Beranda blog Halaman 195

Tafsir Surah Ghafir Ayat 43-45

0
Tafsir Surah Ghafir
Tafsir Surah Ghafir

Tafsir Surah Ghafir Ayat 43-45 melanjutkan tafsir sebelumnya tentang seruan dari orang yang beriman kepada kaumnya yang masih mengingkari kebenaran.

Pada tafsir ini, orang beriman kembali mengulang dakwahnya, mereka berbicara perihal keesaan Allah dan kekeliruan mereka yang masih menyembah selain-Nya.

Mereka juga memperingatkan tentang azab Allah yang pedih dan adanya hari akhirat. Bahwa, kelak di hari akhirat, kebenaran ucapan mereka akan terbukti. Maka, jangankan bertaubat, menyesal pun sudah tidak akan beguna lagi, semua manusia akan dipertanggung jawabkan seadil-adilnya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah GhafirAyat 38-42


Ayat 43

Ayat ini masih melanjutkan perkataan dari orang beriman di atas. Dia mengatakan, “Sebenarnya kamu telah menyeruku menyembah berhala-berhala, yang tidak mendengar seruan orang-orang yang menyerunya, dan tidak dapat memberi pertolongan baik di dunia maupun di akhirat, karena ia tidak dapat memberikan sesuatu mudarat dan tidak pula sesuatu manfaat kepada siapa pun.”

Firman Allah:

اِنْ تَدْعُوْهُمْ لَا يَسْمَعُوْا دُعَاۤءَكُمْۚ وَلَوْ سَمِعُوْا مَا اسْتَجَابُوْا لَكُمْۗ وَيَوْمَ الْقِيٰمَةِ يَكْفُرُوْنَ بِشِرْكِكُمْۗ وَلَا يُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبِيْرٍ

Jika kamu menyeru mereka, mereka tidak mendengar seruanmu, dan sekiranya mereka mendengar, mereka juga tidak memperkenankan permintaanmu. Dan pada hari Kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberikan keterangan kepadamu seperti yang diberikan oleh (Allah) Yang Mahateliti. (Fathir/35: 14).

Dan firman Allah:

وَمَنْ اَضَلُّ مِمَّنْ يَّدْعُوْا مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ مَنْ لَّا يَسْتَجِيْبُ لَهٗٓ اِلٰى يَوْمِ الْقِيٰمَةِ وَهُمْ عَنْ دُعَاۤىِٕهِمْ غٰفِلُوْنَ

Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang-orang yang menyembah selain Allah (sembahan) yang tidak dapat memperkenankan (doa)nya sampai hari Kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) doa mereka? (al-Ahqaf/46: 5).

Orang beriman itu melanjutkan perkataannya, “Ketahuilah kaumku, bahwa kita semua adalah milik Allah dan kepada-Nya pula kita kembali setelah mati dan dibangkitkan kembali. Waktu itu pula Dia memberi balasan kepada kita, sesuai dengan perbuatan dan amal kita masing-masing. Orang-orang yang kafir dan melampaui batas akan menjadi penghuni neraka.”


Baca Juga : Tafsir Surah Hud Ayat 27: Konflik Sosial di Balik Pendustaan Dakwah Nabi Nuh


Ayat 44

Kemudian orang-orang yang beriman itu mengakhiri nasihatnya kepada kaumnya dengan mengatakan, “Wahai kaumku, di akhirat kelak kamu sekalian akan mengetahui kebenaran yang aku sampaikan kepadamu baik berupa perintah-perintah Allah maupun berupa larangan-larangan-Nya. Waktu itu kamu akan menyesal, tetapi pada waktu itu penyesalan tiada berguna lagi.”

“Aku bertawakal kepada Tuhanku dan aku menyerahkan kepada-Nya segala urusanku dan aku mohon pertolongan kepada-Nya, agar aku terpelihara dari segala macam kejahatan yang mungkin aku lakukan dan dari segala bencana yang mungkin menimpaku.”

Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui keadaan hamba-hamba-Nya. Dia memberi petunjuk hamba-hamba-Nya yang pantas diberi petunjuk dan menyesatkan hamba-hamba-Nya yang menginginkan kesesatan itu dengan mengerjakan perbuatan-perbuatan terlarang dan tidak mengerjakan perintah-perintah yang harus mereka laksanakan.

Ayat 45

Ayat ini menerangkan bahwa Allah menolong hamba-Nya yang beriman dan menghancurkan musuh-musuh mereka dengan menyatakan bahwa Dia memelihara orang-orang yang beriman itu dari segala usaha tipu daya dan penganiayaan yang dilakukan oleh Fir’aun dan para pengikutnya dengan menyelamatkan mereka beserta Musa.

Sedangkan Fir’aun beserta para pengikutnya ditenggelamkan di Laut Merah. Di akhirat nanti mereka akan ditimpa azab yang pedih.

Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas, “Tatkala mengetahui keimanan orang itu, maka Fir’aun bermaksud hendak membunuhnya. Oleh karena itu, dia lari menyelamatkan diri.”

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Ghafir 46-48


Tafsir Surah Ghafir Ayat 38-42

0
Tafsir Surah Ghafir
Tafsir Surah Ghafir

Secara umum Tafsir Surah Ghafir Ayat 38-42 mengisahkan perjuangan pengikut Musa dalam menyerukan kebenaran, dengan gigih mereka saling mengingatkan satu sama lain untuk mengimani Allah sebagai Tuhan Yang Esa, mereka menyadari bahwa tidak ada Tuhan yang patut disembah melainkan diri-Nya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah GhafirAyat 34-37


Ayat 38

Sekalipun kaum Fir’aun menentangnya, namun orang yang beriman kepada Musa itu tetap menyeru kaumnya agar mengikuti Nabi Musa. Ia berkata, “Wahai kaumku, jika kamu mengikuti seruanku dan kamu memercayai apa yang telah aku sampaikan, berarti kamu mengikuti jalan yang lurus yang menuju kepada kebahagiaan hidup abadi di akhirat nanti dan berarti pula kamu telah memeluk agama Allah yang disampaikan oleh Musa.

Ayat ini memberikan petunjuk kepada orang-orang yang beriman agar selalu menyampaikan agama Allah kepada manusia dan mengajak mereka ke jalan yang lurus dengan cara yang baik, sekalipun orang-orang kafir mengingkarinya.

Hal ini termasuk salah satu tugas yang dipikulkan Allah kepada setiap orang yang beriman. Mereka hendaklah tabah dan sabar melakukan dakwah itu seperti yang telah dilakukan oleh orang yang beriman yang mengikuti seruan Musa.

Ayat 39

Pada ayat ini diterangkan bahwa orang yang beriman kepada Musa berkata kepada kaumnya, “Wahai kaumku, kehidupan dunia ini adalah kehidupan yang fana, di mana kesenangan serta kebahagiaan yang diperoleh di dalamnya adalah kesenangan dan kebahagiaan yang tidak sempurna serta tidak kekal.

Adapun kehidupan akhirat adalah kehidupan yang kekal, kesenangan dan kebahagiaan yang diperoleh adalah kesenangan dan kebahagiaan yang sempurna. Oleh karena itu, janganlah sekali-kali kamu mengingkari Allah dalam kehidupan dunia ini agar kamu terhindar dari siksa-Nya di akhirat nanti.”

