Beranda blog Halaman 171

Tafsir Surah Fussilat Ayat 17-20

0
Tafsir Surah Fussilat
Tafsir Surah Fussilat

Tafsir Surah Fussilat Ayat 17-20 berbicara mengenai dua hal. Pertama mengenai kedatangan Nabi Saleh sebagai utusan kepada kaum Samud. Kedua keingkaran kaum Samud. Ketiga berbicara mengenai perintah kepada Nabi Muuhammad SAW agar menyampaikan kisah tersebut sebagai peringatan.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Fussilat Ayat 15-16


Ayat 17

Kepada kaum Samud, Allah telah menyampaikan agama-Nya dengan perantaraan Nabi Saleh. Allah telah menunjukkan kepada mereka jalan keselamatan dan jalan yang lurus, dengan memperlihatkan tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan-Nya yang ada di cakrawala luas ini.

Allah juga mengajarkan kepada mereka hukum-hukum yang dapat membahagiakan mereka di dunia dan akhirat. Akan tetapi, mereka mengutamakan kekafiran dari keimanan yang berarti pula mereka lebih mengutamakan kehinaan dan kesengsaraan daripada kemuliaan dan kebahagiaan.

Karena sikap dan perbuatan mereka itu, maka Allah menurunkan kepada mereka azab berupa suara keras yang mengguntur dari langit.

Pada ayat yang lain, Allah menerangkan azab yang ditimpakan kepada kaum Samud. Allah berfirman:

وَاَخَذَ الَّذِيْنَ ظَلَمُوا الصَّيْحَةُ فَاَصْبَحُوْا فِيْ دِيَارِهِمْ جٰثِمِيْنَۙ    ٦٧  كَاَنْ لَّمْ يَغْنَوْا فِيْهَا ۗ اَلَآ اِنَّ ثَمُوْدَا۠ كَفَرُوْا رَبَّهُمْ ۗ اَلَا بُعْدًا لِّثَمُوْدَ ࣖ   ٦٨

Kemudian suara yang mengguntur menimpa orang-orang zalim itu, sehingga mereka mati bergelimpangan di rumahnya. Seolah-olah mereka belum pernah tinggal di tempat itu. Ingatlah, kaum Samud mengingkari Tuhan mereka. Ingatlah, binasalah kaum Samud. (Hµd/11: 67-68)

Ayat 18

Nabi Saleh dan orang-orang yang beriman diselamatkan Allah dari azab itu. Mereka tidak ditimpa malapetaka dan bencana yang dahsyat itu karena keimanan dan ketakwaan mereka kepada-Nya.

Ayat 19

Ayat ini menerangkan perintah Allah kepada Nabi Muhammad agar menyampaikan kepada orang-orang yang ingkar itu keadaan mereka pada hari Kiamat nanti. Pada hari itu, semua musuh-musuh Allah dan orang-orang yang ingkar kepada-Nya akan dikumpulkan dalam neraka.

Mereka dihalau ke dalamnya seperti orang menggiring dan menghalau binatang ternak. Tidak ada satu pun yang luput dan tertinggal di antara mereka.


Baca juga: Surah Al-Nisa’ Ayat 3: Poligami Perspektif Quraish Shihab dan Amina Wadud


Ayat 20

Tatkala mereka sampai di pinggir neraka, mereka ditanya tentang perbuatan-perbuatan yang telah mereka lakukan selama hidup di dunia. Sebagai saksi atas perbuatan yang telah mereka lakukan itu ialah seluruh anggota badan mereka yang langsung melakukan perbuatan-perbuatan dosa itu, seperti telinga, mata, dan anggota-anggota tubuh mereka.

Tiap-tiap makhluk ditanya sesuai dengan keadaan dan sifatnya. Apa yang ditanya dan bagaimana jawaban makhluk-makhluk itu, termasuk ilmu yang gaib, hanya Allah sendiri yang mengetahuinya. Mungkin ada soal yang berhubungan dengan niat dan isi hatinya, atau mengenai perbuatan-perbuatannya.

Jika pertanyaan itu tentang ketaatan beribadah, sopan-santun, hubungan silaturrahim, amal saleh, dan yang serupa dengan itu dihadapkan kepada orang yang suka mengerjakan perbuatan itu selama hidup di dunia, tentu orang-orang itu akan menjawabnya dengan gembira kepada Allah.

Jika budi pekerti yang buruk, memutuskan hubungan silaturrahim, perbuatan jahat, dan perbuatan lain yang serupa dengan itu, dihadapkan kepada orang yang mengerjakannya, tentulah mereka menjawab dengan gemetar dan penuh ketakutan. Allah Maha Mengetahui tentang itu.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Fussilat Ayat 21


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Fussilat Ayat 15-16

0
Tafsir Surah Fussilat
Tafsir Surah Fussilat

Tafsir Surah Fussilat Ayat 15-16 berbicara mengenai dua hal. Pertama mengenai keadaan kaum ‘Ad yang diazab oleh Allah karena kedurhakaan mereka. Kedua berbicara mengenai bentuk azab yang diturunkan kepada mereka.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Fussilat ayat 13-14


Ayat 15

Pada ayat ini, Allah menerangkan keadaan kaum ‘Ad yang telah ditimpa azab Allah dan sikapnya terhadap seruan rasul yang diutus kepadanya. Diterangkan bahwa kaum ‘Ad itu menyombongkan diri, merasa diri mereka tidak ada yang menandingi, dan semua tunduk kepadanya.

Oleh karena itu, mereka durhaka kepada Tuhan yang telah menciptakan dan memberikan karunia kepada mereka, dan tidak menerima seruan rasul Allah yang diutus kepada mereka. Mereka menantang siapa yang sanggup menandingi mereka.

Allah mengancam dan memperingatkan mereka dengan mengatakan apakah mereka telah memikirkan betul-betul yang mereka ucapkan, dan apakah mereka tidak mengetahui siapa yang mereka tentang itu?

Yang mereka tentang itu adalah Allah Yang Mahakuasa, yang menciptakan segala sesuatu termasuk diri mereka sendiri, Yang Mahaperkasa, yang lebih kuat dari mereka. Jika Allah menghendaki, maka Dia dapat menimpakan bencana apa pun terhadap mereka dan sedikit pun mereka tidak akan dapat menghindarkan diri dari bencana itu.

Mereka sebenarnya telah mengetahui dan meyakini bukti-bukti kebesaran dan kekuasaan Kami, yang disampaikan oleh para rasul yang diutus kepada mereka. Akan tetapi, mereka mengingkarinya dan mendurhakai para rasul itu.


Baca juga: Kunci Ketigabelas Menggapai Kebahagiaan: Bertaubat dari Segala Dosa


Ayat 16

Pada ayat ini Allah menerangkan bentuk azab yang ditimpakan kepada kaum ‘Ad. Dia menghembuskan angin kencang yang sangat dingin diiringi dengan suara gemuruh yang memusnahkan mereka.

