Beranda blog Halaman 210

Tafsir Surah Al-Mulk ayat 3 Part 2

0
Tafsir Surah Al-Mulk
Tafsir Surah Al-Mulk

Melanjuti Part 1, Tafsir Surah Al-Mulk ayat 3 Part 2 ini menjelaskan pembagian atmosfer yang menjadi tujuh lapis berdasarkan kandungan kimia dan suhu udaranya. Ditegaskan pula dalam ayat 11-12 surah Fushshilat bahwa setiap lapisan tersebut berbeda. Selengkapnya baca Tafsir Surah Al-Mulk ayat 3 Part 2 di bawah ini…


Baca Juga: Tafsir Surah Al-Mulk ayat 2


Pembagian atmosfer menjadi tujuh lapis didasarkan pada perbedaan kandungan kimia dan suhu udara. Ketujuh lapisan tersebut dinamakan: Troposfer, Stratosfer, lapisan-lapisan Mesosfer, Thermosfer, Exosfer, Ionosfer, dan Magnetosfer. Dalam Surah Fushshilat/41 ayat 11-12 dinyatakan bahwa tiap lapis langit mempunyai urusannya sendiri-sendiri. Hal ini dikonfirmasi ilmu pengetahuan, misal ada lapisan yang bertugas untuk membuat hujan, mencegah kerusakan akibat radiasi, memantulkan gelombang radio, sampai dengan lapisan yang mencegah agar meteor tidak merusak bumi.

Akan tetapi, dengan adanya ayat 5 pada surah yang sama (al-Mulk/67: 5), tampaknya yang dimaksudkan dengan langit bukanlah langit atmosfer, melainkan langit semesta. Bunyi ayat tersebut demikian:

وَلَقَدْ زَيَّنَّا السَّمَاۤءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيْحَ وَجَعَلْنٰهَا رُجُوْمًا لِّلشَّيٰطِيْنِ وَاَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابَ السَّعِيْرِ   ٥

Dan sungguh, telah Kami hiasi langit yang dekat, dengan bintang-bintang dan Kami jadikannya (bintang-bintang itu) sebagai alat pelempar setan, dan Kami sediakan bagi mereka azab neraka yang menyala-nyala. (al-Mulk/67: 5);Dinyatakan secara jelas bahwa pada “langit yang dekat” (mungkin dapat ditafsirkan sebagai lapis langit pertama) dihiasi oleh bintang-bintang. Kata yang digunakan bukan bintang (bentuk tunggal yang dapat menunjuk pada matahari sebagai bintang dalam tata surya), akan tetapi bintang-bintang (bentuk jamak). Dengan demikian “langit yang dekat” adalah seluruh galaksi yang kita ketahui saat ini.

Apabila demikian halnya, apa yang dinyatakan dalam Al-Qur’an mengenai hal ini, sama sekali belum dapat dijangkau oleh temuan ilmu pengetahuan. Berkaitan dengan itu, adalah suatu hal yang sangat sombong jika seorang manusia mengakui tahu segala sesuatu. Betapa pun luasnya pengetahuan seseorang, masih sangat sedikit bila dibandingkan dengan pengetahuan Allah. Apabila seseorang mengumpamakan dirinya sebagai bumi, kemudian melihat dirinya terletak di antara planet-planet yang banyak itu, tentu akan merasa bahwa dirinya sebenarnya tidak ada artinya jika dibandingkan dengan makhluk Allah yang beraneka ragam bentuk dan coraknya yang tiada terhitung jumlahnya.

Allah lalu memerintahkan manusia memandang dan memperhatikan langit dan bumi beserta isinya, serta mempelajari sifat-sifatnya. Misalnya, perhatikanlah matahari bersinar dan bulan bercahaya, sampai di mana manfaat dan faedah sinar dan cahaya itu bagi kehidupan seluruh makhluk yang ada. Perhatikanlah binatang ternak yang digembalakan di padang rumput, tumbuh-tumbuhan yang menghijau, gunung-gunung yang tinggi kokoh menjulang yang menyejukkan mata orang yang memandangnya; laut yang terhampar luas membiru; langit dan segala isinya.

Semuanya tumbuh, berkembang, tetap dalam kelangsungan hidup dan wujudnya, serta berkesinambungan dan mempunyai sistem, hukum, dan peraturan yang sangat rapi. Sistem itu tidak terlepas dari sistem hukum dan peraturan yang lebih besar daripadanya yaitu yang berlaku pada seluruh alam yang fana ini. Cobalah pikirkan dan renungkan, apakah ada cacat atau cela pada makhluk yang diciptakan Allah, demikian juga pada sistem, hukum dan peraturan yang berlaku padanya? Mahabesar dan Maha Pencipta Allah, Tuhan seru sekalian alam, tiada suatu cacat atau cela pun terdapat pada makhluk yang diciptakan-Nya.

Kemudian seolah-olah Allah melanjutkan pertanyaan-Nya kepada manusia apakah mereka masih ragu tentang kekuasaan dan kebesaran-Nya? Apakah manusia masih ragu tentang sistem, hukum, dan peraturan yang dibuat untuk makhluk-Nya, termasuk di dalamnya mereka sendiri? Jika masih ragu, manusia diperintahkan untuk memperhatikan, merenungkan, dan mempelajari kembali dengan sebenar-benarnya. Apakah mereka masih mendapatkan dalam ciptaan Allah itu sebagian yang tidak sempurna?

Dari pertanyaan yang dikemukakan ayat ini, dapat dipahami bahwa seakan-akan Allah menantang manusia, agar mencari (kalau ada) sedikit saja kekurangan dan ketidaksempurnaan pada ciptaan-Nya. Seandainya ada kekurangan, cacat, dan cela dalam ciptaan Allah, maka manusia pantas untuk mengingkari keesaan dan kekuasaan-Nya. Akan tetapi, mereka kagum dan mengakui kerapian ciptaan Allah itu, bahkan mereka mengakui kelemahan mereka. Jika demikian halnya, maka keingkaran mereka itu bukanlah ditimbulkan karena ketidakpercayaan mereka kepada Allah, tetapi semata-mata karena kesombongan dan keangkuhan mereka semata.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-Mulk ayat 4


Tafsir Surah Al-Mulk ayat 3 Part 1

0
Tafsir Surah Al-Mulk
Tafsir Surah Al-Mulk

Tafsir Surah Al-Mulk ayat 3 Part 1 menerangkan bahwa Allah yang menciptakan seluruh langit secara bertahap tanpa ada tiang yang menyangga dan tali yang mengikatnya. Dijelaskan pula secara astronomi dalam Tafsir Surah Al-Mulk ayat 3 Part 1 ini bahwa 7 lapisan langit yang diciptakan Allah ini terdiri dari galaxi dan benda langit lainnya.


Baca Juga: Tafsir Surah Al-Mulk ayat 2


Ayat 3

Dalam Tafsir Surah Al-Mulk ayat 3 Part 1, Allah menerangkan bahwa Dialah yang menciptakan seluruh langit secara bertingkat di alam semesta. Tiap-tiap benda alam itu seakan-akan terapung kokoh di tengah-tengah jagat raya, tanpa ada tiang-tiang yang menyangga dan tanpa ada tali-temali yang mengikatnya. Tiap-tiap langit itu menempati ruangan yang telah ditentukan baginya di tengah-tengah jagat raya dan masing-masing lapisan itu terdiri atas begitu banyak planet yang tidak terhitung jumlahnya. Tiap-tiap planet berjalan mengikuti garis edar yang telah ditentukan baginya. Allah berfirman:

خَلَقَ السَّمٰوٰتِ بِغَيْرِ عَمَدٍ تَرَوْنَهَا وَاَلْقٰى فِى الْاَرْضِ رَوَاسِيَ اَنْ تَمِيْدَ بِكُمْ وَبَثَّ فِيْهَا مِنْ كُلِّ دَاۤبَّةٍۗ وَاَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاۤءِ مَاۤءً فَاَنْۢبَتْنَا فِيْهَا مِنْ كُلِّ زَوْجٍ كَرِيْمٍ   ١٠

Dia menciptakan langit tanpa tiang sebagaimana kamu melihatnya, dan Dia meletakkan gunung-gunung (di permukaan) bumi agar ia (bumi) tidak menggoyangkan kamu; dan memperkembangbiakkan segala macam jenis makhluk bergerak yang bernyawa di bumi. Dan Kami turunkan air hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan padanya segala macam tumbuh-tumbuhan yang baik. (Luqman/31: 10)

Semua benda langit beserta bintang-bintang yang terdapat di dalamnya tunduk dan patuh mengikuti ketentuan dan hukum yang ditetapkan Allah baginya. Semuanya tetap seperti itu sampai pada waktu yang ditentukan baginya. Allah berfirman:

اَللّٰهُ الَّذِيْ رَفَعَ السَّمٰوٰتِ بِغَيْرِ عَمَدٍ تَرَوْنَهَا ثُمَّ اسْتَوٰى عَلَى الْعَرْشِ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَۗ  كُلٌّ يَّجْرِيْ لِاَجَلٍ مُّسَمًّىۗ يُدَبِّرُ الْاَمْرَ يُفَصِّلُ الْاٰيٰتِ لَعَلَّكُمْ بِلِقَاۤءِ رَبِّكُمْ تُوْقِنُوْنَ   ٢

Allah yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menundukkan matahari dan bulan; masing-masing beredar menurut waktu yang telah ditentukan. Dia mengatur urusan (makhluk-Nya), dan menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), agar kamu yakin akan pertemuan dengan Tuhanmu. (ar-Ra‘d/13: 2)

Menurut ilmu Astronomi, di jagat raya yang luasnya tiada terhingga itu, terdapat galaksi-galaksi atau gugusan-gugusan bintang yang di dalamnya terdapat miliaran bintang yang tiada terhitung jumlahnya. Bintang-bintang yang berada di dalam setiap galaksi itu ada yang kecil seperti bumi dan ada pula yang besar seperti matahari, dan bahkan banyak yang lebih besar lagi. Setiap galaksi mempunyai sistem yang teratur rapi, yang tidak terlepas dari sistem ruang angkasa seluruhnya. Adanya daya tarik-menarik yang terdapat pada setiap planet, menyebabkan planet-planet itu tidak jatuh dan tidak berbenturan antara yang satu dengan yang lain, sehingga ia tetap terapung dan beredar pada garis edarnya masing-masing di angkasa.

