Beranda blog Halaman 445

Tafsir Surat al-Mulk Ayat 19: Hikmah di Balik Penciptaan Seekor Burung

0
Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 28-30
Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 28-30

Terbukti, bahwa banyak ayat al-quran yang memotivasi kita untuk bertafakur. Tepatnya sebuah ayat, yakni surat al-mulk ayat 19, Allah mengajak akal kita berpetualang menafakuri keistimewaan burung. Ketika kita sedang hilang kendali, merasa putus asa dan lainnya, lihatlah ada makhluk kecil Allah yang terus berjuang terutama dalam hal pemenuhan hajat dan kebutuhan sehari-hari.

أَوَلَمْ يَرَوْا۟ إِلَى ٱلطَّيْرِ فَوْقَهُمْ صَٰٓفَّٰتٍ وَيَقْبِضْنَ ۚ مَا يُمْسِكُهُنَّ إِلَّا ٱلرَّحْمَٰنُ ۚ إِنَّهُۥ بِكُلِّ شَىْءٍۭ بَصِيرٌ

Dan apakah mereka tidak memperhatikan burung-burung yang mengembangkan dan mengatupkan sayapnya di atas mereka? Tidak ada yang menahannya (di udara) selain Yang Maha Pemurah. Sesungguhnya Dia Maha Melihat segala sesuatu. (Q.S al-Mulk ayat 19)

Pada Tafsir Jalalain karya Imam As-Suyuti  menggambarkan kepada kita sebagai hamba Allah, untuk melihat dan memperhatikan burung-burung yang berada di atas mereka yakni di udara (yang mengembangkan sayapnya) melebarkan sayapnya (dan mengatupkannya) menutupkannya sesudah dikembangkan.

Baca juga: Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 16-18: Ragam Ancaman Allah serta Ibrah dari Umat Terdahulu

Tidak hanya itu, burung juga memiliki pertahanan pada tubuh mereka yakni menahan diri agar tidak jatuh ke bumi sewaktu mengembangkan dan mengatupkan sayapnya. Fenomena tersebut mampu terjadi hanya karena Allah Maha Penyayang dengan segala kekuasaan-Nya. (Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala sesuatu), akan tetapi banyak hambanya yang tidak menyimpulkan dengan adanya burung-burung di udara merupakan bentuk kekuasaan Allah, jika itu terjadi yakni hambanya tidak percaya atas segala ciptaan Allah, maka Allah dapat menimpakan kepada mereka azab dan lainnya.

Burung dapat Terbang Hingga Hilang dan Tanpa Menggerakkan Sayapnya

Kemudian pada Tafsir al-Misbah Karangan Quraish Shihab, menjelaskan yang tidak jauh beda dengan apa yang ditulis oleh Imam As-Suyuti. Selanjutnya lafal Al-shaff  pada ayat di atas yang mana terambil dari kata al-shaffat yang berarti burung membentangkan kedua sayapnya dengan tanpa digerakkan.

Tidak hanya itu, ternyata terbangnya burung adalah suatu mukjizat yang baru diketahui setelah adanya perkembangan kajian ilmu cabang pergerakan udara yaitu ilmu aeronautika dan teori aerodinamik. Akan tetapi yang mengundang kekaguman pada keunikan dari seekor burung adalah dapat terbang di udara sampai hilang dari pandangan, dan itu tanpa menggerakkan kedua sayapnya. Ilmu pengetahuan membuktikan bahwa burung-burung yang terbang tanpa menggerakkan kedua sayapnya itu sebenarnya terbang di atas aliran-aliran udara yang muncul, baik karena benturan udara dengan segala sesuatu yang menghalanginya atau karena tingginya tekanan udara panas.

Kenapa semua itu bisa terjadi pada burung?

Sesungguhnya Allah SWT memberikan spesifikasi pada burung dengan berikut, burung memiliki berat badan yang ringan, jantungnya juga memiliki kemampuan yang tinggi berbeda dengan manusia, kemudian peredaran darah pada alat pernapasan burung juga terbilang seimbang dengan tubuh. Sehingga organ tubuh yang dimiliki oleh burung dapat menjaga keseimbangan dan mengatur arah tubuhnya ketika terbang.

Selain itu, dalam catatan Tafsir al-Quranil Adzim karya Ibnu Katsir mempertegas bahwa tidakkah mereka (manusia) memperhatikan burung-burung yang dimudahkan terbang di angkasa bebas, tanpa ada yang menahannya selain dari Allah. Hal ini merupakan bukti dari kekuasaan Allah SWT.

Baca juga: Tafsir Surat al-Mulk Ayat 15: Berkelanalah! Hingga Sadar Kefanaan Dunia dan Kekekalan Allah

Hikmah di Balik Penciptaan Seekor Burung

Penjelasan ini nanti akan terlihat sepele, namun jika kita merenungkan, maka kita akan menginsyafi peran burung memang sungguh luar biasa. Jika kita melihat bentuk fisik burung, dia terlihat kecil, jauh berlipat-lipat jika dibandingkan dengan tubuh manusia. Namun, memberikan makhluk mungilnya ini menjadi luar biasa. Burung mengajarkan kepada kita untuk memiliki obsesi melebihi bentuk fisik kita, misalnya, fisik boleh kecil, tetapi cita-cita dan idealisme harus lebih besar.

Dari sini penulis hanya menegaskan bahwa hal ini bukanlah mimpi dan khayalan. Karena yang membedakan antara kenyataan dan khayalan adalah kemauan dan kesungguhan untuk merealisasikan harapan dan cita-cita.

Kita bisa meneladani kisah burung hudhud pada zaman nabi Sulaiman, burung tersebut mampu memberikan informasi yang tidak diketahui oleh Nabi Sulaiman, bahwa ada kerajaan yang penduduknya menyembah selain Allah SWT dan dipimpin oleh seorang wanita.

Baca juga: Sering Membaca Surat Al-Mulk? Berikut ini Lima Keutamaannya

Selain itu juga burung juga mengajarkan optimisme, tidak boleh berputus asa dalam berbuat, terutama dalam hal pemenuhan hajat dan kebutuhan sehari-hari. bagaimana tidak? ketika hendak pergi, burung masih dalam keadaan lapar, namun ketika pulang pada sore hari, dia sudah merasa kenyang. Bagaimana burung yang sedemikian kecil dari segi fisik itu, begitu besar dalam semangat mencari dan mengais karunia Allah SWT. Sesungguhnya burung hanya mempunyai insting, namun mampu mencukupi kebutuhannya, apalagi manusia yang dilengkapi dengan akal. wallahu a’lam []

Mengenal Istilah Kaum dan Umat dalam al-Quran, Samakah Keduanya?

0
umat dalam al-Quran
kaum dan umat dalam al-Quran

Istilah kaum dan umat sering ditemukan dalam al-Quran dan Hadis guna menunjuk himpunan manusia. Dua kata ini juga digunakan untuk merujuk kepada makna bangsa. Lantas, bagaimana pemaknaan kata kaum dan umat dalam al-Quran? samakah makna keduanya?

Kata Qawm(قوم) dan Ummah (أمّة), keduanya merupakan istilah bahasa arab yang diserap dalam bahasa Indonesia dengan sebutan kaum dan umat. Kata kaum dapat kita temukan misalnya dalam Surat al-Hujurat (49):11:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ 

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”.

Imam al-Biqai dalam tafsirnya Nadhm al-Durar menafsirkan kata qawm bertujuan mendorong untuk bangkit mengelola diri dan menghindari kekurangan ataupun keburukan. Al-Biqai melanjutkan agar senantiasa bersyukur atas kekuatan yag dianugerahkan Tuhan kepada kita. Menariknya, al-Biqai mengungkap makna semantik dari kata qawm ini, kata qawm diambil dari kata qama (قام) yang berarti tampil ke depan dan melaksanakan segala hal dengan sempurna.

Baca Juga: Muballigh Atau Ustaz, Samakah Makna Keduanya?

Dalam hal ini, kata qama sering digunakan oleh masyarakat Arab untuk menujuk golongan laki-laki saja. menurut َQuraish Shihab dalam bukunya Islam dan Kebangsaan, karena yang sering maju atau tampil ke depan dikuasai oleh kaum laki-laki.

Namun, jika kita melihat beberapa ayat tentang qawm dalam al-Quran, ia tak terbatas hanya laki-laki. Kata qawm digunakan untuk lelaki atau perempuan selama memiliki kesamaan keturunan meski ada perbedaan secara agama, namun tetap menjadi saudara. Hal ini telah jelas disampaikan dalam Surat al-A’raf (7):65 yang berbunyi:

وَإِلَى عَادٍ أَخَاهُمْ هُودًا قَالَ يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ أَفَلَا تَتَّقُونَ 

“Dan kepada (kaum) ‘Ad, (kami telah mengutus) saudara mereka,Hud. Dia berkata ‘hai kaumku, sembahlah Allah , sekali-kali tidak ada bagimu satu Tuhan pun (yang Kuasa dan berhak disembah) melainkan dia, tidakkah kalian bertaqwa?”.

