Beranda blog Halaman 165

Tafsir Surah Fussilat Ayat 49

0
Tafsir Surah Fussilat
Tafsir Surah Fussilat

Tafsir Surah Fussilat Ayat 49 berbicara mengenai salah satu sifat dasar manusia, yakni tamak. Salah satunya tamak dalam harta, jabatan maupun keturunan.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Fussilat Ayat 47-48


Ayat 49

Ayat ini menerangkan keinginan-keinginan manusia untuk mencapai hal-hal yang menyangkut kepentingan dirinya. Sebagian besar manusia adalah orang-orang yang tamak, suka mencari harta dan mencari kesenangan untuk dirinya sendiri.

Mereka menginginkan harta dan kekuasaan, karena menurut mereka dengan harta dan kekuasaan itu semua cita-cita dan keinginannya akan tercapai. Mereka ingin keturunan, karena dengan keturunan itu mereka dapat mewariskan semua harta yang mereka peroleh dan akan selalu ada orang yang mengenang jasa dan keberhasilan mereka selama hidup di dunia.

Mereka ingin memperoleh harta benda dunia sebanyak-banyaknya, karena itu mereka berlomba-lomba mencapainya, seakan-akan hidup dan kehidupan mereka dihabiskan untuk itu.

Dalam ayat ini, yang selalu diinginkan dan dicari manusia itu disebut “khair” (kebaikan). Disebut “khair” karena yang diinginkan manusia itu adalah kebaikan yang merupakan rahmat dan karunia Allah. Rahmat dan karunia Allah itu mereka jadikan tujuan yang harus dicapai dalam hidup dan kehidupan mereka di dunia ini, bukan sebagai alat atau jalan yang dapat mereka pergunakan untuk mencapai sesuatu yang lebih mulia dan lebih tinggi nilainya, sehingga rahmat dan karunia Allah yang semula adalah baik, mereka jadikan sumber bencana dan malapetaka karena hawa nafsu mereka yang dapat menimpa diri mereka sendiri atau orang lain.

Maksud “mencari kebaikan” dalam ayat ini ialah menginginkan, berusaha, mencari, menuntut dan menjadikan kebaikan itu sebagai alat dan jalan mencapai tujuan hidup di dunia dan akhirat, bukan untuk mencari kebaikan agar kebaikan itu dapat dijadikan alat dan jalan mencapai tujuan yang diinginkan hawa nafsu.

Mencari kebaikan untuk memenuhi keinginan hawa nafsu dapat menimbulkan malapetaka bagi yang mencarinya. Tetapi, jika mencari kebaikan itu tujuannya agar kebaikan itu dapat dijadikan alat dan jalan untuk mencari keridaan Allah, maka mencari kebaikan yang demikian dianjurkan oleh agama Islam.

Misalnya, seseorang berusaha mencari harta yang halal agar dengan harta itu ia dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai hamba Allah, seperti memberi nafkah keluarganya, berinfak di jalan Allah, menolong fakir miskin, dan sebagainya.

Demikian pula, orang yang ingin mencari pangkat dan kekuasaan, ia boleh mencarinya dengan maksud menegakkan keadilan, menegakkan hukum-hukum Allah, dan menolong orang-orang yang sengsara. Usaha yang demikian adalah usaha yang terpuji dan diridai Allah.

Jadi, mencari kebaikan itu pada hakikatnya baik jika kebaikan yang diperoleh itu dijadikan alat dan jalan untuk mencari keridaan Allah. Tetapi, mencari kebaikan itu akan merusak jika kebaikan itu digunakan untuk memenuhi hawa nafsu.

Sifat manusia yang lain ialah jika kebaikan yang dicari itu tidak diperolehnya atau mereka ditimpa suatu musibah, maka mereka menjadi putus asa, seakan-akan tidak ada harapan lagi bagi mereka, tidak ada lagi bumi tempat berpijak dan tidak ada lagi langit tempat berteduh, semua yang mereka inginkan itu seakan-akan sirna.


Baca juga: Kajian Kata Mukjizat dalam Al-Quran dan Aspek Kemukjizatan Al-Quran


Dalam keadaan yang demikian, mereka menjadi berputus asa dari rahmat Allah dan berprasangka buruk terhadap Allah seakan-akan Allah tidak mempunyai sifat kasih sayang dan bukan Maha Pemberi rahmat kepada hamba-hamba-Nya.

Sifat-sifat yang diterangkan oleh ayat ini adalah sifat orang yang tidak beriman dan tidak memurnikan ketaatan dan kepatuhannya kepada Allah. Mereka masih percaya kepada adanya kekuatan-kekuatan lain yang dapat menolong mereka selain dari kekuatan Allah.

Seakan-akan mereka tidak percaya akan adanya rahmat dan karunia-Nya dan tidak percaya adanya kehidupan yang sebenarnya, yaitu kehidupan akhirat.

 Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah adalah orang-orang yang tunduk dan patuh kepada-Nya, merasakan keagungan dan kebesaran-Nya dan merasa dirinya bergantung kepada rahmat dan karunia-Nya. Mereka percaya akan adanya kehidupan yang hakiki yaitu kehidupan di akhirat, dan mereka percaya bahwa kehidupan dunia hanya bersifat sementara.

Karenanya mereka berusaha dan bekerja semata-mata untuk mencari keridaan-Nya. Mereka juga percaya bahwa Allah selain menguji hamba-hamba-Nya yang beriman dan ujian itu selalu diberikan dalam bermacam-macam bentuk, ada yang berupa kesengsaraan dan penderitaan, dan ada pula yang berbentuk kesenangan dan kekayaan.

Apa pun wujud ujian dan cobaan itu, dihadapinya dengan sabar dan tawakal. Jika mereka memperoleh kebaikan dan harta, ia bergembira dan bersyukur kepada-Nya dan jika ditimpa musibah, mereka tetap sabar dan tabah, bahkan semakin mendekatkan diri kepada-Nya.

Mereka tetap mengharapkan rahmat dan karunia Allah karena benar-benar yakin akan sifat kasih sayang Allah yang melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada setiap hamba yang beriman kepada-Nya. Allah swt berfirman:

يٰبَنِيَّ اذْهَبُوْا فَتَحَسَّسُوْا مِنْ يُّوْسُفَ وَاَخِيْهِ وَلَا تَا۟يْـَٔسُوْا مِنْ رَّوْحِ اللّٰهِ ۗاِنَّهٗ لَا يَا۟يْـَٔسُ مِنْ رَّوْحِ اللّٰهِ اِلَّا الْقَوْمُ الْكٰفِرُوْنَ

Wahai anak-anakku! Pergilah kamu, carilah (berita) tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya yang berputus asa dari rahmat Allah hanyalah orang-orang yang kafir.” (Yµsuf/12: 87)


Baca setelahnya: Tafsir Surah Fussilat Ayat 50


(Tafsir Kemenag)

 

Tafsir Surah Fussilat Ayat 47-48

0
Tafsir Surah Fussilat
Tafsir Surah Fussilat

Tafsir Surah Fussilat Ayat 47-48 berbicara mengenai dua hal. Pertama mengenai hari kiamat. Kedua berbicara mengenai salah satu keadaan ketika hari kiamat datang.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Fussilat Ayat 45-46


Ayat 47

Pada ayat ini Allah menerangkan bahwa ilmu tentang hari Kiamat, waktu dan bagaimana peristiwanya hanya diketahui Allah. Demikian pula peristiwa-peristiwa gaib yang lain seperti keluarnya buah-buahan dengan baik atau rusak dari kelopaknya, dan janin yang dikandung oleh para ibu, apakah akan lahir dengan normal atau cacat anggota tubuhnya, semua itu hanya diketahui oleh Allah secara pasti.

