Beranda blog Halaman 168

Tafsir Surah An-Najm Ayat 40-46

0
Tafsir Surah An-Najm
Tafsir Surah An-Najm

Pada Tafsir Surah An-Najm Ayat 40-46 membahas beberapa hal yang berkaitan dengan balasan atas amal perbuatan seseorang. Diantaranya, amal perbuatan yang akan diperlihatkan di hari mahsyar, dilipatgandakan amal perbuatan yang baik, serta menghisab segala amal perbuatan sekecil apapun. Disamping itu, Tafsir Surah An-Najm Ayat 40-46  membahas juga seputar hikmah diciptakannya sesuatu secara berpasang-pasangan.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah An-Najm Ayat 39


Ayat 40

Amal perbuatan seseorang akan diperlihatkan di hari mahsyar sehingga semua orang akan dapat melihatnya. Ini berarti penghormatan bagi orang-orang baik dan penghinaan bagi orang-orang jahat.

وَقُلِ اعْمَلُوْا فَسَيَرَى اللّٰهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُوْلُهٗ وَالْمُؤْمِنُوْنَۗ وَسَتُرَدُّوْنَ اِلٰى عٰلِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَۚ    ١٠٥

Dan katakanlah, “Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (at-Taubah/9: 105)

Ayat 41

Ayat ini menyatakan bahwa Allah akan membalas amal perbuatan seseorang dengan balasan yang lebih sempurna dengan melipatgandakan baginya perbuatan baik, dan membalas suatu kejahatan dengan yang serupa atau dimaafkan.

نَبِّئْ عِبَادِيْٓ اَنِّيْٓ اَنَا الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُۙ  ٤٩  وَاَنَّ عَذَابِيْ هُوَ الْعَذَابُ الْاَلِيْمُ   ٥٠

Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa Akulah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang, dan sesungguhnya azab-Ku adalah azab yang sangat pedih. (al-Hijr/15: 49-50)

Ayat 42

Allah tempat kembali segala sesuatu pada hari Kiamat dan Ia akan menghisab yang kecil dan besar, lalu Ia memberi pahala atau siksa sesuai dengan perbuatan mereka masing-masing.

Ayat ini merupakan peringatan keras bagi orang jahat, dan bujukan yang halus bagi orang-orang baik dan sebagai penghibur hati bagi Nabi Muhammad saw, seperti firman-Nya:

فَلَا يَحْزُنْكَ قَوْلُهُمْ ۘاِنَّا نَعْلَمُ مَا يُسِرُّوْنَ وَمَا يُعْلِنُوْنَ   ٧٦

Maka jangan sampai ucapan mereka membuat engkau (Muhammad) bersedih hati. Sungguh, Kami mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang mereka nyatakan. (Yasin/36: 76)


Baca Juga: Benarkah Kata Hisab dalam Al-Quran Hanya Bermakna Perhitungan Amal?


Ayat 43

Allah-lah yang menjadikan orang tertawa dan menangis serta sebab-sebabnya. Maksudnya, Dia yang menjadikan manusia gembira karena perbuatannya yang baik, dan Dia yang menyebabkan manusia sedih, menangis dan prihatin karena perbuatannya, yaitu perbuatan yang menyenangkan atau menyusahkan.

Ayat 44

Pada ayat ini Allah menegaskan bahwa sesungguhnya Dia-lah yang menjadikan mati dan hidup karena Dia adalah zat yang sanggup untuk menghidupkan, mematikan dan menghidupkan kembali.

الَّذِيْ خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيٰوةَ لِيَبْلُوَكُمْ اَيُّكُمْ اَحْسَنُ عَمَلًاۗ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْغَفُوْرُۙ  ٢

Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa, Maha Pengampun. (al-Mulk/67: 2)

Ayat 45-46

Allah yang menciptakan laki-laki dan perempuan dari “air mani yang dipancarkan ke dalam rahim.” Kemudian dihembuskannya ruh, sehingga dia hidup dan bergerak.

Ayat 45 kembali menjelaskan mengenai keberpasangan ciptaan. Uraiannya dapat dilihat pada beberapa ayat terdahulu, seperti: Yasin/36: 36; ar-Ra’d/13: 3; as-Syu’ara’/26: 7; dan adz-Dzariyat/51: 49.

Ayat 46 menjelaskan penciptaan manusia yang datangnya dari pasangan laki-laki dan perempuan, sebagai tercantum dalam beberapa ayat sebelumnya. Air mani sebagai salah satu komponen pembentuk kehidupan diuraikan secara sepintas saja. Penjelasannya dapat ditemui pada beberapa uraian dalam ayat-ayat, seperti, al-Hajj/22: 5; al-Mu’minun/23: 13-14; dan Fathir/35: 11. Dalam ayat-ayat tersebut telah diuraikan secara rinci dalam tahapan proses perkembangan embrio manusia. Bahkan mengenai air mani sendiri, dijelaskan, antara lain, pada ayat-ayat as-Sajdah/32: 7-9. Penjelasan selanjutnya, yang sangat ilmiah, ditemukan pada penjelasan dari Surah ath-Thariq/86: 6-7 dan al-Insan/76: 2.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah An-Najm Ayat 47-49


Tafsir Ahkam: Kesunnahan Memotong Kumis

0
Kesunnahan Memotong Kumis
Kesunnahan Memotong Kumis

Imam Al-Qurthubi menyatakan bahwa salah satu yang Allah perintahkan kepada Nabi Ibrahim lewat surat Al-Baqarah ayat 124, adalah memotong kumis. Banyak hadis yang mendukung disyariatkannya memotong kumis. Namun karena redaksinya yang berbeda-beda, ulama’ pun berbeda pendapat tentang bagaimana bentuk memotong kumis yang dianjurkan. Lebih lengkapnya, simak penjelasan para pakar tafsir dan fikih berikut ini terkait dengan hukum kesunnahan memotong kumis:

Anjuran Memotong Kumis

Kumis menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah bulu (rambut) yang tumbuh di atas bibir atas, dan biasanya hanya terdapat pada laki-laki. Dalam Bahasa Arab, kumis diistilahkan dengan syarib (شارب). Para ahli tafsir menyinggung perihal hukum tentang memotong kumis tatkala menafsiri surat Al-Baqarah ayat 124.

Imam Al-Qurthubi menjelaskan bahwa termasuk yang dianjurkan dalam Islam adalah memotong kumis. Maksud dari memotong kumis ini adalah memotong bagian rambut kumis yang menutupi bibir saja. Tidak sampai menipiskan rambut apalagi memotong habis. Ini merupakan pendapat yang diyakini oleh mazhab malikiyah. Beberapa ulama’ bahkan menyatakan bahwa orang yang memotong habis kumisnya berhak untuk menerima hukuman (Tafsir Al-Qurthubi/2/104).

