kita. ‎Bukan apa yang ada di luar kita. Karena yang kita miliki adalah sebuah ‎anugerah yang luar biasa dari Allah Swt. Sementara yang di luar sana belum ‎tentu baik bagi kita.‎

Baca Juga: Amalan Untuk Mengatasi Krisis Kepercayaan Diri dalam Al-Quran

Allah sangat tahu betul kapasitas serta kemampuan kita. Allah tidak ‎akan memberikan ‘sesuatu’ kepada seseorang yang menurut padangan-Nya, ‎orang tersebut belum siap untuk mendapatkannya. ‘Sesuatu’ itu akan Allah ‎berikan kepada orang yang tepat, di saat yang tepat dan dengan cara yang ‎tepat.

Inilah konsep kelayakan menurut Allah. Jika seseorang dianggap layak ‎oleh Allah untuk mendapatkan ‘sesuatu’, maka Allah pun akan memberikan ‎kepadanya. Tetapi jika orang tersebut tidak atau belum layak untuk ‎mendapatkannya, maka Allah pun tidak akan memberikan kepadanya.‎

Dengan memahami konsep kelayakan ini, maka tidak akan ada ‎perasaan kecewa dalam diri kita, ketika apa yang kita harapkan belum menjadi ‎kenyataan. ‎

Alih-alih mengeluh dan menyesali keadaan, karena keinginan memiliki ‎‎‘sesuatu’ di luar yang kita miliki belum terwujud, menikmati dan ‎memaksimalkan sesuatu yang kita miliki jauh lebih baik dan lebih bermakna ‎bagi kehidupan kita.

Dengan cara ini, kita sudah menunjukkan rasa syukur ‎kita kepada Allah Swt. Maka, kita tinggal berharap, sesuai janji Allah di atas, ‎bahwa siapa yang bersyukur atas nikmat-Nya, pasti Allah akan menambah ‎nikmat kepadanya.‎ Wallahu A’lam.

Tafsir Surat Al-Waqiah Ayat 1-6: Hari Kiamat itu Pasti, Inilah Visualisasinya

0
Surat Al-Waqiqh ayat 1-6
Surat Al-Waqiqh ayat 1-6

Pembuka surat ini diawali dengan pembahasan tentang penegasan tentang adanya hari kiamat dan gambarannya. Mengikuti klasifikasi at-Thabari, bahasan pertama surat ini terdiri dari enam ayat, yaitu ayat 1-6. Berikut penjelasan tafsir surat Al-Waqiah ayat 1-6

إِذَا وَقَعَتِ الْوَاقِعَةُ (1) لَيْسَ لِوَقْعَتِهَا كَاذِبَةٌ (2) خَافِضَةٌ رَافِعَةٌ (3) إِذَا رُجَّتِ الْأَرْضُ رَجًّا (4) وَبُسَّتِ الْجِبَالُ بَسًّا (5) فَكَانَتْ هَبَاءً مُنْبَثًّا (6

“Apabila terjadi hari Kiamat (1) terjadinya tidak dapat didustakan (disangkal). (2) (Kejadian itu) merendahkan (satu golongan) dan meninggikan (golongan yang lain). (3) Apabila bumi diguncangkan sedahsyat-dahsyatnya, (4) dan gunung-gunung dihancur luluhkan sehancur-hancurnya, (5) maka jadilah ia debu yang beterbangan, (6)”

Tafsir surat Al-Waqiah ayat 1-6 setidaknya mengandung dua poin, konfirmasi kepastian terjadinya hari kiamat dan visualisasi tentangnya. Surat Al-Waqiah bukan satu-satunya surat yang mengabarkan tentang kiamat, surat Al-Qiamah, surat Al-Qariah, surat At-Taghabun, surat Al-Haqqah, surat Al-Ghasyiyah dan surat Al-Zalzalah juga berbicara tentang hal yang sama. Selain itu, juga masih ada banyak ayat perihal kiamat yang tersebar dalam surat yang lain.

Baca Juga: Kenali Kandungan Surat Al-Waqiah dan Beberapa Keutamaannya

Semua surat dan ayat itu mengandung konfirmasi kepastian akan datangnya hari akhir. Penegasan dari Allah yang berulang-ulang ini tidak lain karena pengingkaran terhadapnya juga banyak dan terus terjadi mulai dari dulu hingga sekarang. Hal ini dapat dilihat misalnya pada Surat Al-Isra’ [17] ayat 49, Al-An’am [6] ayat 29, Al-Ankabut [29]: 23 dan ayat semacamnya.

Percaya kepada hari akhir pun menjadi salah satu rukun iman yang paling sering disandingkan dengan rukun iman yang pertama, yaitu iman kepada Allah. Petunjuk ini bisa dilihat antara lain dalam ayat Al-Quran atau hadis dengan redaksi man amana billahi wal yaumil akhiri atau man kana yu’min billahi wal yaumil akhiri atau redaksi lain yang hampir sama. Berdasar pada kode ini tidak berlebihan jika mengatakan bahwa orang yang beriman kepada Allah mestinya juga beriman kepada hari akhir, sedang yang tidak percaya pada hari akhir, berarti ia tidak percaya kepada Allah.

Sedang untuk redaksi ‘Al-Waqiah’ sendiri, At-Thabari dan Ibnu Asyur mengatakan bahwa nama itu adalah satu dari beberapa nama hari kiamat yang ada dalam Al-Quran, seperti ath-thammah, as-shakhkhah dan al-azifah. Kali ini menggunakan nama Al-Waqiah karena untuk menunjukkan hal yang sedang berlangsung. Degan kata lain, apabila kiamat itu sudah tiba, maka tidak ada kesempatan sedetikpun untuk mendustakan dan lari darinya.

Baca Juga: Mengulik Makna Kiamat dalam Al-Quran

Kapan hari kiamat itu tiba?

Seandainya kita tahu waktu hari kiamat tiba, hari, tanggal dan jam nya mungkin kita bisa mempersiapkannya jauh-jauh hari, sehingga kita dapat merencanakan untuk menyelamatkan diri, menghindar dari kehancuran. Tapi sayangnya, tidak ada satu pun ayat Al-Quran beserta tafsirnya yang menginformasikan perihal jadwal kiamat, termasuk tafsir surat Al-Waqiah ayat 1-6, bahkan seorang Nabi Muhammad saw juga tidak mengetahuinya. Sebagaimana direkam dalam Surat Al-Ahzab [33] ayat 63,

يَسْـَٔلُكَ النَّاسُ عَنِ السَّاعَةِۗ قُلْ اِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ اللّٰهِ ۗوَمَا يُدْرِيْكَ لَعَلَّ السَّاعَةَ تَكُوْنُ قَرِيْبًا

“Manusia bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari Kiamat. Katakanlah, “Ilmu tentang hari Kiamat itu hanya di sisi Allah.” Dan tahukah engkau, boleh jadi hari Kiamat itu sudah dekat waktunya”.

Tidak ada bocoran tentang jadwal pasti hari kiamat, namun di akhir ayat Allah menyelipkan catatan ‘boleh jadi kiamat sudah dekat’. Ini clue yang diberikan Allah tentang waktu kiamat. Selain itu, jika untuk tujuan maksimalisasi persiapan, bukankah Allah sudah berulang kali mengingatkan tentang kepastian tibanya hari kiamat, bahkan lengkap dengan visualisasinya.

Seakan tidak tega kepada umatnya karena banyak yang penasaran tentang waktu kiamat, maka Nabi Muhammad saw dalam suatu hadisnya menjelaskan hanya tentang tanda-tandanya. Salah satunya adalah hadis riwayat Umar bin Khattab dalam Shahih Muslim. Tanda-tanda kiamat dalam hadis tersebut yaitu saat ibu atau orang tua menjadi budak anaknya sendiri, dan ketika orang-orang miskin berlomba-lomba mendirikan bangunan megah.

Kemurahan hati Nabi Muhammad saw ini menjadi pedoman tentang waktu hari kiamat tiba. Selain tanda-tandanya, hal yang lebih realistis terkait dengan informasi tentang hari kiamat dalam Al-Quran adalah visualisasinya, seperti yang tertulis di ayat 3-6.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 8-11: Penyesalan Orang yang Ingkar di Hari Kiamat

Visualisasi hari kiamat

Visualisasi hari kiamat dalam tafsir surat Al-Waqiah ayat 1-6 dimulai dari ayat ketiga, ‘(hari kiamat itu) meninggikan dan merendahkan’. Beragam istilah yang digunakan oleh para mufasir dalam menafsirkan dua kata yang berlawanan ini meski pada intinya sama. Syekh Nawawi dalam Marah Labid mengatakan pada hari kiamat, Allah akan merendahkan orang kafir di neraka dan disiksa. Di saat yang sama meninggikan orang beriman di surga dengan kenikmatannya. Penafsiran yang sama disampaikan oleh Ar-Razi dan At-Thabari.

Dua keadaan yang berlawanan ini menandakan kebalikan dari keadaan yang terjadi di dunia, ia yang merasa tinggi di dunia karena atribut keduniawiannya, di akhirat akan menjadi rendah. Sementara ia yang merendah di dunia, di hari kiamat kelak akan ditinggikan kedudukannya. Demikian kurang lebih penjelasan Al-Qurthubi dan Ibnu Asyur.