Beberapa hal memang ada yang diketahui oleh manusia seperti bulan apa buah-buahan akan masak, kapan kira-kira bayi akan lahir, tetapi pengetahuan itu masih sangat sederhana, tidak serinci pengetahuan Allah dan tidak selengkap pernyataan-Nya.

Pada ayat lain Allah menegaskan bahwa hanya Dialah yang mengetahui dengan tepat hari Kiamat itu. Allah berfirman:

يَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ السَّاعَةِ اَيَّانَ مُرْسٰىهَاۗ قُلْ اِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ رَبِّيْۚ  لَا يُجَلِّيْهَا لِوَقْتِهَآ اِلَّا هُوَۘ

Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang Kiamat, “Kapan terjadi?” Katakanlah, “Sesungguhnya pengetahuan tentang Kiamat itu ada pada Tuhanku; tidak ada (seorang pun) yang dapat menjelaskan waktu terjadinya selain Dia.” (al-A’raf/7: 187)

Nabi Muhammad saw sendiri dalam hadis yang diriwayatkan dari Umar bin Khattab ketika beliau ditanya malaikat Jibril tentang kapan hari Kiamat, beliau menjawab:

(مَاالْمَسْئُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ. (رواه مسلم عن عمر بن الخطاب

Orang yang ditanya tidak lebih tahu daripada yang bertanya. (Riwayat Muslim dari ‘Umar bin al-Khattab)

Dalam perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini memang banyak hal-hal baru yang diketahui manusia seperti waktu musim berbuahnya beberapa macam buah-buahan, kondisi tentang janin dalam kandungan seperti jenis kelamin, kesehatan, dan kapan waktu janin akan lahir. Tetapi pengetahuan manusia ini masih sedikit sekali dibanding pengetahuan Allah dan masih bersifat perkiraan sehingga tidak pasti. Berbeda dengan pengetahuan Allah yang rinci dan pasti. Firman Allah swt:

اَللّٰهُ يَعْلَمُ مَا تَحْمِلُ كُلُّ اُنْثٰى وَمَا تَغِيْضُ الْاَرْحَامُ وَمَا تَزْدَادُ ۗوَكُلُّ شَيْءٍ عِنْدَهٗ بِمِقْدَارٍ   ٨  عٰلِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ الْكَبِيْرُ الْمُتَعَالِ

Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan, apa yang kurang sempurna dan apa yang bertambah dalam rahim. Dan segala sesuatu ada ukuran di sisi-Nya. (Allah) Yang mengetahui semua yang gaib dan yang nyata; Yang Mahabesar, Mahatinggi. (ar-Ra’d/13: 8-9)

Di atas telah diterangkan bahwa hanya Allah yang mengetahui tentang hari Kiamat dan kapan terjadinya. Dia mengetahui semua wanita yang hamil dan yang melahirkan anak. Dari keterangan ini dapat dipahami bahwa pengetahuan Allah itu ada yang mustahil diketahui oleh manusia dan ada yang mungkin diketahuinya bila Dia memberikan izin-Nya kepada manusia.

Tentu saja hal ini ada hikmah dan tujuannya, tetapi hanyalah Allah yang mengetahui dengan pasti hakikat dari hikmah dan tujuannya itu. Sekalipun manusia diberikan sebagian pengetahuan Allah, namun sifat dan bentuk pengetahuan itu tidak sama dan berbeda pada setiap orang.

Allah mengetahui kandungan semua perempuan yang sedang hamil dan yang melahirkan. Pengetahuan Allah tentang perempuan yang mengandung dan yang melahirkan adalah pengetahuan yang lengkap dan pasti, menyeluruh sampai kepada yang sekecil-kecilnya. Pengetahuan itu ada hubungannya dengan proses kejadian alam seluruhnya, dari dahulu sampai sekarang dan sampai kepada masa yang akan datang.

Lain halnya dengan pengetahuan seorang dokter ahli kandungan terhadap kandungan seorang perempuan. Ia hanya mengetahui secara umum saja, tidak secara rinci. Bahkan pengetahuannya itu terbatas dan bersifat dugaan semata, bukan pengetahuan yang pasti karena pengetahuan yang pasti dan menyeluruh itu hanya pada Allah.

Selanjutnya Allah menerangkan peristiwa yang akan dialami oleh orang-orang musyrik pada hari Kiamat. Pada hari itu Allah akan menanyakan kepada mereka secara tegas dan jelas serta meminta pertanggungjawaban mereka tentang sekutu-sekutu-Nya yang mereka sembah di dunia; di mana mereka berada sekarang, mengapa mereka tidak bersama-sama dengan berhala-berhala itu. Akhirnya orang-orang musyrik itu menjawab dengan jawaban yang tegas, “Wahai Tuhan kami, kami nyatakan kepada-Mu pada hari ini tidak seorang pun di antara kami yang mengakui bahwa Engkau mempunyai sekutu; hanya Engkau sajalah yang kami sembah, tidak ada yang lain.”

Firman Allah yang lain yang sama artinya dengan ayat ini:

;ثُمَّ لَمْ تَكُنْ فِتْنَتُهُمْ اِلَّآ اَنْ قَالُوْا وَاللّٰهِ رَبِّنَا مَا كُنَّا مُشْرِكِيْنَ

Kemudian tidaklah ada jawaban bohong mereka, kecuali mengatakan, “Demi Allah, ya Tuhan kami, tidaklah kami mempersekutukan Allah.” (al-An’am/6: 23)


Baca juga: Penafsiran Strukturalis Semiotik Surah Al-Kahfi: 5 Model Manusia


Ayat 487

Ayat ini menerangkan bahwa pada hari Kiamat orang-orang musyrik yang sesat itu tidak melihat adanya manfaat dari sesembahan yang mereka sembah di dunia dahulu, yaitu pada hari mereka merasakan tidak ada faedahnya semua yang telah mereka lakukan di dunia dahulu.

Tidak ada seorang pun yang dapat menghindarkan mereka dari azab Allah. Ketika itu barulah mereka yakin akan keesaan dan kekuasaan Allah dan mereka juga yakin bahwa tidak ada satu jalan keluar pun untuk menghindarkan diri dari azab Allah itu.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Fussilat Ayat 49


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Fussilat Ayat 45-46

0
Tafsir Surah Fussilat
Tafsir Surah Fussilat

Tafsir Surah Fussilat Ayat 45-46 berbicara mengenai dua hal. Pertama mengenai perintah Allah agar Nabi Muhammad tidak terlalu bersedih hati. Kedua berbicara mengenai balasan atas perbuatan manusia ketika di bumi.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Fussilat Ayat 44


Ayat 45

Selanjutnya Allah menyampaikan kepada Nabi Muhammad agar tidak menyusahkan diri karena orang-orang Mekah itu berselisih pendapat tentang Al-Qur’an. Hal yang seperti itu telah dilakukan pula oleh umat-umat yang dahulu terhadap rasul-rasul yang diutus kepada mereka.

