Beranda blog Halaman 443

Tafsir Surat Al-A’raf ayat 7-9

0
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102

Tafsir Surat Al-A’raf ayat 7-9 ini membahas perbuatan manusia selama di dunia yang akan dimintai pertanggung jawabannya kelak di akhirat. Sebagai umat Islam wajib bagi kita untuk mempercayai hal-hal yang bersifat ghaib seperti hari akhir, adanya surga dan juga neraka.

Selain itu tafsir surat Al-A’raf ayat 7-9 ini secara ringkas menjelaskan pertimbangan amal manusia, barangsiapa yang timbangan amalnya baik maka amanlah dia. Tetapi barangsiapa yang timbangan amalnya dipenuhi dengan keburukan maka ia akan menanggung balasan yang setimpal dari Allah SWT.


Baca juga: Tafsir Surat Al-A’raf Ayat 6


Ayat 7

Ayat ini menerangkan bahwa kepada mereka, baik kepada rasul-rasul maupun kepada umat yang telah menerima seruan rasul, akan diceritakan kelak hal-hal yang telah mereka perbuat karena semua itu telah diketahui Allah, dan semuanya telah dicatat di dalam buku catatan malaikat pencatat. Tidak ada sesuatu pun yang luput dari pencatatan malaikat, sebagaimana firman Allah:

يٰوَيْلَتَنَا مَالِ هٰذَا الْكِتٰبِ لَا يُغَادِرُ صَغِيْرَةً وَّلَا كَبِيْرَةً اِلَّآ اَحْصٰىهَاۚ وَوَجَدُوْا مَا عَمِلُوْا حَاضِرًاۗ وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ اَحَدًا

… dan mereka berkata, “Betapa celaka kami, kitab apakah ini, tidak ada yang tertinggal, yang kecil dan yang besar melainkan tercatat semuanya,” dan mereka dapati (semua) apa yang telah mereka kerjakan (tertulis). Dan Tuhanmu tidak menzalimi seorang jua pun. (al-Kahf/18: 49)

Allah selalu menyaksikan gerak-gerik dan segala perbuatan mereka pada setiap waktu. Allah mendengar apa yang mereka katakan, melihat apa yang mereka lakukan, mengetahui semua perbuatan mereka, baik yang mereka lakukan secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. Allah berfirman:

وَهُوَ مَعَهُمْ اِذْ يُبَيِّتُوْنَ مَا لَا يَرْضٰى مِنَ الْقَوْلِ ۗ وَكَانَ اللّٰهُ بِمَا يَعْمَلُوْنَ مُحِيْطًا

…karena Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang tidak diridai-Nya. Dan Allah Maha Meliputi terhadap apa yang mereka kerjakan. (an-Nisa′/4: 108);

Pertanyaan ini bukanlah untuk meminta penjelasan tentang sesuatu yang tidak diketahui Allah, tetapi semata-mata untuk mencela perbuatan dan kelakuan mereka.

Ayat 8

Ayat ini menerangkan adanya timbangan di akhirat nanti. Timbangan ini wajib kita percayai karena dengan timbangan itulah akan diketahui besar kecilnya, berat ringannya amal seseorang. Timbangan di akhirat nanti adalah timbangan yang seadil-adilnya dan tak mungkin terjadi kecurangan dalam timbangan itu.

وَنَضَعُ الْمَوَازِيْنَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيٰمَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْـًٔا

Dan Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari Kiamat, maka tidak seorang pun dirugikan walau sedikit. (al-Anbiya′/21: 47);

Barang siapa berat timbangan amalnya, karena iman yang dimilikinya adalah iman yang sebenarnya. Ibadahnya kepada Allah dilakukan sebanyak mungkin penuh dengan khusuk dan ikhlas, dan hubungannya dengan sesama manusia baik sekali. Dia banyak menolong orang yang memerlukan pertolongan, membantu pembangunan masjid, madrasah, pesantren dan bangunan-bangunan lain yang digunakan memperbaiki dan meningkatkan akhlak umat, memelihara anak yatim, dan lain sebagainya. Manusia yang demikian inilah yang akan beruntung di akhirat nanti, merasa puas menerima semua balasan amalnya di dunia sebagaimana firman Allah:

فَاَمَّا مَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهٗۙ  ٦  فَهُوَ فِيْ عِيْشَةٍ رَّاضِيَةٍۗ  ٧

Artinya:

Maka adapun orang yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan (senang). (al-Qari’ah/101: 6-7)

Ayat 9

Barang siapa yang ringan timbangan amalnya, karena keingkarannya, imannya lemah sehingga ia banyak melakukan pelanggaran agama; ibadah ditinggalkan; amal-amal kebaikan disia-siakan, dan yang digemarinya adalah larangan-larangan agama, banyak menipu, menyakiti hati sesama manusia, memusuhi tetangganya, menyia-nyiakan anak yatim, membiarkan orang-orang sekelilingnya lapar dan menderita, asal dia kenyang dan senang. Manusia yang seperti ini akan merugi di akhirat nanti, dan akan dimasukkan ke dalam api neraka yang membara, seperti firman Allah:

وَاَمَّا مَنْ خَفَّتْ مَوَازِيْنُهٗۙ  ٨  فَاُمُّهٗ هَاوِيَةٌ  ۗ  ٩  وَمَآ اَدْرٰىكَ مَا هِيَهْۗ  ١٠  نَارٌ حَامِيَةٌ ࣖ  ١١  ;

Dan adapun orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. Dan tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu? (Yaitu) api yang sangat panas. (al-Qari’ah/101: 8-11);

Yang ditimbang ialah amal perbuatan, sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Ishak az-Zajjaj, “Telah sepakat ahlu sunnah tentang adanya timbangan itu, dan amal perbuatan hamba itulah yang ditimbang di akhirat nanti. Timbangan itu mempunyai lidah dan dua daun neraca timbangan.” Pernyataan Abu Ishak ini didasarkan pada sabda Nabi Muhammad saw:

تُوْضَعُ الْمَوَازِيْنُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَتُوْزَنُ الْحَسَنَاتُ وَالسَّيِّئَاتُ فَمَنْ رَجَحَتْ حَسَنَاتُهُ عَلَى سَيِّئَاتِهِ مِثْقَالَ حَبَّةٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ، فَمَنْ رَجَحَتْ سَيِّئَاتُهُ عَلَى حَسَنَاتِهِ مِثْقَالَ حَبَّةٍ دَخَلَ النَّارَ (رواه أبو داود والترمذي عن جابر)

“Diletakkanlah timbangan-timbangan itu di Hari Kiamat, maka ditimbanglah amal kebaikan dan amal kejahatan. Barang siapa lebih berat timbangan kebaikannya dari timbangan kejahatannya, sekali pun seberat butir biji, maka masuklah ia ke dalam surga, dan barang siapa timbangan kejahatannya lebih berat dari timbangan kebaikannya, sekalipun seberat butir biji masuklah ia ke dalam neraka.” (Riwayat Abu Daud dan at-Tirmidzi dari Jābir r.a.)


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al-Araf ayat 10


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat Yasin Ayat 18-19: Menjadi Sial Akibat Berperilaku Buruk

0
perilaku buruk
perilaku buruk

Syariat Allah swt. diajarkan para rasul kepada umatnya agar mereka dapat mengenal dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan sebenar-benarnya. Karena beribadah adalah tujuan utama diciptakannya jin dan manusia. Selain itu, syariat Allah juga menjadi petunjuk dan pedoman bagi kehidupan manusia sebagai al-Khalifah fi al-Ardh agar tidak terjadi kekacauan di atas bumi. Maka dari itu, tidak jarang kita jumpai sebagian kaum mendapat peringatan dari Allah akibat perilaku buruk yang melampaui batas-batas syariat.

Alquran telah banyak mengisahkan tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi pada kaum terdahulu, seperti musibah, nasib sial dan bahkan adzab.  Hal tersebut juga menjadi peringatan dan pelajaran bagi kaum lainnya. Dan terkait ini kita bisa mengambil pelajaran dari kaum Anthakiyah tentang keluhan nasib sial.

Allah swt berfirman dalam (QS. Yasin [36]: 18-19):

قَالُوْٓا اِنَّا تَطَيَّرْنَا بِكُمْۚ لَىِٕنْ لَّمْ تَنْتَهُوْا لَنَرْجُمَنَّكُمْ وَلَيَمَسَّنَّكُمْ مِّنَّا عَذَابٌ اَلِيْمٌ قَالُوْا طَاۤىِٕرُكُمْ مَّعَكُمْۗ اَىِٕنْ ذُكِّرْتُمْۗ بَلْ اَنْتُمْ قَوْمٌ مُّسْرِفُوْنَ

Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami bernasib malang karena kamu. Sungguh, jika kamu tidak berhenti (menyeru kami), niscaya kami rajam kamu dan kamu pasti akan merasakan siksaan yang pedih dari kami.” Mereka (utusan-utusan) itu berkata, “Kemalangan kamu itu adalah karena kamu sendiri. Apakah karena kamu diberi peringatan? Sebenarnya kamu adalah kaum yang melampaui batas.” (Q.S. Yasin [36]: 18-19)

Baca juga: Krisis Kemanusiaan, Gus Mus Serukan Para Kyai Memviralkan Kandungan Surat Al-Hujurat

Dua ayat di atas adalah lanjutan kisah kaum Anthakiyah dari ayat 13 tentang ajakan untuk beriman kepada Allah swt. Singkat ceritanya, Nabi Isa as. mengirim tiga utusan untuk mendakwahi penduduk Anthakiyah, dan sebagian dari mereka beriman. Sebagian lainnya yang tidak menerima dakwah mereka mengucapkan kata-kata kasar, berperilaku buruk, melemparkan tuduhan kepada para utusan dan bersumpah akan mencelakainya.