Ayat 40

Orang yang beriman itu menerangkan kepada kaumnya bagaimana besar pengaruh kehidupan dunia seseorang kepada kehidupan akhiratnya. Ia berkata kepada kaumnya;

“Wahai kaumku, barang siapa yang mengerjakan suatu kejahatan baik laki-laki maupun perempuan, maka ia hanya diazab sesuai dengan kejahatan yang dilakukannya. Akan tetapi, barang siapa yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mengikuti perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya, maka ia akan dimasukkan ke dalam surga yang penuh kenikmatan. Allah membalas iman dan amal saleh mereka dengan pahala yang berlipat ganda dan rezeki yang tiada terhingga.”


Baca Juga : Anjuran Menolak Kejahatan dengan Cara Terbaik dalam Surah Fussilat Ayat 34


Ayat ini menggambarkan keadilan Allah yang sesungguhnya serta sifat Maha Pengasih dan Maha Penyayang-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Dia tidak menganiaya hamba-Nya sedikit pun.

Jika Dia mengazab hamba-Nya di akhirat nanti, maka azab yang diberikan itu seimbang dengan perbuatan jahat dan ingkar yang telah dilakukannya selama hidup di dunia, tidak dilebihkan sedikit pun. Akan tetapi, jika Dia membalas iman dan amal saleh hamba-Nya, maka Dia membalasnya dengan pahala yang berlipat ganda.

Ayat 41

Orang yang beriman kepada Musa itu mengulangi lagi seruannya kepada kaumnya dengan mengatakan, “Wahai kaumku, aku merasa heran dengan sikap dan tindakan kamu sekalian.

Aku menyeru kamu mengikuti jalan keselamatan, menghindarkan kamu dari siksa neraka, dan membawamu ke dalam surga dengan beriman kepada Allah dan mengerjakan amal yang saleh, sedangkan kamu menyeruku ke jalan kesengsaraan yang mengantarkan ke dalam neraka.”

Ayat 42

Selanjutnya orang mukmin itu menyatakan, “Kamu sekalian menyeru dan mengajakku mengingkari Allah dan mempersekutukan-Nya dengan sesuatu yang tidak mempunyai alasan yang benar dan tidak ada bukti-bukti yang dapat diyakini kebenarannya, yang menyatakan bahwa menyekutukan Tuhan itu adalah kepercayaan yang benar.

Sedangkan aku menyeru dan mengajakmu agar kamu sekalian mengesakan Allah, tidak ada Tuhan yang lain selain Dia. Yang Mahakuasa lagi Mahaperkasa, dengan bukti-bukti yang nyata. Dialah Yang Mahaperkasa lagi Maha Pengampun dosa-dosa hamba-Nya.”

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Ghafir 43-45


Bahasa Al-Quran dan Pesan Keterbukaan Islam Terhadap Perbedaan

0
Bahasa Al-Quran dan Pesan Keterbukaan Islam Terhadap Perbedaan
Bahasa Al-Quran dan Pesan Keterbukaan Islam Terhadap Perbedaan

Sebagian umat Islam di Indonesia tengah gandrung dengan bahasa Arab. Lebih suka menggunakan kata “ana” untuk menyebut diri mereka. Menyebut orang lain yang diajak bicara dengan sebutan “antum“. Menyebut kawan laki-laki dan teman perempuan dengan “ikhwan” dan “akhawat“. Bahkan mengatakan “syukron” dan “afwan” untuk berterima kasih dan meminta maaf.

Muncul mitos baru di kalangan masyarakat awam. Orang yang sering menggunakan potongan-potongan kecil bahasa Arab tersebut dianggap lebih islami. Lebih dekat dengan kesempurnaan ajaran Islam. “Tidak ada salahnya kan mulai membiasakan diri menggunakan bahasa al-Quran mulai dari persoalan yang remeh?” Begitu dalih mereka. Bahasa Arab sepenuhnya dianggap bahasa al-Quran yang suci. Sebab al-Quran menjadi representasi langsung dari kalam ilahi.

Seperti itulah pandangan tentang bahasa Arab sebagai bahasa al-Quran ketika ditinjau dari sudut pandang keagamaan yang dimaknai secara normatif. Namun jika bahasa al-Quran tersebut dikaji menggunakan ilmu-ilmu sosial, maka akan menghasilkan perspektif lain yang jauh berbeda dari sebelumnya. Al-Quran tidak hanya terdiri dari bahasa Arab saja, di dalamnya terdapat keragaman bahasa. Merepresentasikan sifat keterbukaan al-Quran.

Bahasa tutur atau tulis menjadi salah satu media yang paling mudah dalam memahami atau mengungkapkan simbol kepada yang lainnya. Manusia sebagai makhluk simbolik, mempunyai jenis bahasa tersendiri dalam mengutarakan sebuah gagasan dan perasaan dalam pikirannya.

Kelompok yang tergabung di militer pasti mempunyai simbol tersendiri dalam menyampaikan pesan antar sesama. Sebab, bahasa dipresentasikan berbeda oleh pemakainya. Bahasa berupa rangkaian simbol-simbol penunjuk makna yang telah disepakati masyarakat.

Namun, ketika suatu masyarakat hidup berdampingan dengan bangsa lain secara tidak langsung akan mempengaruhi aspek kebudayaan satu sama lain, termasuk dalam aspek bahasa. Proses penyerapan kata dalam bahasa menjadi lazim dan umum. Demikian juga bangsa Arab, yang terkenal sejak dulu sering melakukan niaga ke negara lain. Tentunya, hal ini menjadi trigger paling utama dalam penyerapan bahasa.

Proses penyerapan bahasa asing ke dalam bahasa Arab sudah terjadi sejak lama. Hubungan bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lainnya seperti Persi, Yunani, Qibthi, dan Romawi di berbagai aspek kehidupan, membuat penyerapan bahasa menjadi sebuah keniscayaan. Sehingga, tidak mengherankan kalau di dalam al-Quran terdapat kosa kata yang berasal dari bahasa non Arab.

Baca juga: Kompleksitas Bahasa Arab Sebagai Bahasa Al-Quran

Kosa kata asing dalam al-Quran

Dalam kitab al-Muhadzdzab Fima Waqa‘a Min alMu’arab, Imam Suyuthi menghimpun kosa kata asing dalam al-Quran. Kosa kata itu berjumlah 125 kata. Sedangkan Muhammad Ali Balasi menyebutkan ada 160 kosa kata asing. Memang jumlah kosa kata ini tidak begitu banyak jika bandingkan dengan jumlah keseluruhan kata dalam al-Quran. Tetapi, keberadaan kosa kata asing menjadi bagian realitas al-Quran.

Dalam pandangan Heidegger, realitas mengungkapkan diri pada kesadaran manusia. Di mana manusia menangkap realitas itu sendiri tidak lepas dari hubungan manusia dengan realitas sekitarnya. Sehingga, pengungkapan diri realitas tidak bergantung pada ruang kosong, melainkan pada kesadaran manusia dan apa yang melatarbelakanginya, termasuk memahami realitas bahasa asing dalam al-Quran.

Sebagian ulama melihat bahwa keberadaan bahasa asing di dalam al-Quran berkontradiktif dengan ayat Tuhan (QS. Yusuf: 2 dan Ibrahim: 4). Mereka menilai adanya bahasa asing menjadi penanda kelemahan kalam Tuhan serta akan menciderai kemukjizatannya.

Sedangkan ulama lain menilai kekayaan bahasa al-Quran mengandung banyak hikmah. Keberadaan bahasa-bahasa tersebut menjadi tanda kemajemukan masyarakat pada waktu itu. Keragaman bahasa ini juga menandakan sifat keterbukaan al-Quran. Perbedaan dalam mengungkapkan realitas kata asing berdasarkan penghayatan terhadap hubungan triadik antara penanda, petanda, dan tanda dalam memahami realitas tersebut: kosa kata asing dalam al-Quran.