Allah mengatakan bahwa Dia telah menurunkan Taurat kepada Musa, untuk disampaikan kepada Bani Israil. Mereka pun telah berselisih pendapat pula tentang Taurat itu. Ada yang membenarkan dan ada pula yang mendustakan. Ada yang beriman kepada Musa dan ada pula yang kafir kepadanya.

Oleh karena itu, Nabi Muhammad diperintahkan untuk tidak berputus asa dalam menyampaikan agama Allah, dan bersabar menghadapi tindakan orang-orang kafir itu. Nabi saw juga diperintahkan untuk mengikuti jejak para rasul yang menyampaikan agama-Nya.

Kemudian Allah menyampaikan bahwa orang-orang kafir itu tidak segera menerima azab karena perbuatannya itu, karena azab itu ditangguhkan pelaksanaannya sampai kepada waktu yang ditentukan. Hal itu adalah sesuai dengan ketetapan-Nya bahwa Dia menangguhkan azab bagi orang-orang kafir sampai hari Kiamat. Seandainya tidak ada ketetapan yang demikian itu, tentu telah diputuskan Allah perselisihan mereka dengan orang-orang yang beriman.

Allah berfirman:

بَلِ السَّاعَةُ مَوْعِدُهُمْ وَالسَّاعَةُ اَدْهٰى وَاَمَرُّ

Bahkan hari Kiamat itulah hari yang dijanjikan kepada mereka dan hari Kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit. (al-Qamar/54: 46)

Dan firman Allah:

وَلَا تَحْسَبَنَّ اللّٰهَ غَافِلًا عَمَّا يَعْمَلُ الظّٰلِمُوْنَ ەۗ اِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيْهِ الْاَبْصَارُ

Dan janganlah engkau mengira, bahwa Allah lengah dari apa yang di-perbuat oleh orang yang zalim. Sesungguhnya Allah menangguhkan mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak. (Ibrahim/14: 42)

Allah menerangkan bahwa sebab-sebab kehancuran dan azab yang menimpa orang-orang musyrik  adalah karena mereka sangat ragu-ragu dan bingung tentang Al-Qur’an. Karena bingung dan ragu, mereka mengingkarinya dan tidak mengindahkan dakwah Rasulullah.


Baca juga: Kedudukan Manusia Sebagai Khalifah Allah Swt di Muka Bumi


Ayat 46

 Pada akhir ayat surah ini, Allah menerangkan balasan yang akan diberikan terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukan manusia. Barang siapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dalam kehidupan dunia ini, melaksanakan perintah-perintah-Nya, dan menghentikan larangan-larangan-Nya, berarti ia telah berusaha berbuat kebaikan untuk dirinya sendiri dengan memperoleh pahala yang besar.

Barang siapa yang ingkar kepada Allah berarti ia telah berusaha berbuat keburukan untuk dirinya dengan memperoleh siksa yang sangat pedih di akhirat nanti. Seseorang dihukum sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukannya, mustahil Allah mengazab seseorang karena perbuatan orang lain.

Allah berfirman:

وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِّزْرَ اُخْرٰىۚ ثُمَّ اِلٰى رَبِّكُمْ مَّرْجِعُكُمْ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيْهِ تَخْتَلِفُوْنَ

Dan seseorang tidak akan memikul beban dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitahukan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan. (al-An’am/6: 164)


Baca setelahnya: Tafsir Surah Fussilat Ayat 47-48


(Tafsir Kemenag)

Memanfaatkan Nikmat Umur di Dunia dengan Banyak Beristighfar

0
Nikmat Umur
Nikmat Umur

Nikmat umur adalah pemberian Allah Swt kepada setiap makhluk. Bagi manusia, nikmat umur menjadi sesuatu yang menyenangkan apabila umur itu melalui tahap-tahap dan situasi yang menyenangkan. Sebaliknya umur menjadi sesuatu yang tidak menyenangkan apabila umur itu melalui masa-masa atau tahaptahap yang tidak menyenangkan.

Oleh sebab itu, orang ingin berumur panjang kalau umurnya itu memberikan ketenangan bagi dirinya, dan sebaliknya orang tidak ingin berumur panjang apabila umurnya itu tidak menyenangkan dan menguntungkan dia.

Setiap orang tidak akan dapat menentukan dan memastikan kapan umurnya itu berakhir. Karena yang mengetahui batas umur seseorang hanyalah Allah swt. Orang hanya dapat memastikan bahwa nikmat umur itu suatu saat pasti akan berakhir, dan kapan umur itu berakhir, tidak ada satupun yang tahu. Yang kita tahu hanyalah bahwa di antara manusia ada yang umurnya panjang dan ada pula yang umurnya pendek.

Baca Juga: Kedudukan Manusia Sebagai Khalifah Allah Swt di Muka Bumi

Islam mengajarkan bahwa agar selama hidupnya seseorang harus memanfaatkan umurnya itu dengan sebaik-baiknya. Umur bagi seseorang akan bermanfaat apabila seseorang mampu mengisi dan memnfaatkannya dengan hal-hal positif, sebaliknya umur itu menjadi laknat apabila tidak dimanfaatkannya dengan sebakik-baiknya. Dalam suatu hadisnya Nabi menyatakan:

خير الناس من طال عمره وحسن عمله وشر الناس من طال عمر وساء عمله.

Manusia terbaik adalah manusia yang umurnya panjang dan baik amalnya. Manusia yang paling buruk adalah manusia yang panjang umurnya, tetapi buruk/jahat amalnya.

Nikmat umur itu berkaitan dengan hidup. Seseorang yang umurnya panjang berarti hidupnya panjang, seseorang yang umurnya pendek berarti hidupnya pendek. Hidup yang dianugerahkan Allah kepada kita pada hakikatnya merupakan ujian. Orang diberi hidup berarti orang itu diberi ujian. Hidup yang diberikan Allah dimaksudkan untuk menguji siapa di antara manusia itu yang sanggup melakukan hal-hal yang terbaik yang sesuai dengan tuntunan agama, siapa di antara mereka yang sanggup melakukan perbuatan baik.

Hadis Rasulullah menyatakan:

قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِرَجُلٍ وَهُوَ يَعِظُهُ: ” اغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ: شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ، وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ، وَغِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ، وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ، وَحَيَاتِكَ قَبْلَ مَوْتِكَ “

Rasulullah Saw. telah memberi nasihat kepada seseorang: “Gunakanlah yang lima sebelum datang yang lima. Gunakan masa mudamu sebelum masa tuamu datang. Gunakan masa sehatmu sebelum masa sakitmu datang. Gunakan masa kayamu sebelum masa miskinmu datang. Gunakan waktu luangmu sebelum waktu sempitmu datang. Gunakan masa hidupmu sebelum masa matimu datang.” HR. al-Nasa’i.

Beristigfar atau memohon ampun kepada Allah atas segala yang telah lalu adalah perbuan terpuji. Keterpujian ini tidak hanya diperintahkan oleh Allah di dalam Al-Qur’an, tetpi juga di dalam hadis Rasulullah Saw. Allah memerintah manusia untuk beristigfar, di dalam QS. Ali Imran [3]: 135:

وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ

“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.”

Di dalam sebuah hadis Qudsi yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Dzarri, Allah swt menyatakan kepada Rasul-Nya untuk disampaikan kepada umat manusia untuk beristigfar. Allah berfirman: “Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharamkan kezaliman atas diri-Ku, dan Aku menjadikannya sesuatu yang diharamkan pula di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzalimi. Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya setiap kalian adalah sesat, kecuali yang Aku beri petunjuk kepadanya. Karena itu, mintalah petunjuk kepada-Ku, dan Aku pasti akan memberimu petunjuk.

