Beranda blog Halaman 308

Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 66-67

0
Tafsir Surah Al-'Ankabut 66-67
Tafsir Surah Al-'Ankabut 66-67

Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 66-67 menerangkan perilaku kaum musyrik yang kembali ingkar setelah mereka diselamatkan oleh Allah dari tenggelamnya kapal pada tafsir sebelumnya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 64-65


Selain itu secara ringkas Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 66-67 juga menyebutkan bahwa tanah Makkah diistimewakan oleh Allah hal tersebut ditandai dengan tidak boleh ada peperangan di Tanah Makkah.

Ayat 66

Ayat ini menerangkan akibat dari perilaku kaum musyrik mempersekutukan Allah sesudah mereka diselamatkan dari bencana, dan merupakan ancaman atas kekafiran mereka kepada nikmat-Nya.

Pada ayat yang lalu, Allah menerangkan bahwa setelah mereka selamat, tiba-tiba mereka kembali mempersekutukan-Nya, maka timbullah pertanyaan kenapa Ia menyelamatkan mereka dari bahaya tenggelam itu? Kenapa kapal itu beserta semua penumpangnya tidak dibiarkan tenggelam ke dasar laut, sehingga selesailah persoalan mereka?

Jawabannya adalah bahwa wajar kalau Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang itu memperkenankan doa dari hamba-Nya yang memohon dengan tulus ikhlas. Mereka diselamatkan adalah sebagai ujian bagi keimanan mereka; apakah mereka akan tetap dalam keimanan itu atau akan musyrik kembali.

Ternyata ujian ini tidak membawa hasil. Sesudah diselamatkan Allah, mereka musyrik kembali. Mereka bersikap demikian karena kemusyrikan telah berurat dan berakar dalam jiwa mereka. Hal itu mengakibatkan mereka kafir kepada nikmat Allah yang telah menyelamatkan mereka dari bencana tenggelam dalam laut dan membuat mereka hidup bersenang-senang dalam kekafiran. Oleh karena itu, Allah mengancam mereka dengan mengatakan bahwa kelak mereka akan mengetahui akibat dari perbuatan itu.

Kalimat “maka kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka)” ini mempunyai nada ancaman kepada orang-orang musyrik, karena tanda-tanda kekuasaan dan keesaan Allah serta nikmat yang telah dilimpahkan kepada mereka, tidak dapat meyakinkan mereka, bahkan menambah keingkaran mereka.

Seakan-akan dikatakan kepada mereka, “Apabila mereka lalai dan tidak mengubah tindak tanduk mereka, mereka akan mengetahui dengan yakin bahwa azab yang dijanjikan itu pasti menimpa mereka.” Apabila azab itu telah menimpa mereka, maka semua pintu tobat telah tertutup bagi mereka.

Ayat 67

Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 66-67 khususnya Ayat 67 ini mengingatkan orang-orang musyrik Mekah akan nikmat yang dilimpahkan kepada mereka. Allah mengistimewakan mereka dari penduduk negeri-negeri di sekitar mereka dengan menjadikan kota Mekah sebagai negeri yang aman, tenteram, dan diharamkan berperang di sana.

Allah menjaga negeri itu dari musuh-musuh yang hendak menghancurkan dan menguasainya, seperti yang pernah terjadi pada tahun kelahiran Nabi Muhammad. Pada waktu itu, tentara Abrahah yang mengendarai gajah dihancurkan Allah sebelum mereka sempat menjamah Ka’bah.

Allah berfirman:

اَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِاَصْحٰبِ الْفِيْلِۗ  ١  اَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِيْ تَضْلِيْلٍۙ  ٢  وَّاَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا اَبَابِيْلَۙ  ٣  تَرْمِيْهِمْ بِحِجَارَةٍ مِّنْ سِجِّيْلٍۙ  ٤  فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَّأْكُوْلٍ ࣖ   ٥  ;(1)

Tidakkah engkau (Muhammad) perhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap pasukan bergajah? (2) Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka itu sia-sia? (3) dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong, (4) yang melempari mereka dengan batu dari tanah liat yang dibakar, (5) sehingga mereka dijadikan-Nya seperti daun-daun yang dimakan (ulat). (al-Fil/105: 1-5)

Dalam ayat yang lain diterangkan keadaan kota Mekah dan kehidupan orang-orang Quraisy. Allah berfirman:

لِاِيْلٰفِ قُرَيْشٍۙ  ١  اٖلٰفِهِمْ رِحْلَةَ الشِّتَاۤءِ وَالصَّيْفِۚ  ٢  فَلْيَعْبُدُوْا رَبَّ هٰذَا الْبَيْتِۙ  ٣  الَّذِيْٓ اَطْعَمَهُمْ مِّنْ جُوْعٍ ەۙ وَّاٰمَنَهُمْ مِّنْ خَوْفٍ ࣖ  ٤

(1) Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, (2) (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas. (3) Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan (pemilik) rumah ini (Ka’bah), (4) yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari rasa ketakutan. (Quraisy/106: 1-4)

Di sisi lain, negeri-negeri yang berada di sekitar Mekah dalam keadaan tidak aman. Sering terjadi perampokan, pembunuhan, kekacauan, dan peperangan antar kabilah, sehingga orang tidak dapat merasakan kedamaian dan keamanan atas jiwa, keluarga, dan hartanya. Setiap saat penduduknya selalu berada dalam keadaan khawatir diserbu musuh.