Bila dihubungkan pengertian ayat tersebut dengan yang dijelaskan ilmu Astronomi, maka yang dimaksud dengan tingkat-tingkat langit yang banyak itu ialah galaksi-galaksi. Sedang angka tujuh dalam bahasa Arab biasa digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang jumlahnya banyak. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan tingkat langit yang tujuh itu adalah galaksi-galaksi yang banyak terdapat di langit. Sementara itu, ada pula ahli tafsir yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “tujuh lapisan langit” ialah tujuh bintang yang berada di sekitar matahari, dan ada pula ahli tafsir yang tidak mau menafsirkannya. Mereka menyerahkannya kepada Allah karena hal itu ada pada pengetahuan-Nya yang belum diketahui dengan pasti oleh manusia.

Demikianlah gambaran umum keadaan sistem galaksi-galaksi. Mengenai keadaan setiap planet yang tidak terhitung banyaknya itu, seperti bagaimana sifat dan tabiatnya, apa yang terkandung di dalamnya, bagaimana bentuknya secara terperinci, dan sebagainya masih sangat sedikit yang diketahui manusia. Hal itu pun hanya sekelumit kecil dari pengetahuan tentang galaksi itu.

Seperti mengenai penciptaan “langit” yang tujuh lapis terdapat pada beberapa ayat lainnya, seperti al-Baqarah/2: 29, al-An‘am/6: 125, Nuh/71: 15, dan an-Naba’/78: 12. Menurut para saintis, kata langit dapat ditafsirkan sebagai langit bumi yang berupa atmosfer atau langit alam semesta. Apabila langit bumi, ternyata bahwa atmosfer dibagi dalam tujuh lapisan. Dan masing-masing lapisan mempunyai tugas dan fungsi melindungi bumi.

Selanjutnya………


Baca Juga: Argumentasi Kekuasaan dan KeEsaan Allah swt: Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 164


Tafsir Surah Al-Mulk ayat 2

0
Tafsir Surah Al-Mulk
Tafsir Surah Al-Mulk

Selain menguasai kerajaan dunia dan akhirat dalam Tafsir Surah Al-Mulk ayat 2 ini disebutkan bahwa Allah yang menciptakan kematian dan kehidupan. Hanyalah Allah yang dapat menentukan kematian setiap makhluk hidup.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Mulk ayat 1 


Ayat 2

Dalam ayat ini diterangkan bahwa Tuhan yang memegang kekuasaan kerajaan dunia dan kerajaan akhirat serta menguasai segala sesuatunya itu, adalah Tuhan yang menciptakan kematian dan kehidupan. Hanya Dia yang menentukan saat kematian setiap makhluk. Jika saat kematian itu telah tiba, tidak ada suatu apa pun yang dapat mempercepat atau memperlambatnya barang sekejap pun. Demikian pula keadaan makhluk yang akan mati, tidak ada suatu apa pun yang dapat mengubahnya dari yang telah ditentukan-Nya. Allah berfirman:

وَلَنْ يُّؤَخِّرَ اللّٰهُ نَفْسًا اِذَا جَاۤءَ اَجَلُهَاۗ وَاللّٰهُ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ ࣖ   ١١

Dan Allah tidak akan menunda (kematian) seseorang apabila waktu kematiannya telah datang. Dan Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan. (al-Munafìqun/63: 11)

Tidak seorang pun manusia atau makhluk hidup lain yang dapat menghindarkan diri dari kematian yang telah ditetapkan Allah, sebagaimana firman-Nya:

اَيْنَ مَا تَكُوْنُوْا يُدْرِكْكُّمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِيْ بُرُوْجٍ مُّشَيَّدَةٍ

Dimanapun kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu berada di dalam benteng yang tinggi dan kukuh. (an-Nisa’/4: 78)

Demikian pula dinyatakan bahwa Allah yang menciptakan kehidupan. Maksudnya ialah bahwa Dialah yang menghidupkan seluruh makhluk hidup yang ada di alam ini. Dialah yang menyediakan segala kebutuhan hidupnya dan Dia pula yang memberikan kemungkinan kelangsungan jenis makhluk hidup itu, sehingga tidak terancam kepunahan. Kemudian Dia pula yang menetapkan lama kehidupan suatu makhluk dan menetapkan keadaan kehidupan seluruh makhluk. Dalam pada itu, Allah pun menentukan sampai kapan kelangsungan hidup suatu makhluk, sehingga bila waktu yang ditentukan-Nya itu telah berakhir, musnahlah jenis makhluk itu sebagaimana yang dialami oleh jenis-jenis hewan purba.

Dalam ayat ini diterangkan bahwa Allah menciptakan kematian dan kehidupan adalah untuk menguji manusia, siapa di antara mereka yang beriman dan beramal saleh dengan mengikuti petunjuk-petunjuk yang dibawa Nabi Muhammad dan siapa pula yang mengingkarinya. Dari ayat di atas dipahami bahwa dengan menciptakan kehidupan itu, Allah memberi kesempatan yang sangat luas kepada manusia untuk memilih mana yang baik menurut dirinya.

Apakah ia akan mengikuti hawa nafsunya, atau ia akan mengikuti petunjuk, hukum, dan ketentuan Allah sebagai penguasa alam semesta ini. Seandainya manusia ditimpa azab yang pedih di akhirat nanti, maka azab itu pada hakikatnya ditimpakan atas kehendak diri mereka sendiri. Begitu juga jika mereka memperoleh kebahagiaan, maka kebahagiaan itu datang karena kehendak diri mereka sendiri sewaktu hidup di dunia.

Berdasarkan ujian itu pula ditetapkan derajat dan martabat seorang manusia di sisi Allah. Semakin kuat iman seseorang semakin banyak amal saleh yang dikerjakannya. Semakin ia tunduk dan patuh mengikuti hukum dan peraturan Allah, semakin tinggi pula derajat dan martabat yang diperolehnya di sisi Allah. Sebaliknya jika manusia tidak beriman kepada-Nya, tidak mengerjakan amal saleh dan tidak taat kepada-Nya, ia akan memperoleh tempat yang paling hina di akhirat.

Kehidupan duniawi adalah untuk menguji manusia, siapa di antara mereka yang selalu menggunakan akal dan pikirannya memahami agama Allah, dan memilih mana perbuatan yang paling baik dikerjakannya, sehingga perbuatannya itu diridai Allah. Juga untuk mengetahui siapa yang tabah dan tahan mengekang diri dari mengerjakan larangan-larangan Allah dan siapa pula yang paling taat kepada-Nya.

Ayat ini mendorong dan menganjurkan agar manusia selalu waspada dalam hidupnya. Hendaklah mereka selalu memeriksa hati mereka apakah ia benar-benar seorang yang beriman, dan juga memeriksa segala yang akan mereka perbuat, apakah telah sesuai dengan yang diperintahkan Allah atau tidak, dan apakah yang akan mereka perbuat itu larangan Allah atau bukan. Jika perbuatan itu telah sesuai dengan perintah Allah, bahkan termasuk perbuatan yang diridai-Nya, hendaklah segera mengerjakannya. Sebaliknya jika perbuatan itu termasuk larangan Allah, maka jangan sekali-kali melaksanakannya.

Pada akhir ayat ini, Allah menegaskan bahwa Dia Mahaperkasa, tidak ada satu makhluk pun yang dapat menghalangi kehendak-Nya jika Ia hendak melakukan sesuatu, seperti hendak memberi pahala orang-orang yang beriman dan beramal saleh atau hendak mengazab orang yang durhaka kepada-Nya. Dia Maha Pengampun kepada hamba-hamba-Nya yang mau bertobat kepada-Nya dengan menyesali perbuatan dosa yang telah dikerjakannya, berjanji tidak akan melakukan dosa itu lagi serta berjanji pula tidak akan melakukan dosa-dosa yang lain.

Pada ayat ini, Allah menyebut secara bergandengan dua macam di antara sifat-sifat-Nya, yaitu sifat Mahaperkasa dan Maha Pengampun, seakan-akan kedua sifat ini adalah sifat yang berlawanan. Sifat Mahaperkasa memberi pengertian memberi kabar yang menakut-nakuti, sedang sifat Maha Pengampun memberi pengertian adanya harapan bagi setiap orang yang mengerjakan perbuatan dosa, jika ia bertobat. Hal ini menunjukkan bahwa Allah yang berhak disembah itu benar-benar dapat memaksakan kehendak-Nya kepada siapa pun, tidak ada yang dapat menghalanginya.

Dia mengetahui segala sesuatu, sehingga dapat memberikan balasan yang tepat kepada setiap hamba-Nya, baik berupa pahala maupun siksa. Dengan pengetahuan itu pula, Dia dapat membedakan antara orang yang taat dan durhaka kepada-Nya, sehingga tidak ada kemungkinan sedikit pun seorang yang durhaka memperoleh pahala atau seorang yang taat dan patuh memperoleh siksa. Allah tidak pernah keliru dalam memberikan pembalasan.

