Beranda blog Halaman 442

Tafsir Surat Yasin Ayat 13-14: Utusan Itu Hanya Bertugas Menyampaikan

0
Surat Yasin Ayat 13-14
Surat Yasin Ayat 13-14

Sebelumnya, dalam tafsir surat Yasin ayat 11-12 telah dibahas mengenai kekuasaan Allah swt atas segala sesuatu dan salah satunya adalah kuasa untuk memberikan hidayah kepada siapun yang Ia kehendaki. Kali ini dalam tafsir surat Yasin ayat 13-14 kita akan membahas mengenai para utusan yang didustakan oleh kaumnya. Bunyi ayatnya sebagai berikut:

وَاضْرِبْ لَهُمْ مَّثَلًا اَصْحٰبَ الْقَرْيَةِۘ اِذْ جَاۤءَهَا الْمُرْسَلُوْنَۚ

اِذْ اَرْسَلْنَآ اِلَيْهِمُ اثْنَيْنِ فَكَذَّبُوْهُمَا فَعَزَّزْنَا بِثَالِثٍ فَقَالُوْٓا اِنَّآ اِلَيْكُمْ مُّرْسَلُوْنَ

Dan buatlah suatu perumpamaan bagi mereka, yaitu penduduk suatu negeri, ketika utusan-utusan datang kepada mereka;

(yaitu) ketika Kami mengutus kepada mereka dua orang utusan, lalu mereka mendustakan keduanya; kemudian Kami kuatkan dengan (utusan) yang ketiga, maka ketiga (utusan itu) berkata, “Sungguh, kami adalah orang-orang yang diutus kepadamu.”

Tafsir Kemenag memberikan informasi bahwa ayat tersebut merupakan perintah kepada Nabi Muhammad saw supaya menceritakan kisah “Ashab al-Qaryah”, agar menjadi peringatan bagi orang-orang yang mengingkari risalahnya. Terutama bagi orang kafir Mekah pada waktu itu. Mengenai “Ashab al-Qaryah” ini, para mufassir berbeda pendapat.

Mufassir klasik, semisal al-Suyuti, Ibnu Katsir, dan Nawawi a-Bantani, sepakat bahwa yang dimaksud “Ashab al-Qaryah” adalah Antokiah, sebuah kota di bawah kekuasaan Romawi. Dalam Al-Misbah, Quraish Shihab menyebutnya dengan Antiokhiah, sebuah kota lama di hulu sungai al-Ashy. Saat ini termasuk dalam wilayah Suriah. Menariknya Quraish Shihab memiliki analisis berbeda dengan mufassir-mufassir di atas.

Quraish mengatakan bahwa Antiokhiah ini tidak mempunyai rekam jejak buruk terkait dengan pembinasaan penghuninya. Baik di masa Nabi Isa as maupun sebelumnya. Sedangkan kisah “Ashab al-Qaryah” tersebut bercerita tentang pembinasaan suatu kaum akibat pembangkangannya. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa penduduk Antoikhiah dikenal sebagai penduduk pertama yang menerima risalah Nabi Isa as.

Baca juga: Tafsir Surat Yusuf Ayat 1-2: Alasan Al-Quran Diturunkan dengan Bahasa Arab

Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, pengisahan tentang “Ashab al-Qaryah” dalam Tafsir surat Yasin ayat 13-14 ini merupakan peringatan kepada orang-orang yang ingkar kepada risalah Nabi Muhammad saw tentang bagaimana “Ashab al-Qaryah” tersebut juga mengingkari risalah Nabi Isa as dan akhirnya dibinasakan oleh Allah swt. Tentunya kejadian ini diharapkan tidak terulang kembali dengan cara mengambil hikmah atas kisah tersebut.

Terkait dengan siapakah utusan yang diperintahkan untuk berdakwah kepada “Ashab al-Qaryah”, para mufassir berbeda pendapat. Ibn Katsir mengatakan ketiganya bernama Sadiq, Saqduq, dan Syalum. Al-Shawi mengatakan Sadiq, Masduq, dan Syam’un. Sedangkan al-Bantani mengatakan Yuhana, Paulus, dan Syam’um. Setiap mufassir mempunya argumentasinya tersendiri dalam menentukan nama-nama tersebut.

Untuk mengetahui lebih lengkapnya tentang riwayat mengenai perbedaan-perbedaan tersebut, bisa merujuk pada kitab al-Dur al-Masur fi al-Tafsir bi al-Ma’tsur karya Jalaluddin al-Suyuti. Namun yang terpenting adalah bagaimana fakta ketiga utusan Nabi Isa as tersebut diingkari oleh “Ashab al-Qaryah”.

Dikisahkan bahwa tiga utusan tersebut tidak datang secara bersamaan. Dua utusan lebih dahulu mendatangi “Ashab al-Qaryah”. Mereka mendakwahkan risalah Nabi Isa as kepada penduduk wilayah tersebut. Menurut al-Shawi kedua utusan ini juga memiliki kemampuan menyembuhkan segala penyakit dan salah satu cara dakwah yang dipakai mereka adalah menyembuhkan berbagai macam penyakit.

Salah satu penyakit yang berhasil disembuhkan adalah kelumpuhan yang diderita salah seorang dari “Ashab al-Qaryah”. Namun tetap saja mereka semua ingkar terhadap kedua utusan tersebut. Al-Shawi mengishakan bahwa dakwah keduanya berakhir tragis, yakni mereka berdua berakhir di tiang disalib.

Baca juga: Tafsir Surat An-Nahl Ayat 68-69: Keistimewaan Lebah dalam Al-Quran

Lalu Allah datangkan lagi seorang utusan untuk mengukuhkan kebenaran yang disampaikan dua orang sbelumnya. Namun hasilnya sama saja, mereka tetap mengingkarinya. Dari kisah ini hikmah apa yang bisa kita dapat. Mengenai hal ini Quraish mengemukakan analis menarik.

Menurutnya, ayat ini merupakan salah satu bukti menyangkut kebebasan beragama. Pasalnya meskipun Allah swt telah mengukuhkan kebenaran para utusan tersebut, namun Allah swt tidak memaksakan mereka untuk percaya. Karena tugas seorang pengajur kebaikan hanyalah menyampaikan bukan memaksakan.

Hal itu terbukti dengan sikap kepasrahan yang dimiliki oleh ketiga utusan tersebut dan juga sikap yang dimiliki oleh Nabi Muhammad saw ketika menghadapi kaumnya. Tidak pernah ada pemaksaan apapun. Karena sejatinya perbuatan dan pilihan setiap orang akan kembali kepada dirinya sendiri. Quraish Shihab mengatakan bahwa Allah swt hanya menerima keimanan yang tulus, sehingga setiap orang bebas memilih jalan yang dikehendakinya.

Kiranya demikian penjelasan singkat mengenai tafsir surat Yasin ayat 13-14. Untuk mengetahui bagaiamana kelanjutan kisah “Ashab al-Qaryah” tersebut, nantikan pembahasan selanjutnya. Wallahu A’lam.

Surat Ali Imran [3] Ayat 19: Makna Agama Islam dalam Al-Quran

0
Surat Ali Imran Ayat 19
Surat Ali Imran Ayat 19

Belakangan ini terjemah Al-Qur’an sering mendapat sorotan oleh khalayak ramai, terutama para ahli dan pengkaji Al-Qur’an. Sebab, beberapa pendakwah kadangkala menyampaikan nasihat hanya berdasarkan terjemah Al-Qur’an tanpa melihat makna ayat secara mendalam. Akibatnya, makna ayat Al-Qur’an mengalami distorsi signifikan. Misalnya, surat Ali ‘Imran [3] ayat 19 yang berbicara tentang legalitas agama Islam disalahpahami sebagai ayat justifikasi untuk menyalahkan agama orang lain.

Memahami surat Ali ‘Imran [3] ayat 19 – yang berbicara tentang legalitas agama Islam – sebagai dalil bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang diterima Allah swt tidaklah keliru. Karena pemahaman seperti ini sesuai dengan literal ayat. Hanya saja, terjemahan populer ini belum sepenuhnya mengungkap makna ayat tersebut, bahkan pada kondisi tertentu dapat menimbulkan kerancuan dan fanatisme dalam beragama.

Apakah Islam adalah satu-satunya Agama yang diterima Allah Swt?

Allah swt berfirman:

اِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللّٰهِ الْاِسْلَامُ ۗ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْ ۗوَمَنْ يَّكْفُرْ بِاٰيٰتِ اللّٰهِ فَاِنَّ اللّٰهَ سَرِيْعُ الْحِسَابِ ١٩

Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi Kitab kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka. Barangsiapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya.” (Surat Ali ‘Imran [3] ayat 19).

Surat Ali ‘Imran [3] ayat 19 di atas secara umum berbicara mengenai legalitas agama Islam di sisi Allah swt. Sebagian orang memahami ayat ini sebagai alat justifikasi pembenaran agama Islam di atas agama-agama lain di dunia. Pemahaman tersebut biasanya mengacu pada terjemah Al-Qur’an. Misalnya, terjemah Kemenag pada tahun 2002 memaknainya sebagai, “Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam.

