Beranda blog Halaman 211

Tafsir Surah Hud ayat 118-119: Rahmat Allah itu Berupa Kemampuan Bersikap Toleran

0
surah hud ayat 118-119: toleransi
surah hud ayat 118-119: toleransi

Perbedaan manusia -dalam segala hal nya-, merupakan sebuah keniscayaan. Demikian kurang lebih pesan dalam surah Hud ayat 118. Sebagai individu, setiap orang mempunyai sifat, karakter, ketertarikan dan cara berpikir masing-masing. Sebagai bagian dari sebuah kelompok, berbangsa dan bernegara, sebut saja Indonesia misalnya, masing-masing rakyatnya mempunyai suku, adat, tradisi, bahasa dan keyakinan atau agama yang berbeda-beda. Bahkan sebagai pemeluk agama, masing-masing orang mempunyai cara keberagamaan dan cara memahami ajaran agama yang tidak sama.

Tidak jarang perbedaan-perbedaan itu berujung pada perselisihan, konflik atau perpecahan, meski sebenarnya dalam perbedaan itu ada potensi besar untuk mewujudkan harmoni, keindahan dan kedamaian. Sayangnya, tidak banyak orang yang menyadari pesan tersembunyi itu, kecuali orang yang mendapat rahmat Allah (QS. Hud [11]: 119). Mengingat sedikitnya orang yang peka terhadap pesan yang tersembunyi tersebut, maka pertanyaannya kemudian, siapakah ‘orang yang mendapat rahmat Allah itu?’

Allah berfirman dalam surah Hud ayat 118-119,

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ () إِلَّا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ وَلِذَلِكَ خَلَقَهُمْ وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ لَأَمْلَأَنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

“Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia jadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih (pendapat); kecuali orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat (keputusan) Tuhanmu telah tetap, “Aku pasti akan memenuhi neraka Jahanam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya.” (QS. Hud [11]: 118-119)

Baca Juga: Pentingnya Berprasangka Baik Dalam Rangka Toleransi Beragama dalam Al-Quran

Konteks ayat 118-119 dalam Surah Hud dan Al-Quran

Kaitan dengan ayat sebelumnya, yakni ayat 116-117, ayat 118-119 ini menegaskan bahwa keragaman manusia, ada yang patuh dan ada yang durhaka kepada Allah, seperti yang terjadi pada kisah umat-umat sebelum umat Nabi Muhammad saw, hingga kemudian Allah menghukum dan membinasakan mereka ini bukan berarti karena sifat tidak kuasanya Allah, seandainya saja Allah berkehendak untuk semuanya patuh, maka tentu hal tersebut yang akan terjadi. Namun ternyata Allah tidak menghendaki demikian, sehingga perbedaan dan keragaman, mulai dari hal-hal yang remeh misal sifat atau karakter seseorang hingga hal yang prinsip seperti agama akan terus terjadi.

Realita di lapangan sekarang, kehendak Allah ini masih banyak yang belum bisa menerima, dan seringkali keragaman ini dituntut untuk menjadi seragam, oleh karena itu Al-Quran menyatakan bahwa hanya ‘orang mendapat rahmat Allah’ yang bisa menerima dan mengelolanya.

Adapun kaitannya dengan ayat yang lain dalam Al-Quran, tema yang sama juga dapat ditemui dalam surah Asy-Syura ayat 8:

وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَهُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ يُدْخِلُ مَنْ يَشَاءُ فِي رَحْمَتِهِ وَالظَّالِمُونَ مَا لَهُمْ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ

“Dan sekiranya Allah menghendaki niscaya Dia jadikan mereka satu umat, tetapi Dia memasukkan orang-orang yang Dia kehendaki ke dalam rahmat-Nya. Dan orang-orang yang zalim tidak ada bagi mereka pelindung dan penolong.” (QS. Asy-Syura [42]: 8)

Sekali lagi Allah menyatakan bahwa Ia menghendaki perbedaan dan keragaman manusia yang senantiasa diiringi dengan pemberian rahmatNya. Ini senada dengan surah Hud ayat 118-119 yang mengiringi pernyataan perbedaan dengan rahmat dari Allah.

Baca Juga: Larangan Memaki Sesembahan Non-Muslim: Salah Satu Ajaran Toleransi Dalam al-Quran

Yang mendapat Rahmat Allah adalah ia yang toleran

Seringkali dua ayat ini dibaca secara terpisah, ayat 118 sendiri dan ayat 119 dikaji sendiri, padahal dua ayat ini berkesinambungan. Ini terlihat dari kata ‘illa’ atau ‘kecuali’ di awal ayat 119 yang menandakan bahwa ayat sebelumnya, 118 belum selesai. Ini menjadi penting, karena di awal ayat 119 tercantum pengecualian dari pernyataan sebelumnya, ayat 118. Di situ ditegaskan bahwa manusia akan terus berbeda dan berselisih, kecuali yang dirahmati Allah, dan seterusnya.

Ada yang menarik dalam penjelasan M. Quraish Shihab tentang penjabaran atas pengecualian di awal ayat 119 di atas. Dalam bukunya, Yang Hilang Dari Kita: Akhlak, hal. 181, M. Quraish Shihab menyatakan bahwa orang yang dirahmati Allah ini adalah orang yang mampu mengelola perbedaan tersebut, antara lain dengan bersikap toleran atas perbedaan dan keragaman manusia.  Padahal sebelumnya, di Tafsir Al-Misbah, vol. 5, hal. 786 ia hanya menjelaskan frasa ini dengan ‘hanya’ orang yang mendapatkan petunjuk dari Allah.

Penjelasan ini tampak berbeda meski tidak bertentangan dengan penafsir-penafsir pendahulunya. At-Tabari misalnya, ia menafsirkan frasa ‘man rahima Allah’ dengan banyak pilihan, antara lain ahlu al-haq (sebagai kebalikan ahl al-batil), al-hanifiyah (sebagai padanan dari Yahudi, Nasrani dan Majusi), ahl al-iman, ahl al-jamaah (sebagai kebalikan dari ahl al-firqah) dan pilihan yang terakhir yaitu man ja’alah ‘ala al-Islam

Masih berbeda dengan mufasir yang lain, seperti As-Samarqandi. Mufasir asal Samarkand ini memaknai kata ‘rahima’ dengan penjagaan Allah terhadap perselisihan yang terjadi. Sedang Al-Kasysyaf dan Al-Baidhawi memahami ‘orang yang dirahmati Allah’ itu dengan sekelompok orang yang mendapatkan petunjuk Allah dan bersikap lemah lembut; ini tidak jauh berbeda dengan Nawawi Al-Bantani yang memaknai ‘man rahima Allah’ dengan suatu kelompok yang Allah memberi petunjuk kepada mereka dengan fadhol dari Allah.

Meskipun demikian, pemahaman yang beraneka raga mini dapat ditarik benang merahnya bahwa ia yang mendapat rahmat Allah adalah orang yang mendapat petunjuk Allah untuk senantiasa terhindar dari perselisihan atau konflik dengan tetap bersikap lemah lembut dan menjaga persatuan (al-jamaah) tidak terpecah belah (al-firqah). Dalam konteks pemaknaan yang seperti ini, maka penjelasan M. Quraish Shihab di awal tadi dapat diposisikan sebagai teknis dalam mewujudkan rahmat atau petunjuk Allah tersebut, yaitu dengan bersikap toleran.

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 114: Ancaman Bagi Mereka yang Merusak Rumah Ibadah

Toleransi termasuk yang hilang dari akhlak kita

Quraish Shihab memasukkan sikap toleransi ini pada salah satu nilai akhlak terpenting. Toleransi sendiri diartikannya dengan sikap membiarkan, menenggang dan menghormati pendapat atau sikap pihak lain, walau yang membiarkannya tidak selalu sependapat dengannya.

Lebih lanjut, mufasir Indonesia ini memaparkan beberapa langkah untuk mewujudkan sikap toleransi. Sikap toleran bisa terwujud kalau kita mengenal pihak lain yang berbeda dengan kita. Untuk mengenal, perlu adanya dialog. Namanya dialog, berarti di dalamnya ada interaksi dari kedua belah pihak, keduanya saling menghargai, tidak bersikap apriori dan memonopoli, baik memonopoli kebenaran maupun memonopoli kesalahan. Berdialog untuk mencari titik temu menemukan substansi, bukan untuk berdebat dan membanggakan diri.

