Beranda blog Halaman 441

Baca Ayat Ini Sebagai Doa Agar Orang Mendapatkan Hidayah Islam

0
Mendapatkan Hidayah Islam
Agar Orang Mendapatkan Hidayah Islam

Setiap muslim yang mempercayai agamanya dengan penuh keyakinan, niscaya akan memiliki keinginan agar orang mendapatkan hidayah Islam. Hal ini turut dirasakan oleh baginda nabi Muhammad saw, beliau sangat ingin agar orang-orang mendapatkan hidayah Islam dan mengenal seluk-beluk di dalamnya sebagaimana yang telah ketahui olehnya. Sehingga – dengan Islam – mereka dapat selamat dari jurang kegelapan dan kenistaan.

Keinginan nabi agar orang mendapatkan hidayah Islam juga ditujukan kepada keluarga beliau, yakni bani Hasyim dan Muthalib. Kita dapat membaca sirah nabawiah dan menemukan fakta bahwa nabi Muhammad saw pertama kali menyebarkan ajaran Islam – sebelum berdakwah kepada penduduk Mekah – di lingkungan keluarganya. Beliau mengajak pemuka-pemuka bani Hasyim dan Muthalib agar mendapatkan hidayah Islam. Namun ajakan tersebut hanya diterima oleh Ali bin Abi Thalib yang masih belia.

Baca Juga: Pentingnya Memahami Esensi Islam Sebagai Agama dan Pengaruhnya Bagi Penafsiran Menurut Prof. Quraish Shihab

Seiring perjalanan dakwah di Mekah, keinginan nabi Muhammad saw agar orang-orang mendapatkan hidayah Islam masih tidak surut karena rasa cinta beliau kepada mereka, terutama terhadap pamannya Abu Thalib. Beliau sangat ingin agar pamannya tersebut mengikuti ajaran yang dibawanya. Keinginan nabi Muhammad saw ini kemudian mendapat teguran dari Allah swt dalam firman-Nya:

Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima  petunjuk.” (QS. al-Qasas [28]: 56).

Ayat ini secara singkat memberitahukan bahwa – meskipun dakwah agar orang mendapatkan hidayah Islam telah dilakukan – keputusan keimanan seseorang merupakan hak prerogatif Allah swt. Tugas nabi Muhammad saw dan kita sebagai umatnya – hanya – adalah menyampaikan risalah agama Islam sebaik mungkin dan mengamalkan nilai-nilai akhlak mulia. Lalu biar Allah swt yang menentukan hasilnya, yakni siapa saja yang menerima ajakan tersebut.

Gunakan Ayat Al-Qur’an Ini Sebagai Doa Agar Orang Mendapatkan hidayah Islam

Usaha pertama kali yang harus dilakukan oleh umat Islam sebagai pembawa ajaran Islam agar orang tertarik mendapatkan hidayah Islam adalah dengan menampilkan nilai-nilai substansial ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Dakwah bil hal seperti ini adalah sarana dakwah terbaik sebagaimana yang telah dicontohkan oleh nabi Muhammad saw di masa Islam awal.

Islam akan mudah diterima dengan jalan dakwah kebaikan, bukan melalui caci-maki, ujaran kebencian, kekerasan dan pemaksaan. Islam sendiri juga mengajarkan tentang kebebasan untuk memilih keyakinan tanpa ada paksaan sedikitpun. Oleh karena itu, kita sebagai muslim sebaiknya juga harus berlaku demikian, yakni dengan menyampaikan kebaikan dan berprilaku terpuji untuk menggambarkan kemuliaan Islam.

Selain melalui usaha-usaha tersebut, kita juga dapat berdakwah melalui doa-doa. Setiap dakwah yang dilakukan mesti diiringi dengan niat yang tulus dan doa kebaikan agar dakwah kita senantiasa murni demi menyebarkan kebaikan, bukan dengan tujuan memuaskan ego ataupun kepentingan golongan. Dengan doa, diharapkan dakwah kita dapat menembus dinding-dinding hati yang tak tertembus oleh kata-kata semata.

Menurut imam al-Ghazali ayat-ayat Al-Qur’an dapat digunakan sebagai doa agar orang mendapatkan hidayah Islam. Sebab ayat Al-Qur’an adalah kalimat terbaik untuk mengisi doa yang berfungsi sebagai senjata terbaik bagi umat Islam. Beliau menuturkan dalam kitab adz-Dzahabul Ibriz bahwa surat al-Insyirah [94] ayat 1-8 dapat dijadikan sebagai doa agar orang mendapatkan hidayah Islam.

اَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَۙ ١ وَوَضَعْنَا عَنْكَ وِزْرَكَۙ ٢ الَّذِيْٓ اَنْقَضَ ظَهْرَكَۙ ٣ وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَۗ ٤ فَاِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًاۙ ٥ اِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًاۗ ٦ فَاِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْۙ ٧ وَاِلٰى رَبِّكَ فَارْغَبْ ࣖ ٨

Bukankah Kami telah melapangkan dadamu (Muhammad)? dan Kami pun telah menurunkan bebanmu darimu yang memberatkan punggungmu, dan Kami tinggikan sebutan (nama)mu bagimu. Maka sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila engkau telah selesai (dari sesuatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain), dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap.” (QS. Al-Insyirah [94]: 1-8).

Baca Juga: Makna Islam Sebagai Agama Perdamaian dalam Al-Quran

Amalan ini didapat imam al-Ghazali dari salah seorang alim di Mesir. Ia pernah berkata, “Seseorang dari kaum musyrikin datang kepada salah seorang muslim. Orang musyrik tersebut berkata, ‘Apakah di dalam kitabmu ada sesuatu yang dapat menolong jiwa saya, semoga saja saya mendapatkan hidayah Islam.’ orang muslim itu berkata, ‘Ada.’ Lantas ia menuliskan surat al-Insyirah [94] ayat 1-8 kepada orang tersebut. Maka orang musyrik itu berkata bahwa – setelah membacanya – ia seolah merasa ditarik dari pemahaman musyrik sehingga mendapatkan hidayah Islam.”

Dari riwayat tersebut, imam al-Ghazali menyimpulkan bahwa surat al-Insyirah [94] ayat 1-8 dapat digunakan sebagai wasilah berdoa agar orang masuk Islam. Pada catatan bukunya, beliau memang tidak menyatakan cara spesifik untuk mengamalkan ayat ini. Namun, secara implisit dapat dipahami bahwa bagi beliau ayat ini bisa dibaca secara langsung atau dijadikan sebagai bagian doa seseorang agar orang mendapatkan hidayah Islam. Wallahu a’lam.

Doa Al-Quran: Surat Ali Imran Ayat 8 untuk Ketetapan Hati dalam Iman

0
Ketetapan hati
Doa Ketetapan hati dalam Surat Ali Imran Ayat 8

Ketetapan hati menjadi karakter khusus setiap hamba terbaik yang memperoleh petunjuk dan kasih sayang dari Allah SWT. Dengan ketetapan hati, setiap hamba dapat mengarungi kehidupannya sebaik mungkin. Di dalam Al-Quran dijelaskan tentang bagaimana seorang hamba memohon kepada Allah SWT tentang ketetapan hati. Allah SWT berfirman dalam Surat Ali Imran Ayat 8:

رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ اِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَّدُنْكَ رَحْمَةً ۚاِنَّكَ اَنْتَ الْوَهَّابُ ٨

Rabbanaa Laa tuzigh quluubanaa ba’da idzhadaitanaa wahablanaa min ladunka rahmatan innaka antal wahhaab

Artinya: “(Mereka berdoa), “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau condongkan hati kami kepada kesesatan setelah Engkau berikan petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi.” (Surat Ali Imran Ayat 8)

Dalam kitab tafsir Min Wahyil Quran karya Muhammad Husain Fadhlullah, dijelaskan bahwa pada ayat ini menjelaskan tentang doa yang dipanjatkan oleh “war raasikhuuna fil ‘ilmi” orang-orang yang ilmunya mendalam (disebutkan dalam ayat sebeumnya Surat Ali Imran Ayat 7). Yakni, golongan orang-orang yang perangainya baik, berilmu dengan penuh ketawadhuan dan berhati-hati dalam mengkonsumi makanan. Kelompok ini juga dalam praktik ibadahnya melebihi kualitas ibadah orang biasa dan masih banyak lagi kelebihan kelompok ini.

Baca Juga: Doa Al-Quran: Doa Agar Diringankan Dari Beban Kehidupan

Dikisahkan di dalam ayat tersebut golongan “war raasikhuuna fil ‘ilmi” melantunkan doanya sebagai ungkapan syahdu dalam memohon kepada Allah SWT. Pada ayat ini diawali dengan kata “Rabbanaa” sebagai bukti kedekatan seorang hamba dengan Sang Pencipta tentang permohonannya. Lalu pada ayat ini, lafadz “Laa tuzigh quluubana” dimaknai sebagai ketersesatan seseorang, didahului oleh subjektivitas yang tersesat yang memulai ketersesatannya.

Lafadz “Ba’da idzhadaitanaa” pada ayat ini membuktikan bahwa setiap orang telah mendapatkan petunjuk bisa saja tergelincir atau berpaling kembali dalam lubang keburukan. Konsistensi dalam meneguhkan hati pun tergoyahkan kembali karena beberapa penyebab seperti kesalahan atau dosa yang dilakukan.