Ketika menjelaskan ayat 18, para mufassir menyebutkan beberapa riwayat dari jawaban penduduk Anthakia saat mereka sudah tidak bisa beralasan apa-apa.

Pertama: mereka mengancam dengan mengatakan “bahwa kalau kesengsaraan menimpa mereka kelak, maka hal ini disebabkan perbuatan kalian (para utusan). (at-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Quran)

Kedua: mereka berkata, “bahwa kami mengalami musibah kemarau panjang dan tersebarnya banyak penyakit penyebabnya tidak lain adalah sebab kedatangan kalian”. (al-Hamami, Tafsir Yasin, hlm. 7)

Ketiga: riwayat Qatadah, mereka berkata ,“tidaklah suatu kampung dimasuki orang-orang seperti kalian, kecuali mereka akan mendapat adzab”. (Tafsir Ibnu Katsir, 6/ 505)

Dari berbagai penafsiran di atas intinya adalah penolakan kaum Anthakiyah terhadap dakwah para utusan, padahal tanda-tanda kebesaran Allah telah nyata di hadapannya. Mereka menganggap turunnya musibah disebabkan datangnya para utusan dan ajakan beriman kepada Allah swt. Respon mereka sangat mengherankan. Bagaimana mungkin kedatangan para utusan yang sejatinya mengupayakan anugerah, kenikmatan dan kemuliaan untuk mereka, tetapi mereka menyambutnya dengan kata-kata kasar dan tuduhan pembawa kesialan atau perilaku buruk lainnya.

Baca juga: Pesan Cinta Syekh Adnan al-Afyouni: Pertahankan Kesejahteraan Indonesia !

Dan anggapan mereka pun di bantah oleh para utusan melalui firman Allah pada (QS. Yasin: 19). At-Thabari dalam kitabnya menerangkan:

يقولون: أعمالكم وأرزاقكم وحظكم من الخير والشر معكم، ذلك كله في أعناقكم

“para utusan berkata: ‘amal perbuatan, rizki, dan nasib baik maupun buruk pada diri adalah disebabkan kalian sendiri, semuanya berada di pundaknkalian’”.

Al-Hamimi dalam kitabnya Tafsir Surat Yasin menambah keterangan, ‘yakni, nasib sial yang menimpa kalian sebabnya adalah kekufuran dan pengingkaran kalian’.

Senada dengan kandungan ayat di atas adalah firman Allah swt. tentang kaum nabi Shaleh as, ’Kami mendapat nasib yang malang, disebabkan kamu dan orang-orang yang besertamu”.. Shalih berkata: Nasibmu ada pada sisi Allah. (Q.S. An-Naml [27]: 47).

Dampak Berbuat Maksiat

Menurut al-Qurthubi, sebagian penduduk Anthakiyah yang tidak beriman, bahkan membantah, mereka kemudian dibinasakan oleh malaikat Jibril.  Ini adalah potret fenomena suatu kaum akibat berperilaku yang buruk.

Perilaku buruk seseorang disadari atau tidak secara langsung berdampak negatif pada dirinya sendiri (hati). Dan bahkan pengaruh maksiat terhadap hati adalah  asal dari berbagai dampak negatif lainnya yang sifatnya lahiriyah, bahkan dampaknya dapat menjalar kepada orang lain.

Diriwayatkan oleh an-Nu’man bin Basyir,

أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ

“ketahuilah pada setiap tubuh ada segumpal darah yang apabila baik maka baiklah tubuh tersebut dan apabila rusak maka rusaklah tubuh tersebut. Ketahuilah, ia adalah hati”. (HR. al-Bukhari, No. 50)

Semoga kita selalu mendapatkan pertolongan dari Allah swt. dalam menjaga kesucian hati. Karena perkataan yang baik, perilaku yang baik dan sikap yang baik adalah cerminan dari hati yang baik pula.  Wallahu A’lam.

Kisah Nabi Ilyas as dalam Al-Quran dan Pertemuan dengan Nabi Ilyasa as

0
Nabi Ilyas as
Nabi Ilyas as

Nabi Ilyas as adalah seorang nabi yang diutus oleh Allah swt setelah nabi Daud dan Sulaiman. Beliau diperintahkan oleh Allah swt untuk berdakwah kepada kaum Baal di Kota Ba’albak yang terletak di daerah sebelah barat Damaskus (Suriah), daerah tersebut kini masuk wilayah Lebanon. Mereka adalah kelompok Bani Israil yang menyembah berhala Ba’al. Nabi Ilyas as menyeru mereka agar hanya menyembah kepada Allah dan mengesakan-Nya.

Menurut Wahb bin Munabbih, nabi Ilyas as merupakan putra Nissi bin Fanhas bin al-‘Izar bin Harun bin Imran. Sedangkan Menurut Ibn Ishaq, sebagaimana dikutip oleh Muhammad Washfi dalam Tarikh al-Anbiya’ wa ar-Rusul (hlm. 249), nabi Ilyas adalah putera Yusa ibn Fanhash ibn al-‘Izar ibn Harun, saudaranya Musa. Wahb juga menambahkan bahwa masa spesifik pengutusan nabi Ilyas as kepada bani Israil adalah sesudah Hizqil as (Hezkiel).

Kegigihan Nabi Ilyas Menghadapi Keingkaran Bani Israil dan Kemarau Panjang

Nama nabi Ilyas sendiri disebut dalam Al-Qur’an sebanyak empat kali, yaitu di Surat al-An’am ayat 85 dan ash-Shaffat ayat 123, 129, dan 130. Sedangkan, kisah tentang perjuangan nabi Ilyas dalam memperingatkan kaumnya termuat dalam surat ash-Shaffat ayat 124 hingga 128. Tidak banyak ayat yang menceritakan tentang kisah nabi Ilyas. Namun, keberadaannya sebagai nabi dan Rasul Allah swt sangat jelas disebutkan dalam surat ash-Shaffat ayat 123 tersebut.

Firman Allah swt:

وَاِنَّ اِلْيَاسَ لَمِنَ الْمُرْسَلِيْنَۗ ١٢٣

Dan sungguh, Ilyas benar-benar termasuk salah seorang rasul.” (QS. Ash-Shaffat [37]: 123)

Nabi Ilyas as lahir di tengah-tengah kaum penyembah berhala. Mereka bersama Raja Ahab yang kejam membuat dan menyembah patung Baal besar di tengah kota untuk dijadikan sebagai pusat penyembahan. Nabi Ilyas seringkali berkata kepada mereka, “Mengapa kamu tidak bertakwa? Patutkah kamu menyembah Baal dan kamu tinggalkan sebaik-baik Pencipta, (yaitu) Allah Tuhanmu dan Tuhan bapak-bapakmu yang terdahulu?” (QS. Ash-Shaffat: 124-126).

Baca Juga: Kisah Nabi Ibrahim as Yang Tak Hangus Dibakar Api

Mendengar ajakan dari nabi Ilyas, kaum bani Israil begitu marah dan berkata, “Hai Ilyas, berani sekali engkau meminta kepada kaum kami untuk meninggalkan tuhan-tuhan kami. Sesungguhnya, kami melakukan hal itu karena bapak-bapak kami juga telah melakukan hal tersebut.” Nabi Ilyas kemudian segera mendatangi Raja Ahab dan mengatakan bahwa jika mereka tidak bertaubat, maka Allah akan mendatangkan malapetaka berupa kemarau panjang selama tiga tahun.

Nabi Ilyas juga mengingatkan bahwa berhala yang mereka sembah itu tak akan mampu menolong ketika penduduk mendapat azab. Namun rupanya peringatannya justru membuat penduduk marah dan terusik. Mereka mengusir nabi Ilyas dan melemparinya dengan batu. Nabi Ilyas tak membalas perlakuan mereka dan tetap melanjutkan dakwah meskipun hanya menuai keingkaran bani Israil. Hingga pada suatu hari, penduduk geram dan mengusir Nabi Ilyas untuk selama-lamanya.

Dalam Ensiklopedia Islam, disebutkan bahwa Nabi Ilyas berusaha menghindari kejaran kaumnya. Ia bersembunyi dari satu tempat ke tempat lain. Karena perbuatan buruk nabi Israil itu, Allah swt lalu menimpakan azab kepada mereka berupa kekeringan dan kemarau panjang. Hujan tidak turun di negeri mereka selama kurang lebih tiga tahun. Hewan ternak banyak yang mati dan sawah ladang kering sehingga mereka kesulitan mendapatkan makanan.

