Beranda blog Halaman 170

Tafsir Surah Fussilat Ayat 29-30

0
Tafsir Surah Fussilat
Tafsir Surah Fussilat

Tafsir Surah Fussilat Ayat 29-30 berbiacara mengenai dua hal. Pertama mengenai ketidak terimaan orang-orang kafir karena telah terpengaruh oleh setan yang menjerumuskannya keneraka. Kedua berbicara mengenai orang-orang yang beruntung karena taat terhadap perintah agama.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Fussilat Ayat 26-28


Ayat 29

Pada ayat ini diterangkan bahwa tatkala orang-orang kafir itu merasakan azab neraka, mereka minta kepada Allah agar setan-setan yang menyesatkan mereka dihadapkan kepada mereka.

Permintaan itu diajukan agar mereka dapat melampiaskan dendam mereka. Mereka berkata, “Wahai Tuhan kami, hadapkanlah kepada kami setan-setan yang menyesatkan kami itu, agar kami dapat melampiaskan sakit hati kami kepada mereka dengan menginjak-injak tubuh mereka.”

Pada ayat-ayat yang lain diterangkan bahwa setan-setan itu ada yang jenis jin dan ada yang dari jenis manusia, seperti firman Allah:

وَكَذٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيٰطِيْنَ الْاِنْسِ وَالْجِنِّ

Dan demikianlah untuk setiap nabi Kami menjadikan musuh yang terdiri dari setan-setan manusia dan jin… (al-An’am/6: 112)

Dan firman Allah:

الَّذِيْ يُوَسْوِسُ فِيْ صُدُوْرِ النَّاسِۙ  ٥  مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ ࣖ   ٦

Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari (golongan) jin dan manusia. (an-Nas/114: 5-6);


Baca juga: Mengenal Lebih Dekat Tafsir Juz ‘Amma Karya Kh. Masruhan Ihsan


Ayat 30

Ayat ini menerangkan bahwa orang-orang yang mengatakan dan mengakui bahwa Tuhan Yang Menciptakan, Memelihara, dan Menjaga kelangsungan hidup, Memberi rezeki, dan yang berhak disembah, hanyalah Tuhan Yang Maha Esa, kemudian mereka tetap teguh dalam pendiriannya itu, maka para malaikat akan turun untuk mendampingi mereka pada saat-saat diperlukan.

Di antaranya pada saat mereka meninggal dunia, di dalam kubur, dan dihisab di akhirat nanti, sehingga segala kesulitan yang mereka hadapi terasa menjadi ringan.

Dalam hadis Nabi saw diterangkan bahwa teguh dalam pendirian itu merupakan hal yang sangat diperlukan oleh seorang mukmin:

عَنْ سُفْيَانَ بْنِ عَبْدِ اللهِ الثَّقَفِيّ: إِنَّ رَجُلاً قَالَ: يَارَسُوْلَ اللهِ مُرْنِيْ بِأَمْرٍ فِى اْلإِسْلاَمِ لاَ اَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا بَعْدَكَ قَالَ: قُلْ اٰمَنْتُ بِاللهِ ثُمَّ اسْتَقِمْ. قُلْتُ: فَمَا أَتَّقِيْ؟ فَأَوَي إِلَى لِسَانِهِ. (رواه مسلم)

Sufyan bin ‘Abdullah as-Saqafi meriwayatkan bahwa seseorang berkata, “Ya Rasulullah, perintahkan kepadaku tentang Islam suatu perintah yang aku tidak menanyakan lagi kepada orang selain engkau.” Rasulullah menjawab, “Katakanlah: Aku beriman kepada Allah, kemudian teguhkanlah pendirianmu.” Aku berkata, “Apa yang harus aku jaga?” Maka Rasulullah mengisyaratkan kepada lidahnya sendiri. (Riwayat Muslim)

Menurut Abu Bakar, yang dimaksud dengan perkataan “istiqamah” ialah tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apa pun.

Kepada orang yang beriman dan berpendirian teguh dengan tidak mempersekutukan-Nya, Allah menurunkan malaikat yang menyampaikan kabar menggembirakan, memberikan segala yang bermanfaat, menolak kemudaratan, dan menghilangkan duka cita yang mungkin ada padanya dalam seluruh urusan duniawi maupun urusan ukhrawi.

Dengan demikian, dadanya menjadi lapang dan tenteram, tidak ada kekhawatiran pada diri mereka. Sedangkan kepada orang-orang kafir, datang setan yang selalu menggoda mereka, sehingga menjadikan perbuatan buruk indah menurut pandangan mereka.

Waki’ dan Ibnu Zaid berpendapat bahwa para malaikat memberikan berita gembira kepada orang-orang yang beriman pada tiga keadaan yaitu, ketika mati, di dalam kubur, dan di waktu kebangkitan.

Kepada orang-orang yang beriman itu para malaikat mengatakan agar mereka tidak usah khawatir menghadapi hari kebangkitan dan hari perhitungan nanti. Mereka juga tidak usah bersedih hati terhadap urusan dunia yang luput dari mereka seperti yang berhubungan dengan keluarga, anak, harta, dan sebagainya.

Menurut ‘Ata’, yang dimaksud dengan “alla takhafµ wa la tahzanµ” ialah: janganlah kamu khawatir bahwa Allah tidak memberi pahala amalmu, sesungguhnya kamu itu diterima Allah, dan janganlah kamu bersedih hati atas perbuatan dosa yang telah kamu perbuat, maka sesungguhnya Allah mengampuninya.

Ayat ini selanjutnya menjelaskan bahwa para malaikat mengatakan kepada orang-orang beriman agar bergembira dengan surga yang telah dijanjikan para rasul. Mereka pasti masuk surga, dan kekal di dalamnya.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Fussilat Ayat 31-33


(Tafsir Kemenag)

Tanggapan Fred Donner atas Kajian Otentisitas Al-Quran Para Revisionis

0
Tanggapan Fred Donner atas kajian otentisitas Al-Quran para revisionis
Tanggapan Fred Donner atas kajian otentisitas Al-Quran para revisionis

Kaum revisionis merupakan kesarjanaan baru yang muncul sekitar pada tahun 1970-an. Kesarjanaan ini merupakan salah satu kelompok yang menentang untuk menerima penjelasan tradisional misalnya tentang sejarah awal Islam untuk diterima begitu saja. Dengan kata lain, kelahiran kaum revisionis berhasil mencari celah untuk melemahkan narasi tradisional tentang Islam yang sudah melekat dan mengakar kuat dalam umat Muslim.

Diantara tokoh revisionis yakni John Wansbrough dengan dua karya fenomenalnya Quranic Studies dan The Sectarian Milieu, Michael Cook dan Patricia Crone dengan karyanya Hargarism, dan John Burton dengan karyanya The Collection of the Qur’an.  Dalam buku Kontroversi Islam Awal karya Mun’im Sirry dijelaskan bahwa meski ditulis oleh orang yang berbeda, namun keempat karya tersebut sebenarnya berisi tentang penjelasan kemunculan atau sejarah awal Islam yang sangat berbeda dengan penjelasan tradisionalis yang dipahami oleh umat Muslim.

Tak berhenti sampai di situ, kajian kaum revisionis juga berusaha membahas mengenai ontetisitas Al-Quran. Berbagai teori pro dan kontra lahir sebagai respon atas penelitian terhadap Al-Quran tersebut.  Mulai dari pendapat bahwa Al-Quran hanyalah ‘karangan’ yang dibuat oleh orang-orang yang hidup setelah Muhammad sampai berbagai argumen yang diajukan oleh sarjana muslim dan beberapa orientalis untuk menyanggah tuduhan kaum revisionis terkait otentitas Al-Quran. Salah satunya disampaikan oleh Fred Donner.