Kalaupun dialog itu tidak menemukan titik temu, maka prof. Quraish meminta kita untuk mengingat pesan Allah kepada Nabi Muhammad saw. “Sampaikanlah bahwa sesungguhnya kami atau kamu pasti berada di atas kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata. Katakanlah: “Kamu tidak akan ditanyai menyangkut dosa yang telah kami perbuat dan kami tidak akan ditanyai tentang apa yang kamu perbuat” (QS. Saba’ [34]: 25-26.

Mengingat Indonesia adalah Negara yang sangat beragam penduduknya, maka toleransi bukan lagi pilihan sikap untuk diterapkan, tetapi memang sikap yang harus dipraktikkan. Wallahu a’lam

Tafsir Ahkam: Orang Sakit Diperbolehkan Tayamum Meski Menemukan Air

0
sakit menjadi sebab diperbolehkan tayamum
sakit menjadi sebab diperbolehkan tayamum

Dalam Al-Quran, redaksi yang digunakan untuk menginformasikan kondisi atau sebab diperbolehkan tayamum yaitu sakit, bepergian dan penyebab batal wudlu lainnya, seperti buang air besar atau menyentuh lawan jenis yang tidak menemukan air.

Para pakar tafsir meyakini bahwa keadaan sakit adalah penyebab tersendiri pada bolehnya tayamum. Dalam arti orang yang sakit meskipun menemukan air untuk berwudhu, ia tetap diperbolehkan tayamum. Lalu bagaimana sebenarnya para ahli tafsir memahami ayat penyebab bolehnya tayamum, sehingga dapat mengambil kesimpulan “ketiadaan air” bukan syarat mutlak bolehnya tayamum? Berikut penjelasan singkat para pakar tafsir dan fikih,

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Kewajiban Berusaha Mencari Air Sebelum Tayamum

Sakit Adalah Sebab Diperbolehkan Tayamum

Allah berfirman:

وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُوْرًا

Jika kamu sakit, sedang dalam perjalanan, salah seorang di antara kamu kembali dari tempat buang air, atau kamu telah menyentuh perempuan, sedangkan kamu tidak mendapati air, maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci). Usaplah wajah dan tanganmu (dengan debu itu). Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. (QS. An-Nisa’ [4] :43)

Imam Ibn Katsir tatkala menguraikan tafsir ayat di atas, tanpa menyinggung perihal sakit serta kaitannya dengan syarat tidak menemukan air, menjelaskan bahwa kriteria sakit yang membuat diperbolehkannya tayamum adalah sakit yang menyebabkan hilangnya anggota tubuh, memunculkan cacat atau membuat sembuhnya menjadi semakin lama. Bahkan ada yang menyatakan bahwa sekedar sakit saja tanpa kriteria tertentu sudah dapat dikatakan menjadi sebab tayamum.

Ibn Katsir kemudian mengutip riwayat dari Imam Mujahid bahwa ayat tentang tayamum turun berkaitan dengan salah sahabat anshar yang sakit, sahabat itu tidak bisa berdiri dan berwudhu dan ia juga tidak memiliki pembantu yang dapat mengambilkannya air. Sahabat tersebut melapor pada Nabi, lalu turunlah ayat tentang tayamum (Tafsir Ibn Katsir/2/313).

Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa sudah menjadi pengetahuan umum di antara para ulama’, bahwa tidak menemukan air bukan syarat mutlak bolehnya tayamum. Meski begitu, banyak penjelasan dalam kitab tafsir, yang menepis anggapan bahwa tidak menemukan air tetap menjadi syarat mutlak bolehnya tayamum. Beberapa di antaranya diungkapkan oleh Imam Ar-Razi dan Al-Qurthubi.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Tata Cara Tayamum dan Syarat Sahnya

Imam Ar-Razi menjelaskan, 4 kriteria keadaan yang dijelaskan dalam ayat di atas, dapat dibagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama yaitu penyebab diperbolehkannya tayamum; yaitu sakit serta dalam perjalanan (musafir). Kelompok kedua yaitu yang mewajibkan bersuci tatkala ditemukan air; yaitu sehabis buang air besar serta menyentuh lawan jenis atau berhubungan seksual menurut sebagian pendapat. Dari penjelasan ini dapat diambil kesimpulan bahwa ke-4 kriteria keadaan di atas tidaklah senantiasa berkaitan pada “ketiadaan air”, dan bukan pula secara keseluruhan menjadi sebab-sebab diperbolehkan tayamum.

Imam Ar-Razi juga menyinggung pendapat Imam Hasan Al-Basri dan Ibn Abbas yang menyatakan bahwa ketiadaan air adalah syarat mutlak bertayamum. Namun mayoritas ahli fikih tidak sependapat, sebab hadis Nabi menyatakan sebaliknya. Sakit menjadi sebab tersendiri diperbolehkannya tayamum, sehingga tidak perlu menunggu ketiadaan air (Tafsir Mafatihul Ghaib/5/215).

Imam Al-Qurthubi memahami redaksi “tidak menemukan air” tidaklah terbatas pada tidak ada wujudnya air, tapi juga tidak menemukan kesempatan menggunakan air sebab sakit atau ada yang menghalanginya dalam menggunakan air, sehingga mencakup orang sakit yang tidak boleh terkena air, dan juga musafir yang apabila masih harus mencari air untuk wudhu ia akan ketinggalan rombongan atau ada perampok yang mengintai (Tafsir Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an/5/228).

Sedang Imam Al-Jashshash menerangkan, ketiadaan air hanyalah syarat yang berlaku pada musafir saja. Sedang pada orang yang sakit, ia tidak berlaku. Sebab bila orang yang sakit juga disyaratkan tidak menemukan air, tidak ada gunanya menyebutkan kreteria sakit. Sebab pada hakikatnya semua bergantung pada ketiadaan air (Ahkamul Qur’an/5/389).

Dari berbagai penjelasan di atas kita dapat mengambil kesimpulan, perlulah kehati-hatian dalam memahami berbagai redaksi Al-Qur’an; diantaranya ayat tentang penyebab diperbolehkannya tayamum. Contoh di atas menunjukkan bahwa redaksi Al-Quran tidak dapat langsung dipahami begitu saja, tanpa bantuan tafsir. Selain itu, sakit juga menjadi penyebab tersendiri pada diperbolehkannya tayamum. Sehingga redaksi “lalu kamu tidak menemukan air” terkait bolehnya tayamum, tidaklah boleh dipahami secara kaku. Wallahu a’lam bish showab.

Tafsir Surah Shad Ayat 12-13 (1)

0
Tafsir Surah Shad
Tafsir Surah Shad

Sebelumnya telah diulas bagaimana keingkaran kaum kafir Quraish atas kerasulan Muhammad, adapun Tafsir Surah Shad Ayat 12-13 (1) akan sedikit berkisah tentang keadaan kaum-kaum terdahulu yang juga mengingkari para utusan Allah.

Setidaknya, ada enam kaum yang disebutkan dalam dua ayat ini, namun untuk sesi Tafsir Surah Shad Ayat 12-13 (1) hanya akan menjelaskan tiga kaum terlebih dahulu, sisanya akan dijelaskan pada tafsir selanjutnya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Shad Ayat 9-11


Ayat 12-13

Pada kedua ayat ini, Allah menjelaskan enam kaum yang mendustakan rasul-rasul Allah, serta akibat yang mereka derita, dengan maksud agar menjadi pelajaran bagi kaum musyrik Mekah, sehingga mereka terlepas dari kesesatan, dan mau menerima tuntunan hidayah. Mereka itu adalah:

Pertama, kaum Nuh yang menuduh Nabi Nuh telah memberikan nasihat dan peringatan yang dibuat-buat.

Oleh karena itu, mereka memperolok-olok, bahkan mengatakan bahwa Nabi Nuh gila.

Meskipun Nabi Nuh telah berulang kali menyeru kepada mereka dengan lemah-lembut agar mereka beragama tauhid tetapi tantangan mereka tidak berkurang juga, bahkan bertambah-tambah, akhirnya Nabi Nuh berdoa kepada Allah.

