Beranda blog Halaman 256

Tafsir Surah Yasin Ayat 48-50

0
Tafsir Surah Yasin
Tafsir Surah Yasin

Tafsir Surah Yasin Ayat 48-50 menerangkan bahwa orang yang ingkar tidak percaya akan adanya hari kebangkitan. Allah menegaskan bahwa, mudah baginya untuk mengenalkan hari Kebangkitan pada manusia, cukup dengan satu kali teriakan/aba-aba saja, alam ini bisa hancur lebur. Tidak ada yang tau kapan hari Kebangkitan datang, ia hadir secara tiba-tiba, manusia tidak ada persiapan, dan semua makhluk akan binasa.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Yasin Ayat 43-47


Ayat 48

Sisi lain dari sifat-sifat jelek kaum yang ingkar itu adalah ketidakpercayaan mereka tentang akan adanya hari Kebangkitan sesudah mati. Apabila disampaikan bahwa mereka kelak akan dibangkitkan kembali sesudah mati, untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka selama di dunia ini, maka mereka menjawab dengan sikap mengejek, “Bilakah janji itu akan terlaksana?”

Demikian keadaan kaum yang ingkar, hati mereka tidak lagi terbuka untuk menerima kebenaran. Penyesalan mereka barulah akan timbul setelah mereka menghadapi kenyataan tentang apa yang dulunya mereka ingkari.

Ayat 49

Allah memperingatkan, bahwa mereka tidak akan menunggu terlalu lama datangnya hari kebangkitan itu. Cukup dengan suatu teriakan aba-aba saja, yaitu suara tiupan yang pertama dari sangkakala yang membawa kehancuran alam ini.

Kemudian semua manusia akan dibangkitkan kembali dan dikumpulkan ke hadapan Allah untuk diperhitungkan segala perbuatannya selagi di dunia kemudian mereka menerima balasan sesuai dengan perbuatan mereka.

Ayat lain yang sama maksudnya dengan ayat ini ialah, firman Allah:

هَلْ يَنْظُرُوْنَ اِلَّا السَّاعَةَ اَنْ تَأْتِيَهُمْ بَغْتَةً وَّهُمْ لَا يَشْعُرُوْنَ

Apakah mereka hanya menunggu saja kedatangan hari Kiamat yang datang kepada mereka secara mendadak sedang mereka tidak menyadarinya? (az-Zukhruf/43: 66)

Manusia tidak akan menyadari kedatangan hari Kiamat. Mereka dimatikan secara tiba-tiba dalam keadaan saling berselisih dan berbantah-bantahan dalam urusan dunia. Peristiwa Kiamat atau kematian terjadi secara tiba-tiba karena keduanya terjadi bukan hasil kompromi antara Allah dengan manusia, tetapi karena kehendak dan kekuasaan Allah semata.


Baca Juga: Al-Qur’an dan Realitas Sosial: Membincang Makna Adil dalam Islam


Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir at-Thabari dari Ibnu ‘Umar bahwa ia berkata, “Sangkakala benar-benar akan ditiup di saat keadaan manusia dalam kesibukan urusan mereka masing-masing di jalan, pasar, dan tempat mereka, hingga keadaan dua orang yang sedang tawar-menawar pakaian, misalnya, ketika pakaian belum sampai ke tangan salah seorang di antara mereka, maka tiba-tiba ditiupkan sangkakala, hingga mereka mati bergelimpangan semuanya. Inilah yang dimaksud dengan firman Allah dalam ayat ini.

Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda:

لَتَقُوْمَنَّ السَّاعَةُ وَقَدْ نَشَرَ الرَّجُلاَنِ ثَوْبَهُمَا بَيْنَهُمَا فَلاَ يَتَبَايَعَانِهِ وَلاَ يَطْوِيَانِهِ وَلَتَقُوْمَنَّ السَّاعَةُ وَالرَّجُلُ يَلِيْطُ حَوْضَهُ فَلاَ يَسْقِيْ مِنْهُ، وَلَتَقُوْمَنَّ السَّاعَةُ وَقَدِ انْصَرَفَ الرَّجُلُ بِلَبَنِ نَعْجَتِهِ فَلاَ يَطْعَمَهُ، وَلَتَقُوْمَنَّ السَّاعَةُ وَقَدْ رَفَعَ اَكْلَتَهُ اِلَى فَمِهِ فَلاَ يَطْعَمُهَا. (رواه البخارى ومسلم عن أبى هريرة)

“Hari Kiamat itu benar-benar akan terjadi pada saat dua orang sedang menggelar pakaian mereka (sambil tawar-menawar), dan keduanya tidak sempat berjual-beli dan melipat kembali.

Hari Kiamat itu benar-benar akan terjadi pada saat seseorang membuat kolam dan ia belum sempat memberikan minuman dari kolam itu. Hari Kiamat benar-benar akan terjadi pada saat seseorang memeras susu kambingnya dan ia belum sempat meminumnya, dan hari kiamat itu benar-benar akan terjadi pada saat seseorang mengangkat makanan yang akan dimasukkannya ke mulutnya, dan ia belum sempat memakannya.” (Riwayat al-Bukhari, Muslim dari Abu Hurairah)

Ayat 50

Demikian cepat datangnya peristiwa itu, dan amat tiba-tiba, sehingga mereka tidak mempunyai kesempatan sedikit pun untuk berwasiat atau meninggalkan pesan kepada keluarganya, dan tidak pula dapat kembali berkumpul dengan mereka. Masing-masing menghadapi persoalannya sendiri, menunggu keputusan dari pengadilan Tuhan Yang Mahaadil dan Mahakuasa.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Yasin Ayat 51-54


 

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 60

0
tafsir surah al isra'
tafsir surah al isra'

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 60 bericara mengenai keadaan pasca isra’ mi’raj. Sebagian orang musyrik tidak percaya dengan kejadian itu dan menganggap Nabi Muhammad sebagai penyihir. Ayat ini turun sebagai bentuk dukungan kepada Nabi agar terus berdakwah meski mendapat tekanan.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 59


Ayat 60

Abu Ya’la dari Ummi Hani meriwayatkan bahwa pagi hari setelah Isra’, sebagian orang-orang Quraisy memperolok-olokkan Rasulullah dan meminta buktinya. Lalu beliau menggambarkan keadaan Baitul Maqdis serta menceritakan kepada mereka tentang kisah isra’. Kemudian Walid bin Mugirah berkata, Orang ini adalah penyihir.” Maka turunlah ayat ini.

Allah swt memberi dukungan kepada Rasulullah dalam melaksanakan tugas-tugas kerasulannya dan akan melindunginya dari tipu daya orang-orang yang mengingkari risalahnya dengan mengingatkan Rasul dan mewahyukan kepadanya bahwa ilmu Tuhan meliputi segala hal ihwal manusia. Maksudnya ialah Allah Mahakuasa terhadap seluruh hamba-Nya.

Mereka berada di bawah genggaman-Nya sehingga tidak dapat bergerak kecuali menurut ketentuan-Nya. Allah berkuasa melindungi Rasul-Nya dari orang-orang yang memusuhinya, sehingga mereka tidak mungkin secara semena-mena menyakiti hatinya.

