Beranda blog Halaman 249

Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 35-37

0
tafsir surah al-anbiya'
tafsir surah al-anbiya'

Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 35-37 menjelaskan bahwa kematian bukanlah cobaan semasa di dunia, sebab ia akan dialami oleh setiap makhluk. Pun cobaan tidak selalu berorientasi buruk, kadang ia bermanifestasi dengan bentuk yang baik dan menyenangkan. Tak terkecuali Muhammad Saw, yang juga diuji dengan sikap orang kafir kepadanya, beragam sikap buruk sudah ia terima, begitupun dengan ujian yang lain.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 33-34


Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 35-37 juga menerangkan watak asal manusia, bahwa manusia adalah makhluk yang tidak sabar, tergesa-gesa, dan penuh dengan hasrta nafsu. Maka, Islam menganjurkan manusia untuk merubah sikap tersebut dengan sikap yang kebih baik, seperti; sabar, behrhati-hati, dan tenga, yang demikian akan mengantarkan manusia pada kesuksesan.

Ayat 35

Dalam ayat ini Allah menyatakan lebih tegas lagi, bahwa setiap mahluk-Nya yang hidup atau bernyawa pasti akan merasakan mati. Tidak satu pun yang kekal, kecuali dia sendiri, dalam hubungan ini, Allah berfirman dalam ayat yang lain:

كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ اِلَّا وَجْهَهٗ ۗ

Segala sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. (al-Qashas/28: 88)

Selanjutnya dalam ayat ini Allah menjelaskan cobaan yang ditimpakan Allah kepada manusia tidak hanya berupa hal-hal yang buruk, atau musibah yang tidak disenangi, bahkan juga ujian tersebut dapat pula berupa kebaikan atau keberuntungan.

Apabila ujian atau cobaan itu berupa musibah, maka tujuannya adalah untuk menguji sikap dan keimanan manusia, apakah ia sabar dan tawakkal dalam menerima cobaan itu. Dan apabila cobaan itu berupa suatu kebaikan, maka tujuannya adalah untuk menguji sikap mental manusia, apakah ia mau bersyukur atas segala rahmat yang dilimpahkan Allah kepadanya.

Jika seseorang bersikap sabar dan tawakkal dalam menerima cobaan atau musibah, serta bersyukur kepada-Nya dalam menerima suatu kebaikan dan keberuntungan, maka dia adalah termasuk orang yang memperoleh kemenangan dan iman  yang kuat serta mendapat keridaan-Nya.

Sebaliknya, bila keluh kesah dan rusak imannya dalam menerima cobaan Allah, atau lupa daratan ketika menerima rahmat-Nya sehingga ia tidak bersyukur kepada-Nya, maka orang tersebut adalah termasuk golongan manusia yang merugi dan jauh dari rida Allah. Inilah yang dimaksudkan dalam firman-Nya pada ayat lain:

۞ اِنَّ الْاِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوْعًاۙ  ١٩  اِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوْعًاۙ  ٢٠  وَّاِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوْعًاۙ  ٢١  اِلَّا الْمُصَلِّيْنَۙ  ٢٢

Sungguh, manusia diciptakan bersifat suka mengeluh. Apabila dia ditimpa kesusahan dia berkeluh kesah, dan apabila mendapat kebaikan (harta) dia jadi kikir,  kecuali orang-orang yang melaksanakan salat. (al-Ma’ārij/70: 19-22)

Pada akhir ayat ini Allah menegaskan bahwa bagaimana pun juga tingkah laku manusia dalam menghadapi cobaan atau dalam menerima rahmat-Nya, namun akhirnya segala persoalan kembali kepada-Nya juga.

Dialah yang memberikan balasan, baik pahala maupun siksa, atau memberikan ampunan kepada siapa yang dikehendaki-Nya.

Ayat 36

Dalam ayat ini Allah menerangkan sikap dan kelakuan orang-orang kafir terhadap Nabi Muhammad, yaitu bahwa setiap kali mereka melihatnya, maka mereka menjadikan Nabi sebagai sasaran olok-olokan dan ejekan mereka, seraya berkata kepada sesama mereka, “Inikah orangnya yang mencela tuhan kamu? Padahal merekalah orang-orang yang ingkar dari mengingat Allah.”

Demikianlah ejekan mereka terhadap Rasulullah. Dan mereka tidak menginsafi bahwa yang sebenarnya merekalah yang selayaknya menerima ejekan, karena mereka menyembah patung-patung dan berhala, yang tidak kuasa berbuat apapun untuk mereka, bahkan tangan mereka sendirilah yang membuat tuhan-tuhan mereka itu sehingga mereka yang menjadi khalik sedang tuhan-tuhan mereka menjadi makhluk yang diciptakan.

Dengan demikian, keadaan menjadi terbalik daripada yang semestinya, karena tuhan semestinya sebagai pencipta bukan yang diciptakan.;


Baca Juga: Tafsir Surah Al-Kahfi Ayat 50-51: Tidak Ada Peluang untuk Menyekutukan Allah


Ayat 37

Pada ayat ini, mula-mula Allah menerangkan bahwa manusia dijadikan sebagai mahluk yang bertabiat suka tergesa-gesa dan terburu nafsu. Kemudian Allah memperingatkan kaum kafir agar mereka jangan meminta disegerakannya azab yang diancamkan kepada mereka, karena Allah pasti akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda dari azab-Nya itu.

Di sini dapat kita ketahui bahwa Allah melarang manusia untuk bersifat tergesa-gesa, meminta segera didatangkannya sesuatu yang belum tiba saatnya, dan pasti datangnya.

Di samping itu Allah menerangkan bahwa walaupun sifat tergesa-gesa itu sudah dijadikan-Nya sebagai salah satu sifat pada manusia, namun manusia telah diberi kemampuan untuk menahan diri dan mengatasi sifat tersebut, dengan cara membiasakan diri bersikap tenang, sabar, dan mawas diri.

Sifat tergesa-gesa dan terburu nafsu selalu menimbulkan akibat yang tidak baik serta merugikan baik diri sendiri atau orang lain, yang akhirnya akan menimbulkan rasa penyesalan yang tidak berkesudahan.

Sebaliknya, sikap tenang, sabar, berhati-hati dan mawas diri dapat menyampaikan seseorang kepada apa yang ditujunya, dan mencapai sukses yang gemilang dalam hidupnya. Itulah sebabnya Al-Qur’an selalu memuji orang-orang yang bersifat sabar, dan menjanjikan kepada mereka bahwa Allah senantiasa akan memberikan perlindungan, petunjuk dan pertolongan kepada mereka.

Sedang orang-orang yang suka terburu-buru, lekas marah, mudah teperdaya oleh godaan iblis yang akan menjerumuskannya ke jurang kebinasaan, dan menyeleweng dari kebenaran akan mendapat kerugian.

Permintaan orang-orang kafir agar azab Allah segera didatangkan kepada mereka, dengan jelas menunjukkan ketidakpercayaan mereka terhadap adanya azab tersebut, serta keingkaran mereka bahwa Allah kuasa menimpakan azab kepada orang-orang yang zalim.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 38-42


 

Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 33-34

0
tafsir surah al-anbiya'
tafsir surah al-anbiya'

Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 33-34 berbiacra perihal waktu, dimana Allah menciptakan waktu siang dan malam, serta mengaturnya sedemikian rupa, sehingga ada bagian yang waktunya siang, adapula yang waktunya malam, kedunya berada pada garis edar yang sudah ditetapkan. Begitupun Muhammad, meski ia seorang Nabi, namun garis hidupnya sudah ditetapkan oleh Allah, dan ada waktu dimana ia akan meninggalkan dunia.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 31-32


Ayat 33

Dalam ayat ini Allah mengarahkan perhatian manusia kepada kekuasaan-Nya dalam menciptakan waktu malam dan siang, serta matahari yang bersinar di waktu siang, dan bulan bercahaya di waktu malam.

Masing-masing beredar pada garis edarnya dalam ruang cakrawala yang amat luas yang hanya Allahlah yang mengetahui batas-batasnya.

Adanya waktu siang dan malam disebabkan karena perputaran bumi pada sumbunya, di samping peredarannya mengelilingi matahari.