Penduduk pun marah dan menganggap bencana tersebut karena kedatangan nabi Ilyas dan kemarahan berhala mereka. Dalam sumber lain disebut Raja Israil meminta para imam berdoa ke berhala agar kemarau lekas usai. Tapi kemarau berkepanjangan tetap berlanjut dan tidak berhenti. Akhirnya, bani Israil semakin marah tak terkira dan mereka bertekad untuk memburu nabi Ilyas secara besar-besaran.

Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa nabi Ilyas terpaksa selalu berpindah tempat pasca diburu akibat keingkaran bani Israil. Terkadang, ia tinggal di rumah seorang kaumnya yang memercayai Ilyas. Terkadang, ia tinggal di gua. Namun, Ilyas tak pernah berhenti berdakwah dan menyampaikan kebenaran. Beliau dengan gigih menyampaikan ajaran Allah swt. Menurut sejumlah literatur, setiap rumah yang disinggahi Nabi Ilyas akan tercium bau makanan.

Di tengah pelariannya, nabi Ilyas menemukan sebuah rumah di gurun pasir. Sumber lain menyebut, di tengah persembunyian itu Ilyas diutus untuk menemui seorang ibu yang memiliki anak laki-laki. Ilyas tinggal sementara di sana, makan, minum, tidur dan hari-harinya dihabiskan di rumah itu. Di situlah ia dipertemukan dengan Ilyasa’ yang kelak juga diangkat sebagai Nabi Allah.

Kondisi Ilyasa’ saat itu bergitu memprihatinkan karena ia mengidap sakit keras sejak lama. Kemudian nabi Ilyas berdoa dan memohon kepada Allah swt agar penyakitnya disembuhkan. Berkat izin Allah swt, Ilyasa’ bisa sehat seperti sedia kala. Nabi Ilyas kemudian mulai mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada Ilyasa. Menurut sebagian riwayat, hal yang pertama diajarkan kepada ilyasa adalah tauhid.

Nabi Ilyas ditemani Ilyasa’ kemudian melanjutkan dakwah mereka. Pada saat itu, kondisi kekeringan dan kemarau panjang sudah demikian parah menimpa bani Israil, makanan sudah sulit didapat, ternak banyak yang mati, dan lahan-lahan menjadi tandus. Karena putua asa, mereka pun berusaha mencari nabi Ilyas. Ketika berjumpa, mereka memohon kepada beliau agar bisa membantu persoalan yang dihadapi kaumnya.

Baca Juga: Kisah Nabi Yahya dalam Al-Quran: Dapat Hikmah dan Maksum Sejak Kecil

Nabi Ilyas memerintahkan kaumnya agar meninggalkan sesembahan berhala Baal dan beriman kepada Allah. Dalam doanya, Nabi Ilyas memohon kepada Allah agar mengabulkan doanya. Beliau berkata, “Ya Tuhanku, semoga Engkau berkenan menghilangkan dari mereka bahaya kelaparan yang telah mengancam kehidupan mereka, dan mudah-mudahan (setelah itu terjadi) menjadikannya orang-orang yang bersyukur kepada Engaku.”

Allah swt mengabulkan doa nabi Ilyas dengan menurunkan hujan sehingga kekeringan dan kemarau panjang berakhir. Hujan ini membuat sawah-ladang menjadi subur kembali, binatang-binatang berkembangbiak dan menurunkan anak-anaknya yang sangat banyak. Namun, keimanan mereka ini tak berselang lama, sebab keingkaran bani Israil kembali dengan menyembah Baal dan berhala lainnya. Mereka akhirnya diazab dengan kekeringan dan kemarau panjang. Wallahu a’lam.

Tafsir Surat Al-A’raf Ayat 6

0
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102

 


Baca juga: Tafsir Surat Al-ِA’raf ayat 4-5


Tafsir surat Al-A’raf ayat 6 ini membahas lebih lanjut balasan Allah terhadap perilaku manusia ketika di dunia. Kelak di akhirat umat manusia maupun jin akan ditanya apakah telah melaksanakan seruan para rasul untuk memeluk agama Islam? Atau malah mendustakan para rasul tersebut?

Lebih lanjutnya tafsir surat al-A’raf ayat 6 menjelaskan lebih lanjut bagaimana nasib manusia maupun jin yang mengingkari para rasul dan disertai dengan beberapa ayat yang terkait.

Ayat 6

Ayat ini menerangkan bahwa di akhirat nanti, semua umat yang telah diutus seorang rasul kepada mereka akan ditanya, sebagaimana firman Allah:

فَوَرَبِّكَ لَنَسْـَٔلَنَّهُمْ اَجْمَعِيْنَۙ  ٩٢  عَمَّا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ   ٩٣

Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu. (al-Hijr/15: 92-93)

Lebih dahulu ditanyakan tentang rasul-rasul yang telah diutus kepada mereka, kemudian disusul dengan pertanyaan sampai di mana mereka telah merespon dan melaksanakan seruan para rasul itu.

Firman Allah:

يٰمَعْشَرَ الْجِنِّ وَالْاِنْسِ اَلَمْ يَأْتِكُمْ رُسُلٌ مِّنْكُمْ يَقُصُّوْنَ عَلَيْكُمْ اٰيٰتِيْ وَيُنْذِرُوْنَكُمْ لِقَاۤءَ يَوْمِكُمْ هٰذَاۗ قَالُوْا شَهِدْنَا عَلٰٓى اَنْفُسِنَا وَغَرَّتْهُمُ الْحَيٰوةُ الدُّنْيَا وَشَهِدُوْا عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْ اَنَّهُمْ كَانُوْا كٰفِرِيْنَ

Wahai golongan jin dan manusia! Bukankah sudah datang kepadamu rasul-rasul dari kalanganmu sendiri, mereka menyampaikan ayat-ayat-Ku kepadamu dan memperingatkanmu tentang pertemuan pada hari ini? Mereka menjawab, ”(Ya), kami menjadi saksi atas diri kami sendiri.” Tetapi mereka tertipu oleh kehidupan dunia dan mereka telah menjadi saksi atas diri mereka sendiri, bahwa mereka adalah orang-orang kafir. (al-An’am/6: 130);

Firman-Nya:

يَوْمَ يَجْمَعُ اللّٰهُ الرُّسُلَ فَيَقُوْلُ مَاذَٓا اُجِبْتُمْ

(Ingatlah), pada hari ketika Allah mengumpulkan para rasul, lalu Dia bertanya (kepada mereka), ”Apa jawaban (kaummu) terhadap (seruan)mu?” (al-Ma′idah/5: 109);

Pertanyaan itu diajukan kepada orang-orang yang durhaka, dan pembuat maksiat bukan karena Allah tidak tahu atau belum tahu keadaannya, tetapi semua itu dilakukan semata-mata untuk mendapatkan pengakuan mereka atas adanya rasul yang telah diutus kepada mereka dan untuk menampakkan cela dan aib mereka, sehingga tidak ada alasan bagi mereka untuk tidak disiksa atau dimasukkan ke dalam neraka.

Imam ar-Razi berkata, sebenarnya mereka ditanya bukanlah mengenai amal yang telah diperbuatnya di dunia, karena semua itu telah diketahui melalui catatan malaikat yang ditugaskan untuk itu, sehingga tidak ada suatu perbuatan manusia dari yang sebesar-besarnya sampai yang sekecil-kecilnya yang luput dari catatannya, tetapi yang ditanyakan ialah sebab yang mengakibatkan mereka meninggalkan perintah Allah. Ayat ini tidak bertentangan dengan ayat-ayat yang menerangkan bahwa tidak akan ditanyakan dosa manusia dan jin dan dosa orang-orang yang berbuat maksiat, seperti dalam firman Allah:

فَيَوْمَئِذٍ لَّا يُسْـَٔلُ عَنْ ذَنْۢبِهٖٓ اِنْسٌ وَّلَا جَاۤنٌّ

Maka pada hari itu manusia dan jin tidak ditanya tentang dosanya. (ar-Rahman/55: 39);

Dan firman-Nya:

وَلَا يُسْـَٔلُ عَنْ ذُنُوْبِهِمُ الْمُجْرِمُوْنَ

Dan orang-orang yang berdosa itu tidak perlu ditanya tentang dosa-dosa mereka. (al-Qasas/28: 78);

Dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa bukan saja umat yang telah diutus Rasul kepada mereka yang ditanya sampai di mana mereka melaksanakan seruan rasul itu, tetapi juga rasul-rasul yang telah diutus kepada suatu umat akan ditanya sampai di mana seruan mereka disambut baik dan dilaksanakan oleh umatnya sebagaimana firman Allah:

يَوْمَ يَجْمَعُ اللّٰهُ الرُّسُلَ فَيَقُوْلُ مَاذَٓا اُجِبْتُمْ;

(Ingatlah), pada hari ketika Allah mengumpulkan para rasul, lalu Dia bertanya (kepada mereka), “Apa jawaban (kaummu) terhadap (seruan)mu?” (al-Ma′idah/5: 109);

Pertanyaan yang ditujukan kepada rasul di akhirat nanti, adalah pertanyaan yang jawabannya merupakan pengakuan dan kesaksian atas seruan yang telah disampaikan kepada umatnya, dan pembangkangan umat atas isi seruan ini.