Baca juga: Bahasa Al-Quran dan Perdebatan Ulama’ Tentang Kosa Kata Non Arab

Pesan keterbukaan Islam terhadap perbedaan

Bahasa menunjukkan karakter bangsa. Pepatah lama ini menggambarkan bahwa bahasa bukan semata menjadi alat komunikasi. Melainkan pula mencerminkan karakter penuturnya. Dalam kajian sosiolinguistik, bahasa memang tidak bisa dilepaskan dari kultur sosial masyarakatnya. Al-Quran sebagai pedoman umat Islam yang memiliki beragam bahasa di dalamnya, menjadi petanda sifat keterbukaan al-Quran. Hal itu seyogiyanya mendorong umat Islam agar menunjukkan karakter yang inklusif dan mudah menerima segala perbedaan.

Sejarah mencatat ketika Nabi Muhammad berada di Madinah, penduduk di sana tidak hanya orang Islam, terdapat pula beragam aliran kepercayaan dan suku-suku lainnya. Untuk mengakomodir hak-hak pengikut agama lain, Nabi Muhammad membuat Piagam Madinah sebagai undang-undang negara yang ditaati bersama. Piagama Madinah menjadi representasi dari sifat keterbukaan Islam terhadap agama dan kepercayaan lainnya.

Keterbukaan Islam tersebut secara kontras menjadi tertutup jika melihat realitas kehidupan umat Islam Indonesia saat ini. Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir, sebagian kelompok Islam Indonesia menampakkan wajahnya yang ekslusif. Tertutup terhadap keberagaman, apalagi yang berkaitan dengan perbedaan agama.

Perilaku intoleran dan diskriminaif ini sangat menciderai kultur bangsa ini, yang dibangun di atas keberagaman serta kemajemukan masyarakatnya. Islam sebagai agama mayoritas harus mampu menjadi pengayom bagi kelompok-kelompok minoritas lainya. Jangan sampai perilaku intoleran dan diskriminatif terus berkembang di negara ini, sebab hal itu bisa merusak persatuan dan keutuhan NKRI.

Maka sudah seyogiyanya elit agama melepas ego dalam beragama. Setidaknya mereka mau sedikit membaca kembali (tanda) keberagamaan bahasa al-Quran. Sehingga pemuka agama bisa memperlihatkan dan mencontohkan sikap terbuka dan inklusif. Agama tidak lagi dikonteskan dalam aspek siapa yang benar dan salah, melainkan agama adalah jalan damai bagi semua pemeluknya.

Baca juga: Makna Kebebasan Beragama dan Toleransi dalam Al-Quran

Tafsir Surah Ghafir Ayat 34-37

0
Tafsir Surah Ghafir
Tafsir Surah Ghafir

Tafsir Surah Ghafir Ayat 34-37 menerangkan bahwa sejak dulu (sebelum Musa) keingkaran sudah pernah dilakukan oleh kaum-kaum sebelumnya, mereka menentang seruan para Rasul, serta menolak ketauhidan Allah Swt. Maka, tak heran pada saat Musa diutus, hal demikian kembali terulang, khususnya oleh Fir’aun dan kaumnya Bani Israil.

Tafsir Surah Ghafir Ayat 34-37 juga mengisahkan bagaimana perjuangan pemuda yang beriman dalam mendakwahkan ketauhidan Allah kepada Fir’aun, namun hal itu gagal, karna keangkuhan dan kesombongan Fir’aun yang sudah terlampau besar, dan hatinya yang berselimut gelap dari kebenaran.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah GhafirAyat 30-33


Ayat 34

Orang itu selanjutnya menyatakan bahwa dulu sebelum Nabi Musa, Allah telah mengutus Nabi Yusuf kepada rakyat Mesir. Nabi Yusuf telah mengajak mereka beriman dan memberikan bukti-bukti kerasulannya yaitu ajaran-ajaran tentang iman kepada Allah dan berbuat baik, serta mukjizat-mukjizat yang diberikan Allah kepadanya.

Akan tetapi, mereka tetap tidak mau percaya kepadanya. Mereka hanya mematuhinya sebagai seorang menteri atau pembesar negara. Hal itu menunjukkan bahwa mereka lebih terpengaruh oleh kebesaran jabatan duniawi daripada jabatan seorang rasul, dan karena itulah mereka lebih menyukai Fir’aun yang kejam daripada Nabi Musa yang membawa kebenaran.

Setelah Nabi Yusuf meninggal, mereka menyatakan bahwa setelah dia tidak akan ada lagi seorang rasul pun. Itu mereka katakan karena tidak ingin ada lagi seorang rasul yang mengajak mereka kepada kebenaran.

Ternyata rasul itu ada yaitu Nabi Musa dan karena itulah mereka membangkang kepadanya dan menjadi orang-orang yang sesat. Dengan demikian, kesesatan mereka itu adalah karena ketamakan mereka terhadap kemegahan duniawi, sebagaimana dilakukan Fir’aun.

Kesesatan mereka itu juga disebabkan oleh sifat mereka yang selalu meragukan kebenaran, padahal yang disampaikan kepada mereka adalah wahyu Allah yang pasti benar.


Baca Juga : Tafsir La Raiba Fih: Tiga Bantahan Terhadap Orang yang Meragukan Al-Qur’an


Ayat 35

Kemudian Allah menjelaskan bagaimana tindakan orang-orang yang bersifat tamak dan selalu meragukan kebenaran wahyu itu. Mereka itu selalu menolak kebenaran ayat-ayat Allah yang disampaikan kepada mereka.

Mereka juga selalu mempermasalahkan bukti-bukti yang disampaikan mengenai kebenaran wahyu itu. Akan tetapi, penolakan mereka itu tidak memiliki kekuatan apa pun. Kepercayaan mereka hanya berdasar tradisi nenek moyang mereka, dan itu hanyalah kepatuhan membabi buta tanpa dipikirkan.

Kepatuhan seperti ini tidak dibenarkan karena Allah memberi manusia pendengaran, penglihatan, dan akal pikiran.

Oleh karena itu, orang yang menolak kebenaran wahyu dan lebih percaya pada tradisi nenek moyang itu tidak tahu lagi mana yang benar dan mana yang salah. Dengan demikian, mereka sangat dibenci Allah dan orang-orang yang beriman.

Selanjutnya Allah menerangkan hukum-hukum-Nya bagi orang yang menutup hatinya untuk menerima kebenaran wahyu, yaitu bahwa Ia akan menutup hati mereka.

Hati yang tertutup terjadi karena mereka selalu menolak kebenaran wahyu dan mempermasalahkannya. Penolakan yang terus-menerus akan membawa kepada kesombongan.

Selalu mempermasalahkan kebenaran akan membawa kepada kesewenang-wenangan. Karena sombong dan sewenang-wenang itu, maka mereka akan selalu menolak dan menentang kebenaran. Akhirnya hati mereka tertutup dengan sendirinya. Demikian hukum yang ditentukan Allah bagi tertutupnya hati manusia.

Ayat 36-37

Fir’aun tetap tidak menerima nasihat salah seorang keluarganya itu. Ia tetap membangkang dan tidak mau menerima dakwah Nabi Musa. Oleh karena itu, ia ingin mengejek Nabi Musa. Ia memerintahkan Haman, perdana menterinya, untuk membangun sebuah istana besar dan megah yang menjulang ke angkasa.