Wahai hamba-hamba-Ku, setiap kalian akan lapar, kecuali orang yang aku berikan makanan kepadanya. Oleh sebab itu, mintalah makanan kepada-Ku, pasti Aku memberimu makanan. Wahai hamba-hamba-Ku, setiap kalian telanjang (tidak berpakaian), kecuali orang yang Aku berikan pakaian. Oleh sebab itu, mintalah kepada-Ku pakaian, pasti Aku akan memberikan kepadamu pakaian itu. Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya kalian semuanya melakukan kesalahan dan dosa pada malam dan siang hari dan Aku adalah yang mengampuni semua dosa kalian. Oleh sebab itu, mintalah ampun kepada-Ku, dan Aku pasti mengampunimu.

Baca Juga: Aspek Kedua Membentuk Pribadi Manusia Unggul: Beramal dan Berkarya

Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya kalian tidak akan dapat menyampaikan bahaya kepada-Ku sehingga kalian membahayakan Aku, dan kalian tidak akan dapat menyampaikan sesuatu yang bermanfaat bagi-Ku, sehingga kalian memberikan manfaat kepada-Ku. Wahai hamba-hamba-Ku, sekiranya manusia yang pertama dari kalian hingga manusia yang terakhir, baik manusia maupun jin merupakan manusia yang hatinya paling bertakwa, maka ketakwaan mereka tidak akan menambah kehebatan kerajaan-Ku sedikit pun juga.

Wahai hamba-hamba-Ku, sekiranya manusia yang pertama dari kalian hingga manusia yang terakhir, baik manusia maupun jin merupakan manusia yang hatinya paling jahat, maka kejahatan mereka tidak akan mengurangi kehebatan kerajaan-Ku sedikit pun juga. Wahai hamba-hamba-Ku, sekiranya manusia yang pertama dari kalian hingga manusia yang terakhir, baik manusia maupun jin, berdiri di atas sebuah tempat, lalu meminta kepada-Ku, lalu Aku memberikan kepadanya apa yang dimintanya, maka pemberian itu kepadanya tidak akan mengurangi apa yang ada di sisi-Ku, sebagaimana berkurangnya jarum yang dilemparkan masuk ke dalam laut.

Wahai hamba-hamba-Ku, demikianlah segala amal yang kalian lakukan, Aku akan menghitung dan mencatatnya bagi kalian, kemudian Aku akan membalasnya bagi kalian. Siapa yang memperoleh kebajikan maka pujilah Allah, dan siapa yang mendapatkan selainnya, maka janganlah ia mencela kecuali dirinya sendiri (HR Muslim).

Tafsir Surah Fussilat Ayat 44

0
Tafsir Surah Fussilat
Tafsir Surah Fussilat

Tafsir Surah Fussilat Ayat 44 berbicara mengenai jawaban dari sikap dan ucapan orang musyrik pada ayat sebelumnya. Di sini juga paparkan mengenai perintah untuk menjawab segala tuduhan yang dialamatkan kepada al-Qur’an.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Fussilat Ayat 42-43


Ayat 44

Ayat ini merupakan jawaban dari sikap dan ucapan orang-orang musyrik yang terdapat pada ayat-ayat yang sebelumnya. Kepada mereka disampaikan bahwa seandainya Allah menurunkan Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad dengan salah satu bahasa selain dari bahasa Arab, tentu orang-orang Quraisy Mekah akan berkata, “Mengapa Al-Qur’an tidak diturunkan dalam bahasa Arab?

Sehingga kami mudah memahami hukum-hukum dan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalamnya.” Padahal dulunya mereka berkata, “Apakah Al-Qur’an yang diturunkan itu berbahasa selain Arab, sedang rasul yang diutus itu berbahasa Arab.”

Allah memerintahkan agar Rasulullah menjawab pertanyaan orang-orang musyrik yang tidak mau percaya kepada Al-Qur’an itu dengan berkata kepada mereka, “Al-Qur’an ini bagi orang-orang yang percaya kepadanya, meyakini bahwa ia berasal dari Allah Yang Mahakuasa, dan percaya kepada rasul yang menyampaikannya, merupakan petunjuk ke jalan kebahagiaan, penawar hati, dan menghilangkan keragu-raguan. Ayat ini sejalan dengan firman Allah:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاۤءَتْكُمْ مَّوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَشِفَاۤءٌ لِّمَا فِى الصُّدُوْرِۙ وَهُدًى وَّرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِيْنَ

Wahai manusia! Sungguh, telah datang kepadamu pelajaran (Al-Qur’an) dari Tuhanmu, penyembuh bagi penyakit yang ada dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang yang beriman. (Yµnus/10: 57)


Baca juga: Kontekstualisasi Penggunaan Term Tijarah (Perniagaan) dalam Al-Qur’an


Orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, rasul-Nya, dan Al-Qur’an, pada telinga mereka ada sumbatan yang menutup pendengaran mereka dari mendengar ayat-ayat Al-Qur’an. Mereka buta sehingga tidak dapat melihat bukti-bukti kebesaran dan kekuasaan Allah dan tidak dapat menerima pelajaran yang disampaikan rasul.

Orang-orang yang tidak mendengar ayat-ayat Allah dan tidak dapat melihat bukti-bukti kebesaran dan kekuasaan-Nya diserupakan dengan orang yang diseru dari suatu tempat yang jauh, ia hanya dapat mendengar suara yang tidak jelas, sehingga ia tidak mengerti maksud suara itu.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Fussilat Ayat 45-46


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Fussilat Ayat 42-43

0
Tafsir Surah Fussilat
Tafsir Surah Fussilat

Tafsir Surah Fussilat Ayat 42-43 berbicara mengenai dua hal. Pertama mengenai keagungan al-Qur’an. Kedua berbicara mengenai hiburan kepada Nabi Muhammad SAW.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Fussilat Ayat 40-41


Ayat 42

Ayat ini menegaskan bahwa tidak ada sesuatu pun yang membatalkan ayat-ayat Al-Qur’an, walaupun itu kitab-kitab Allah yang terdahulu, seperti Taurat, Zabur, dan Injil, dan tidak satu pun kitab Allah yang datang setelah Al-Qur’an. Arti ini sesuai dengan pendapat Said bin Jubair dan al-Kalbi.

Pada akhir ayat ini diterangkan bahwa seluruh Al-Qur’an itu benar, tidak ada yang salah sedikit pun, karena Al-Qur’an berasal dari Allah, Tuhan semesta alam. Semua yang berasal dari Allah adalah benar belaka, tidak ada satu pun yang kurang, yang salah, atau tidak sempurna. Dia Mahabijaksana dan Maha Terpuji.


Baca juga: Tafsir Sosiologis Surah An-Nisa Ayat 34: Makna Alternatif Kata Rijal dan Nisa


Ayat 43

Ayat ini merupakan hiburan Allah bagi Nabi saw yang sedih karena sikap dan perbuatan orang-orang musyrik terhadap Al-Qur’an yang disampaikannya. Allah mengatakan bahwa sikap, tindakan, dan ucapan-ucapan yang dilakukan orang-orang musyrik yang mendustakan ayat-ayat Allah itu, sama dengan tindakan dan ucapan-ucapan yang disampaikan oleh umat-umat terdahulu kepada rasul-rasul mereka.