Bagian bumi yang mendapatkan sinar matahari mengalami waktu siang, sedang bagiannya yang tidak mendapatkan sinar matahari tersebut mengalami waktu malam. Sedang cahaya bulan adalah sinar matahari yang dipantulkan bulan ke bumi. Di samping itu, bulan juga beredar mengelilingi bumi.

Ayat ini menegaskan kembali apa yang telah Allah firmankan dalam Surah Ibrahim/14:33. Secara luas telah diketahui bahwa matahari dan bulan memiliki “garis edar”.

Akan tetapi untuk “masing-masing dari keduanya (siang dan malam) beredar pada garis edarnya”, merupakan sesuatu yang baru dipahami. Mengapa siang dan malam harus beredar pada garis edar (orbit- manzilah), dan apa bentuk garis orbitnya ?

Setelah dipelajari, ternyata bahwa yang dimaksud dengan “garis edar“ ialah tempat kedudukan dari tempat-tempat di bumi yang mengalami pergantian siang ke malam, atau mengalami terbenamnya matahari (gurub).

Sepanjang garis khatulistiwa garis ini bergeser dari Timur ke Barat seiring dengan urutan tempat-tempat terbenamnya matahari atau pergantian siang ke malam.

Waktu terbenamnya matahari juga akan bergeser seiring dengan gerakan semu matahari terhadap bumi dari utara ke selatan dan sebaliknya. Pergeseran waktu magrib ini juga bergeser dan membentuk tempat kedudukannya sendiri yang dapat dikatakan sebagai garis edar tahunan dari pergantian siang ke malam.

Pada hari-hari tertentu (pada awal bulan) saat terbenam matahari itu juga merupakan awal dari terlihatnya hilal (sabit awal bulan). Sabit ini sangat tipis dan suram sehingga sangat sulit diamati (ruyah).

Waktu terbitnya hilal ini akan  bergeser dari Timur ke Barat, dan sebagaimana halnya pergantian siang ke malam, garis edarnya juga berbeda-beda dari satu tempat ke tempat lainnya di permukaan bumi.

Bila dipetakan maka tempat kedudukan tempat-tempat waktu terbitnya hilal itu sama dengan waktu terbenamnya matahari itu akan membentuk spiral yang memotong permukaan bumi dua bahkan sampai tiga

Keterangan yang terdapat dalam ayat-ayat di atas adalah untuk menjadi bukti-bukti alamiyah, di samping dalil-dalil yang rasional dan keterangan-keterangan yang terdapat dalam kitab-kitab suci terdahulu, tentang wujud dan kekuasaan Allah, untuk memperkuat apa yang telah disebutkan-Nya dalam firman-Nya yang terdahulu, bahwa “apabila” di langit dan di bumi ini ada tuhan-tuhan selain Allah niscaya rusak binasalah keduanya.


Baca Juga: Realisasi Lafadz Ishlah dalam Al-Quran: Sembilan Cara Merawat Bumi


Ayat 34

Ayat ini menegaskan bahwa Muhammad sebagai manusia adalah sama halnya dengan manusia lainnya, yaitu bahwa ia tidak akan kekal hidup di dunia ini. Allah belum pernah memberikan kehidupan duniawi yang kekal kepada siapa pun sebelum lahirnya Nabi Muhammad.

Walaupun dia adalah Nabi dan Rasul-Nya, namun ia pasti akan meninggalkan dunia yang fana ini apabila ajalnya sudah datang. Dan mereka pun demikian pula, tidak akan kekal di dunia ini selama-lamanya. Inilah salah satu segi dari keadilan Allah terhadap semua mahluk-Nya, dan merupakan Sunnah-Nya yang berlaku sepanjang masa.

Dalam ayat lain Allah berfirman:

وَمَا مُحَمَّدٌ اِلَّا رَسُوْلٌۚ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۗ

Dan Muhammad hanyalah seorang Rasul; sebelumnya telah berlalu beberapa rasul…. (Āli Imrān/3: 144)

Maka ayat ini menyatakan lebih tegas, bahwa Nabi Muhammad akan meninggalkan dunia yang fana ini, sebagaimana halnya rasul-rasul yang telah ada sebelumnya.

Akan tetapi, walaupun ia suatu ketika meninggal dunia, namun agama Islam yang telah dikembangkannnya akan tetap ada dan semakin berkembang, karena Allah telah memberikan jaminan untuk kemenangannya. Sebab itu adalah sangat keliru, bila kaum musyrikin mengharapkan bahwa dengan wafatnya Nabi Muhammad maka agama Islam akan terhenti perkembangannya, dan dakwah Islamiah akan mereda.

Kenyataan sejarah kemudian menunjukkan bahwa setelah wafatnya Nabi Muhammad dakwah Islamiah berjalan terus sehingga agama Islam berkembang jauh melampaui batas-batas jazirah Arab, baik ke Timur, Utara, maupun ke Barat dan Selatan.

(Tafsir Kemenag)

Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 35-37

Keutamaan Membaca Al-Qur’an dalam Keterangan Hadis Nabi saw

0
Membaca Al-Qur'an
Keutamaan Membaca Al-Qur'an

Kita tahu bahwa Al-Qur’an itu adalah kalamullah (firman-firman Allah) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Al-Qur’an diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad Saw. dan umatnya agar menjadi petunjuk, pedoman, penuntun, dan kompas bagi mereka dalam menjalani kehidupan di dunia. Orang-orang yang senantiasa membaca Al-Qur’an dan berpegang kepadanya sebagai pedoman, tidak akan tersesat selama hidupnya.

Tidak hanya itu fungsi Al-Qur’an. Al-Qur’an juga menjadi cahaya yang menyinari hidup, menyinari hati, dan menyinari akal pikiran manusia dan juga dapat menjadi obat yang menyembuhkan hati dan pikiran yang sakit, bahkan menjadi rahmat bagi para pembaca dan pengamalnya. Mendengarkan bacaan-bacaan ayat Al-Qur’an menjadi rahmat bagi pendengarnya, apalagi bagi para pembacanya.

Orang yang membaca Al-Qur’an akan diberi balasan oleh Allah pada setiap huruf yang dibacanya dengan 10 kali balasan pahala. Hal ini digambarkan oleh Rasulullah Saw. dalam suatu hadisnya sebagai berikut:

عَبْدَ اللهِ بْنَ مَسْعُودٍ، يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ، وَالحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا، لاَ أَقُولُ الْم حَرْفٌ، وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ.رواه الترمذي

“Dari Abdullah Ibn Mas’ud r.a., dia berkata bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: “Barangsiapa yang membaca satu huruf dari huruf-huruf yang ada di dalam Al-Qur’an maka dia mendapatkan satu kebajikan dan satu kebajikan dilipatgandakan oleh Allah menjadi sepuluh kebajikan. Saya tidak mengatakan alif lam mim (الم) itu adalah satu huruf. Akan tetapi, alif itu adalah satu huruf, lam adalah satu huruf dan mim adalah satu huruf.” (HR. Tirmidzi).

Baca Juga: Mengenal Mushaf Pra-Utsmani (3): Mushaf Ibnu Mas’ud

Luar biasa rahmat pahala yang diberikan oleh Allah kepada yang membaca Al-Qur’an. Membaca alif lam mim saja sudah mendapatkan 30 pahala. Bagaimana kalau Anda membaca بسم الله الرحمن الرحيم yang jumlah hurufnya empat belas? Bukan 14 pahala yang Anda dapatkan, tetapi 140 pahala. Bagaimana kalau Anda membaca surat al-Ikhlas satu kali, maka Anda bisa menghitung berapa pahala yang Anda dapatkan. Coba hitung sendiri huruf-huruf yang terdapat di dalam surah itu.

Huruf-huruf yang terdapat di dalam Surat al-Ikhlas itu sebanyak 43 huruf. Bukan 43 pahala yang Anda dapatkan dari surah ini satu kali baca. Tetapi, Anda mendapatkan pahala sebanyak 430 pahala. Luar biasa pahala yang didapatkan hanya dengan membaca surat pendek ini. Bagaimana pahala yang didapatkan oleh seseorang yang membaca surat al-Fatihah. Bagimana pula pahala yang didapatkan oleh seseorang yang membaca surah Yasin. Silakan hitung sendiri huruf-hurufnya. Ini adalah rahmat Allah yang luar biasa yang diberikan kepada mereka yang membaca Al-Qur’an.