Hal ini telah jelas untuk membuktikan bahwa makna qawm tidak terbatasi. Bahkan, menurut Shihab, pengguna bahasa Arab modern mengartikan qawm sebagai bangsa dan qawmiyyah diartikan sebagai kebangsaan. Tentu makna ini luas sekali.

Makna Umat dalam al-Quran

Umat atau dalam versi bahasa Arab Ummah (أمّة) terambil dari kata amma-yaummu berarti menuju, menumpu, meneladani. Kata ini pun melahirkan Ummun (أمّ)  yaitu ibu, dan Imam yakni memimpin. Keduanya disandingkan karena memang ibu adalah teladan, tumpuan pandangan, dan harapan.

Al-Raghib al-Ashfihani dalam Mufradat al-Alfadz al-Quran menerangkan bahwa kata Ummah digunakan untuk menunjuk suatu kelompok yang dihimpun oleh sesuatu. Disini memiliki kesamaan dari aspek agama, waktu atau tempat, baik penghimpunannya secara terpaksa atau tidak.

Quraish Shihab mengungkap bahwa kata Ummah terkadang tidak terpikat oleh jumlah, seperti posisi Nabi Ibrahim yang sendirian namun menghimpun banyak sifat terpuji yang tidak bisa disandang oleh sekian banyak orang.

Contohnya dalam Surat al-Nahl(16): 120.

إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ 

“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang pemimpin (umat) yang dijadikan teladan dan patuh kepada Allah, dan tidak sekali-kali ia termasuk golongan kaum musyrikin”.

Baca Juga: Allahumma dan Yaa Rabbana dalam Al Quran, Samakah maknanya?

Kendati demikian, kata ummah dan qawm ada kemiripan makna dari segi bahasa. Namun, kata ummah sering digunakan dengan kata al-Ummah al-Islamiyah dan qawm atau qawmiyyah lebih cocok diartikan sebagai bangsa. Wallahu A’lam.

Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 16-18: Ragam Ancaman Allah serta Ibrah dari Umat Terdahulu

0
Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 28-30
Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 28-30

Termasuk cara dakwah Islam yang termuat dalam Al-Quran ialah memberi janji dan ancaman terhadap orang yang didakwahi. Salah satunya, ada pada Surat Al-Mulk ayat 16-18. Dalam Tafsir Al-Munir, Wahbah Az-Zuhayli menyebutkan bahwa tiga ayat ini menjelaskan ancaman Allah berupa kemungkinan terjadinya fenomena bumi menelan manusia dan badai. Tak hanya itu, kelompok ayat ini juga memuat ibrah umat terdahulu, yang dapat menjadi renungan bagi manusia.

Ancaman Bagian dari Metode Dakwah

Dalam Al-Quran, kita menjumpai beberapa metode dakwah. Yang populer tentu saja Surat Al-Nahl ayat 125, yang setidaknya mengandung tiga hal; bil hikmah (dahwah dengan bijaksana), maw’idzatil hasanah (penyampaian yang baik), dan jadilhum billati hiya ahsan (berdebat dengan baik).

Baca juga: Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 12-14: Allah Maha Mengetahui Sesuatu, Sekalipun Isi Hati Manusia

Tiga-tiganya terwujud dalam berbagai cara penyampaian. Antara lain, berupa pertanyaan kontemplatif, sehingga kemudian orang yang didakwahi merenunginya, seperti pertanyaan tentang hari kiamat (QS. An-Nazi’at: 42). Ada pula yang berupa penjelasan fenomena alam, seperti fenomena langit terbelah (QS. Al-Infitar: 1). Ada pula berupa sumpah yang mengindikasikan pentingnya objek yang dibuat sumpah, seperti saat Allah bersumpah demi waktu Ashar (QS. Al-‘Ashr: 1-3), agar manusia lebih menghargai waktu dengan mengerjakan amal baik.

Ancaman juga termasuk dari cara berdakwah yang cukup sering Allah gunakan, terutama dalam konteks mendakwahi orang kafir. Ancaman dalam bahasa Al-Quran diistilahkan dengan al-wa’id, dan sering beriringan dengan janji (al-wa’d).  Contoh dari ancaman itu antara lain ada pada surat An-Nisa ayat 173, tentang ganjaran berlimpah bagi mukmin yang beramal saleh, serta azab pedih bagi siapa saja yang sombong.

Lalu, mengapa ancaman jadi salah satu cara dakwah? Karena, ancaman dapat menimbulkan efek takut dan khawatir bagi orang yang didakwahi. Cara ini tentu saja lebih efektif digunakan saat menghadapi orang kafir, karena dengan kecenderungannya terhadap keingkaran mereka pasti sulit menerima dakwah yang dibumbui janji manis berupa surga atau keselamatan dari api neraka. Sehingga, ancaman berupa kesengsaraan duniawi dan ukhrawi lebih mampu mencuri perhatian mereka.

Baca juga: Tafsir Surat al-Mulk Ayat 15: Berkelanalah! Hingga Sadar Kefanaan Dunia dan Kekekalan Allah

Ancaman Bagi Orang yang Tak Patuh

Ancaman Allah bagi orang yang tak patuh terhadapNya antara lain ada pada Surat Al-Mulk ayat 16 dan 17 berikut ini:

ءَأَمِنتُم مَّن فِي ٱلسَّمَآءِ أَن يَخۡسِفَ بِكُمُ ٱلۡأَرۡضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ

أَمۡ أَمِنتُم مَّن فِي ٱلسَّمَآءِ أَن يُرۡسِلَ عَلَيۡكُمۡ حَاصِبٗاۖ فَسَتَعۡلَمُونَ كَيۡفَ نَذِيرِ

“Sudah merasa amankah kamu, bahwa Dia yang di langit tidak akan membuat kamu ditelan bumi ketika tiba-tiba ia terguncang?”

“Atau sudah merasa amankah kamu, bahwa Dia yang di langit tidak akan mengirimkan badai yang berbatu kepadamu? Namun kelak kamu akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku”

Mengutip Jami’ul Bayan fi Ta’wili Ayil Quran milik at-Thabari, ayat ini turun untuk mengancam orang kafir Quraish. Allah menyindir lewat pertanyaan itu karena mereka tidak kunjung mengikuti ajakan Nabi. Seakan mereka merasa aman-aman saja sebab tak ada azab yang menimpa mereka seperti malapetaka berupa hilangnya jasad mereka karena ditelan bumi. Dan juga, tidak datang kepada mereka badai bebatuan.

Ibnu ‘Asyur dalam at-Tahrir wat-Tanwir menjelaskan fenomena pertama dengan goncangan yang sangat dahsyat, sebab dataran bumi terbalik. Sedangkan, fenomena kedua ditafsiri Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Quranul ‘Adzim berupa badai yang memuat kerikil dan bisa menghancurkan manusia.

Bila dicermati, dua azab ini pernah diturunkan kepada kaum terdahulu. Wahbah Az-Zuhayli menyebutkan, azab berupa guncangan dataran bumi hingga menelan manusia, pernah Allah timpakan pada Qarun. Sementara azab berupa badai kerikil pernah Allah turunkan pada Kaum Sodom dan Pasukan Gajah yang dipimpin Raja Abrahah dahulu kala saat menyerang Ka’bah.

Pertanyaan pada dua ayat tersebut bermakna pengingkaran terhadap sikap orang kafir.  Sebagaimana yang disebutkan Ibnu ‘Asyur, dua pertanyaan ini adalah sebagai wujud negasi atas keimanan kafir terhadap azab-azab Allah. Dua ayat tersebut juga menjadi bukti kasih sayang dan kelapangan Allah. Ia tidak langsung menurunkan azab kepada mereka sekalian orang kafir, tetapi lebih memilih mengancamnya dahulu dengan apa yang menimpa umat sebelum mereka, umat yang telah hancur peradabannya sebab ingkar terhadap Allah. Demikianlah yang disampaikan Ibnu Katsir dan Az-Zuhayli.

Sementara yang dimaksud nadzir pada akhir ayat ke-17 ialah Nabi Muhammad SAW, yang selain ditugaskan oleh Allah sebagai mubasysyir (pemberi kabar gembira terhadap siapa yang beriman), juga ditugaskan menjadi mundzir (pemberi peringatan terhadap yang ingkar). Pendapat ini disampaikan Ar-Razi berdasarkan hadis riwayat Ibnu ‘Abbas dan ad-Dhahhak. Maka mereka yang ingkar dari kaum Qurasih akan mengetahui bagaimana akibat dari ancaman Allah terhadapnya, yakni yang dibuktikan dengan Al-Quran dan kehadiran Nabi SAW.

Baca juga: Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 5-7: Balasan Bagi yang Tak Patuh Perintah

Selanjutnya, Allah mempertegas ancamannya terhadap sekalian kaum kafir dengan Surat Al-Mulk ayat 18:

وَلَقَدۡ كَذَّبَ ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡ فَكَيۡفَ كَانَ نَكِيرِ

“Dan sungguh, orang-orang yang sebelum mereka pun telah mendustakan (rasul-rasul-Nya). Maka betapa hebatnya kemurkaan-Ku!”