Menurut Quraish Shihab, “Terjemah atau makna itu, walau tidak keliru, belum sepenuhnya jelas, bahkan dapat menimbulkan kerancuan pemahaman. Oleh karena itu, butuh penjelasan lebih lanjut untuk memahami maknanya yang terdalam.” Agar kita menemukan pemahaman yang lengkap, maka ayat ini perlu dihubungkan dengan ayat-ayat sebelumnya.

Pada ayat sebelumnya Al-Qur’an menegaskan bahwa tiada Tuhan – yakni Penguasa yang memiliki dan mengatur seluruh alam – kecuali Dia Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Jika demikian, ketundukan dan ketaatan kepada-Nya adalah keniscayaan yang tidak terbantahkan, sehingga hanya keislaman – yakni penyerahan diri secara penuh kepada Allah – yang diakui dan diterima di sisi-Nya.

Surat Ali ‘Imran [3] ayat 19 menurut Ibnu Katsir mengandung pesan Allah bahwa tiada agama di sisi-Nya, dan yang diterima-Nya dari seorang pun kecuali Islam, yakni mengikuti rasul-rasul yang diutus-Nya setiap saat hingga berakhir dengan Muhammad saw. Dengan kehadiran beliau, maka telah tertutup semua jalan menuju Allah swt kecuali jalan dari arah beliau.

Pendapat Ibnu Katsir di atas didasarkan pada Firman Allah swt surat Ali ‘Imran [3] ayat 85 yang berbunyi:

وَمَنْ يَّبْتَغِ غَيْرَ الْاِسْلَامِ دِيْنًا فَلَنْ يُّقْبَلَ مِنْهُۚ وَهُوَ فِى الْاٰخِرَةِ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ ٨٥

Dan barangsiapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi.”

Menurut sebagian ulama, Islam dalam ayat ini adalah agama para nabi. Istilah Muslimin juga digunakan bagi umat-umat para nabi terdahulu. Asy-Sya’rawi misalnya, menyatakan bahwa Islam tidak terbatas hanya pada risalah nabi Muhammad saw, tetapi Islam adalah ketundukan makhluk kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam ajaran yang dibawa oleh para rasul, yang didukung oleh mukjizat dan bukti-bukti yang meyakinkan.

Hanya saja – kata Asy-Sya’rawi – kata Islam untuk ajaran para nabi yang lalu merupakan sifat saja, sedangkan umat nabi Muhammad saw memiliki keistemewaan dari sisi kesinambungan sifat itu bagi agama umat Muhammad saw sekaligus menjadi tanda dan nama baginya. Oleh sebab itu, kaum Muslimin tidak menamai ajaran agama Islam dengan Muhammadinisme.

Jika kita mencermati ayat-ayat Al-Qur’an, maka tidak ditemukan kata Islam sebagai nama agama kecuali setelah agama ini sempurna dengan kedatangan nabi Muhammad saw. Oleh karena itu, tidak keliru jika kata Islam dalam surat Ali ‘Imran [3] ayat 19 dimaknai dengan ajaran yang dibawa oleh Muhammad saw dan sebagai bukti legalitas agama Islam di sisi Allah swt. Sebab secara teologis maupun sosiologi, itulah nama ajaran yang disampaikan olehnya.

Surat Ali ‘Imran [3] ayat 19 merupakan legalitas agama Islam di sisi Allah swt. Namun kendati demikian, jangan membatasi Islam hanya pada ajaran yang dibawa oleh nabi Muhammad saw. Sebab, ajaran-ajaran yang dibawa oleh nabi-nabi terdahulu juga merupakan agama Islam. Ayat ini sebenarnya ingin menekankan bahwa siapapun – sejak Adam hingga akhir zaman – yang tidak menganut agama sesuai yang diajarkan oleh rasul utusan Allah, maka ia tertolak.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa kata Islam memuat dua makna, yakni secara umum dan khusus. Secara umum Islam adalah agama ketundukan dan ketaatan kepada Allah yang dibawa oleh seluruh nabi dan rasul sepanjang zaman. Sedangkan Islam secara khusus adalah nama agama yang dibawa oleh nabi Muhammad saw. Keduanya – agama nabi terdahulu dan Islam yang dibawa nabi Muhammad adalah agama yang diterima di sisi Allah swt. Wallahu a’lam.

Muhammad Syahrur, Salafisme dan Hakikat al-Qur’an Shalih li Kulli Zaman wa Makan

0
Muhammad Syahrur
Muhammad Syahrur ilustrasi: alaraby.co.uk

Muhammad Syahrur mungkin dikenal sebagai tokoh cendekiawan Islam modern yang diklaim menyuguhkan gagasan-gagasan “kontroversial”. Namun perlu diketahui bahwa tidak semua gagasan Syahrur dapat digeneralisir sebagai gagasan “kontroversial”, sebab banyak hal yang bisa dipelajari dari keinginannya untuk melakukan pembaharuan kajian Islam.

Salah satunya yang akan dibahas pada tulisan kali ini terkait komentarnya mengenai gerakan Salafisme dan hakikat al-Qur’an shalih li kulli zaman wa makan. Kedua term pembahasan ini bisa dibilang sangat berkaitan dan bisa dijadikan sebagai pertimbangan dalam melihat berbagai fenomena sosial-keagamaan dewasa ini.

Biografi

Muhammad Syahrur adalah salah satu tokoh cendekiawan Islam modern yang pemikirannya banyak dikaji di kalangan intelektual Islam. Syahrur memiliki nama lengkap Muhammad Da’ib Syahrur. Ia lahir di kota Damaskus, Suriah pada tanggal 11 Maret 1938.

Jika menelusuri jejak perjalanan akademiknya, maka tidak ditemukan bahwa Syahrur adalah seorang yang menekuni kajian Islam sejak dini. Di kampung halamannya, Syahrur menyelesaikan pendidikan ibtidaiyah dan tsanawiyah di madrasah atau sekolah yang tidak fokus pada kajian keilmuan Islam.

Baca Juga: Mengenal Nasr Hamid Abu Zaid, Pengkaji Al-Quran Kontemporer Asal Tanta, Mesir

Selepas lulus, Syahrur melanjutkan pendidikan tingginya di Moskow, Rusia, tepatnya di Moskow Engineering Institute dan mengambil jurusan Teknik Sipil. Setelah menjadi sarjana, tahun 1965 ia diterima menjadi pengajar di Universitas Damaskus dan di tahun 1969 dikirim untuk melanjutkan studi pascasarjananya di National University of Irlandia. Ia pun lulus sebagai doktor di tahun 1972 dengan spesialisasi Teknik Tanah dan Bangunan.

Kedatangannya di Irlandia menjadi awal mula alasannya tertarik pada kajian keIslaman. Ia merasa kajian Islam di dunia Barat begitu minim dan sudah terbelenggu oleh kotak-kotak aliran yang saling mendominasi (Sunni-Muktazilah-Syiah) serta taqlid pada pandangan Fiqh Klasik. Maka ia pun mulai bergelut pada kajian keIslaman dan menuliskan gagasan-gagasannya yang dinilai sebagai gagasan pembaharuan.

Di antara karya-karya Syahrur yang menjadi buah gagasannya ialah al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah, Dirasah a-Mua’ashirah fi Daulah wa al-Mujtama’, al-Iman wa al-Islam: Mandzhumah al-Qiyam, Nahwa Ushul Jadidah li al-Fiqh al-Islami.

Muhammad Syahrur wafat di usia 81 tahun di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Sebelum wafat, ia berwasiat agar jasadnya dimakamkan di Damaskus, Suriah tempat di mana ia dilahirkan dan dibesarkan.

Salafy dan Sikap Terhadap Turats

Salah satu yang menjadi kegelisahan intelektual Muhammad Syahrur adalah kekeringan kajian Islam saat ini, khususnya di tanah Arab, yang disebabkan oleh kebergantungan umat Islam pada epistemologi Islam doktrinal era klasik-pertengahan. Lahirnya aliran-aliran konservatisme Islam yang justru mendorong umat muslim untuk kembali pada epistemologi pemikiran Islam generasi salaf menjadi bukti nyata bahwa adanya krisis ijtihad dan metodologi dalam tubuh Islam.

Dalam muqaddimah salah satu kitabnya yang fenomenal sekaligus kontroversial, al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah, Syahrur secara gamblang menyebut salafy sebagai salah satu aliran konservatisme sekaligus memberikan tawaran metodologi baru dalam upaya memahami al-Qur’an serta turast yang menjadi warisan intelektual masa lampau.

Bagi Syahrur, Salafy adalah sebuah aliran pemahaman yang menyerukan untuk mengikuti jalan (pemahaman) salaf al-shalih dengan tanpa membuka mata atas perbedaan realitas konteks yang ada. Salafi adalah seorang muqallid yang buta, ia tak mampu membedakan bahwa dirinya sedang hidup di zaman yang sangat jauh rentangnya dari zaman yang ia ikuti, seorang yang hidup di abad 21 dan taqlid generasi yang hidup di abad ke-7 (dalam kalender Masehi).

Padahal sikap taqlid itu seharusnya mustahil dilakukan sebab kita hanya bisa mengakses dokumen-dokumen sejarah (al-turats al-tarikhi), sehingga tidak akan bisa memahami konteks yang terjadi di abad ke-7 sebagaimana pemahaman anak zamannya.