Amal yang berikut lebih dahsyat lagi. Jika seseorang membaca surah al-Ikhlas satu kali, maka nilai bacaannya sama dengan membaca sepertiga Al-Qur’an. Hal ini didasarkan pada hadis Abu Said al-Khudri sebagai berikut:

Dari Abu Said al-Khudri, sesungguhnya dia mendengar seseorang membaca surah al-Ikhlas yang diulang-ulangnya. Ketika setelah pagi, dia menuju Rasulullah, lalu dia menceritakan tentang hal itu. Rasulullah lalu berkata: “Demi jiwanya ada di tangan-Nya, sesungguhnya satu kali membaca surat al-Ikhlas itu nilainya sama dengan membaca sepertiga Al-Qur’an.”

Hadis ini menjadi dasar bagi kita untuk membaca surah al-Ikhlas sebanyak tiga kali ketika membaca tahlil karena ada kematian atau atau dalam rangkaian membaca doa.

Baca Juga: Kisah Kecintaan Sahabat Nabi Muhammad Saw Terhadap Surah Al-Ikhlas

Dalam hadis yang lain lagi Rasulullah menggambarkan bahwa siapa yang membaca surah al-Ikhlas wajib baginya mendapatkan surga. Hal ini digambarkan oleh Rasulullah dalam sebuah hadisnya sebagai berikut:

عَنْ عُبَيْدِ اللهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ عُبَيْدِ بْنِ حُنَيْنٍ، مَوْلَى آلِ زَيْدِ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ: أَقْبَلْتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَسَمِعَ رَجُلًا يَقْرَأُ {قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ. اللهُ الصَّمَدُ. لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ. وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ}. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «وَجَبَتْ» فَسَأَلْتُ: مَاذَا يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: الْجَنَّةُ

“Dari Ubaidillah bin Abdirrahman, dan Ubaid bin Hunain, budak keluarga Zaid bin al-Khattab, dia mengatakan: “Aku mendengar Abu Hurairah berkata, saya datang kepada Rasulullah saw., lalu dia mendengar seseorang yang membaca: {قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ. اللهُ الصَّمَدُ. لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ. وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ}.Rasulullah Saw. lalu bersabda: “Wajib.” Saya lalu bertanya kepada Rasulullah: “Apa yang dimaksud dengan wajib itu, ya Rasulullah?” Nabi menjawab: “Yang dimaksud dengan wajib itu adalah wajib baginya surga.”

Begitu besar pahala membaca surah yang begitu pendek itu. Bagaimana kalau kita membaca surat itu sebanyak 30 kali, maka nilai bacaan kita sama dengan membaca 30 kali khatam Al-Qur’an. Subhanallah. Maha Pemurah Allah yang memberikan pahala yang begitu hebat kepada hamba-Nya yang senantiasa dekat kepada Al-Qur’an. Wallahu A’lam.

Makna dan Keutamaan Surah Al-Ashr dalam Kehidupan Sehari-Hari

0
Surah Al-Ashr
Surah Al-Ashr

Surah Al-Ashr merupakan satu surah yang paling sering dibaca dalam kehidupan sehari-hari, di antaranya ketika hendak mengakhiri sebuah pertemuan atau kelas pembelajaran. Abdullah Saeed mengatakan bahwa surah Al-Ashr ini diyakini sebagai refleksi terhadap singkatnya hidup ini, sehingga penting mengingat prioritas yang paling penting dalam hidup seseorang. Sejalan dengan ini, ungkapan penegasan (taukid) yang disandingkan dengan al-Ashr menunjukkan ‘Waktu’ sangat penting bagi manusia.

Adapun makna ‘waktu’ yang dimaksud dalam Al-‘Ashr mengandung banyak makna, di antaranya dalah waktu Asar. Dengan berfokus pada waktu Asar tersebut, tulisan ini akan membahas kandungan makna surah Al-Ashr beserta keutamaan dan motivasi yang dapat diperoleh darinya, terutama dalam rangka menghidupkan Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari.

Surah dan Makna Al-‘Ashr

Jika dilihat dari susunan mushafi, surah Al-Ashr berada di urutan yang ke-103, tepatnya antara surah Al-Takatsur (surah ke-102) dan surah Al-Humazah (surah ke-104). Sementara itu, dilihat dari susunan nuzuli, surah Al-Ashr berada di urutan yang ke-9 dalam versi Fihrist, urutan ke-12 dalam versi Ibnu Abbas, Al-Kafi, Ikrimah dan Al-Hasan, dan urutan ke-13 dalam versi Mesir. Sekalipun berbeda-beda dari sisi urutan turunnya, tetapi semuanya menyepakati bahwa surah ini turun di Mekkah.

Baca Juga: Surah Al-Fajr Ayat 2: Waktu Utama Bersedekah di Bulan Dzulhijjah

Redaksi surah Al-‘Ashr termasuk redaksi yang sangat padat dan jelas, ini dapat dipahami sebagai arahan kepada manusia tentang kehidupan yang dijalaninya: apakah berada dalam kebaikan atau keburukan, apakah sedang bahagia atau sengsara (merugi), apakah berada di waktu yang luang atau sempit, dan seterusnya.

Lebih jauh, pada awal redaksinya, surah Al-‘Ashr ini diawali dengan ungkapan sumpah berupa waw qasam. Bunyinya wal-‘ashr mengandung pemahaman Allah SWT berumpah “Demi Waktu!”. Di sin, setiap kalimat yang diawali dengan kata-kata sumpah menunjukkan apa yang disebutkan setelahnya adalah yang penting sekali. Terlebih lagi setelah diawali waw qasam, muncul ungkapan inna yang merujuk pada kesungguhan-penegasan (taukid).

Ketika merujuk kepada kitab-kitab tafsir, beberapa memaknai kata ‘Ashr sebagai al-dahri yang bermakna waktu. Makna seperti ini dapat dilihat dalam penafsiran Al-Thabari, Al-Qurthubi, bahkan Ibnu Abbas, masing-masing dapat ditemui dalam kitab tafsirnya. Dengan demikian, bersumpahnya Allah SWT dengan menggunakan ‘ashr merupakan pengingat tentang amat sangat pentingnya waktu.

Dalam riwayat yang disampaikan oleh Qatadah dikatakan bahwa maksud dari al-‘ashr adalah di akhir waktu dari siang. Ini menunjukkan bahwa al-asrh merujuk kepada waktu antara shalat Dhuhur dan shalat Maghrib, yakni shalat Ashar. Makna ini akan lebih terasa jika memperhatikan dan mengaitkannya dengan pentingnya shalat ‘Ashr, sebagaimana yang menjadi satu makna dari shalat Wushta dalam QS. Al-Baqarah: 238.

Lebih jauh, waktu yang merupakan berbagai perkara yang menakjubkan dan pelajaran yang menunjukkan pada kekuasaan Allah SWT beserta hikmah pada waktu itu. Allah SWT bersumpah bahwa manusia sungguh berada dalam kerugian dan kekurangan, kecuali manusia yang beriman, beramal shaleh, saling mewasiatkan kebenaran, dan berpegang teguh kepada kesabaran.

Keutamaan dari Al-‘Ashr

Dengan berpegang pada makna Ashar (waktu setelah Dhuhur dan sebelum Maghrib) atau Wushta, maka dapat diungkap beberapa keutamaan dan motivasi dari surah Al-‘Ashr ini. Di sini, penulis hanya akan mengungkap lima keutamaan saja. Pertama, Ashar merupakan salah satu waktu ketika malaikat akan naik ke langit untuk menyetorkan amalan manusia kepada Allah SWT. Ini sebagaimana diungkap dalam hadis Nabi pada riwayat Al-Bukhari, Muslim dan lainnya.

Kedua, Ashar merupakan shalat yang membuat Allah SWT akan memberikan nikmat melihat Zat Allah SWT. Ini sebagaimana yang dipahami oleh umat Islam bahwa orang-orang yang beriman dan beramal shaleh akan masuk ke Surga serta bertemu dan melihat langsung Allah SWT. Salah satu ‘jalan pintasnya’ adalah dengan menyegerakan shalat Ashar di awal waktu, sebagaimana diungkap dalam hadis Nabi pada riwayat Al-Bukhari dan Muslim.