Pada awal ayat, tertera lam dan qad yang menunjukkan pengukuhan terhadap sikap dusta yang dilakukan umat terdahulu. Dalam Tafsir Al-Munir disebutkan, Mereka, yakni kaum ‘Ad, Tsamud, dan umat-umat sebelum Nabi Muhammad menyampaikan risalah, menyaksikan langsung azab Allah, dan pada akhirnya memusnahkan peradaban mereka. Hal ini sekaligus semakin mempertegas ancaman Allah terhadap siapapun yang ingkar kepadaNya.

Lalu, mengapa Allah mengamcam kafir Quraish dengan apa yang menimpa umat terdahulu?

Menurut Ibnu ‘Asyur, agar mereka lebih mudah mengambil pelajaran dari kaum-kaum itu. Sebab, Masyarakat Arab mengetahui dengan baik bagaimana sejarah peradaban kaum ‘Ad Tsamud, dan lain sebagainya. Selanjutnya, Ibnu ‘Asyur menegaskan, pemungkas ayat berupa ‘Betapa hebatnya kemurkaanKu’ adalah untuk memperingatkan Kafir Quraish bahwa kemurkaan Allah terhadap umat terdahulu juga bisa menimpa mereka Ketika mereka tidak mau beriman.

Demikianlah strategi dakwah Allah terhadap kaum yang ingkar. Dengan memberi ancaman, orang yang memusuhiNya, lebih mudah mempengaruhinya kemudian meluluhkan hatinya dan membuatnya patuh terhadap perintah. Dan dari sini kita tahu, bahwa teknik ancaman tidak selalu berkonotasi negatif, asal tetap dalam koridor bil hikmah dan maw’idhah hasanah. Wallahu a’lam[]

Menelisik Tafsir Falsafi (1): Pengertian dan Sejarah Perkembangannya

0
tafsir falsafi
tafsir falsafi (pewartanusantara)

Salah satu corak tafsir Al-Quran yang jarang dikaji adalah corak tafsir falsafi. Adalah corak tafsir Al-Quran yang banyak memuat aspek filosofis. Corak tafsir ini banyak menuai pro dan kontra, Al-Ghazali, misalnya, di pihak kontra dengan beberapa catatan kritis terhadap filsafat, sedangkan yang pro direpresentasikan oleh Al-Farabi, Ar-Razi, Ibn Sina, Ikhwan As-Shafa, At-Thabathaba’i.

Tafsir Falsafi merupakan bagian dari tafsir bil ra’yi. Tafsir bil ra’yi adalah bentuk penafsiran Al-Quran dengan menggunakan rasio (ra’y). Para mufasir berupaya mengungkapkan makna ayat-ayat Al-Quran berdasarkan background keilmuan yang dimilikinya.

Definisi Tafsir Falsafi

Ada banyak ragam pendapat ulama mengenai tafsir falsafi. Al-Dzahabi dalam Tafsir al-Mufassirun-nya berpendapat bahwa tafsir falsafi ialah upaya pentakwilan ayat-ayat Al-Quran senada dengan pemikiran filsafat atau penafsiran ayat Al-Quran dengan menggunakan teori-teori filsafat. Sedangkan Amin Suma dalam Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran mendefinisikan tafsir falsafi adalah penafsiran ayat-ayat Al-Quran berdasarkan pendekatan logika atau pemikiran filsafat yang bersifat liberal dan radikal.

Sementara itu, Muhaimin dkk memberikan pengertian bahwa tafsir falsafi adalah model interpretasi Al-Quran dengan pendekatan filsafat melalui perenungan dan penghayatan yang mendalam, dan mengkajinya secara radikal (mengakar), sistematis dan obyektif. menurut Thabathaba’i dalam Tafsir al-Mizan fi tafsir al-Quran, tafsir falsafi ialah bagaimana para filsuf membawa pikiran-pikiran filsafat ketika memahami ayat-ayat Al-Quran.

Baca juga: Mengenal Corak Tafsir Sufistik (1): Definisi, Klasifikasi dan Prasyarat yang Harus Dipenuhi

Tidak jauh berbeda dengan definisi di atas, Quraish Shihab dalam Sejarah dan Ulum Al-Quran juga menyumbangkan pendapatnya, tafsir falsafi adalah upaya penafsiran Al-Quran dikaitkan dengan persoalan-persoalan filsafat. Dari beberapa pendapat di atas, penulis dapat menarik benang merah bahwa tafsir falsafi merupakan upaya penafsiran Al-Quran dengan menggunakan pendekatan filsafat, baik terkait teori, persoalan maupun logika-logika filsafat.

Lebih dari itu, tafsir falsafi jika kita tilik ia cenderung membangun proposisi universal berdasarkan logika. Dalam konteks ini, logika amatlah mendominasi karenanya metode ini “kurang” mempertimbangkan aspek historisitas kitab suci. Namun begitu, keunggulan metode ini adalah kemampuannya membangun abstraksi dan proposisi makna-makna laten (tersembunyi) dari teks suci untuk kemudian didialogkan kepada khalayak tanpa terhalang faktor budaya dan bahasa.

Sejarah dan Perkembangannya

Keberadaan corak tafsir ini tentu memiliki sebab dan faktor yang melatari kemunculan tafsir ini. Sudah jamak diketahui bahwa filsafat berpegang pada akal dan istidhlal (argumen). Muhammad Ali al-Ridha al-Ishfihani dalam Durus fi al-Manahij wa al-Ittijahat al-Tafsiriyah li Al-Quran menuturkan bahwa istidhlal aqli juga terdapat dalam Islam bersamaan dengan perkembangan ilmu dan sains.

Perkembangan corak tafsir ini bermula di zaman keemasan Islam yakni Dinasti Abbasiyah  yang sangat kental akan nuansa Persia di dalamnya. Gerakan penerjemahan besar-besaran karya Yunani ke dalam bahasa Arab menjadi bukti untuk itu. Kemajuan Abbasiyah di bidang ilmu pengetahuan dan sains tidak terlepas dari ilmu filsafat di dalamnya. Hal tersebut juga merujuk pada Adz-Dzahabi, ia menerangkan bahwa embrio lahirnya penafsiran bercorak falsafi ditengarai dimulai pada masa Abbasiyah khususnya khalifah Al-Mansur dan Al-Ma’mun.

Baca juga: Mengenal Corak Tafsir Sufistik (2): Sejarah dan Periodisasi Perkembangan Tafsir Sufistik

Pada masa kedua khalifah tersebut bebarengan dengan proyek penerjemahan karya-karya Yunani, Persia dan India ke dalam bahasa Arab. Proyek penerjemahan karya-karya tersebut mendapatkan apresiasi yang tinggi dari khalifah baik material maupun non material. Terutama penerjemahan karya-karya filsafat Plato (427 SM-347 SM) dan Aristoteles (384 SM-322 SM).

Dari proyek penerjemahan ini kemudian melahirkan tokoh-tokoh baru dalam dunia filsafat Islam sebut saja Al-Farabi (870-950 M), Ibnu Sina, Al-Razi, Ibnu Maskawaih (932-1030 M), dan hampir semua ilmuwan yang hidup di masa Abbasiyah menguasai filsafat secara baik dan mendalam. Bahkan, Al-Farabi mendapat gelar prestisius sepanjang sejarah yaitu “al-Mu’allim al-Tsani” (guru kedua setelah Aristoteles). Luar biasa bukan.

Khalid Abd ar-Rahman al-‘Ak dalam Buhus fi al-‘Ulum Al-Quraniyah Ushul al-Tafsir wa Qawa’iduh menggunakan istilah “falsafi al-kalami” untuk menyebutkan tafsir falsafi. Penafsiran terhadap Al-Quran secara filsafat relatif banyak dijumpai dalam sejumlah kitab tafsir, akan tetapi secara spesifik tafsir yang menggunakan pendekatan falsafi secara keseluruhan terhadap semua ayat Al-Quran relatif tidak begitu banyak.

Al-Sayyid Muhammad Ali Iyyaziy dalam al-Mufassirun Hayatuhum wa Manahijuhum menyampaikan bahwa di antara kitab tafsir yang bercorak falsafi ialah Tafsir Al-Quran Al-Karim karya Shadr al-Mutaalihin al-Siyraziy, Fushus al-Hikam karya al-Farabi, Rasail karya Ibnu Sina, dan Rasail Ikhwan as-Shafa oleh Ikhwan as-Shafa, Tafsir Mafatih al-Ghaib karya Fakhdruddin Ar-Razi, Tafsir al-Mizan karya Thabathaba’i, dan lain sebagainya.