Walaupun demikian, mereka tetap bersabar dan tabah dalam menyampaikan risalahnya. Oleh karena itu, Nabi Muhammad juga diperintahkan untuk sabar dan tabah, sebagaimana rasul-rasul sebelumnya. Beliau juga diminta untuk tetap pada seruannya.

Ayat yang lain yang sama isinya dengan ayat ini ialah firman-Nya:

كَذٰلِكَ مَآ اَتَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ مِّنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا قَالُوْا سَاحِرٌ اَوْ مَجْنُوْنٌ

Demikianlah setiap kali seorang Rasul yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka, mereka (kaumnya) pasti mengatakan, “Dia itu pesihir atau orang gila.” (az-Zariyat/51: 52)

Sebagian ahli tafsir ada yang berpendapat bahwa maksud ayat ini adalah sesungguhnya yang disampaikan kepada Nabi Muhammad, seperti ajaran keesaan Allah, dan memurnikan ketaatan dan ketundukan hanya kepada-Nya, sama dengan yang pernah disampaikan kepada para rasul yang diutus sebelumnya.

Hal ini adalah wajar karena agama Allah itu mempunyai azas dan prinsip yang sama. Semuanya sama-sama menentukan dan memerintahkan untuk menghambakan diri hanya kepada Allah, sama-sama percaya kepada adanya hari kebangkitan, dan sebagainya.

Seandainya ada perbedaan, maka perbedaan itu bukanlah berhubungan dengan azas atau prinsip, tetapi hanyalah yang berhubungan dengan furµ‘ atau yang bukan prinsip. Hal ini perlu karena perbedaan keadaan, masa, dan tempat.

Penafsiran ini sesuai dengan firman Allah:

اِنَّآ اَوْحَيْنَآ اِلَيْكَ كَمَآ اَوْحَيْنَآ اِلٰى نُوْحٍ وَّالنَّبِيّٖنَ مِنْۢ بَعْدِهٖ

Sesungguhnya Kami mewahyukan kepadamu (Muhammad) sebagaimana Kami telah mewahyukan kepada Nuh dan nabi-nabi setelahnya… (an-Nisa’/4: 163)

Jika ayat ini dihubungkan dengan ayat-ayat yang sesudahnya, maka pendapat yang pertamalah yang lebih sesuai, karena pembicaraan ayat-ayat yang sesudahnya berhubungan dengan sikap orang-orang musyrik terhadap Al-Qur’an.

Tetapi jika dihubungkan dengan ayat-ayat sebelumnya, maka pendapat yang kedualah yang sesuai, karena pembicaraan berhubungan dengan Al-Qur’an, sebagai wahyu yang di dalamnya tidak terdapat kesalahan dan kekurangan. Dalam penafsiran, ayat ini dimasukkan ke dalam kelompok ayat-ayat sesudahnya.

Pada akhir ayat ini diterangkan kepada Nabi Muhammad bahwa Tuhannya adalah Tuhan Yang Maha Esa. Yang berhak disembah itu adalah juga Tuhan Yang Maha Pengampun kepada hamba-hamba-Nya yang mau bertobat, dan juga memberi siksaan yang sangat pedih kepada orang-orang kafir lagi sombong dan tidak mau bertobat.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Fussilat Ayat 44


(Tafsir Kemenag)

Mengenal Ijma’ Sebagai Sumber Hukum Islam Perspektif Para Mufasir

0
Ijma'
Ilustrasi Ijma'

Secara etimologi  ijma’ berarti  al-azmu wa at-ta’shim alal amri yang bermakna keinginan atau tekad atas sesuatu sebagaimana terdapat dalam Al Quran Surah yunus ayat 71:

وَٱتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ نُوحٍ إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِۦ يَٰقَوْمِ إِن كَانَ كَبُرَ عَلَيْكُم مَّقَامِى وَتَذْكِيرِى بِـَٔايَٰتِ ٱللَّهِ فَعَلَى ٱللَّهِ تَوَكَّلْتُ فَأَجْمِعُوٓا۟ أَمْرَكُمْ وَشُرَكَآءَكُمْ ثُمَّ لَا يَكُنْ أَمْرُكُمْ عَلَيْكُمْ غُمَّةً ثُمَّ ٱقْضُوٓا۟ إِلَىَّ وَلَا تُنظِرُونِ

“Dan bacakanIah kepada mereka berita penting tentang Nuh di waktu dia berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku (kepadamu) dengan ayat-ayat Allah, maka kepada Allah-lah aku bertawakal, karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku). Kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan, lalu lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku.”

Kata ijma’ dapat pula diartikan kesepakatan atas suatu perkara yang disepakati bersama, seperti perkataan ajma’a al-qaum ala kadza, (kaum itu bersepakat atas perkara ini). (Mahmud Muhammad al Thanthawi, Ushul Fiqh Al islami 202).  Sedangkan Secara Terminologi ijma’ berarti: kesepakatan para ulama pada suatu waktu tertentu dari Nabi Muhammad Shallahu Alaihi Wassalam atas suatu perkara yang berhubungan dengan agama. (Al Syaukani, Irsyad al-Fuhul 63).

Baca Juga: Mengenal Lima Hukum Taklifi dan Contohnya dalam Al-Quran

Menurut Hasbi Ash Shiddieqy  menjelaskan bahwa ijma adalah kesepakatan dan yang sepakat adalah semua mujtahid muslim  yang berlaku dalam suatu masa tertentu sesudah wafanya nabi (Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, 161)

Dasar Hukum Ijma’

Mayoritas Ulama’ bersepakat tentang keabsahan  ijma’ dengan berdasarakan beberapa sumber seperti dalam Al Qur’an Surah An nisa ayat 59

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Dalam ayat diatas Allah Ta’ala memerintahkan agar taat kepada ulul amri, yang dimaksud ulul amri adalah mereka yang menguasai urusan-urusan orang bayak serta orang yang ahli dibidangnya. Bisa diartikan Ulul amri dalam bidang hukum dan tata negara adalah pemerintah, sedangkan dalam urusan istinbath hukum syari’adalah para ulama’ hal ini didasarkan atas tafsiran Ibnu katsir yang menafsiri kalimat ulul amri sebagai golongan ulama’ (Ibnu Katsir, Tafsir al-Quranul Adzhim juz II 345)

Baca Juga: Mengenal Hukum Wadh’i dan Contohnya dalam Al-Qur’an

Ayat lain yang menjelaskan tentang kehujahan ijma’ juga terdapat dalam Surah An nisa ayat 115:

وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ ٱلْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِۦ جَهَنَّمَ ۖ وَسَآءَتْ مَصِيرًا

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”

Dalam Ayat ini , Allah Ta’ala mengancam orang-orang yang mengikuti jalan selain orang beriman dengan neraka jahanam. Al Amidi berkata bahwa ayat ini termasuk yang paling kuat dalam hal dasar hukum ijma’. (Al Ihkam Fi Ushul Ahkam hlm 258)

 Syarat  Terjadinya  Ijma’

Keputusan suatu hukum secara ijma’ (kesepakatan para ulama’) dapat terpenuhi apabila terdapat beberapa syarat yang terpenuhi

  1. Hendaknya para ulama’ mujtahid hadir hingga terjadi kesepakatan mereka atas hukum syara’ bagi permasalahan hukum yang sedang terjadi.
  2. Kesepakatan itu terjadi pada seluruh ulama mujtahid yang hidup pada zaman terjadinya ijma’ jika ada sebagian yang menyelisihi kesepakatan tersebut, meskipun jumlah mereka sedikit maka tidak disebut sebagai ijma’ karena kesepakatan tersebut terjadi tidak secara menyeluruh.
  3. Kriteria ulama mujtahid itu berasal dari umat nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassallam sebab mereka telah terjaga dari kesalahan ketika telah bersepakat.
  4. Ijma’ terjadi setelah wafatnya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassallam dan tidak berlaku kesepakatan para mujtahid semasa beliau masih hidup.
  5. Hukum yang disepakati itu merupakan hukum syar’i yaitu hukum wajib, sunnah, mubah, makruh, haram. (Mahmud Muhammad al Thanthawi, Ushul Fiqh Al islami 203-204)

Demikian penjelasan singkat menegnai keabsahan ijma’ sebagai sumber hukum menurut Al-Quran beserta beberapa syarat terjadinya ijma’. (Wallahu a’lam.)