Angin kencang yang sangat dingin itu terus-menerus melanda mereka dalam tujuh malam dan delapan hari, yang merupakan hari yang sial bagi mereka, sebagaimana diterangkan dalam firman Allah:

;وَاَمَّا عَادٌ فَاُهْلِكُوْا بِرِيْحٍ صَرْصَرٍ عَاتِيَةٍۙ  ٦  سَخَّرَهَا عَلَيْهِمْ سَبْعَ لَيَالٍ وَّثَمٰنِيَةَ اَيَّامٍۙ حُسُوْمًا فَتَرَى الْقَوْمَ فِيْهَا صَرْعٰىۙ  كَاَنَّهُمْ اَعْجَازُ نَخْلٍ خَاوِيَةٍۚ  ٧

Sedangkan kaum ‘Ad, mereka telah dibinasakan dengan angin topan yang sangat dingin, Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam delapan hari terus-menerus; maka kamu melihat kaum ‘Ad pada waktu itu mati bergelimpangan seperti batang-batang pohon kurma yang telah kosong (lapuk). (al-Haqqah/69: 6-7)

Diterangkan pada ayat ini bahwa tujuan Allah menimpakan azab yang dahsyat itu kepada kaum ‘Ad agar mereka merasakan akibat dari menyombongkan diri dan takabur terhadap Allah dan para rasul yang diutus kepada mereka, yaitu kehinaan, kerendahan, dan malapetaka yang menimpa mereka dalam kehidupan duniawi.

Sedang azab akhirat lebih dahsyat dan sangat menghinakan mereka. Mereka tidak akan memperoleh seorang penolong pun yang dapat membebaskan dari azab itu.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Fussilat Ayat 17-20


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Fussilat Ayat 13-14

0
Tafsir Surah Fussilat
Tafsir Surah Fussilat

Tafsir Surah Fussilat Ayat 13-14 berbicara mengenai perintah Allah kepada Nabi Muhammad untuk menyeru kepada orang kafir agar mereka tidak menyekutukan Allah SWT.


Baca sebelumnya:  Tafsir Surah Fussilat Ayat 12


Ayat 13-14

 Ayat ini menerangkan perintah Allah kepada Nabi Muhammad agar menyeru kepada orang-orang kafir untuk beriman kepada Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada pada keduanya.

Jika mereka tidak menerima ajakan itu dan berpaling, Rasulullah diperintahkan untuk mengingatkan mereka tentang azab yang akan ditimpakan Allah kepada setiap orang yang ingkar kepada-Nya.

Di antara azab yang pernah ditimpakan kepada orang-orang yang ingkar ialah suara keras yang mengguntur dari langit dan memusnahkan semua yang dikenainya, seperti yang pernah ditimpakan kepada kaum ‘Ad, kaum Samud, penduduk Aikah, dan sebagainya.

Malapetaka itu menimpa mereka karena mengingkari seruan rasul yang diutus kepada mereka dan mengabaikan peringatan para rasul itu.

Rasulullah menambahkan bahwa jika mereka tidak ingin ditimpa malapetaka seperti itu, maka ikutilah seruan yang disampaikannya dan agar hanya menyembah Allah, Tuhan Yang Maha Esa, tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun.

Seruan Rasulullah itu ditanggapi orang-orang musyrik dengan sikap angkuh dan sombong. Mereka mengingkarinya dengan mengatakan bahwa sekiranya Allah hendak mengutus para rasul kepada manusia, tentu Dia tidak akan mengutus manusia seperti Nabi Muhammad.

Akan tetapi, Allah akan mengutus orang-orang yang mempunyai kelebihan dari manusia biasa, mempunyai kekuatan gaib, sanggup mengabulkan langsung segala yang diminta orang-orang yang diserunya, seperti malaikat, jin dan sebagainya.

Menurut mereka, rasul yang diangkat dari manusia biasa tidak akan bisa memerkenankan permintaan orang-orang yang diserunya karena tidak mempunyai kelebihan apa pun. Sementara, menurut mereka, Allah belum berkehendak mengutus rasul itu. Itulah sebabnya mereka mengingkari kerasulan Nabi Muhammad.


Baca juga: Tafsir An-Nahl Ayat 12: Tanda Kekuasaan Allah dalam Pergerakan Matahari


Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam kitab “ Ad-Dalail” dan Ibnu Asakir dari Jabir bin Abdullah. Ia mengatakan bahwa Abµ Jahal dan para pemimpin kaum Quraisy berkata, “Sesungguhnya kurang jelas bagi kita apa yang disampaikan oleh Muhammad itu, jika kamu menemukan seorang ahli sihir, tenung, dan syair, maka hendaklah ia berbicara dengannya, dan datang kepada kita untuk menerangkan maksud yang disampaikan Muhammad saw itu.”

Utbah bin Rabi‘ah berkata, “Demi Allah, aku benar-benar telah mendengar sihir, tenung, dan syair. Aku benar-benar memahami rumpun engkau hai Muhammad adalah orang yang paling baik dalam rumpun keluarga Abdul Muttalib?” Muhammad tidak menjawab.

Utbah berkata lagi, “Mengapa engkau mencela tuhan-tuhan kami dan menganggap kami sesat? Jika engkau menghendaki wanita, pilihlah olehmu sepuluh wanita yang paling cantik yang kamu kehendaki dari suku Quraisy ini. Jika engkau menghendaki harta, kami kumpulkan harta itu sesuai dengan yang kamu perlukan.”

Setelah Rasulullah mendengar ucapan Utbah, beliau membaca Surah Fussilat ini sejak permulaan ayat sampai kepada ayat ini, yang menerangkan malapetaka yang pernah ditimpakan kepada kaum ‘Ad, dan Samud. Mendengar ayat yang dibacakan Rasulullah saw, Utbah diam seribu bahasa, lalu pulang ke rumahnya, tidak langsung kepada kaumnya.

Tatkala kaumnya melihat Utbah dalam keadaan demikian, mereka mengatakan bahwa Utbah telah kena sihir Muhammad. Lalu mereka mencari Utbah dan berkata kepadanya, “Ya Utbah, engkau tidak datang kepada kami itu adalah karena engkau telah kena sihir.”

Maka Utbah marah dan bersumpah tidak akan berbicara lagi dengan Muhammad, kemudian ia berkata, “Demi Allah, aku benar-benar telah berbicara dengannya, lalu ia menjawab dengan satu jawaban yang menurut pendapatku jawaban itu bukan syair, bukan sihir, dan bukan pula tenung.

Tatkala ia sampai kepada ucapan: petir yang seperti menimpa kaum ‘Ad dan Samud, aku pun diam seribu bahasa. Aku benar-benar mengetahui bahwa Muhammad itu, apabila ia mengatakan sesuatu, ia tidak berdusta, dan  ia takut kepada azab yang akan menimpa itu.”

