Beranda blog Halaman 196

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 197-201

0
Tafsir Surah Asy-Syu'ara
Tafsir Surah Asy-Syu'ara

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 197-201 berbicara mengenai dua hal. Pertama mengenai adanya informasi tentang kerasulan Nabi Muhammad SAW dalam kitab-kitab sebelumnya. Namun sebagian yahudi tidak beriman ketika Nabi Muhammad SAW telah datang.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 196


Ayat 197

Ayat ini menerangkan bahwa di samping diberitakan dalam Taurat dan Injil, kedatangan dan kenabian Muhammad saw itu juga ditegaskan oleh ulama-ulama Yahudi yang hidup di Madinah pada waktu itu.

Mereka mengatakan bahwa sebenarnya terdapat di dalam Taurat dan Injil isyarat-isyarat atau keterangan-keterangan tentang Nabi Muhammad. Oleh karena itu, banyak orang-orang musyrik Mekah yang pergi ke Medinah menemui ulama-ulama Yahudi untuk menanyakan berita-berita tentang Nabi Muhammad.

Ats-Tsa’labi menerangkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa orang-orang musyrik Mekah pernah mengutus utusan ke Madinah menemui pendeta-pendeta Yahudi untuk meminta keterangan tentang Muhammad. Mereka menjawab, “Ini masa kedatangannya”, dan mereka menyebutkan sifat-sifatnya.


Baca juga: Pentingnya Mengetahui Ilmu Asbab an-Nuzul dalam Memahami Al-Quran


Ayat 198-199

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa walaupun bukti-bukti kenabian Muhammad sudah diterangkan dalam kitab-kitab terdahulu, dan hal ini diakui oleh ulama-ulama Yahudi, serta diketahui oleh orang-orang musyrik Mekah dari para pemimpin Yahudi, namun orang-orang musyrik itu tidak akan beriman, walau buku atau kitab suci apa pun yang dikemukakan kepada mereka.

Seakan-akan Allah mencela sikap mereka itu dengan mengatakan, “Kami telah menurunkan Al-Qur’an itu dalam bahasa Arab yang jelas dan gaya bahasa yang indah kepada seseorang dari bangsa Arab, tepatnya dari suku Quraisy yang berpengaruh di Mekah, dan mereka telah mengetahui pula dari orang-orang Yahudi di Madinah tentang kenabian Muhammad itu, namun mereka tetap tidak beriman.

Maka andaikata Al-Qur’an itu diturunkan kepada seseorang dari golongan bukan Arab yang tidak pandai berbahasa Arab, tetapi dengan kehendak Allah orang itu dapat membacakannya dengan fasih kepada orang-orang musyrik Mekah itu, mereka itu tidak juga akan beriman kepadanya. Di sisi lain, kalau pun kejadian yang semacam itu terjadi, hal itu merupakan kejadian yang luar biasa.”

Ayat ini merupakan hiburan yang dapat menenteramkan dan menyejukkan hati Muhammad yang telah digundahkan oleh sikap orang-orang musyrik yang selalu menantang dan mendustakan seruannya.

Ayat 200-201

Ayat ini menerangkan bahwa Allah telah memasukkan ke dalam hati orang-orang musyrik Mekah yang ingkar itu kemampuan untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an dan merasakan keindahan gaya bahasanya. Dengan demikian, mereka yakin bahwa Al-Qur’an itu datang dari Tuhan, bukan buatan manusia. Akan tetapi, mereka mengingkari Al-Qur’an itu, dan mendustakan nabi yang membawanya.

Keingkaran mereka itu semakin kuat, tidak tergoyahkan oleh apa pun. Nafsu mengingkari Nabi dan menantangnya itu menyebabkan mereka melakukan perbuatan dosa, dan mereka hanya akan berhenti apabila azab itu telah menimpa mereka. Pada ayat yang lain Allah berfirman:

وَجَحَدُوْا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَآ اَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا وَّعُلُوًّاۗ فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُفْسِدِيْنَ ࣖ

Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongannya, padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berbuat kerusakan. (an-Naml/27: 14).


Baca setelahnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 202-207


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 196

0
Tafsir Surah Asy-Syu'ara
Tafsir Surah Asy-Syu'ara

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 196 berbicara mengenai informasi tentang al-Qur’an yang telah disampaikan dalam kitab-kitab sebelumnya. Selain itu juga terlah diisyaratkan tentang adanya Nabi Muhammad SAW di kemudian hari.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 192-195


Ayat 196

Ayat ini menerangkan bahwa Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad itu telah diisyaratkan dalam kitab-kitab Allah yang diturunkan kepada para rasul-Nya terdahulu. Dalam ayat yang lain Allah berfirman:

وَاِذْ قَالَ عِيْسَى ابْنُ مَرْيَمَ يٰبَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ اِنِّيْ رَسُوْلُ اللّٰهِ اِلَيْكُمْ مُّصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيَّ مِنَ التَّوْرٰىةِ وَمُبَشِّرًاۢ بِرَسُوْلٍ يَّأْتِيْ مِنْۢ بَعْدِى اسْمُهٗٓ اَحْمَدُۗ

Dan (ingatlah) ketika Isa putra Maryam berkata, “Wahai Bani Israil! Sesungguhnya aku utusan Allah kepadamu, yang membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan seorang rasul yang akan datang setelahku, yang namanya Ahmad (Muhammad).” (as-Saff/61: 6)

Di samping adanya isyarat-isyarat akan turun-Nya Al-Qur’an dalam kitab-kitab yang diturunkan kepada para rasul terdahulu, juga telah ada nubuat-nubuat tentang akan diutusnya Nabi Muhammad.