Menurut Abu Hayyan Al-Andalusi dalam Al-Bahr Al-Muhit, perbuatan seseorang di dunia akan mempengaruhi kedudukannya pada hari kiamat kelak. Ia yang buruk amalnya akan direndahkan dengan masuk ke neraka, sedang yang amalnya baik makan akan ditinggikan dengan masuk ke surga.

Pada ayat berikutnya, terjadinya hari kiamat diperlihatkan dengan peristiwa bumi berguncang dengan dahsyat dan gunung meletus dengan sangat dahsyat pula. Bumi berguncang dengan mengeluarkan segala kandungan yang ada di dalamnya (surat Al-Zalzalah ayat 2), gunung pun demikian, letusannya yang dahsyat sehingga terlihat seperti bulu yang berhamburan (surat Al-Qariah ayat 5).

Sementara gambaran untuk keadaan manusia, di ayat ke empat surat Al-Qariah disampaikan betapa manusia pada saat itu berhamburan, kebingungan. Setiap orang bingung mencari perlindungan sendiri-sendiri, tidak peduli dan tidak ingat lagi terhadap saudaranya, ibunya, ayahnya, istri tercintanya, suaminya, anak yang disayanginya dan temannya (surat Abasa ayat 34-36).

Gambaran di atas sebenarnya sudah sangat akrab dalam kehidupan kita. Jika masih kurang jelas, coba putar ingatan kita kembali pada Desember 2004 silam ketika terjadi gempa dan tsunami Aceh, gempa Jogja tahun 2006, gempa Lombok 2018, gempa dan tsunami Palu September 2018, meletusnya gunung kelud tahun 2014 dan seterusnya. Berapa banyak korban jiwa dan kerusakan sebab bencana ini.

Peristiwa-peristiwa tersebut masih tidak ada apa-apanya dibanding dengan hari kiamat nanti, akan tetapi tidak ada salahnya jika kita mengambil pelajaran dari bencana alam yang sudah sering terjadi di depan kita. Bukankah itu juga pelajaran dan peringatan dari Allah? Jika dengan menghadirkan Kembali kejadian tersebut membuat kita sadar akan datang dan dahsyatnya hari kiamat, mengapa enggan kita lakukan? Wallahu A’lam

Mengenal 55 Nama Al-Quran Beserta Alasan Penamaannya (3)

0
Nama Al-Quran-Al-Adl
Nama Al-Quran-Al-Adl

Tulisan ini merupakan seri terakhir dari pembahasan tentang 55 nama Al-Quran serta alasan penamaan tersebut dalam kitab Al-Itqan fi Ulum Al-Quran.

  1. ‘Adl

Al-Qur’an juga dikenal dengan nama “al-’Adl” karena semua keputusan yang tercantum dalam Al-Qur’an adalah pasti adil. Sebagaimana dalam Q.S. al-An’am [6] ayat 115:

وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَّعَدْلًاۗ

Dan telah sempurna firman Tuhanmu (Al-Qur’an) dengan benar dan adil

  1. Amr

Dinamakan “al-Amr” karena dalam Al-Qur’an terdapat perintah-perintah Allah yang harus dilaksanakan oleh umat Islam. Nama ini berdasar pada Q.S. al-Thalaq [65] ayat 5:

ذٰلِكَ اَمْرُ اللّٰهِ اَنْزَلَهٗٓ اِلَيْكُمْۗ

Itulah perintah Allah yang diturunkan-Nya kepada kamu

Baca Juga: Mengenal 55 Nama Al-Quran Beserta Alasan Penamaanya (1)

  1. Munadiy

Al-Qur’an memiliki nama “al-Munadiy”. Alasan penamaan ini karena ia menyerukan kepada umat manusia agar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebagaimana dalam Q.S. Ali ‘Imran [3] ayat 193:

رَبَّنَآ اِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُّنَادِيْ لِلْاِيْمَانِ

Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar orang yang menyeru kepada iman

  1. Busyra

Dinamakan “al-Busyra”, karena dalam Al-Qur’an terdapat kabar gembira bagi orang-orang yang beriman. Sebagaimana dalam Q.S. al-Naml [27] ayat 2:

هُدًى وَّبُشْرٰى لِلْمُؤْمِنِيْنَ ۙ – ٢

Petunjuk dan berita gembira bagi orang-orang yang beriman

  1. Majid

Al-Qur’an dinamakan dengan nama “al-Majid” karena sifat kemuliaan yang dimiliki Al-Qur’an. Sebagaiamana disebutkan dalam Q.S. al-Buruj [85] ayat 21:

بَلْ هُوَ قُرْاٰنٌ مَّجِيْدٌۙ – ٢١

Bahkan (yang didustakan itu) ialah Al-Qur’an yang mulia

  1. Zabur

Nabi Muhammad juga pernah menamakan kitab Zabur dengan Al-Qur’an, sebagaimana dalam sabdanya: Khuffifa ‘ala Dawud al-Qur’an (telah diperingan pada Nabi Dawud Al-Qur’an), tetapi tidak dijelaskan alas an penamaan tersebut. Nama ini dapat ditemukan dalam Q.S. al-Anbiya’ [21] ayat 105:

وَلَقَدْ كَتَبْنَا فِى الزَّبُوْرِ

Dan sungguh, telah Kami tulis di dalam Zabur

  1. Basyir

 Al-Qur’an dinamakan “al-Basyir” karena Al-Qur’an membawa berita kembira kepada orang-orang yang beriman berupa surga. Sebagaimana dalam Q.S. Fussilat [41] ayat 3-4:

كِتٰبٌ فُصِّلَتْ اٰيٰتُهٗ قُرْاٰنًا عَرَبِيًّا لِّقَوْمٍ يَّعْلَمُوْنَۙ – ٣  بَشِيْرًا وَّنَذِيْرًاۚ

Kitab yang ayat-ayatnya dijelaskan, bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui, yang membawa berita gembira dan peringatan

Baca juga: Mengenal 55 Nama Al-Quran Beserta Alasan Penamaannya (2)

  1. Nadzir

Disebut juga dengan nama “al-Nadzir”, karena Al-Qur’an juga menjelaskan tentang peringatan-peringatan terkait neraka supaya umat Islam menghindarinya. Sebagaimana telah disebutkan dalam kutipan ayat pada nama Al-Qur’an sebelumnya.

  1. ‘Aziz

Alasan penamaan “al-’Aziz” karena Al-Qur’an selalu menang atas orang-orang yang menentang dan mengingkari akan kebenaran Al-Qur’an. Sebagaimana dalam Q.S. Fussilat [41] ayat 41:

اِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِالذِّكْرِ لَمَّا جَاۤءَهُمْ ۗوَاِنَّهٗ لَكِتٰبٌ عَزِيْزٌ ۙ – ٤١

Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari Al-Qur’an ketika (Al-Qur’an) itu disampaikan kepada mereka (mereka itu pasti akan celaka), dan sesungguhnya (Al-Qur’an) itu adalah Kitab yang mulia

  1. Balagh

Al-Qur’an juga dikenal dengan nama “al-Balagh”, alasan penamaan tersebut dalam Al-Qur’an disampaikan kepada umat manusia terkait perintah-perintah yang harus dijalani, serta juga disampaikan perihal larangan-larangan yang harus dihindari. Sebagaimana dalam Q.S. Ibrahim [14] ayat 52:

هٰذَا بَلٰغٌ لِّلنَّاسِ

Dan (Al-Qur’an) ini adalah penjelasan (yang sempurna) bagi manusia

  1. Qashash

Al-Qur’an juga disebut dengan nama “al-Qashash” karena di dalamnya diceritakan tentang kisah-kisah umat terdahulu supaya bisa diambil pelajaran (ibrah) dari kisah tersebut. Sebagaimana dalam Q.S. Yusuf [12] ayat 3:

نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ اَحْسَنَ الْقَصَصِ

Kami menceritakan kepadamu (Muhammad) kisah yang paling baik

Baca Juga: Penjelasan Tentang Nama Al-Quran: al-Quran, al-Furqan, dan al-Tanzil

  1. Shuhuf

Dinamakan “Shuhuf” karena Al-Qur’an terkumpul dan tertulis dalam beberapa lembaran (Shahifah). Sebagaimana dalam Q.S. ‘Abasa [80] ayat 13:

فِيْ صُحُفٍ مُّكَرَّمَةٍۙ – ١٣

di dalam kitab-kitab yang dimuliakan (di sisi Allah)

  1. Mukarramah

Ibnu Jarir al-Thabari mengatakan bahwa makna penamaan Al-Qur’an dengan kata “al-Mukarramah” adalah karena di dalamnya terkandung kumpulan ilmu dan hikmah. Sehingga menjadikanya sebagai kitab yang mulia. Sebagaimana telah disebutkan dalam kutipan ayat pada nama Al-Qur’an sebelumnya.