Sebagaimana diketahui bahwa Utbah termasuk pemuka Quraisy dan orang yang berpengetahuan luas di antara mereka. Di samping seorang sastrawan ia juga mengetahui seluk-beluk sihir dan tenung yang dipercayai orang pada waktu itu.

Kebungkaman Utbah itu menunjukkan bahwa hatinya telah beriman kepada Rasulullah, tetapi karena pengaruh nafsu dan kedudukan, maka ia mengingkari suara hatinya. Demikian pula halnya dengan kebanyakan orang-orang musyrik.

Hatinya telah beriman dan ia telah takut kepada azab yang akan ditimpakan kepadanya seandainya ia tidak beriman, tetapi mereka tetap tidak beriman karena khawatir akan dikucilkan oleh kaumnya.

Oleh karena itu, mereka mencari-cari alasan untuk menutupi hati mereka dengan mengatakan bahwa mustahil Allah mengangkat seorang rasul dari golongan manusia biasa. Jika Allah mengangkat rasul, tentu rasul itu dari golongan malaikat.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Fussilat Ayat 15-16


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Fussilat Ayat 12

0
Tafsir Surah Fussilat
Tafsir Surah Fussilat

Tafsir Surah Fussilat Ayat 12 berbicara mengenai hikmah penciptaan langit. Selain itu juga dijelaskan mengenai masa penciptaannya. Langit tidak hanya dibiarkan sendiri, ia dihiasi dengan bintang-bintang dan setiap bintang mengentahui tugasnya masing-masing.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Fussilat Ayat 11


Ayat 12

Ayat ini menerangkan bahwa Allah menyempurnakan kejadian langit itu dengan menjadikan tujuh langit dalam dua masa. Dengan demikian, lamanya Allah merencanakan penciptaan langit dan bumi ialah selama enam masa. Firman Allah:

اِنَّ رَبَّكُمُ اللّٰهُ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ فِيْ سِتَّةِ اَيَّامٍ

Sungguh, Tuhanmu (adalah) Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa. (al-A’raf/7: 54)

Diterangkan juga bahwa Allah menghiasi langit dengan bintang-bintang yang gemerlapan. Ada bintang yang bercahaya sendiri dan ada pula yang menerima pantulan cahaya dari bintang yang lain. Oleh karena itu, cahaya bintang-bintang itu terlihat tidak sama. Ketidaksamaan cahaya bintang-bintang itu menimbulkan keindahan yang tiada taranya.


Baca juga: Tafsir Surah Yasin ayat 39-40: Semua Makhluk Langit Adalah Ciptaan Allah Swt


Allah menjadikan pada tiap-tiap langit sesuatu yang diperlukan, sesuai dengan hikmah dan sunah-Nya. Seperti adanya memberi tarik pada tiap-tiap planet dan menjadikannya berjalan pada garis edarnya, sehingga planet-planet itu tidak akan jatuh dan berbenturan antara yang satu dengan yang lain.

Untuk setiap planet itu ditetapkan tugas-tugas tertentu, sesuai dengan keadaan dan sifatnya, seperti tugas bulan tidak sama dengan tugas matahari, karena kejadian keduanya berlainan.

Semua yang diterangkan itu merupakan ciptaan Allah, Tuhan Yang Mahakuasa, dan mereka harus tunduk kepada ketetapan-Nya. Tidak ada satu pun dari ciptaan Allah yang menyimpang dari ketetapan-Nya.

Dia mengetahui keadaan makhluk yang diciptakan-Nya itu, baik yang halus maupun yang kasar, baik yang nyata maupun yang tersembunyi.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Fussilat Ayat 13-14


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Ahkam: Hukum Mengoleksi Perabot dari Emas dan Perak

0
hukum mengoleksi perabot dari emas dan perak
hukum mengoleksi perabot dari emas dan perak

Ulama’ telah menetapkan keharaman memakai wadah dari emas dan perak. Bahkan ada ulama’ yang memberlakukannya pada wadah yang sekedar berhiaskan emas atau perak. Lalu bagaimana hukum bagi orang yang hanya menyimpannya sebagai sekedar koleksi perabot? Bagaimana hukum mengoleksi perabot dari emas dan perak? Apabila diharamkan, apakah menyimpan koleksi peninggalan kerajaan terdahulu berupa wadah dari emas di museum juga diharamkan? Lebih lengkapnya, simak penjelasan para pakar tafsir dan fikih berikut ini:

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Hukum Makan Dan Minum dari Wadah Emas atau Perak

Pro Kontra Hukum Mengoleksi Perabot dari Emas dan Perak

Allah berfirman:

يُطَافُ عَلَيْهِمْ بِصِحَافٍ مِّنْ ذَهَبٍ وَّاَكْوَابٍ ۚوَفِيْهَا مَا تَشْتَهِيْهِ الْاَنْفُسُ وَتَلَذُّ الْاَعْيُنُ ۚوَاَنْتُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَۚ

Kepada mereka diedarkan piring-piring dan gelas-gelas dari emas dan di dalamnya (surga) terdapat apa yang diingini oleh hati dan dipandang sedap oleh mata serta kamu kekal di dalamnya (QS. Az-Zukhruf [43] :71)

Tatkala mengulas tafsir tentang ayat di atas, Imam Al-Qurthubi menyatakan keharaman memakai wadah dari emas dan perak, juga menyimpan keduanya. Imam Al-Qurthubi beralasan, sudah seharusnya apa yang tidak boleh dipakai juga tidak boleh disimpan. Sebagaimana patung berhala. Imam Al-Qurthubi juga mengkritik pendapat yang menyatakan wajibnya memberi ganti rugi bagi orang yang memecahkan wadah emas atau perak. Sebab seharusnya hukum memecahkan wadah tersebut adalah wajib. Komentar senada tentang hukum menyimpan wadah emas dan perak juga disampaikan Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir Munir (Tafsir Al-Qurthubi/16/97 dan Tafsir Munir/25/191).

Imam An-Nawawi memberikan penjelasan, beberapa ulama’ dari kalangan mazhab syafi’i mendokumentasikan terjadinya pro kontra diantara para ulama’ mengenai hukum menyimpan wadah emas dan perak tanpa menggunakannya. Mereka memiliki penjelasan yang berbeda-beda mengenai pro kontra tersebut. Namun mereka sepakat mensahihkan pendapat yang menyatakan haramnya menyimpan wadah dari emas dan perak.

Imam An-Nawawi juga menyatakan bahwa pendapat tersebut adalah pendapat mazhab malikiyah juga mayoritas ulama’. Ia mengemukakan tiga alasan terkait hukum ini: pertama, sudah seharusnya yang tidak boleh dipakai juga tidak boleh disimpan sebagaimana patung berhala; kedua, menyimpan keduanya dapat membuka celah untuk memakai keduanya; ketiga, alasan dari larangan memakai adalah sebab adanya bentuk berlebihan dan pamer, dan itu juga muncul dalam tindakan menyimpan (Al-Majmu’/1/252).

