Beranda blog Halaman 172

Mengenal Lataif Al-Isyarat, Tafsir Bernuansa Isyari (Sufi) Karya al-Qusyairi

0
Mengenal Lataif Al-Isyarat, Tafsir Bernuansa Isyari (Sufi) Karya al-Qusyairi
Tafsir Lataif Al-Isyarat

Lataif al-Isyarat merupakan salah satu kitab tafsir Al-Qur’an yang menggunakan pendekatan isyari. Tidak seperti kitab tafsir pada umumnya yang lebih banyak berkutat pada makna lahiriyah ayat, tafsir Lataif al-Isyarat lebih banyak membahas makna implisit atau yang tersirat dari ayat-ayat Al-Qur’an kemudian dihubungkan dengan narasi-narasi sufistik. Kitab tafsir ini ditulis oleh sufi terkenal di masanya bernama Imam al-Qusyairi.

Profil singkat al-Qursyairi

Nama lengkap al-Qusyairi adalah Abdul Karim ibn Hawazin ibn Abdul Malik ibn Thalhah ibn Muhammad al-Qusyairi al-Naisaburi al-Syafi’i. Laqab (julukan)-nya adalah Zain al-Islam, namun lebih dikenal dengan nama al-Qusyairi. Beliau dilahirkan di Ustuwa pada Rabi’ul Awwal tahun 376 H atau Juli 986 M dan wafat pada hari Ahad, 16 Rabiul Akhir tahun 465 H.

Dalam al-Risalah alQusyairiyah fi Ilm alTasawuf tertulis beberapa gelar yang disandang oleh al-Qusyairi. Gelar pertama yaitu An-Naisaburi yang dinisbatkan pada nama kota Naisabur, salah satu ibu kota terbesar negara Islam abad pertengahan, di samping kota Balkh-Harrat dan Marw.

Gelar kedua, al-Qusyairi yang merupakan sebutan marga Sa’ad al-Asyirah al-Qahthaniyah (sekelompok orang yang tinggal di pesisir Hadramaut). Gelar ketiga, al-Istiwa yang berarti orang-orang yang datang dari bangsa Arab dan memasuki daerah Khurasan dari Ustawa. Gelar keempat, al-Syafi’i yang dinisbatkan pada mazhab yang diikutinya, yaitu mazhab Syafi’i.

Gelar kelima, yaitu gelar kehormatan yang dinisbatkan kepadanya. Antara lain; al-Imam, al-Ustadz, al-Syaikh, Zainul Islam, al-Jami’ baina al-Syari’ah wa al-Haqiqah. Gelar-gelar ini diberikan sebagai wujud penghormatan atas kedudukan tingginya dalam bidang tasawuf dan ilmu pengetahuan di dunia Islam (Mani’ Abd Halim Mahmud: 2006).

Baca juga: Dua Dimensi Makna Wali Menurut Imam Al-Qusyairiy

Kitab Tafsir Lataif Al-Isyarat

Kitab tafsir ini tergolong tafsir isyari. M. Quraish Shihab dalam bukunya, Kaidah Tafsir (2013) mendefinisikan tafsir isyary dengan tafsir yang mencoba menarik makna-makna ayat Al-Qur’an yang tidak diperoleh dari bunyi lafaz ayat, tetapi dari kesan yang ditimbulkan oleh lafaz itu dalam benak penafsirnya. Kesan-kesan tersebut didapat melalui kecerahan hati dan pikiran, tanpa membatalkan makna lafaznya.

Sejalan dengan track record al-Qusyairi yang merupakan salah satu tokoh sufi dengan pengaruh yang sangat besar di dunia Islam, tafsir Lataif al-Isyarat ini termasuk ke dalam kategori tafsir bercorak sufi. Hal tersebut dikarenakan pembahasan dalam tafsirnya banyak diwarnai oleh nuansa sufistik.

Penafsiran Al-Qusyairi dalam kitab tersebut cenderung bertumpu pada makna isyarah (implisit) di balik makna literal ayatnya, tentunya dengan tetap memerhatikan makna literal ayat itu sendiri. al-Qusyairi berusaha mengompromikan makna isyarah dan makna lahir yang dimaksud ayat dan terkadang memperkuat penafsirannya dengan riwayat. Hal ini misalnya dapat dilihat dalam penafsirannya mengenai QS. Al-Baqarah ayat 219 berikut:

يَسۡ‍َٔلُونَكَ عَنِ ٱلۡخَمۡرِ وَٱلۡمَيۡسِرِۖ قُلۡ فِيهِمَآ إِثۡمٞ كَبِيرٞ وَمَنَٰفِعُ لِلنَّاسِ وَإِثۡمُهُمَآ أَكۡبَرُ مِن نَّفۡعِهِمَاۗ

Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah; “pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”.

Berikut terjemah dari penafsiran Al-Qusyairi mengenai ayat tersebut;

“Khamr (secara bahasa) adalah sesuatu yang dapat menutupi fungsi akal. Sebagaimana khamr itu haram karena hakikatnya (memabukkan), maka mabuk juga haram. Sebagaimana sabda Rasulullah saw bahwa khamr itu diharamkan karena hakikat khamr itu sendiri, yaitu dapat memabukkan setiap orang yang meminumnya. Maka barangsiapa yang mabuk, kehilangan kesadaran spiritual, disebabkan karena meminum kelalaian dari mengingat Allah, maka ia memiliki hak yang sama dengan orang yang mabuk karena meminum khamr. Hal ini dari segi makna isyarah. Oleh karena itu, Sebagaimana orang yang mabuk karena meminum khamr itu dilarang mengerjakan shalat, demikian juga orang yang mabuk (kehilangan kesadaran spiritual) lupa mengingat Allah akan terhalang untuk berkomunikasi dengan Allah.”

Dalam penafsiran di atas, dapat kita lihat bahwa Al-Qusyairi mengungkapkan makna isyarah yang tersirat dengan berusaha menjelaskan makna lahirnya terlebih dahulu. Al-Qusyairi menjelaskan makna khamr secara bahasa, hukum meminumnya, akibat-akibat hukum bagi peminumnya serta memperkuat penafsirannya dengan hadits Nabi. Kemudian ia menjelaskan makna isyarah ayat tersebut.

Makna isyarah yang diungkapkan Al-Qusyairi dalam ayat tersebut terdapat pada penjelasan bahwasanya orang yang mabuk karena meminum khamr, dilarang untuk menunaikan salat. Begitu juga sama halnya dengan orang yang mabuk lupa (tidak memiliki kesadaran spiritual) untuk mengingat Allah, ia juga terhalang komunikasinya dengan Allah Swt. Wallahu a’lam.

Baca juga: Memaknai Ayat Haji Ala Sufi

Tafsir Tarbawi: Empat Kompetensi Yang Harus Dimiliki oleh Pendidik

0
Kompetensi Yang Harus Dimiliki oleh Pendidik
Kriteria Menjadi Seorang Guru

Dewasa ini, fenomena disrupsi telah merambah berbagai sendi kehidupan, tak terkecuali pendidikan Islam. Jika dahulu pendidik dapat leluasa mengajar dengan pola-pola pembelajaran konvensional, maka dewasa ini yang harus dimiliki oleh pendidik adalah harus meng-upgrade kompetensi guna memenuhi kebutuhan dan tantangan zaman. Peserta didik yang notabene masuk generasi milenial dan zilenial, tentu sangat memerlukan bentuk kegiatan pembelajaran yang menyenangkan, menarik dan tidak membosankan.

Dalam konteks ini, kompetensi-kompetensi baru seperti literasi digital, pengajaran digital, strategi dan metode pembelajaran yang terus mengikuti zaman, mutlak diperlukan dan harus dimiliki oleh pendidik. Tulisan ini hendak menguraikan beberapa kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang pendidik dengan mengkaji pada Q.S. al-Nahl [16]: 43-44.

Baca juga: Pemaknaan Jilbab Menurut Riffat Hassan, Seorang Mufassir Kontemporer

Tafsir Surat An-Nahl Ayat 43-44

وَمَآ اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ اِلَّا رِجَالًا نُّوْحِيْٓ اِلَيْهِمْ فَسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَۙ بِالْبَيِّنٰتِ وَالزُّبُرِۗ وَاَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ اِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ

Kami tidak mengutus sebelum engkau (Nabi Muhammad), melainkan laki-laki yang Kami beri wahyu kepadanya. Maka, bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. (Kami mengutus mereka) dengan (membawa) bukti-bukti yang jelas (mukjizat) dan kitab-kitab. Kami turunkan aż-Żikr (Al-Qur’an) kepadamu agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan. (Q.S. an-Nahl [16]: 43-44)

Dalam penafsiran ini akan difokuskan pada redaksi fas-alu ahla dzikri in kuntum la ta’lamuna, bil bayyinati wa zubur dan ayat ke-44. Al-Qurtubi dalam Jami’ li Ahkam al-Quran menjelaskan asbabun nuzul ayat ini ialah dilatarbelakangi oleh pengingkaran kaum musyrikin Makkah terhadap kerasulan Nabi saw dengan mengatakan, “Apakah betul engkau (Muhammad) utusan Allah?, Allah yang sedemikian besar justru malah mengutus seorang manusia, mengapa tidak malaikat?, kemudian turunlah ayat ini.

Selanjutnya, redaksi fas-alu ahla dzikri in kuntum la ta’lamuna oleh Ibn Abbas dan Mujahid sebagaimana dinukil al-Qurtubi ditafsiri dengan orang yang ahlul ilmu dan berpengetahuan luas. Sementara itu, al-Baidhawi dalam Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil menafsiri ahl al-dzikri dengan ahlul kitab dan ulama-ulama yang paham betul tentang suatu informasi yang mana mereka dapat mengajari dan memberi informasi dengan jelas (ahl al-kitab au ‘ulama al-akhbar li yua’llimukum).

Baca juga: Kenali Tiga Macam Tingkatan Nafs Menurut Al-Quran

Lebih jauh, Mujahid, seperti yang dinukil al-Tabari dalam Jami’ al-Bayan menafsiri kata ahlu dzikri dengan ahl al-taurat, ahl al-kitab. Sedangkan Ibn Zaid menafsirkannya dengan ahlul quran. Selain itu, Al-Zamakhsyari dalam Tafsir al-Kasyaf memaknainya dengan ahlul kitab.

Kemudian, Al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib, menafsiri redaksi fas-alu ahla dzikri in kuntum la ta’lamuna dengan,

فاسألوا أهل الكتب الذين يعرفون معاني كتب الله تعالى، فإنهم يعرفون أن الأنبياء كلهم بشر، والثالث: أهل الذكر أهل العلم بأخبار الماضين، إذ العالم بالشيء يكون ذاكراً له

“Maka bertanyalah kepada ahl al-kitab yang mengetahui makna kitab-kitab Allah SWT, karena mereka mengetahui bahwa semua nabi adalah manusia, dan yang ketiga: ahli dzikir adalah orang yang mengetahui berita-berita masa lalu”.