3 Pendidikan Yang Harus Ditanamkan Sejak Dini Menurut Luqman al-Hakim

0
3 Pendidikan Yang Harus Ditanamkan Sejak Dini Menurut Luqman al-Hakim
Pendidikan Para Rasul

“Yang hilang dari kita adalah akhlak”, demikianlah kata Quraish Shihab dalam bukunya. Hari-hari ini kita merasakan betul betapa rendahnya akhlak peserta didik dalam berinteraksi, baik antar sesama teman, maupun kepada orang tua. Tidak hanya persoalan degradasi moral, problem akidah (keimanan) pun disepelekan (baca: diremehkan), padahal kata Muhammad Iqbal dalam Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam, intisari agama adalah keimanan.

Pendidikan keimanan (akidah) menjadi krusial ketika dihadapkan dalam situasi yang multikultural. Problematika berikutnya dalam pendidikan ialah kepatuhan terhadap syariat Islam yang formalistik, misalnya ibadah salat lima waktu, zakat, puasa dan seterusnya. Oleh karenanya, tulisan ini hendak mengeksplorasi tiga macam bentuk pendidikan yang harus ditanamkan sejak dini kepada peserta didik dalam perspektif Luqman al-Hakim.

Pendidikan Akidah

Pertama kali yang diajarkan Luqman kepada anaknya ialah pendidikan akidah (keimanan). Artinya, Luqman tak henti-hentinya menanamkan sejak dini akan keimanan kepada Allah Swt sebagai Dzat Yang Maha Esa, Dzat yang harus disembah, ditaati segala perintahnya dan dijauhi larangan-Nya. Hal ini diabadikan oleh Allah Swt dalam Q.S. Luqman [31]: 13,

وَاِذْ قَالَ لُقْمٰنُ لِابْنِهٖ وَهُوَ يَعِظُهٗ يٰبُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللّٰهِ ۗاِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ

(Ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, saat dia menasihatinya, “Wahai anakku, janganlah mempersekutukan Allah! Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) itu benar-benar kezaliman yang besar.” (Q.S. Luqman [31]: 13).

Al-Tabari dalam Jami’ al-Bayan menafsiri ayat ini bahwa sesungguhnya Allah, melalui ayat ini, mengingatkan kepada Nabi Muhammad saw akan besarnya dosa syirik. Al-Tabari mengistilahkan syirik ini dengan li khatha’in minal qauli adzhim (suatu kesalahan dan perkataan yang benar-benar amat besar) sehingga mustahil Allah Swt mengampuninya.

Sedangkan al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib memaknai perbuatan syirik bahwa sesungguhnya syirik merupakan dosa terbesar umat manusia karena merendahkan dirinya yang mana Allah memuliakannya dan menghormatinya (dzulmun fa liannahu wadh’u li nafsi al-syarif al-mukarram). Tidak jauh berbeda, al-Qurtubi dalam al-Jami’ li Ahkam Al-Quran menafsirkan ayat di atas dengan menukil qaul al-Suhail bahwa nama anak Luqman ialah Tsaran, sebagaimana disampaikan al-Tabari dan al-Qutabi.

Di samping itu, al-Qurtubi dan Al-Syaukani dalam Fath al-Qadir juga menukil pernyataan al-Qusyairi bahwa istri dan anak Luqman keduanya adalah kafir, namun Luqman gencar mendakwahkah Islam sehingga keduanya masuk Islam. Jadi, pada ayat ini, Luqman mendidik anaknya tentang larangan berbuat syirik atau mempersekutukan Allah Swt kepada sesuatu yang lain karena itu merupakan suatu kesalahan atau kedzaliman yang amat besar.

Baca juga: Nasihat-Nasihat Luqman al-Hakim Kepada Anaknya dalam Al Quran

Pendidikan Syariat (Ibadah)

Jenis pendidikan kedua yang diajarkan Luqman kepada anaknya ialah pendidikan syariat (ibadah). Setelah menanamkan materi akidah (tauhid) kepada anaknya, maka Luqman menguatkan pendidikan keimanan itu dengan pendidikan syariat, seperti ibadah salat, zakat, puasa, dan seterusnya. Luqman mengajarkan anaknya untuk salat, dan bagaimana menjalin hubungan atau berinteraksi kepada sesama (hablun minannas), serta bersikap baik terhadap sanak kerabat.

Interaksi ini termaktub dalam Q.S. Luqman [31]: 12,

وَلَقَدْ اٰتَيْنَا لُقْمٰنَ الْحِكْمَةَ اَنِ اشْكُرْ لِلّٰهِ ۗوَمَنْ يَّشْكُرْ فَاِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهٖۚ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ حَمِيْدٌ

Sungguh, Kami benar-benar telah memberikan hikmah kepada Luqman, yaitu, “Bersyukurlah kepada Allah! Siapa yang bersyukur, sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri. Siapa yang kufur (tidak bersyukur), sesungguhnya Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji.” (Q.S. Luqman [31]: 10).

Redaksi walaqad ataina luqmana al-hikmata oleh Al-Mawardi dalam al-Nukat wa al-Uyun, terjadi ikhtilaf (perbedaan pendapat) siapa yang memberi hikmah itu. Dalam hal ini, menurut al-Mawardi, ada dua qaul, yaitu ada yang mengatakan itu berasal dari Nabi sebagaimana kata ‘Ikrimah dan al-Sya’bi, dan yang kedua berasal dari seseorang yang bijak bestari, tetapi bukan Nabi.

Adapun makna hikmah dalam ayat tersebut, demikian kata al-Mawardi, ada tiga makna, yaitu 1) fahm dan ‘aql (kepahaman dan akal), sebagaimana disampaikan al-Saddi; 2) al-fiqh, al-‘aql dan al-ishabah, kedalaman ilmu agamanya, akal dan keluasan pemahamannya, sebagaimana kata Mujahid, dan 3) al-amanah (amanah).

Kemudian al-Mawadi juga mengemukakan makna bersyukur dalam ayat di atas bermakna dua hal, yaitu makna kalam (makna teks), yakni wa laqad atainahul hikmata wa syukr lillahi (sungguh kami benar-benar memberimu hikmah dan rasa syukur) dan makna kedua ialah atainahul hikmata li an yasykurallahi (sungguh kami benar-benar memberikan hikmah agar engkau bersyukur kepada-Nya).