Baca juga: Bukan Kitab Suci Biasa, Ini 5 Keistimewaan Al-Qur’an


Sekalipun kitab Taurat yang sekarang telah dicampuri tangan-tangan manusia, ada yang ditambah, dikurangi, dan sebagainya, namun masih terdapat ayat-ayat yang menjelaskan kedatangan Nabi Muhammad sebagai rasul terakhir dan membawa syariat yang sempurna. Firman Allah:

;;اَلَّذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ الرَّسُوْلَ النَّبِيَّ الْاُمِّيَّ الَّذِيْ يَجِدُوْنَهٗ مَكْتُوْبًا عِنْدَهُمْ فِى التَّوْرٰىةِ وَالْاِنْجِيْلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهٰىهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبٰتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبٰۤىِٕثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ اِصْرَهُمْ وَالْاَغْلٰلَ الَّتِيْ كَانَتْ عَلَيْهِمْۗ فَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا بِهٖ وَعَزَّرُوْهُ وَنَصَرُوْهُ وَاتَّبَعُوا النُّوْرَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ مَعَهٗٓ  ۙاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ ࣖ  ;

(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi (tidak bisa baca tulis) yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada pada mereka, yang menyuruh mereka berbuat yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan yang menghalalkan segala yang baik bagi mereka dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka, dan membebaskan beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Adapun orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur’an), mereka itulah orang-orang beruntung. (al-A’raf/7: 157)


Baca setelahnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 197-201


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 192-195

0
Tafsir Surah Asy-Syu'ara
Tafsir Surah Asy-Syu'ara

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 192-195 berbicara mengenai kebenaran al-Qur’an bahwa ia merupakan wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara Jibril.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 188-191


192-195

Pada ayat-ayat ini diterangkan bahwa Al-Qur’an yang diturunkan kepada Muhammad adalah kitab suci yang berasal dari Tuhan semesta alam. Diturunkan kepada Muhammad secara berangsur-angsur dengan perantaraan Jibril, malaikat yang bertugas membawa wahyu kepada para rasul.

Al-Qur’an itu ditanamkan ke dalam hati Muhammad, maksudnya ialah Al-Qur’an itu dibacakan oleh Jibril sedemikian rupa sehingga Nabi Muhammad memahami betul arti dan maksudnya. Dengan pemahaman dan pengertian yang demikian, maka Nabi Muhammad mudah menyampaikan kepada umatnya dan umatnya mudah pula menerimanya.

Sebagai contoh, ketika Surah al-An’am yang ayatnya berjumlah 165 ayat dan Surah Yµsuf sebanyak 111 ayat diturunkan sekaligus, Rasulullah langsung menerima dan menghafalnya. Ini bukti bahwa Al-Qur’an telah dihunjamkan ke hati Rasul oleh malaikat dengan lisannya.

Allah menerangkan bahwa Al-Qur’an itu diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas dan fasih serta gaya bahasa yang indah. Di dalamnya terdapat pula ayat-ayat yang menantang orang-orang musyrik Mekah agar membuat ayat-ayat yang lain seperti ayat-ayat Al-Qur’an itu, kalau mereka tidak percaya bahwa Al-Qur’an itu diturunkan dari Allah dan hanyalah buatan Muhammad sendiri.


Baca juga: Pentingnya Mengetahui Ilmu Asbab an-Nuzul dalam Memahami Al-Quran


Akan tetapi, mereka tidak mampu menandinginya, walaupun dengan membuat satu surah pun yang sefasih dan seindah gaya bahasa Al-Qur’an. Dengan demikian, tidak ada lagi alasan bagi orang-orang musyrik Mekah itu untuk mengatakan bahwa Al-Qur’an itu hanyalah buatan Muhammad semata.

Tegasnya, kendati Al-Qur’an itu diturunkan dalam bahasa Arab, yakni bahasa mereka sendiri, tetapi mereka tidak mampu menandingi ayat-ayatnya. Kalau Muhammad dapat membuat Al-Qur’an, tentu menurut logikanya, mereka juga dapat membuatnya, karena sama-sama bangsa Arab dan sama-sama berbahasa Arab.

Mereka memahami ayat-ayat Al-Qur’an itu, mengetahui keindahan gaya bahasanya, dan meyakini bahwa Al-Qur’an itu bukan bersumber dari manusia. Mereka mengetahui betul sampai di mana batas kemampuan manusia, namun mereka tetap tidak mau beriman kepadanya karena sifat takabur dan keingkaran yang berurat dan berakar pada diri mereka.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 196


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 188-191

0
Tafsir Surah Asy-Syu'ara
Tafsir Surah Asy-Syu'ara

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 188-191 berbicara mengenai dua hal. Pertama mengenai azab yang menimpa kaum Nabi Syu’aib as karena pengingkaran mereka. Kedua mengenai ke kuasa Allah SWT.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 185-187


Ayat 188

Ungkapan ayat ini merupakan jawaban Syuaib terhadap peng-ingkaran dan penantangan kaumnya dengan mengatakan bahwa ia tidak diutus untuk menjadikan mereka beriman dengan memasukkan iman ke dalam hati mereka.

Ia juga tidak bertugas menghisab amal perbuatan mereka, serta menghukum dan menimpakan azab kepada mereka. Tugasnya hanya menyampaikan agama Allah kepada kaumnya. Adapun menjadikan seseorang itu beriman, menghisab perbuatan manusia, dan menimpakan azab adalah hak Allah semata, karena Dia adalah Yang Mahakuasa dan lebih mengetahui segala perbuatan manusia.

Ayat 189

Karena penduduk Madyan tetap membangkang, Syuaib mengancam dengan menyuruh mereka menunggu azab yang akan didatangkan Allah. Pada waktu yang dijanjikan Allah, datanglah malapetaka yang dahsyat menimpa mereka.

Pada hari itu, mereka merasakan terik panas yang sangat menyesakkan napas. Tidak ada sesuatu pun yang dapat menolong mereka dari keadaan yang demikian, apakah berupa naungan rumah, ataupun air yang dapat diminum, dan sebagainya.

Oleh karena itu, mereka ke luar ke tanah lapang dan bernaung di bawah segumpal awan yang menyejukkan. Dalam keadaan demikian, turunlah azab Allah berupa sambaran petir yang dahsyat yang ke luar dari gumpalan awan itu, dengan suara yang keras, dan menyebabkan bumi berguncang.

Mereka semua mati tersungkur dengan muka tertelungkup ke tanah. Keadaan mereka itu seperti keadaan kaum Nabi Saleh yang ditimpa azab Allah sebelumnya. Adapun Nabi Syuaib dan orang-orang  yang beriman diselamatkan Allah dari azab itu.