Sedangkan makna bil bayyinati wa al-zubur, menurut al-Razi adalah lafdzatan jami’atan likulli ma takamulu bihi al-risalah (sebuah pernyataan yang mencakup segala sesuatu yang melengkapi risalah tersebut). Selain itu, al-Razi juga menjelaskan bahwa makna zubur di sini adalah hujjah-hujjah yang disampaikan oleh Rasul Allah swt kepada hamba-Nya itulah makna zubur (wa hiya al-bayyinat wa ‘ala al-takalifi allati yuballighuha al-rasul minallahi ta’ala ilal ‘ibad wahiya al-zubur).

Senada dengan al-Razi, al-Qurtubi juga memaknai al-bayyinat dengan al-hujjaj dan al-barahin (hujjah-hujjah dan bukti empirik), serta al-zubur adalah al-kitab. Kemudian, Al-Qurtubi juga memaknai wa anzalna ilaika al-dzikri dengan Al-Quran. Maka, berdasarkan tafsir al-Qurtubi, makna litubayyina linnasi ma nuzzila ilaihim adalah di dalam kitab ini berisi hukum-hukum (ahkam), janji (al-wa’du) dan ancaman (al-wa’id) dalam ucapan dan perbuatan manusia. Artinya, Rasulullah saw dalam hal ini berkewajiban menerangkan atau “menerjemahkan” risalah Allah swt sesuai dengan kehidupan manusia seperti bab shalat, zakat dan hal-hal lain yang Allah tidak detailkan atau operasionalkan dalam kitab-Nya.

Baca juga: Tiga Fungsi Pohon dan Eksistensinya Menurut Al-Qur’an

Tidak jauh berbeda dengan al-Qurtubi, al-Baghawi dalam Ma’alim al-Tanzil menafsiri ayat ke-44 ini ialah sesungguhnya Allah swt hendak menurunkan wahyu (al-dzikr) yang kemudian memberikan keberkahan dan kedamaian bagi manusia. Untuk dapat bernilai berkah dan mendatangkan kedamaian, maka wahyu ini, demikian kata al-Baghawi, memerlukan bayan (penjelas) dari al-sunnah. Dalam hal ini, Nabi saw adalah sunnah daripada al-dzikr itu sendiri.

Hampir senafas dengan al-Baghawi, Mujahid sebagaimana yang dinukil Ibn Atiyyah dalam al-Muharrar al-Wajiz, menafsirkan ayat ke-44 ini ialah diutusnya Rasul saw adalah untuk memberi penjelasan (litubayyina) terhadap nash Al-Quran dengan sunnah-sunnah-nya. Kita tahu bahwa sunnah nabi secara umum terbagi menjadi tiga, yakni sunnah qauliyah, fi’liyah dan taqririyah. Di samping itu, Nabi saw “diminta” untuk mensyarahi apa-apa yang masih belum jelas (samar) di dalam Al-Quran sehingga kemudian syarah Nabi saw itu menjadi bagian integral syariat Islam itu sendiri.

Empat Kompetensi Yang Harus Dimiliki Pendidik

Merujuk pada penafsiran di atas, setidaknya ada empat kompetensi, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yakni kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.

Pertama, kompetensi pedagogik ialah kemampuan seorang pendidik untuk dapat mendesain dan melaksankan pembelajaran dengan baik yang meliputi proses pembelajaran, evaluasi hasil belajar dan pengembangan peserta didik guna mengaktualisasi dan mengekspresikan berbagai potensi yang dimilikinya.

Dalam ayat di atas, kompetensi ini terkandung pada redaksi ayat ke-44, litubayyina linnasi ma nuzzila ilaihim. Rasul saw telah meneladankan kepada kita bahwa beliau berhasil menerjemahkan risalah Allah swt dengan bahasa hamba-Nya sehingga umatnya tidak merasa kesulitan dalam memahami risalah Allah swt (baca: Al-Quran). Untuk itu, pendidik harus piawai menerjemahkan materi pembelajaran dengan mudah dan gampang dicerna oleh peserta didik tanpa harus mensimplifikasikan (baca: mereduksi) substansi atau esensi pembelajaran itu sendiri.

Kedua, kompetensi kepribadian adalah kompetensi personalitas yang mencerminkan kepribadian yang baik, bijaksana, dewasa, berwibawa, kharismatik, berakhlak karimah dan menjadi teladan bagi peserta didik. Di dalam ayat di atas, Nabi saw tidak cukup hanya bermodal cerdas dan piawai dalam menggunakan metode pembelajaran ketika menyampaikan risalah-Nya kepada umatnya. Lebih dari itu, Nabi Muhammad saw memberikan teladan yang baik dan pribadi yang mantap semisal lemah lembut, penyabar, tidak mudah emosi, dan selalu mencari titik temu ketika dihadapkan persoalan yang pelik. Oleh karena itu, mafhum kita dengar, “lisanul hal afshahu min lisanil maqal” (keteladanan itu lebih shahih, lebih utama dan lebih memberi arti (makna) ketimbang sekadar ucapan).

Ketiga, kompetensi profesional adalah penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam. Hal ini ditunjukkan pada redaksi fas-alu ahla al-dzikri in kuntum la ta’lamun. Jika engkau tidak tahu, maka bertanyalah kepada mereka yang berpengetahuan luas atau ahlul ‘ilmi. Nabi saw dalam hal ini, adalah seorang pendidik yang amat luas dan mendalam cakrawala berpikirnya, sehingga Nabi saw tidak mudah mengafirkan umatnya dan berusaha mengajak dengan berbasis ilmu dan ilmu. Umatnya, oleh Rasul saw, diajak untuk berpikir, menganalisis sehingga tak heran Islam tersebar tanpa ekspansi militer melainkan berbasis peradaban ilmu pengetahuan. Penting kiranya, bagi seorang pendidik untuk memiliki kompetensi profesional ini.

Baca juga: Telaah Makna Kata Nafs dalam Al-Quran Menurut Para Ulama

Keempat, kompetensi sosial ialah kemampuan pendidik untuk dapat berkomunkasi dan bergaul secara efektif dan luwes terhadap elemen pendidikan (peserta didik, rekan sejawat, orang tua/ wali, dan stakeholders yang ada). Semua kandungan ayat di atas (ayat 43 dan 44) memerlukan kompetensi sosial yang cakap. Selain bermodal intelektual, manajerial, dan profesional, Rasul saw juga memiliki modal sosial yang baik.

Begitu luwesnya Nabi saw ketika berinteraksi dan berdialektika dengan masyarakat sekitar yang notabene di awal dakwahnya masih didominasi oleh orang-orang kafir, sehingga masyarakat mudah menerima dakwahnya. Misalnya, sebelum kerasulan Nabi saw, Nabi saw telah digelari al-Amin (orang yang dapat dipercaya), menjalin hubungan bisnis dengan non-muslim, dan seringkali diminta menjadi penengah persoalan atau konflik. Ini membuktikan bahwa Nabi saw pandai bergaul dan berinteraksi sehingga masyarakat merasa nyaman dengannya. Begitupun bagi pendidik haruslah pandai berinteraksi sosial sehingga peserta didik merasa nyaman, jika sudah nyaman, maka mereka mudah untuk menerima materi yang hendak kita sampaikan. Wallahu A’lam.

Pemaknaan Jilbab Menurut Riffat Hassan, Seorang Mufassir Kontemporer

0
Pemaknaan Jilbab Menurut Riffat Hassan
Pemaknaan Jilbab Menurut Riffat Hassan

Al-Qur’an dapat diibaratkan sebagai samudera karena memiliki kandungan yang sangat luas. Hal tersebut memungkinkan terjadinya berbagai ragam penafsiran. Kajian terhadap Al-Qur’an dengan berbagai metodologi mengalami perkembangan seiring dengan berjalannya zaman. Latar belakang dan sudut pandang mufassir juga memengaruhi perkembangan metodologi kajian terhadap Al-Qur’an. Salah satu yang menjadi headline hari ini adalah mengenai isu gender di kalangan ulama tafsir kontemporer. Yakni memaknai ayat dari kacamata gender terkait pemaknaan jilbab.

Riffat Hassan memasuki salah satu jajaran feminis Islam yang berasal dari Pakistan di samping Fatimah Mernisi, Amina Wadud Muhsin dan sebagainya. Adapun beberapa faktor yang melatarbelakangi pemikiran Riffat Hassan, dimulai dari faktor keluarga yang mana Ibu beliau sendiri merupakan feminis “radikal” yang keras menentang praktik-praktik patriarkhi. Di sisi lain, terdapat faktor pendidikan, sosio-kultural dan faktor politik.

Riffat Hassan memulai perjuangannya sebagai aktivis gender sejak menginjak usia remaja. Beliau menempuh pendidikan di sekolah berbahasa Inggris dan seringkali menuangkan pikiran-pikiran serta kritik-kritiknya tentang kondisi sosio-kultural masyarakat patriarkhi di lingkungan sekitarnya melalui karya puisi dan soneta.

Baca juga: Kenali Tiga Macam Tingkatan Nafs Menurut Al-Quran

Mempelajari teks-teks Al-Qur’an dan melakukan penafsiran ulang secara serius dilakukan Riffat Hassan sejak tahun 1974. Beliau banyak mengkaji tentang isu perempuan sebagaimana yang sedang ramai diperbincangkan saat itu. Di perjalanan kariernya, beliau cukup banyak menulis artikel dan buku tentang feminisme.

Metodologi Tafsir Kacamata Gender

Ayat-ayat Al-Qur’an memiliki beberapa sifat, yakni ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat mutasyabihat. Ayat-ayat muhkamat ialah ayat-ayat yang jelas dan dapat langsung dijadikan sebagai pedoman hukum. Ayat-ayat mutasyabihat merupakan lawan dari ayat-ayat muhkamat yakni ayat-ayat yang masih bersifat simbolik dan belum jelas.

Hasil penafsiran ditentukan oleh masing-masing cara pandang mufassir. Riffat Hassan menawarkan metode penafsiran baru yakni metode historis krisis-kontekstual. Adapun beberapa langkahnya yakni:

  1. Mencari makna kata yang sebenarnya berdasar pada akar katanya. Kemudian, meletakkannya sesuai dengan konteks masyarakat yang ada pada saat itu;
  2. Mengasumsikan bahwa antara ayat al-Qur’an yang satu dengan ayat yang lainnya saling menguatkan, bukan saling bertentangan (Abdu al-Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, hal. 28)
  3. Penafsiran baru dipandang benar, sah dan dapat diterima jika memenuhi prinsip-prinsip dan nilai-nilai keadilan.

Pemaknaan Sistem Jilbab

Meskipun jilbab telah mengalami evolusi secara bertahap, tetapi jilbab merupakan salah satu bagian yang melekat pada kaum muslim. Bahkan secara lahiriah, ia dianggap sebagai identitas yang menandakan eksistensi seorang muslim dan juga bagian dari kebudayaan kaum muslim abad pertengahan.