Masih tetap al-Mawardi, makna syukur di sini terdiri dari empat aspek, yakni (1) dengan mengucap hamdalah atas anugerah nikmat yang diberikan oleh Allah swt (hamdahu ‘ala ni’amih); (2) tidak menggunakan kenikmatan itu untuk kemaksiatan (alla ya’shihi ‘ala ni’amih); (3) dia tidak mempersekutukan kenikmatan itu kepada selain Allah (alla yara ma’ahu syarikan fi ni’amihi ‘alaihi); (4) menaati segala perintah Allah sebagai wujud berterima kasih atas nikmat-Nya.

Ayat tersebut mengindikasikan rasa syukur merupakan bagian intergral dari pendidikan syariat (ibadah). Selain itu, pada ayat ke-17, Allah swt berfirman,

يٰبُنَيَّ اَقِمِ الصَّلٰوةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوْفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلٰى مَآ اَصَابَكَۗ اِنَّ ذٰلِكَ مِنْ عَزْمِ الْاُمُوْرِ

Wahai anakku, tegakkanlah salat dan suruhlah (manusia) berbuat yang makruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar serta bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang (harus) diutamakan. (Q.S. Luqman [31]: 17).

Al-Baghawi dalam Ma’alim al-Tanzil menafsirkan ayat di atas bahwa,

يريد الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر، والصبر على الأذى فيهما، من الأمور الواجبة التي أمر الله بها، أو من الأمور التي يُعْزم عليها لوجوبها

“Mengerjakan yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan bersabar terhadap ujian dan cobaan yang menimpa dirinya, bersabar dari hal-hal kewajiban yang telah diperintahkan Allah kepadanya atau dari hal-hal yang telah ditetapkan Allah sebagai yang wajib ditaati”.

Salah satu manifestasi pendidikan syariat yang diajarkan Luqman kepada anaknya adalah menegakkan salat, dan mengedukasi masyarakat agar senantiasa berupaya berbuat yang ma’ruf dan meninggalkan kemungkaran, serta bersabar terhadap sesuatu yang menimpanya.

Baca juga: Salat dan Amar Makruf Nahi Mungkar, Adakah Kaitannya? Simak Tafsirnya

Pendidikan Akhlak

Yang ketiga adalah pendidikan akhlak. Sebagaiman dalam artikel terdahulu, intisari pendidikan adalah peserta didik memiliki akhlakul karimah, atau dalam bahasa yang lain “pendidikan” disebut ta’dib (mengajarkan adab, sopan santun, tata krama). Dalam hal ini, Luqman mendidik anaknya untuk tetap menghormati dan berbakti kepada kedua orang tua maupun kepada yang tua, sebagaimana termaktub dalam Q.S. Luqman [31]: 14-15,

وَوَصَّيْنَا الْاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِۚ حَمَلَتْهُ اُمُّهٗ وَهْنًا عَلٰى وَهْنٍ وَّفِصَالُهٗ فِيْ عَامَيْنِ اَنِ اشْكُرْ لِيْ وَلِوَالِدَيْكَۗ اِلَيَّ الْمَصِيْرُ وَاِنْ جَاهَدٰكَ عَلٰٓى اَنْ تُشْرِكَ بِيْ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِى الدُّنْيَا مَعْرُوْفًا ۖ

Kami mewasiatkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun.598) (Wasiat Kami,) “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu.” Hanya kepada-Ku (kamu) kembali. Jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan-Ku dengan sesuatu yang engkau tidak punya ilmu tentang itu, janganlah patuhi keduanya, (tetapi) pergaulilah keduanya di dunia dengan baik dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian, hanya kepada-Ku kamu kembali, lalu Aku beri tahukan kepadamu apa yang biasa kamu kerjakan. (Q.S. Luqman [31]: 14-15)

Al-Tabari menafsirkan ayat tersebut dengan,

وعهدنا إلـيه أن اشكر لـي علـى نعمي علـيك، ولوالديك تربـيتهما إياك، وعلاجهما فـيك ما عالـجا من الـمشقة حتـى استـحكم قواك

“Dan kami titipkan kepadanya untuk mensyukuri nikmat-Ku atasmu, dan kepada kedua orang tuamu yang telah mendidik dan membesarkanmu, dan merawatmu dari kesakitan dan kesulitan di dalam dirimu sehingga engkau menjadi kuat dan pulih”.

Selanjutnya, pendidikan akhlak berikutnya adalah Luqman mengajarkan kepada anaknya agar tidak sombong atau jumawa, tidak angkuh dan tidak membangga-banggakan diri, sebagaimana Allah abadikan dalam firman-Nya di bawah ini,

وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِى الْاَرْضِ مَرَحًاۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍۚ

Janganlah memalingkan wajahmu dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi ini dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi sangat membanggakan diri. (Q.S. Luqman [31]: 18)

Terakhir pesan Luqman adalah janganlah engkau menyombongkan diri, merasa paling bisa sehingga menegasikan kebenaran yang seharusnya didengar dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Pesan berikutnya adalah agar tetap hidup sederhana meskipun dititipi keilmuan yang memadai, jabatan, harta yang banyak sebab hakikatnya semua itu adalah amanah dari Allah yang harus dijaga dengan baik. Demikianlah tiga jenis pendidikan yang harus diajarkan oleh seorang pendidik kepada peserta didiknya. Wallahu A’lam.

Baca juga: Pemimpin Harus Berlaku Adil dan Menjalankan Amanah

Tafsir Surah Fussilat Ayat 40-41

0
Tafsir Surah Fussilat
Tafsir Surah Fussilat

Tafsir Surah Fussilat Ayat 40-41 berbicara mengenai dua hal. Pertama mengenai kekuasaan Allah meliputi segala hal termasuk hal yang samar. Kedua mengenai tanda-tanda orang yang ingkar.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Fussilat Ayat 38-39


Ayat 40

Ayat ini menerangkan bahwa Allah Maha Mengetahui semua yang dilakukan dan tipu daya yang dibuat oleh orang-orang yang menentang Al-Qur’an menurut keinginan hawa nafsu mereka sendiri, mengingkari, dan mencelanya. Tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dan tidak diketahui Allah. Oleh karena itu, Dia akan membalas segala perbuatan mereka itu dengan ganjaran yang setimpal.

Kemudian Allah menerangkan perbedaan dan bentuk pembalasan yang akan diterima oleh orang-orang mukmin dan orang-orang kafir di akhirat nanti dengan mengatakan bahwa orang-orang yang dimasukkan ke dalam neraka karena mengingkari Allah, rasul, dan ayat-ayat-Nya tidak sama dengan orang-orang beriman yang memercayai ayat-ayat Al-Qur’an, mengikuti rasul-Nya, dan mendapat surga. Allah akan menetapkan keputusan dengan adil antara mereka dan balasan yang akan mereka peroleh tentu pula tidak sama.

Ayat ini ditujukan kepada seluruh manusia yang kafir dan mukmin. Akan tetapi, sebagian ulama berpendapat bahwa ayat ini berarti umum dan khusus. Umum meliputi seluruh manusia yang kafir dan beriman, khusus berhubungan dengan Abµ Jahal yang mengingkari Rasulullah saw dan orang-orang yang beriman kepadanya.

Diriwayatkan oleh Abd ar-Razzaq, Ibnu al-Munzir, Ibnu Asakir dari Busyair bin Tamim, ia berkata, “Ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abµ Jahal dan ‘Ammar bin Yasir.”