Imam Mawardi di dalam Al-Hawi Al-Kabir juga mendokumentasikan pro kontra tersebut. Pendapat yang menyatakan bolehnya menyimpan wadah emas dan perak beralasan, bukankah keharaman dalam hadis hanya mengarah pada pemakaian saja? Sedang yang menghukumi haram menyamakan tindakan mengoleksi wadah dari emas dan perak, sebagaimana menyimpan minum-minuman keras (Al-Hawi Al-Kabir/1/113).

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Hukum Menggunakan Benda Berhiaskan Emas dan Perak

Syaikh Wahbah Az-Zuhaili mengutip sebagian komentar ulama’ mazhab syafiiyah, bahwa tampaknya keharaman ini juga berlaku pada tindakan menyimpan dengan tujuan hendak diperjual belikan. Sebab keharaman penggunaan keduanya berlaku pada semua orang, beda dalam permasalahan pemakaian kain sutra (Al-Fiqhu Al-Islami/4/2633).

Kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah memetakan bahwa ulama’ yang membolehkan adalah dari mazhab hanafiyah dan Sebagian dari mazhab malikiyah dan syafiiyah. Sedang yang menyatakan haram adalah mazhab hanabilah, sebagian dari malikiyah serta pendapat paling sahih dari mazhab syafiiyah (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah/2/62)

Dari berbagai uraian di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa mayoritas ulama’ menghukumi menyimpan wadah dari emas dan perak hukumnya haram. Lalu bagaimana hukum museum mengoleksi wadah emas? Penulis belum menemukan keterangan yang jelas perihal hal ini. Namun bila melihat kecilnya kemungkinan digunakannya wadah tersebut untuk makan dan sebagainya, serta tidak adanya unsur pamer dari individu dalam penyimpanannya, maka seharusnya tidak sampai diharamkan. Wallahu a’lam bish showab

Surah Al-Nisa’ Ayat 3: Poligami Perspektif Quraish Shihab dan Amina Wadud

0
Poligami
Poligami

Akhir-akhir ini masyarakat sosial media dihebohkan dengan kegiatan pelatihan poligami. Hal itu dilakukan oleh “kiai” dengan peserta seminar mayoritas perempuan. Pada sebuah wawancara di kanal Narasi TV, ia mengaku telah menikah enam kali. Dua istrinya telah diceraikan dengan dalih menopause, sedangkan ia masih menginginkan untuk memiliki keturunan.

Yang menjadi argumentasinya adalah Q.S al-Nisa’/4:3 yang kerap juga digunakan oleh orang-orang yang melakukan poligami. Bagaimana sebenarnya ayat tersebut dimaknai oleh ulama-ulama tafsir? Artikel ini akan mengulas pemahaman dan penafsiran ayat tersebut dari perspektif mufasir terkemuka yakni M. Quraish Shihab.

Firman Allah Q.S al-Nisa’/4:3.

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَا فَانْكِحُوا مَا طَابلَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَا وَثُلَاثوَرُبَاعفَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةأَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمذَلِكَ أَدْنَا أَلَّا تَعُولُوا

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah mengatakan bahwa setelah terbit larangan untuk mengambil dan memanfaatkan harta anak yatim untuk konsumsi pribadi, kini yang dilarang adalah berlaku aniaya terhadap pribadi anak yatim itu. Karenanya, ditegaskan bahwa dan jika kamu tidak akan bisa berlaku adil terhadap perempuan yatim, dan kamu percaya diri akan berlaku adil terhadap wanita-wanita selain yatim itu, maka nikahilah apa yang kamu senangi.

Baca Juga: Surah An-Nisa Ayat 86: Prinsip Saling Menghormati dalam al-Qur’an

Dalam hal ini, Islam menempuh cara yang bertahap dalam menyelesaikan problem perbudakan yang terjadi pada zaman tersebut, dimana zaman ersebut terdapat banyak budak yang menggantungkan hidupnya pada tuannya untuk memenuhi kebutuhan sandang, papan dan pangannya. Apabila Islam langsung menghapuskan konsep perbudakan maka dipastikan problema sosial yang jauh lebh parah dari PHK (Pemutsan Hubungan Kerja) secara masal. Pada saat itu, jika para budak dibebaskan, maka budak tersebut harus menyiapkan sandang, papan dan pangannya secara mandiri sedangkan kondisi ekonomi pada saat itu sanga tidak memungkinkan.

Oleh karenanya, bisa dipahami mengapa al-Qur’an dan sunnah menempuh jalur yang bertahap dalam pembebasan budak. Adapun salah satu konsep yang digagas oleh al-Qur’an yakni dengan melakukan pernikahan antara laki-laki yang merdeka dengan budak perempuan, sebab jika pernikahan berlangsung antara budak laki-laki dan budak perempuan, maka anaknya akan tetap menjadi budak, siklus ini tidak akan menyebabkan terjadinya suatu perubahan karena muaranya kan tetap pada perbudakan.

Akan tetapi, dewasa ini sudah tidak ada lagi perbudakan. Pembantu rumah tangga sdah tidak lagi dikatakan sebagai budak, ini karena Islam hanya mlegalisasikan perbudakan karena adanya perang, yakni para tawanan perang. Sedangkan pembantu rumah tangga atau tenaga kerja wanita tidak diperoleh melaui peperangan dan mereka adalah orang-orang yang merdeka, kendati mereka lemah dalam hal ekonomi.

Adapun argumentasi atau penyebutan dalam al-Qur’an tentang menikahi dua, tiga, atau empat pada hakikatnya adalah dalam rangka tuntunan untuk berlaku adil kepada anak yatim. Redaksi ayat ini dapat dianalogikan seperti ucapan seseorang yang melarang orang lain makan-makanan tertentu, dan untuk menguatka larangan tersebutt ia mengatakan “Jika kamu khawatir akan sakit karena makan-makanan ini, habiskan saja makanan selainnya yang ada dihapanmu” tentu saja kata habiskan saja makanan selainnya adalah indikasi untuk mengindahkan larangan memakan makanan tertentu.

Kita tidak dapat membenarkan segala argumentasi yang mengatakan bahwa poligami adalah sebuah anjuran dengan dalih bahwa perintah di atas dimulai dengan bilangan dua, tiga atau empat, baru kemudian jika dikhawatirkan tidak adil, maka “nikahilah seorang saja”. Tidak juga dapat dikatakan bahwa Rasulullah Saw, menikah lebih dari satu kali, dan perlakuan tersebut hendaknya diteladani.

Perlu dipahami bersama bahwa, tidak segala yang dilakukan oleh Rasulullah Saw harus diteladani, sebagaimana segala sesuatu yang wajib bagi Rasuullah, wajib juga bagi umatnya. Bukankah wajib bagi Rasulullah Saw melaksanakan shalat malam dan tidak boleh menerima zakat? Bukankah tidak batal wudhu Rasulullah ketika ia tertidur? Apakah mereka benar-benar ingin meniru Rasulullah dalam hal pernikahan?