Maka dari itu, seorang hamba yang totalitas dalam beribadah kepada-Nya akan memohon dengan sungguh-sungguh agar diberi keteguhan atau ketetapan hati. Seperti halnya doa yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Rasulullah SAW bersabda:

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ

Yaa muqollibal quluub tsabbit qolbi ‘alaa diinika

Artinya: ”Wahai (Rabb) yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu.” (HR. Tirmidzi)

Hati itu ibarat benda yang dikepal di antara dua telapak tangan, mudah untuk dibolak-balikkan. Maka dari itu, betapa pentingnya setiap dari kita memohon kekuatan kepada Allah SWT agar dikaruniakan ketetapan hati untuk mengarungi kehidupan yang dijalani.

Kemudian, “Wahablanaa min ladun karahmah” dimaknai sebagai permohonan yang berisi pemberian yang diberikan secara spontan dan cepat (ilmu) serta kasih sayang yang paripurna dari Allah SWT. Lalu, “Innaka antal wahhaab” dimaknai sebagai kebesaran Allah yang memiliki sifat “Al-Wahab” berarti Maha Pemberi. Memberikan banyak karunia kepada hamba-Nya atas dasar kasih sayang dengan tanpa pamrih.

Maka dari itu, “ar raasikhuuna fil ‘ilmi” ini memohon kepada Allah SWT agar setelah menerima hidayah atau petunjuk, tidak tergelincir dalam hal-hal yang salah atau dosa. Lalu, tidak menjauh dari hidayah atau petunjuk tersebut. Kemudian, memohon dikaruniakan kasih sayang dari Allah SWT Yang Maha Pemberi.

Baca Juga: Hari Kesehatan Mental Sedunia: Ini 3 Artikel Doa Al-Quran untuk Menjaga Mental

Dapat disimpulkan bahwa kita hendaknya selalu memohon kepada Allah SWT tentang segala apa pun yang kita perlukan, khususnya dalam meneguhkan hati dalam kebaikan untuk mengarungi kehidupan yang dijalani.

Doa ini pun hendaknya diamalkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai bukti kita berniat sungguh-sungguh karena Allah, ikhlas dalam belajar ilmu apa pun yang baik untuk kebahagiaan di dunia dan di keabadian kelak. Wallahu a’lam.

Mengenal Tafsir Al-Mubarak Anggitan Kyai Taufiqul Hakim Amtsilati

0
Kyai Taufiqul Hakim Amtsilati
Kyai Taufiqul Hakim Amtsilati

Sebagian dari santri Indonesia nampaknya tidak asing lagi dengan Kyai Taufiqul Hakim. Sosok yang dikenal luas karena menemukan metode ‘kilat’ baca kitab kuning Amstilati ini ternyata tidak hanya menulis kitab gramatikal bahasa Arab.  Ia pun menulis kitab tafsir yang berjudul “Tafsir Al-Mubarak”. Tafsir ini sangat unik, khas ala kitab-kitab anggitan Kyai Taufiqul Hakim lainnya yang syarat akan kode kebahasaan dan mendobrak tampilan tafsir-tafsir mainstream.

Luar biasa. Itu mungkin ekspresi kekaguman kita terhadap Kyai yang mendirikan Pesantren Darul Falah Jepara. Kyai Taufiqul Hakim ternyata telah melahirkan 150-an karya kitab dengan ragam bidang keilmuan berbeda, seperti tasawuf, akhlak, motivasi, bahasa, hingga tafsir. Karena keaktifan Kyai Taufiqul Hakim dalam berdakwah, menulis kitab, hingga menemukan metode belajar baru, peneliti kepesantrenan Jamal Ma’mur Asmani pun menjulukinya Sang Pembaharu Pendidikan Pesantren.

Kyai yang piawai menulis syair ini memang belum meluncurkan secara publik kitab Tafsir Al-Mubarak. Namun dari salah satu penelitian alumninya, kitab ini pun dapat diketahui oleh masyarakat luas. Saal Al-Sadad menulis penelitian dengan judul “Studi Tafsir Al-Mubarak Karya KH. Taufiqul Hakim”. Dalam ulasannya, tafsir ini ternyata dibuat untuk mendampingi belajar Amtsilati. Tentu, tujuan penulisannya agar para santri mampu mengembangkan kosa kata, pemahaman dan penerjemahan teks Arab menuju kitab yang lebih besar.

Baca juga: Anda Sedang Khataman Al-Quran? Berikut Anjuran Para Ulama Mengenainya

Latar belakang penulisan kitab tafsir ini pun untuk memenuhi kurikulum pembelajaran di pesantrennya. Dalam pembelajaran di pesantren Amtsilati, Kyai Taufiqul Hakim membagi beberapa tingkatan yakni Amtsilati, Fan Tasawwuf, Program bahasa, dan Pasca Amtsilati. Santri yang mencapai jenjang pasca Amtsilati, akan dibekali beberapa ilmu yakni fan thaharah, ubudiyah, muamalah, munakahat, jinayat, tafsir, dan dakwah. Tentunya, Tafsir Al-Mubarak ini digunakan saat mencapai fan tafsir.

Karakteristik Tafsir Al-Mubarak

Murid dari Kyai Sahal Mahfudz ini sebenarnya telah rampung menulis 30 juz kitab tafsirnya. Namun saat ini baru dicetak 5 juz yakni juz 1, juz 2, juz 3, juz 4, dan juz 30. Kitab tafsir ini pun belum dicetak layaknya kitab-kitab Kyai Taufiqul Hakim lainnya. Tampilan kitab ini masih berbentuk fotocopy dan hanya digunakan terbatas oleh kalangan santri sendiri. Salah satu ustadz pesantren Darul Falah menyebut kitab ini masih dalam tahap revisi.

Di bagian awal kitab ini ada pengantar sang Kyai yang mencantumkan himbauan tentang adab membaca dan belajar, dilengkapi dengan panduan pembacaan hadharah. Kemudian kitab ini juga mencantumkan petunjuk penggunaan dan jadwal I’rab tiap juz-nya. Petunjuk ini menerangkan secara ringkas kode yang digunakan dalam Tafsir Al-Mubarak.

Baca juga: Manuskrip Mushaf Al-Quran dari Daun Lontar: Koleksi Kiai Abdurrachim asal Grobogan, Jawa Tengah

Jika dikategorikan, tafsir ini termasuk kategori tafsir ijmali karena penyajiannya yang ringkas. Tiap halaman, Kyai Taufiqul Hakim hanya mencantumkan satu sampai tiga baris ayat, bagian ini diletakkan di atas. Kemudian di bawahnya terdapat penggalan kata yang dimasukkan dalam tabel, diberi makna bahasa Jawa dan Indonesia, serta diberi kode jenis kalimat dan kedudukan I’rabnya. Di bawahnya lagi terdapat terjemahan dengan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Setelah itu, terdapat kolom asbabun nuzul dan pemberian catatan kaki sebagai tambahan penafsiran.

Begini bentuk penyajian kitab tafsirnya,

Bagian atas yang terdiri dari ayat dan tabel pemaknaannya

Bagian bawah terdiri dari terjemah, asbabun nuzul dan penambahan keterangan

Dari gambar di atas, tafsir ini menyajikan kode-kode yang khas ala metode Amtsilati. Misalnya dalam penafsiran ayat kedua, di sana ayat عن النبأ العظيم  diberi kode yang berarti huruf jar, majrur, dan naat. Dalam kitab-kitab tafsir klasik, kedudukan I’rab seperti ini lazim dicantumkan, tentu penyajiannya tidak serupa dengan tafsir ini. Memang, Kyai Taufiqul Hakim menyajikan kitab-kitabnya sangat sederhana, berbentuk kode atau syair.  Kemudian penafsiran tambahan juga disajikan dalam bentuk asababun nuzul dan catatan kaki. Di ayat kedua ini, yang dimaksud dengan berita besar adalah berita tentang hari berbangkit.

Baca juga: Tafsir Surat Yasin Ayat 13-14: Utusan Itu Hanya Bertugas Menyampaikan

Meski demikian ringkasnya, penafsiran Kyai Taufiqul Hakim tidak hanya terbatas pada tata bahasa saja. Saal Al-Sadad dalam analisanya mencantumkan contoh penafsiran dengan corak fiqih, bahkan teologis. Penyajian yang demikian memang menjadikan tafsir ini hanya untuk kalangan santri yang sudah belajar gramatikal bahasa Arab saja. Tentu, kode-kode itu tidak dipahami oleh masyarakat pada umumnya. Namun karena segmentasi yang jelas ini, justru para santri sangat dimudahkan untuk memahami kalam ilahi.

Wallahu a’lam[]

 

Mengenal Kuliner Neraka dalam Al-Quran, dari Buah Zaqqum hingga Shadid

0
Kuliner neraka dalam Al-Quran
Kuliner neraka dalam Al-Quran

Dalam Al-Quran dijelaskan mengenai sebuah tempat di akhirat kelak yang ditujukan kepada orang-orang yang tidak taat kepada Allah. Tempat tersebut bernama neraka. Neraka dalam Al-Quran digambarkan sebagai sebuah tempat yang sangat pedih dan penuh penyiksaan. Indra manusia bahkan tidak sampai untuk membayangkan pedihnya neraka.

Kepedihan neraka yang sangat mendalam tersebut juga ditemui pada ragam aneka kuliner yang tersedia di sana. Beberapa menu makanan neraka telah disebutkan dalam Al-Quran. Menu kuliner tersebut antara lain adalah buah Zaqqum, Hamim, Ghassaq, Ghislin, Dhari’, dan Shadid. Kepedihan neraka dan apa yang ada di dalamnya merupakan balasan dari Allah kepada para manusia yang ketika di dunia tidak mau menaati perintah-Nya. Baik perintah yang berhubungan dengan Allah, maupun perintah untuk berbuat kebaikan terhadap sesama makhluk-Nya.