Firman Allah:

وَقَالَ نُوْحٌ رَّبِّ لَا تَذَرْ عَلَى الْاَرْضِ مِنَ الْكٰفِرِيْنَ دَيَّارًا   ٢٦  اِنَّكَ اِنْ تَذَرْهُمْ يُضِلُّوْا عِبَادَكَ وَلَا يَلِدُوْٓا اِلَّا فَاجِرًا كَفَّارًا   ٢٧

Dan Nuh berkata, “Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi. Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka hanya akan melahirkan anak-anak yang jahat dan tidak tahu bersyukur.” (Nµ¥/71: 26-27).

Kaum Nuh tetap mendustakan seruannya, bahkan tenggelam dalam kesesatan. Allah membinasakan mereka dengan perantaraan badai, topan, dan banjir sebagai balasan dari kejahatan yang mereka lakukan. Akan tetapi, Nuh dan pengikut-pengikutnya diselamatkan Allah dari siksaan itu.

Allah berfirman:

فَفَتَحْنَآ اَبْوَابَ السَّمَاۤءِ بِمَاۤءٍ مُّنْهَمِرٍۖ    ١١  وَّفَجَّرْنَا الْاَرْضَ عُيُوْنًا فَالْتَقَى الْمَاۤءُ عَلٰٓى اَمْرٍ قَدْ قُدِرَ ۚ  ١٢  وَحَمَلْنٰهُ عَلٰى ذَاتِ اَلْوَاحٍ وَّدُسُرٍۙ    ١٣  تَجْرِيْ بِاَعْيُنِنَاۚ جَزَاۤءً لِّمَنْ كَانَ كُفِرَ   ١٤

Lalu Kami bukakan pintu-pintu langit dengan (menurunkan) air yang tercurah, dan Kami jadikan bumi menyemburkan mata-mata air maka bertemulah (air-air) itu sehingga (meluap menimbulkan) keadaan (bencana) yang telah ditetapkan. Dan Kami angkut dia (Nuh) ke atas (kapal) yang terbuat dari papan dan pasak, yang berlayar dengan pemeliharaan (pengawasan) Kami sebagai balasan bagi orang yang telah diingkari (kaumnya). (al-Qamar/54: 11-14)

Kedua, kaum ‘Ad yang mendustakan seruan Hud yang mengajak mereka menyembah Allah Yang Maha Esa dan meninggalkan sembahan-sembahan yang mereka persekutukan dengan Allah.

Akan tetapi, kaum ‘Ad menentang seruan itu, bahkan mereka memperolok-olokkan Hud dan mengatakannya gila. Itulah sebabnya mereka dibinasakan dengan angin yang sangat dingin lagi kencang.

Allah berfirman:

وَاَمَّا عَادٌ فَاُهْلِكُوْا بِرِيْحٍ صَرْصَرٍ عَاتِيَةٍۙ  ٦  سَخَّرَهَا عَلَيْهِمْ سَبْعَ لَيَالٍ وَّثَمٰنِيَةَ اَيَّامٍۙ حُسُوْمًا فَتَرَى الْقَوْمَ فِيْهَا صَرْعٰىۙ  كَاَنَّهُمْ اَعْجَازُ نَخْلٍ خَاوِيَةٍۚ  ٧  فَهَلْ تَرٰى لَهُمْ مِّنْۢ بَاقِيَةٍ   ٨

Sedangkan kaum ‘Ad, mereka telah dibinasakan dengan angin topan yang sangat dingin,  Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam delapan hari terus-menerus; maka kamu melihat kaum ‘Ad pada waktu itu mati bergelimpangan seperti batang-batang pohon kurma yang telah kosong (lapuk). Maka adakah kamu melihat seorang pun yang masih tersisa di antara mereka? (al-Haqqah/69: 6-8).


Baca Juga : Mengenal Tujuh Istilah Angin yang Disebutkan dalam Al-Quran


Ketiga, Fir’aun yang mempunyai tentara yang besar. Di samping itu, ia mempunyai tempat penyiksaan khusus guna menyiksa musuh-musuhnya dan bangunan yang tinggi dan kokoh.

Allah telah mengutus Musa kepada Fir’aun dan para pengikutnya agar menghentikan kesesatannya dan menyembah Allah Yang Maha Esa. Kebenaran seruan Musa itu dikuatkan pula dengan mukjizat.

Akan tetapi Fir’aun dan para pengikutnya tetap berkeras hati menolak seruan Musa, bahkan bersikap sombong dan menghinanya dengan menyatakan bahwa dialah tuhan yang maha tinggi.

Maka Allah memerintahkan Musa untuk mengungsikan kaumnya agar selamat dari kekejaman Fir’aun. Dengan begitu, selamatlah Musa dan kaum Bani Israil dari pengejaran Fir’aun sedang dia dengan bala tentaranya tenggelam ditelan gelombang laut.

Allah berfirman:

۞ وَجَاوَزْنَا بِبَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ الْبَحْرَ فَاَتْبَعَهُمْ فِرْعَوْنُ وَجُنُوْدُهٗ بَغْيًا وَّعَدْوًا ۗحَتّٰىٓ اِذَآ اَدْرَكَهُ الْغَرَقُ قَالَ اٰمَنْتُ اَنَّهٗ لَآ اِلٰهَ اِلَّا الَّذِيْٓ اٰمَنَتْ بِهٖ بَنُوْٓا اِسْرَاۤءِيْلَ وَاَنَا۠ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ  ٩٠  اٰۤلْـٰٔنَ وَقَدْ عَصَيْتَ قَبْلُ وَكُنْتَ مِنَ الْمُفْسِدِيْنَ  ٩١  فَالْيَوْمَ نُنَجِّيْكَ بِبَدَنِكَ لِتَكُوْنَ لِمَنْ خَلْفَكَ اٰيَةً ۗوَاِنَّ كَثِيْرًا مِّنَ النَّاسِ عَنْ اٰيٰتِنَا لَغٰفِلُوْنَ   ٩٢

Dan Kami selamatkan Bani Israil melintasi laut, kemudian Fir‘aun dan bala tentaranya mengikuti mereka, untuk menzalimi dan menindas (mereka). Sehingga ketika Fir’aun hampir tenggelam dia berkata, “Aku percaya bahwa tidak ada tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan aku termasuk orang-orang Muslim (berserah diri).”

Mengapa baru sekarang (kamu beriman), padahal sesungguhnya engkau telah durhaka sejak dahulu, dan engkau termasuk orang yang berbuat kerusakan. Maka pada hari ini Kami selamatkan jasadmu agar engkau dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang setelahmu, tetapi kebanyakan manusia tidak mengindahkan tanda-tanda (kekuasaan) Kami. (Yunus/10: 90-92).

Makna autad yang lain adalah pasung-pasung yang digunakan Fir’aun untuk menyiksa. Ada juga yang mengatakan bahwa Fir’aun mempunyai istana yang megah dan kokoh.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Shad 12-13 (2)


Tafsir Surah Shad Ayat 9-11

0
Tafsir Surah Shad
Tafsir Surah Shad

Secara umum Tafsir Surah Shad Ayat 9-11 berbicara tentang kecaman Allah atas keingkaran kaum kafir Quraish atas kenabian Muhammad Saw. Terlebih lagi, mereka tidak memiliki dasar yang kuat atas penolakan itu, justru alasan mereka hanya didasari oleh sifat hasad dan sombong yang timbul dalam hati akibat rayuan setan.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Shad Ayat 7-9


Ayat 9

Pada ayat ini, Allah mengecam orang-orang Quraisy yang menolak kenabian Muhammad karena beliau bukan orang terpandang di kalangan mereka. Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya agar menanyakan apakah mereka memiliki kekuasaan ikut menentukan dan membagi-bagi khazanah rahmat Allah.

Di akhir ayat, Allah menyebutkan sifat-Nya Yang Mahaperkasa dan Maha Pemberi. Kemahaperkasaan yang tidak bisa ditandingi oleh siapa pun juga dan sifat Mahapemberi yang tidak bisa dihalang-halangi oleh kekuasaan yang lain.