Baca setelahnya: Inilah Alasan Mengapa Umat islam Harus Mengenal Rasulullah SAW


(Tafsir Kemenag)

 

Tafsir Surat Yasin Ayat 11-12: Kuasa Allah Swt Atas Segala Sesuatu

0
Yasin Ayat 11-12
Yasin Ayat 11-12

Pada pembahasan sebelumnya sudah dijelaskan tentang tafsir ayat 9-10 yang menceritakan nasib orang-orang yang dicap kafir. Adapun pada tulisan kali ini penulis akan membahas tafsir surat Yasin ayat 11-12 tentang kuasa Allah swt atas segala sesuatu dan kuasa untuk memberi hidayah sesuai yang Ia kehendaki. Allah Swt berfirman:

اِنَّمَا تُنْذِرُ مَنِ اتَّبَعَ الذِّكْرَ وَخَشِيَ الرَّحْمٰنَ بِالْغَيْبِۚ فَبَشِّرْهُ بِمَغْفِرَةٍ وَّاَجْرٍ كَرِيْمٍ

اِنَّا نَحْنُ نُحْيِ الْمَوْتٰى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوْا وَاٰثَارَهُمْۗ وَكُلَّ شَيْءٍ اَحْصَيْنٰهُ فِيْٓ اِمَامٍ مُّبِيْنٍ

  1. Sesungguhnya engkau hanya memberi peringatan kepada orang-orang yang mau mengikuti peringatan dan yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, walaupun mereka tidak melihat-Nya. Maka berilah mereka kabar gembira dengan ampunan dan pahala yang mulia.
  2. Sungguh, Kamilah yang menghidupkan orang-orang yang mati, dan Kamilah yang mencatat apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka (tinggalkan). Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab yang jelas (Lauh Mahfuzh).

Secara umum Surat Yasin Ayat 11-12 ini menerangkan tentang seruan Allah kepada Nabi Muhammad bahwa peringatan yang ia sampaikan kepada orang kafir hanya diterima oleh mereka yang mau mengikuti, sekaligus menyampaikan bahwa hidup dan mati ada ditangan Allah swt, apapun yang dilakukan oleh manusia ketika di dunia tidak ada yang luput dari perhatian-Nya.

Baca Juga: Tafsir Surat Yasin Ayat 9-10: Perumpamaan Bagi Orang yang Tidak Beriman

Ali As-Shabuni menafsirkan ayat 11 sebagai informasi kepada Nabi Muhammad bahwa yang akan mengikuti seruannya hanyalah mereka yang beriman kepada al-Qur’an dan mengamalkan isinya. Selain itu mereka juga takut kepada Allah meski tidak bisa melihat-Nya.

Menarik untuk disimak penjelasan Abu Hayyan tentang kata wakhasyiya ar-rahman. Menurutnya, dua kata ini saling terkait, kata ar-rahman menunjukkan sifat rahmah (pengasih). Sifat yang cenderung kepada pengharapan, dimana rasa berharap itu selalu diiringi kesadaran akan adanya sifat kasih-sayang, yang akhirnya menghadirkan perasaan takut (khasyyah) kepada-Nya, yakni takut kehilangan nikmat-nimat yang telah Allah swt limpahkan.

Selain itu, kata al-Ghaib juga dimaknai Qurthubi dengan khasyyah, yakni rasa takut pada sesuatu yang tersembunyi, yang tidak diketahui oleh pandangan manusia, seperti azab api neraka.

Jika mereka telah memenuhi kriteria-kriteria diatas, “fabasysyirhum bi maghfiratin wa ajrin karim”, maka mereka berhak mendapatkan kabar gembira, yakni ampunan dan keridhaan dari Allah swt, serta mendapat balasan berupa surga. Sebagaimana ditegaskan dalam ayat lain:

اِنَّ الَّذِيْنَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ لَهُمْ مَّغْفِرَةٌ وَّاَجْرٌ كَبِيْرٌ

Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Tuhannya yang tidak terlihat oleh mereka, mereka memperoleh ampunan dan pahala yang besar. (QS. al-Mulk [67]:12)

Wahbah Zuhaili menerangkan tentang asbabun nuzul ayat 12, ia mengutip hadith yang diriwayatkan oleh ‘Abdur Razzaq dari Abi Sa’id yang berkata bahwa suatu ketika Bani Salimah datang mengadu kepada Rasulullah saw terkait jauhnya jarak tempat tinggal mereka dengan masjid, kemudian turunlah ayat ini. Nabi pun berkata kepada mereka “tetaplah tinggal ditempat kalian, karena akan dicatat bekas-bekas (yang kalian tinggalkan)”.

Versi yang hampir sama juga dijelaskan oleh Tirmidzi, Hakim, dan Thabrani bahwa Nabi berkata, “Sesungguhnya bekas yang kalian tinggalkan akan dicatat, maka janganlah pindah”. Pada riwayat ini dijelaskan tentang keinginan Bani Salimah untuk pindah di samping masjid Nabi, namun Nabi melarangnya.

Ibnu Kathir memahami kalimat inna nahnu nuhyil mauta pada ayat 12 dengan dua makna, yakni; 1) dibangkitkan dari kubur ketika hari kiamat sudah tiba, 2) isyarat bahwa Allah  mampu menghidupkan hati seseorang yang telah mati ataupun sesat untuk menuju hidayah-Nya, sekalipun orang tersebut kafir.

Ini menunjukkan kekuasan Allah swt. atas segalanya, jika pada ayat sebelumnya (9-10) dijelaskan tentang sukarnya mereka untuk beriman kepada nabi, namun kali ini, Allah memberi penegasan bahwa tidak ada yang mustahil bagi-Nya untuk memberi hidayah kepada orang-orang yang Ia kehendaki.

Ayat ini sekaligus mengingatkan kita agar tidak mudah mengatakan kafir kepada seseorang, sekalipun dia adalah “kafir”. Sebab atas kehendak-Nya, Ia bisa menghidupkan hati untuk mendapat hidayah kebenaran. Dan sebaliknya, atas kehendak-Nya pula Ia bisa mematikan hati dan menjauhkan-Nya dari kebenaran.

Adapun kata atsar pada ayat ini secara literal dimaknai dengan bekas. Lebih rinci at-Thabari menjelaskan yang dimaksud dengan atsar (bekas) adalah setiap langkahmu didunia yang baik ataupun buruk itu akan dicatat. Menukil hadith yang diriwayatkan oleh Muslim dari Jarir bin Abdillah al-Bajali, bahwasanya Nabi bersabda:

مَنْ سَنَّ فِي الْاِسْلاَم سُنَّةً حَسَنَةً كَانَ لَهُ اَجْرُها واجْرُ مَن عمِلَ بها مِن بَعده , مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ اُجُوْرِهَا شَيْئًا , وَ مَنْ سَنَّ فِي الْاِسْلاَم سُنَّةً سَيِّئَةً , كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهَا شَيْئًا

Terjemah bebasnya:

“Barangsiapa yang menunjukkan suatu perkara yang baik dalam Islam, maka ia akan mendapatkan double pahala, yakni pahala dari dirinya sendiri dan dari orang lain yang mengikutinya. Sebaliknya, jika menujukkan kepada perkara buruk, maka ia juga akan mendapatkan double dosa, yaitu dosa disebabkan dirinya sendiri, dan dari orang lain yang mengikuti dirinya”.

Kemudian amal-amal yang dilakukan selama di dunia itu dicatat dalam sebuah buku khusus yang disebut Mujahid dan Qatadah dengan Lauhul Mahfuzh . Mereka juga menyebut buku tersebut dengan ummul kitab yakni buku induk, dimana menurut Sayyid Qutb dalam buku tersebut tidak ada yang luput, lupa, ataupun keliru untuk dicatat, sesuai dengan apa yang dilakukan manusia ketika di dunia. Wallahu a’lam bis showab.

Demikianlah tafsir singkat surat Yasin ayat 11-12, semoga bermanfaat. Tunggu tulisan-tulisan tafsir surat Yasin selanjutnya.

Anda Sedang Khataman Al-Quran? Berikut Anjuran Para Ulama Mengenainya

0
ilustrasi tradisi namatang
ilustrasi tradisi namatang

Kegiatan mengkhatamkan Al-Quran merupakan suatu bentuk ritual yang telah banyak dilakukan dan dipraktikkan oleh umat Islam. Dalam konteks Indonesia kegiatan mengkhatamkan Al-Quran tersebut banyak dilakukan di bulan Ramadhan dan ketika terdapat acara-acara tertentu. Untuk lebih menyempurnakan kegiatan tersebut, para ulama menjelaskan terkait anjuran-anjuran yang perlu diterapkan ketika melakukan khataman Al-Quran.