Baca Juga: Sanggahan Terhadap Pandangan Orientalis Christoph Luxenberg: Problematika Pembacaan Ulang Al-Qur’an Menggunakan Bahasa Syiriak-Aramaik

Sekilas tentang Kaum Revisionis

Pada asalnya, istilah revisionis merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut sebuah pendekatan yang menganggap sumber-sumber tradisional tidak dapat dipakai untuk merekonstruksi sejarah awal Islam. Sebagai gantinya, pendekatan ini menawarkan pendekatan metodologis atas sumber-sumber tradisional sejarah awal Islam.

Dalam Sejarah Sosial dalam Studi Islam karya Akh. Minhaji terdapat beberapa prinsip yang dimiliki pendekatan ini, pertama, sumber tertulis tidak dapat menjelaskan apa yang benar-benar terjadi. Kedua, saksi mata adalah orang yang mengetahui apa yang ditulis yakni terkait penggambaran suatu peristiwa, namun hal ini masih memungkinkan adanya perbedaan pemahaman dan penafsiran dengan peristiwa yang sebenarnya disebabkan oleh pengalaman dan pengetahuan orang tersebut. Ketiga, tak jarang terjadinya reduksi kata-kata dalam proses penggambaran suatu peristiwa. Keempat, sebuah karya tulis sebenarnya hanya menyajikan suatu fakta atau peristiwa yang terjadi berdasarkan sudut pandang penulis. Kelima, berbagai problem terdapat dalam bukti atau sumber tertulis seperti terpisah-pisah atau tersisa serpihan-serpihan yang tidak lengkap. Keenam, selain bukti-bukti internal, bukti eksternal merupakan hal yang perlu dibaca ketika melakukan penelitian. Singkatnya, pendekatan revisionis bertumpu pada kritik teks atas Al-Quran dan literatur Islam lainnya, pembuktian literatur Islam dengan data yang semasa, serta pengambilan kesimpulan berdasarkan data semasa yang ditemukan.

Baca Juga: Mengenal Kesarjanaan Revisionis dalam Studi Al-Quran

Sekilas tentang Fred Donner

Fred McGraw Donner atau Fred Donner dilahirkan di Washington D.C. Ia merupakan seorang sarjana yang berasal dari Amerika. Adapun riwayat pendidikannya yakni dimulai dengan studi oriental studies di Universitas Princeton, kemudian ia juga sempat mengambil kajian Arab di MECAS atau Middle East Centre for Arab Studies, studi filologi oriental di Universitas Friedrich-Alexander, dan kembali ke Universitas Princeton untuk melanjutkan studi doktoralnya.

Donner dikenal sebagai seorang orientalis yang mendalami kajian Islam. Hal ini dibuktikan dengan semangatnya yang mengkaji literatur yang ditulis ilmuwan Muslim klasik untuk kemudian diterjemahkan agar dapat dibaca lebih banyak orang lagi. Diantara karya-karya Donner yakni Narratives of Islamic Origins, Muhammad and the Believers: At the origins of Islam, dan The Early Islamic Conquest, dan The History of al-Tabari.

Baca Juga: Mengenal Tokoh Revisionis John Wansbrough, yang Mempertanyakan Kemurnian Al-Qur’an

Problem otentitas Al-Quran dan tanggapan Fred Donner

John Wansbrough terkenal sebagai salah satu tokoh yang meragukan otentisitas Al-Quran. Salah satu tesisnya yang terkenal adalah ia mengatakan bahwa Al-Quran tidak muncul di masa awal Islam dan disahkan oleh Nabi Muhammad melainkan berasal dari kaum Muslim yang hidup setelah wafatnya Rasulullah saw. Narasi dalam kitab-kitab sejarah maupun ulumul Quran yang memuat bagaimana proses diturunkannya Al-Quran kepada Rasulullah saw. dengan tegas ditolak oleh Wansbrough dan tidak dapat dijadikan sebagai bukti sejarah, sebab menurutya proses dokumentasi Al-Quran secara sempurna baru terjadi dua abad setelah Muhammad meninggal dan berasal dari luar Arab yakni Irak atau Syiria.

Menanggapi hal tersebut, Donner dalam karyanya Narratives of Islamic Origin menuliskan bahwa berbagai hipotesis Wansbrough terkait Al-Quran hanya membuat masalah di kalangan sejarawan yang berasal dari komunitas awal yang percaya. Sebab Wansbrough mengganggap Al-Quran serta literatur Islam lainnya sebagai hasil dari polemik konflik dan politis antar-konfesional yang biasanya mungkin terjadi di negara Kristen, Yahudi, dan Zoroaster. Namun, sebenarnya ia tidak dapat benar-benar menjelaskan tesisnya itu dengan lebih jelas dan tepat misalnya terkait siapa yang membuat Al-Quran tersebut, kapan, dan dimana tempat hal tersebut terjadi.

Pendapat lain dari Wansbrough yakni terkait varian bacaan atau qiraat dalam Al-Quran yang selama ini telah dipahami oleh orang-orang Muslim. Ia mengatakan bahwa qiraat merupakan proses pengeditan tekstual atau residu parafrasa atas gagasan-gagasan dalam Al-Quran. Donner mengatakan bahwa pendapat Wansbrough ini sangatlah lemah. Sebab lagi-lagi ia hanya mengatakan bahwa proses dalam pembuatan Al-Quran maupun hal yang berkaitan dengannya dilakukan oleh ilmuwan atau komunitas tertentu. Hal ini tentu sangat mencurigakan sebab dua pelaku yang disebut Wansbrough terlalu samar sehingga tidak dapat diketahui, apakah dilakukan oleh inidvidu, atau kelompok mana yang terlibat dalam peristiwa yang disebutkan oleh Wansbrough.

Selain itu, dalam Kontroversi Islam Awal karya Mun’im Sirry dijelaskan bahwa Donner menentang lima argumen Wansbrough yakni: Pertama, sejak dulu Al-Quran merupakan kitab suci berdasarkan ditemukannya ayat Al-Quran di masa awal Islam. Kedua, perbedaan bacaan atau qiraat tidak terkait dalam proses kanonisasai Al-Quran. Ketiga, kelemahan pendapat Wansbrough terkait Al-Quran terlihat pada saat ia tidak menjelaskan mengenai siapa pemilik wewenang dalam mnetapkan standar pada teks Al-Quran. Keempat, terdapat perbedaan yang jelas baik dari segi bahasa maupun konten antara Al-Quran dan hadis, yang menjadi petunjuk bahwa Al-Quran datang lebih awal dibanding hadis.

Simpulan

Menurut Fred Donner, tuduhan Wansbrough tentang otentisitas Al-Quran tak dapat dibuktikan. Sebab, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, dengan membandingkan Al-Quran dan hadis, diketahui bahwa Al-Quran telah fixed menjadi sebuah korpus di masa Nabi Muhammad saw dan ini berarti Al-Quran dapat dijadikan sebagai bukti sejarah awal Islam. Selain itu, metode komparasi yang digunakan Donner secara implisit menunjukkan bahwa hadis merupakan sesuatu yang baru muncul setelah Rasulullah wafat, dikarenakan pembahasan di dalamnya mengenai permasalahan yang muncul setelah Nabi Muhammad meninggal dunia. Wallahua’lam.

Tafsir Surah Fussilat Ayat 26-28

0
Tafsir Surah Fussilat
Tafsir Surah Fussilat

Tafsir Surah Fussilat Ayat 26-28 berbicara mengenai keingkaran orang-orang kafir terhadap firman Allah dan kerasulan Nabi Muhammad SAW. Salah satunya dengan cara mengganggu awal-awal proses dakwah Nabi Muhammad SAW.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Fussilat Ayat 24-25


Ayat 26

Orang-orang yang kafir dan ingkar kepada Allah dan rasul-Nya berkata kepada kaum mereka, “Jangan sekali-kali kamu mendengar ayat-ayat Al-Qur’an yang dibacakan oleh Muhammad, jangan kamu memperhatikan dan merenungkan isinya.

