Beranda blog Halaman 441

Serial Diskusi Tafsir 4 Menghadirkan Aksin Wijaya dan Wardatun Nadhiroh

0
Serial diskusi tafsir
Serial diskusi tafsir keempat

Tafsiralquran.id bekerjasama dengan CRIS Foundation kembali menggelar serial diskusi tafsir dengan tema “Membaca pribadi Nabi Muhammad saw dari sorotan al-Quran” pada Sabtu (19/12) malam pukul 19.30 melalui Zoom. Webinar yang dimoderatori Maqdis ini menghadirkan Dr. Aksin Wijaya dan Wardatun Nadhiroh sebagai narasumber. Webinar ini merupakan serial diskusi tafsir keempat yang telah diselenggarakan oleh tafsiralquran.id

Dalam pemaparannya Aksin Wijaya menjelaskan kehadiran al-Quran berbasis tartib nuzuli adalah upaya dari para sarjana Muslim untuk menghadirkan sejarah kenabian berbasis al-Quran. Hal ini dikarenakan sikap sebagian orientalis yang skeptis terhadap narasi sejarah Nabi saw dalam literatur tarikh, sirah dan hadis Nabi. Literatur-literatur tersebut dianggap tidak mampu merepresentasikan peristiwa hidup Nabi karena ditulis satu sampai dua abad setelah Nabi wafat.

Untuk menjawab keraguan ini Muhammad Izzat Darwazah menulis Sirat al-Rasul, al-Tafsir wa al-Hadis dan kitab lain yang diteliti Aksin Wijaya. Dari penelitian tersebut lahirlah buku Sejarah Kenabian Dalam Persepektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat Darwazah. Secara garis besar Aksin menjelaskan bahwa ada hubungan logis dan faktual antara al-Quran dan masyarakat Arab pra-kenabian, Muhammad sebagai pribadi, dan sejarah kenabian Muhammad saw.

Sementara itu, Wardatun Nadhiroh sebagai narasumber kedua menjelaskan tentang kisah-kisah dalam al-Quran perspektif Muhammad Abid al-Jabiri. Menurut Wardatun, kisah-kisah ini dibaca oleh Abid al-Jabiri sebagai representasi dari perjalanan dakwah Nabi Saw. Kisah-kisah ini dapat dibagi sesuai dengan masa turunnya Mekah dan Madinah. Narasi yang ada dalam dua masa tersebut memiliki karakter yang berbeda.

Pada saat sesi tanya jawab salah satu peserta bertanya soal perbedaan antara asbab nuzul dan tartib nuzuli. Dijelaskan oleh para pemateri bahwa asbab nuzul fokus pada riwayat yang melingkupi latar belakang turunnya suatu ayat sedangkan tartib nuzuli adalah susunan al-Quran berdasarkan kronologi turunnya yang biasanya berbasis pada surat.

Diskusi berlangsung selama 2,5 jam karena pemaparan dan tanya-jawab yang produktif antara pemateri dan peserta. Peserta tampaknya cukup antusias mengikuti jalannya Webinar. Serial diskusi tafsir ini merupakan agenda rutin tafsiralquran.id.

Mengenal Kamus Fathurrahman, Memudahkan Melacak Kosakata Dalam Al-Quran

0
kamus Fathurrahman
kamus Fathurrahman

Bila anda mendengar lantunan sebuah ayat Al-Quran yang menurut anda menarik, lalu ingin mempelajari maknanya atau penjelasannya dalam kitab tafsir, namun sayangnya anda tidak tahu itu surat apa dan ayat berapa. Parahnya, anda hanya hafal satu atau dua kosakata dalam ayat tersebut. Atau malah, hanya ingat akar kata dari salah satu kosakata dalam ayat tersebut, lupa persisnya bentuk kata yang digunakan dalam ayat yang dilantunkan tersebut. Di saat seperti ini kamus Fathurrahman bisa menjadi solusinya.

Daripada anda hanya bisa terdiam sembari kebingungan pada siapa anda bisa bertanya, sebab anda hanya ingat ayat tersebut secara sepotong-sepotong. Bermodal satu akar kata saja anda bisa melacak ayat tersebut lewat kamus Fathurrahman.

Kamus ini memang cukup istimewa. Membuat setiap ayat dalam Al-Quran dapat dilacak tidak hanya lewat kata yang disebutkan ayat itu saja, tapi juga lewat akar kata dari kata yang tercantum dalam ayat tersebut. Berikut profil singkat serta teknis pemakaian kamus ini:

Baca Juga: Kata-Kata Asing dan Cikal Bakal Kamus Al-Quran

Sekilas tentang Kamus Fathurrahman

Kamus Fathurrahman memiliki nama lengkap Fathurrahman Li Thalibi Ayatil Qur’an. Kamus ini disusun oleh ‘Alami Zadah Faidullah Al-Hasani Al-Muqaddasi, yang oleh Az-Zirikli dalam Kitab Al-A’lam dicatat wafat setelah tahun 1324 H atau 1905 M. ‘Alami Zadah adalah seorang ulama’ yang berasal dari Al-Quds, Palestina. Az-Zirikli juga menyatakan bahwa Kamus Fathurrahman disebar luaskan tahun 1323 H dan merupakan karya yang cukup penting dalam kajian sejenisnya (Al-A’lam/5/168).

Pada cetakan Al-Ahliyah, Bairut, Kamus pelacak kosa kata Al-Quran terdiri dari sekitar 500 halaman dengan pendahuluan cukup panjang dari penulisnya. Di situ ia menceritakan panjang lebar perjalanan intelektualnya yang kemudian memiliki ide untuk menyusun Kamus Fathurrahman. Di antaranya adalah kegelisahannya terhadap karya-karya di masanya yang disusun untuk memudahkan melacak suatu ayat di dalam Al-Quran, tapi kenyataannya memiliki kelemahan-kelemahan.

Baca Juga: Kosa Kata Bahasa Asing dalam Al-Quran

Teknis Pemakaian Kamus Fathurrahman

Hal yang dibutuhkan tatkala membuka Kamus Fathurrahman adalah kosakata yang hendak kita cari ayat lengkapnya. Kamus ini hampir mirip dengan Kamus Al-Munawir, dimana pelacakan terpusat pada bentuk fiil madhi dari setiap kosakata yang hendak dilacak. Oleh karena itu, pembaca Kamus Fathurrahman juga harus tahu fiil madhi dari kosakata yang hendak dicari di dalam Al-Quran. Setelah itu baru mencari kosakata yang dimaksud dalam deretan kosakata-kosakata yang masih satu akar kata di bawahnya.

Kamus Fathurrahman terbagi atas beberapa bab yang mengikuti urutan sesuai urutan huruf hijaiyah. Bab pertama tentu saja hamzah atau alif. Bab ini menyuguhkan daftar kosakata-kosakata berbentuk fi’il madhi yang berawalan hamzah atau alif di dalam Al-Quran.

Tidak hanya itu, setiap kosakata berbentuk fiil madhi disebutkan bersama kosakata-kosakata lain yang masih satu akar kata. Semisal dalam bab hamzah disebutkan kata  اتي  maka di bawah kata tersebut juga disebutkan kosakata lain yang masih satu akar kata yang juga kebetulan disebutkan di dalam Al-Quran.

Misalnya kata اَتَيْتَ, يَأْتي, dan يَأْتِيْنَ. Sampai di sini dapat dipahami, pembaca hendaknya mengusai ilmu gramatikal Arab berupa perubahan suatu kata dari satu bentuk shighat ke shighat yang lain, atau biasa disebut dengan ilmu Shorof.

Baca Juga: Multi Meaning dalam Kosakata al-Qur’an

Di bawah kosakata tersebut kemudian disebutkan rumus nama surat disertai nomor tertentu sebagai petunjuk dari nomor ayat yang mengandung kosakata tersebut. Tidak hanya itu, di belakang nomor tersebut juga disebutkan bunyi ayatnya secara singkat.

kamus fathurrahman huruf hamzah
kamus fathurrahman huruf hamzah

Dalam gambar di atas, kolom paling kanan, dapat dilihat bahwa kosakata اتيا-اتيت-اتت-اتى terdapat di antaranya dalam surat  نح yang tak lain merupakan rumus dari Surat An-Nahl, dan di ayat satu serta berbunyi اتى امر الله. Selanjutnya kata tersebut juga ada dalam surat طه  yang merupakan rumus dari Surat Thaha, ayat 60 dan ayat 69.  Untuk daftar rumus-rumus nama surat bisa di lihat di awal kamus tersebut, yang juga diurutkan berdasarkan urutan huruf hijaiyah (Fathurrahman/3).