Baca juga: Kritik Ignaz Goldzhiher Terhadap al-Tafsir bi al-Ma’tsur

Adapun istilah purdah, niqab dan sebagainya yang merupakan bagian dari jilbab yang berbeda-beda bentuknya. Purdah dan niqab seperti jilbab yang menutupi rambut kepala hingga leher, tetapi purdah dan niqab juga menutup bagian hidung dan mulut dengan kain yang sama. Adapun ayat Al-Qur’an:

يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِّاَزْوَاجِكَ وَبَنٰتِكَ وَنِسَاۤءِ الْمُؤْمِنِيْنَ يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيْبِهِنَّۗ ذٰلِكَ اَدْنٰىٓ اَنْ يُّعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَۗ وَكَانَ اللّٰهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا – ٥٩

Artinya: “Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang”. (Q.S al-Ahzab: 59)

Ayat di atas berbicara tentang perintah kepada istri Nabi Saw dan muslimah untuk mengenakan purdah agar tidak diganggu dan dikenal sebagai perempuan yang shalihah. Hal ini bukan berarti para perempuan muslim dilarang untuk keluar rumah atau bekerja keluar rumah. Tetapi jika memang perempuan tersebut terdapat keperluan, bekerja keluar rumah, maka Al-Qur’an memerintahkan untuk mengenakan pakaian yang pantas agar tidak diganggu dan terhindar dari fitnah.

Baca juga: Tiga Fungsi Pohon dan Eksistensinya Menurut Al-Qur’an

Purdah secara bahasa berarti memisahkan (KH. Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap). Yang dimaksudkan adalah agar perempuan terhindarkan dari pandangan yang menjurus kepada objek seks. Maka bagi Riffat Hassan, pakaian perempuan yang dikenakan ialah pakaian yang pantas bagi setempat dan menjadikan perempuan dihormati dan dimuliakan. (Riffat Hassan, Feminisme dan Al-Qur’an)

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa bagaimana perempuan mengenakan jilbab atau pakaian yang baik adalah tergantung kepada tradisi atau budaya setempat yang dianggap “pantas” dikenakan perempuan sehingga ia dihormati. Karena ukuran pantas adalah relatif, sehingga bisa jadi suatu daerah menganggap niqab adalah ukuran pantas bagi perempuan muslim sedangkan daerah lain belum tentu begitu. Wallahhu a’lam.

Kenali Tiga Macam Tingkatan Nafs Menurut Al-Quran

0
Tiga Macam Tingkatan Nafs
Tiga Macam Tingkatan Nafs

Jiwa atau nafs sangat dibutuhkan oleh manusia. Tanpanya, manusia tidak akan bisa hidup. Quraish Shihab mengatakan, keberadaan nafsu menjadi unsur penting dalam kehidupan manusia. Nafsu tidak dapat dimatikan, akan tetapi dapat dikendalikan oleh manusia. Sebab, nafsu adalah pemberian Allah swt kepada manusia. Oleh karenanya, mujahadah al-nafs (pengendalian diri) menemukan titik relevansinya di sini. Hal ini ditegaskan oleh baginda Rasul saw, “raja’na minal jihadil asghar ila al-jihadil akbar” (Kita telah kembali dari jihad kecil menuju jihad yang lebih besar). Artikel ini hendak mengulas tiga macam tingkatan nafs dalam diri manusia.

Tiga Tingkatan Nafs

Al-Quran menyebut tiga tingkatan nafs dalam diri manusia, yaitu al-nafs al-muthmainnah, al-nafs al-lawwamah, dan al-nafs al-ammarah bi al-su’ sebagaimana disampaikan al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin.

Al-Nafs al-Muthmainnah (jiwa yang tenang)

Nafs ini termaktub dalam Q.S. al-Farj [89]: 27-30,

يٰٓاَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَىِٕنَّةُۙ ارْجِعِيْٓ اِلٰى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً ۚ فَادْخُلِيْ فِيْ عِبٰدِيْۙ وَادْخُلِيْ جَنَّتِيْ ࣖࣖ

Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan rida dan diridai. Lalu, masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku (Q.S. al-Fajr [89]: 27-30)

Al-Raghib al-Asfahani dalam Mu’jam Mufradat Alfadz Al-Quran menjelaskan bahwa nafs al-muthmainnah merupakan jiwa yang tenang, jiwa yang mantap dan kuat (al-istiqrar wa al-tsubut) di mana selalu bersandar kepada Allah swt setelah mengalami kegelisahan dan kegundahan yang luar biasa. Muthmainnah bermakna tenang, damai, tentram. Sedangkan al-Ghazali memaknai al-nafs al-muthmainnah adalah nafsu yang berorientasi kepada kebenaran serta dipenuhi oleh ketenangan-Nya (al-sakinat al-ilahiyyah), sehingga kemurahan-Nya mengalir kepadanya secara deras. Begitupun al-Tustari dalam Tafsir al-Tustari, ia menyebut nafs al-muthmainnah dengan nafs al-ma’rifat.

Baca juga: Kritik Ignaz Goldzhiher Terhadap al-Tafsir bi al-Ma’tsur

Lebih jauh, al-Qusyairi dalam Lathaif al-Isyarat memaknai nafs al-muthmainnah dengan al-ruh al-sakinah (jiwa yang damai dan tenang) dan al-muthmainnah bi dzikrillahi (jiwa yang tenang yang selalu berdzikir kepada Allah). Senada dengan al-Qusyairi, Ismail Haqqi dalam Ruh al-Bayan menafsirkan al-nafs al-muthmainnah adalah jiwa yang mendapat ketenangan setelah adanya kegelisahan dan kegundahan.

Tidak hanya itu, Ibn Arabi dalam Tafsir al-Quran menafsirkan al-nafs al-muthmainnah dengan corak sufistik. Menurutnya, al-muthmainnah adalah jiwa yang tersinari oleh cahaya-Nya sehingga jiwa tersebut mendapat ketenangan dari-Nya dan kembali dalam keadaan lapang dada. Kemudian, ada beberapa ciri-ciri al-nafs al-muthmainnah sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran di antaranya (1) memiliki keyakinan atau keimanan yang kokoh terhadap kebenaran sebagaimana termaklumatkan dalam Q.S. al-Nahl [16]: 106, “qalbuhu muthmainnun bil iman” (sedangkan hatinya tetap tenang dengan keimanannya).

(2) memiliki rasa aman, terbebas dari belenggu takut dan gelisah di dunia sebagaimana tersebut dalam Q.S. al-Nisa’ [4]: 103, “faidza ithma’nantum fa aqimu al-shalah” (apabila kamu telah merasa aman, laksanakanlah salat itu (dengan sempurna), dan (3) hatinya tentram karena selalu ingat kepada Allah sebagaimana dilukiskan dalam Q.S. al-Ra’du [13]: 28,

الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَتَطْمَىِٕنُّ قُلُوْبُهُمْ بِذِكْرِ اللّٰهِ ۗ اَلَا بِذِكْرِ اللّٰهِ تَطْمَىِٕنُّ الْقُلُوْبُ ۗ

(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, bahwa hanya dengan mengingat Allah hati akan selalu tenteram. (Q.S. al-Ra’du [13]: 28).

Baca juga: Tiga Fungsi Pohon dan Eksistensinya Menurut Al-Qur’an

Seseorang yang jiwanya tenang atau memiliki kematangan emosional ia tidak merasa cemas dan gundah gulana berlebihan sebab ia bersandar dan selalu ingat bahwa Allah swt akan senantiasa menolong hamba-hamba-Nya. Jika seorang muslim telah mencapai nafsu ini, – mengutip istilah Abdullah Yusuf Ali dalam THE QURAN: The Meaning of the Glorious Quran Text, Translation & Commentry – maka ia telah mencapai puncak kebahagiaan (the final stage of bless) sebagai seorang mukmin.

Al-Nafs al-Lawwamah (Jiwa yang disesali atau dipersalahkan)

Jenis nafs ini merupakan antonim dari al-nafs al-muthmainnah. Jenis nafs ini termaktub dalam Q.S. al-Qiyamah [75]: 1-2,

لَآ اُقْسِمُ بِيَوْمِ الْقِيٰمَةِۙ وَلَآ اُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ

Aku bersumpah demi hari Kiamat. Aku bersumpah demi jiwa yang sangat menyesali (dirinya sendiri). (Q.S. al-Qiyamah [75]: 1-2).

Ismail Haqqi dalam Ruh al-Bayan memaknai al-nafs al-lawwamah dengan,

لاسبابها لانها تلوم نفسها أبدا فى التقصير والتقاعد عن الخيرات

“Nafsu yang menyalahkan dirinya sendiri karena selalu mengalami kelengahan atau kelalaian, dan meninggalkan diri atau pensiun dari beberapa perbuatan baik”.

Sementara hal senada juga dikemukakan Ibn Ajibah dalam al-Bahr al-Madid,

أقسم بالنفس المتقية، التي تلوم صاحبها على التقصير، وإن اجتهدت في الطاعة

“Aku bersumpah demi jiwa yang shalih yang menyalahkan pemiliknya atas kekurangannya, meskipun ia berusaha dalam ketaatan”

Baca juga: Telaah Makna Kata Nafs dalam Al-Quran Menurut Para Ulama

Tidak cukup itu, al-Ghazali dalam Ihya’-nya menjelaskan bahwa nafs ini belum memiliki established. Artinya, nafs ini rentan dengan goncangan, satu saat ia berbuat kebaikan namun pada saat yang lain ia turun level menjadi rendahan (nafsu kebinatangan) sebagaimana disampaikan Syekh Ahmad Farid dalam Tazkiyatun Nufus. Dengan demikian, nafs al-lawwamah ialah nafsu yang masih labil, tidak menentu, dan berpotensi untuk taat maupun maksiat. Sehingga seseorang yang masih berada dalam derajat nafs ini hendaknya senantiasa membersihkan dirinya dengan rajib beribadah, mengaji, dan terus belajar sehingga dapat meng-upgrade status nafs-nya menjadi nafs al-muthmainnah.

Nafs al-Ammarah bi al-Su’ (Jiwa yang mendorong kepada kejahatan)

Nafsu ini selalu condong kepada hal-hal yang dilarang oleh Allah swt dan bermaksiat. Al-Quran telah menyebutkannya dalam Q.S. Yusuf [12]: 53,

وَمَآ اُبَرِّئُ نَفْسِيْۚ اِنَّ النَّفْسَ لَاَمَّارَةٌ ۢ بِالسُّوْۤءِ اِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّيْۗ

Aku tidak (menyatakan) diriku bebas (dari kesalahan) karena sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan, kecuali (nafsu) yang diberi rahmat oleh Tuhanku. (Q.S. Yusuf [12]: 53)

Al-Jilani dalam Tafsir al-Jilani menafsirkan kalimat “la-ammarah bi al-su’” adalah nafs yang selalu condong kepada kejahatan dan berbuat kerusakan (fasad). Sedangkan al-Tustari dalam Tafsir al-Quran bahwa nafs al-ammarah ialah nafsu syahwat yang selalu mengajak manusia kepada hubbud dunya (cinta dunia) dan kerusakan. Dalam hal ini, Ibn Atha’illah dalam al-Hikam berpendapat, “Pangkal dari maksiat, kelalaian dan syahwat ialah ridha, tunduk dan patuh terhadao nafsu. Sedangkan sumber dari segala ketataan, kesadaran dan moral adalah karena adanya pengendalian terhadap hawa nafsu”.