  1. Marfu’ah

Dinamakan dengan nama “al-Marfu’ah” dikarenakan Al-Qur’an berasal dari tingkatan alam tertinggi (al-’alam al-’ulwiy) yaitu langit ke tujuh. Sebagaimana dalam Q.S. ‘Abasa [80] ayat 14:

مَّرْفُوْعَةٍ مُّطَهَّرَةٍ ۢ ۙ – ١٤

yang ditinggikan (dan) disucikan

  1. Muthahharah

Al-Qur’an memiliki nama “al-Muthahharah” karena ia merupakan kitab yang suci dari penentangan dan penghinaan orang-orang kafir. Ibnu ‘Asyur dalam tafsirnya mengatakan bahwa suci dalam hal ini adalah bentuk majaz dari kemuliaan (syaraf). Sebagaimana telah disebutkan dalam kutipan ayat pada nama Al-Qur’an sebelumnya.

  1. Wa’id

Alasan penamaan “al-Wa’id”, karena di dalam Al-Qur’an disebutkan terkait ancaman dan peringatan bagi umat manusia. Sebagaimana dalam Q.S. Ibrahim [14] ayat 14:

وَلَنُسْكِنَنَّكُمُ الْاَرْضَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ ۗذٰلِكَ لِمَنْ خَافَ مَقَامِيْ وَخَافَ وَعِيْدِ – ١٤

Dan Kami pasti akan menempatkan kamu di negeri-negeri itu setelah mereka. Yang demikian itu (adalah untuk) orang-orang yang takut (menghadap) ke hadirat-Ku dan takut akan ancaman-Ku

Selain 55 nama tersebut, ternyata Al-Qur’an masih memiliki banyak nama lainya. Syaikh Adam Bemba dalam karyanya yang berjudul Asma’ al-Qur’an al-Karim, menyebutkan delapan nama baru Al-Qur’an, yaitu Syahid, Shirat Allah, Fariq, Qaul Thayyib, Kitab Maknun, Kalimah Thayyibah, Mishbah Munir, dan Wa’id. Bahkan, ada juga ulama yang berpendapat bahwa Al-Qur’an memiliki 90 nama (al-Harraliy), 100 nama (al-Nasafiy), dan 100 nama (Fairuzzabadi). Wallahu A’lam

Utsman Thaha: Penulis Mushaf Al-Qur’an yang Karyanya Dibaca Muslim Seantero Dunia

0
Utsman Thaha: Penulis Mushaf Al-Qur’an
Utsman Thaha: Penulis Mushaf Al-Qur’an

Sebelum mengenal Utsman Thaha, nampaknya kita terlebih dahulu mengenal karya goresannya. Ya, mushaf Madinah adalah salah satu karyanya yang disebar luas dan dibaca oleh Muslim dunia. Karena sering menjadi cinderamata khas orang pulang haji atau umrah, tak heran jika mushaf ini pun mudah ditemukan di Indonesia.

Mushaf yang bercover hijau ini sangat istimewa, karena penulisnya merupakan tokoh muslim yang berpengaruh. Pada tahun 2019 lalu, Utsman Thaha masuk dalam The 500 Most Influential Muslims, sebuah pengharagaan bergengsi atas dedikasinya menulis kaligrafi dan mushaf.

Pada tahun ini nama Utsman Thaha menjadi perbincangan lagi, tepatnya pada bulan Agustus lalu. Arab News.com melaporkan bahwa ia diduga terjangkit Covid-19, ia pun dirawat di salah satu rumah sakit Saudi, namun akhirnya ia pun dinyatakan negatif. Dari kabar ini, beberapa media internasional pun akhirnya menuliskan kembali profil sang maestro khat ini.

Baca juga: Mushaf Sultan Ternate; Pernah Dianggap Tertua di Nusantara dengan Dua Kolofon Berbeda

Sekarang, Utsman Thaha telah mencapai usia 86 tahun. Tentu di balik usia yang tidak lagi muda ini, ia telah memberikan karya yang luar biasa untuk umat Muslim dunia. Utsman Thaha memiliki nama lengkap Utsman bin Abduh bin Husain bin Thaha Alkurdi. Ia berasal dari Aleppo Suriah, dan merupakan putra dari seorang imam dan ahli khat ternama di daerahnya. Semula ia mempelajarai dasar-dasar khat dari sang ayah yang memang piawai dalam khat riq’ah.

Setelah belajar dasar khat, Utsman Thaha melanjutkan pelajaran khatnya kepada para pakar di kota. Guru-gurunya yaitu Muhammad Ali Al Maulawi, Muhammad Al Khathib, Husain Husni At Turki, Al Khatthath Syaikh Abdul Jawwad, dan Prof. Ibrahim Ar Rifa’i. Kemudian ia kuliah di Universitas Damaskus dan memiliki berkesempatan lebih mendalami khat dengan para master kaligrafi. Di antaranya yaitu dengan Prof. Muhammad Badawi Ad Dirani, seorang ahli khath Syam, Prof. Hasyim Muhammad Al Baghdadi, seorang ahli khath dari Irak, dan pada tahun 1973 ia mendapatkan ijazah dari guru besar ilmu khat dunia, Syaikh Hamid Al-Amidi Turki.

Sebelum mendapatkan ijazah, Utsman Thaha telah menulis mushaf Al-Qur’an pertama kali untuk Kementerian Wakaf Suriah pada tahun 1970. Namun setelah mendapatkan ijazah dari Syaikh Hamid Al-Amidi, karier kaligrafinya semakin moncer. Pada tahun 1988 ia mulai didaulat sebagai salah satu juri lomba kaligrafi internasional. Di tahun yang sama, ia pun mendapatkan kepercayaan untuk menjadi penulis kaligrafi di penerbitan Al-Qur’an Kompleks Raja Fahd. Sejak itu pun ia mulai tinggal di Madinah.

Kompleks Raja Fahd ini memang mengerjakan megaproyek dalam penerbitan Al-Qur’an. Melalui kesempatan inilah goresan tangan Utsman Thaha dikenal muslim sejagad raya. Dalam hal ini, Kyai Afifuddin Dimyati (Gus Awis) dengan artikel Utsman Thaha; Sang Maestro Khat Al-Qur’an mencatat beberapa karakteristik penulisan mushaf Madinah. Gus Awis menyebut ada empat karakter yang mudah diingat oleh para pembacanya.

Pertama, mushaf Madinah menghindari gaya penulisan huruf bertumpuk, sehingga semua kalangan tidak menemukan kerumitan. Kedua, mushaf ini menghindari variasi huruf-huruf yang rancu, misalnya huruf ra yang ujungnya melengkung. Maka mushaf ini terlihat sederhana namun rapi dan indah. Ketiga, huruf yang dituliskan diberikan ruang yang agak lebar, agar tidak terlalu rapat dan penulisan huruf pun jelas. Keempat, mushaf ini memiliki standar baris yakni 15 baris. Sehingga tiap juznya pun rapi 20 halaman, kecuali juz 30 yang mencapai 23 halaman.

Demikianlah mushaf Madinah karya Utsman Thaha. Di balik itu, terdapat hal yang menarik saat ia mengerjakan karyanya.

Baca juga: Sering Merasa Takut? Baca Ayat Ini Untuk Menangkal Gangguan Jin

Teladan saat Utsman Thaha Menulis Mushaf

Dilansir dari Arab News.com, Utsman Thaha memang konsisten menggores ayat-ayat Al-Qur’an. Meskipun sudah belasan mushaf yang ditulisnya dengan berbagai qiraat seperti Imam Warsy, Hafs, Ad-Duri, dan Qalun, namun ia tetap merasakan getaran yang berbeda saat menggores ayat-ayat Al-Qur’an.  Terlebih ayat itu tentang surga dan neraka.

“I wish the verses about Jannah (heaven) would never end, and my hand trembles when I write the verses about Jahannam (hell).”

“Saya berharap ayat tentang surge takkan pernah ada habisnya, dan tangan saya gemetar saat menulis ayat tentang neraka,” ujarnya.

Ini menandakan bahwa dalam proses penulisan mushaf, ia juga menyelam memahami apa yang ditulisnya. Ia pun terus konsisten hingga kini hasil goresannya tak hanya dinikmati dalam bentuk mushaf cetak, melainkan juga digital. Bahkan, gaya goresannya turut dijadikan standar font internasional.  Dari dedikasinya yang tinggi hingga 40 tahun lebih ia lalui, memang layak diganjar dengan penghargaan yang berarti.

Wallahu a’lam[]

Kisah Nabi Yahya dalam Al-Quran: Dapat Hikmah dan Maksum Sejak Kecil

0
Kisah Nabi Yahya dalam Al-Quran
Kisah Nabi Yahya dalam Al-Quran

Nabi Yahya adalah nabi sekaligus rasul yang diutus untuk kaum Bani Israil. Ia merupakan nabi kaum Bani Israil sebelum Nabi Isa. Ia anak dari Nabi Zakariya yang diutus di tanah Palestina. Kisah Nabi Yahya tersebut 5 kali dalam Al-Quran, yaitu pada Surat Ali Imran (3): 39; Maryam (19): 7, 12-15; dan Surat Al-Anbiya’ (21): 89-90.

Kelahiran Nabi Yahya

Nabi Yahya adalah putra dari Nabi Zakariya. Ia meneruskan perjuangan ayahnya dalam mengemban risalah dari Allah sebagaimana dengan apa yang didoakan oleh Nabi Zakariya. Permintaan Nabi Zakariya ini dilatarbelakangi karena kemandulan istrinya seperti yang diutarakan Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim yang ia kutip dari hadis riwayat Ibnu Abbas. Buya Hamka dalam Tafsir al-Azhar juga turut memberikan pendapat bahwa ketika itu Nabi Zakariya juga sudah sangat tua, usianya diperkirakan sekitar 90 tahun lebih.