Hendaklah kamu berusaha mengganggu pendengaran orang-orang yang mendengarnya, seperti dengan bernyanyi-nyanyi, bersorak-sorai. Dengan sikap kamu yang demikian, mudah-mudahan orang-orang yang mendengarnya, tidak mengetahui dengan jelas bacaan Al-Qur’an yang didengarnya itu.”

Dahulu waktu Rasulullah masih di Mekah, sebelum hijrah ke Medinah, apabila beliau membaca ayat-ayat Al-Qur’an, beliau mengeraskan suaranya agar didengar orang-orang banyak.

Apabila pemuda-pemuda musyrik Mekah mendengar beliau membaca Al-Qur’an, mereka mengusir orang-orang yang mendengar bacaan Nabi saw itu dengan mengatakan, “Ganggulah suara Muhammad itu dengan menangis, bersiul, bernyanyi, atau dengan bertepuk tangan.”

Ibnu ‘Abbas berkata bahwa Abµ Jahal berkata kepada kaumnya, “Apabila Muhammad membaca ayat-ayat Al-Qur’an, berteriaklah dengan keras di mukanya, sehingga tidak terdengar apa yang diucapkannya.” Padahal, Allah memerintahkan untuk mendengarkan jika Al-Qur’an dibacakan. Firman-Nya:

وَاِذَا قُرِئَ الْقُرْاٰنُ فَاسْتَمِعُوْا لَهٗ وَاَنْصِتُوْا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ

Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah dan diamlah, agar kamu mendapat rahmat. (al-A’raf/7: 204)


Baca juga: Tafsir Tarbawi: Empat Kompetensi Yang Harus Dimiliki oleh Pendidik


Ayat 27

Pada ayat ini, Allah mengancam orang-orang kafir dengan azab yang pedih dengan mengatakan, “Kami benar-benar akan merasakan kepada orang-orang kafir itu azab yang tidak dapat digambarkan kedahsyatannya dan Kami akan membalas semua perbuatan dosa dan larangan yang telah mereka lakukan.

Kami tidak akan memberi pahala semua perbuatan baik yang telah mereka kerjakan, karena semua perbuatan baik seperti menghubungkan silaturrahim, menolong orang sengsara, mengerjakan perbuatan baik dan sebagainya, telah dihapus oleh kekafiran mereka. Tidak ada satu pun yang dapat mereka harapkan dari perbuatan baik itu selain dari amal yang buruk.”

Ayat 28

Balasan bagi orang-orang yang memperolok-olokkan ayat-ayat Allah dan bagi musuh-musuhnya ialah api neraka. Mereka kekal di dalamnya dan azab itu mereka rasakan terus-menerus. Mereka tidak dapat menghindarinya lagi.

Kemudian Allah menerangkan bahwa mereka berada di neraka Jahanam kekal selama-lamanya, sebagai balasan terhadap perbuatan mereka mengingkari ayat-ayat Allah sewaktu di dunia.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Fussilat Ayat 29-30


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Fussilat Ayat 24-25

0
Tafsir Surah Fussilat
Tafsir Surah Fussilat

Tafsir Surah Fussilat Ayat 24-25 berbicara mengenai dua hal. Pertama mengenai keadaan orang yang berburuk sangkat terhadap Allah. Balasan mereka adalah neraka. kedua berbicara mengenai sindiran Allah kepada orang-orang kafir.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Fussilat Ayat 23


Ayat 24

Pada ayat ini, Allah menerangkan keadaan orang-orang yang berburuk sangka terhadap Allah, yaitu mereka akan dimasukkan ke dalam neraka. Semuanya dimasukkan ke dalam neraka tidak ada kecualinya dan neraka inilah tempat kembali mereka.

Seandainya di antara mereka ada yang minta ditangguhkan azab atau minta ampun kepada Allah dan bersedia kembali ke dunia seandainya Allah memberi mereka kesempatan, maka semuanya tidak akan dikabulkan.

Permohonan mereka tidak mungkin dikabulkan karena mereka telah meninggalkan dunia. Tempat beramal dan dunia itu pun telah hancur, sedang akhirat bukanlah tempat beramal, tetapi tempat menerima hasil amal seseorang semasa hidup di dunia.


Baca juga: Tafsir Tarbawi: Keharusan Berpikir Kritis Bagi Pendidik dan Peserta Didik


Ayat 25

Allah menerangkan bahwa Dia telah menyediakan bagi orang kafir itu teman dan penolong berupa setan-setan dari golongan jin dan manusia.

Mereka menganggap perbuatan-perbuatan duniawi yang membawa kepada kesesatan dan kekafiran itu baik, seperti memperturutkan hawa nafsu, suka mengumpulkan harta semata-mata untuk kepentingan diri sendiri, gila kekuasaan, mengerjakan perbuatan-perbuatan maksiat dan terlarang dan sebagainya.

Demikian halnya dengan urusan-urusan akhirat, setan-setan itu telah menanamkan kepercayaan kepada hati manusia bahwa tidak ada surga atau neraka, tidak ada hidup sesudah mati, tidak ada kebangkitan dan hisab, tidak ada Tuhan yang wajib disembah, dan sebagainya. Oleh karena itu, mudah bagi mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang mereka inginkan dan melakukan perbuatan-perbuatan terlarang. Firman Allah:

وَمَنْ يَّعْشُ عَنْ ذِكْرِ الرَّحْمٰنِ نُقَيِّضْ لَهٗ شَيْطٰنًا فَهُوَ لَهٗ قَرِيْنٌ  ٣٦  وَاِنَّهُمْ لَيَصُدُّوْنَهُمْ عَنِ السَّبِيْلِ وَيَحْسَبُوْنَ اَنَّهُمْ مُّهْتَدُوْنَ   ٣٧

Dan barangsiapa berpaling dari pengajaran Allah Yang Maha Pengasih   (Al-Qur’an), Kami biarkan setan (menyesatkannya) dan menjadi teman karibnya. Dan sungguh, mereka (setan-setan itu) benar-benar menghalang-halangi mereka dari jalan yang benar, sedang mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk. (az-Zukhruf/43: 36-37)

Karena sikap dan perbuatan mereka itu, maka ditetapkanlah azab bagi mereka, seperti azab yang pernah ditimpakan kepada umat-umat dahulu, yang telah mengikuti tipu daya setan. Semua mereka itu, yaitu setan-setan beserta pengikut-pengikutnya, sama-sama menderita kerugian dan kehancuran. Mereka sama-sama mendapat azab yang pedih di akhirat nanti karena mereka sama-sama orang yang merugikan diri sendiri.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Fussilat Ayat 26-28


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Fussilat Ayat 23

0
Tafsir Surah Fussilat
Tafsir Surah Fussilat

Tafsir Surah Fussilat Ayat 23 berbicara mengenai perangka sesat yang anut oleh orang-orang kafir. Mereka menyangka bahwa mereka akan luput dari pantauan Allah SWT. Padahal prasangka itu sama sekali salah dan merugikan  mereka sendiri.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Fussilat Ayat 22


Ayat 23

Dugaan orang-orang kafir bahwa Allah tidak mengetahui dan tidak melihat perbuatan-perbuatan buruk yang dilakukannya adalah persangkaan yang tidak baik. Persangkaan yang demikian akan menimbulkan keberanian untuk melakukan perbuatan-perbuatan terlarang, sehingga berakibat kerugian pada diri sendiri.

Akibat persangkaan yang demikian itu, mereka akan mendapat kerugian dan kehinaan di dunia dan azab pedih di akhirat nanti.