Baca juga: Beda Qiraat Al-Quran, Beda Pula Penetapan Hukumnya


Ayat 190

Semua kejadian yang terdapat dalam kisah Syuaib dan kaumnya, yaitu kehancuran penduduk Madyan yang mengingkari seruan Syuaib dan penyelamatan orang-orang yang beriman dari sambaran petir dan gempa, merupakan bukti atas kebenaran Syuaib sebagai rasul Allah.

Sekalipun demikian, orang-orang musyrik Mekah serta manusia yang tidak mau mengambil pelajaran daripadanya, tetap tidak beriman kepada Nabi Muhammad.

Ayat 191

Ayat ini menjelaskan bahwa Tuhan yang menunjukkan manusia kepada jalan yang benar, yang dapat mengangkat manusia ke tempat yang mulia dan terpuji, adalah Tuhan Yang Mahaadil, Mahakeras tuntutan-Nya, dan Mahakekal rahmat-Nya terhadap orang-orang yang beriman.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 192-195 


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 185-187

0
Tafsir Surah Asy-Syu'ara
Tafsir Surah Asy-Syu'ara

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 185-187 berbicara mengenai keingkaran kaum Nabi Syu’aib as. Tidak hanya itu mereka juga mengancam orang-orang yang ingin beriman kepada Nabi Syu’aib.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 178-184


Ayat 185-187

Sekalipun Syuaib telah mengingatkan kaumnya, tetapi mereka tetap ingkar dan kafir.

Bahkan mereka mencela Syuaib dan memandang ringan ancaman Allah yang disampaikan kepada mereka dengan menyatakan bahwa: pertama, Syuaib termasuk salah seorang yang kena sihir, yang mengatakan dan melakukan sesuatu hanya berdasarkan khayalan dan angan-angan belaka.

Syuaib seorang manusia biasa seperti mereka, tidak memiliki kelebihan apa pun dari mereka, dan bahkan ia seorang yang rusak akalnya.

Mereka mendustakan Syuaib, dan tidak percaya sedikit pun bahwa dia adalah rasul Allah yang diutus kepada mereka. Oleh karena itu, mereka mengingkari Nabi Syuaib, menghalangi orang lain mendatanginya, dan mengancam orang-orang yang beriman kepadanya.

Akan tetapi, Syuaib terus menasihati dan mengingatkan mereka. Syuaib adalah nabi yang sangat pintar berdebat dengan kaumnya. Dalil-dalil dan argumennya amat kuat, sehingga para mufasir menjulukinya dengan Khatib al-Anbiya’ (ahli pidato di antara para nabi).

Namun demikian, penduduk Madyan tetap membangkang dan menyangkal seruan Syuaib. Kadang-kadang mereka mengatakan bahwa mereka tidak paham apa yang dikatakannya, padahal seruan itu sudah jelas dan terang.


Baca juga: Kunci Pertama Menggapai Kebahagiaan: Beriman Kepada Allah Swt


Kadang-kadang mereka mengatakan bahwa Syuaib orang lemah, seakan-akan mereka mengira bahwa kekuatanlah yang menjadi ukuran kebenaran dan keadilan. Kadang-kadang mereka mengancam akan membunuh Syuaib, dan mengusir para pengikutnya yang beriman dari negeri itu apabila Syuaib dan orang-orang yang beriman itu tidak kembali kepada agama mereka.

Kaum Syuaib juga mengingatkan masyarakat bahwa mereka akan merugi kalau mengikuti agama Syuaib karena melarang mereka mengurangi takaran dan timbangan. Mereka merasa heran kepada Syuaib yang melarang mereka menyembah sembahan nenek moyang mereka, dan berbuat apa yang mereka sukai terhadap harta mereka.

Mereka mencela Syuaib tentang kesalahan-kesalahan yang telah diperbuatnya. Mereka mengejek dengan sinis salat yang dikerjakan Syuaib. Allah berfirman:

قَالُوْا يٰشُعَيْبُ اَصَلٰوتُكَ تَأْمُرُكَ اَنْ نَّتْرُكَ مَا يَعْبُدُ اٰبَاۤؤُنَآ اَوْ اَنْ نَّفْعَلَ فِيْٓ اَمْوَالِنَا مَا نَشٰۤؤُا ۗاِنَّكَ لَاَنْتَ الْحَلِيْمُ الرَّشِيْدُ

Mereka berkata, “Wahai Syuaib! Apakah agamamu yang menyuruhmu agar kami meninggalkan apa yang disembah nenek moyang kami atau melarang kami mengelola harta kami menurut cara yang kami kehendaki? Sesungguhnya engkau benar-benar orang yang sangat penyantun dan pandai.”  (Hµd/11: 87).

قَالُوْا يٰشُعَيْبُ مَا نَفْقَهُ كَثِيْرًا مِّمَّا تَقُوْلُ وَاِنَّا لَنَرٰىكَ فِيْنَا ضَعِيْفًا ۗوَلَوْلَا رَهْطُكَ لَرَجَمْنٰكَ ۖوَمَآ اَنْتَ عَلَيْنَا بِعَزِيْزٍ   ;

Mereka berkata, “Wahai Syuaib! Kami tidak banyak mengerti tentang apa yang engkau katakan itu, sedang kenyataannya kami memandang engkau seorang yang lemah di antara kami. Kalau tidak karena keluargamu, tentu kami telah merajam engkau, sedang engkau pun bukan seorang yang berpengaruh di lingkungan kami.”  (Hµd/11: 91)

Kedua, Jika Syuaib benar-benar seorang nabi dan rasul Allah, maka ia diminta untuk menurunkan kepada mereka (kaum Syuaib) gumpalan-gumpalan dari langit, sebagaimana yang telah diancamkannya.

Sikap kaum Syuaib ini sama dengan sikap kaum Quraisy ketika menentang Nabi Muhammad agar beliau memancarkan air dari bumi untuk mereka, mendatangkan sebuah kebun dan kurma serta anggur yang indah, mendatangkan azab dengan menjatuhkan kepingan-kepingan dari langit yang menimpa mereka, atau mendatangkan sebuah rumah emas dan sebagainya. (Baca Surah al-Isra’/17: 90-93).


