Beranda blog Halaman 255

Empat Kata yang Digunakan Al-Quran untuk Makna Kematian

0
Kata yang digunakan
4 Kata yang digunakan untuk makna kematian

Di antara kelebihan bahasa Arab, dibanding bahasa-bahasa lain adalah kekayaan kosa katanya yang melimpah. Sampai-sampai al-Iraqi Jawwad Ali, dalam kitab al-Mufashal fi Tarikh al-Arab Qabl Islam-nya menyebutkan jumlah kosa kata yang digunakan dalam bahasa Arab mencapai 12,3 juta, tepatnya berjumlah 12.305.052 kosakata.

Jumlah sebanyak itu mungkin membuat kita bertanya, apa kira-kira yang menyebabkannya sebanyak itu? Ternyata di antara faktor-faktor itu adalah penggunan kosa kata yang berlebihan. Bahasa Arab tidak sedikit memiliki beberapa kosa kata yang berbeda namun memiliki arti dan makna yang sama. Dalam kesusastraan bahasa Arab itu dikenal dengan istilah muradif atau sinonim dalam bahasa indonesia.

Di dalam KBBI sinonim diartikan sebagai hubungan antar bentuk-bentuk kata yang mirip (memiliki makna yang sama). Tidak jauh berdeda dengan yang dipahami dalam kajian bahasa Arab, bahwa muradif adalah istilah untuk beberapa kata yang memiliki makna atau arti yang sama.

Sebetulnya dalam kajian semantik, ulama masih berbeda pendapat tentang apakah istilah muradif itu benar-benar ada di dalam al-Quran dan bahasa Arab, ataukah tidak. Yang mengatakan tidak, menganggap pada dasarnya kata-kata yang selama ini diduga sama (muradif), sebenarnya memiliki perbedaan yang sangat signifikan. Karena setiap kata pada dasarnya memiliki arti masing-masing, hanya saja karena ada kemiripan dengan kata lain secara makna, maka ia pun dianggap sama, padahal sebenarnya jauh berbeda (Thariqah al-Husul ‘Ala Ghayah al-Wushul ,121).

Tetapi bagaimana pun mayoritas ulama tetap memilih pandangan yang menganggap istilah sinonim itu berlaku dan terjadi dengan pengertiannya yang sebenarnya. Hanya sebagian ulama saja yang tidak menerima pandangan ini.

Baca Juga: Tafsir Q.S. Ali Imran [3]: 145: Menyoal Kematian dan Ragam Motif di Balik Amal

Sebagai contoh, diantara kata-kata muradif yang tersebar dalam Mushaf al-Quran adalah kalimat atau kata yang digunakan untuk arti kematian. Al-Quran setidaknya menyebut empat kata yang digunakan untuk arti kematian ini.

Maut (موت)

Dalam berbagai bentuk derivasinya, kata maut terlulang sebanyak 161 kali di dalam 53 surah yang berbeda. Salah satunya adalah dalam Q.S. Al-Imran (3) 185,

كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ ٱلْمَوْتِ ۖ ثُمَّ إِلَيْنَا تُرْجَعُونَ

“Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan kematian, kemudian kamu (semua) akan kembali kepada kami”.

Secara bahasa kata maut berarti diam dan berhentinya sesuatu dari suatu keadaan. Orang-orang arab biasa mengatakan “matat ar-rihu” (angin telah mati) dan “matat an-naru” (api telah mati), setelah angin kencang berhenti dan api besar menjadi padam.

Karena mati identik dengan diam maka ketika ruh meninggalkan jasad, jasad menjadi terdiam. Itu sebabnya al-Quran menggunakan kata maut untuk mewakili makna kematian yang menunjukkan terhentinya aktivitas tubuh.

Yang menarik, Ibnu Manzhur dalam Lisanul Arab-nya menyebutkan lima jenis kematian yang ditunjukkan oleh kata maut. Pertama, mati yang dialami tanaman dan tumbuh-tumbuhan. Ditandai dengan lesu, lembek dan menyusutnya tanaman itu. Contohnya dalam Q.S. al-Baqarah (2) 164. Kedua, mati yang dialami oleh manusia, dengan hilangnya kekuatan tubuh untuk bergerak. Seperti yang terdapat dalam Q.S. Maryam (19) 23.

Ketiga, matinya akal. Yaitu mati karena kebodohan. Seperti dalam Q.S. al-An’am (6) 122. Keempat, mati dengan artian hilangnya kebahagian dan kesenangan, yaitu ketika mengalami kesedihan, ketakutan dan kekhawatiran yang dapat mengeruhkan kehidupan. Seperti dalam Q.S. Ibrahim (14) 17. Dan yang kelima, mati yang sementara, yaitu ketika tidur. Seperti dalam Q.S. Az-Zumar (39) 42. (Lisanul ‘Arab [2] 91-92)

Wafat (وفاة)

Dalam al-Quran kata ini biasanya diubah menjadi bentuk kata kerja tawaffa-yatawaffa saat menunjukkan makna kematian. seperti dalam Q.S. Az-Zumar (39) 42.

اَللّٰهُ يَتَوَفَّى الْاَنْفُسَ حِيْنَ مَوْتِهَا وَالَّتِيْ لَمْ تَمُتْ فِيْ مَنَامِهَا ۚ فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضٰى عَلَيْهَا الْمَوْتَ وَيُرْسِلُ الْاُخْرٰىٓ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّىۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ

“Allah memegang nyawa (seseorang) pada saat kematiannya dan nyawa (seseorang) yang belum mati ketika dia tidur; maka Dia tahan nyawa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia lepaskan nyawa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran) Allah bagi kaum yang berpikir.”

Wafa dan tawaffa sendiri berarti memenuhi atau menepati sesuatu yang telah ditentukan. Orang yang berjanji melakukan sesuatu ketika telah menepati janjinya akan disebut waafiin (orang yang telah menepati janji).

Karena itu kata wafat tidak hanya sekedar bermakna kematian tapi juga bermakna menunaikan dan menepati batas hitungan usia. Jika usia seseorang tertulis berusia 60 atau 80 tahun, maka tatkala usia itu telah sampai, dia akan disebut telah tawaffa yaitu telah menunaikan batas hidupnya di dunia. Karena itu pula di dalam Q.S. Ali-Imran (3) 55, Allah menggunakan kata tawaffa bukan maut saat Allah Swt berfirman kepada Nabi Isa, karena dalam keyakinan kita Nabi Isa sebenarnya belum mati tapi hanya diangkat kelangit karena batas waktu hidupnya telah sampai dan akan diturunkan lagi kemuka bumi diakhir zaman nanti.

Ajal (أجل).

Ajal adalah salah satu kata yang digunakan al-Quran untuk mewakili makna kematian. Kata ini terulang sebanyak 21 kali, salah satunya terdapat di dalam Q.S. Al-A’raf (7) 34,

وَلِكُلِّ اُمَّةٍ اَجَلٌۚ فَاِذَا جَاۤءَ اَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُوْنَ سَاعَةً وَّلَا يَسْتَقْدِمُوْنَ

“Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu, maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.”

Jika tawaffa dibuat untuk menekankan sisi penunaian maka ajal adalah batas waktu yang ditunaikan. Hanya saja, selama ini banyak orang mengira ajal adalah usia atau umur, padahal tidak demikian. Usia adalah waktu yang telah dilalui dan bisa bertambah seiring berjalannya waktu, sementara ajal adalah batas usia yang tidak dapat dikurangi dan ditambahi.