Allah berfirman:

وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاۤءُ وَيَخْتَارُ ۗمَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ

Dan Tuhanmu menciptakan dan memilih apa yang Dia kehendaki. Bagi mereka (manusia) tidak ada pilihan. (al-Qashas/28: 68)

Dan firman-Nya:

اَللّٰهُ اَعْلَمُ حَيْثُ يَجْعَلُ رِسٰلَتَهٗ

…Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan-Nya…. (al-An’am/6: 124)

Ayat 10

Kemudian Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya agar menanyakan kepada orang-orang Quraisy atas sikap mereka yang ingkar dan sombong.

Pertanyaan ini mengandung cemoohan karena memang mereka tidak mempunyai kekuasaan sedikit pun terhadap langit, bumi, dan isi keduanya.

Kalau mereka merasa tidak mempunyai kekuasaan sedikit pun di jagat raya, mestinya mereka juga tidak ikut campur tangan dalam pengangkatan rasul, yang termasuk urusan gaib, yang kekuasaannya berada pada yang Mahaperkasa dan Mahaagung.

Di akhir ayat, Allah memerintah Rasul-Nya agar menantang mereka menaiki tangga-tangga ke langit, dan mencari daya upaya agar menghalang-halangi wahyu yang didatangkan kepada rasul pilihan Allah.

Sesungguhnya mereka tidak akan mampu melakukannya. Dengan demikian, jelaslah pengingkaran mereka kepada wahyu hanya karena sikap Hasad (dengki).


Baca Juga : Kisah Nabi Nuh As dan Keingkaran Kaumnya Dalam Al-Quran


Ayat 11

Pada ayat ini, Allah menjelaskan bahwa keadaan orang-orang musyrik Mekah yang mendustakan kerasulan Muhammad dan mengingkari agama tauhid laksana bala tentara yang besar, yang merupakan gabungan dari kesatuan-kesatuan tentara.

Bala tentara yang bersekutu bergerak untuk menghancurkan kaum Muslimin itu pasti dapat dikalahkan, karena landasan perjuangan mereka tidak didasarkan pada keyakinan yang kokoh, akan tetapi hanyalah karena Hasad dan sombong.

Peristiwa seperti digambarkan dalam ayat ini bukanlah terjadi pada saat diturunkannya ayat, karena pada saat itu kaum Muslimin belum mempunyai tentara, jumlah pengikutnya pun masih sedikit, dan belum ada tanda-tanda untuk menyusun kekuatan yang dapat mengalahkan bala tentara gabungan seperti digambarkan dalam ayat.

Akan tetapi, peristiwa itu baru terjadi pada saat terjadinya Perang Badar, dimana kaum musyrikin yang jumlahnya berlipat ganda melebihi kaum Muslimin dapat dikalahkan atas bantuan Allah. Firman Allah:

اَمْ يَقُوْلُوْنَ نَحْنُ جَمِيْعٌ مُّنْتَصِرٌ   ٤٤  سَيُهْزَمُ الْجَمْعُ وَيُوَلُّوْنَ الدُّبُرَ  ٤٥  بَلِ السَّاعَةُ مَوْعِدُهُمْ وَالسَّاعَةُ اَدْهٰى وَاَمَرُّ   ٤٦

Atau mereka mengatakan, “Kami ini golongan yang bersatu yang pasti menang.” Golongan itu pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang. Bahkan hari Kiamat itulah hari yang dijanjikan kepada mereka dan hari Kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit. (al-Qamar/54: 44-46).

Penjelasan yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang terdapat dalam ayat ini termasuk salah satu di antara mukjizat Nabi dan sekaligus sebagai tanda kebenaran wahyu yang diterimanya bahwa wahyu itu benar-benar dari Allah bukan buatan Muhammad.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Shad 10-11


Tafsir Surah Shad Ayat 7-9

0
Tafsir Surah Shad
Tafsir Surah Shad

Setelah gagal meyakinkan Abu Thalib, dan menyadari bahwa Muhammad tidak akan menghentikan dakwahnya, para pemuka Quraish kemudian membuat strategi baru, yaitu memperkokoh kesatuan pengikutnya. Caranya adalah dengan menyebarkan narasi negatif untuk menjatuhkan kredibilitas Muhammad di mata penduduk Mekkah, termasuk menggoyahkan iman para pengikut Muhammad sendiri, sebagaimana yang akan dijelaskan dalam Tafsir Surah Shad Ayat 7-9 berikut.

Tafsir Surah Shad Ayat 7-9 juga mengecam sikap pemuka kafir Quraish dan pengikutnya yang begitu ingkar atas kenabian Muhammad dan al-Qur’an. Diantara sebab keingkaran mereka adalah tetutupnya hati nurani oleh nafsu dunia yang enggan mereka tinggalkan.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Shad Ayat 5-6


Ayat 7

Allah menjelaskan alasan lain yang dikemukakan oleh para pemimpin Quraisy kepada pengikut-pengikutnya, bahwa seruan Muhammad saw itu tidak benar.

Mereka mengatakan bahwa mereka tidak pernah mendengar seruan seperti yang diserukan oleh Muhammad itu di dalam agama yang diturunkan terakhir.

Agama yang mereka maksudkan adalah agama Nasrani. Seruan Muhammad agar manusia mengesakan Tuhan itu hanyalah dusta yang dibuat-buat oleh Muhammad saw dan bukan datang dari Allah.

Ayat 8

Kemudian Allah menjelaskan pengingkaran orang-orang kafir Mekah bahwa Muhammad diberi wahyu, padahal dia manusia biasa.

Menurut anggapan mereka, yang pantas diangkat menjadi utusan ialah orang yang mempunyai kemuliaan dan kepemimpinan yang melebihi mereka.

Muhammad tidak mempunyai sifat-sifat istimewa yang seperti itu, sehingga tidak mungkin Al-Qur’an diturunkan kepadanya. Sedangkan di antara mereka masih ada orang-orang yang lebih mulia, dan lebih pantas memegang kepemimpinan.

Allah berfirman:

وَقَالُوْا لَوْلَا نُزِّلَ هٰذَا الْقُرْاٰنُ عَلٰى رَجُلٍ مِّنَ الْقَرْيَتَيْنِ عَظِيْمٍ

Dan mereka (juga) berkata, “Mengapa Al-Qur’an ini tidak diturunkan kepada orang besar (kaya dan berpengaruh) dari salah satu dua negeri ini (Mekah dan Taif)?” (az-Zukhruf/43: 31)

Mereka mengingkari wahyu dan kenabian Muhammad karena menurut jalan pikiran mereka, orang yang diutus menjadi rasul adalah orang yang kaya raya dan berpengaruh. Mereka tidak menyadari bahwa Allah berkuasa menentukan pilihan menurut kehendak-Nya di antaranya mengangkat hamba-Nya menjadi Nabi.


Baca Juga : Tafsir Surah Ali Imran Ayat 134-135 : Empat Perilaku Orang Yang Bertakwa


Allah berfirman:

وَقَالُوْا مَالِ هٰذَا الرَّسُوْلِ يَأْكُلُ الطَّعَامَ وَيَمْشِيْ فِى الْاَسْوَاقِۗ  لَوْلَآ اُنْزِلَ اِلَيْهِ مَلَكٌ فَيَكُوْنَ مَعَهٗ نَذِيْرًا ۙ  ٧  اَوْ يُلْقٰىٓ اِلَيْهِ كَنْزٌ اَوْ تَكُوْنُ لَهٗ جَنَّةٌ يَّأْكُلُ مِنْهَاۗ وَقَالَ الظّٰلِمُوْنَ اِنْ تَتَّبِعُوْنَ اِلَّا رَجُلًا مَّسْحُوْرًا  ٨

Dan mereka berkata, “Mengapa Rasul (Muhammad) ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar? Mengapa malaikat tidak diturunkan kepadanya (agar malaikat) itu memberikan peringatan bersama dia, atau (mengapa tidak) diturunkan kepadanya harta kekayaan atau (mengapa tidak ada) kebun baginya, sehingga dia dapat makan dari (hasil)nya?” Dan orang-orang zalim itu berkata, “Kamu hanyalah mengikuti seorang laki-laki yang kena sihir.” (al-Furqan/25: 7-8).