Penamaan Surat dalam Al-Quran: Antara Tauqifi dan Ijtihadi

0
Penamaan surat dalam Al-Quran
Penamaan surat dalam Al-Quran

Perdebatan terkait tauqifi dan ijtihadi tidak hanya terjadi pada pembahasan susunan surat Al-Quran, namun juga pada proses penamaan surat dalam Al-Quran. Perdebatan ini muncul akibat adanya perbedaan penamaan surat dalam Al-Quran antara surat yang tercantum dalam mushaf resmi utsmani dengan mushaf-mushaf pra-utsmani, sehingga timbul pertanyaan, apakah semua nama surat Al-Quran itu pasti bersifat tauqifi atau ijtihadi?

Secara umum, dalam kitab Asma’ Suwar Al-Quran wa Fadha’iliha karya Syaikh Munirah Muhammad Nashir al-Dussari, dijelaskan bahwa mayoritas ulama memandang  penamaan surat dalam Al-Quran bersifat tauqifi. Pandangan yang demikian didasarkan pada beberapa argumentasi dalil Hadis Nabi, sebagaimana berikut:

Baca Juga: Mengenal Penamaan Surat dalam Al-Quran, Begini Penjelasannya

  1. Berdasarkan perintah Nabi dari pemberitahuan Malaikat Jibril

Argumentasi pertama ini sudah jamak diketahui oleh kalangan ulama. Hal ini dikarenakan tatkala Malaikat Jibril menyampaikan wahyu kepada Nabi, ia juga memberikan pengarahan kepada Nabi terkait penempatan dan nama surat dari ayat tersebut. Bukti dari hal tersebut dapat diketahui dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Diceritakan bahwasanya tatkala turun Q.S. al-Baqarah [2]: 280, Malaikat Jibril memberi tahu Nabi dengan perkataan berikut:

ضَعْهَا فِيْ رَأْسِ ثَمَانِيْنَ وَمِائَتَيْنِ مِنْ سُوْرَةِ البَقَرَةِ

Letakkanlah ayat tersebut pada ayat yang ke dua ratus delapan puluh dari surat al-Baqarah

  1. Nabi menyebut keutamaan sebuah surat beserta namanya

Banyak disebutkan dalam beberapa riwayat hadis, bahwasanya Nabi seringkali menyebutkan keutamaan sebuah surat Al-Quran beserta nama surat tersebut. Sebagaimana dalil hadis tentang keutamaan surat al-Kahfi berikut:

حديث أبي الدرداء أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: مَنْ حَفِظَ عَشْرَ آيَةٍ مِنْ سُوْرَةِ الْكَهْفِ عُصِمَ مِنَ الدَّجَّالِ

Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Darda’, sesungguhnya Nabi Saw bersabda: (Barangsiapa yang hafal sepuluh ayat dari surat al-Kahfi, maka ia akan dilindungi dari (fitnah) Dajjal)

Baca Juga: Kontroversi Bolehnya Penamaan “Surat Al-Baqarah”. Berikut Penjelasannya!

Dari paparan berbagai riwayat hadis tersebut dapat dipahami bahwasanya penamaan surat Al-Quran itu murni dari Nabi (tauqifi) tanpa adanya intervensi dari pihak manapun. Adapun generasi selanjutnya yaitu para sahabat Nabi, mereka menamai surat-surat Al-Quran dalam mushaf mereka berdasarkan hafalan mereka atas riwayat-riwayat hadis yang pernah Nabi sampaikan tersebut. Proses atau cara penamaan surat dalam Al-Quran yang demikian digunakan hingga masa kodifikasi mushaf resmi utsmani.

Namun demikian, perlu diketahui bahwasanya setiap surat Al-Quran itu tidak hanya memiliki satu nama, tetapi juga memiliki beberapa nama lain. Di sinilah yang menjadi pertanyaan, apakah semua nama surat tersebut bersifat tauqifi? atau mungkin sebagiannya bersifat ijtihadi?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis akan menyampaikan terkait pola penamaan terhadap surat Al-Quran yang tertulis dalam kitab al-Muharrar fi ‘Ulum Al-Quran karya Syaikh Musa’id ibn Sulaiman al-Thayyar. Ia menjelaskan bahwa terdapat tiga pola utama penamaan surat Al-Quran, yaitu:

  1. Penamaan surat berdasarkan perintah Nabi

Penjelasan penamaan surat dalam Al-Quran menggunakan yang pertama ini sudah dijelaskan di awal.

  1. Penamaan surat berdasarkan Ijtihad para Sahabat

Pola kedua ini menjelaskan bahwa terdapat sahabat Nabi yang juga memberikan nama tertentu terhadap sebuah surat Al-Quran. Hal ini dapat dibuktikan dalam sebuah riwayat yang disampaikan oleh Sa’id ibn Jubair. Ia berkata kepada Ibnu Abbas tentang nama surat al-Hasyr. Namun kemudian Ibnu Abbas menimpalinya dengan mengatakan “katakanlah surat Baniy al-Nadhir”. (H.R. Bukhari no. 4029)

  1. Penamaan surat berdasarkan permulaan ayat

Penamaan surat dalam Al-Quran pada pola yang ketiga ini tidak mendasarkan pada hadis Nabi ataupun atsar sahabat, tetapi nama tersebut diambil dari permulaan ayat dalam surat tersebut. Misalnya surat araita (Al-Ma’un), surat lam yakun (Al-Bayyinah), dan seterusnya. Tidak semua surat menggunakan pola ketiga ini, hanya sebagian besar saja.

Baca Juga: Kenali Dua Tipe Pembuka Surat Al-Quran dan Rahasianya

Kemudian, sebagai argumentasi bahwa terdapat nama surat yang ditulis berdasarkan ijtihad para sahabat dan tabi’in, penulis mengutip pendapat Syaikh Abu al-Wafa Ahmad Abd al-Akhir dalam karyanya yang berjudul al-Mukhtar min ‘Ulum Al-Quran al-Karim. Ia menjelaskan sebagaimana berikut:

فَإِنْ كَانَ لَهَا إِسْمٌ وَاحِدٌ فَإِنَّ هَذَا الْإِسْمَ يَكُوْنُ تَوْقِفِيًّا قَطْعًا كَسُوْرَةِ الْأَنْعَامِ وَالْكَهْفِ وَإِنْ كَانَ لَهَا أَكْثَرُ مِنْ إِسْمٍ فَإِنَّ بَعْضَ هَذِهِ الْأَسْمَاءِ يَكُوْنُ تَوْقِفِيًّا وَبَعْضَهَا يَكُوْنُ مِنْ وَضْعِ بَعْضِ الصَّحَابَةِ أَوْ التَّابِعِيْنَ

Apabila sebuah surat hanya memiliki satu nama, maka nama tersebut bersifat tauqifi secara pasti, seperti surat al-An’am dan al-Kahfi. Dan apabila surat tersebut memiliki lebih dari satu nama, maka sebagian nama tersebut bersifat tauqifi, dan sebagian lainya berasal dari penamaan para sahabat atau tabi’in

Contoh surat yang memiliki nama yang banyak adalah surat Al-Fatihah. Syaikh Abu Al-Wafa menyebutkan bahwa nama lain Al-Fatihah yang bersifat tauqifi hanya lima, yaitu Fatihah al-Kitab, Fatihah Al-Quran, Umm al-Kitab, Umm Al-Quran, dan Al-Sab’ al-Matsani. Kemudian, sebagian nama al-Fatihah lainya adalah bersifat ijtihadi, seperti al-Wafiyah yang merupakan hasil ijtihad Sufyan ibn Uyainah. Serta ijtihad Yahya ibn Abi Katsir yang menamai surat al-Fatihah dengan al-Kafiyah .

Selain al-Fatihah, surat lain yang juga memiliki nama lain hasil ijtihad para sahabat dan tabi’in antara lain adalah surah Al-Fadhihah dan surah Al-’Adzab yang merupakan hasil penamaan Hudzaifah terhadap surat At-Taubah. Kemudian ada juga surah Al-Badr (al-Anfal), surah An-Ni’am (al-Nahl), surah Al-Kalim (Thaha), dan surah Al-Qital (Muhammad). Kemudian ada Al-Hudzali yang menamai surat Thaha dengan “Musa”, dan surat Shad dengan nama “Dawud”. Serta Al-Ja’bari yang menamai surat Ash-Shaffat dengan nama “Adz-Dzabih”. Wallahu A’lam

Tafsir Surat Al Qari’ah Ayat 1-11

0

Pada pembahasan surat yang lalu berbicara mengenai motivasi bagi kaum muslimin dengan menjadikan kuda yang sangat agresif sebagai objek sumpah, dalam Tafsir Surat Al Qari’ah Ayat 1-11 ini kembali kita berbicara mengenai hari kiamat. Dengan menggunakan kata al-qari’ah dan diulang-ulangnya kata tersebut mengindikasikan kedashsyatan hari itu sehingga membuat semua manusia kelimpungan.


