Beranda blog Halaman 444

Tafsir Surat Al A’raf Ayat 1-3

0
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102

Baca juga: Tafsir Surat Al- An’am 1


Sebelum membahas tafsir surat Al-A’raf ayat 1-3 baiknya terlebih dahulu kita berkenalan dengannya. Surat ini berjumlah 206 ayat menepati urutan ke 7 menurut Tartib Mushaf Usmani, dan termasuk golongan surat Makkiyah karena diturunkan sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah.

Tafsir surat Al-A’raf ayat 1-3 menjadi pembuka pada surat ke-7 yang mengantarkan para pembaca pada keseluruhan isi kandungan surat Al-A’raf. Surat yang memiliki arti “Tempat Tertinggi” ini di awali dengan huruf muqatha’ah yang telah di bahas dalam Q.S al-Baqarah ayat 1. Surat Al-A’raf juga termasuk dalam “Assab ‘Uththiwal” yakni 7 surah yang panjang.

Tafsir surat Al-A’raf ayat 1-3 secara ringkas, khususnya dalam ayat 2-3 membahas Al-Qur’an yang diturunkan kepada Rasulullah sebagai petunjuk dan juga peringatan terhadap orang-orang mukmin. Allah menghibur Rasulullah dari orang-orang musyrik yang menghinanya dengan menurunkan Al-Qur’an, agar Rasulullah senantiasa bersabar dalam berdakwah.

Ayat 1

Mengenai tafsir ayat “Alif Lam Mim Sad”, lihat jilid I Al-Qur′an dan Tafsirnya tentang tafsir permulaan surah dengan huruf-huruf hijaiyah.

Ayat 2-3

Ayat ini menerangkan bahwa kitab yang diturunkan kepada Muhammad saw yang berisi bimbingan dan petunjuk, adalah untuk memberi peringatan kepada orang-orang mukmin. Muhammad janganlah sekali-kali merasa sedih menghadapi tantangan, perlawanan, ejekan dan hal-hal yang lain dari kaum musyrikin, dalam menyampaikan risalah yang telah ditugaskan kepadanya. Hendaklah dia bersabar menghadapinya. Adanya tantangan dari kaum musyrikin sehingga dada Muhammad saw akan menjadi sesak karenanya telah diketahui oleh Allah sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:

وَلَقَدْ نَعْلَمُ اَنَّكَ يَضِيْقُ صَدْرُكَ بِمَا يَقُوْلُوْنَ

Dan sungguh, Kami mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan. (al-Hijr/15: 97)

Tetapi ia diperintahkan agar bersabar, tetap teguh hati menghadapi mereka sebagaimana halnya rasul-rasul sebelumnya.

Firman Allah:

فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ اُولُوا الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ

Maka bersabarlah engkau (Muhammad) sebagaimana kesabaran rasul-rasul yang memiliki keteguhan hati… (al-Ahqaf/46: 35)

Kitab tersebut harus dijadikan pelajaran dan peringatan bagi orang-orang mukmin, karena peringatan itu akan membawa manfaat dan pengaruh kepada mereka.

وَذَكِّرْ فَاِنَّ الذِّكْرٰى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِيْنَ

Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang mukmin. (Adz-Dzariyat/51: 55)


Baca Juga: Tafsir Surat Yasin Ayat 5-6: Diutusnya Nabi Muhammad SAW Sebagai Pemberi Peringatan


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat At Takatsur Ayat 4-8

0
tafsir surat at takatsur
Tafsiralquran.id

Setelah pada ayat yang lalu berbicara mengenai orang-orang yang sombong dengan membangga-banggakan harta, anak keturunan, serta jabatannya, Tafsir Surat At Takatsur Ayat 4-8 ini berisi ancaman Allah swt atas perilaku mereka. Pada pembahasan sebelumnya juga telah dipaparkan mengenai ancaman Allah dan ancaman tersebut diulangi kembali.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat At Takasur Ayat 1-3


Dalam Tafsir Surat At Takatsur Ayat 4-8 ini juga berisi peringatan Allah swt agar tidak terlena dengan harta yang melimpah. Karena melimpahnya harta biasanya membuat lalai terhadap ibadah. Orang-orang yang berprilaku lalai seperti ini nantinya akan mendapat azab atas apa yang mereka lakukan di dunia.

Ayat 4

Allah mengulang ancaman-Nya melalui ayat ini dan merupakan ancaman sesudah ancaman, bagaikan  seorang tuan berkata kepada hamba sahayanya bahwa agar tidak mengerjakan sesuatu, kemudian tuan itu mengulangi ucapannya itu.

Ayat 5

Ayat ini merupakan peringatan Allah dalam bentuk perintah agar waspada terhadap tingkah laku yang buruk itu. Keinginan untuk berlebih-lebihan dapat menyibukkan seseorang untuk mengerjakan pekerjaan yang tidak bermanfaat.

Pendirian yang dianggapnya benar itu sebenarnya adalah salah. Itu hanya sangkaan belaka yang pasti berubah, karena tidak sesuai dengan kenyataan. Yang harus menjadi pendirian adalah yang sesuai dengan kenyataan yang dapat disaksikan oleh mata, oleh perasaan atau berdasarkan dalil sahih.

Ayat 6

Dalam ayat ini, Allah menerangkan sebagian azab yang akan dialami oleh orang yang bermegah-megahan itu karena kelalaian tersebut. Mereka akan ditimpa azab di akhirat, dan pasti akan melihat tempat itu dengan mata kepala mereka sendiri.

Oleh sebab itu, mereka hendaknya selalu merenungkan kedahsyatan azab itu dalam pikiran agar membawa mereka kepada perbuatan yang baik dan bermanfaat. Maksud perkataan “melihat neraka Jahim” adalah merasakan azabnya, sesuai dengan tujuan Al-Qur’an dalam pemakaian kata-kata tersebut.


Baca juga: Mengenal 55 Nama Al-Quran Beserta Alasan Penamaannya (3)


Ayat 7

Kemudian dengan ayat ini, Allah menguatkan isi ayat sebelumnya, bahwa azab itu benar-benar akan dirasakan oleh orang yang teperdaya itu. Oleh karena itu, siapa saja dan dari golongan apa saja hendaklah bertakwa kepada Tuhannya serta menghindari perbuatan-perbuatan yang menyebabkan mereka disiksa.

Hendaknya seseorang itu memperhatikan nikmat-nikmat Allah yang ada padanya untuk dipelihara dan dipergunakan sesuai dengan fungsi nikmat tersebut. Juga hendaknya mereka tidak melakukan kejahatan, mengada-adakan kemungkaran, dan mengharap-harapkan ampunan Allah hanya semata-mata dengan pengakuan beragama Islam dengan memakai nama dan gelar yang muluk-muluk, sedangkan ia menyalahi hukum-hukum Alquran dan melakukan tindakan yang sama dengan musuh Islam.

Ayat 8

Allah lebih memperkuat lagi celaan-Nya terhadap mereka dengan mengatakan bahwa sesungguhnya mereka akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan-kenikmatan yang mereka megah-megahkan di dunia, apa yang mereka perbuat dengan nikmat-nikmat itu.

Apakah mereka telah menunaikan hak Allah daripadanya, atau apakah mereka menjaga batas-batas hukum Allah yang telah ditentukan dalam bersenang-senang dengan nikmat tersebut. Jika mereka tidak melakukannya, ketahuilah bahwa nikmat-nikmat itu adalah puncak kecelakaan di hari akhirat.