Baca juga: Pemeliharaan Al-Quran dari Zaman Nabi Hingga Masa Kini

Dalam konteks demikian, tepat kiranya pernyataan al-Ghazali bahwa manusia yang terjerembab dalam kubangan nafs ini maka sesungguhnya ia telah jatuh pada jurang yang amat rendah, yakni derajat kebinatangan. Ia lebih hina dan rendah daripada binatang. Namun sebaliknya, jika manusia dapat mengendalikan hawa nafsunya maka derajatnya lebih mulia dan lebih tinggi ketimbang malaikat.

Oleh karenanya, pengendalian diri terhadap nafsu (mujahadah al-nafs) menjadi penting dan krusial di era modern sekarang serta serba banjir arus informasi. Pengendalian diri untuk tidak berkomentar yang tidak sesuai dengan bidangnya, pengendalian diri untuk tidak bermaksiat dan menahan pandangan mata dari kemaksiatan, dan segala hal dalam hidup manusia menuntut adanya pengendalian diri atau kontrol diri agar derajat nafs al-muthmainnah dapat kita raih sehingga jiwa menjadi tenang, damai, tentram dan selalu ingat kepada-Nya. Wallahu A’lam.

Kritik Ignaz Goldzhiher Terhadap al-Tafsir bi al-Ma’tsur

0
al-Tafsir bi al-Ma’tsur
al-Tafsir bi al-Ma’tsur

Al-Tafsir bi al-Ma’tsur merupakan manhaj (metode) penafsiran yang menitikberatkan riwayat sebagai sumbernya. Model penafsiran ini banyak melahirkan tokoh besar, seperti Ibn Jarir al-Thabari (w. 310 H), al-Baghawi (w. 516 H), Ibn Katsir (w. 774 H), Jalaluddin al-Suyuthi (w. 911 H) dan lain-lain. Penafsiran ini merujuk kepada riwayat-riwayat yang bersumber dari nabi Muhammad, perkataan para sahabat dan generasi setelahnya (baca : tabi’in). Lebih dari itu, ada juga yang berpendapat bahwa sumber penafsiran dengan model ini terkadang merujuk kepada riwayat-riwayat yang bersumber dari cerita bani Israil yang kemudian dikenal sebagai Israilliyyat (lihat, Muhammad Abu Syahbah, al-Israilliyyat wa al-Mawdhu’at fi Kutub al-Tafsir, 2008).

Salah satu sarjana Barat yang bernama Ignaz Goldziher adalah salah satu tokoh yang bisa dibilang sebagai tokoh yang mempunyai konsentrasi di bidang keislaman, terutama kajian terhadap sumber primer ajaran Islam, yakni al-Qur’an dan al-Sunnah. Ia merupakan seorang sarjana Barat yang lahir di Hongaria pada tahun 1850. Pendidikannya dimulai dari Universitas Budapest yang kemudian dilanjutkannya di kota Berlin, Jerman pada tahun 1869. Setelah menempuh pendidikannya di Berlin, ia kemudian melanjutkan karir intelektualnya di Rusia, tepatnya di universitas Lipetsk. Di universitas Lipetsk inilah, Goldziher kemudian diangkat menjadi dosen tetap dan mengampu mata kuliah kajian keislaman (lihat, Abdurrahman Badawy, Mausu’ah al-Mustasyriqin, 1993).

Baca juga: Pemeliharaan Al-Quran dari Zaman Nabi Hingga Masa Kini

Kritik Goldziher Terhadap al-Tafsir bi al-Ma’tsur

Menjadi dosen yang mengampu kajian keislaman, menjadikannya semakin nyaman dengan kajian yang ia tekuni. Akhirnya, ia membuat sebuah karya yang akhirnya diterjemahkan kedalam bahasa Arab yang kemudian beralih nama menjadi Madzahib al-Tafsir al-Islami. Buku ini boleh dikata sebagai magnum opus nya. Sebab, buku ini banyak dijadikan sebagai bahan rujukan, utamanya bagi para sarjana yang mempunyai konsentrasi dalam bidang ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Tafsirnya.

Dalam bukunya itu, Goldziher berbicara panjang lebar mengenai model-model penafsiran al-Qur’an yang berkembang dikalangan para cendekiawan Muslim. Salah satu yang menjadi sorotannya adalah al-Tafsir bi al-Ma’tsur yang dinilai sebagai tafsir yang mempunyai beberapa permasalahan : Pertama, Goldziher menyatakan, bahwa al-Tafsir bi al-Ma’tsur merupakan tafsir yang tidak mempunyai cantholan (sumber) epistemologis yang jelas.

Bagaimana tidak, menurut Goldziher tafsir model ini lebih gemar mencantumkan dongeng daripada pendekatan kajian keislaman seperti fikih dan beberapa masalah keagamaan lainnya. Meski demikian, Goldziher menilai langkah ini sebagai langkah yang bisa dimaklumi. Lantaran, Al-Qur’an tidak menjelaskan kisah-kisah kenabian secara detail dan rinci sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab sebelumnya, seperti Taurat dan Injil.

Baca juga: Citra Nabi Muhammad dalam Al-Quran Perspektif Tarif Khalidi (1)

Kedua, para mufassir yang menafsirkan Al-Qur’an dengan model ini, dinilai Goldziher banyak meriwayatkan kisah-kisah dari kelompok yang terlalu berlebihan dan gemar mengkhayal manakala sedang mengisahkan suatu riwayat. Goldziher kemudian menguatkan pendapat ini dengan sebuah tafsiran yang dinukil dari Muqatil ibn Sulaiman (w. 150 H).

وَاِنْ مِّنْ قَرْيَةٍ اِلَّا نَحْنُ مُهْلِكُوْهَا قَبْلَ يَوْمِ الْقِيٰمَةِ اَوْ مُعَذِّبُوْهَا عَذَابًا شَدِيْدًاۗ كَانَ ذٰلِكَ فىِ الْكِتٰبِ مَسْطُوْرًا

Artinya :

Tidak ada suatu negeri pun (yang durhaka penduduknya), kecuali Kami membinasakannya sebelum hari Kiamat atau Kami siksa (penduduk)-nya dengan siksa yang sangat keras. Yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Lauh Mahfuz) (QS. Al-Isra’ : 58).

Mengutip dari Muqatil ibn Sulaiman, Goldziher mengatakan bahwa kata قَرْيَةٍ yang bermakna (negeri) ini merujuk kepada suatu daerah yang bernama Konstantinopel. Pernyataan ini semakin menguatkan temuan Goldziher yang menduga bahwa para mufassir yang menggunakan cara bi al-ma’tsur ini gemar melakukan kutipan riwayat yang terkesan mengkhayal (lihat, Ignaz Goldziher, Madzahib al-Tafsir al-Islami, 1944).

Kritik Terhadap Pandangan Goldziher

Adapun pandangan yang diajukan oleh Goldziher juga mempunyai kelemahan yang akan penulis uraikan dalam sesi ini. Argumen pertama yang menyatakan bahwa al-Tafsir bi al-Ma’tsur tidak memiliki cantholan epistemologis yang jelas, tidaklah benar. Sebab, para sarjana al-Qur’an seperti Muhammad Abu Syahbah menyatakan, sumber epistemologis al-Tafsir bi al-Ma’tsur ada 4, yakni al-Qur’an, al-Sunnah, ijtihad sahabat dan ijtihad tabi’in (lihat, Muhammad Abu Syahbah, al-Israilliyyat wa al-Mawdhu’at fi Kutub al-Tafsir, 2008).

Sedangkan, argumen kedua yang mengutip penafsiran Muqatil ibn Sulaiman ternyata tidak kompatibel sebagaimana yang ada di dalam kitab tafsir karya Muqatil ibn Sulaiman yang dikenal dengan Tafsir Muqatil ibn Sulaiman. Setelah membuka kitab tafsir tersebut, penulis justru menemukan penafsiran Muqatil yang sama sekali berbeda dengan apa yang dikutip oleh Goldziher. Muqatil tidak menyebut secara jelas nama Konstantinopel ketika menafsirkan kata قَرْيَةٍ. Bahkan, Muqatil mencampakkan penafsiran mengenai kata قَرْيَةٍ dan hanya menyebutkan negeri yang buruk dan negeri yang baik dengan tanpa menyebutkan nama Konstantinopel didalamnya (lihat, Muqatil ibn Sulaiman, Tafsir Muqatil ibn Sulaiman, 2002).

Baca juga: Hukum Iqlab dalam Nun Mati dan Tanwin Beserta Contohnya

Tidak bisa dipungkiri, bahwa model penafsiran dengan menggunakan riwayat (al-Tafsir bi al-Ma’tsur) telah mencetak tokoh-tokoh besar, seperti al-Thabari, Ibn Katsir, Jalaluddin al-Suyuthi dan lain-lain. Meski demikian, model penafsiran ini ternyata juga memiliki kelemahan, sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Goldziher. Pun dengan Goldziher. Sebagai seorang sarjana yang mempunyai konsentrasi dalam bidang al-Qur’an dan al-Sunnah. Ternyata kritik-kritiknya juga terkadang lemah dan perlu dilakukan telaah yang lebih mendalam guna mendapatkan hasil yang lebih presisi. Wallahu a’lam[].          

Tiga Fungsi Pohon dan Eksistensinya Menurut Al-Qur’an

0
Fungsi Pohon dan Eksistensinya Menurut Al-Qur'an
Fungsi Pohon dan Eksistensinya Menurut Al-Qur'an

Aktualisasi konsep “saleh ritual saleh sosial” rasanya cukup sulit terwujud andaikata kita melihat fakta kemanusiaan saat ini. Selain makin menjamurnya manusia yang tak beradil dan tak beradab, manusia juga semakin disudutkan pada kondisi tak beralam. Ini baru dua ranah, yakni ritus keilahian (hablumminallah) dan sosial kemasyarakatan (hablumminannas), namun spirit manusia dalam mengimplementasikannya masih jauh dari kata “ya” apalagi sempurna. Andai ditambah satu lagi tanggung jawab manusia, yakni hablumminal`alam atau menjaga lingkungan, apa kita mampu?. Apalagi tak sedikit yang mengabaikan fungsi pohon dan eksistensinya, sehingga tak heran, jika alam kita semakin lama semakin terkikis.