Meski karya ‘Alami Zadah Faidullah adalah kamus yang secara keseluruhannya menggunakan Bahasa Arab, tapi bagi yang kurang menguasai Bahasa Arab bisa juga menggunakannya dengan mudah. Asal dapat memahami teknis pemakaiannya, serta sedikit penguasaan terhadap ilmu shorof.

Kamus Fathurrahman tidak mengharuskan pembacanya memahami arti setiap kosakata Arab yang dicantumkannya. Pembaca cukup mengetahui rumus nama suratnya. Setelah itu akan ditunjukkan di surat apa, ayat berapa dan dengan bunyi bagaimana kosakata tersebut disebutkan di dalam Al-Quran.

Ahli Qiraat dan Lukis: Sisi Lain Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dari Manuskrip Al-Quran Peninggalannya

0
Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari
Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari

Nama Syekh Muhammad Arsyad Al-banjari tentu tidak asing lagi bagi Muslim Nusantara. Tercatat sebagai ulama yang berpengaruh dari Banjarmasin, Syekh Arsyad Al-banjari telah melahirkan banyak karya. Salah satu kitab karangannya yang fenomenal adalah Sabilul Muhtadin fi Tafaqquh bi Amrid-Din. Kitab ini menjadi salah satu referensi fiqih di pondok pesantren Melayu yang mencakup Indonesia, Malaysia, hingga Thailand. Selain itu, Syekh Arsyad Al-Banjari juga mewariskan manuskrip Al-Quran yang menawan.

Kitab Sabilul Muhtadin selain banyak digunakan di pesantren Melayu, ternyata juga disimpan di perpustakaan Mekkah, Turki, Beirut, hingga King Saud University, Riyadh, Saudi Arabia. Persebaran kitab Syekh Arsyad hingga berbagai negara menunjukkan bahwa ia adalah ulama kaliber dunia. Di balik nama besar Syekh Arsyad Al-Banjari, manuskrip Al-Qur’an yang diyakini goresannya juga menunjukkan informasi yang menarik perhatian. Sebagaimana judul artikel ini, nampaknya Syekh Arsyad adalah sosok yang piawai melukis dan ahli Qiraat.

Mushaf goresan ulama yang hidup pada tahun 1710 hingga tahun 1812 ini ditulis pada tahun 1193 H/1779 M. Secara ukuran, mansukrip Al-Qur’an ini berukuran 57 x 63 cm dan teksnya berukuran 29 x 48 cm. Dari ukurannya, nampaknya Syekh Arsyad membuat dengan serius karena termasuk mushaf yang besar dan berbahan kertas Eropa. Mushaf ini terdiri dari tiga jilid (setiap jilid 10 juz), namun disimpan di tempat yang berbeda. Jilid pertama disimpan di Museum Negeri Kepurbakalaan Banjarbaru dan dua jlid sisanya disimpan oleh keturunannya yang keenam, yakni H. Irsyad Zein (Abu Daudi) di Martapura.

Mushaf ini menurut Fathullah Munadi merupakan hasil ekspresi seni Syekh Arsyad Al-Banjari. Seperti yang diketahui, Syekh Arsyad merupakan putra dari seorang ahli ukir kayu yang ditugaskan khusus di istana. Ayahnya bernama Abdullah yang hidup di era Sultan Hamidullah atau Sultan Tahmidullah (1700-1734 M). Dari ayahnya ini, bakat seni juga mengalir di tubuh Syekh Arsyad. Suatu ketika saat ia masih berusia 7 tahun, Sultan Banjar pernah berkunjung ke kampung Lok Gabang dan terpukau melihat lukisan Syekh Arsyad.

Baca juga: Tiga Sarana Utama Untuk Mendapatkan Rahmat Allah SWT

Dilihat dari kisah itu, tak heran jika Syekh Arsyad pun membubuhi berbagai iluminasi dalam mushaf goresannya. Salah satu yang menarik adalah hiasan untuk awal surah. Di bagian ini ternyata macam-macam bentuknya. Ada yang berbentuk bunga di sisi kanan-kiri, kemudian ada gambar lukisan masjid, rumah yang berwarna kuning, merah dan hitam. Ada juga gambar gunung, hingga lampu lentera khas Banjar. Selain itu, ia juga menggoreskan kaligrafi untuk awal surah yang menjelaskan nama surah, jumlah ayat, dan klasifikasi makkiyah madaniyah.

Keterangan akan mushaf ini nampaknya memberikan insight unik terhadap pandangan kita akan sosok Syekh Arsyad yang dikenal sebagai ahli fiqh. Sebagai sosok yang juga mempelajari tasawuf, Syekh Arsyad bisa saja menjunjung tinggi seni lukis yang bernilai estetika dan keindahan.

Sebagaiman yang diketahui, selain berguru pada ulama fiqih seperti Syekh Athaillah bin Ahmad Al-Mishri, Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi, ia juga berguru pada ulama tasawuf yakni Syekh Muhammad Abdul Karim Samman Al-Qadiri al-Khalwati al-Madani.

Baca juga: Jejak Manuskrip Al-Quran Malaysia di Pulau Dewata

Aspek Bacaan dan Qiraat

Menurut Abdan Syukri dalam artikel “Mushaf Syekh Al-Banjariyang dihimpun buku “Mushaf-Mushaf Kuno di Indonesia”, mushaf ini ditulis dengan rasm imla’i. Namun pendapat ini berbeda dengan Fathullah Munadi dalam “Mushaf Qiraat Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dalam Sejarah Qiraat Nusantara” yang menyebut rasm Utsmani. Dua keterangan berbeda ini tentu perlu diteliti lebih lanjut seberapa konsisten penggunaan kaidah rasm-nya.

Untuk tanda baca, mushaf ini menunjukkan ciri khusus untuk bacaan tertentu, sayangnya penulisan seperti ini tidak konsisten. Misalnya dalam penulisan alif maqsurah mad tabi’i dan mad silah atau tanda tajwid lainnya. Terkadang dicantumkan, kadang juga tidak. Tentu aspek bacaan seperti ini acap kali ditemukan di mushaf-mushaf kuno lainnya.

Adapun dari segi qiraat, mushaf yang ditulis dengan dua tinta, yakni hitam dan merah ini menunjukkan informasi yang begitu kaya. Penulisan utama memang mengikuti qiraat Hafs dari Ashim, namun catatan di tepi menunjukkan opsi qiraat lainnya.

Baca juga: Tayyar Altikulac: Filolog Muslim Pengkaji Manuskrip Al-Qur’an Kuno

Dalam penelusuran Munadi, ia mengemukakan contoh penggunaan kata yang mewakili dari enam qiraat. Ragam bacaan itu dari Imam Nafi’, Imam Ibnu Katsir, Imam Abu ‘Amr, Imam Hamzah, Imam Al-Kisa’I, Imam Khalaf dan Imam Ya’qub. Dari hasil penelitian ini, Syekh Arsyad meskipun tidak dikenal sebagai seorang qari’ maupun muqri’, namun ia meninggalkan karya dengan keragaman qiraat.

Demikianlah keunikan mushaf Syekh Arsyad Al-Banjari yang justru menunjukkan sisi lain dari dirinya. Tokoh yang bersahabat dengan Syekh Daud Al-Fathani, Syekh Abdul Shomad Al-falimbani, Syekh Abdul Wahhab Al-Makassari, dan Syekh Abdul Rahman Al-Batawi ini ternyata adalah ulama yang multitalenta. Dikenal dengan karya fiqih yang luar biasa, namun juga meninggalkan jejak luar biasa di bidang lainnya.