Baca Juga: Pembacaan Zaghlul An-Najjar terhadap Ayat-ayat Kematian

Raji’ (راجع).

Secara bahasa raji’ berasal dari asal kata raja’a yang bermakna kembali, pulang dan pergi ketempat semula. Salah satu ayat yang menggunakan kata ini adalah yang terdapat dalam Q.S. Al-Baqarah (2) 156.

الَّذِينَ إِذَ أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌۭ قَالُوا۟ إِنَّا لِلَّٰهِ وَإِنَّ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ …

“….(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun” (Sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah dan kepada Allah jugalah kami kembali).

Selain bermakna kematian, kata raji’un diatas juga mengandung pesan bahwa manusia tidaklah tercipta begitu saja tanpa ada yang menciptakannya. Tetapi manusia adalah makhluk ciptaan yang memiliki pencipta sebagai asal usulnya dan pasti akan kembali kepada asal itu.

Demikianlah penjelasan terkait dengan empat kata yang digunakan dalam Al-Quran untuk menyebutkan makna kematian. Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 66-69

0
tafsir surah al isra'
tafsir surah al isra'

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 66-69 berbicara mengenai bencana yang akan menimpa orang-orang yang mengingkari nikmat-nikmat Allah SWT. Tidak ada jaminan bagi orang yang kelihatannya aman-aman saja dari bencana. Jika Allah berkehendak maka bencana yang lain akan menimpa mereka.


Baca juga: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 64-65


Ayat 66

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa Allah yang menggerakkan kapal-kapal di lautan untuk para hamba-Nya, agar mereka dapat memanfaatkan kapal-kapal itu sebagai alat pengangkut kebutuhan hidup dari suatu negeri ke negeri lain. Dengan pengangkutan itulah kemakmuran yang terdapat di suatu negeri dapat beralih ke negeri yang lain.

Di akhir ayat, ditegaskan bahwa Allah benar-benar Maha Penyayang terhadap seluruh hamba-Nya, karena ke mana saja manusia mengarahkan pandangannya, tentu akan menyaksikan berbagi nikmat Allah yang tak terhingga, yang menjadi tanda kebesaran kekuasaan-Nya.

Ayat 67

Kemudian Allah mengungkapkan keadaan orang-orang kafir ketika ditimpa mara bahaya yang mengancam jiwanya.

Mereka tidak dapat mengharapkan pertolongan kecuali dari Allah, yang berkuasa mendatangkan manfaat dan menolak bahaya. Allah swt menyatakan bahwa apabila orang kafir ditimpa mara bahaya di lautan, niscaya hilang harapan mereka untuk meminta bantuan dan pertolongan kepada berhala-berhala, jin, malaikat, pohon-pohon, dan batu-batu yang mereka sembah.

Pada saat yang gawat itu, yang mereka ingat hanyalah Allah Yang Maha Esa yang berkuasa dan mampu menghilangkan bahaya itu, maka mereka meminta pertolongan kepada-Nya.

Namun, apabila Allah telah mengabulkan permintaan mereka, yakni mereka telah terlepas dari bencana topan dan badai yang hampir menenggelamkan mereka, dan tiba di darat dengan selamat, mereka pun kembali berpaling menjadi orang-orang yang mengingkari nikmat-nikmat Allah dan kembali menyekutukan-Nya dengan tuhan yang lain.

Allah menegaskan bahwa tabiat manusia cenderung melupakan nikmat yang mereka terima dan selalu tidak beriman atau tidak mau berterima kasih kepada Zat yang memberikan nikmat itu. Ini adalah keanehan yang terdapat pada diri manusia kecuali hamba-Nya yang selalu berada dalam bimbingan dan perlindungan-Nya.


Baca juga: Makna Pengulangan Lafaz al-Rahmān al-Rahīm dalam Surah al-Fatihah


Ayat 68

Allah mengancam orang-orang yang mengingkari nikmat-nikmat-Nya, yang mengira bahwa dengan selamatnya mereka dari ancaman topan dan badai itu, mereka aman dari hukuman Allah Yang berkuasa menjungkirbalikkan sebagian daratan, sehingga mereka terpendam ke perut bumi.

Apabila berkehendak, Allah berkuasa meniupkan angin keras dan menghujani mereka dengan batu-batu kecil sehingga mereka lenyap dalam waktu yang sangat singkat dari permukaan bumi ini.

Dalam keadaan seperti itu, mereka tidak akan mendapatkan seorang pelindung yang mampu menyelamatkan mereka dari bencana tersebut kecuali Allah Yang Mahakuasa menghidupkan dan mematikan seluruh makhluk-Nya.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa bencana itu bisa terjadi di mana-mana, meskipun selamat dari bencana yang mengancam mereka di lautan, yang berupa topan dan badai, di daratan bencana yang lebih dahsyat mungkin saja terjadi, seperti gempa bumi, hujan batu, banjir, dan sebagainya.

Semuanya berada dalam kekuasaan Allah yang menciptakan langit dan bumi serta seluruh makhluk yang berada di antara keduanya.

Ayat 69

Selanjutnya dijelaskan bahwa Allah berkuasa untuk mengembalikan orang-orang yang mengingkari nikmat-Nya itu ke lautan kembali, setelah mereka merasa aman di darat. Apakah mereka merasa aman dari bencana yang akan menimpa mereka di lautan setelah mereka sampai ke daratan.

Allah berkuasa mengembalikan mereka ke lautan kembali, dengan mengirim angin topan dan tsunami yang sangat dahsyat.

Angin itu menyapu mereka dari daratan, sehingga mereka akan digulung oleh gelombang yang dapat menenggelamkan mereka. Pada saat-saat mengalami musibah yang sangat dahsyat itu, mereka tidak akan mendapatkan seorang pun yang dapat menolong untuk melepaskan mereka dari siksa Allah.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 70-71


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Isyari Surah At-Taubah Ayat 108: Makna Bersuci Bagi al-Ghazali

0
Tafsir Isyari Surah At-Taubah Ayat 108: Makna Bersuci Bagi al-Ghazali
Makna Bersuci Bagi al-Ghazali

Thaharah atau bersuci memiliki posisi yang sangat penting dalam Islam. Tak hanya aspek fisik yang menjadikannya syarat keabsahan salat, tetapi juga nuansa metafisik bekal perjalanan salik menuju Khaliq. Meski begitu, nyatanya tak banyak tulisan yang membicarakan masalah bersuci dari aspek yang kedua. Oleh karena itu penulis tertarik menyajikan pembacaan ayat thaharah dalam perspektif tasawuf ala Imam Al-Ghazali.

Ada begitu banyak ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang membahas tentang bersuci. Paling tidak hal itu yang dapat dilihat dari munculnya ragam derivasi kata tha-ha-ra dalam Fath al-Rahman li Thalab Ayat al-Qur’an karya ‘Ilmi Zadah Faidlullah al-Hasaniy. Namun dari sekian banyak ayat tersebut, Al-Ghazali memilih QS. At-Taubah ayat 108 sebagai landasan hukum praktek bersuci.

لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَنْ يَتَطَهَّرُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ

“Sungguh, masjid yang didirikan atas dasar takwa, sejak hari pertama adalah lebih pantas engkau melaksanakan salat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Allah menyukai orang-orang yang bersih.”