Dari ayat ini, dapat dipahami bahwa sangkaan yang baik ialah meyakini bahwa Allah mengetahui segala perbuatan hamba-Nya sejak dari yang halus sampai kepada yang besar, sejak dari yang nampak sampai kepada yang tersembunyi, dan Allah mengetahui segala isi hatinya.

Jika seseorang telah memercayai yang demikian, maka ia selalu meneliti segala yang akan diperbuatnya, mana yang diridai Allah dan mana yang tidak diridai-Nya. Ia akan menghentikan serta menjauhkan diri dari segala perbuatan yang tidak diridai Allah, karena ia telah yakin bahwa Allah melihat  dan mengetahui semua perbuatannya itu.

Diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, Abµ Dawud, dan Ibnu Majah dari Jabir bin ‘Abdulllah:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ يَمُوْتُنَّ أَحَدُكُمْ إِلاَّ وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِاللهِ تَعَالَى.

Rasulullah saw bersabda, “Kamu jangan sekali-kali mati kecuali berbaik sangka kepada Allah. (Riwayat Ahmad, Muslim, Abµ Dawud, dan Ibnu Majah)


Baca juga: Mengenal Lima Hukum Taklifi dan Contohnya dalam Al-Quran


Para ulama berpendapat bahwa sangkaan itu ada dua macam: pertama, sangkaan yang baik, yaitu menyangka bahwa Allah mempunyai rahmat, keutamaan, dan kebaikan yang akan dilimpahkan-Nya kepada manusia, sebagaimana tersebut dalam hadis Qudsi:

أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبِدِيْ بِيْ. (رواه مسلم عن أنس)

Allah berfirman, “Aku menuruti sangkaan hamba-Ku kepada-Ku.”(Riwayat Muslim dari Anas)

Kedua, sangkaan yang jelek, yaitu menyangka bahwa Allah tidak mengetahui segala perbuatan hamba-hamba-Nya.

Menurut Qatadah, sangkaan itu ada dua macam, yaitu: pertama, sangkaan yang menyelamatkan seperti yang diterangkan firman Allah:

اِنِّيْ ظَنَنْتُ اَنِّيْ مُلٰقٍ حِسَابِيَهْ

Sesungguhnya aku yakin, bahwa (suatu saat) aku akan menerima perhitungan terhadap diriku. (al-Haqqah/69: 20)

Dan firman Allah:

الَّذِيْنَ يَظُنُّوْنَ اَنَّهُمْ مُّلٰقُوْا رَبِّهِمْ وَاَنَّهُمْ اِلَيْهِ رٰجِعُوْنَ

(Yaitu) mereka yang yakin, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya. (al-Baqarah/2: 46)

Kedua, sangkaan yang merusak, seperti yang diterangkan firman Allah ini.

 Umar bin Khattab berkata tentang ayat ini, “Mereka adalah orang-orang yang terus-menerus berbuat maksiat, tidak bertobat dari perbuatan itu, dan mereka berdebat tentang ampunan Tuhan, sehingga mereka meninggalkan dunia tidak membawa apa-apa.” Kemudian Umar membaca ayat ini.

Al-Hasan al-Basri berkata, “Sesungguhnya satu kaum yang diperdaya oleh angan-angannya yang kosong sehingga mereka meninggal dunia, dan tiadalah mereka mempunyai suatu kebaikan pun. Salah seorang dari mereka berkata, ‘Sesungguhnya aku berbaik sangka terhadap Tuhanku.’ Sesungguhnya ia telah berdusta. Jika baik sangkaannya, tentu baik pula amalnya.” Kemudian Al-Hasan al-Basri membaca ayat ini.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Fussilat Ayat 24-25


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Fussilat Ayat 22

0
Tafsir Surah Fussilat
Tafsir Surah Fussilat

Tafsir Surah Fussilat Ayat 22 berbicara mengenai kelemahan manusia secara mutlak, yakni manusia tidak bisa menyembunyikan segala perbuatannya. Selain itu ayat ini juga mengingatkan manusia agar selalu waspada dan berhati-hati dalam berbuat sesuatu karena kelak akan dipertanggung jawabkan.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Fussilat Ayat 21


Ayat 22

Diriwayatkan dari Bukhari dan Muslim beserta imam-imam yang lain dari Ibnu Mas’ud ia berkata, “Ketika aku bersembunyi di belakang tirai Ka’bah, maka datanglah tiga orang: seorang Quraisy dan dua orang Bani Tsaqif, atau seorang Bani Tsaqif dan dua orang Quraisy, sedikit sekali ilmunya dan amat buncit perut mereka, mereka mengucapkan perkataan yang tidak pernah aku dengar. Maka salah seorang mereka berkata, ‘Apakah kamu berpendapat bahwa Allah mendengar perkataan kita ini?’

Maka yang lain menjawab, Sesungguhnya apabila kita mengeraskan suara kita, niscaya Dia mendengarnya dan apabila kita tidak mengeraskannya niscaya Dia tidak mendengarnya. Maka yang lain berkata, Jika Dia mendengar sesuatu daripadanya, pasti Dia mendengar seluruhnya.” Maka Ibnu Mas‘µd menyampaikan yang demikian pada Nabi saw, maka Allah menurunkan ayat ini sampai kepada firman-Nya: minal khasirin.


Baca juga: Mengenal Kariman Hamzah, Jurnalis dan Mufassir Perempuan Asal Mesir


Ayat ini menerangkan bahwa manusia itu tidak dapat menyembunyikan dan merahasiakan perbuatan-perbuatan kejinya, sekalipun ia berbuat kemaksiatan, kejahatan, dan kekafiran secara terang-terangan dan mengingkari hari kebangkitan dan pembalasan Allah.

Bahkan, ia mengira di saat ia menyembunyikan perbuatannya dari manusia, Allah pun tidak mengetahui apa-apa yang mereka kerjakan. Oleh karena itu, ia tidak akan dapat menghukum dan memberi pembalasan.

Ayat ini memperingatkan orang-orang yang beriman agar selalu waspada dan memikirkan benar-benar perbuatan-perbuatan yang akan mereka lakukan, karena Allah mengetahui segala yang mereka perbuat, tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi-Nya.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Fussilat Ayat 23


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Ahkam: Hukum Menggunakan Emas Sebagai Gigi Palsu dan Selainnya

0
Hukum Menggunakan Emas Sebagai Gigi Palsu
Hukum Menggunakan Emas Sebagai Gigi Palsu

Sebagian masyarakat yang kehilangan bagian tubuhnya kadang ingin menggantikan bagian tubuh dengan sebuah benda. Karena beberapa alasan mereka memilih bahan dari emas. Hal ini kadang menimbulkan pertanyaan, apa hukum membuat gigi palsu, hidung palsu, jari palsu atau bahkan tangan serta kaki palsu dari emas? Bukankah itu sama saja dengan menggunakan emas? Namun bagaimana bila medis lebih menyarankan emas demi alasan kesehatan? maka, seperti apa jawaban mufassir terkait hukum menggunakan emas sebagai gigi palsu?

Menggantikan bagian tubuh dari emas adalah salah satu kajian yang sering diulas oleh para ulama’, sebab memang ada hadis yang menyinggung secara khusus tentang hal ini. Nabi pernah mengizinkan sahabat membuat hidung palsu dari emas. Lalu dapatkah hal ini dilakukan pada anggota tubuh lain? Lalu apakah ada ketetuan-ketentuan khusus terkait pembolehannya? Lebih lengkapnya, simak penjelasan para pakar tafsir dan fikih berikut ini:

Sebuah Pengecualian

Imam Al-Qurthubi di dalam Tafsir Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an tatkala mengomentari surat Az-Zukhruf ayat 71 menjelaskan, penggunaan emas dan perak untuk makan dan minum hukumnya terlarang menurut para ulama’. Hal ini ditunjukkan secara jelas salah satunya oleh hadis yang diriwayatkan Sahabat Khudzaifah (Tafsir Al-Qurthubi/6/551):

لاَ تَشْرَبُوا فِى آنِيَةِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ ، وَلاَ تَأْكُلُوا فِى صِحَافِهَا ، فَإِنَّهَا لَهُمْ فِى الدُّنْيَا وَلَنَا فِى الآخِرَةِ

Janganlah kalian minum dari wadah emas dan perak, juga jangan makan dari piring yang terbuat dari keduanya. Sesungguhnya kesemuanya milik mereka di dunia dan milik kita di akhirat (HR. Imam Bukhari).