 Firman Allah lainnya yang menyebut secara bergandengan kabar peringatan dan pengharapan itu ialah:

نَبِّئْ عِبَادِيْٓ اَنِّيْٓ اَنَا الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُۙ  ٤٩  وَاَنَّ عَذَابِيْ هُوَ الْعَذَابُ الْاَلِيْمُ   ٥٠

Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa Akulah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang, dan sesungguhnya azab-Ku adalah azab yang sangat pedih. (al-Hijr/15: 49-50)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Mulk ayat 3


Wasiat Terbaik Orang Tua untuk Anak dalam Al-Qur’an

0
Orang Tua
Wasiat Orang Tua Kepada Anak

Setiap orang tua selalu mengupayakan hal terbaik untuk anak-anaknya. Termasuk dalam hal bekal yang ditinggalkan untuk anak-anaknya kelak ketika telah meninggal dunia. Harta, tahta, bahkan kesenangan dunia lainnya seringkali menjadi prioritas utama yang dipersiapkan untuk keturunan.

Namun sejatinya yang perlu dipersiapkan oleh orang tua sebagai bekal anak bukan hanya perkara dunia, melainkan juga perkara akhirat dengan mengenal agamanya sendiri. Sebab hal ini akan menentukan nasib sang anak dan merupakan kewajiban dari orang tua. Ketika anak tidak dididik dan kemudian berbuat salah, maka orang tuanya lah yang turut menerima akibat sebagai konsekuensi tanggung jawab.

Maka bekal utama yang semestinya diberikan orang tua kepada anak adalah tentang aspek ukhrawi seperti ketauhidan yang memupuk keimanan anak kepada penciptanya. Allah Swt. menceritakan tentang kisah Nabi Ya’qub A.S. sebagaimana terdapat dalam QS. Al-Baqarah [2]: 133 sebagai berikut.

أَمۡ كُنتُمۡ شُهَدَآءَ إِذۡ حَضَرَ يَعۡقُوبَ ٱلۡمَوۡتُ إِذۡ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعۡبُدُونَ مِنۢ بَعۡدِيۖ قَالُواْ نَعۡبُدُ إِلَٰهَكَ وَإِلَٰهَ ءَابَآئِكَ إِبۡرَٰهِ‍ۧمَ وَإِسۡمَٰعِيلَ وَإِسۡحَٰقَ إِلَٰهٗا وَٰحِدٗا وَنَحۡنُ لَهُۥ مُسۡلِمُونَ

Terjemah: “Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya”. (QS. Al-Baqarah [2]: 133)

Tafsir QS. Al-Baqarah [2]: 133 tentang Wasiat Nabi Ya’qub

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa melalui ayat tersebut Allah Swt. berfirman sebagai hujjah atas orang-orang musyrik Arab dari anak keturunan Ismail dan juga atas orang-orang kafir dari keturunan Israil yaitu Ya’qub bin Ishak bin Ibrahim, bahwa ketika kematian menjemputnya, Ya’qub berwasiat kepada anak-anaknya supaya beribadah kepada Allah semata, yang tiada sekutu bagi-Nya.

Baca Juga: Mengingat Allah Swt dengan Muhasabah dalam Al-Quran dan Hadis

ِِAl-Qurthubi juga menjelaskan bahwa dalam ayat tersebut Nabi Ya’qub A.S. menggunakan lafadz ما untuk sesuatu yang disembah dan tidak menggunakan lafadz من karena dia ingin menguji anak-anaknya perihal ketuhanan. Sebab pada saat itu terdapat sesembahan lain selain Allah seperti berhala, api, matahari dan bebatuan. Oleh sebab itu, Nabi Ya’qub menekankan pertanyaan tersebut dan menuntut pemahaman mereka tentang itu.

Wahbah Az-Zuhaili menambahkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang Yahudi ketika mereka berkata kepada baginda Nabi Saw., ‘Apakah kau tidak tahu bahwa Ya’qub, pada saat matinya, telah mewasiatkan anak-anaknya agar berpegang kepada agama Yahudi?” perkataan itu dijadikan dalih oleh orang Yahudi yang hendak mengatakan bahwa agama mereka lain, lebih tinggi daripada agama orang Arab (Islam).

Wasiat Terbaik yang Semestinya Diberikan Kepada Anak

Melalui ayat tersebut, ketauhidan telah diwasiatkan oleh Nabi Ya’qub karena pada saat itu di Mesir ada banyak akidah yang menyesatkan. Sekelompok orang ada yang menyembah api, menyembah patung, menyembah pohon, dan menyembah hewan. Ia takut anak-anaknya terperosok kepada kesyirikan dan kekafiran. Demikianlah wasiat harus dilakukan oleh orang tua kepada anak-anaknya.

Jika kita hubungkan dengan zaman sekarang, justru godaan yang menggoyahkan akidah semakin banyak dan berat. Ada banyak pengaruh negatif yang mungkin saja didapatkan anak melalui kecepatan informasi di berbagai media. Orang-orang yang tidak senang dengan Islam dapat menghalalkan berbagai cara untuk menghancurkan akidah umat Islam. Demikian bahwa tantangan akidah di masa sekarang justru jauh lebih berat daripada zaman Nabi Ya’qub sehingga para orang tua perlu menyiapkan bekal dan mewasiatkan hal-hal yang baik untuk anak-anaknya.

Baca Juga: Pentingnya Muhasabah dan Perintah dalam Al-Quran dan Hadis

Mengapa wasiat akidah begitu penting? Sebab jika akidah seseorang benar, kehidupannya tidak hanya baik di dunia melainkan juga baik di akhirat. Akidah menjadi pintu bagi seseorang untuk memperoleh kebahagiaan yang hakiki. Ketika akidahnya benar, maka ibadah serta jalan hidupnya pun juga akan benar. Sebaliknya, ketika akidah menyimpang maka sepak terjang kehidupan juga akan suram.

Simpulan

Al-Qur’an sejatinya menyimpan pesan kepada para orang tua untuk menyiapkan bekal dan wasiat terbaik untuk anak-anaknya. Wasiat terbaik tersebut yang paling utama adalah persoalan akidah. Maka untuk itu, orang tua perlu memberikan pendidikan yang baik untuk anak dengan menerapkan pendidikan yang tidak hanya berorientasi kepada dunia tetapi juga kepada akhirat. Pada akhirnya, ketika orang tua telah tiada anak tidak sekedar ditinggalkan harta atau bahkan kebiasaan-kebiasaan yang buruk. Namun bekal yang ditinggalkan orang tua adalah ketauhidan yang menjadi jalan menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Wallahu A’lam.

Tafsir Surah Al-Mulk ayat 1

0
Tafsir Surah Al-Mulk
Tafsir Surah Al-Mulk

Tafsir Surah Al-Mulk ayat 1 menerangkan makna dari Al-Mulk yang berarti kerajaan. Allah lah yang memiliki kerajaan dunia ini dan setelah kerajaan dunia ini lenyap Allah pula yang menciptakan kerajaan akhirat. Dalam Tafsir Surah Al-Mulk ayat 1 ini diingatkan pula bahwa hukum yang ada di dunia fana ada dua yakni, sunnatullah dan agama Allah.


Baca Juga: Tafsir Surah Al-Qashash Ayat 77: Berbuat Baiklah Sebagaimana Allah Berbuat Baik Padamu!


Ayat 1

Tafsir Surah Al-Mulk ayat 1 ini menerangkan bahwa Allah Yang Mahasuci dan yang tidak terhingga rahmat-Nya, adalah penguasa semua kerajaan dunia yang fana ini dengan segala macam isinya, dan kerajaan akhirat yang terjadi setelah lenyapnya kerajaan dunia. Allah berfirman:

وَلِلّٰهِ مُلْكُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا ۗ يَخْلُقُ مَا يَشَاۤءُ ۗوَاللّٰهُ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

Dan milik Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya. Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (al-Ma’idah/5: 17)

Firman Allah yang lain :

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ  ٢  الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِۙ  ٣  مٰلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِۗ  ٤

Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, Pemilik hari pembalasan. (al-Fatihah/1: 2-4)

Allah adalah penguasa kerajaan dunia. Hal ini berarti bahwa Dialah yang menciptakan seluruh alam ini beserta segala yang terdapat di dalamnya. Dia pulalah yang mengembangkan, menjaga kelangsungan wujudnya, mengatur, mengurus, menguasai, dan menentukan segala sesuatu yang ada di dalamnya, sesuai yang dikehendaki-Nya. Dalam mengatur, mengurus, mengembangkan, dan menjaga kelangsungan wujud alam ini, Allah menetapkan hukum-hukum dan peraturan-peraturan. Semua wajib tunduk dan mengikuti hukum-hukum dan peraturan yang dibuat-Nya itu tanpa ada pengecualian sedikit pun. Apa dan siapa saja yang tidak mau tunduk dan patuh, serta mengingkari hukum-hukum dan peraturan-peraturan itu pasti akan binasa atau sengsara.

Hukum dan peraturan Allah yang berlaku di alam ini ada dua;

Pertama, sunatullah yang merupakan hukum dan ketentuan Allah yang berlaku di alam semesta ini, baik bagi makhluk hidup maupun benda mati, baik bagi manusia maupun bagi hewan, tumbuh-tumbuhan, dan benda yang tidak bernyawa, baik bagi bumi dengan segala isinya maupun bagi seluruh planet-planet yang beredar di jagat raya yang tiada terbatas luasnya. Di antara hukum dan peraturan Allah itu ialah api membakar, air mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah, hukum Pascal, dan, hukum Archimedes.