Baca setelahnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 188-191


(Tafsir Kemenag)

Kemuliaan Bekerja Sebagai Petani, Tafsir Surah Yasin Ayat 34-35

0
Kemuliaan Bekerja Sebagai Petani, Tafsir Surah Yasin Ayat 34-35
Kemuliaan Bekerja Sebagai Petani

Dengan semakin sempitnya lapangan kerja, mau tidak mau sebagian dari kita harus mencari atau setidaknya mampu menciptakan sumber mata pencarian lain agar bisa bertahan di tengah kondisi ekonomi yang sangat memprihatinkan seperti sekarang ini. Tentunya dengan catatan harus dengan cara yang baik dan halal. Ada banyak macam pekerjaan alternatif yang dapat kita lakukan, di antaranya adalah bekerja sebagai petani.

Umumnya, petani bekerja mengolah tanah untuk ditanami berbagai macam tumbuhan seperti gandum, padi, singkong, buah-buahan, dan sayur-sayuran. Kemudian, hasil panen yang didapat biasanya dijual atau juga dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Pekerjaan ini jarang dilirik orang banyak. Ini membuat Presiden Joko Widodo pada 6 Agustus 2021 memberikan semacam dorongan kepada orang-orang yang bekerja di sektor pertanian. Ia mengatakan, “Petani harus menjadi profesi yang menjanjikan, profesi yang menyejahterakan, dan kita harus membuat generasi muda lebih berminat menjadi petani.”

Pernyataan tersebut merupakan motivasi yang membangun semangat para petani dari penilaian segelintir orang, bahwa petani adalah profesi yang strata sosialnya berada di kelas paling bawah, padahal tidak seperti itu. Kalau kita cermati lebih jauh, al-Qur’an sempat menyinggung beberapa hal yang berkaitan dengan pekerjaan bertani, salah satunya dapat kita temukan pada firman Allah Swt dalam surah Yasin, yang berbunyi;

وَجَعَلْنَا فِيهَا جَنَّاتٍ مِنْ نَخِيلٍ وَأَعْنَابٍ وَفَجَّرْنَا فِيهَا مِنَ الْعُيُونِ (34) لِيَأْكُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ وَمَا عَمِلَتْهُ أَيْدِيهِمْ أَفَلَا يَشْكُرُونَ (35)

Dan kami telah jadikan padanya kebun-kebun kurma dan anggur, dan Kami pancarkan padanya beberapa mata air, supaya mereka dapat makan dari buahnya, dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka. Maka apakah mereka tidak bersyukur? (QS. Yasin: 34-35).

Baca juga: Tafsir Surat Yasin Ayat 33-35: Tanda-Tanda Kekuasaan Allah Swt di Muka Bumi

Tafsir Surah Yasin Ayat 34-45

Menurut penjelasan dalam Tafsir Kemenag, pada ayat ini Allah menerangkan tentang penciptaan kebun, ladang, dan sawah di bumi sebagai tempat yang dapat ditanami bermacam-macam tanaman yang menghasilkan bahan makanan bagi manusia, seperti kurma dan anggur yang menjadi bahan makanan bangsa Arab. Demikian pula padi, gandum, dan jagung yang menjadi makanan pokok bagi bangsa-bangsa lainnya.

Di samping itu, Allah juga menciptakan sumber-sumber air yang kemudian mengalir menjadi sungai-sungai yang sangat diperlukan bagi kehidupan di bumi. Allah menciptakan dan menganugerahkan semuanya itu kepada manusia, agar mereka memperoleh makanan dari buah dan hasilnya. Begitupula dari hasil usaha kerajinan tangan mereka seperti hasil-hasil pertanian dan industri yang hampir tak terhitung jumlahnya.

Bahkan menurut Hamka dalam tafsirnya, pada ayat 34, manusia diberi petunjuk oleh Allah untuk mendirikan kebun-kebun yang dapat dipergunakan sebagai lahan menanam bahan makanannya. Adapun kurma  menjadi buah yang disebutkan pertama dalam susunan redaksi ayat, karena mula-mula turunnya ayat ini bertempat di tanah Arab yang makanan pokok masyarakat pada saat itu adalah kurma.

Lalu kemudian ajaran Islam meluas ke seluruh dunia termasuk ke negara-negara di Asia Tenggara seperti Burma, Siam, Malaysia, Philipina, Jepang, dan Indonesia, di mana makanan pokok negara-negara tersebut ialah beras. Karenanya, orang Indonesia menggarap tanah dan membuat lahan sawah yang ditanami padi untuk mencukupi makanan pokok mereka sebagaimana halnya tanah di Arab yang ditanami kurma dan di negeri lain yang ditanami gandum.

Quraish Shihab menjelaskan, bahwa kata (ما) ma pada firman-Nya, wa ma ‘amilathu aidihim (وَمَا عَمِلَتْهُ أَيْدِيهِم) dapat berarti apa saja, seperti bunyi terjemah di atas, dan dapat juga berarti bukan. Berdasarkan hal tersebut, ayat di atas bagaikan menyatakan: Semua itu bukanlah hasil usaha tangan mereka.

Selain itu, Ia dapat juga berarti yang. Jika makna ini dipilih maka penggalan ayat di atas bagai menyatakan: Supaya mereka dapat makan dari buahnya, yang diusahakan oleh tangan mereka. Makna yang ketiga ini mengandung isyarat tentang perlunya memberi perhatian dan usaha sungguh-sungguh agar hasil pertanian terus bertambah dan baik, sebagai akibat keterlibatan manusia dalam mengelolanya.

Baca juga: Kewajiban Merawat Bumi dan Larangan Merusaknya dalam Al-Quran

Beberapa ulama ada yang berpendapat bahwa bertani adalah salah satu pekerjaan yang terbaik. Alasannya karena dengan bertani itulah seseorang dianggap makan dari hasil tangannya sendiri. Pendapat ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw yang berbunyi:

مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ, وَإِنَّ نَبِيَّ اللهِ دَاوُدَعَلَيْهِالسَّلَامُ كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ (رواه البخاري عن المقدم)

Tidaklah seseorang memakan makanan yang lebih baik dari apa yang dihasilkan oleh tangannya. Dan sesungguhnya Nabi Daud makan dari apa yang dihasilkan oleh tangannya sendiri. (Riwayat al-Bukhari dari al-Miqdam).

