BerandaTafsir TahliliTafsir Surat Al A'raf ayat 128

Tafsir Surat Al A’raf ayat 128

Tafsir Surat Al A’raf ayat 128 berbicara mengenai ketegangan yang terjadi di kalangan Bani Israel. Suasana mencekam yang tengah terjadi di antara mereka, khsususnya terkait dengan konflik dengan Fir’aun.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al A’raf Ayat 126-127


Ayat 128

Dapat dimengerti, mendengar ancaman Fir’aun ini Bani Israil yang berdiam di Mesir pada masa tersebut merasa takut dan amat gelisah, ancaman ini terbukti kemudian, mereka diperlakukan sebagai budak. Di samping itu, setiap anak lelaki yang mereka lahirkan dibunuh oleh kaki tangan Fir’aun. Oleh sebab itu Nabi Musa as berkata kepada mereka: “Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah; sesungguhnya bumi ini kepunyaan Allah, diwariskan kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya, dan kesudahan yang baik adalah untuk orang-orang yang bertakwa”.

Nabi Musa menghibur dan menenteramkan kaumnya dengan mengingatkan kepada mereka kekuasaan Allah, bahwa Dialah yang memiliki dan menguasai bumi, dan segala apa yang terjadi di bumi ini adalah sesuai dengan Sunnah-Nya, yaitu setiap umat yang ingkar dan zalim pasti menemui kehancuran, dan setiap umat yang beriman dan bersabar tentu akan memperoleh pertolongan-Nya, sehingga memperoleh kemenangan dan kesudahan yang baik. Sebab itu hendaklah mereka memohon pertolongan kepada-Nya, disertai dengan kesabaran, keimanan, persatuan dan keberanian dalam membela kebenaran dan keadilan.

Ucapan Nabi Musa ini selain menimbulkan harapan tentang pertolongan Allah serta rahmat-Nya untuk membebaskan mereka dari kekejaman Fir’aun serta menjadikan Bani Israil sebagai penguasa di belakang hari di bagian bumi yang telah dijanjikan Tuhan kepada mereka, juga mengandung suatu peringatan yang sangat penting bagi kaumnya, yaitu apabila di belakang hari mereka menjadi penguasa, janganlah berbuat sewenang-wenang seperti Fir’aun dan para pembesarnya, karena Allah senantiasa mengawasi perbuatan dan tindak-tanduk dari setiap makhluk-Nya, oleh sebab itu, apabila mereka berkuasa dan melakukan kezaliman pula, pastilah Allah mendatangkan azab kepada mereka.

Ayat ini mengandung pelajaran yang sangat berharga, tentang sikap manusia pada waktu ia sedang menghadapi penderitaan tersebut, atau sebelum mereka memperoleh rahmat Allah, dan pada waktu setelah memperoleh rahmat tersebut. Sikap yang amat tercela ialah berkeluh kesah dan memohon pertolongan Allah pada waktu memperoleh kesusahan, dan kemudian mengingkari atau melupakan rahmat Allah setelah memperolehnya.

Sikap yang seharusnya dilakukan ialah sabar dan tawakal serta memohon pertolongan Allah pada waktu menghadapi kesukaran, dan mensyukuri rahmat Allah setelah memperoleh kebahagiaan. Mensyukuri rahmat Allah, tidak hanya dengan ucapan, melainkan yang terpenting ialah melaksanakan dengan perbuatan. Sebab itu, apabila seseorang memperoleh kekuasaan, kemudian kekuasaannya itu digunakan untuk berbuat kezaliman atau memperkaya diri sendiri atas kerugian orang lain, maka ini berarti bahwa ia tidak mensyukuri rahmat Allah yang diperolehnya, yaitu pangkat dan kekuasaan, dan karenanya telah sepatutnyalah bila Allah menimpakan azab kepadanya.


Baca juga: Bani Israil dan Ujian Kenikmatan yang Melalaikan


Ayat 129

Bani Israil mengeluh kepada Musa a.s, bahwa nasib mereka sama saja, baik sebelum kedatangan Musa a.s, untuk menyeru mereka kepada agama Allah dan melepaskan mereka dari perbudakan Fir’aun maupun sesudahnya. Mereka merasa tidak mendapat faedah dari kedatangan Nabi Musa as itu. Dahulu mereka diazab dan diperbudak oleh Fir’aun, anak-anak mereka dibunuh, mereka disuruh kerja paksa, sekarang pun demikian. Keluhan ini menunjukkan kekerdilan jiwa dan kelemahan daya juang dan tidak adanya kesabaran pada mereka.

Mendengar keluhan ini, maka Nabi Musa berkata, “Mudah-mudahan Allah membinasakan musuh kamu dan menjadikan kamu khalifah di bumi, maka Allah akan melihat bagaimana perbuatanmu,” maksudnya: meskipun yang terjadi demikian akan tetapi harapan bahwa Allah akan membinasakan musuh-musuhmu, dan menjadikan kamu berkuasa di bagian bumi yang telah dijanjikan Tuhanmu harus tetap ada.

Di dalam ucapan kepada kaumnya, Nabi Musa as memakai ungkapan “mudah-mudahan.” Ia memakai ungkapan tersebut untuk tidak memastikan datangnya pertolongan dan rahmat Allah kepada mereka. Sebab andaikata ia menggunakan ungkapan yang memastikan, boleh jadi umatnya akan mengabaikan kewajiban-kewajiban yang perlu mereka lakukan untuk memperoleh pertolongan Allah, karena pertolongan Allah kepada hamba-Nya tidaklah diberikan begitu saja, melainkan tergantung kepada usaha-usaha yang dilakukan umat yang bersangkutan, misalnya kesungguhan, disiplin, persatuan, dan sebagainya.