Manusia hidup memerlukan oksigen, makan dan minum, baik berupa makanan dan minuman jasmani maupun rohani. Manusia adalah makhluk individu dan makhluk sosial. Tiap-tiap planet, termasuk bumi, mempunyai daya tarik-menarik dan berjalan pada garis edarnya yang telah ditentukan; dan banyak lagi hukum-hukum dan peraturan-peraturan Allah, baik yang telah diketahui manusia maupun yang belum diketahuinya.

Pelanggaran terhadap hukum dan peraturan Allah berarti kesengsaraan dan kebinasaan bagi yang melanggarnya. Seperti memasukkan tangan ke dalam api berakibat terbakarnya tangan tersebut, dan merusak alam atau menebang hutan yang melampaui batas berakibat banjir dan kerugian bagi manusia. Bahkan bintang-bintang dan meteor yang menyalahi hukum Allah akan mengalami kehancuran.

Kedua, agama Allah, yang berisi petunjuk-petunjuk bagi manusia. Dengan mengikuti petunjuk-petunjuk itu, manusia akan hidup bahagia di dunia dan di akhirat. Agama yang berisi petunjuk-petunjuk itu diturunkan Allah kepada para rasul yang telah diutus-Nya, sejak dari Nabi Adam sampai kepada Nabi Muhammad, sebagai nabi dan rasul Allah yang terakhir, penutup dari segala rasul dan nabi. Manusia yang hidup setelah diutusnya Nabi Muhammad, sampai akhir zaman, wajib mengikuti agama yang dibawanya jika mereka ingin hidup selamat, berbahagia di dunia dan di akhirat .

Demikianlah Allah yang menguasai, mengurus, mengatur, dan menjaga kelangsungan wujud alam ini, menetapkan undang-undang dan ketentuan-ketentuan, sehingga dengan demikian terlihat semuanya teratur rapi, indah, dan bermanfaat bagi manusia. Apabila seorang warga negara wajib tunduk dan patuh kepada semua hukum dan ketentuan yang berlaku di negaranya, tentu ia harus lebih wajib lagi tunduk dan patuh kepada hukum dan peraturan Allah yang menciptakan, memberi nikmat, dan menjaganya. Jika suatu negara menetapkan sanksi bagi setiap warga negara yang melanggar hukum dan peraturan yang telah ditetapkannya, maka Allah lebih menetapkan sanksi dan mengadili dengan seadil-adilnya setiap makhluk yang mengingkari hukum dan peraturan yang telah dibuat-Nya.

Di samping sebagai penguasa kerajaan dunia, Allah juga menguasai kerajaan akhirat, yang ada setelah kehancuran seluruh kerajaan dunia. Kerajaan akhirat merupakan kerajaan abadi; dimulai dari terjadinya hari Kiamat, hari kehancuran dunia dan pembangkitan manusia dari kubur. Kemudian mereka dikumpulkan di Padang Mahsyar untuk diadili dan ditimbang amal dan perbuatannya. Dari pengadilan itu diputuskan; bagi yang iman dan amal salehnya lebih berat dibandingkan dengan kesalahan yang telah diperbuatnya, maka ia diberi balasan dengan surga, tempat yang penuh kenikmatan dan kebahagiaan.

Sebaliknya jika perbuatan jahat yang telah dikerjakannya selama hidup di dunia lebih berat dari iman dan amal saleh yang telah dilakukannya, maka balasan yang mereka peroleh adalah neraka, tempat yang penuh kesengsaraan yang tiada tara. Kehidupan di akhirat, baik di surga maupun di neraka, adalah kehidupan yang kekal. Di surga Allah melimpahkan kenikmatan dan kebahagiaan kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh, sedangkan di neraka Allah menimpakan siksaan yang sangat berat kepada orang-orang kafir dan berbuat jahat.;

Allah berfirman:

بَلٰى مَنْ كَسَبَ سَيِّئَةً وَّاَحَاطَتْ بِهٖ خَطِيْۤـَٔتُهٗ فَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِ ۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ   ٨١  وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ اُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ الْجَنَّةِ ۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ ࣖ  ٨٢

Bukan demikian! Barang siapa berbuat keburukan, dan dosanya telah menenggelamkannya, maka mereka itu penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya, Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka itu penghuni surga. Mereka kekal di dalamnya. (al-Baqarah/2: 81-82)

Pada akhir ayat ini ditegaskan bahwa Allah sebagai penguasa kerajaan dunia dan kerajaan akhirat, Mahakuasa atas segala sesuatu. Tidak ada suatu apa pun yang dapat menandingi kekuasaan-Nya dan tidak ada suatu apa pun yang dapat luput dari kekuasaan-Nya itu.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Mulk ayat 2


Pemikiran Ignaz Goldziher Tentang Qira’at Al-Qur’an

0
Ignaz Goldziher Tentang Qira'at Al-Qur'an
Ignaz Goldziher Tentang Qira'at Al-Qur'an

Kajian terhadap studi Al-Quran yang dilakukan oleh kaum orientalis, sebagian bertujuan untuk meragukan keotentikan Al-Quran, namun walaupun demikian kajian-kajian yang dilakukan tersebut tidak semuanya melahirkan pengaruh yang negatif, tetap ada sisi positif yang dapat diambil. Salah satu celah yang menjadi tempat masuk kaum orientalis dalam meragukan keotentikan Al-Quran adalah masalah qiraat. Permasalahan seputar qiraat, seperti tentang sab’ah al-huruf, Qiraah sab’ah, dan kemudian munculnya qiraah syadz akibat adanya perbedaan varian bacaan merupakan celah yang tepat untuk mempertanyakan kembali keotentikan Al-Quran. Kajian tentang qiraat Al-Quran ini salah satunya dilakukan oleh  Ignaz Goldziher, ia merupakan tokoh orientalis terkemuka pada abad ke-19, berasal dari Hongaria dan banyak bergelut dengan ilmu Al-Quran di Universitas al-Azhar Mesir.

Baca juga: Tafsir Surah Al-Qashash Ayat 77: Berbuat Baiklah Sebagaimana Allah Berbuat Baik Padamu!

Dalam memandang qiraat tentunya Ignaz Goldziher mempunyai pandangan yang jauh berbeda. Namun sebelum  itu mari kita lihat pandangan para ulama terhadap qiraat Al-Quran terlebih dahulu. Secara etimologi, lafadz qiraat قراءات  merupakan bentuk jamak dari kata qiraah قراة yang merupakan bentuk Masdar sima’i dari qaraa قرء yang berarti membaca.

Sedangkan secara terminologis, qiraat dalam pandangan para ulama memiliki beberapa pengertian. Seperti yang diungkapkan Ibnu al-Jazuri dalam kitab al-qiraat al-Qur’aniyah, menurutnya qiraat adalah:

عِلْمٌ بِكَيْفِيَةِ اَدَاءِ كَلِمَاتِ القُرْاَنِ وَ اخْتِلَافِها مَعْزُوًا لنَاقِلِهِ

Qiraat Ilmu yang mempelajari bagaimana cara melafalkan kalimat-kalimat Al-Quran serta perbedaanya dengan disandarkan kepada riwayat (perawi) .

Kemudian definisi qiraat menurut pandangan al-Zarqani yaitu :

مَذْهَبُ يَذْهَبُ اِليْهِ اِمَامٌ مِنْ اَئِمَّةِ القُرَءِ مُخَالِفًا بِه غَيْرُه في النُطْقِ بالقرآنِ الكَرِيمِ مَعَ اتِّفَاقِ الرِوَاياتِ و الطُرْقِ عَنهُ, سَوَاءٌ كَانَتْ هَذِهِ المُخَالَفةُ في نُطْقِ الحُرُوفِ اوْ في نُطق هَيْئاَتِهَا.

Qiraat merupakan madzhab (aliran) pengucapan Al-Quran yang dipilih oleh salah satu umam Qurra’ sebagai madzhab yang berbeda dengan madzhab lainnya, yang sesuai dengan  riwayat dan sanadnya, baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf atau kaifiyahnya.

Jika dilihat dari beberapa pengertian di atas definisi para ulama  tentang qiraat tidak terlepas dari pernyataan bahwasanya qiraat itu harus dibangun di atas riwayat yang mutawatir dan muttashil kepada Rasullah Saw. Para ulama menjadikan riwayat sebagai neraca untuk menguji keabsahan qiraat.

Baca juga: Tafsir Surah Hud ayat 118-119: Rahmat Allah itu Berupa Kemampuan Bersikap Toleran

Pandangan para ulama tentang qiraat tersebut berbanding terbalik dengan Ignaz Goldziher. Menurutnya, upaya dalam mengklasifikasi qiraat mutawatir dari yang syadhz merupakan ijtihad manusia. Goldziher berpandangan bahwa qiraat yang dianggap syadz belum tentu benar-benar syadz, atau sebaliknya qiraat yang dianggap mutawatir itu belum tentu benar-benar mutawatir. Terlebih menurutnya jika yang dianggap syadz tersebut diriwayatkan dari sarjana qiraah yang belajar langsung Rasulullah saw.

Misalnya saja Ibnu Mas’ud, ia merupakan salah satu sarjana qiraat yang mendapatkan ijazah langsung dari Rasulullah Saw. Namun demikian qiraah Ibnu Mas’ud dianggap syadz oleh para sarjana qiraah lain, yang notabenenya tidak mempunyai otoritas yang sepadan dengan Ibnu Mas’ud. Hal ini menyebabkan Goldziher mengambil sampel qiraah syadz dalam banyak argumentasinya, bahkan tidak jelas siapa yang membaca qiraah tersebut.