Ketiga, waktu Ashar dikenal sebagai waktu kreativitas. Ketika Ashar tiba, spektrum alam akan berubah warna menjadi warna jingga (Ch-2) dengan spektral 590-620 nm. Spektral ini menyatu dengan frekuensi prostat, uterus, ovary, dan testis yang mempengaruhi sistem reproduksi. Biasanya, orang yang terlewatkan waktu Asharnya, maka akan kehilangan kreativitasnya. Itu sebabnya, orang tua, keluarga ataupun kerabat kita, selalu mewanti-mewanti dan melarang kita tidur di sore hari. Ini sebenarnya merujuk pada hadis riwayat Ibnu Hibban.

Keempat, waktu Ashar juga dikenal sebagai waktu untuk melakukan terapi kandung kemih. Ini karena pada waktu Ashar, tepatnya sekitar 15.00-17.00, mulai terjadi kesesuaian secara perlahan antara hawa tubuh manusia dan hawa di sekitarnya. Pada waktu Ashar, lingkungan alam sudah mengalami penurunan suhu udara yang mulia masuk tahap keseimbangan panas dan dingin. Panas dari sinar matahari sudah mulai berkurang, dan ini sesuai dengan sifat kandung kemih di dalam tubuh manusia.

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Isra Ayat 78: Matahari sebagai Petunjuk Waktu Salat

Kelima, waktu Ashar merupakan simbol pentingnya kualitas amal. Dalam konteks ini, sekalipun waktu ashar memiliki jangka yang relatif pendek, tetapi jika dapa dipahami dengan benar dan mengisi hidup dengan amal shaleh dengan berdasarkan pada keimanan serta konsisten menyampaikan kebenaran dan tetap bersabar, maka manusia akan merasakan kualitas amal yang baik dan bermanfaat dalam kehidupannya.

Demikian sekelumit paparan mengenai makna dan keutamaan tentang surah Al-‘Ashr. Tentu, masih sangat luas makna yang dapat diungkap dari surah tersebut, demikan halnya dengan keutamaan yang dikandungnya. Tetapi, dari tulisan ini dapat dipahami bahwa posisi penting ‘Ashar, sebagimana ditegaskan Allah SWT, dapat dirasakan dan dibuktikan dan dirasakan langsung dalam kehidupan manusia. [] Wallahu A’lam

Metodologi dan Pendekatan dalam Penelitian Studi al-Quran dan Tafsir

0
Penelitian Studi al-Quran dan Tafsir
Penelitian Studi al-Quran dan Tafsir

Banyak para pengkaji al-Qur’an yang mengalami problem metodologis dalam melakukan penelitian studi al-Quran dan tafsir. Permasalahan utama dapat ditemui langsung melalui judul, contoh: “Konsep Ikhlas dalam al-Qur’an: Telaah Pemikiran Quraish Shihab”

Problem: Apakah peneliti ingin mengkaji konsep ikhlas melalui metode tematik atau ingin mengkaji pemikiran tokoh atas salah satu konsep dalam al-Qur’an?

Maka perlu adanya beberapa hal yang harus dipahami terlebih dahulu untuk mencegah terjadinya kesalahan yang sama dalam penelitian studi al-Quran dan tafsir selanjutnya. Artikel ini akan mengulas beberapa pembahasan penting dalam ranah penelitian tafsir yang didasarkan pada artikel “Pendekatan dan Analisis dalam Penelitian Teks Tafsir: Sebuah Overview” yang ditulis oleh Sahiron Syamsuddin.

Pemetaan Penelitian Studi al-Quran dan Tafsir

  1. Penelitian yang menjadikan al-Qur’an sebagai objek sentral penelitian

Model penelitian ini disebut oleh Amin al-Khulli serta istrinya Aisyah Abdurrahman Bintu Syathi’ dengan istilah Dirasah al-Nas.

Baca Juga: Tips Menentukan Tema Penelitian Terkait Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir

Penelitian ini umumnya berkaitan dengan the features of Quranic texts (tampilan luar teks), seperti yang berkaitan dengan Variasi Qira’at, Makki-Madani, Uslub al-Qur’an dan juga naskah al-Qur’an yang berupa manuskrip.

Peneliti dalam kelompok ini juga bisa melakukan kajian fahm al-nas (penggalian makna teks) baik secara parsial maupun komprehensif. Secara parsial maksudnya mengkaji satu ayat atau sekelompok ayat tertentu atau satu surah tertentu dengan pendekatan tertentu.

Adapun yang dimaksud dengan kajian secara komprehensif ialah kajian yang bertujuan untuk mengeksplorasi suatu konsep dalam al-Qur’an secara komprehensif dengan menggunakan metode tafsir tematik/ maudhu’i.

  1. Penelitian terhadap pembacaan/penafsiran dan terjemahan seseorang atas al-Qur’an

Kelompok penelitian jenis kedua ini juga disebut dengan penelitian literatur tafsir. Biasanya yang dikaji secara spesifik dalam kelompok kajian jenis ini ialah kitab-kitab tafsir, pemikiran seorang mufasir atau cendekiawan terhadap suatu konsep tertentu dalam al-Qur’an.

  1. Penelitian tentang aspek-aspek metodis dalam kajian tafsir

Penelitian jenis ini menitikberatkan objek material kajian pada teori-teori tertentu dalam Ulumul Qur’an/ Ilmu Tafsir maupun ilmu-ilmu bantu lainnya. Secara umum pembahasannya berkaitan dengan konsep dari teori tersebut dan implementasinya dalam kajian tafsir serta kelebihan dan kekurangannya maupun aspek-aspek lain yang mungkin masih bisa dikembangkan.

  1. Penelitian yang mengkaji respon atau resepsi masyarakat terhadap al-Qur’an ataupun terhadap penafsiran seseorang atas al-Qur’an

Penelitian jenis ini juga disebut dengan istilah penelitian Living Qur’an. Objek material yang dibahas pada umumnya bertumpu pada fenomena-fenomena sosial di masyarakat yang berhubungan dengan al-Qur’an. Seperti tradisi Khataman, Hafalan, Wirid, maupun Do’a-Do’a tertentu yang diyakini memiliki faidah tertentu dan diijazahkan oleh tokoh tertentu.

Apa sebenarnya filosofi penelitian dalam kajian tafsir saat ini?

  1. Mencari judicial critism

Maksudnya bukan bertujuan untuk menghakimi objek material penelitian dengan justifikasi “Benar atau Salah” melainkan untuk mengungkap sisi “keunggulan dan kekurangan” dari suatu produk penafsiran.

  1. Mengkaji dan merekonstruksi aplikasi metodologi yang diterapkan

Maksudnya para peneliti mampu menggambarkan dan me-reka ulang bangunan metodologi penafsiran yang disusun oleh para mufasir dalam menghasilkan produk tafsirnya. Tujuannya ialah agar tidak terjadi klaim-klaim negatif jika mendapati penafsiran yang secara substansi mungkin kontroversial. Melainkan berupaya untuk bersikap ilmiah dengan mengkaji metodologi dan menemukan kelemahan maupun keunggulannya serta melakukan kritik yang ilmiah.

  1. Menjawab problematika umat masa kini

Kata kuncinya adalah kontekstualisasi. Para peneliti yang mengambil kajian fahm al-nas secara parsial maupun komprehensif memiliki beban intelektual untuk menghadirkan pemaknaan teks yang mampu merespon berbagai fenomena kekinian. Sebab bagaimanapun teks al-Qur’an yang hadir 15 abad yang lalu itu harus digaungkan kembali nilai-nilai yang tekandung di dalamnya dan direlevansikan dengan kehidupan saat ini.

  1. Mengembangkan ragam diskursus keilmuan klasik

Dengan mengkaji ulang dan melihat sisi-sisi yang bisa dikembangkan dalam beberapa keilmuan yang terhimpun dalam Ulumul Qur’an, peneliti dapat menelurkan konsepsi anyar dalam diskursus tersebut.

  1. Melihat resepsi masyarakat atas suatu fenomena atau tradisi yang berkaitan dengan al-Qur’an

Penelitian Living Qur’an memungkinkan peneliti untuk melihat dan merasakan makna yang diresepsi oleh masyarakat umum terhadap fenomena maupun tradisi lokal yang mereka amalkan dan berkaitan erat dengan al-Qur’an. Penelitian jenis ini juga mengharuskan peneliti untuk tidak mudah memandang sebelah mata sebuah tradisi sederhana yang dilakukan masyarakat, sebab bisa jadi ada makna yang dalam pandangan mereka “istimewa” sehingga tradisi bisa tetap eksis dan konsisten hingga saat ini.