Diriwayatkan dari Nabi Muhammad, beliau berkata:

مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِيْ سِرْبِهِ مُعَافًى فِيْ جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوْتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّهُ حِيْزَتْ لَهُ الدُّنْيَا بِحَذَافِيْرِهَا.

(رواه البخاري وأبو داود والترمذي وابن ماجه عن عبيد الله محصن)

Barangsiapa di antara kamu yang bangun pagi dalam keadaan aman sentosa pada dirinya atau aman di tempatnya, sehat wal afiat badannya serta mempunyai bekal hidup untuk harinya, maka seolah-olah dunia dengan segala kekayaannya telah diserahkan kepadanya. (Riwayat al-Bukhari, Abµ Dawud, at-Tirmizi, dan Ibnu Majah dari Ubaidillah bin Muhsan)

Baca setelahnya: Tafsir Surat Al ‘Asr Ayat 1-3

(Tafsir Kemenag)

Krisis Kemanusiaan, Gus Mus Serukan Para Kyai Memviralkan Kandungan Surat Al-Hujurat

0
Gus Mus Serukan Para Kyai Memviralkan Kandungan Surat Al-Hujurat
Gus Mus Serukan Para Kyai Memviralkan Kandungan Surat Al-Hujurat

Ujaran kebencian dan kekerasan semakin menggila di negeri ini. Mengaku benar hingga merendahkan orang lain seakan-akan menjadi kewajaran. Pembunuhuan dengan atas nama “kebenaran” personal pun menguat, terlebih bayang-bayang hoax selalu menyertainya. Atas fenomena krisis kemanusiaan ini, Gus Mus pun menyerukan kyai dan ustadz-ustadz untuk memviralkan kandungan surat Al-Hujurat.

Kyai kharismatik asal Rembang ini menyampaikan pesan dalam pengajian rutin kitab Tafsir anggitan ayah beliau, KH Bisri Mustofa. Dalam pengajian di pesantren beliau yang disiarkan live streaming di channel youtube GusMus Channel pada 27 November lalu, pesan di penghujung pengajian mendadak viral. Banyak sekali youtube reuploader yang memotong bagian akhir pengajian itu untuk lebih menegaskan pentingnya pesan Gus Mus. 

Beberapa youtube reuploder itu seperti channel Ngaji KiaiKu dengan judul “Pesan Syaikhina KH. A. Mustofa Bisri untuk Gus Baha dan Kiai-Kiai”, sampai saat ini postingan itu mencapai 126 ribu views. Ada juga channel Generasi Muda Nusantara dengan judul “Apa Isinya!! Hingga Gus Mus Berpesan kepada Gus Baha’ untuk Memviralkan QS. Al-Hujurat?”, sampai saat ini pun sudah mencapai 163 ribu views.

Baca juga: Tafsir Surat Al-Hujurat Ayat 11: Larangan Saling Menghina Dan Merendahkan dalam Al-Quran

Dalam pengajian ini, Gus Mus semula menjelaskan tentang surat Al-Baqarah ayat 253 tafsir Al-Ibriz. Ayat ini berbunyi,

 ۞ تِلْكَ الرُّسُلُ فَضَّلْنَا بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍۘ مِنْهُمْ مَّنْ كَلَّمَ اللّٰهُ وَرَفَعَ بَعْضَهُمْ دَرَجٰتٍۗ وَاٰتَيْنَا عِيْسَى ابْنَ مَرْيَمَ الْبَيِّنٰتِ وَاَيَّدْنٰهُ بِرُوْحِ الْقُدُسِۗ وَلَوْ شَاۤءَ اللّٰهُ مَا اقْتَتَلَ الَّذِيْنَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ مِّنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَتْهُمُ الْبَيِّنٰتُ وَلٰكِنِ اخْتَلَفُوْا فَمِنْهُمْ مَّنْ اٰمَنَ وَمِنْهُمْ مَّنْ كَفَرَ ۗوَلَوْ شَاۤءَ اللّٰهُ مَا اقْتَتَلُوْاۗ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ يَفْعَلُ مَا يُرِيْدُ ࣖ ٢٥٣ 

Artinya: Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian mereka dari sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang (langsung) Allah berfirman dengannya dan sebagian lagi ada yang ditinggikan-Nya beberapa derajat. Dan Kami beri Isa putra Maryam beberapa mukjizat dan Kami perkuat dia dengan Rohulkudus. Kalau Allah menghendaki, niscaya orang-orang setelah mereka tidak akan berbunuh-bunuhan, setelah bukti-bukti sampai kepada mereka. Tetapi mereka berselisih, maka ada di antara mereka yang beriman dan ada (pula) yang kafir. Kalau Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Tetapi Allah berbuat menurut kehendak-Nya.

Dalam penafsiran ini, kaum-kaum setelah Nabi Isa saling berselisih, bahkan ada yang bunuh-bunuhan. Ini yang ditanggapi Gus Mus bahwa umat Islam pun demikian. Setelah era Nabi Muhammad banyak sekali perselisihan hingga saat ini. Padahal Al-Qur’an sudah menjelaskan agar bersosial dengan baik.

Ini yang kemudian menjadi keresahan Gus Mus. Apakah umat Muslim saat ini tidak membaca Al-Qur’an? Atau membaca Al-Qur’an namun tidak memahami, tidak menghayati, apalagi mengamalkan?. Gus Mus pun berasumsi ada dua kemungkinan, pertama umat muslim memang tidak membaca Al-Qur’an. dan asumsi kedua umat muslim mulai mengabaikan pedomannya sendiri. Sungguh Ironi.

Baca juga: Jangan Berprasangka Buruk! Renungkanlah Pesan Surat Al-Hujurat Ayat 12

Dalam pengajian itu Gus Mus secara tegas memberikan pesan terhadap para Kyai, Ustadz dan penceramah lainnya untuk memviralkan kandungan QS. Al-Hujurat.

“Saiki kyai-kyai, ustadz-ustadz suruh Ngaji khusus surat Al-Hujurat. Saat ini penting kon moco, Kandani Gus Baha barang kon mulang surat Al-Hujurat,”

“Saat ini kyai-kyai, ustadz-ustadz suruh mengaji khusus surat Al-Hujurat. Saat ini penting untuk membaca itu. Sampaikan juga ke Gus Baha agar mengajar surat Al-Hujurat,” ujar Gus Mus.

Kyai yang piawai bersastra ini juga membacakan beberapa kandungan QS. Al-Hujurat.

  1. Al-Hujurat; Pedoman Bersosial untuk Sesama

Gus Mus memberikan beberapa contoh kandungan surat ini, di antaranya yaitu ayat tentang diciptakannya manusia dari beragam bangsa hingga suku untuk saling mengenal. Kemudian, kemuliaan seseorang di hadapan Allah dinilai dari ketaqwaanya. Ayat ini merupakan ayat ke-13 yang berbunyi,

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ ١٣ 

Gus Mus juga membacakan ayat sebelas tentang larangan mengolok-olok.

لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّنْ قَوْمٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُوْنُوْا خَيْرًا مِّنْهُمْ

“Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok).”

وَلَا تَلْمِزُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوْا بِالْاَلْقَابِۗ

“Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.”

Kemudian Gus Mus pun membacakan ayat kedua belas tentang larangan berprasangka buruk.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ

“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain.”

Baca juga: Surat Al-Hujurat Ayat 13: Dalil Sila Kedua Pancasila

Terakhir, Gus Mus mulai mempertanyakan umat Islam tentang fenomena caci maki, merendahkan antar golongan. Ayat ini pun mempertanyakan, apakah ada yang tega memakan daging saudara sendiri? Tentu ayat ini bertanda akan pentingnya intropeksi diri.

اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ

“Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik,”

Dari pesan-pesan ini, jelas sekali Gus Mus mengajak kepada para ulama lain agar menyampaikan kasih sayang menghindari permusuhan. Jauh dari beberapa ayat yang disebutkan Gus Mus, memang dalam QS. Al-Hujurat banyak narasi perdamaian. Mari kita turut menyebarkan pesan ini, semoga Indonesia kembali damai, mari mengaji lagi QS. Al-Hujurat.

Wallahu a’lam[]

Menelisik Tafsir Falsafi (2), Karakteristik, Metode dan Sumber Penafsiran

0
tafsir falsafi
tafsir falsafi

Dalam artikel sebelumnya telah dijelaskan mengenai pengertian, sejarah dan perkembangan tafsir falsafi. Sekarang kita masuk pada bagian kedua, yaitu karakteristik, metode dan sumber penafsiran tafsir falsafi. Jamak diketahui bahwa setiap corak atau metode dalam penafsiran Al-Quran memiliki ciri masing-masing. Muhammad Ali al-Ridha’i al-Isfahany dalam Durus fi Al-Manhaj wa Al-Ittijahat al-Tafsiriyah li Al-Quran memberikan karakteristik tafsir falsafi sebagai berikut.

Karakteristik Tafsir Falsafi

  • Penafsiran ayat-ayat Al-Quran berhubungan dengan wujud Allah dan sifat-Nya.
  • Memperhatikan ayat-ayat mutasyabihat.
  • Menakwilkan zahir Al-Quran dan merekonsiliasikan antara kalam filsafat dengan ayat-ayat Al-Quran, serta relevansi ayat dengan filsafat.
  • Menggunakan rasio dan bukti (burhan atau bayyin) serta mengadopsi pendekatann ijtihad-rasional dalam tafsir.
  • Motif interpretasi adalah mempertahankan pandangan filosofis dan teori-teori filsafat.

Dari paparan al-Isfahany ada satu hal yang patut kita kritisi bersama adalah motif interpretasi dengan pendekatan filsafat adalah untuk mempertahankan tesis filsafat dan teori-teorinya. Dalam konteks ini, al-Isfahany terlalu tendensius apabila mempergunakan filsafat untuk mempertahankan pandangan fiolosofis.

Mengingat pendekatan filsafat sejatinya adalah tools (alat) untuk menghasilkan pemahaman yang rasional, sistematif, inklusif, universal dan tentunya ciri atau karakteristik ini adalah ciri khas dari filsafat itu sendiri sehingga menjadikan kajian tafsir falsafi menjadi “istimewa” dan menarik atensi tersendiri dari para penafsir bermazhab filosofis.

Senada dengan al-Isfahany, pendapat serupa juga dikemukakan oleh al-Dzahabi, bahwa tafsir falsafi menggunakan pentakwilan terhadap nushus al-Diniyah dan hakikat syariah, menyesuaikan dengan proposisi atau logika pemikiran filsafat, dan atau menggunakan pendekatan filsafat dalam menafsirkan Al-Quran.

Baca juga: Menelisik Tafsir Falsafi (1): Pengertian dan Sejarah Perkembangannya

Metode Tafsir Falsafi

Setidaknya ada dua metode dalam melakukan kerja penafsiran Al-Quran bercorak falsafi, sebagai berikut. Pertama, menafsirkan ayat Al-Quran dengan mengkontraskannya dengan teori-teori filsafat. Artinya di saat yang bersamaan mereka melakukan takwil terhadap nash Al-Quran sekaligus menjelaskan nash tersebut melalui teori filsafat.

Mereka menempatkan pandangan para filosof sebagai first class (primer) ketimbang Al-Quran yang notabene lebih legitimate dalam kedudukan tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa filsafat seolah-olah melampaui teks Al-Quran (beyond a holy scripture). Ini kan sangat sporadis, apatis dan menyudutkan kitab suci. Mazhab inilah yang ditempuh oleh Fakhruddin Ar-Razi dalam Mafatih al-Ghaib dan al-Thabathaba’i dalam al-Mizan fi Tafsir al-Quran.

Kedua, menafsirkan dan memahami ayat-ayat Al-Quran dengan teori filsafat. Berbeda dengan metode pertama, metode kedua ini lebih menggunakan pemikiran filsafat dijadikan sebagai alur kerangka berpikir (framework) dalam menafsirkan dan memahami ayat-ayat Al-Quran. Model penafsiran ini dianut oleh al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ikhwan al-Shafa.

Sumber Penafsiran Tafsir Falsafi

Al-Isfahanu menerangkan bahwa yang menjadi rujuan atau sumber-sumber dalam menafsirkann ayat-ayat Al-Quran secara falsafi ialah merujuk pada di bawah ini.

Ittijah al-Falsafiyah al-Masya’iyah fi al-Tafsir

Term falsafah al-Masya’iyah atau peripatetik ini berdasarkan kepada metode falsafi yang merujuk pada akar pemikiran Aristoteles. Salah satu tokoh yang dianggap menonjol adalah Ibnu Sina dalam filsafat al-Masya’iyah melalui kitabnya As-Syifa yang mencakup di dalamnya pemikiran filsafat.

Baca juga: Mengenal Corak Tafsir Sufistik (2): Sejarah dan Periodisasi Perkembangan Tafsir Sufistik

Ittijah al-Falsafah al-Isyraqiyah [timur] fi al-Tafsir

Sumber kedua ini merujuk pada pemikiran Neo-Plotinus (al-Afathaniyah al-Jadidah) dan filsafat Iran klasik (al-Qudama’), di antara tokoh Islam yang paling berpengaruh ialah Syihab al-Din al-Sahrawardi (549-587 H) yang memberi kontribusi besar terhadap perkembangan corak falsafi isyraqiyah.

Ittijah al-Hikmah al-Muta’aliyah fi al- Tafsir

Corak ketiga adalah menggabungkan corak filsafat Masya’iyah dengan al-Isyraqiyyah. Al-Mula Sadra al-Syirazi (1050 H) adalah tokoh yang memadukan dua corak ini dalam penafsiran Al-Quran.

Dari ketiga sumber penafsiran di atas, menurut al-Isfahany yang menjadi fokus penafsiran dengan pendekatan filsafat adalah ayat-ayat tentang Itsbat wujud Allah, hakikat wujud Allah dan sifat-sifatnya, tauhid, al-nafs, al-‘aql, al-‘aliyyah, dan al-I’jaz.

Tafsir Surat At Takatsur Ayat 1-3

0
tafsir surat at takatsur
Tafsiralquran.id

Pada pembahasan yang lalu telah berbicara mengenai hari kiamat serta keadaan mencekam yang menyertainya, Tafsir Surat At Takatsur Ayat 1-3 ini berbicara mengenai kesombongan manusia dalam hal duniawi. Mereka berlomba-lomba dalam menumpukk harta, bermegah-megah sehingga membuatnya lalai atas dirinya sebagai hamba.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al Qari’ah Ayat 1-11


Yang di maksud dengan dengan kesombongan dalam Tafsir Surat At Takatsur Ayat 1-3 ini adalah sikap tidak mau kalah dengan membangga-banggakan kekayaan, keturunan dan jabatan yang dimilikinya. Padahal hal tersebut telah dilarang oleh Allah swt karena dapat menimbulkan kekacauan dan permusuhan.

Ayat 1

Dalam ayat ini, Allah mengungkapkan bahwa manusia sibuk bermegah-megahan dengan harta, teman, dan pengikut yang banyak, sehingga melalaikannya dari kegiatan beramal. Mereka asyik dengan berbicara saja, teperdaya oleh keturunan mereka dan teman sejawat tanpa memikirkan amal perbuatan yang bermanfaat untuk diri dan keluarga mereka.