Goldziher berpandangan bahwa tulisan adalah segalanya, ia mengangggap manuskrip sebagai alat ukur dan kriteria, sehinga suatu bacaan menurutnya haruslah disesuaikan dengan mengikuti teks.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Orang Sakit Diperbolehkan Tayamum Meski Menemukan Air

Menurut Goldziher penyebab lahirnya perbedaan qiraat itu dikarenakan karakteristik tulisan Arab itu sendiri yang bentuk huruf tertulisnya dapat menghadirkan suara (vocal) pembacaan yang berbeda, tergantung pada perbedaaan tanda titik yang diletakkan di atas bentuk huruf atau dibawahnya serta berapa jumlah titik tersebut.

Demikian juga pada ukuran-ukuran suara (vocal) pembacaan yang dihasilkan perbedaan-perbedaaan harakat (tanda baca) yang tidak ditemukan batasannya dalam tulisan Arab Kuno, sehingga memicu perbedaan posisi i’rab (kedudukan kata) dalam sebuah kalimat, yang menyebabkan lahirnya perbedaan makna (dalalah).

Dengan demikian, dalam pandangan Goldziher faktor utama lahirnya perbedaan qiraat itu adalah tidak ada tanda titik dan tanda diakritikal pada penulisan teks Arab Kuno. Untuk melihat  dua fakta ini, Goldziher mengajukan beberapa contoh, sebagai berikut :

Pertama, perbedaan karena tidak ada tanda titik

Surah al-‘Araf ayat 48

وَنَادٰٓى اَصْحٰبُ الْاَعْرَافِ رِجَالًا يَّعْرِفُوْنَهُمْ بِسِيْمٰىهُمْ قَالُوْا مَآ اَغْنٰى عَنْكُمْ جَمْعُكُمْ وَمَا كُنْتُمْ تَسْتَكْبِرُوْنَ ٤٨

Sebagian ulama qiraat membaca تَسْتَكْبِرُوْنَ dengan تَسْتَكْثرُوْنَ   yaitu dengan huruf tsa’ yang bertitik tiga. Pada contoh yang pertama ini qiraat yang yang menjadi rujukan Goldziher merupakan qiraat yang munkar dan tidak diketahui secara definitif siapa yang membacanya.

Surah At-Taubah ayat 114

وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ اِبْرٰهِيْمَ لِاَبِيْهِ اِلَّا عَنْ مَّوْعِدَةٍ وَّعَدَهَآ اِيَّاهُۚ ١١٤

Kata اِيَّاهُۚ dibaca dengan ba’ bertitik satu yaitu اباه. Qiraat ini merupakan qiraat yang munkar secara ijma’, bukan termasuk kepada qiraah tujuh ataupun empat belas.

Baca juga: Dalil dan Keutamaan Berwudhu’ dalam Al-Qur’an dan Hadis

Kedua, Perbedaan karena tidak adanya tanda diaktrikal

Surah Al-Ra’d ayat 43

وَيَقُوْلُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لَسْتَ مُرْسَلًا ۗ قُلْ كَفٰى بِاللّٰهِ شَهِيْدًاۢ بَيْنِيْ وَبَيْنَكُمْۙ وَمَنْ عِنْدَهٗ عِلْمُ الْكِتٰبِ ࣖ

٤٣ ( الرّعد/13: 43-43)

Sebagian ulama     وَمَنْ عِنْدَهٗ عِلْمُ الْكِتٰبِ  dengan  وَمِنْ عِنْدَهٗ عُلِمُ الكِتٰبُ . pada contoh ini lafadz

عُلمَ dibaca dengan mabni majhul termasuk kedalam kategori qiraat munkar dan tidak diabsahkan sama sekali. Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwasanya pedoman utama dalam qiraat-qiraat al-Quran adalah riwayat, dan tidak ada pilihan atau kreasi dalam qiraat-qiraat al-Quran.

Surah Al-Maidah ayat 6

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِۗ ٦ ( الماۤئدة/5: 6-6)

Pada contoh ini perbedaan harakat harakat  tidak saja berpengaruh pada sistem susunan kalimat dalam ayat, namun pada saat yang bersamaan juga merepresentasikan sebuah gambaran perbedaan secara fiqh.

Baca juga: Benarkah Bahasa Semit Sebagai Akar Sejarah Bahasa Arab yang Digunakan Al-Qur’an ?

Pendapat-pendapat Godziher tentang qiraat ini banyak dibantah oleh para sarjana Islam. Salah satunya adalah Muhammad Musthafa A’zami, ia menyatakan bahwa perbedaan varian bacaan tersebut adalah sunnah. Anjuran rasulullah saw agar ummatnya bisa memilih qiraah mana yang lebih mudah diucapkan dari yang lain. Walaupun kajian para tokoh orientalis pada umumnya, dan Goldziher secara khusus menimbulkan reaksi negatif umat Islam karena dapat memunculkan keraguan dalam kalangan orang awam terhdap Al-Quran yang selama ini diyakini otentitasnya. Terlepas dari itu, para tokoh orientalis mempunyai kontribusi positif dalam kajian qiraat seperti, para tokoh orientalis merupakan tokoh awal yang melakukan tahqiq terhadap kitab-kitab qiraat. Selain itu mereka juga merawat naskah-naskah lama termasuk manuskrip qiraat.

Tafsir Surah Al-Qashash Ayat 77: Berbuat Baiklah Sebagaimana Allah Berbuat Baik Padamu!

0
tafsir surah Al-Qashash ayat 77
tafsir surah Al-Qashash ayat 77

Salah satu prinsip penting dalam bersosial adalah memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan. Prinsip ini sebagaimana yang dijelaskan dalam sabda Nabi. Diriwayatkan dari Anas bin Malik, bahwa Nabi bersabda, “Tidak sempurna iman seseorang hingga ia mencintai (memperlakukan) saudaranya sebagaimana ia ingin diperlakukan.” (HR. Al-Bukhari)

Aturan ini cukup sederhana, namun banyak yang belum menjadikan etika ini sebagai dasar dalam berelasi dengan orang lain. Padahal ini adalah perlakuan yang adil dan saling menguntungka, karena kita memperlakukan orang lain dengan kehormatan dan pertimbangan yang sama sebagaimana kita ingin diperlakukan.

Selain hadis Nabi, Al-Quran juga menyatakan hal yang sama mengenai cara bersosial. Sebut saja surah Al-Isra ayat 7 dan surah Al-Qashahsh ayat 77. Dua ayat ini memberi pedoman tentang etika hidup bersama dengan orang lain.

Baca Juga: Surah al-Isra’ [17] Ayat 7: Hakikat Perbuatan Baik Bagi Manusia

Segala Perbuatan Akan Kembali Pada Pelakunya

Pertama kita akan merujuk pada hakikat sebuah perbuatan, baik itu perbuatan baik atau buruk. Bahwa selain setiap perbuatan itu ada balasannya, Al-Qur’an menjelaskan bahwa segala perbuatan akan kembali kepada diri sendiri.

Tentu, prinsip ini dapat menjadi pertimbangan kita sebelum melakukan apapun, karena perbuatan itu kembali dan berdampak pada diri kita sendiri. Sebagaimana tertuang dalam surah Al-Isra ayat 7:

إنْ أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ ۖ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا ۚ فَإِذَا جَاءَ وَعْدُ الْآخِرَةِ لِيَسُوءُوا وُجُوهَكُمْ وَلِيَدْخُلُوا الْمَسْجِدَ كَمَا دَخَلُوهُ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَلِيُتَبِّرُوا مَا عَلَوْا تَتْبِيرًا

Artinya: “Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam mesjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai.”

M. Quraish Shihab menerangkan ayat ini, bahwa jika kamu berbuat baik maka manfaatnya akan kembali kepadamu, jika kamu berbuat buruk maka akibat kejahatan itu juga menimpamu. Kemudian ia memberi catatan, bahwa penggunaan kata falahā bukan fa’alaihā menunjukkan bahwa amal seseorang, baik atau buruk, akan tertuju kepadanya secara khusus, dan tidak kepada orang lain. (Tafsir Al-Misbāh, jil. 7, hal. 416)

Sementara itu, pernyataan ini ditegaskan oleh Thabāthabā’i dalam tafsir Al-Mīzānnya dengan mengutip perkataan Sayyidina Ali bin Abi Thalib, “Aku tidak pernah berbuat baik kepada seseoran pun, dan tidak ada seorangpun yang berbuat buruk kepadaku.” (Tafsīr Al-Mīzān, jil. 13, hal. 35) Artinya, segala perbuatan hanya akan kembali kepada pelakunya.

Baca Juga: Balasan Kebaikan Adalah Ridha Allah Swt Bagi Hamba-Nya

Berbuat Baiklah Sebagaimana Allah Berbuat Baik

Setelah melihat hakikat perbuatan, kita akan merujuk kepada ayat yang memerintahkan kita untuk berbuat baik sebagaimana Allah telah berbuat baik, yaitu terdapat dalam surah Al-Qashash ayat 77. Secara jelas, ayat ini mengajak untuk kita meniru kemudian meneladani segala perbuatan baik Allah kepada para hamba-Nya. Berikut redaksi dan terjemahan ayatnya:

وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ

Artinya: “… dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”

Secara bahasa, perintah ahsin terambil dari kata hasan yang berarti baik dan membutuhkan objek. Namun, di ayat ini tidak disebutkan objeknya. Artinya, ia mencaku segala sesuatu yang dapat disentuh oleh perbuatan baik seperti lingkungan, harta, hewan, orang lain dan diri sendiri.