Jika benar demikian, maka perlu diberitahukan secara gamblang bahwa semua wanita yang beliau nikahi kecuali Aisyah ra., adalah janda-janda dan kesemuanya dengan tujuan menyukseskan dakwah atau membantu dan menyelamatkan para wanita yang kehilangan suami di medan perang, serta pada umumnya, wanita-wanita tersebut dikenal tidak memiliki daya tarik.

Jika dalih mengikuti sunnah Rasulullah Saw, maka dalam mempraktekkan sunnah Rasul hendaknya dilakukan secara full tanpa mengindahkan hal-hal yang lain yang Rasulullah lakukan. Agar kesan dari wacana mengikuti sunnah Rasul benar-benar murni dari apa yang Rasulullah Saw perintahkan, bukan sebagai legalitas dari keinginan syahwat yang berasaskan sunnah. Sebab untuk melakukan poligami ada aturan-aturan tertentu yang mesti dipenuhi tidak serta merta berpoligami karena hasrat dari syahwat.

Kemudian, jika ditinjau historis, bangsa Arab pra Islam maka akan kita temukan sejarah dimana orang-orang Arab terdahulu menjadikan perempuan hanya sekadar pemuas hawa nafsu dan tidak ada batasan-batasan tertentu bagi laki-laki manapun yang mau menikahi wanita sebanyak apapun yang ia kehendaki. Kemudian, Islam datang dan menekan hal tersebut dengan memberikan batasan untuk menikahi dua, tiga atau empat wanita saja dengan syarat dapat menegakkan keadilan bagi istri yang dinikahinya.

Sedangkan Amina Wadud, salah seorang mufassir di kalangan perempuan, juga pemerhati isu-isu feminis dan gender. Ia menyayangkan ayat tersebut sering ditafsirkan secara tidak tepat oleh kebanyakan orang, bahkan disalahpahami, terutama oleh mereka yang mendukung poligami, sehingga seakan-akan seseorang dibolehkan begitu saja melakukan poligami, tanpa memperhatikan bagaimana konteks ketika turunnya ayat.

Menurut Ibn Katsir, asbab al-nuzul ayat tersebut adalah berkaitan dengan seseorang yang hendak menikahi perempuan yatim, tetapi ia khawatir tidak dapat berlaku adil. Ibn Katsir mengutip hadits yang diuraikan ‘Aisyah ketika ditanya tentang sebab turunnya Q.S. an-Nisa’/4:3 :

‘Aisyah menjawab : “perempuan yatim yang berada dalam pengampuan seorang wali, kemudian ia hendak menikahinya karena terpesona dengan harta dan kecantikannya dengan memberikan mahar tidak sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, mereka dilarang untuk menikahinya kecuali mampu berbuat adil dan menyempurnakan (melengkapi) maharnya.

Menurut Amina Wadud, Q.S al-Nisa’/4:3, berbicara tentang perlakuan terhadap  anak  yatim. Terkadang, wali yang diamanahkan untuk mengelola kekayaan anak-anak  yatim perempuan, tidak mampu mencegah dirinya dari ketidakadilan dalam mengelola harta anak yatim. Dengan demikian, menurut Amina Wadud salah satu solusi untuk mengatasi salah-kelola (mismanagement) adalah dengan menikahi anak yatim tersebut. Pada satu sisi al-Qur’an membatasi jmlah istri yang dapat dinikahi. Di sisi lain, tanggung jawab ekonomi untuk menafkahi istri sejalan dengan akses ke harta perempua anak yatim melalu tanggung jawab manajemen. Namun, kebanyakan pendukung poligami jarang membicarakan poligami dalam konteks merawat anak anak yatim.

Baca Juga: Praktisi Poligami Ceraikan Istri yang Menopause, Ini Hakikat Poligami Sebenarnya

Amina Wadud juga menyoroti tentang keadilan yang dimaksud pada ayat tersebut. Menurut Amina Wadud keadilan harus didasarkan pada kualitas waktu dan kesamaan dalam hal kasih sayng, dukungan spiritual, moral dan intelektual. Menurut Amina Wadud, berbagai pengertian umum tentang keadilan sosial ini harus dipertimbangkan sebagai bagian dari perlakuan adil terhadap istri. Q.S al-Nisa’/4:3, berbicara tentang poligami dengan memberikan penekanan pada syarat keadilan, yaitu berlaku adil dalam mengelola dana, adil kepada anak-anak yatim, adil kepada istri-istri dan perilaku adil lainnya.

Terkait tentang keadilan, Amina Wadud mengutip Q,S al-Nisa’/4:129.

وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا

“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Amina Wadud menganggap bahwa ayat tersebut menjadi landasan syarat keadilan untuk melakukan poligami sulit untuk tercapai, bahkan mungkin menjadi hal yang mustahil untuk bisa dilaksanakan. Karena ayat tersebut telah menegaskan dengan mengatakan bahwa manusia tidak akan mampu berbuat adil terhadap para istri, kendatipun ia memiliki keinginan yang begitu menggebu untuk berbuat adil.

Tafsir Ahkam: Hukum Menggunakan Benda Berhiaskan Emas dan Perak

0
Emas dan Perak
Emas dan Perak

Mayoritas ulama’ menetapkan bahwa menggunakan wadah yang terbuat dari emas dan perak untuk tujuan seperti makan dan minum dihukumi terlarang. Dan ternyata ini tidak berlaku pada wadah yang terbuat dari keduanya saja, tapi juga berlaku pada wadah yang hanya sekedar berhiaskan emas atau perak saja. Lebih lengkapnya, simak penjelasan para pakar tafsir dan fikih berikut ini:

Komentar Dalam Kitab Tafsir

Allah berfirman:

يُطَافُ عَلَيْهِمْ بِصِحَافٍ مِّنْ ذَهَبٍ وَّاَكْوَابٍ ۚوَفِيْهَا مَا تَشْتَهِيْهِ الْاَنْفُسُ وَتَلَذُّ الْاَعْيُنُ ۚوَاَنْتُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَۚ

Kepada mereka diedarkan piring-piring dan gelas-gelas dari emas dan di dalamnya (surga) terdapat apa yang diingini oleh hati dan dipandang sedap oleh mata serta kamu kekal di dalamnya (QS. Az-Zukhruf [43] :71)

Tatkala mengulas ayat di atas Imam Al-Qurthubi menjelaskan tentang keharaman memakai wadah dari emas atau perak berdasar beberapa hadis. Ia juga mengutip pernyataan Imam Malik yang menunjukkan ketidak sukaan beliau pada prilaku minum dari wadah yang ditambal dengan emas, serta berkaca pada cermin yang memiliki semacam tali dari emas. Hal serupa juga diungkapkan oleh Ibnul Arabi dalam Ahkamul Qur’annya (Tafsir Al-Qurthubi/16/113 dan Ahkamul Qur’an/7/117).