Baca juga: Tafsir Surat Al A’raf ayat 12-17

Aneka kuliner neraka dalam Al-Quran adalah sebagai berikut:

Buah Zaqqum

Nama tumbuhan Zaqqum disebutkan Al-Quran sebanyak 3 kali. Di dalam surah Ad-Dukhan ayat 43, Al-Waqi’ah ayat 52, dan As-Shaffat ayat 62. Dalam Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya Al-Qurthubi dijelaskan bahwa Zaqqum adalah sejenis pohon yang tumbuh di dasar neraka. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah menerangkan bahwa Zaqqum adalah sebuah pohon kecil yang tumbuh di dasar neraka yang dedaunannya beraroma sangat busuk. Saking jelek dan mengerikan rupa pohon itu sehingga orang-orang Arab membayangkan buahnya seperti kepala setan. Getahnya jika dimakan bisa mengakibatkan tubuh manusia menjadi bengkak.

Al-Maraghi dalam Tafsir al-Maraghi menjelaskan bahwa para penghuni neraka benar-benar memakan buah tersebut meskipun mereka tahun rasa buah tersebut sangat pahit dan busuk. Hal itu karena rasa lapar yang begitu menguasai mereka, dan rasa lapar itu tidak akan hilang meskipun mereka makan buah tersebut hingga perut mereka menggelembung. Al-Qurthubi dan Al-Maraghi sependapat bahwa sifat-sifat buah Zaqqum yang sangat menjijikkan dan mengerikan tersebut merupakan gambaran sifat-sifat syetan yang buruk juga dan telah menguasai manusia ketika di dunia dulu.

Baca juga: Tafsir Surat Al-Waqiah Ayat 1-6: Hari Kiamat itu Pasti, Inilah Visualisasinya 

Hamim

Hamim adalah sejenis minuman yang terdapat di neraka. Minuman ini menjadi pendamping buah Zaqqum seperti yang terdapat dalam surah As-Shaffat ayat 67:

ثُمَّ إِنَّ لَهُمْ عَلَيْهَا لَشَوْبًا مِّنْ حَمِيمٍ

Kemudian sesudah makan buah pohon zaqqum itu pasti mereka mendapat minuman yang bercampur dengan air yang sangat panas.”

Ayat tersebut menjelaskan bahwa setelah penduduk neraka itu memakan buah Zaqqum, perut mereka mendidih karena kepanasan. Lalu mereka mencari minuman untuk mendinginkannya. Namun yang didapati adalah Hamim, minuman yang justru sangat mendidih.

At-Thabari dalam kitab tafsirnya, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an menambahkan bahwa level mendidihnya air Hamim sampai di titik terakhir. Sehingga bukannya malah melegakan namun panasnya semakin menjadi-jadi. Dalam kitab tafsir Taisirul Karimirrahman fi Tafsiri Kalamil Mannan karya As-Sa’di dijelaskan bahwa ketika penduduk neraka meminum Hamim tersebut usus-usus mereka sampai terputus karena saking panasnya.

Ghassaq

Ghassaq adalah minuman lainnya penduduk neraka. Ghassaq disebutkan Al-Quran dalam surah Shad ayat 57:

هَٰذَا فَلْيَذُوقُوهُ حَمِيمٌ وَغَسَّاقٌ

Inilah (azab neraka), biarlah mereka merasakannya, (minuman mereka) air yang sangat panas dan air yang sangat dingin.

 Ar-Razi dalam Mafatih al-Ghayb menjelaskan bahwa sifat Ghassaq ini dingin karena dalam Bahasa Arab kata ini digunakan untuk memberikan keterangan kondisi sore hari ketika matahari tidak lagi menyengat tubuh manusia. Namun yang pasti dinginnya Ghassaq ini sangat menyengat dan menyiksa tubuh. Munasbah ayat yang menjelaskan ghassaq ini masih berkaitan dengan penjelasan hamim. Ketika penduduk neraka meminum air hamim yang sangat mendidih itu mereka mencari air yang bisa menyejukkan. Namun ternyata yang didapatkan adalah Ghassaq, minuman yang sama sekali tidak menyejukkan, malah memperparah keadaan mereka.

Ghislin

Ghislin disebutkan dalam Al-Quran pada surah Al-Haqqah ayat 36:

وَلَا طَعَامٌ إِلَّا مِنْ غِسْلِينٍ

Dan tiada (pula) makanan sedikitpun (baginya) kecuali dari darah dan nanah.

Al-Maraghi menjelaskan bahwa ghislin adalah makanan neraka yang berasal dari darah dan nanah tubuh penduduk neraka. Senada dengan pedapat tersebut Ar-Razi dalam kitab tafsirnya Mafatih al-Ghayb menjelaskan bahwa ghislin adalah makanan yang berasal dari darah dari kulit ahli neraka. Kata ghislin sendiri berasal dari kata ghasala yang artinya sesuatu kotoran yang keluar ketika seseorang membasuh tubuhnya. Maka bisa diibaratkan bahwa ghislin adalah sesuatu yang dikonsumsi penghuni neraka yang bersumber dari kulit mereka seperti nanah dan lainnya. Ar-Razi menambahkan keterangan bahwa ghislin ini adalah makanan bagi mereka yang ketika di dunia sering berbuat buruk terhadap mereka sendiri maupun terhadap orang lain.

Dhari’

Dhari’ adalah makanan bagi penduduk eraka yang disebut Al-Quran dalam surah Al-Gasiyah ayat 6-7:

لَّيْسَ لَهُمْ طَعَامٌ إِلَّا مِن ضَرِيعٍ . لَّا يُسْمِنُ وَلَا يُغْنِى مِن جُوعٍ

Mereka tiada memperoleh makanan selain dari pohon yang berduri, Yang tidak menggemukkan dan tidak pula menghilangkan lapar.

Al-Maraghi dalam Tafsir al-Maraghi menjelaskan bahwa Dhari’ adalah sejenis tumbuhan yang berwarna merah, busuk baunya dan kering daging buahnya. Menurut Wahbah Zuhayli dalam Tafsir al-Munir bentuk pohon Dhari’ ini sangat buruk. Buahnya sulit ditelan karena berduri. Ketika dikupas kulitnya maka muncul lagi bentuk yang buruk meski dikupas sampai inti buah. Makanan ini sama sekali tidak mengandung kebaikan sedikitpun. Karena ketika dimakan pun makanan tersebut tidak membuat mereka kenyang dan juga tidak melindungi mereka dari bahaya.

Baca juga: Kisah Nabi Ibrahim as Yang Tak Hangus Dibakar Api

Shadid

Kata dasar shadid disebutkan 42 kali dalam Al-Quran. Namun Shadid yang disebut sebagai minuman ahli neraka terdapat satu pada surah Ibrahim ayat 16:

مِّن وَرَائِهِۦ جَهَنَّمُ وَيُسْقَىٰ مِن مَّآءٍ صَدِيدٍ

“Di hadapannya ada Jahannam dan dia akan diberi minuman dengan air nanah”

Wahbah Zuhayli dalam Tafsir al-Munir menjelaskan Shadid sebagai cairan yang mengalir di tubuh dan kulit ahli neraka berupa darah dan nanah. Kata dasar shadid sendiri mempunyai makna sesuatu yang mengalir atau keluar dari luka bakar dan hal ini diibaratkan dengan minuman ahli neraka.

Penyiksaan di neraka sangatlah pedih. Penduduk neraka mau tidak mau harus makan dan minum itu karena hanya itulah makanan dan minuman yang tersedia. Sedangkan rasa lapar dan haus mereka tidak pernah sekalipun berhenti. Selain itu, masih banyak siksaan di neraka yang begitu pedih dan kejam, tentunya diperutukkan bagi orang-orang yang sering berbuat dosa, maksiat dan tidak mau menaati perintah-Nya ketika di dunia. Semoga kita semua dijauhkan dan diselamatkan Allah dari siksa neraka. Wallahu a’lam[]

Kisah Masa Kecil Nabi Isa as dan Awal Mula Wahyu Turun Kepadanya

0
Nabi Isa as
Kisah Nabi Isa as Masa Kecil

Kisah nabi Isa as adalah salah satu kisah para nabi terdahulu yang paling lengkap diceritakan oleh Al-Qur’an. Kisah Nabi Isa disebutkan dalam surat Ali ‘Imran ayat 49-55, al-Maidah ayat 110-118, an-Nisa ayat 157-158, dan surat Maryam ayat 16-36. Ayat-ayat ini bercerita tentang kelahiran dan masa kecil nabi Isa serta awal mula wahyu turun kepadanya, hingga pengangkatannya ke langit.

Nabi Isa as merupakan nabi terakhir yang diutus Allah swt kepada Bani Israil. Maka tidak heran kalau dalam agama Nasrani, nabi Isa begitu dimuliakan. Bahkan mereka mengelu-elukan beliau (Yesus) sebagai anak Tuhan atau manifestasi Tuhan di dunia. Pemujaan umat Kristiani kepada nabi Isa ini serupa dengan pemujaan bangsa Yahudi kepada Uzair.