Allah swt berfirman:

وَاللّٰهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِۗ

Dan Allah memelihara engkau dari (gangguan) manusia. (al-Ma’idah/5: 67)

Menurut keterangan al-Hasan, Allah swt akan menghalangi setiap usaha mereka untuk membunuh Nabi. Allah swt berfirman:

وَاِذْ يَمْكُرُ بِكَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لِيُثْبِتُوْكَ اَوْ يَقْتُلُوْكَ اَوْ يُخْرِجُوْكَۗ وَيَمْكُرُوْنَ وَيَمْكُرُ اللّٰهُ ۗوَاللّٰهُ خَيْرُ الْمَاكِرِيْنَ

Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan tipu daya terhadapmu (Muhammad) untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka membuat tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Allah adalah sebaik-baik pembalas tipu daya.    (al-Anfal/8: 30)

Allah menjelaskan juga pengingkaran orang-orang Quraisy terhadap apa yang diperlihatkan kepada Nabi Muhammad pada malam Isra’ dan Mi‘raj, seperti pohon zaqqµm yang tumbuh di neraka. Hal ini sebagai ujian, siapakah di antara umatnya yang benar-benar beriman dan siapa yang ingkar.


Baca juga: Tafsir Surah Al-Kahfi Ayat 1-5: Pujian kepada Allah dan Fungsi Al-Quran sebagai Pedoman yang Lurus


Mereka yang benar-benar beriman bertambah kuat imannya, akan tetapi mereka yang imannya hanya di mulut saja, bertambah ingkar. Pohon zaqqµm yang disebutkan dalam Al-Qur’an juga menjadi ujian kepada mereka, pada saat mereka mendengar kaum Muslimin membacakan ayat:

اِنَّ شَجَرَتَ الزَّقُّوْمِۙ  ٤٣  طَعَامُ الْاَثِيْمِ ۛ   ٤٤

Sungguh pohon zaqqum itu, makanan bagi orang yang banyak dosa. (ad-Dukhan/44: 43-44)

Mereka memperselisihkannya; orang yang imannya kuat, bertambah kuat imannya, tetapi orang yang mengingkari kerasulan Muhammad saw bertambah kekafirannya. Abu Jahal, misalnya, termasuk orang yang mengingkarinya.

Ketika itu ia berkata, “Sebenarnya anak Abu Kabsyah (Muhammad saw) mengancam kamu dengan ancaman neraka, yang bahan bakarnya batu, kemudian ia mengira di neraka itu tumbuh pohon, padahal kamu tahu bahwa api itu membakar pohon.” ‘

Abdullah bin az-Zibara ber-kata, “Sebenarnya Muhammad menakut-nakuti kami dengan pohon zaqqµm itu tiada lain kecuali kurma dan keju, maka telanlah.” Mereka lalu makan kurma dan keju itu.

Orang-orang musyrik Quraisy tidak mempercayai bahwa di neraka ada tumbuh-tumbuhan yang disebut pohon zaqqµm, karena mereka beranggapan bahwa api memusnahkan segalanya. Mereka tidak mengetahui bahwa di dunia ini juga terdapat keajaiban-keajaiban yang mencengangkan, terlebih-lebih lagi di akhirat. Misalnya di dunia ada semacam serat yang tak terbakar oleh api (asbes).

Bahan ini sering dipergunakan untuk bahan baju yang tahan api. Bumi ini mengandung api (yaitu magma) di dalam perut bumi yang akan terlihat pada saat gunung api meletus, tetapi di atasnya tumbuh pohon-pohon yang menghijau. Kayu atau batu pun dapat mengeluarkan api pada saat digosok-gosokkan.

Di dalam air pun terdapat unsur oksigen yang menyebabkan api menyala. Singkatnya, hati orang-orang kafir Quraisy tidak mau menerima kebenaran Al-Qur’an. Keingkaran mereka kepada ar-ru’ya (mimpi atau yang dilihat Nabi saw pada waktu isr±’) dan pohon zaqqµm merupakan bukti yang jelas akan keingkaran mereka.

Allah swt berfirman:

اِنَّا جَعَلْنٰهَا فِتْنَةً لِّلظّٰلِمِيْنَ  ٦٣  اِنَّهَا شَجَرَةٌ تَخْرُجُ فِيْٓ اَصْلِ الْجَحِيْمِۙ  ٦٤  طَلْعُهَا كَاَنَّهٗ رُءُوْسُ الشَّيٰطِيْنِ  ٦٥

Sungguh, Kami menjadikannya (pohon zaqqµm itu) sebagai azab bagi orang-orang zalim. Sungguh, itu adalah pohon yang keluar dari dasar neraka Jahim, mayangnya seperti kepala-kepala setan. (as-Saffat/37: 63-65)

Di akhir ayat ditegaskan bahwa Allah hendak mengingatkan mereka akan siksaan-Nya, tetapi yang demikian itu hanya akan menambah mereka bergelimang dalam kedurhakaan dan kesesatan.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 61-63


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 59

0
tafsir surah al isra'
tafsir surah al isra'

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 59 berbicara mengenai permintaan nakal yang diajukan oleh orang-orang musyrik. Mereka meminta kepada Nabi Muhammad SAW agar mengubah gunung jadi emas dan mengubah bukit jadi lahan pertanian.


Baca juga: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 56-58


Ayat 59

Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa ia berkata, “Penduduk Mekah meminta kepada Nabi saw agar mengubah gunung Safa menjadi gunung emas, dan menghilangkan bukit agar tanahnya bisa diguna-kan untuk pertanian.

Malaikat mengatakan kepada Nabi, “Jika engkau mau memenuhi permintaan mereka, penuhilah. Apabila mereka mengingkari, mereka dapat dibinasakan seperti umat-umat terdahulu.” Nabi bersabda, “Tetapi saya ingin menunda permintaan mereka.” Kemudian Allah menurun-kan ayat ini.”

Allah menjelaskan bahwa tidak ada yang mampu menghalangi ter-laksananya mukjizat yang diberikan kepada rasul-Nya. Orang-orang dahulu yang mendustakan tanda-tanda kekuasaan-Nya (mukjizat) seperti yang telah diberikan kepada para rasul-Nya yang terdahulu, akan dimusnahkan.

Begitu pula orang-orang Quraisy yang meminta kepada Nabi Muhammad saw, supaya Allah menurunkan pula tanda-tanda kekuasaan-Nya kepada mereka. Akan tetapi, Allah tidak mengabulkannya, karena bila tanda-tanda kekuasaan Allah itu diturunkan, pasti mereka mendustakannya juga dan tentulah mereka akan dibinasakan seperti umat-umat yang dahulu.

Sedang Allah tidak akan membinasakan orang-orang Quraisy, karena di antara keturunan mereka ada yang diharapkan menjadi orang-orang yang beriman.


Baca juga: Tafsir Surah Al-Isra Ayat 78: Matahari sebagai Petunjuk Waktu Salat


Allah swt menjelaskan bahwa Dia telah memberikan tanda-tanda kekuasaan-Nya (mukjizat-Nya) kepada Nabi Saleh, seperti yang diminta oleh kaum Samud yaitu unta betina yang dapat mereka saksikan sendiri.

Rasulullah bersabda:

عَنِ الرَّبِيْعِ بْنِ أَنَسٍ قَالَ: قَالَ النَّاسُ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَوْجِئْتَنَا بِاٰيَةٍ كَمَا جَاءَ بِهَا صَالِحٌ وَالنَّيِبُّوْنَ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنْ شِئْتُمْ دَعَوْتُ الله فَأَنْزَلَهَا عَلَيْكُمْ فَإِنْ عَصَيْتُمْ هُلِكْتُمْ فَقَالُوْا لاَ نُرِيْدُهَا. (رواه البيهقي فى دلائل النبوة)

Diriwayatkan dari ar-Rabi’ bin Anas, ia berkata, “Orang-orang Quraisy berkata kepada Rasulullah saw, “(Kami mau beriman), seandainya didatangkan kepada kami tanda-tanda kekuasaan Allah, seperti yang didatangkan oleh Nabi Saleh dan para nabi (kepada umat mereka).” Kemudian Rasulullah saw bersabda, “Kalau kamu sekalian menginginkan agar saya berdoa kepada Allah, tentulah Allah akan menurunkan (tanda-tanda kekuasaan itu) kepadamu. Tetapi apabila kamu membangkang juga, tentulah kamu akan dibinasakan.” Kemudian mereka berkata, “Kami tidak menginginkan.” (Riwayat al-Baihaqi)

Allah menjelaskan bahwa pada akhirnya kaum Samud tetap tidak menjadi orang-orang yang beriman, bahkan mereka menganiaya unta betina yang menjadi mukjizat Nabi Saleh itu dan menyembelihnya. Allah swt lalu membinasakan mereka karena dosa-dosa mereka, dan menyamaratakan mereka dengan tanah.

