Beranda blog Halaman 169

Tafsir Surah An-Najm Ayat 20-23

0
Tafsir Surah An-Najm
Tafsir Surah An-Najm

Tafsir Surah An-Najm Ayat 20-23 mengisahkan tentang kaum kafir Quraisy yang menjadikan benda-benda sebagai berhala. Selain itu, pada Tafsir Surah An-Najm Ayat 20-23 ini menceritakan penolakan Allah terhadap sangkaan kafir Quraisy yang menganggap Allah memiliki anak.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah An-Najm Ayat 16-19


Ayat 20

Dalam ayat ini Allah swt melanjutkan ayat yang sebelumnya yaitu bahwa orang-orang musyrik juga menyembah Manah yang ketiga yakni yang terakhir sebagai anak perempuan Allah.

Manah itu sebuah batu besar terletak di Musyallal dengan Qudaid antara Mekah dan Medinah. Kabilah Khuza’ah, Aus dan Khazraj mengagungkan Manah ini dan dalam melakukan ibadah haji mereka mulai dari Manah sampai ke Ka’bah.

Selain benda-benda yang tiga itu, masih banyak lagi benda-benda yang sangat dimuliakan oleh orang-orang musyrik. Akan tetapi, yang paling termasyhur adalah tiga benda itu. Ibnu Ishak mengatakan bahwa orang-orang Arab menganggap benda-benda yang tiga itu selain Ka’bah sebagai benda sembahan mereka, dibuat seperti bangunan Ka’bah yang mempunyai tabir yang mereka bertawaf padanya seperti tawaf pada Ka’bah dan memotong binatang kurban di sampingnya. Mereka juga mengetahui kemuliaan Ka’bah yaitu bahwa Ka’bah itu adalah rumah Ibrahim dan masjidnya.

Ayat 21

Dalam ayat ini Allah menolak anggapan mereka yang menyatakan bahwa Dia mempunyai anak perempuan dan mereka mempunyai anak laki-laki yang disebabkan oleh persangkaan mereka bahwa perempuan itu lemah dan mempunyai kekurangan sedangkan laki-laki itu sempurna. Ini mengungkapkan anggapan mereka, bahwa Allah mempunyai kekurangan, sedangkan mereka yang memiliki kekurangan itu menganggap diri mereka sempurna.


Baca Juga: Pemahaman Anak Allah dalam Perspektif Alkitab dan Al-Qur’an


Ayat 22

Pembagian yang seperti mereka katakan dalam ayat 21 itu adalah pembagian yang tidak adil, kurang pantas dan tidak sempurna sebab mereka menganggap bahwa Tuhan mereka mempunyai apa-apa yang mereka sendiri membencinya. Dan untuk mereka apa-apa yang mereka sukai.

Ayat 23

Dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa mereka menamakan berhala-berhala itu tuhan, padahal itu hanyalah nama-nama yang tidak mempunyai arti sama sekali. Mereka mengira dan berkeyakinan bahwa berhala-berhala itu mempunyai hak untuk di-iktikafi demi ibadat kepadanya dan sebagai tempat menyajikan binatang kurban. Mereka tidak mempunyai alasan atau mereka tidak dapat menjelaskan apa yang mereka katakan dan mereka lakukan. Mereka hanya meniru orang-orang yang terdahulu yang selanjutnya akan diikuti oleh anak cucu mereka.

Dalam ayat yang lain yang bersamaan artinya, Allah berfirman:

مَا تَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِهٖٓ اِلَّآ اَسْمَاۤءً سَمَّيْتُمُوْهَآ اَنْتُمْ وَاٰبَاۤؤُكُمْ

Apa yang kamu sembah selain Dia, hanyalah nama-nama yang kamu buat-buat baik oleh kamu sendiri maupun oleh nenek moyangmu. (Yusuf/12: 40)

Kemudian Allah swt menguatkan penjelasan-Nya dengan menerangkan bahwa mereka tidak mempunyai alasan kecuali karena berbaik sangka kepada bapak-bapaknya, yang berjalan pada jalan yang salah dan mempertahankan kedudukan mereka dalam masyarakat, atau karena hormat mereka terhadap bapak-bapaknya. Yang jelas mereka menyembah berhala-berhala itu hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan saja, bahwa bapak-bapak mereka dahulu itu berjalan pada jalan yang benar, padahal sebenarnya mereka mengikuti hawa nafsu mereka.

Selanjutnya, Allah swt menerangkan bahwa seharusnya mereka tidak pantas untuk berbuat seperti itu karena telah datang peringatan, apa yang mereka lakukan saat itu adalah suatu kelalaian dan kesalahan.

Kemudian dalam ayat ini Allah menerangkan, bahwa mereka hanyalah mengikuti pendapat saja, sedangkan Allah telah mengutus rasul-Nya dengan kebenaran yang nyata dan dengan alasan yang jelas. Maka sudah seharusnyalah mereka menyadari kesalahannya. Akan tetapi, mereka masih tetap berpaling dari kebenaran. Diterangkan dalam firman Allah sebagai berikut:

كَاَنَّهُمْ حُمُرٌ مُّسْتَنْفِرَةٌۙ  ٥٠  فَرَّتْ مِنْ قَسْوَرَةٍۗ  ٥١

Seakan-akan mereka keledai liar yang lari terkejut, lari dari singa. (al-Muddassir/74: 50-51)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah An-Najm Ayat 24-28


Tafsir Surah An-Najm Ayat 16-19

0
Tafsir Surah An-Najm
Tafsir Surah An-Najm

Pada Tafsir Surah An-Najm Ayat 16-19 ini masih berkaitan dengan penafsiran sebelumnya. Tafsir Surah An-Najm Ayat 16-19 menekankan kekuasaan Allah berdasarkan ciptaanNya. Sebagaimana kekuatan malaikat Jibril serta keajaiban Sidratul Muntaha yang semuanya pernah Nabi Muhammad lihat atas izin Allah.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah An-Najm Ayat 6-15


Ayat 16 

Selanjutnya dalam ayat ini Allah swt menerangkan bahwasannya Muhammad saw melihat Jibril di Sidratul Muntaha itu ketika Sidratul Muntaha tertutup oleh suasana yang menandakan kebesaran Allah berupa sinar-sinar yang indah dan malaikat-malaikat.

Al-Qur’an tidak menerangkan dengan jelas, namun bagi kita cukuplah penjelasan yang demikian, tidak menambah atau menguranginya, bila tidak ada dalil yang jelas yang menerangkannya. Seandainya ada manfaatnya untuk dijelaskan niscaya hal itu dijelaskan oleh Allah swt.

Ayat 17

Kemudian dalam ayat ini Allah menjelaskan lagi bahwa tatkala Rasulullah saw melihat Jibril di sana, ia tidak berpaling dari memandang semua keajaiban Sidratul Muntaha sesuai dengan apa yang telah diizinkan Allah kepadanya untuk dilihat. Dan ia tidak pula melampaui batas kecuali apa yang telah diizinkan kepadanya.

Ayat 18

Ayat ini menerangkan bahwa dengan melihat Sidratul Muntaha, berarti Muhammad saw telah melihat sebagian tanda-tanda kebesaran Allah yang merupakan keajaiban dari kekuasaan-Nya.

Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan lain-lain bahwa saat itu Muhammad saw melihat suatu lambaian hijau dari surga yang memenuhi ufuk (arah pandangan).

Maka hendaklah kita tidak membatasi apa yang telah dilihat oleh Muhammad saw dengan mata kepalanya, setelah diterangkan secara samar-samar dalam Al-Qur’an tentang hal itu. Yang jelas ialah bahwa Nabi telah melihat tanda-tanda kebesaran Allah swt yang tidak terbatas.