Ayat 130

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa cobaan yang ditimpakan kepada Fir’aun berupa musim kemarau yang panjang, yang mengakibatkan timbulnya kesulitan hidup bagi mereka, cobaan ini seharusnya menimbulkan keinsafan dalam hati mereka, bahwa kekuatan dan kekuasaan yang mereka miliki selama ini bukanlah merupakan kekuatan dan kekuasaan tertinggi, masih ada kekuatan dan kekuasan Allah Yang Kuasa mendatangkan azab yang tidak dapat mereka atasi. Jika ada kesadaran semacam itu dalam hati mereka tentu mereka akan mengubah sikap dan perbuatan mereka, terutama kepada Bani Israil. Di samping itu, mereka menerima seruan Nabi Musa serta meninggalkan keingkaran mereka terhadap Allah.

Azab yang diturunkan Allah kepada hamba-Nya senantiasa mengandung pelajaran dan pendidikan. Sebab, pada saat manusia menghadapi kesulitan dan kesukaran hidup, hatinya akan menjadi lembut, akan menghadapkan wajahnya kepada Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang untuk memohon pertolongan dan belas kasih-Nya. Di samping itu, ia juga akan berusaha memperbaiki tingkah lakunya dengan melakukan perbuatan yang diridai Allah. Akan tetapi, bila kesulitan dan kesukaran itu tidak mengubah sikap dan tingkah lakunya, dan tetap ingkar kepada Allah serta senantiasa berbuat kemaksiatan, maka mereka benar-benar orang yang merugi dan amat sesat karena kesulitan yang mereka hadapi tidak menimbulkan keinsafan dan kesadaran bagi mereka, bahkan sebaliknya menambah keingkaran dan kedurhakaan mereka terhadap Allah. Demikianlah keadaan Fir’aun dan para pengikutnya.

Ayat 131

Dalam ayat ini Allah menerangkan sifat dan tabiat Fir’aun dan pengikutnya,  bahwa pada saat mereka mengalami kemakmuran hidup, mereka mengatakan bahwa hal itu sudah sewajarnya, karena negeri mereka subur dan mereka pun rajin bekerja. Tidak terbayang dalam hati mereka bahwa semuanya itu adalah rahmat dari Allah yang patut mereka syukuri.  Sebaliknya, apabila mereka mengalami bahaya kekeringan, kelaparan, penyakit, mereka lalu melemparkan kesalahan dan umpatan kepada Nabi Musa. Mereka katakan bahwa semua malapetaka itu disebabkan kesalahan Nabi Musa dan kaumnya. Mereka lupa kepada kejahatan dan kezaliman yang mereka perbuat terhadap kaum Nabi Musa, karena mereka menganggap bahwa perbudakan dan perbuatan kejam yang mereka lakukan terhadap Bani Israil itu adalah wajar dan merupakan hak mereka sebagai bangsa yang berkuasa. Itu adalah gambaran yang paling jelas tentang sikap dan tabiat kaum imperialis sepanjang masa.

Pada akhir ayat ini Allah menegaskan bahwa cobaan yang menimpa diri orang-orang kafir itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahuinya. Maksudnya ialah bahwa semua kebaikan yang mereka peroleh, dan segala cobaan yang mereka hadapi, semua itu sudah merupakan qa«a dan qadar yang telah ditetapkan Allah, sesuai dengan sunnah-Nya yang berlaku bagi semua makhluknya, yaitu sesuai dengan sebab dan akibat, sehingga apa-apa yang terjadi pada manusia adalah merupakan akibat belaka dari sikap, perbuatan dan tingkah lakunya. Akan tetapi, kebanyakan mereka tidak mau menginsafinya. Mereka tetap berada dalam kekufuran dan kezaliman.

Ayat 132

Pada ayat ini dijelaskan keingkaran mereka walaupun Nabi Musa telah memberikan berbagai keterangan dan bukti yang jelas tentang kerasulannya. Mereka berkata kepada Nabi Musa: “Bagaimana pun kamu telah mendatangkan berbagai keterangan itu, namun kami sekali-kali tidak akan beriman kepada kamu.”

Semua keterangan-keterangan yang telah dikemukakan Nabi Musa kepada mereka yang membuktikan kerasulannya, mereka anggap sebagai sihir untuk mempengaruhi mereka, agar meninggalkan agama nenek moyang mereka. Kemudian mereka menegaskan bahwa mereka sekali-kali tidak akan membenarkan semua keterangan dan bukti-bukti tersebut. Ini berarti bahwa mereka tidak akan menerima agama Allah yang disampaikan kepada Nabi Musa untuk mereka semuanya. Tetapi mereka tetap melakukan kezaliman terhadap Bani Israil dan Nabi Musa.

Redaksi
Redaksihttp://tafsiralquran.id
Tafsir Al Quran | Referensi Tafsir di Indonesia
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Mengenal Aquran dan Terjemahnya dalam Bahasa Banjar: Metode dan Perkembangannya

0
Kini, penerjemahan Alquran tidak hanya ditujukan untuk masyarakat Muslim secara nasional, melainkan juga secara lokal salah satunya yakni Alquran dan Terjemahnya dalam Bahasa Banjar....