Bagi beberapa pembaca, ayat ini mungkin tidak asing karena masuk dalam rangkaian cerita Masjid Dlirar, salah satu cerita yang masyhur dijumpai dalam QS. At-Taubah. Ayat 108 ini sendiri berisi lanjutan pesan dari ayat 107, yang melarang umat Islam kala itu melakukan salat di Masjid Dlirar, sebutan untuk masjid yang didirikan Bani Ghanam bin ‘Auf dari kelompok Khazraj.

Sementara isyarat yang terkandung dalam redaksi lamasjidun ussisa sendiri mengacu pada Masjid Quba’ yang didirikan oleh Bani ‘Amr bin ‘Auf dari kelompok Aus yang masuk dalam kategori sahabat Anshar. Sehingga kata thaharah dalam ayat tersebut secara lahir merujuk pada kelompok Anshar ini, yang benar-benar mendasari pendirian masjid dengan takwa kepada Allah.

Baca juga: Tafsir Surat at-Taubah Ayat 107: Mengenal Masjid Dhirar dan Sikap Nabi Terhadapnya

Tafsir Isyari Surah At-Taubah Ayat 108

Dari ayat ini Al-Ghazali menyebutkan dalam Mukhtashar Ihya’-nya bahwa konsep bersuci terbagi menjadi 4 fase, yakni thathhir al-dzahir ‘an al-ahdats atau membersihkan tubuh dari segala jenis hadas dan kotoran, thathhir al-jawarih ‘an al-jara’im wa al-atsam atau membersihkan anggota tubuh dari tindak perbuatan kriminal dan dosa, thathhir al-qalb ‘an al-akhlaq al-dhamimah atau membersihkan hati dari pekerti yang buruk, dan thathhir al-sirr ‘amm siwa Allah atau mengosongkan hati dari selain Allah.

Dalam karyanya yang lain, Al-Arba‘in fi Ushul al-Din, Al-Ghazali memberikan ulasan lebih lanjut bahwa pembagian fase tersebut muncul seiring dengan adanya pengaruh yang timbul dari satu lapisan fase menuju lapisan yang lain. Lapisan-lapisan fase ini sendiri ia sebut dengan qisyr atau kulit. Masing-masing kulit ini akan memberikan ta’tsir (dampak, efek, pengaruh) yang akan menembus ke dalam lapiran kulit yang lebih dalam. Ia mencontohkan,

فَإِنَّكَ إِذَا أَسْبَغْتَ الْوُضُوْءَ، وَاسْتَشْعَرْتَ نَظَافَةَ ظَاهِرِكَ، صَادَفْتَ فِي قَلْبِكَ انْشِرَاحًا وَصَفَاءً كُنْتَ لَا تُصَادِفُهُ مِنْ قَبْلُ

“Karena ketika Engkau telah menyempurnakan wudu, dan merasakan bersihnya zahir(tubuh)-mu, Engkau akan mendapati di dalam hatimu perasaan lapang dan jernih yang tidak Engkau dapati sebelumnya.”

Perjalanan antar-fase ini menjadi mungkin dikarenakan adanya hubungan (‘alaqah) antara dimensi fisik yang terlihat (‘alam al-syahadah) dan dimensi metafisik yang tidak terlihat (‘alam al-malakut).

Nilai aksentuasi dari thaharah sendiri terletak pada aspek yang lebih dalam. Semakin dalam fase yang didapat, semakin sempurna pula ritual thaharah yang dilakukan. Namun tidak menutup kemungkinan setiap fase memiliki aspek pentingnya tersendiri, yakni sebagai media menuju fase yang lebih dalam.

Sebenarnya akan menarik pula jika mengetahui alasan pemilihan Al-Ghazali terhadap QS. At-Taubah ayat 108 sebagai landasan dalil bersuci ini. Karena konteks peristiwa ayat ini tidak secara langsung membicarakan aktivitas bersuci. Penulis sendiri menduga adanya munasabah (kesesuaian) antara kisah dan nilai yang dikandung ayat 108 ini dengan pesan yang ingin disampaikan Al-Ghazali.

Kesesuaian tersebut ada pada isi QS. At-Taubah ayat 108 tentang isyarat akan kemurnian amal dan kebersihan hati dari segala iri hati, seperti perilaku Bani ‘Amr bin ‘Auf dari kelompok Aus, yang sesuai dengan isyarat thaharah pada aspek kebatinan, bukan sekadar penampilan luar. Wallahu a‘lam bi al-shawab.

Baca juga: Apa Maksud Qalbun Salim (Hati yang Sehat) dalam As-Syu’ara: 88-89?

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 64-65

0
tafsir surah al isra'
tafsir surah al isra'

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 64-65 berbicara mengenai batas kemampuan Iblis dalam menggoda manusia. Godaan Ibis tidak akan mampu mempengaruhi hamba Allah yang salih.


Baca juga: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 61-63


Ayat 64

Ayat ini menjelaskan lebih jauh, sampai di mana kemampuan Iblis untuk menggoda keturunan Adam di muka bumi ini. Allah swt membiarkan Iblis menghasut siapa saja di antara keturunan Adam, sesuai kesanggupan dan kemampuannya dengan bujukan dan tipu dayanya.

Tipu daya Iblis untuk menggoda keturunan Adam digambarkan seakan-akan panglima yang sedang mengerahkan bala tentara berkuda dan diperkuat dengan tentara yang berjalan kaki. Mereka menyerang musuhnya dengan iringan suara yang gegap gempita guna mengejutkan musuh-musuhnya agar segera tunduk dan takluk di bawah kekuasaannya.

Sehubungan dengan penafsiran ayat ini, Imam Mujahid menjelaskan bahwa setiap tentara berkuda yang digunakan menyerang musuh dengan melanggar hukum-hukum Allah, adalah bala tentara yang tergoda Iblis. Dan bala tentara yang berjalan kaki yang berperang dengan melanggar ketentuan Allah termasuk bala tentara Iblis.

Mufasir lain menjelaskan bahwa setan tidak lagi mempunyai bala tentara berkuda dan bala tentara yang berjalan kaki. Maksud perumpamaan itu ialah sebagai gambaran pengikut-pengikut Iblis dan pendukung-pendukungnya, tanpa mempedulikan keadaannya, apakah yang bertindak sebagai pendukung atau pengikut itu tentara berkuda atau tentara yang berjalan kaki.

Sebagai gambaran yang jelas, Allah mengumpamakan Iblis dan pengikut-pengikutnya dalam menggoda keturunan Adam sebagai orang yang berserikat mengumpulkan harta kekayaan dan anak-anak, yang mendorong mereka terjerumus kepada kemaksiatan dan menuruti hawa nafsu.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa Iblis berusaha dengan sekuat tenaga untuk menggoda keturunan Adam, agar mereka terjerumus ke dalam larangan Allah. Iblis menggoda hati mereka agar tertarik pada agama yang tidak diridai Allah, menggodanya supaya berzina, atau senang membunuh dan menguburkan anaknya hidup-hidup.

Allah juga membiarkan Iblis memberikan janji-janji kepada keturunan Adam dengan janji yang dapat memperdayakan mereka sehingga terlena dari perintah-Nya dan melanggar larangan-Nya.

Akan tetapi, janji-janji setan hanya tipuan belaka, tidak ada satu pun godaan yang bisa mencegah hukum-an Allah yang akan ditimpakan kepada mereka. Janji-janji setan itu hanya tipuan yang memukau sehingga mereka tidak mampu lagi membedakan mana yang benar dan mana yang batil.