Dalam kitab al-Ziyadah wa al-Ihsan fi ‘Ulum Al-Quran karya Ibnu ‘Uqailah al-Makki, ia mengutip pendapat Syaikh Ahmad al-Qasthalani yang memberikan tiga anjuran ketika telah mengkhatamkan Al-Qur’an , yaitu:

Baca Juga: Mengkhatamkan Al-Quran dan Prinsip-Prinsipnya Menurut Para Ulama

  1. Membaca Istighfar Ketika Khatam Al-Quran

Terdapat sebagian kelompok yang tatkala menyelesaikan bacaan Al-Quran secara sempurna 30 juz, mereka menahan diri dari membaca doa khataman Al-Quran dan menggantinya dengan membaca istighfar. Hal yang demikian dilakukan oleh Yusuf ibn Asbath ketika ia mengkhatamkan Al-Quran, sebagaimana riwayat berikut:

قِيْلَ لِيُوْسُفَ ابْنِ أَسْبَطْ: بِأَيِّ شَيْئٍ تَدْعُوْ إِذَا خَتَمْتَ الْقُرْآنَ، فَقَالَ: أَسْتَغْفِرُ اللهَ مِنْ تِلَاوَتِيْ، لِأَنِّيْ إِذَا خَتَمْتُ ثُمَّ تَذَكَّرْتُ مَا فِيْهِ خَشِيْتُ عَلَى نَفْسِيْ مِنَ الْمَقْتِ، فَأَعْدِلُ إِلَى الْإِسْتِغْفَارِ وَالتَّسْبِيْحِ

Dikatakan kepada Yusuf ibn Asbath: dengan apa dirimu berdoa ketika telah mengkhatamkan Al-Quran? Maka ia berkata: aku memohon ampun kepada Allah atas bacaanku, karena tatkala aku mengkhatamkan (Al-Quran) kemudian aku ingat apa-apa (kesalahan) yang terjadi saat itu, aku takut kemarahan (Allah) akan menimpaku. Oleh karena itu aku membaca istighfar dan tasbih

Amalan yang demikian dilakukan oleh kelompok-kelompok yang dalam diri mereka dipenuhi rasa takut kepada Allah. Karena Al-Quran bukan hanya sebatas teks yang sekedar dibaca, tetapi juga sebagai pedoman yang harus ditadabburi dan diamalkan.

Kegiatan ini (tadabbur dan amal) yang sering dilalaikan oleh umat Islam. Padahal tadabbur menjadikan mereka akan senantiasa menyadari kekurangan dan merasa tidak pernah aman dan cukup terhadap amal yang telah mereka lakukan.

  1. Membaca Doa Ketika Khatam Al-Quran

Bentuk yang kedua ini telah jamak dilakukan oleh umat Islam, yaitu membaca doa ketika menyelesaikan khataman Al-Quran. Praktik yang demikian didasarkan pada riwayat yang disampaikan Ibnu Mas’ud, sebagaimana berikut:

عَنْ ابْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ: مَنْ خَتَمَ الْقُرْآنَ فَلَهُ دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ. وَكَانَ عَبْدُ اللهِ إِذَا خَتَمَ جَمَعَ أَهْلَهُ، ثُمَّ دَعَا، وَأَمّنُوْا عَلَى دُعَائِهِ

Dari Ibnu Mas’ud berkata: (barangsiapa yang mengkhatamkan Al-Quran, maka ia memiliki doa yang mustajabah). Tatkala Abdullah ibn Mas’ud telah mengkhatamkan (Al-Quran), ia kumpulkan keluarganya, kemudian berdoa dan mereka mengamini doa tersebut

Baca Juga: 3 Cara Tepat Membaca Al Quran

  1. Melanjutkan Bacaan Al-Quran Hingga Q.S. al-Baqarah [2]: 5

Sebagaimana Hadis Nabi yang diriwayatkan dari jalur Abdullah ibn Katsir, sebagaimana berikut:

عَنْ درباس مَوْلَى ابن عَبَّاس، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ كَانَ إِذَا قَرَأَ: (قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ) افْتَتَحَ فِيْ (أَلْحَمْدُ لِلَّهِ) ثُمَّ قَرَأَ مِنَ الْبَقَرَةِ إِلَى (أُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ) ثُمَّ دَعَا بِدُعَاء الْخَتْمَةِ، ثُمَّ قَامَ

Dari Darbas budak Ibnu Abbas, dari Abdullah ibn Abbas, dari Ubay ibn Ka’ab, dari Nabi Saw, sesungguhnya Nabi ketika membaca (qul ‘audzu bi rab al-nas) dibuka kembali dengan (alhamdulillah) dilanjutkan membaca dari surah al-Baqarah hingga (ulaika hum al-muflihun) kemudian berdoa dengan doa khataman, lalu berdiri

Praktik yang demikian dilakukan bertujuan sebagai bentuk menjaga kontinuitas amal. Sebagaimana sebuah sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, berikut:

أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ؟ قَالَ: الحَالُ الْمُرْتَحِلُ

(Nabi ditanya) amal apa yang paling dicintai oleh Allah? (maka Nabi menjawab) yaitu amal yang seperti keadaan orang yang sedang melakukan perjalanan

Orang yang sedang bepergian bisa berhenti hanya untuk istirahat sebentar, dan akan melanjutkan kembali perjalanan tersebut. Sehingga dengan melanjutkan pembacaan Al-Quran dari akhir surat menuju awal surat, diharapkan hal tersebut menjadi sebuah keinginan yang kuat untuk mengkhatamkan Al-Quran kembali di waktu yang akan datang.

Kemudian, Imam Az-Zarkasyi menambahkan dalam karyanya al-Burhan fi ‘Ulum Al-Quran terkait beberapa anjuran lainya ketika melakukan khataman Al-Quran. Beberapa anjuran tersebut antara lain adalah:

  1. Waktu yang Disunnahkan Untuk Khataman Al-Quran

Dalam melakukan khataman Al-Quran, para ulama menjelaskan perihal waktu-waktu yang baik untuk memulai khataman Al-Quran. Ibnu al-Mubarak mengatakan, apabila memasuki musim dingin/hujan (syita’) maka disunnahkan untuk melalui khataman di awal malam musim dingin tersebut. Kemudian, apabila memasuki musim panas (shaif), maka waktu yang disunnahkan adalah awal siang dari musim panas tersebut.

Bahkan, Ibrahim ibn Yazid al-Nakh’iy mengatakan: “apabila mengkhatamkan Al-Quran dimulai pada awal siang hari, maka para malaikat mendoakannya hingga sore hari. Dan apabila dimulai pada malam hari, maka para malaikat mendoakannya hingga pagi hari

  1. Mengulang Q.S. al-Ikhlas Sebanyak Tiga Kali

Kegiatan pembacaan surat al-Ikhlas secara berulang ini telah menjadi kebiasaan umat Islam dari dulu. Imam az-Zarkasyi menjelaskan bahwa terdapat perbedaan dalam kalangan ulama terkait hal ini. Beliau menyebutkan bahwasanya Imam Ahmad melarang umat Islam untuk melakukan hal yang demikian. Namun, mayoritas umat Islam tetap melakukannya. Hal ini dikarenakan adanya beberapa hikmah dari mengulang surat al-Ikhlas.

Salah satu hikmah dari mengulang pembacaan surat al-Ikhas sebanyak tiga kali adalah sebagai bentuk penyempurnaan dan penegasan bahwa telah mengkhatamkan Al-Quran. Hal ini disebabkan surat al-Ikhlas merupakan sepertiga Al-Quran, sehingga ketika membacanya sebanyak tiga kali sama halnya telah mengkhatamkan Al-Quran secara keseluruhan.

Baca Juga: Alasan Mengapa Surat Al-Ikhlas Sebanding Sepertiga Al-Quran Menurut Imam Ghazali

  1. Membaca Takbir Dalam Setiap Pergantian Surat Yang Dimulai dari Q.S. al-Dhuha

Para ulama ahli Qira’at Makkah menganjurkan agar membaca takbir ketika prosesi khataman Al-Quran telah mencapai surat al-Dhuha. Praktik yang demikian diambil dari riwayat yang disampaikan Ibnu Katsir dari Mujahid. Selain itu, para ulama melakukan praktik ini berdasarkan qiyas (analogi) terhadap puasa Ramadhan. Dimana ketika puasa Ramadhan, apabila telah sempurna puasanya maka dianjurkan untuk memperbanyak ucapan takbir.

Oleh karena itu, ketika pembacaan Al-Quran telah sempurna mencapai 30 juz, maka dianjurkan juga untuk membaca satu kalimat takbir. Selain itu, pembacaan takbir ini juga bertujuan untuk pemisah antara surat yang satu dengan surat yang lainya. Sulaim al-Razi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa praktik pembacaan takbir ini tidak dibaca secara langsung atau bersambung setelah akhir surat, tetapi berhenti sejenak kemudian baca kalimat takbir.