Dalam membahas tentang tentang turats, Syahrur menjelaskan bahwa turats adalah produk material maupun pemikiran yang ditinggalkan atau diwariskan oleh generasi terdahulu kepada generasi masa kini, yang memainkan peran penting dalam pembentukan masyarakat terdahulu baik dalam membentuk pola pikir (mode of thought) maupun pola tindakan (mode of conduct).

Maka hal penting yang perlu dicatat adalah bahwa turats adalah produk atau wujud dari aktifitas manusia yang berkelindan dengan zamannya (muta’aqib bi zamanih), sehingga dalam berinteraksi dengan turats yang sifatnya nisby (relatif) dan temporal, Syahrur menginginkan agar pembacanya menggunakan metode pembacaan yang kontemporer dalam membacanya (qira’ah mu’ashirah).

Adapun yang dimaksud dengan qira’ah mu’ashirah adalah pembacaan yang mengedepankan dialektika antara produk peninggalan generasi (turats) terdahulu dengan pembaca yang terikat dengan konteksnya sendiri. Implikasinya, pembaca tidak harus berafiliasi sepenuhnya dengan turats, namun ia berhak memilah dan memilih informasi yang terdapat dalam turats yang memiliki kebermanfaatan bagi pembaca dan masanya serta bagi generasi di masa yang akan depan.

Dengan begitu, Salafy telah salah dalam mengambil sikap terhadap turats, sebab telah menempatkan turats sejajar dengan teks suci yang sakral. Implikasinya, teks al-Qur’an tidak membutuhkan lagi pengembangan pemahaman ataupun penalaran, sehingga al-Qur’an cukup dibaca saja dan adapun jika ingin memahaminya cukup kembali pada turats yang telah ada.

Maka dari sinilah terjadi vernakularisasi, yaitu terjadinya pergeseran dari al-Qur’an yang memegang otoritas tunggal terhadap maknanya menuju pada turats. Inilah justru yang menyebabkan tertutupnya karakter al-Qur’an sebagai kitab yang shalil li kulli zaman wa makan.

Al-Qur’an: Shalih li kulli Zaman wa Makan

Al-Qur’an bagi Syahrur bukanlah turats, sebab al-Qur’an adalah wahyu Tuhan yang di dalamnya terdapat dimensi absolusitas Tuhan dalam kandungan maknanya (al-muhtawa), sehingga otoritas kebenaran makna bukanlah milik manusia. Namun sebagai kitab yang ditujukan kepada manusia, al-Qur’an juga memuat muatan nisbiyah atau relativitas yang diwakilkan oleh pemahaman manusia atasnya.

Konsekuensi atas pendapat Syahrur di atas adalah bahwa turats yang hadir atas pemahaman terhadap al-Qur’an baik dari sisi pemaknaannya secara komprehensif yang diwakilkan oleh kitab-kitab tafsir (klasik-pertengahan) maupun dari sisi yuridisnya saja yang diwakilkan oleh kitab-kitab fiqh bersifat nisby yakni relatif dan temporal sehingga tidak sepatutnya dijadikan pegangan bagi generasi yang hidup di era modern-kontemporer.

Maka Syarur berkesimpulan bahwa semestinya untuk mengatakan bahwa al-Qur’an shalih li kulli zaman wa makan, al-Qur’an harus diibaratkan sebagai kitab yang turun di zaman kita dan Nabi Muhammad sebagai penyampai risalahnya diumpakan diutus di zaman kita.

Baca Juga: Muhammad al-Ghazali, Mufassir Penggerak Hermeneutika dari Timur Tengah

Dengan begitu seorang pembaca akan mampu berinteraksi dengan al-Qur’an dengan menggunakan berbagai pendekatan yang berkembang di zamannya, serta mampu memproduksi pemaknaan yang tepat terhadap al-Qur’an dan relevan juga ramah dengan konteks zamannya, sehingga tidak terjebak pada pemahaman turats yang disinyalir sudah tidak relevan bagi masa kini.

Walhasil, bagaimanapun pemikiran Syahrur dengan segala “kontroversi” yang diklaim ada di dalamnya, tetap ada hikmah dan pelajaran yang bisa diambil. Adapun jika ada yang dinilai tidak sesuai di dalamnya, maka boleh ditinggalkan atau dikritisi secara akademik. Sebab sebagai muslim yang open-minded dan berwawasan sudah semestinya menyikapi perbedaan pemikiran sebagai bagian dari warna-warna yang menghiasi Islam layaknya pelangi. Wallahu a’lam.

Memahami Makna Nisyan dan Penyebabnya di dalam Al-Quran

0
makna nisyan
makna nisyan

Kata nisyan merupakan bentuk mashdar dari lafad nasiya yang mempunyai arti melupakan atau melalaikan. Dalam Lisan al-‘Arab disebutkan bahwa kata nisyan merupakan lawan dari kata adz-dzikr yang mempunyai arti mengingat. Di dalam Al-Quran, kata nisyan dan derivasinya disebutkan banyak sekali, baik dalam bentuk fi’il madhi, fi’il mudhari’ majhul maupun ma’lum, fa’il, mashdar, dan lainnya. Pertanyaannya kemudian, apa makna nisyan di dalam Al-Quran? Berikut penjelasannya:

Pertama, nisyan bermakna meninggalkan, sebagaimana firman-Nya:

وَلَقَدۡ عَهِدۡنَآ إِلَىٰٓ ءَادَمَ مِن قَبۡلُ فَنَسِيَ وَلَمۡ نَجِدۡ لَهُۥ عَزۡمٗا

Artinya: Dan sungguh telah Kami pesankan kepada Adam dahulu, tetapi dia lupa, dan Kami tidak dapati kemauan yang kuat padanya. (Q.S Thaha: 115)

Baca Juga: Memahami Makna Kata Ikhlas dan Penafsirannya dalam Al-Quran

Dalam Tafsir At-Thabari disebutkan suatu hadis yang diriwayatkan oleh Ibn ‘Abbas, bahwasanya lafad nasiya pada ayat tersebut bermakna meninggalkan. Dalam hal ini Nabi Adam As. meninggalkan apa yang telah diperintahkan oleh Allah swt dan mengikuti bujukan setan.

Selain itu, nisyan bermakna meninggalkan juga terdapat dalam Q.S. Al-An’am: 44, Q.S. Al-Maidah : 13, Q.S. At-Taubah: 67, Q.S. al-Baqarah : 106 dan 237, Q.S. Al-A’raf : 51 dan 165, Q.S. Al-kahfi: 73, Q.S. Thaha: 115 dan 126.

Kedua, makna nisyan berikutnya adalah melupakan, lupa atau dilupakan, sebagaimana firman-Nya:

قَالَ أَرَءَيۡتَ إِذۡ أَوَيۡنَآ إِلَى ٱلصَّخۡرَةِ فَإِنِّي نَسِيتُ ٱلۡحُوتَ وَمَآ أَنسَىٰنِيهُ إِلَّا ٱلشَّيۡطَٰنُ أَنۡ أَذۡكُرَهُۥۚ وَٱتَّخَذَ سَبِيلَهُۥ فِي ٱلۡبَحۡرِ عَجَبٗا

Artinya: Dia (pembantunya) menjawab, “Tahukah engkau ketika kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak ada yang membuat aku lupa untuk mengingatnya kecuali setan, dan (ikan) itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali. (Q.S al-Kahfi: 63).

Pada ayat tersebut dijelaskan bahwa Nabi Musa As pernah melakukan sebuah perjalanan jauh bersama dengan muridnya. Di tengah perjalanan, muridnya merasa letih dan lapar. Kemudian Nabi Musa As meminta muridnya untuk mengambil makanan. Namun muridnya lupa menceritakan kepada Nabi Musa As bahwa ketika dalam perjalanan sebelumnya ia telah melihat ikan. Kelupaan murid Nabi Musa As untuk menceritakan tentang ikan tersebut tidak lain disebabkan oleh syaitan.

Selain itu, makna nisyan melupakan, lupa atau dilupakan juga terdapat dalam Q.S. Maryam: 23, Q.S. Al-An’am :68.

Baca Juga: Memahami Makna Kata Jaza dalam Al-Quran dan Penggunaannya

Penyebab Nisyan dalam Al-Quran

Selanjutnya, di dalam beberapa ayat Al-Quran yang lain disebutkan bahwasanya ada tiga penyebab seseorang meninggalkan, melupakan, lupa atau dilupakan, berikut penjelasannya:

Pertama, nisyan yang disebabkan oleh setan, sebagaimana firman-Nya:

وَإِذَا رَأَيۡتَ ٱلَّذِينَ يَخُوضُونَ فِيٓ ءَايَٰتِنَا فَأَعۡرِضۡ عَنۡهُمۡ حَتَّىٰ يَخُوضُواْ فِي حَدِيثٍ غَيۡرِهِۦۚ وَإِمَّا يُنسِيَنَّكَ ٱلشَّيۡطَٰنُ فَلَا تَقۡعُدۡ بَعۡدَ ٱلذِّكۡرَىٰ مَعَ ٱلۡقَوۡمِ ٱلظَّٰلِمِينَ

Artinya: Apabila engkau (Muhammad) melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka hingga mereka beralih ke pembicaraan lain. Dan jika setan benar-benar menjadikan engkau lupa (akan larangan ini), setelah ingat kembali janganlah engkau duduk bersama orang-orang yang zhalim. (Q.S Al-An’am: 68).