Baca  Juga: Argumentasi Kekuasaan dan KeEsaan Allah Swt: Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 164


Ayat 19

Allah swt bertanya kepada orang-orang musyrik, apakah setelah mereka mendengar tanda-tanda Allah baik kesempurnaan maupun keagungan-Nya dalam kekuasaan, dan setelah mendengar keadaan malaikat dengan kedudukan dan kemampuan mereka yang tinggi, masih saja menjadikan berhala-berhala yang hina keadaannya itu sebagai sekutu bagi Allah, sedangkan mereka mengetahui kebesaran-Nya?

Pertanyaan ini merupakan cemoohan dari Tuhan, sebab bagi seorang yang berakal tidak mungkin terlintas dalam pikirannya untuk menyembah berhala yang mereka buat sendiri, kemudian diletakkan dalam suatu rumah yang mereka dirikan sebagai tandingan Ka’bah.

Adapun al-Lata adalah nama sebuah batu besar yang berwarna putih, di atas batu itu diukir gambar sebuah rumah. Al-Lata ini terletak di daerah Thaif. Rumah itu dipasangi tabir. Di sekelilingnya ada teras yang diagung-agungkan oleh orang-orang Thaif, antara lain Kabilah Saqif dan pengikut-pengikutnya. Mereka tergolong orang-orang yang lebih membanggakan benda itu daripada orang-orang Arab yang lain selain Quraisy. Kata Ibnu Jarir, mereka menganggap bahwa kata al-Lata itu diambil dari lafal Allah. Mereka menganggap al-Lata (Mahasuci Allah dari apa yang mereka katakan). Menurut Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Rabi’ bin Anas, mereka menamakan al-Lata dari nama seorang laki-laki yang menumbuk tepung untuk jemaah haji. Setelah ia mati, maka orang-orang berkerumun melakukan iktikaf di atas kuburnya yang selanjutnya mereka menyembah dan membuatkan patungnya.

Menurut Ibnu Jarir, al-‘Uzza berasal dari kata ‘Aziz, al-‘Uzza ialah sebuah pohon yang di atasnya ada sebuah bangunan dan bertirai, bertempat di Nakhlah yaitu antara Mekah dan Thaif; orang-orang Quraisy mengagungkan pohon itu.

Diriwayatkan bahwa Abu Sufyan ketika masih musyrik berkata pada waktu peperangan U¥ud bahwa merekalah yang mempunyai ‘Uzza, sedangkan yang lain tidak. Maka bersabdalah Rasulullah saw.

قُوْلُوْا: اَلله ُمَوْلاَ نَا وَلاَ مَوْلَى لَكُمْ .(رواه البخاري وأحمد)

“Katakanlah! Allah adalah Tuhan kami, dan kamu tidak mempunyai Tuhan.” (Riwayat al-Bukhari dan Ahmad)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah An-Najm Ayat 20-23


Tafsir Surah An-Najm Ayat 6-15

0
Tafsir Surah An-Najm
Tafsir Surah An-Najm

Pada Tafsir Surah An-Najm Ayat 6-15 mendeskripsikan bagaimana kekuatan yang dimiliki oleh malaikat Jibril dan membahas tentang letak surga. Kemudian, pada Tafsir Surah An-Najm Ayat 6-15 ini menjelaskan bagaimana Nabi Muhammad mengetahui bentuk malaikat Jibril dan pernah bertemu dengan malaikat Jibril dengan bentuk aslinya. Hal tersebut membantah keraguan kaum Quraisy terhadap Nabi Muhammad yang tidak mengetahui bentuk malaikat Jibril.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah An-Najm Ayat 3-5


Ayat 6

Allah swt menerangkan dalam ayat ini, bahwa Jibril itu mempunyai kekuatan yang luar biasa. Seperti dalam riwayat bahwa ia pernah membalikkan perkampungan Nabi Lut kemudian mereka diangkat ke langit lalu dijatuhkan ke bumi. Ia pernah menghembus kaum ¤amµd hingga berterbangan. Dan apabila ia turun ke bumi hanya dibutuhkan waktu sekejap mata. Lagi pula ia dapat berubah bentuk menjadi seperti manusia.

Ayat 7-9

Setelah itu Muhammad saw melihat Jibril di tempat yang tinggi. Kemudian Jibril memenuhi angkasa itu, lalu mendekati Muhammad saw dan Jibril semakin mendekat lagi kepada Muhammad saw hingga jaraknya kira-kira hampir dua ujung busur panah lagi atau lebih dekat lagi.

Ayat 10

Selanjutnya diterangkan bahwa setelah Nabi Muhammad saw sudah berdekatan benar dengan Jibril, Jibril menyampaikan wahyu Allah mengenai persoalan-persoalan agama.

Ayat 11

Ayat ini menerangkan bahwa kebanyakan manusia menyangka bahwa ia telah menggambarkan apa yang dilihatnya, padahal hatinya belum yakin terhadap apa yang telah ia lihat, tidak demikian penglihatan dan keyakinan Muhammad saw terhadap Jibril meskipun kedatangannya kepada Muhammad saw kerap kali berbeda bentuknya, karena Muhammad saw telah mengetahui bentuk yang aslinya.

Karena Allah swt menguatkan keterangan bahwa kedatangan Jibril menyamar dalam bentuk seorang sahabat yang bernama Dihyah al-Kalbi tidaklah menghilangkan ciri-cirinya karena Muhammad saw pernah melihat bentuknya yang asli sebelum itu, yaitu di Gua Hira ketika menerima wahyu pertama, walaupun kemudian Jibril menampakkan diri lagi dengan rupa yang lain.


Baca Juga: Agen dalam Mekanisme Pewahyuan Al-Quran: Tuhan, Jibril ataukah Keduanya?


Ayat 12

Dalam ayat ini, Allah bertanya apakah orang-orang Quraisy akan mendustakan dan membantah Muhammad saw mengenai bentuk Jibril yang telah pernah dilihat Muhammad saw dengan mata kepalanya sendiri.

Ayat 13-14

Selanjutnya dalam ayat-ayat ini Allah menerangkan bahwa sesungguhnya Muhammad saw pernah melihat Jibril (untuk kedua kalinya) dalam rupanya yang asli pada waktu melakukan mi’raj ke Sidratul Muntaha yaitu suatu tempat yang merupakan batas alam yang dapat diketahui oleh para malaikat.

Ada yang berpendapat bahwa maksud ayat ini adalah seperti dalam firman Allah:

وَاَنَّ اِلٰى رَبِّكَ الْمُنْتَهٰىۙ    ٤٢

Dan sesungguhnya kepada Tuhanmulah kesudahannya (segala sesuatu). (an- Najm/53: 42)

Setiap Mukmin wajib mempercayai bahwa Sidratul Muntaha itu sebagaimana yang telah diterangkan oleh Allah dalam ayat-Nya. Tetapi ia tidak boleh menerangkan tempatnya dan sifat-sifatnya, dengan keterangan yang melebihi daripada apa yang telah diterangkan oleh Allah dalam Al-Qur’an, kecuali bila keterangan itu kita dapat dari hadis Nabi Muhammad saw yang;menerangkan kepada kita dengan jelas dan pasti, karena hal itu termasuk dalam hal yang gaib yang belum diizinkan kita untuk mengetahuinya.

Menurut hadis yang diriwayatkan oleh A¥mad, Muslim, at-Tirmizi, dan lain-lainnya bahwa Sidratul Muntaha itu ada di langit yang ketujuh.