Pendekatan

Pendekatan ialah perspektif atau sudut pandang atau kacamata yang digunakan oleh seorang peneliti untuk menganalisa data yang ia miliki. Ketepatan pendekatan atau perspektif yang digunakan bergantung pada research questions atau problem akademik yang ingin dicari jawabannya.

Secara garis besar ada beberapa pendekatan yang umum digunakan dalam penelitian literatur tafsir,

Pendekatan Kritik Teks

Pendekatan ini diaplikasikan jika pertanyaan yang ingin diungkap berkaitan dengan orisinalitas teks. Perlu digarisbawahi bahwa pendekatan ini hanya dapat diaplikasikan pada produk penafsiran bukan pada al-Qur’an itu sendiri, sebab sudah jelas bahwa al-Qur’an merupakan kitab suci yang orisinal. Hal ini mencegah terjadinya kajian yang serupa dengan kajian orisinalitas al-Qur’an yang dilakukan oleh John Wansbrough yang sampai pada kesimpulan yang justru mendiskreditkan sisi sakralitas al-Qur’an itu sendiri dan juga Nabi Muhammad sebagai penyampainya.

Pendekatan Interpretatif

Pendekatan ini diaplikasikan jika pertanyaan penelitian berkutat pada makna yang terkandung di dalam teks.

Lalu secara lebih spesifik lagi, pendekatan ini memiliki beberapa sub yaitu:

  1. Sub historis

Pendekatan ini digunakan dalam penelitian yang ingin mengungkap irisan-irisan fakta historis teks. Seperti perkembangan makna suatu kata atau konsep, faktor sosial atau latar belakang disusunnya teks tafsir yang dikaji, pengaruh produk tafsir yang dikaji terhadap perkembangan wacana tafsir di masanya dan sesudahnya.

  1. Sub Sastrawi

Pendekatan ini diaplikasikan untuk memahami simbol-simbol bahasa pada sebuah teks baik yang muncul secara eksplisit maupun implisit. Pendekatan ini biasanya dipakai untuk menganalisa kata kunci tertentu dalam sebuah teks maupun konsep-konsep tertentu dalam sebuah produk penafsiran/ kitab tafsir/ penelitian tafsir.

Macam-macam analisis dalam penelitian tafsir

  1. Analisis Deskriptif

Analisa ini menempati level pemula dalam bidang penelitian. Analisa ini berupaya untuk menyederhanakan bahasa data atau berupaya membahasakan data yang diperoleh dengan gaya bahasa khas peneliti. Selain itu analisa ini juga dapat digunakan untuk melakukan penyimpulan sederhana dan mengurai data ke dalam poin-poin penting yang menurut peneliti harus diketahui pembaca.

  1. Analisis Eksplanatoris

Analisa kedua ini menempati level lanjutan dalam bidang penelitian. Seorang peneliti dapat berargumentasi lebih dalam dan luas atas data yang diperolehnya. Sebab peneliti tidak hanya berhenti pada upaya menyederhanakan data, tapi juga melakukan olah data dengan berbagai data lain maupun perspektif yang dibawanya (bisa dengan perspektif yang sudah diulas pada bagian tulisan sebelumnya).

Baca Juga: Melihat Tradisi Khataman Al-Quran Sebagai Objek Penelitian

Seperti dengan melakukan perbandingan penafsiran di antara data yang dikaji dengan data yang diambil dari data berbagai kitab tafsir otoritatif. Maupun dengan mengolah data yang dikaji dengan pendekatan-pendekatan semisal pendekatan filosofis, linguistik, sosiologi pengetahuan, hermeneutika dan ilmu bantu lainnya.

  1. Analisis Kritis

Analisa terakhir ini menempati peringkat teratas dalam level analisis penelitian. Jadi setelah menerapkan analisa deskriptif lalu mengolahnya dengan analisa eksplanatoris, peneliti yang telah memahami betul terkait data yang ditelitinya, mungkin saja akan menemukan hal-hal yang sifatnya masih ambigu maupun tidak konsisten pada objek material yang ia teliti. Temuan ini sangat layak untuk disikapi peneliti dengan melakukan kritik secara ilmiah berdasarkan fakta yang ia dapatkan, inilah yang disebut analisis kritis.

Beberapa uraian pembahasan yang berkaitan dengan penelitian dalam kajian tafsir ini menunjukkan bahwa sebuah penelitian harus dilandasi metodologi yang baik. Penelitian yang berpegang pada kaidah-kaidah metodologi yang tepat dapat menghasilkan hasil penelitian yang tidak hanya berdampak pada perkembangan ilmu pengetahuan namun juga dalam menjawab tantangan di tengah kehidupan umat secara langsung. Wallahu a’lam.

Membaca Aktivitas Tafsir Lisan Nabi Muhammad SAW

0
Tafsir Lisan Nabi
Tafsir Lisan Nabi

Pada tulisan sebelumnya, Mengenal Fenomena Tafsir Lisan dalam Kajian Andreas Gorke, penulis telah membahas tentang tafsir lisan secara umum dengan merujuk kepada kajian Andreas Gorke. Di sana, di antaranya, disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW menjadi penafsir pertama dalam bentuk lisan. Kedudukan Nabi sebagai penafsir pertama tersebut dapat dijumpai dalam kitab-kitab studi tafsir lainnya.

Sebenarnya, penafsiran Nabi Muhammad SAW tidak hanya berbentuk lisan, tetapi juga dalam bentuk praktik. Abdullah Saeed dalam bukunya the Qur’an: an Introduction, menyebutkan bahwa ada dua model tafsir yang dilakukan oleh Nabi, yakni lisan dan praktik. Perlu dicatat di sini bahwa Nabi tidak pernah melakukan tafsir tulis.

Terlepas dari Nabi menafsirkan Al-Qur’an berbentuk praktik, penafsiran Nabi Muhammad SAW yang dilakukan secara lisan kemudian direkam dalam kitab-kitab hadis. Dengan tafsir lisan tersebut, Nabi Muhammad SAW berhasil memberikan pemahaman terjangkau kepada Sahabat-sahabatnya terkait ayat-ayat Al-Qur’an yang sulit dipahami.

Penafsiran Nabi Muhammad SAW terdiri dari ragam penafsiran, ada yang disebut Ta’rif, Tafshil, Tathabuq, Talazum, Tadhammun, Takhshis, Tamtsil. Bukan hanya itu, bila diamati dari pendekatan kelisanan, tafsir lisan Nabi Muhammad SAW tersebut mengundang diskusi yang khas, yang akan penulis ulas secara ringkas dalam tulisan ini.

Ragam Tafsir Lisan Nabi Muhammad SAW

Dalam bukunya, Kaidah Tafsir, Muhammad Quraish Shihab mencatat beberapa ragam penafsiran Nabi Muhammad SAW. Ragam tafsir tersebut saya tempatkan sebagai ragam tafsir lisan. Seperti yang dikemukakan terdahulu bahwa adapun ragam tafsir lisan Nabi Muhammad SAW tersebut adalah sebagai berikut:

Mengenai ta’rif, yakni penegasan makna. Misalnya, ketika Nabi menegaskan arti al-Khaith al-Abyadh min al-Khaith al-Aswad, sebagaimana dalam QS. Al-Baqarah: 187. Nabi menafsirkannya sebagai cahaya siang atau fajar dan kegelapan malam.

Baca Juga: Merawat Nilai-nilai Kebangsaan dalam Tafsir Lisan M. Quraish Shihab

Mengenai Tafshil, yakni rincian. Misalnya, fidyah dalam bentuk puasa, sedekah, dan nusuk dalam QS. Al-Baqarah: 196. Nabi merincinya dengan puasa dilakukan selama tiga hari, memberi makan kepada enam orang miskin, setengah sha’ makanan bagi orang miskin, atau menyembeli seekor kambing.

Mengenai Tathabuq, yakni kesamaan atau kesesuaian. Misalnya, dalam Surah Al-Taubah ayat 36 dikatakan bahwa dalam setahun ada dua belas bulan, empat di antaranya haram, yakni bulan-bulan yang terlarang melaukan peperangan. Nabi menyebut empat bulan tersebut yakni Zulqaidah, Zulhijjah, Muharram, dan rajab.