Pada ayat tersebut dijelaskan bahwasanya ketika terdapat sekelompok orang yang menghina Al-Quran, maka tinggalkanlah mereka. Apabila setan telah menjadikan kita lupa akan peringatan tersebut, maka janganlah ikut bergabung bersama mereka. Selain itu, disebutkan juga dalam Q.S. Yusuf: 42 dan Q.S. Al-Kahfi: 63.

Kedua, nisyan yang disebabkan oleh diri sendiri dalam sebuah perjanjian, sebagaimana firman-Nya:

إِلَّآ أَن يَشَآءَ ٱللَّهُۚ وَٱذۡكُر رَّبَّكَ إِذَا نَسِيتَ وَقُلۡ عَسَىٰٓ أَن يَهۡدِيَنِ رَبِّي لِأَقۡرَبَ مِنۡ هَٰذَا رَشَدٗا

Artinya: Kecuali (dengan mengatakan), “Insya Allah.” Dan ingatlah kepada Tuhanmu apabila engkau lupa dan katakanlah, “Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepadaku agar aku yang lebih dekat (kebenarannya) daripada ini. (Q.S Al-Kahfi: 24).

Pada ayat tersebut dijelaskan bahwasanya menurut Ibn ‘Abbas ketika seseorang telah menetapkan sebuah perjanjian yang akan dilakukan maka hendaknya mengucapkan kalimat “Insya Allah” dengan harapan perjanjian yang akan dilakukan benar-benar akan terjadi. Jika seseorang tidak mengucapkannya, maka Allah swt bisa saja akan menjadikan seseorang itu lupa terhadap janjinya.

Baca Juga: Inilah Makna Qishash Menurut Al-Quran, Berikut Penjelasannya

Ketiga, nisyan yang disebabkan oleh diri sendiri dengan sengaja dalam hal keburukan, sebagaimana firman-Nya:

فَذُوقُواْ بِمَا نَسِيتُمۡ لِقَآءَ يَوۡمِكُمۡ هَٰذَآ إِنَّا نَسِينَٰكُمۡۖ وَذُوقُواْ عَذَابَ ٱلۡخُلۡدِ بِمَا كُنتُمۡ تَعۡمَلُونَ

Artinya: Maka rasakanlah olehmu (azab ini) disebabkan kamu melalaikan pertemuan dengan harimu ini (hari Kiamat), sesungguhnya Kami pun melalaikan kamu dan rasakanlah azab yang kekal, atas apa yang telah kamu kerjakan. (Q.S As-Sajdah: 14).

Pada ayat tersebut dijelaskan bahwasanya orang-orang yang sengaja berbuat maksiat ketika hidup di dunia, maka akan mendapat siksaan. Selain itu, disebutkan juga dalam Q.S. Al-A’raf : 51, Q.S. at-Taubah : 67, Q.S. Al-Hasyr : 19

Pada akhirnya, setan adalah musuh yang paling nyata bagi manusia. Terkadang godaannya dapat menjerumuskan manusia terhadap sesuatu yang dilarang oleh agama, na’udzubillah. Akan tetapi, sesungguhnya Allah Swt senantiasa memberikan perlindungan terhadap manusia dari godaan setan, selanjutnya tinggal manusianya saja mau melakukan atau meninggalkannya.

Wallahu A’lam

Rencana Pembunuhan Nabi Ilyas dan Bencana untuk Kaumnya

0
Rencana pembunuhan Nabi Ilyas dan bencana bagi kaumnya
Rencana pembunuhan Nabi Ilyas dan bencana bagi kaumnya

Nabi Ilyas merupakan nabi dan rasul yang diutus kepada kaum Bani Israil. Namanya disebut dua kali dalam Al-Quran. Ia disebut dalam surat Al-An’am ayat 85 dan surat As-Shaffat ayat 123. Kemudian  Nabi Iyas disebut dengan  ‘Ilyasin‘ pada surat As-Shaffat ayat 130. Salah satu kisah tentangnya, ialah rencana pembunuhan Nabi Ilyas dan balasan bagi kaumnya.

Diutusnya Nabi Ilyas kepada kaum Bani Israil merupakan kelanjutan dari dakwah Nabi Musa dan Nabi Harun. Silsilah Nabi Ilyas menurut Ibnu Ishaq dalam Tarikh Ibnu Ishaq bertemu kepada Nabi Harun yaitu Ilyas bin Yusa’ bin Fanhash bin al’Izar ibn Harun. Nabi Ilyas termasuk salah satu nabi yang sangat sabar. Dalam kisahnya diceritakan bahwa perjuangan dakwahnya ditentang oleh kaumnya Bani Israil dan juga penguasa pada saat itu. Al-Quran merekam perjuangan Nabi Ilyas beserta akhir dari kaumnya yang ditimpa bencana oleh Allah.

Baca juga: Kisah Kesabaran Nabi Yusuf Yang Membuat Kagum Nabi Muhammad

Nabi Ilyas dan kaumnya yang membangkang

Dalam surat As-Shaffat ayat 123-132, menceritakan kisah Nabi Ilyas serta respon kaumnya yang membangkang terhadap dakwah dan risalahnya. Berikut rangkaian surat As-Shaffat ayat 123-132:

وَإِنَّ إِلْيَاسَ لَمِنَ الْمُرْسَلِينَ . إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَلَا تتقُونَ . أَتَدْعُونَ بعْلًا وَتَذَرُونَ أَحْسَنَ الْخَالِقِينَ . اللَّهَ رَبَّكُمْ وَرَبَّ آبَائِكُمُ الأوَّلِينَ . فَكَذَّبُوهُ فَإِنَّهُمْ لَمُحْضَرُونَ . إِلا عِبَادَ اللَّهِ الْمُخْلَصِينَ . وَترَكْنَا عَلَيْهِ فِي الآخِرِينَ . سَلامٌ عَلَى إِلْ يَاسِينَ . إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ . إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُؤْمِنِينَ 

Dan sesungguhnya Ilyas benar-benar termasuk salah seorang rasul-rasul. (Ingatlah) ketika ia berkata kepada kaumnya. ‘Mengapa kamu tidak bertakwa? Patutkah kamu menyembah Ba’l dan kamu tinggalkan sebaik-baik Pencipta, (yaitu) Allah Tuhanmu dan Tuhan bapak-bapakmu yang terdahulu?” Maka mereka mendustakannya-, karena itu mereka akan diseret (ke neraka). kecuali hamba-hamba Allah yang dibersihkan (dari dosa). Dan Kami abadikan untuk Ilyas (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu): “Kesejahteraan dilimpahkan atas Ilyas.” Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya dia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman”

Ayat di atas menjelaskan bahwa kaum Nabi Ilyas menyembah Ba’l. Buya Hamka menjelaskan dalam tafsir Al-Azhar bahwa Ba’l ini adalah berhala sesembahan kaum Punichia. Punichia adalah nama kaum yang dulu hidup di pantai Utara Arabia. Sementara Bek adalah nama raja penguasa pada saat Nabi Ilyas diutus.

Baca juga: Kisah Nabi Ilyas as dalam Al-Quran dan Pertemuan dengan Nabi Ilyasa as

Di banyak riwayat seperti pada Bidayah wa Nihayah karya Ibnu Katsir, Mu’jamul Buldan karya Yaqut al-Hamawa, Fathul Qadir karya As-Syaukani, dan At-Thabari dalam kitab tafsirnya Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an menyebutkan bahwa tempat diutus Nabi Ilyas adalah Ba’labak. Ba’l adalah nama berhala sesembahan kaumnya, sedang Bek adalah nama raja pengikut kaumnya yang juga membangkang. Kini daerah tersebut masuk wilayah Lebanon yang juga masih ditemui sebuah bangunan bernama Heliopolis, tempat menyembah berhala.

Buya Hamka menjelaskan bahwa kaum Nabi Ilyas telah diingatkan berkali-kali untuk mengesakan Allah dan meninggalkan sesembahan berhala mereka. Namun mereka tetap saja menolak dan berdalih bahwa apa yang mereka lakukan adalah benar seperti yang dilakukan nenek moyang mereka. Padahal jelas-jelas bahwa nenek moyang mereka dahulu adalah orang-orang yang taat menyembah Allah.

Ibnu Katsir juga memberikan keterangan dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim bahwa penolakan yang terjadi juga berasal dari raja penguasa pada saat itu. Raja Bek yang awalnya beriman namun kemudian murtad mengikuti kaumnya yang menyembah berhala. Lantas mereka bersama-sama memusuhi dan menentang Nabi Ilyas. Hingga pada akhirnya tidak ada lagi yang mengikuti risalah Nabi Ilyas. Namun, Allah Maha Bijaksana dan Adil. Seperti firman-Nya dalam surat As-Shaffat ayat 127 bahwa orang-orang tersebut akan diseret ke neraka. Sedang Nabi Ilyas sendiri diangkat derajatnya dan dimuliakan namanya oleh Allah.