Ayat 15

Dalam ayat ini Allah swt menerangkan bahwa di tempat itulah (di dekat Sidratul Muntaha) letak surga. Ia merupakan tempat tinggal bagi orang-orang yang takwa dan orang-orang yang mati syahid.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah An-Najm Ayat 16-19


Tafsir Surah An-Najm Ayat 3-5

0
Tafsir Surah An-Najm
Tafsir Surah An-Najm

Dalam Tafsir Surah An-Najm Ayat 3-5 menegaskan bagaiamana Nabi Muhammad menjadi seorang Rasul yang terpercaya. Tidak diragukan lagi atas kerasulannya. Karena Rasulullah merupakan seseorang yang dijamin tidak melakukan segala sesuatunya karena hawa nafsunya. Dalam Tafsir Surah An-Najm Ayat 3-5 kita akan menemukan perjalanan Nabi Muhammad dalam menjadi seorang Rasul.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah An-Najm Ayat 1-2


Ayat 3

Dalam ayat ini Allah swt menerangkan bahwa Muhammad saw itu tidak sesat dan tidak keliru karena beliau seorang yang tidak pernah menuruti hawa nafsunya termasuk dalam perkataannya. Orang yang mungkin keliru atau tersesat ialah orang yang menuruti hawa nafsunya. Sebagaimana firman Allah:

وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوٰى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ

Janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. (Shad/38: 26)

Ayat 4

Dalam ayat ini, Allah menguatkan ayat sebelumnya, yakni bahwa Muhammad saw hanyalah mengatakan apa yang diperintahkan oleh Allah untuk disampaikan kepada manusia secara sempurna, tidak ditambah-tambah dan tidak pula dikurangi menurut apa yang diwahyukan kepadanya.

Abdullah bin Amr bin A¡ menulis setiap apa yang ia dengar dari Rasulullah saw, karena ia mau menghafalkannya. Tapi orang-orang Quraisy melarangnya. Mereka mengatakan mengapa ia menulis setiap perkataan Muhammad saw, sedangkan Muhammad itu adalah manusia biasa yang berkata dalam keadaan marah. Maka berhentilah Abdullah bin Umar menulis. Kemudian ia mendatangi Rasulullah saw, dan memberitahukan perihalnya itu. Maka bersabdalah Rasulullah saw:

أُكْتُبْ فَوَ الَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ مَا خَرَجَ مِنِّيْ اِﻻَّ الْحَقُّ. (رواه أحمد وأبوداود)

“Tulislah demi Zat yang menguasai diriku, tidak ada yang keluar dari perkataanku kecuali kebenaran.” (Riwayat Ahmad dan Abu Dawud) ;Al-Hafiz, Abu Bakar al-Bazzar menyebutkan riwayat Abu Hurairah bahwasanya Nabi Muhammad saw bersabda:

مَا أَخْبَرْتُكُمْ اَنَّهُ مِنْ عِنْدِ اللهِ فَهُوَ الَّّذِي لاَ شَكَّ فِيْهِ. (رواه ابن حبان والبزار)

“Sesuatu yang aku kabarkan kepadamu bahwa ia dari Allah swt, maka tidak ada keraguan padanya.” (Riwayat Ibnu Hibban dan al-Bazzar);Dari Yunus, Lai¡, Muhammad bin Said bin Abu Said, dari Abu Hurairah mereka berkata bahwa Rasulullah saw bersabda:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَاَقُوْلُ إِﻻَّحَقًّا. (رواه أحمد والبزار)

“Tidaklah aku berkata kecuali yang benar.” (Riwayat Ahmad dan al-Bazzar)


Baca Juga: Kisah Al-Quran: Biografi Nabi Ibrahim dan Perjalanan Dakwahnya 


Ayat 5

Dalam ayat ini Allah swt menerangkan bahwa Muhammad saw (kawan mereka itu) diajari oleh Jibril. Jibril itu sangat kuat, baik ilmunya maupun amalnya. Dalam firman Allah dijelaskan:

اِنَّهٗ لَقَوْلُ رَسُوْلٍ كَرِيْمٍۙ  ١٩  ذِيْ قُوَّةٍ عِنْدَ ذِى الْعَرْشِ مَكِيْنٍۙ  ٢٠  مُّطَاعٍ ثَمَّ اَمِيْنٍۗ  ٢١ 

Sesungguhnya (Al-Qur’an) itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril), yang memiliki kekuatan, memiliki kedudukan tinggi di sisi (Allah) yang memiliki ‘Arsy, yang di sana (di alam malaikat) ditaati dan dipercaya. (at-Takwir/81: 19-21)Kemudian Muhammad saw mempelajarinya dan mengamalkannya. Ayat ini merupakan jawaban dari perkataan mereka yang mengatakan bahwa Muhamamd saw itu hanyalah tukang dongeng yang mendongengkan dongeng-dongen (legenda-legenda) orang-orang dahulu.

Dari sini jelas bahwa Muhammad saw itu bukan diajari oleh seorang manusia, tapi ia diajari oleh malaikat Jibril yang sangat kuat.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah An-Najm Ayat 6-15


 

 

Tafsir Ahkam: Serba-serbi Kesunnahan Memotong Kuku dalam Islam

0
Tafsir Ahkam: Serba-Serbi Kesunnahan Memotong Kuku dalam Islam
Kesunnahan Memotong Kuku dalam Islam

Islam memberikan perhatian terhadap kebersihan dan kerapian penampilan. Ini ditunjukkan dengan disyariatkannya kesunnahan memotong kuku. Aktivitas memotong kuku, meski tampak remeh, memperoleh perhatian dalam Islam. Para ulama’ juga menjelaskan bagaimana cara potong kuku yang benar serta waktu terbaik dalam melakukannya. Hal ini dijelaskan dalam beberapa literatur kitab fikih dan kitab tafsir. Lebih lengkapnya, simak penjelasan para pakar tafsir dan fikih berikut ini:

Anjuran Memotong Kuku dalam Al-Qur’an

Para ahli tafsir menyinggung perihal kesunnahan potong kuku tatkala mengomentari firman Allah yang berbunyi:

۞ وَاِذِ ابْتَلٰٓى اِبْرٰهٖمَ رَبُّهٗ بِكَلِمٰتٍ فَاَتَمَّهُنَّ ۗ قَالَ اِنِّيْ جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ اِمَامًا ۗ قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِيْ ۗ قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِى الظّٰلِمِيْنَ

 (Ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu dia melaksanakannya dengan sempurna. Dia (Allah) berfirman, “Sesungguhnya Aku menjadikan engkau sebagai pemimpin bagi seluruh manusia.” Dia (Ibrahim) berkata, “(Aku mohon juga) dari sebagian keturunanku.” Allah berfirman, “(Doamu Aku kabulkan, tetapi) janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang zalim.” (QS. Al-Baqarah [2]: 124).

Imam Al-Qurthubi menjelaskan bahwa di antara kalimat yang diperintahkan oleh Allah agar dilaksanakan oleh Nabi Ibrahim adalah perintah untuk memotong kuku. Ia kemudian mengutip hadis yang disebutkan oleh Imam At-Tirmidzi dalam kitab Nawadirul Ushul bahwa Nabi bersabda:

قصوا أظافيركم وادفنوا قلاماتكم ونقوا براجمكم

Potonglah kuku-kuku kalian, kuburkan bekas potongannya dan bersihkan ruas jari-jari kalian (HR. Imam At-Tirmidzi).