Baca juga: Mengenal 5 Prinsip Pendekatan Tafsir Ma’na Cum Maghza

Imam An-Nawawi mendokumentasikan beberapa hadis yang menganjurkan untuk memotong kumis  (Al-Majmu’/1/287):

مَنْ لَمْ يَأْخُذْ شَارِبَهُ فَلَيْسَ مِنَّا

Siapa yang tidak memotong kumisnya, makai a bukan termasuk dari kita (HR. At-Tirmidzi, An-Nasa’i dan selainnya).

انْهَكُوا الشَّوَارِبَ ، وَأَعْفُوا اللِّحَى

Potonglah kumis dan biarkanlah jenggot (HR. Imam Bukhari).

كَانَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- يَقُصُّ أَوْ يَأْخُذُ مِنْ شَارِبِهِ وَكَانَ إِبْرَاهِيمُ خَلِيلُ الرَّحْمَنِ يَفْعَلُهُ

Nabi memotong Sebagian kumisnya. Dan dahulu Nabi Ibrahim juga melakukannya (HR. Imam At-Tirmidzi).

Kitab Mausu’atul Ijma’ menyatakan bahwa cukup banyak ulama’ yang menyatakan bahwa hukum kesunnahan mencukur kumis telah disepakati oleh para Ulama’. Pernyataan tersebut diantaranya berasal dari Imam An-Nawawi, Ibn ‘Abdil Bar dan al-Iraqi. Dan memang tidak ada ulama’ yang memiliki pendapat yang berbeda. Sehingga bisa dikatakan bahwa berdasar kesepakatan ulama’ mencukur kumis hukumnya sunnah. Hanya saja mereka berbeda pendapat mengenai seperti apakah mencukur kumis yang disunnahkan tersebut? (Mausu’atul Ijma’/1/205).

Syaikh Wahbah Az-Zuhaili mencoba memetakan perbedaan pendapat tersebut. Menurutnya, Mazhab Malikiyah dan Syafiiyah meyakini bahwa mencukur yang dianjurkan adalah sebatas ujung kumis yang menutupi bibir. Imam Abu Hanifah meyakini bahwa yang dianjurkan adalah memotong habis. Sedang Imam Ahmad meyakini bisa hanya ujung rambut yang menutupi bibir, bisa juga memotong kumis (Al-Fiqhul Islami/1/461).

Baca juga: Self Reward Berujung Pemborosan, Begini Manajemen Harta ala Al-Qur’an

Perbedaan itu disebabkan berbeda-bedanya redaksi hadis yang menganjurkan memotong kumis. Bahkan ada ulama’ yang mencoba memadukannya dengan menyatakan, yang dianjurkan adalah memotong habis pada kumis bagian atas dan menipiskan sebatas tidak menutupi bibir pada kumis bagian bawah (Al-Fawakih Ad-Dawani/8/183).

Beberapa ulama’ juga memberi tambahan keterangan terkait kesunnahan memotong kumis:

Pertama, menurut Syaikh Wahbah, kesunnahan memotong kumis dapat diperoleh baik dengan cara si pemilik kumis mencukur kumisnya sendiri atau meminta orang lain mencukur kumisnya (Al-Fiqhul Islami/1/461).

Kedua, Imam An-Nawawi menyatakan bahwa waktu untuk mencukur kumis bergantung pada panjang pendeknya kumis tersebut. Dan itu berbeda-beda tergantung pemilik dan keadaannya. Imam An-Nawawi juga mengutip hadis yang diriwaayatkan dari Anas ibn Malik (Al-Majmu’/1/286):

قَالَ أَنَسٌ وُقِّتَ لَنَا فِى قَصِّ الشَّارِبِ وَتَقْلِيمِ الأَظْفَارِ وَنَتْفِ الإِبْطِ وَحَلْقِ الْعَانَةِ أَنْ لاَ نَتْرُكَ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً.

Anas berkata: Nabi memberi waktu pada kami dalam mencukur kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak dan mencukur bulu kemaluan, untuk tidak sampai lebih dari 40 hari (HR. Imam Muslim).

Dari berbagai uraian di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa mencukur kumis menurut pandangan Islam hukumnya adalah sunnah. Hanya saja, ulama’ berbeda pendapat tentang bagaimana tata cara mencukur kumis yang benar. Wallahu a’lam bish showab.

Tafsir Surah An-Najm Ayat 39

0
Tafsir Surah An-Najm
Tafsir Surah An-Najm

Pada Tafsir Surah An-Najm Ayat 39 ini membahas tentang ganjaran yang akan diterima oleh seseorang sesuai dengan apa yang diusahakannya selama di dunia ini. Dalam Pada Tafsir Surah An-Najm Ayat 39 dijelaskan bahwa tidak sah seseorang menghadiahkan pahala untuk orang lain berdasarkan pendapat Imam Malik dan Syafi’i.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah An-Najm Ayat 36-38


Ayat 39

Atas perbuatan yang baik, manusia hanya memperoleh ganjaran dari usahanya sendiri maka dia tidak berhak atas pahala suatu perbuatan yang tidak dilakukannya. Dari ayat tersebut, Imam Malik dan Imam Syafi’i memahami bahwa tidak sah menghadiahkan pahala amalan orang hidup berupa bacaan Al-Qur’an kepada orang mati, karena bukan perbuatan mereka dan usaha mereka.

Begitu pula seluruh ibadah badaniah, seperti salat, haji dan tilawah, karena Nabi saw tidak pernah mengutarakan yang demikian kepada umat, tidak pernah menyuruhnya secara sindiran dan tidak pula dengan perantaraan na¡ dan tidak pula para sahabat menyampaikan kepada kita. Sekiranya tindakan itu baik, tentu mereka telah terlebih dahulu mengerjakannya. Ada pun mengenai sedekah, maka pahalanya sampai kepada orang mati, sebagaimana oleh Muslim dan al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Nabi saw bersabda:

اِذَا مَاتَ ابْنُ ﺁدَمَ إِنْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ وَصَدَقَةٍ جَارِيَةٍ مِنْ بَعْدِهِ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ. (رواه مسلم عن أبي هريرة)

Apabila seorang anak Adam meninggal dunia putuslah semua amal perbuatan (yang menyampaikan pahala kepadanya) kecuali tiga perkara, anak yang saleh yang berdoa kepadanya, sedekah jariah (wakaf) sesudahnya dan ilmu yang dapat diambil manfaatnya. (Riwayat Muslim dari Abu Hurairah)


Baca Juga: Surah al-Isra’ [17] Ayat 7: Hakikat Perbuatan Baik Bagi Manusia


Sebenarnya ini semua termasuk usaha seseorang, jerih payahnya, sebagaimana tersebut dalam hadis:

إِنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ وَإِنَّ وَلَدَ الرَّجُلِ مِنْ كَسْبِهِ .) رواه النسائي وابن حبان)

Sesungguhnya sebaik-baik yang dimakan oleh seseorang adalah hasil usahanya sendiri dan anaknya termasuk usahanya juga.(Riwayat an-Nasa’i dan Ibn Ḥibban)

Sedekah jariah seperti wakaf adalah bekas usahanya, Allah berfirman:

اِنَّا نَحْنُ نُحْيِ الْمَوْتٰى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوْا وَاٰثَارَهُمْ