Di akhir ayat ini, Allah swt menjelaskan bahwa Dia memberikan tanda-tanda kekuasaan itu untuk mengingatkan manusia agar mengambil pelajaran darinya, sehingga mereka bertobat dan kembali mengikuti bimbingan Allah swt seperti yang diserukan oleh para nabi dan rasul-Nya.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 60


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 56-58

0
tafsir surah al isra'
tafsir surah al isra'

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 56-58 berbicara mengenai tiga hal. Pertama mengenai tantangan kepada orang-orang yang menyekutukan Allah SWT. Kedua berbicara mengenai kekeliruan besar yang telah dilakukan oleh orang musyrik. Ketiga mengenai ancaman bagi pengingkar hari kiamat.


Baca juga: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 54-55


Ayat 56

Sabab nuzul ayat ini ialah sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Ibnu Mas’µd bahwa ada manusia yang menyembah manusia dan jin. Jin tersebut sebagian masuk Islam, dan sebagian lagi tetap dalam keyakinannya. Maka turunlah ayat ini.

Dalam ayat ini, Allah memerintahkan Rasul-Nya agar mengatakan kepada kaum musyrikin Mekah ucapan berikut ini, “Pada saat kamu ditimpa bahaya, seperti kemiskinan dan serangan penyakit, cobalah panggil mereka yang kamu anggap tuhan selain Allah, apakah tuhan-tuhan itu mampu menghilangkan bahaya yang menimpa kamu?”

Maka dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa orang-orang yang mereka anggap tuhan itu tidak akan mampu menolak bahaya atau memindahkannya kepada orang lain. Sebab, mereka memang tidak mempunyai kekuasaan untuk melakukan yang demikian.

Yang mempunyai kekuasaan dan kemampuan untuk menghilang-kan bahaya itu ialah Pencipta alam semesta ini dan sekaligus Pencipta mereka, yaitu Allah Yang Maha Esa. Oleh karena itu, Allah itulah yang harus disembah.

Ayat 57

Di atas telah disebutkan bahwa kaum musyrik menyembah para malaikat, jin, Nabi Isa, dan ‘Uzair. Mereka menganggapnya sebagai tuhan yang dapat menghilangkan bahaya dan kemudaratan mereka.

Lalu Allah menyebutkan bahwa yang mereka sembah itu sendiri sebenarnya mencari wasilah (jalan) untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Jalan itu tidak lain ialah taat kepada perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.

Imam at-Tirmizi dan Ibnu Mardawaih meriwayatkan sebuah hadis dari Abu Hurairah, ia berkata:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  سَلُوا اللهَ لِيَ الْوَسِيْلَةَ، وَمَا الْوَسِيْلَةُ؟ قَالَ: اَلْقُرْبُ مِنَ اللهِ ثُمَّ قَرَأَ هٰذِهِ الْاٰيَةَ.

Rasulullah saw bersabda, “Mohonkanlah wasilah untukku kepada Allah.” Mereka bertanya, “Apakah wasilah itu? Nabi pun berkata, “Mendekatkan diri kepada Allah.” Kemudian Nabi membaca ayat ini (ayat 57).

Lebih lanjut Allah menjelaskan bahwa orang-orang yang paling dekat sekalipun, di antara para malaikat, jin, Nabi Isa, dan ‘Uzair, kepada Allah tetap mencari wasilah untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dengan menaati dan menghambakan diri kepada-Nya. Oleh karena itu, apakah mereka layak disembah? Mengapa kamu tidak langsung saja menyembah Allah?

Pada bagian akhir ayat ini, Allah swt menyebutkan bahwa sesungguhnya azab Tuhan adalah hal yang (harus) ditakuti oleh siapa pun, baik para malaikat, para rasul dan nabi-Nya, maupun manusia seluruhnya.


Baca juga: Tafsir Surah Ath-Thur Ayat 21: Orang-Orang Beriman Akan Bersama Anak-Cucunya di Surga


Ayat 58

Allah swt memberikan peringatan kepada kaum musyrikin Mekah yang mengingkari terjadinya hari kebangkitan, hari pembalasan, dan kerasulan Muhammad, bahwa tidak ada suatu negeri pun yang penduduknya durhaka, melainkan dibinasakan keseluruhannya, sebelum hari kiamat datang atau ditimpa bencana yang hebat karena dosa dan keingkaran mereka kepada nabi-nabi yang pernah diutus kepada mereka.

Allah swt berfirman:

وَكَاَيِّنْ مِّنْ قَرْيَةٍ عَتَتْ عَنْ اَمْرِ رَبِّهَا وَرُسُلِهٖ فَحَاسَبْنٰهَا حِسَابًا شَدِيْدًاۙ وَّعَذَّبْنٰهَا عَذَابًا نُّكْرًا   ٨  فَذَاقَتْ وَبَالَ اَمْرِهَا وَكَانَ عَاقِبَةُ اَمْرِهَا خُسْرًا   ٩

Dan betapa banyak (penduduk) negeri yang mendurhakai perintah Tuhan mereka dan rasul-rasul-Nya, maka Kami buat perhitungan terhadap penduduk negeri itu dengan perhitungan yang ketat, dan Kami azab mereka dengan azab yang mengerikan (di akhirat). Sehingga mereka merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya, dan akibat perbuatan mereka, itu adalah kerugian yang besar. (at-Talaq/65: 8-9)

Allah swt menjelaskan bahwa yang demikian itu telah tercantum dalam kitab Allah, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam at-Tirmizi dari ‘Ubadah bin Sāmit ia berkata, “Saya telah mendengar Rasulullah saw bersabda:

إِنَّ اَوَّلَ مَا خَلَقَ اللهُ الْقَلَمُ، فَقَالَ لَهُ اكْتُبْ. فَقَالَ مَا اَكْتُبُ؟ قَالَ: اُكْتُبِ الْمُقَدَّرَ وَمَا هُوَ كَائِنٌ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ. (رواه الترمذي عن عبادة بن الصامت)

Sebenarnya yang diciptakan pertama kali oleh Allah ialah qalam (pena), kemudian Allah swt berfirman pada qalam itu, “Catatlah,” lalu qalam itu berkata, “Apa yang akan saya catat?” Allah swt berfirman, “Catatlah hal-hal yang telah ditentukan, dan apa yang akan terjadi hingga hari kiamat.” (Riwayat Imam at-Tirmizi dari ‘Ubadah bin Sāmit).


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 59


(Tafsir Kemenag)

Ragam Pemaknaan Kata Rabb dalam Surah al-Fatihah Ayat 2 dan Kaitannya dengan Pendidikan

0
Kata Rabb
Kata Rabb dalam Surah Al-Fatihah Ayat 2

Lafaz rabb (رَبّ) dalam Q.S. al-Fatihah(1): 2 menjadi salah satu term pembahasan utama dalam kajian Tafsir Tarbawi. Kata rabb (رَبّ) sangat erat hubungannya dengan istilah tarbiyyah apabila dirunut dengan menggunakan pendekatan ilmu Sharf. Alasan mendasar inilah yang menjadikan kajian atas Q.S. al-Fatihah ayat 2 menjadi salah satu kajian yang tidak bisa dilepaskan dari Tafsir Tarbawi.