Mengenai Talazhum, yakni hubungan keharusan. Misalnya, tentang berdo’a yang dianjurkan atau diperintahkan dalam QS. Ghafir: 60, “Berdo’alah kepada-Ku niscaya Kuperkenankan untuk kamu…”. Nabi mengatakan bahwa “Do’a adalah intisari ibadah”.

Mengenai Tadhammun, yakni cakupan. Misalnya, dalam QS. Ibrahim: 27 dikatakan “Allah SWT meneguhkan orang-orang beriman dengan uccapan yang kukuh dalam kehidupan dunia dan akhirat.” Adapun ungkapan “kehidupan akhirat” oleh Nabi dijelaskan sebagai kehidupan yang terjadi sesaat setelah dikuburkannya seseorang.

Mengenai Takhshish, yakni pengecualian. Misalnya, dalam QS. Al-Baqarah: 173 dan QS. Al-Maidah:3 tentang pengharaman memakan bangkai. Nabi merespons dengan mengecualikan dua bangkai, yakni bangkai ikan dan belalang.

Mengenai Tamtsil, yakni contoh dalam QS. Al-Fatihah: 7 tentang siapa yang termasuk orang-orang yang dimurkai dan orang-orang yang tersesat. Nabi mengatakan bahwa yang termasuk dimurkai adalah orang-orang Yahudi, dan yang termasuk orang-orang yang sesat adalah orang-orang Nashrani.

Tafsir Nabi dari Kacamata Kelisanan

Tidak banyak yang dapat diuraikan mengenai tafsir lisan Nabi Muhammad SAW di tempat terbatas ini, karena itu saya hanya akan mengungkap hal terpenting, menurut saya, dari tafsir lisan tersebut. Yang saya maksud adalah penafsir, teks tafsir, audiens tafsir, dan konteks tafsir, yang semuanya menjadi bagian tak dapat dipisahkan ketika membahas tafsir lisan.

Hal ini karena ketika proses penafsiran tersebut berlangsung pada dasarnya terjadi komunikasi langsung antara penafsir dengan audiens tafsir, atas teks tafsir serta dengan konteks tafsir tertentu yang mengitarinya. Semua bagian ini menentukan satu makna yang terjadi saat itu juga, yang saya sebut sebagai makna situasional, yakni makna berdasarkan situasi tertentu. Dalam artian makna teks tersebut dipahami oleh Nabi Muhammad SAW dan audiensnya pada situasi tertentu.

Makna situasional yang menjadikan penafsiran saat itu menjadi sebuah kesaksian, yang melibatkan Nabi Muhammad SAW sebagai penafsir dan (misalnya) sahabat sebagai audiens harus berada di situasi yang sama sekaligus sebagai saksi. Sekiranya penafsiran lisan ini berlalu, maka sangat mungkin makna itu pun akan berlalu. Ini karena makna tersebut hanya berlaku saat itu juga.

Baca Juga: Haruskah Selalu Bersikap Kasar dan Keras Terhadap Orang Kafir dan Munafik? Tafsir Surah At-Taubah Ayat 73

Dengan kata lain bahwa ketika kita membaca penafsiran Nabi Muhammad SAW terhadap sebuah ayat Al-Qur’an, makna tersebut hanya dapat dipahami (secara tepat) apabila dipahami ‘seputar’ dan ‘sekitar’ penafsir dan audiens tafsir.

Yang dimaksud seputar penafsir misalnya posisi Nabi Muhammad SAW saat menafsirkan ayat Al-Qur’an, apakah sebagai pemimpin Negara, Ayah, Suami, atau lainnya. Demikian halnya dengan seputar audiens tafsir misalnya posisi sahabat tersebut apakah seorang pedagang, telah pandai, masih awam, dan seterusnya.

Dengan demikian, sebenarnya, berbagai ragam tafsir yang dikemukakan di atas (mungkin masih sangat banyak ragam lainnya) merupakan sesuatu yang alamiah terjadi dalam kerangka kelisanan saat itu. Sebagaimana tujuan utama dari tafsir itu sendiri, yakni memberi pemahaman dari yang sulit dipahami, maka Nabi menafsirkan Al-Qur’an sesuai situasi yang berlangsung tersebut. Dan karenanya, makna yang lahir juga bersifat situasional. [] Wallahu A’lam.

Tafsir Surah Al-Haqqah ayat 49-52

0
Tafsir Surah Al-Haqqah
Tafsir Surah Al-Haqqah

Sebagai penutup Tafsir Surah Al-Haqqah ayat 49-52 memberi peringatan keras kepada kaum musyrik bahwa Allah Maha Mengetahui segala sesuatu yang ada di alam ini. Bahkan Tafsir Surah Al-Haqqah ayat 49-52 ini menyatakan bahwa Alquran akan membuat orang musyrik menyesal di dunia maupun di akhirat. Karena dengan turunya Alquran umat Islam tersebar ke penjuru dunia mengikis kemusyrikan dan di akhira kelak orang-orang musyrik akan menyesal karena telah mengingkarinya.

Di akhir Tafsir Surah Al-Haqqah ayat 49-52 ini Allah mengingatkan Nabi Muhammad untuk senantiasa bertasbih, bersyukur kepada Allah atas nikmat yang telah diberikan Allah.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Haqqah ayat 43-48


Ayat 49

Ayat ini merupakan peringatan keras kepada kaum musyrik. Dijelaskan bahwa Allah Maha Mengetahui segala sesuatu yang terdapat di alam ini, sejak dari yang kecil sampai yang besar, yang halus sampai yang kasar, serta yang tidak tampak sampai yang tampak. Oleh karena itu, Allah mengetahui setiap orang yang mendustakan Al-Qur’an, mengingkari rasul, dan melakukan perbuatan-perbuatan yang terlarang. Maka Allah akan melakukan tindakan dan menghukum dengan seadil-adilnya di antara manusia, sesuai dengan perbuatannya.

Dari perkataan “minkum” (sebahagian kamu) yang terdapat dalam ayat ini dapat dipahami bahwa ada di antara orang musyrik itu yang mempercayai kebenaran Al-Qur’an dan Rasulullah. Akan tetapi, karena hawa nafsu, takut dipencilkan kaumnya, takut kehilangan pangkat dan harta, mereka mendustakannya. Allah berfirman:

اِنَّهٗ فَكَّرَ وَقَدَّرَۙ   ١٨  فَقُتِلَ كَيْفَ قَدَّرَۙ   ١٩  ثُمَّ قُتِلَ كَيْفَ قَدَّرَۙ   ٢٠  ثُمَّ نَظَرَۙ   ٢١  ثُمَّ عَبَسَ وَبَسَرَۙ   ٢٢  ثُمَّ اَدْبَرَ وَاسْتَكْبَرَۙ   ٢٣  فَقَالَ اِنْ هٰذَآ اِلَّا سِحْرٌ يُّؤْثَرُۙ   ٢٤  اِنْ هٰذَآ اِلَّا قَوْلُ الْبَشَرِۗ   ٢٥

Sesungguhnya dia telah memikirkan dan menetapkan (apa yang ditetapkannya), maka celakalah dia! Bagaimana dia menetapkan? Sekali lagi, celakalah dia! Bagaimana dia menetapkan? Kemudian dia (merenung) memikirkan, lalu berwajah masam dan cemberut, kemudian berpaling (dari kebenaran) dan menyombongkan diri, lalu dia berkata, “(Al-Qur’an) ini hanyalah sihir yang dipelajari (dari orang-orang dahulu). Ini hanyalah perkataan manusia.” (al-Muddatsir/74: 18-25)

Ayat 50

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa Al-Qur’an menimbulkan kekecewaan bagi orang kafir, baik selama hidup di dunia maupun di akhirat. Di dunia mereka kecewa karena pengaruh agama Islam bertambah kuat sehingga pengaruh kepercayaan syirik makin berkurang, bahkan akhirnya hilang seluruhnya tanpa bekas sedikit pun. Al-Qur’an menyatakan kebatilan kepercayaan mereka, seperti menyembah patung yang tidak dapat menimbulkan mudarat dan manfaat.

Di akhirat nanti setelah mengalami azab yang dahsyat, mereka menyesal kenapa tidak mengikuti seruan Nabi Muhammad, seperti yang dilakukan orang-orang yang beriman. Akan tetapi, penyesalan mereka itu tidak ada gunanya lagi karena pintu tobat telah tertutup.

