BerandaTafsir TahliliTafsir Surah Al-Ahzab Ayat 50-51

Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 50-51

Sebelumnya telah dijelaskan tentang perceraian yang berlaku secara umum pada ayat-ayat yang lalu. Adapun pada Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 50-51 menjelaskan hukum pernikahan yang berlaku secara khusus diperuntukkan bagi Nabi Muhammad, tidak untuk kalangan Mukmin secara umum.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 47-49


Dijelaskan pula dalam Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 50-51 bahwa sebagaimana laki-laki yang berpoligami, maka wajib bagi sang suami untuk berlaku adil atas istri-istrinya. Hal ini pun berlaku pula untuk Nabi Muhammad, makanya Nabi memberikan contoh bagaimana berlaku adil kepada para istri, diantaranya dengan memahami karakter yang dimiliki istri tersebut.

Ayat 50

Pada ayat ini, Allah secara jelas telah menghalalkan bagi Nabi Muhammad mencampuri perempuan-perempuan yang dinikahi dan diberikan kepada mereka maskawin. Juga dihalalkan baginya hamba sahaya (jariyah) yang diperoleh dalam peperangan, seperti Sofiyah binti Huyai bin Akhtab yang diperoleh pada waktu perang Khaibar.

Oleh Nabi saw, Sofiyah dimerdekakan, dan kemerdekaan itu dijadikan maskawin. Begitu juga dengan Juwariyah binti al-Harist dari Bani Musthaliq yang dimerdekakan dan dinikahi Nabi saw. Adapun hamba sahaya (jariyah) yang dihadiahkan kepada Nabi adalah Raihanah binti Syam’un dan Mariah al-Qibthiyah yang melahirkan putra Nabi yang bernama Ibrahim.

Allah juga menghalalkan kepada Nabi untuk menikahi anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapaknya dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapaknya, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibunya, anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibunya yang turut hijrah bersama Rasulullah dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi saw kalau Nabi mau menikahinya.

Kelonggaran-kelonggaran ini hanya khusus bagi Nabi, dan tidak untuk semua mukmin, dengan pengertian bahwa jika ada seorang perempuan menyerahkan dirinya untuk dinikahi oleh seorang muslim, walaupun dengan sukarela, tetap wajib dibayar maskawinnya. Berlainan halnya jika perempuan itu menyerahkan dirinya untuk dinikahi oleh Nabi saw, maka ia boleh dinikahi tanpa maskawin.

Maskawin itu jika tidak disebutkan bentuk (nilainya) ketika melangsungkan akad nikah, maka bentuknya itu dapat ditetapkan dengan mahar mi£l, yaitu mahar yang nilainya sama dengan nilai mahar yang biasa diberikan keluarganya.

Ketetapan untuk membayar mahar mi£l itu setelah terjadi percampuran di antara keduanya atau setelah suaminya meninggal dunia tetapi belum sempat bercampur.

Jika terjadi perceraian antara suami-istri sebelum bercampur, maka yang wajib dibayar adalah separuh dari maskawinnya, yang telah ditentukan dan dapat dibebaskan dari membayar maskawin itu bila istrinya merelakannya.

Allah mengetahui apa yang telah diwajibkan kepada kaum mukminin terhadap istrinya dan terhadap hamba sahaya yang mereka miliki seperti syarat-syarat akad nikah dan lainnya, dan tidak boleh menikahi seorang perempuan dengan cara hibah atau tanpa saksi-saksi.

Mengenai hamba sahaya yang dibeli atau yang bukan dibeli haruslah hamba sahaya yang halal dicampuri oleh pemiliknya, seperti hamba sahaya ahli kitab, bukan hamba sahaya yang musyrik atau beragama Majusi. Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang terhadap hamba-Nya yang beriman, jika mereka bertobat dari dosa-dosa yang mereka perbuat sebelum mereka mendapat petunjuk.