Dalam ayat lain diinformasikan bahwa istana itu dibangun dari batu bata yang dibuat dari tanah liat yang dibakar:

وَقَالَ فِرْعَوْنُ يٰٓاَيُّهَا الْمَلَاُ مَا عَلِمْتُ لَكُمْ مِّنْ اِلٰهٍ غَيْرِيْۚ فَاَوْقِدْ لِيْ يٰهَامٰنُ عَلَى الطِّيْنِ فَاجْعَلْ لِّيْ صَرْحًا لَّعَلِّيْٓ اَطَّلِعُ اِلٰٓى اِلٰهِ مُوْسٰىۙ وَاِنِّيْ لَاَظُنُّهٗ مِنَ الْكٰذِبِيْنَ

Dan Fir’aun berkata, “Wahai para pembesar kaumku! Aku tidak mengetahui ada Tuhan bagimu selain aku. Maka bakarkanlah tanah liat untukku wahai Haman (untuk membuat batu bata), kemudian buatkanlah bangunan yang tinggi untukku agar aku dapat naik melihat Tuhannya Musa, dan aku yakin bahwa dia termasuk pendusta.” (al-Qa¡a¡/28: 38).

Maksud pembuatan bangunan besar, megah, dan menjulang ke angkasa itu adalah sebagai tempat atau tangga untuk mengintai atau menyaksikan adanya Tuhan Nabi Musa. Ia menyatakan bahwa Nabi Musa sebenarnya seorang pembohong karena ia yakin tidak ada Tuhan di langit.

Maksud ucapannya itu adalah untuk mengelabui rakyatnya, bahwa memang tidak ada Tuhan di langit sebagaimana yang dikatakan Nabi Musa tersebut. Dengan demikian, ia menginginkan agar rakyatnya tidak percaya kepada Nabi Musa dan tetap mengikutinya.

Fir’aun bertindak demikian karena ia dikuasai oleh ambisinya untuk mengalahkan Nabi Musa. Ia juga dikuasai oleh nafsu agar rakyatnya tidak menemukan kebenaran yang disampaikan Nabi Musa. Ia ingin agar rakyatnya tetap mematuhinya, dan untuk itu ia berbuat segala cara, dari memutarbalikkan kebenaran sampai mengejek.

Ambisi dan nafsu itulah yang banyak menjerumuskan manusia, sebagaimana dilukiskan syair Arab berikut:

وَالنَّفْسُ كَالطِّفْلِ إِنْ تُهْمِلْهُ شَبَّ عَلٰى

حُبِّ الرَّضَاعِ وَإِنْ تَفْطِمْهُ يَنْفَطِمِ

Nafsu itu bagaikan bayi, jika kau biarkan, ia akan dewasa dengan terus-menerus ingin menyusu,

tapi bila kau sapih, ia akan tersapih sendirinya.

Kemudian ayat ini ditutup dengan suatu penegasan bahwa tipu muslihat Fir’aun untuk mengalahkan Nabi Musa dan mematikan agama tauhid yang ia bawa gagal dan membawa kerugian besar. Gagal karena dakwah Nabi Musa tetap tidak dapat dibendungnya. Rugi karena biaya yang dikeluarkannya tidak sedikit, sedangkan hasilnya tidak ada.

Hal itu karena Allah selalu membinasakan kebatilan yang dikerjakan manusia dan menghancurkan akibat yang ditinggalkan perbuatan batil itu, sebagaimana difirmankan-Nya:

اِنَّ هٰٓؤُلَاۤءِ مُتَبَّرٌ مَّا هُمْ فِيْهِ وَبٰطِلٌ مَّا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

Sesungguhnya mereka akan dihancurkan (oleh kepercayaan) yang dianutnya dan akan sia-sia apa yang telah mereka kerjakan. (al-A’raf/7: 139)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Ghafir 38-42


Tafsir Surah Ghafir Ayat 30-33

0
Tafsir Surah Ghafir
Tafsir Surah Ghafir

Tafsir Surah Ghafir Ayat 30-33 merangkan bahwa pemuda yang beriman itu juga turut andil dalam menebarkan dakwah Musa kepada kaumnya. Ia memperingati akan adanya azab jika mereka tidak beriman kepada Allah, sebagaimana yang pernah dialami umat-umat terdahulu.

Tafsir Surah Ghafir Ayat 30-33 juga sedikit menerangkan tentang yaum at-tanad, beberapa mufassir pun berbeda dalam menafsirkan maknanya. Simak penjelasan berikut.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah GhafirAyat 27-29


Ayat 30-31

Laki-laki beriman dari keluarga Fir’aun itu menyampaikan kepada kaumnya bahwa ia khawatir sekali bila mereka tidak mau beriman dan sebaliknya mengikuti perintah Fir’aun.

Mereka akan mengalami nasib yang sama seperti yang telah menimpa umat-umat terdahulu. Umat-umat itu menentang dan mendustakan para rasul yang diutus Allah, seperti umat Nabi Nuh, Kaum ‘Ad, Samud, dan umat-umat setelahnya.

Mereka semua telah dimusnahkan Allah dengan berbagai bencana sebagai azab, dan tidak ada seorang pun yang dapat menangkis atau menyelamatkan diri. Itulah yang dimaksud yaumul ahzab dalam ayat ini.

Demikianlah hukuman Allah bagi mereka yang kafir di dunia. Allah tidak bertindak aniaya dengan pemusnahan itu, tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri dengan melakukan tindakan-tindakan yang mengakibatkan murka-Nya.

Allah baru menjatuhkan hukuman bila rasul telah menyampaikan dakwahnya dengan sempurna, dan mereka tidak dapat diperbaiki lagi setelah dinasihati berkali-kali. Peristiwa itu hendaknya dijadikan pelajaran oleh rakyatnya.

Orang itu berharap nasihatnya diterima oleh kaumnya dan mereka beriman kepada Nabi Musa, tidak membangkang apalagi membunuhnya


Baca Juga : Ibrah Kisah Nabi Adam Memakan Buah dan Bencana dari Kerusakan Alam


Ayat 32-33

Setelah laki-laki beriman itu memperingatkan kaumnya mengenai siksaan di dunia, ia melanjutkan peringatannya tentang dahsyatnya peristiwa hari Kiamat dan siksaan di akhirat.

Pada waktu kiamat terjadi, bumi ini bergoncang hebat sehingga manusia berlarian ke sana ke mari sambil berteriak-teriak meminta tolong. Akan tetapi, siapakah yang akan menolong pada waktu itu karena setiap manusia mengalami peristiwa yang sama dan dirisaukan oleh nasib masing-masing.

Mengenai yaum at-tanad itu (hari panggil-memanggil), terdapat beberapa pendapat ulama:

  1. Hari Kiamat, dinamakan demikian karena manusia pada waktu itu berteriak meminta bantuan orang lain sambil berlarian ke sana ke mari menyaksikan bumi bergoncang dan terbelah-belah dengan dahsyatnya.
  2. Hari ketika orang-orang kafir di akhirat dihadapkan kepada neraka Jahanam, lalu mereka gempar berlarian ke sana sini untuk menghindarkan diri, tetapi malaikat mencegat dan menghalau mereka kembali ke Padang Mahsyar itu untuk dijebloskan ke dalam neraka.
  3. Hari ketika malaikat menimbang amal manusia. Bila seseorang ternyata berat timbangan amal kebaikannya, orang itu dan orang-orang yang menyaksikannya bersorak-sorak kegirangan menyatakan dengan suara keras bahwa si Fulan bernasib baik, dan sebagainya.