Rencana pembunuhan Nabi Ilyas dan bencana kekeringan untuk kaumnya

Dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim Ibnu Katsir menjelaskan peristiwa yang dialami kaum Nabi Ilyas akibat pembangkangan mereka. Diceritakan bahwa kesesatan kaumnya semakin besar. Tidak ada lagi seorang pun yang mau mengimani ajakan Nabi Ilyas, bahkan raja yang awalnya beriman murtad dan malah menentangnya bersama kaumnya.

Penentangan kaumnya pun semakin menjadi-jadi. Mereka menantang Nabi Ilyas meminta kepada Tuhannya untuk didatangkan bencana jika Tuhan yang dimaksud Nabi Ilyas itu benar-benar ada. Lalu Nabi Ilyas berdoa kepada Allah untuk memberikan pelajaran kepada mereka. Maka Allah pun menahan hujan dari mereka hingga terjadi kekeringan selama tiga tahun.

At-Thabari dalam Tafsir At-thabari menuturkan bahwa akibat bencana yang mereka alami, kaum Nabi Ilyas pun memohon agar bencana itu dilenyapkan. Jika Nabi Ilyas berhasil memenuhi permintaan mereka, mereka berjanji akan beriman kepadanya. Lantas Nabi Ilyas pun berdoa kepada Allah untuk menurunkan hujan kembali. Dan hujan pun akhirnya turun seperti biasanya. Namun, yang terjadi pada kaumnya tetap sama saja, mereka tidak mau beriman dan tetap pada kekafirannya. Mereka malah mengusir Nabi Ilyas bahkan merencanakan pembunuhan terhadapnya.

Baca juga: Kisah Nabi Yahya dalam Al-Quran: Dapat Hikmah dan Maksum Sejak Kecil

Karena pengusiran dan perencanaan pembunuhan oleh kaumnya tersebut, Nabi Ilyas pun pergi dari satu tempat ke tempat lain. Ia pernah tinggal di sebuah gua untuk bersembunyi. Ibnu Katsir menjelaskan suatu ketika raja dan Bani Israil menemukan persembunyian Nabi Ilyas. Hingga akhirnya Nabi Ilyas pun menyeberangi suatu sungai dan mendapati sebuah rumah terpencil. Nabi Ilyas meminta izin kepada tuan rumah untuk bersembunyi. Tuan rumah tersebut ternyata adalah orang yang baik hati dan mengizinkan Nabi Ilyas untuk tinggal di sana. Tuan rumah ini juga mempercayai risalah Nabi Ilyas dan di kemudian hari ia juga diangkat Allah menjadi seorang Nabi, yaitu Nabi Ilyasa.

Dalam Tafsir Al-Qur’an al-’Adhim Ibnu Katsir menjelaskan akhir dari kisah dan perjuangan Nabi Ilyas. Di dalam ketegangan dan keterasingan itu Nabi Ilyas berdoa kepada Allah agar dicabut nyawanya. Allah pun mengabulkan doa Nabi Ilyas dan mengangkatnya ke tempat yang tinggi. Ketika itu juga Nabi Ilyasa telah diangkat menjadi nabi melanjutkan risalah Nabi Ilyas. Sedang kaum Nabi Ilyas masih menuai azabnya. Kota Ba’labak mengalami kekeringan luar biasa dan telah merenggut nyawa penduduknya satu per satu. Bencana tersebut membuat kekacauan di Ba’labak hingga binatang ternak pun ikut menjadi korban bencana. Wallahu a’lam[]

Menelisik Tafsir Falsafi (3): Pro dan Kontra Tafsir Falsafi

0
tafsir falsafi
tafsir falsafi

Setiap penafsiran Al-Quran dengan pendekatan yang mengadopsi dari luar Islam selalu kontroversial. Ada ulama yang pro dan kontra perihal kontroversial tersebut. Hal ini juga terjadi pada tafsir falsafi. Tidak sedikit ulama yang menolak pendekatan falsafi ketika menafsirkan Al-Quran, serta banyak juga ulama yang mengapresiasi dan menerimanya. Berikut penjelasan selengkapnya di bawah ini.

Ulama yang Kontra

Di antara tokoh yang “vokal” menentang tafsir falsafi ialah Al-Ghazali, sehingga ia merasa perlu menulis kitab khusus tentang itu dengan judul “Al-Irsyad” untuk menolak paham mereka karena al-Ghazali melihat telah banyak terjadi penyimpangan dalam berfikir filsafat, sehingga ia pun mengkriktik para filosof dengan kitabnya at-Tahafut al-Falasifah dan al-Munqidz min al-dhalal.

Perlu digarisbawahi bahwa Al-Ghazali bukanlah tokoh yang sepenuhnya menentang filsafat termasuk pula tafsir falsafi, Al-Ghazali tetap menerima pemikiran filsafat yang tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam, sebab ada beberapa pemikiran filsafat yang dianggapnya berlainan dengan Islam.

Di awal pembahasan artikel terdahulu, telah dijelaskan bahwa tafsir falsafi adalah bagian daripada tafsir bil ra’yi. Jadi cikal bakal perdebatan tafsir ini sudah dimulai sejak era tafsir bil ra’yi. Salah satu argumentasi yang digunakan adalah berdasar hadits Nabi saw, “orang yang menafsirkan Al-Quran berdasarkan pendapatnya (ra’y) maka ia sedang menyediakan tempatnya di neraka.” Berikut riwayat lengkapnya dari Imam At-Timirdzi,

(Tirmidzi berkata) Suufyān bin Waki’ menceritakan kepada kami, (Sufyan berkata): Suwaid bin `Amr al-Kalbi menceritakan kepada kami, (Suwaid berkata): Abu `Awānah menceritakan kepada kami dari `Abd al-A`lā dari Sa`id bin Jubair dari Ibn `Abbas dari Nabi Saw, beliau bersabda; takutlah kalian (hati-hati dalam memegangi) hadis-hadis dariku kecuali yang benarbenar telah aku ajarkan kepada kalian, barangsiapa berbohong atas namaku secara sengaja, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya dari api neraka, siapa yang mengatakan sesuatu tentang Al-Quran dengan ra’yunya maka hendaklah ia menempati tempat duduknya dari api neraka. [HR. al-Tirmidzi]

Berkenaan dengan riwayat Imam Tirmidzi, Abdullah Saeed menambahkan argumentasinya dengan menukil hadits lain yang mengungkapkan pandangan bahwa tafsir bil ra’yi dilarang disebabkan, “orang yang mengatakan sesuatu tentang Al-Quran berdasarkan opininya (meskipun itu) benar, maka ia telah melakukan kesalahan.”

Argumen tersebut dilegitimasi oleh Q.S. Ali Imran [3]: 7,

هُوَ الَّذِيْٓ اَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتٰبَ مِنْهُ اٰيٰتٌ مُّحْكَمٰتٌ هُنَّ اُمُّ الْكِتٰبِ وَاُخَرُ مُتَشٰبِهٰتٌ ۗ فَاَمَّا الَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاۤءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاۤءَ تَأْوِيْلِهٖۚ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهٗٓ اِلَّا اللّٰهُ ۘوَالرّٰسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ اٰمَنَّا بِهٖۙ كُلٌّ مِّنْ عِنْدِ رَبِّنَا ۚ وَمَا يَذَّكَّرُ اِلَّآ اُولُوا الْاَلْبَابِ

Dialah yang menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad). Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok Kitab (Al-Qur’an) dan yang lain mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan, mereka mengikuti yang mutasyabihat untuk mencari-cari fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang ilmunya mendalam berkata, “Kami beriman kepadanya (Al-Qur’an), semuanya dari sisi Tuhan kami.” Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang yang berakal. (Q.S. Ali Imran [3]: 7)

Baca juga: Menelisik Tafsir Falsafi (1): Pengertian dan Sejarah Perkembangannya

Sebagian mufasir menafsirkan ayat di atas bahwa tafsir ayat-ayat mutasyabihat hanya diketahui oleh Allah swt sehingga mayoritas ulama mencela setiap usaha untuk menafsirkan ayat-ayat tersebut.

Di antara ulama yang menolak menafsirkan ayat tersebut ialah Imam Hanbali, Ibn Taimiyah, dan Ibn Katsir, mereka menolak semua tafsir yang berbasis nalar murni sehingga Ibn Taimiyah sempat berargumen sebagaimana dikutip Abdullah Saeed dalam Interpreting the Qur’an: Toward a Cantemporary Appoach, bahwa, “Orang yang berpaling dari pandangan sahabat, tabi’in dan tafsir mereka, dan menerima apa yang bertentangan dengan pandangan mereka, berada dalam kekeliruan. Dia adalah ahli bid’ah bahkan pun jika ia adalah seorang mujtahid yang notabene apabila salah dalam berjihad akan dima’fu.

Pendapat Ibnu Taimiyah tersebut mengindikasikan bahwa ia cenderung lebih tertarik untuk mempertahankan pendapat dan pandangan para ulama salaf terkaif penafsiran Al-Quran. Di samping itu Az-Dzahabi dalam Tafsir al Mufassirun mengatakan bahwa apabila kerja penafsiran didekati dengan metode falsafi maka jauh dari pemahaman nash dan ia berkesimpulan itu sama saja dengan menjadikan agama sebagai filsafat.