Baca juga: Mengenal Kariman Hamzah, Jurnalis dan Mufassir Perempuan Asal Mesir

Imam Al-Qurthubi juga mengutip pernyataan Ibnul Arabi bahwa menurut pendapat yang sahih, larangan tersebut bagi laki-laki tidak terbatas pada makan dan minum. Namun juga berbagai model pemanfaatan lain. Hal ini dikuatkan oleh sebuah hadis yang diriwayatkan dari Ali ibn Abi Thalib:

إِنَّ هَذَيْنِ حَرَامٌ عَلَى ذُكُورِ أُمَّتِى حِلٌّ لإِنَاثِهِمْ

Sesungguhnya dua hal ini (sutra dan emas) diharamkan pada para lelaki dari umatku dan halal bagi perempuan mereka (HR. Ibn Majah).

Namun hukum ini sebenarnya tidak berlaku secara mutlak. Imam An-Nawawi menyatakan bahwa ulama’ sepakat penggunaan emas dalam keadaan terpaksa diperbolehkan. Oleh karena itu boleh membuat hidung palsu, gigi palsu serta mengikat gigi yang sakit dengan emas. Hal ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan dari Abdurrahman ibn Tharfah (Al-Majmu’/1/256):

أَنَّ جَدَّهُ عَرْفَجَةَ بْنَ أَسْعَدَ قُطِعَ أَنْفُهُ يَوْمَ الْكُلاَبِ فَاتَّخَذَ أَنْفًا مِنْ وَرِقٍ فَأَنْتَنَ عَلَيْهِ فَأَمَرَهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- فَاتَّخَذَ أَنْفًا مِنْ ذَهَبٍ.

Sesungguhnya kakeknya yang Bernama ‘Arfajah ibn ‘As’ad terpotong hidungnya di hari perang Kulab. Ia lalu memakai hidung palsu dari perak. Namun kemudian muncul pembusukan. Nabi lalu memberi perintah padanya, kemudian ia memakai hidung dari emas (HR. At-Tirmidzi, Abu Dawud dan An-Nasa’i).

Hadis di atas menunjukkan bahwa mengambil hidung palsu dari emas diperbolehkan. Ulama’ kemudian menganalogikan gigi palsu, pengikat gigi serta ujung jari palsu pada hidung palsu. Untuk ujung jari palsu, dalam pembolehannya ulama’ memberi catatan selama jari tersebut masih bisa digunakan. Apabila tidak, maka tidak diperbolehkan. Sebab ujung jari palsu tersebut akan masuk kategori hiasan semata, bukan kebutuhan (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah/2/3881).

Baca juga: Tafsir Ahkam: Hukum Mengoleksi Perabot dari Emas dan Perak

Sebagian ulama’ memang menetapkan bahwa pembolehan semacam hidung palsu adalah untuk kebutuhan semacam melindungi tubuh atau melindungi kemanfaatan tubuh. Bukan sekedar hiasan semata. Oleh karena itu, memakai tangan palsu dan jari palsu hukumnya masih diperselisihkan. Sebab tangan serta jari palsu dianggap tidak lagi punya kemanfaatan selain sebagai hiasan. Beda dengan hidung palsu untuk melindungi lubang hidung atau gigi palsu untuk keperluan mengunyah makanan (Al-Majmu’/1/256).

Dari berbagai uraian di atas kita dapat mengetahui bahwa mengambil hidung palsu, gigi palsu atau mengikat gigi dari bahan emas hukumnya diperbolehkan dalam keadaan terpaksa. Ini berkaitan dengan kebutuhan medis seseorang. Sehingga semuanya perlu dikembalikan dengan pernyataan para ahli medis. Wallahu a’lam bish showab [].

Tafsir Tarbawi: Keharusan Berpikir Kritis Bagi Pendidik dan Peserta Didik

0
keharusan berpikir kritis bagi pendidik dan peserta didik
keharusan berpikir kritis bagi pendidik dan peserta didik

Dalam rangka memperingati hari guru di era yang serba disrupsi, ada baiknya pendidikan Islam, khususnya pendidik dan peserta didik mengarusutamakan kembali penalaran kritis dalam setiap pembelajarannya. Berpikir kritis menempati peran sentral dalam Kurikulum 2013. Sebab, hanya dengan berpikir kritis, seseorang tidak terjebak, atau bahkan terbuai dan termakan narasi-narasi dan konten-konten yang dapat menjerumuskan ke dalam hal-hal yang kontraproduktif. Keharusan bersikap kritis, selalu mempertanyakan sesuatu dan tidak asal bantah-membantah tanpa dibarengi fakta ilmiah telah dilukiskan oleh-Nya dalam Q.S. Ali Imran [3]: 66. Berikut ulasannya di bawah ini.

Baca Juga: Tafsir Tarbawi: Empat Kompetensi Yang Harus Dimiliki oleh Pendidik

Tafsir Surat Ali Imran Ayat 66

هٰٓاَنْتُمْ هٰٓؤُلَاۤءِ حَاجَجْتُمْ فِيْمَا لَكُمْ بِهٖ عِلْمٌ فَلِمَ تُحَاۤجُّوْنَ فِيْمَا لَيْسَ لَكُمْ بِهٖ عِلْمٌ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ

Begitulah kamu. Kamu berbantah-bantahan tentang apa yang kamu ketahui, tetapi mengapa kamu berbantah-bantahan (juga) tentang apa yang tidak kamu ketahui? Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui. (Q.S. Ali Imran [3]: 66)

Ibn Katsir dalam Tafsir Al-Quran menjelaskan asbabun nuzul ayat di atas ialah bahwa masing-masing pihak Yahudi dan Nasrani saling mengklaim bahwa Nabi Ibrahim adalah bagian dari golongannya. Hal ini kemudian dibantah dan dieliminir oleh Allah swt bahwa Ibrahim ialah kekasih-Nya, ia bukan dari golongan Yahudi dan Nasrani, melainkan seorang muslim yang hanif (hanifan musliman) sebagaimana ayat selanjutnya (Surat Ali Imran ayat 67).

Kemudian Ibn Katsir menukil riwayat dari Muhammad bin Ishaq Ibn Yasar, ia mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Abu Muhammad Maula Zaid bin Sabit, Sa’id bin Jubair dari Ibn Abbas yang bercerita bahwa sekelompok orang Nasrani Najran dan Pendeta Yahudi berkumpul di hadapan Rasulullah saw, lalu mereka saling bantah-membantah, tuduh-menuduh dan mengklaim bahwa Nabi Ibrahim adalah golongannya.

Hal senada juga disampaikan Al-Mawardi dalam al-Nukat wa al-‘Uyun terkait asbabun nuzul ayat ini,

وسبب نزول هذه الآية أن اليهود والنصارى اجتمعوا عند رسول الله صلى الله عليه وسلم، فتنازعوا في أمره فقالت اليهود: ما كان إلا يهودياً، وقالت النصارى: ما إلا نصرانياً، فنزلت هذه الآية تكذيباً للفريقين بما بيَّنه من نزول التوراة والإنجيل من بعده

“Asbabun nuzul ayat ini ialah karena orang-orang Yahudi dan Nasrani berkumpul dengan Rasulullah saw., mereka berselisih tentang dia (Nabi Ibrahim), dan golongan Yahudi berkata: Dia seorang Yahudi, dan orang-orang Nasrani berkata: Dia seorang Nasrani. Maka ayat ini diturunkan sebagai penyangkalan dari dua kelompok dalam apa yang mereka jelaskan tentang wahyu Taurat dan Injil setelah dia.