“Sungguh, Kamilah yang menghidupkan orang-orang yang mati, dan Kamilah yang mencatat apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka (tinggalkan)”. (Yasin/36: 12)

Ilmu yang disebarkan lalu orang-orang mengikutinya dan mengamalkannya termasuk juga usahanya. Dan telah diriwayatkan di antaranya hadis sahih:

مَنْ دَعَا اِلىَ هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ اْلأَجْرِ مِثْلُ اُجُوْرِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ ينَْقُصُ ذٰلِكَ منِْ اُجُوْرِهِمْ شَيْئًا. (رواه مسلم)

Orang yang mengajak kepada suatu petunjuk, maka baginya pahala yang serupa dengan pahala orang yang mengikuti petunjuk itu, tanpa mengurangi pahala orang yang mengikutinya sedikit pun. (Riwayat Muslim) ;Imam Ahmad bin Hanbal dan sebagian besar pengikut Syafi’i berpendapat bahwa pahala bacaan sampai kepada orang mati, bila bacaan itu tidak dibayar  dengan upah. Tetapi bila bacaan itu dibayar dengan upah, sebagaimana biasa terjadi sekarang, maka pahalanya tidak sampai kepada orang mati, karena haram mengambil upah untuk membaca Al-Qur’an, meskipun boleh mengambil upah mengajarinya.Termasuk ibadah yang pahalanya sampai kepada orang lain adalah doa dan sedekah.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah An-Najm Ayat 40-46


Mengenal 5 Prinsip Pendekatan Tafsir Ma’na Cum Maghza

0
Mengenal 5 Prinsip Pendekatan Tafsir Ma'na Cum Maghza
Pendekatan Tafsir Ma'na Cum Maghza

Al-Qur’an hadir sebagai pedoman hidup yang bukan hanya berlaku bagi umat Islam saja, melainkan sebagai rahmatan lil ‘aalamiin, yang berarti rahmat bagi seluruh alam. Sebagai kitab suci yang shalih li kulli zaman wa makan, tentu Al-Qur’an harus diinterpretasikan berdasarkan kebutuhan zaman pada saat Al-Qur’an ditafsirkan, namun tentu harus tetap memperhatikan sisi historisitas pada saat Al-Qur’an diturunkan. Sederhananya, dalam menafsirkan Al-Qur’an perlu memperhatikan teks dan konteks, baik konteks masa dulu maupun konteks masa sekarang.

Untuk menjawab hal ini, maka Sahiron Syamsuddin yang merupakan Dosen Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, sekaligus sebagai Ketua Asosiasi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (AIAT) se-Indonesia menawarkan teori pendekatan penafsiran yang cukup menjanjikan untuk berkembang, yakni Ma’na Cum Maghza. Pendekatan Ma’na Cum Maghza ini merupakan teori penafsiran dengan pendekatan hermeneutika.

Dalam hal ini, Sahiron mendefinisikan bahwa Ma’na Cum Maghza merupakan pendekatan hermeneutika dalam penafsiran Al-Qur’an yang mana seorang mufassir berupaya untuk menguak makna serta pesan utama pada saat Al-Qur’an diturunkan. Pesan utama tersebut kemudian dikembangkan dalam konteks kekinian. Sederhananya, pendekatan ini berupaya menghadirkan keseimbangan dalam memahami teks dan konteks.

Sebagaimana tertulis di judul, bahwa dalam tulisan sederhana ini, penulis akan memaparkan mengenai prinsip pendekatan penafsiran Ma’na Cum Maghza. Dalam setiap keilmuan, tentu terdapat prinsip yang mendasari keilmuan itu sendiri, pun demikian dengan pendekatan penafsiran Ma’na Cum Maghza. Sebab, prinsip merupakan hal yang sangat fundamental dan penting guna mendasari suatu keilmuan, dan juga sebagai pedoman, baik dalam cara berpikir maupun dalam mengembangkan keilmuan itu sendiri.

Dengan demikian, sangatlah penting bagi seorang penafsir untuk mengetahui bagaimana prinsip dari pendekatan penafsiran Ma’na Cum Maghza. Hal ini agar tidak salah kaprah dalam memahami dan menerapkan pendekatan ini dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an.

Baca juga: Mengenal Sahiron Syamsuddin, Pelopor Kajian Hermeneutika Tafsir di Indonesia

Lima Prinsip Pendekatan Tafsir Ma’na Cum Maghza

Adapun prinsip pendekatan penafsiran Ma’na Cum Maghza yang disampaikan Sahiron Syamsuddin, setidaknya terangkum dalam lima hal penting berikut:

Pertama, penafsiran haruslah berdasarkan ilmu (dulu dan sekarang). Prinsip ini juga dibuktikan Sahiron dalam merumuskan konsep Ma’na Cum Maghza. Sebagaimana diketahui bahwa Ma’na Cum Maghza ini dasar keilmuannya bermula dari keilmuan dan pemikiran para ulama mufassir modern kontemporer sebelumnya.

Hal ini sebagaimana dijelaskan beliau dalam bukunya yang berjudul ‘Pendekatan Ma’na Cum Maghza Atas Al-Qur’an dan Hadis: Menjawab Problematika Sosial Keagamaan di Era Kontemporer’, bahwa Ma’na Cum Maghza ini merupakan pengembangan serta penyempurnaan dari pendekatan penafsiran yang ditawarkan para tokoh aliran quasi-obyektivis progresif seperti Fazlur Rahman, Nasr Hamid Abu Zayd, dan Muhammad al-Talibi.

Aliran quasi-obyektivis progresif tersebut merupakan aliran yang dalam menafsirkan Al-Qur’an tidak menjadikan makna literalnya sebagai pesan utama, melainkan berusaha memahami apa yang tersirat di balik makna literal tersebut untuk kemudian diaplikasikan dalam kehidupan konteks kekinian. Makna tersebut disebut ratio legis oleh Fazlur Rahman, kemudian disebut maqashid oleh al-Talibi, dan Abu Zayd menyebutnya dengan istilah Maghza.

Pemikiran-pemikiran mufassir terdahulu ini kemudian dikembangkan Sahiron dan direlevansikan dengan keilmuan sekarang dan konteks kekinian, hal ini agar maghza (pesan utama) Al-Qur’an dapat terealisasikan agar maslahat tetap ada dalam segala dimensi kehidupan.

Kedua, al-muhāfazah ‘alā al-qadīm al-sālih wa al-akhż bi al-jadīd al-aslah dalam konteks penafsiran, yakni “menjaga tradisi terdahulu yang baik, serta mengambil hal baru yang lebih baik.” Prinsip ini tentu perlu diterapkan dalam pendekatan penafsiran, sebagaimana yang juga diterapkan dalam Ma’na Cum Maghza.

Dalam pendekatan ini, Sahiron tetap memelihara dan mengadopsi tradisi baik yang dihasilkan para mufassir terdahulu, serta menerapkan hal-hal baru, yakni dengan mengembangkan pemikiran-pemikiran mufassir terdahulu dengan mengelaborasikannya dengan kajian hermeneutik. Di mana dalam Ma’na Cum Maghza ini Sahiron menerapkan teori hermeneutik yang memberikan keseimbangan dalam memahami Al-Qur’an baik dalam segi tekstual maupun kontekstual dengan tujuan agar pesan makna (maghza) Al-Qur’an dapat tercapai.