Ulama Yang Pro

Kendatipun menuai pertentangan, kritik dan apatis terhadap keberadaan tafsir falsafi, namun tidak dapat dipungkiri pemikiran-pemikirna filsafat telah membuka ruang ijtihad seseorang untuk menafsirkan teks suci Al-Quran yang notabene sebagai pedoman primer umat Islam.

Menurut ulama yang pro terhadap tafsir falsafi, mereka berpendapat bahwa sesungguhnya antara filsafat dan agama dapat dikompromikan sehingga menemukan benang merah guna menyingkap makna ayat Al-Quran. Argumentasi berikutnya ialah bahwa antara filsafat dengan agama Islam tidak ada pertentangan yang signifikan, pada prinsipnya wahyu Allah swt tidak bertentangan dengan akal, keduanya berjalan beriringan sebab banyak juga ayat yang membincangkan dan menuntut manusia agar berpikir seperti afala tatafakkarun, afala ta’qilun, ulil albab, dan seterusnya.

Baca juga: Menelisik Tafsir Falsafi (2), Karakteristik, Metode dan Sumber Penafsiran

Raghib al-Asfahany dalam Mu’jam Mufradat Alfadz al-Qur’an menyampakan akal adalah kekuatan untuk menerima ilmu dan ilmu yang bermanfaat itu tak lain juga akibat dari akalnya. Hal ini didasarkan pada Q.S. Al-Ankabut ayat 43,

وَتِلْكَ الْاَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِۚ وَمَا يَعْقِلُهَآ اِلَّا الْعٰلِمُوْنَ

Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tidak ada yang akan memahaminya kecuali mereka yang berilmu. (Q.S. Al-Ankabut [29]: 43)

Dalam rangka mengotimalkan fungsi akal, maka tafsir falsafi menawarkan metode konvergensi-sinergis dengan “merekonsiliasikan” agama dengan filsafat seperti digagas oleh Al-Kindi, Ar-Razi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Khawarizmi, Ibn Rusyd dan filosof muslim lainnya yang dimanifestasikan dalam bentuk pentakwil terhadap nash-nash Al-Quran, terutama ayat-ayat mutasyabihat sebagaimana termaktub dalam Q.S. Ali Imran ayat 7 di atas. Pentakwilan terhadap ayat-ayat mutasyabih tersebut sudah barang tentu memberi titik terang sesuai kerja rasio serta kaidah-kaidah berfikir logis lainnya.

Lebih dari itu, Abdullah Saeed dalam Interpreting the Qur’an-nya mengatakan bahwa Ibn Rusyd berargumen bahwa tafsir berbasis nalar (takwil) tujuannya adalah untuk mengkomunikasikan dan mendialogkan pesan-pesan Al-Quran agar relevan dengan perkembangan peradaban manusia baik secara intelektual maupun sosial-budaya. Sebab kata Ibnu Rusyd, Al-Quran diturunkan untuk maslahat manusia. Dalam konteks inilah tafsir falsafi menemukan titik signifikansinya. Di antara ulama yang setuju terhadap tafsir falsafi ialah Ar-Razi dalam Mafatih Al-Ghaib, At-Thabathaba’i dalam Tafsir Al-Mizan, dan sebagainya. Wallahu A’lam.

Tafsir Surat Al-A’raf Ayat 11

0
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102

Sekilas dalam Tafsir surat Al-A’raf ayat 11 membahas proses penciptaan manusia pertama di muka bumi yakni Nabi Adam AS, yang hal tersebut juga akan berlaku terhadap penciptaan manusia setelahnya.

Secara spesifik tafsir surat al-A’raf ayat 11 membagi proses penciptaan secara rinci menjadi empat tahapan yang akan dijelaskan pada kalimat di bawah ini.


Baca juga: Tafsir Surat Al-A’raf ayat 10


Ayat 11

Pada ayat ini diterangkan bahwa Allah telah menciptakan Adam a.s. yang akan disusul oleh keturunannya. Tentang penciptaan manusia,  Al-Qur′an telah menceritakan secara rinci, baik penciptaan manusia pertama, yaitu Adam, maupun penciptaan keturunannya. Tentang penciptaan Adam, Al-Qur′an telah menginformasikan bahwa Nabi Adam diciptakan melalui empat tahapan sebelum tahapan penghembusan roh. Keempat tahapan tersebut ialah: a. Fase Turab, b. Fase Tin, c. Fase Hama′ Masnun, dan d. Fase Salsal.

Berikut penjelasannya.

Fase Pertama: Fase Tanah yang belum bercampur air (turab)

Ada beberapa ayat yang menjelaskan tentang fase ini sebagaimana yang terdapat pada Surah al-Kahf/18: 37, al-Hajj/22: 5, ar-Rum/30: 20, Fathir/35: 11, Gafir/40: 67, dan ‘Ali ‘Imran/3: 59. Dua dari enam tempat tersebut berada pada surah Madaniyah, yaitu ‘Ali ‘Imran/3 dan al-Hajj/22, selebihnya adalah pada surah-surah Makiyah.;Salah satu di antara ayat-ayat tersebut adalah:

اِنَّ مَثَلَ عِيْسٰى عِنْدَ اللّٰهِ كَمَثَلِ اٰدَمَ ۗ خَلَقَهٗ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهٗ كُنْ فَيَكُوْنُ

Sesungguhnya perumpamaan (penciptaan) Isa bagi Allah, seperti (penciptaan) Adam. Dia menciptakannya dari tanah, kemudian Dia berkata kepadanya, ”Jadilah!” Maka jadilah sesuatu itu. (Ali ‘Imran/3: 59).

Dalam salah satu hadis yang diriwayatkan dari Abu Daud dan at-Tirmidzi disebutkan bahwa tanah yang menjadi bahan pokok untuk menciptakan Adam adalah diambil dari berbagai macam dan warna tanah yang terdapat pada seluruh lapisan tanah.

Dalam hadis tersebut disebutkan:

ان الله تعالى خلق آدم من قبضة قبضها من جميع الأرض فجاء بنو آدم على قدر الأرض منهم الأحمر والأبيض والأسود

Allah menciptakan Adam dari satu genggaman (tanah) yang diambil dari seluruh penjuru bumi. Oleh karena itu, keturunan Adam sesuai dengan (warna) bumi. Di antara mereka ada yang berwarna merah, putih dan hitam (al-Khazin II: 118). Watak manusia juga berbeda, ada yang lemah lembut dan adapula yang keras.

Bermacam warna kulit manusia ditegaskan pada Surah ar-Rum/30: 22 yang berbunyi:

وَمِنْ اٰيٰتِهٖ خَلْقُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافُ اَلْسِنَتِكُمْ وَاَلْوَانِكُمْۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّلْعٰلِمِيْنَ

Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui. (ar-Rum/30: 22)


Baca Juga: Benarkah Nabi Adam AS Penghuni Pertama di Bumi?


Fase Kedua: Fase Tanah yang bercampur air (Tin)

Fase kedua ini terdapat pada 8 tempat di 7 surah, yaitu: al-An’am/6: 2, al-A’raf/7: 12, al-Mu′minun/23: 12, as-Sajdah/32: 7, as-Shaffat/37: 11, ¢ad/38: 71, 76, dan al-Isra′/17: 61. Seluruhnya adalah surah-surah Makiyah.

Salah satu di antara ayat-ayat tersebut ialah:

هُوَ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ طِيْنٍ ثُمَّ قَضٰٓى اَجَلًا ۗ

Dialah yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian Dia menetapkan ajal (kematianmu)… (al-An’am/6: 2)

Fase Tin atau tanah liat adalah fase dimana setelah tanah dicampur dengan air. Karena air adalah prasyarat bagi semua makhluk yang hidup.

Fase Ketiga: Fase Lumpur hitam (Hama′ Masnun)

Fase ini terjadi setelah fase kedua berlangsung lama sehingga menjadi Lumpur hitam yang berbau dan berubah bentuk.

Fase ini disebutkan tiga kali dalam Surah al-Hijr/15, yaitu pada ayat 26, 28 dan 33. Ayat 26 berbunyi:

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ مِنْ صَلْصَالٍ مِّنْ حَمَاٍ مَّسْنُوْنٍ

Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering dari lumpur hitam yang diberi bentuk. (al-Hijr/15: 26)

Fase Keempat: Fase Tembikar (Salsal kal Fakhkhar)

Fase ini diceritakan oleh Al-Qur′an pada empat tempat. Tiga tempat pada Surah al-Hijr yang bersamaan dengan fase ketiga. Sedangkan yang keempat terdapat pada Surah ar-Rahman/55: 14.

Dalam surah ini, Allah berfirman:

خَلَقَ الْاِنْسَانَ مِنْ صَلْصَالٍ كَالْفَخَّارِ

Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar. (ar-Rahman/55: 14)

Lumpur hitam (hama′ masnun) seperti pada fase ketiga, lalu diberi bentuk sebagaimana manusia dalam keadaan berlubang atau kosong.

Bentuk manusia yang diciptakan Allah adalah bentuk yang terbaik dari hewan-hewan yang ada. Dalam Surah At-Tin/95: 4, Allah berfirman:

لَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ فِيْٓ اَحْسَنِ تَقْوِيْمٍ

Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.(at-Tin/95: 4)

Keadaan ini (calon manusia yang sudah dibentuk) jika kering karena panas matahari misalnya, dinamakan Salsal. Dinamakan demikian karena benda ini jika tertiup angin akan bersuara (Salsalah).