Begitu pula ketika seseorang menerima timbangan kebaikannya lebih ringan dari dosanya, ia pun meratap dengan sedihnya, diikuti oleh orang-orang lainnya.

  1. Panggil-memangggil antara penghuni surga dan penghuni neraka tentang apa yang diperoleh masing-masing. Penghuni surga ketika ditanya penghuni neraka apakah sudah memperoleh apa yang dijanjikan Allah kepada mereka, mereka menjawab dengan mantap bahwa apa yang dijanjikan itu telah mereka nikmati.

Di sisi lain, penghuni neraka ketika ditanya hal serupa oleh penghuni surga juga menjawab dengan ucapan yang sama, tetapi dengan suara yang getir, yang menunjukkan bahwa yang mereka peroleh adalah kesengsaraan.;Pada hari Mahsyar, yaitu hari pengadilan Allah, orang-orang kafir telah melihat adanya neraka Jahanam.

Oleh karena itu, mereka berlarian ingin menghindar, tetapi para malaikat mencegat dan mengembalikan mereka lagi ke Padang Mahsyar. Pada waktu itu, tidak ada yang bisa menolong orang lain. Jangankan menolong orang lain, menolong dirinya sendiri saja belum tentu mampu.

Laki-laki beriman itu memperingatkan kaumnya bahwa ia khawatir sekali peristiwa itu akan menimpa mereka. Bila Fir’aun yang mereka harapkan, maka ia akan diazab di dalam neraka, tidak akan bisa menolong dirinya, apalagi menolong orang lain pengikut-pengikutnya itu.

Laki-laki beriman itu meminta rakyatnya beriman. Ia khawatir sekali bahwa hati mereka akan tertutup bila mereka tidak mau juga menerima kebenaran. Bila hati sudah tertutup, siapa pun tidak akan mampu membukanya selain Allah.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Ghafir 34-36


Tafsir Surah Ghafir Ayat 27-29

0
Tafsir Surah Ghafir
Tafsir Surah Ghafir

Tafsir Surah Ghafir Ayat 27-29 masih berbicara tentang dakwah Nabi Musa yang kerap dihalangi oleh Fir’aun. Fir’aun sendiri adalah Raja yang terkenal kejam dan bengis, bahkan pernah mengaku dirinya sebagai tuhan. Karena itulah, ia menentang keras Musa dalam menawarkan ajaran monoteisme.

Tafsir Surah Ghafir Ayat 27-29 juga menceritakan sosok pemuda yang beriman pada masa Fir’aun. Menurut beberapa mufassir, pemuda tersebut berasal dari keluarga Fir’aun sendiri, yang diam-diam beriman kepada Tuhannya Musa.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah GhafirAyat 25-26


Ayat 25

Ketika Nabi Musa memperoleh berita tentang rencana jahat Fir’aun untuk membunuhnya, ia berkata kepada kaumnya bahwa ia berlindung kepada Allah, Tuhannya dan Tuhan mereka juga.

Nabi Musa yakin bahwa Allah pasti akan melindunginya karena ia berada di pihak yang benar, sedangkan Fir’aun adalah orang sombong, jahat, kejam, berbuat semena-mena di Mesir, membunuhi orang-orang yang tidak bersalah, dan mengakui dirinya sebagai tuhan yang harus dipatuhi semua perintahnya.

Tindakan Fir’aun itu dilatarbelakangi ketidakpercayaan kepada adanya hari kemudian, dimana setiap perbuatan sekecil apa pun akan diminta pertanggungjawabannya.

Fir’aun tidak percaya adanya hari kemudian itu sehingga ia tidak percaya bahwa bila bertindak kejam di dunia ini akan dibalas nanti di akhirat.

Demikianlah akibat kekafiran. Manusia akan berlaku semena-mena di alam ini, yang bisa mengakibatkan alam ini hancur.

Ayat 26

Para ulama tafsir meriwayatkan bahwa laki-laki beriman yang disebutkan dalam ayat ini adalah orang Mesir dari keluarga Fir’aun. Namanya tidak jelas, tetapi Ibnu Katsir meriwayatkan dari Ibnu Abi Hatim bahwa ia adalah anak paman Fir’aun yang beriman secara sembunyi-sembunyi kepada Nabi Musa.

Tidak ada di antara keluarga Fir’aun yang beriman selain orang yang disebutkan dalam ayat ini dan istri Fir’aun sendiri bernama Asiah. Laki-laki inilah yang menyampaikan kepada Nabi Musa tentang rencana jahat Fir’aun untuk membunuhnya.

Demikian riwayat dari sumber Ibnu ‘Abbas. Namun, al-Khazin, begitu juga an-Nasafi meriwayatkan dari sumber Ibnu ‘Abbas juga bahwa laki-laki itu bernama Sam’an atau Habib. Ada pula yang menyebutnya Kharbil atau Hazbil. Yang disepakati ulama hanyalah bahwa laki-laki itu adalah anak paman Fir’aun.

Laki-laki beriman itu menasihati Fir’aun dengan penuh kebijaksanaan, “Patutkah membunuh seseorang yang menyatakan dirinya beriman kepada Allah, sedangkan ia telah menyampaikan alasan-alasan dan bukti-bukti nyata tentang yang diimaninya.”

Ia melanjutkan bahwa seandainya Nabi Musa berbohong, maka konsekuensi kebohongannya itu akan dipikul olehnya sendiri. Akan tetapi, bila Nabi Musa benar, sedangkan ia telah disiksa atau dibunuh, maka sebagian yang diancamkan kepada orang yang menyiksa atau membunuh itu akan diterima di dunia ini juga, dan di akhirat ia akan masuk neraka.

Ia kemudian menegaskan bahwa Allah tidak akan memberi petunjuk orang yang berbuat semena-semena dan berdusta. Artinya, Nabi Musa beriman dan membawa bukti-bukti imannya, sedangkan yang semena-mena dan dusta adalah Fir’aun.

Oleh karena itu, yang tidak akan memperoleh petunjuk adalah Fir’aun. Tidak memperoleh petunjuk berarti akan sengsara di dunia dan di akhirat akan masuk neraka. Dengan demikian yang akan sengsara di dunia dan masuk neraka di akhirat adalah Fir’aun.


Baca Juga : Tafsir Ali Imran Ayat 137: Anjuran Tapak Tilas Kisah Umat-Umat Terdahulu


Ayat 29

Selanjutnya laki-laki beriman itu menasihati kaumnya, rakyat Mesir bahwa mereka telah diberi nikmat yang besar oleh Allah. Mesir merupakan kerajaan besar yang disegani dan berpengaruh.

Oleh karena itu, nikmat itu harus dipelihara dengan beriman kepada Allah, dan bila mereka juga kafir, maka dikhawatirkan kebesaran itu akan runtuh dan mereka akan menderita. “Siapakah yang akan menolong kita bila bencana itu datang?” katanya.

Demikianlah nasihat laki-laki beriman itu kepada Fir’aun dan kaumnya. Tetapi nasihat itu tidak diterima Fir’aun. Ia menyatakan bahwa apa yang dikatakannya itulah yang harus diterima dan dilaksanakan, dan apa yang disampaikan dan diperintahkannya itulah yang baik dan benar.

Dengan demikian, Fir’aun memaksakan kehendaknya dan lagi-lagi bertindak sewenang-wenang.