Dalam suatu kesempatan, Rasulullah saw juga menjelaskan bahwa hasil dari pertanian yang dimakan oleh manusia ataupun hewan akan menjadi nilai sedekah bagi pekerjanya. Beliau bersabda;

فَلَا يَغْرِسُ الْمُسْلِمُ غُرْسًا فَيَأْكُلَ مِنْهُ إِنْسَانٌ وَلَا دَآبَّةٌ وَلَا طَيْرٌ إِلَّا كَانَ لَهُ صَدَقَةً إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ (رواه مسلم)

Tidakkah seorang muslim menanam tanaman apapun atau bertani dengan tumbuhan apapun, lalu tanaman tersebut dimakan oleh manusia, atau binatang melata atau sesuatu yang lain, kecuali hal itu akan bernilai sedekah baginya. (HR. Muslim).

Penutup

Berdasarkan informasi di atas, ini menandakan bahwa baik al-Qur’an maupun hadis ternyata sama-sama menganjurkan umat Islam untuk bercocok tanam atau dalam bahasa lainnya ialah bertani. Sehingga dapat di tarik kesimpulan bahwa bekerja sebagai petani adalah suatu pekerjaan mulia yang tidak semua orang mau melakukannya.

Sangat sedikit generasi muda hari ini yang mau bekerja di ladang dengan balutan lumpur dan terik panas matahari. Maka bisa dibayangkan jika seandainya mereka, para petani ini tidak punya generasi yang meneruskan perjuangannya, Apakah makanan pokok kita sebagai orang Indonesia yang setiap hari harus makan nasi akan tercukupi? Wallahu ‘alam.

Baca juga: Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 107: Memaknai Rahmatan Lil Alamin Menuju Alam yang Lestari

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 178-184

0
Tafsir Surah Asy-Syu'ara
Tafsir Surah Asy-Syu'ara

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 178-184 berbicara mengenai perjalanan dakwah Nabi Syu’aib. Sama seperti nabi-nabi terdahulu ia berdakwah tanpa pamrih. Namun kaumnya malah mendustakannya.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 172-177


Ayat 178-180

Syuaib menyeru penduduk Madyan, seperti yang telah dilakukan oleh para nabi sebelumnya. Ia menerangkan kepada mereka bahwa tugasnya tidaklah untuk mencari harta kekayaan, kekuasaan, atau keuntungan duniawi. Oleh karena itu, ia tidak akan mengambil upah dari mereka untuk seruannya itu. Upahnya akan diberikan Allah yang telah mengutusnya.

Dalam Surah Hµd/11 diterangkan pula bahwa Syuaib mengajak kaumnya agar mereka hanya menyembah Allah. Allah berfirman:

وَاِلٰى مَدْيَنَ اَخَاهُمْ شُعَيْبًا ۗقَالَ يٰقَوْمِ اعْبُدُوا اللّٰهَ مَا لَكُمْ مِّنْ اِلٰهٍ غَيْرُهٗ ۗ

Dan kepada (penduduk) Madyan (Kami utus) saudara mereka, Syuaib. Dia berkata, “Wahai kaumku! Sembahlah Allah, tidak ada tuhan bagimu selain Dia.  (Hµd/11: 84).

(181-184) Di samping menyekutukan Allah dengan sesuatu yang lain, penduduk Madyan juga berbuat dosa dan melakukan kejahatan lain, di antaranya:

  1. Mengurangi timbangan dan takaran pada waktu menjual dan minta dilebihkan pada waktu membeli.
  2. Menurunkan harga barang-barang agar mereka dapat membeli barang-barang itu dengan harga yang amat rendah.
  3. Membuat onar dan kerusakan di bumi.;Ayat ini menerangkan bahwa Syuaib menyeru kaumnya untuk menghentikan kejahatan yang biasa mereka lakukan. Mereka diseru untuk menyempurnakan takaran dan timbangan baik di waktu menjual maupun membeli. Mengurangi atau melebihkan takaran dan timbangan adalah perbuatan yang merugikan orang lain. Hal itu berarti membuat kerusakan di bumi. Syuaib mengingatkan kaumnya bahwa harta yang halal lebih baik bagi mereka, karena mereka adalah orang-orang yang berpenghidupan baik. Allah berfirman:

بَقِيَّتُ اللّٰهِ خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ ەۚ وَمَآ اَنَا۠ عَلَيْكُمْ بِحَفِيْظٍ

Sisa (yang halal) dari Allah adalah lebih baik bagimu jika kamu orang yang beriman. Dan aku bukanlah seorang penjaga atas dirimu.”  (Hµd/11: 86)


Baca juga: Beda Qiraat Al-Quran, Beda Pula Penetapan Hukumnya


Yang dimaksud dengan sisa keuntungan dari Allah (baqiyyatullah) ialah keuntungan yang halal dalam perdagangan sesudah menyempurnakan takaran dan timbangan.

Syuaib mengingatkan bahwa perbuatan jahat yang mereka lakukan itu bertentangan dengan ketentuan yang ditetapkan Allah bagi semua makhluk-Nya. Oleh karena itu, mereka diminta untuk menghentikan perbuatan itu, dan takut kepada azab Allah yang akan ditimpakan kepada orang-orang yang berbuat kejahatan.

Dialah yang menciptakan segala yang ada, termasuk mereka. Diciptakan-Nya dari tidak ada kepada ada untuk mengadakan kemaslahatan di bumi.