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Hukum Makan Dan Minum dari Wadah Emas atau Perak

Sedang Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir Munir menegaskan, bahwa tindakan minum dari wadah yang bertambalkan emas atau perak atau bercermin pada cermin yang memiliki semacam tali dari keduanya, adalah sesuatu yang terlarang (Tafsir Munir/25/191).

Beberapa pengikut Imam Malik memahami bahwa ketidak sukaan Imam Malik pada wadah bertambalkan emas atau perak serta cermin berhiaskan emas, menunjukkan larangan. Dan meski larangan tersebut bisa berarti hukum haram dan makruh, beberapa ulama’ mazhab malikiyah lebih mengarahkan bahwa larangan ini menunjukkan hukum makruh (Mawahibul Jalil/1/425).

Makna Bertambalkan Emas Atau Perak

Wadah bertambalkan emas atau perak tidaklah selalu bermakna wadah yang pecah dan kemudian ditambal emas atau perak. Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa para ahli fikih juga memaksudkan istilahkan bertambalkan emas atau perak pada wadah yang sebenarnya tidak pecah, tapi ada lapisan dari emas dan perak yang diletakkan pada wadah tersebut untuk tujuan hiasan (Al-Majmu’/1/255).

Mengenai hukum pemakaian wadah tersebut, cukup banyak perbedaan pendapat serta rincian hukum di antara para ulama’ terkait permasalahan ini. Penulis mencoba akan membatasi penjelasan pada mazhab syafiiyah saja. Dimana ulama’ mazhab syafiiyah ada yang mencoba membedakan wadah antara bertambalkan emas serta perak, dan ada juga yang menyamakan keduanya.

Imam An-Nawawi meyakini bahwa hukum tambalan emas berbeda dengan perak. Dan ia mensahihkan pendapat yang menyatakan bahwa tambalan emas hukumnya haram. Entah bobot tambalan itu sedikit atau banyak, untuk tujuan kebutuhan atau sekedar hiasan. Imam An-Nawawi beralasan bahwa tambalan perak memiliki banyak dasar yang menoleransi pemakaiannya, sedangkan emas tidak. Contohnya pada hadis yang menerangkan bolehnya memakai cincin dari perak (Sahih Bukhari/5/2202).

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Hukum Makruh Berwudhu Dengan Air Musyammas

Hukum pemakaian wadah bertambalkan perak sendiri memiliki perincian sebagai berikut: tidak makruh bila ukuran tambalan tersebut sedikit dan dengan tujuan kebutuhan; makruh bila ukuran tambalan tersebut sedikit dan dengan tujuan hiasan atau banyak untuk tujuan kebutuhan; haram bila ukurannya banyak dan untuk tujuan hiasan. Ukuran banyak atau sedikitnya tambalan dapat dinilai lewat perbandingan antara ukuran tambalan serta wadah yang ditambal  (Al-Majmu’/1/258).

Mengenai adanya pernyatakaan bahwa ulama’ sepakat bahwa memakai wadah bertambalkan emas atau perak hukumnya diperbolehkan, bisa dipastikan bahwa itu hanya klaim belaka. Pada kenyataannya ulama’ dari empat mazhab memiliki banyak pro kontra terkait permasalahan ini (Mausu’atul Ijma’/1/141). Wallahu a’lam.

Tugas Khalifah dan Krisis Ekologi: Tafsir Kiai Sahal Mahfudh [Bagian 1]

0
Krisis Ekologi
Krisis Ekologi

Memasuki dekade kedua abad ke-21 ini, planet bumi benar-benar telah mengalami krisis ekologi. Utamanya krisis iklim, yang kemudian memicu terjadinya pemanasan global, naiknya permukaan laut, hujan ekstrem, berikut banjir, tanah longsor, kekeringan, dan kebakaran. Berbagai macam bencana ekologis ini, satu atau lebih di antaranya bisa mendera kita sepanjang tahun dengan intensitas yang beragam.

Krisis ekologi ini, akibat dari sepak terjang mahluk bernama manusia, yang oleh Tuhan sendiri justru didamba-damba menjadi khalifah-Nya di muka bumi ini. Sebagaimana dialog Tuhan dengan para malaikat-Nya, dalam Surat Al-Baqarah ayat 30 berikut.

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ  

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.'” Mereka berkata, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau!” Tuhan berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 30).

Aktivitas yang merusak bumi inilah yang dikhawatirkan para malaikat. Walaupun begitu, tentu Allah subhanahu wa ta’ala lebih mengetahui tujuan dijadikannya manusia sebagai khalifah. Menurut Abu Hayyan Al-Andalusy dalam al-Bahr al-Muhith fi al-Tafsir Jilid 1 (1420 H), ada dua tugas yang emban khalifah. Pertama, memutuskan hukum di muka bumi ini berdasarkan pada kebenaran dan keadilan. Kedua, mengelola bumi (‘imaratul ardli), dengan menanam di atasnya dan memetik hasilnya, serta melakukan pembangunan.

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 107: Memaknai Rahmatan Lil Alamin Menuju Alam yang Lestari

Jika dalam proses pembangunan lalu menimbukan krisis lingkungan, maka  manusia belum bisa merepresentasikan khalifah yang ekologis sebagaimana diidealkan Alquran. Maka dari itu, Kiai Sahal Mahfudh dalam bukunya Nuansa Fiqih Sosial (1994) tepatnya di bab Kontekstualisasi Al-Qur’an, menegaskan kembali bahwa khalifah memang diberi wewenang, tapi sekaligus menjadi beban (taklif) yang niscaya diembannya, yakni ‘ibadatullah dan ‘imaratul ardli.

Di mana manusia sebagai hamba (‘abdu) mendapat keharusan untuk beribadah dan menghambakan diri semata kepada Tuhan. Sebagaimana diserukan dalam Alquran yang berbunyi “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (terjemahan QS. Adz-Dzariyat [51]: 56). Menurut penafsiran Kiai Sahal, aktivitas ibadah ini menjadi tugas pertama yang kudu dilaksanakan, namun butuh sarana yang mendasar untuk mencapai kualitas ibadah, yakni berupa ‘imaratul ardli.

Di mana konsepsinya berangkat dari Surat Hud ayat 61 berikut.

وَإِلَى ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ هُوَ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الأرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا فَاسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ إِنَّ رَبِّي قَرِيبٌ مُجِيبٌ

Dan kepada Samud (Kami utus) saudara mereka. Saleh. Saleh berkata, “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagi kalian Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kalian dari bumi (tanah) dan menjadikan kalian pemakmurnya. Karena itu, mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya).” (QS. Hud [11]: 61)

Dalam Tafsir al-Maraghi Jilid 12 (Al-Maraghi, 1365 H), memotret kisah Nabi Shalih ini sebagai nasehat dan pelajaran bersama. Di mana Allah telah menjadikan kaum Tsamud sebagai pemakmur bumi dengan pertanian dan pembangunan yang maju. Atas karunia kenikmatan di bumi ini, maka sudah sepantasnya mereka bersyukur dengan menyembah Allah.