Baca juga: Mengenal Ma’na Cum Maghza Sebagai Pendekatan Tafsir Ala Sahiron Syamsuddin

Ketiga, penafsiran haruslah untuk kemaslahatan manusia dan alam, bukan untuk menimbulkan kekacaun. Sebagaimana kita tahu, bahwa Al-Qur’an merupakan kitab suci yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw. yang berfungsi sebagai rahmatan lil’aalamiin. Hal ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an merupakan bentuk kasih sayang Allah Swt. untuk umat manusia dalam bentuk kitab suci. Adapun yang menjadi dasar hal ini yaitu Q.S Al-Anbiya’ [21]: 107,

وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ

“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (Q.S Al-Anbiya’ [21]: 107).

Pada ayat tersebut, sangatlah jelas bahwa terdapat makna kerasulan, yang mana pada makna kerasulan itu berarti ada misi atau ajaran yang dibawa. Yang dibawa oleh Nabi Muhammad sebagai Rasul adalah Al-Qur’an yang diwahyukan oleh Allah yang berfungsi sebagai rahmat bagi umat manusia dan seluruh alam. Dari sini, sangatlah jelas bahwa Al-Qur’an adalah rahmat, sebagai bukti kasih sayang Allah terhadap makhluk-Nya. Maka, dalam hal ini jika kita teliti lebih dalam, tidak ditemukan satu pun ayat Al-Qur’an yang mengandung kesengsaraan, karena sejatinya seluruh ayat Al-Qur’an merupakan bentuk kebahagiaan, bentuk kasih sayang Allah Swt. terhadap hamba-Nya.

Oleh karena hal ini, penafsiran-penafsiran ayat Al-Qur’an yang dihasilkan para mufassir haruslah mengandung nilai rahmat dan maslahat, karena Al-Qur’an hadir sebagai rahmat. Dengan demikian, ketika ada seorang penafsir yang hasil penafsirannya malah mengacaukan atau membuat keributan, sejatinya bukanlah Al-Qur’an yang bicara, melainkan kepentingan seseorang atau kelompok tertentu.

Keempat, penafsiran itu dinamis dan berkembang. Seiring berjalannya waktu tentu penafsiran terhadap suatu ayat akan terus berkembang berdasarkan problematika keagamaan yang muncul di masyarakat. Oleh karena hal ini, sangatlah penting keilmuan penafsiran terhadap Al-Qur’an harus terus dikembangkan agar mampu memberikan penafsiran yang maslahat dan penuh rahmat, karena Al-Qur’an hadir tidak lain sebagai rahmatan lil ‘aalamiin untuk kehidupan alam semesta.

Kelima, penafsiran adalah relatif kebenarannya, karena yang absolut hanyalah Allah dan ilmu-Nya. Tidak ada penafsiran yang benar seutuhnya, yang ada apakah penafsiran yang dihasilkan mengandung nilai maslahat atau tidak? Karena kebenaran yang sejati dan absolut hanyalah milik Allah Swt.

Kesimpulan

Dari pemaparan tulisan sederhana ini, dapat kita simpulkan bahwa yang menjadi titik utama dari kelima prinsip pendekatan penafsiran Ma’na Cum Maghza ala Sahiron ini adalah kemaslahatan. Maka dalam hal ini, penulis berpendapat bahwa yang menjadi tujuan utama dari pendekatan Ma’na Cum Maghza ini adalah berupaya memberikan hasil penafsiran yang mengandung nilai rahmat dan maslahat.

Al-Qur’an hadir dan dibawa oleh Sang pembawa rahmat, yakni Nabi Muhammad Saw. Maka, Al-Qur’an yang dibawanya pun merupakan bukti rahmat yang diwahyukan-Nya untuk kemudian disampaikan kepada umat manusia dan seluruh alam untuk dijadikan pedoman hidup yang shalih li kulli zaman wa makan. (wallaahu a’lam bisshawaab).

Baca juga: Kebolehan Hermeneutika untuk Memahami Al-Qur’an Menurut M. Quraish Shihab

Tafsir Surah An-Najm Ayat 36-38

0
Tafsir Surah An-Najm
Tafsir Surah An-Najm

Pada Tafsir Surah An-Najm Ayat 36-38 ini menceritakan tentang tugas-tugas yang diemban oleh Nabi Ibrahim as. Selain itu, pada Tafsir Surah An-Najm Ayat 36-38 ini menjelaskan bahwa dosa akan dipikul oleh masing-masing orang.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah An-Najm Ayat 33-35


Ayat 36-37

Pada ayat ini dijelaskan tentang ketentuan-ketentuan syariat Ibrahim yang telah melaksanakan tugas-tugas yang diberikan kepadanya, telah menyampaikan risalahnya menurut semestinya, sebagaimana yang dimaksud oleh ayat:

وَاِذِ ابْتَلٰٓى اِبْرٰهٖمَ رَبُّهٗ بِكَلِمٰتٍ فَاَتَمَّهُنَّ ۗ قَالَ اِنِّيْ جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ اِمَامًا

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu dia melaksanakannya dengan sempurna. Dia (Allah) berfirman, “Sesungguhnya Aku menjadikan engkau sebagai pemimpin bagi seluruh manusia.” (al-Baqarah/2: 124)

Ibnu ‘Abbas menyatakan, Ibrahim telah menjalankan semua gagasan Islam yang tiga puluh macam banyaknya yang tidak pernah dijalankan oleh nabi yang lain, yaitu sepuluh gagasan tersebut dalam Surah at-Taubah/9 ayat 111 dan 112. Dalam ayat pertama tersebut hanya satu macam gagasan, yaitu berperang pada jalan Allah lalu ia membunuh atau terbunuh, sedang pada ayat kedua disebutkan sembilan macam, yaitu orang yang bertobat, yang beribadah, yang memuji (Allah), yang mengembara (demi agama Islam), yang rukuk, yang sujud, yang menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah berbuat mungkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Sepuluh di Surah al-Ahzab/33, pada ayat 35, yaitu laki-laki dan perempuan muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah. Enam macam dalam Surah al-Mu’minun/23 dari ayat 2 sampai dengan ayat 9, yaitu: orang yang khusyu’ dalam salat, orang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, orang yang menunaikan zakat, orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela. Barang siapa mencari yang di balik itu, mereka adalah orang yang melampaui batas, dan orang yang memelihara amanat (yang dipikulnya) dan janjinya, orang yang memelihara salatnya. Empat macam dalam Surah al-Ma’arij/70, yaitu mulai dari ayat 26 sampai dengan ayat 33; orang yang mempercayai hari Pembalasan, orang yang takut terhadap azab Tuhannya, karena sesungguhnya azab Tuhan mereka tidak dapat orang merasa aman (dari kedatangannya), orang yang memelihara kemaluannya, kecuali kepada istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.