Di bagian akhir, ayat ini menjelaskan bahwa penyebab mereka jauh dari kebenaran adalah karena hati mereka diselubungi keraguan yang tidak bisa ditembus oleh cahaya kebenaran Al-Qur’an, dan mereka belum merasakan siksa Allah yang pedih.

Seandainya mereka mau memperhatikan tanda-tanda kebenaran wahyu yang diturunkan kepada rasul-Nya, niscaya mereka mengakui kenabiannya, karena wahyu yang diterima itu telah cukup menjadi tanda kenabiannya. Namun demikian, karena penyakit hasad dan dengki yang telah bersarang dalam dadanya, maka mereka tidak mau menerima wahyu itu. Akhirnya mereka terjerumus dalam lembah keingkaran.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Shad 10-11


Tafsir Surah Shad Ayat 5-6

0
Tafsir Surah Shad
Tafsir Surah Shad

Tafsir Surah Shad Ayat 5-6 berbicara tentang kekhawatiran pemuka Quraish dengan keteguhan Nabi Muhammad dalam menyampaikan ketauhidan Allah Swt. Terlebih lagi, Muhammad adalah sosok yag cerdas dan berbudi luhur, tidak heran jika pengaruhnya pun cukup pesat di Makkah.

Salah satu upaya untuk menghentikan pergerakan dakwah Muhammad adalah dengan memanfaatkan peran Abu Thalib sebagai paman yang di segani oleh Nabi, supaya ia membujuk kepokannya itu agar tidak melanjutkan syiarnya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Shad Ayat 1-4


Ayat 5

Sebab nuzul ayat ini sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Jarir ath-Thabari dari Ibnu ‘Abbas yang menyatakan bahwa setelah Abu Thalib sakit, masuklah serombongan orang-orang Quraisy, di antara mereka terdapat Abu Jahal.

Mereka berkata, “Sesungguhnya kemenakanmu mencaci-maki tuhan-tuhan kami. Ia betul-betul berbuat dan mengatakannya. Alangkah baiknya kalau engkau mengutus seseorang untuk melarangnya.” Maka Abu Thalib pun mengutus utusan kepadanya.

Lalu Nabi pun datang dan masuk ke rumahnya, sedangkan jarak antara orang-orang Quraisy dengan Abu Thalib dekat sekali sekadar tempat duduk yang cukup untuk seorang. Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa Abu Jahal khawatir kalau-kalau Nabi duduk di samping Abu Thalib.

Lalu ia menjadi bersikap lunak. Ia lalu melompat dan duduk di tempat yang belum diduduki di sisi Abu Thalib. Dengan demikian Rasulullah tidak mendapatkan tempat duduk di dekat pamannya.

Beliau duduk di dekat pintu. Lalu Abu Thalib berkata kepada beliau, “Hai kemenakanku, mengapa kaummu mengadukan engkau. Mereka menuduh engkau memaki tuhan-tuhan mereka dan engkau pun mengatakan begini-begitu.” Ibnu ‘Abbas melanjutkan bahwa orang-orang Quraisy banyak sekali berbicara dengan Abu Thalib.

Kemudian Rasulullah berkata, “Hai Pamanku. Sesungguhnya saya ingin agar mereka itu menyatakan kalimat yang satu saja, yang dengan kalimat itu orang-orang Arab tunduk kepada mereka, dan orang-orang ‘Ajam (selain Arab) membayar jizyah (pajak kepala) kepada mereka.”

Maka mereka pun senang akan kalimat (yang diusulkan itu) dan senang pula akan perkataan Rasul. Lalu kaum Quraisy itu bertanya, “Apakah kalimat itu? Demi Ayahmu, tentu kami memberi balasan kepadamu sepuluh kali lipat.”

Rasulullah pun bersabda, “Lailaha Illallah.” Maka mereka pun bangkit dengan gemetar, sambil menyingsingkan lengan bajunya dan berkata, “Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja, sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang mengherankan.” Maka turunlah ayat ini.


Baca Juga : Siapa Saja Mufasir di Era Sahabat? Edisi Ali Ibn Abi Thalib


Allah menjelaskan keheranan kaum musyrik akan seruan rasul. Mereka heran mengapa Muhammad menjadikan Tuhan hanya satu saja, ini bertentangan dengan kepercayaan nenek moyang mereka.

Ketika Rasulullah mengajak mereka agar meninggalkan sembahan-sembahan mereka yang banyak itu dan menggantinya dengan menyembah Allah Yang Maha Esa, maka mereka menganggap bahwa seruan Muhammad itu bukan masalah yang remeh, akan tetapi benar-benar suatu yang mengherankan.

Mereka mengingkari seruan itu karena yakin bahwa tidak mungkin nenek moyang mereka menganut keyakinan yang salah, tetapi Muhammad adalah seorang pendusta yang mengaku dirinya benar.

Ayat 6

Pada ayat ini, Allah menjelaskan bahwa pemimpin-pemimpin Quraisy itu pergi dari rumah Abu Thalib setelah terbungkam oleh jawaban Rasul, sebagaimana dijelaskan dalam sebab nuzul di atas.

Mereka mengetahui Muhammad berkeras hati membela agama. Itulah sebabnya mereka tidak mempunyai harapan lagi untuk melunakkan hati Muhammad dengan perantaraan pamannya. Mereka berunding apa yang seharusnya dilakukan, dan memeras otak untuk mendapatkan penyelesaian.

Akhirnya mereka memutuskan untuk memperkokoh keyakinan pengikut-pengikutnya untuk tetap dengan keyakinan mereka dan tetap menyembah tuhan-tuhan mereka.

Di akhir ayat, Allah mengungkapkan perkataan para pemimpin Quraisy itu kepada pengikut-pengikutnya, bahwa menyembah berhala-berhala itulah yang sebenarnya dikehendaki oleh Allah.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Shad 7-9


Tafsir Surah Shad Ayat 1-4

0
Tafsir Surah Shad
Tafsir Surah Shad

Surah Shad merupakan surah ke 38 dalam al-Qur’an, surah ini termasuk kategori Makkiyah dengan jumlah 88 ayat. Penamaan surah Shad sendiri, karena awal ayatnya dimulai dengan huruf “shad”, sebagaimana pendapat masyoritas ulama. Adapun tafsir kali ini diawali dengan Tafsir Surah Shad Ayat 1-4 berbicara tentang sindiran Allah atas perilaku orang kafir yang sombong dan angkuh, terutama keingkaran mereka atas kenabian Muhammad dan al-Qur’an sebagai Kitabullah.

Ayat 1

Allah memulai firman-Nya dengan Fawatih as-Suwar “Shad”, seperti halnya Dia memulai beberapa surah yang diturunkan di Mekah dan dua buah surah yang diturunkan di Medinah. Mengenai penafsiran Fawatih as-Suwar telah dikemukakan secara luas pada penafsiran ayat yang pertama surah yang kedua (al-Baqarah dalam Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid 1).

Kemudian Allah bersumpah dengan Al-Qur’an yang mempunyai keagungan isinya, kemuliaan martabatnya serta kesempurnaan hukumnya yang mengagungkan dan menakjubkan.

Al-Qur’an disifati dengan “yang mempunyai keagungan” agar manusia memahami bahwa Al-Qur’an yang diturunkan kepada rasul-Nya itu benar-benar dari Allah, dan mengandung ajaran yang benar yang disampaikan oleh Rasulullah kepada seluruh manusia.

Ayat 2

Allah mengungkapkan keadaan orang-orang kafir Mekah yang mengingkari kebenaran wahyu, dan tidak dapat melihat nilai-nilai kebenarannya, yang sebenarnya sangat penting bagi kesejahteraan mereka di dunia dan kebahagiaan di akhirat, karena kesombongan dan permusuhan yang bersarang dalam jiwa mereka.

Kesombongan mereka tampak pada tindakan mereka terhadap Rasul dan para pengikutnya. Mereka sangat merendahkan kaum Muslimin karena merasa lebih kuat dan lebih banyak hartanya. Sedangkan kaum Muslimin terdiri dari orang-orang miskin dan berjumlah sedikit.

Permusuhan yang sengit itu disebabkan karena ajaran yang dibawa oleh Rasul itu mengancam agama nenek moyang mereka, dan menghinakan patung-patung yang mereka jadikan sembahan-sembahan di samping Allah.