Quraish Shihab juga menjelaskan, bahwa kata kamā memiliki dua tafsiran. Pertama, sebagaimana; namun banyak ulama menolak, karena manusia tidak akan mampu melakukan kebaikan sebagaimana persis dengan Allah. Kedua, disebabkan karena; artinya karena Allah telah melimpahkan berbagai karunia, selayaknya manusia berbuat kebaikan kepada seluruh makhluk-Nya. (Tafsir Al-Misbāh, jil. 10, hal. 407)

Sementara, Al-Baghawi menjelaskan bahwa ayat ini mengajak kita berbuat baik atas ketaatan kepada Allah dengan segala nikmat dari-Nya atau berbuat baiklah kepada manusia, sebagaimana Allah berbuat baik kepada dirimu sendiri. (Tafsir Al-Baghawī, jil. 6, hal. 394)

Baca Juga: Anjuran Menolak Kejahatan dengan Cara Terbaik dalam Surah Fussilat Ayat 34

Berakhlak Seperti Akhlak Allah

Melalui uraian dari ayat-ayat di atas, dapat kita simpulkan bahwa segala perbuatan kita akan kembali kepada kita. Dengan begitu, perlakukanlah orang lain sebagaiman kita ingin diperlakukan. Kemudian, relasi dengan menggunakan prinsip ini akan membawa pada ketentraman, keteraturan dan kenyamanan sosial.

Namun, di ayat terakhir ada level yang lebih tinggi, yaitu berupaya berakhlak sebagaimana Allah berakhlak. Artinya, bukan sekedar melakukan kebaikan, akan tetapi kita didorong untuk meniru akhlak Allah yang selalu menampilkan kemuliaan. Jika Allah selalu memberikan yang terbaik untuk kita, maka kita sebisa mungkin harus melakukan yang terbaik juga kepada sesama manusia.

Terakhir, mari kita renungkan sudah seberapa besar Allah memberikan kita kenikmatan dan perlindungan. Sudah sehangat apa Allah menjaga iman dan kesehatan kita, sehingga sampai saat kini kita masih bisa bernafas, menikmati hidup dan menjalani kehidupan yang lebih baik.

Setelah itu, mari kita meneladani perbuatan Allah kepada kita, untuk kita juga lakukan kepada orang lain, mulai dari orang terdekat; kepada diri sendiri, orang tua, kerabat, teman bahkan kepada hewan, tumbuhan di sekitar kita dan seluruh makhluk-Nya.

Dengan begitu, kita berharap semoga Allah menambah kasih sayang-Nya kepada kita, karena kita terus mengupayakan kasih dan sayang kepada setiap makhluk-Nya di bumi. Semoga bermanfaat! Wallahu a’lam

Benarkah Bahasa Semit Sebagai Akar Sejarah Bahasa Arab yang Digunakan Al-Qur’an ?

0
Akar Sejarah Bahasa Arab yang Digunakan Al-Qur'an ?
Akar Sejarah Bahasa Arab yang Digunakan Al-Qur'an ?

Seorang sastrawan Mesir, Amin al-Khuli dalam sebuah pengantarnya pernah menyatakan bahwa Al-Quran merupakan kitab al-Arabiyyah al-Akbar (kitab berbahasa Arab paling fenomenal) (lihat, Aisyah bint Abdurrahman, al-Tafsir al-Bayani li al-Quran al-Karim). Paling tidak, pernyataan Amin al-Khuli ini terdukung oleh beberapa temuan terkait keilmuan bahasa Arab, seperti : kitab I’rab Al-Quran, Ma’ani Al-Quran dan lain-lain. Namun, dalam kajian kontemporer, pada al- Mustasyriqun wa al-Quran al-Karim, karya Muhammad Amin menyatakan bahwa temuan Amin al-Khuli dan beberapa ayat Al-Quran yang secara gamblang menyatakan bahwa Al-Quran merupakan kitab suci yang berbahasa Arab, mulai ditemukan antitesisa dari beberapa sarjana Barat yang belajar tentang bahasa Arab. Yaitu terkait bahasa yang digunakan dalam Al-Qur’an, ditemukan akar sejarah bahasa Arab yaitu bahasa Semit.

Pakar sejarah dari Jerman yang bernama August Ludwig von Schlozer. Sebagaimana dikutip oleh Abdul Jalil Abdurrahim, bahwa Schlozer mengatakan bahwa bahasa Semit merupakan bahasa induk dari berbagai bahasa, seperti : Akkadia, Kan’aniyyah, Aramiyyah, Arabiyyah dan beberapa bahasa manusia yang tinggal di bagian Barat Asia dan sebagian yang lain berada di Afrika (lihat, Abdul Jalil Abdul Rahim, Lughah al-Quran al-Karim, 1981).

Selain apa yang ditemukan oleh Schlozer, Jurji Zaydan, seorang sastrawan asal Lebanon juga menyampaikan hal yang senada dengan penemuan tersebut. Dalam kitabnya yang berjudul  Tarikh al-Lughah al-Arabiyyah, Zaydan mengatakan bahwa konon, bahasa Arab, Ibrani dan Suryani merupakan satu bahasa. Akan tetapi, semenjak terpecahnya kesukuan bangsa Semit, bahasa tersebut   pun menjadi beraneka ragam. Sehingga, hari ini dapat kita kenali bahasa Arab, Ibrani dan Suryani (lihat, Jurji Zaydan, Tarikh al-Lughah al-Arabiyyah, 1904). Dua argumen diatas semakin menguatkan temuan yang menyatakan bahwa asal (induk) dari bahasa Arab adalah bahasa Samiyyah (Semit).

Baca juga: Tafsir Surah Hud ayat 118-119: Rahmat Allah itu Berupa Kemampuan Bersikap Toleran

Sejarah Bangsa Semit dan Kaitannya dengan Bahasa Arab

Dalam Pandangan Schlozer, Samiyyah (Semit), sebagaimana diketahui merupakan sebuah istilah yang dinisbatkan kepada Sam ibn Nuh yang merupakan saudara dari Ham dan Yafits. Artinya, semua anak cucu Nuh dan generasi seterusnya yang itu merupakan keturunan Nuh melalui jalur Sam, maka bahasa mereka akan mengikut kepada bahasa Semit. Ternyata, pendapat ini dikritik Abdul Jalil, dan dinilai sebagai pandangan yang tanpa berdasar pada teori ilmiah dan berorientasi kepada kepentingan politik. Alasannya adalah, karena ada anak cucu (keturunan) Sam ibn Nuh yang bernama Aylam dan Laid ini tidak menggunakan bahasa Semit (lihat, Abdul Jalil Abdul Rahim, Lughah al-Quran al-Karim, 1981).

Terkait tentang asal-usul bangsa Semit pun masih diperdebatkan oleh para ahli. Ada yang berpendapat bahwa asal-usul bangsa Semit adalah jazirah Arab. Bukti penguat dari pendapat ini adalah, bahwa keturunan Sam ibn Nuh tersebar luas di daerah jazirah Arab. Pendapat lain mengatakan bahwa bangsa Semit berasal dari Afrika. Hal ini dibuktikan dengan adanya penemuan yang menyatakan bahwa bahasa Semit (Samiyyah) mempunyai kemiripan dengan bahasa Hamiyyah yang terletak di kawasan Afrika (lihat, Jawwad Ali, Sejarah Arab Sebelum Islam, 2018).

Sedangkan, para peneliti bahasa Arab, menawarkan sebuah temuan yang menyimpulkan bahwa bahasa Arab mempunyai kemiripan dengan bahasa-bahasa daerah sekitarnya, seperti Aram, Kan’an, Ibrani dan lain-lain. Persisnya, pada tahun 1869 para peneliti tersebut membagi bahasa Semit ke dalam dua bagian. Bagian pertama adalah bagian Semit Utara yang meliputi, Ibrani, Aram, Assyria dan lain-lain. Sedangkan, untuk bahasa Semit bagian Selatan meliputi, Arab dan Abbysinia (lihat, Jawwad Ali, Sejarah Arab Sebelum Islam, 2018).

Baca juga: Tafsir Ahkam: Orang Sakit Diperbolehkan Tayamum Meski Menemukan Air

Al-Quran Kitab Suci Berbahasa Arab  

Dalam kajian keilmuan Ushul Fiqh, ada sebuah terminologi menarik ketika membahas tentang definisi Ushul. Para ahli ilmu Ushul Fiqh ini, seperti Syaikh Abdul Hamid Hakim dalam kitabnya yang berjudul al-Sullam menyatakan bahwa lafadz ushul merupakan bentuk jamak (plural) dari kata ashl yang bermakna asas (induk, asal, ujung) (lihat, Abdul Hamid Hakim, al-Sullam, t.t.). Melalui pendekatan ini, kiranya judul yang di ajukan oleh penulis diatas bisa dianalisa dengan lebih lanjut.

Sebagaimana disebutkan diatas, kata asal merupakan serapan dari bahasa Arab ashl mempunyai makna induk. Jadi, dari premis ini boleh disimpulkan bahwa asal (induk) dari bahasa Arab (yang menjadi bahasa Al-Quran) adalah bahasa Semit (non-Arab). Namun perlu diingat, sebab Al-Quran juga banyak menyatakan bahwa dirinya adalah kitab suci dengan menggunakan bahasa Arab sebagai medianya, seperti yang terdapat pada QS. Fusshilat : 3 yang berbunyi :

كِتٰبٌ فُصِّلَتْ اٰيٰتُهٗ قُرْاٰنًا عَرَبِيًّا لِّقَوْمٍ يَّعْلَمُوْنَۙ

Artinya :

Kitab yang ayat-ayatnya dijelaskan sebagai bacaan dalam bahasa Arab untuk kaum yang mengetahui.