Pada ayat ini dipertanyakan kepada orang-orang musyrik itu bahwa apakah mereka tidak melihat nikmat yang jelas dan nyata itu? Apakah mereka tidak merasakan sedikit juga bahwa Allah telah mengistimewakan mereka dari penduduk negeri di sekitar mereka. Kenapa mereka tidak meninggalkan penyembahan berhala yang mengotori Ka’bah itu? Sebenarnya orang Mekah telah mengetahui semuanya, tetapi karena keingkaran, mereka mempercayai yang batil dan mengingkari nikmat Allah. Alangkah rendahnya akal mereka.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 68-69


Wujud Peran Cahaya Allah dalam Penafsiran Surah An-Nur Ayat 35

0
Peran Cahaya Allah dalam Penafsiran Surah An-Nur Ayat 35
Peran Cahaya Allah dalam Penafsiran Surah An-Nur Ayat 35

Allah swt menggambarkan diri-Nya secara langsung, salah satunya melalui Surah an-Nur ayat 35, selain itu juga pada Surah al-Ikhlas [112]: 1-4. Allah menggambarkan diri-Nya, dengan “nur” (cahaya), demikian kata Ibn ‘Arabi. Dia menyifati diri-Nya dengan istilah ruh al-‘alam, suatu padanan istilah dari nur Muhammad.

Istilah ruh al-‘alam sendiri adalah istilah yang dipakai Ibn Arabi guna menunjukkan cahaya, namun tidak seperti cahaya yang kita ketahui sebagaimana pada umumnya. Guna menelisik bagaimana Allah menggambarkan diri-Nya dengan cahaya, maka artikel ini mengkajinya dengan menggunakan perseptif tafsir sufistik, seperti al-Baghawy, Ibn ‘Ajibah, Makki bin Abi Thalib, Ibn Arabi, dan Muqatil bin Sulaiman. Simak selengkapnya di bawah ini.

Baca juga: Surah At-Taubah [9] Ayat 34-35: Ancaman Bagi Orang Yang Meninggalkan Zakat

Allah adalah Nur

Al-Baghawy dalam tafsirnya, Ma’alim al-Tanzil dan Makki bin Abi Talib dalam Tafsir al-Hidayah ila Bulugh al-Nihayah menafsirkan redaksi Allahu nur al-samawat wal ardh dengan menukil beberapa pendapat di antaranya Ibn ‘Abbas mengatakan, “Allah berperan sebagai petunjuk di langit dan bumi (haadi ahl al-samawat wal ardh), dari petunjuk itu, Dia memberikan nur kebenaran sehingga mereka terhindar dari kesesatan” (fahum binurihi ilal haqqi yahtaduna wa bihudahu min al-dhalalah).

Hampir senada dengan Ibn Abbas, al-Dhahhak memaknainya dengan Allah adalah menerangi bumi dan langit (munawwir al-samawat wal ardh). Dalam pendapat lain dikatakan yang menerangi di langit adalah cahaya malaikat, sedangkan di bumi ialah cahaya kenabian. Ibn Mas’ud, misalnya, menuturkan bahwa perumpamaan cahaya itu (matsalu nurihi) bagaikan menerangi hati orang mukmin.

Dalam tafsiran yang lain, Ibn Ajibah dan Ibn Mas’ud misalnya, dikatakan nur itu mampu membuat aman dan nyaman bagi siapapun (matsalu nurihi man amana bihi). Adapun Hasan dan Zaid bin Aslam sebagaimana disitir al-Baghawy, nur itu bermakna Al-Quran.

Baca juga: Inilah Delapan Ciri-Ciri Mukmin Sejati Menurut Surah Al-Furqan

Mufassir sufi berikutnya adalah Ibn Ajibah. Dalam al-Bahr al-Madid, ia memaknai Allahu nur al-samawat wal ardh dengan cahaya Islam dan iman bagi orang beriman (nur al-islam wal iman li ahl al-iman), nur ihsan kepada orang ihsan (nur al-ihsan li ahl al-ihsan). Tidak jauh berbeda, Ibn Arabi menafsiri Allahu nur al-samawat wal ardh dengan,

النور هو الذي يظهر بذاته وتظهر الأشياء به، وهو مطلقاً اسم من أسماء الله تعالى باعتبار شدّة ظهوره وظهور الأشياء به

“Nur ialah sesuatu yang mampu menjelaskan Dzat-Nya dan memancarkannya kepada yang lain. Nur itu bersifat mutlak, ia adalah salah satu nama Allah yang penuh kharismatik, yang dengannya nur itu mampu menerangi sesuatu”.

Lalu, Ibn Arabi juga mengumpamakan nur itu adalah sifat, wujud dan emanasi-Nya yang dengannya mampu menerangi alam semesta seisinya (shifatu wujudihi wa dzuhurihi fil ‘alamin bi dzuhuriha bihi). Begitupun Muqatil bin Sulaiman juga memaknai bahwa nur itu berperan sebagai petunjuk di langit dan bumi. Muqatil memaknai redaksi matsalu nurihi bagikan Nur Muhammad saw.

Misykat, Misbah dan al-Zujajah

Misykat, kata al-Baghawy dan Ibn ‘Ajibah, adalah sesuatu yang tidak dapat atau sulit ditembus (al-kuwwatu al-lati la munfidzu laha fa inkana laha munfidzu fahiya kuwwatun). Mujahid berkata, “misykat ialah al-qindil (lampu, pelita)”. Masih tetap al-Baghawy, kata Misbah juga ditafsirkan Muqatil bin Sulaiman dengan siraj (lampu atau sinar yang nyala), siraj ini berasal dari dhau’ (sinar), bermakna ka misbahu fi misykat (bagaikan pelita di lubang misykat). Al-Zujajah, bagi al-Baghawy, ia bermakna,

قال الزجاج: إنما ذكر الزجاجة لأن النور وضوء النار فيها أبين من كل شيء، وضوؤه يزيد في الزجاج، ثم وصف الزجاجة

Zujajah adalah sebuah cahaya (nur) yang memantulkan api dan kemudian memuaikan segala sesuatu, dan pantulan itu semakin bertambah di dalam zujajah (kaca), dan mengaturnya sedemikian rupa sehingga berkas cahaya itu rapi dan teratur yang membentuk zujajah (kaca, cermin)”.