Wallahu a’lam[]

Tafsir Surah Al Lahab Ayat 3-5

0
tafsir surah al lahab
Tafsiralquran.id

Setelah pada pembahasan sebelumnya berbicara mengenai Abu Lahab yang kelak akan mendapatkan kerugian besar berupa siksa neraka, Tafsir Surah Al Lahab Ayat 3-5 ini menegaskannya lebih lanjut bahwa semua daya upaya yang telah ia kerahkan untuk memusuhi Nabi Muhammad saw tidak ada gunanya.

Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al Lahab Ayat 1-2

Selain itu, dalam Tafsir Surah Al Lahab Ayat 3-5 ini juga dipaparkan mengenai keterlibatan istri Abu Lahab yang bejuluk Ummu Jamil yang juga memusuhi Nabi Muhamad saw. Abu Lahab bersama istrinya kelak akan sama-sama disiksa di dalam neraka akibat kegiatannya yang terus menerus memusuhi Nabi Muhammad saw.

Ayat 3

Dalam ayat ini, Allah menegaskan bahwa Abu Lahab akan masuk neraka yang bergejolak dan merasakan panasnya azab neraka.

Maksud pernyataan ini adalah bahwa sesungguhnya Abµ Lahab akan mengalami kerugian, usahanya tidak akan berhasil dalam menentang agama Allah. Tidak ada gunanya harta, usaha, dan daya upaya untuk itu, karena Allah yang meninggikan kalimah Rasul-Nya, dan menyebarluaskan dakwahnya.

Abµ Lahab akan diazab pada hari Kiamat dengan neraka yang menyemburkan bunga api dan suhunya yang sangat panas, Azab itu disediakan Allah untuk orang-orang seperti Abµ Lahab dari kalangan orang-orang kafir yang menentang Nabi, selain azab di dunia dengan kegagalan usahanya.

Istrinya sebagai pembantu utama dalam usaha menentang dan menyakiti Rasulullah saw akan diazab juga bersama-sama. Selain daripada itu, istrinya juga menyebar fitnah ke mana-mana, menyebar berita-berita bohong, dan menghidupkan api permusuhan.

Ayat 4

Allah menegaskan bahwa istri Abµ Lahab akan diazab sebagaimana suaminya. Istrinya bernama Arwa binti Harb, saudara perempuan  Abµ Sufyan bin Harb. Dia diazab karena usahanya menyebarkan fitnah dan memadamkan dakwah Nabi Muhammad.

Orang Arab mengatakan bahwa orang yang berusaha menyebarkan dan merusak hubungan antara manusia seolah-olah ia membawa kayu api antara manusia, seakan-akan dia membakar silaturrahim antara mereka.

Ada pula yang mengatakan bahwa istri Abµ Lahab menaruh duri, pecahan kaca, dan kotoran di jalan yang biasa dilalui Nabi Muhammad dengan maksud untuk menyakiti beliau.

Baca juga: Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 5-7: Balasan Bagi yang Tak Patuh Perintah

Ayat 6

Dalam ayat ini, Allah menyatakan keburukan perbuatan istri Abµ Lahab, kerendahan budi dan kejelekan amal perbuatannya. Pada lehernya selalu ada seutas tali yang kuat, digunakannya untuk memikul duri-duri yang akan diletakkannya pada jalan yang dilalui Nabi. Pernyataan ini merupakan penghinaan bagi dirinya dan suaminya.

Usaha istri Abµ Lahab begitu keras untuk menyalakan permusuhan antara manusia, sehingga Allah mengisahkan dia sebagai seorang perempuan yang membawa kayu bakar yang digantungkan pada lehernya ke mana saja ia pergi. Ini adalah seburuk-buruknya perumpamaan bagi seorang perempuan.

Telah diriwayatkan dari Sa’id bin Musayyab bahwa Ummu Jamil (panggilan istri Abµ Lahab) mempunyai sebuah kalung yang sangat mahal, dan ia berkata, “Sesungguhnya aku akan mempergunakan harga kalung ini untuk memusuhi Muhammad.” Lalu Allah mengganti kalung tersebut dengan kalung dari api neraka.

Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Ikhlas Ayat 1-4

(Tafsir Kemenag)

Kisah Pelanggaran Ashabus Sabti dalam Al-Quran

0
Pelanggaran Ashabus Sabti
Pelanggaran Ashabus Sabti

Ashabus Sabti adalah salah satu umat terdahulu yang diceritakan Allah di dalam Al-Quran. Mereka dinamakan Ashabus Sabti karena melanggar larangan hari Sabtu yang diberikan Allah kepada mereka. Sebuah ketetapan dari Allah yang dilanggar oleh mereka dan membuat murka Allah hingga akhirnya berujung kutukan pada mereka.

Kisah Ashabus Sabti dalam Al-Quran terdapat dalam Surat Al-Baqarah ayat 65 dan Surat Al-A’raf ayat 163-166. Mereka ini adalah salah satu umat terdahulu yang Allah jadikan contoh kepada umat yang datang kemudian agar memetik pelajaran. Sebagaimana yang difirmankan Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 66, bahwa semua kisah umat terdahulu yang diabadikan Allah dalam Al-Quran menjadi pelajaran. Apabila kisahnya adalah orang-orang saleh maka harus menjadi teladan. Sebaliknya, jika kisahnya adalah umat yang tidak taat kepada Allah seperti Ashabus Sabti ini, maka harus dijadikan refleksi agar tidak terulang dan malah mempertebal keimanan.

Baca juga: Tafsir Surat Yusuf Ayat 3: Mengapa Kisah Nabi Yusuf adalah Kisah Terbaik?

Kontrak ibadah Ashabus Sabti

Menurut ungapan Al-Mahalli dan As-Suyuthi dalam Tafsir Jalalayn, Ashabus Sabti ini adalah kaum Bani Israil yang tinggal di pinggir laut Qazlum (Laut Merah), yaitu kota Aylah. Keterangan bahwa Ashabus Sabti adalah kaum Bani Israil ini senada dengan penjelasan Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim mengenai asbabun nuzul Surat Al-A’raf ayat 163. Ibnu Katsir menyatakan bahwa ayat tersebut ditujukan kepada kaum Yahudi yang tidak mau beriman kepada Rasulullah. Dalam ayat tersebut Allah meminta Rasulullah untuk menanyakan kepada kaum Yahudi perihal leluhurnya yang diazab-Nya karena tidak melanggar aturan.

Jika dirunut sejarahnya, cara beribadah umat terdahulu berbeda dengan umat yang sekarang. Perbedaan ini meliputi tata cara, dan waktu pelaksanaan. Pada zaman Ashabus Sabti, ketetapan ibadah yang diberikan Allah adalah satu minggu sekali yaitu pada hari Sabtu. Pegkhususan hari Sabtu untuk beribadah kepada Allah ini mempunyai implikasi terhadap larangan Allah kepada mereka untuk mencari ikan sebagaimana yang termaktub dalam Surat Al-A’raf ayat 163. Sebuah kontrak ibadah yang ditentukan Allah dan disepakati oleh Ashabus Sabti.

Baca juga: Ashabul Kahfi: Representasi Perjuangan Pemuda dalam Al-Quran

Al-Mahalli dan As-Suyuthi menjelaskan bahwa pada pada hari-hari lain selain hari Sabtu, tidak muncul sama sekali ikan d permukaan laut. Sebaliknya pada hari Sabtu, di mana mereka terikat kontrak ibadah, malah banyak sekali ikan yang bermunculan. Kemunculan ikan-ikan di hari Sabtu ini memang disengaja Allah sebagai ujian bagi mereka. Bagaimana ketaatan mereka kepada Allah serta keseriusan kesepakatan mereka kepada Allah. Apakah mereka akan taat ataukah melanggar. Karena ketika suatu kaum lulus ujian, mereka akan naik kelas dan mendapat rahmat dari Allah. Namun, apabila mereka terlena dan terbuai oleh kenikmatan sesaat, mereka tidak naik kelas dan menjadi umat buruk yang diazab oleh Allah.