Imam At-Tirmidzi menjelaskan, anjuran tersebut berkaitan dengan kotoran-kotoran yang berada di bawah kuku, yang menjadi sumber penyakit sekaligus menghalangi air menyentuh kulit saat wudhu dan mandi besar. Sehingga menyebabkan wudhu dan mandi besar pelakunya menjadi tidak sah (Tafsir Al-Qurthubi/2/102).

Hukum memotong kuku adalah sunnah. Imam Al-‘Umrani menjelaskan bahwa hukum sunnah tersebut salah satunya didasarkan pada surah Al-Baqarah ayat 124 di atas. Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa para ulama’ sepakat bahwa hukum memotong kuku adalah sunnah. Entah itu pada laki-laki atau perempuan, entah itu kuku tangan atau kuku kaki (Al-Bayan/1/94 dan Al-Majmu’/1/286):

Kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah mendokumentasikan bahwa cukup banyak ulama’ yang menyatakan bahwa hukum sunnah pada memotong kuku telah disepakati ulama’. Di antaranya adalah Ibn Hazm, As-Syaukani, Ibn ‘Abdil Bar dan Imam An-Nawawi. Dan tidak ada ulama’ yang memberi pernyataan yang berbeda. Sehingga pernyataan tersebut bukan klaim belaka (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah/1/196).

Baca juga: Tafsir Surat Al-Maidah Ayat 6: Hukum Wudhu Perempuan yang Memakai Kuteks

Kesunnahan Lain Ketika Memotong Kuku

Terkait hukum sunnah tersebut, ulama’ memberikan beberapa keterangan tambahan:

Pertama, dianjurkan usai memotong kuku untuk menguburkan potongan-potongan kuku tersebut. Hal ini disebabkan karena jasad manusia memiliki kemuliaan, maka sudah seharusnya menjaga kemuliaan tersebut dengan mengubur hal-hal yang jatuh atau lepas dari tubuhnya. Sebagaimana tubuh manusia tatkala meninggal (Tafsir Al-Qurthubi/2/102).

Kedua, dianjurkan memotong kuku dari tangan kanan, selanjutnya tangan kiri. Kemudian kaki kanan, disusul kaki kiri.

Ketiga, menurut Imam Al-Ghazali, dianjurkan memotong kuku berurutan mulai dari jari telunjuk tangan kanan, jari tengah, jari manis, dan jari kelingking kanan. Kemudian dilanjutkan dengan jari kelingking tangan kiri sampai jari jempol tangan kiri, baru kemudian jari jempol tangan kanan (Al-Majmu’/1/286).

Keempat, waktu yang baik untuk memotong kuku adalah hari jum’at.

Dari berbagai uraian di atas, kita dapat mengetahui bahwa hukum potong kuku dalam agama Islam adalah sunnah. Ulama’ sepakat soal hal ini. Dan dianjurkan untuk tidak membuang bekas potongan kuku secara sembarangan. Melainkan dikubur. Membiarkan kuku menjadi panjang hukumnya tidak apa-apa. Hanya saja, apabila tidak rajin membersihkan kotoran di bawahnya, maka akan menjadi sumber penyakit. Selain itu dapat menghalangi sahnya berwudhu dan mandi besar. Wallahu a’lam bish shawab.

Baca juga: Tafsir Surah Ali Imran Ayat 42: Meneladani Kebersihan dan Kesucian Diri Siti Maryam

Kedudukan Manusia Sebagai Khalifah Allah Swt di Muka Bumi

0
Khalifah Allah
Manusia Sebagai Khalifah Allah Swt

Kata khalifah secara harfiah diartikan dengan “pengganti, wakil.” Khalifah Allah berarti pengganti Allah, atau wakil Allah. Khalifatullah fil ardh, artinya “pengganti atau wakil Allah di bumi. Setiap manusia adalah khalifatullah (pengganti, wakil Allah) di bumi. Allah memberikan kewnangan kepada manusia untuk menjadi pengganti atau wakilnya di bumi ini dengan tugas yang sangat mulia yaitu, mengurus, mengelola, memanfaatkan dan menjaga alam untuk kemaslahatan hidup mereka. Allah Swt telah menciptakan bumi ini dengan seluruh isinya untuk manusia, untuk kesejahteraan, dan kemaslahatannya.

Siapa pun Anda, laki-laki mapun perempuan, yang memiliki jabatan tinggi maupun yang memiliki jabatan rendah, yang memiliki jabatan maupun tidak, yang miskin maupun yang kaya, selama Anda menjadi manusia, Anda adalah khalifah (pengganti, wakil) Allah di bumi ini.Anda ditugaskan oleh Allah untuk mengurus bumi ini sesuai dengan tuntan dan tuntunan-Nya. Kedudukan sebagai khalifah Allah adalah jabatan atau kedudukan yang paling tinggi yang diberikan Allah kepada manusia.

Adam dan seluruh keturunannya adalah khalifah Allah di bumi. Kedudukan sebagai khalifah kepada manusia, pertama kali diberikan oleh Allah kepada Adam a.s. Hal ini dinyatakan oleh Allah kepada para malaikatnya ketika Allah ingin menciptakan Adam. Adam langsung diangkat sebagai khalifah. Allah menyatakan di dalam QS. Al-Baqarah [2]: 30:

وَإِذۡ قَالَ رَبُّكَ لِلۡمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٞ فِي ٱلۡأَرۡضِ خَلِيفَةٗۖ قَالُوٓاْ أَتَجۡعَلُ فِيهَا مَن يُفۡسِدُ فِيهَا وَيَسۡفِكُ ٱلدِّمَآءَ وَنَحۡنُ نُسَبِّحُ بِحَمۡدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَۖ قَالَ إِنِّيٓ أَعۡلَمُ مَا لَا تَعۡلَمُونَ ٣٠

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.

Pada saat pengangkatan Adam sebagai kahlifah Allah itulah, maka semua manusia dan seluruh keturunan Adam a.s. hingga akhir zaman adalah khalifah Allah di bumi. Jabatn sebagai khalifah Allah itu adalah jabatan yang paling mulia yang diberikan Allah kepada setiap manusia. Anda harus bangga dengan jabatan dan kedudukan. Sebagai khalifah Allah, Anda harus mampu mencerminkan segala aspek kehidupanmu sesuai dengan tuntunan dan tuntutan Allah.

Baca Juga: Aspek Pertama Membentuk Pribadi Manusia Unggul: Ilmu Pengetahuan

Allah telah memberikan kedudukan dan jabatan yang sangat mulia bagi manusia, yaitu jabatan kahalifah. Setiap manusia, mulai dari Adam a.s. hingga manusia yang terakhir dari cucu Adam adalah khalifah Allah di bumi. Allah telah menciptakan bumi dan segala isinya ini untuk makhluk manusia, bukan untuk makhluk yang lain. Karena setiap manusia yang lahir ke dunia akan menjadi khalifah Allah di bumi, maka sebelum dia lahir ke dunia ini, ada semua perjanjian kesepakatan antara Allah dan setiap janin yang ada di dalam rahim. Perjanjian itu seperti yang disebutkan di dalam QS. Al-A’raf [7]: 172:

وَإِذۡ أَخَذَ رَبُّكَ مِنۢ بَنِيٓ ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمۡ ذُرِّيَّتَهُمۡ وَأَشۡهَدَهُمۡ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ أَلَسۡتُ بِرَبِّكُمۡۖ قَالُواْ بَلَىٰ شَهِدۡنَآۚ أَن تَقُولُواْ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ إِنَّا كُنَّا عَنۡ هَٰذَا غَٰفِلِينَ ١٧٢

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).”