Jika al-Baghawy memaknai al-Zujajah secara definitif lain halnya dengan Makki bin Abi Thalib, ia justru menafsiri redaksi matsalu nurihi ka misykatin fiha misbah dengan cahaya petunjuk kepada hati orang mukminn (hudahu fi qalb al-mu’min). Al-Zujajah, demikian kata Makki dan Muqatil, adalah shafiyatun al-laun (warna yang bersih nan murni) dan shafiyatun tammatun al-shafa (sebersih-bersihnya, sesempur-sempurnanya warna). Al-Zujajah juga bermakna cahaya iman dan hikmah.

Baca juga: Mengungkap Makna dan Pesan Lafaz Khusr dalam Al-Quran

Tidak jauh berbeda, Ibn ‘Arabi justru mengatakan bahwa misykat dan misbah adalah sebuah isyarat bagi jasad manusia yang sesungguhnya adalah gelap gulita, maka kedua cahaya ini berperan menerangi ruh (jiwa) agar jiwanya terang benderang. Demikian pula al-zujajah adalah sebuah isyarat kepada hati orang mukmin bahwa ia akan diterangi dan menerangi (al-mutanawwir bi al-ruh) dengan cahaya-Nya.

Mufassir era awal, sebut saja Muqatil bil Sulaiman memaknai al-misbah fi zujajah dengan misykat sulbinya Abdullah, ayahnya Nabi Muhammad saw. Sedangkan yang dimaksud al-Zujajah adalah jasad Nabi Muhammad saw. Lebih dari itu juga bermakna siraj al-iman fi jasadi muhammad saw (pelita, sinar iman dalam jasad Nabi Muhammad saw).

Syajarah Mubarakah dan Zaitun

Al-Baghawy, Ibn Ajibah dan Muqatil bin Sulaiman memaknai pohon zaitun sebagai syarajah mubarakah (pohon yang diberkati) karena pohon tersebut memiliki banyak manfaat dan keberkahan di antaranya menghasilkan minyak yang paling jernih dan bersih, buahnya nikmat dimakan, serta pohon ini tidak membutuhkan bantuan angin untuk dapat menghasilkan minyak dan buah yang lezat dan nikmat (ashfa al-adhan, idam wa fakihah).

La Syarqiyyah wa La Gharbiyyah

Al-Baghawy mengatakan pada hakikatnya tidak ada arah Barat maupun Timur, namun Allah swt selalu memberikan cahaya pada keduanya, cahaya Allah swt tidak tenggelam maupun terbit sebagaimana cahaya matahari. Hal serupa juga disampaikan Ibn Ajibah dalam al-Bahr al-Madid, hanya saja beliau mengontekskannya dengan buah zaitun, yaitu tidak ada timur dan barat itu (laisat minal masyriqi wa la minal maghribi), akan tetapi yang ada adalah di tengah (bal fil wasth minhu), yakni Kota Syam, dan zaitun ada di kota Syam.

Tidak jauh berbeda, Ibn ‘Arabi dalam tafsirnya mengisahkan la syarqiyyatan wa la gharbiyyatan dengan,

ومعنى كونها { لا شرقية ولا غربية } إنها متوسطة بين غرب عالم الأجساد الذي هو موضع غروب النور وبروزه عن الحجاب النوراني لكونها ألطف وأنور من الجسد وأكثف من الروح

“Adapun makna la syarqiyyatan wa la gharbiyyatan ialah sesungguhnya zaitun ini tudak tumbuh di Barat secara lahiriyah, di mana tempat terbenamnya matahari dan kemunculannya dari selubung cahaya karena zaitun lebih lembut, halus nan mencerahkan daripada jasad (fisik) dan lebih padat daripada ruh (jiwa)”.

Artinya Ibn ‘Arabi menggambarkan keistimewaan pohon zaitun ini dengan penuh esoterik. Pohon ini tidak tumbuh sembarangan, tidak di Barat atau di Timur, tapi yang jelas kemanfaatannya begitu kentara bagi alam semesta. Senada dengan itu, Muqatil bin Sulaiman mengatakan tidak di Timur atau di Barat itu adalah Nabi Ibrahim a.s., Dia tidak berdoa atau menghadapkan wajahnya ke Timur, yaitu kepada orang Nasrani. Begitu pula tidak di Barat, yaitu orang Yahudi. Melainkan, Nabi Ibrahim berdoa menghadapkan wajahnya ke Ka’bah baitullah.

Nur ‘ala Nur (Cahaya di atas Cahaya)

Allah adalah cahaya di atas cahaya. Cahayanya berlapis-lapis, tidak terbatas ruang dan waktu. Cahayanya begitu indah, terang benderang nan lembut (nur al-misbah mutadha’ifun ‘ala nur al-zait al-shafi), demikian kalam Ibn Ajibah dalam al-Bahr al-Madid. Katanya, nur itu adalah nur iman, islam, dan ihsan.

Ibn Ajibah mengatakan,

أي نور الإيمان مُضَافٌ إلى نور الإسلام، أو نور الإحسان مضاف إلى نور الإيمان والإسلام

“Cahaya iman diintegrasikan dengan cahaya Islam, atau cahaya ihsan adalah gabungan cahaya iman dan islam”.