Diriwayatkan dari Mutarrif dari ayahnya, ia berkata:

اَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَقْرَأُ اَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ قَالَ يَقُوْلُ ابْنُ آدَمَ مَالِيْ مَالِيْ قَالَ وَهَلْ لَكَ يَا ابْنَ آدَمَ مِنْ مَالِكَ إِلاَّ مَا أَكَلْتَ فَأَفْنَيْتَ أَوْ لَبِسْتَ فَأَبْلَيْتَ أَوْ تَصَدَّقْتَ فَأَمْضَيْتَ.

(رواه مسلم)

Saya menghadap Nabi saw ketika beliau sedang membaca al-hakumut-takasur, beliau bersabda, “Anak Adam berkata, Inilah harta saya, inilah harta saya. Nabi bersabda, “Wahai anak Adam! Engkau tidak memiliki dari hartamu kecuali apa yang engkau makan dan telah engkau habiskan, atau pakaian yang engkau pakai hingga lapuk, atau yang telah kamu sedekahkan sampai habis.” (Riwayat Muslim)

Diriwayatkan pula bahwa Nabi saw bersabda:

لَوْ أَنَّ لِابْنِ آدَمَ وَادِيًا مِنْ مَالٍ لاَبْتَغَى إِلَيْهِ ثَانِيًا وَلَوْ كَانَ لَهُ وَادِيَانِ لاَبْتَغَى إِلَيْهِ ثَالِثًا وَلاَ يَمْلَأُ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلاَّ التُّرَابُ وَيَتُوْبُ اللهُ عَلَى مَنْ تَابَ.

(رواه أحمد والبخاري ومسلم والترمذي عن أنس)

Seandainya anak Adam memiliki satu lembah harta, sungguh ia ingin memiliki dua lembah harta, dan seandainya ia memiliki dua lembah harta, sungguh ia ingin memiliki tiga lembah harta dan tidak memenuhi perut manusia (tidak merasa puas) kecuali perutnya diisi dengan tanah dan Allah akan menerima tobat (memberi ampunan) kepada orang yang bertobat.  (Riwayat Ahmad, al-Bukhari, Muslim, dan at-Tirmizi dari Anas)

Ahli tafsir ada yang berpendapat bahwa maksud ayat ini adalah bangga dalam berlebih-lebihan. Seseorang berusaha memiliki lebih banyak dari yang lain baik harta ataupun kedudukan dengan tujuan semata-mata untuk mencapai ketinggian dan kebanggaan, bukan untuk digunakan pada jalan kebaikan atau untuk membantu menegakkan keadilan dan maksud baik lainnya.

اِعْلَمُوْٓا اَنَّمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَّلَهْوٌ وَّزِيْنَةٌ وَّتَفَاخُرٌۢ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِى الْاَمْوَالِ وَالْاَوْلَادِۗ  كَمَثَلِ غَيْثٍ اَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهٗ ثُمَّ يَهِيْجُ فَتَرٰىهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُوْنُ حُطَامًاۗ وَفِى الْاٰخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيْدٌۙ وَّمَغْفِرَةٌ مِّنَ اللّٰهِ وَرِضْوَانٌ  ۗوَمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَآ اِلَّا مَتَاعُ الْغُرُوْرِ   ٢٠

Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sendagurauan, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian (tanaman) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu. (al-Hadid/57: 20)


Baca juga: Tafsir Surat Yasin Ayat 9-10: Perumpamaan Bagi Orang yang Tidak Beriman


Ayat 2

Selanjutnya Allah menjelaskan keadaan bermegah-megah di antara manusia atau dengan usaha untuk memiliki lebih banyak dari orang lain akan terus berlanjut hingga mereka masuk lubang kubur. Dengan demikian, mereka telah menyia-nyiakan umur untuk hal yang tidak berfaedah, baik dalam hidup di dunia maupun untuk kehidupan akhirat.

Para ulama berpendapat bahwa menziarahi kuburan adalah obat penawar yang paling ampuh untuk melunakkan hati, karena dengan ziarah kubur itu manusia akan ingat mati dan hari akhirat, maka dengan sendirinya akan membatasi keinginan-keinginan yang bukan-bukan.

Nabi Muhammad bersabda:

كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوا الْقُبُوْرَ فَإِنَّهَا تُزَهِّدُ فِى الدُّنْيَا وَتُذَكِّرُ اْلآخِرَةَ.

(رواه ابن ماجه عن ابن مسعود)

Saya pernah melarang kamu menziarahi kubur, maka sekarang ziarahilah kubur itu, karena menziarahi kubur itu akan menjadikan zuhud dari kemewahan dunia dan mengingatkan kamu kepada kehidupan akhirat. (Riwayat Ibnu Majah dari Ibnu Mas’µd)

Ayat 3

Kemudian Allah dengan ayat ini memperingatkan bahwa bermegah-megahan itu tidak pantas dikerjakan karena akibatnya buruk serta menimbulkan kekacauan dan permusuhan. Sebaliknya Allah menganjurkan agar diciptakan kerukunan hidup, bantu-membantu dalam menegakkan kebenaran dan tolong-menolong dalam kebajikan dan dalam melestarikan hidup bermasyarakat, dengan membina akhlak yang luhur serta budi pekerti yang baik.


Baca setelahnya: Tafsir Surat At Takasur Ayat 4-8


(Tafsir Kemenag)

Ingin Memiliki Keluarga Sakinah? Amalkan Doa Surat Al-Furqan Ayat 74

0
Memiliki Keluarga sakinah: Doa Surat Al-Furqan ayat 74
Memiliki Keluarga sakinah: Doa Surat Al-Furqan ayat 74

Memiliki keluarga sakinah adalah dambaan setiap orang. Mempunyai pasangan yang saleh dan cocok dengan kita. Diberikan anak-anak yang saleh serta berbakti kepada kedua orang tuanya. Diliputi rasa bagaia, tentram, berkah, dan harmonis dalam keluarga. Dan tentunya menjadi keluarga bertakwa yang memperoleh ridho dari Sang Maha Kuasa.

Ajaran Islam telah memberikan pedoman dan petunjuk kepada umatnya agar mencapai kehidupan bahagia di dunia maupun akhirat. Kebahagiaan yang diharapkan tersebut termasuk perihal urusan manusia dalam hal membina rumah tangga. Di dalam Al-Quran surah Al-Furqan ayat 74 terdapat sebuah doa yang diajarkan kepada manusia agar mencapai keluarga yang sakinah.

Baca juga: Tuntunan Membina Keluarga dalam Al-Quran: Surat At-Taghabun Ayat 6

Ciri-ciri Keluarga Sakinah dalam Surat Al-Furqan Ayat 74

Dalam surah Al-Furqan ayat 74, terdapat sebuah penjelasan mengenai ciri-ciri keluarga sakinah:

وَٱلَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَٰجِنَا وَذُرِّيَّٰتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَٱجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

“Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”

Dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat tersebut merupakan doa yang dipanjatkan oleh orang-orang yang saleh di masa terdahulu. Mereka adalah orang-orang yang khsusyuk beribadah kepda Allah. Mereka juga menginginkan agar keluarga mereka, istri-istri mereka, dan anak keturunan mereka juga menjadi orang yang bertakwa kepada Allah. Mengenai ayat tersebut Wahbah Zuhayli dalam Tafsir al-Wajiz menerangkan bahwa orang-orang tersebut menginginkan sebuah keluarga yang harmonis dan juga sakinah. Di antara ciri-ciri keluarga sakinah dalam surah Al-Furqan ayat 74 adalah sebagai berikut.