Allah swt berfirman:

وَقَالَ الشَّيْطٰنُ لَمَّا قُضِيَ الْاَمْرُ اِنَّ اللّٰهَ وَعَدَكُمْ وَعْدَ الْحَقِّ وَوَعَدْتُّكُمْ فَاَخْلَفْتُكُمْۗ وَمَا كَانَ لِيَ عَلَيْكُمْ مِّنْ سُلْطٰنٍ اِلَّآ اَنْ دَعَوْتُكُمْ فَاسْتَجَبْتُمْ لِيْ ۚفَلَا تَلُوْمُوْنِيْ وَلُوْمُوْٓا اَنْفُسَكُمْۗ

Dan setan berkata ketika perkara (hisab) telah diselesaikan, ”Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu janji yang benar, dan aku pun telah menjanjikan kepadamu tetapi aku menyalahinya. Tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekedar) aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku, oleh sebab itu janganlah kamu mencerca aku, tetapi cercalah dirimu sendiri. (Ibrahim/14: 22)


Baca juga: Penjelasan Al-Quran tentang Orang yang Tidak Bisa Disesatkan Iblis, Siapa Dia?


Ayat 65

Selanjutnya Allah swt menjelaskan keterbatasan godaan Iblis terhadap keturunan Adam dengan menegaskan bahwa sebenarnya hamba-hamba Allah yang selalu menaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, tidak akan terpengaruh oleh godaannya.

Iblis tidak mempunyai kekuasaan untuk memaksa agar mereka tunduk di bawah tipu dayanya. Kemampuan Iblis hanyalah menggoda saja. Orang-orang yang dapat dipengaruhi ialah mereka yang tidak mempunyai iman yang kuat.

Oleh karena itu, Allah swt menegaskan pada akhir ayat ini bahwa bagi mereka yang mempunyai iman yang kuat itu cukup berserah diri kepada Allah, dan meminta perlindungan kepada-Nya agar terlepas dari godaan dan tipu daya setan.

Dalam ayat ini, terdapat isyarat yang menunjukkan bahwa manusia pada dasarnya tidak mempunyai kekebalan terhadap godaan setan dan tidak mempunyai kontrol pribadi yang menyelamatkan dirinya dari kesesatan. Kekebalan dan kontrol pribadi itu hanyalah perlindungan dan limpahan rahmat Allah swt.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 66-69


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Ahkam: Hukum dan Ketentuan Jumlah Mahar dalam Pernikahan

0
Tafsir Ahkam: Hukum dan Ketentuan Jumlah Mahar dalam Pernikahan
Hukum dan Ketentuan Jumlah Mahar dalam Pernikahan

Salah satu bahasan yang terkait dengan pernikahan dan tak jarang menjadi ‘momok’ menakutkan bagi anak muda zaman now adalah soal mahar, tak sedikit dari mereka yang berpikir ulang untuk menikah karena terhalang tingginya angka mahar. Nah bagaimanakah ayat Al-Qur’an berbicara terkait hal ini? Apakah ada batasan minimal atau maksimalnya? Mari kita cermati penjelasan dari para ulama berikut.

Definisi dan Terminologi Mahar dalam Al-Qur’an

Sebagaimana disebutkan dalam al-Mu’jam al-Wasith (hlm. 889), secara bahasa kata mahar memiliki beberapa makna, salah satunya berarti sesuatu yang diberikan oleh seorang suami kepada istrinya dalam suatu akad pernikahan.

Kata mahar sendiri dalam Al-Qur’an setidaknya diungkapkan menggunakan dua diksi kata, yakni al-ajr dan al-shadaq sebagaimana terdapat pada ayat-ayat berikut:

Pertama, mahar diungkapkan dengan kata al-ajr seperti terdapat dalam Q.S. Al-Nisa [4]: 25 yang berbunyi,

فَانْكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

Terjemahnya, “...Maka nikahilah mereka dengan seizin keluarganya dan berilah maskawin mereka dengan cara yang baik...”.

Kata al-ujur pada ayat di atas merupakan bentuk jamak dari kata al-ajr, yang dalam ayat ini bermakna mahar.

Kedua, sedangkan mahar yang disebutkan dengan kata shaduqaat yang merupakan bentuk jamak dari shadaaq, disebutkan misalnya pada Q.S. Al-Nisa [4]: 4 yang berbunyi,

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً…

Terjemahnya:

Dan tunaikanlah kepada wanita-wanita itu maharnya, sebagai pemberian yang penuh kerelaan…”.

Sebagian ulama menyamakan makna tiga kata tersebut. Namun al-Zamakhsyari dalam Tafsir al-Kasysyaf menjelaskan bahwa penggunaan kata al-ajr sebagai ganti dari kata mahar adalah karena mahar itu berposisi sebagai penghargaan dan penghormatan kepada pihak perempuan yang sudah berkenan untuk dinikahi.

Selain itu, pengarang kitab al-Fiqh al-Manhajiy ‘ala Mazhab al-Imam al-Syafi’i (4/75) menjelaskan bahwa di antara faedah mengapa mahar disebutkan dengan istilah shadaaq -yang satu akar kata dengan kata shadaqa yang berarti kejujuran- adalah untuk menekankan sejatinya mahar itu adalah tanda keseriusan dan benarnya komitmen pihak laki-laki untuk menikahi perempuan yang dipinangnya itu.

Baca juga: Tafsir Surah An-Nisa Ayat 3: Pesan Utama Al-Qur’an yang Sering Dilupakan

Apakah Wajib Membayar Mahar?

Lalu muncul pertanyaan, apa hukum mahar itu sendiri dan kapan dibayarkan? Apakah saat akad nikah atau sebelumnya? Atau ketika sudah melakukan hubungan suami-istri? Dalam kitab Ahkam al-Qur’an li al-Imam al-Syafi’i yang disusun oleh al-Baihaqi disebutkan bahwa dari semua ayat yang berbicara tentang mahar, ada tiga kemungkinan hukum yang bisa diambil, yaitu:

Pertama, Mahar menjadi wajib hanya jika ditetapkan sendiri oleh pihak laki-laki, baik sudah berhubungan badan ataupun belum. Jika ia tidak menetapkan jumlah maharnya, maka tidak wajib baginya untuk membayar mahar.

Kedua, Mahar itu menjadi wajib bersamaan dengan adanya akad nikah, meskipun jumlah maharnya tidak disebutkan saat akad serta meskipun belum berhubungan badan sama sekali.

Ketiga, Mahar itu pada dasarnya tidak wajib. Ia menjadi wajib dibayarkan jika terjadi pada dua keadaan berikut 1). Mahar telah ditetapkan dan disebutkan ketika akad nikah dan 2). Ketika sudah melakukan hubungan badan -sekalipun belum disebutkan jumlah maharnya saat akad nikah.

Al-Baihaqi kemudian menyebutkan dalam Ahkam al-Qur’an li al-Imam al-Syafi’i (1/196-199) bahwa kemungkinan ketiga inilah yang dipilih oleh al-Syafi’i dan yang didukung oleh dalil-dalil yang ada. Misalnya firman Allah pada Q.S. Al-Baqarah [2]: 236 yang berbunyi,

لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً…

Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kalian, jika kalian menceraikan istri-istri kalian sebelum kalian bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya…”.

Ayat di atas menunjukkan bahwa akad nikah itu tetap sah dilaksanakan meskipun pihak laki-laki belum menetapkan jumlah mahar yang akan diberikan kepada pihak wanita. Serta tidak ada kewajiban untuk membayarkan mahar jika terjadi perceraian sebelum adanya hubungan badan.