Agak berbeda dari Ibn ‘Ajibah, namun esensinya sama, yaitu penafsiran Muqatil bin Sulaiman menjelaskan maksud nur ‘ala nur (cahaya di atas cahaya) adalah nur Muhammad saw, sebagai emanasi cahaya Allah atau bagian daripada cahaya Allah. Berikut perkataannya,

ثم قال عز وجل: { نُّورٌ عَلَىٰ نُورٍ } قال محمد صلى الله عليه وسلم نبي خرج من صلب نبي، يعني إبراهيم، عليهما السلام

“Nur ‘ala nur adalah Rasulullah Muhammad saw yang berasal dari keturunan Nabi Ibrahim a.s.”

Baca juga: Inilah Tiga Istilah Cahaya dalam Al-Quran

Sebagai penutup, penulis tidak ingin menyampaikan sebuah kesimpulan karena sedemikian esoterisnya para ulama sufi dalam menafsirkan dan menginterpretasikan Allah sebagai cahaya. Namun sebagai pegangan, ayat ini sebetulnya sangat menginspirasi – untuk tidak mengatakan mengilhami – ulama sufi untuk mengkaji makna Allah sebagai cahaya (Allahu nur al-samawat wal ardh.. ila akhirihi).

Karena itu, tak heran jika kemudian term cahaya (nur) menjadi salah satu tema sentral dalam beberapa karya mereka sampai saat ini. Cahaya dalam banyak hal memang menjadi konsep favorit terminologi tasawuf yang dilukiskan secara majazi (metafor).

Mengutip perkataan Emha Ainun Nadjib, sosok cendekiawan muslim Indonesia asal Jombang dan pengampu jamaah Ma’iyah, ia mengatakan bahwa seakan-akan Allah melalui surat al-Nur khususnya ayat ini hendak menawarkan kepada manusia bahwa ada satu metode penelitian untuk bisa sampai kepada Allah (wushul ilallah).

Dalam metode ini, Allah menginstruksikan kepada manusia untuk mencari cahaya itu dengan berbagai metode berikut rambu lalu lintas, dan penandanya.

Dalam perspektif al-Ghazali, cahaya Allah berlapis-lapis (nur ‘ala nur) di mana cahaya itu, al-Ghazali memaknainya sebagai daya-daya yang ada pada diri manusia seperti daya spiritual, daya imajinasi, daya berpikir, intuisi dan sebagainya. Dengan berbekal daya itu, manusia akan mampu meraih cahaya-Nya. Wallahu A’lam.

Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 64-65

0
Tafsir Surah Al-'Ankabut 66-67
Tafsir Surah Al-'Ankabut 66-67

Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 64-65 menerangkan tentang hakikat kehidupan dunia ini hanyalah sebatas permainan senda gurau saja, kehidupan yang sebenarnya akan terjadi setelah wafatnya kita di dunia ini.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 62-63


Ayat 64

Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 64-65 ini menerangkan hakikat kehidupan duniawi, terutama kepada orang-orang musyrik yang teperdaya dengan kehidupan duniawi. Diterangkan bahwa kehidupan duniawi itu hanyalah permainan dan senda gurau saja, bukan kehidupan yang sebenarnya.

Pandangan dan pikiran orang-orang musyrik telah tertutup, sehingga mereka telah disibukkan oleh urusan duniawi. Mereka berlomba-lomba mencari harta kekayaan, kekuasaan, kesenangan, dan kelezatan yang ada padanya, seakan-akan kehidupan dunia ialah kehidupan yang sebenarnya bagi mereka.

Andaikata mereka mau mengurangi perhatian mereka kepada kehidupan duniawi itu sedikit saja, dan memandangnya sebagai medan persiapan untuk bekal dalam kehidupan lain yang lebih kekal dan abadi, serta mau pula mendengarkan ayat-ayat Allah, tentulah mereka tidak akan durhaka dan mempersekutukan Allah. Andaikata mereka mendengarkan seruan rasul dengan menggunakan telinga, akal, dan hati, mereka tidak akan tersesat dari jalan Allah.

Kemudian Allah menerangkan bahwa kehidupan yang hakiki itu adalah kehidupan akhirat, dan ia merupakan sisi lain dari kehidupan manusia, yaitu kehidupan yang diliputi oleh kebenaran yang mutlak.

Kehidupan dunia adalah kehidupan yang di dalamnya bercampur baur antara kebenaran dan kebatilan, sedangkan dalam kehidupan akhirat, kebenaran dan kebatilan telah dipisahkan. Kehidupan akhirat banyak ditentukan oleh kehidupan dunia yang dijalani seseorang, dan tergantung kepada amal dan usahanya sewaktu masih hidup.

Kehidupan dunia dapat diibaratkan dengan kehidupan masa kanak-kanak, sedang kehidupan akhirat dapat diibaratkan dengan kehidupan masa dewasa. Jika seseorang pada masa kanak-kanak mempersiapkan diri dengan sungguh-sungguh, seperti belajar dan bekerja dengan tekun, maka kehidupan masa dewasanya akan menjadi kehidupan yang cerah. Sebaliknya jika ia banyak bermain-main dan tidak menggunakan waktu sebaik-baiknya, maka ia akan mempunyai masa dewasa yang suram.

Demikianlah halnya dengan kehidupan akhirat, tergantung kepada amal dan usaha seseorang sewaktu masih hidup di dunia. Jika ia selama hidup di dunia beriman dan beramal saleh, maka kehidupannya di akhirat akan baik dan bahagia. Sebaliknya jika ia kafir dan mengerjakan perbuatan-perbuatan yang terlarang, ia akan mengalami kehidupan yang sengsara di akhirat nanti.