Pelanggaran Ashabus Sabti dan hukuman Allah terhadap mereka

Kontrak ibadah telah ditetapkan untuk Ashabus Sabti untuk mengagungkan hari Sabat dan tidak mencari ikan di hari tersebut. Menurut penuturan Ibnu Katsir, pada mulanya mereka mentaati aturan tersebut. Namun, untuk waktu-waktu selanjutnya mereka mulai tergoda dengan ujian yang Allah berikan. Karena ikan yang muncul di hari Sabat sangat banyak, mereka memasang jala di hari Jumat dan mengambilnya di hari Minggu, sedangkan pada hari Sabtu mereka tetap beribadah. Jelas saja, ikan yang mereka dapatkan sangat banyak. Namun, mereka tidak sadar bahwa perbuatan mereka tersebut mempermainkan Allah. Meskipun mereka tidak mencari ikan di hari Sabtu dan tetap beribadah, tetap saja perbuatan mereka melanggar aturan dan membuat siasat tipu daya terhadap Allah.

Dalam Surat Al-A’raf ayat 164 dijelaskan mengenai sekelompok Yahudi yang acuh dan Yahudi yang mengingatkan akan pelanggaran teman-temannya, Ashabus Sabti. Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini bahwa dalam kisah Ashabus Sabti terdapat tiga kategori golongan. Golongan pertama yaitu mereka yang melanggar aturan hari Sabat seperti yang telah diceritakan dalam Surat Al-A’raf ayat 163. Golongan yang kedua adalah mereka yang berusaha mengingatkan teman-temannya yang melanggar, yaitu golongan pertama itu. Golongan yang terakhir adalah mereka yang acuh kepada mereka yang melanggar.

Baca juga: Kisah Masa Kecil Nabi Isa as dan Awal Mula Wahyu Turun Kepadanya

Seperti yang diceritakan dalam Surat Al-A’raf ayat 164 bahwa golongan ketiga tersebut malah bertanya kepada golongan kedua “Mengapa kamu menasihati orang-orang yang akan dibinasakan oleh Allah atau disiksa berat?”. Namun, golongan kedua menjawab “kami lakukan itu sebagai usaha permohonan ampun kepada Tuhanmu dengan harapan mereka kembali bertaqwa.”

Balasan Allah pun akhirnya datang. Sebagaimana yang difirmankan-Nya dalam Surat Al-A’raf ayat 165, Allah menyelamatkan kelompok yang mencegah pelanggaran tersebut dan menyiksa mereka yang melakukan pelanggaran. Merujuk keterangan Ibnu Katsir, kelompok terakhir yang mengacuhkan pelanggaran tersebut tidak dijelaskan Allah mengenai balasan untuk mereka.

Hukuman Allah nyata diberikan kepada mereka yang melanggar aturan hari Sabat ini seperti tertera dalam Surat Al-A’raf ayat 166 dan juga Al-Baqarah ayat 65 pada lafadz “kuunuu qiradatan khasyi’iin”. Al-Mahalli dan As-Suyuthi dalam Tafsir Jalalayn serta Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an al-’Adhim menafsirkan hukuman tersebut secara fisik, yaitu mereka dirubah keadaannya menjadi seekor kera yang mempunyai ekor. Namun, mufassir kontemporer seperti Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah dan juga Wahbah Zuhayli dalam Tafsir Al-Wajiz menafsirkan hukuman tersebut sebagai kiasan sifat. Mereka menjadi orang-orang yang hina seperti kera yang selalu disingkirkan dan dibenci.

Wallahu a’lam[]

Tiga Sarana Utama Untuk Mendapatkan Rahmat Allah SWT

0
Rahmat Allah Swt
Rahmat Allah Swt

Rahmat Allah swt adalah hal yang paling diidam-idamkan manusia terutama umat Islam. Sebab ia merupakan faktor utama untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Tanpa kehadirannya, seseorang tidak akan mampu mendapatkan kebahagiaan atau kesenangan apapun. Misalnya, seseorang lahir ke dunia – hanya – karena rahmat Allah swt, begitu pula masuk surga.

Manusia sebagai hamba Allah tidak seyogyanya mendengarkan bisikan setan yang membangga-banggakan amal ibadah. Karena sesungguhnya bukan hanya amal ibadah yang menentukan seseorang masuk surga atau masuk neraka kelak.  Dalam sejumlah hadis, nabi Muhammad saw menegaskan faktor penentu masuk neraka atau surga seorang hamba adalah rahmat Allah swt.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Muslim dalam kitab Shahih Muslim dijelaskan bahwa manusia tidak bisa dimasukkan ke surga oleh amalnya. Manusia bisa dimasukkan ke dalam surga jika mereka mendapatkan rahmat Allah swt sebagaimana sabda nabi Muhammad saw yang berbunyi:

عن عائشة – رضي الله عنها -: أن رسول الله – صلى الله عليه وسلم – قال: سدِّدوا وقارِبوا وأبشِروا؛ فإنه لا يُدخِل أحدًا الجنةَ عملُه ، قالوا: ولا أنت يا رسول الله؟ قال: ولا أنا، إلا أن يَتغمدَني اللهُ بمغفرة ورحمةوأنَّ أحبَّ الأعمالِ إلى الله أدومُها وإن قلَّ.

Dari Aisyah radhiallahu ‘anha – istri Nabi Muhammad saw – berkata, sesungguhnya rasulullah saw pernah bersabda, “Tujulah (kebenaran), mendekatlah dan bergembiralah bahwa sesungguhnya tidak seorang pun dari kalian yang dimasukkan surga amalnya.”

Mereka (para sahabat) bertanya, “Tidak juga Tuan, wahai Rasulullah?” Nabi saw menjawab, tidak juga aku, kecuali bila Allah swt melimpahkan rahmat dan karunia padaku. Dan ketahuilah bahwa amal yang paling disukai Allah adalah yang paling rutin meski sedikit.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dari hadis tersebut dapat dipahami bahwa syarat utama masuk surga bukan hanya amal, tetapi juga rahmat Allah swt. Lantas apakah amal ibadah tidak penting? Tentu tidak, sebab amal ibadah adalah perkara yang sangat penting dan bahkan wajib dilaksanakan oleh umat Islam. Ada banyak ayat Al-Qur’an yang berbicara mengenai kewajiban melaksanakan amal ibadah.

Kewajiban-kewajiban tersebut harus dilaksanakan sebaik mungkin sebagaimana petunjuk nabi Muhammad saw kepada para sahabat (hadis). Oleh karena itu, amal ibadah tidak bisa ditinggalkan dengan dalih bahwa masuk surga adalah berkat rahmat Allah swt. Di sisi lain, amal ibadah memiliki segudang manfaat bagi pelaku dan orang di sekitarnya.

Tafsir Surat Al-Baqarah [2] Ayat 218: Tiga Sarana Utama Untuk Mendapatkan Rahmat Allah SWT

Salah satu ayat Al-Qur’an yang berbicara bahwa amal ibadah merupakan syarat utama mendapatkan rahmat Allah swt adalah surat al-Baqarah [2] ayat 218 yang berbunyi:

اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَالَّذِيْنَ هَاجَرُوْا وَجَاهَدُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۙ اُولٰۤىِٕكَ يَرْجُوْنَ رَحْمَتَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ ٢١٨

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. al-Baqarah [2] ayat 218).

Menurut Quraish Shihab, surat al-Baqarah [2] ayat 218 mengisyaratkan – melalui kata yarju – bahwa rahmat Allah adalah hak prerogatif-Nya. Manusia hanya bisa melaksanakan tuntunan agama dengan sebaik-baiknya seraya berharap-harap cemas bahwa amal-amal ibadahnya akan diterima oleh Allah swt dan ia akan mendapatkan rahmat serta ampunan-Nya (Tafsir Al-Misbah [1]: 465).