Baca Juga: Surah Al-An’am [6] Ayat 164: Seseorang Tidak Akan Memikul Dosa Orang Lain


Barang siapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas, orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya dan orang-orang yang memberikan kesaksiannya.

Dikhususkan Ibrahim dengan sifat-sifat tersebut, karena beratnya cobaan yang telah dialaminya ketika terjadi perintah menyembelih putranya Ismail yang sudah jelas ceritanya.

Adapun sebab menyebutkan syariat dua Nabi ini saja, karena orang musyrik mengaku bahwa mereka adalah pengikut Ibrahim, sedangkan Ahli Kitab mengaku bahwa mereka pengikut Taurat dan lembaran-lembarannya yang masih dekat masanya dengan mereka. Kemudian Allah menyatakan isi dari kedua syariat tersebut dalam ayat 38 dan 39 berikut.

Ayat 38

Seseorang tidak akan memikul dosa orang lain. Setiap orang yang mengerjakan dosa karena kekafirannya atau karena kemaksiatannya maka dia sendiri yang memikul dosanya, dan tidak akan dipikul oleh orang lain.

وَاِنْ تَدْعُ مُثْقَلَةٌ اِلٰى حِمْلِهَا لَا يُحْمَلْ مِنْهُ شَيْءٌ وَّلَوْ كَانَ ذَا قُرْبٰى

Dan jika seseorang yang dibebani berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul bebannya itu tidak akan dipikulkan sedikit pun, meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya. (Fatir/35: 18)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah An-Najm Ayat 39


Tafsir Surah An-Najm Ayat 33-35

0
Tafsir Surah An-Najm
Tafsir Surah An-Najm

Pada Tafsir Surah An-Najm Ayat 33-35 membahas tentang sabab an-Nuzul pada ayat 33-35. Yaitu mengisahkan tentang al-Walid Mughirah yang membatalkan niatnya untuk memasuki agama Islam. Tafsir Surah An-Najm Ayat 33-35 ini dijelaskan bagaimana hal tersebut dapat terjadi.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah An-Najm Ayat 32


Ayat 33-35

Menurut Mujahid dan Ibnu Zaid ayat ini turun pada peristiwa al-Walid bin Mugirah, dia telah mendengar bacaan Nabi saw dan selalu mendampingi beliau dan menerima nasihat-nasihat daripadanya sehingga hatinya tertarik kepada Islam dan Nabi juga mengharapkan keimanannya. Kebetulan seorang musyrik yang mengetahui keadaan al-Walid mencelanya, dan mengatakan, “Apakah akan engkau tinggalkan agama nenek moyangmu? Kembalilah kepada agamamu dan terus berpegang padanya! Saya akan menanggung semua yang mengkhawatirkanmu di akhirat nanti, dengan imbalan engkau berikan kepadaku sesuatu.” Al-Walid menyetujui ajakan ini, lalu ia menarik kembali keinginannya memeluk agama Islam. Dengan demikian jadilah dia seorang sesat yang nyata dan dia telah menyerahkan sebagian imbalan yang disetujuinya kepada orang yang dijanjikannya dan ditahan bagian yang lain.


Baca Juga: Walid bin Mughirah, Tokoh Kafir Quraish yang Memuji Al-Quran


Al-Walid hampir saja menjadi seorang Mukmin dan mengikuti petunjuk-petunjuk rasul, lalu salah seorang dari setan-setan manusia menggodanya agar ia tidak menerima bujukan, dan mengajak kembali kepada agama nenek moyangnya. Seseorang akan memikul dosa-dosanya bila al-Walid bin Mugirah sudi menyumbangkan sedikit dari hartanya. Ia menerima gagasan tersebut, tetapi ia hanya memberikannya sekali saja, dan tidak diberikannya apa-apa sesudah itu. Apakah ia mengetahui sesuatu yang gaib, bahwa temannya itu dapat memikul dosa-dosanya yang ditakutinya pada hari Kiamat nanti?

Ditegaskan bahwa syariat-syariat terdahulu tidak membenarkan tentang pemikulan dosa oleh orang lain.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah An-Najm Ayat 36-38


Tafsir Surah An-Najm Ayat 32

0
Tafsir Surah An-Najm
Tafsir Surah An-Najm

Tafsir Surah An-Najm Ayat 32 membahas tentang bagaimana karakter seorang manusia yang baik di hadapan Allah. Selain itu, membahas juga tentang perintah untuk menjauhi bentuk dosa-dosa besar. Dalam Tafsir Surah An-Najm Ayat 32 juga membahas penegasan tentang betapa luasnya ampunan Allah terhadap orang-orang yang telah berbuat dosa sesuai dengan ketentuan yang ada.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah An-Najm Ayat 29-31


Ayat 32

Ayat ini menerangkan sifat-sifat orang yang baik itu, ialah mereka yang menjauhkan dirinya dari dosa-dosa besar seperti syirik, membunuh, berzina, dan lain-lain, meskipun mereka melakukan dosa-dosa kecil yang kemudian disadari sehingga mereka segera bertaubat sambil menyesali perbuatan-perbuatan yang mereka lakukan, mereka juga mengimbanginya dengan melakukan banyak perbuatan yang baik karena perbuatan yang baik itu menghapuskan dosa-dosa kecil. Sebagaimana firman Allah:

اِنَّ الْحَسَنٰتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّاٰتِ

Perbuatan-perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan. (Hud/11: 114)

اِنْ تَجْتَنِبُوْا كَبَاۤىِٕرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّاٰتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُّدْخَلًا كَرِيْمًا   ٣١

Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu dan akan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga). (an-Nisa’/4: 31);Dosa-dosa besar itu ada tujuh, Sayidina Ali “Karramallahu Wajhah” mengatakan bahwa sebagaimana tersebut dalam Sahih Bukhari dan Muslim:

ِاجْتَنِبُوا السَّبْعَ المُوْبِقَاتِ قَالُوْا ياَ رَسُوْلَ اللهِ وَمَا هُنَّ؟ الشِّرْكُ باِللهِ تَعَالىَ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتىِ حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ وَأَكْلُ مَالِ اليَتِيْمِ وَأَكْلُ الرِّبَا وَالتَّوَلِّيْ يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاِت الغَافِلاَتِ الْمُؤْ مِنَاتِ. (رواه البخاري ومسلم عن أبي هريرة)

Jauhilah tujuh dosa besar yang menghancurkan. Para sahabat bertanya, “Apakah hal itu? Nabi menjawab, mempersekutukan Allah, sihir, membunuh manusia yang diharamkan Allah kecuali dengan hak, memakan harta anak yatim, memakan riba, lari dari perang yang sedang berkecamuk dan menuduh wanita-wanita muh¡anat, gafilat mu’minat. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abµ Hurairah) ;Ada pula yang menyatakan, “Dosa-dosa besar adalah dosa-dosa yang diancam oleh Allah dengan neraka atau dengan amarah-Nya atau dengan laknat, azab atau mewajibkan had atau hukuman tertentu di dunia seperti qisas, potong tangan, rajam dan lain-lain karena yang melakukannya tidak merasa khawatir dan tidak meyesal atas tindakannya itu, padahal tindakan-nya itu menyebabkan kerusakan besar, walaupun menurut pandangan manusia merupakan hal kecil.”