Jawaban Fir’aun itu sesungguhnya tidak benar, karena dalam hati sanubarinya, sebenarnya ia membenarkan apa yang disampaikan Nabi Musa. Ucapannya itu sesungguhnya hanya didorong oleh kezaliman dan kesombongannya sebagaimana dinyatakan ayat berikut:

وَجَحَدُوْا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَآ اَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا وَّعُلُوًّا

Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongannya, padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. (an-Naml/27: 14);Apa yang dikatakan Fir’aun bahwa yang diperintahkannya kepada kaumnya adalah baik, sehingga Nabi Musa harus tetap dibunuh, juga jauh dari kebenaran.

Hal itu karena tidaklah benar dengan membunuh seseorang persoalan akan selesai, apalagi yang dibunuh itu seorang rasul Allah. Tindakan itu justru sesat dan menyesatkan, sebagaimana dinyatakan ayat berikut:

وَاَضَلَّ فِرْعَوْنُ قَوْمَهٗ وَمَا هَدٰى

Dan Fir’aun telah menyesatkan kaumnya dan tidak memberi petunjuk. (Taha/20: 79).

Namun demikian, para pengikut Fir’aun menerima dan mematuhi perintahnya sekalipun salah, sebagaimana diungkapkan ayat berikut:

اِلٰى فِرْعَوْنَ وَملَا۟ىِٕهٖ فَاتَّبَعُوْٓا اَمْرَ فِرْعَوْنَ ۚوَمَآ اَمْرُ فِرْعَوْنَ بِرَشِيْدٍ

Kepada Fir’aun dan para pemuka kaumnya, tetapi mereka mengikuti perintah Fir’aun, padahal perintah Fir’aun bukanlah (perintah) yang benar. (Hud/11: 97).

Tindakan Fir’aun membohongi rakyatnya dan memaksa mereka meng-ikuti perintahnya, serta menghasut mereka untuk mendustai rasul Allah, menjadi pelajaran bagi para pemimpin.

Pemimpin yang ingin menghalangi dan menjauhkan masyarakat dari ajaran-ajaran agama mereka boleh jadi akan mengalami nasib yang sama dengan Fir’aun. Dalam hal ini Rasulullah memberi nasihat:

مَا مِنْ إِمَامِ يَمُوْتُ وَهُوَ غَاشٍ لِرَعِيَّتِهِ إِلاَّ لَمْ يُرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيْحَهَا لَيُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ خَمْسِ مِائَةِ عَامٍ. ((رواه البخاري و مسلم)

Tiadalah mati imam (seorang pemimpin), di mana pada hari kematiannya itu ia telah menipu rakyatnya, melainkan ia tidak akan mencium bau surga. Sesungguhnya keharuman surga itu bisa tercium dari jarak lima ratus tahun perjalanan. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Ghafir 30-33


Dalil Maulid Nabi dalam Al-Quran (1): Surah Yunus Ayat 58

0
Dalil Maulid Nabi dalam Al-Quran (1): Surah Yunus Ayat 58
Dalil Maulid Nabi dalam Al-Quran (1): Surah Yunus Ayat 58

Sekarang kita berada di penghujung bulan Safar, artinya tak lama lagi kita akan menyambut Rabiul Awal, bulan Sayyid Walad Adam, bulan di mana Nabi Muhammad dilahirkan ke alam dunia. Dan di antara permasalahan yang masih dipertentangkan adalah boleh-tidaknya merayakan peringatan lahirnya Nabi Muhammad setiap tanggal 12 Rabiul Awal.

Masyarakat Islam Jawa seringkali menyebut bulan Rabiul Awal ini dengan sebutan Sasi Mulud—yang diambil dari bentuk isim maf’ul walada; maulud. Pada bulan inilah umat muslim dunia merayakan peringatan lahirnya Rasulullah saw dengan gegap gempita selama satu bulan penuh.

Meski demikian, tak sedikit pula di antara umat Islam yang melarang perayaan tersebut dengan dalih bid’ah—tidak dilakukan di masa Nabi dan sahabat. Selain itu, al-Quran juga tidak menyebutkan dalil kebolehan perayaan tersebut. Benarkah demikian?

Dr. Alwi bin Ahmad bin Husain al-Idrus menjawab tuduhan tersebut dengan panjang dalam al-Ihtifal bi al-Maulid al-Nabawi fi Dhau’ Ayat al-Quran al-‘Adhim (2020), lengkap dengan dalil-dalil al-Quran serta penjelasannya, sesuai arti tajuknya “Perayaan Maulid Nabi dalam Ayat-ayat al-Quran al-‘Adhim.”

Menafsirkan al-Quran dengan al-Quran

Sebelum ke inti topik, baiknya kita menyinggung sedikit cara penafsiran al-Quran di kalangan ulama. Telah maklum bahwa cara penafsiran al-Quran paling utama adalah dengan menafsirkan suatu ayat dengan ayat yang lain. Ini sebagaimana yang Syaikh al-Islam Ibn Taymiyah katakan;

“Jika ada seseorang bertanya apa cara terbaik dalam menafsirkan al-Quran? Maka jawabannya adalah menafsirkan suatu ayat dengan ayat al-Quran yang lain. Itulah cara yang sahih untuk menafsirkan suatu ayat. Suatu ayat yang masih mujmal (umum) ditafsiri dengan ayat lain yang lebih terperinci. Jika tidak ditemukan ayat lain yang dapat menafsiri suatu ayat, maka tafsirilah dengan al-sunnah (hadis Nabi), sebab ia adalah penjelas bagi al-Quran.”

Imam Syafii juga mengetengahkan, “Setiap hukum yang diambil Rasulullah itu berasal dari apa yang beliau pahami dari al-Quran.” Hal tersebut diperkuat dengan dua ayat; al-Nisa’ [4]: 105 berikut,

اِنَّآ اَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الْكِتٰبَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَآ اَرٰىكَ اللّٰهُ ۗوَلَا تَكُنْ لِّلْخَاۤىِٕنِيْنَ خَصِيْمًا ۙ

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Nabi Muhammad) dengan hak, agar kamu memutuskan (perkara) di antara manusia dengan apa yang telah Allah ajarkan kepadamu. Janganlah engkau menjadi penentang (orang yang tidak bersalah) karena (membela) para pengkhianat.”

Dan al-Nahl [16]: 44;

بِالْبَيِّنٰتِ وَالزُّبُرِۗ وَاَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ اِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ

“(Kami mengutus mereka) dengan (membawa) bukti-bukti yang jelas (mukjizat) dan kitab-kitab. Kami turunkan aż-Żikr (Al-Qur’an) kepadamu agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan.”

Akan tetapi, menafsirkan suatu ayat al-Quran dengan ayat yang lain itu tidak semudah menyandingkan ayat satu dengan yang lain. Ada banyak perangkat yang mesti dipelajari oleh seseorang untuk menafsirkan ayat dengan tafsiran yang sesuai dan tidak bertentangan dengan ayat lainnya. Di antara perangkat tersebut adalah ulumul quran, ushul fiqh, bahasa, mantiq dan lain sebagainya.

Dan kita semestinya bersyukur karena sudah banyak referensi tafsir al-Quran yang ditulis oleh para ulama seperti kitab al-Ihtifal bi al-Maulid al-Nabawi fi Dhau’ Ayat al-Quran al-‘Adhim (2020) karya Dr. Alwi al-‘Idrus. Dalam kitab ini, setidaknya ada enam ayat al-Quran yang diambil Dr. Alwi al-‘Idrus sebagai dalil perayaan maulid Nabi. Kita akan membacanya satu-persatu sebagai berikut.