Dalam pandangan beliau, ayat di atas seakan berkata, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dengan iman yang benar, dan orang-orang yang berhijrah ke tempat yang lebih baik dan menjadi lebih baik, dan berjihada, yakni mereka yang berjuang tiada henti dengan mencurahkan segala yang dimilikinya di jalan Allah yang mengantarkan kepada rida-Nya, mereka itu yang senantiasa mengharap rahmat Allah, dan Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Berkenaan dengan ayat ini, syekh Nawawi al-Bantani dalam tafsirnya, Marah Labid, menyebutkan bahwa surat al-Baqarah [2] ayat 218 turun setelah Abdullah bin Jahasy berkata, “Ya Rasulullah, kami tidak terlarang untuk mempertahankan diri (berperang pada bulan haram), namun apakah kami boleh mengharapkan ganjaran dan pahala atas tindakan tersebut?” Kemudian ayat ini menunjukkan bolehnya berharap ganjaran atas kebaikan yang dilakukan.

Sedangkan as-Sa’adi menjelaskan bahwa ayat ini menerangkan tentang tiga sarana untuk mendapatkan rahmat Allah swt dan pondasi utama penghambaan, yakni iman, hijrah, dan jihad. Iman adalah dasar keislaman seseorang dan memiliki banyak keutamaan. Lalu hijrah menuju ke-rida-an Allah swt sebagai langkah dan bukti nyata meninggalkan kecintaan duniawi. Kemudian berjihad di jalan Allah dalam rangka menyebarluaskan ajaran Islam.

Menurutnya, siapa yang mampu menegakkan tiga langkah tersebut secara komprehensif, maka sesungguhnya ia sedang berharap dan berusaha menggapai rahmat Allah swt. Sebab ia telah melakukan hal yang menjadi penyebab datangnya rahmat dari-Nya. Di sisi lain, ayat ini juga mengindikasikan bahwa mengharap rahmat Allah harus dibarengi dengan usaha mendapatkannya. Tanpa usaha, harapan hanya akan menjadi angan-angan semata. (Tafsir as-Sa’adi: 34).

Sementara penulis memahami, surat al-Baqarah [2] ayat 218 seakan-akan berkata bahwa, “orang-orang yang benar-benar mengharapkan rahmat Allah swt adalah mereka yang beriman, berhijrah (menjadi lebih baik) dan berjihad (berjuang) di jalan Allah. Harapan-harapan mereka itu akan didengar oleh-Nya, ketahuilah Dia Maha Pengampun dan Maha Penyayang.”

Dengan demikian, meskipun rahmat Allah merupakan hak prerogatif-Nya, bukan berarti manusia boleh berpangku tangan dan tidak melaksanakan amal ibadah apapun, baik itu ibadah ritual maupun sosial. Jika dianalogikan, maka amal ibadah bisa dikatakan sebagai sarana manusia untuk melobi Allah agar mendapat rahmat dan ampunan-Nya. Sedangkan hasil akhirnya merupakan ketentuan bebas dari-Nya. Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Al Lahab Ayat 1-2

0
tafsir surah al lahab
Tafsiralquran.id

Tafsir Surah Al Lahab Ayat 1-2 berisi tentang pembangkangan orang yang berjuluk Abu Lahab. Ia merupakan paman Nabi Muhammad saw yang bernama asli Abu al-Uzza. Meskipun ia merupakan paman Nabi Muhammad, namun ia adalah salah satu orang yang gigih menentang risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad.

Surah ini merupakan surah ke 111 dalam urutan mushaf Usmani dan termasuk dalam surah-surah makiyah, yaitu surah yang turun di Mekah. Sebelumnya merupakan surah al-Fath yang menceritakan tentang sejarah Fathu Mekah.

Baca sebelumnya: Tafsir Surat An Nasr Ayat 1-6

Dalam Tafsir Surah Al Lahab Ayat 1-2 ini dijelaskan bahwa julukan Abu Lahab tersebut merupakan simbol bahwa kelak ia akan menjadi penghuni neraka. Ia menjadi orang yang binasa kedua tangannya. Meski ia bergelimang harta, namun hartanya itu tidak dapat menyelamatkannya dari siksa api neraka.

Ayat 1

Dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa Abµ Lahab akan rugi dan binasa dan kata-kata ini sebagai kutukan dari Allah baginya. Binasa pada kedua belah tangannya karena tangan adalah alat bekerja dan bertindak. Bila kedua belah tangan seseorang telah binasa, berarti ia telah binasa.

Dikatakan Abµ Lahab, padahal namanya Abdul-‘Uzza, karena ia berwajah tampan menawan. Namun para ulama berpendapat bahwa dikatakan Abµ Lahab karena ia pasti menjadi penghuni neraka yang bergejolak apinya. Hal itu seperti orang komunis memilih syiar merah dan golongan kiri karena golongan kiri adalah ashab asy-syimal.

Permulaan ayat ini adalah kutukan atas kebinasaan Abµ Lahab dan penutupnya adalah sebagai keterangan dari Allah bahwa kutukan tersebut telah terbukti dan Abµ Lahab pasti rugi di dunia dan di akhirat.

لمَاَّّ نَزَلَتْ (تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ) أَقْبَلَتِ اْلعَوْرَاءُ أُمُّ جَمِيْلٍ بِنْتُ حَرْبٍ وَلَهَا وَلْوَلَةٌ وَفِيْ يَدِهَا فِهْرٌ وَهِيَ تَقُوْلُ : مُذَمِّمًا أَبَيْنَا وَدِيْنَهُ قَلَيْنَا وَأَمْرَهُ عَصَيْنَا وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسٌ فِي اْلمَسْجِدِ وَمَعَهُ أَبُوْ بَكْرٍ فَلَمَّا رَآهَا أَبُوْ بَكْرٍ قَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ قَدْ أَقْبَلَتْ وَأَناَ أَخَافُ أَنْ تَرَاكَ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّهَا لَنْ تَرَانِيْ وَقَرَأَ قُرْآنًا فَاعْتَصَمَ بِهِ كَمَا قَالَ وَقَرَأَ (وَإِذَا قَرَأْتَ اْلقُرْآنَ جَعَلْنَا بَيْنَكَ وَبَيْنَ الَّذِيْنَ لاَ يُؤْمِنُوْنَ بِاْلاَخِرَةِ حِجَابًا مَسْتُوْرًا) فَوَقَفَتْ عَلَى أَبِيْ بَكْرٍ وَلَمْ َتَرَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ : يَا أَبَا بَكْرٍ إِنِّي أُخْبِرْتُ أَنَّ صَاحِبَكَ هَجَانِيْ فَقَالَ : لاَ وَرَبِّ هَذَا اْلبَيْتِ مَا هَجَاكَ فَوَلَّتْ وَهِيَ تَقُوْلُ : قَدْ عَلِمَتْ قُرَيشٌ أَنِّي بِنْتُ سَيِّدِهَا.

(رواه الحاكم)

Ketika ayat tabbat yadā abi lahabin watabba turun, Ummu Jamil al-Aurā (wanita yang sebelah matanya buta) binti Harb datang sambil berteriak-teriak. Ia membawa batu sekepalan tangan, seraya berkata. “Dia mencela (agama kami), kami menolak. Agamanya kami benci dan perintahnya kami bantah.”

Ketika itu Nabi saw. duduk di dalam masjid bersama Abu Bakar. Ketika Abu Bakar melihat wanita itu, beliau berkata, Wahai Rasulullah, wanita itu telah datang. Saya khawatir dia melihatmu.” Maka Rasulullah saw. berkata “Dia tidak akan melihatku.”

Kemudian Nabi membaca sebuah ayat dan berlindung dengan menggunakan ayat itu. Beliau membaca “Dan apabila kamu membaca Alquran, kami jadikan diantara kamu dan orang-orang yang tidak beriman itu penghalang yang tertutup. Wanita itu berdiri di depan Abu Bakar, namum ia tidak bisa melihat Rasulullah saw.

Ia berkata, “Hai Abu Bakar, aku mendapat kabar bahwa temanmu itu telah menghinaku.” Abu Bakar berkata, “Tidak. Demi Tuhan Pemilik Kabah. Dia tidak mencelamu. Lalu wanita itu berpaling sambil berkata, Kaum Quraisy telah tahu kalau aku adalah putri pembesarnya.” (Riwayat al-Hākim)

Baca juga: Asma Putri Abu Bakar, Sahabat dan Mufassir Perempuan yang Berjasa Dalam Hijrah Nabi

Ayat 2

Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa apa yang menjadi kebanggaan Abµ Lahab dalam hidup, yaitu harta dan kedudukan, ternyata sama sekali tidak dapat menyelamatkannya dari azab Allah pada hari Kiamat. Begitu pula usahanya untuk memusuhi dan mengalahkan Nabi Muhammad tidak berhasil sama sekali.