Pertama, dianugerahi istri atau pasangan yang menyenagkan hati sebagaimana dalam lafadz قُرَّةَ أَعْيُنٍ. Lafadz ini ditafsirkan Wahbah Zuhayli sebagai yang menyejukkan mata kepala dan mata hati. Banyak orang-orang di zaman sekarang yang menginginkan pasangannya sempurna. yang meraka maksud sempurna adalah dari segi materi seperti cantik, tampan, pintar, kaya, modis dan lain-lain. Namun ternyata dalam Al-Quran, hal ini bukanlah menjadi patokan kebahagiaan. Justru yang menjadi landasan kebahagiaan dalam membina rumah tangga adalah pasangan yang menyenangkan hati, meskipun pasangan kita tidak sempurna secara materi.

Ciri kedua adalah anak-anak dan keturuanan yang juga menyenangkan hati. Secara psikologis, kehadiran seorang anak merupakan pelengkap bagi keutuhan rumah tangga. Tentunya sebagi orang tua akan sangat senang jika anugerah anak yang dititipkan Allah adalah yang menyenangkan hati. Anak-anak yang saleh dan salehah dan selalau berbakti kepada kedua orang tuanya.

Baca juga: Keluarga Ideal Menurut al-Quran dan Perannya Demi Keutuhan Bangsa

Ketika manusia telah mempunyai dua unsur tersebut, yaitu pasangan dan anak-anak yang menyenangkan hati maka bisa dikatakan ia telah memiliki keluarga yang harmonis. Namun, ternyata terdapat tambahan keterangan dalam surah Al-Furqan ayat 74 untuk bisa dikatakan sebagai keluarga yang sakinah. Ayat itu ditutup dengan وَٱجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا . Wahbah Zuhayli menjelaskan bahwa lafadz ini adalah doa yang yang dipanjatkan orang-orang saleh tersebut agar pasangan dan anak keturunan mereka menjadi orang yang taat kepada Allah, berilmu, dan juga pandai beramal.

Doa Mendapatkan Keluarga Sakinah

Surah Al-Furqan ayat 74 tersebut pada mulanya adalah sebuah ucapan doa dari orang-orang saleh yang diabadikan Allah dalam Al-Quran. Wahbah Zuhayli menjelaskan bahwa ayat ini adalah lafadz doa orang-orang terdahulu agar dianugerahi keluarga yang saleh. Kemanfaatan atas doa yang mereka ini tidak hanya kembali kepada mereka pribadi, namun juga kepada segenap umat Islam karena sifat dan doa mereka dapat diteladani.

Hal tersebut menandakan bahwa ayat ini juga dapat dicontoh dan sangat dianjurkan kepada umat Islam sekarang. Ayat doa tersebut memang sederhana, namun ternyata maknanya sangat luar biasa. Menjadi keluarga yang sakinah tidak diukur dari kekayaan materi yang diperoleh seperti pasangan yang sempurna atau kaya raya. Lebih dari itu, keluarga sakinah adalah memiliki pasangan yang menyenangkan hati, anak-anak yang berbakti dan menjadi keluarga yang selalu taat kepada Allah. Adapun lafadz doanya adalah sebagai berikut:

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَٰجِنَا وَذُرِّيَّٰتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَٱجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

“Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”

Ketahui Fungsi-Fungsi Air dalam Al-Quran, Inilah Penjelasannya

0
Fungsi air dalam Al-Quran
Fungsi air dalam Al-Quran

Sebagai pedoman hidup yang bersifat universal, Al-Quran tidak hanya bicara soal urusan–urusan ‘ubudiyah dan ‘aqidah saja. Al-Quran juga banyak berbicara soal mu’amalah atau interaksi sosial. Ternyata Al-Quran juga menginformasikan tentang sumber daya alam, fungsinya sekaligus pengelolaannya. Salah satu sumber daya alam yang akan dibahas kali ini yaitu air. Berikut penjelasan tentang fungsi air dalam Al-Quran.

Air merupakan salah satu bagian dari infinite resource atau sumber daya alam tak terhingga. Tata kelola air dalam Al-Quran dijelaskan dalam banyak ayat, penyebabnya salah satunya adalah kondisi demografis masyarakat Arab pada saat itu yang cenderung mempunyai persediaan air yang tak banyak. Sehingga efektifitas penggunaannya perlu diinformasikan.

Fungsi air dalam Al-Quran jenis pertama yaitu sebagai komponen penumbuhan tanaman. Pengelolaan air jenis ini adalah yang paling banyak disebutkan dalam Al-Quran, di antaranya adalah surat Al-An’am ayat 99 :

وَهُوَ الَّذِي أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجْنَا بِهِ نَبَاتَ كُلِّ شَيْءٍ فَأَخْرَجْنَا مِنْهُ خَضِرًا نُخْرِجُ مِنْهُ حَبًّا مُتَرَاكِبًا وَمِنَ النَّخْلِ مِنْ طَلْعِهَا قِنْوَانٌ دَانِيَةٌ وَجَنَّاتٍ مِنْ أَعْنَابٍ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُشْتَبِهًا وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ انْظُرُوا إِلَى ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَيَنْعِهِ إِنَّ فِي ذَلِكُمْ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

Artinya, “Dan Dialah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan maka Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau. Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak; dan dari mayang korma mengurai tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur, dan (Kami keluarkan pula) zaitun dan delima yang serupa dan yang tidak serupa. Perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah dan (perhatikan pulalah) kematangannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman.

Baca Juga: Mengenal Lebih Jauh Tentang Tafsir Ilmi: Pengertian dan Perkembangannya

Berdasar ayat diatas, bisa kita simpulkan  bahwa air adalah komponen penting untuk menumbuhkan buah–buahan, pepohonan, dan tanaman–tanaman lain. Dalam ayat tersebut, lafaz Ma’ (Air) disandingkan dengan kata Fa Akhrajna (Maka kami tumbuhkan). Penambahan preposisi Bi yang dimudhafkan pada dhamir referensi dari air, menunjukkan faidah sababiyah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa air adalah salah satu faktor pendukung terjadinya pertumbuhan tanaman.

Hal ini disebabkan karena air yang mengandung unsur mineral diserap oleh akar tanaman, yang kemudian disalurkan oleh batang ke dedaunan pohon. Ini menunjukkan bahwa Al-Quran cukup konsern dalam membahas hal–hal yang berkaitan dengan agraria sebagai salah satu alternatif cara manusia untuk bertahan hidup.

Tidak hanya tumbuhan, di ayat 30 surat Al-Anbiya’ juga disampaikan bahwa segala sesuatu yang hidup itu berasal dari air,

وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاۤءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّۗ اَفَلَا يُؤْمِنُوْنَ……….

“……….dan Kami jadikan segala sesuatu yang hidup berasal dari air; maka mengapa mereka tidak beriman?”