Sebagaimana fitrah manusia yang menginginkan keturunan, Nabi Zakariya pun ingin memiliki keturunan. Di samping itu juga agar nantinya ada dari keturunannya yang melanjutkan perjuangannya. Lantas ia pun berdoa kepada Allah agar dikaruniai seorang anak sebagaimana difirmankan Allah dalam Surat Al-Anbiya’ ayat 89.

Dalam lanjutan Surat Al-Anbiya’ ayat 90, yang berisi salah satu fragmen kisah Nabi Yahya, Allah mengabulkan doa Nabi Zakariya tersebut dengan menganugerahkan seorang saleh yang bernama Yahya. Ibnu Katsir mengungkapkan bahwa Nabi Zakariya memang seorang yang khusyuk, hanya menggantungkan segala harapan kepada Allah, dan selalu bersegera dalam mengerjakan amal saleh hingga ia dipuji Allah sebagaimana yang tercantum dalam Surat Al-Anbiya ayat 90.

Baca juga: Kisah Kelahiran Nabi Ishaq dalam Al-Quran

Kemudian dalam Surat Ali Imran ayat 39, Allah juga menceritakan bahwa Ia mengutus malaikat untuk mengunjungi Nabi Zakariya yang sedang shalat di mihrab. Malaikat itu membawa kabar gembira bahwa Nabi Zakariya akan dikaruniai seorang anak bernama Yahya. Nama Yahya menurut Buya Hamka berasal dari bahasa Ibrani “Yohanes” yang diarabkan. Nama tersebut belum pernah dipakai oleh seorang pun sebelum Nabi Yahya.

Tak lama kemudian, janji Allah pun menjadi kenyataan, istri Nabi Zakariya mengandung. Kemudian lahirlah seorang putra bernama Yahya. Putra yang bernama Yahya ini Allah janjikan sebagai orang membenarkan kalimat-kalimat Allah, menjadi seorang pemimpin yang terpelihara, dan menjadi seorang nabi yang saleh seperti yang termaktub dalam Surat Ali Imran ayat 39. Diangkatnya Yahya menjadi seorang nabi dan rasul oleh Allah ini sekaligus menjadi jawaban bagi doa yang senantiasa dipanjatkan Nabi Zakariya. Nabi Yahya pun kelak melanjutkan risalah yang diemban ayahnya.

Baca juga: Doa Al-Quran: Doa Agar Memiliki Keturunan dari Nabi Zakaria

Diberikan hikmah dan dimaksumkan sejak kecil

Ketika putra yang bernama Yahya tersebut lahir, sifat-sifat istimewa yang Allah janjikan pun hadir. Yahya kecil telah dikaruniai beberapa keistimewaan tersendiri oleh Allah seperti yang diceritakan dalam rangkaian Surat Maryam ayat 12 – 15.

يَا يَحْيَى خُذِ الْكِتَابَ بِقُوَّةٍ وَآَتَيْنَاهُ الْحُكْمَ صَبِيًّا . وَحَنَانًا مِنْ لَدُنَّا وَزَكَاةً وَكَانَ تَقِيًّا . وَبَرًّا بِوَالِدَيْهِ وَلَمْ يَكُنْ جَبَّارًا عَصِيًّا . وَسَلَامٌ عَلَيْهِ وْمَ وُلِدَ وَيَوْمَ يَمُوتُ وَيَوْمَ يُبْعَثُ حَيًّا

“Wahai Yahya! Ambillah (pelajarilah) Kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh.” Dan Kami berikan hikmah kepadanya (Yahya) selagi dia masih kanak-kanak, dan (Kami jadikan) rasa kasih sayang (kepada sesama) dari Kami dan bersih (dari dosa). Dan dia pun seorang yang bertakwa, dan sangat berbakti kepada kedua orang tuanya, dan dia bukan orang yang sombong (bukan pula) orang yang durhaka. Dan kesejahteraan bagi dirinya pada hari lahirnya, pada hari wafatnya, dan pada hari dia dibangkitkan hidup kembali.”

Menurut penjelasan Buya Hamka dalam Tafsir al-Azhar, hikmah yang diberikan Allah kepada Nabi Yahya kecil adalah berupa wahyu dan diangkatnya menjadi rasul sejak usia belia. Nabi Yahya juga seorang yang sejak kecil dihilangkan nafsu-nafsu duniawinya seperti tidak mau bermain-main layaknya anak-anak kecil seusianya. Menurut hadis riwayat Ma’mar ketika dirinya yang masih belia tersebut diajak main oleh teman sebayanya, ia menjawab “aku tidak diciptakan Allah untuk bermain-main saja”. Buya Hamka juga menuturkan bahwa Nabi Yahya juga tidak terpengaruh kepada perempuan yang elok rupawan.

Baca juga: Kisah Nabi Musa dan Doa-Doa yang Dipanjatkannya dalam Surat al-Qashash

Mufassir Ibnu Asyur dalam kitab tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir berpendapat berbeda mengenai hikmah Nabi Yahya ini. Menurutnya, hikmah tersebut adalah seruan Allah kepada Nabi Yahya agar berpeang teguh kepada Taurat sepanjang hidupnya dan mendakwahkan kepada kaumnya untuk mengikuti ajaran Taurat.

Dalam Ruh al-Ma’ani, al-Alusi sependapat dengan Ibnu Asyur mengenai hikmah Nabi yahya tersebut. al-Alusi juga menambahkan penjelasan yang ia kutip dari hadis riwayat Ibnu Abbas bahwa Nabi Yahya diberikan kefahaman kitab Taurat sejak usia 7 tahun dan ditumbuhkan oleh Allah semangat beribadah sejak usia kecil.

Nabi Yahya selain diberikan kecerdasan dan hikmah untuk mengerti kitab Taurat sejak kecil, ia juga dimaksumkan Allah sejak lahir. Menurut pengertian, maksum adalah terjaganya seorang hamba dari perbuatan dosa dan maksiat. Menurut al-Baidhawi dalam Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Takwil, Nabi Yahya adalah seorang yang semenjak lahir terjaga dari setan, terjaga dari azab ketika di alam kubur, serta terjaga dari kebangkitan kiamat serta azab neraka.

Kemaksuman Nabi Yahya ini juga disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim yang dikutip dari hadis riwayat Ibnu Abbas. Dalam hadis tersebut Rasulullah bersabda “tidak ada seorang pun dari anak Adam melainkan pernah berbuat dosa atau berniat melakukan suatu dosa, selain Yahya ibnu Zakaria. Dan tidaklah layak bagi seseorang mengatakan bahwa diriku lebih baik daripada Yunus ibnu Mata” (HR Ahmad). Wallahu a’lam[]

Sering Merasa Takut? Baca Ayat Ini Untuk Menangkal Gangguan Jin

0
Menangkal Gangguan Jin
Menangkal Gangguan Jin

Allah swt adalah zat yang Maha Menciptakan. Dia menciptakan berbagai macam makhluk termasuk manusia. Jin adalah salah satu jenis makhluk ciptaan Allah yang memiliki sifat fisik tertentu, berbeda dengan jenis manusia atau malaikat. Terkadang, keberadaan jin memang bisa mengganggu para manusia. Oleh karenanya, manusia harus meminta pertolongan Allah swt untuk menangkal gangguan jin.

Jin diciptakan dari bahan dasar api sebagaimana yang telah Allah swt firmankan, “Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar, dan Dia menciptakan jin dari nyala api tanpa asap.” (QS. Ar-Rahman: 14-15). Dikatakan bahwa jin memilki sifat iri, dengki dan pembangkang. Misalnya, Iblis yang menentang perintah Allah swt untuk sujud kepada nabi Adam karena merasa lebih sempurna dibanding manusia yang terbuat dari tanah sedang dia dari api.

Menurut sebagian ulama, jin dapat mengganggu manusia baik secara fisik maupun non-fisik. Maksud dari secara fisik adalah gangguan Jin yang dapat menyebabkan penyakit. Misalnya, seperti orang yang mengeluhkan sakit dan divonis oleh dokter memiliki sakit TBC. Namun ketika diperiksa laboratorium, tidak menunjukkan adanya gejala TBC atau penyakit apapun. Sedangkan pada saat bersamaan ia merasakan sakit tersebut.

Baca Juga: Ketahui Ayat-Ayat Favorit Santri Bekal Rohani dari Para Kyai

Sedangkan gangguan jin yang bersifat psikis biasanya akan menimbulkan beberapa rasa cemas, was-was, takut, gelisah, merasa tidak nyaman pada diri seseorang. Hatinya selalu merasa gelisah, kalut, bingung terhadap dirinya padahal menurut dokter ia sama sekali tidak memiliki gejala penyakit jiwa apapun. Titik klimaks gangguan jin adalah depresi berat yang jika tidak ditangani dengan baik dapat menyebabkan kegilaan.