Pada akhir ayat ini, Allah memperingatkan kepada orang-orang musyrik agar mengetahui hakikat hidup. Andaikata mereka mendalami dan mengetahui hal itu, tentu mereka tidak akan tersesat dan teperdaya oleh kehidupan dunia yang fana ini. Setiap orang yang berilmu dan mau mempergunakan akalnya dengan mudah dapat membedakan antara yang baik dengan yang buruk, antara yang benar dan yang salah, dan sebagainya.

Ayat 65

Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 64-65 ini melukiskan kehidupan orang-orang musyrik yang penuh pertentangan dan kontradiksi. Hati mereka percaya kepada kekuasaan dan keesaan Allah, tetapi pengaruh dunia dan hawa nafsu menutup keyakinan hati mereka yang benar. Oleh karena itu, mereka tidak dapat beramal dan mengingat Allah secara ikhlas. Mereka seperti orang bingung di dalam kehidupan yang penuh kemusyrikan.

Mereka diibaratkan Allah dengan orang yang naik kapal, berlayar mengarungi lautan luas. Tiba-tiba datang angin topan yang kencang disertai gelombang dan ombak yang menggunung sehingga kapal mereka terhempas ke sana ke mari. Maka timbul ketakutan dalam hati mereka, diiringi perasaan bahwa mereka tidak akan selamat dan akan ditelan oleh gelombang itu.

Di saat itu, mereka ingat kepada Allah, dan meyakini bahwa hanya Dia Yang Mahakuasa menyelamatkan dan melindungi mereka dari hempasan ombak itu. Mereka mengakui keesaan Allah, baik dalam hati dan perasaan maupun dalam ucapan. Singkatnya dalam semua tindak tanduk, mereka kembali kepada fitrah semula, yaitu mengakui keesaan dan kekuasaan Allah.

Mereka tidak percaya lagi bahwa tuhan-tuhan yang selama ini disembah sanggup melepaskan dan menyelamatkan mereka dari malapetaka yang sedang mengancam itu. Oleh karena itu, mereka berdoa dan mohon pertolongan kepada Allah saja.

Maka Allah mengabulkan permohonan dan doa mereka yang ikhlas itu dengan menyelamatkan mereka dari segala bencana. Akan tetapi, setelah mereka terlepas dari bencana yang menakutkan itu, dan hati mereka telah merasa aman dan tenteram, serta merta mereka kembali mengingkari Allah yang telah menyelamatkan mereka.

Mereka lupa bahwa mereka pernah berdoa kepada-Nya untuk meminta keselamatan dan berjanji akan tetap tunduk dan patuh hanya kepada-Nya. Mereka kembali mempersekutukan Allah dengan tuhan-tuhan yang tidak layak sedikit pun dipersekutukan dengan-Nya. Maka Allah membiarkan mereka bersenang-senang sampai pada waktu yang ditentukan dan Allah akan memberi ganjaran yang setimpal di akhirat kelak.

Pada ayat yang lain diterangkan keadaan orang-orang musyrik di akhirat kelak. Mereka akan mengakui keesaan dan kekuasaan Allah di saat mereka mengalami siksaan yang pedih di dalam neraka dan berdoa meminta pertolongan-Nya agar dilepaskan dari siksaan itu.

Allah berfirman:

رَبَّنَآ اَخْرِجْنَا مِنْهَا فَاِنْ عُدْنَا فَاِنَّا ظٰلِمُوْنَ  ١٠٧  قَالَ اخْسَـُٔوْا فِيْهَا وَلَا تُكَلِّمُوْنِ  ١٠٨

Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami darinya (kembalikanlah kami ke dunia), jika kami masih juga kembali (kepada kekafiran), sungguh, kami adalah orang-orang yang zalim.” Dia (Allah) berfirman, “Tinggallah dengan hina di dalamnya, dan janganlah kamu berbicara dengan Aku.” (al-Mu’minun/23: 107-108)

Muhammad bin Ishaq dalam kitab Sirah (tarikh Nabi Muhammad saw) meriwayatkan bahwa ‘Ikrimah bin Abi Jahal berkata, “Tatkala Rasulullah menaklukkan Mekah, aku lari daripadanya. Ketika aku naik kapal ke Habsyah, kapal itu terombang-ambing. Para penumpang kapal berkata, ’Hai teman-teman, berdoalah dengan ikhlas kepada Tuhanmu, sesungguhnya tidak ada yang dapat menyelamatkan kita dari bencana ini, kecuali Dia’.”

Selanjutnya ‘Ikrimah berkata, “Andaikata di laut tidak ada yang dapat menyelamatkan, kecuali Dia maka di darat pun tidak ada pula yang dapat menyelamatkan, kecuali Dia. Hai Tuhanku, aku berjanji kepadamu, jika aku keluar dari laut ini, maka aku akan pergi kepada Muhammad dan aku akan menyatakan keimananku kepadanya, maka akan kudapati dia seorang yang sangat pengasih dan penyayang, dan terlaksanalah janjiku itu.”

Ikrimah juga berkata, “Bangsa Jahiliah itu apabila menaiki kapal, berhala-berhala mereka juga ikut dibawa. Jika angin ribut datang, berhala-berhala itu dilemparkan ke laut, lalu mereka mengucapkan, “Ya Tuhan, Ya Tuhan.”

Ar-Razi mengatakan dalam bukunya, al-Lawami, “Ini adalah suatu pertanda bahwa pengetahuan tentang Tuhan itu merupakan fitrah bagi manusia. Walaupun mereka lalai mengingat-Nya di waktu mereka bersuka ria, namun mereka mengingat-Nya di waktu kesusahan.”