Baca Juga: Tafsir Ilmi Kemenag: Bumi yang Dinamis dan Relevansinya Bagi Kehidupan

Kedua, fungsi air dalam Al-Quran tertera dalam surat Al-Anfal ayat 11. Di ayat ini Air dikatakan sebagai sarana hidup bersih. Berikut bunyi ayatnya:

إِذْ يُغَشِّيكُمُ النُّعَاسَ أَمَنَةً مِنْهُ وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ وَيُذْهِبَ عَنْكُمْ رِجْزَ الشَّيْطَانِ وَلِيَرْبِطَ عَلَى قُلُوبِكُمْ وَيُثَبِّتَ بِهِ الْأَقْدَامَ

Artinya : “(Ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteraman daripada-Nya, dan Allah menurunkan kepadamu air (hujan) dari langit untuk mensucikan kamu dengan air itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan syaitan dan untuk menguatkan hatimu dan mesmperteguh dengannya telapak kaki(mu)”

Dalam ayat tersebut, air disandingkan dengan kata Li Yutahhirakum (agar bersuci kalian semua). Jalaluddin As-Suyuthi dalam Tafsir Al-Jalalain menjelaskan bahwa yang dimaksud bersuci adalah bersuci dari hadas dan najis. Sementara itu, air menjadi komponen utama dalam aktifitas bersuci, wudu, mandi dan menyucikan najis (baik di badan maupun tempat).

Namun demikian, penafsiran Muhammad Abu Zahrah dalam tafsirnya Zahrat at-Tafasir, yang mengatakan bahwa proses penyucian disini meliputi proses secara Hissy (konkrit) maupun ma’nawy (filosofis) juga perlu diperhatikan.

Baca Juga: Tafsir Surat Ar-Rahman Ayat 5 – 9: Tiga Nikmat yang Tampak di Langit dan Bumi

Ketiga, air sebagai sumber pelepas dahaga. fungsi air dalam Al-Quran kali ini tertera dalam surat Al-Hijr ayat 22 :

وَأَرْسَلْنَا الرِّيَاحَ لَوَاقِحَ فَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَسْقَيْنَاكُمُوهُ وَمَا أَنْتُمْ لَهُ بِخَازِنِينَ

Artinya  : “Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan) dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum kamu dengan air itu, dan sekali-kali bukanlah kamu yang menyimpannya”.

Ini adalah fungsi air yang paling utama, yakni sebagai minuman manusia. Selain sebagai media pelepas dahaga, air juga memenuhi kebutuhan manusia akan mineral dan menjaga kinerja organ tubuh agar lebih maksimal. Selain itu, ayat ini juga menyatakan bahwa air adalah tanda kekuasaan Allah, sehingga kosakata yang digunakan adalah Asqaa-yusqii (meminumkan), hal ini diperkuat dengan frasa wa maa antum lahu bi khaaziniin, yang menunjukkan bahwa manusia tak berdaya dalam menampung maupun membuat air.

Demikianlah fungsi–fungsi air yang disebutkan dalam Al-Quran. Ini menunjukkan pada kita bahwa Al-Quran benar-benar merupakan Big Book petunjuk bagi seluruh umat manusia. Selain tentang fungsi air, petunjuk yang dapat kita ambil dari ayat-ayat di atas adalah pentingnya menjaga dan merawat sumber daya alam tersebut

Pelestarian air antara lain bisa dengan menghemat dalam penggunaannya, baik untuk bebersih maupun untuk dikonsumsi, menjaga air bersih agar tidak terkontaminasi, tercampur dengan limbah pabrik atau yang lainnya. Alam itu paling tahu cara berterimakasih, setiap yang manusia berikan padanya, ia akan membalasnya dengan serupa. Bukankah apa yang kita tanam, itu yang akan kita tuai? Wallahu A’lam

Surat Ar-Rum [30] Ayat 30: Mengesakan Allah SWT adalah Fitrah Manusia

0
Fitrah Manusia
Fitrah Manusia

Allah swt menciptakan manusia dengan berbagai atribut yang menyertai mereka, mulai dari jiwa, raga, nafsu, hingga akal pikiran atau hati. Berbagai atribut tersebut memiliki beberapa potensi bawaan dan mencakup potensi kebaikan dan ketidakbaikan (prosperous or unprosperous) yang berkaitan erat dengan kondisi jiwa. Salah satu contoh konkrit potensi bawaan manusia adalah fitrah manusia mengesakan Allah swt.

Surat Ar-Rum [30] Ayat 30: Fitrah Manusia Mengesakan Allah swt

Salah satu ayat Al-Qur’an yang berbicara mengenai fitrah manusia mengesakan Allah swt adalah surat ar-Rum [30] ayat 30 yang berbunyi:

فَاَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًاۗ فِطْرَتَ اللّٰهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَاۗ لَا تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللّٰهِ ۗذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُۙ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَۙ ٣٠

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Rum [30]: 30).

Menurut Quraish Shihab, ayat ini seakan-akan berkata, “Hadapkanlah wajahmu serta arahkan perhatianmu kepada agama yang disyariatkan Allah, yakni agama Islam dalam keadaan lurus. Tetaplah mempertahankan fitrah Allah yang telah menciptakan manusia atasnya yakni menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan yakni fitrah Allah tersebut. Itulah agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya, yakni tidak memiliki pengetahuan yang benar.

Kata fa aqim wajhaka adalah perintah untuk mempertahankan dan meningkatkan upaya menghadapkan diri kepada Allah secara sempurna, karena selama ini kaum muslimin apalagi nabi Muhammad saw telah menghadapkan wajah kepada tuntunan agama-Nya. Dari perintah di atas tersirat juga perintah untuk tidak menghiraukan gangguan kaum musyrikin, yang ketika turunnya ayat ini di Mekah, masih cukup banyak.

Kata hanifa biasa diartikan lurus atau cenderung kepada sesuatu. Kata ini pada mulanya digunakan untuk menggambarkan telapak kaki dan kemiringannya ke arah telapak pasangannya. Telapak kaki yang kanan condong ke arah kiri, dan telapak kaki yang kiri condong ke arah kanan. Ini menjadikan manusia dapat berjalan dengan lurus. Kelurusan itu menjadikan si pejalan tidak serong ke kiri dan tidak pula ke kanan.

Sedangkan kata fithrah terambil dari kata fathara yang berarti mencipta. Para pakar bahasa menyebutkan fitrah adalah “menciptakan sesuatu pertama kali tanpa ada contoh sebelumnya.” Kata tersebut dapat juga dipahami dalam arti asal kejadian atau bawaan sejak lahir. Patron kata yang digunakan ayat ini menunjuk kepada keadaan atau kondisi penciptaan itu sebagaimana diisyaratkan juga oleh lanjutan ayat ini yang menyatakan “yang telah menciptakan manusia atasnya.”

Ulama berbeda pendapat mengenai maksud dari kata fitrah pada surat ar-Rum [30] ayat 30 ini. Ada yang berpendapat bahwa fitrah yang dimaksud adalah fitrah manusia mengesakan Allah swt sebagaimana perkataan nabi Muhamad saw, “Semua anak yang lahir dilahirkan atas dasar fitrah, lalu kedua orang tuanya menjadikannya menganut agama Yahudi, Nasrani atau Majusi….” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad dan lain-lain melalui Abu Hurairah).

Al-Biqa’i tidak membatasi makna fitrah pada fitrah manusia mengesakan Allah swt. Menurutnya, yang dimaksud dengan fitrah adalah ciptaan pertama dan tabiat awal yang Allah ciptakan manusia atas dasarnya. Beliau mengutip al-Ghazali yang menulis dalam Ihya’ ‘Ulum ad-Din bahwa “Setiap manusia telah diciptakan atas dasar keimanan kepada Allah bahkan atas potensi mengetahui persoalan-persoalan sebagaimana adanya, karena adanya potensi pengetahuan (padanya).”

 Ibnu ‘Asyur memaknai fitrah sebagai “Keadaan atau kondisi penciptaan yang terdapat dalam diri manusia yang menjadikannya berpotensi melalui fitrah itu, mampu membedakan ciptaan-ciptaan Allah serta mengenal Tuhan dan syariat-Nya.” Fitrah menurutnya adalah unsur-unsur dan sistem yang Allah anugerahkan kepada setiap makhluk. Fitrah manusia adalah apa yang diciptakan Allah dalam diri manusia yang terdiri dari jasad dan akal serta jiwa.