Dengan demikian dapat diketahui bahwa terdapat berbagai anjuran dari para ulama dalam prosesi kegiatan mengkhatamkan Al-Quran. Hal ini dilakukan tidak lain bertujuan untuk menyempurnakan kegiatan khataman Al-Quran tersebut, serta meneladani apa yang telah dilakukan oleh salaf al-shalih sebelum kita. Wallahu A’lam

Tafsir Surat Yusuf Ayat 1-2: Alasan Al-Quran Diturunkan dengan Bahasa Arab

0
tafsir surat Yusuf Ayat 1
tafsir surat Yusuf Ayat 1, al-Quran menggunakan bahasa Arab

Kita sudah mengetahui al-quran diturunkan dengan bahasa Arab. Tentu hal ini bukan hanya kebetulan. Latar belakang tentang alasan al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab, kita bisa melacak dengan mempelajari penjelasan para mufassir. Pada tulisan ini kita akan menelusuri berdasarkan penjelasan surat Yusuf ayat satu. Ayat satu tersebut jelas menyebutkan bahwa ayat al-Quran adalah kitab al-mubin. Apakah makna al-mubin ini bersinggungan dengan bahasa al-quran?. Untuk lebih jelasnya, kita mulai dari uraian tafsir surat Yusuf ayat 1-2:

الر تِلْكَ آيَاتُ الْكِتَابِ الْمُبِينِ 

Alif Lam Ra, ini adalah ayat-ayat kitab (Alquran) yang jelas.

Al-Baghawi berpendapat dalam tafsirnya maksud al-mubin pada ayat ini adalah memiliki kejelasan halal dan haramnya, baik itu ketentuannya dan hukum-hukumnya. Al-Baghawi mengutip pendapat Qatadah, yaitu al-mubin berarti yang jelas-demi Allah-keberkahannya, petunjuknya dan bimbingannya. Sesungguhnya al-mubin berasal kata bana dengan arti dhahara, yakni menunjukkan.

Baca juga: Penamaan Surat dalam Al-Quran: Antara Tauqifi dan Ijtihadi

Kemudian pendapat al-Zujjah, al-quran sebagai al-mubin karena menjelaskan haq dari yang bathil dan menjelaskan halal dari yang haram. Selanjutnya al-Mubin dari kata abana dengan arti adhhara (menunjukkan). (Tafsir al-Baghawi, II/473)

Sedangkan menurut tafsir Ibnu Katsir kata al-Mubin berarti kejelasan yang nyata, yang mengungkapkan, menerangkan dan menjelaskan sesuatu yang rancu. Sedikit berbeda dengan pendapat al-Baydhawy, ayat satu surat Yusuf ini jelas perkaranya sebagai mu’jizat, maksudnya ialah penjelasan bagi orang yang menghayati atau bagi orang Yahudi yang bertanya kepada Nabi Muhammad saw terkait mengapa keluarga Ya’qub pindah dari Syam ke Mesir dan kemudian bertanya mengenai kisah Nabi Yusuf. Maka dari peristiwa itulah Allah SWT menurunkan surat Yusuf.

Baca juga: Mengurai Dua Peta Tipologi Pemikiran Tafsir Kontemporer

Alasan Al-quran Diturunkan dengan Bahasa Arab

Firman Allah SWT menjelaskan bahwa al-quran diturunkan dengan bahasa arab tertuang dalam surat Yusuf Ayat 2:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ 

Susunguhnya kami menurunkannya berupa Alquran berbahasa Arab, agar kamu mengerti.

Mengapa al-quran diturunkan dengan bahasa Arab? mari perhatikan pendapat para mufassir dalam menjelaskan surah Yusuf ayat 2. Berikut ini penjelasannya:

Alasan Sosiologis

Allah menurunkan Alquran dengan bahasa Arab sesuai bahasa orang Arab, supaya orang Arab mengetahui artinya dan memahami apa yang terdapat di dalamnya. (Tafsir al-Baghawi, II/473). Begitu juga dengan al-Tsa’laby dalam tafsir al-Kasyf wa al-Bayan ‘an Tafsir al-Quran, mengutarakan pendapat yang sama dengan al-Baghawi.

Alasan Superioritas Bahasa Arab

Menurut Ibn Katsir al-quran diturunkan dengan bahasa Arab karena bahasa Arab paling fasih, paling jelas, paling luas dan paling banyak pemenuhan terhadap arti. Maka dari itu, menurut Ibn Katsir, Allah menurunkan kitab terbaik dengan bahasa terbaik, kepada utusan terbaik, dengan duta malaikat terbaik, di tempat terbaik di belahan bumi dan memulai penurunannya pada bulan yang terbaik, yaitu Ramadhan. Sempurnalah dari berbagai sisinya. (Tafsir Alquran al-Adhim,  Dar Thayyibah, IV/366).

Baca juga: Krisis Kemanusiaan, Gus Mus Serukan Para Kyai Memviralkan Kandungan Surat Al-Hujurat

Alasan Agar Kita Berfikir

Ini alasan yang menarik, menurut al-Qudhamy al-quran diturunkan dengan bahasa arab agar kita memahaminya, agar kita menyadari artinya, dengan begitu tidak menimbulkan kerancuan. Maka dari itu Allah firman dalam sura al-Fushshilat ayat 44:

وَلَوْ جَعَلْنَٰهُ قُرْءَانًا أَعْجَمِيًّا لَّقَالُوا۟ لَوْلَا فُصِّلَتْ ءَايَٰتُهُۥٓ ۖ ءَا۬عْجَمِىٌّ وَعَرَبِىٌّ ۗ قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ هُدًى وَشِفَآءٌ ۖ وَٱلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ فِىٓ ءَاذَانِهِمْ وَقْرٌ وَهُوَ عَلَيْهِمْ عَمًى ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ يُنَادَوْنَ مِن مَّكَانٍۭ بَعِيدٍ

Dan sekiranya Alquran kami jadikan sebagai bacaan dalam bahasa selain bahasa Arab niscaya mereka mengatakan, “Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?” Apakah patut (Alquran) dalam bahasa selain bahasa Arab sedang (Rasul) orang Arab? Katakanlah, “Alquran adalah petunjuk dan penyembuh bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, dan (Alquran) itu merupakan kegelapan bagi mereka. Mereka itu (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh.”

Selain menggunakan akal pikiran, kemudian juga dapat mengetahui tentang kisah Nabi Yusuf yang demikian, ternyata kisah tersebut bukan dari orang yang tidak belajar tentang kisah cerita, akan tetapi Kisah Nabi Yusuf merupakan mu’jizat dan hal itu turun karena pewahyuan. Disamping itu al-Qudhamy juga menyampaikan pendapatnya seperti alasan yang kedua, seperioritas bahasa Arab. (Mahasin al-Ta’wil, Dar al-Kutub al-Ilmiah, VI/145)

 

Tafsir Surat Al A’raf ayat 4-5

0
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102

Baca juga: Tafsir Surat Al-A’raf 1-3

Tafsir surat al-A’raf ayat 4-5 ini membahas lebih lanjut balasan Allah terhadap orang-orang yang menentang dan mendustakan Rasulullah. Tafsir surat al-A’raf ayat 4-5 ini juga berkaitan dengan ayat sebelumnya yang menyatakan bahwa surat Al-A’raf diturunkan oleh Allah kepada Rasulullah sebagai salah satu surat yang menghibur Rasulullah dari hinaan orang musyrik terhadap agama Islam.

Sebagaimana yang kita ketahui Allah akan membalas perbuatan manusia berdasarkan amal perbuatannya, baik itu ketika di dunia maupun di kelak di akhirat.

Ayat 4

Ayat ini menerangkan bahwa tidak sedikit negeri yang telah dimusnahkan dan penduduknya dibinasakan karena kedurhakaannya. Mereka menentang, membangkang dan mendustakan para rasul Allah yang diutus kepadanya untuk memberi kabar gembira dan peringatan.

Firman Allah:

فَكَاَيِّنْ مِّنْ قَرْيَةٍ اَهْلَكْنٰهَا وَهِيَ ظَالِمَةٌ فَهِيَ خَاوِيَةٌ عَلٰى عُرُوْشِهَاۖ وَبِئْرٍ مُّعَطَّلَةٍ وَّقَصْرٍ مَّشِيْدٍ

Maka betapa banyak negeri yang telah Kami binasakan karena (penduduk)nya dalam keadaan zalim, sehingga runtuh bangunan-bangunannya dan (betapa banyak pula) sumur yang telah ditinggalkan dan istana yang tinggi (tidak ada penghuninya). (al-Hajj/22: 45)

وَكَمْ اَهْلَكْنَا مِنْ قَرْيَةٍ ۢ بَطِرَتْ مَعِيْشَتَهَا ۚفَتِلْكَ مَسٰكِنُهُمْ لَمْ تُسْكَنْ مِّنْۢ بَعْدِهِمْ اِلَّا قَلِيْلًاۗ وَكُنَّا نَحْنُ الْوَارِثِيْنَ

Dan betapa banyak (penduduk) negeri yang sudah bersenang-senang dalam kehidupannya yang telah Kami binasakan, maka itulah tempat kediaman mereka yang tidak didiami (lagi) setelah mereka, kecuali sebagian kecil. Dan Kamilah yang mewarisinya. (al-Qasas /28: 58)

Apabila suatu negeri akan dimusnahkan, maka datanglah azab dan siksaan Allah kepada penduduk negeri itu dalam keadaan mereka sedang lengah dan tidak menduga sama sekali, karena tidak ada tanda-tanda sebelumnya. Adakalanya siksaan itu datang di waktu malam, di waktu mereka bersenang-senang, merasa aman sebagaimana halnya kaum Nabi Luth. Adakalanya datang di waktu siang, di kala mereka istirahat tidur sebagaimana halnya kaum Nabi Syu’aib.