Ayat 51

Dalam ayat ini, ditegaskan lagi bahwa Al-Qur’an adalah suatu yang benar dan nyata kebenarannya. Ia benar-benar berasal dari Tuhan semesta alam, bukan perkataan yang diada-adakan Muhammad.

Ayat 52

Oleh karena itu, Nabi Muhammad diperintahkan untuk bertasbih dengan menyebut nama Allah dan bersyukur kepada-Nya karena Dia telah melimpahkan rahmat yang tidak terhingga kepadanya dan kepada seluruh manusia berupa Al-Qur’an, sebagai petunjuk dalam mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Sesungguhnya Tuhan yang telah memberi rahmat itu adalah Tuhan Yang Mahaagung.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Ma’arij 44 Ayat


 

Tafsir Surah Al-Haqqah ayat 43-48

0
Tafsir Surah Al-Haqqah
Tafsir Surah Al-Haqqah

Tafsir Surah Al-Haqqah ayat 43-48 menegaskan bahwa Alquran benar-benar berasal dari Allah, Tuhan yang Maha Menciptakan. Alquran bukanlah perkataan penyair atau juga Nabi Muhammad. 


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Haqqah ayat 41-42, Mukjizat Alquran


Ayat 43

Al-Qur’an benar-benar berasal dari Tuhan Maha Pencipta, Maha Pengatur, Maha Penjaga dan Maha Menguasai seluruh alam.

Ayat 44-45

Kedua ayat ini menegaskan bahwa Al-Qur’an itu benar-benar berasal dari Allah, bukan buatan Muhammad, syair, atau khayalan tukang tenung, karena tidak seorang makhluk pun yang sanggup membuat seperti ayat-ayat Al-Qur’an itu. Allah menegaskan bahwa seandainya Nabi Muhammad mengatakan sesuatu tentang-Nya dan mengucapkan perkataan yang dikatakannya berasal dari-Nya, padahal Ia tidak pernah menyatakan atau mengatakannya, Allah pasti pegang tangan kanannya untuk menerima hukuman dari-Nya. Bagi Allah tidaklah berat dan sukar menghukumnya dengan hukuman yang sangat besar sekalipun, karena Ia Mahakuasa atas segala sesuatu.

Ungkapan “memegang tangan kanan” (al-akhdzu bil yamin) dalam ayat ini merupakan ungkapan untuk suatu tindakan yang dilakukan terhadap orang yang berada di bawah kekuasaan seseorang, dengan maksud memberi hukuman kepada orang itu. Contohnya seperti seorang raja yang memberikan hukuman kepada seorang pemberontak.

Dalam ayat ini, ungkapan tersebut dipakai untuk menyatakan bahwa bagi Allah tidak ada suatu keberatan pun untuk melakukan suatu tindakan terhadap Muhammad, kalau ia mengadakan sesuatu yang tidak benar terhadap-Nya. Hal itu sebagai hukuman bagi Nabi saw, bagaimana pun beratnya hukuman itu.

Ayat ini juga mengisyaratkan bahwa seandainya Al-Qur’an itu buatan Muhammad, pasti akan ditolak oleh manusia dan beliau akan gagal dalam melaksanakan dakwahnya. Kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya, Muhammad diterima oleh orang-orang beriman karena mereka percaya akan kebenaran Al-Qur’an. Dan ternyata pula bahwa agama Islam makin hari makin berkembang.

Ayat 46-47

Pada kedua ayat ini ditegaskan lagi kekuasaan Allah terhadap makhluk-Nya. Seandainya Allah ingin melakukan sesuatu kepada hamba-hamba-Nya, tidak seorang pun yang dapat menghalanginya, sekalipun tindakan itu adalah tindakan yang menentukan hidup-matinya seseorang, seperti tindakan memutuskan urat nadi jantungnya, yang berakibat kematiannya. Demikian pula kepada Muhammad. Seandainya dia berdusta terhadap Allah, tentu Allah akan marah kepadanya dan menghukumnya dengan hukuman mati, yaitu dengan memutus pembuluh darahnya. Tidak ada seorang pun yang dapat menghalangi-Nya dari melaksanakan hukuman itu.

Ayat 48

Al-Qur’an bukanlah perkataan penyair, bukan hasil tenung tukang tenung, dan bukan pula perkataan Muhammad, tetapi adalah kalam Allah yang diturunkan-Nya kepada Nabi Muhammad saw untuk disampaikan kepada umat manusia. Dengan Al-Qur’an itu, manusia akan beriman dan akan mendapat petunjuk dalam mengayuh bahtera kehidupannya ke pulau yang dicita-citakannya, yaitu kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.

Dari Tafsir Surah Al-Haqqah ayat 43-48 khususnya ayat ini dipahami bahwa manusia dalam mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat, memerlukan petunjuk-petunjuk. Petunjuk itu ada yang dapat dicapai oleh akal pikiran, dan ada yang tidak. Yang dapat dicapai oleh akal pikiran ialah seperti bagaimana cara mereka hidup, mencari nafkah, menanam padi, memelihara binatang ternak, bagaimana melindungi diri dari kehujanan dan kepanasan, dan sebagainya. Ada pula petunjuk yang tidak dapat dicapai oleh akal pikiran manusia, sehingga harus ada yang menunjukkannya. Hanya Allah, sebagai pencipta, pemilik dan penguasa seluruh makhluk, yang bisa memberikan petunjuk itu. Semua petunjuk Allah itu termuat dalam Al-Qur’an dan dijelaskan oleh sunah Nabi saw, serta diberikan kepada orang berpikir. Apakah orang kafir memikirkan yang demikian itu?

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Haqqah ayat 49-52, Mukjizat Alquran


 

Tafsir Surah Al-Haqqah ayat 41-42

0
Tafsir Surah Al-Haqqah
Tafsir Surah Al-Haqqah

Tafsir Surah Al-Haqqah ayat 41-42 mengisahkan bahwa sastrawab Arab dahulu pernah mencoba membuat ayat Alquran karena merea menganggap Alquran adalah syair. Padahal dalam Tafsir Surah Al-Haqqah ayat 41-42 ini dijelaskan abhwa Alquran memiliki susunan gaya bahasa yang indah dan memiliki arti yang tinggi, sehingga tidak akan ada seorangpun yang dapat membuat semisal satu ayat Alquran saja.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Haqqah ayat 33-40, Penyebab Orang Kafir disiksa


Ayat 41-42

Al-Qur’an bukan syair seperti yang biasa diucapkan penyair-penyair mereka, karena Al-Qur’an di samping indah susunan gaya bahasanya juga mempunyai isi yang dalam. Syair-syair yang diucapkan para penyair mereka tidak memiliki susunan gaya bahasa seindah susunan dan gaya bahasa Al-Qur’an dan tidak mempunyai arti yang tinggi. Banyak terdapat ayat Al-Qur’an yang menantang orang musyrik agar membuat yang serupa atau sebanding dengan Al-Qur’an, tetapi mereka tidak sanggup melakukannya.

وَاِنْ كُنْتُمْ فِيْ رَيْبٍ مِّمَّا نَزَّلْنَا عَلٰى عَبْدِنَا فَأْتُوْا بِسُوْرَةٍ مِّنْ مِّثْلِهٖ ۖ وَادْعُوْا شُهَدَاۤءَكُمْ مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ   ٢٣  فَاِنْ لَّمْ تَفْعَلُوْا وَلَنْ تَفْعَلُوْا فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِيْ وَقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ ۖ اُعِدَّتْ لِلْكٰفِرِيْنَ  ٢٤

Dan jika kamu meragukan (Al-Qur’an) yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah satu surah semisal dengannya dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. Jika kamu tidak mampu membuatnya, dan (pasti) tidak akan mampu, maka takutlah kamu akan api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir. (al-Baqarah/2: 23-24)

Ditegaskan pula bahwa Al-Qur’an itu juga bukan berasal dari perkataan tukang tenung. Biasanya tukang tenung teman setan karena mereka menenung itu semata-mata mencari-cari bisikan setan. Padahal Al-Qur’an mencela perbuatan setan, sehingga dengan demikian, ia bukan bisikan setan dan bukan pula hasil tukang tenung. Sehubungan dengan itu, ayat ini menyanggah orang-orang musyrik agar tidak buru-buru berkesimpulan bahwa Al-Qur’an itu adalah tenung hanya karena belum atau tidak mengetahui isi Al-Qur’an. Sangat sedikit di antara mereka yang mau beriman kepada Al-Qur’an ketika itu, dan mau mengambil pelajaran dari isinya. Mukjizat Qur’an terletak pada isi. Makin tinggi ilmu pengetahuan seseorang, akan makin mudah mencerna maksudnya, di samping nilai bahasanya.