Kisah nabi Isa as dalam Al-Qur’an dimulai dari kisah kelahiran Isa yang digambarkan Allah swt dengan indah dalam surat Maryam [19]: 16 sampai dengan QS Maryam [19]: 40. Dalam kelompok ayat ini Allah swt menjelaskan bagaimana situasi kelahiran Nabi Isa sebagai seorang nabi pilihan dan ketika ibunya, Maryam, dengan penuh ketabahan menghadapi bani Israil yang menuduhnya sebagai pezina dengan kehadiran bayinya itu.

Tuduhan-tuduhan keji bani Israil kepada Maryam kemudian dijawab tuntas oleh Allah swt melalui lisan nabi Isa kecil. Allah pun lantas menghibur Maryam dengan memberikan mukjizat kepada nabi Isa yang masih bayi untuk berbicara dan menjawab pertanyaan-pertanyaan kaumnya. Ia membuktikan bahwa Ibunya adalah perempuan baik-baik dan dirinya adalah utusan Allah swt.

Firman Allah swt:

قَالَ اِنِّيْ عَبْدُ اللّٰهِ ۗاٰتٰنِيَ الْكِتٰبَ وَجَعَلَنِيْ نَبِيًّا ۙ ٣٠

Dia (Isa) berkata, “Sesungguhnya aku hamba Allah, Dia memberiku Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang Nabi. (QS. Maryam [19]: 30).

Masa Kecil Nabi Isa as dan Awal Mula Wahyu Turun Kepadanya

Setelah periode kelahiran nabi Isa as, Al-Qur’an tidak menceritakan lagi kehidupan masa kecil nabi Isa hingga dewasa. Menurut Syauqi Abu Khalil dalam bukunya Athlas Al-Qur’an (2001: 116), Isa tinggal bersama ibunya di Nashirah (Nazareth) kemudian pindah ke Mesir sampai berumur 12 tahun. Mereka berdua pergi ke Ain Syam Mesir bersama Yusuf an-Najjar. Umur 12 tahun nabi Isa kembali ke tanah Palestina dan bertemu dengan Yahya (Yohanes) di Sungai Jordan tatkala Isa berumur 30 tahun.

Kenapa Maryam membawa putra-nya pindah ke Mesir? Ibnu Katsir mengutip cerita dari Wahab ibn Munabbih dalam Qashash al-Anbiya bahwa pada saat kelahiran nabi Isa tampak bintang besar di langit yang menyebabkan Raja Persia pingsan menyaksikannya. Lalu Raja bertanya kepada para dukun kerajaan apa yang terjadi, para dukun menjawab inilah kelahiran yang sangat agung di muka bumi. Kemudian Raja mengirim utusan membawa hadiah emas dan barang berharga lainnya untuk bayi yang baru lahir tersebut.

Ketika kabar nabi Isa kecil bisa berbicara merebak, pada saat bersamaan maka sampailah utusan sang Raja Persia ke tempat ibunda Maryam guna menyerahkan berbagai macam hadiah untuk nabi Isa. Menurut sebagian riwayat, sang raja mengutus pembawa hadiah disertai beberapa orang yang ditugaskan untuk membunuh nabi Isa kecil ketika semua utusan telah kembali. Ia melakukan hal tersebut karena takut kekuasaannya akan runtuh sebab kedatangan nabi Isa.

Sang raja sudah merasa yakin akan keberhasilan rencananya. Namun tanpa ia sadari, rencana tersebut telah diketahui oleh si utusan. Oleh karena itu ketika menyerahkan hadiah, ia berkata kepada Maryam dengan nada peringatan, “Sesungguhnya utusan raja Syam datang dengan tujuan – utama – membunuh anakmu.” Kemudian Maryam pergi membawa nabi Isa kecil ke Mesir dan ia tinggal di sana hingga nabi Isa berumur dua belas tahun.

Berbagai keajaiban dan mukjizat muncul pada masa kecil nabi Isa as. Hal ini bisa dirasakan secara langsung oleh ibunya yakni Maryam dan orang-orang sekitar yang menyaksikan pertumbuhannya. Misalnya, ada seorang pedagang yang berjualan di tempat persinggahan orang-orang. Suatu hari ia kehilangan harta di dalam rumahnya. Rumah tersebut hanya dihuni oleh orang-orang fakir, orang-orang lemah dan orang-orang yang sangat membutuhkan bantuan. Ia sama sekali tidak mengetahui siapa yang mengambil hartanya.

Ketika si pedagang hampir putus asa, ia kemudian mendatangi Maryam untuk dicarikan solusi. Saat permasalahan itu, nabi Isa kecil lantas menemui seorang yang buta dan berkata, “Bawalah kursi ini dan bangkitlah.” Si buta menjawab, “Aku tidak sanggup.” Nabi Isa berkata kembali, “Kamu sanggup melakukannya, sebagaimana kamu telah mengambil harta dari kotak yang ada di rumah si pedagang.” Orang-orang yang mendengar tercengang dan si buta akhirnya mengaku lalu mengembalikan barang yang dicurinya.

Meskipun masa kecil nabi Isa as dikelilingi keajaiban, hal itu tidak serta merta membuatnya disukai oleh masyarakat sekitar. Ia bahkan diceritakan sering dijauhi oleh teman-temannya akibat perintah dan tuduhan buruk dari orang tua mereka. Para orang tua itu berkata, “Demi Allah jika kalian biarkan anak-anak kalian bermain dengan Isa tentu dia akan merusaknya.” Mereka selalu mengisolasi anak-anak mereka di tempat tertentu agar tidak berteman dengan nabi Isa kecil.

Menurut Wahab bin Munabbih, awal mula wahyu turun kepada nabi isa adalah ketika ia memasuki umur 13 tahun. Allah swt memerintahkan Isa untuk meninggalkan Mesir, kembali ke Nashirah. Namun wahyu ini bukan peresmian pengangkatan nabi Isa sebagai rasul. Lalu Yusuf, anak paman Maryam, membawa Isa dan Maryam naik keledai kembali ke tempat tinggal mereka semula sebelum pergi ke Mesir dan tinggal di sana hingga beberapa tahun ke depan.

Ketika usia nabi Isa as mencapai 30 tahun, barulah awal mula wahyu kenabian turun kepadanya sebagai tanda peresmian bahwa ia adalah seorang nabi dan rasul yang terakhir bagi kalangan bani Israil. Pada saat itu, Allah swt menurunkan Kitab Suci Injil kepada nabi Isa dan mengajarinya Kitab Suci Taurat serta memberikan beberapa mukjizat untuk membuktikan-mendukung kenabiannya.

Firman Allah swt:

وَيُعَلِّمُهُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَ وَالتَّوْرٰىةَ وَالْاِنْجِيْلَۚ ٤٨

Dan Dia (Allah) mengajarkan kepadanya (Isa) Kitab, Hikmah, Taurat, dan Injil.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 48).

Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa di samping mengajari Isa Taurat dan Injil, Allah swt juga mengajarinya al-kitab dan al-hikmah. Menurut M. Quraish Shihab yang dimaksud dengan al-kitab adalah kemampuan tulis baca, sedangkan al-hikmah adalah kemampuan memahami dan melaksanakan sesuatu yang benar, sesuai, wajar dan tepat (Tafsir Al-Mishbah [2]: 89). Wallahu a’lam.

Tafsir Surat Al-Hajj Ayat 39: Perang itu Diizinkan Bukan Diperintahkan

0
Perang itu Diizinkan Bukan Diperintahkan
Perang itu Diizinkan Bukan Diperintahkan

Sudahkah kita tahu bahwa sejarah perang dalam Islam itu berawal dari ‘diizinkan’ bukan ‘diperintahkan’. Redaksi yang dipilih oleh Allah ini tentu membawa konsekuensi pada tujuan awal perang, yaitu untuk membela diri. Surat Al-Hajj ayat 39 diyakini oleh para mufasir sebagai ayat pertama yang turun berkenaan dengan perizinan perang.

Para ulama salaf mulai dari Ibnu ‘Abbas, ‘Aisyah, Mujahid, al-Dhahhak, Urwah ibn Zubair, Qatadah, Muqatil, az-Zuhri, dan Zaid ibn Aslam sepakat bahwa surat Al-Hajj ayat 39 merupakan ayat pertama yang mengizinkan Nabi untuk berperang melawan kaum kafir Makkah.

اُذِنَ لِلَّذِيْنَ يُقَاتَلُوْنَ بِاَنَّهُمْ ظُلِمُوْاۗ وَاِنَّ اللّٰهَ عَلٰى نَصْرِهِمْ لَقَدِيْرٌ ۙ – ٣٩

Diizinkan (berperang) kepada orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka dizalimi. Dan sung-guh, Allah Mahakuasa menolong mereka itu

Baca Juga: Maqashid Al-Quran dari Ayat-Ayat Perang [1]: Mempertahankan Agama Tidak Selalu Harus dengan Kekerasan

Dalam Tafsir al-Sya’rawi, kalimat “udzina lilladzina yuqatiluna” dalam ayat tersebut bermakna sebagai bentuk pemberian izin kepada kaum mukmin untuk berperang dan membela diri atas penindasan kaum kafir Makkah. Kemudian, kalimat “bi annahum dzulimu” bermakna sebagai illah atau alasan dari ditetapkannya pemberian izin perang tersebut.

Intinya izin untuk melakukan perang [perlawanan) itu disebabkan kaum mukmin telah dizalimi terlebih dahulu oleh kaum kafir Makkah. Terakhir, kalimat “wa inna Allah ‘ala nashrihim laqadir” menunjukkan makna bahwa pertolongan dan kemenangan dari Allah pasti akan datang bagi kaum mukmin.