Lalu Allah berfirman, “Ya Ahlal kitabi lima tuhajjuna fi ibrahim” (Hai Ahli Kitab, mengapa kalian berbantah-bantahan tentang Ibrahim) (Q.S. Ali Imran [3]: 65) hingga akhir ayat dipungkasi dengan redaksi afala ta’qilun (apakah kalian tidak berpikir).

Baca Juga: Belajar Menjadi Pendidik Profesional Melalui Kisah Dakwah Nabi Yunus

Tidak jauh berbeda, Tafsir Kemenag menafsiri kalimat fima lakum bihi ‘ilmun adalah perkara yang diketahui oleh Ahlul kitab adalah perihal Nabi Musa, Nabi Isa sebagaimana dijelaskan dalam kitabnya. Sementara itu, perkara yang tidak mereka ketahui adalah perihal Nabi Ibrahim sebab namanya tidak ditemukan dalam kitab mereka.

Mufassir klasik kenamaan, Al-Tabari dalam Jami’ al-Bayan, menekankan bahwa janganlah kalian berdebat dan bertengkar tentang apa yang tidak kalian ketahui, sebab hanya menguras waktu dan energi yang sebetulnya bisa dimanfaatkan untuk mengerjakan sesuatu yang lebih produktif.

فلـم تـجادلون وتـخاصمون فـيـما لـيس لكم به علـم، يعنـي الذي لا علـم لكم به من أمر إبراهيـم ودينه، ولـم تـجدوه فـي كتب الله، ولا أتتكم به أنبـياؤكم، ولا شاهدتـموه فتعلـموه

“Jadi mengapa kamu berdebat dan bertengkar tentang apa yang tidak kamu ketahui, yaitu  kamu tidak memiliki pengetahuan (ilmu) tentang urusan dan agama Ibrahim, sedang kamu juga tidak mendapatinya dalam kitab-kitab Allah, juga tidak dibawakan oleh para nabimu kepadamu, engkau juga tidak menyaksikannya dan terlebih mempelajarinya”. (al-Tabari dalam Jami’ al-Bayan).

Qatadah sebagaimanan dinukil al-Tabari, mengatakan ‘ilm yang dimaksud ayat tersebut ialah fima syahadtum wa ra-aitum wa ‘ayantum (di dalam kesaksianmu, pengetahuanmu, dan penglihatanmu). Kemduian, Al-Zamakhsyari dalam al-Kasyaf dan al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib, sepakat memaknai redaksi ha-antum ha-ulai hajajjtum adalah merujuk pada ayat sebelumnya (ayat 65),

جملة مستأنفة مبينة للجملة الأولى، يعني أنتم هؤلاء الأشخاص الحمقى وبيان حماقتكم وقلة عقولكم أنكم جادلتم

“Kalimat lanjutan yang menunjukkan kalimat pertama, maksud saya, kalian (orang Nasrani dan Yahudi) adalah orang-orang bodoh ini, dan pernyataan kebodohan tersebut ditunjukkan dengan miskinnya penggunaan akal kalian yang mana berdebat tentang sesuatu yang tidak kalian ketahui”.

Tidak cukup itu, al-Zamakhsyari menafsiri redaksi fi ma lakum bihi ‘ilmun, dengan kitab Taurat dan Injil. Dan makna falima tuhajjuna fima laisa lakum bihi ‘ilmun, oleh al-Zamakhsyari dimaknai dengan tidak ada penyebutan dia (nabi Ibrahim) dalam kitab agama kalian masing-masing tentang Ibrahim. Lanjut al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib, memaknai hajjajtum fi ma lakum bihi ‘ilm dengan,

هو أنهم زعموا أن شريعة التوراة والإنجيل مخالفة لشريعة القرآن فكيف تحاجون فيما لا علم لكم به وهو ادعاؤكم أن شريعة إبراهيم كانت مخالفة لشريعة محمد عليه السلام

“Mereka mengklaim bahwa hukum Taurat dan Injil bertentangan dengan hukum Alquran. Lantas, bagaimana kalian dapat berdebat tentang apa yang tidak kalian ketahui, sedang kalian sendiri mengklaim bahwa syariat Nabi Ibrahim bertentangan dengan syariat Nabi Muhammad, saw?”

Baca Juga: Tafsir Tarbawi: Pentingnya Nalar Induktif bagi Kemajuan Pendidikan Islam

Keharusan Berpikir Kritis bagi Pendidik dan Peserta Didik

Dalam konteks pendidikan, bersikap kritis dan mempertanyakan segala sesuatu merupakan hal yang penting untuk terus dipupuk dan ditanamkan sejak dini dalam peserta didik. Hal ini nantinya juga menyangkut pada kemampuan literasi digital pendidik dan peserta didik. Namun, bukan berarti bersikap kritis kemudian menskepstiskan segala sesuatu, tidak. Melainkan dalam rangka agar penggunaan akal dalam mencerna segala bentuk informasi menjadi terasah dan tajam.

Kata ‘kriti’k sendiri, sebagaimana dijelaskan dalam Kamus Merriam-Webster, adalah tindakan yang mengekspresikan ketidaksetujuan (the act of expressing disapproval) terhadap sesuatu atau informasi dan atau membuat penilaian (menelaah, mempertanyakan) yang cermat tentang kualitas sesuatu tersebut (the activity of making careful judgments about the good and bad qualities). Jadi, berpikir kritis dalam Islam merupakan sebuah keharusan. Salah satu faktor kejayaan Peradaban Islam di masa lampau adalah hadirnya penalaran kritis dalam setiap fan keilmuan.

Sesungguhnya berpikir kritis telah dicontohkan oleh al-Ghazali. Kita tahu bahwa al-Ghazali sebelum “menekuni” tasawuf dan loyalis tasawuf, ia selalu gelisah ketika segala sesuatu yang ia pelajari tidak menemukan apa yang dia cari selama ini. Perasaan gelisah ini kemudian ia lukiskan dalam al-Munqidz min al-Dhalal. Di dalam kitab ini, ia berkeluh kesah tentang pencarian jawaban dari se-abreg pertanyaan dalam benaknya. Bahkan, beliau tidak mudah percaya dan taqlid buta kepada suatu pendpaat yang dianut oleh mayoritas orang sebelum ia betul-betul meneliti keabsahan dan kevalidan pendapat tersebut.

Kejadian serupa juga dialami Ulil Abshar Abdalla, intelektual muda NU yang sekarang telah “taubat” dari pemikiran “Islam Liberal” dan saat ini menjadi “penerus” Ghazalian dengan ngaji Ihya di laman facebooknya. Sebagaimana penuturan Gus Ulil dalam Alif.ID, ia tumbuh dalam lingkungan Islam tradisional (NU) dan menghirup oksigen kultural bernama tawadlu’ (ethics of humility), sehingga tidak suka menghakimi pihak lain yang berbeda, minimal mengkritisinya. Sebab hal itu ditabukan dalam kultur di mana ia tumbuh, kecuali jika “diprovokasi” secara tidak proporsional.

Kita tidak akan membahas bagaimana perjalanan keilmuan al-Ghazali dan Gus Ulil, namun yang dapat diteladani dari beliau berdua adalah sejak muda, mereka sudah terlatih untuk berpikir dan bersikap kritis, sehingga tidak mudah percaya terhadap suatu informasi, narasi-narasi dakwah yang acapkali mengafirkan sesama maupun konten-konten pembelajaran yang mengarah ke sana. Penting kiranya, bagi pendidik dan peserta didik, sekali lagi, untuk membudayakan berpikir dan bersikap kritis.