Maka melihat ragam penafsiran Surah al-Fatihah ayat 2 oleh para mufasir secara umum maupun mufasir yang concern di bidang Tafsir Tarbawi akan menjadi suatu kajian yang menarik. Sebab selain menyimak pemaknaan para mufassir terkait kata rabb (رَبّ) serta implikasinya terhadap makna Tuhan sebagai rabb al-‘alamin, pembaca juga dapat melihat hubungan ayat tersebut dalam upaya memperluas wacana Tafsir Tarbawi.

Rabb (رَبّ): Satu Kata Ragam Makna

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ

Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam

Penafsiran atas ayat ini dibuka dengan penafsiran dari Ibn Abbas—seorang mufasir kenamaan di era Sahabat yang mendapat doa khusus dari Nabi Saw. Ia menjelaskan frasa rabb al-‘alamin lebih pada orientasi Tauhid sebagaimana penjelasannya berikut ini,

رب كل ذي روح دب على وجه الأرض ومن أهل السماء ويقال سيد الجن والإنس ويقال خالق الخلق ورزاقهم ومحولهم منحال إلى حال

Rabb al-‘alamin bermakna Rabb segala sesuatu yang memiliki ruh yang berjalan di muka bumi ini serta penduduk langit. Rabb al-‘alamin juga disebut sebagai sayyid al-jin wa al-ins serta khaliq al-khalq, pemberi rizki semuanya dan mengatur keadaan mereka dari satu keadaan ke keadaan yang lain”.

Baca Juga: Tafsir Tarbawi: Pentingnya Nalar Induktif bagi Kemajuan Pendidikan Islam

Penafsiran Ibn Abbas tidak memiliki tendensi untuk mengorientasikan penafsiran rabb dengan tarbiyah. Ia lebih condong memperluas makna rabb dalam konteks kalimat rabb al-‘alamin dalam ranah Tauhid. Hal ini juga diikuti oleh Ibn Katsir yang menambahkan keterangan bahwa lafadz rabb hanya boleh dipakai untuk/oleh Allah Swt. saja.

Lain halnya dengan al-Baidhawi yang dalam karya tafsirnya memberikan orientasi baru atas makna rabb. Berikut ini penafsirannya,

الرب في الأصل مصدر بمعنى التربية وهي تبليغ الشيئ إلى كماله شيئا فشيئا

Rabb merupakan bentuk masdar yang bermakna tarbiyyah (pendidikan, pemeliharaan, dll) yaitu sebuah aktivitas mengantarkan sesuatu kepada bentuk sempurnanya secara step by step”.

Penjelasan al-Baidhawi ini diikuti oleh al-Zamakhsyari serta Ibn ‘Ajibah yang semuanya berangkat dari menyepadankan makna rabb dan tarbiyah. Orientasi makna tarbawi juga dapat dilihat dalam pendapat al-Sa’di serta Quraish Shihab yang menafsirkan rabb dengan menyepadankan maknanya dengan bentuk pelaku (isim fa’il)—murabbi—yang bermakna pendidik atau pemelihara.

Para mufassir yang telah disebutkan penafsirannya tersebut merupakan mufassir yang tidak concern dalam ranah Tafsir Tarbawi. Namun dalam redaksi penafsirannya, sebagian mufasir belum memperlihatkan keterkaitan rabb dengan aktivitas tarbiyyah  dan sebagian lainnya sudah.

Jika dianalisa, maka ragam penafsiran tersebut didapati dari metode penafsiran yang diaplikasikan oleh masing-masing mufassir. Di mana mufassir yang tidak memperhatikan aspek semantik dari kata rabb cenderung mengorientasikan penafsirannya dalam ranah Tauhid, sedangkan yang mencoba mengolah sisi semantik dari kata rabb akan terlihat memberikan nuansa tarbawi dalam penafsirannya.

Lalu bagaimana dengan mufassir yang concern dalam ranah Tafsir Tarbawi? Dari mana mereka berangkat dalam penafsirannya sehingga mampu memberi nuansa tarbawi dalam penafsirannya? Simak penafsiran beberapa mufassir tarbawi kenamaan Indonesia berikut ini.

Dalam diskursus ini, nama Abuddin Nata dengan karyanya Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan mungkin menjadi salah satu referensi otoritatif sejauh ini. Dengan karyanya tersebut—yang booming di tahun 2002, ia berhasil memberikan wacana baru bagi ranah kajian tafsir.

Nata menafsirkan Q.S. al-Fatihah(1): 2 dengan murni berangkat dari horisonnya sebagai pendidik. Ia memaknai kata rabb (رَبّ) sebagai pemilik yang mendidik yaitu subjek yang mempengaruhi objek yang didiknya dan memikirkan keadaannya. Dari definisi tersebut, Nata membagi pendidikan yang dilakukan oleh Allah menjadi dua macam model.

Pertama, Allah melakukan pendidikan, pembinaan atau pemeliharaan terhadap kejadian fisik makhluknya yang terlihat pada pengembangan jasad atau fisik sehingga mencapai kedewasaan. Kedua, pendidikan terhadap potensi kejiwaaan dan akal pikirannya, pendidikan keagamaan dan akhlaknya yang terjadi dengan diberikannya potensi-potensi tersebut kepada manusia sehingga dengan itu semua manusia dapat mencapai kesempurnaan akalnya dan bersih jiwanya.

Penafsiran Abuddin Nata tersebut dalam hemat analisa penulis setidaknya memberikan tiga poin yang menarik: 1) Nata memaknai kata rabb (رَبّ) sebagai “pemilik yang mendidik” yang terkesan mengkompromikan pendapat yang berorientasi tauhid dan tarbawi; 2) Nata mengembangkan makna rabb al-‘alamin ke dalam dua orientasi tarbiyyah atau pendidikan, pemeliharaan atau pembinaan yaitu jasmani dan rohani; 3) penafsiran Nata berpotensi untuk dikontekstualisasikan sebagai sebuah sistem pendidikan ideal saat ini.

Jika membandingkan ragam penafsiran para mufassir umum dan mufassir tarbawi, maka akan dijumpai perbedaan yang cukup mencolok. Sebab mufassir umum tidak berupaya untuk mengembangkan nuansa tarbawi dan bahkan ada yang tidak memberikan atensi pada orientasi tarbawi, sedangkan mufassir tarbawi akan berupaya mengembangkan makna dalam upaya memperluas wacana Tafsir Tarbawi.

Baca Juga: Tafsir Tarbawi: Dasar Pendekatan Saintifik dalam Pendidikan Islam

Maka kesimpulan yang dapat diambil dan perlu dipahami bahwa setiap mufassir selalu berangkat dari sebuah kepentingan. Hassan Hanafi dalam karyanya Islam in the Modern World: Religion, Ideology and Development mengemukakan pendapat risetnya bahwa,

“Setiap penafsiran, baik yang menggunakan pendekatan riwayat (bil ma’tsur) maupun rasional (bil ra’yi) selalu berangkar dari kepentingan. Tidak ada penafsiran yang sepenuhnya objektif, absolut dan universal”.

Penekanan atas pemahaman ini diperlukan untuk memberikan sebuah underlined point bahwa keragaman dalam penafsiran adalah hal lumrah. Hal ini penulis rumuskan dengan kaidah: li kull mufassir ra’y, wa li kull ra’yih manahijuh (setiap mufassir memiliki pemikirannya masing-masing dan setiap pemikirannya memiliki metode-metode tersendiri). Wallahu a’lam bish shawab.