Namun jika sebelumnya mahar sudah ditentukan dan terjadi perceraian sebelum hubungan badan, maka diwajibkan untuk membayar setengah dari jumlah mahar tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 237.

وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ…

dan jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum berhubungan dengan mereka, padahal sebelumnya sudah ditentukan maharnya, maka bayarlah setengah dari yang telah kamu tentukan itu…”

Juga didukung oleh ayat lain misalnya dalam Q.S. Al-Nisa [4]: 24 yang bunyinya,

…فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً…

…Maka istri-istri yang telah kalian campuri, maka berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban…”. Ayat ini menjelaskan bahwa jika sudah terjadi hubungan badan, maka wajib membayarkan maharnya. Jika mahar belum ditetapkan sebelumnya saat akad nikah, maka jatuhnya adalah membayar mahar mitsil.

Baca juga: Surah An-Nisa Ayat 3, Praktik Poligami Menurut Mufasir Indonesia

Jumlah Mahar yang Wajib Dibayarkan

Para ulama berbeda pendapat mengenai berapa jumlah mahar, sebagaimana direkam oleh al-Qurthubi dalam al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (6/211-213). Beberapa pendapat tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, pendapat yang dipegangi oleh Imam al-Syafi’i dan mayoritas ulama baik salaf maupun khalaf. Mereka berpegang pada keumuman ayat yang berbunyi {أن تبتغوا بأموالكم}, pada ayat tersebut kata amwal yakni harta, disebutkan tanpa ada batasan apapun.

Maka mahar itu sah diberikan berapapun jumlahnya tanpa ada batasan minimal maupun maksimal, selama mahar itu memiliki nilai materi, baik berupa emas, barang, uang ataupun jasa yang umumnya dibayar menggunakan uang seperti mengajarkan Al-Qur’an dan lain-lain. Ini dengan catatan telah tercapai kesepakatan antara kedua belah pihak.

Pendapat ini juga dikuatkan oleh hadis Rasulullah riwayat Muslim dari Sahl bin Sa’d al-Sa’idi yang berbunyi (al-Nawawi, al-Minhaj fi Syarh Shahih Muslim, 885-886),

…انظُر وَلَو خَاتَمًا مِن حَدِيدٍ…

Terjemahnya, “…carikanlah (maharnya) walaupun hanya sebuah cincin dari besi…”.

Dari hadis ini dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak ada batasan minimal ataupun maksimal terkait mahar, karena cincin dari besi merupakan sesuatu yang hampir tidak ada harganya sama sekali.

Kedua, adalah pendapat yang dipegangi oleh Abu Hanifah dan beberapa pengikutnya. Pendapat ini mengatakan bahwa jumlah minimal mahar itu senilai satu dinar emas atau sepuluh dirham. Hal ini di-qiyas-kan kepada pendapat Abu Hanifah bahwa pencuri itu baru bisa dihukum potong tangan jika harta yang dicurinya lebih dari satu dinar atau sepuluh dirham.

Ketiga, Imam Malik yang pernah menyatakan mahar itu minimal seperempat dinar. Keempat, al-Nakha’i yang menyebutkan bahwa jumlah minimalnya adalah empat puluh dirham. Lalu kelima, dari Sa’id bin Jubair yang mengatakan bahwa minimalnya adalah 50 dirham.

Musthafa al-Bugha dkk dalam kitab al-Fiqh al-Manhajiy (4/78) mencoba memberikan pendapat yang menengahi pendapat-pendapat yang ada. Yakni dianjurkan membayar mahar itu tidak kurang dari sepuluh dirham -supaya keluar dari khilaf, karena Imam Abu Hanifah mewajibkan demikian- dan tidak lebih dari lima ratus dirham karena mahar anak dan istri-istri Rasulullah tidak pernah melebihi angka tersebut. Wallahu A’lam.

Baca juga: Pernikahan; Tujuan dan Hukumnya, Tafsir Surat An-Nahl Ayat 72

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 61-63

0
tafsir surah al isra'
tafsir surah al isra'

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 61-63 berbicara mengenai tiga hal. Pertama mengenai permusuhan iblis dengan anak cucu Adam. Kedua berbicara mengenai pembangkangan Iblis kepada Allah.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 60


hal Ketiga yang di bahas dalam Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 61-63 ini adalah mengenai permintaan Iblis untuk hidup sampai kiamat.

Ayat 61

Allah swt memerintahkan Rasulullah agar mengingatkan kaumnya akan permusuhan Iblis kepada Adam dan keturunannya. Permusuhan itu telah berlangsung lama sejak penciptaan Adam.

Ketika Allah swt memerintahkan kepada para malaikat agar sujud untuk memberikan penghormatan kepada Adam, mereka lalu sujud kepadanya, kecuali Iblis.

Ia merasa lebih mulia dan menolak perintah Allah. Sikap seperti itu disebabkan oleh kesombongannya, seperti tergambar dalam kata-katanya, “Apakah saya akan sujud kepada Adam yang diciptakan dari tanah, sedangkan aku diciptakan dari api.” Menurut anggapan Iblis, api lebih mulia daripada tanah.

Kata-kata Iblis serupa itu diungkapkan dalam ayat lain, seperti tersebut dalam firman Allah:

قَالَ اَنَا۠ خَيْرٌ مِّنْهُ خَلَقْتَنِيْ مِنْ نَّارٍ وَّخَلَقْتَهٗ مِنْ طِيْنٍ

(Iblis) berkata, ”Aku lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.” (Sad/38: 76)

Iblis menjadi kafir karena tidak menaati perintah Allah dan bersikap sombong. Ia beranggapan bahwa Allah swt telah memerintahkan sesuatu yang tidak pada tempatnya. Anggapan Iblis yang demikian hanyalah khayalannya sendiri.

Anggapannya bahwa api lebih mulia dari tanah adalah anggapan yang tidak benar, karena api dan tanah sama-sama makhluk Allah. Allah yang menciptakannya dari tiada, kemudian melebihkan kegunaannya dari yang satu atas yang lain, sesuai dengan kebijaksanaan-Nya.

Api bisa membakar, sementara tanah bisa menumbuhkan. Keduanya menjadi penunjang kehidupan manusia. Jadi secara kodrati, keduanya tidak bisa dilebihkan antara satu dengan yang lain. Keduanya mempunyai kelebihan masing-masing.


Baca juga: Realisasi Lafadz Ishlah dalam Al-Quran: Sembilan Cara Merawat Bumi


Ayat 62

Kemudian dijelaskan bahwa kelancangan dan pembangkangan Iblis terhadap perintah Allah ketika ia meminta agar Allah menerangkan kepada-nya, apa alasan yang menyebabkan dia harus sujud kepada Adam.

Perminta-an Iblis itu diungkapkan dalam bentuk kalimat tanya dimaksudkan untuk menunjukkan sikapnya yang merasa heran mendengar perintah Allah agar sujud kepada Adam. Karena pengingkarannya ini, Iblis mendapat murka, dan menjadi jauh dari rahmat Allah.

Itulah sebabnya mengapa Iblis memohon kepada Allah agar menangguh-kan hukuman dan kematiannya sampai hari kiamat dan diberi kesempatan untuk menggoda dan menyesatkan keturunan Adam, kecuali sebagian kecil saja dari keturunannya yang memang kuat imannya.