Baca juga: Inilah Potret Perayaan Maulid Nabi dalam Al-Quran

Dalil Pertama Maulid Nabi; QS. Yunus [10]: 58

Dalil pertama perayaan maulid adalah QS. Yunus [10]: 58 berikut,

قُلْ بِفَضْلِ اللّٰهِ وَبِرَحْمَتِهٖ فَبِذٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوْاۗ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُوْنَ

“Katakanlah (Nabi Muhammad), “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya itu, hendaklah mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.”

Kata al-rahmah pada ayat tersebut ditafsiri sebagai Nabi Muhammad saw, berdasarkan pada QS. al-Anbiya’ [21]: 107;

وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ

“Kami tidak mengutus engkau (Nabi Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.”

Jalaluddin al-Suyuthi dalam tafsirnya juga menukil riwayat Abu al-Syaikh dari Ibn Abbas, “Fadhal (anugerah) Allah adalah ilmu, dan rahmatNya adalah Muhammad saw, sebagaimana al-Anbiya’ ayat 107.”

Selain itu, Rasulullah sendiri juga menyebut beliau saw sebagai rahmat dalam hadis al-Darimi berikut. Ini sekaligus sebagai cara penafsiran kedua, yaitu ayat al-Quran ditafsirkan dengan hadis-hadis Nabi. Beliau bersabda:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّمَا أَنَا رَحْمَةٌ مُهْدَاةٌ

“Wahai manusia, sesungguhnya aku adalah rahmat yang dihadiahkan.”

Dari penjelasan di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa bahagia atas Nabi Muhammad saw adalah urusan ilahi, sedangkan merayakan maulid nabawi adalah wujud ekspresi kebahagiaan tersebut, dan itu boleh-boleh saja meski tidak dilakukan oleh para pendahulu.

Baca juga: Maulid Nabi Muhammad SAW dan Pengangkatan Martabat Perempuan

Pendapat Para Ulama

Di antara ulama yang yang membolehkan perayaan maulid nabawi adalah Imam Abi Syamah al-Maqdisi, Abu Zar’ah al-‘Iraqi, al-Hafiz Ibn al-Jazari, dan banyak lagi lainnya. Bahkan, Imam Bukhari dalam Sahih-nya meriwayatkan kisah Abu Lahab yang memerdekakan budak di hari kelahiran Nabi Muhammad sebagai ekspresi kebahagiaanya.

Semukabalah dengan hal itu, Al-Hafiz Ibn Hajar al-Haitami dalam Itmam al-Ni’mah al-Kubra ‘ala al-‘Alam menulis, “Jika Abu Laha  b diringankan siksanya di hari Senin sebab bahagia atas kelahiran Nabi Muhammad saw, kemudian sebagai ekspresi kebahagiaannya, ia memerdekakan budaknya, Tsuwaibah, lalu bagaimana dengan seorang muslim yang bahagia atas kelahiran nabinya dengan segala bentuk ekspresi kebahagiaan sesuai kadar kecintaannya? tentu balasan Allah lebih dari itu!”

Wal akhir, senada dengan riwayat di atas, kita dapat menyimak syair gubahan al-Hafiz Syams al-Din Nashir al-Damasyqi berikut,

إِذَا كَانَ هَذَا كَافِر جَاءَ ذَمُّهُ * وَ تَبَّتْ يَدَاهُ فِي الْجَحِيْمِ مُخَلَّدَا

أَتٰي أَنَّهُ فِي يَوْمِ الْإِثْنَيْنِ دَائِمًا * يُخَفَّفُ عَنْهُ لِلسُّرُوْرِ بِأَحْمَدَ

فَمَا الظَّنُّ بِالْعَبْدِ الّذِي طُوْلَ عُمْرِهِ * بِأَحْمَدَ مَسْرُوْرًا وَ مَاتَ مُوَحِّدَا

Jika (Abu Lahab) yang kafir dan di-nash al-Quran masuk neraka selamanya saja diringankan siksanya setiap hari Senin sebab turut bahagia atas kelahiran Ahmad, lalu bagaimana dengan seorang hamba yang seumur hidupnya bahagia atas kelahiran Ahmad dan meninggal dalam keadaan mengesakan Allah?

Nantikan pembahasan berikutnya mengenai dalil maulid Nabi Muhammad dalam al-Quran di website tafsiralquran.id.

Baca juga: Tafsir At-Taubah 128: Potret Cinta Nabi Muhammad Saw pada Umatnya

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 214-215

0
Tafsir Surah Asy-Syu'ara
Tafsir Surah Asy-Syu'ara

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 214-215 berbicara mengenai proses dakwah Nabi Muhammad SAW. Allah memerintahkan Nabi Muhammad agar mendakwahkan risalahnya kepada kerabatnya terlebih dahulu.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 208-213


Ayat 214

Allah memerintahkan Nabi Muhammad agar menyampaikan agama kepada para kerabatnya, dan menyampaikan janji dan ancaman Allah terhadap orang-orang yang mengingkari dan menyekutukan-Nya.

Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, dan perawi lainnya dari Abµ Hurairah bahwa ia berkata, “Tatkala ayat ini turun, Rasulullah lalu memanggil orang-orang Quraisy untuk berkumpul di Bukit Safa.

Di antara mereka ada yang datang sendiri, dan ada yang mengirimkan wakilnya. Setelah berkumpul, lalu Rasulullah berkhutbah, ‘Wahai kaum Quraisy, selamatkanlah dirimu dari api neraka. Sesungguhnya aku tidak mempunyai kesanggupan memberi mudarat dan tidak pula memberi manfaat kepadamu.

Wahai sekalian Bani Ka’ab bin Lu’ai, selamatkanlah dirimu dari api neraka, maka sesungguhnya aku tidak mempunyai kesanggupan memberi mudarat dan tidak pula memberi manfaat kepadamu.

Hai Bani Qusai, selamatkanlah dirimu dari api neraka. Sesungguhnya aku tidak mempunyai kesanggupan memberi mudarat dan tidak pula memberi manfaat kepadamu. Hai Bani Abdul Manaf, selamatkanlah dirimu dari api neraka.

Sesungguhnya aku tidak mempunyai kesanggupan untuk memberi mudarat dan tidak pula memberi manfaat kepadamu, ketahuilah aku hanya dapat menghubungi karibku di dunia ini saja.”

Ayat ini diturunkan pada awal kedatangan Islam, ketika Nabi Muhammad mulai melaksanakan dakwahnya. Beliau mula-mula diperintahkan Allah agar menyeru keluarganya yang terdekat. Setelah itu secara berangsur-angsur menyeru masyarakat sekitarnya, dan akhirnya kepada seluruh manusia.


Baca juga: Pentingnya Mengetahui Ilmu Asbab an-Nuzul dalam Memahami Al-Quran


Ayat 215

Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad agar berlaku ramah dan rendah hati kepada orang-orang yang baru saja beriman dan menerima seruannya, jangan sekali-kali berlaku sombong, agar hati mereka tertarik, rasa kasih sayang sesama mukmin terjalin, dan mereka juga mencintainya.