Barangkali, hanya hujan yang peduli dengan hutan. Manusia-manusia di tanah air beta sudah lupa, mungkin cenderung buta, kehilangan nuraga, dan mati rasa terhadap nasib pohon dan hutan kita. Adagium yang mafhum di telinga kita bahwa hutan adalah paru-paru dunia sepertinya sudah tinggal nama, lenyap dalam jiwa raga, dan yang tersisa hanya ada pada pamflet-pamflet di social media, di papan iklan jalanan, dan di buku-buku panduan yang matang di ranah konseptual namun busuk di ranah aktual.

Baca juga: Telaah Makna Kata Nafs dalam Al-Quran Menurut Para Ulama

Maret 2021 lalu, dengan bersahaja dan bangga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengumumkan bahwa Indonesia berhasil meminimalisir angka deforestasi hutan tahun 2018-2020  seluas 570.000 hektar. Oke, menurun. Tapi kehilangan hutan hampir seluas ibu kota dalam waktu tiga tahun, apa yang patut dibanggakan? 76 tahun Indonesia merdeka, namun kini giliran hutan yang dijajah membabibuta, pohon dibasmi tanpa henti.

Fakta tersebut semakin ironis melihat bahwa Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Apakah agama sudah kehilangan fungsinya atau manusia yang hanya menjadikan agama sebagai label saja. Padahal Islam adalah agama yang secara konseptual sangat ramah lingkungan. Al-Qur`an mengecam manusia yang berbuat kerusakan (Qs. 5: 5; 7: 56; 28: 77), dan sebaliknya Al-Qur’an memerintahkan manusia berbuat kebaikan kepada siapa saja (Qs. 6: 54) termasuk kepada alam.

Padahal eksploitasi yang dilakukan manusia terhadap alam  menurut Rumi sama saja sebagai tindakan bunuh diri, karena alam adalah bagian yang tak terpisahkan dari manusia. Khususnya perilaku manusia terhadap hutan dan pepohonan yang kini semakin memprihatinkan, sementara kita sama-sama mengerti dan merasakan bagaimana hutan dan rimbunnya pepohonan sangat bermanfaat bagi kelangsungan hidup manusia. Islam sendiri melalui Al-Qur`an banyak menegaskan betapa pentingnya pepohonan (tumbuhan) bagi manusia (Qs. 6: 99; 16: 10-11), bahkan secara eksplisit memerintahkan manusia untuk menjaganya dengan tetap melakukan penghijauan.

Baca juga: Surah Al-Mumtahanah Ayat 8-9 dan Pesan Relasi Muslim-Non Muslim dalam Tafsir Al-Ibriz

Penghijauan adalah sebuah langkah konkret yang dapat dilakukan oleh siapa saja sebagai upaya relisiensi mengatasi problematika krisis lingkungan yang mengancam manusia. Oleh karena itu, Islam jauh-jauh hari telah mengingatkan manusia untuk menanam tumbuh-tumbuhan demi kepentingannya sendiri. Dalam Al-Qur’an,  setidaknya ada tiga fungsi atau pertimbangan dalam penghijauan yakni:

Fungsi Materiil

Yusuf Al-Qardhawi dalam bukunya Islam Agama Ramah Lingkungan mengatakan bahwa penghijauan berfungsi sebagai sumber materiil bagi manusia. Hal ini sebagaimana firman Allah:

 فَلْيَنْظُرِ الْاِنْسَانُ اِلٰى طَعَامِهٖٓ ۙ ٢٤ اَنَّا صَبَبْنَا الْمَاۤءَ صَبًّاۙ ٢٥ ثُمَّ شَقَقْنَا الْاَرْضَ شَقًّاۙ ٢٦ فَاَنْۢبَتْنَا فِيْهَا حَبًّاۙ ٢٧ وَّعِنَبًا وَّقَضْبًاۙ ٢٨ وَّزَيْتُوْنًا وَّنَخْلًاۙ ٢٩ وَّحَدَاۤئِقَ غُلْبًا ٣٠ وَفَاكِهَةً وَّاَبًّا ٣١ مَتَاعًا لَّكُمْ وَلِاَنْعَامِكُمْۗ ٣٢

”Maka, hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya. Sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan ari (dari langit), kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya, lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu, anggur dan sayur-sayuran, zaitun dan pohon kurma, kebun-kebun lebat, dan buah-buahan serta rumput-rumputan, untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu.” (QS. Abasa [80]: 24-32).

Al-Qardhawi menjelaskan bahwa salah satu manfaat dari tanaman (penghijauan) adalah makanan yang secara realistis sangat dibutuhkan oleh manusia untuk kelangsungan hidupnya. Makanan yang dihasilkan dari penghijauan tersebut merupakan wujud materiil dari kenikmatan yang diberikan Allah. Al-Zuhaili juga dalam Tafsir Al-Munir memberikan komentar, bahwa ayat tersebut merupakan manifestasi dari kasih sayang Allah terhadap makhluknya agar manusia dapat memanfaatkan tanaman dan segala sesuatu yang dihasilkan olehnya untuk kehidupannya.

Fungsi Moril

Fungsi kedua dari penghijauan mencapai ranah moril atau psikologis. Hal ini sebagaimana firman Allah:

 اَمَّنْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ وَاَنْزَلَ لَكُمْ مِّنَ السَّمَاۤءِ مَاۤءً فَاَنْۢبَتْنَا بِهٖ حَدَاۤىِٕقَ ذَاتَ بَهْجَةٍۚ مَا كَانَ لَكُمْ اَنْ تُنْۢبِتُوْا شَجَرَهَاۗ ءَاِلٰهٌ مَّعَ اللّٰهِ ۗبَلْ هُمْ قَوْمٌ يَّعْدِلُوْنَ ۗ ٦٠

“Bukankah Dia (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dan yang menurunkan air dari langit untukmu, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu kebun-kebun yang berpemandangan indah? Kamu tidak akan mampu menumbuhkan pohon-pohonnya. Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Sebenarnya mereka adalah orang-orang yang menyimpang (dari kebenaran).” (QS. An-Naml [27]: 60).

Menurut Al-Zuhaili, ayat tersebut merupakan jawaban Allah terhadap kaum musyrik yang menyembah berhala dan mendiskreditkan-Nya. Allah melalui ayat ini menunjukkan kekuasaannya dengan menciptakan kehidupan yang bermanfaat sekaligus dapat menjadi penenang bagi manusia lewat turunnya air hujan yang kemudian tumbuh dari tanah berbagai macam tumbuhan yang indah nan elok (bahjah). Dengan kata lain, keindahan kebun (hadaiq) yang hijau tersebut merupakan nikmat moril bagi manusia.

Oleh karena itu, Al-Qardhawi mengatakan bahwa melakukan penghijauan lingkungan mencapai derajat hukum fardhu kifayah. Dengan demikian, penghijauan tersebut pada dasarnya tugas kita bersama sebagai manusia. Bahkan lebih dari itu, gerakan-gerakan penghijauan ini seharusnya menjadi tugas pemerintah untuk melestarikan dan menganjurkannya kepada masyarakat.

Baca juga: Mengenal Lebih Dekat Tafsir Juz ‘Amma Karya Kh. Masruhan Ihsan

Sebagai Simbol Kekuatan

Fungsi ketiga dari penghijauan adalah sebagai simbol kekuatan, persatuan, dan kesatuan. Fungsi ini dapat diindikasi dalam firman Allah:

 اَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللّٰهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ اَصْلُهَا ثَابِتٌ وَّفَرْعُهَا فِى السَّمَاۤءِۙ ٢٤ تُؤْتِيْٓ اُكُلَهَا كُلَّ حِيْنٍ ۢبِاِذْنِ رَبِّهَاۗ وَيَضْرِبُ اللّٰهُ الْاَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ ٢٥

“[24]  Tidakkah kamu memperhatikan bagai-mana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya (menjulang) ke langit. [25]  (pohon) itu menghasilkan buahnya pada setiap waktu dengan seizin Tuhannya. Dan Allah membuat perumpamaan itu untuk manusia agar mereka selalu ingat.” (QS. Ibrahim [14]: 24-25)

Menurut Ibnu Katsir ayat tersebut pada dasarnya adalah sebuah “mitsil” bagi ketauhidan seorang mukmim sejati, yakni keyakinannya kokoh dan tinggi. Namun selain perihal ketauhidan, ayat tersebut juga menurut Quraish Shihab dapat dipahami sebagai simbol kekuatan umat Islam yang digambarkan seperti pepohonan yang akarnya kuat dan cabangnya menggapai langit. Dengan kata lain, pepohonan dalam konteks ini bermakna cukup besar bagi manusia sehingga Allah menjadikannya perumpamaan bagi ranah ketauhidan seseorang. wallahu a’lam.

Mengenal Lebih Dekat Tafsir Juz ‘Amma Karya Kh. Masruhan Ihsan

0
Tafsir Juz ‘Amma Karya Kh. Masruhan Ihsan
Tafsir Juz ‘Amma Karya Kh. Masruhan Ihsan

Kiai Masruhan ihsan adalah sosok ulama yang cukup dikenal bagi kalangan santri. Beliau adalah ulama yang produktif dalam menulis kitab. Salah satu kitabnya yang fenomenal dan banyak dijadikan pembelajaran adalah Risalatul Mahid. Sebuah kitab yang mengajarkan tuntunan fiqhiyah bagi perempuan saat haid. Menariknya, karyanya yang masih jarang diulas adalah kitab Tafsir Juz Amma. Memang tidak cukup populer dikalangan santri pada umumnya. Akan tetapi kitab ini banyak mengulas deskripsi dan keunikan dari tafsir juz amma yang perlu untuk kita ketahui.

Sosok Kiai Masruhan Ihsan

Sejauh ini, tulisan Umi Masfiyah satu-satunya yang mengulas riwayat hidup kiai Masruhan Ihsan secara mendalam. Pada tulisannya dijelaskan Masruhan lahir pada  tahun 1921 di desa Sendang Delik, Sumberjo, Mranggen. Semasa kecil, Masruhan tidak mengenyam pendidikan formal. Meski dengan segala keterbatasan sarana, Masruhan remaja akhirnya menimba ilmu di pesantren tertua di Bandungsari, Grobogan yang kini bernama ponpes Al Ma’ruf Bandungsari.

Kelana nyantri berlanjut ke pesantren Tremas, Pacitan. Disana, kiai Masruhan berteman akrab dengan Mbah Maemun Zubair Rembang. Cerita yang dikenang oleh Mbah Moen tentang kiai Masruhan adalah gemar berpuasa. Selama nyantri, kiai Masruhan kerap berpuasa dalail. Puasa tersebut berguna untuk melatih diri dari kekangan nafsu dan ikhtiar demi terwujudnya suatu cita-cita.