Baca juga: Tafsir Surat Al ‘Adiyat Ayat 1-11


Setelah menjelaskan makna pengulangan kata al-qari’ah tersebut, Tafsir Surat Al Qari’ah Ayat 1-11 berbicara mengenai penggambaran bagaimana terjadinya hari itu. dikatakan bahwa manusia bagaikan laron yang berterbangan di sekeliling lampu. Hal itu menunjukkan kebingungan yang dihadapi manusia. Gunung-gunung juga berterbangan seperti kapas.

Pada keadaan yang karut-marut tersebut hanya terdapat dua golongan. Yaitu golongan orang-orang yang selamat dan golongan orang-orang yang celaka. Orang yang selamat adalah orang yang beriman dan beramal saleh ketika di dunia. Sedangkan orang yang celaka adalah orang yang ingkar dan selalu berbuat kerusakan.

Ayat 1

Dalam ayat ini, Allah menyebutkan kata al-qariah, yaitu salah satu nama hari Kiamat, seperti al-Haqqah, asSakhkhah, atTammah, dan al-Gasyiyah. Hari Kiamat itu juga disebut al-qariah karena ia menggetarkan hati setiap orang akibat kedahsyatannya. Kata al-qariah juga digunakan untuk menyebut suatu bencana hebat. Allah berfirman:

وَلَا يَزَالُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا تُصِيْبُهُمْ بِمَا صَنَعُوْا قَارِعَةٌ

Dan orang-orang kafir senantiasa ditimpa bencana disebabkan perbuatan mereka sendiri. (ar-Ra’d/13: 31)

Maksudnya mereka ditimpa malapetaka hebat yang mengetuk hati mereka dan menyakiti tubuh mereka, sehingga mereka mengeluh karenanya.

Ayat 2

Dalam ayat ini Allah mengulang kata al-qariah dalam bentuk pertanyaan untuk meminta perhatian agar manusia memahami karena dahsyatnya kejadian hari Kiamat dan huru-hara yang membuat hati kecut, sehingga sulit menggambarkannya dengan tepat dan sulit mengetahui dengan sebenarnya.

Ayat 3

Allah mengulangi kata al-qariah itu adalah untuk menggambarkan kedahsyatan hari Kiamat itu, seakan-akan tidak ada sesuatu pun yang dapat dijadikan contoh untuk al-qariah itu. Bagaimana pun mengkhayalkannya, al-qariah lebih hebat dari itu.

Ayat 4

Karena sangat sulit mengetahui hakikat al-qariah, maka dalam ayat ini Allah menjelaskan waktu kedatangannya. Ketika itu, keadaan manusia bagaikan laron  yang beterbangan di sekeliling lampu pada malam hari. Penyerupaan ini adalah untuk menggambarkan keadaan manusia yang kebingungan dan tidak menentu arah tujuannya.

Manusia pada hari yang dahsyat itu bertebaran di mana-mana, bingung, dan tidak tahu ke mana akan dituju, apa yang akan dikerjakan, dan untuk apa mereka dikumpulkan di sana. Kondisi ini tidak ubahnya seperti anai-anai yang tidak berketentuan arahnya. Dalam ayat lain, Allah berfirman:

كَاَنَّهُمْ جَرَادٌ مُّنْتَشِرٌ

Seakan-akan mereka belalang yang beterbangan. (al-Qamar/54 : 7)

Ayat 5

Dalam ayat ini, Allah mengungkapkan bahwa gunung-gunung yang telah hancur itu beterbangan dari tempatnya seperti bulu halus yang diterbangkan angin. Lalu bagaimanakah keadaan manusia yang mempunyai tubuh yang lemah itu bila mengalami al-qariah itu.

Banyak terdapat dalam Alquran ayat-ayat tentang keadaan gunung-gunung pada hari Kiamat, di antaranya Allah berfirman pada ayat-ayat berikut:

وَتَرَى الْجِبَالَ تَحْسَبُهَا جَامِدَةً وَّهِيَ تَمُرُّ مَرَّ السَّحَابِ

Dan engkau akan melihat gunung-gunung, yang engkau kira tetap di tempatnya, padahal ia berjalan (seperti) awan berjalan. (an-Naml/27 : 88)

وَكَانَتِ الْجِبَالُ كَثِيْبًا مَّهِيْلًا

Dan menjadilah gunung-gunung itu seperti onggokan pasir yang dicurahkan. (al-Muzzammil/73: 14)

وَّسُيِّرَتِ الْجِبَالُ فَكَانَتْ سَرَابًاۗ  ٢٠

Dan gunung-gunung pun dijalankan sehingga menjadi fatamorgana. (an- Naba’/78: 20)

Semua keterangan tersebut untuk menjelaskan bahwa gunung-gunung yang besar dan kuat seharusnya tetap tidak dapat digerakkan, tetapi al-qariah dapat menghancurkannya, apalagi manusia makhluk yang lemah.


Baca juga: Mengenal Nasr Hamid Abu Zaid, Pengkaji Al-Quran Kontemporer Asal Tanta, Mesir


Ayat 6-7

Dalam ayat-ayat ini, Allah menjelaskan tentang ganjaran bagi orang-orang yang banyak melakukan amal kebajikan, yaitu ketika amal mereka ditimbang dan timbangannya berat karena banyak mengerjakan amal-amal saleh.

Ganjaran bagi orang-orang ini adalah kesenangan abadi di surga. Mereka hidup di dalamnya penuh dengan kebahagiaan, kenikmatan, dan kepuasan. Kita wajib mempercayai adanya mizan (neraca/timbangan) yang tersebut pada ayat ini dan dalam firman-Nya:

وَنَضَعُ الْمَوَازِيْنَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيٰمَةِ

Dan Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari Kiamat. (al-Anbiya’/21: 47)

Ayat 8-9

Allah juga menjelaskan nasib orang-orang jahat yaitu bila amal orang-orang jahat itu ditimbang dan timbangannya itu ringan karena banyak mengerjakan kejahatan dan sedikit mengerjakan kebajikan di dunia maka mereka akan ditempatkan dalam neraka Hawiyah tempat penyiksaan orang-orang jahat, tempat hidup sengsara; suatu tempat yang mereka dijerumuskan ke dalamnya.

Ayat 10-11

Dalam ayat ini, Allah menjelaskan arti kata hawiyah dalam bentuk pertanyaan, yaitu: apakah neraka Hawiyah itu dan dari apa ia dijadikan? Neraka Hawiyah adalah api yang menyala-nyala yang sangat panas di mana orang-orang yang berdosa dijerumuskan ke dalamnya untuk menerima balasan atas kejahatan dan kemungkaran yang mereka lakukan. Ayat ini menggambarkan jika semua api di seluruh dunia dikumpulkan dan dipersatukan, tidak akan dapat menyamai panasnya api neraka Hawiyah.


Baca setelahnya: Tafsir Surat At Takasur Ayat 1-3


(Tafsir Kemenag)

Mengenal Nasr Hamid Abu Zaid, Pengkaji Al-Quran Kontemporer Asal Tanta, Mesir

0
nasr hamid abu zaid
nasr hamid abu zaid (islami.co)

Diskursus tanzil Al-Quran yang bersumber dari pemikir Islam modernis turut meramaikan kajian Al-Quran dewasa ini. Sebut saja Muhammad Arkoun, dia berargumen bahwa Al-Quran yang ada pada kita saat ini adalah edisi dunia. Sementara Al-Quran yang sebenarnnya adalah yang “diamankan” di Lauh Mahfudz (preserved tablet). Karena itu, menurut Arkoun dalam Lectures du Coran, kita tidak perlu menyakralkan Al-Quran edisi dunia yang telah mengalami “modifikasi, revisi bahkan substansi”.

Demikian juga Nasr Hamid Abu Zaid dalam Mafhum An-Nas, ia menyatakan bahwa Al-Quran adalah produk budaya (muntaj tsaqafi), artinya teks Al-Quran merupakan bagian yang tak terpisahkan dari struktur budaya Arab. Dalam kesempatan ini penulis akan mengulas biografi Nasr Hamid Abu Zaid, perjalanan intelektualnya serta karya-karyanya.

Profil Nasr Hamid Abu Zaid

Nasr Hamid bernama lengkap Nasr Hamid Rizk Zaid. Ia lahir di Tanta, ibukota Provinsi al-Gharbiyah, Mesir pada 10 Juli 1943. Muh Nur Ichwan dalam Nasr Hamid Abu Zaid dan Studi Al-Quran menyebutkan bahwa Nasr Hamid Abu Zaid lahir dalam lingkungan keluarga agamis dan religius yang taat beribadah. Ia mengenyam pendidikan agama sejak dini.

Ayahnya sendiri tercatat sebagai aktivis IM (Ikhwanul Muslimin) pengikut Sayyid Qutb yang pernah dipenjara menyusul dieksekusinya Sayyid Qutb. Nasr Hamid adalah seorang qari dan hafiz sehingga ia mampu menceritakan isi Al-Quran sejak usia 8 tahun sehingga ia dipanggil “Syaikh Nasr” oleh teman sejawatnya di desa.