Allah pernah menciptakan orang-orang yang mempunyai kekuatan dan kemampuan yang lebih kuat dan besar dari mereka, serta mempunyai harta dan kekayaan yang lebih banyak, seperti kaum Hud yang pernah mereka katakan sebagai kaum yang lebih kuat dan perkasa dari mereka. Karena kezaliman dan kejahatan umat-umat dahulu itu, Allah mengazab dan menimpakan malapetaka yang besar kepada mereka.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 185-187


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 172-177

0
Tafsir Surah Asy-Syu'ara
Tafsir Surah Asy-Syu'ara

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 172-177 berbicara mengenai dua hal. Pertama mengenai azab bagi kaum Nabi Lut ass. Kedua mengenai kaum Madyan yang juga ingkar kepada utusan Allah SWT.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 167-171


Ayat 172-173

Setelah tiba waktu yang dijanjikan, Allah menghujani dengan amat dahsyat penduduk Sodom dengan batu dari tanah liat yang membatu, dan negeri mereka ditelungkupkan oleh Allah. Dengan demikian, hancurlah penduduk kota Sodom beserta kotanya. Allah berfirman:

فَلَمَّا جَاۤءَ اَمْرُنَا جَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَاَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةً مِّنْ سِجِّيْلٍ مَّنْضُوْدٍ  ٨٢  مُسَوَّمَةً عِنْدَ رَبِّكَۗ وَمَا هِيَ مِنَ الظّٰلِمِيْنَ بِبَعِيْدٍ ࣖ   ٨٣

Maka ketika keputusan Kami datang, Kami menjungkirbalikkan negeri kaum Lut, dan Kami hujani mereka bertubi-tubi dengan batu dari tanah yang terbakar, yang diberi tanda oleh Tuhanmu. Dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang yang zalim.  (Hµd/11: 82-83)

Tidak lama setelah kaum Nabi Lut hancur, negeri mereka lalu digenangi air. Akhir-akhir ini telah ditemukan bekas-bekas kota Sodom yaitu di pantai Buḥairah Lut, di bagian selatan Laut Mati (al-Bahrul Mayyit). Adapun Nabi Lut dan pengikutnya pindah ke Zoar, sebuah kota tua di Kanaan.

Ayat 174

Ayat ini menerangkan bahwa Allah menyelamatkan Nabi Lut dan keluarganya, kecuali istrinya, serta membinasakan orang-orang durhaka itu. Ini merupakan bukti nyata atas kebenaran Nabi Lut sebagai rasul yang diutus Allah kepada penduduk Sodom.

Akan tetapi, sedikit sekali manusia yang memperhatikan tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Tuhan itu, sehingga sedikit sekali di antara mereka yang beriman dan mengikuti rasul-Nya.


Baca juga: Beda Qiraat Al-Quran, Beda Pula Penetapan Hukumnya


Ayat 175

Allah adalah Tuhan yang berhak disembah dan sangat keras pembalasan-Nya kepada para hamba-Nya yang ingkar. Dia Maha Penyayang kepada hamba-Nya, dan kasih sayang-Nya itu adalah tetap, tidak  pernah putus.

Ayat 176-177

Ayat ini menerangkan bahwa penduduk Madyan, yang disebut juga kabilah Madyan, telah mendustakan Nabi Syuaib yang menyeru mereka agar bertakwa kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya.

Dalam ayat ini diterangkan bahwa tindakan penduduk Madyan itu sama hukumnya dengan mendustakan para rasul, karena mendustakan seorang rasul sama artinya dengan mendustakan semua rasul yang diutus Allah.

Menurut Ibnu Kasir, penduduk Madyan dan Aikah adalah satu kabilah. Hanya di dalam Al-Qur’an kadangkala mereka diungkapkan sebagai penduduk Madyan dan kadangkala disebut sebagai penduduk Aikah.

Kabilah Madyan adalah satu kabilah yang mendiami daerah di sekitar Teluk Aqabah dan tempat sebelah utaranya. Madyan ialah eponim dari nenek moyang mereka, Madyan. Madyan adalah salah seorang putra Nabi Ibrahim.

Kehidupan mereka pada waktu itu sejahtera. Mereka berbahagia, dan berkedudukan sebagai saudagar. Kota yang terbesar di daerah Madyan ini pun dinamai pula Madyan. Kota ini terletak di tengah-tengah daerah Madyan di pantai timur Laut Merah segaris lintang dengan Tabuk. Yang dimaksud dengan penduduk Aikah pada ayat di atas adalah penduduk Madyan.

Sebagian mufasir berpendapat bahwa Nabi Syuaib diutus setelah Nabi Musa. Sebagian yang lain mengatakan sebaliknya, yaitu sebelum pengutusan Nabi Musa.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 178-184


(Tafsir Kemenag)

Mengenal Konsep, Model, dan Makna Kata Imam dalam Al-Qur’an

0
Mengenal Konsep, Model, dan Makna Kata Imam dalam Al-Qur’an
Makna Kata Imam dalam Al-Qur’an

Kepemimpinan adalah hal yang penting dalam agama Islam. Istilah pemimpin bisa diungkapkan secara beragam seperti kata imam, amir, khalifah, wali, atau naqib. Dalam kehidupan sehari-hari, kepemimpinan dapat berupa pemimpin keluarga, pemimpin daerah, pemimpin politik, bahkan pemimpin salat, dan sebagainya.

Di antara empat istilah pemimpin tersebut, kata imam adalah yang paling sering kita dengar, baik itu ungkapan imam keluarga atau imam salat. Namun, untuk memahami istilah imam kita perlu merujuk ayat-ayat Al-Qur’an. Sehingga, dapat kita pahami bagaimana konsep dan modelnya, kemudian kita bisa menentukan imam seperti apa yang harus kita ikuti.

Untuk itu, tulisan ini akan menguraikan beberapa ayat yang di dalamnya tertuang kata imam. Kemudian dilihat makna dan konteksnya untuk kemudian diambil makna praktisnya dalam kehidupan sehari-hari.

Kata Imam Secara Bahasa

Dalam berbagai kamus bahasa Arab, kata imam dapat bermakna banyak. Menurut Ibn Mandzur dalam Lisanul ‘Arab, imām jamaknya a’immah, adalah setiap orang yang diikuti oleh suatu kaum, baik untuk menuju jalan kebenaran atau menuju jalan kesesatan.

Adapun menurut Al-Asfahani, imām yaitu orang atau kitab yang diikuti perkataan atau perbuatannya, baik untuk membenarkan atau mendustakan. Selain itu, Ahmad Ibn Faris menambahkan bahwa kata imam juga berarti benang untuk meluruskan bangunan. (Maqāyis al-Lughah).