Baca Juga: Tafsir Surat Al-Hasyr Ayat 10: Intisari Doa Kasih Sayang dan Pengampunan


Selanjutnya, ayat 32 ini menegaskan bahwa Allah Mahaluas ampunan-Nya, dan Dia akan mengampuni dosa-dosa kecil jika menjauhi dosa besar dan Dia mengampuni dosa-dosa besar bila pelakunya bertobat, serta diiringi penyesalan atas perbuatannya, tapi tidak putus asa terhadap pengampunan Allah. Allah berfirman:

قُلْ يٰعِبَادِيَ الَّذِيْنَ اَسْرَفُوْا عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوْا مِنْ رَّحْمَةِ اللّٰهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعًا ۗاِنَّهٗ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ  ٥٣

Katakanlah, “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguh-nya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang. (az-Zumar/39: 53);Ayat selanjutnya menjelaskan bahwa Allah swt lebih mengetahui keadaan, perbuatan, dan ucapan manusia dikala Dia menjadikan manusia dari tanah dan dikala Dia membentuk rupanya dalam rahim ibunya, dari satu tahap ke tahap yang lainnya. Maka janganlah ada yang mengatakan dirinya suci. Allahlah yang paling mengetahui tentang orang yang bertak-wa. Bila kamu sadari yang demikian itu, maka janganlah kamu memuji di-rinya dengan suci dari dosa atau suci dari perbuatan maksiat atau banyak melakukan kebaikan, tetapi hendaklah manusia banyak bersyukur kepada Allah atas limpahan karunia dan ampunan-Nya. Allah Maha Mengetahui siapa yang bersih dari kejahatan dan siapa yang menjerumuskan dirinya dalam kejahatan dan melumurkan dirinya dengan dosa.

Sesungguhnya larangan menyucikan diri hanya berlaku bila yang mendorong seseorang untuk itu adalah riya’, takabur atau bangga. Selain dari sebab di atas, maka menyucikan diri tidak terlarang, bahkan dianjurkan. Dalam ayat lain Allah berfirman:

اَلَمْ تَرَ اِلَى الَّذِيْنَ يُزَكُّوْنَ اَنْفُسَهُمْ ۗ بَلِ اللّٰهُ يُزَكِّيْ مَنْ يَّشَاۤءُ وَلَا يُظْلَمُوْنَ فَتِيْلًا   ٤٩

Tidakkah engkau memperhatikan orang-orang yang menganggap dirinya suci (orang Yahudi dan Nasrani)? Sebenarnya Allah menyucikan siapa yang Dia kehendaki dan mereka tidak dizalimi sedikit pun. (an-Nisa’/4: 49)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah An-Najm Ayat 33-35


Tafsir Surah An-Najm Ayat 29-31

0
Tafsir Surah An-Najm
Tafsir Surah An-Najm

Tafsir Surah An-Najm Ayat 29-31 berisi tentang perintah Allah kepada Nabi Muhammad untuk berpaling dari kaum kafir Quraisy. Selain itu, Tafsir Surah An-Najm Ayat 29-31 ini membahas tentang balasan yang akan diterima oleh setiap orang sesuai dengan amalannya masing-masing. Dari Tafsir Surah An-Najm Ayat 29-31 dapat mengambil hikmah  bahwa dengan memahami tanda-tanda kuasa Allah itu merupakan  salah satu petunjuk jalan kebenaran.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah An-Najm Ayat 24-28


Ayat 29

Dalam ayat ini Allah swt memerintahkan Rasul saw agar berpaling dari orang-orang kafir dan musyrik yang telah berpaling dari Al-Qur’an kitab Allah, yang tidak mau menjadikannya sebagai pedoman hidup, padahal seharusnya mereka sadar bahwa Al-Qur’an bisa menuntun mereka untuk meraih kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Al-Qur’an juga berisi kisah umat-umat terdahulu, sikap mereka terhadap para nabi dan rasul, dan akibat dari pembangkangan mereka terhadap ajaran para rasul tersebut, yaitu azab yang pedih di akhirat. Orang-orang musyrik dan kafir malah tidak mengambil pelajaran dari orang-orang terdahulu, mereka mencukupkan diri dengan hal-hal yang berhubungan dengan keduniaan saja. Bahkan mereka rela tertipu dengan kepalsuan dunia dan terseret untuk hanya memikirkan kesenangan duniawi saja.

Tegasnya, Muhammad saw diperintahkan oleh Allah agar tidak terlalu menghiraukan sikap orang-orang kafir yang berpaling dari Allah, karena mereka memang hanya menginginkan kesenangan duniawi yang merupakan tujuan hidup dan cita-cita mereka. Dalam keadaan seperti itu, sudah tidak ada lagi jalan untuk beriman. Maka Allah swt memerintahkan kepada Rasul-Nya, Muhammad saw untuk merasa tidak kasihan atau bersedih hati atas keadaan mereka. Karena Rasul pernah hampir mencelakai dirinya hanya karena prihatin melihat keadaan kaumnya yang tidak beriman. Allah swt berfirman:

لَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَّفْسَكَ اَلَّا يَكُوْنُوْا مُؤْمِنِيْنَ   ٣

Boleh jadi engkau (Muhammad) akan membinasakan dirimu (dengan kesedihan), karena mereka (penduduk Mekah) tidak beriman. (as-Syu’ara’/26: 3)

Orang-orang musyrik hanya membatasi diri kepada kehidupan duniawi, karena ilmu pengetahuan mereka terbatas pada masalah-masalah duniawi serta menyibukkan diri dengan berbagai kesibukan duniawi saja. Mereka sudah merasa berhasil dengan banyaknya harta dunia yang mereka miliki dan tingginya kedudukan sosial mereka. Mereka tidak memperhatikan berita-berita lainnya yang disampaikan oleh para rasul terutama tentang kehidupan akhirat. Keadaan mereka yang demikian itu menjadikan telinga tersumbat, tidak dapat mendengar berita-berita tentang akhirat.