Baca juga: Mengenal Empat Pembacaan Nashr Hamid Abu Zaid terhadap Al-Quran

Dari situlah awal mula Nasr Hamid memperlihatkan bakatnya dalam ilmu bahasa dan sastra yang pada gilirannya ia mengembangkan sebuah pembacaan baru terhadap Al-Quran dengan pendekatan linguistik dan sastra. Guna mempertajam intelektualnya, ia melanjutkan pendidikannya dari S1 sampai S3 di jurusan Sastra Arab pada Universitas Kairo yang sekaligus tempatnya mengabdi sebagai dosen sejak 1972.

Nasr Hamid Abu Zaid juga pernah memperoleh beasiswa untuk riset Ph.D nya di Institute of Middle Eastern Studies, University of Pennsylvania dan berkat itu ia tinggal di Amerika selama 2 tahun (1978-1980) yang kemudian melahirkan pemikiran kontroversial. Dan sejak tahun 1976-1987, ia mengajar untuk orang asing di Pusat Diplomat dan Menteri Pendidikan.

Berbagai stigma negatif seperti vonis murtad dan sejenisnya turut disematkan kepadanya. Vonis murtad, misalnya, terjadi tatkala ia terlibat dalam meramaikan diskursus keagamaan. Peristiwa itu kemudian dikenal dengan peristiwa Qadiyyah Nasr Hamid Abu Zaid atau Hukuman kepada Nasr Hamid.

Tidak berhenti di situ, vonis itu berlanjut hingga pengadilan banding Kairo hingga akhirnya menghasilkan putusan hukum bahwa ia harus menceraikan istrinya Dr. Ibtihal Yunes dengan dalih seseorang yang murtada tidak boleh menikahi wanita muslimah. Semenjak peristiwa tersebut, Nasr Hamid beserta istrinya meninggalkan Mesir dan menetap di Netherlands (Belanda). Di Belanda, justru karirnya berkibar, ia menjadi profesor tamu studi Islam pada Universitas Leiden terhitung sejak 26 Juli 1995 hingga 27 Desember 2000. Ia dikukuhkan sebagai Guru Besar tetap di Universitas tersebut.

Baca juga: Massimo Campanini; Pengkaji Al-Quran Kontemporer dari Italia

Karya-Karya

Nasr Hamid tergolong pemikir Islam kontemporer yang produktif dan konsisten dalam mengembangkan pendekatan barunya yaitu linguistik dan sastra dalam memahamai Al-Quran. Berikut beberapa karyanya,

  • Al-Ittijah al-Aqli fi al-Tafsir: Dirasat fi Qadiyyat al-Majaz inda al-Mutazilat (Kecenderungan Rasional dalam Penafsiran: Studi atas Persoalan Metafor dalam Al-Quran menurut kalangan Mutazilah), Beirut, (1982).
  • Falsafat al-Tawȋl: Dirasat fi Tawil al-Quran inda Muhyi al-Din Ibn Arabi (Filsafat Hermeneutik: Studi atas Hermeneutik AlQuran Muhyi al-Din Ibnu Arabi), Kairo, (1983).
  • Mafhum al-Nashsh: Dirasat fi Ulum al-Quran (Konsep Teks: Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran), Kairo, (1990).
  • Naqd al-Khitab al-Dini (Kritik Wacana Keagamaan), Kairo: Sina li al-Nasyr, 1994 (edisi ke-2), diterjemahkan dalam bahasa Jerman oleh Cherifa Magdi, Islam and Politic : Kritik des religiosen Diskursus. Frankfrut: Dipa, 1996.
  • Al-Takfir fi Zaman al-Tafkir: Didda al-Jahl wa al-Zayf wa al-Khurafat (Pemikiran di Zaman Pengkafiran: Menentang Kebodohan, Kekeliruan dan Khurafat), Kairo, (1995).
  • Al-Nash, al-Sulthat, al-Haqiqat: al-Fikr al-Dini bayna Iradat al-Marifat (Teks, Kekuasaan, dan Esensi: Pemikiran Keagamaa n antara Kehendak Pengetahuan), Kairo, (1995).
  • Dawair al-Kawf: Qiraat fi Khitab al-Marat (Wilayah Ketakutan: Pembacaan atas Wacana Perempuan), Dar al-Beida, (1999).
  • Al-Imam al-Syafii wa Tasis al-Aidiulujiyyah al-Washatiyyah. Kairo: Sina li al-Nasyr.

Wallahu A’lam.

Menyoal Pemaknaan Wali Menurut Al-Quran

0
Pemaknaan Wali Menurut Al-Quran
Pemaknaan Wali Menurut Al-Quran

Pembahasan tentang wali adalah persoalan yang rumit. Al-Quran sendiri menyebutkan, terdapat sebanyak 124 kata benda dan sekitar 112 kata kerja dari kata dasar wali yang dipakai (Quraish Shihab: 2014). Sebab itu, kata wali atau auliya’ tidak pernah henti-hentinya dikaji, baik di jurnal, buku, majalah, maupun tugas akhir; skripsi, tesis, dan disertasi. Berikut pemaknaan wali menurut al-quran.

Kata wali banyak polarisasinya. Ada yang mengatakan akar kata wali adalah ‘al-wilayah’ yang artinya ’kekuasaan’ atau ‘daerah’. Lalu diserap ke dalam bahasa Indonesia dan kita mengenalnya dengan istilah wali kota, wali murid, atau wali mempelai dalam pernikahan. Arti wali dalam konteks tersebut bermakna seseorang yang menguasai, punya hak penuh atas apa yang ia miliki.

Ada juga yang mengatakan kalau ‘wali’ terambil dari kata ‘al-walayah’, yang berarti pertolongan. Dari segi bahasa, wali memang maknanya bermacam-macam; kekasih, sekutu, penolong, kawan karib, follower, tetangga, dan lain-lain.

Baca juga: Syah Waliyullah Al-Dahlawi: Tokoh Pencetus Asbabun Nuzul Makro

Sementara secara terminologinya, di kalangan Ulama Ahlussunnah sering menyebut wali ditujukan kepada seorang yang beriman, bertakwa, dan mempunyai kedekatan tinggi di hadapan Allah Swt. Tidak salah jika Walisongo yang menyebarkan agama Islam di tanah Nusantara disebut sebagai waliyullah (orang yang dekat dengan Allah), karena memang kata dasar dari wali adalah ‘waliya-yawla’, yang berarti ‘dekat’.

Lantas, siapakah yang mempunyai otoritas untuk mengklaim atau menyebut seseorang sebagai wali? Sebab jika diukur dari kualitas ibadah atau iman dan taqwa seseorang, konsep tersebut masih abstrak. Derajat wali ada di bawah nabi, tapi identitasnya lebih misteri dibanding nabi. Wajar jika ada sebuah kaidah yang terkenal mengatakan; ‘la ya’riful wali illal wali’, tidak ada yang tahu wali kecuali wali itu sendiri.

Mengenai penjagaan seorang wali, Allah Swt dalam sebuah hadis qudsi-Nya berfirman, “Siapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku telah menyatakan perang untuknya” (Man ‘adaa liy waliyyan faqad aadathu bi al-harbi). Di dalam Q.S. Yunus (10): 62 dicirikan, seorang wali adalah ia yang tidak punya rasa takut dan rasa sedih di hatinya. Dia selalu berada dalam garis pembelaan terhadap ajaran Allah, dengan cara membela makhluk-Nya. Menistakan makhluk-Nya, sama saja menistakan pencipta-Nya. Tidak aneh jika K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) disebut sebagai seorang wali karena pembelaannya kepada nilai-nilai kemanusiaan tanpa rasa takut.

Bila melihat definisi al-Qur’an tersebut, wali tidak masuk kepada kategori orang-orang yang takut terhadap segala hal yang menimpa dirinya. Takut dipenjara, takut dihukum, takut disidang, takut jatuh miskin, takut tidak bisa menikah, takut sulit move on, dan kesedihan lainnya. Sebab itulah, sikap silau terhadap kehebohan seseorang yang kita anggap sebagai pembela agama, namun perilakunya bertentangan dengan ajaran agama, tidak dibenarkan.

Baca juga: Maryam Binti ‘Imran, Perempuan yang Menjadi Wali Allah

Dalam sebuah kisah diceritakan seorang wali yang dikenal sebagai orang gila berpakaian compang-camping laiknya gelandangan. Namun ketika meninggal dunia, banyak khalayak berbondong-bondong mengantarkan kepergiannya. Dalam hemat saya, katakanlah orang tersebut adalah gila dan hina di hadapan manusia, tetapi tidak di hadapan Allah Swt.

Poinnya adalah orang tersebut tidak pernah melukai hati saudaranya. Tidak pernah menghina dan mendzalimi sesama. Justru orang-orang yang seperti itu malah sering mendoakan kebaikan kepada saudara-saudaranya. Di pesantren, saya diajarkan, ada sebuah sindiran bila melihat orang yang gila, para santri menyentil, “Ojo dipoyoki sopo ngerti kui wali” atau “Atine ditoto ojo dirasani sing ora-ora, iso wae dongone mandi”. Dan saya pribadi justru menyangsikan, kalau ada orang yang kelihatannya paling depan dan berteriak paling keras soal bela agama, tetapi perilakunya jauh dari agama, berat rasanya orang itu disebut sebagai waliyullah (kekasih Allah).