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 66-67


 

Tafsir Surah At-Taghabun: 14: Musuh dalam Selimut

0
Tafsir Surah At-Taghabun: 14: Musuh dalam Selimut
Musuh dalam Selimut

Dalam kehidupan ini, seseorang yang menyatakan keimanannya pasti mendapatkan coban dari Allah (Q.S. al-‘Ankabūt: 2). Selain sebagai bukti pernyataannya, cobaan juga menjadi batu loncatan untuk kenaikan kelasnya. Cobaan adakalanya muncul dari diri sendiri seperti hawa nafsu, ada pula yang dari luar seperti musuh. Q.S. At-Taghabun: 14 menyebut salah satu musuh kita adalah pasangan dan anak sendiri.

Allah Swt berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ ۚ وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu maafkan dan kamu santuni serta ampuni (mereka), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (Q.S. At-Taghabun: 14)

Mengenai At-Taghabun: 14 ini, Ibn al-‘Arabī dalam Tafsīr Ahkām al-Qur’ān-nya menuturkan paling tidak ada enam poin yang bisa digali dari ayat ini. Pertama, kata ‘adāwah harus dipahami sebagai ‘jauh’. Sementara walāyah, antonimnya, harus dimaknai dengan ‘dekat’. Karena memang ada unsur jauh dan dekat dalam dua kata tersebut. Pada dasarnya, dua hal ini berkaitan dengan jarak yang tidak berlaku bagi Allah. namun keduanya juga berkaitan dengan kasih sayang dan kedudukan.

Yang dimaksud dengan ‘adāwah pada ayat ini adalah jauhnya kasih sayang dan kedudukan. Hal ini karena secara tempat tinggal, anak dan istri adalah orang yang hidup bersama. Dengan ikatan yang baik dan interaksi yang bagus mereka bisa mendekatkan kita kepada Allah. Dalam kondisi ini mereka menjelma menjadi kekasih yang dirindukan. Namun terkadang mereka juga menjadi musuh dalam selimut pada saat menjauhkan kita dari-Nya. Misalnya dengan melemahkan semangat ibadah kita, mengajak untuk berbuat maksiat, atau bahkan mengingakari ke-Esa-an atau keberadaan-Nya.

Kedua, ayat ini menjadi respon atas kekecewaan sekelompok lelaki terhadap anak-istri mereka yang telah menghalangi keinginannya. Mereka adalah penduduk Makkah yang ingin belajar Islam kepada Nabi namun tidak terlaksana lantaran keberatan yang diajukan anak-istrinya. Setelah nekat berangkat dan mendapati sahabat yang lain telah berhasil memahami agama dengan baik, mereka merasa perlu menghukum anak-istrinya. Hal itu dicegah oleh Allah melalui alternatif sikap yang ditawarkannya. Yakni memaafkan, tetap santun, dan mengampuni mereka.

Kisah yang melatari turunnya ayat ini dituturkan oleh Imam al-Tirmīdzī dari Sahabat Ibn Abbas. selain Ibn al-‘Arabī, mufassir lain yang mencantumkan riwayat ini dalam tafsirnya adalah Ibn Jarīr al-Thabarī, al-Baghawī, Ibn ‘Athiyyah, al-Qurthubī, Ibn Katsīr, dan Ibn ‘Āsyūr (al-Muharrar fī Asbāb Nuzūl al-Qur’ān, 2/1022).

Ketiga; ayat ini menegaskan bentuk permusuhan yang ada. Sebagaimana yang diajarkan Nabi Nuh, seorang musuh tidak boleh dimusuhi fisiknya melainkan sikapnya (Q.S al-Syu’arā` [26]: 168). Jika seorang istri atau anak berperilaku seperti musuh maka ia adalah musuh. Dalam sebuah hadis, Nabi menuturkan bagaimana setan membuktikan janjinya yang tercantum di Q.S. al-A’rāf [7]: 16-17, yakni berusaha sekuat tenaga dalam mencari teman untuk hidup bersama di neraka.

Baca juga: Tafsir Surat Al A’raf ayat 12-17

Pada awalnya –sebagaimana hadis riwayat Ahmad dalam Musnad-nya (25/315)– setan menghalangi keturunan Adam dari beriman dengan mempertanyakan kesiapan mereka meninggalkan agamanya dan agama nenek moyangnya. Setelah tidak berhasil, ia berusaha mencegahnya dari berhijrah bersama Nabi dengan dalih ia akan meninggalkan keluarga dan hartanya, tanah airnya, dan mengumpakan orang hijrah dengan kuda yang tidak tahu jauhnya jarak tempuh. Karena tidak berhasil lagi, ia mencoba melemahkannya dari ikut berperang di jalan Allah dengan menakut-nakutinya akan kematian, istrinya menjadi milik orang lain, dan hartanya dibagi-bagikan. Dari sini, nampak jelas bahwa usaha setan ada dua; mengobang-ambingkan perasaan seseorang (membuatnya was-was) dan membawa-bawa anak, istri serta kerabat orang tersebut dalam misinya.

Keempat; musuh yang dalam ayat ini digambarkan muncul dari sosok istri dan anak, juga berlaku bagi kaum perempuan. Suami dan anak juga bisa menjadi musuh yang menghalanginya dari keimanan atau berbuat ketaatan. Hal ini karena penggunaan kata min azwājikum mencakup kaum muslim laki-laki maupun perempuan sebagaimana dalam banyak ayat. Khālid bin ‘Utsmān al-Sabt dalam Qawā’id Tafsir-nya (2/99) menuliskan:

“Telah ditetapkan dalam kebiasaan syari’at, bahwasanya sebuah hukum yang hanya menyebutkan kaum lelaki secara umum tanpa adanya penyertaan kaum wanita, maka ia mencakup (berlaku untuk) muslim lelaki dan perempuan”.