Pada ayat ini, Allah bersumpah dengan menyebut para malaikat yang menghardik untuk melarang makhluk sedemikian rupa dari perbuatan-perbuatan maksiat. Malaikat adalah makhluk Allah yang sangat patuh dan taat kepada perintah dan larangan-Nya.

Oleh sebab itu, mereka tidak senang melihat makhluk lain yang berbuat kemaksiatan, melanggar larangan Allah, dan tidak melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya. Mereka menghardiknya seperti seorang gembala yang menghardik untuk menghalau ternaknya.


Baca Juga : Macam-Macam Fawatihus Suwar dalam Al-Quran


Ayat 3

Allah mengecam kesombongan dan permusuhan mereka dengan menjelaskan bahwa betapa banyak umat sebelum mereka, yang menghina dan mengingkari rasul-rasul Allah, dibinasakan-Nya. Ketika azab itu ditimpakan, mereka meminta pertolongan kepada Allah. Namun permintaan itu tidak berguna lagi, dan mereka tidak akan dapat melepaskan diri dari siksa yang membinasakan.

Allah berfirman:

فَلَمَّا رَاَوْا بَأْسَنَاۗ قَالُوْٓا اٰمَنَّا بِاللّٰهِ وَحْدَهٗ وَكَفَرْنَا بِمَا كُنَّا بِهٖ مُشْرِكِيْنَ

Maka ketika mereka melihat azab Kami, mereka berkata, “Kami hanya beriman kepada Allah saja dan kami ingkar kepada sembahan-sembahan yang telah kami persekutukan dengan Allah.” (Gafir/40: 84);Dan firman-Nya:

فَلَمَّآ اَحَسُّوْا بَأْسَنَآ اِذَا هُمْ مِّنْهَا يَرْكُضُوْنَ ۗ  ١٢  لَا تَرْكُضُوْا وَارْجِعُوْٓا اِلٰى مَآ اُتْرِفْتُمْ فِيْهِ وَمَسٰكِنِكُمْ لَعَلَّكُمْ تُسْـَٔلُوْنَ   ١٣

Maka ketika mereka merasakan azab Kami, tiba-tiba mereka melarikan diri dari (negerinya) itu. Janganlah kamu lari tergesa-gesa; kembalilah kamu kepada kesenangan hidupmu dan tempat-tempat kediamanmu (yang baik), agar kamu dapat ditanya. (al-Anbiya’/21: 12-13)

Ayat 4

Ayat ini mengungkapkan keadaan orang-orang kafir Mekah yang sangat heran ketika nabi yang datang kepada mereka ternyata manusia biasa dari kalangan mereka juga.

Menurut mereka, Muhammad yang mengaku dirinya diangkat menjadi rasul itu tidak mempunyai keistimewaan, baik keistimewaan jasmani maupun rohani, padahal kedudukan rasul itu tinggi. Dengan demikian, tidak mungkin Muhammad menduduki kedudukan yang tinggi.

Itulah sebabnya maka mereka mengatakan bahwa Muhammad hanyalah tukang sihir. Dia penipu dan pendusta. Apa yang disampaikan baik berupa perintah atau pun larangan yang dikatakan dari Allah adalah dusta. Firman Allah:

اَكَانَ لِلنَّاسِ عَجَبًا اَنْ اَوْحَيْنَآ اِلٰى رَجُلٍ مِّنْهُمْ اَنْ اَنْذِرِ النَّاسَ وَبَشِّرِ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَنَّ لَهُمْ قَدَمَ صِدْقٍ عِنْدَ رَبِّهِمْ ۗ قَالَ الْكٰفِرُوْنَ اِنَّ هٰذَا لَسٰحِرٌ مُّبِيْنٌ

Pantaskah manusia menjadi heran bahwa Kami memberi wahyu kepada seorang laki-laki di antara mereka, “Berilah peringatan kepada manusia dan gembirakanlah orang-orang beriman bahwa mereka mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Tuhan.” Orang-orang kafir berkata, “Orang ini (Muhammad) benar-benar pesihir.” (Yunus/10: 2)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Shad 5-6


Dalil dan Keutamaan Berwudhu’ dalam Al-Qur’an dan Hadis

0
Berwudhu'
Berwudhu'

Wudhu’ memiliki dasar hukum yang kuat, baik dari Al-Qur’an, hadis, maupun ijmak ulama. Di dalam Al-Qur’an Allah telah berfirman dalam S. Al-Ma’idah (5): 6:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”

Ada beberapa pesan penting yang terkait dengan ibadah salat yang disampaikan oleh Allah di dalam ayat di atas, yaitu hal-hal berikut:

  1. Seseorang yang hendak melakukan salat, harus membersihkan dirinya terlebih dahulu dengan cara berwudhu’.
  2. Tata cara berwudhu’, yaitu dengan cara mencuci muka dengan air, mencuci kedua tangan hingga dengan siku, menyapu kepala dan mencuci kepala hingga kedua mata kaki.
  3. Jika seseorang mengalami junub (karena berhubungan dengan suami/isteri), diwajibkan mandi.
  4. Jika dalam keadaan sakit, tidak dapat menggunakan air, maka hendaklah dia bertayammum.
  5. Jika dia dalam perjalanan, tidak menemukan air untuk berwudhu’, maka dia wajib tayammum.
  6. Jika dia kembali dari tempat buang air (kakus) tidak menemukan air untuk berwudhu’, maka dia wajib bertayammum.
  7. Jika dia menyentuh perempuan, dan tidak menemukan air untuk berwudhu’, maka dia wajib bertayammum.
  8. Perintah untuk bertayammum dengan menggunakan tanah (debu) yang baik (bersih), jika tidak menemukan air.
  9. Tata cara bertayammu ialah menyapu (membasuh) muka dengan tanah (debu) dan membasuh tangan hingga siku dengan tanah.
  10. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Dalil Keluarnya Benda Asing dari Kemaluan Atau Dubur Tidak Membatalkan Wudhu

Di dalam hadis pun banyak dalil-dalil yang menerangkan tentang wudhu’ ini. Di antaranya ialah hadis riwayat Abu Hurairah r.a. ia berkata bahwa Rasulullah saw menyatakan: “Alah tidak akan menerima shalat seseorang kamu apabila dia berhadas” Shalat yang diterima dilakukan dalam keadaan berwudhu’”. (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Tirmidzi).

Para ulama sepakat menyatakan bahwa wuhdu’ adalah salah satu syarat sahnya shalat.

Tentang waktu diwajibkannya berwudhu’, terdapat perbedaan pendapat ulama, apakah wuhdu’ mulai diwajibkan di Makkah atau di Madinah. Jumhur ulama menyatakan bahwa wudhu’ mulai diwajibkan di Madinah, setelah Rasulullah berhijrah, karena tidak ada dalil yang jelas yang menyatakan bahwa wudhu’ diwajibkan di Makkah.

Keutamaan berwudhu’ dalam menghapuskan dosa-dosa anggota badan dapat dilihat dari gambaran Rasulullah Saw. yang disampaikan dalam beberapa hadisnya sebagai berikut:

Hadis Abu Hurairah r.a. menyatakan bahwa esungguhnya Rasulullah telah bersabda: “Maukah kalian kutunjukkan sesuatu yang karenanya Allah menghapuskan semua dosa dan kesalahan kalian dan mengangkat derajat kalian. Sahabat menjawab, ya, ya Rasulullah. Rasulullah lalu menjelaskan: “Menyempurnakan wuhdu’, banyak berjalan kaki ke masjid, dan menunggu satu shalat sesudah shalat yang lain”. (HR Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, dan Malik).

Hadis Abu Hurairah yang lain menyatakan bahwa Rasulullah telah bersabda: “Apabila seorang muslim (mukmin) berwudhu’, maka ketika ia mencuci mukanya, keluar dari mukanya semua dosa yang pernah dilakukan yang dapat dilihat dengan kedua matanya bersama perginya air wudhu’nya. Apabila ia mencuci kedua tangannya, maka keluar dari keduanya segala dosa yang telah dilakukan tangannya bersama perginya air wudhu’nya. Apabila ia mencuci kedua telapak kakinya, maka akan keluar dari keduanya semua dosa yang telah dilakukannya bersama perginya air wudhu’nya. (HR Muslim, Mali, dan Tirmidzi).