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 54-55

0
tafsir surah al isra'
tafsir surah al isra'

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 54-55 berbicara mengenai dua hal. Pertama mengenai kehendak Allah SWT. Bila Allah berkehendak memberi rahmat maka akan selamat begitupun sebaliknya. Kedua berbicara mengenai salah satu contoh kehendakNya, yaitu siapa yang dipilih oleh Allah menjadi seorang nabi dan rasul.


Baca juga: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 52-53


Ayat 54

Allah swt menjelaskan bahwa Dialah yang lebih mengetahui tentang keadaan orang-orang musyrik itu. Bila Allah menghendaki, tentu Dia akan memberikan rahmat-Nya dengan jalan memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada mereka, sehingga selamat dari kesesatan dan menjadi manusia yang patuh. Tetapi bila Dia menghendaki untuk menyiksanya, tentu mereka tidak akan memperoleh hidayah untuk beriman.

Dalam ayat ini terdapat isyarat bahwa kaum Muslimin tidak boleh menghina kaum musyrikin, dan mengatakan mereka sebagai ahli neraka. Kepastian seseorang masuk neraka ataupun tidak, termasuk masalah gaib yang hanya diketahui Allah swt. Kaum Muslimin juga tidak boleh melaku-kan sesuatu yang membuat mereka malu, karena yang demikian itu hanya menyebabkan mereka dengki dan menimbulkan permusuhan.

Di akhir ayat ditegaskan bahwa Allah tidak mengutus Rasul-Nya untuk memaksa mereka melakukan apa yang diridai-Nya. Akan tetapi, Allah mengutusnya sebagai pemberi berita gembira dan peringatan. Itulah sebab-nya Allah melarang Rasulullah melakukan pemaksaan terhadap mereka, dan memerintahkan agar semua sahabatnya bersikap lapang dada.


Baca juga: Tafsir Surah Ath-Thur Ayat 21: Orang-Orang Beriman Akan Bersama Anak-Cucunya di Surga


Ayat 55

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah swt lebih mengetahui keadaan hamba-Nya yang di langit atau di bumi, yang tampak ataupun yang tidak. Dia memilih di antara hamba-Nya, siapa yang pantas menerima tugas kenabian dan pengetahuan agama. Dia pula yang melebihkan hamba yang satu dari hamba yang lainnya, sesuai dengan ilmu dan kuasa-Nya semata.

Ayat ini juga merupakan sanggahan terhadap kaum musyrikin yang mengatakan  bahwa jauh kemungkinannya Muhammad yang hanya seorang anak yatim piatu dan diasuh oleh pamannya, Abµ Talib, menjadi seorang nabi.

Kalau pengikut-pengikutnya hanyalah orang-orang kelaparan, dan berpakaian compang-camping, tidak mungkin orang bangsawan dan pemuka-pemuka Quraisy mau menjadi pengikutnya.

Penyebutan bahwa Allah lebih mengetahui makhluk-Nya yang ada di langit dan di bumi pada ayat ini merupakan sanggahan terhadap dugaan dan keinginan mereka bahwa sepatutnya Allah mengirim malaikat atau orang besar dari Mekah atau Taif, untuk menjadi utusan-Nya. Firman Allah:

 لَوْلَآ اُنْزِلَ عَلَيْنَا الْمَلٰۤىِٕكَةُ

Mengapa bukan para malaikat yang diturunkan kepada kita. (al-Furqan/25: 21)

Firman Allah pula:

وَقَالُوْا لَوْلَا نُزِّلَ هٰذَا الْقُرْاٰنُ عَلٰى رَجُلٍ مِّنَ الْقَرْيَتَيْنِ عَظِيْمٍ

Dan mereka (juga) berkata, ”Mengapa Al-Qur’an ini tidak diturunkan kepada orang besar (kaya dan berpengaruh) dari salah satu dua negeri ini (Mekah dan Taif)?” (az-Zukhruf/43: 31)

Di antara hamba Allah yang dipilih untuk menjadi utusan-Nya ialah mereka yang mempunyai keutamaan rohani dan jiwa yang bersih. Allah swt melebihkan sebagian nabi atas sebagian yang lain sesuai dengan pilihan-Nya juga, seperti Nabi Ibrahim diberi keistimewaan sehingga diberi gelar Khalilullah dan Nabi Musa diberi keistimewaan pula sehingga diberi gelar Kalimullah.

Nabi Muhammad diberi mukjizat yang tertinggi di antara semua mukjizat yaitu Al-Qur’an dan diberi kemuliaan menghadap langsung ke hadirat-Nya ketika Isra’ dan Mi’raj.

Allah swt berfirman:

تِلْكَ الرُّسُلُ فَضَّلْنَا بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍۘ مِنْهُمْ مَّنْ كَلَّمَ اللّٰهُ وَرَفَعَ بَعْضَهُمْ دَرَجٰتٍۗ وَاٰتَيْنَا عِيْسَى ابْنَ مَرْيَمَ الْبَيِّنٰتِ وَاَيَّدْنٰهُ بِرُوْحِ الْقُدُسِۗ

Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian mereka dari sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang (langsung) Allah berfirman dengannya dan sebagian lagi ada yang ditinggikan-Nya beberapa derajat. Dan Kami beri Isa putra Maryam beberapa mukjizat dan Kami perkuat dia dengan Rohulkudus. (al-Baqarah/2: 253)

Di akhir ayat, Allah menyebutkan bahwa Dia telah memberikan Zabur kepada Daud a.s. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa keutamaan Nabi Daud, bukan hanya karena menjadi raja, tetapi karena ia juga memperoleh kitab dari Allah.

Penyebutan Zabur secara khusus dalam ayat ini karena dalam kitab itu disebutkan bahwa Nabi Muhammad adalah nabi penutup dan umatnya adalah umat yang baik pula.

Allah swt berfirman:

وَلَقَدْ كَتَبْنَا فِى الزَّبُوْرِ مِنْۢ بَعْدِ الذِّكْرِ اَنَّ الْاَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِيَ الصّٰلِحُوْنَ

Dan sungguh, telah Kami tulis di dalam Zabur setelah (tertulis) di dalam Az-Zikr (Lauḥ Maḥfµ§), bahwa bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang saleh. (al-Anbiya’/21: 105)

Yang dimaksud dengan hamba-hamba-Ku yang saleh dalam ayat di atas adalah Nabi Muhammad dan umatnya.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 56-57


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Fatir Ayat 29: 3 Perniagaan yang Tidak Akan Pernah Rugi

0
Tafsir Surat Fatir Ayat 29: 3 Perniagaan yang Tidak Akan Pernah Rugi
Perniagaan yang Tidak Akan Pernah Rugi

Dalam kegiatan bisnis (perniagaan), adakalanya seseorang mendapatkan keuntungan dan adakalanya mendapatkan kerugian. Setiap orang tentu berharap perniagaan yang sedang dilakukannya akan selalu mendatangkan laba (keuntungan). Namun, jangan dinafikan bahwa dalam berbisnis terkadang seseorang akan berada pada posisi jatuh (mendapatkan kerugian). Nah, ada tiga jenis perniagaan yang tidak akan pernah mengalami kerugian sebagaimana dinyatakan dalam QS. Fatir ayat 29. Simak penjelasannya berikut:

Perniagaan yang Tidak Akan Rugi

Di dalam al-Qur’an ada satu ayat di mana Allah Swt menyebutkan jenis-jenis perniagaan yang tidak akan pernah mengalami kerugian atau dengan kata lain perniagaan yang akan selalu memberikan keutungan. Allah Swt berfirman:

إِنَّ ٱلَّذِينَ يَتۡلُونَ كِتَٰبَ ٱللَّهِ وَأَقَامُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَنفَقُواْ مِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ سِرّٗا وَعَلَانِيَةٗ يَرۡجُونَ تِجَٰرَةٗ لَّن تَبُورَ

Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah (Al-Qur`ān), mendirikan salat, dan menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepadanya dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perdagangan yang tidak akan rugi. (QS. Fatir (35): 29).