Pada akhir ayat ini, Allah menegaskan bahwa Nabi Muhammad telah mengetahui akibat yang diperoleh orang-orang yang berbuat dosa di akhirat nanti, dan akibat yang akan diperoleh orang-orang yang beriman kelak. Oleh karena itu, manusia dipersilakan untuk melakukan apa saja yang dikehendaki, ia telah mengetahui akibatnya. Allah melihat segala perbuatan manusia dan memberi balasan sesuai dengan yang telah diperbuatnya.


Baca juga: Tafsir Ahkam: Kesunnahan Memotong Kumis


Ayat 41

Pada ayat ini diterangkan tanda-tanda orang-orang yang ingkar itu ialah mengingkari ayat-ayat Allah, dan mengingkari Al-Qur’an ketika disampaikan kepada mereka. Mereka akan memperoleh ganjaran yang setimpal dengan kekafiran mereka itu.

Kemudian Allah menerangkan bahwa Al-Qur’an itu adalah sebuah kitab yang mulia, yang tidak dapat dibatalkan isinya, dan tidak dapat diubah-ubah sedikit pun.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Fussilat Ayat 42-43


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Sosiologis Surah An-Nisa Ayat 34: Makna Alternatif Kata Rijal dan Nisa

0
Tafsir Sosiologis Surah An-Nisa Ayat 34: Makna Alternatif Kata Rijal dan Nisa
Makna Alternatif Kata Rijal dan Nisa

Salah satu ayat dalam Al-Qur’an yang cukup populer dan sering dibahas terkait tema kehidupan rumah tangga adalah QS. An-Nisa: 34. Bila dibaca sekilas, ayat ini seakan-akan mengandung ajaran bahwa kepemimpinan di keluarga berada di tangan suami dan kewajiban istri untuk patuh secara mutlak kepada suaminya. Begitulah narasi yang juga sering terdengar. Namun benarkah demikian adanya? Mari kita bahas kembali kandungan ayat tersebut yang berbunyi:

{الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ} [النساء: 34]

Artinya, “Laki-laki adalah pengayom bagi perempuan sebab keistimewaan yang diberikan Allah dan sebab mereka menafkahkan sebagian dari harta-harta mereka…” (QS. An-Nisa: 34).

Seringkali ayat di atas oleh sebagian kalangan – Termasuk banyak tafsir yang beredar di pesantren – dijadikan dalil yang menjustifikasi superioritas kaum laki-laki, khususnya sebagai pemimpim keluarga. Pada dasarnya, pandangan seperti ini tidak seluruhnya salah sebagaimana tidak seluruhnya benar. Akan tetapi, yang dimaksud dengan pemimpin dalam institusi keluarga adalah kemimpinan yang berdasarkan musyawarah bukan kepemimpinan yang berdasarkan otoritas semena-mena.

Oleh karena itu, kepemimpinan dalam keluarga hendaknya tidak selalu berdasarkan kehendak suami semata, tanpa melibatkan unit-unit yang ada dalam keluarga tersebut. Ada anggota keluarga lain yang perlu diperhitungkan haknya, semisal anak, dan terlebih lagi istri.

Sementara itu, pada ayat di atas ada term gender, yaitu kata rijal yang disandingakan dengan kata nisa sebagai lawan dari rijal. Sebagaimana yang kita tahu, bahwa kata rijal biasanya dimaknai dengan laki-laki dan kata nisa dengan makna perempuan. Akan tetapi ada makna lain dari kedua kata tersebut. Dr. Hj. Zaitunah Subhan dalam bukunya yang berjudul Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsir Al-Qur’an (hal. 110), mengatakan bahwa istilah-istilah gender dalam Al-Qur’an memiliki makna-makna yang signifikan.

Baca juga: Perbedaan Penafsiran Surah Al-Nisā’ [4]: 34 dari Klasik hingga Kontemporer

Makna sosiologis kata rijal dan nisa yang sangat cair

Term nisa identik dengan konotasi feminin, domestik, lemah lembut, bahkan bermakna banyak lupa sebagaimana dikatakan Lois Ma’luf dalam kitab al-Munjid fi alLughah wa al-A’lam (hal. 807). Sedangkan kata rijal bermakna orang yang berjalan kali, karena rijal merupakan bentuk plural al-rajil yang terambil dari kata al-rijlu yang bermakna kaki.

Hal ini, karena pada zaman Al-Qur’an di turunkan, laki-laki (suami) seringkali berjalan untuk mencari nafkah sementara istri hanya tinggal di rumah. Oleh karena itu, laki-laki yang berusaha berjalan untuk mencari nafkah adalah qawwam (pengayom/pemimpin) dalam rumah tangga (al-Ashafani, al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an).

Pemaknaan seperti ini berdasarkan perwujudan bahasa atau peristiwa bahasa yang dikembangkan dalam studi lingusitik filologi yang tidak bisa terlepas dengan budaya suatu bangsa. Sebagaimana pengertian di atas, bahwa rijal adalah orang yang berjalan, berupaya, dan berusaha untuk mengayomi dang menghidupi keluarganya, sehingga ia mendapatkan jabatan qawwam atau pemimpin.

Maka, menurut Dr. Zaitunah, secara sosiologis siapapun yang mampu berjalan, berusaha, dan berupaya untuk mengayomi dan menjadi penopang keluarga, dialah yang menjadi pemimpin. Dialah yang disebut rijal dalam ayat di atas, tanpa memandang apakah ia perempuan secara biologis ataupun laki-laki.

Jadi, jika ada seorang wanita (istri) lebih aktif dalam keluarga, bekerja untuk mencari nafkah dari berbagai profesinya masing-masing, maka sejatinya wanita itulah yang disebut rijal (pria) secara sosiologis. Kendatipun, secara biologis ia adalah perempuan yang tetap mengalami haid, melahirkan, dan sebagainya sebagai sifat kodratinya.

Sebaliknya, jika ada laki-laki yang hanya menganggur di rumah, tanpa ada usaha untuk mencari nafkah karena berbagai faktor, maka sejatinya ia adalah nisa (perempuan) secara sosiologis, meskipun secara biologis ia tetap adalah laki-laki.

Melalui pendeketan seperti ini terhadap ayat di atas, maka pemahamannya lebih komprehensif dan lebih holistik, di mana seorang laki-laki diangkat menjadi pemimpin sebenarnya bukan karena faktor ia berjenis kelamin laki-laki. Akan tetapi, lebih disebabkan sebagaimana disebutkan oleh kelanjutan ayat tersebut, yaitu karena sudah diberi keistimewaan oleh Allah (keistimewaan yang bersifat temporal) dan karena berusaha menafkahi dan mengayomi keluarganya.

Tidak hanya itu, ayat tersebut dengan pendekatan seperti di atas juga akan mencakup kepada wanita-wanita tangguh yang memperjuangkan rumah tangganya sendirian. Karena realitas di masyarakat tidak sedikit wanita yang berusaha mencari nafkah sendiri walaupun sudah bersuami karena banyak faktor. Semisal suaminya mengalami disfungsi (cacat), atau karena istrinya berpendidikan sehingga menjadi dosen dan sebagainya, sementara suaminya pengangguran. Dengan demikian, wanita-wanita seperti ini adalah rijal secara sosiologis. Wallahu a’lam.

Baca juga: Nasaruddin Umar: Al-Qur’an Bedakan antara Gender dan Jenis Kelamin