Menurut pandangan Kiai Sahal, dari ayat di atas ini kemudian mewujud paradigma ‘imaratul ardli, yakni mengelola dan memelihara bumi. Dalam arti, sebuah proses yang terus menerus diupayakan sepanjang hidup. Justru upaya merawat bumi ini menjadi sarana mendasar untuk menjalankan tugas pertama, berupa ‘ibadatullah. Lebih jauh lagi, menjadi sarana untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat (sa’adatud darain).

Begitulah Kiai Sahal dala mengkonsepsikan, bahwa menjadi khalifah itu mengemban tugas ganda berupa‘ibadatullah dan ‘imaratul ardli. Bahkan ia menyebut sampai enam kali dalam bukunya, setiap kali menyinggung tugas kekhalifahan manusia di muka bumi. Karena menurutnya, antara aktivitas ibadah dan merawat bumi, keduanya saling menopang satu sama lain.

Baca Juga: Tafsir Surat An-Nisa Ayat 1: Benarkah Hawa Tercipta dari Tulang Rusuk Nabi Adam?

Kita misalkan saja, ibadah sholat memerlukan ruang hidup yang bersih sebagai tapak sujud. Lalu dalam berwudhu sebelum sholat, juga membutuhkan air yang suci. Dari sini konkret sekali, bahwa aktivitas ibadah kita sehari-hari selalu berkaitan erat dengan sumber-sumber agraria. Sehingga dari interaksi yang sudah cukup panjang, ibadah kita telah menjadi bagian dari ekosistem, antara manusia dan lingkungan hidup.

Makanya, timbulnya krisis ekologi ini menjadi tantangan dalam keberagamaan kita. Bila bencana itu datang mendera kita, tentu saja aktivitas ibadah sedikit banyak akan terganggu. Pada akhirnya, konsepsi Kiai Sahal yang berangkat dari penafsiran  Alquran, yakni mewujudkan masyarakat ibadah dan masyarakat  ‘imarah, semakin relevan sekaligus mendesak untuk diperjuangkan.

Jadi, dari kesibukan ibadah kita, semakin menumbuhkan semangat juang untuk melestarikan lingkungan. Bersama-sama menjaga lanskap hutan dan pegunungan dari ekspansi tambang dan perkebunan yang dirasa eksplotatif, juga menjaga sungai, lahan dan ruang-ruang hidup di sekitar kita dari perampasan, pencemaran serta kerusakan. Dan kesemuanya ini dalam rangka menjalankan tugas khalifah yang mulia dan ekologis. Semoga.

Mengenal Lima Hukum Taklifi dan Contohnya dalam Al-Quran

0
Mengenal Lima Hukum Taklifi dan Contohnya dalam Al-Quran
Mengenal Lima Hukum Taklifi dan Contohnya dalam Al-Quran

Hukum Islam sebagai aturan yang ditetapkan oleh Allah Swt untuk hambanya secara garis besar terbagi menjadi dua bagian, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i. Hukum taklifi dimaknai sebagai perintah Allah Swt yang berhubungan dengan amalan atau kegiatan bagi hamba yang mukallaf. Dalam penjelasan lanjutnya, hukum taklifi dibagi atas lima kategori; wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Berikut penjabarannya:

  1. Wajib

Wajib artinya seorang muslim yang mukallaf (akil baligh) diharuskan melaksanakan sesuatu karena adanya tuntutan untuk melaksanakannnya. Apabila tidak melaksanakannya, maka ia akan berdosa. Sebagai contoh, perintah Allah Swt dalam Al-Quran surah al-Baqarah ayat 43 tentang kewajiban melaksanakan salat dan zakat:

وَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱرْكَعُوا۟ مَعَ ٱلرَّٰكِعِينَ

Artinya: Dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan rukulah beserta orang-orang yang rukuk.

Wahbah al-Zuhaili menafsirkan ayat di atas sebagai berikut; Tegakkanlah salat yang diwajibkan atas orang-orang muslim, tuniakanlah zakat yang wajib (diberikan) kepada mereka yang berhak menerimanya, tunduklah kepada perintah-perintah Allah, salatlah dengan berjamaah bersama orang-orang yang salat, dan sempurnakanlah ruku’ kalian bersama mereka karena orang-orang Yahudi tidak memiliki ruku’ di dalam salat mereka (Tafsir Al-Wajiz, 43).

  1. Sunnah

Sunnah disebut juga nadab, tathawwu’, nafilah serta sebutan-sebutan lain yang maknanya adalah segala perbuatan yang dianjurkan dan diberi ganjaran pahala oleh Allah Swt. Adapun apabila perbuatan sunnah tidak dilaksanakan, maka tidak mendapat dosa. Contohya dalam Al-Quran surah Al-Isra ayat 79:

وَمِنَ ٱلَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِۦ نَافِلَةً لَّكَ عَسَىٰٓ أَن يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُودًا

Artinya: Dan pada sebahagian malam hari salat tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.

  1. Mubah

Mubah maksudnya adalah sesuatu yang ada padanya pilihan dari Allah Swt untuk boleh dilakukan atau tinggalkan, seperti makan, minum, tidur, serta lainnya (Mahmud Muhammad al-Thanthawi, Ushul al-Fiqh al-Islami, 47).

Ada beberapa firman Allah Swt yang menunjukkan hukum mubah. Salah satunya terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat 187:

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ ۗ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ ۖ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ ۚ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

Artinya: Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.

Redaksi ayat di atas menunjukkan kebolehan melakukan sesuatu dengan redaksi “dihalalkan” di atas. Berdasarkan hal tersebut, maka seseorang boleh (mubah) menggauli istrinya di malam bulan Ramadhan (Badruddin Muhammad bin Abdullah al-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, 134).

Baca juga: Mengenal Corak Tafsir Fiqhi dan Kitab-kitabnya

  1. Makruh

Makruh yakni apa yang dituntut oleh Allah Swt untuk ditinggalkan, tetapi bukan termasuk kewajiban. Bisa juga diartikan sebagai segala sesuatu yang lebih utama ditinggalkan daripada dilakukan (Mahmud Muhammad al-Thanthawi, Ushul al-Fiqh al-Islami, 75).

Dalam Al-Quran maupun kitan-kitab tafsir, penulis belum menemukan secara rinci mengenai ayat yang mengandung hukum makruh, hanya saja pembahasan makruh lebih banyak dijelaskan dalam kajian-kajian fikih dan ushul fikih.

  1. Haram

Haram yaitu apa saja yang diperintahkan oleh Allah Swt untuk ditinggalkan. Perintah untuk meninggalan ini bersifat wajib (Mahmud Muhammad al-Thanthawi, Ushul al-Fiqh al-Islami, 72).