Perjanjian kesepakatan seperti itu telah dilakukan oleh Allah hanya kepada manusia, tidak terhadap makhluk-makhluk yang lain. Kesepakatan itu adalah bahwa manusia mengakui dan bersaksi bahwa Tuhannya adalah Allah. Oleh sebab itu, yang menjadi ciri (kriteria) utama bagi seorang kahalifah Allah adalah mengakui dan beriman kepada Allah sebagai tuhannya. Mereka mengakui bahwa Allah adalah Tuhan yang Maha Esa, tidak ada sekutu baginya, tidak ada Tuhan selain Dia. Apa yang telah menjadi perjanjiannya dengan Allah itu harus dilaksanakan oleh setiap manusia.

Kriteria kedua yang harus dimiliki oleh manusia yang menjadi khalifah Allah adalah menyembah Allah Swt. Menyembah Allah harus disertai dengan keyakinan bahwa Allah adalah Maha Esa, tidak ada sekutu baginya. Perintah untuk menyembah Allah itulah yang disampaikan setiap rasul yang diutus. Perintah untuk menyembah Allah itu yang menjadi tugas pertama dan utama dari tiap Rasul. Manusia harus menyembah Allah, Tuhan yang telah menciptakan bumi dan segala isinya. Sebagai khalifah Allah di bumi, harus menyembah Allah, tidak menyembah yang lain, selain Allah.

Ada sejumlah ayat yang menyebutkan tentang perintah untuk menyembah Allah itu. Di antaranya adalah ayat yang terdapat di dalam QS. Al-Baqarah [2]: 21: “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.”

Di dalam ayat ini Allah memerintahkan seluruh manusia untuk menyembah Allah swt, sebab Allah yang telah menciptakan mereka sehingga mereka berada di dunia.

Para rasul utusan Allah yang telah diutus kepada seluruh kaum, mulai dari Nabi Adam a.a. hingga Nabi Muhammad saw., yang menjadi tugas pertama mereka adalah menyerukan kaum dan umatnya untuk beribadah kepada Allah. Hal ini dinyatakan oleh Allah di dalam QS. Al-Nahl [16]: 36: “Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”, maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).”

Di dalam ayat yang lain di dalam QS. Al-Mu’minun [23]: 32 Allah menyatakan: “Lalu Kami utus kepada mereka, seorang rasul dari kalangan mereka sendiri (yang berkata): “Sembahlah Allah oleh kamu sekalian, sekali-kali tidak ada Tuhan selain daripada-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya).”

Baca Juga: Aspek Kedua Membentuk Pribadi Manusia Unggul: Beramal dan Berkarya

Nabi Nuh, misalnya, yang diutus oleh Allah kepada kaumnya, dakwah yang pertama yang harus dilakukannya kepada kaumnya adalah menyerukan mereka untuk beribadah kepada Allah, yang digambarkan di dalam QS. Al-A’raf [7]: 59: “Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: “Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya”. Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat).”

Dari ayat-ayat itu dapat kita lihat bahwa semua manusia, yang memiliki kedudukan yang tinggi sebagai khalifah Allah itu harus beribadah kepada-Nya, tidak menyembah kepada selain Allah. Wallahu A’lam.

Kajian Kata Mukjizat dalam Al-Quran dan Aspek Kemukjizatan Al-Quran

0
Mukjizat
Kata Mukjizat dalam al-Quran

Kata mukjizat terambil dari bahasa Arab, mu’jizah (معجزة), yang berarti sesuatu yang dapat membuat lemah atau tak mampu. Kamus Besar Bahasa Indonesia V kita mengartikan mukjizat sebagai; kejadian (peristiwa) ajaib yang sukar dijangkau oleh kemampuan akal manusia. Daripada arti mukjizat dalam bahasa Indonesia, arti kata mukjizat dalam bahasa Arab ini lebih pas dan cocok, serta sesuai dengan kegunaan mukjizat itu sendiri, yaitu melemahkan.

Karamah, kata yang kerap disebut-sebut selain mukjizat untuk menyebut sesuatu yang luar biasa, oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia V diartikan sebagai; kemuliaan berupa sesuatu di luar logika manusia yang Allah berikan kepada para wali Allah. Ada kesamaan antara takrif mukjizat dan karamah, yaitu sesuatu yang di luar jangkauan akal atau logika manusia. Bedanya, mukjizat diartikan umum, sementara karamah dikhususkan kepada para wali Allah.

Mukjizat dalam Al-Quran

Definisi kata mukjizat sebagai kejadian ajaib irasional agaknya belum memadai. Ada takrif lain yang lebih spesifik, yaitu kejadian ajaib di luar jangkauan logika manusia yang diberikan kepada para nabi Allah untuk menguatkan kenabiannya. Takrif tersebut terbaca dalam al-Mu’jam al-Wasith yang diterbitkan Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah, Mesir (cet. IV, 2004).

Kita akrab dengan berbagai mukjizat yang dikisahkan di dalam al-Quran. Ada Nabi Musa dengan tongkatnya yang dapat mewujud seekor ular raksasa (Thaha [20]: 19-20).

قَالَ اَلْقِهَا يٰمُوْسٰى فَاَلْقٰىهَا فَاِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعٰى

(Allah) berfirman, “Lemparkanlah (tongkat) itu, wahai Musa!”

Maka, dia (Musa) melemparkannya. Tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat.

Ada Nabi Isa yang dapat menghidupkan orang mati serta mukjizat lainnya yang terbaca dalam Ali ‘Imran [3]: 49 berikut.

وَرَسُوْلًا اِلٰى بَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ ەۙ اَنِّيْ قَدْ جِئْتُكُمْ بِاٰيَةٍ مِّنْ رَّبِّكُمْ ۙاَنِّيْٓ اَخْلُقُ لَكُمْ مِّنَ الطِّيْنِ كَهَيْـَٔةِ الطَّيْرِ فَاَنْفُخُ فِيْهِ فَيَكُوْنُ طَيْرًاۢ بِاِذْنِ اللّٰهِ ۚوَاُبْرِئُ الْاَكْمَهَ وَالْاَبْرَصَ وَاُحْيِ الْمَوْتٰى بِاِذْنِ اللّٰهِ ۚوَاُنَبِّئُكُمْ بِمَا تَأْكُلُوْنَ وَمَا تَدَّخِرُوْنَ ۙفِيْ بُيُوْتِكُمْ ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيَةً لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَۚ

(Allah akan menjadikannya) sebagai seorang rasul kepada Bani Israil. (Isa berkata,) “Sesungguhnya aku telah datang kepadamu dengan tanda (mukjizat) dari Tuhanmu, sesungguhnya aku membuatkan bagimu (sesuatu) dari tanah yang berbentuk seperti burung. Lalu, aku meniupnya sehingga menjadi seekor burung dengan izin Allah. Aku menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahir dan orang yang berpenyakit buras (belang) serta menghidupkan orang-orang mati dengan izin Allah. Aku beri tahukan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kerasulanku) bagimu jika kamu orang-orang mukmin.

Baca Juga: Etika Bergaul dengan Non muslim dalam Pandangan Al-Qur’an

Ada Nabi Sulaiman yang menguasai seluruh makhluk di bumi sebagaimana terbaca dalam al-Naml [21]: 16 dan 39, Saba’ [34]: 12, dan Shad [38]: 36-38. Itu semua adalah mukjizat. Logika manusia tak sanggup menjangkau peristiwa-peristiwa lampau itu.