Hadis Amar bin Abasah menyatakan bahwa Rasulullah Saw telah bersabda: “Apabila seorang muslim (mukmin) berwudhu’, maka ketika ia mencuci kedua tangannya, keluar dari kedua tangannya semua dosa yang pernah dilakukannya. Apabila dia mencuci mukanya, maka keluar dari mukanya semua dosa yang pernah dilakukannya.

Apabila dia mencuci kedua tanggannya hingga siku dan membasuh kepalanya, maka keluarlah semua dosa dari kedua tangannya hingga siku dan dosa-dosa dari kepala bersama perginya air wudhu’nya. Apabila ia mencuci kedua telapak kakinya, maka akan keluar dari keduanya semua dosa yang telah dilakukannya bersama perginya air wudhu’nya.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Hukum Memberi Jarak Antara Basuhan ke Basuhan Selanjutnya Ketika Wudhu

Hadis Abdullah al-Shunabihi r.a. bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: “Apabila seorang hamba berwudhu’, maka ketika ia berkumur akan keluar dari mulutnya semua dosa-dosa mulutnya bersama keluarnya air wudhu’. Ketika memasukkan air ke dalam hidungnya, maka semua dosa hidungnya akan keluar bersama air wudhu’. Ketika ia mencuci mukanya, maka semua dosa mukanya akan keluar bersama air wudhu’nya, dan keluar dari matanya dosa-dosa matanya.

Ketika mencuci kedua tangannya, akan keluar semua dosa tangannya dari celah-celah jarinya bersama perginya air wudhu’nya, Ketika ia membasuh kepalanya dan telinganya keluarlah dari keduanya semua dosanya. Ketika mencuci kedua kakinya, keluar semua dosanya dari celah jari-jari kakinya. Berjalan kaki ke masjid dan melakukan shalat sunat juga dapat menghapuskan semua dosanya. (HR Malik).

Itulah keutamaan yang luar biasa dari mengambil air wudhu’. Air wudhu’ dapat menghapuskan semua dosa anggota badan. Setiap kali kita berwudhu’, setiap kali itu pula dosa anggota badan akan hilang atau keluar bersama air wudhu’. Oleh sebab itu, sebaiknya selalulah berwudhu’, tidak hanya untuk salat. Setiap kali ingin melakukan salat, berwudhu’lah, walau wudhu’ yang pertama masih ada. Wallahu A’lam.

Tafsir Surah al-‘Araf Ayat 172: Hakikat Kemerdekaan Diri

0
Kemerdekaan
Kemerdekaan Diri

Dalam UUD 45 disebutkan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Ini mengisyaratkan bahwa tidak boleh ada lagi yang namanya penjajahan. Sehingga siapapun yang berada di dalamnya dapat menjalankan aktifitasnya dengan tenang, nyaman dan damai. Sejalan dengan hal tersebut, terhadap diri sendiri juga harus merdeka. Dalam banyak tempat, Al-Qur’an mengafirmasi hal tersebut. Seperti setiap manusia adalah khalifah (Al-Baqarah [2]: 35),  kebebasan dalam beragama (Al-Baqarah [2]: 256), dan lain-lain.

Jika kita telisik lebih jauh, kemerdekaan diri tidak saja sebatas kita berada di dunia. Hakikat kemerdekaan diri itu ada sejak kita berada dalam kandungan. Hal tersebut dikonfirmasi oleh QS. Al-‘Araf [7]: 172.

وَاِذْ اَخَذَ رَبُّكَ مِنْۢ بَنِيْٓ اٰدَمَ مِنْ ظُهُوْرِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَاَشْهَدَهُمْ عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْۚ  اَلَسْتُ بِرَبِّكُمْۗ قَالُوْا بَلٰىۛ شَهِدْنَا ۛاَنْ تَقُوْلُوْا يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اِنَّا كُنَّا عَنْ هٰذَا غٰفِلِيْنَۙ

“(Ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari tulang punggung anak cucu Adam, keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksiannya terhadap diri mereka sendiri (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami melakukannya) agar di hari Kiamat kamu (tidak) mengatakan, “Sesungguhnya kami lengah terhadap hal ini.” (Terjemah Kemenag 2019)

Tafsir QS. Al-‘Araf [7]: 172

Dalam Tafsir al-Wajiz, Syekh Wahbah al-Zuhaili berkomentar ingatlah bahwa ketika Tuhanmu telah mengeluarkan dari sulbi anak-anak adam keluarga mereka, dan mereka berada di dalam alam dzar. Kemudian diambil janjinya untuk berikrar tentang keberadaan Allah dan keesaannya. Tujuan pengambilan janji terebut adalah bahwa Allah menciptakan manusia, serta untuk mencapai kebenaran dan mengenali pencipta alam semesta. Mereka dipersaksikan dan diampil janji setia dihadapan Tuhannya: “Bukankah aku Tuhanmu?. Mereka menjawab: “Ya, kami bersaksi bahwa engkau adalah Tuhan kami yang layak disembah. Ini untuk mencegah agar di hari kiamat mereka yang telah diambil sumpahnya tidak mengatakan: tidak ada yang memperingatkan kami kejalan-Mu dan kami tidak tahu bahwa engkau adalah Tuhan kami. (al-Wajiz, juz 7,hlm.174)

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 263: Etika Memberi dan Meminta Bantuan

Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah menejlaskan bahwa Ayat di atas mengandung dua sebab mengapa persaksian tersebut diambil Allah. Yang pertama adalah agar manusia di Hari Kiamat nanti tidak berkata: “Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.” Yakni kalau Kami tidak melakukan hal tersebut, mereka akan berkata: “Kami tidak tahu atau kami lengah karena tidak ada petunjuk yang kami peroleh menyangkut wujud dan keesaan Allah. Tidaklah wajar orang yang tidak tahu atau lengah dimintai pertanggungjawaban.” Nah, supaya tidak ada dalih semacam ini, Allah mengambil dari mereka kesaksian dalam arti memberikan kepada setiap insan potensi dan kemampuan untuk menyaksikan keesaan Allah bahkan menciptakan mereka dalam keadaan memiliki fitrah kesucian dan pengakuan akan keesaan itu. (Tafsir al-Mishbah, vol.4, hlm. 370-371)

Alasan kedua, lanjut Shihab, agar mereka tidak mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan, kami hanya anak keturunan mereka.” Yakni agar mereka tidak mengatakan: “Kami sebenarnya hanya mengikut saja karena kami tidak mampu dan tidak mengetahui hakikat yang dituntut ini, apalagi orangtua kami yang mengajar kami dan kami menerimanya seperti itu. Jika demikian yang salah adalah orangtua kami bukan kami karena itu, wahai Tuhan, apakah wajar Engkau menyiksa kami karena perbuatan orang lain yang sesat, walaupun mereka itu adalah orangtua kami?” Nah, untuk menampik dalih ini, Allah mempersaksikan setiap insan sehingga ia dapat menolak siapa pun, walau orangtuanya sendiri, bila mereka mengajak kepada kedurhakaan dan persekutuan Allah.

Dalam Tafsir Kementrian Agama disebutkan bahwa ayat-ayat yang lalu berbicara tentang kisah Nabi Musa dan Bani Israil dengan mengingatkan mereka tentang perjanjian yang bersifat khusus, di sini Allah menjelaskan perjanjian yang bersifat umum, untuk Bani Israil dan manusia secara keseluruhan, yaitu dalam bentuk penghambaan. Allah berfirman, “Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi, yakni tulang belakang anak cucu Adam, keturunan mereka yang melahirkan generasi-generasi selanjutnya.

Dan kemudian Dia memberi mereka bukti-bukti ketuhanan melalui alam raya ciptaanNya, sehingga-dengan adanya bukti-bukti itu-secara fitrah akal dan hati nurani mereka mengetahui dan mengakui kemahaesaan Tuhan. Karena begitu banyak dan jelasnya bukti-bukti keesaan Tuhan di alam raya ini, seakan-akan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka seraya berfirman, “Bukankah Aku ini Tuhan Pemelihara-mu dan sudah berbuat baik kepadamu?” Mereka menjawab, “Betul Engkau Tuhan kami, kami bersaksi bahwa Engkau Maha Esa.” Dengan demikian, pengetahuan mereka akan bukti-bukti tersebut menjadi suatu bentuk penegasan dan, dalam waktu yang sama, pengakuan akan kemahaesaan Tuhan. Kami lakukan yang demikian itu agar di hari Kiamat kamu tidak lagi beralasan dengan mengatakan, “Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini, tidak tahu apa-apa mengenai keesaan Tuhan.”