Baca juga: Telaah Makna Kata Nafs dalam Al-Quran Menurut Para Ulama

Setelah dirasa cukup, kiai Masruhan melanjutkan studinya di pesantren Bentengan Demak untuk menghafalka Al-Quran. Sebelum pulang ke kampung halamannya, terlebih dahulu kiai Masruhan berkelana ke Banten dengan berjalan kaki guna tabarukan terhadap para ulama sepuh Pada tahun 1949 kiai Masruhan pulang ke desanya untuk berdakwah.

Pada waktu-waktu tersebut, kiai Masruhan dinikahkan dengan putri seorang kiai. Selama menjalani masa berkeluarga, kiai Masruhan memutuskan untuk tinggal di desan Berumbung, Demak. Di desa tersebut, Ia hidup berdampingan dengan masyarakat Jawa yang awam dengan wawasan agama. Karena merasa tidak cocok dengan lingkungan sekitar, pada tahun 1956 beserta keluarganya kiai Masruhan pindah ke Mranggen. (Umi Masrifah, Analisa, Vol.17, No.2, Hal.250-252)

Produktivitas menulis kiai Masruhan dimulai pasca menikah. Beberapa kitab yang telah ditulis diantaranya adalah Risalatul Mahid, Tafsir Al-Quran Juz ‘Amma,kitab Hadis Joyoboyo, kitab al-Maratul Salihah. Adapun Tafsir Al-Quran Juz ‘Amma yang akan diulas kali ini diterbitkan pada bulan Rabiul Awwal 1377 H (Tafsir Quran Juz Amma, Cover)

 Baca juga: Pemeliharaan Al-Quran dari Zaman Nabi Hingga Masa Kini

Tafsir Al-Quran Juz ‘Amma

Layaknya kitab tafsir Jawa pesantren lainnya, tafsir ini menggunakan aksara pegon dalam penulisan. Sudah menjadi hal lumrah, pesantren memiliki tulisan baku berupa aksara pegon. Yakni perpaduan antara aksara Arab dengan bahasa Jawa. Tak pelak jika tradisi ini masih lestari sampai sekarang.

Pada zaman lampau hampir semua wilayah yang terjamah oleh peradaban dan kekuasaan Islam menggunakan aksara Arab sebagai tulisan seperti turki, melayu, jawa dll. Sebelum akhirnya mulai tergerus sejak berdirinya sekolah modern yang diperkenalkan Belanda.

Pada bagian sampul terdapat tulisan Tafsir Al-Quran Juz Amma bi Lughawi al-Jawi al-Wustha (tafsir Al-Quran Juz amma dengan bahasa jawa tengah). Dari judul dapat dipahami bahwa kiai Masruhan menggunakan bahasa jawa tengah. Jawa dilihat dari segi geografi memiliki berbagai aksen yang berbeda-beda seperti jawa ngapak, jawa tengah dan jawa timur.

Sebelum memulai tafsirnya, terlebih dahulu kiai Masruhan memperkenalkan huruf-huruf hijaiyyah beserta harakatnya. Perkenalan tersebut ditulis dalam tiga halaman dengan enam bagian. Pengenalan tersebut bertujuan untuk mengajari para santri membaca huruf-huruf arab. Dalam proses mengaji, tahapan paling awal sebelum membaca Al-Quran adalah mengenali huruf-huruf arab dan tanda bacaan.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Hukum Makan Dan Minum dari Wadah Emas atau Perak

Setelah pengenalan, tafsir diawali dengan surah Al-Fatihah, kemudian An-Naba sampai kepada surah An-Nas. Berbeda dengan tafsir Al-Ibriz yang menggunakan makna gandul, Tafsir ini ditulis secara terpisah dengan surah. Di tiap halaman, tafsir ditulis pada paruh bawah. Sedangkan paruh bagian atas merupakan isi surah.

Berdasarkan penulisan tafsir tersebut dapat dipahami bahwa tafsir Al-Quran Juz Amma diperuntukkan masyarakat yang baru belajar Al-Quran. Selaras dengan kultur pendidikan pesantren, pengenalan huruf hijaiyyah bukan hanya untuk membaca Al-Quran. Melainkan juga untuk kepentingan membaca dan menulis.

Sistematika yang digunakan dalam Tafsir Quran Juz Amma merupakan tartib mushafi. Adapun metode penafsiran yang digunakan adalah Ijmali.(Metodologi Ilmu Tafsir. 106) Tafsir ditulis dalam penjelasan global agar mudah dipelajari bagi para pembaca. Sehingga bila dibaca secara seksama, tafsir tersebut cenderung kepada terjemah.

Akan tetapi dalam penulisan tafsir, kiai Masruhan tetap mengacu pada refrensi kitab-kitab terdahulu. Sebagai contoh dalam menafsirkan surah Al-Buruj ayat 2-3 kiai Masruhan menafsirkan:

Lan demi dino kang den janji-janjiake mesti tekane (dino qiyamat). Lan demi dino Jum’at lan dino ‘Arofah.

Pada ayat kedua, kata الموعود diartikan sebagai hari kiamat. Adapun kata شاهد diartikan sebagai hari Jumat dan kata مشهود sebagai hari ‘Arafah.( Tafsir Quran Juz Amma. 25-26) penjelasan tersebut dapat ditemukan dalam tafsir At-Thobari mengutip hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah. (Tafsir At-Thobari, Jilid 24, hal. 264). Wallahu a’lam[].

Resepsi Masyakat Jawa atas Fadla’il al-Qur’an (Keutamaan Al-Quran)

0
Masyarakat Jawa
Resepsi Masyarakat Jawa terhadap Fadhail Quran

Fenomena penerimaan (resepsi) masyarakat terhadap Al-Qur’an oleh beberapa pengkaji Al-Qur’an dipandang sebagai sesuatu yang tidak semestinya. Hal ini dikarenakan adanya anggapan bahwa Al-Qur’an merupakan kitab yang berisi petunjuk (hudan), yang karenanya harus dipahami, dikaji dan digali maksud di dalamnya. Bukan dengan ragam penerimaan yang bermacam-macam.

Namun demikian, perspektif antropologi justru menganggap bahwa fenomena penerimaan ini sebagai sesuatu yang sah dilakukan. Perspektif antropologi, sebagaimana diulas oleh Prof. Heddy, menganggap bahwa manusia merupakan animal symbolicum yang memiliki kemampuan menciptakan, mengembangkan, dan menggunakan simbol-simbol dalam rangka berkomunikasi.

Dalam bingkai animal symbolicum ini, Al-Qur’an ditempatkan dalam kerangka perangkat simbol-simbol yang lantas ‘diartikan’ (diberi arti) sesuai dengan kesadaran setiap individu manusia, bukan sebagai perangkat yang ‘berarti’ (memiliki arti) bagi manusia. Hal ini dikarenakan manusia selalu memberikan ‘arti’ (meaning) terhadap setiap gejala kehidupan yang mereka temui, termasuk Al-Qur’an, berdasar pada relasi kesadaran (consciousness) yang terbentuk antara dirinya dengan dunianya.

Baca Juga: Problematika Tanda Waqaf dalam Mushaf Al-Quran

Berkaitan dengan hal ini penulis hendak berbagi kajian singkat atas resepsi masyarakat Jawa terhadap fadla’il al-qur’an yang sangat populer dilakukan. Kajian singkat ini menggunakan perspektif antropologi dan fenomenologi agama sebagaimana diulas Prof. Heddy dalam The Living Al-Qur’an dan Fenomenologi Agama, yang menekankan adanya pencarian ‘arti’ (meaning) dan kesadaran (consciousness) dalam resepsi Al-Qur’an.

Term Slamet dalam Kosmologi Masyarakat Jawa

Wahyu Widodo dalam Mantra Kidung Jawa-nya menyebutkan bahwa kosmologi masyarakat Jawa sangat menganggap penting konsep slamet (selamat). Hasil kajiannya menyebutkan bahwa konsep slamet mendasari setiap seluruh siklus kehidupan manusia: kelahiran, kehidupan itu sendiri, hingga kematian. Namun cukup berbeda dari pemaknaan literalnya, konsep slamet dalam kosmologi masyarakat Jawa telah mengalami perluasan makna.

Dalam bahasa Indonesia, kata selamat yang diartikan dengan terbebas-terhindar dari bahaya, malapetaka, bencana; tidak mendapat gangguan, kerusakan dan sebagainya (KBBI). Arti ini dalam pandangan masyarakat Jawa kurang merepresentasikan arti yang dimaksudkan karena masih terbatas pada aspek fisikal saja. Pun begitu dengan padanan katanya dalam bahasa Arab, salamah (سلامة) dan salam (سلام) yang berasal dari kata silm (سلم). Yang selain mencakup asepk fisik juga memuat aspek metafisik berupa shulh (صلح) atau kedamaian dan ketentraman.

Menukil dari Zoetmulder dalam Java, Indonesia, and Islam (Woodward, 2011), Widodo menyebutkan bahwa kata slamet dalam kosmologi masyarakat Jawa tidak hanya merujuk pada kondisi psikologi yang homeostatis (ketahanan dan mekanisme lingkungan yang memungkinkan bertahan hidup secara biologis) semata, namun juga laku batin yang religius. Ini lah mengapa kata slamet juga dapat berarti mengeluarkan sedekah.

Kesadaran (consciousness) akan adanya keselamatan ini lah yang membuat masyarakat Jawa selalu mendahulukan aspek dalam setiap interaksi sosialnya. Kesadaran yang sama juga menjelaskan budaya meminta keselamatan dalam setiap siklus kehidupan yang dianggap penting. Slametan, begitu ungkapan yang dicatat Clifford Geertz dari sebutan masyarakat Mojokuto (Pare) dalam Agama Jawa­-nya.

Apa yang disebut sebagai slamet ini lah yang dalam ulasan Prof. Heddy dikatakan sebagai kesadaran (consciousness) yang menjadi dasar atau pembimbing setiap manusia berperilaku dan bertindak terhadap dunianya. Pada akhirnya, kesadaran ini pula yang menentukan adanya metode khusus dalam mengetahui gejala sosial-budaya yang terbentuk, yang dikenal dengan emik atau menurut pandangan masyarakat itu sendiri (Mustaqim, 2014).

Resepsi atas Fadla’il al-Qur’an

Pentingnya slamet bagi masyarakat Jawa ini menjadikan segala sesuatu yang berinteraksi dengan mereka dipahami sebagai simbol-simbol keselamatan, termasuk Al-Qur’an. Dalam hal ini, Al-Qur’an merupakan media yang dapat menghantarkan mereka pada keselamatan. Namun demikian, implementasi dari penerimaan Al-Qur’an sebagai simbol keselamatan ini dipahami secara berbeda.