Peristiwa-peristiwa itu telah selesai pada masanya. Meski demikian, peristiwa demi peristiwa supranatural itu akan terkisah di dalam al-Quran, mukjizat Nabi Muhammad Saw terkekal yang akan tetap eksis sampai Allah berkehendak merampungi dunia ini.

Kemukjizatan Al-Quran

Allah telah menegaskan sendiri dalam banyak ayat al-Quran, bahwa tak seorang pun yang mampu menyamai, apalagi menandingi, kitab suci al-Quran. Misalnya dalam al-Isra’ [17]: 88.

قُلْ لَّىِٕنِ اجْتَمَعَتِ الْاِنْسُ وَالْجِنُّ عَلٰٓى اَنْ يَّأْتُوْا بِمِثْلِ هٰذَا الْقُرْاٰنِ لَا يَأْتُوْنَ بِمِثْلِهٖ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيْرًا

Katakanlah, “Sungguh, jika manusia dan jin berkumpul untuk mendatangkan yang serupa dengan Al-Qur’an ini, mereka tidak akan dapat mendatangkan yang serupa dengannya, sekalipun mereka membantu satu sama lainnya.”

Pernyataan senada—tak seorang pun yang mampu mendatangkan yang serupa dengan al-Quran—ini terulang dalam beberapa ayat lain seperti al-Thur [52]: 33-35, Hud [11]: 13-14, al-Baqarah [2]: 23-24 dan Yunus [10]: 38.

Al-Quran adalah bukti kebenaran risalah Nabi Muhamad. Kita membaca uraian al-Imam Abu Bakr al-Baqilani (w. 403 H) dalam karya monumentalnya, I’jaz al-Quran (2009) berikut;

Al-Quran adalah kitab yang menunjukkan kebenaran ucapan pembawanya (baca: Nabi Muhammad Saw) dan argumentasi yang menjadi saksi dari argumentasi-argumentasi pada nabi pendahulu. Jika orang mengira al-Quran adalah perkataan biasa yang dapat dipahami sampai tuntas, maka ia salah. Orang akan sadar ketidakmampuannya memahami al-Quran seperti halnya kaum Nabi Isa yang menyadari ketidakmampuannya mempelajari tuntas ilmu medis, yang kemudian datanglah Nabi Isa dengan kemampuan menghidupkan orang mati dan menyembuhkan penyakit baras dan kusta.

Seperti juga halnya Nabi Musa yang menaklukkan ilmu sihir (yang waktu itu lagi matang-matangnya) dengan tongkatnya sekali lempar. Lantas para penyihir sadar bahwa apa yang dilakukan Nabi Musa adalah sesuatu yang lebih dari sekadar ilmu sihir. Kesadaran mereka akan ketidakmampuan mengantarkan mereka murtad dari Fir’aun dan meyakini Tuhan Musa.

Hal tersebut juga terjadi di hadapan al-Quran. Kita membaca kisah-kisah islamnya para penyair beken Jahiliyah seperti Utbah, Labid bin Rabiah al-‘Amiriy, Ka’b bin Zuhair, Hassan bin Tsabit, al-Thufail bin ‘Amr al-Dawsiy dan banyak lainnya. Satu kisah nama terakhir bakal kita simak. Kisah ini terekam dalam Abu Hurairah Rawiyat al-Islam (1982) karya Dr. Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib.

Kisah Islamnya al-Thufail

Adalah al-Thufail bin Amr al-Dausiy, seorang lelaki penyair beroleh nama di hati kaumnya. Keharuman namanya dikenal oleh kabilah Quraisy di Makkah. Kala al-Thufail ingin bertolak ke Makkah, orang-orang rewel mewanti-wantinya supaya tak mengindahkan seorang lelaki pembuat onar jika ia telah sampai di Makkah nanti. Yang dimaksud lelaki pembuat onar itu tak lain dan tak bukan adalah Nabi Muhammad Saw.

Setibanya di Makkah, dalam sebuah riwayat, al-Thufail diingatkan lagi oleh orang-orang Makkah soal lelaki itu. Al-Thufail juga diminta untuk membuktikannya sendiri dengan bertemu lelaki yang membuat para pembesar Makkah senewen.

Bertemulah al-Thufail dengan lelaki yang dimaksud. Lalu ia melontarkan syair-syair olokan kepada si lelaki. Lelaki itu membalasnya, bukan dengan syair atau retorika apalah-apalah, tapi dengan membacakan tiga ayat al-Quran masing-masing al-Ikhlas, al-Falaq dan al-Nas.

Baca Juga: Citra Nabi Muhammad dalam Al-Quran Perspektif Tarif Khalidi (1)

Al-Thufail terperangah, lidahnya kelu, masih terngiang jelas di kupingnya ayat-ayat al-Quran yang aduhai indahnya dibacakan oleh seorang lelaki di hadapannya. Sebuah untaian kalimat yang takpernah sekali pun keluar dari mulut seseorang kecuali dari Nabi Muhammad Saw.

اَمْ يَقُوْلُوْنَ افْتَرٰىهُ ۗ قُلْ فَأْتُوْا بِسُوْرَةٍ مِّثْلِهٖ وَادْعُوْا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ

Bahkan, apakah (pantas) mereka mengatakan, “Dia (Nabi Muhammad) telah membuat-buat (Al-Qur’an) itu.”? Katakanlah (Nabi Muhammad), “(Kalau demikian,) buatlah satu surah yang semisal dengannya dan ajaklah siapa yang dapat kamu (ajak) selain Allah (untuk menolongmu), jika kamu orang-orang yang benar.”

Jelas sudah, al-Quran bukanlah buatan manusia. Ia adalah benar-benar mukjizat yang diberikan kepada Nabi Muhammad Saw, yang akan tetap ada hingga hari akhir kelak. Wallahu a’lam.

Tafsir Surah An-Najm Ayat 1-2

0
Tafsir Surah An-Najm
Tafsir Surah An-Najm

Pada Tafsir Surah An-Najm Ayat 1-2 ini menceritakan tentang sumpah Allah terhadap bintang dan kebenaran tentang Nabi Muhammad saw.  Dijelaskan dalam Tafsir Surah An-Najm Ayat 1-2 ini bagaimana manfaat bintang yang beredar pada porosnya dari sisi ilmu sains modern. Selain itu, dijelaskan juga pada Tafsir Surah An-Najm Ayat 1-2 ini bagaimana Nabi Muhammad sebagai seorang Rasul.

Ayat 1

Allah swt menerangkan bahwa Ia bersumpah dengan makhluk-Nya yang besar yakni bintang yang beredar pada porosnya, sehingga tidak saling berbenturan satu dengan yang lainnya. Bintang-bintang itu merupakan petunjuk bagi manusia dalam hutan dan di padang pasir, di tempat kediaman dan dalam perjalanan, di kampung dan di kota, dan juga di lautan, bintang-bintang itu besar sekali faedahnya bagi kehidupan manusia.

Allah swt mengarahkan sumpah-Nya kepada kaum musyrikin agar mengetahui betapa banyak manfaatnya bintang-bintang bagi mereka. Antara lain untuk mengetahui perubahan musim agar mereka bersiap-siap untuk menggembalakan ternak mereka, kemudian setelah turun hujan mereka dapat menanam tanaman yang sesuai dengan musimnya.

Sumpah Allah tersebut mengingatkan manusia bahwa di sana ada benda-benda yang perkasa di ruang angkasa yang harus mereka ketahui, agar mereka dapat meyakini besarnya sumber kekuasaan Allah dan indahnya ciptaan-Nya.

Ilmu pengetahuan modern telah menerangkan bahwa di angkasa raya ada keajaiban yang dapat dilihat dari cepatnya peredaran dan bentuknya yang besar.