Setelah fase ini, barulah masuk fase berikutnya, yaitu fase penghembusan roh dimana “orang-orangan” dari tanah liat itu, atas izin Allah, akhirnya menjadi manusia yang hidup dan bisa bergerak yang disebut dengan “basyar” (al-Khazin III: 64, al-Maragi XIV: 21).


Baca setelahnya: Nabi Adam dalam Al-Quran: Manusia Pertama dan Tugasnya di Dunia


(Tafsir Kemenag)

Pengertian Tawakal dan Perintahnya dalam al-Quran

0
pengertian tawakal
pengertian tawakal dan perintahnya dalam al-Quran

Ada sejumlah pengertian tawakal yang dikemukakan oleh para ulama. Al-Jurjani (dalam al-Ta’rifat, hal. 70), misalnya, telah memberikan pengertian tawakal yang sangat sederhana, bahwa tawakal adalah sebuah keyakinan akan segala sesuatu yang ada di sisi Allah dan keraguan (ketidakpercayaan, putus asa) terhadap apa yang ada di tangan manusia.

Ulama lain yang telah memberikan pengertian tawakal ialah Mahmud al-Mishri (dalam Ensiklopedi Akhlak Nabi Muhammad Saw, hal. 409), yang menyatakan bahwa tawakal adalah menyndarkan hati kepada Allah ketika mencari maslahat atau menghindari madarat dalam perkara duniawi maupun ukhrawi.

Selanjutnya ia menegaskan bahwa seorang mukmin yang bertawakal akan menyerahkan seluruh urusannya kepada Allah swt. Dan mewujudkan keimananya dengan meyakini bahwa hanya Allah yang mampu memberi atau tidak memberi sesuatu, dan mendatangkan manfaat atau marabahaya.

Abu Turab al-Nakhsyabi memberi pengertian tawakal dengan menunjukkan hal-hal yang saling terkait antara satu dengan lainnya, yaitu 1) total dalam beribadah, 2) menggantungkan hati untuk memenuhi hak Allah, 3) menenangkan diri dengan meras serba cukup atas pemberian-Nya, 4) bersyukur jika diberi, dan 5) bersyukur jika tertahan.

Harus disadari bahwa tawakal adalah sebuah sikap yang ditempatkan di akhir dari sebuah usaha yang telah dilakukan sebelumnya dengan penuh kesungguhan dan keseriusan. Tawakal tidak akan pernah muncul di awal dari sebuah usaha dan kegiatan. Ia selalu muncul di akhirat. Jika sebuah sikap tawakal muncul di awal, maka hal ini bukan sebuah tawakal. Ini yang disebut pasimisme.

Artinya bahwa seseorang yang akan mengejar cita-citanya harus diawali dengan usaha dan usaha yang dilakukan dengan penuh rencana yang matang, dan berusaha terus hingga ke ujuan dari usahanya itu. Di akhir itulah baru dia menunjukkan sikap tawakal. Tawakal tidak dibenarkan jika tidak didasari usaha yang sungguh-sungguh. Bukanlah disebut tawakkal tanpa usaha. Tawakal harus disertai usaha. Yang bertawakal tanpa usaha bertentangan dengan sunah.

Tawakal adalah salah satu perwujudan iman. Tawakal adalah ciri kesempurnaan iman seseorang kepada Allah. Orang yang tidak tawakal pada hakikatnya telah merusak imannya. Kata Mahmud al-Mihsri, tawakal adalah termin keperbidian rasulullah Muhammad saw yang sangat muliam, sedangkan usaha dan kerja keras adalah sunah beliau.

Allah swt. telah memerintahkan semua hamba-Nya untuk bertawakal kepada-Nya dalam segala hal. Hal ini tergambar dari sejumlah ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang tawakal. Ada 42 ayat yang berbicara tentang tawakal yang tersebar dalam berbagai ayat dan surat, yang isinya, oleh Mahmud al-Mishri, dapat dikelompokkan, di antaranya sebagai berikut:

  1. Dalam meminta pertolongan dan kelapangan dari suatu kesempitan dan kesulitan, bertawakallah kepada Allah. Lihat Surat Ali Imran [3]: 160:

إِن يَنصُرۡكُمُ ٱللَّهُ فَلَا غَالِبَ لَكُمۡۖ وَإِن يَخۡذُلۡكُمۡ فَمَن ذَا ٱلَّذِي يَنصُرُكُم مِّنۢ بَعۡدِهِۦۗ وَعَلَى ٱللَّهِ فَلۡيَتَوَكَّلِ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ١٦٠

“Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal.”

Ayat ini menegaskan bahwa yang memberikan pertolongan kepada manusia adalah Allah Swt. Kalau Allah Swt sudah memberi pertolongan dan kesuksesan dalam berbagai usaha, maka tidak satu pun manusia yang dapat menggagalkanmu. Yang dapat menyukseskan atau menggagalkan segala usahamu hanyalah Allah Karena itu Allah Swt. memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk bertawakal, menyerahkan segala urusannya hanya kepada Allah.

  1. Tawakkal harus dijadikan sikap yang terus-menerus ada di dalam diri kita, dan dijadikan sebagai teman hidup. Jika musuh menghadang, tawakal adal teman kita. Allah menyatakan hal ini didalam Surat Al-Nisa’ [4]: 81:

وَيَقُولُونَ طَاعَةٞ فَإِذَا بَرَزُواْ مِنۡ عِندِكَ بَيَّتَ طَآئِفَةٞ مِّنۡهُمۡ غَيۡرَ ٱلَّذِي تَقُولُۖ وَٱللَّهُ يَكۡتُبُ مَا يُبَيِّتُونَۖ فَأَعۡرِضۡ عَنۡهُمۡ وَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِۚ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ وَكِيلًا ٨١

“Dan mereka (orang-orang munafik) mengatakan: “(Kewajiban Kami hanyalah) taat”. tetapi apabila mereka telah pergi dari sisimu, sebahagian dari mereka mengatur siasat di malam hari (mengambil keputusan) lain dari yang telah mereka katakan tadi. Allah menulis siasat yang mereka atur di malam hari itu, maka berpalinglah kamu dari mereka dan tawakallah kepada Allah. Cukuplah Allah menjadi Pelindung.”

Ayat ini menegaskan bahwa apabila engkau telah melakukan berbagai usaha untuk mencapai suatu kesuksesan lalu ada orang lain yang ingin menggagalkan usahamu itu karena kebencian dan ketidaksukaan mereka terhadap usahamu, maka jalanilah usaha-usahamu itu dengan penuh keyakinan dan tekad disertai dengan sikap tawakkal kepada Allah. Hanya Allah yang dapat melindungimu. Wallahu A’lam.

Tafsir Surat Al A’raf Ayat 10

0
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102

Setelah diingatkan dengan pembalasan akan perbuatan kita di akhirat kelak, dalam tafsir surat Al-A’raf ayat 10 Allah kembali mengingatkan pentingnya bersyukur kepada-Nya. Allah telah menghamparkan bumi yang luas untuk manusia huni. Pada pembukaan tafsir surat Al-A’raf ayat 10 dijelaskan bahwa Allah menyempurnakan bumi dengan berbagai macam tumbuhan, hewan-hewan dan keperluan lain bagi manusia.

Hal tersebut hendaknya mengingatkan kita untuk senantiasa bersyukur dengan mengucap hamdalah seperti pada akhir tafsir surat Al-A’raf ayat 10 ini.


Baca juga: Tafsir Surat Al-Araf Ayat 7-9


Ayat 10

Pada ayat ini Allah menegaskan sebagian dari sekian banyak karunia yang telah dianugerahkan kepada hamba-Nya yaitu bahwa Dia telah menyediakan bumi ini untuk manusia tinggal dan berdiam di atasnya, bebas berusaha dalam batas-batas yang telah digariskan, diberi perlengkapan kehidupan. Kemudian disempurnakan-Nya dengan bermacam-macam perlengkapan lain agar mereka dapat hidup di bumi dengan senang dan tenang, seperti tumbuh-tumbuhan yang beraneka ragam macamnya, binatang-binatang, baik yang boleh dimakan maupun yang tidak, burung baik di udara atupun di darat, ikan baik di laut, di danau maupun di tempat-tempat pemeliharan ikan lainnya, air tawar untuk diminum, dipergunakan mencuci pakaian dan keperluan lainnya, minuman dan makanan yang bermacam rasa dan aromanya untuk memenuhi selera masing-masing. Bahkan semua yang ada di bumi ini adalah diperuntukkan bagi manusia, sebagaimana firman Allah:

هُوَ الَّذِيْ خَلَقَ لَكُمْ مَّا فِى الْاَرْضِ جَمِيْعًا

Dialah (Allah) yang menciptakan segala apa yang ada di bumi untukmu. (al-Baqarah/2: 29)

Untuk memenuhi keperluan hidup seseorang tentu tidak akan bisa terus menetap di satu tempat, tetapi ia berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain, untuk itu disediakan bagi mereka alat pengangkutan dan perhubungan yang bermacam-macam yang berkembang dan maju sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk dipergunakan mereka seperti mobil dengan segala macam bentuk dan keindahannya, kapal terbang, kapal laut, dan kapal selam, kereta api dan lain sebagainya yang tak terhitung banyaknya. Tidak seorang pun manusia yang dapat memberi angka pasti tentang banyaknya karunia itu sekalipun dengan komputer. Allah berfirman:

وَاِنْ تَعُدُّوْا نِعْمَتَ اللّٰهِ لَا تُحْصُوْهَا

Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. (Ibrahim/14: 34)

Semua karunia dan nikmat tersebut di atas adalah untuk memenuhi keperluan hidup jasmani baik secara perorangan maupun secara berkelompok yang akan dijadikan batu loncatan untuk memenuhi dan menjaga kesejahteraan hidup rohani guna kesucian diri dan mempersiapkan diri untuk hidup kekal di akhirat nanti serta memperoleh nikmat dan kebahagian abadi yang tak berkesudahan. Atas semua karunia dan nikmat yang tak terhitung banyaknya itu maka wajiblah manusia bersyukur, mensyukuri penciptanya, yaitu Allah swt, dan janganlah sekali-kali dia mengingkarinya, sebagaimana firman Allah:

وَاشْكُرُوْا لِيْ وَلَا تَكْفُرُوْنِ

Bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku. (al-Baqarah/2: 152)

Alangkah sedikitnya manusia yang dapat menyadari dan menginsyafi hal tersebut. Pada umumnya manusia menganggap bahwa yang dicapai dan diperolehnya itu adalah hasil dari kecerdasan otaknya, kesungguhan usahanya, bukan dari Allah dan sedikit dari mereka yang bersyukur:

وَقَلِيْلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُوْرُ

Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur. (Saba′/34: 13)

Bersyukur kepada Allah tidak cukup dengan hanya mengucapkan Alhamdulillah wasysyukru lillah; tetapi harus diiringi dengan amal perbuatan yaitu dengan cara mendayagunakan nikmat tersebut dalam hal-hal yang diridai dan disukai Allah, bermanfaat bagi sesama manusia serta menaati segala perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Ibrahim Ayat 7: Hikmah dan Cara Mensyukuri Nikmat Allah


(Tafsir Kemenag)

Kisah Kesabaran Nabi Yusuf Yang Membuat Kagum Nabi Muhammad

0
Kisah Kesabaran Nabi Yusuf
Kisah Kesabaran Nabi Yusuf

Andai kita difitnah orang, sehingga  menjalani hukuman penjara selama 14 tahun, lalu Allah berkehendak membuat presiden mengeluarkan kita dari penjara dan meminta kita menemuinya, sebab jasa kita untuk negeri, maka apakah yang kita lakukan?. Mungkin akan segera keluar dari penjara. Atau malah kemudian mengincar orang yang memfitnah kita. Namun ini berbeda dengan Nabi Yusuf, malah kisah kesabaran Nabi Yusuf ketika dipenjara yang kemudian menjadi penyebab kekaguman nabi Muhammad terhadap pribadi beliau.

Enggan Keluar Dari Penjara

Tatkala Nabi Yusuf yang sudah bertahun-tahun mendekam di penjara akibat fitnah Zulaika, kemudian memperoleh panggilan Raja Mesir melalui seorang utusan sebab berhasil mengartikan mimpi yang dapat menyelamatkan penduduk mesir, nabi yusuf tidak lantas segera keluar dari penjara. Ia justru enggan keluar dari penjara dan meminta raja meninjau kembali kasus yang membuatnya dipenjara.

Allah berfirman dalam Surat Yusuf:

وَقَالَ الْمَلِكُ ائْتُونِي بِهِ فَلَمَّا جَاءَهُ الرَّسُولُ قَالَ ارْجِعْ إِلَى رَبِّكَ فَاسْأَلْهُ مَا بَالُ النِّسْوَةِ اللَّاتِي قَطَّعْنَ أَيْدِيَهُنَّ إِنَّ رَبِّي بِكَيْدِهِنَّ عَلِيمٌ

Raja berkata: “Bawalah dia kepadaku.” Maka tatkala utusan itu datang kepada Yusuf, berkatalah Yusuf: “Kembalilah kepada tuanmu dan tanyakanlah kepadanya bagaimana perihal wanita-wanita yang telah melukai tangannya. Sesungguhnya Tuhanku, Maha mengetahui tipu daya mereka.” (QS: Yusuf [12] 50).

Di dalam ayat di atas dikisahkan Nabi Yusuf menolak keluar dari penjara. Ia justru meminta sang utusan kembali kepada raja dan memintanya agar mencari tahu perihal para perempuan yang melukai tangannya. Yaitu perempuan-perempuan yang diundang Zulaikha untuk menyaksikan ketampanan Yusuf, dan tidak sadar telah melukai tangan mereka sebab takjub pada ketampanan Nabi Yusuf.

Baca juga: Kisah Nabi Ilyas as dalam Al-Quran dan Pertemuan dengan Nabi Ilyasa as

Dalam surat yusuf ayat 51 kemudian dijelaskan, hal ini bertujuan agar Nabi Yusuf dapat menunjukkan kepada orang-orang, ia tidaklah berbuat khianat dengan menggoda istri menteri Mesir yang telah merawat dirinya dan menganggapnya sebagai anak sendiri. Tindakan Nabi Yusuf itu membuahkan hasil berupa sang istri menteri Mesir; Zulaikha mengakui perbuatannya tanpa melalui paksaan.

Ada beberapa sikap mulia Nabi Yusuf yang dapat kita perhatikan dalam kisah di atas.

Pertama, Nabi Yusuf tidaklah menyimpan dendam pada pramusaji minuman raja dengan mempersulitnya, yang datang menemuinya untuk menanyakan arti mimpi sang raja. Padahal jauh sebelum peristiwa mimpi aneh sang raja, saat si pramusaji dipenjara bersama Nabi Yusuf dan mengalami sebuah mimpi, Nabi Yusuf berkenan mengartikan mimpinya dan berpesaan saat si pramusaji bebas agar mau melaporkan kasus nabi yusuf kepada raja. Namun si pramusaji lupa akan pesan Nabi Yusuf.

Kedua, pada saat Nabi Yusuf meminta raja untuk meneliti kembali kasusnya, Nabi Yusuf sama sekali tidak menyinggung soal Zulaikha maupun sang menteri Mesir. Padahal keduanya adalah yang paling tahu dengan kejujuran Nabi Yusuf. Nabi Yusuf memilih tidak meluapkan kekesalannya dipenjara bertahun-tahun, dengan mempermalukan keduanya atau bahkan melayangkan tuduhan pada keduanya.

Baca juga: Kisah Nabi Zulkifli Dalam Al-Quran: Sosok Hamba Yang Penyabar

Kekaguman Nabi Muhammad Pada Kesabaran Nabi Yusuf

Sikap Nabi Yusuf tersebut yang jauh dari rasa marah sebab dizalimi orang lain, mengundang kekaguman dari nabi Muhammad. Imam Bukhari meriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah bahwa Nabi Muhammad bersabda:

وَلَوْ لَبِثْتُ فِى السِّجْنِ طُولَ مَا لَبِثَ يُوسُفُ لأَجَبْتُ الدَّاعِىَ »

Andai aku berada di penjara seperti lamanya Nabi Yusuf berada di penjara, pastilah aku akan menerima panggilan keluar dari penjara (HR. Imam Bukhari)

Imam Ahmad meriwayatkan sabda Nabi Muhammad yang sedikit berbeda dengan riwayat di atas. Ia meriwayatkan dari Abi Hurairah bahwa Nabi bersabda mengenai Surat Yusuf ayat 50:

« لَوْ كُنْتُ أَنَا لأَسْرَعْتُ الإِجَابَةَ وَمَا ابْتَغَيْتُ الْعُذْرَ »

Andai itu aku, pasti aku akan segera memenuhi panggilan tersebut. Dan aku tidak perduli dengan hal lain (HR. Imam Ahmad).

Baca juga: Kisah Kesetiaan Abu Bakar As-Shiddiq dibalik Surah At-Taubah Ayat 40

Ibn Katsir mengutip hadis mursal yang diriwayatkan Imam Abdur Razzaq dari ‘Ikrimah (Tafsir Ibn Katsir/2/632):

 لقد عجبت من يوسف وصبره وكرمه والله يغفر له حين سئل عن البقرات العجاف والسمان ولو كنت مكانه ما أجبتهم حتى أشترط أن يخرجوني ولقد عجبت من يوسف وصبره وكرمه والله يغفر له حين أتاه الرسول ولو كنت مكانه لبادرتهم الباب ولكنه أراد أن يكون له العذ 

Aku kagum terhadap kesabaran dan perangai mulia Nabi Yusuf. Semoga Allah mengampuninya tatkala ia ditanya tentang arti dari mimpi sapi-sapi kurus dan gemuk. Andai aku berposisi seperti dirinya, aku tidak akan memberi jawaban pada mereka sampai mereka mengeluarkanku (dari penjara). Aku kagum pada kesabaran dan kemuliaan Nabi Yusuf. Semoga Allah mengampuninya saat utusan raja menemuinya. Andai aku berada di posisinya, pasti aku segera menuju pintu. Namun Nabi Yusuf memiliki alasannya tersendiri. (HR. Abdur Razzaq)