Surat Al-Hajj ayat 39 juga dijelaskan dalam kitab Tafsir al-Munir karya Syaikh Wahbab az-Zuhaili. Menurutnya, ayat ini turun berkenaan ketika para kaum kafir Makkah mengusir Nabi Muhammad. Sebagaimana dalam riwayat yang berasal dari Abdullah ibn ‘Abbas berikut:

خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ مَكَّةَ فَقَالَ أَبُوْ بَكْرٍ: أَخْرَجُوْا نَبِيَّهُمْ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ! لَيَهْلِكُنَّ، فَأَنْزَلَ اللهُ تَعَالَى “أُذِنَ لِلَّذِيْنَ يُقَاتَلُوْنَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوْا وَإِنَّ اللهَ عَلَى نَصْرِهِمِ لَقَدِيْرٌ

Nabi Muhammad Saw pergi meninggalkan Makkah, lalu Abu Bakar berkata: mereka telah mengusir Nabi mereka, inna lillahi wa inna ilaihi raji’un! Sungguh mereka akan binasa. Kemudian turunlah ayat tersebut

Syaikh Muhammad Thahir ibn ‘Asyur menjelaskan dalam karyanya Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, bahwa pada saat umat Islam berada di Makkah, mereka mendapatkan perlawanan dan gangguan yang sangat dahsyat dari kaum kafir Makkah. Bahkan, pada suatu ketika terdapat beberapa orang mukmin yang datang kepada Nabi dengan keadaan luka dan babak belur. Mereka mengadu agar Nabi memberikan perlawanan terhadap berbagai bentuk penyiksaan kaum kafir Makkah tersebut.

Baca Juga: Maqashid Al-Quran dari Ayat-Ayat Perang [2]: Mengembangkan Kemampuan Akal dalam Berkomunikasi

Namun, Rasulullah melarang mereka untuk membalas penindasan kaum kafir Makkah tersebut, serta menyarankan kepada mereka agar tetap bersabar dan tabah. Hal ini dikarenakan belum adanya wahyu yang turun kepada Nabi tentang perintah untuk berperang dan melakukan perlawanan terhadap penindasan kaum kafir tersebut. Hingga akhirnya pada saat Nabi berhijrah ayat ini turun.

Riwayat tafsiriyah dari surat Al-Hajj ayat 39 ini menunjukkan bahwa diizinkannya perang untuk melawan kaum kafir Makkah sama sekali tidak dilandasi atas dasar balas dendam atau pemenuhan hawa nafsu.

Perang tersebut murni dilakukan atas dasar menjalankan perintah Allah, sekaligus sebagai bentuk pembelaan diri akibat kedzaliman yang telah kaum kafir Makkah lakukan terlebih dahulu. Oleh karena itu, jihad dalam Islam tidak pernah bertujuan untuk offensive (menyerang), tetapi memiliki tujuan utama sebagai bentuk defensive (bertahan diri).

Baca Juga: Tinjauan Tafsir terhadap Jihad, Perang dan Teror dalam Al-Quran

Perang itu bagian kecil dari jihad

Selain itu, menjadi semakin membingungkan ketika perang dan jihad disamakan arti dan pemahamannya, padahal keduanya tidak sepenuhnya sama. Terlebih akhir-akhir ini ada video yang viral tentang ajakan jihad, “Hayya ‘ala al-Jihad” yang jika dilihat dari bahasa tubuh para penyerunya seperti mengajak untuk melawan.

Pengertihan jihad itu sendiri memiliki dimensi makna yang sangat luas, dimana perang menjadi salah satu bagian kecil dari makna kata “jihad” tersebut. Sebagaimana hadis Nabi yang terdokumentasi dalam Az-Zuhd Al-Akbar karya Al-Baihaqi.

Di situ diceritakan bahwa pada suatu kesempatan, ada sekelompok sahabat pulang dari sebuah peperangan menghadap Nabi Muhammad saw, dan kemudian Nabi bersabda ‘kalian telah menyelesaikan jihad kecil menuju jihad yang lebh besar’. ‘apa itu jihad yang lebih besar?’ tanya sahabat ‘jihad melawan hawa nafsu’ jawab Nabi

Syaikh Usamah Sayyid al-Azhary dalam karyanya yang sudah diterjemahkan yaitu “Islam Radikal: Telaah Kritis Radikalisme dari Ikhawanul Muslimin hingga ISIS”, menjelaskan bahwa perintah jihad sangat berkaitan erat dengan maqashid al-syari’ah, yaitu bertujuan untuk berdakwah agar tersampainya hidayah dan menghidupkan jiwa-jiwa manusia, bukan malah menjadikan pembunuhan sebagai tujuan utama dari jihad.

Kalaupun keadaan memaksa untuk melakukan jihad dalam bentuk perang, syari’at Islam tetap mengharuskan jihad tersebut dibarengi dengan keluhuran budi yang bijaksana. Selain itu, poin yang terpenting adalah jihad tidak boleh dilakukan secara sembarangan.

Jihad harus dilakukan secara proporsional dan menghitungkan dampak yang akan ditimbulkan. Apabila jihad yang dilakukan tersebut keluar dari batasan dan porsinya, maka ia tidak lagi disebut jihad, tetapi berubah menjadi aksi kejahatan, dan kedzaliman. Wallahu A’lam

Tafsir Surat Al A’raf ayat 24-27

0
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102

Dalam tafsir surat Al A’raf ayat 24-27 ini menceritakan bahwa Allah menerima taubat Adam dan istrinya. Namun meskipun begitu Adam dan Hawa tetap diperintah untuk keluar dari surga dengan diperkuat imannya oleh Allah. 

Selain itu tafsir surat Al A’raf ayat 24-27 juga membahas seruan Allah kepada keturunan Adam agar senantiasa mengingat nikmat yang telah diberikan dan menghindar dari perbuatan maksiat.


Baca juga: Tafsir Surat Al A’raf ayat 18-23


Ayat 24-25

Allah kemudian menerima tobat Adam dan istrinya, dan memerintahkan keduanya keluar dari surga dan turun ke bumi. Allah memperkuat imannya dan menerima tobatnya karena nabi itu ma’shum (terpelihara dari dosa), bisa salah tetapi tidak bisa terjadi kesalahan karena dikoreksi Allah. Setelah tobatnya diterima, ia menjadi orang pilihan kembali dan mendapatkan bimbingan dari Allah, seperti dalam firman-Nya:

وَعَصٰىٓ اٰدَمُ رَبَّهٗ فَغَوٰى ۖ  ١٢١  ثُمَّ اجْتَبٰىهُ رَبُّهٗ فَتَابَ عَلَيْهِ وَهَدٰى   ١٢٢  قَالَ اهْبِطَا مِنْهَا جَمِيْعًا

… dan telah durhakalah Adam kepada Tuhannya, dan sesatlah dia. Kemudian Tuhannya memilih dia, maka Dia menerima tobatnya dan memberinya petunjuk. Dia (Allah) berfirman, ”Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama…”   (Thaha/20: 121-123)

Telah menjadi sunatullah bahwa setiap perbuatan buruk akan mempunyai akibat yang buruk pula. Di bumi ini akan terjadi permusuhan, sebagian akan menjadi musuh dari sebagian yang lain. Iblis dan kawan-kawannya akan selalu memusuhi anak-cucu Adam. Sebaliknya anak-cucu Adam harus selalu waspada dan tetap memandang dan menjadikan Iblis itu musuh yang sangat berbahaya, karena kalau tidak mereka akan dijebloskan ke dalam neraka. Allah berfirman:

اِنَّ الشَّيْطٰنَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوْهُ عَدُوًّاۗ اِنَّمَا يَدْعُوْا حِزْبَهٗ لِيَكُوْنُوْا مِنْ اَصْحٰبِ السَّعِيْرِ

Sungguh, setan itu musuh bagimu, maka perlakukanlah ia sebagai musuh, karena sesungguhnya setan itu hanya mengajak golongannya agar mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala. (Fathir/35: 6)

Mereka akan tinggal dan menetap di bumi dilengkapi dengan sumber penghidupan yang menjadi kesenangannya sampai kepada waktu yang telah ditentukan oleh Allah, yaitu pada waktu berakhirnya ajal dan tibanya hari Kiamat sesuai dengan firman Allah:

وَلَقَدْ مَكَّنّٰكُمْ فِى الْاَرْضِ وَجَعَلْنَا لَكُمْ فِيْهَا مَعَايِشَ

Dan sungguh, Kami telah menempatkan kamu di bumi dan di sana Kami sediakan (sumber) penghidupan untukmu… (al-A’raf/7: 10)

Ayat 26-27

Pada ayat ini, Allah menyeru kepada anak-cucu Adam dan memperingatkan nikmat yang begitu banyak yang telah dianugerahkan-Nya agar mereka tidak melakukan maksiat, tetapi hendaklah mereka bertakwa kepada-Nya, dimana saja mereka berada, sesuai dengan sabda Nabi Muhammad saw:

(اِتَّقِ الله َ حَيْثُمَا كُنْتَ (رواه الترمذي عن معاذ بن جبل

“Bertaqwalah kepada Allah di mana pun engkau berada.” (Riwayat at-Tirmidzi dari Mu’adz bin Jabal)

Allah yang menurunkan hujan dari langit, yang menyebabkan tumbuhnya kapas, rami, wool dan sebagainya yang kesemuanya itu dapat dijadikan bahan pakaian sesudah diolah untuk dipakai menutupi aurat kita, tubuh kita dan untuk menahan panas dan dingin dan dipakai dalam peperangan untuk menahan senjata (baju besi) pakaian juga bisa dijadikan keindahan sebagai perhiasan, satu hal yang disukai oleh Allah sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw:

(اِنَّ الله َ جَمِـيْلٌ يُـحِبُّ الْجَمَـالَ (رواه مسلم والترمذي عن ابن مسعود

“Sesungguhnya Allah itu sangat indah, menyenangi keindahan.” (Riwayat Muslim dan at-Tirmidzi dari Ibnu Mas’ud)

Ini semua merupakan pakaian dan keindahan lahiriah. Di samping itu ada lagi macam pakaian yang sifatnya rohaniah yang jauh lebih baik dari pakaian lahiriah tadi, karena ia dapat menghimpun segala macam kebaikan, yaitu takwa kepada Allah.