Jika pahaman mainstream atas klaim keselamatan dalam Al-Qur’an adalah dengan memahami isi kandungan dan menginternalisasikannya dalam kehidupan, maka tidak demikian dengan masyarakat Jawa (meskipun tidak dapat dilakukan generalisasi). Bagi mereka, keselamatan dalam Al-Qur’an merupakan laku praktis atas pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an yang dipercaya memiliki ‘khasiat’ keselamatan. Seperti yang telah disebutkan beberapa oleh ‘Abdullah al-Ghummariy dalam Fadla’il al-Qur’an,

أَخْرَجَ النَّسَائِي مِنْ حَدِيْثِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ: مَنْ قَرَأَ تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ الْمُلْكُ كُلَّ لَيْلَةٍ مَنَعَهُ اللهُ بِهَا مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ

“An-Nasa’i meriwayatkan dari hadisnya Ibn Mas‘ud: “Barangsiapa membaca Surah Tabarak setiap malam, Allah akan menyelamatkannya dari siksa kubur.”

Atau riwayat yang lain,

رَوَى البَيْهَقِي وَغَيْرُهُ: مَنْ قَرَأَ سُوْرَةَ الْوَاقِعَةِ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ لَمْ تُصِبْهُ فَاقَةٌ أَبَدًا

“Al-Baihaqiy dan yang lainnya meriwayatkan: Barangsiapa membaca Surah Al-Waqi‘ah setiap malam, maka kefaqiran tidak akan mengenainya selamanya.”

Apabila menganut kerangka di atas, resepsi masyarakat Jawa atas riwayat semacam ini merupakan resepsi letterlijk atas redaksi yang disebutkan dalam riwayat, dimana membaca Surah Tabarak dapat memberikan keselamatan dari siksa kubur atau membaca Surah Waqi‘ah dapat menghindarkan dari kefaqiran. Sehingga resepsi yang ada adalah praktis-fungsional, bukan pada aspek pemahaman (eksegesis) mengapa surah tersebut mampu memberikan keselamatan dan menghindarkan dari kefaqiran.

Baca Juga: Irhash Kenabian Muhammad, Bukti Allah Merayakan Maulid Nabi

Hal ini karena konsep keselamatan dalam masyarakat Jawa merupakan upaya laku tirakat yang lebih kepada ranah amalan. Sehingga surah-surah dalam Al-Qur’an yang disebutkan memiliki ‘khasiat’ tertentu lebih mirip seperti wirid atau ‘mantra’ keselamatan.

Terkait laku tirakat ini, hadis dan aqwal para ulama, seperti yang disusun oleh ‘Abdullah al-Ghummariy dalam Fadla’il al-Qur’an-nya, memainkan peran yang sangat penting sebagai petunjuk teknis dan pelaksanaan amalan. Hadis dan aqwal berisi penjelasan ‘khasiat’ dan teknis pengamalan secara lengkap: waktu, jumlah bacaan, situasi dan kondisi, serta tuntutan lain yang harus dipenuhi.

Kesimpulan

Dengan adanya pemahaman mengenai konsep slamet dalam kosmologi masyarakat Jawa dapat dimengerti alasan keberadaan beberapa penerimaan mereka yang oleh beberapa kalangan pengkaji dianggap tidak tepat. Hal ini dikarenakan masyarakat Jawa memiliki kesadaran (consciousness) tersendiri yang mendasari perilaku dan tindakan mereka atas gejala dunia (Al-Qur’an) yang mereka temui. Kesadaran ini pula yang memberikan pengaruh terhadap pemberian arti (meaning) atas gejala dunia tersebut. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []

Telaah Makna Kata Nafs dalam Al-Quran Menurut Para Ulama

0
Kata Nafs dalam Al-Quran
Kata Nafs dalam Al-Quran

Dalam Islam, jiwa diterminologikan dengan al-nafs, selain kata ruh, qalb, dan ‘aql. Meski demikian, kata nafs menempati urutan pertama dalam mendefinisikan jiwa. Jika melacak masa pra Islam, sesungguhnya tema ini sudah pernah diperbincangkan oleh para filsuf Yunani, semisal Antagoras, Socrates, Aristoteles, Plato, dan filsuf sesudahnya. Bahkan juga, tidak terkecuali filsuf Islam seperti al-Kindi dan al-Farabi yang menguraikan teori nafs.

Sungguhpun demikian, kajian tentang nafs ini, sebagaimana dituturkan Seyyed Hossein Nasr dalam Three Muslim Sages dan M.M. Sharif dalam A History of Muslim Philosophy, secara terstruktur, sistematis dan operasional ditemukan pada karya Ibn Sina, seperti Ahwal al-Nafs, Kitab al-Najah fi al-Hikmah al-Manthiqiyyah wa al-Tabi’iyyah wa al-Ilahiyyah, dan lain sebagainya. Tulisan ini hendak mengurai makna nafs dalam Islam dengan merujuk pada Al-Quran dan pendapat ulama.

Definisi Nafs

Secara literal, kata nafs berasal dari bahasa Arab, al-Nafs, atau dalam bahasa Inggris; soul, bermakna jiwa atau diri seperti yang dikemukakan Ibn Sina dalam Al-Syifa al-Tabi’iyyat. Kata nafs juga – dalam istilah bahasa Indonesia – diartikan “diri” (self). Sebab menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam The Mysticism of Hamzah Fansuri, seperti yang dikutip Syah Reza dalam Konsep Nafs Menurut Ibn Sina, kata “diri” merangkum makna dua unsur sentral pada manusia, yakni jasad (jasmaniyah) dan jiwa (ruhaniyah).

Baca Juga: Mengulik Makna Ta’dib Sebagai Nomenklatur Pendidikan Islam

Jiwa, demikian kata Muhammad Utsman Najati dalam al-Dirasat al-Nafsaniyyah inda al-‘Ulama al-Muslimin, merupakan unsur pertama yang mampu menggerakkan manusia. Sementara, jasad adalah bentuk kesempurnaan kedua yang berfungsi sebagai alat untuk menjalankan aktivitas. Maka, keduanya (jasad dan nafs) merupakan dua substansi berbeda yang saling melengkapi dan membutuhkan. Definisi tersebut (definisi Ibn Sina) senada dengan Aristoteles, al-Kindi, al-Farabi dan filsuf Muslim lainnya.

Tidak jauh berbeda, Ibn Mandzur dalam Lisan al-‘Arab mengemukakan bahwa kata nafs bermakna dua hal. Pertama, nafs dalam maksud nyawa, dan kedua, nafs dalam makna keseluruhan dari sesuatu yang hakikatnya merujuk pada dirinya sendiri. Sahid Mustafa dalam Konsep Jiwa dalam Al-Quran, memaparkan bahwa setiap manusia mempunyai dua nafs, yakni nafs akal dan nafs ruh. Menurutnya, hilangnya nafs akal menyebabkan manusia tidak dapat bernalar dan berpikir, meskipun ia dalam posisi hidup, seperti halnya tatkala manusia dalam keadaan tidur. Sedangkan, hilangnya nafs ruh menyebabkan hilangnya kehidupan sebab ruh adalah unsur pertama yang menggerakkan manusia.

Dalam pendapat yang lain seperti yang disampaikan M. Dawam Rahardjo dalam Ensiklopedia al-Qur’an, kata nafs memiliki banyak wajh, seperti jiwa (soul), pribadi (person), diri (self), hidup (life), hati (heart) atau pikiran (mind). Secara istilah, pengertian nafs, sebagaimana disampaikan filosof Muslim terutama al-Kindi, al-Farabi dan Ibn Sina adalah kesempurnaan awal bagi jasad yang bersifat natural (alamiah), mekanistik dan memiliki kehidupan yang enerjik.

Makna “kesempurnaan awal bagi fisik yang bersifat alamiah” tersebut ialah bahwa manusia bisa dikatakan sempurna apabila mewujud sebagai makhluk yang bertindak. Sebab jiwa merupakan kesempurnaan pertama bagi jasad natural dan bukan lagi jasa material seperti yang dikemukakan Utsman Najati yang dikutip Sahidi Mustafa. Selanjutnya, yang dimaksud “mekanistik” adalah bahwa jasad menjalankan fungsinya melalui fitur-fitur atau alat-alat yang sudah terinput dalam jasadnya seperti panca indera, dan anggota tubuh lainnya. Sementara iu, makna “memiliki kehidupan yang energik”, seperti yang dipaparkan Fazlur Rahman dalam Avicenna’s Psychology, mengandaikan satu kesiapan hidup dan keberterimaan terhadap jiwa.

Kata Nafs dalam Al-Quran

Kata nafs dalam Al-Quran, seperti yang dikemukakan Sahidi Mustafa, dan berbagai derivasinya nafasa, anfus, nufus, tanafus, tanfusu, yunafisu, dan mutanafis disebutkan sebanyak 198 kali dalam 270 ayat. Adapun dalam bentuk mufrad (tunggal), kata nafs disebutkan sebanyak 140 kali, dan dalam bentuk jama’, sebanyak 2 kali dalam bentuk nufus dan 153 dalam bentuk jama’ anfus. Dan kata tanaffasa, yatanafasu, mutanafis masing-masing disebutkan 1 kali dalam Al-Quran.

Kemudian, yang paling banyak memuat kata nafs dalam Al-Quran, sebagaimana disampaikan Muhammad Fuad Abd al-Baqi dalam Mu’jam Mufahras li Alfadz al-Quran, antara lain surah al-Baqarah (35 kali), surah Ali Imran (21 kali), surah al-Nisa’ (19 kali), surah al-An’am dan al-Taubah (17 kali), dan surah al-A’raf dan Yusuf (13 kali). Merujuk pada Al-Quran, makna nafs ternyata memiliki makna yang beragam.

Pertama, nafs sebagai diri seperti yang disebutkan dalam Q.S. Ali Imran [3]: 61; Q.S. Yusuf [12]: 54; Q.S. al-Dzariyat [51]: 21. Kedua, nafs sebagai diri Tuhan dalam Q.S. al-An’am [6]: 12 dan 54. Ketiga, nafs sebagai person sesuatu dalam Q.S. al-Furqan [25]: 3; Q.S. al-An’am [6]: 130. Keempat, nafs sebagai ruh dalam Q.S. al-An’am [6]: 93. Kelima, nafs sebagai jiwa dalam Q.S. al-Fajr [89]: 27; Q.S. al-Syams [91]: 7. Keenam, nafs sebagai totalitas manusia dalam QS. al-Ma’idah [5]: 32, QS al-Qashash [28], 19, QS al-Qashash [28], 33. Dan Ketujuh, nafs sebagai sisi dalam manusia yang melahirkan perilaku dalam QS. al-Ra’d [13]: 11, QS al-Anfal [8]: 53.

Makna Nafs Menurut Para Ulama

Ibn Hazm dalam al-Fasl al-Milal wa al-Ahwa al-Nihal memberikan makna yang berlainan dari definisi di atas, menurutnya nafs (jiwa) bukan esensi atau substansi, melainkan non-fisik (immateri). Bagi Ibn Hazm, nafs mempersepsikan semua hal, baik bersifat rasional dan inderawi maupun fisik atau jasmani. Begitupun Muhammad Utsman Najati, menurutnya, nafs merupakan letak kemunculan beragam perasaan, baik kesedihan, kegundahan, kebahagiaan, amarah, emosional dan semacamnya.