Baca Juga: Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 28-30: Kecaman terhadap Kaum Musyrikin Mekah


Ayat 30

Kemudian Allah swt menegaskan dalam ayat ini bahwa sesungguhnya Dia Maha Mengetahui orang-orang yang memikirkan tanda-tanda kekuasaan-Nya di alam semesta ini serta memikirkan apa-apa yang terkandung dalam seruan Rasul-Nya sehingga ia mendapat petunjuk ke jalan kebenaran yang menyelamatkannya pada hari kebangkitan dan mendapat keridaan Tuhannya. Ia berbahagia di dunia karena ia mengikuti apa-apa yang telah digariskan oleh Allah untuk manusia yang mentaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Allah Maha Mengetahui orang-orang yang menyeleweng dari jalan yang benar yang telah membuat hawa nafsunya menjadi tuhannya yang membekukan akal nuraninya itu. Allah akan memberikan balasan kepada semua makhluk-Nya tanpa memandang kedudukannya di dunia, sesuai keluasan ilmu-Nya, dengan mengutamakan orang-orang yang melakukan pengabdian kepada-Nya. Allah swt berfirman:

لِلَّذِيْنَ اَحْسَنُوا الْحُسْنٰى وَزِيَادَةٌ

Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya (kenikmatan melihat Allah). (Yunus/10: 26)

Ayat 31

Ayat ini menyatakan bahwa semua yang ada di langit dan di bumi adalah milik Allah, semua berada dalam genggaman-Nya dan di bawah kekuasaan-Nya. Allah menjadikan semua yang ada di langit dan di bumi, Dia pemiliknya dan Dia yang mengaturnya, Dia mengetahui seluk-beluk keadaannya. Maka janganlah manusia mengira bahwa Allah akan membiarkan mereka dengan tidak membalas setiap manusia menurut amal perbuatannya. Dia akan membalas menurut ilmu-Nya yang mencakup segala sesuatu. Orang-orang yang berbuat baik diberi ganjaran kebaikan dengan dimasukkan ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai dan memberi kesenangan yang tidak pernah terlintas di hati manusia. Ia membalas orang-orang jahat sesuai dengan kejahatan yang dilakukannya dari bermacam-macam seperti syirik dan maksiat karena hatinya tertutup oleh dosa-dosa besar dan kecil.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah An-Najm Ayat 32


Tafsir Surah An-Najm Ayat 24-28

0
Tafsir Surah An-Najm
Tafsir Surah An-Najm

Tafsir Surah An-Najm Ayat 24-28 membahas seputar prasangka yang dimiliki oleh kaum kafir Quraisy. Prasangka yang dimiliki oleh kaum kafir Quraisy tersebut menunjukkan kebodohannya. Pada Tafsir Surah An-Najm Ayat 24-28 ini juga menjadi pengingat bahwa apa yang kita lakukan harus berdasarkan keyakinan bukan hanya sekadar prasangka atau perkiraan.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah An-Najm Ayat 20-23


Ayat 24-25

Maka Allah swt menambahkan dalam ayat ini apakah mereka itu mengharapkan sesuatu yang mereka cita-citakan berupa syafaat dari tuhan-tuhan mereka di akhirat? Tidak, sama sekali berhala-berhala itu tidak ada gunanya, ia tidak akan membantu apa-apa karena berhala-berhala itu adalah benda mati yang keras bagai batu. Bahwasanya segala apa yang ada di dunia dan di akhirat adalah milik Allah, dan berhala-berhala itu tidak memiliki apa-apa.

Allah telah membuat mereka berputus asa untuk mendapat kebaikan dari ibadat kepada berhala. Berhala itu tidak dapat menjadi alat penghubung untuk mendekatkan diri mereka kepada Allah.

Ayat 26

Kemudian Allah swt menerangkan tentang betapa banyak malaikat di langit yang tidak dapat menolong manusia dengan pertolongan apa pun, kecuali bila Allah memberikan izin kepada mereka untuk orang yang dikehendaki-Nya yaitu orang yang ikhlas dalam perkataan dan perbuatannya. Apabila keadaan malaikat demikian halnya, sedangkan malaikat adalah makhluk yang dekat kepada Tuhan, maka bagaimana dengan berhala-berhala yang hanya berupa benda mati tidak mempunyai ruh dan kehidupan itu? Jelasnya berhala-berhala itu sama sekali tidak ada manfaatnya.


Baca Juga: Tujuan Al-Quran Diturunkan: Merubah Tradisi Buruk Masyarakat Jahiliyyah


Ayat 27

Allah swt menerangkan bahwa orang-orang yang tidak beriman kepada hari akhirat dan apa-apa yang terjadi di alam akhirat sebagaimana yang telah disampaikan para rasul; mereka itu menambah kekafiran dengan kebodohan perkataan mereka yang menganggap bahwa malaikat itu adalah anak perempuan Tuhan (Mahasuci Allah dari apa yang mereka katakan).

Allah swt mencap orang-orang yang seperti itu sebagai orang-orang yang tidak beriman dan sebagai isyarat bahwa perkataan mereka telah sampai kepada batas kekejian yang tidak mungkin berasal dari orang yang percaya adanya hisab dan pembalasan. Perkataan mereka itu mengandung dua dosa: Yaitu pengakuan bahwa Tuhan mempunyai anak, dan bahwa anak Tuhan yang mereka katakan itu perempuan, dengan pengakuan yang demikian itu mereka merasa bangga telah melebihi Tuhan, karena mereka mempunyai anak laki-laki.

Ayat 28

Ayat ini menjelaskan bahwa perkataan yang demikian itu adalah suatu tanda bahwa mereka tidak mendapat petunjuk Tuhan berupa pengetahuan yang membawa mereka ke jalan benar yang menyebabkan mereka mengatakan seperti itu. Mereka hanya terpengaruh oleh prasangka yang menjauhkan mereka dari kebenaran. Sesungguhnya suatu pengetahuan yang benar haruslah berdasarkan keyakinan, bukan hanya perkiraan atau persangkaan. Adapun orang musyrik itu hanyalah mengikuti persangkaan dalam menamakan malaikat sebagai anak perempuan Tuhan, bukan dengan analisa ilmiah. Dalam hadis sahih dikatakan bahwa Rasulullah saw bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالظَنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ. (رواه البخاري ومسلم)

“Jauhilah prasangka buruk, sesungguhnya prasangka buruk adalah perkataan yang paling dusta.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim);Dalam ayat yang lain yang sama artinya, Allah berfirman:

وَجَعَلُوا الْمَلٰۤىِٕكَةَ الَّذِيْنَ هُمْ عِبٰدُ الرَّحْمٰنِ اِنَاثًا ۗ اَشَهِدُوْا خَلْقَهُمْ ۗسَتُكْتَبُ شَهَادَتُهُمْ وَيُسْـَٔلُوْنَ   ١٩ 

Dan mereka menjadikan malaikat-malaikat hamba-hamba (Allah) Yang Maha Pengasih itu sebagai jenis perempuan. Apakah mereka menyaksikan penciptaan (malaikat-malaikat itu)? Kelak akan dituliskan kesaksian mereka dan akan dimintakan pertanggungjawaban. (az-Zukhruf/43: 19)

Tegasnya bahwa suatu hal yang berhubungan dengan iktikad hendaklah berdasarkan pemikiran yang sehat yang dapat diterima oleh akal dan tidak bertentangan dengan wahyu.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah An-Najm Ayat 29-31


Self Reward Berujung Pemborosan, Begini Manajemen Harta ala Alquran

0
Self Reward Berujung Pemborosan, Begini Manajemen Harta ala Al-Qur’an
Self Reward Berujung pada Pemborosan

Belakangan ini ramai diperbincangkan mengenai self reward yang dinilai efektif untuk menjaga keseimbangan mental dan meningkatkan kecintaan terhadap diri sendiri.