Ayat ini, menurut para mufassir, seperti Fakhruddin al-Razi (w.606 H), al-Baghawi (w. 516 H) dan al-Sam’ani (w. 489 H) merupakan ayat yang sudah jelas menyatakan bahwa Al-Quran merupakan kitab suci dengan menggunakan bahasa Arab sebagai medianya.

Baca juga: Dalil dan Keutamaan Berwudhu’ dalam Al-Qur’an dan Hadis

Dalam tafsirnya, Mafatih al-Ghayb ia menyatakan bahwa kitab ini (Al-Quran) merupakan kitab yang diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab. Kemudian pada tafsir Ma’alim al-Tanzil, al-Baghawi menyatakan bahwa Al-Quran diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab. Andaikan Al-Quran tidak diturunkan dengan bahasa Arab. Maka, mereka (masyarakat Makkah dan Madinah) tidak akan memahaminya. Pernyataan tersebut senada dengan yang diungkapkan oleh al-Sam’ani. Dalam tafsirnya, yang berjudul Tafsir Al-Quran ia menyatakan bahwa Al-Quran merupakan kitab suci yang diturunkan dengan bahasa Arab (bi Lisan al-Arab).

Baik al-Razi, al-Baghawi, maupun al-Sam’ani. Mereka menyatakan hal yang sama, yakni menyampaikan bahwasanya Al-Quran merupakan kitab suci yang menggunakan bahasa Arab sebagai media dalam berkomunikasi dengan masyarakat sekitar. Beberapa argumentasi diatas, sekaligus juga menjadi ta’kid (penguat) bahwasannya, Al-Quran tidak diturunkan dengan menggunakan bahasa Semit (Samiyyah), melainkan diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab. Wallahu a’lam[]

Tidak Semua Lafal Mudah Dipahami: Mengenal Lafal-Lafal Khafi ad-Dalalah dalam Al-Quran

0
lafal-lafal khafi ad-dalalah dalam Al-Quran
lafal-lafal khafi ad-dalalah dalam Al-Quran

Dua artikel penulis sebelumnya; Mengenal lafal Wadih ad-Dalalah Dan Khafi ad-Dalalah dalam al-Quran, dan Kaidah Wadih ad-Dalalah, Contoh Pertentangan dan Cara Penyelesaiannya, baru menjelaskan seputar Wadih ad-Dalalah saja, belum menyinggung kategori kedua lafal, yaitu Khafi ad-Dalalah. Oleh karena itu, dalam artikel kali ini akan diketengahkan kajian ulama dalam Khafi ad-Dalalah tersebut.

Khafi ad-Dalalah sendiri adalah lafal-lafal yang membutuhkan faktor eksternal untuk memahami maknanya, karena makna yang dimaksud tidak dapat dipastikan dengan hanya melihat redaksi yang digunakan semata, alias belum jelas. Hanya penting untuk diketahui bahwa kesamaran atau ketidakjelasan yang dimaksud bukanlah lafalnya tetapi petunjuk maknanya (dalalah).

Baca Juga: Mengenal Makna Wadih ad-Dalalah dan Khafi ad-Dalalah dalam Al-Qur’an

Bagian-Bagian Lafal Khafi ad-Dalalah

Sebagaimana dalam Wadih ad-Dalalah, standar pemetaan bagian-bagian dalam Khafi ad-Dalalah bergantung pada tingkat ketidakjelasan dan kemungkinan hilang atau tidaknya kesamaran. Semakin sulit dihilangkan semakin tinggi tingkat ketidakjelasannya. Secara hirarki lafal-lafal Khafi ad-Dalalah itu meliputi; Khafi, Musykil, Mujmal, dan Mutasyabih. (Syarh al-Waraqat Fi Ushul al-Fiqh, [3], hal. 15)

  1. Khafi adalah lafal yang menunjukkan suatu makna dengan jelas, hanya saja saat diterapkan pada sebagian dari kandungan maknanya, timbul ketidakjelasan, apakah lafal tersebut juga menunjuk pada makna itu ataukah tidak?.

Contoh, QS. Al-Maidah [5]: 38

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْٓا اَيْدِيَهُمَا جَزَاۤءًۢ بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ

“Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha perkasa lagi  Maha bijaksana.”

Sebagaimana yang umum diketahui bahwa bahasa Arab merupakan  acuan dasar dalam memahami teks keagamaan, utamanya al-Quran. Sehingga untuk memahami kata as-Saariqu dan as-Saariqatu ayat di atas, mesti merujuk kepada makna yang digunakan dalam bahasa Arab itu sendiri. Dalam hal ini, yang disebut dengan sariq adalah seseorang yang mengambil harta orang lain secara diam-diam, dengan ketentuan barang yang dicuri mencapai kadar yang telah ditentukan dan dicuri dari tempat penyimpanan yang layak (hizr mistlihi).

Pada mulanya lafal Sariq dianggap lafal yang jelas (Wadih ad-Dalalah) saat dipahami sebatas makna di atas. Ketidakjelasan baru muncul saat lafal Sariq itu hendak diarahkan kepada jenis kejahatan lain yang mirip, seperti pencopet. Sementara kedua jenis kejahatan itu jelas tidak memenuhi kreteria sariq yang tersebut di atas. Pencopet misalnya, adalah penjahat yang mengandalkan kelincahan tangan mengambil harta orang lain di tempat-tempat keramaian, selain itu, harta yang diambil tidak diambil dari tempat penyimpanannya yang layak. (Wahab Khalaf, Ushul al-Fiqh, hal. 149) Maka muncullah keraguan, kata sariq itu sudah mencakup pencopet untuk diterapkan hukum potong tangan, ataukah tidak?

  1. Musykil adalah lafal yang tidak dimengerti maksudnya dengan semata melihat bentuk redaksi yang digunakan, karena lafal itu mengandung beberapa makna. Dalam kasus ini, untuk mengetahui makna yang dimaksudkan perlu indikator-indikator luar sebagai alat untuk memahami. Selain itu musykil juga dapat di akibatkan oleh pertentangan suatu lafal (teks) dengan lafal yang lain.

Hanya saja perlu digarisbawahi bahwa perbedaan antara Musykil dan Khafi terletak pada sumber ketidakjelasan. Dalam Khafi ketidakjelasannya akibat faktor luar, bukan dari lafalnya. Sementara Muskil sumber ketidakjelasannya adalah lafal itu sendiri. (Wahab Khalaf, Ushul al-Fiqh, hal. 150)

Contohnya, dalam Q.S. al-Baqarah (2) 228,

وَالْمُطَلَّقٰتُ يَتَرَبَّصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّ ثَلٰثَةَ قُرُوْۤءٍۗ

“Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) selama tiga kali quru’

Kata quru’ yang tertera pada ayat di atas, dalam percakapan penduduk Arab sama-sama digunakan untuk haid dan suci (musytarak). Sudah sangat jelas keduanya bertolak belakang. Ayat di atas mestinya hanya menunjuk salah satu dari dua makna itu, tidak mungkin memaksudkan keduanya secara bersamaan, dan dari itu timbullah ketidakjelasan, apa yang dimaksud dengan quru’ dalam ayat itu, haid ataukah suci?

Baca Juga: Kaidah Wadih ad-Dalalah, Contoh Pertentangan dan Cara Penyelesaiannya

  1. Mujmal adalah lafal yang tingkat ketidakjelasanya lebih tinggi dibanding Kalau musykil masih mungkin dipahami dengan bantuan indikator yang ada, sementara dalam Mujmal peluang untuk dipahami maksudnya bergantung pada penjelasan dari pembuat lafal itu, tidak cukup dengan bentuk redaksi dan indikator lafal yang ditemukan.

Kaitannya dengan Al-Quran, bila ditemukan suatu ayat yang mengandung lafal Mujmal, maka kandungannya tidak dapat diamalkan sebelum mendapat penjelasan langsung dari Nabi Muhammad saw. Pada umumnya yang menyebabkan suatu lafal menjadi Mujmal adalah pengalihan suatu lafal dari makna kebahasaanya menjadi sebuah istilah untuk makna lain. Misalkan kata as-Shalah yang terdapat pada QS. Al-Baqarah Ayat 43,

وَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱرْكَعُوا۟ مَعَ ٱلرَّٰكِعِينَ

Dan dirikanlah shalat, tunaikan zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’

Secara bahasa as-Shalah berarti berdoa. Semua bentuk doa dapat disebut as-Shalah berdasarkan makna literal tersebut, namun apakah itu yang dimaksudkan oleh ayat di atas? Inilah penyebab lafal as-Shalah masuk dalam kategori lafal Mujmal, belum jelas maknanya. Sementara lafal Mujmal tidak mungkin dapat dipahami kecuali mendapatkan penjelasan langsung dari pemilik lafal.

Untuk ayat di atas, untungnya dijelaskan oleh Nabi Muhammad saw. melalui sabdanya “Salatlah kalian seperti kalian melihatku salat” sehingga lafal as-Shalah yang semula Mujmal menjadi lafal Mufassar, karena telah ditafsir dan dijelaskan maknanya.