Refleksi Ayat

Dari penjelasan beberapa tafsir di atas, kemerdekaan diri yang sesungguhnya adalah jika kita sudah meng-Esakan Allah dalam hati kita. Tidak hanya dengan hati (bilqolbi), tapi juga dengan ucapan (billisan) dan perbutan (bil’amal). Ini terbukti dari sejak jauh sebelum kita dilahirkan ikrar untuk menyaksikan Allah sebagai Tuhan telah kita lakukan. Ialah Allah yang mengatur, memelihara, dan menjaga segala gerak, tata surya yang ada dibumi.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Beda Pendapat Tentang Tata Cara Bertayamum Yang benar

Selanjutnya, setelah melakukan pengikraran, dan ini yang terpenting, adalah menghilangkan ‘berhala-berhala’ yang dapat menghalangi jalan kita menuju Tuhan. Artinya, bahwa segala kekuatan dan kemampuan harus kita kerahkan untuk menghalangi ‘berhala-berhala’ kehidupan yang dapat membuat hati kita jauh dari jalan Tuhannya. Berhala-berhala itu dapat berupa uang, pangkat, jabatan, popularistas, dan berbagai aneka ragamnya. Semoga kita terlindungi dan dijauhkan dari apapun yang dapat menghalangi jalan kita menuju yang Haq. Sehingga

Robbana arinal haqqa-haqqa warzuqnattib’ah, wa arinal bathila-bathila warzuqnaj tinabah. Wahai Tuhankami tunjukanlah kepada kami yang benar itu benar dan bantulah kami untuk mengikutinya, dan tunjukkanlah kepada kami yang batil itu batil dan bantulah kami menjauhinya. Wallahu’alam.

Spirit Literasi dalam Nama-Nama Al-Qur’an

0
Nama-Nama Al-Qur'an
Nama-Nama Al-Qur'an

Beberapa hari yang lalu penulis berkesempatan mengikuti kelas literasi yang diselenggarakan oleh santri-santri Pondok MUS, Ma‘hadul ‘Ulum Asy-Syar‘iyyah, Karangmangu Sarang Rembang. Sebuah acara yang diselenggarakan guna menumbuhkan ketertarikan bidang tulis menulis bagi mereka yang belum, serta meningkatkan kemampuan menulis bagi mereka yang telah berkecimpung sebelumnya.

Acara bertajuk Tantangan Era Revolusi Digital ini menurut penulis sangat menarik karena memang sesuai dengan tantangan yang hari ini tengah di hadapi kaum santri. Ketika seluruh lini kehidupan telah berubah karena teknologi digital, santri dituntut melakukan berbagai adaptasi dengan mengerahkan segala kreatifitas yang dimiliki. Semangat menghadapi era digital ini juga sangat cocok dengan tagline yang diangkat Hari Santri 2021, Santri Siaga Jiwa Raga.

Sebagai pegiat kajian Al-Qur’an, penulis dalam menangkap momen ini teringat akan sebuah ulasan yang ditulis Manna‘ Khalil al-Qaththan dalam bukunya, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, tentang spirit literasi dalam nama-nama Al-Qur’an. Nah, pada tulisan kali ini, ijinkan penulis berbagi refleksi terhadap ulasan yang telah disampaikan Manna‘ Khalil ini.

Nama-Nama Al-Qur’an

Ada banyak nama yang dapat digunakan untuk menyebut Al-Qur’an, kitabullah. Al-Qur’an itu sendiri, Al-Kitab, Al-Furqan, Al-Dzikr, Al-Tanzil, Al-Syifa’, Al-Huda, Al-Haqq dan masih banyak lagi yang lainnya. Nama-nama ini pada dasarnya merupakan sebutan yang telah lebih dahulu digunakan Allah dalam kitab-Nya, yang kemudian diresepsi (diterima) sebagai nama-nama Al-Qur’an.

Baca Juga: Mengenal Penamaan Surat dalam Al-Quran, Begini Penjelasannya

Resepsi terhadap nama-nama Al-Qur’an ini juga berkembang lebih jauh secara fungsional, dimana setiap nama dipercaya mempunyai sirr (rahasia) tersendiri sesuai dengan situasi dan kondisi (muqtadl al-hal) tertentu.

Namun demikian, menukil dari Dr. ‘Abdullah Daraz, Manna‘ Khalil menjelaskan bahwa diantara nama-nama Al-Qur’an yang begitu banyak ini, ada dua nama yang cukup penting bagi Al-Qur’an, yakni Al-Qur’an itu sendiri dan Al-Kitab. Menurut ‘Abdullah Daraz, dua nama ini memberikan isyarat yang sangat penting dalam proteksi terhadap Al-Qur’an, yakni perhatian yang lebih terhadap proses penjagaan (hifdz) Al-Qur’an dari dua aspek, aspek pembacaan dan aspek penulisan.

Aspek pembacaan diambil dari makna literal kata al-qur‘an yang berarti membaca (qira’ah). Aspek pembacaan ini lantas dipahami sebagai al-hifdz fi al-shudur atau menghafalkan Al-Qur’an. Sementara aspek penulisan diambil dari makna literal kata al-kitab yang berarti menulis (kitabah). Aspek ini diwujudkan dengan menjaga penulisan Al-Qur’an (al-hifdz fi al-suthur) sebagaimana model yang telah dinukil para sahabat. Dua aspek ini penting agar jika yang satu lupa, maka yang satu lagi mengingatkannya (QS. Al-Baqarah [2]: 282).

Spirit Literasi Nama Al-Qur’an

Dalam konteks pembahasan literasi, seperti yang telah disampaikan sebelumnya bahwa dua nama ini menyimpan isyarat lain yang penulis sebut sebagai spirit literasi. Hal ini dikarenakan kata literasi yang secara literal berarti kemampuan menulis dan membaca (Kamus Besar Bahasa Indonesia) menjadi representasi yang sempurna dari nama Al-Qur’an dan Al-Kitab.

Selain itu, seperti yang telah disebutkan oleh ‘Abdullah Daraz, masing-masing dari keduanya memiliki fungsi proteksi terhadap yang lainnya. Dimana membaca membutuhkan menulis sebagai penjagaan (hifdz) terhadap apa yang telah dibaca. Dan menulis juga membutuhkan membaca sebagai hifdz atas apa yang akan ditulis nantinya. Sehingga spirit literasi juga menuntut adanya keseimbangan perjalanan membaca (Al-Qur’an) dan menulis (Al-Kitab) secara bersamaan.

Keseimbangan ini yang agaknya masih belum mendapatkan perhatian yang lebih. Dan menulis yang umumnya menjadi korban yang dikesampingkan. Santri misalnya, mahir dalam muthala‘ah dan mbalagh kitab kuning tetapi lemah dalam bidang tulis-menulis. Kuatnya tradisi oral khas bahtsu al-masa’il boleh jadi momok penyebabnya. Imbas kuat di satu bidang dan lemah di bidang yang lain.

Baca Juga: Mengapa Nama Nabi Muhammad Saw Sedikit Sekali Tersebut Oleh Al-Qur’an?

Padahal seiring dengan adanya perubahan cara keberagamaan yang dipengaruhi teknologi virtual, keterampilan menulis menjadi sangat penting sebagai media dakwah virtual via media sosial dan portal-portal keislaman. Santri sebagai ‘pemilik modal’ keislaman sudah seharusnya mampu membahasakan ulang apa yang telah ditulis ulama terdahulu ke dalam tulisan-tulisan baru yang lebih fresh dan accessible.

Maka menggiatkan kembali aktifitas tulis-menulis sudah seharusnya dilakukan saat ini. Selain sebagai upaya tafa’ul dengan isyarat nama Al-Qur’an, juga sebagai upaya pemenuhan dakwah keislaman. Wallahu a‘lam bi al-shawab.