Melalui uraian ini, kata imām dapat bermakna sesuatu yang diikuti untuk dijadikan petunjuk atau pedoman bagi orang yang mengikutinya. Kata imām memiliki kedekatan makna dengan kata khalīfah.

Baca juga: Menyingkap Relasi Makna Kata Khalifah dan Khilafah dalam Al-Qur’an

Kata Imam dalam Al-Qur’an

Merujuk pada ayat-ayat Al-Qur’an, dalam bentuk tunggal, kata imām disebutkan sebanyak 12 kali dan tersebar dalam 11 surah. Dan memiliki arti dan konteks yang beragam seperti pemimpin, jalan, dan lauh mahfūdz. Salah satunya dalam surah Al-Isra’ ayat 71:

يَوْمَ نَدْعُوا كُلَّ أُناسٍ بِإِمامِهِمْ فَمَنْ أُوتِيَ كِتابَهُ بِيَمينِهِ فَأُولئِكَ يَقْرَؤُونَ كِتابَهُمْ وَلا يُظْلَمُونَ فَتيلاً

Artinya: “Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpin mereka; dan barang siapa yang diberikan kitab amalannya di tangan kanannya, maka mereka ini akan membaca kitabnya itu, dan mereka tidak dianiaya sedikit pun.”

Kata imām dalam ayat ini adalah pemimpin. Qurasih Shihab dan Ath-Thabari dalam tafsirnya juga menjelaskan makan lain dari imam yaitu kitab, nabi, syara’, serta buku catatan amal perbuatan manusia yang telah dihitung. (Tafsir al-Misbah dan Tafsir At-Tahabari).

Adapun yang bermakna jalan terdapat dalam surah Al-Hijr ayat 79:

فَانْتَقَمْنا مِنْهُمْ وَ إِنَّهُما لَبِإِمامٍ مُبينٍ

Artinya: Maka Kami membinasakan mereka. Dan sesungguhnya kedua kota (kaum Luth dan Syu‘aib) itu benar-benar terletak di jalan umum yang terang.”

Adapun yang bermakna lauh mahfūdz terdapat dalam surah Yasin ayat 12:

إِنَّا نَحْنُ نُحْيِ الْمَوْتى‏ وَ نَكْتُبُ ما قَدَّمُوا وَ آثارَهُمْ وَ كُلَّ شَيْ‏ءٍ أَحْصَيْناهُ في‏ إِمامٍ مُبينٍ

Artinya: “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab induk yang nyata.”

Berkaitan dengan kitab induk yang nyata ini, para mufasir seperti As-Suyuthi dan Asya’rawi menerangkan bahwa imam di sini bermakna kitab induk yang terjaga. Kemudian kitab ini merujuk pada lauh mahfūdz. Dengan kitab ini diketahui segala yang sudah terjadi dari keadaan manusia. (ad-Dūr al-Manthūr dan Tafsir Asy-Sya’rawi).

Baca juga: Reinterpretasi Kepemimpinan dalam Surah Al-Nisa Ayat 34

Dua Model Imam

Adapun dalam bentuk jamaknya, a’immah, disebutkan dalam Al-Qur’an dan merujuk pada dua model imam. Pertama, imam kufur yang mengajak manusia menuju neraka dan kerugian. Kedua, imam kebaikan yang memberi petunjuk pada kebaikan. Kedua model imam ini dapat dilihat melalui ayat-ayat berikut ini, Al-Qashash ayat 41:

وَ جَعَلْناهُمْ أَئِمَّةً يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَ يَوْمَ الْقِيامَةِ لا يُنْصَرُونَ

Artinya: Dan Kami jadikan mereka para pemimpin yang menyeru (manusia) ke neraka dan pada hari kiamat mereka tidak akan ditolong.”

Fakhruddin Ar-Razi menjelaskan bahwa sifat ini ialah perangai imam-imam batil. Mereka senantiasa menyeru manusia yang lemah jiwa dan akalnya untuk melakukan amal-amal buruk hingga akhirnya mengantarkan mereka ke neraka. Tidak ada penolong bagi mereka dan meraka adalah golongan yang rugi. (Tafsir Mafatihul Ghaib).

Dalam relasinya dengan imam yang kufur ini, Quraish Shihab mengaitkannya dengan surah at-Taubah ayat 12, yaitu untuk memerangi imam-imam yang kufur. Karena mereka adalah pangkal dari keburukan. Dengan memerangi mereka akan memutus umat yang tertipu oleh keburukan pemimpin yang batil. (Tafsir al-Misbah).

وَ إِنْ نَكَثُوا أَيْمانَهُمْ مِنْ بَعْدِ عَهْدِهِمْ وَ طَعَنُوا في‏ دينِكُمْ فَقاتِلُوا أَئِمَّةَ الْكُفْرِ إِنَّهُمْ لا أَيْمانَ لَهُمْ لَعَلَّهُمْ يَنْتَهُونَ

Artinya: “Jika mereka merusak sumpah (janji) sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah para pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, agar mereka berhenti.”

Sementara model yang kedua adalah imam dalam kebenaran. Imam ini salah satunya disandang oleh Nabi Ibrahim setelah menerima dengan penuh kesabaran ujian-ujian yang datang dari Allah. Di antaranya adalah perintah untuk menyembelih Ismail, putranya. Dalam surah Al-Baqarah ayat 124 dikatakan:

وَ إِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيْمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّيْ جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَ مِنْ ذُرِّيَّتِيْ قَالَ لاَ يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِيْنَ

Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu ia menunaikannya (dengan baik). Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku menjadikanmu imam bagi seluruh manusia.” Ibrahim berkata, “Dan dari keturunanku (juga)?” Allah berfirman, “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim.”

Ciri-ciri dari imam kebenaran adalah memberi petunjuk untuk melakukan berbagai kebaikan, seperti mengerjakan kebaikan, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan hanya menyembah kepada Allah. Sebagaimana dalam surah al-Anbiya’ ayat 73:

وَ جَعَلْناهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنا وَ أَوْحَيْنا إِلَيْهِمْ فِعْلَ الْخَيْراتِ وَ إِقامَ الصَّلاةِ وَ إيتاءَ الزَّكاةِ وَ كانُوا لَنا عابِدينَ

Artinya: Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada mereka untuk mengerjakan kebaikan, mendirikan salat, dan menunaikan zakat, dan hanya kepada Kami-lah mereka selalu menyembah.”