Disamping itu, gangguan jin juga bisa menyebabkan keimanan seseorang memudar, karena saat diganggu oleh jin ia mungkin merasa bahwa jin tersebut memiliki kekuatan yang dapat menguasainya. Akhirnya, ia meyakini bahwa jin memiliki kekuatan dan patut diagungkan serta melupakan bahwa Allah adalah satu-satunya yang dapat memberi manfaat dan mudarat. Dalam konteks ini, ia harus mendekatkan diri kepada Allah swt agar dapat menangkal gangguan jin.

Baca Ayat Ini Untuk Menangkal Gangguan Jin

Salah satu cara mendekatkan diri kepada Allah dalam rangka menangkal gangguan jin adalah dengan membaca Al-Qur’an. Sebab Al-Qur’an adalah sarana termudah yang dapat diakses manusia untuk menstimulasi rasa kedekatan seseorang terhadap Tuhan. Ketika membaca Al-Qur’an dengan penuh keyakinan dan kekhusukan seseorang akan mampu merasakan Dzat Maha Agung yang telah mewahyukan bait-bait suci tersebut.

Imam al-Ghazali menyebutkan dalam kitab adz-Dzahabul Ibris bahwa ayat Al-Qur’an dapat digunakan sebagai sarana untuk menangkal gangguan jin dan sejenisnya. Ayat yang dapat dibaca menurut pendapat beliau adalah surah at-Taubah [9] ayat 128-129 dan surah ar-Rahman [55] ayat 33 yang masing-masing berbunyi:

لَقَدْ جَاۤءَكُمْ رَسُوْلٌ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ عَزِيْزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيْصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِيْنَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ ١٢٨ فَاِنْ تَوَلَّوْا فَقُلْ حَسْبِيَ اللّٰهُ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَ ۗ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ ࣖ ١٢٩

Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, (dia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman. Maka jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah (Muhammad), “Cukuplah Allah bagiku; tidak ada tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal, dan Dia adalah Tuhan yang memiliki ‘Arsy (singgasana) yang agung. (QS. At-Taubah [9]: 128-129)

يٰمَعْشَرَ الْجِنِّ وَالْاِنْسِ اِنِ اسْتَطَعْتُمْ اَنْ تَنْفُذُوْا مِنْ اَقْطَارِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ فَانْفُذُوْاۗ لَا تَنْفُذُوْنَ اِلَّا بِسُلْطٰنٍۚ ٣٣

“Wahai golongan jin dan manusia! Jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka tembuslah. Kamu tidak akan mampu menembusnya kecuali dengan kekuatan (dari Allah).” (QS. Ar-Rahman [55]: 33).

Amalan membaca surah at-Taubah [9] ayat 128-129 dan surah ar-Rahman [55] ayat 33 imam al-Ghazali sandarkan pada sebuah riwayat imam Nafi’ dari Ibnu ‘Umar ra, ia berkata: “Pada suatu hari saya duduk bertamu ke rumah ‘Aisyah ra, tiba-tiba ada seorang anak kecil yang kerasukan jin dibawa ke hadapannya. Maka ‘Aisyah ra membacakan kepada anak itu – tanpa aku dengar – surah at-Taubah [9] ayat 128-129 dan surah ar-Rahman [55] ayat 33.”

“Berkat izin Allah swt, maka anak tersebut sembuh. Aku pun (Ibnu Umar) bertanya pada beliau, “Wahai Ummul Mukminin, apakah yang engkau bacakan untuk anak itu?” Beliau menjawab, Aku bacakan untuknya – surah at-Taubah [9] ayat 128-129 dan surah ar-Rahman [55] ayat 33. Allah mengizinkan kalian ataukah kalian melawan padanya.”

Baca Juga: Tafsir Surat Al-A’raf Ayat 16-17: Kisah Iblis Mengganggu Manusia

Berdasarkan penjelasan di atas, pada suatu waktu bisa saja jin mengganggu manusia karena alasan tertentu, baik dengan tujuan positif maupun negatif. Seseorang dapat menangkal gangguan jin tersebut, ia dapat membaca surah at-Taubah [9] ayat 128-129 dan surah ar-Rahman [55] ayat 33 dengan penuh keyakinan bahwa Allahlah yang akan membantunya menangkal gangguan jin. Wallahu a’lam.

Mengenal Empat Waqaf dalam Membaca Al-Quran

0
waqaf dalam al-quran
waqaf dalam al-quran

Waqaf adalah salah satu pembahasan dalam ilmu tajwid yang harus diketahui oleh qari’ Al-Quran karena mempunyai peranan penting untuk menjaga keselamatan makna ayat. Sebagaimana perkataan al-Anbari : “salah satu kesempuraan dalam mengetahui Al-Quran adalah dengan mengetahui waqaf dan ibtida’, seseorang tidak akan mengerti makna Al-Quran kecuali mengetahui jeda-jeda pembacaannya.

Kata waqaf secara bahasa berarti memberi atau mewakafkan, diam, berdiri, dan berhenti. Sedangkan kata waqaf secara istilah menurut Abdul Qadir Mansur adalah menghentikan suara kalimat Al-Quran secara sementara, biasanya dengan mengambil nafas untuk berniat melanjutkan bacaanya lagi.

Definisi senada juga dikemukakan oleh Muhammad Shadiq Qamhawi. Menurutnya, waqaf adalah memutuskan suara dari kalimat untuk bernafas sementara dengan berniat untuk melanjutkan bacaannya lagi, tidak untuk mengakhirinya. Lain halnya dengan al-Jazari yang mendefinisikan waqaf dalam dua makna yaitu tempat-tempat berhenti dan cara menghentikan bacaan.

Selanjutnya, ketika membahas tentang waqaf maka tidak bisa terlepas dari Ibtida’. Keduanya merupakan ilmu yang saling berkaitan. Mengapa demikian? Karena ketika seseorang berhenti (waqaf) dalam suatu bacaan maka secara otomatis orang tersebut akan memulai (ibtida’) bacaannya kembali.

Kata Ibtida’ secara bahasa berarti memulai sesuatu. Sedangkan kata Ibtida’ secara istilah menurut Husni Syaikh ‘Usman adalah memulai bacaan sesudah memutuskan atau menghentikannya. Pengertian yang senada juga dikemukakan oleh M. Basori Alwi. Menurutnya, Ibtida’ adalah memulai bacaan sesudah waqaf dan hanya boleh dilakukan pada perkataan yang tidak merusak arti susunan kalimat.

Sederhananya, waqaf dan ibtida’ adalah salah satu ilmu yang mempelajari tentang bagaimana caranya berhenti dan memulai yang sesuai ketika sedang membaca Al-Quran.

Baca juga: Hukum Bacaan Tarqiq dan Tafkhim dalam Ilmu Tajwid

Empat Waqaf dalam Membaca Al-Quran

Secara umum, menurut Muhammad Ahmad Ma’bad dan Muhammad Isom Muflih waqaf ketika membaca Al-Quran dapat dibagi menjadi empat macam. Berikut penjelasannya:

Pertama, waqaf idtirari (terpaksa) adalah bacaan waqaf yang dilakukan oleh qari karena terpaksa tanpa keinginannya, seperti kehabisan nafas, bersin, batuk, lupa dan lain sebagainya. Qari boleh berhenti pada bacaan manapun namun wajib memulai lagi dari bacaan dimana ia berhenti, jika memulai disitu dibenarkan (tidak merusak makna kalimat).

Misalnya dalam Q.S al-Baqarah [2]: 5

اُولٰۤىِٕكَ عَلٰى هُدًى مِّنْ رَّبِّهِمْ ۙ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

Merekalah yang mendapat petunjuk dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 5)

Ketika qari berhenti pada kata “هُدًى” maka memulainya dari kata “عَلَى هُدًى” karena jika memulainya dari kata “هُدًى” atau kata setelahnya maka dapat merusak makna.

Kedua, waqaf intidzari (menunggu) adalah bacaan waqaf yang dilakukan ketika seorang qari mengumpulkan beberapa qiraat yang berbeda riwayat dalam satu kalimat. Hal tersebut bertujuan untuk melancarkan qira’at-qira’at yang lain. Namun, qari harus memilih satu qira’at saja ketika hendak melanjutkan bacaannya.

Misalnya dalam Q.S Ali Imran[3]: 80

وَلَا يَأْمُرَكُمْ اَنْ تَتَّخِذُوا الْمَلٰۤىِٕكَةَ وَالنَّبِيّٖنَ اَرْبَابًا ۗ اَيَأْمُرُكُمْ بِالْكُفْرِ بَعْدَ اِذْ اَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ ࣖ

dan tidak (mungkin pula baginya) menyuruh kamu menjadikan para malaikat dan para nabi sebagai Tuhan. Apakah (patut) dia menyuruh kamu menjadi kafir setelah kamu menjadi Muslim? (Q.S. Ali Imran [3]: 80)

Ketika qari berhenti pada kata يَأْمُرَكُمْ kemudian mengulanginya lagi karena selain dengan memfathahkan huruf ra, kata يَأْمُرَكُمْ dapat juga dibaca dengan mendhamahkan huruf ra menjadi يَأْمُرُكُمْ maka waqaf seperti ini diperbolehkan dalam proses belajar bagi orang-orang yang mengkaji qira’at.