Kelima; kata fahdzarūhum yang berarti ‘maka berhati-hatilah terhadap mereka’. Ada dua bentuk kehati-hatian yang harus diperhatikan. Hati-hati terhadap sesuatu yang membahayakan fisik dan hati-hati terhadap sesuatu yang membahayakan agama. Mudarat dari yang kedua lebih besar dan berbahaya. Karena bahaya fisik itu berkaitan dengan dunia yang sementara dan bisa diperbaiki keadaannya. Sementara bahaya agama berkaitan dengan akhirat, yang tidak hanya selamanya saja tapi juga tidak bisa diperbaiki dan berlipat ganda kesengsaraannya.

Keenam, tiga tawaran Allah sebagai solusi dalam menyikapi fenomena yang menjengkelkan ini. Dalam bagian kedua dari ayat ini, Allah memberi tahu hamba-Nya sikap yang bisa membuat mereka tidak rugi dua kali dan bahkan bisa memperoleh banyak sekali manfaat darinya. Allah mengajaknya untuk memaafkan anak istrinya, tetap mengasihi, dan mengampuni mereka. Cukup kehilangan kesempatan belajar agama kepada Nabi saja –dalam konteks asbāb nuzūl-nya ayat ini– yang menjadi kerugiannya. Jangan sampai kehilangan keharmonisan rumah tangga. Apalagi anak istri. Selain itu, dengan ketiganya ia bisa membuat dirinya tetap sehat jiwanya dengan menaggalkan amarah, menarik hati mereka tersadar dan mengajak mereka untuk lebih baik lagi dan berinteraksi.

Demikian tafsir Q.S. At-Taghabun: 14 tentang makna istri dan anak sebagai musuh. semoga bermanfaat.

Baca juga: Memahami Definisi dan Pertanyaan-Pertanyaan Lain Soal Asbabun Nuzul

Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 62-63

0
Tafsir Surah Al-'Ankabut 66-67
Tafsir Surah Al-'Ankabut 66-67

Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 62-63 berbicara tentang rezeki, Allah lah yang melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan Allah pula yang menyempitkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 60-61


Ayat 62

Pada Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 62-63 khususnya pada ayat ini, Allah menyatakan bahwa Dialah yang melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyempitkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Dia sendiri yang berkuasa untuk menentukan rezeki, sehingga orang-orang yang beriman tidak perlu enggan berhijrah karena takut miskin.

Allah memberi rezeki di mana saja mereka berada, baik di negeri sendiri, maupun di negeri orang atau dalam perjalanan, bahkan ketika mereka ditawan musuh.

Allah berfirman:

اِنَّ اللّٰهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِيْنُ

Sungguh Allah, Dialah Pemberi rezeki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh. (adz-ªariyat/51: 58)

Ayat ini selanjutnya menyatakan bahwa Allah mengetahui segala kemaslahatan makhluk-Nya. Dia juga mengetahui orang-orang yang mengerjakan amal saleh karena banyak dianugerahi rezeki, dan mengetahui orang-orang yang membuat kerusakan dan kemungkaran dengan kekayaan yang telah dianugerahkan Allah kepada mereka.”

Ayat ini dapat pula dihubungkan dengan pernyataan orang-orang musyrik pada ayat sebelum ini (ayat 61) di mana Allah menyatakan kepada orang-orang musyrik, “Siapa yang menciptakan dan menguasai alam semesta ini?”

Mereka tidak mendapatkan jawaban, kecuali tunduk dengan menetapkan bahwa Allah Yang Maha Esa yang menciptakan dan menguasai seluruh makhluk. Jika mereka telah mengakui hal itu, mengapa mereka masih ragu siapa yang menanggung rezeki seluruh makhluk itu.

Jika mereka mengatakan bahwa Allah-lah yang melapangkan dan menyempitkan rezeki kepada makhluk-Nya, tidak ada yang lain, kenapa mereka masih menyembah dan meminta rezeki itu kepada berhala-berhala?

Allah selanjutnya menjelaskan bahwa Dia membedakan hamba-hamba-Nya dalam hal pemberian rezeki karena Ia lebih mengetahui kemaslahatan mereka. Pemberian itu harus disesuaikan dengan keadaan mereka masing-masing.

Ayat 63

Dalam Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 62-63 ini, pertanyaan masih dihadapkan kepada orang-orang musyrik Mekah. Mereka ditanya tentang siapa yang menurunkan air hujan dari langit, kemudian dengan air itu suburlah tanah yang selama ini tandus dan gersang? Apa jawaban mereka terhadap pertanyaan ini?

Pada ayat 61 di atas mereka telah menyatakan bahwa Allah-lah yang menjadikan langit dan bumi, serta menundukkan matahari dan bulan. Hal ini adalah suatu yang tidak perlu diperbincangkan lagi karena sesuai dengan akal pikiran yang benar dan ajaran agama yang dibawa Nabi Ibrahim, agama yang diakui sebagai agama mereka.

Namun demikian, perbuatan mereka berlawanan dengan pernyataan yang mereka ucapkan. Inilah keanehan yang ada pada mereka. Maka dalam ayat 63 ini, Allah menerangkan bahwa kalau dihadapkan kepada mereka pertanyaan tersebut, mereka juga akan menjawab, “Allah.”

Dengan demikian jelaslah bahwa mereka mempercayai bahwa Allah-lah Pemilik semua yang ada di langit dan di bumi. Dialah yang mengendalikan segala sesuatu yang ada pada keduanya, seperti menurunkan hujan dari langit, kemudian dengan air hujan itu bumi menjadi subur dan menumbuhkan tanam-tanaman.

Akan tetapi, kepercayaan mereka ini tidak melandasi amal perbuatan yang mereka lakukan setiap hari, karena mereka mempersekutukan Tuhan dengan berhala-berhala yang tidak mempunyai kekuasaan atau kekuatan apa pun.