Sabda Nabi Muhammad saw:

(عَلَيْكَ بِتَقْوَى اللهِ فَإِنَّهَا جَمَاعُ كُلِّ خَيْرٍ (رواه أبو يعلى عن أبي سعيد

“Hendaklah kamu bertakwa kepada Allah, karena sesungguhnya takwa itu menghimpun segala kebaikan”. (Riwayat Abu Ya’la dari Abu Sa’id)

Dengan takwa itu, Allah senantiasa memberikan kepada kita petunjuk untuk dapat mengatasi dan keluar dari kesulitan yang dihadapi. Dia akan memberikan kepada kita rezeki dari arah yang tidak terduga-duga sebelumnya dan selalu dimudahkan urusan kita, sebagaimana firman Allah:

وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مَخْرَجًا ۙ  ٢  وَّيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya, dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. (at-Thalaq/65: 2-3)

Firman Allah:

وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مِنْ اَمْرِهٖ يُسْرًا

Dan barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan kemudahan baginya dalam urusannya. (At-Thalaq/65: 4)

Segala nikmat yang telah dianugerahkan Allah seperti memberikan pakaian adalah tanda bagi kekuasaan Allah dan membuktikan kebaikan-Nya kepada anak cucu Adam a.s. maka pada tempatnyalah kalau kita selalu mengingat Allah, mensyukuri nikmat-Nya, menjauhi ajakan setan dan tidak berlebihan dalam ucapan dan lain sebagainya.

 


Baca juga: Tafsir Surat Al A’raf ayat 18-23


(Tafsir Kemenag)

 

Manuskrip Mushaf Al-Quran dari Daun Lontar: Koleksi Kiai Abdurrachim asal Grobogan, Jawa Tengah

0
manuskrip mushaf al-quran dari daun lontar
manuskrip mushaf al-quran dari daun lontar

“Indonesia adalah gudangnya manuskrip”. Kalimat tersebut agaknya tidak terlalu tendensius dan merasa superior karena memang adanya begitu. Hal tersebut telah dibuktikan sendiri oleh Puslitbang Lektur Keagamaan Kementerian Agama dengan inventarisasi dan riset mengenai manuskrip mushaf Al-Quran di berbagai daerah pada tahun 2003 hingga 2005. Manuskrip –manuskrip tersebut dimiliki oleh baik perorangan, musium, perpustakaan, masjid, maupun pesantren.

Penyalinan mushaf Al-Quran di Nusantara ditengarai berlangsung dalam rentan waktu yang sangat lama, sekitar 6500 tahun. Diperkirakan telah ada sejak sekitar akhir abad ke-13, ketika era Kerajaan Samudera Pasai (kerajaan pesisir pertama di Nusantara yang memeluk Islam). Mushaf Nusantara tertua yang bisa diketahui saat ini tersimpan di Belanda yang menjadi koleksi William Marsden. Ali Akbar dalam Mushaf Al-Quran di Indonesia dari Masa ke Masa menerangkan bahwa mushaf tersebut berasal dari Johor, Malaysia tahun 1606 M.

Tetapi pada penghujung abad ke-19 M minat penulisan mushaf Al-Quran di Indonesia semakin berkurang seiring dengan masuknya era disrupsi teknologi. Bahkan Mustopa dalam Mushaf Kuno Lombok Telaah Aspek Penulisan dan Teks memperkirakan pembuatan manuskrip mushaf Al-Quran mulai berhenti pada awal abad ke-20. Manuskrip-manuskrip naskah tersebut masih dapat dijumpai hingga saat ini seperti manuskrip mushaf Al-Quran dari daun lontar koleksi Kiai Abdurrochim asal Dusun Tarub, Tawangharjo, Grobogan Jawa Tengah yang akan dikaji dalam artikel ini.

Sekilas Mushaf Al-Quran Daun Lontar

Qona’ah dan Abdul Khalik dalam Manuskrip Mushaf Al-Quran Daun Lontar Koleksi Kiai Abdurrochim (Kajian Pemakaian Rasm dan Qiraat) mengemukakan sejauh penelusuran, manuskrip mushaf Al-Quran yang ditulis di atas daun lontar tersebut bukan satu-satunya manuskrip yang ada di Indonesia.

Sejatinya masih banyak lagi manuskrip-manuskrip daun lontar yang ada di wilayah Indonesia seperti manuskrip Kiai Helmi dari Bogor yang mana merupakan pemberian dari seorang yang tidak diketahui identitasnya sehingga diyakini mengandung unsur mistis sebagaimana dituturkan Lu’luatun Latifah dalam Kekhasan Manuskrip Daun Lontar Milik Kiai Helmi (Kajian Filologi dan Resepsi).

Selain itu, tulisan Ali Akbar dalam situs Kemenag menginformasikan bahwa selain berwujud buku (codek), terdapat Al-Quran “kuno-kunoan” dalam bentuk salinan di atas daun lontar. Hal tersebut menunjukkan bahwa perlunya riset mendalam terhada[ mushaf daun lontar ini, apakah manuskrip daun lontar koleksi Kiai Abdurrochim ini juga termasuk Al-Quran “kuno-kunoan” tadi ataukah benar-benar memang manuskrip yang sudah berumur tua?

Manuskrip mushaf daun lontar koleksi Kiai Abdurrochim ini berada di kediaman beliau belum terlalu lama. Asal-usulnya pun kurang jelas. Meski begitu, uniknya manuskrip ini tidak mempunyai syakal atau tanda baca sebagaimana mushaf-mushaf lainnya. Hal ini tentu semakin menimbulkan kecurigaan, apakah memang disengaja tidak diberi syakal agar terkesan “kuno” atau memang adanya begitu?. Maka perlu diadakan kajian rasm dan qiraat pada mushaf tersebut untuk mendeteksinya.

Baca juga: Jejak Qiraat Imam Nafi’ dalam Manuskrip Al-Quran Keraton Kacirebonan

Mushaf Daun Lontar Koleksi Kiai Abdurrochim

Mushaf ini merupakan koleksi kiai Abdurrochim, seorang tetua agama di Desa Tarub, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Mushaf ini tidak mempunyai kode mushaf sebab termasuk kategori mushaf milik perorangan. Nama pengarangnya pun tidak disebutkan di dalamnya sekaligus nama penyalinnya. Namun status mushaf ini dimiliki kiai Abdurrochim.

Dari data yang diambil dari Qona’ah dan Abdul Khalik dalam Manuskrip Mushaf Al-Quran Daun Lontar Koleksi Kiai Abdurrochim (Kajian Pemakaian Rasm dan Qiraat), Kiai Abdurrochim mengaku tidak banyak informasi yang diketahuinya terkait manuskrip tersebut. Konon mushaf ini adalah milik Kiai Thoyyib dari Jawa. Sebagaimana dikatakan Bapak Ahmadi, selaku pemegang mushaf kelima,

“yang membuat itu termasuke juga orang alim mbak Kiai Thoyyib bin Abdurrohman, asli keturunan Jawa dulunya pengasuh pondok. Usianya waktu menulis, ceritane sejak dulu ia belajar membaca Al-Qur‘an  dan menulis. ceritanya dulu orang mencari ilmu kemudian dapat istri anak kiai. Mushafnya ada banyak sekitar 9 mushaf, ada yang di Jawa, di Sumatra, dan ada yang dikasihkan, ada yang ditukar dengan ongkos mencari ilmu tadi. Saya mendapat mushaf yaitu awal pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)”

Artinya: yang membuat mushaf itu termasuk orang alim, namanya Kiai Thoyyib bin Abdurrohman, asli keturunan Jawa yang juga pengasuh pondok. Usianya ketika menulis yaitu sejak ia belajar membaca dan menulis. Ceritanya ia mencari ilmu disuatu pondok dan mendapat istri dari anak kiai tersebut. Mushafnya banyak yaitu sekitar 9 mushaf, ada yang di Jawa, di Sumatra, dan ada yang diberikan, ada pula yang ditukar dengan uang sebagai ongkos mencari ilmu tadi. Saya mendapat mushaf yaitu pada awal pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).”

Baca juga: Mushaf Sultan Ternate; Pernah Dianggap Tertua di Nusantara dengan Dua Kolofon Berbeda

Wawancara tersebut semakin mena’kidkan bahwa mushaf tersebut tidak hanya satu yang beredar melainkan terdapat 9 mushaf yang sama dan itu disengaja diproduksi dengan tujuan komersial. Pak Kiai Ahmadi mengaku memperoleh mushaf tersebut di era pemerintahan SBY (2004). Beliau juga menuturkan bahwa pembuatan mushaf tersevut adalah sejak awal pemerintahan Suharto. Berikut penuturannya,

Artinya: “Saking mrika nipun pemerintahan Soeharto, yang membuat masih remajaremajanya masih kentheng, di pesantren, Pak yai Thoyyib dari Jawa timur ceritane niku dulu kala orang musafir ngudi bidang diagama di Jawa Timur. Jawa Timurnya mana yo mbk, aku kurang jelas, beliau sampun sedo, terus nek wong kali jowo penurunya saja ceritane nganu og mbak waktu masih  pesantrennya sudah nggak ada ya penurunnya sekarang mungkin murid-murid seperti kita, seperti saya anggap seperti saya.”