Baca juga: Pengertian dan Pembagian Hukum Mad serta Contohnya dalam Al-Quran

Ketiga, waqaf ikhtibari (memberi kabar/keterangan) adalah bacaan waqaf yang dilakukan oleh qari dengan bertujuan untuk menguji, memperbaiki bacaan, dan mengajarkan tentang tata cara waqaf dalam suatu kalimat.

Misalnya dalam Q.S al-Maidah[5]: 27

وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَاَ ابْنَيْ اٰدَمَ بِالْحَقِّۘ اِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ اَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْاٰخَرِۗ قَالَ لَاَقْتُلَنَّكَ ۗ قَالَ اِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللّٰهُ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ

Dan ceritakanlah (Muhammad) yang sebenarnya kepada mereka tentang kisah kedua putra Adam, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka (kurban) salah seorang dari mereka berdua (Habil) diterima dan dari yang lain (Qabil) tidak diterima. Dia (Qabil) berkata, “Sungguh, aku pasti membunuhmu!” Dia (Habil) berkata, “Sesungguhnya Allah hanya menerima (amal) dari orang yang bertakwa.” (Q.S. Al-Maidah [5]: 27)

Qari berhenti pada kata ابْنَيْ yang sebenarnya tidak diperbolehkan, kecuali untuk kepentingan pengajaran. Jika terpaksa harus waqaf maka seharusnya dibaca dengan tambahan ن pada ujung lafadznya menjadi ابْنَيْنْ. Namun jika dibaca bersambung dengan kata sesudahnya maka membacanya sebagaimana yang tertulis dalam mushaf.

Keempat, waqaf ikhtiyari (memilih) adalah bacaan waqaf yang dilakukan oleh qari karena pilihan dan kehendaknya sendiri tanpa disebabkan oleh sebab-sebab sebelumnya, seperti karena alasan idtirari (terpaksa), intidzari (menunggu), maupun ikhtibari (member kabar/keterangan).

Menurut Ad-Dani dan M. Basori Alwi, waqaf ikhtiyari dapat dibagi lagi menjadi empat macam, yaitu waqaf tamm, waqaf kafi, waqaf hasan dan waqaf qabih. Berikut penjelasannya :

Pertama, waqaf tamm (sempurna) adalah berhenti pada perkataan yang sempurna susunan kalimatnya, baik lafadz maupun maknanya tidak berkaitan dengan kalimat sesudahnya. Adapun tanda waqaf yang dapat dijadikan sebagai pedoman waqaf tamm adalah tanda waqaf lazim (م), tanda waqaf mutlaq (ط), dan tanda waqaf al-waqfu aula (قلى).

Pada umumnya terdapat di akhir ayat, misalnya pada Q.S al-Fatihah [1]: 4, terkadang sebelum akhir ayat, misalnya pada Q.S an-Naml [27]: 34, terkadang di pertengahan ayat, misalnya pada Q.S al-Furqan[25]: 29, dan terkadang di akhir ayat tambah sedikit seperti pada Q.S ash-Shaffat [37]: 137-138.

Kedua, waqaf kafi (cukup) adalah berhenti pada perkataan yang sempurna kalimatnya, tetapi masih berkaitan makna dengan kalimat sesudahnya, tidak berkaitan lafadznya. Adapun tanda waqaf yang dapat dijadikan sebagai pedoman waqaf kafi adalah tanda waqaf jaiz (ج).

Misalnya pada kata لا يُؤْمِنُونَ dalam Q.S al-Baqarah [2]: 6-7 mempunyai arti mereka tidak akan beriman, kemudian pada kata sesudahnya yaitu خَتَمَ اللَّهُ mempunyai arti Allah telah mengunci. Kedua ayat tersebut masih berkaitan maknanya yaitu penyebab mereka tidak akan beriman adalah karena hati, pendengaran, dan penglihatan mereka sudah dikunci oleh Allah.

Ketiga, waqaf hasan (baik) adalah berhenti pada perkataan yang sempurna susunan kalimatnya, tetapi masih berkaitan makna dan lafadznya dengan kalimat sesudahnya. Adapun tanda waqaf yang dapat dijadikan sebagai pedoman waqaf hasan adalah tanda waqaf al-washlu aula (صلى) dan waqaf murakhas (ص).

Misalnya dalam Q.S al-Fatihah[1]: 2-3, qari berhenti pada kata رَبِّ الْعَالَمِينَ kemudian memulai pada kata الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ karena kata sesudahnya masih berkaitan dengan sifatnya Allah.

Keempat, waqaf qabih (buruk) adalah berhenti pada perkataan yang tidak sempurna susunan kalimatnya, karena berkaitan dengan lafadz dan makna perkataan atau kalimat sesudahnya. Adapun tanda waqaf yang dapat dijadikan sebagai pedoman waqaf qabih adalah tanda waqaf adamul waqf (لا).

Misalnya dalam Q.S al-Fatihah [1]: 2, qari berhenti pada kata الْحَمْدُ dari kata الْحَمْدُ لِلَّهِ. Kedua kata tersebut merupakan susunan mubtada dan khobar. Karenanya, qari tidak boleh berhenti dengan sengaja pada waqaf ini, kecuali karena darurat, seperti kehabisan nafas, bersin dan sebagainya. Demikian juga tidak boleh ibtida’ pada kata sesudah waqaf ini.

Pada akhirnya, pembagian waqaf antara satu dengan yang lainnya dapat dikatakan sama sekaligus berbeda. Persamaannya terletak pada tujuan waqaf yaitu untuk menjaga keselamatan makna suatu ayat, sedangkan perbedaannya terletak pada kesempurnaan waqaf dari segi bahasa dan tafsirnya. Wallahu A’lam.

Mengkaji Slogan Kembali Kepada Al-Quran dan Al-Hadits

0
Kembali kepada Al-Quran
Kembali kepada Al-Quran dan Hadits

Menjamurnya penceramah yang bersemangat mengkampanyekan slogan kembali kepada al-Quran dan al-Hadits/al-Sunnah kepada kaum awam membawa dampak sangat buruk dalam praktek kehidupan beragama di tengah masyarakat. Semangat dan kesadaran beragama terlihat semakin naik, namun pemahaman dan pengamalan agama yang benar-benar dilandasi ilmu demikian bermasalah. Ada deviasi antara apa yang seharusnya dengan kenyataan yang sebenarnya.

Di tengah kehidupan beragama masyarakat yang plural masih sering kita saksikan kekerasan atas nama agama bermunculan silih berganti. Caci maki, fitnah, hujatan, ujaran kebencian, pemaksaan kehendak, merasa benar sendiri, saling cakar berebut benar, sikap intoleran terhadap perbedaan identitas, ceramah dengan wajah penuh amarah, berkata kotor, provokasi agar memusuhi dan melawan pemerintahan yang sah, berusaha mengganti NKRI dengan sistem khilafah islamiyah, menganggap Pancasila, UUD 1945, dan semua aturan buatan manusia adalah “thaghut“, pengkafiran terhadap sesama muslim, memusuhi dan memerangi non muslim, menghalalkan darah sesama manusia, hingga terorisme adalah sederet masalah krusial yang menjadi hal biasa yang kita saksikan sehari-hari. Semua yang dilarang oleh ajaran Islam itu justru semakin subur di tengah kemunculan semangat beragama. Jelas semangat beragama yang melahirkan sikap keras demikian itu tidak dilandasi ilmu dan bimbingan yang benar dari ulama dalam artian yang sesungguhnya.

Kalangan awam muslim jelas tidak akan mampu untuk mengaplikasikan slogan kembali kepada al-Quran dan al-Hadits. Mereka yang awam dalam beragama itu bisa “mabuk agama” karena keliru mengutip sendiri dalil-dalil dari al-Qur’an dan terjemahnya serta al-Hadits. Mereka itu ibarat pasien yang tidak memiliki pengetahuan tentang obat dari penyakitnya, namun diberi kelonggaran dan kebebasan untuk mengambil sendiri obatnya di gudang obat tanpa petunjuk dokter atau boleh meracik sendiri obatnya tanpa konsultasi kepada ahlinya. Akibatnya penyakit yang dideritanya tidak segera sembuh karena salah mengkonsumsi obat, over dosis, atau keracunan obat dan akibat buruk lainnya.

Baca Juga: Tinjauan Tafsir terhadap Jihad, Perang dan Teror dalam Al-Quran

Demikian halnya, penceramah agama yang sering mempropagandakan slogan kembali kepada al-Quran dan al-Hadits di hadapan kaum muslim awam itu dapat diibaratkan sebagai orang tua yang menyuapkan makanan keras yang perlu dikunyah kepada bayi yang belum tumbuh gigi. Sungguh daya rusaknya luar biasa.

Dakwah demikian itu pada hakikatnya justru menjauhkan kaum muslim awam dari cahaya kebenaran Islam. Oleh sebab itu, beragama tidak cukup bermodal semangat membara saja, melainkan amat perlu mengikuti bimbingan dari para ulama yang sesungguhnya dan didasarkan pada ilmu yang secukupnya.