Baca Juga: Mengulik Makna Tarbiyah dalam Pendidikan Islam

Tidak hanya itu, Ikhwan al-Shafa dalam Rasail-nya yang dikutip Syah Reza, bahwa nafs adalah substansi ruhaniah yang mengandung dimensi langit dan nuraniyah, hidup dengan zatnya, mengetahui dengan daya, aktif di dalam tubuh dan memahami bentuk segala sesuatu. Namun demikian, menurut Ibn Sina, nafs tidaklah seperti yang mereka terminologikan. Dalam karyanya, Ahwal al-Nafs, nafs ialah substansi ruhani yang memancar kepada raga, lalu menghidupkannya kemudian menggerakkannya serta menjadi “wasilah” (perantara) untuk memperoleh pengetahuan dan ilmu, sehingga dengan keduanya ia dapat menyempurnakan potensi dirinya dan puncaknya ialah mengenal Tuhannya.

Penutup

Sebagai penutup, beberapa hal yang dapat digarisbawahi dari pengertian dan makna nafs di atas, seperti halnya yang disampaikan Syah Reza bahwa nafs merupakan unsur terpenting yang ada dalam diri manusia. Ia menyangkut dimensi fisik (materi) dan non fisik (immateri) pada diri manusia. Adanya nafs membuktikan kesempurnaan bagi jasad. Kita tidak dapat membayangkan bagaimama diri manusia tanpa keberadaan nafs (jiwa). Yang kedua, nafs bersifat kekal dan abadi. Jika jasad mengalami kemusnahan dan rusak, maka tidak dengan nafs. Ia tetap kekal dan abadi karena bagian dari esensi Tuhan yang Maha kekal.

Teori nafs yang diorbitkan dan disistematisasikan filsuf Muslim terutama Ibn Sina ternyata menarik atensi dan memantik diskusi lanjutan bagi filsuf setelahnya, seperti al-Ghazali, al-Razi, Ibn Rusyd dan sebagian saintis Barat. Keberadaan nafs, demikian kata Syah Reza, merupakan bagian daripada proses penciptaan dan keberadaan alam itu sendiri. Ia merupakan bagian dari isyarat – dan termasuk struktur – alam yang sirri dibalik realias inderawi manusia. Maka tak heran, jika para filsuf dan ulama mengklasterisasikan kajian nafs termasuk kajian metafisika yang tentunya membutuhkan penalaran yang tinggi berbasis naqli maupun ‘aqli. Wallahu A’lam.

Pemeliharaan Al-Quran dari Zaman Nabi Hingga Masa Kini

0
pemeliharaan Al-Quran dari zaman Nabi hingga masa kini
pemeliharaan Al-Quran dari zaman Nabi hingga masa kini

Sejak Al-Quran diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad, Al-Quran masih terjaga sampai hari ini. Menjadi pedoman dan panduan hidup ummat Islam. Sayangngnya, acapkali kita melupakannya. Kalau kita menengok jauh kebelakang, bagaimana Nabi Muhammad membacakan Al-Quran di depan para sahabat serta memerintahkan untuk dicatat sebagai sebuah proses penjagaan.

Al-A’zami mencatat, memang, Al-Quran diwahyukan secara lisan. Akan tetapi, secara konsisten, Al-Quran menyebut dirinya sebagai kitab yang tertulis. Sebagaimana disebutkan dalam QS. At-Thur [52]:2. Sejatinya, pencatatan Al-Quran dimulai sejak awal perkembangan Islam. Hal tersebut dapat kita lihat dari bukti-bukti sejarah. Periode Makkah, misalnya, terdapat shahifah yang berisi surah Thaha yang dipegang oleh Fatimah. Begitupula dengan periode Madinah, Nabi Muhammad mengutus para sahabat tidak kurang dari enam puluh lima sahabat untuk bertindak sebagai pencatat Al-Quran. (The History of The Qur’anic Text, 2005: 72)

Hal tersebut menandakan bahwa proses pemeliharaan Al-Quran telah berlangsung sejak zaman Nabi hingga kini. Sejalan dengan hal tersebut, dalam QS. Al-Hijr [15]: 9, Allah SWT menjelaskan garansi keaslian kitab suci Al-Quran. Ayat tersebut berbunyi:

اِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَاِنَّا لَهٗ لَحٰفِظُوْنَ

Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Quran dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya (QS. Al-Hijr [15]: 9)

Baca Juga: Pemeliharaan Al-Quran Pada Masa Nabi Muhammad Saw

Penjelasan Ayat

At-Thabari dalam Tafsir Jami’ al-Bayan mengatakan bahwa yang dimaksud dengan az-zikr adalah Al-Quran. Sedangkan wainna lahu lahafidzun yakni kami menjaga Al-Quran dan melindungi dari syaitan yang ingin menambahkan kebathilan atau pun menghilangkanny, sebagaimana yang dikatan oleh Qatadah.  (Jami’ Al-Bayan, Juz. 14, hlm. 19)

Abu Hayyan al-Andalusi dalam Tafsir al-Bahr al-Muhith menyebutkan makna dari wainna lahu lahafidzun ada tiga: pertama, Allah menjaganya dari syetan. Kedua, sebagaimana dikatakan oleh Hasan al-Bashri, Allah menjaganya dengan cara mengekalkan syariat Islam sampai hari kiamat. Terakhir, ketiga, Allah menjaganya di dalam hati orang-orang yang menginginkan kebaikan dari al-Quran sehingga jika ada satu huruf saja yang berubah dari al-Quran, maka seorang anak kecil akan mengatakan “anda telah berdusta, dan yang benar adalah demikian.” Adapun kata “Lahu” itu kembali kepada az-Zikr atau al-Quran sebagaimana yang dikatakan oleh Qatadah, Mujahid yang selain keduanya. (al-Bahr al-Muhith, Juz. 5, hlm. 435)

Ayat di atas menurut M. Quraish Shihab adalah bantahan atas ucapan kepada siapapun (khususnya kepada orang-orang kafir) yang meragukan sumber datangnya Al-Quran. Betapa tidak, Al-Quran dan nilai-nilainya tidak akan punah tetapi akan tetap bertahan. Itu menandakan bahwa kepercayaan yang bertentangan dengannya, pada akhirnya, cepat atau lambat, pasti akan dikalahkan oleh ajaran Al-Quran. Sehingga, tidak ada gunanya bagi mereka meragukannya. (al-Misbah, Vol. 6, 421-422)

Penggunaan jamak nahnu nazzalna dalam ayat ini, lanjut Shihab, mengisyarakatkan adanya keterlibatan selain Allah SWT dalam pemeliharaan Al-Quran, yakni Jibril, dalam menurukannya dan kamu muslimin dalam pemeliharaannya. Kaum muslimin juga ikut andil dalam memelihara otentisitas Al-Quran dengan berbagai cara. Baik dengan menghafalkannya, menulis, membukukan, merekam dalam berbagai alat seperti piringan hitam, kaset, CD, dan lain-lain. Sehingga bila ada kekeliruan, baik dalam menghafal ataupun menafsirkannya, akan tampil sekian banyak orang yang meluruskan kesalahan dan kekeliruan tersebut.

Dalam tafsir Kementrian Agama disebutkan setidaknya ada tiga faktor yang membantu menjaga kelestarian tulisan dan bacaan Al-Quran; pertama, tulisan atau naskah yang ditulis para penulis wahyu. Kedua, Hafalan dari para sahabat yang sangat antusias menghafalnya. Terakhir, ketiga,  Tulisan atau naskah pribadi yang ditulis oleh para sahabat yang sudah lebih dulu pandai baca tulis seperti ‘Abdullāh bin ‘Umar, ‘Abdullāh bin Mas‘ūd, Ali bin Abi Ṭālib, dan lain-lain.

Selain tiga faktor di atas, Malaikat Jibril selalu mengecek bacaan Al-Quran Rasulullah setiap tahun. Ketika pengecekan, Rasulullah disuruh mengulang bacaan Al-Quran yang telah diturunkan. Bahkan sebelum wafat, Malaikat Jibril mengecek dua kali.

Baca Juga: Berbagai Cara Allah Menjaga Al-Quran dalam Tafsir Surah Al-Hijr Ayat 9

Usaha-Usaha yang dilakukan Kementrian Agama RI

Sebagaimana disebutkan dalam Tafsir Kementerian Agama RI, untuk menjaga kemurnian Al-Quran itu, dilakukan dalam bermacam-macam usaha. Beberapa point disebutkan di dalamnya: pertama, Kementerian Agama RI membentuk “Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran” yang bertugas antara lain meneliti semua mushaf yang akan dicetak sebelum diedarkan ke masyarakat. Tim berada di bawah pengawasan Menteri Agama. Artinya, di bawah LPMQ ini dipastikan bahwa Al-Quran yang akan beredar telah melakukan pengecekan, verifikasi, dan mendapat tanda tashih.

Kedua, pemerintah telah mempunyai naskah Al-Quran yang menjadi standar dalam penerbitan Al-Quran di Indonesia, yang telah disesuaikan dengan Mushaf al-Imām atau Mushaf Ustmani. Tujuan tersebut agar supaya naskah Al-Quran seusai dengan standar dan tidak lagi terdapat perbedaan yang membingungkan bagi para pembacanya.

Ketiga, mengadakan Musabaqah Tilawatil Qur’an setiap tahun yang ditangani dan diurus oleh negara. Pengadaan MTQ tersebut tidak lain untuk meotivasi para pembaca atau pun pendengar untuk selalu membaca, menghayati, dan mengamalkan isi Al-Quran. Sehingga ia menjadi laku-lelampah dalam kehidupan sehari-hari.

Terakhir, keempat, usaha-usaha lain yang dilakukan oleh masyarakat muslim, seperti membentuk lembaga pendidikan, kajian, dan tahfiz Al-Quran. Tujuannya adalah untuk mencetak para generasi yang, tidak hanya hafal, tapi juga dapat meneruskan perjuang para ulama dalam menyebarkan luaskan nila-nilai yang terkadung dalam Al-Quran.

Demikianlah usaha sejak zaman Nabi Muhammad saw dan kaum Muslimin memelihara dan menjaga Al-Quran dari segala macam campur tangan manusia, sehingga Al-Quran yang ada pada tangan kaum Muslimin pada masa kini, persis sama dengan Al-Quran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Ini merupakan bukti dari jaminan Allah yang akan tetap memelihara Al-Quran untuk selamanya.

Terakhir, semoga kita digolongkan orang-orang yang hamilul Qur’an, melalui apa yang dijanjikan oleh baginda Nabi yakni belajar dan mengajarkan Al-Quran, sehingga menjadi sebaik-baik diantara kalian. Allahumarhamna bil Qur’an. Wallahu’alam bish-Showab.