Dalam ayat tersebut Allah menyebutkan tiga jenis ibadah (amal saleh) yang diumpamakan dengan perniagaan – antara seorang hamba dengan Allah — yang tidak akan mengalami kerugian atau dalam kata lain perniagaan yang pasti akan memberikan keuntungan; pertama, membaca al-Qur’an. Kedua, melaksanakan (menegakkan) salat. Ketiga, menginfakkan sebagian rezeki baik secara diam-diam maupun terang-terangan.

Baca juga: Tafsir Surah An-Nisa’ ayat 29: Prinsip Jual Beli dalam Islam

Tafsir Surah Fatir Ayat 29

Ibnu Katsir (w. 774 H) dalam kitabnya Tafsīr al-Qur’an al-Azhīm atau yang masyhur dengan Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan bahwa dalam ayat tersebut – QS. Fatir ayat 29 — Allah Ta’ala mengabarkan kepada para hamba-Nya yang beriman, yang senantiasa membaca kitab-Nya, mengimaninya, dan mengamalkan apa yang terkandung di dalamnya, lalu hamba tersebut menegakkan salat, menginfakkan sebagian rezeki yang telah Allah karuniakan pada hal-hal yang disyari’atkan baik di waktu malam maupun siang, dan baik secara diam-diam maupun terang-terangan, bahwa hamba tersebut sungguh telah mengharapkan perniagaan yang tidak akan pernah rugi.

Kemudian Ibnu katsir menjelaskan maksud dari “mereka mengharapkan perniagaan yang tidak akan pernah rugi” adalah mereka mengharapkan pahala di sisi Allah atas segala amal yang telah dilakukan. Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala pada ayat berikutnya:

لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُوْرَهُمْ وَيَزِيْدَهُمْ مِّنْ فَضْلِهِ ۚ إِنَّهُ غَفُوْرٌ شَكُوْرٌ

Artinya: Agar Allah menyempurnakan pahalanya kepada mereka dan menambah karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri. (QS. Fatir (35): 30).

Maksud dari ayat tersebut – QS. Fatir (35) ayat 30 — adalah agar Allah menyempurnakan pahala-pahala dari segala ibadah yang telah mereka lakukan dan melipatgandakannya dengan menambahkan beberapa karunia dari yang telah diberikan sebelumnya. Kemudian, Allah juga akan mengampuni segala dosa mereka, karena amat sedikit orang-orang yang mengerjakan amalan-amalan seperti mereka. (Tafsir Ibnu Katsir, 1997).

As-Sa’di (w. 1376 H) dalam kitab tafsirnya Taisir al-Karīm ar-Rahmān fī Tafsīr Kalām al-Mannān atau yang masyhur dengan Tafsir as-Sa’di menjelaskan makna dari ayat tersebut – QS. Fatir ayat 29 — adalah mereka senantiasa mengikuti (petunjuk) al-Qur’an terkait dengan segala perintah yang ada di dalamnya, lalu mereka senantiasa menjauhi dan meninggalkan segala larangan yang ada di dalamnya. Selain itu, mereka juga membenarkan al-Qur’an, meyakininya – bersumber dari Allah Swt —, dan tidak mendahulukan sesuatu apapun berupa qaul-qaul (perkataan-perkataan) yang menyelisihi al-Qur’an. Kemudian, mereka juga selalu membaca setiap lafadznya dan mempelajari isinya atau makna-maknanya.

Baca juga: Surah Al-An’am [6] Ayat 164: Seseorang Tidak Akan Memikul Dosa Orang Lain

Selanjutnya perkara khusus setelah membaca dan mempelajari al-Qur’an adalah salat. Salat merupakan tiang (pondasi) agama, cahaya bagi kaum Muslimin, barometer keimanan, serta tanda benarnya keislaman seorang hamba. Terakhir, menginfakkan sebagaian harta yang telah dikaruniakan kepada mereka. Infak ini dapat diberikan kepada karib-kerabat, orang-orang miskin, anak-anak yatim, dan selainnya baik secara diam-diam maupun terang-terangan. infak di sini mencakup zakat, sedekah, nadzar, dan pembayaran kafarat.

Ketiga hal tersebut adalah perniagaan yang tidak akan pernah mendatangkan kerugian. Hal itu disebabkan semua jenis perniagaan tersebut adalah perniagaan yang paling agung, paling tinggi, dan paling utama, karena semata-mata untuk mencari rida tuhan mereka, keuntungan berupa pahala dari-Nya, serta mencari keselamatan dari kemurkaan dan siksa-Nya. Namun, dengan syarat semua hal tersebut dikerjakan secara ikhlas. (Tafsir as-Sa’di, 1442 H.).

Demikianlah tiga jenis perniagaan yang telah dijelaskan, yaitu membaca dan mengamalkan al-Qur’an, menegakkan (mendirikan) salat, serta menginfakkan sebagian harta yang telah Allah karuniakan. Ketiga perniagaan tersebut adalah jenis perniagaan yang tidak akan pernah mengalami kerugian atau dengan kata lain akan mendatangkan keuntungan, baik di dunia maupun di akhirat. Semoga kita dapat mengerjakan tiga jenis perniagaan tersebut.

Wallahu a’lam bi ash-shawwab.

Baca juga: Surah Al-Furqan [25] Ayat 67: Anjuran Bersedekah Secara Proporsional

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 52-53

0
tafsir surah al isra'
tafsir surah al isra'

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 52-53 berbicara mengenai dua hal. Pertama mengenai penjelasan tentang hari kiamat. Kedua berbicara mengenai perintah untuk selalu berkata yang baik.


Baca juga: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 50-51


Ayat 52

Kemudian dijelaskan bahwa hari kebangkitan itu adalah hari ketika Allah swt memanggil semua manusia, lalu mereka akan mematuhi panggilan itu sambil memuji-Nya.

Maksudnya ialah bahwa pada hari itu Allah dengan kemahakuasaan-Nya memanggil seluruh manusia. Lalu mereka bangkit dari kuburnya sambil memuji kekuasaan Allah yang telah membangkitkan mereka sesuai dengan janji yang telah ditetapkan.

Allah swt berfirman:

وَاسْتَمِعْ يَوْمَ يُنَادِ الْمُنَادِ مِنْ مَّكَانٍ قَرِيْبٍ   ٤١  يَوْمَ يَسْمَعُوْنَ الصَّيْحَةَ بِالْحَقِّ ۗذٰلِكَ يَوْمُ الْخُرُوْجِ   ٤٢

Dan dengarkanlah (seruan) pada hari (ketika) penyeru (malaikat) menyeru dari tempat yang dekat. (Yaitu) pada hari (ketika) mereka mendengar suara dahsyat dengan sebenarnya. Itulah hari keluar (dari kubur). (Qaf/50: 41-42)

رُوِيَ عَنْ أَنَسٍ مَرْفُوْعًا: لَيْسَ عَلَى أهل: لاَ إِلٰهَ إِلاَّ اللهُ وَحْشَةٌ فِى قُبُوْرِهِمْ، كَأَنِّيْ بِأَهْلِ لاَ إِلٰهَ إِلاَّ اللهُ يَقُوْمُوْنَ مِنْ قُبُوْرِهِمْ يَنْفُضُوْنَ التُّرَابَ عَنْ رُؤُوْسِهِمْ، يَقُوْلُوْنَ: لاَ إِلٰهَ إِلاَّ اللهُ. وفى رواية الطبراني عن ابن عمر: يَقُوْلُوْنَ اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِيْ أَذْهَبَ عَنَّا الْحَزَنَ. (رواه الطبراني)

Diriwayatkan dalam sebuah hadis marfu’ dari Anas bahwa beliau berkata, “Orang-orang yang mengucapkan, “Tiada tuhan selain Allah,” tidaklah merasa kesepian di alam kubur. Seolah aku bersama mereka keluar dari kuburnya dengan menyeka debu tanah dari kepala mereka, seraya berkata, “Tiada tuhan selain Allah.” Dalam riwayat a¯-°abr±n³ dari Ibnu Umar bahwa mereka berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan kesedihan kami.” (Riwayat at-Tabrani)

Pada saat bangkit dari kubur, mereka mengira bahwa mereka hidup di dunia tidak lama, tetapi hanya sebentar saja.