Dengan demikian, pendidik dan peserta didik serta praktisi dan penggiat pendidikan, hendaknya selalu menjadi pembaca aktif, bukan pembaca pasif. Artinya, bacaan yang dibaca atau informasi yang dibaca dan materi yang diajarkan oleh seseorang selalu ditelaah terlebih dahulu. Sebab, di tengah derasnya arus informasi saat ini yang mana media sosial selalu merangsek setiap saat, maka diperlukan kejelian dan ketelitian di dalam menelan informasi tersebut. Maka, dalam konteks ini, berpikir kritis menemukan titik signifikansinya di sini. Selamat Hari Guru. Wallahu A’lam.

Mengenal Kariman Hamzah, Jurnalis dan Mufassir Perempuan Asal Mesir

0
Kariman Hamzah
Kariman Hamzah

Satu lagi mufassir perempuan datang dari bumi Mesir, yaitu Kariman Hamzah. Perempuan berkebangsaan Mesir ini merupakan sosok jurnalis atau wartawan terkemuka di Mesir, yang mempersembahkan karya monumental yakni kitab tafsir sebanyak tiga jilid. Kebiasaan berfikir Kariman Hamzah yang kritis dalam dunia jurnalistik ia bawa dalam melakukan penafsirannya, Ia Menyusun sebuah karya tafsir yang akhirnya diizinkan terbit oleh majma’ buhuts Mesir. Nama kitabnya yaitu Al-Lu’lu’ wa al-Marjan fi Tafsir Al-Quran.

Baca Juga: Mengenal Hind Shalabi, Pakar Tafsir Sekaligus Aktivis Perempuan Asal Tunisia

Jurnalis perempuan yang sangat terkenal di Mesir

Fatimah Kariman Abdul Latif Mahmud Hamzah yang biasa dikenal dengan Kariman Hamzah lahir pada tahun 1948 M. bertepatan dengan 1367 Hijriyah. (Muhammad Afifuddin Dimyathi, Jami’ Al-’Abir Fi Kutubi at-Tafsir, Juz 2). Ia seorang putri dari pasangan Umm Darman dan ‘Abd al-Latif Hamzah. Bapaknya seorang profesor jurnalis di Fakultas Informasi dan Konseling Universitas Kairo Mesir. Kariman Hamzah mengawali karirnya dari pers (wartawan) atau jurnalis setelah lulus dari Fakultas Sastra di Universitas Cairo pada tahun 1969, kemudian ia melanjutkan studi magisternya pada tahun 1970. Ia juga merupakan pendiri majalah al-tsaqafah yang baru, yang sebelumnya bernama al-shagirah. (Muhammed Liyaudheen K. P., “Women Writers in Modern Islamic Literature in Arabic A Performance Evaluation”.219)

Kariman Hamzah merupakan seorang jurnalis terkemuka di Mesir. Dalam satu wawancara di salah satu stasiun televisi, ia mengungkapkan bahwa “tidak ada seorang penyiar pertama yang menyajikan perogram keagamaan kecuali saya”. Diantara pakar hukum paling terkemuka yang pernah hadir dalam programnya adalah Dr. Abd Halim Mahmoud (mantan syekh al-Azhar) selama 13 episode, Syekh Muhammad al-Ghazali, Syekh al-Khosary, Dr. Kamal Abu al-Majid, Syekh Abd al-Basit Abd al-Somad dan syekh Mah}moud al-Banna, dan masih banyak lainnya. (Soha Saeed, “Penyiar Terselubung Pertama Di Televisi Mesir,” EGYNEWS, 2020) Ia aktif mulai berdakwah di dunia televisi mulai dari tahun 1970 sampai dengan 1999. (Muhammed Liyaudheen K. P., “Women Writers in Modern Islamic Literature in Arabic A Performance Evaluation”. 223)

Berkaitan dengan penyiaran, pada tahun 1996 program tafsir Alquran disiarkan secara khusus dengan nama siaran Wamdah Tafsiriyyah yang salah satu narasumbernya adalah syeikh Muhammad Mutawalli al-Sha’rawi. (Ulya Fikriyati, “Evolusi Madrasah Tafsir Al-Qur’an Di Mesir: Penelusuran Dan Tipologi Media,” 133)

Statusnya sebagai jurnalis perempuan berhijab yang melakukan broadcast di televisi membuat namanya menjadi perbincangan dan ia pun menjadi sosok yang terkenal. Kariman Hamzah juga merupakan pelopor studi Islam di media pemerintah Mesir. Pada tahun 2008 dan 2010, Kariman dan salah satu sahabatnya Fauqiya Sherbini mendapat apresiasi dari Universitas al-Azhar, karena mereka mempunyai kontribusi terhadap interpretasi Alquran. (Nafiah Sulfa, “The Interpretation of Double Burden of Women: A Compersion between Al-Mishbah and Al-Lu’lu’ Wa Al-Marjan Fi Tafsir Al-Quran,” 94)

Baca Juga: Mengenal Sachiko Murata dan Pendekatannya dalam Membaca Ayat Relasi Gender

Karya-karya Kariman Hamzah

Dalam tulisan Liyaudheen, Kariman Hamzah terkenal dengan sosok perempuan yang sangat produktif, Di antara karya-karyanya sebagai berikut:

  1. Al-Lu’lu’ wa al-Marjan fi Tafsir Al-Quran
  2. Rihlati min al-Sufur li al-Hijab
  3. Rifqan bi al-Qawarir
  4. Tazawwajtu Mujriman
  5. Al-Islam wa al-Tifl
  6. Khomsuna halla li khomsina Mushkilah
  7. Adam wa Hawa
  8. ‘Ali ibn Abu Talib: al-Faris al-Faqih al-‘Abid,
  9. Qabil wa Habil,
  10. Abu Dzarr al-Ghifari “Habib al-Fuqara”
  11. Ahl al-Kahf
  12. Li Allah Ya Zamri
  13. Khamsuna Hill li Khamsina Mushkilah
  14. Mausu’ah Anaqah wa Hashmah

Baca Juga: Pemikiran Tafsir Asghar Ali Engineer Tentang Perempuan dalam Al-Qur’an

Mengenal Al-Lu’lu’ wa al-Marjan fi Tafsir Al-Quran

Kariman Hamzah merupakan penulis kitab tafsir Al-Lu’lu’ wa al-Marjan fi Tafsir Al-Quran, yang bisa dikatakan bahwa tafsir ini sangat ringkas, pun menggunakan bahasa yang sangat sederhana dan mudah dipahami, mencakup seluruh Alquran dan diterbitkan menjadi tiga jilid. Tafsir ini mengkobinasi metode bil Ma’tsur dan bil ma’qul, artinya Kariman Hamzah memperhatikan riwayat-riwayat yang terkait dengan ayat yang ditafsirkan, masalah-masalah ijtima’iyah (sosial), makna-makna pribahasa, dan bentuk gaya bahasa  yang sekiranya mudah di pahami. (Muhammad Afifuddin Dimyathi, Jami’ Al-’Abir Fi Kutubi at-Tafsir, Jilid 2. 604)

Dalam menulis karya tafsirnya Kariman Hamzah tidak lupa akan karya-karya ulama terdahulu sebagai rujukan dalam menafsirkan Alquran, (Al-Lu’lu’ wa al-Marjan fi Tafsir Al-Quran, Volume 1, 9-10) baik dari kitab-kitab tafsir seperti tafsir al-Kashshaf karaya Abu al-Qasim Muhmud ibn ‘Umar al-Zamakshari, Mafatih al-Ghayb karya Fakhruddin al-Razi, Ruh al-Ma’ani karya Muhammad al-Alusi, tafsir al-Maraghi karya Ahmad Mustafa al-Maraghi.