Allah swt berfirman:

اِنَّ عِبَادِيْ لَيْسَ لَكَ عَلَيْهِمْ سُلْطٰنٌ اِلَّا مَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْغٰوِيْنَ

Sesungguhnya kamu (Iblis) tidak kuasa atas hamba-hamba-Ku, kecuali mereka yang mengikutimu, yaitu orang yang sesat. (al-Hijr/15: 42)

Ayat 63

Allah mengabulkan permintaan Iblis dan membiarkan ia pergi menuruti keinginan dan melaksanakan tipu dayanya hingga hari kiamat datang.

Namun demikian, Allah memberi syarat bahwa barang siapa di antara keturunan Adam yang teperdaya mengikuti Iblis, balasannya adalah neraka Jahanam sebagai hukuman yang harus ditimpakan kepadanya. Demikian juga hukuman yang ditimpakan kepada orang-orang yang mengikuti ajakannya, karena berani menyimpang dari perintah Allah dan melanggar larangan-Nya.

Allah swt berfirman:

قَالَ فَاِنَّكَ مِنَ الْمُنْظَرِيْنَۙ  ٣٧  اِلٰى يَوْمِ الْوَقْتِ الْمَعْلُوْمِ   ٣٨

Allah berfirman, ”(Baiklah) maka sesungguhnya kamu termasuk yang diberi penangguhan, sampai hari yang telah ditentukan (kiamat).” (al-Hijr/15: 37-38)


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 64-65


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Yasin Ayat 59-62

0
Tafsir Surah Yasin
Tafsir Surah Yasin

Sebelumnya telah dijelaskan bagaimana kondisi orang yang beriman. Kali ini, Tafsir Surah Yasin Ayat 59-62 akan menjelaskan kondisi orang-orang yang ingkar. Mereka berada pada kloter sendiri, dipisah dari rombongan kaum beriman, lalu digiring ke dalam neraka, bersiap menerima siksa. Allah mengingatkan manusia agar tidak mudah terpedaya dengan tipu daya setan, sebab dia adalah musuh yang nyata, dan setanlah yang banyak menyebabkan manusia masuk ke dalam neraka.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Yasin Ayat 55-58


Ayat 59

Allah memerintahkan kepada orang-orang kafir agar segera berpisah dari orang-orang yang beriman dan masuk ke dalam neraka sebagai tempat yang telah disediakan untuk mereka.

Perintah ini disampaikan Allah, sewaktu seluruh manusia telah selesai dihisab di Padang Mahsyar. Orang-orang yang beriman diperintahkan masuk ke dalam surga dan orang-orang kafir diperintahkan masuk ke dalam neraka.

Ayat lain yang senada dengan ayat ini ialah firman Allah:;

اُحْشُرُوا الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا وَاَزْوَاجَهُمْ وَمَا كَانُوْا يَعْبُدُوْنَ ۙ  ٢٢  مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ فَاهْدُوْهُمْ اِلٰى صِرَاطِ الْجَحِيْمِ   ٢٣

(Diperintahkan kepada malaikat), “Kumpulkanlah orang-orang yang zalim beserta teman sejawat mereka dan apa yang dahulu mereka sembah, selain Allah, lalu tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka. (ash-Saffat/37: 22-23)


Baca Juga: Urgensi Taubat dari Perbuatan Dosa dalam Surat Al-Furqan Ayat 68-70


Ayat 60

Pada ayat ini diterangkan bahwa orang-orang kafir yang digiring masuk neraka itu dihardik dan diingatkan Allah kepada perbuatan-perbuatan dosa yang pernah mereka kerjakan di dunia. Allah berfirman, “Bukankah dahulu pernah Aku wasiatkan kepadamu agar jangan sekali-kali menyembah setan. Di samping itu, telah Aku kemukakan kepadamu bukti-bukti yang kuat menurut akal pikiran, dan Aku utus rasul kepadamu dengan membawa kitab yang berisi petunjuk ke jalan kebahagiaan dunia dan akhirat.

Sebenarnya dengan hidayat dan pengutusan rasul itu telah cukup sebagai alasan bagimu untuk tidak mengikuti godaan setan. Tetapi semuanya itu tidak kamu hiraukan, sehingga jadilah nasibmu seperti keadaan sekarang ini.”

Allah menerangkan alasan-Nya melarang manusia mengikuti setan, yaitu karena setan itu merupakan musuh yang nyata bagi manusia. Permusuhan manusia dengan setan telah berlangsung sejak dahulu, yaitu sejak setan menyesatkan Adam dan Hawa, sehingga mereka dikeluarkan Allah dari surga. Sejak itu setan selalu berusaha dan berdaya upaya menyesatkan manusia.

Ayat 61

Allah memerintahkan manusia agar hanya menyembah-Nya, mengikuti semua yang diperintahkan-Nya, dan menghentikan semua yang dilarang-Nya. Jika seseorang telah melaksanakan segala yang diperintahkan-Nya dan menghentikan semua yang dilarang-Nya berarti ia telah menempuh jalan yang diridai, dan itulah jalan yang lurus dan itulah agama yang benar yang berasal dari Tuhan semesta alam.

Ayat 62

Ayat ini menerangkan pengaruh dan akibat godaan setan kepada manusia, yaitu mereka ingkar dan tidak menaati Allah, bahkan banyak di antara mereka yang mempersekutukan-Nya.

Alangkah lemahnya hati manusia, sehingga mereka dapat tergoda oleh setan. Padahal mereka telah dianugerahi akal, pikiran, perasaan, kemampuan jasmani dan rohani, demikian pula taufik dan hidayah berupa agama yang disampaikan rasul kepada mereka.

Sebenarnya dengan semua anugerah yang diberikan itu, manusia dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana jalan yang lurus dan mana jalan yang sesat, mana perbuatan dosa dan mana amal yang saleh. Tetapi mereka lalai dan selalu memperturutkan hawa nafsunya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Yasin Ayat 63-65


 

Tafsir Surah Yasin Ayat 55-58

0
Tafsir Surah Yasin
Tafsir Surah Yasin

Tafsir Surah Yasin Ayat 55-58 berbicara tentang kondisi orang-orang beriman ketika hari kebangkitan tiba, dimana mereka mendapatkan balasan dari Allah Swt berupa surga, suatu nikmat yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Nikmat pertama yang tak terbandingkan adalah disaat mereka mendapat ucapan ‘salam’ dari Allah Swt, sebuah nitkmat yang tiada tara, melebihi semua nikmat yang telah dicicipi di syurga.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Yasin Ayat 51-54


Ayat 55

Allah menerangkan bahwa orang-orang yang beriman dibalas Allah dengan pahala yang berlipat ganda, berupa surga yang penuh kenikmatan. Di dalamnya, mereka merasakan kesenangan dan kenikmatan yang belum pernah mereka rasakan, keindahan yang belum pernah mereka lihat, dan suara yang menyejukkan kalbu yang belum pernah mereka dengar.

Waktu itu tidak terpikir olehnya azab yang sedang diderita orang-orang kafir yang terbenam dalam neraka. Yang dirasakan dan diingatnya hanyalah kegembiraan dan kepuasan hati bersama teman-temannya di dalam surga.

Ayat 56

Di dalam surga orang-orang yang beriman dan istri-istri mereka berada dalam taman-taman yang indah dengan pohon yang rindang, duduk di atas sofa dan tempat-tempat tidur, berbincang-bincang sambil menikmati berbagai macam rezeki yang mereka peroleh dari Tuhan mereka.