Imam Syafi’i dalam kitab A’lamus Sunnah Al-Manshurah menyatakan, apabila kalian melihat orang yang bisa berjalan di atas air atau terbang di udara, janganlah tertipu dengannya, sampai kalian mengetahui dia mengikuti amalan dan sunnah Rasulullah. Jika bertentangan dengan ajaran Rasul, maka dia adalah wali setan (temannya setan).

Pernyataan Imam Syafi’i di atas sangat menarik jika kita kaji kembali khususnya oleh generasi milenial, generasi yang lahir di tengah banyaknya informasi hoax serta bermacam bentuk kepalsuan dan rekayasa (simulakra). Banyak orang yang kelihatannya hebat, bisa menggandakan uang, bisa menghilang, dan mempunyai pasukan ribuan di akun-akun media sosial. Kita tidak perlu terkejut, gumunan. Karena bisa jadi itu semua hanya tipuan mesin-mesin robot yang sengaja diciptakan untuk tampak memukau di depan mata, untuk menipu orang yang melihatnya.

Baca juga: Hermeneutika Kritis Jurgen Habermas dan Posisinya dalam Studi Al-Quran

Di media sosial, kita tidak perlu menyanjung dan memuja seseorang sak sundul langit, jika ia melakukan kehebatan atau suatu kehebohan yang luar biasa. Dan kita juga tidak perlu menghina dan menista seseorang yang telah berbuat jahat atau dosa. Siapa tahu orang yang berbuat baik itu hanyalah kepalsuan. Dan yang berbuat buruk atau jahat, dia juga berpeluang menjadi orang yang baik.

Kita tentu pernah mendengar sebuah kisah dimana seorang pelacur yang masuk surga karena memberi minum kepada anjing yang kehausan, dan kita juga pernah mendengar keampuhan seorang ustadz Barseso, yang bisa terbang dan menghilang, namun di ujung kematiannya, dia melakukan perbuatan yang melanggar syariat Islam; minum khomr, berbuat zina, bahkan sampai membunuh saudaranya.

Wali (orang yang dekat dengan Allah) untuk saat ini, adalah dia yang bukan hanya duduk manis dalam ritus-ritus ibadah an sich. Sekarang juga ada wali digital (waliyuddigital). Dialah yang mengamalkan prinsip-prinsip kebaikan, tidak mudah mencemooh dan melakukan hujatan di media sosial. Sebaliknya, ada wali setan. Orang-orang yang menciptakan chaos, mengajak keburukan dengan cara menyebarkan fitnah serta ujaran kebencian, walaupun dengan topeng agama sekalipun.

Kita berhak menjadi follower dari akun yang kita anggap sebagai kekasih (baca: wali) di media sosial, karena itu hak kita secara personal. Namun perlu diingat, kita tidak pernah mendengar seorang wali, kekasih Allah, yang menyebarkan ajaran Islam dengan kekerasan dan mengumbar kebencian, serta menghujat dan memaki orang lain. Karena kekasih Allah tentu ia mendakwahkan ajaran yang sesuai dengan sifatnya yang rahman dan rahim, pengasih dan penyayang. Sementara wali setan, adalah sebaliknya.

Bisa jadi, yang kita maki-maki di media sosial adalah seorang yang mempunyai kedekatan tinggi di sisi-Nya, kita tidak tahu. Namun di dalam hadis qudsi-Nya, Sang pemilik wali itu berpesan; Man ‘adaa liy waliyyan faqad aadathu bi al-harbi, “Siapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku telah menyatakan perang untuknya”. Membenci dan memerangi makhuk-Nya, berarti sama halnya mengajak perang pencipta-Nya. Lalu, bagaimana jika yang kita maki-maki di media sosial itu justru orang-orang yang selama ini dekat dengan-Nya? wallahu a’lam[]

Hermeneutika Kritis Jurgen Habermas dan Posisinya dalam Studi Al-Quran

0
Jurgen Habermas
Jurgen Habermas

Jurgen Habermas merupakan seorang sosiolog ternama di Jerman. Pemikiran hermeneutiknya banyak memberikan kritik kepada Gadamer. Dalam bangunan hermeneutikanya, Habermas menekankan pada aspek kritisime dalam analisis bahasa.

Baginya, bahasa tidak hanya sebagai alat penyampai pesan atau alat berkomunikasi tapi lebih daripada itu, bahasa juga dapat menjadi media bagi penguasa atau ideologi tertentu untuk melakukan pembenaran.

Jadi sebuah sistem bahasa yang telah ada atau telah membudaya bukanlah suatu hal yang netral sebab di dalamnya bisa saja ada sebuah distorsi yang sistematis di dalamnya, yakni dimana pengguna bahasa sudah terjebak dalam ketidaksadaran atas bahasa yang ia gunakan baik secara individu maupun kelompok.

Sederhananya banyak kosa kata khusus yang digunakannya akibat pengaruh pergaulan di lingkup lingkungan sosialnya, sehingga menjadi sebuah anomali jika dinilai dengan tata bahasa umum.

Baca Juga: Muhammad al-Ghazali, Mufassir Penggerak Hermeneutika dari Timur Tengah

“Komunikasi yang terdistorsi secara sistematis” inilah yang dilihat oleh Jurgen Habermas sebagai aspek yang tidak terjamah oleh Gadamer. Bagi Habermas perlu atau sebuah keharusan bagi seorang penafsir untuk mengetahui dan mengecek pemahaman penulis terhadap apa yang ditulisnya sehingga terbebas dari distorsi makna. Kebebasan akan distorsi makna itulah yang akan membebaskan kebenaran.

Adapun distorsi itu dapat dilihat (dalam teks) dari ketidakpatuhan penulis dengan tata bahasa umum yang telah ada. Dalam hal cara kerjanya, ada dua cara kerja utama hermeneutika kritis Jurgen Habermas, yakni: 1) interpretasi, dimana ini adalah tugas penafsir untuk mampu mencoba merancang sebuah konstruksi pengetahuan yang di dalamnya ada bahasa publik dan privat—hanya penulisnya yang tahu; 2) analisis, yakni sebuah upaya untuk mengkaji lebih dalam terhadap simbol-simbol privat yang digunakan oleh penulis, yang dalam hal ini dapat dikatakan “terdistorsi”, dengan meminta penulis me-recall ingatannya sehingga dapat ditemukan motif-motif yang melatarbelakangi sang penulis melakukan sensor terhadap dirinya (Hardiman, Seni Memahami: 203-209).

Dari sanalah akan didapati kesepahaman antara penafsir dan penulis dalam bentuk kebenaran yang sifatnya emansipatoris atau terbebas dari belenggu-belenggu power yang dapat berbentuk kekuasaan ataupun ideologi-ideologi yang merepresi penulis—disini terlihat sekali pengaruh pemikiran Marx.

Teori hermeneutika kritis ala Habermas ini di satu sisi merupakan pelengkap dari hermeneutika yang digagas oleh Gadamer, namun di sisi lain sebenarnya tidak bisa menjangkau apa yang digagas oleh Gadamer.

Dalam hermeneutika Gadamer, teks dianggap netral dan universal artinya tidak adanya kecurigaan bahwa telah terjadi distorsi dalam teks yang disebabkan oleh penulisnya sendiri. Maka hermeneutika Habermas, dapat dikatakan, lahir untuk memberikan kritik sekaligus melengkapi aspek yang tak terjamah oleh Gadamer yakni terjadinya distorsi secara sistematis dalam teks, dengan memberikan sebuah modul cara kerja untuk mengorek dan menjelaskan permasalahan distorsi ini langsung dari penulisnya.

Namun dalam realita empirisnya—yang dimaksud disini adalah dalam ranah kajian al-Qur’an, metode hermeneutika kritis ini terlihat tidak dapat diterapkan sebab kitab-kitab yang dikaji biasanya penulisnya telah wafat—kecuali jika mengkaji pemikir-pemikir kontemporer yang masih ada seperti Farid Essack maupun Abdullah Saeed misalnya, atau bahkan jika merujuk kepada al-Qur’an secara langsung itu akan menjadi mustahil untuk diterapkan.

Sebab secara teologis sebagai umat Islam tidak mungkin kita menyatakan bahwa Tuhan mengalami gejala psikopatologi sebagaimana manusia tatkala kita menjumpai ayat al-Qur’an yang secara uslub keluar dari uslub orang Arab pada umumnya—sebab justru hal itu dikatakan sebagai al-i’jaz al-balaghy atau mukjizat kebahasaan.