Baca Juga : Meneladani Akhlak Nabi Muhammad saw di Akhir Bulan Maulid


Ayat 51

Pada ayat ini, Allah memberi kebebasan kepada Nabi Muhammad untuk menangguhkan siapa di antara istri-istrinya yang beliau kehendaki dan boleh pula menggauli siapa di antara mereka yang beliau kehendaki. Beliau juga diberi kebebasan untuk mengawini kembali istri-istrinya yang telah dicerai mengingat kemaslahatan bagi dirinya dan masyarakat.

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir ath-Thabai³ dari Abu Razin bahwa ketika diturunkan ayat yang menyuruh istri-istri Nabi saw untuk memilih antara tetap menjadi istri Nabi dengan keadaan sederhana tanpa kemewahan atau berpisah dari Nabi saw karena mengejar kesenangan hidup yang lebih sesuai dengan keinginan hawa nafsunya, maka timbullah rasa kekhawatiran pada istri-istri Nabi saw itu.

Mereka secara serentak menyatakan kerelaannya untuk tetap hidup bersama Nabi saw dalam keadaan bagaimanapun juga karena mereka lebih mengutamakan segi kehidupan agama daripada kesenangan duniawi.

Lalu Nabi menangguhkan menggauli beberapa istrinya atas permintaan mereka, seperti Ummu Habibah, Maimµnah, Saudah, Sofiyah, dan Juwariyah. Terhadap kelima istrinya ini, Nabi saw tidak mengatur giliran bermalam secara teratur.

Adapun terhadap istri-istrinya yang empat orang lagi yaitu Aisyah, Hafshah, Zainab dan Ummu Salamah beliau mengatur giliran untuk bermalam, serta mempersamakan pembagian pakaian dan makanan.

Kebebasan Nabi untuk mengatur giliran, makanan, pakaian, dan lain-lain sesuai dengan sifat adil Nabi dalam melaksanakan petunjuk Allah, sehingga tidak menimbulkan rasa cemburu dalam hati para istrinya. Mereka menerima dengan rela perlakuan Nabi.

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ يَزِيْدٍ اَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ يَقْسِمُ بَيْنَ نِسَائِهِ فَيَعْدِلُ. ثُمَّ يَقُوْلُ: اَللَّهُمَّ هَذاَ قِسْمِيْ فِيْمَا اَمْلِكُ فَلاَ تَلُمْنِى فِيْمَا تَمْلِكُ وَلاَ اَمْلِكُ. (رواه أحمد)

Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Yazid bahwa ‘Āisyah pernah berkata, “Adalah kebiasaan Nabi saw untuk membagi-bagi giliran di antara istri-istrinya dengan adil, kemudian Nabi saw berdoa, “Ya Allah, inilah pembagianku tentang apa yang aku kuasai (yaitu soal pembagian benda materi), maka janganlah Engkau mencercaku tentang apa-apa yang Engkau kuasai dan tidak aku kuasai (soal cinta).” (Riwayat Ahmad).

Hadis ini mengandung suatu anjuran supaya tetap memelihara kemurnian hati dan ancaman bagi mereka yang tidak berserah diri kepada ketentuan Allah dan Rasul-Nya.

Allah Maha Mengetahui tentang segala rahasia yang tersimpan di dalam hati, lagi Maha Penyantun, selalu memberi kesempatan untuk bertobat bagi mereka yang telah menyadari akan kesesatannya dan ingin kembali ke jalan yang lurus.;

 

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al Ahzab Ayat 52-53


 

Redaksi
Redaksihttp://tafsiralquran.id
Tafsir Al Quran | Referensi Tafsir di Indonesia
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

tafsir surah al-An'am ayat 116 dan standar kebenaran

Tafsir Surah Al-An’am Ayat 116 dan Standar Kebenaran

0
Mayoritas sering kali dianggap sebagai standar kebenaran dalam banyak aspek kehidupan. Namun, dalam konteks keagamaan, hal ini tidak selalu berlaku. Surah al-An'am ayat 116...