Manusia berjalan dengan kakinya dan mengambil kesimpulan dengan mengaitkan premis-premis adalah fitrah akliah-nya. Sebaliknya, mengambil kesimpulan dengan premis-premis yang saling bertentangan bukanlah fitrah akliah manusia. Memastikan apa yang disaksikan mata kita sebagai hal-hal yang mempunyai wujud dan sebagaimana apa adanya adalah fitrah akliah, sedang mengingkarinya sebagaimana yang diduga oleh penganut sophisme adalah bertentangan dengan fitrah akliah.

Ibnu Sina mengilustrasikan cara kerja fitrah manusia seperti seorang dilahirkan ke dunia dengan akal yang sempurna, tetapi dia tidak dipengaruhi oleh konstruksi sosial dan hanya menyaksikan hal-hal yang bersifat indrawi. Lalu ia mengambil beberapa kondisi dan memaparkan ke dalam benaknya. Jika ia ragu berarti fitrah tidak mendukungnya, tetapi bila dia tidak ragu, maka itulah petunjuk fitrah. Namun beliau menambahkan bahwa tidak semua keputusan manusia dipengaruhi oleh fitrah karena masih ada faktor lain seperti akal dan nafsu.

Surat ar-Rum [30] ayat 30 di atas berbicara tentang fitrah yang dipersamakan dengan agama yang benar, Ini menunjukkan bahwa yang dibicarakan oleh ayat ini adalah fitrah manusia mengesakan Allah swt atau fitrah keagamaan, bukan fitrah dalam arti semua potensi yang diciptakan Allah pada makhluk. Melalui Surat ar-Rum [30] ayat 30, Al-Qur’an ingin mengajarkan bahwa fitrah keagamaan perlu diperjuangkan dan dipertahankan.

Berkenaan dengan fitrah ini, Prof. Vilayanur Ramachandran – ahli ilmu saraf – bersama timnya dari Universitas California di San Diego Amerika Serikat pernah menemukan fakta menarik, yakni adanya konsentrasi gelombang unik pada titik temporal lobes – bagian otak yang berada di belakang jidat – seseorang ketika ia khusuk mengingat Tuhan. Dalam temuan mereka, bagian yang responsif terhadap pemikiran terhadap hakikat Tuhan ini dinamakan sebagai god spot.

Berdasarkan penjelasan di atas, surat ar-Rum [30] ayat 30 memberi tahu pembaca Al-Qur’an bahwa Allah swt telah memberikan fitrah kepada manusia sebagai atribut pelengkap. Salah satu fitrah ini adalah fitrah manusia mengesakan Allah swt. Fitrah tersebut melekat pada setiap manusia tanpa terkecuali. Selain itu, ayat ini juga mengindikasikan bahwa esensi ajaran agama Allah – sebagai fitrah manusia – sangat erat dengan kemanusiaan itu sendiri. Wallahu a’lam.

Surat Al-Isra Ayat 26-27: Larangan Menyia-Nyiakan Makanan

0
Menyia-nyiakan makanan
Larangan menyia-nyiakan makanan

Banyak di antara kita yang masih belum bisa mengukur berapa besar kemampuan kita dalam menghabiskan makanan pada saat makan pagi, siang atau malam. Akibatnya seringkali saat selesai makan, kita sering menyia-nyiakan makanan dengan banyaknya sisa nasi atau lauk. Hal ini tentu tidak baik, apalagi kalau mengingat banyak manusia lain yang bahkan untuk satu kali makan saja mereka kesulitan.

Kebiasan menyia-nyiakan makanan di negara kita ini masih dapat dengan mudah kita temukan. Misalnya dalam budaya makan nasi liwet bersama dengan menggunakan alas daun pisang. Porsi yang diberikan biasanya banyak sekali, sehingga saat sesi makan selesai, banyak makanan yang tersisa.

Masih bagus kalau sisa makanan itu diberikan ke hewan ternak, tetapi kalau berakhir di tong sampah, tentu akan sia-sia. Kebiasaan menyia-nyiakan makanan tak hanya ada di situ, di restoran, warung-warung nasi, warung bakso, dan tempat makan lain, sisa makanan ini dapat dengan mudah kita lihat.

Tak heran kemudian, negara kita memperoleh gelar sebagai negara kedua di dunia yang paling banyak membuang makanan. Data yang dirilis Economist Intellegent Unit (EIU) menunjukan bahwa berdasarkan Food Sustainibility Index, Indonesia berada di peringkat paling bawah, satu tingkat lebih baik dari Arab Saudi dalam hal membuang sisa makanan.

Baca Juga: Surah Al-Baqarah [2] Ayat 168: Anjuran Makan Makanan Halal dan Bergizi

Penulis kemudian teringat dengan sebuah cerita dari seorang tetangga yang pernah bekerja di sebuah negara Arab. Beliau bekerja di sebuah keluarga yang kaya raya. Dalam sehari, koki di rumah tersebut harus minimal menyediakan 16 menu makanan, tak boleh kurang dari itu. Pernah suatu hari Sang Koki mengurangi makanan menjadi 14 menu. Ia takut berdosa, karena setiap hari harus membuang sisa makanan yang banyak.

Mengetahui hal itu, sang majikan malah marah besar, dia meminta sang koki tetap memasak 16 menu, soal dosa ia sendiri yang tanggung, demikian kata majikannya. Mendengar hal ini, tentu kita sangat miris.

Apalagi kalau kita mendengar bahwa negara muslim seperti Suriah dan Yaman terancam bencana kelaparan akibat perang dan pandemi corona. Padahal tentang menghambur-hamburkan nikmat makanan ini, jauh-jauh hari, Al-Quran, Surat al-Isra ayat 26-27 telah mengingatkan kepada kita:

وَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا

إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا

“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan hak mereka, kepada orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang menempuh perjalanan, dan janganlah engkau menghambur-hamburkan (hartamu, termasuk makanan, (ed)) dengan cara  boros. Sesungguhnya orang-orang yang boros itu adalah saudaranya setan, dan setan itu terbukti ingkar kepada Tuhanya.”

Sepertinya, ayat tersebut belum sepenuhnya terpatri dalam diri kaum muslimin semuanya. Malah sebaliknya, beberapa negara non muslim malah terlebih dahulu sadar tentang hal ini, sehingga mereka menerapkan denda yang cukup berat bagi para pembuang makanan. Sebagai contoh di Seattle, Amerika, ada peraturan bila sebuah rumah tangga ketahuan membuang sampah makanan sebanyak 10 persen dari total sampah rumah tangganya, maka akan didenda sekitar 1 US $.

Sementara itu apabila sebuah apartemen atau tempat usaha diketahui membuang sampah dengan jumlah persentase yang sama, maka akan didenda sebesar 50 US $. Hal yang sama juga berlaku di Jerman, berdasarkan berita dari laman cntraveler.com, bila seorang pengunjung tak menghabiskan makanan di sebuah restoran maka pengunjung tersebut bisa didenda antara 1 sampai dengan 2 Euro.

Kembali pada konteks awal tulisan ini, adalah sangat penting bagi kita untuk mengukur seberapa jauh kita dapat menghabiskan makanan, karena kalau tidak dihabiskan, maka makanan akan menjadi mubadzir. Hal ini sesuai sekali dengan apa yang pernah disampaikan rasulullah SAW.”Takarlah makanan kalian, maka kalian akan diberkahi” (Shahih Bukhari, dari al-Miqdam bin Ma’diyakrib).