Allah swt berfirman:

كَاَنَّهُمْ يَوْمَ يَرَوْنَهَا لَمْ يَلْبَثُوْٓا اِلَّا عَشِيَّةً اَوْ ضُحٰىهَا ࣖ

Pada hari ketika mereka melihat hari Kiamat itu (karena suasananya hebat), mereka merasa seakan-akan hanya (sebentar saja) tinggal (di dunia) pada waktu sore atau pagi hari. (an-Nazi’at/79: 46) (Perhatikan pula Yµnus/10: 45)

Al-Hasan al-Basri memberi penjelasan bahwa yang dimaksud dengan dekatnya hari kebangkitan itu ialah di hari itu kamu merasa seolah-olah pernah berada di dunia, (padahal kamu sekian lama berada di sana), dan tiba-tiba kamu sekarang telah berada di akhirat dan dalam menjalani proses penghitungan amal baik dan buruk.


Baca juga: Ingin Dikenang Baik di Dunia dan Akhirat? Amalkan Doa Nabi Ibrahim Ini!


Ayat 53

Allah memerintahkan kepada Rasulullah agar mengatakan kepada semua hamba-Nya supaya mengucapkan perkataan yang lebih baik pada saat berbicara atau berdebat dengan orang-orang musyrik ataupun yang lainnya.

Agar mereka tidak menggunakan kata-kata yang kasar dan caci-maki yang akan menimbulkan kebencian, tetapi hendaklah menggunakan kata-kata yang benar dan mengandung pelajaran yang baik.

Allah swt berfirman:

اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik. (an-Nahl/16: 125).

Perhatikan pula al-‘Ankabµt/29: 46. Allah swt menjelaskan alasan larangan-Nya itu, yaitu setan bisa merusak suasana dan menyebarkan bencana di antara kaum Mukminin dengan orang-orang musyrik ketika mereka berbicara kasar dan berselisih. Perselisihan di kalangan mereka bisa menimbulkan pertentangan, bahkan perkelahian.

Dalam hal ini, Rasulullah saw pernah melarang seorang laki-laki Muslim menudingnya dengan menggunakan sepotong besi, karena khawatir kalau-kalau setan melepaskan senjata itu dari tangannya lalu meluncur mengenai Rasul. Hal ini akan menyebabkan orang itu berdosa dan dimasukkan ke dalam neraka.

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda:

وَلاَ يُشِيْرَنَّ أَحَدُكُمْ إِلَى أَخِيْهِ بِالسِّلاَحِ. فَإِنَّهُ لاَ يَدْرِى لَعَلَّ الشَّيْطَانَ يَنْزَغُ فِى يَدِهِ فَيَقَعُ فِى حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ. (رواه أحمد عن أبي هريرة)

Janganlah seorang di antara kamu mengacung- acungkan senjata kepada saudaranya, karena sesungguhnya ia tidak mengetahui, boleh jadi setan melepaskan senjata dari tangannya, sehingga dia akan masuk ke lembah neraka. (Riwayat Imam Ahmad dari Abu Hurairah)

Kemudian Allah menegaskan bahwa setan adalah musuh yang nyata bagi manusia. Permusuhan di antara keduanya sudah berlangsung lama. Dalam ayat lain Allah swt berfirman:

ثُمَّ لَاٰتِيَنَّهُمْ مِّنْۢ بَيْنِ اَيْدِيْهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ اَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَاۤىِٕلِهِمْۗ

Kemudian pasti aku akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan dan dari kiri mereka. (al-A’raf/7: 17)


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 54-55


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Yasin Ayat 43-47

0
Tafsir Surah Yasin
Tafsir Surah Yasin

Dalam Tafsir Surah Yasin Ayat 43-47 Allah menegaskan kepada manusia agar bersyukur atas ciptaan dan kekuasaan Allah. Jangan pula takabbur (sombong),atas pencapaian selama ada di dunia. Jika enggan bersyukur, dan masih tetap sombong, maka Allah menilai sebagai keingkaran, dan terhadap hamba-hamba yang ingkar, Allah dengan mudah membinasakan mereka, mengazab mereka sewaktu di dunia dengan amat pedih.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Yasin Ayat 41-42


Ayat 43

Allah memperingatkan bahwa jika Dia menghendaki untuk menenggelamkan kapal-kapal yang berlayar di lautan itu, niscaya akan terjadi. Datangnya angin badai yang kencang yang menimbulkan gelombang-gelombang yang dahsyat, akan menyebabkan kapal-kapal itu tenggelam, para penumpangnya binasa dan terkubur ke dasar laut, tidak dapat ditolong lagi.

Hal ini merupakan suatu peringatan agar manusia jangan sombong, takabur, dan merasa bahwa prestasi mereka menciptakan kendaraan yang dapat berjalan di darat, laut, dan udara adalah semata-mata karena kepandaian otaknya, bukan karena karunia dari Allah.

Dari ilmu alam kita dapat mengetahui bahwa sesuatu dapat terapung di atas air, jika berat jenis benda itu lebih ringan dari berat jenis air yang dilaluinya. Ini ketentuan atau sunatullah yang ditetapkan Allah terhadap air yang diciptakan-Nya.

Dengan menyiasati hukum alam tentang air yang dapat membuat suatu benda menjadi tenggelam dan dapat pula terapung, maka manusia dapat membuat kapal selam yang dapat menyelam jauh ke dasar laut, tetapi pada waktu yang diperlukan dapat timbul ke permukaan air.

Hal itu dilakukan dengan mengurangi udara dalam rongga kapal selam sehingga menjadi tenggelam. Akan tetapi, jika udara dipompakan lagi ke dalam rongganya, kapal selam itu akan menjadi ringan sehingga bisa terapung di permukaan air.

Ayat 44

Pada ayat ini, Allah menegaskan bahwa karena kasih sayang-Nya yang sangat besar terhadap hamba-hamba-Nya, dan agar mereka dapat bersenang-senang menikmati karunia-Nya, maka Allah tidak membiarkan kendaraan-kendaraan itu semua binasa, baik yang berjalan di darat, berlayar di permukaan dan di dalam air, maupun yang terbang di udara.

Apalagi jika orang-orang yang menggunakan kendaraan itu tidak takabur serta selalu cermat dan berhati-hati. Apabila sewaktu-waktu terjadi kecelakaan, itu adalah karena yang bersangkutan tidak berhati-hati, kurang cermat, lalai, atau sebab lainnya.

Ayat 45

Allah menerangkan bahwa andaikata terhadap orang-orang yang ingkar itu dianjurkan agar mereka menjaga diri terhadap siksaan Allah yang akan datang di kemudian hari, mereka akan tetap berpaling, tidak mau mendengarkan anjuran itu. Padahal, anjuran itu disampaikan agar mereka mendapatkan rahmat dari Allah.