Alam matahari terdiri dari matahari dan 9 buah planet yang kebanyakan dikelilingi oleh beberapa buah bulan. Matahari itu dalam alamnya adalah sebagian daripada alam angkasa. Di alam angkasa ada sekitar 30.000.000.000 (tigapuluh miliar) bintang. Setiap bintang adalah sebagai matahari seperti mataharinya manusia di bumi ini. Ada yang lebih besar dan ada pula yang lebih kecil daripadanya. Umur matahari adalah sekitar lima milyar tahun, umur bumi sekitar 2.000 juta tahun. Umur air di atas bumi sekitar 300 juta tahun. Dan umur manusia sekitar 300.000 tahun.


Baca Juga : Wa An-Najm Idha Hawa: Demi Bintang, Demi Muhammad, Demi Al-Quran


Dan alam semesta itu mempunyai penjaga (hanya Allah-lah yang mengetahuinya). Dan tidak seorang pun yang mengetahui bala tentara Tuhan kecuali Dia.

 Al-‘Amasy dari Mujahid mengatakan bahwa ayat ini merujuk pada Al-Qur’an ketika diturunkan seperti dalam firman-Nya:

فَلَآ اُقْسِمُ بِمَوٰقِعِ النُّجُوْمِ   ٧٥  وَاِنَّهٗ لَقَسَمٌ لَّوْ تَعْلَمُوْنَ عَظِيْمٌۙ    ٧٦  اِنَّهٗ لَقُرْاٰنٌ كَرِيْمٌۙ    ٧٧  فِيْ كِتٰبٍ مَّكْنُوْنٍۙ   ٧٨  لَّا يَمَسُّهٗٓ اِلَّا الْمُطَهَّرُوْنَۙ    ٧٩  تَنْزِيْلٌ مِّنْ رَّبِّ الْعٰلَمِيْنَ   ٨٠ 

Lalu Aku bersumpah dengan tempat beredarnya bintang-bintang. Dan sesungguhnya itu benar-benar sumpah yang besar sekiranya kamu mengetahui, dan (ini) sesungguhnya Al-Qur’an yang sangat mulia, dalam Kitab yang terpelihara (Lauh Mahfudz), tidak ada yang menyentuhnya selain hamba-hamba yang disucikan. Diturunkan dari Tuhan seluruh alam. (al-Waqi’ah/56: 75-80)

Ayat 2

Allah menerangkan bahwa kawan mereka itu (Muhammad) adalah benar-benar seorang Nabi. Dia tidak pernah menyimpang dari jalan yang benar dan juga tidak pernah melakukan kebatilan.

Pada kenyataannya Rasulullah saw adalah seorang rasul yang diberi petunjuk oleh Allah, dia mengikuti kebenaran. Dia bukan seorang yang menyesatkan (dan ia tidak berjalan pada jalan yang ia sendiri tidak mengetahuinya). Dia bukan seorang yang sesat yang berpaling dari kebenaran dengan suatu tujuan tertentu. Keadaan beliau yang seperti itu, bukan saja setelah beliau diangkat menjadi rasul, tetapi juga sebelumnya. Oleh sebab itulah Allah memberikan kepadanya petunjuk dan syariat untuk memberikan sinar terang kepada orang-orang yang sesat baik Yahudi maupun Nasrani yang sebenarnya mereka mengetahui kebenaran itu, tetapi tidak mengamalkannya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelanya : Tafsir Surah An-Najm Ayat 3-5


Kajian Makna Kata Sarab (Fatamorgana) dalam Al-Quran dan Hikmahnya

0
Fatamorgana
Fatamorgana

Dalam KBBI, fatamorgana memiliki dua pengertian. Pertama, gejala optis pada objek yang panas sehingga nampak seperti genangan air. Kedua, hal yang besifat khayalan dan tidak mungkin dicapai.(KBBI) Kedua pengertian tersebut memiliki kesamaan, hal yang nampak nyata tetapi sejatinya tidak.

Dalam bahasa Inggis, fatamorgana disebut mirage. Yakni efek dari udara panas di padang gurun ataupun jalan sehingga memunculkan ilusi optik beupa air. Mirage memiliki sinonim illusion (ilusi) yang memiliki pengertian dasar sama (tidak nyata). (Oxford Dictinory)

Meski fatamorgana sering digunakan dalam fenomena Alam, kata tersebut juga sering digunakan dalam berbagai konteks. Seperti ketika menggambarkan sebuah kepalsuan yang dibalut dalam kehidupan realita.

Dalam bahasa Arab, fatamorgana diterjemahkan dengan lafadz سراب(sara>bu). Didalam Al-Quran, kata سراب yang menunjukkan arti fatamorgana terdapat pada dua surah yakni An-Nur ayat 24 dan An-Naba ayat 20. Jika mengacu pada definisi pertama, fenomena fatamorgana dijelaskan pada surah An-Nur (24): 39 yang berbunyi:

وَالَّذِيْنَ كَفَرُوْٓا اَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍۢ بِقِيْعَةٍ يَّحْسَبُهُ الظَّمْاٰنُ مَاۤءًۗ حَتّٰٓى اِذَا جَاۤءَهٗ لَمْ يَجِدْهُ شَيْـًٔا وَّوَجَدَ اللّٰهَ عِنْدَهٗ فَوَفّٰىهُ حِسَابَهٗ ۗ وَاللّٰهُ سَرِيْعُ الْحِسَابِ ۙ

Dan orang-orang yang kafir, amal perbuatan mereka seperti fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi apabila (air) itu didatangi tidak ada apa pun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah baginya. Lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan (amal-amal) dengan sempurna dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya.

Baca Juga: Surah Al-Mumtahanah Ayat 8-9 dan Pesan Relasi Muslim-Non Muslim dalam Tafsir Al-Ibriz

Dalam tafsir al-Ma’tsur yang ditulis Jalaludin As-Suyuthi mengutip hadis yang diriwayatkan Ibnu Abbas, ayat ini gambaran segala amal perbuatan baik orang-orang kafir di dunia tidak akan memberikan pertolongan di hari kiamat.

Anggapan tersebut diibaratkan Al-Quran seperti fenomena fatamorgana di padang pasir. Ketika orang-orang yang sedang kehausan melihat air di gurun, mereka mendekatinya. Namun setelah sampai, apa yang dilihatnya bukanlah sesuatu yang nyata.(ad-Durru al-Mantsur fi at-Tafsiri al-Ma’tsur, Jilid 11, Hal. 88)

Sementara itu dalam tafsir An-Nur dijelaskan bahwa keimanan  merupakan syarat utama diterimanya amal kebaikan semasa di dunia.(Tafsir An-Nur, Jilid 6, Hal. 174) Orang yang enggan beriman kepada Allah, segala perbuatan dan amal kebaikan diibaratkan seperti fatamorgana di padang gurun.

Di ayat yang lain juga dijelaskan fatamorgana dalam konteks yang berbeda. Dalam surah An-Naba(78): 20 Allah berfirman:

وَّسُيِّرَتِ الْجِبَالُ فَكَانَتْ سَرَابًاۗ

Dan gunung-gunung pun dijalankan sehingga menjadi fatamorgana

An-Naba ayat 17-20 merupakan rangkaian ayat yang menceritakan kejadian pada hari akhir. Dalam Tafsir Kemenag dijelaskan bahwa hasil dari letusan gunung-gunung di hari kiamat sebabkan gunung tersebut tidak utuh lagi. Akibat dari guncangan yang dahsyat menimbulkan kabut yang pekat sehingga jika dilihat dari jauh nampak seperti bayangan air (fatamorgana).