Namun dalam rangka pengembangan Studi Islam secara umum, teori Jurgen Habermas dapat dijadikan sebagai alat atau kacamata dalam melihat fenomena sosial keagamaan. Jadi dengan melihat realita yang sedang berkembang dan membaca adanya fenomena psikopatologi di dalamnya. Semisal munculnya berbagai fenomena arabisasi ataupun fundamentalisme yang belakangan ini banyak terjadi dalam tubuh masyarakat Indonesia.

Baca Juga: Kajian Barat atas Timur: Dari Edward Said Sampai Angelika Neuwirth

Dengan menggunakan pisau analisis teori hermeneutika Habermas, kita dapat melakukan interpretasi dan upaya rekonstruksi atas epistemologi pemikiran yang dibangun dalam masyarakat tersebut.

Selanjutnya untuk mendapatkan pemahaman yang holistik atas fenomena yang terjadi, maka perlu adanya penggalian informasi dengan salah satunya mengadakan penelitian partisipatif sehingga nantinya didapati apa yang saya sebut sebagai refleksi natural—atau sederhananya prilaku spontan yang telah menjadi ciri khas suatu komunitas tertentu yang didalamnya tentu dipengaruhi oleh ideologi yang mempengaruhinya—dari apa yang mereka pahami dan apa yang mereka lakukan. Wallahu a’lam.

Surah Al-Baqarah [2] Ayat 133: Nabi Yaqub Berwasiat Kepada Anaknya

0
Nabi Yaqub
Nabi Yaqub AS

Nabi Yaqub as adalah putra dari nabi Ishaq bin Ibrahim dan ibunya Rifqah binti A’zar atau yang lebih dikenal orang barat sebagai Rebecca. Beliau adalah salah satu nabi yang wajib diketahui dan dipercaya oleh umat Islam yang bersal dari Palestina. Nabi Yaqub menjalani hidupnya tepat di bawah jejak ayah dan kakeknya (nabi Ibrahim) yang memiliki keyakinan penuh pada Keesaan Tuhan.

Menurut Sami bin Abdullah Al-Maghluts dalam bukunya, Atlas Sejarah Nabi dan Rasul, nabi Yaqub diutus kepada penduduk bani Israil pada tahun 1750 SM atau saat berusia sekitar 87 tahun. Beliau diperkirakan lahir pada 1837 SM dan wafat pada 1690 SM. Nabi Yaqub dimakamkan di Al-Khalil, Hebron, Palestina. Sedangkan pengutusannya adalah wilayah Syam.

Nabi Yaqub memiliki empat orang istri, masing-masing bernama Liya yang menurunkan tujuh orang anak; Rahel yang menurunkan dua orang anak (nabi Yusuf dan Bunyamin); Balha melahirkan dua orang anak; dan Zulfa yang juga melahirkan dua orang anak. Sehingga, total anak-anak nabi Yaqub berjumlah 12 orang.

Ia dikenal sebagai sosok orang tua yang penyayang. Beliau senantiasa memberikan perhatian dan kasih sayang yang sama untuk semua anak-anaknya, termasuk dua yang paling bungsu Yusuf dan Bunyamin. Tak jarang nabi Yaqub berwasiat kepada anaknya agar selalu hidup berdasarkan ketentuan Allah swt, sebab Dia adalah Tuhan Semesta alam.

Surah Al-Baqarah [2] Ayat 133: Nabi Yaqub Berwasiat Kepada Anaknya

Dalam Al-Qur’an nama Yaqub disebutkan sebanyak 16 kali dengan nama yang jelas. Beberapa kali disebut dengan nama Israil, ayahnya Yusuf, dan lainnya. Namanya juga beberapa kali disebut bersamaan dengan kisah putranya, Yusuf, serta kisah Ibrahim dan Ishaq. Hal ini disebabkan karena zaman mereka berdekatan dan kesamaan visi serta misi yang mereka sampaikan.

Baca Juga: Kisah Nabi Yahya dalam Al-Quran: Dapat Hikmah dan Maksum Sejak Kecil

Dakwah Nabi Yaqub tidak banyak diceritakan dalam Al-Qur’an maupun buku-buku sejarah yang juga ditulis dari sumber Al-Qur’an karena minimnya sumber rujukan atau referensi. Namun, kisahnya bersama Yusuf, menunjukkan keutamaan Yaqub dalam menjalankan tugasnya sebagai utusan Allah swt kepada anak-anak dan kaumnya.

Salah satu ayat Al-Qur’an yang menyinggung tentang ajaran nabi Yaqub kepada anak-anak dan umatnya adalah surah al-Baqarah [2] ayat 133. Secara umum ayat ini menyebutkan bahwa sebelum kematiannya nabi Yaqub berwasiat kepada anaknya tentang Tuhan yang berhak disembah dengan sebenar-benarnya, yakni Allah Yang Maha Esa.

اَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاۤءَ اِذْ حَضَرَ يَعْقُوْبَ الْمَوْتُۙ اِذْ قَالَ لِبَنِيْهِ مَا تَعْبُدُوْنَ مِنْۢ بَعْدِيْۗ قَالُوْا نَعْبُدُ اِلٰهَكَ وَاِلٰهَ اٰبَاۤىِٕكَ اِبْرٰهٖمَ وَاِسْمٰعِيْلَ وَاِسْحٰقَ اِلٰهًا وَّاحِدًاۚ وَنَحْنُ لَهٗ مُسْلِمُوْنَ ١٣٣

Apakah kamu menjadi saksi saat maut akan menjemput Yakub, ketika dia berkata kepada anak-anaknya, “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab, “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu yaitu Ibrahim, Ismail dan Ishak, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami (hanya) berserah diri kepada-Nya.” (QS. Al-Baqarah [2] ayat 133).

Menurut Quraish Shihab, ketika Allah berfirman, “Apakah kamu menjadi saksi saat maut akan menjemput Yakub, ketika dia berkata kepada anak-anaknya,” Dia tidak sedang bertanya mengenai kehadiran para penduduk bani Israil, karena pada waktu itu tidak ada yang hadir kecuali anak-anak nabi Yaqub. Pertanyaan ini sebenarnya merupakan sebuah kritik kepada mereka yang menyekutukan Allah dengan dalih mengikuti ajaran nabi Yaqub.

Pada ayat ini, Allah swt ingin menegaskan ketika mendekati kewafatannya, Ia berwasiat kepada anaknya bahwa mereka harus senantiasa mengesakan Allah di manapun dan kapanpun mereka berada. Penekanan penyebutan waktu sebelum maut akan menjemput pada surah al-Baqarah [2] ayat 133 menunjukkan bahwa wasiat ini amatlah penting. Karena itu adalah saat terakhir, saat perpisahan dan tidak akan ada wasiat lain sesudahnya.

Selanjutnya, ayat di atas menjelaskan wasiat itu dalam bentuk yang sangat meyakinkan. Mereka ditanya oleh Yaqub, lalu setelah mereka sendiri menjawab, jawaban itulah yang merupakan wasiat nabi Yaqub: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mengapa redaksi pertanyaan itu berbunyi “apa” dan bukan “siapa” yang kamu sembah? Karena kata “apa” dapat mencakup lebih banyak hal dari kata “siapa.”

Pertanyaan nabi Yaqub menggunakan kata “apa” bukan tanpa sebab. Beliau berkaca pada sejarah penyimpangan manusia terhadap ajaran nabi sebelumnya. Bukankah ada orang Yahudi dan selainnya yang menyembah makhluk tak berakal? Orang Yahudi pernah menyembah anak sapi, yang lainnya menyembah berhala, ada lagi yang menyembah bintang, matahari, dan lain-lain.

Ketika mendengar nabi Yaqub bertanya, mereka dengan tegas dan serempak menjawab, “Kami kini dan nanti akan terus-menerus menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu yaitu Ibrahim, dan putra Nabi Ibrahim dan juga pamanmu yang sepangkat dengan ayahmu yaitu lsma‘il serta Tuhannya ayah kandungmu wahai ayah kami Nabi Yaqub, yaitu Ishaq.” Tuhan yang dimaksud di sini Adalah Allah swt.

Baca Juga: Kisah Nabi Musa dan Doa-Doa yang Dipanjatkannya dalam Surat al-Qashash

Terlihat bahwa jawaban mereka amat gamblang. Bahkan, untuk menghilangkan kesan bahwa Tuhan yang mereka sembah itu dua atau banyak tuhan – karena sebelumnya mereka berkata, Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu – maka ucapan mereka dilanjutkannya dengan penjelasan bahwa (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya, bukan kepada selain-Nya siapa pun Dia.

Berdasarkan keterangan di atas, dapat diketahui bahwa menjelang kewafatannya nabi Yaqub berwasiat kepada anaknya agar senantiasa mengesakan Allah swt dan tidak mempersekutukan Dia dengan sesuatu apapun. Wasiat ini adalah ajaran ketauhidan yang dibawa oleh setiap nabi dan rasul, mulai dari nabi Adam as hingga nabi Muhammad saw. Sebuah ajaran yang wajib diketahui, diyakini dan diamalkan oleh umat Islam sepanjang zaman. Wallahu a’lam.