Dengan demikian, dakwah hendaknya selalu dilakukan dengan rendah hati dan etika yang baik. Allah berfirman:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ

Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal. (Ali ‘Imran/3: 159)


Baca setelahnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 216-220


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 208-213

0
Tafsir Surah Asy-Syu'ara
Tafsir Surah Asy-Syu'ara

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 208-213 berbicara mengenai dua hal. Pertama mengenai diutusnya rasul-rasul bagi umat manusia. kedua mengenai bantahan terahadap tuduhan orang kafir terhadap Nabi Muhammad SAW.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 202-207


Ayat 208-209

Ayat ini menerangkan bahwa Allah tidak akan membinasakan suatu kota atau negeri, kecuali setelah diutus kepada mereka para rasul yang menyampaikan berita gembira, peringatan atau janji, dan ancaman.

Para rasul itu juga menyampaikan pelajaran kepada mereka dan menunjukkan jalan yang lurus menuju kepada keselamatan dan kebahagiaan. Dengan pengutusan para rasul itu, berarti Allah telah menunjukkan rasa kasih sayang kepada para hamba-Nya yang mau mengikuti jalan lurus yang telah dibentangkan.

Orang-orang yang menolak ajaran para rasul itu berarti telah menganiaya diri sendiri dan bersedia menerima azab Allah. Mereka di azab bukan karena Allah zalim terhadap mereka, tetapi karena mereka mengingkari nikmat-nikmat yang telah dilimpahkan-Nya kepada mereka dengan menyembah sesuatu selain-Nya. Allah berfirman:

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِيْنَ حَتّٰى نَبْعَثَ رَسُوْلًا;…

Tetapi Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang rasul. (al-Isra’/17: 15)

Dan firman Allah :

وَمَا كَانَ رَبُّكَ مُهْلِكَ الْقُرٰى حَتّٰى يَبْعَثَ فِيْٓ اُمِّهَا رَسُوْلًا يَّتْلُوْا عَلَيْهِمْ اٰيٰتِنَاۚ وَمَا كُنَّا مُهْلِكِى الْقُرٰىٓ اِلَّا وَاَهْلُهَا ظٰلِمُوْنَ

Dan Tuhanmu tidak akan membinasakan negeri-negeri, sebelum Dia mengutus seorang rasul di ibukotanya yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka; dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan (penduduk) negeri; kecuali penduduknya melakukan kezaliman. (al-Qasas/28: 59).


Baca juga: Beda Qiraat Al-Quran, Beda Pula Penetapan Hukumnya


Ayat 2010-212

Ayat ini membantah tuduhan-tuduhan orang-orang musyrik Mekah yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad adalah seorang tukang sihir dan tukang ramal. Allah mengatakan bahwa Al-Qur’an bukanlah ramalan atau sihir yang berasal dari setan yang menerima dan mendengar ucapan malaikat ketika sedang menyampaikan wahyu Allah kepada Rasulullah.

Ada tiga hal yang menunjukkan bahwa Al-Qur’an bukan berasal dari setan, yaitu:

  1. Isi Al-Qur’an bertentangan dengan kehendak setan. Kalau setan berusaha agar manusia mengerjakan perbuatan-perbuatan yang akan menjauhkan mereka dari petunjuk Allah, adapun Al-Qur’an memerintahkan manusia mengerjakan perbuatan yang makruf dan mencegah yang mungkar.
  2. Setan sendiri tidak mau menerima Al-Qur’an, apalagi menyampaikannya kepada orang lain.
  3. Setan dijauhkan dari mendengar Al-Qur’an yang disampaikan Malaikat Jibril kepada Muhammad, atau mendengarkan Al-Qur’an yang sedang dibaca hamba Allah karena Al-Qur’an dijaga Allah dari setan.

Ayat 213

Ayat ini melarang Nabi Muhammad dan umatnya menyembah tuhan-tuhan selain Allah. Mereka diperintahkan untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa, ikhlas dalam ketaatan dan ketundukan kepada-Nya. Menyembah tuhan-tuhan yang lain di samping menyembah Allah menjadi penyebab seseorang ditimpa azab neraka.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 214-215


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 202-207

0
Tafsir Surah Asy-Syu'ara
Tafsir Surah Asy-Syu'ara

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 202-207 berbicara mengenai orang-orang musyrik yang mengejek Nabi Muhammad SAW. Mereka bertanya kapankan datagnya azab bagi mereka.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 197-201


Ayat 202-203

Dalam keadaan demikian, tanpa mereka sadari, datanglah azab kepada mereka secara tiba-tiba dan tidak diketahui dari mana datangnya. Ketika itu, barulah mereka sadar akan perbuatan mereka selama ini.

Mereka mengeluh dan mengharap agar ditangguhkan kedatangan azab itu, sehingga mereka dapat mengerjakan amal saleh, beriman, dan taat kepada Allah dan rasul-Nya. Meskipun telah mengetahui bahwa permintaan itu tidak akan dikabulkan Allah, namun mereka mencoba-coba untuk meminta, sekadar mengurangi kepedihan azab yang sedang mereka alami.

Ayat 204

Ayat ini menjelaskan bahwa orang-orang musyrik Mekah pernah mengejek Nabi Muhammad dengan menanyakan kapan azab yang dijanjikan itu akan menimpa mereka. Pertanyaan mereka itu dijawab Allah melalui ayat ini dengan mengatakan, “Apakah mereka minta dipercepat datangnya azab yang Kami janjikan itu?”

Sebenarnya mereka tidak perlu menanyakan kapan azab yang diancamkan Allah itu datang. Mereka cukup memperhatikan malapetaka yang telah menimpa umat-umat dahulu yang telah mendustakan para rasul yang diutus Allah kepada mereka.

Padahal umat-umat dahulu itu adalah umat yang gagah perkasa dan mempunyai kemampuan untuk memakmurkan negara mereka, tetapi tidak seorang pun di antara mereka yang sanggup mengelakkan diri dari azab Allah.


Baca juga: Tiga Prinsip Menjaga Persaudaraan dalam Surah Al-Hasyr Ayat 9


Ayat 205-207

Ibnu Abi Hatim menukil riwayat tentang asbab nuzul ayat ini dari Abµ Yahdam bahwa Rasulullah terlihat dalam keadaan bingung, kemudian para sahabat bertanya kepadanya apa sebab beliau bingung. Rasulullah menjawab bahwa beliau melihat musuh-musuhnya sesudah beliau wafat dari umatnya sendiri, maka turunlah ayat 205 Surah asy-Syu’ara’, dan kebingungan Rasul akhirnya sirna.

Melalui ayat-ayat ini, Allah memperingatkan orang-orang musyrik Mekah tentang azab-Nya dengan berfirman, “Hai orang-orang musyrik, apakah kamu ingin mengalami nasib seperti yang dialami oleh umat-umat terdahulu? Mereka telah diberi kesenangan hidup, kekuatan tubuh, dan kesanggupan memakmurkan negeri mereka.

Mereka mengira bahwa kebahagiaan, kemakmuran, dan kekuasaan yang diperoleh itu dapat mengelakkan mereka dari azab Allah. Kenyataannya tidak demikian. Mereka tetap merasakan azab yang sangat pedih. Demikian pedihnya azab itu seakan-akan mereka tidak pernah merasakan kebahagiaan dan kesenangan di dunia.” Allah berfirman:

كَاَنَّهُمْ يَوْمَ يَرَوْنَهَا لَمْ يَلْبَثُوْٓا اِلَّا عَشِيَّةً اَوْ ضُحٰىهَا ࣖ;

Pada hari ketika mereka melihat hari Kiamat itu (karena suasananya yang hebat), mereka merasa seakan-akan hanya (sebentar saja) tinggal (di dunia) pada waktu sore atau pagi hari. (an-Nazi’at/79: 46).;


Baca setelahnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 208-213


(Tafsir Kemenag)