Allah berfirman:

حَتّٰٓى اِذَآ اَخَذَتِ الْاَرْضُ زُخْرُفَهَا وَازَّيَّنَتْ وَظَنَّ اَهْلُهَآ اَنَّهُمْ قٰدِرُوْنَ عَلَيْهَآ اَتٰىهَآ اَمْرُنَا لَيْلًا اَوْ نَهَارًا فَجَعَلْنٰهَا حَصِيْدًا كَاَنْ لَّمْ تَغْنَ بِالْاَمْسِۗ  كَذٰلِكَ نُفَصِّلُ الْاٰيٰتِ لِقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ

Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan berhias, dan pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya (memetik hasilnya), datanglah kepadanya azab Kami pada waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanaman)nya seperti tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda (kekuasaan Kami) kepada orang yang berpikir. (Yunus/10: 24)

Firman-Nya:

اَفَاَمِنَ اَهْلُ الْقُرٰٓى اَنْ يَّأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا بَيَاتًا وَّهُمْ نَاۤىِٕمُوْنَۗ  ٩٧  اَوَاَمِنَ اَهْلُ الْقُرٰٓى اَنْ يَّأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا ضُحًى وَّهُمْ يَلْعَبُوْنَ  ٩٨

Maka apakah penduduk negeri itu merasa aman dari siksaan Kami yang datang malam hari ketika mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri itu merasa aman dari siksaan Kami yang datang pada pagi hari ketika mereka sedang bermain?  (al-A’raf/7: 97-98)


Baca Juga: Empat Tipologi Bencana dalam Perspektif al-Qur’an


Ayat 5

Ayat ini menerangkan bahwa umat yang telah ditimpa siksa itu, tidak lain keluhannya kecuali mereka mengakui kezaliman, kesalahan dan kedurhakaan yang telah mereka perbuat. Ketika itulah baru mereka sadar dan menyesal, serta mengharapkan sesuatu jalan yang dapat mengeluarkan mereka dari bencana yang telah menimpa itu. Kesadaran dan penyesalan mereka tentunya tidak akan bermanfaat dan tidak ada gunanya lagi; sebagaimana firman Allah:

وَكَمْ قَصَمْنَا مِنْ قَرْيَةٍ كَانَتْ ظَالِمَةً وَّاَنْشَأْنَا بَعْدَهَا قَوْمًا اٰخَرِيْنَ   ١١  فَلَمَّآ اَحَسُّوْا بَأْسَنَآ اِذَا هُمْ مِّنْهَا يَرْكُضُوْنَ ۗ  ١٢  لَا تَرْكُضُوْا وَارْجِعُوْٓا اِلٰى مَآ اُتْرِفْتُمْ فِيْهِ وَمَسٰكِنِكُمْ لَعَلَّكُمْ تُسْـَٔلُوْنَ   ١٣  قَالُوْا يٰوَيْلَنَآ اِنَّا كُنَّا ظٰلِمِيْنَ   ١٤  فَمَا زَالَتْ تِّلْكَ دَعْوٰىهُمْ حَتّٰى جَعَلْنٰهُمْ حَصِيْدًا خَامِدِيْنَ   ١٥

Dan berapa banyak (penduduk) negeri yang zalim yang telah Kami binasakan, dan Kami jadikan generasi yang lain setelah mereka itu (sebagai penggantinya). Maka ketika mereka merasakan azab Kami, tiba-tiba mereka melarikan diri dari (negerinya) itu. Janganlah kamu lari tergesa-gesa; kembalilah kamu kepada kesenangan hidupmu dan tempat-tempat kediamanmu (yang baik), agar kamu dapat ditanya. Mereka berkata, ”Betapa celaka kami, sungguh, kami orang-orang yang zalim.” Maka demikianlah keluhan mereka berkepanjangan, sehingga mereka Kami jadikan sebagai tanaman yang telah dituai, yang tidak dapat hidup lagi. (al-Anbiya′/21: 11-15)


Baca setelahnya: Tafsir Surat At Takasur Ayat 6


(Tafsir Kemenag)

Teori Hermeneutika Hans-Georg Gadamer dan Perkembangannya dalam Studi Al-Quran

0
Hans-Georg Gadamer
Hans-Georg Gadamer

Hans-Georg Gadamer merupakan seorang filsuf dan pemikir yang hidup sepanjang abad ke-20. Ia lahir di Marburg tanggal 11 Februari 1990 dari kalangan keluarga menengah dan memiliki karir akademik yang tinggi. Ayahnya seorang ahli kimia dan memuja ilmu-ilmu alam dan merendahkan kajian humaniora (Hardiman, 2015: 156-157). Namun, ternyata pepatah ‘buah jatuh tidak jauh dari pohonnya’ tidak berlaku dalam kehidupan intelektual Gadamer. Ia memutuskan untuk terjun dalam dunia filsafat.

Hans-Georg Gadamer banyak menimba ilmu kepada beberapa filsuf terkenal seperti Heidegger, Nikolai Hartman, dan Rudolf Bultmann (Sumaryono, 1999: 67). Khususnya perjumpaan Gadamer dengan Heidegger banyak mempengaruhi pemikiran filsafatnya. Melalui Heidegger juga, ia belajar tentang pra-struktur pemahaman yang terikat dengan dimensi ontologis manusia, disebut dasein. Maka Hermeneutika Gadamer pun dikategorikan sebagai bagian dari Hermeneutika Filosofis.

Baca Juga: Hermeneutika Kritis Jurgen Habermas dan Posisinya dalam Studi Al-Quran

Dalam teorinya, Hans-Georg Gadamer tidak menjelaskan secara detail mengenai metode khusus dalam memahami sebuah teks. Alasan mendasarnya, Gadamer tidak ingin terjebak pada ide universalisme metode hermeneutika untuk semua bidang sosial dan humaniora. Namun konsep-konsep hermeneutika yang digagas Gadamer bisa dikatakan secara khusus dapat memperkuat jembatan dalam memahami teks.

Sahiron Syamsuddin dalam karyanya Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an mengklasifikasikan teori Hans-Georg Gadamer ke dalam empat konsep besar yaitu: 1) Teori Kesadaran Keterpengaruhan oleh Sejarah (Affective History); 2) Teori Prapemahaman; 3) Teori Penggabungan/Asimilasi Horizon; 4) Teori Penerapan/ Aplikasi (Syamsuddin, 2017: 76-83).

Secara singkat teori-teori yang disebut di atas sangat bersesuian dengan teori-teori ulumul Qur’an maupun penafsiran yang dibangun di atas tradisi mufassir muslim. Dalam kasus ini, penjelasan Syamsuddin dapat dijadikan basis utama dalam menemukan titik-titik persamaan dua bangun teori yang berbeda dari sisi tradisi ini.

Syamsuddin mengelaborasikan bahwa teori “prapemahaman”, yang tentunya sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sang mufassir, dapat dimaknai sebagai al-ra’y, yang dalam sebuah hadis dilarang untuk digunakan dalam menafsirkan al-Qur’an. Sebab al-ra’y di sana tidak bermakna al-‘aql atau pikiran yang berdasar secara ilmiah (Syamsuddin, 2017: 84-86). Maka inti dari teori ini adalah sebagai peringatan kepada penafsir agar tidak terjebak dalam horizon (cakrawala pengetahuan) subjektifnya, sebab masih ada horizon objektif yang harus digali.

Selanjutnya, Syamsuddin mengelaborasikan kesesuaian antara teori fusion of horizon dan dirasah ma fi al-Qur’an dan ma hawla al-Qur’an Amin al-Khulli. Walhasil, dijumpai bahwa teori yang yang dibangun Gadamer menekankan kepada seorang pembaca (mufassir) untuk melakukan analisis historis-linguistik agar mendapatkan apa yang disebut sebagai horizon teks yang kemudian nantinya akan direlevansikan dengan asumsi awal seorang penafsir (horizon mufassir) untuk direaktualisasikan (Syamsuddin, 2017: 86-87).

Sederhananya, kedua horizon tersebut berdiri dalam realitas sejarahnya masing-masing. Gadamer menyebut realitas sejarah tersebut dengan sebutan sejarah efektif atau effective history. Konsep ini dipahami untuk melihat tiga kerangka waktu yang mengitari teks historis. Pertama, masa lampau di mana teks tersebut dilahirkan dan makna teks bukan hanya milik pengarang, melainkan juga milik setiap orang yang membacanya. Kedua, masa kini di mana penafsir datang dengan ‘segudang’ prasangka (prejudice). Prasangka ini akan berdialog dengan masa sebelumnya sehingga menghasilkan suatu produksi makna. Ketiga, masa depan, di mana terdapat nuansa baru yang produktif (Muslih, 2005: 143).