Artinya: “Dari sananya yaitu pada pemerintahan Soeharto, yang membuat kerika masih remaja, masih sehat-sehatnya, membuatnya di pesantren, pak kiai Thoyyib dari Jawa Timur, Jawa Timurnya mana ya mbak, aku kurang jelas, beliau sudah meninggal. Kemudian kata penurunnya yaitu waktu beliau masih ada pesantrennya sudah tidak ada penurunnya, sekarang bisa jadi penurunnya adalah murid-murid seperti kita, saya anggap seperti saya.”

Kiai Ahmadi hanya memberikan keterangan bahwa dari pemberi pertama yakni sejak pada era pemerintahan Soeharto. Beliau mengatakan bahwa penulis mushaf ini adalah Kiai Thoyyib asal Jawa Timur. Kiai Thoyyib sudah meninggal, begitu pula tidak ada generasi yang melanjutkan tongkat estafetnya.

Dengan demikian, pada aspek penanggalan meskipun tidak terdapat informasi internal seperti penyebutan penulis maupun kepemilikannya, akan tetapi dapat dipastikan melalui bukti eksternal (wawancara dan uji sejarah dengan mengkomparasikan teknik penulisan), diperkirakan usia mushaf ini adalah 40 hingga 50 tahunan.

Identias Manuskrip Mushaf Al-Quran Daun Lontar

Mushaf ini berukuran 50 x 40 x 6 cm, dengan rincian panjang lebar halaman secara full 50 cm dan lebar 40 cm. Sedangkan ukuran panjang dan lebar halaman yang digunakan untuk menulis adalah panjang 50 cm dan lebar 37 cm. Adapun ukuran yang tidak digunakan untuk menulis berukuran panjang 50 cm dan lebar 40 cm. Setidaknya ada 3 halaman yang tidak digunakan untuk menulis yaitu 1 halaman kosong pada lembaran awal, dan 2 halaman kosong pada lembaran paling akhir.

Mushaf ini disalin di atas daun lontar yang pada satu halamannya terdiri dari 16 daun lontar, di mana satu daun lontar memuat 3 baris sehingga 3 x 16 = 48. Jadi dalam satu naskah membutuhkan 48 baris pada setiap halamannya. Pengecualian untuk surat al-Fatihah dan awal surat al-Baqarah, hanya terdiri dari 8 baris plus nama suratnya.

Nama surat ditulis ditepi bagian kanan, kecuali Surat Al-Fatihah dan Al-Baqarah ditulis di tepi atas. Sampulnya terbuat dari pohon palem, mushaf ini tidak beriluminasi dan pada halaman awal menyisakan bagian kosong. Ditulis dengan tinta hitam, dan berbahasa Arab karena manuskrip ini adalah mushaf Al-Quran lengkap 30 juz. Terdapat dua kuras pada setiap halamannya, jika ditotal maka keseluruhannya terdapat 74 kuras.

Baca juga: Tayyar Altikulac: Filolog Muslim Pengkaji Manuskrip Al-Qur’an Kuno

Penomorannya menggunakan angka Arab diletakkan di setiap lembar bagian kiri dan tidak bolak balik, dimulai dari angka dua pada lembar daun ketiga, total jumlah keseluruhan halaman ada 39 halaman. Mengutip dari Manuskrip Mushaf Al-Quran Daun Lontar Koleksi Kiai Abdurrochim (Kajian Pemakaian Rasm dan Qiraat), kondisi manuskrip ini kurang baik, jilidnya sudah renggang dan terdapat tulisan yang memudar.

Bahkan Surat Al-Anfal ditulis dua kali hal ini bisa jadi disengaja atau bisa juga penulis mushaf lalai sehingga mengalami redundan (ganda) pada mushaf. Kelalaian tersebut bisa jadi tergesa-gesa dalam menulisnya mengingat ketika wawancara penulis kepada pemilik mushaf bahwasannya mushaf tersebut sebenarnya ada 5 mushaf dan salah satunya sudah diperjualbelikan.

Mushaf ini juga tidak ada kolofon sehingga tidak terdapat informasi internal terkait penyalin dan tahun penyalinannya. Pada akhir halaman termaktub doa khotmil Al-Quran. Demikianlah perkenalan kita kepada manuskrip mushaf Al-Quran koleksi Kiai Abdurrochim dari Grobogan, Jawa Tengah. Wallahu A’lam.

Tafsir Surat Al A’raf ayat 18-23

0
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102

Setelah membahas Iblis yang membangkang perintah Allah, pada tafsir surat Al A’raf ayat 18-23 ini diterangkan sekali lagi laknat Allah terhadap Iblis. Setelah Iblis keluar dari surga Allah memerintahkan Adam dan istrinya (Hawa) untuk menempati surga dengan membebaskan mereka untuk makan apa saja kecuali buah yang berasal dari satu pohon. Dalam tafsir surat Al A’raf ayat 18-23 ini akan menceritakan lebih jauh perihal kejadian Adam dan Hawa ketika digoda oleh Iblis sehingga mereka juga diturunkan ke bumi.


Baca juga: Tafsir Surat Al A’raf ayat 12-17


Ayat 18

Ayat ini menerangkan sekali lagi, tentang laknat Allah terhadap Iblis dan mengusirnya keluar dari surga dalam keadaan hina dan terkutuk. Barang siapa dari anak cucu Adam terpengaruh oleh Iblis dan mereka mengikuti kemauannya, menempuh jalan sesat, menyeleweng dari akidah tauhid kepada kepercayaan syirik, mereka akan dimasukkan-Nya bersama Iblis ke dalam neraka. Firman Allah:

قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَاُغْوِيَنَّهُمْ اَجْمَعِيْنَۙ  ٨٢  اِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِيْنَ  ٨٣

(Iblis) menjawab, ”Demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih di antara mereka.” (Shad/38: 82-83)

Ayat 19

Ayat ini menerangkan bahwa setelah Allah memerintahkan Iblis keluar dari surga karena keangkuhan dan kesombongannya, maka Dia menyuruh Adam agar menempati surga bersama istrinya Siti Hawa, dan membolehkan mereka makan segala yang ada di dalamnya dengan sepuas-puasnya kecuali satu pohon tertentu di dalamnya. Apabila mereka melanggar larangan itu, maka mereka berarti zalim karena telah melakukan pelanggaran.

Ayat 20

Ketika Iblis mengetahui dan melihat kebebasan yang diberikan kepada Adam dan istrinya begitu luas di dalam surga, dan kesenangan yang begitu banyak ia merasa tidak senang dan timbul rasa dengki dan bencinya. Mulailah dia berupaya untuk menipu Adam dan isterinya, agar kebebasan dan kesenangan yang diberikan Allah kepada Adam dan istrinya di dalam surga hilang dan lepas dari padanya. Akhirnya dia menemukan suatu cara, lalu dibisikkannya ke telinga keduanya: “Wahai Adam, tahukah kamu kenapa Allah melarang kamu bedua mendekati pohon itu dan makan buahnya? Sebenarnya larangan itu dimaksudkan agar kamu berdua tidak seperti malaikat yang mempunyai kelebihan dibanding dengan makhluk yang lain seperti kekuatan hidup sepanjang masa, tidak mati dan sebagainya, dan agar kamu tidak tetap dan tinggal di surga secara bebas dan bersenang-senang dengan sepuas hatimu. Jadi kalau kamu berdua ingin menjadi seperti malaikat dan tetap diam di surga ini dengan senang dan tenang disertai dengan kebebasan yang penuh, maka makanlah buah pohon yang dilarang kamu mendekatinya itu”.

Ayat 21

Untuk menguatkan bisikan jahat dan tipu dayanya itu dia bersumpah kepada Adam dan Hawa, bahwa dia sebenarnya adalah pemberi nasihat yang benar-benar menginginkan kebahagiaan keduanya dan apa yang dinasihatkannya itu adalah benar. Perlu diingat bahwa Al-Qur′an tidak menyebut nama istri Adam itu.

Ayat 22

Iblis menunjukkan kesungguhannya, sehingga Adam tidak melihat sedikit pun sesuatu yang mencurigakan. Apa yang dikemukakan Iblis dan dianjurkannya itu adalah bohong atau tipu daya belaka, maka keduanya terpengaruh dengan bujukan Iblis penipu itu, lalu mereka makan buah pohon yang dilarang oleh Allah untuk mendekatinya. Lalu keduanya lupa sama sekali akan kedudukan mereka dan larangan Allah kepada mereka, sebagaimana firman Allah:

وَلَقَدْ عَهِدْنَآ اِلٰٓى اٰدَمَ مِنْ قَبْلُ فَنَسِيَ وَلَمْ نَجِدْ لَهٗ عَزْمًا

Dan sungguh telah Kami pesankan kepada Adam dahulu, tetapi dia lupa, dan Kami tidak dapati kemauan yang kuat padanya. (Thaha/20: 115)

Al-Qur’an tidak menyebutkan siapa yang terlebih dahulu makan buah larangan itu, apakah Adam atau Hawa. Untuk itu pencarian informasi tentang hal ini tidaklah penting.