Dari perkataan “hum wa azwajuhum” (mereka dan pasangan mereka) dapat dipahami bahwa orang-orang yang beriman akan tinggal bersama pasangan mereka dengan bahagia dan damai dalam surga dan memperoleh nikmat yang berbagai macam bentuk yang tiada taranya.

Ada yang dalam bentuk langsung mereka nikmati, seperti memperoleh tempat yang nyaman dan indah, serta merasakan makanan yang lezat dan sebagainya. Ada pula dalam bentuk pemenuhan keinginan dan cita-cita mereka sebagai anggota atau kepala keluarga. Selama hidup di dunia mereka mencita-citakan keluarga yang berbahagia, mempunyai istri yang cantik dan setia. Keinginan-keinginan mereka yang seperti itu dipenuhi Allah dalam surga nanti.

Baca Juga:

Bahkan pada ayat yang lain diterangkan bahwa anak cucu mereka yang beriman ditinggikan Allah derajatnya seperti derajat bapak dan ibu mereka. Mereka dikumpulkan dengan orang tua mereka di dalam surga, tanpa membeda-bedakan pemberian nikmat kepada masing-masing anggota keluarga itu. Allah berfirman:

وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِاِيْمَانٍ اَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَآ اَلَتْنٰهُمْ مِّنْ عَمَلِهِمْ مِّنْ شَيْءٍۚ  كُلُّ امْرِئٍ ۢبِمَا كَسَبَ رَهِيْنٌ

Dan orang-orang yang beriman, beserta anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami pertemukan mereka dengan anak cucu mereka (di dalam surga), dan Kami tidak mengurangi sedikit pun pahala amal (kebajikan) mereka. Setiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya. (at-Thur/52: 21)

Dari ayat ini dipahami pula agar setiap mukmin selalu berusaha untuk menjadikan suami, istri, anak-anak dan keluarga mereka, menjadi orang-orang beriman yang baik, agar cita-cita mereka untuk dapat saling berhubungan dengan keluarga mereka dikabulkan Allah di akhirat.

Ayat 57

Orang-orang yang beriman akan memakan bermacam-macam buah-buahan yang lezat di dalam surga, dan memperoleh semua yang mereka inginkan. Bagi yang suka bermain disediakan berbagai alat permainan, yang suka olahraga juga disediakan semua kebutuhan olahraga. Demikian pula berbagai alat kesenian yang mereka inginkan Firman Allah:

يَدْعُوْنَ فِيْهَا بِكُلِّ فَاكِهَةٍ اٰمِنِيْنَۙ

Di dalamnya mereka dapat meminta segala macam buah-buahan dengan aman dan tenteram. (ad-Dukhan/44: 55)

Ayat 58

Yang mereka inginkan itu ialah salam dari Allah yang disampaikan kepada mereka untuk memuliakan mereka. Salam ini langsung disampaikan Allah atau mungkin dengan perantaraan malaikat, seperti firman Allah:

وَالْمَلٰۤىِٕكَةُ يَدْخُلُوْنَ عَلَيْهِمْ مِّنْ كُلِّ بَابٍۚ   ٢٣  سَلٰمٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِۗ     ٢٤

…sedang para malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu; (sambil mengucapkan), “Selamat sejahtera atasmu karena kesabaranmu.” Maka alangkah nikmatnya tempat kesudahan itu. (ar-Ra’d/13: 23-24).

Salam berarti selamat dan sejahtera, terpelihara dari segala yang tidak disenangi memperoleh semua yang diingini sehingga orang itu memperoleh kenikmatan jasmani dan rohani yang tiada bandingannya.

(Tafsir Kemenag)

Baca Setelahnya : Tafsir Surah Yasin Ayat 59-62

 

Tafsir Surah Yasin Ayat 37-40

0
Tafsir Surah Yasin
Tafsir Surah Yasin

Tafsir Surah Yasin Ayat 37-40 menjelaskan tentang bukti-bukti keuasaan Allah Swt. Diantaranya, siang dan malam, peredaran matahari, serta jarak khusus untuk peredaran bulan. Fenomena-fenomena tersebut kemudian melahirkan ilmu yang bermanfaat bagi manusia, seperti ilmu falak/astronomi, yang memungkinkan manusia mengetahui aktivitas di angkasa. Berikut uraian lengkapnya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Yasin Ayat 33-36


Ayat 37

Pada ayat ini, Allah menjelaskan bukti yang lain tentang kekuasaan-Nya Yang Mahabesar dan bukti adanya hari kebangkitan, yaitu adanya waktu malam. Allah menanggalkan siang dan mendatangkan malam, tiba-tiba manusia berada dalam kegelapan.

Ayat ini meletakkan dasar-dasar bagi ilmu pengetahuan alam dan ilmu falak. Terjadinya siang dan malam karena bergeraknya tata surya, terutama bumi dan matahari, sehingga bagian muka bumi yang terkena cahaya matahari mengalami siang, dan bagian yang tidak terkena cahaya matahari mengalami malam. Hal ini terjadi silih berganti.

Kemajuan ilmu pengetahuan manusia mengenai ilmu falak atau astronomi pada masa sekarang ini telah memungkinkan mereka mengetahui benda-benda di angkasa raya. Dengan kemajuan teknologi, manusia akhirnya dapat pula mengarungi ruang angkasa, tidak hanya sekadar mengamatinya dari bumi.

Adanya siang dan malam juga berfaedah bagi manusia. Waktu siang mereka gunakan untuk bekerja bagi keperluan hidup mereka. Sedang waktu malam pada umumnya digunakan untuk beristirahat dan tidur, sebagai salah satu dari kebutuhan jasmaniah dan rohaniah mereka.

Ayat 38

Allah menjelaskan bukti lain tentang kekuasaan-Nya, yaitu peredaran matahari, yang bergerak pada garis edarnya yang tertentu dengan tertib menurut ketentuan yang telah ditetapkan Allah. Sedikit pun ia tidak menyimpang dari garis yang telah ditentukan itu. Andaikata ia menyimpang seujung rambut saja, niscaya akan terjadi tabrakan dengan benda-benda langit lainnya. Kita tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi akibat peristiwa itu.

Dilihat sepintas lalu, orang akan menerima bahwa hanya matahari yang bergerak, sedang bumi tetap pada tempatnya. Di pagi hari, matahari terlihat di sebelah timur, sedang pada sore hari ia berada di barat. Akan tetapi, ilmu falak mengatakan bahwa matahari berjalan sambil berputar pada sumbunya, sedang bumi berada di depannya, juga berjalan sambil berputar pada sumbunya, dan beredar mengelilingi matahari.

Ternyata apa yang ditetapkan oleh ilmu falak sejalan dengan apa yang telah diterangkan dalam ayat tersebut. Oleh sebab itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa semakin tinggi kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi manusia, semakin terbuka pula kebenaran-kebenaran yang telah dikemukakan Al-Qur’an sejak empat belas abad yang lalu. All±hu Akbar. Allah Mahabesar kekuasaan-Nya.


Baca Juga: Tafsir Surat Yasin Ayat 38: Kuasa Allah Swt dalam Pergerakan Matahari


Ayat 39

Allah telah menetapkan jarak-jarak tertentu bagi peredaran bulan, sehingga pada setiap jarak tersebut ia mengalami perubahan, baik dalam bentuk dan ukurannya, maupun dalam kekuatan sinarnya.

Mula-mula bulan itu timbul dalam keadaan kecil dan cahaya yang lemah. Kemudian ia menjadi bulan sabit dengan bentuk melengkung serta sinar yang semakin terang.