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Petunjuk Al-Quran Tentang Makanan yang Halal dan Haram

Keberkahan yang dimaksud dapat berupa hilangnya rasa lapar dan keleluasan tubuh kita yang tidak terlalu kenyang. Selain itu, makanan yang belum tersentuh oleh kita, masih layak dimakan orang di sebelah kita atau mungkin diberikan kepada orang lain yang membutuhkan, setelah dikemas atau dibungkus terlebih dahulu.

Kemampuan mengelola nikmat makanan ini menjadi sangat penting, apalagi dimasa ketika makan berlimpah ruah seperti di acara syukuran, pesta pernikahan, buka puasa bersama, atau saat perayaan hari besar agama. Jangan sampai niat kita bersyukur, malah terjerumus menjadi kufur.

Kemampuan mengelola nikmat makanan ini juga melatih kita untuk mengelola nikmat-nikmat lain yang telah diberikan oleh Allah SWT kepada kita. Seperti nikmat waktu luang atau berlimpahnya harta. Jangan sampai nikmat-nikmat besar itu hanya berlalu begitu saja, tanpa pernah kita gunakan untuk membantu orang lain di sekitar kita. Bila kita dapat memaksimalkan nikmat-nikmat itu untuh hal yang baik, maka insya allah kita layak mendapatkan nikmat dari Allah SWT yang jauh lebih besar lagi. Wallahu ‘alam.

Tafsir Surat Yasin Ayat 9-10: Perumpamaan Bagi Orang yang Tidak Beriman

0
Yasin Ayat 9-10
Yasin Ayat 9-10

Pada tulisan yang lalu kita telah membahas tafsir surat Yasin ayat 7-8 tentang orang-orang yang terbelenggu dalam kekafiran. Adapun pada tulisan kali ini penulis akan mengajak pembaca membahas tafsir surat Yasin ayat 9-10 yang menceritakan nasib mereka yang dicap kafir tersebut. Allah Swt berfirman:

وَجَعَلْنَا مِن بَيْنِ أَيْدِيهِمْ سَدًّا وَمِنْ خَلْفِهِمْ سَدًّا فَأَغْشَيْنَاهُمْ فَهُمْ لَا يُبْصِرُونَ

وَسَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ

Dan Kami adakan di hadapan mereka tembok dan di belakang mereka tembok (pula), dan Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat.

Sama saja bagi mereka apakah kamu memberi peringatan kepada mereka ataukah kamu tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman.

Secara garis besar dua ayat di atas menginfokan bahwa orang-orang yang telah dicap kafir itu tidak akan bisa mendapatkan hidayah. Peringatan yang disampaikan Nabi tidak mampu menjadikan mereka beriman. Baik diberi peringatan maupun tidak, sama saja bagi mereka.

Baca Juga: Tafsir Surat Yasin ayat 1: Pengantar Tafsir dan Keutamaan Membacanya

Wahbah az-Zuhaili menyatakan, ayat ke-9 merupakan tamsil (perumpamaan) akan tertutupnya iman orang yang telah dicap kafir. Ini diilustrasikan dengan seseorang yang di hadapannya terbentang tembok besar yang menutupi pandangan, sehingga ia tidak mampu melihat apapun.

Allah Swt telah mengetahui dengan jelas siapa yang akan beriman dan siapa yang akan menjadi kafir. Pengetahuan Allah ini bersifat azali dan hanya Allah saja yang mengetahuinya, sehingga dalam realitasnya ini tidak menghalangi seseorang untuk beriman. Masing-masing orang telah diberi kemampuan (qudrah) dan keinginan (iradah) yang menjadikannya bebas dalam menentukan nasibnya sendiri.

Oleh karena itu, menurut Az-Zuhaili, kekafiran mereka disebabkan oleh sikap mereka yang angkuh, sombong, keras kepala, arogan dan tidak sudi menerima serta tunduk pada kebenaran. Pendapat tersebut diamini oleh M. Quraish Shihab. Menurutnya, ketidakmampuan mereka melihat ayat Allah sebenarnya didasari oleh keengganan mereka, maka peringatan Nabi Muhammad saw tidak berpengaruh pada diri mereka.

Sebagian orang menjadi kafir bukan karena tidak yakin pada Allah Swt, akan tetapi karena enggan menerima kebenaran. Sama seperti Iblis yang durhaka pada Allah Swt dengan menolak menaati perintahnya untuk sujud pada Nabi Adam as, meski ia tahu hal tersebut dilarang.

Berkaitan dengan kata saddan pada ayat ke-9, Nawawi al-Bantani menyebutkan terdapat dua versi cara membacanya. Pertama, dengan men-fathah-kan sin (saddan) yang merupakan qiraat Hamzah, al-Kisa’i dan Hafs. Sementara yang kedua dengan men-dammah-kannya (suddan). Ini adalah qiraat selain dari tiga imam yang telah disebutkan.

Kata saddan yang disebutkan dua kali di sini berarti tembok atau dinding yang menghalangi penglihatan. Tembok ini menurut Ar-Razi membatasi seseorang dari mendapatkan hidayah. Baik itu hidayah fitriyyah/jibiliyyah (bawaan dari lahir), maupun hidayah nazariyyah (yang dicari dan diusahakan).

Orang yang telah dicap kafir tidak bisa menemukan hidayah yang diusahakan karena terhalang tembok di depannya, serta tidak pula dapat kembali kepada hidayah bawaan, juga karena terhalang tembok di belakangnya.

Menurut Ibn Kasir, pesan ayat di atas mirip dengan QS. Yunus: 96-97 yang berbunyi:

إِنَّ الَّذِينَ حَقَّتْ عَلَيْهِمْ كَلِمَتُ رَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ

وَلَوْ جَاءَتْهُمْ كُلُّ آيَةٍ حَتَّىٰ يَرَوُا الْعَذَابَ الْأَلِيمَ

Sesungguhnya orang-orang yang telah pasti terhadap mereka kalimat Tuhanmu, tidaklah akan beriman,

meskipun datang kepada mereka segala macam keterangan, hingga mereka menyaksikan azab yang pedih.

Ayat-ayat al-Qur’an maupun peringatan Nabi tidak berpengaruh pada orang-orang seperti ini. Menurut Sayyid Qutb, hal tersebut disebabkan karena peringatan, ajakan atau nasihat orang lain tidak terlalu berpengaruh, meskipun itu datang dari seorang Nabi sekalipun. Buktinya banyak kerabat Nabi yang hingga kematiannya tetap pada kekafiran.

Baca Juga: Tafsir Surat Yasin Ayat 5-6: Diutusnya Nabi Muhammad SAW Sebagai Pemberi Peringatan

Yang lebih berpengaruh dan yang lebih menentukan ialah keterbukaan hati dalam menerima kebenaran yang disampaikan oleh orang lain. Hal ini yang luput dari hati orang-orang yang telah dicap kafir tersebut.

Meskipun demikian, sebagai pembawa risalah, Nabi Muhammad saw tetap diperintahkan untuk mendakwahi orang-orang seperti ini. Sebagaimana Nabi Musa a.s. yang juga diperintahkan untuk mendakwahi Fir’aun, bahkan dengan tetap menggunakan kata-kata yang lemah lembut (QS. Taha: 44)

Demikianlah tafsir surat Yasin ayat 9-10 yang penulis sarikan dari berbagai kitab tafsir populer. Nantikan pembahasan lain dari tafsir surat Yasin pada tulisan-tulisan selanjutnya. Wallahu a’lam.