Umat Islam Indonesia pada umumnya kesulitan membuktikan dan mengetahui letak kemukjizatan Al-Qur’an dari segi bahasa, karena untuk mengetahui ketinggian susunan kata-kata haruslah dapat merasakan keindahan gaya dan bahasa itu sendiri. Oleh karena itu, untuk mengetahui ketinggian Al-Qur’an, cukup dengan mengetahui pendapat dan sikap para sastrawan Arab penantang Islam terhadap Al-Qur’an itu. Di antaranya adalah Abu al-Walid, yaitu seorang pemimpin dan sastrawan Arab yang terkenal pada masa itu. Ia pernah diutus kaumnya kepada Nabi saw untuk meminta beliau menghentikan dakwahnya. Mendengar permintaan Abu al-Walid itu, Nabi saw membaca Surah Fushshilat/41 dari ayat pertama hingga akhir ayat 14.

Abu al-Walid terpesona mendengar ayat-ayat itu, sehingga ia termenung memikirkan keindahan gaya bahasanya. Lalu ia langsung kembali kepada kaumnya. Ketika ditanya tentang hasil pertemuan itu, ia mengatakan kepada kaumnya, “Aku belum pernah mendengar kata-kata yang seindah itu. Apa yang dibaca itu bukanlah syair, sihir, atau kata-kata ahli tenung. Mendengar jawaban Abu al-Walid, mereka menuduh bahwa ia telah terkena sihir oleh Muhammad dan berkhianat kepada agama nenek moyang mereka. Di antara pemuka dan sesepuh Quraisy adalah al-Walid bin al-Mugirah.

Orang ini pernah mendengar ayat-ayat Al-Qur’an yang dibacakan Nabi. Maka ia berkata kepada kaumnya (Bani Makhzum), “Baru-baru ini aku mendengar dari Muhammad suatu ucapan yang menurutku bukanlah perkataan manusia atau jin. Ucapan itu enak didengar, bagus disimak, laksana sebatang pohon, yang atasnya berbuah, dan bawahnya terhunjam ke tanah. Dia benar-benar unggul dan tidak akan dapat diungguli. Di samping dua orang tersebut, banyak juga sastrawan Arab pada waktu itu yang mencoba membuat yang serupa ayat-ayat Al-Qur’an , tetapi tidak seorang pun yang sanggup melakukannya.

Dari kedua ayat ini dapat dipahami bahwa sangat sedikit di antara kaum musyrik Mekah yang mengakui bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang diturunkan Allah kepada Muhammad, begitu juga yang mengambil pelajaran dari isinya. Yang demikian itu adalah karena:

  1. Mereka takut dikucilkan oleh kaumnya dengan mempelajari Al-Qur’an, walaupun hati dan pikiran mereka telah mengakuinya, seperti halnya pada Abu al-Walid dan al-Walid bin al-Mugirah.
  2. Sebahagian mereka tidak mengetahui isinya karena tidak mau mempelajarinya dengan sungguh-sungguh. Mereka lebih dahulu mendustakannya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Haqqah ayat 43-48


 

Tafsir Surah Al-Haqqah ayat 33-40

0
Tafsir Surah Al-Haqqah
Tafsir Surah Al-Haqqah

Tafsir Surah Al-Haqqah ayat 33-40 ini menjelaskan keadaan orang kafir ketika di akhirat, kelak mereka akan diberi minuman darah dan nanah, serta tidak ada seorangpun teman yang dapat menolongnya. Dalam Tafsir Surah Al-Haqqah ayat 33-40 dijelaskan penyebab orang kafir mendapat azab yang sangat pedih karena mereka menyekutukan Allah.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Haqqah ayat 26-32, Penyesalan Orang Kafir


Ayat 33-34

Penyebab orang kafir ditimpa azab yang sangat pedih adalah karena selain mempersekutukan Allah, mereka adalah para pemuka dari kaum kafir yang mempelopori kekafiran, dan tidak mendorong dirinya dan orang lain untuk memberi makan fakir miskin.

Disebutkan juga dalam ayat ini keharusan memberi makan fakir-miskin setelah beriman kepada Allah. Hal ini menunjukkan betapa tingginya nilai perbuatan memberi makan fakir-miskin di sisi Allah, sehingga dalam firman-Nya yang lain dinyatakan bahwa orang yang tidak memberi makan fakir-miskin adalah orang yang mendustakan agama.

اَرَءَيْتَ الَّذِيْ يُكَذِّبُ بِالدِّيْنِۗ  ١  فَذٰلِكَ الَّذِيْ يَدُعُّ الْيَتِيْمَۙ  ٢  وَلَا يَحُضُّ عَلٰى طَعَامِ الْمِسْكِيْنِۗ  ٣

Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Maka itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. (al-Ma’un/107: 1-3)

Dengan perkataan lain dapat dikatakan bahwa tanda orang yang benar-benar beriman kepada Allah ialah senang membantu orang-orang fakir-miskin, karena usaha itu merupakan peningkatan dari imannya.

Ayat 35-36

Dalam ayat ini diterangkan keadaan orang musyrik di dalam neraka:

  1. Mereka tidak mempunyai seorang pun teman atau penolong. Sebagaimana diketahui bahwa manusia itu adalah makhluk sosial. Hidup manusia yang berbahagia adalah jika mereka dapat memenuhi kepentingan pribadinya dan kepentingan hidup dalam pergaulan bermasyarakat. Jika di dunia dalam keadaan biasa, manusia merasa tersiksa hidup sendirian, tentu di akhirat akan lebih tersiksa lagi.
  2. Makanan mereka adalah darah dan nanah, suatu makanan yang tidak termakan oleh orang ketika hidup di dunia.

Ayat 37

Makanan yang dimakan oleh orang kafir itu, yang terdiri dari darah dan nanah, adalah makanan yang sangat jijik dan tiada termakan oleh siapa pun. Hal ini menunjukkan gambaran kehidupan neraka yang penuh kehinaan.

Ayat 38-40

Penutup Tafsir Surah Al-Haqqah ayat 33-40 ini, Menurut Muqatil bahwa ayat-ayat ini diturunkan berhubungan dengan sikap para pemuka Quraisy ketika mendengar bacaan ayat-ayat Al-Qur’an, seperti perkataan al-Walid bin al-Mugirah bahwa sesungguhnya Muhammad seorang pesihir, perkataan Abu Jahal bahwa Muhammad seorang penyair, dan perkataan ‘Uqbah bahwa Muhammad seorang tukang tenung. Ayat ini membantah perkataan-perkataan itu.

Allah menegaskan kepada orang musyrik Mekah dengan bersumpah dengan makhluk-Nya, baik yang dapat dilihat, diketahui, dan dirasakan dengan pancaindra maupun tidak, bahwa Al-Qur’an yang diturunkan kepada Muhammad itu benar-benar wahyu dari-Nya. Al-Qur’an bukan perkataan Muhammad atau perkataan yang diada-adakan Muhammad kemudian dikatakan sebagai firman Allah.

Dari perkataan bima tubshirun (segala yang dapat kamu lihat) dapat dipahami bahwa sebenarnya orang musyrik Mekah seharusnya dapat meyakinkan bahwa Al-Qur’an itu berasal dari Allah, bukan buatan Muhammad. Hal ini berdasarkan pada pengetahuan yang ada pada mereka, seperti pengetahuan tentang Muhammad, pengetahuan tentang gaya bahasa dan keindahan bahasa Arab yang terdapat dalam Al-Qur’an, dan isi Al-Qur’an itu sendiri. Kemudian dari perkataan “wama la tubshirun” (dan apa yang tidak kamu lihat) dipahami bahwa banyak hal yang tidak diketahui oleh orang musyrik Mekah. Jika mereka mengetahui yang demikian itu, tentu akan dapat menambah keyakinan dan kepercayaan mereka kepada Muhammad.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Haqqah ayat 41-42