Penutup

Melalui uraian tentang terma imam dalam Al-Qur’an, ada beberapa hikmah yang dapat diambil. Pertama, menjadi seorang imam adalah menjadi panutan yang harus selalu meningkatkan kualitas diri. Karena ada kaum yang mengikuti dan meneladani sifat dan perilakunya.

Kedua, baik dan buruknya imam tidak dilihat dari atribut-atribut lahiriyah yang disandangnya (pangkat, pekaian, gelar, dan sebagainya), akan tetapi dilihat dari akhlak dan perbuatannya. Oleh karena itu, jangan sampai kita tertipu dan salah dalam memilih imam sebagai panutan.

Terakhir, semoga kita dapat menjadi imam yang baik bagi diri kita sendiri, keluarga, maupun dalam lingkup masyarakat lebih luas. Di sisi lain, semoga kita juga mampu memilih imam yang mengajak kepada kebaikan, karena salah memilih imam tidak hanya rugi di dunia, akan tetapi juga bisa membuat rugi dan menyesal di akhirat kelak.

Baca juga: Ibrah Kisah Nabi Yusuf: Menjadi Pejabat di Bawah Kepemimpinan Non-Muslim

Tafsir Surah al-Mujadilah ayat 16-18

0
Tafsir Surah al-Mujadilah
Tafsir Surah al-Mujadilah

Sebagai penutup, Tafsir Surah a-Mujadalah ayat 22 ini menjelaskan bahwa orang-orang munafik merupakan sebenar-benarnya orang kafir. Kemudian Tafsir Surah al-Mujadilah ayat 22 ini mengingatkan bahwasanya tidaklah wajar orang mukmin berteman baik dengan orang kafir.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah al-Mujadilah ayat 19-21


Ayat 22

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim, at-Thabrani, Abu Nu‘aim, dan al-Baihaqi dari Ibnu ‘Abbas bahwa ia berkata, “Ayat ini turun berhubungan dengan Abu Ubaidah bin ‘Abdillah al-Jarrah, yang mana dalam Perang Badar, selalu ditantang berperang tanding oleh ayahnya, ‘Abdullah al-Jarrah. Akan tetapi, ia selalu berusaha menghindarkan diri dari perang tanding itu. Karena terus-menerus dicari dan diburu oleh ayahnya, ia terpaksa melayaninya, sehingga Abu Ubaidah membunuh ayahnya. Maka turunlah ayat ini.

Ayat ini menerangkan bahwa sebenarnya orang munafik itu benar-benar kafir, bahkan lebih berbahaya dari orang yang terang-terangan menyatakan kekafirannya. Orang-orang munafik yang dimaksud dalam ayat ini ialah orang-orang yang selalu berusaha dan mengadakan tipu daya dalam mencapai tujuan mereka untuk menghancurkan agama Islam dan kaum Muslimin. Orang-orang kafir yang tidak memusuhi kaum Muslimin atau orang yang tidak berusaha menghancurkan agama Islam dan kaum Muslimin tidak termasuk dalam ayat ini.

Kaum Muslimin dilarang berteman dengan orang-orang kafir yang menjadi musuh Islam karena hal itu berarti ikut berusaha menghancurkan Islam dan kaum Muslimin. Sedangkan terhadap orang-orang kafir yang tidak memusuhi kaum Muslimin dan tidak berusaha menghancurkan agama Islam, kaum Muslimin dibolehkan berteman dan bergaul dengan mereka, seperti yang dilakukan oleh Rasulullah saw sendiri dan para sahabat. Sesuai dengan firman Allah:

لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ   ٨

Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (al-Mumtahanah/60: 8).

Kemudian ditegaskan, seandainya ada kaum Muslimin yang berteman erat dengan orang kafir yang memusuhi Islam maka hal itu adalah sikap yang tidak wajar. Sebab, tidak mungkin ada orang-orang mukmin yang benar-benar beriman kepada Allah berteman dengan orang kafir yang ingin menghancurkan Islam.

Dengan demikian, kaum Muslimin diminta agar selalu waspada setiap terjadi permusuhan dan pertempuran dengan orang-orang kafir. Sekali-kali tidak boleh berteman erat dengan mereka, karena akan membahayakan kaum Muslimin.

Allah menerangkan bahwa orang-orang yang telah diterangkan kekuatan iman dan keikhlasan hati mereka, seperti Abu Ubaidah, adalah orang yang telah tertanam keimanan dalam hatinya. Sehingga mereka tidak tahan mendengar Allah dan Rasul-Nya dicaci-maki orang, atau agama Islam direndahkan.

Di samping mempunyai keimanan yang kuat, Allah juga telah menguatkan hati dan jiwa mereka sehingga menimbulkan ketenangan jiwa dan ketetapan hati dalam menegakkan agama Allah. Oleh karena itu, mereka tidak dapat melakukan kerja sama dengan orang-orang yang memusuhi Islam dan kaum Muslimin.

Pada akhir ayat ini diterangkan balasan yang akan mereka peroleh dari Allah, yaitu:

  1. Di akhirat mereka akan ditempatkan di dalam surga yang penuh kenikmatan, dan di bawahnya mengalir sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya.
  2. Allah rida dan menyukai perbuatan-perbuatan yang telah mereka lakukan selama hidup di dunia dan keadaan mereka di akhirat. Mereka pun rida dan senang terhadap balasan yang dianugerahkan Allah kepada mereka cepat atau lambat.
  3. Mereka termasuk orang-orang yang dimuliakan Allah karena telah bersedia menjadi tentara Allah dan mengorbankan segala yang ada pada mereka untuk meninggikan kalimat-Nya.
  4. Mereka termasuk orang-orang yang beruntung, karena dirinya telah berhasil melaksanakan tugas hidupnya sebagai hamba Allah di dunia dan di akhirat.

(Tafsir Kemenag)


Baca Juga: Kunci Kedua Menggapai Kebahagiaan: Memiliki Ilmu yang Luas