Ibnu katsir memberikan tambahan An-Naba ayat 20 dijelaskan lebih lanjut pada surah An-Naml(27):88. Pada ayat tersebut dijelaskan bahwa manusia menyangka gunung-gunung diam pada tempatnya. Padahal pada hakikatnya gunung-gunung tersebut bergerak.

Kata سَرَابًا dijelaskan manusia menyangka pada hari kiamat gunung-gunung baik baik saja (tidak berubah bentuk). Padahal akibat dari letusan tersebut, gunung-gunung kehilangan bentuknya seperti tak berbekas.  Gunung dengan segala kemegahannya bukanlah apa-apa dari kekuasaan Allah SWT.(Tafsir Al-Quran Al-Adzim. Jilid 8, hal. 205)

Dalam dua contoh tersebut juga memiliki kesamaan. سراب digunakan untuk menggambarkan keterbatasan manusia dibanding kekuasaan Allah pada masing-masing ayat. Fatamorgana dilihat dari dua contoh dalam Al-Quran tersebut menjelaskan dua hal. Pertama, apa yang nampak secara lahir terlihat benar. Kedua, jawaban dari hal yang bertama dan merupakan kebenaran akhir.

Di dalam kehidupan nyata, kebenaran secara panca indra banyak ditemukan, meski tidak benar sepenuhnya dari segi ilmu pengetahuan. Selain fatamorgana yang digambarkan pada gurun pasir, dapat juga ditemukan pada  sebuah pensil yang terlihat patah ketika dimasukkan kedalam air sebagian.

Baca Juga: Mengenal Lebih Dekat Tafsir Juz ‘Amma Karya Kh. Masruhan Ihsan

Dari pengelihatan mata, semua orang setuju bahwa pensil tersebut terlihat patah. Tetapi fakta pengetahuan mengatakan bahwa hakikat dari pensil tersebut tidak patah, melainkan akibat dari pembiasan cahaya.

Berdasarkan penjelasan fatamorgana diatas, mengajarkan kita untuk tidak menjadikan pandangan inderawi sebagai kebenaran mutlak. Melainkan pijakan awal untuk terus berpikir dan terus menjadi kebenaran hakiki. Adapun yang dijelaskan pada surah An-Nur ayat 20 bukan sebagai legitimasi menyalahkan agama ataupun kepercayaan lain. tetapi untuk muhasabah diri supaya terus beribadah dan memohon ampunan kepada Allah.

Demikianlah kata sarab (fatamorgana) dalam al-Quran beserta hikmah yang bisa diambil. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam.

Mengenal Hukum Wadh’i dan Contohnya dalam Al-Qur’an

0
Hukum Wadh’i dan Contohnya
Hukum Wadh’i dan Contohnya

Hukum Islam secara terminologi disebut sebagai syariat atau hukum syar’i yang memuat  ketentuan Allah Ta’ala bagi hambanya. Sedangkan syariat sendiri bersumber dari kitabullah dan sunnah Rasulullah serta apa saja perbuatan yang diamalakan oleh generasi salaf. Dalam pandangan para ulama hukum syar’i terbagi menjadi dua yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i, tulisan ini bermaksud menjelaskan tentang hukum wadh’i dan contohnya dalam Al-Qur’an. Hukum wadh’i bermakna khitob dari Allah Ta’ala yang berhubungan dengan penetapan sesuatu sebagai sebab, syarat, dan pengahalang atas sesuatu yang lain.

Dari pengertian di atas maka hukum wadh’i terbagi atas tiga kategori:

  1. Sebab, maksudnya keberadaannya mengharuskan adanya suatu hukum, dan sebaliknya jika keberadaannya tidak dijumpai maka tidak ada hukum karena ketidakadaannya. (Ahamd Idris al-Qarafi, syarh tanqihul fushul)

Contohnya adalah tentang  pergerakan matahari yang digunakan sebagai acuan masuk waktu dalam melaksanakan kewajiban ibadah  sholat yang terdapat dalam Al-Qur’an Surah Al- Isra ayat 78:

أَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ لِدُلُوكِ ٱلشَّمْسِ إِلَىٰ غَسَقِ ٱلَّيْلِ وَقُرْءَانَ ٱلْفَجْرِ ۖ إِنَّ قُرْءَانَ ٱلْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا

Artinya: Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).

Wahbah Zuhaili menafsirkan ayat diatas sebagai berikut: Dirikanlah shalat (shalat zhuhur) sesudah tergelincirnya matahari dan sesudah condong dari tengah-tengah langit menuju arah barat. Lalu dirikanlah dua shalat, yaitu maghrib dan isya’ ketika telah datang kegelapaan malam. Lalu dirikanlah shalat fajar (subuh). Sesungguhnya shalat fajar dan membaca Al-Qur’an di dalamnya merupakan ibadah yang disaksikan oleh para malaikat malam dan malaikat siang (Tafsir Al-Wajiz 291).

Baca juga: Tafsir Ahkam: Hukum Mengoleksi Perabot dari Emas dan Perak

2. Syarat, artinya ketiadaannya mengharuskan tidak adanya hukum, akan tetapi keberadaannya tidak mengharuskan ada atau tidaknya sebuah hukum, dan ia berasal dari luar substansi yang disyaratkan itu. ( Mahmud Muhammad al Thanthawi, Ushul Fiqh al Islami 91)

Dalam hal ini dicontohkan seperti melakukan wudlu sebelum sholat. hakikatnya wudlu merupakan salah satu syarat sah sholat, tetapi adanya wudlu belum tentu adanya sholat, bisa jadi wudlu digunakan untuk mensucikan diri sebelum membaca Al-Qur’an, thawaf, atau ibadah lain yang mensyaratkan wudlu.

Mengenai wudlu sebagai syarat sholat sebagaimana firman Allah Ta’ala  dalam Al Qur’an Surah Al Maidah ayat 6:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغْسِلُوا۟ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى ٱلْمَرَافِقِ وَٱمْسَحُوا۟ بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى ٱلْكَعْبَيْنِ ۚ وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَٱطَّهَّرُوا۟ ۚ وَإِن كُنتُم مَّرْضَىٰٓ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ ٱلْغَآئِطِ أَوْ لَٰمَسْتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوا۟ مَآءً فَتَيَمَّمُوا۟ صَعِيدًا طَيِّبًا فَٱمْسَحُوا۟ بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ ۚ مَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلَٰكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُۥ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.

3. Mani’ berarti sesuatu yang keberadaannya menyebabkan pula ketiadaan hukum atau sebab dalam artian menjadikan hukum atau sebab itu menjadi batal. (Abdul Karim Zaidan al-wajiz fi ushul fiqh 63). Dalam hal ini mani’ diartikan sebagai  segala sesuatu yang menjadi pencegah suatu hukum seperti orang mabuk tercegah untuk melakukan sholat, orang junub tercegah untuk i’tikaf di masjid dan wanita haid yang tercegah melakukan sholat. Contoh ayat yang menerangkan tentang mani’ seperti terdapat dalam Al-Qur’an surah An-Nisa’ ayat 43:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغْتَسِلُوا ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.

Baca juga: Tanggapan Fred Donner atas Kajian Otentisitas Al-Quran Para Revisionis

Dari keterangan diatas dapat difahami bahwa Mani’ adalah sesuatu yang ketika adanya sesuatu itu berakibat meniadakan hukum. Demikian penjelasan singkat mengenai  tiga macam hukum wadh’i dan beberapa contoh ayat Al-Quran yang mengandung hukum tersebut. (Wallahu A’lam).