Selanjutnya bentuknya semakin sempurna bundarnya, sehingga menjadi bulan purnama dengan cahaya yang amat terang. Tetapi kemudian makin menyusut, sehingga pada akhirnya ia menyerupai sebuah tandan kering yang berbentuk melengkung dengan cahaya yang semakin pudar, kembali kepada keadaan semula.

Jika diperhatikan pula benda-benda angkasa lainnya yang bermiliar-miliar banyaknya, dengan jarak dan besar yang berbeda-beda, serta kecepatan gerak yang berlainan pula, semua berjalan dengan teratur rapi, semua itu akan menambah keyakinan kita tentang tak terbatasnya ruang alam ini dan betapa besarnya kekuasaan Allah yang menciptakan dan mengatur makhluk-Nya.

Dengan memperhatikan semua itu, tak akan ada kata-kata lain yang ke luar dari mulut orang yang beriman, selain ucapan “Allahu Akbar, Allah Mahabesar, lagi Mahabesar kekuasaan-Nya.”

Ayat 40

Berdasarkan pengaturan dan ketetapan Allah yang berlaku bagi benda-benda alam itu, peraturan yang disebut “Sunnatullah”, maka tidaklah mungkin terjadi tabrakan antara matahari dan bulan, dan tidak pula malam mendahului siang.

Semuanya akan berjalan sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan-Nya. Masing-masing tetap bergerak menurut garis edarnya yang telah ditetapkan Allah untuknya.

Betapa kecilnya kekuasaan manusia, dibanding dengan kekuasaan Allah yang menciptakan dan mengatur perjalanan benda-benda alam sehingga tetap berjalan dengan tertib. Manusia telah membuat bermacam-macam peraturan lalu lintas di jalan raya dilengkapi dengan rambu-rambu yang beraneka ragam. Akan tetapi kecelakaan lalu-lintas di jalan raya tetap terjadi di mana-mana. Peraturan manusia selalu menunjukkan sisi kelemahannya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Yasin Ayat 41-42


Tafsir Surah Yasin Ayat 51-54

0
Tafsir Surah Yasin
Tafsir Surah Yasin

Tafsir Surah Yasin Ayat 51-54 menjelaskan tentang peristiwa hari kebangkitan. Setelah tiupan sangkakala yang pertama, pada tiupan kedua seluruh manusia yang telah mati akan hidup dan dibangkitkan dari kuburnya. Mereka yang ingkar heran, sadara, bahwa peristiwa kebangkitan itu ada, dan ucapan para utusanbenar adanya. Disisi lain, Allah menunjukkan kuasa-Nya, betapa mudah bagi Allah untuk membangkitkan manusia, dan manusia akan menghadap-Nya untuk dimintai pertanggung jawaban selama hidup di dunia.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Yasin Ayat 48-50


Ayat 51

Setelah seluruh manusia mati dengan tiupan sangkakala yang pertama, selanjutnya ditiuplah sangkakala kedua untuk membangkitkan mereka dari kuburnya. Pada waktu itu, seluruh manusia bangkit dan hidup kembali. Mereka bangun dan bergegas menemui Allah Yang Mahakuasa untuk menerima hisab mereka.

 Ayat lain yang berhubungan dengan ayat ini ialah firman Allah:

يَوْمَ يَخْرُجُوْنَ مِنَ الْاَجْدَاثِ سِرَاعًا كَاَنَّهُمْ اِلٰى نُصُبٍ يُّوْفِضُوْنَ

(Yaitu) pada hari ketika mereka keluar dari kubur dengan cepat seakan-akan mereka pergi dengan segera kepada berhala-berhala (sewaktu di dunia). (al-Ma’arij/70: 43)

Ayat 52

Ayat ini menerangkan keheranan dan kekagetan orang-orang kafir ketika dibangkitkan dari kubur. Mereka berkata, “Aduhai celakalah kami, siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami?” Mereka heran dan tercengang karena dibangkitkan dari alam kubur dan menghadapi malapetaka serta kesulitan pada waktu itu.

Ketika mereka heran dan tercengang, di antara orang-orang yang beriman berkata kepada mereka, “Semua yang terjadi dan yang kita alami ini sesuai dengan yang dijanjikan Allah dan disampaikan oleh para rasul yang telah di- utus kepada kita semua ketika di dunia dahulu.

Kita telah diberitahu akan adanya janji, ancaman, dan hari kebangkitan seperti yang kita hadapi sekarang ini. Oleh karena itu, kita tidak pantas heran dan tercengang dengan keadaan yang kita alami sekarang ini.”

Menurut suatu riwayat bahwa yang dimaksud dengan bunyi sangkakala dalam ayat ini ialah suara malaikat Israfil yang sangat keras yang menyerukan, “Wahai tulang-belulang yang telah hancur-lebur, Allah memerintahkan kamu semua supaya berkumpul kembali seperti semula untuk menerima keputusan yang adil.”

Pada ayat ini orang-orang kafir menanyakan tentang siapa yang membangkitkan dan menghidupkan mereka kembali pada hari kebangkitan ini. Pertanyaan mereka itu dijawab dengan apa yang pernah disampaikan kepada mereka dahulu waktu masih hidup di dunia. Hal ini memberi pengertian bahwa seakan-akan Allah menyuruh mereka mengingat apa yang pernah mereka lakukan dahulu terhadap para rasul yang diutus.


Baca Juga: Apa Makna “Kiamat Sudah Dekat” dalam Al-Quran? Ini Penjelasannya


Ayat 53

Ayat ini menerangkan bagaimana mudahnya bagi Allah untuk membangkitkan seluruh manusia yang pernah ada dahulu sebelum datangnya hari Kiamat. Cukup dengan satu teriakan saja, maka hiduplah kembali seluruh manusia, dan berkumpul di hadapan Allah untuk menerima perhitungan dan keputusan yang adil dari-Nya.

Ayat yang lain yang maksudnya sama dengan ayat ini ialah firman-Nya:

وَمَآ اَمْرُ السَّاعَةِ اِلَّا كَلَمْحِ الْبَصَرِ اَوْ هُوَ اَقْرَبُۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

Urusan kejadian Kiamat itu, hanya seperti sekejap mata atau lebih cepat (lagi). Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (an-Nahl/16: 77)

Dan firman-Nya:

فَاِنَّمَا هِيَ زَجْرَةٌ وَّاحِدَةٌۙ  ١٣  فَاِذَا هُمْ بِالسَّاهِرَةِۗ  ١٤

Maka pengembalian itu hanyalah dengan sekali tiupan saja. Maka seketika itu mereka hidup kembali di bumi (yang baru). (an-Nazi’at/79: 13-14)

Ayat 54

Kemudian Allah menerangkan bahwa pada hari Kiamat itu, setiap manusia akan menerima balasan semua perbuatan yang telah dilakukannya selama hidup di dunia, perbuatan baik dibalas dengan pahala yang berlipat ganda dan perbuatan buruk dan jahat akan dibalas dengan siksa yang seimbang dengan perbuatan itu.

Sebagaimana sifat Allah yang memberikan keputusan dengan adil maka pada hari itu pun Dia memberi keputusan dengan adil. Oleh karena itu, seseorang tidak akan menerima pahala kebaikan yang dikerjakan orang lain, sebaliknya seseorang tidak akan menerima azab karena perbuatan jahat yang dilakukan orang lain.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Yasin Ayat 55-58