Selain dari kitab tafsir terdahulu, Kariman Hamzah juga mengambil referensi dari kitab-kitab Tarikh (sejarah) seperti Sirah Nabawiyah karya Muhammad ibn Ishaq (w. 151 H), Sirah Nabawiyah karya Muhammad Ibn ‘Abd al-Malik bin Hisam (w. 213 H) dan Fiqh Sirah karya Muhammad al-Ghozali (w. 1416 H).

Juga mengambil referensi dari kitab-kitab hadits seperti Mausu’ah Atraf al-Hadith karya Muhammad Sa’id Zaghlul, Musnad Ahmad karya Abu ‘Abdillah bin Muhammad bin Hanbal al-Marwazy (w. 241 H),  Sunan Nas’i karya Abu ‘Abdirrahman Ahmad bin Shu’aib bin Bahr (w. 303 H) dan al-Isbah fi Tamyiz as-Sahabah karya Ahmad bin ‘Ali. dan kitab-kitab fiqh seperti Bidayatu al-Mujathid karya Muhammad bin Rusd al-Qurtubi al-Andalusi (w. 595 H), I’lamul Mauq’ini karya Muhammad bin Abi Bakr bin Qaym al-Jauziyah.

Memang benar bahwa ia mengikuti para mufasir klasik namun tidak menerima secara mentah, ia tambahi dengan argumennya sendiri. Misal penafsiran tentang masalah persaksian, ayat mengenai persaksian dua berbanding satu itu hanya terbatas pada situasi di mana seorang perempuan belum banyak terlibat ke ranah publik. Namun seiring dengan perkembangan zaman dan keterlibatan perempuan di ranah publik semakin banyak. Dalam hal ini, menurut Kariman Hamzah bahwa satu orang saksi perempuan setara dengan satu orang saksi laki-laki.

Kariman Hamzah menyelesaikan tafsirnya lengkap 30 juz kurang lebih 3 tahun lamanya, dengan selalu memohon pertolongan kepada Allah SWT. Sebagaimana yang termaktub dalam muqaddimah kitab tafsirnya Al-Lu’lu’ wa al-Marjan fi Tafsir Al-Quran. Di samping itu, sebelum melakukan penerbitan, Kariman Hamzah terlebih dahulu melakukan persentasi kepada masyayikh-masyayikh Al-Azhar guna menguatkan bahwa karyanya tersebut sudah mengikuti manhaj yang benar. termasuk ia telah mempersentasikan ke institusi al-Azhar Asy-Syarif. Setelah itu, tafsirnya tersebut baru bisa diterbitkan. (Muhammad Afifuddin Dimyathi, Jami’ Al-’Abir Fi Kutubi at-Tafsir, Jilid 2. 605)

Demikian sedikit perkenalan dengan Kariman Hamzah dan tafsirnya, Al-Lu’lu’ wa al-Marjan fi Tafsir Al-Quran. Sosok perempuan yang inspiratif yang tentu perlu kita kenal dan perkenalkan kepada dunia. Wallahu a’lam

Tafsir Surah Fussilat Ayat 21

0
Tafsir Surah Fussilat
Tafsir Surah Fussilat

Tafsir Surah Fussilat Ayat 21 berbicara mengenai dialog yang terjadi antara orang kafir dengan organ tubuhnya sendiri ketika di akhirat.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Fussilat Ayat 17-20


Ayat 21

Tatkala mendengar dan melihat bahwa kulitnya sendiri menjadi saksi atas perbuatan-perbuatannya, orang-orang kafir mencela kulit mereka itu dengan mengatakan, “Mengapa kamu menjadi saksi atas diri kami, padahal kamulah yang membantu dan mendorong kami berbuat maksiat selama  hidup di dunia?”

Kulit-kulit mereka menjawab, “Allah Yang Mahakuasa telah menjadikan kami pandai berbicara, sehingga kami dapat menerangkan dengan jelas dan lengkap segala yang pernah kamu perintahkan kepada kami untuk mengerjakannya.” Firman Allah:

اَلْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلٰٓى اَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَآ اَيْدِيْهِمْ وَتَشْهَدُ اَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ

Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; tangan mereka akan berkata kepada Kami dan kaki mereka akan memberi kesaksian terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. (Yasin/36: 65)

Mengenai pertanyaan dan persaksian di akhirat ini diterangkan dalam hadis Nabi saw yang diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia berkata:

كُنّاَ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَضَحِكَ فَقَالَ: هَلْ تَدْرُوْنَ مِمَّ أَضْحَكُ؟ قُلْنَا: اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ. قَالَ مِنْ مُخَاطَبَةِ الْعَبْدِ رَبَّهُ يَقُوْلُ أَلَمْ تُجِرْنِيْ مِنَ الظُّلْمِ قَالَ يَقُوْلُ بَلٰى. قَالَ فَيَقُوْلُ فَإِنِّيْ لاَ أُجِيْزُ عَلَى نَفْسِيْ إِلاَّ شَاهِدًا مِنِّيْ، قَالَ يَقُوْلُ: كَفٰى بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ شَهِيْدًا وَبِالْكِرَامِ الْكَاتِبِيْنَ شُهُوْدًا قَالَ فَيُخْتَمُ عَلَى فِيْهِ فَيُقَالُ لِأَرْكَانِهِ: اَنْطِقِيْ، فَتُنْطِقُ بِأَعْمَالِهِ. قَالَ ثُمَّ يُخَلَّى بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْكَلاَمِ قَالَ فَيَقُوْلُ: بُعْدًا لَكُنَّ وَسُحْقًا فَعَنْكُنَّ كُنْتُ أُنَاضِلُ.(رواه مسلم وابن حبان)

Ketika kami bersama Rasulullah saw, beliau tertawa lalu berkata, “Apakah kamu mengetahui kenapa aku tertawa?” Kami menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Beliau berkata, “Aku tertawa karena pembicaraan seorang hamba dengan Tuhan (di hari Kiamat).

Hamba berkata, ”Hai Tuhanku Apakah Engkau tidak melindungi aku dari kezaliman?” Rasulullah berkata, “Tuhan berkata, ‘Benar’.” Rasulullah berkata, “Hamba itu mengatakan, ‘Maka saya tidak mengizinkan diriku kecuali saksi dari diriku sendiri’.” Rasulullah saw berkata, “Allah berfirman, ‘Cukuplah diri engkau menjadi saksi atas perbuatanmu sendiri pada hari ini, dan persaksian malaikat yang mencatat’.”

Rasulullah berkata, “Kemudian ditutuplah mulut orang itu dan dikatakan kepada anggota-anggota badannya, ‘Berbicaralah’, maka anggota-anggota badan itu menerangkan perbuatannya.” Rasulullah berkata, “Kemudian dibiarkan orang itu berbicara terhadap anggota badan mereka.” Nabi berkata, “Maka hamba itu berkata (kepada anggota badannya), ‘Celaka dan hancurlah kamu semua. Aku ini berjuang untuk membela kamu’.”(Riwayat Muslim dan Ibnu Hibban)


Baca juga: Tafsir Ahkam: Hukum Menggunakan Benda Berhiaskan Emas dan Perak


Allah menerangkan bahwa Dialah Yang menciptakan manusia pada kali yang pertama, dari tidak ada kepada ada, dan Dia pula yang menjadikan untuk mereka dalil-dalil yang nyata.

Jika Allah sanggup menciptakan manusia pada kali yang pertama, tentu Dia sanggup pula mengulangi penciptaan itu pada kali yang kedua, dengan membangkitkan manusia sesudah matinya, kemudian Dia membalas semua perbuatan manusia dengan adil.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Fussilat Ayat 22


(Tafsir Kemenag)