Abµ Lahab sangat membenci Nabi saw dan paling gigih mengajak orang untuk menentangnya dan paling kasar menghadapinya. Rab±‘ah bin ‘Ubb±d berkata:

رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى الْجَاهِلِيَّةِ فِى سُوْقِ ذِى الْمَجَازِ وَهُوَ يَقُوْلُ: قُوْلُوْا لاَ إِلٰهَ اِلاَّ اللهُ تُفْلِحُوْا، وَالنَّاسُ مُجْتَمِعُوْنَ عَلَيْهِ، وَرَاءَهُ رَجُلٌ وَضِيْءُ الْوَجْهِ اَحْوَلُ الْعَيْنَيْنِ ذُوْ غَدِيْرَتَيْنِ يَقُوْلُ إِنَّهُ صَابِىءٌ كَاذِبٌ يَتْبَعَهُ حَيْثُ ذَهَبَ فَسَأَلْتُ عَنْهُ فَقَالُوْا: هٰذَا عَمُّهُ أَبُوْ لَهَبٍ.

(رواه أحمد)

Saya melihat Nabi Muhammad saw pada masa Jahiliah di pasar Zµ al-Majaz bersabda, “Ucapkanlah tiada Tuhan melainkan Allah niscaya kamu akan berbahagia!” Orang-orang berkumpul di sekitar beliau.

Di belakang beliau seorang laki-laki, putih warna mukanya, juling matanya, mempunyai dua untaian rambut di kepalanya, berkata, “Dia (Muhammad) beragama Sabi’ dan pembohong.” Ia mengikuti Nabi ke mana saja beliau pergi, lalu saya bertanya, “Siapakah orang itu?” Mereka menjawab, “Itu adalah pamannya sendiri Abµ Lahab.” (Riwayat Ahmad)

Dengan ini dijelaskan bahwa Abµ Lahab selalu menentang kebenaran dan menjauhkan orang dari mengikuti kebenaran. Ia menyatakan bahwa Nabi Muhammad saw adalah seorang pendusta. Ia juga menentang beliau dan merendahkan nilai agama serta petunjuk yang beliau bawa.

Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Lahab Ayat 3-5

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat Yasin Ayat 20-21: Orang itu Datang dari “Pinggiran Kota”

0
Surat Yasin Ayat 20-21
Surat Yasin Ayat 20-21

Pada pembahasan yang lalu, yakni Tafsir Surat Yasin Ayat 18-19 telah kita pahami bersama bahwa masyarakat Antokiah menganggap kedatangan para utusan itu membawa kesialan pada mereka dan para utusan itu diancam akan disiksa. Selanjutnya akan dipaparkan mengenai Tafsir Surat Yasin Ayat 20-21.

Tafsir Surat Yasin Ayat 20-21 ini memuat kisah tentang seseorang yang datang dari “pinggiran kota”. Ia datang dengan tergesa-gesa setelah mendengar kabar tentang para utusan yang didustakan oleh masyarakat Antokiah dan mereka mengancam akan menyiksa para utusan itu.

Kedatangannya untuk memverifikasi dan menguatkan misi para utusan yang keselamatannya sedang terancam serta menghimbau kepada masyarakat Antokiah untuk menerima dakwah para utusan tersebut. Ia bernama Habib al-Najjar. Meski terdapat perbedaan pendapat tentang identitas sebenarnya, mayoritas mufassir menyepakati nama itu.

Sebelum memasuki pembahasan yang lebih panjang, mari kita sama-sama resapi redaksi asli al-Qur’an dalam surat Yasin ayat dua puluh dan dua puluh satu di bawah ini:

وَجَاۤءَ مِنْ اَقْصَا الْمَدِيْنَةِ رَجُلٌ يَّسْعٰى قَالَ يٰقَوْمِ اتَّبِعُوا الْمُرْسَلِيْنَۙ

اتَّبِعُوْا مَنْ لَّا يَسْـَٔلُكُمْ اَجْرًا وَّهُمْ مُّهْتَدُوْنَ  ۔

“Dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki dengan bergegas dia berkata, “Wahai kaumku! Ikutilah utusan-utusan itu. Ikutilah orang yang tidak meminta imbalan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Terjemah di atas merupakan versi al-Quran dan Terjemah Kemenag. Terkhusus pada kata “ujung kota” (اَقْصَا الْمَدِيْنَةِ), jika pembaca masih ingat, penulis cenderung menggunakan istilah “pinggiran kota”. Apa pasal?

Quraish Shihab dalam Tafsir Al Misbah memaknai “ujung kota” tersebut dengan “pinggiran kota”. Ia mengutip dari Ibnu ‘Asyur yang mengatakan bahwa kata Aqsa (???) yang berarti ujung atau tempat jauh mengindikasikan bahwa sebelum tersebar di pusat kota, keimanan kepada Allah pada waktu telah menyebar di pinggiran kota terlebih dahulu. Lalu mengapa penyebaran tauhid itu tidak langsung di pusat kota?

Dalam al-Tahrir wa al-Tanwir dikatakan bahwa, hal itu terjadi karena di pusat kota merupakan pemukiman para penguasa dan pemuka-pemuka Yahudi yang tidak rela kekuasan mereka terusik. Ketiga utusan itu ditolak oleh penguasa dan pemuka-pemukanya dengan alasan-alasan yang tidak logis.

Baca Juga: Tafsir Surat Yasin Ayat 15-17: Jawaban Para Utusan Ketika Didustakan

Secara tidak langsung hal itu turut memengaruhi terhadap pola pikir masyarakat sekitarnya. Pola pikir masyarakat menjadi ngawur dan tidak logis. Atas kericuhan ini, datanglah seorang lelaki dari “ujung kota” itu untuk menetralisir keadaan.

Para mufassir berbeda pendapat mengenai identitasnya. Suyuti mengatakan bahwa namanya adalah Habib al-Najjar. Hal serupa juga dikemukakan al-Bantani, Wahbah Zuhaili, al-Zamakhsyari, serta Ibnu Katsir. Menurut al-Tabari namanya adalah Habib bin Muro. Ibnu ‘Asyur mengatakan Habib bin Murrah.

Terlepas dari perbedaan-perbedaan itu, Quraish Shihab cenderung memfokuskan pada inti pesan redaksinya. Ia mengatakan bahwa siapapun orangnya atau namanya, yang terpenting adalah ayat di atas menunjukkan betapa tulusnya yang bersangkutan sehingga ia rela datang jauh-jauh demi membela para utusan tersebut. Agar lebih mudah, selanjutnya kita sebut orang dari “ujung kota” itu dengan nama Habib.

Pembelaah Habib atas utusan-utusan itu terkait dengan pendustaan dan ancaman yang dilakukan oleh masyarakat Antokiah. Dalam ayat ke 18 diyatakan bahwa masyarakat Antokiah memvonis tiga utusan itu sebagai pembawa sial. Anggapan ini merupakan hasil dari kebiasaan mereka dalam menentukan nasib, yaitu berdasarkan tradisi pelepasan burung ketika ingin bepergian. Terkait hal ini sudah di bahas dalam artikel sebelumnya.

Adapun kaitan anggapan negatif masyarakat Antokiah dengan kedatangan Habib adalah bentuk pembelaan logis yang ia kemukakan. Habib mengatakan bahwa ciri-ciri kejujuran utusan tersebut adalah mereka tidak meminta imbalan atas dakwah dan pertolongan mereka. Orang-orang seperti itu pantas untuk diikuti seruannya.

Hal ini secara tidak langsung menyindir tradisi aneh masyarakat Antokiah yang tidak logis. Bagaimana bisa seorang yang tidak memungut sepeserpun atas pertolongannya dianggap pembawa sial. Selain itu, pembelaan tersebut, menurut Quraish Shihab, menyiratkan kebiasan-kebiasan masyarakt Antokiah yang penuh pamrih.