Setelah kejadian tersebut, Allah mencela Adam karena tidak mengindahkan larangan-Nya dan tidak mematuhi-Nya, sehingga ia teperdaya dan menuruti bujukan Iblis penipu itu. Lalu Allah memperingatkannya, “Bukankah Aku telah melarang kamu berdua mendekati pohon itu dan makan buahnya, dan Aku telah menandaskan kepadamu bahwa setan itu adalah musuhmu yang nyata, apabila kamu menuruti kemauan dan kehendaknya, Aku akan mengeluarkan kamu dari kehidupan yang lapang, senang dan bahagia kepada kehidupan yang penuh kesulitan, penderitaan dan kesusahan.” Sejalan dengan hal tersebut, Allah berfirman:

فَقُلْنَا يٰٓاٰدَمُ اِنَّ هٰذَا عَدُوٌّ لَّكَ وَلِزَوْجِكَ فَلَا يُخْرِجَنَّكُمَا مِنَ الْجَنَّةِ فَتَشْقٰى

Kemudian Kami berfirman, ”Wahai Adam! Sungguh ini (Iblis) musuh bagimu dan bagi istrimu, maka sekali-kali jangan sampai dia mengeluarkan kamu berdua dari surga, nanti kamu celaka.”  (Thaha/20: 117)

Ayat 23

Setelah Adam dan istrinya menyadari kesalahan yang diperbuatnya, yaitu menuruti ajakan setan dan meninggalkan perintah Allah, dia segera bertobat, menyesali perbuatannya. Allah mengajarkan kepada keduanya doa untuk memohon ampun. Kemudian dengan segala kerendahan hati dan penuh khusyuk, mereka pun berdoa.

قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَآ اَنْفُسَنَا وَاِنْ لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ

Keduanya berkata, ”Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi.”  (al-A’raf/7: 23)

Berkat ucapan doa yang benar-benar keluar dari lubuk hatinya dengan penuh kesadaran disertai keikhlasan, maka Allah memperkenankan doanya, mengampuni dosanya dan melimpahkan rahmat kepadanya. Firman Allah:

فَتَلَقّٰٓى اٰدَمُ مِنْ رَّبِّهٖ كَلِمٰتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ ۗ اِنَّهٗ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ

Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, lalu Dia pun menerima tobatnya. Sungguh, Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang. (al-Baqarah/2: 37).


Baca juga: Benarkah Nabi Adam AS Penghuni Pertama di Bumi?


(Tafsir Kemenag)

 

Tafsir Surat Al A’raf ayat 12-17

0
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102

Tafsir Surat Al A’raf ayat 12-17 menceritakan peristiwa dikeluarkannya Iblis dari surga sebab tidak melaksanakan perintah Allah SWT. Salah satu penyebab keluarnya Iblis dari surga adalah sikap sombong Iblis yang merasa dirinya lebih mulia dari Nabi Adam, manusia pertama yang Allah ciptakan, sehingga ketika Allah memerintahkan kepada semua makhluk untuk bersujud kepada Nabi Adam hanya Iblis yang menolak untuk melakukannya. Selengkapnya silahkan membaca tafsir surat al-a’raf ayat 12-17 di bawah ini.


Baca juga: Tafsir Surat al-A’raf Ayat 12: Congkak Bentuk Pembangkangan Iblis terhadap Allah


Ayat 12

Allah bertanya kepada Iblis, “Apakah gerangan yang menyebabkan kamu membangkang perintah kami, enggan sujud kepada Adam ketika Kami memerintahkan yang demikian itu? Dengan penuh kesombongan setan menjawab, “Saya tidak akan sujud kepada Adam untuk menghormatinya, karena saya lebih tinggi dan lebih mulia dari Adam, saya Engkau ciptakan dari api sedang Adam Engkau ciptakan dari tanah”. Iblis menganggap api itu lebih mulia dari tanah.

Ayat 13

Setelah Allah melihat tingkah laku Iblis yang menyombongkan diri, karena menganggap bahwa dia lebih mulia dari Adam a.s. yang menyebabkan dia durhaka dan membangkang dan tidak taat pada perintah-Nya, maka ia diperintahkan oleh Allah agar turun dari surga, tempat dia berada waktu itu, karena tempat itu adalah diperuntukkan bagi hamba-Nya yang ikhlas dan rendah hati dan bukanlah tempat untuk memperlihatkan keangkuhan dan kesombongan. Kemudian disusul dengan perintah agar dia keluar dari tempat itu, karena dia telah termasuk makhluk yang hina tidak sesuai dengan tempat yang mulia dan terhormat itu.

Ayat 14

Ketika Iblis mendengar perintah Allah itu agar ia turun dan keluar dari surga, maka Iblis minta dipanjangkan umurnya dan jangan dimatikan dahulu, begitu juga keturunannya sampai hari kebangkitan di hari kemudian, agar waktu yang cukup lama dan panjang itu dapat dipergunakan dengan sebaik-baiknya untuk menggoda dan menyesatkan Adam dan anak-cucunya selama hidup di dunia.

Ayat 15

Permintaan Iblis agar tetap hidup bersama keturunannya selama anak-cucu Adam masih ada di dunia diperkenankan Allah sampai pada tiupan sangkakala pertama saja, ketika semua penghuni bumi ini mati sekaligus, termasuk Iblis dan keturunannya, dan isinya hancur musnah. Pada tiupan sangkakala kedua, semua manusia akan hidup kembali dan bangkit dari kematian.

Firman Allah:

قَالَ رَبِّ فَاَنْظِرْنِيْٓ اِلٰى يَوْمِ يُبْعَثُوْنَ  ٧٩  قَالَ فَاِنَّكَ مِنَ الْمُنْظَرِيْنَۙ  ٨٠  اِلٰى يَوْمِ الْوَقْتِ الْمَعْلُوْمِ  ٨١ ;

(Iblis) berkata, ”Ya Tuhanku, tangguhkanlah aku sampai pada hari mereka dibangkitkan.”  (Allah) berfirman, ”Maka sesungguhnya kamu termasuk golongan yang diberi penangguhan, sampai pada hari yang telah ditentukan waktunya (hari Kiamat).” (Shad/38: 79-81)

Firman-Nya lagi:

وَنُفِخَ فِى الصُّوْرِ فَصَعِقَ مَنْ فِى السَّمٰوٰتِ وَمَنْ فِى الْاَرْضِ اِلَّا مَنْ شَاۤءَ اللّٰهُ ۗ ثُمَّ نُفِخَ فِيْهِ اُخْرٰى فَاِذَا هُمْ قِيَامٌ يَّنْظُرُوْنَ  ;

Dan sangkakala pun ditiup, maka matilah semua (makhluk) yang di langit dan di bumi kecuali mereka yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup sekali lagi (sangkakala itu) maka seketika itu mereka bangun (dari kuburnya) menunggu (keputusan Allah). (az-Zumar/39: 68)

Ayat 16

Ayat ini menerangkan ancaman Iblis kepada Adam dan anak-cucunya. Karena Allah telah menghukum Iblis akibat keangkuhan dan kesombongannya sendiri, maka ia bersumpah akan berusaha sekuat tenaga menghalangi anak-cucu Adam dari jalan yang lurus untuk menyesatkan mereka sebagaimana disebutkan dalam firman Allah:

قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَاُغْوِيَنَّهُمْ اَجْمَعِيْنَ

(Iblis) menjawab, ”Demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya”. (Shad/38: 82)

Iblis akan berusaha mencegah dan menghalang-halangi anak cucu Adam a.s. menempuh jalan yang lurus, jalan yang hak, jalan yang diridai Allah, jalan yang akan menyampaikan mereka kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.

Ayat 17

Iblis melihat bahwa sekedar menghalang-halangi anak-cucu Adam a.s. menempuh jalan yang lurus tidaklah cukup, karena itu dia akan mendatangi dan menyerbunya dari segala penjuru; dari depan dan dari belakang; dari arah kanan dan kiri, yang menurutnya ada kelemahan anak cucu Adam. Iblis yakin dengan strategi seperti itu banyak dari mereka yang akan tergoda, terpengaruh dan teperdaya sehingga iman yang ada di dada mereka menjadi lemah dan luntur, ajaran agama berangsur-angsur diragukan dan didustakan, hari Kiamat dan segala peristiwanya diingkari, amal-amal kebaikan ditinggalkan. Mereka tidak sanggup menguasai hawa nafsu, sebaliknya merekalah yang dikuasai oleh hawa nafsu, Allah memperingatkan dengan firman-Nya:

لَاَمْلَـَٔنَّ جَهَنَّمَ مِنْكَ وَمِمَّنْ تَبِعَكَ مِنْهُمْ اَجْمَعِيْنَ

“Sungguh, Aku akan memenuhi neraka Jahanam dengan kamu dan dengan orang-orang yang mengikutimu di antara mereka semuanya.” (Shad/38: 85)

Rencana dan target Iblis seperti tersebut di atas, benar-benar berhasil:

وَلَقَدْ صَدَّقَ عَلَيْهِمْ اِبْلِيْسُ ظَنَّهٗ فَاتَّبَعُوْهُ اِلَّا فَرِيْقًا مِّنَ الْمُؤْمِنِيْنَ

Dan sungguh, Iblis telah dapat meyakinkan terhadap mereka kebenaran sangkaannya mereka, lalu mereka mengikutinya, kecuali sebagian dari orang-orang mukmin. (Saba′/34: 20)


Baca Juga: Ketika Iblis Membangkang Sujud Kepada Adam


(Tafsir Kemenag)