Dalam Al-Quran terdapat beberapa ayat yang membahas tentang apa saja yang diharamkan bagi umat Islam. Salah satunya adalah keharaman meminum khamr, berjudi, dan mengundi nasib. Perintah untuk meninggalkan perbuatan tersebut terdapat dalam Al-Quran surah Al-Maidah ayat 83:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِنَّمَا ٱلْخَمْرُ وَٱلْمَيْسِرُ وَٱلْأَنصَابُ وَٱلْأَزْلَٰمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ ٱلشَّيْطَٰنِ فَٱجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.

Ayat di atas memberikan penjelasan tentang salah satu perbuatan yang disukai oleh setan, yaitu meminum khamr.

Ayat ini turun karena Sa’d bin Abi Waqash dan seorang laki-laki lain sedang meminum khamr dan mereka saling bertengkar. Berkat pengaruh khamr, Sa’d mengucapkan kata-kata tak pantas. Ia mengatakan; “Orang-orang Muhajirin lebih baik daripada orang Anshar,” Sekatika temannya memukulnya menggunakan kulit kepala unta dan menyakiti hidungnya, kemudian turunlah ayat ini membawa kepastian hukum haramnya khamr (Tafsir al-Wajiz, 124).

Demikian penjelasan singkat mengenai lima macam hukum taklifi dan beberapa contoh ayat Al-Quran yang mengandung kelima hukum tersebut.

Baca juga: Al-Baqarah Ayat 286: Allah Swt Tidak Akan Membebani Seseorang Melebihi Kemampuannya

Praktisi Poligami Ceraikan Istri yang Menopause, Ini Hakikat Poligami Sebenarnya

0
Praktisi Poligami Ceraikan Istri yang Menopause, Ini Hakikat Poligami Sebenarnya
Hakikat Poligami Sebenarnya

Baru-baru ini terdengar kabar melalui media sosial tentang seseorang yang melakukan poligami, sekaligus juga menjadi mentor dalam sebuah kelas bimbingan poligami. Sebagai seorang mentor, ia bertugas memperkenalkan dunia poligami dan tentunya mengajak agar orang lain dapat mempraktikkan poligami, sebagaimana yang telah ia lakukan. Ketika diwawancarai, ia mengucapkan pengakuan kontroversial, yakni ada istri yang ia ceraikan hanya karena telah memasuki masa menopause (Youtube: Narasi Newsroom, “Menguak Sisi Lain Mentoring Poligami Berbayar”).

Sontak banyak pihak yang mempertanyakan sikap praktisi dan mentor poligami tersebut. Apakah pantas ia menceraikan istrinya hanya karena sudah menopause? Apakah semudah itu menikahi banyak perempuan dan melepasnya begitu saja ketika sudah menopause? Benarkah pernikahan poligami hanya untuk keperluan seksual semata?

Poligami selalu menjadi isu yang ramai diperbincangkan sepanjang zaman. Baik di kalangan masyarakat secara umum, maupun di kalangan para ulama. Islam sendiri memang memperbolehkan adanya praktik poligami dengan syarat-syarat yang sangat ketat.

Baca juga: Tafsir Ayat Poligami yang Tidak Pernah Usai dan Kisah Imam Abu Hanifah Membela Perempuan

Bagaimana hakikat sebenarnya poligami?

Sebagai salah satu jajaran feminis Islam, Riffat Hassan memiliki pandangan tersendiri tentang poligami. Pandangannya tentang poligami dapat kita lihat ketika ia menjelaskan QS. An-Nisa: 3 sebagai berikut:

وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰٓى اَلَّا تَعُوْلُوْاۗ – ٣

Artinya: “Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim”. (QS. al-Nisa: 3).

Ayat di atas menurut Riffat Hassan turun ketika sedang terjadi maraknya peperangan yang mengakibatkan banyak laki-laki meninggal dunia karena gugur di medan perang. Oleh karena itu, banyak pula munculnya janda-janda dan anak-anak yatim. Maka bagi Riffat Hassan, ayat di atas sebenarnya bukan menekankan kepada anjuran berpoligami, tetapi lebih kepada masalah penyantunan anak yatim.

Adapun pernikahan yang dimaksud pada ayat tersebut adalah tentang menikahi ibu dari anak yatim yang ditinggal mati oleh ayahnya yang ikut berperang. Sebagaimana pula pernah diungkapkan oleh Muhammad Shahrur, pemikir kontemporer dari Syiria. Ia mengatakan, “Poligami itu sesungguhnya berkaitan dengan konteks yang sangat darurat dan pada dasarnya Islam itu menganut prinsip monogami”.

Meskipun poligami diperbolehkan dalam Islam, tetapi yang perlu digaris bawahi adalah perihal keadilan dan kebajikan. Bahkan tujuan dari poligami yang diidealkan Islam sesungguhnya adalah untuk membantu anak-anak yatim dan janda. (Muhammad Shahrur, al-Qur’an wa al-Kitab: Qira’ah Mu’asirah).

Perihal poligami yang dipraktikkan oleh Nabi Muhammad saw, sesungguhnya dimaksudkan untuk menyantuni anak-anak yatim dan janda. Beliau sesungguhnya lebih menekankan atau mengajarkan kepada praktik monogami sebagaimana pernikahan pertama beliau dengan Sayyidah Siti Khadijah pada saat usia beliau 25 tahun. Sejak saat itu, beliau tidak menikah lagi hingga berusia 50 tahun.

Poligami Nabi saw juga bukan untuk menyalurkan nafsu seksual semata sebagaimana mungkin yang sebagian orang “salah memahaminya”. Karena jika hanya untuk menyalurkan hawa nafsu, tentu yang dinikahi adalah wanita-wanita yang masih muda, tetapi kenyataannya beliau tidak begitu. Sebagian besar istri yang Nabi nikahi adalah para janda yang sudah cukup berusia.

Adapun praktik salah seorang mentor poligami di atas yang “salah paham” sehingga mengakui bahwa ia menceraikan salah satu istrinya karena alasan menopause. Hal ini berarti bahwa perempuan hanya dianggap sebagai “alat reproduksi” dan “pemuasan nafsu” semata. Na’udzu billahi min dzalik. Padahal Islam sangat menghargai wanita dan tidak mungkin mengajarkan hal rendah seperti itu.

Terlihat miris jika praktik poligami disalahartikan dan perempuan sering menjadi korban. Jadi dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya kandungan ayat al-Qur’an mengenai poligami adalah; pertama, sebagai salah satu cara agar anak yatim dipelihara dan disantuni, dan kedua, bahwa praktik poligami diperbolehkan dalam kondisi sulit atau darurat.

Melalui penjelasan singkat di atas, diharapkan agar praktik poligami ini dapat dipertimbangkan lebih matang dan bukan untuk “pelampiasan nafsu” semata. Wallahhu a’lam.

Baca juga: Surah An-Nisa Ayat 3, Praktik Poligami Menurut Mufasir Indonesia