Saya tidak akan mengutip satu pun ayat al-Quran untuk saya tafsirkan, karena untuk menafsirkannya tidaklah mudah, menafsirkannya berdasarkan pendapat sendiri tanpa ilmu (al-ra’yu al-madzmum) diancam akan dijebloskan ke dalam neraka, sedang untuk mencari contoh ayatnya langsung dari kitab-kitab tafsir al-Qur’an saya tidak cukup waktu. Mungkin contoh yang tepat berupa ayat al-Qur’an terkait jihad yang oleh para teroris muslim dijadikan dalih wajibnya jihad dalam arti qital (perang) pada masa damai dan di tempat/negara yang damai.

Oleh sebab itu, sebagai ilustrasi di bawah ini cukup saya kutipkan sebuah hadits (sabda Nabi Muhammad saw.) yang sering dijadikan sebagai dalil bagi muslim radikalis terkait kewajiban untuk memerangi keseluruhan manusia lain hingga mereka berucap, “tiada tuhan selain Allah….,” alias semua orang wajib beragama Islam.

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengatakan, “Tidak ada tuhan selain Allah.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Dapat dibayangkan jika ada kaum muslim awam yang terobsesi ingin kembali kepada al-Quran dan al-Hadits, lalu membaca terjemahan dan menafsirkan hadits di atas, kemudian mengambil simpulan, bahwa berarti saya–seperti halnya Nabi Muhammad saw. sebagai teladan–diperintahkan untuk memerangi semua orang demi tercapainya tujuan ini, yakni sebagai dalil kewajiban mendeklarasikan perang untuk memaksa semua orang agar membaca dua kalimat syahadat atau memeluk Islam.

Kesimpulan penafsiran sedemikian itu terhadap hadits tersebut menjadi jelas keliru karena salah tafsir, bertentangan dengan nash (teks suci al-Qur’an dan al-Hadits) dan al-Ijma’ (konsensus para Ulama), serta mustahil menurut akal sehat bila semua orang diperangi dan amat mustahil semua orang diwajibkan dengan paksa untuk memeluk Islam.

Padahal yang dimaksud dengan “manusia” yang disebut secara umum dalam hadits di atas berdasarkan al-Ijma’ (konsensus Ulama) adalah kaum Musyrik Arab, sehingga tidak mencakup/mengecualikan Ahlul-kitab (Yahudi dan Nasrani) dan juga Majusi karena mereka berperilaku seperti Ahlul-kitab.

Kaum Musyrik Arab pada saat itu, sesuai konteks historis hadits di atas, yang lebih dahulu memerangi Rasulullah saw. dan kaum muslim, sehingga diperintahkan oleh Allah untuk memerangi mereka karena kejahatan mereka yang melampaui batas dan bukan diperangi sebab kekafiran mereka.

Baca Juga: Viral Slogan Kembali Kepada Al Quran dan As Sunnah, Benarkah?

Slogan “kembali kepada al-Quran dan al-Hadits” terbukti memicu kekerasan atas nama agama dalam kehidupan bersama sebagai bangsa yang satu, Bangsa Indonesia, karena boleh jadi akan semakin banyak kalangan muslim awam yang menemukan terjemah ayat-ayat al-Qur’an tentang jihad dalam makna perang yang kemudian diamalkan pada masa damai dan di negara yang damai (dar al-salam), yakni Indonesia.

Praktek beragama yang benar akan membawa kita semua menjadi manusia yang lebih beradab, lebih bisa saling menghargai satu sama lain, hidup lebih tenang, tidak membawa kegaduhan, dan tidak pula membahayakan kemanusiaan. Wallahu A’lam.

Tafsir Surat Ar-Rahman Ayat 5 – 9: Tiga Nikmat yang Tampak di Langit dan Bumi

0
Nikmat yang tampak di muka bumi
Surat Ar-Rahman 5 - 9: Nikmat yang tampak di muka bumi

Surat Ar-Rahman pada ayat 1-4 menyampaikan sifat Ar-Rahman (Maha Pengasih) Allah Swt kepada manusia berupa sesuatu yang paling bersentuhan dengannya, yaitu Al-Quran dan tercipta sebagai makhluk sempurna, yakni manusia. Selanjutnya, surat ini akan menjelaskan nikmat yang ada di Bumi dan langit, yang tidak hanya dinikmati oleh manusia namun dinikmati pula oleh makhluk yang lain, seperti hewan dan tumbuhan.

Apa nikmat tersebut? Yaitu terciptanya matahari dan bulan, serta tumbuhan. Allah swt berfirman:

اَلشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍۙ وَّالنَّجْمُ وَالشَّجَرُ يَسْجُدَانِ

Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan, dan tetumbuhan dan pepohonan, keduanya tunduk (kepada-Nya). (Q.S. Ar-Rahman [55]: 5-6)

Syekh Ahmad As-Showi menafsiri ayat kelima seperti ini,

والمعنى : أن الشمس والقمر يجريان في بروجهما ومنازلهما بمقدار واحد لا يتعديانه لمنافع العباد على حسب الفصول والشهور القمرية والقبطية من مبدإ الدنيا لمنتهاها

Artinya : ‘Maksudnya : bahwa matahari dan bulan bergerak pada porosnya dengan satu sistem, yang tidak akan diterobos, untuk kebaikkan manusia, sesuai dengan perputaran musim dan bulan qomariyyah, mulai  dari terciptanya dunia sampai kiyamat.’

Baca juga: Tafsir Surat Ar-Rahman Ayat 1-4: Inilah Dua Kenikmatan Besar Pada Manusia

Pada penjelasan ayat seterusnya, Syekh As-Showi menjelaskan maksud النَّجْمُ dan الشَّجَرُ  :

(ما لا ساق له ) وهو المفروش على الأرض كالقثاء والبطيخ وغيرهما . …(ما له ساق ) أي وهو المرتفع كالنخل والنبق ونحوهما …(يخضعان ) اي ينقادان لما يراد منهما طوعا

Artinya: (Tumbuhan yang tidak ada batangnya) yaitu tumbuhan yang merambat di tanah seperti pohon timun, semangka dsb. (Tumbuhan yang ada batangnya) yaitu tumbuhan yang menjulang ke atas seperti pohon kurma, bidara dsb. (Keduanya tunduk) yakni kedua jenis tumbuhan tersebut mengikuti yang dikendaki (oleh Allah Swt).’ (Syekh As-Showi, Hasyiyah Showi ‘ala Tafsir Jalalain. [Beirut: Dar Al-Fikr, 2014] juz 4, hal. 126)

Imam Fakhrudin Ar-Razi menjelaskan kenikmatan yang tampak di langit adalah adanya matahari dan bulan yang berputar secara teratur. Kedua benda langit tersebut sangat bermanfaat bagi kehidupan di bumi, baik manusia, maupun hewan dan tumbuhan. Karena tanpa matahari dan bulan niscaya kehidupan di bumi akan kacau.

Adapun kenikmatan yang tampak di bumi adalah tumbuh-tumbuhan yang sangat beragam, baik yang merambat maupun menjulang tinggi ke atas. Karena tanpa tumbuhan niscaya manusia dan hewan akan mampu bertahan hidup di bumi ini. (Imam Ar-Razi, Tafsir Kabir, [Kairo : Dar Al-Hadits,2012] juz 15, hal. 90)

Setelah Allah Swt menyampaikan kenikmatan yang ada di langit dan bumi, selanjutnya Dia memperingatkan umat manusia pada ayat seterusnya,

وَالسَّمَاۤءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيْزَانَۙ اَلَّا تَطْغَوْا فِى الْمِيْزَانِ وَاَقِيْمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيْزَانَ

Dan langit telah ditinggikan-Nya dan Dia ciptakan keseimbangan, agar kamu jangan merusak keseimbangan itu, dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi keseimbangan itu. (Q.S. Ar-Rahman [55]: 7-9)

Baca juga: Tafsir Surat Ar-Rahman Ayat 17: Peredaran Bumi, Bulan, dan Matahari serta Empat Musim dan Iklim Bumi

Syekh Wahbah Az-Zuhailiy membuat konklusi dari ketiga ayat ini, yaitu kenikmatan yang lain adalah diciptakannya langit tinggi diatas bumi dan menjadikannya penyeimbang alam semesta, menciptakan mizan (alat timbangan) untuk dijadikan barometer keadilan dalam transaksi di dunia ini, dan perintah tegas menegakkan keadilan. (Syekh Wahbah Az-Zuhailiy, Tafsir Munir, [Beirut: Dar Al-Fikr, 2018], juz 14, hal. 215)

Imam Fakhrudin Ar-Razi menggarisbawahi pada tiga ayat ini ada lafadz yang sama, yaitu الْمِيزَانَ tapi memiliki makna yang berbeda. Lafadz pertama bermakna alat timbangan, kedua bermakna ukuran timbangan, dan ketiga adalah sesuatu yang ditimbang.

Walhasil, Surat Ar-Rahman ayat 5-9 ini menyampaikan ada tiga kenikmatan besar yang diberikan oleh Allah Swt kepada makhluknya, khususnya manusia, dan yang paling berkewajiban menjaganya tentu juga manusia. Serta diperintahkan untuk menjaga keseimbangan alam ini, dan menegakkan keadilan. Wallahu A’lam.