  1. Mutasyabih adalah lafal yang tidak dapat dipahami maknanya dengan semata melihat bentuk redaksi yang digunakan, tiada indikator yang ditemukan, hanya pemilik lafal yang tahu apa maksudnya, dan lafal itu dibiarkan begitu saja tanpa dijelaskan makna dan maksudnya.

Ulama mengategorikan Mutasyabih menjadi dua macam; pertama, huruf-huruf yang berada di awal beberapa surah dalam al-Quran (al-ahruf al-muqatta’ah). Dan yang kedua, setiap ayat yang sekilas menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Contohnya, dalam QS. Al-Fath: 10

إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللهَ يَدُ اللهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ

“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepadamu (Muhammad), sesungguhnya mereka hanya berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka

Dalam menyikapi lafal-lafal Mutasyabih seperti ini, para ulama terpecah menjadi dua kelompok; ulama Ahlu as-Sunnah memilih jalan aman dengan tidak menafsiri ayat-ayat Mutasyabih dalam bentuk apapun. Mereka memilih diam dan pasrah begitu saja, Allah a’lam bi muradih (hanya Allah yang mengethaui maksudnya). Sementara kelompok Mu’tazilah memilih melakukan penakwilan terhadap ayat-ayat Mutasyabih yang sekilas menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Mereka menjadikan QS. Ali-Imran [3] ayat 7 sebagai dalil, dengan asumsi bahwa ulama yang telah mendalam ilmunya (ar-Rasikhuna fil ‘ilmi) juga dapat mengetahui ta’wil ayat-ayat Mutasyabih. (Wahbah az-Zuhaily, Usul Fiqh Al-Islamy, juz 1 hl. 331-332).

Walhasil, teori Khafi ad-Dalalah ini, mengingatkan kita agar berhati-berhati dan tidak gegabah memahami suatu lafal Al-Quran, karena tidak semua lafal tidak bisa langsung dipahami berdasarkan bunyinya saja, butuh banyak pertimbangan untuk memahaminya. Wallahu a’lam.

Mengenal Sachiko Murata dan Pendekatannya dalam Membaca Ayat Relasi Gender

0
Sachiko Murata
Sachiko Murata

Sejak diskursus kesetaraan gender berdialektika dengan tafsir Al-Quran –dimulai sekitar awal abad 20-, muncul berbagai pemikiran, baik berupa teori maupun penafsiran berbasis feminisme. Para tokoh tafsir feminis yang menjadi aktor dari diskursus ini meniscayakan semacam kemiripan yang bersifat ideologis. Sebagai contoh penggunaan hermeneutika dan teologi feminisme yang menjadi tren di banyak tokoh tafsir feminis sebagai perangkat penafsiran. Selain yang mengikuti tren itu, terdapat beberapa tokoh yang menempuh cara yang berbeda dengan kebanyakan mufasir feminis. Seperti Sachiko Murata, yang mengenalkan Taoisme Islam sebagai cara membaca nash tentang relasi gender.

Baca Juga: Bagaimana Relasi Gender dalam Keluarga Dibangun: Perspektif Tafsir Feminis

Latar Sejarah Intelektual

Sachiko Murata merupakan seorang professor Studi Agama dan Budaya Timur di Universitas Stony Brook, yang berasal dari Jepang. Ia lahir pada tahun 1943, saat transisi Jepang dari zaman Meiji Ishin sampai Perang Dunia II usai (Abu Bakar Marimoto, Islam in Japan: Its Past, Present, and Future). Dalam The Tao of Islam, Murata menceritakan bahwa ia tinggal di Jepang sampai ia lulus sebagai sarjana pada prodi Hukum Keluarga jebolan Chiba University dan beberapa tahun bekerja di suatu firma hukum.  Pada fase inilah Murata mulai tertarik dengan Islam terutama soal legalitas poligami. Ia merasa legalitas poligami bertentangan dengan Islam yang sementara ia pahami sebagai agama yang mewajibkan seseorang untuk menjaga keharmonisan rumah tangga.

Dari ketertarikannya itu, ia melanjutkan pendidikan ke Universitas Teheran, Iran dengan konsentrasi Hukum Islam. Pada tahun 1974, istri dari William Chittick ini berhasil meraih gelar MA dengan Tesis-nya tentang korelasi kawin kontrak dengan lingkungan sosial. Sebelumnya, ia juga mendalami sastra Persia di Universitas yang sama, hingga tuntas pada jenjang Doktoral pada tahun 1971.

Pada jenjang doctoral kedua –setelah lulus MA Hukum Islam- Murata menempuh studi doctoral keduanya dengan fokus kajian mistisisme Islam dan hubungannya dengan budaya Timur. Tetapi, sebelum menuntaskan riset disertasinya tentang komparasi Ajaran Konfusian dengan Islam, Murata harus berhijrah dari Iran sebab konflik yang ditimbulkan oleh revolusi Iran pada tahun 1978. Ia dan suaminya kemudian bermigrasi ke Amerika Serikat dan pada tahun 1983 ia mulai mengajar studi Asia dan Asia-Amerika di Universitas Stony Brook.

Pergeseran arah kajian Sachiko Murata dari yang awalnya berada di wilayah Hukum Islam menjadi bidang mistisisme Islam dan budaya Timur adalah sebagai wujud kritiknya terhadap wacana hukum Islam saat itu. Ia menuturkan bahwa pendekatan para fuqaha dalam menangani masalah hukum terlalu sempit. Islam seharusnya dipahami dari banyak perspektif. Seperti, metafisika, teologi, kosmologi, dan psikologi spiritual. Dari sinilah Murata dikenal sebagai tokoh Intelektual Tasawuf dan studi Budaya Timur.

Baca Juga: Mengenal Asma Barlas Sebagai Tokoh Tafsir Feminis

Di antara tokoh yang mempengaruhi konstruksi keilmuan Murata ini ialah Ibnu ‘Arabi dan Al-Ghazali, Al-Huma’i dan beberapa tokoh Sufi terkemuka asal Iran. Ia juga sempat berguru kepada Sayyid Hossen Nasr dan Toshihiko Izutsu, yang memang popeler sebagai tokoh Intelektual Timur dan Tasawuf.

Sebagai tokoh intelektual, Murata termasuk akademisi yang prolifik. Ia memiliki puluhan karya dengan Bahasa Jepang, Persia, maupun Inggris. Melansir www.stonybrook.com, di antara karyanya ialah Isuramu Horiron Josetsu, The Tao of Islam, Chinese Gleams of Sufi Light, The Sage Learning of Liu Zhi, dan sebagainya.

Baca Juga: Argumen Kesetaraan Gender, Referensi Pengantar Tafsir Feminis

Kolaborasi Tasawuf dan Taoisme

Murata memakai pendekatan Tasawuf dan Taoisme dalam membaca ayat relasi gender. Yang ia lakukan bukan membandingkan dua perspektif itu, melainkan mengkolaborasikannya, sehingga ia mengistilahkannya dengan Taoisme Islam. Taoisme Islam berangkat dari tesis kesatuan (tawhid dalam teminologi Islam) yang terejawantah pada tataran teologi, makrokosmos, dan mikrokosmos. Kesatuan ini juga dikaitkan dengan Tao yang memang menekankan kesatuan manusia dengan alam. Kesatuan itu dapat terealisasi dari keseimbangan kualitas maskulin dan feminin yang dimiliki Tuhan, alam, dan Manusia. Oleh karena itu, relasi kesalingan dalam hubungan dualitas antara kualitas maskulin dan feminin menjadi syarat terwujudkan keseimbangan tersebut. (Sachiko Murata, The Tao of Islam)

Dalam perspektif Tasawuf, dualitas kualitas feminin dan maskulin terwujud dalam asma-asma Allah yang saling bertentangan, antara lain Jamal (Yang Maha Indah) sebagai representasi kualitas feminin dan Jalal (Yang Maha Agung) sebagai representasi kualitas maskulin. (Sachiko Murata, The Tao of Islam)

Dalam perspektif Tao kualitas feminin ada pada simbol Yin, yang cenderung reseptif, sementara kualitas maskulin dilambangkan oleh Yang, yang cenderung aktif. Untuk mewujudkan keselarasan, dua kualitas ini menjalin hubungan dualitas komplementer.

Dalam tataran manusia, kualitas maskulin dan feminin juga dimiliki oleh masing-masing dari laki-laki dan perempuan. Relasi keduanya harus dibangun dengan prinsip kesalingan dan kesetaraan. Dari situlah kemudian tercipta keseimbangan yang meniscayakan keadilan substantif. (Sachiko Murata, The Tao of Islam)

Pendekatan ini ia terapkan di beberapa tema relasi gender, seperti asal mula penciptaan manusia, derajat pria dan wanita, cinta timbal balik, dan lain sebagainya. Hanya saja, ayat-ayat hukum tidak banyak disinggung oleh Murata, karena pendekatan yang ia gunakan bukan pendekatan hukum.

Meski terkesan kurang tajam jika diterapkan pada ayat-ayat hukum yang partikular, pendekatan ini memberikan makna relevan bagi situasi saat ini. Relasi kesalingan yang menjadi prinsip utama Taoisme Islam dapat digunakan sebagai lensa dalam membaca ayat relasi gender secara substansial, bahwa laki-laki dan perempuan adalah setara, memiliki dimensi maskulin dan feminin. untuk menciptakan keseimbangan, relasi keduanya harus dibangun di atas fondasi kesalingan dan kesetaraan. Seperti simbol Taijitu (Yin-Yang yang berpadu membentuk pusaran sebagai simbol keseimbangan). Juga seperti sifat Jalal Allah yang selalu diimbangi oleh Jamal. Wallahu a’lam[]