Menjaga diri dari siksaan Allah ialah dengan cara bertakwa kepada-Nya, yaitu melakukan apa-apa yang diperintahkan-Nya, menjauhi segala larangan-Nya, dan mensyukuri setiap karunia-Nya. Akan tetapi, hati orang-orang yang ingkar telah tertutup terhadap kebenaran. Mereka senantiasa berpaling dari nasihat-nasihat yang baik. Oleh sebab itu, wajarlah mereka ditimpa kemurkaan dan siksaan Allah.

Ayat 46

Allah menegaskan bahwa orang-orang yang ingkar itu senantiasa memalingkan muka dari setiap tanda-tanda yang menunjukkan keesaan dan kekuasaan-Nya, serta mengakui kerasulan utusan-Nya. Hati mereka telah buta, walaupun mata kepala mereka dapat melihat dengan terang semua tanda-tanda tersebut.


Baca Juga: Membayar Utang Adalah Tanda Bagi Keimanan Seseorang


Ayat 47

Allah menyebutkan sisi lain dari keingkaran mereka, yaitu keengganan mereka menyumbangkan sebagian harta yang telah dikaruniakan-Nya kepada mereka. Apabila kepada mereka dianjurkan menafkahkan harta bagi kepentingan fakir miskin dan orang yang memerlukan bantuan, mereka menjawab kepada orang-orang beriman yang menganjurkan itu, “Apa perlunya kami memberi mereka itu makan, karena Allah dapat memberi makan bila Allah menghendaki.”

Di samping itu, mereka mengatakan bahwa orang-orang mukmin yang suka menyumbangkan harta benda untuk membantu fakir miskin itu adalah orang-orang yang sesat dan bodoh.

Alangkah jauh pendapat mereka itu dari kebenaran. Menyumbangkan sebagian harta benda dan menolong orang lain berupa sumbangan wajib, seperti zakat, maupun sumbangan suka rela, seperti sedekah, merupakan perwujudan dari rasa iman dan syukur atas nikmat Allah, dan sekaligus menghilangkan sifat bakhil dari jiwa manusia. Harta benda, menurut ajaran Islam mempunyai fungsi sosial, bukan hanya untuk kepentingan diri sendiri.

Harta benda haruslah dijadikan alat untuk mempererat tali persaudaraan, solidaritas, dan kegotongroyongan. Manusia tidak akan dapat hidup sendiri, tanpa mengharapkan pertolongan orang lain dalam berbagai keperluan hidup, walau pun ia seorang yang kaya raya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Yasin Ayat 48-50


Tafsir Surah Yasin Ayat 41-42

0
Tafsir Surah Yasin
Tafsir Surah Yasin

Masih terkait dengan kekuasaan Allah Swt., dalam Tafsir Surah Yasin Ayat 41-42 juga dijelaskan bahwa kapal yang berlayar dilaut juga bagian dari kekuasaan Allah Swt. Allah-lah yang memperlayarkan kapal tersebut, mengatur angin, mengaruskan air, sehingga kapal tersebut bisa berlayar dengan nyaman.

Selain itu, Allah pula yang menciptakan kendaraan lainnya,  supaya manusia dapat memanfaatkan, serta mengembangkannya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Yasin Ayat 37-40


Ayat 41

Pada ayat ini, Allah mengemukakan bahwa kapal yang berlayar di tengah samudera merupakan salah satu bukti kebesaran dan kekuasaan-Nya. Kapal itu mengangkut manusia dan barang-barang keperluannya dari suatu negeri ke negeri yang lain, baik yang berdekatan letaknya maupun yang berjauhan.

Penggunaan alat-alat angkutan laut sebagai salah satu sarana perhubungan yang dimanfaatkan manusia untuk bergerak dan mengangkut barang, telah dikenal sejak zaman dahulu kala, bahkan telah dikenal sejak zaman Nabi Nuh.

Orang yang mula-mula membuat kapal adalah Nabi Nuh. Kapal itu dibuat atas perintah dan bimbingan Allah. Hal ini diterangkan dalam firman-Nya:

وَاصْنَعِ الْفُلْكَ بِاَعْيُنِنَا وَوَحْيِنَا

Dan buatlah kapal itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami. (Hud/11: 37)

Perahu, sampan, dan kapal yang berbobot berat, baik yang digerakkan oleh tenaga manusia, kekuatan angin, maupun tenaga mesin dapat meluncur dengan mudah di atas air mengangkut manusia dan barang dari suatu pulau ke pulau yang lain, dari suatu benua ke benua yang lain, tentu terkait dengan suatu kekuatan yang menahan kapal itu, sehingga tidak tenggelam.

Hal ini merupakan bukti-bukti kekuasaan dan kebesaran Allah melalui pemberlakuan hukum alam-Nya.

Allah berfirman:

اَلَمْ تَرَ اَنَّ الْفُلْكَ تَجْرِيْ فِى الْبَحْرِ بِنِعْمَتِ اللّٰهِ لِيُرِيَكُمْ مِّنْ اٰيٰتِهٖۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّكُلِّ صَبَّارٍ شَكُوْرٍ

Tidakkah engkau memperhatikan bahwa sesungguhnya kapal itu berlayar di laut dengan nikmat Allah, agar diperlihatkan-Nya kepadamu sebagian dari tanda-tanda (kebesaran)-Nya. Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran)-Nya bagi setiap orang yang sangat sabar dan banyak bersyukur. (Luqman/31: 31)


Baca Juga: Mensyukuri Eksistensi Laut Bagi Umat Manusia


Ayat 42

Pada ayat ini, Allah mengingatkan manusia kepada bukti kekuasaan-Nya yang lain. Allah memberikan kepada manusia bermacam-macam kendaraan selain perahu, bahtera dan kapal, yaitu hewan-hewan yang dapat dijadikan kendaraan atau alat angkutan misalnya: kuda, keledai, unta, gajah dan sebagainya. Ini merupakan alat angkutan darat bagi manusia.

Pada ayat yang lain Allah berfirman:

وَّالْخَيْلَ وَالْبِغَالَ وَالْحَمِيْرَ لِتَرْكَبُوْهَا وَزِيْنَةًۗ وَيَخْلُقُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ

Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai, untuk kamu tunggangi dan (menjadi) perhiasan. Allah menciptakan apa yang tidak kamu ketahui. (an-Nahl/16: 8)

Untuk memungkinkan pengangkutan orang dan barang-barang yang lebih banyak, manusia dapat membuat alat-alat angkutan darat yang ditarik oleh hewan-hewan tersebut, seperti dokar, pedati, gerobak, dan sebagainya.

Dengan menggunakan akal yang dikaruniakan Allah kepadanya, manusia dapat pula membuat alat angkutan yang bergerak dengan tenaga mesin yang memakai bahan bakar berupa minyak bumi atau batu bara, yang juga disediakan dan dikaruniakan Allah kepada manusia. Kendaraan bermesin ini dapat berjalan lebih cepat dan bermuatan lebih banyak.

Berkat kemajuan akal (nalar) dan ilmu pengetahuan yang dikaruniakan Allah kepada manusia, mereka dapat membuat kendaraan-kendaraan yang dapat terbang di udara, mulai dari balon, pesawat terbang, hingga roket-roket yang menggerakkan kapal-kapal ruang angkasa yang kecepatannya dapat melebihi kecepatan suara.

Itu semua merupakan nikmat dari Allah kepada manusia. Dengan menyiasati hukum gravitasi, manusia berhasil menciptakan pesawat terbang untuk kepentingan transportasi manusia.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Yasin Ayat 43-47