Mengenal 55 Nama Al-Quran Beserta Alasan Penamaannya (2)

0
sumber pengambilan nama Al-Quran
sumber pengambilan nama Al-Quran

Banyaknya nama Al-Quran yang kita kenal tidak lain berasal dari petunjuk Al-Quran itu sendiri. Berikut ini lanjutan dari 55 nama Al-Quran yang dicatat oleh As-Suyuthi dalam Al-Itqan fi Ulum Al-Quran, lengkap dengan alasan dan sumber pengambilan nama tersebut.

  1. Qayyim

Al-Qur’an dinamakan “al-Qayyim” karena ia membimbing orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus. Sumber pengambilan nama tersebut dari Q.S. al-Kahfi [18] ayat 2:

قَيِّمًا لِّيُنْذِرَ بَأْسًا شَدِيْدًا

“Sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan akan siksa yang sangat pedih

  1. Qaul

Dikatakan dengan nama “al-Qaul” karena Al-Qur’an benar-benar berasal dari firman Tuhan. Sebagaimana dalam Q.S. al-Thariq [86] ayat 13:

اِنَّهٗ لَقَوْلٌ فَصْلٌۙ – ١٣

Sungguh, (Al-Qur’an) itu benar-benar firman pemisah (antara yang hak dan yang batil)

Baca Juga: Mengenal 55 Nama Al-Quran Beserta Alasan Penamaanya (1)

  1. Fashl

Nama Al-Quran yang satu ini, “al-Fashl” karena Al-Qur’an memisahkan antara yang hak (benar) dan yang batil. Sebagaimana telah disebutkan dalam kutipan ayat pada nama Al-Qur’an sebelumnya.

  1. Naba’ ‘Adhim

Al-Qur’an juga dinamakan dengan “al-Naba’ al-’Adhim”, karena adanya berita-berita besar tentang hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan pasca kematian. Sumber pengambilan nama ini yaitu Q.S. al-Naba’ [78] ayat 2:

عَنِ النَّبَاِ الْعَظِيْمِۙ – ٢

Tentang berita yang besar (hari kebangkitan)

  1. Ahsan al-Hadits

Dinamakan dengan nama “Ahsan al-Hadits” karena Al-Qur’an merupakan sebaik-baik perkataan dan ucapan. Nama Al-Quran tersebut berdasar pada Q.S. al-Zumar [39] ayat 23:

اَللّٰهُ نَزَّلَ اَحْسَنَ الْحَدِيْثِ كِتٰبًا مُّتَشَابِهًا مَّثَانِيَۙ

Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur’an yang serupa (ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang”

  1. Mutasyabih

 Al-Qur’an juga dinamakan dengan “al-Mutasyabih”, karena adanya kemiripan atau keserupaan dari sebagian ayat dengan ayat lainya dalam hal kebaikan (keindahan) dan kebenaran. Sebagaimana telah disebutkan dalam kutipan ayat pada nama Al-Qur’an sebelumnya.

  1. Matsani

Penyematan nama “al-Matsani” terhadap Al-Qur’an dikarenakan di dalamnya diuraikan terkait kisah-kisah umat terdahulu. Sehingga terjadi proses pengulangan akan cerita dan nasihat dari kisah-kisah terdahulu. Sebagaimana disebutkan dalam Q.S. al-Zumar [39] ayat 23.

  1. Tanzil

 Dinamakan dengan nama “al-Tanzil” karena Al-Qur’an merupakan wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara berangsur-angsur melalui perantara malaikat Jibril. Sumber pengambilan nama At-Tanzil kali ini adalah Q.S. asy-Syu’ara [26] ayat 192:

وَاِنَّهٗ لَتَنْزِيْلُ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ ۗ – ١٩٢

Dan sungguh, (Al-Qur’an) ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan seluruh alam

  1. Ruh

Al-Qur’an dinamakan dengan istilah “al-Ruh” dikarenakan Al-Qur’an dapat menghidupkan hati dan jiwa seorang manusia. Sebagaimana dalam Q.S. asy-Syura [42] ayat 52:

وَكَذٰلِكَ اَوْحَيْنَآ اِلَيْكَ رُوْحًا مِّنْ اَمْرِنَا

Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) ruh (Al-Qur’an) dengan perintah Kami

Baca Juga: Penjelasan Tentang Nama Al-Quran: Az-Zikr dan Al-Kitab

  1. Wahy

Dinamakan dengan “al-Wahy” karena Al-Qur’an merupakan kumpulan wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui perantara malaikat Jibril. Nama Al-Quran yang ini tertulis dalam Q.S. al-Anbiya’ [21] ayat 45:

قُلْ اِنَّمَآ اُنْذِرُكُمْ بِالْوَحْيِۖ

“Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya aku hanya memberimu peringatan sesuai dengan wahyu

  1. ‘Arabiy

Penamaan Al-Quran dengan nama “al-’Arabiy”, disebabkan Al-Qur’an menggunakan media perantara bahasa Arab dalam menyampaikan pesan-pesan ilahi. Q.S. Yusuf [12] ayat 28 menunjukkan adanya nama Al-Quran yang ini:

قُرْاٰنًا عَرَبِيًّا غَيْرَ ذِيْ عِوَجٍ لَّعَلَّهُمْ يَتَّقُوْنَ – ٢٨

(Yaitu) Al-Qur’an dalam bahasa Arab, tidak ada kebengkokan (di dalamnya) agar mereka bertakwa

  1. Basha’ir

Al-Qur’an dinamakan dengan “al-Basha’ir” karena ia menjadi bukti nyata akan keberadaan Tuhan dan kebenaran risalah kenabian. Sebagaimana dalam Q.S. al-A’raf [7] ayat 203:

هٰذَا بَصَاۤىِٕرُ مِنْ رَّبِّكُمْ

ini adalah bukti-bukti yang nyata dari Tuhanmu

  1. Bayan

Penamaan “al-Bayan” terhadap Al-Qur’an dikarenakan di dalamnya berisi penjelasan dan keterangan yang lengkap bagi umat manusia. Sebagaimana dalam Q.S. Ali ‘Imran [3] ayat 138:

هٰذَا بَيَانٌ لِّلنَّاسِ

Inilah (Al-Qur’an) suatu keterangan yang jelas untuk semua manusia

Baca Juga: Penjelasan Tentang Nama Al-Quran: al-Quran, al-Furqan, dan al-Tanzil

  1. ‘Ilm

Dinamakan dengan sebutan “al-’Ilm” karena Al-Qur’an menjadi sumber ilmu dalam Islam. Sumber pengambilan nama tersebut adalah Q.S. al-Baqarah [2] ayat 145:

مِّنْۢ بَعْدِ مَاجَاۤءَكَ مِنَ الْعِلْمِ

setelah sampai ilmu kepadamu

  1. Haqq

Dikatakan sebagai “al-Haqq” karena semua ajaran Al-Qur’an mengandung kebenaran. Sebagaimana dalam Q.S. Ali ‘Imran [3] ayat 62:

اِنَّ هٰذَا لَهُوَ الْقَصَصُ الْحَقُّ

Sungguh, ini adalah kisah yang benar

  1. Hady

Dinamakan dengan nama “al-Hady”, karena Al-Qur’an memberikan petunjuk dan hidayah kepada umat manusia. Sebagaimana dalam Q.S. al-Isra’ [17] ayat 9:

اِنَّ هٰذَا الْقُرْاٰنَ يَهْدِيْ

Sungguh, Al-Qur’an ini memberi petunjuk

  1. ‘Ajab

Al-Qur’an disebut juga dengan nama “al-’Ajab”, dikarenakan keindahan susunan kata Al-Qur’an sehingga ia menjadi sebuah bacaan yang menakjubkan. Sebagaimana dalam Q.S. al-Jinn [72] ayat 1:

قُرْاٰنًا عَجَبًاۙ – ١

Bacaan yang menakjubkan (Al-Qur’an)

  1. Tadzkirah

 Dinamakan dengan nama “al-Tadzkirah” dikarenakan Al-Qur’an merupakan sumber pelajaran bagi mereka yang ingin bertakwa. Sebagaimana dalam Q.S. al-Haqqah [69] ayat 48:

وَاِنَّهٗ لَتَذْكِرَةٌ لِّلْمُتَّقِيْنَ – ٤٨

Dan sungguh, (Al-Qur’an) itu pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa

  1. al-’Urwah al-Wutsqa

Al-Qur’an disebut dengan nama “al-’Urwah al-Wutsqa” karena ia bagaikan tali yang sangat kuat, dan barangsiapa yang berpegang pada tali tersebut maka ia akan selamat. Sebagaimana dalam Q.S. al-Baqarah [2] ayat 256:

اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقٰى لَا انْفِصَامَ لَهَا

“dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus”

  1. Shidq

Dinamakan “al-Shidq” karena semua isi dari Al-Qur’an adalah ajaran kebenaran. Sebagaimana dalam Q.S. al-Zumar [39] ayat 33:

وَالَّذِيْ جَاۤءَ بِالصِّدْقِ وَصَدَّقَ بِهٖٓ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُتَّقُوْنَ – ٣٣

Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan orang yang membenarkannya, mereka itulah orang yang bertakwa

Masih banyak nama Al-Quran yang lain yang dicatat oleh ulama pengkaji Al-Quran. Ini adalah salah satu bukti bahwa ilmu Al-Quran itu luas sekali, tidak akan pernah habis untuk dikaji. Wallahu A’lam