Baca Juga: Tafsir Surat Yasin Ayat 13-14: Utusan Itu Hanya Bertugas Menyampaikan

Ketulusan sudah hilang dari mereka. Pikirannya dipenuhi dengan kecurigaan atas untung material yang akan didapatkan oleh para utusan itu. Masyarakat Antokiah hampir tidak percaya adanya ketulusan. Kecurigaan yang demikian tidak akan timbul apabila tidak ada tradisi untung-rugi yang mendarah daging dalam setiap aktivitas sosial mereka.

Pantas saja, pembelaan yang dikemukakan oleh Habib adalah, “Ikutilah orang yang tidak meminta imbalan kepadamu dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk”. Secara tidak langsung menyindir pandangan masyarakat Antokiah masa itu. Mereka mengukur semua orang dengan diri mereka sendiri dan selalu menduga adanya keuntungan material dibalik aktivitas semua orang.

Demikian kiranya tafsir singkat surat Yasin ayat 20-21. Semoga bermanfaat dan nantikan  artikel berikutnya. Wallahu ‘alam.

Tafsir Surat Yasin ayat 18-19: Islam Menolak Kepercayaan Sial

0
surat Yasin ayat 18-19
surat Yasin ayat 18-19

Pada pembahasan sebelumnya sudah dijelaskan tentang tafsir ayat 15-17 yang menceritakan tentang dialog para utusan dengan kaumnya. Adapun pada tulisan kali ini penulis akan membahas tafsir surat Yasin ayat 18-19 tentang penolakan Al-Quran atas kepercayaan sial oleh kaum Antokiah. Allah berfirman:

قَالُوْٓا اِنَّا تَطَيَّرْنَا بِكُمْۚ  لَىِٕنْ لَّمْ تَنْتَهُوْا لَنَرْجُمَنَّكُمْ وَلَيَمَسَّنَّكُمْ مِّنَّا عَذَابٌ اَلِيْمٌ

قَالُوْا طَاۤىِٕرُكُمْ مَّعَكُمْۗ اَىِٕنْ ذُكِّرْتُمْۗ بَلْ اَنْتُمْ قَوْمٌ مُّسْرِفُوْنَ

  1. Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami bernasib malang karena kamu. Sungguh, jika kamu tidak berhenti (menyeru kami), niscaya kami rajam kamu dan kamu pasti akan merasakan siksaan yang pedih dari kami.”
  2. Mereka (utusan-utusan) itu berkata, “Kemalangan kamu itu adalah karena kamu sendiri. Apakah karena kamu diberi peringatan? Sebenarnya kamu adalah kaum yang melampaui batas.”

Tafsir ayat-18. Penduduk Antokiah masih tidak mau menerima seruan dari para utusan, bahkan mereka mengancam akan menyiksa utusan itu jika masih tetap keukeuh mengajak mereka kepada kebaikan. Wahbah Zuhaili menyebut bentuk siksaan yang mereka ancam berupa rajam, penjara, hingga pembunuhan.

Penduduk Antokiah merasa kehadiran para utusan itu bukan membawa kebaikan/keberuntungan, justru menghantarkan mereka pada kemalangan. Dasar mereka beranggapan demikian menurut Quraish ada kaitannya dengan kata tathoyyarna dan thoirukum terambil dari kata thair yaitu burung. Maksudnya adalah nasib, dan dalam konteks ayat ini yang dimaksud adalah nasib buruk.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 28-30: Kecaman terhadap Kaum Musyrikin Mekah

Masyarakat Jahiliyah memiliki kebiasaan melepas burung sebelum berpergian. Jika burung itu terbang dari arah kanan ke kiri, maka itu pertanda baik. Sebaliknya, jika burung itu terbang dari arah kiri ke kanan, itu pertanda buruk.  Kebiasaan itulah yang mereka yakini untuk menentukan nasib sekaligus menjadi tolak ukur anggapan mereka pada para utusan.

Kasus seperti ini seringkali terjadi, dimana sial dan mujur selalu disandarkan pada peristiwa-peristiwa yang berbarengan dengan keduanya. Bukan pada faktor yang menyebabkan keduanya itu terjadi. Sejatinya, keyakinan semacam inilah yang membuat kedangkalan berfikir serta menjadi penyakit yang akan terus meluas dan bersanad jika tidak disadari sesegera mungkin.

Karena itu pada ayat-19, Allah menegaskan kesalahan berpikir yang demikian melalui dialog para utusan dengan kaumnya. Mengutip pendapat Qurthubi bahwa kemalangan yang menimpa mereka itu bukan karena kehadiran para utusan, tetapi disebabkan oleh perbuatan mereka sendiri, artinya tidak ada kesialan dalam ajaran Islam.

Senada dengan Qurthubi, Sayyid Qutb juga menilai bahwa kebaikan dan keburukan itu terikat dengan niat dan perbuatan yang mereka lakukan. Bahkan Ibnu Abbas berpendapat apa yang dilakukan oleh seseorang itu menentukan bagaimana rezeki dan takdirnya sendiri.

Menurut Ibnu Kathir kasus penduduk Antokiah ini mirip dengan kejadian pada masa Nabi Musa, dimana Fir’aun dan tentaranya meyakini kalau kemujuran yang mereka alami adalah hasil usaha mereka, namun jika terjadi kesialan mereka menyalahkan Nabi Musa dan pengikutnya, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah dalam QS. Al-A’raf [7]: 131:

فَاِذَا جَاۤءَتْهُمُ الْحَسَنَةُ قَالُوْا لَنَا هٰذِهٖ ۚوَاِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَّطَّيَّرُوْا بِمُوْسٰى وَمَنْ مَّعَهٗۗ  اَلَآ اِنَّمَا طٰۤىِٕرُهُمْ عِنْدَ اللّٰهِ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُوْنَ

Kemudian apabila kebaikan (kemakmuran) datang kepada mereka, mereka berkata, “Ini adalah karena (usaha) kami.” Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan pengikutnya. Ketahuilah, sesungguhnya nasib mereka di tangan Allah, namun kebanyakan mereka tidak mengetahui.

Cara pandang demikianlah yang ditentang Alquran, selain karena mereka durhaka kepada Allah dan utusan-Nya, mereka juga tergolong sebagai orang-orang yang melampaui batas (musrifun).

Alhasil, mengutip pendapat Quraish Shihab, ayat ini mengajarkan kita bahwa sejak zaman Nabi terdahulu hingga Nabi Muhammad Saw. Islam sangat menolak kepercayaan yang disebut sial. Menurutnya, sial yang dipahami oleh orang-orang masa kini tidak selaras dengan ajaran Islam. Kepercayaan semacam ini justru memberikan efek negatif tidak hanya untuk individu namun juga universal.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-An’am Ayat 76-79 : Mengulik Nalar Tauhid Nabi Ibrahim

Nabi dengan tegas mengatakan “Tiada kesialan, akan tetapi aku senang dengan fa’l (optimisme)”. Para sahabat bertanya, “apa itu fa’l?’’. Nabi menjawab “fa’l adalah ucapan yang baik”. (HR. Bukhari dan Muslim melalui diwayat Anas bin Malik).

Demikian kiranya tafsir ringkas surat Yasin ayat 18-19, ikuti kelanjutan tasfir surat yasin pada tulisan-tulisan berikutnya. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

Ibnu Mujahid (2), Konsep Qiraat Sab’ah dan Sanadnya

0
Mengenal Muqatil bin Sulayman
Mengenal Muqatil bin Sulayman

Ibnu Mujahid dalam kitabnya, Kitab al-Sab’ah fi Qiraat Al-Quran menyatakan bahwa ia menolak beberapa qiraat yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Menurutnya qiraat sab’ah didasarkan pada tiga syarat penerimaan qiraat yang disepakati (ijma’) oleh para ulama, yaitu: (1) Sesuai dengan mushaf utsmani, (2) memiliki sanad yang shahih dan mutawatir, (3) sesuai dengan kaidah bahasa Arab.