Dalam hemat penulis, gagasan ini sebenarnya telah dibangun sejak abad ke 8 oleh Abu Ishaq al-Syatibi dalam teori Maqashid al-Syariah-nya. Sebab dalam teorinya telah dibangun, asumsi dasar sebelum aktivitas penafsiran adalah bahwa al-Qur’an memuat nilai-nilai universal yang dihimpun dalam lima nilai pokok yang disebut maqashid al-syariah. Lalu dari asumsi itu dibangun sebuah metode penafsiran yang tidak hanya melihat dzohir ayat namun juga mempertimbangkan siyaq al-kalam untuk menguji asumsi yang telah dibangun, sekaligus mendapatkan nilai unversal (illah) dari teks yang nantinya bisa diaplikasikan dalam menjawab persoalan yang terjadi  di zaman sang mufassir (al-Raisuni, 1992: 116).

Baca Juga: Aplikasi Tafsir Maqashidi, Ulya Fikriyati: Beda Maqashidus Syariah dan Maqashidul Qur’an

Menurut hemat penulis, dalam konteks pengembangan riset keilmuan di bidang Ilmu al-Qur’an dan Tafsir perlu adanya upaya untuk mengkombinasikan penggunaan teori yakni yang berasal dari Timur dan Barat. Hal ini sebenarnya untuk mereduksi anggapan bahwa teori Barat jauh lebih unggul, maupun klaim bahwa teori Timur lebih shahih diterapkan.

Sebab khazanah Timur ternyata mampu bersaing dan tidak jarang menjadi dasar pengembangan teori-teori yang ada di Barat—sehingga tidak tepat jika dikatakan berada di bawah Barat. Dan khazanah Barat juga merupakan ilmu atau produk pengetahuan yang sifatnya universal sehingga tidak layak untuk direndahkan dengan klaim teologis, kecuali ditinggalkan jika di dalamnya terdapat unsur-unsur yang tidak tepat diaplikasikan. Wallahu a’lam.

Tafsir Surat An-Nahl Ayat 68-69: Keistimewaan Lebah dalam Al-Quran

0
Keistimewaan lebah dalam Al-Quran
Keistimewaan lebah dalam Al-Quran

Lebah menjadi salah satu hewan yang namanya tidak hanya disebut dalam Al-Quran, melainkan dijadikan nama surat, yaitu An-Nahl. Allah menciptakan sebuah makhluk yang sangat istimewa yaitu lebah yang mempunyai manfaat bagi manusia. Salah satu keistimewaan lebah ialah, koloni-koloni lebah menghasilkan madu. Madu tersebut telah menjadi konsumsi yang lazim bagi manusia bahkan seringkali digunakan untuk obat. Karena keistimewaan tersebut manusia hingga hari ini terus menerus membudidayakan lebah madu. Dalam Al-Quran, Allah menceritakan hewan istimewa ini dalam surat An-Nahl ayat 68-69.

Baca juga: Belajar Organisasi dari Semut dalam Surat An-Naml Ayat 18-19

Tafsir surat An-Nahl ayat 68: lebah, hewan yang diberikan wahyu

Lebah adalah satu hewan yang istimewa dan unik. Mereka adalah hewan yang diperintahkan Allah untuk melaksanakan tugas-tugasnya di muka bumi. Dengan kata lain, hewan lebah ini telah diberikan wahyu oleh Allah tentang fitrahnya di dunia. Adapaun perihal ini telah dijelaskan Allah dalam surat An-Nahl ayat 68:

وَأَوْحَى رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ

“Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: “Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia. kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu).”

Sebagaimana firman Allah dalam surat As-Syu’ara ayat 51, bahwa hanya ada tiga cara bagi makhluk Allah untuk berkomunikasi dengan-Nya. Cara pertama adalah dengan wahyu, bisa melalui hati dan mimpi yang dinamakan ilham seperti yang terjadi pada Ibu Nabi Musa. Kedua adalah melalui hijab seperti yang terjadi pada pertemuan Nabi Musa dengan Allah yang diceritakan pada surat Al-Qashas ayat 30. Ketiga adalah melalui perantaraan Malaikat Jibril seperti yang terjadi pada nabi dan rasul. Cara pertama adalah yang terjadi pada lebah, bahwa ia diperintah Allah melalui wahyu.

Baca juga: Menilik Keutamaan dan Tujuan Qasam dalam Al-Quran

As-Sa’di dalam Tafsir As-Sa’di menjelaskan bahwa dalam ayat di atas, lebah telah medapatkan ilham dari Allah berupa bimbingan yang ajaib. Allah memberikan kemudahan bagi lebah untuk menuju padang rumput dan taman untuk mencari makan kemudian kembali ke sarangnya yang sangat bagus dan unik atas petunjuk Allah. Wahbah Zuhayli dalam Tafsir al-Wajiz juga memberikan keterangan bahwa Allah telah memberikan kemudahan habitat makanan lebah kemudian Allah juga memberikan arahan kepada lebah untuk merenovasi rumahnya dengan sedemikian mengagumkan.

Al-Mahalli dan As-Suyuthi dalam Tafsir Jalalayn menafsirkan kata “an” di atas sebagai “an” mashdariyah atau mufassiriyah yang berarti ilham yang diberikan kepada lebah berupa sarang untuk tempat tinggal. Sarang tersebut bisa bertempat di bukit-bukit, pohon-pohon, atau tempat-tempat yang telah disediakan maunusia. Sedang Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah memberikan pengertian bahwa lebah telah diberikan Allah ilham untuk menyelesaikan semua persoalan hidupnya. Termasuk juga yang dimudahkan Allah bagi lebah adalah membuat sarang di gunung-gunug, celah-celah pepohonan, maupun pucuk-pucuk rumah manusia.

Tafsir surat An-Nahl ayat 69: manfaat lebah bagi manusia

Keistimewaan lebah yang lain juga dijelaskan Allah dalam ayat selanjutnya, yaitu surat An-NAhl ayat 69:

ثُمَّ كُلِي مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ فَاسْلُكِي سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلا يَخْرُجُ مِنْ بُطُونِهَا شَرَابٌ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ فِيهِ شِفَاءٌ لِلنَّاسِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَةً لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan”

Al-Mahalli dan As-Suyuthi dalam Tafsir Jalalayn menafsirkan lafadz “dzululan” ini sebagai bentuk jamak dari lafadz “dzaluulun”. Makna dari lafadz tersebut adalah dimudahkannya lebah untuk mengambil makanan sejauh dan sesulit apapun jalan tersebut, ia tidak akan tersesat untuk kembali ke sarangnya. Lalu dari perut lebah tersebut keluar minuman yang bermacam-macam warnya, yang di dalamnya mengandung obat bagi segala penyakit. Minuman tersebut bernama madu.

Mengenai madu sebagai penyembuh ini Rasulullah pernah bersabda “penyembuhan bisa lewat tiga macam: bekam, minum madu, atau membakar dengan api. Dan aku melarang umatku membakar dengan api.” (HR Bukhari). Dalam hadis lain riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah juga pernah menyuruh sahabatnya untuk meminumkan madu kepada orang yang sakit diare. Diminumkannya madu tersebut kepda orang yang sakit sebanayk tiga kali lalu penyakitnya pun sembuh.

Baca juga: Ketahui Manfaat Gunung Sebagai Pasak Bumi, Ini Penjelasannya dalam Al Quran

Dalam Tafsir al-Misbah Quraish Shihab menerangkan ayat ini dengan penjelasan saintifik modern atau menggunakan penafsiran bil ‘ilmi. Menurut ilmu pengetahuan modern di dalam madu ini terdapat unsur glukosa dan perfentous dalam porsi yang besar. Dalam ilmu kedokteran, glukosa ini berguna sekali bagi proses penyembuhan berbagai macam jenis penyakit melalui injeksi atau dengan perantaraan mulut yang berfungsi sebagai penguat.

Di samping itu, madu juga memiliki kandungan vitamin yang cukup tinggu terutama vitamin B kompleks. Dalam seminar ilmiah yang dialakukan cendekiwan muslim di Qatar mengungkapkan bahwa madu lebah berperan penting dalam menghentikan pertumbuhan mikroba. Enzim di dalamnya dapat merangsang kesehatan tubuh manusia dan berfungsi meningkatkan zat antibody untuk melawan penyakit yang menyerang.

Atas dasar ilmu pengetahuan modern ini Quraish Shihab mendapatkan afirmasi untuk panfsiran bahwa dalam minuman yang dihasilkan oleh lebah mengandung obat dari berbagai penyakit sesuai yang telah difirmankan Allah. Ayat ini sekali lagi menjadi bukti bahwa antara kebenaran Al-Quran dan kebenaran sains atau ilmu pengetahuan tidaklah bertentangan. Wallahu a’lam[]