Self reward berasal dari 2 kata, yaitu “self” yang berarti diri dan “reward” yang berarti penghargaan. Berdasarkan hal tersebut, self reward dapat diartikan sebagai salah satu bentuk penghargaan terhadap diri sendiri. Di antara manfaat self reward adalah kita akan lebih menghargai diri sendiri atas usaha yang telah kita lakukan, lebih mencintai hidup, menambah motivasi, membangkitkan semangat, melepas stress, menanamkan pemikiran positif, dan menjaga kesehatan mental (Rendika Vhalery: 2021).

Sebagaimana yang dikutip dari artikel di website Universitas Islam Indonesia, Hazhira Qudsyi, S.Psi., M.A, mengungkapkan bahwasanya setiap bagian dari badan kita merupakan nikmat dari Allah dan mencintai diri sendiri merupakan bentuk rasa syukur kita atas nikmat tersebut. Salah satu upaya menjaga mental diri yaitu dengan melakukan self reward yang dinilai efektif bagi sebagian orang.

Self reward yang tepat memang dapat membawa dampak yang baik bagi diri kita. Namun, saat ini sering kita jumpai self reward menjadi dalih atas pemborosan yang dilakukan seseorang ataupun sekelompok orang. Tak jarang self reward yang dilakukan manusia terhadap dirinya melampaui batas kewajaran dan cenderung kepada perbuatan pemborosan. Apakah self reward semacam itu masih diperbolehkan dan baik untuk terus dilakukan? Untuk itu, mari kita lihat sejenak bagaimana ajaran Al-Qur’an mengenai manajemen harta.

Baca juga: Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 25: Hakikat Rezeki Yang Sebenarnya

Ayat-Ayat tentang Manajemen Harta

Beberapa ayat Al-Qur’an menginstruksikan beberapa aturan dalam menggunakan harta benda. Di antaranya yaitu QS. Al-Isra ayat 26-27, QS. Al-An’am ayat 141, dan QS. Al-Isra Ayat 29. Berikut ulasan singkatnya.

  1. Al-Isra’ ayat 26 dan 27.

وَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا(26)

إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِين وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا(27)

Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya (QS. Al-Isra: 26-27).

Dalam Tafsir al-Azhar dijelaskan bahwasanya disamping berbakti, berkhidmat, serta menanamkan kasih sayang, cinta, dan rahmat kepada kedua orangtua, hendaklah kita memberikan hak mereka sebagai kaum keluarga yang karib. Mereka berhak ditolong apabila keadaannya sedang tidak baik. Terkadang rezeki kita dan mereka pun tidak sama, ada yang cukup hingga berlebih, dan ada pula yang serba kekurangan. Maka dari itu, keluarga berhak mendapatkan bantuan dari anggota keluarga lain yang dinilai lebih mampu.

Buya Hamka juga menjelaskan bahwa orang pemboros adalah teman setan. Orang yang terhasut oleh setan pasti kehilangan pedoman dan tujuan hidup dengan maksiat dan kesesatannya. Pada ujung ayat, dijelaskan pula bahwasanya seseorang yang menghamburkan hartanya untuk sesuatu yang kurang berfaedah dapat digolongkan bahwa dirinya sudah terpengaruh setan. Di antara sifat setan yaitu tidak mengenal terima kasih, melupakan nikmat, dan seenaknya dalam menggunakan rezeki berupa harta dari Allah. (Hamka, Tafsir Al-Azhar jilid 5).

  1. Al-An’am ayat 141

كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ…

Makanlah buahnya apabila ia berbuah dan berikanlah haknya (zakatnya) pada waktu memetik hasilnya, tapi janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.

Sejalan dengan QS. Al-Isra ayat 26-27, ayat ini turut menginstruksikan kepada kita untuk tidak berlaku boros dalam konteks mengonsumsi ataupun memberikan zakat atas rezeki yang diberikan Allah kepada kita. Dalam artian, kita diperintahkan untuk berzakat/bersedekah sesuai dengan porsinya.

Hal ini mengindikasikan pada kita untuk tidak berlebihan dalam bersedekah/berzakat kepada orang lain. Apabila kepada orang lain saja kita tidak diperkenankan untuk berlebihan, apalagi sekedar digunakan sendiri dan hanya untuk bersenang-senang secara berlebihan dengan dalih self reward.

Baca juga: Surah Al-Furqan [25] Ayat 67: Anjuran Bersedekah Secara Proporsional

  1. Al-Isra ayat 29

وَلَاتَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلولَةً اِلٰى عُنُقِكَ وَلاَ تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُوْمًامَّحْسُوْرًا

“Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan (pula) engkau terlalu mengulurkannya (sangat pemurah) nanti kamu menjadi tercela dan menyesal. (QS. Al-Isra: 29).

Menurut Tafsir al-Mishbah, QS. al-Isra’ ayat 29 ini menjelaskan mengenai larangan untuk enggan mengulurkan tangan dalam kebaikan. Di mana seakan-akan tangannya terbelenggu pada leher, sehingga tidak dapat mengulurkannya. Ayat ini menjelaskan juga mengenai larangan berlebihan dalam mengulurkan tangan (berinfak), karena berlebihan dapat mencelakai diri sendiri maupun orang lain.

Lafaz مَّحْسُوْرًا diambil dari حسر yang berarti tidak berbusana, telanjang, atau tidak tertutup. Dari segi rezeki, seseorang yang tertutup adalah orang yang memiliki kecukupan sehingga tidak perlu berkunjung kepada orang lain untuk meminta. Maka dari itu, orang yang boros hingga kehabisan harta sama dengan membuka kekurangan atau aibnya.

Pendapat lain menyebutkan bahwasanya kata محسورا berasal dari kata حسير yang digunakan untuk menunjuk binatang yang tidak mampu berjalan karena lemahnya, sehingga berhenti ditempat. Demikian juga pemboros, pada akhirnya akan berhenti dan tidak mampu melakukan aktifitas baik untuk dirinya sendiri ataupun bagi orang lain, sehingga terpaksa hidup tercela (M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah jilid 7).

Kesimpulan

Dari penjelasan ayat-ayat di atas, dapat kita ambil kesimpulan bahwasanya kita tidak diperbolehkan untuk berlaku berlebihan dalam memanfaatkan apa yang sudah diberikan Allah. Jika mendapat rezeki, kita dianjurkan untuk saling berbagi (membagikan haknya) dengan tidak berlebihan. Begitu juga kita tidak diperbolehkan melakukan pemborosan untuk diri kita sendiri (konsumtif).

Hal ini sebagaimana tren self reward yang kadang kala melampaui batas, di mana sebagian orang menyenangkan/menghargai dirinya secara berlebihan. Mereka terjerumus dalam perilaku boros yang akhirnya akan mencelakai diri mereka sendiri melalui manajemen buruk terhadap hartanya. Self reward memang baik dilakukan, namun dengan tetap tidak berlebihan.

Baca juga: Tafsir Surat An-Nisa Ayat 2: Cara Mengelola Harta Anak Yatim