Yang dimaksud dengan “sesuai mushaf utsmani” ialah sesuai dengan rasm (teori penulisan) yang ada dalam mushaf usmani, baik yang disimpan sebagai mushaf al-Imam maupun yang dikirim ke kota-kota seperti Makkah, Syam, Kuffah, Basrah, Yaman, Bahrain, dan Madinah. Ada beberapa perbedaan di antara mushaf usmani sebagaimana termaktub dalam Q.S. Al-Hadid [57]: 24,

فَاِنَّ اللّٰهَ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيْدُ

Imam Nafi’ dan Ibn ‘Amir membaca,

فَاِنَّ اللّٰهَ الْغَنِيُّ الْحَمِيْدُ

Tanpa lafadz huwa sebagaimana yang terdapat dalam mushaf Madinah dan Yaman. Sementara itu, Imam Ibn Katsir, Abu Amr, Ashim dan al-Kisa’i membaca dengan menggunakan lafadz huwa sebagaimana dalam mushaf Makkah, Basrah, dan Kuffah.

Sedangkan yang dimaksud “memiliki sanad shahih dan mutawatir” adalah para perawi atau orang yang meriwayatkan qiraat Al-Quran merupakan orang yang tsiqah dan dhabit lagi adil, sehingga tidak mungkin bermufakat untuk berdusta. Adapun yang dimaksud “sesuai kaidah bahasa Arab” adalah sesuai dengan gramatikal bahasa Arab.

Apabila salah satu dari ketiga syarat di atas tidak terpenuhi dalam suatu qiraat, maka qiraat tersebut tidak dapat diterima alias syadz. Dengan demikian qiraat tersebut haram digunakan baik dalam shalat maupun lainnya. Selain ketiga persyaratan tersebut, Ibnu Mujahid juga mempertimbangkan kredibilitas para imam qiraat dengan kriteria kefasihan bacaan, senioritas, jumlah pengikut, dan popularitas qiraat pada masanya.

Baca juga: Jejak Qiraat Imam Nafi’ dalam Manuskrip Al-Quran Keraton Kacirebonan

Pertimbangan inilah yang kemudian Ibnu Mujahid tidak melampirkan nama Imam Ya’qub al-Hadrami dalam deretan imam qiraat sab’ah dan memasukkan al-Kisa’i ke dalamnya. Hal ini seolah-olah mengesankan bahwa beliau menilai qiraat Ya’qub kurang populer ketimbang qiraat Abu Amr di Basrah dan qiraat Abu Amr dianggap merepresentasikan qiraat orang Basrag.

Berbeda dengan al-Kisa’i yang berada di Kuffah bersama dengan Hamzah dan ‘Ashim, Ibnu Mujahid lagi-lagi menilai bahwa qiraat al-Kisa’i dianggap penting guna mewakili qiraat orang-orang Kufah bersama dengan Imam Hamzah dan Ashim.

Sanad Qiraat Sab’ah

Terkait kemutawatiran sanad qiraat, Ibnu Mujahid sangat concern dan konsisten. Beliau memiliki sanad yang sahih dan mutawatir dari para imam qiraat sab’ah sebagaimana yang dijelaskan dalam kitabnya, al-Sab’ah;

  1. Sanad qira’at kepada Imam Nafi’. Terdapat 23 jalur sanad qira’at Ibn Mujāhid yang muttashil (bersambung) kepada Imam Nāfī’.
  2. Sanad qira’at kepada Imam Ibn Katsir, terdapat lima jalur sanad qira’at Ibn Mujāhid yang muttashil kepada Imam Ibn Katsīr.
  3. Sanad qira’at kepada Imam ‘Ashim, terdapat 13 jalur sanad qira’at Ibn Mujāhid yang muttashil kepada Imam ‘Ashim.
  4. Sanad qira’at kepada Imam Hamzah, terdapat lima jalur sanad qira’at Ibn Mujāhid yang muttashil kepada Imam Hamzah.
  5. Sanad qira’at kepada Imam al-Kisā’ī, Ibn Mujāhid memiliki lima jalur sanad qira’at yang muttashil kepada Imam al-Kisā’ī.
  6. Sanad qira’at kepada Imam Abū ‘Amr, Ibn Mujāhid memilik 16 jalur sanad qira’at yang muttashil kepada Imam Abū ‘Amr.
  7. Sanad qira’at kepada Imam ‘Abdullāh Ibn ‘Āmir, Ibn Mujāhid memiliki empat jalur sanad qira’at yang muttashil kepada Imam ‘Abdullāh Ibn ‘Āmir.

Dari paparan mengenai sanad-sanad tersebut bahwa para perawi qiraat sab’ah ada yang melalui wasithah (orang yang menjadi penghubung sanad antara perawi dan imamnya), hanya saja mereka yang menjadi “jembatan” ini namanya kurang populer sebagaimana perawi qiraat.

Baca juga: Qiraat dan Tajwid, Apakah Kita Perlu Belajar Semuanya?

Ada pula perawi yang belajar kepada imamnya tanpa melalui wasithah tersebut, biasanya mereka hidup sezaman dengan imamnya. Akan tetapi, para perawi dari imam qiraat yang dikodifikasi oleh Ibnu Mujahid masih banyak ditemukan wasithah-nya. Nantinya pada masa Imam al-Syathibi-lah para perawi itu dapat diringkas menjadi dua perawi yang terkenal. Berikut gambaran para perawi yang memiliki wasithah dengan imamnya,

  1. Perawi Ibn Katsīr; al-Bazzī dan Qunbul. Al-Bazzī mendapatkan sanad Ibn Katsīr melalaui wasīthah dua orang, yaitu Syibil dan Ikrimah. Sedangkan Qunbul mendapatkan sanad qira’at Ibn Katsīr melalui wasīthah lima orang, yaitu Ahmad al-Qawwās, Abū al-Ajrit, Ismā’īl, Syibil, dan Ma’ruf.
  2. Perawi Imam Abū ‘Amr, yaitu al-Dūrī dan al-Sūsī. Masingmasing mendapatkan sanad qira’at Abū ‘Amr melalui seorang wasīthah, yaitu Yahyā al-Yazīdī. Perawi Imam Ibn ‘Āmir; Hisyām dan Dzakwān. Hisyam mendapatkan sanad qira’at Ibn ‘Āmir melalui dua orang wasīthah, yaitu ‘Arak al-Marwazī dan Yahyā al-Zamarī. Sedangkan Ibn Dzakwān mendapatkan sanad qira’at melalui dua orang wasīthah pula, yaitu Ayyūb alTamīmī dan Yayā al-Zamarī.
  3. Perawi Imam Hamzah; Kholaf dan Kholad. Masing-masing mendapatkan sanad qira’at Hamzah melalui seorang wasīthah, yaitu Salim.

Sedangkan para perawi yang mendapatkan sanad qira’at dari imamnya dengan cara ber-talaqqi (bertemu langsung) adalah (1) Perawi Imam Nāfi’, yaitu Qālūn dan Warsy (2) Perawi Imam ‘Ashim, yaitu Syu’bah dan Hafsh 3. Perawi Imam al-Kisa’i yaitu Abd al-Harits dan al-Duri.

Dengan demikian, Ibnu Mujahid dengan kesempurnaan ijtihadnya telah memfilter dan melabuhkan pilihannya kepada tujuh imam qiraat ini dan mengintrodusirnya kepada dunia Islam. Ijtihad ini terbukti telah diterima seluruh umat Islam termasuk di Indonesia. Menurutnya qiraaat itu sunnah dan tidah sah baginya membaca Al-Quran dengan sendirinya (seenaknya sendiri) dan harus belajar kepada guru yang memiliki sanad ketersambungan hingga Rasululllah saw.

Sebagai salah satu pemuka qurra’ beliau telah mendarmabaktikan keilmuannya di bidang qiraat bagi keutuhan dan kebutuhan umat Islam. Ijtihad yang dilakukannya dalam rangka menghindari umat Islam dari segala bentuk penyelewengan yang dilakukan ahl bid’ah, menempatkannya sebagai ulama yang berkontribusi besar bagi perkembangan qiraat Al-Quran di masanya dan masa sesudahnya. Walllahu A’lam.