Sekalipun orang-orang musyrik menyatakan pengakuan seperti di atas, namun kebanyakan mereka tidak mau memahami dan mengamalkan pengakuan itu. Mereka seakan-akan seperti orang bodoh yang tidak dapat mengerti hakikat pengakuan mereka.

Hal yang demikian itu disebabkan oleh kesesatan dan kezaliman yang telah mengalahkan kebenaran. Apabila kebenaran itu dikemukakan kepada mereka, sekalipun pikiran dan naluri mereka menerimanya, tetapi hati mereka tidak menerimanya lagi. Bahkan mereka menuduh Nabi Muhammad telah menyihir mereka, sehingga mereka ragu terhadap kenyataan yang dilihat oleh mata dan pikiran mereka sendiri.

Allah berfirman:

لَقَالُوْٓا اِنَّمَا سُكِّرَتْ اَبْصَارُنَا بَلْ نَحْنُ قَوْمٌ مَّسْحُوْرُوْنَ ࣖ

Tentulah mereka berkata, “Sesungguhnya pandangan kamilah yang dikaburkan, bahkan kami adalah orang yang terkena sihir.”  (al-Hijr/15: 15)

Pada ayat ini, Allah memerintahkan Nabi Muhammad supaya mengucapkan “al-hamdulillah”. Perkataan ini diucapkan sebagai pernyataan syukur kepada Allah atas nikmat yang telah diberikan-Nya, yaitu tersingkapnya kebenaran dengan adanya pengakuan dan pernyataan kaum musyrik tentang keesaan Tuhan.

Namun demikian, sekalipun mereka telah mengakui kekuasaan dan kemahapemurahan Allah, tetapi hati mereka masih tergantung pada berhala-berhala yang mereka sembah.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 64-65


Surah At-Taubah [9] Ayat 34-35: Ancaman Bagi Orang Yang Meninggalkan Zakat

0
Meninggalkan Zakat
Ancaman bagi Orang yang Meninggalkan Zakat

Zakat adalah salah satu dari lima rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh seorang muslim. Kewajiban zakat meliputi beberapa jenis harta benda tertentu yaitu emas perak, hewan ternak, makanan pokok, harta dagangan, dan buah-buahan.  Haram hukumnya bagi seorang muslim untuk meninggalkan zakat, bahkan dalam Al-Qur’an dan hadis terdapat ancaman bagi orang yang meninggalkan zakat secara sengaja.

Imam Adz-Dzahabi kitabnya, al-Kabair (dosa-dosa besar), menyebutkan bahwa meninggalkan zakat adalah salah satu dari tujuh puluh dosa besar yang dapat menjerumuskan pelakunya ke dalam neraka jahanam jika ia tidak bertobat. Karena itulah, Allah swt dan Rasul-Nya secara tegas menyampaikan ancaman bagi orang yang meninggalkan zakat secara sengaja, terutama bagi mereka yang mampu melaksanakannya.

Firman Allah swt:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّ كَثِيْرًا مِّنَ الْاَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُوْنَ اَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗوَالَّذِيْنَ يَكْنِزُوْنَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُوْنَهَا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۙفَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ اَلِيْمٍۙ ٣٤ يَّوْمَ يُحْمٰى عَلَيْهَا فِيْ نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوٰى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوْبُهُمْ وَظُهُوْرُهُمْۗ هٰذَا مَا كَنَزْتُمْ لِاَنْفُسِكُمْ فَذُوْقُوْا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُوْنَ ٣٥

“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya banyak dari orang-orang alim dan rahib-rahib mereka benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil, dan (mereka) menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menginfakkannya di jalan Allah, maka berikanlah kabar gembira kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih. (Ingatlah) pada hari ketika emas dan perak dipanaskan dalam neraka Jahanam, lalu dengan itu disetrika dahi, lambung dan punggung mereka (seraya dikatakan) kepada mereka, “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.” (QS. At-Taubah [9]: 34-35).

Baca Juga: Perintah Mendo’akan Orang yang Berzakat: Surah At-Taubah Ayat 103

Secara umum, surah al-Taubah [9] ayat 34-35 berisi tentang kisah para rahib (ulama Nasrani) dan ahbar (ulama Yahudi) yang memakan harta benda orang lain (pengikutnya) dengan cara batil. Hal itu mereka lakukan untuk memuaskan ketamakan dan kerakusan mereka. Dalam hal ini Al-Qur’an mengkritik mereka sekaligus mengajarkan pembacanya untuk tidak berlaku demikian.

Selain mengkritik para rahib dan ahbar, Al-Qur’an juga mendiskreditkan orang-orang yang menumpuk harta benda dan meninggalkan zakat secara sengaja. Orang semacam ini akan mendapatkan siksa di akhirat kelak dan dikatakan kepada mereka, “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.”

Menurut Quraish Shihab, surah al-Taubah [9] ayat 34-35 berisi ancaman bagi orang yang meninggalkan zakat dengan sengaja. Orang semacam ini kedudukannya serupa dengan para rahib dan ahbar yang menimbun harta benda serta memakan hak orang lain sebagaimana disebutkan dalam ayat 34. Mereka semua – jika tidak bertobat – akan mendapatkan siksa yang pedih di akhirat kelak.

Siksa yang pedih itu digambarkan Quraish Shihab dengan dileburkannya emas dan perak yang mereka himpun tanpa dizakati, lalu mereka disetrika dengannya, mulai dari dahi yang selama ini tampil dengan angkuh, sampai ke lambung yang selama ini kenyang dengan aneka kenikmatan berkat harta tersebut, hingga punggung  yang selama ini membelakangi tuntunan Allah swt (Tafsir al-Misbah [5]: 682).

Al-Sa’adi menyampaikan dalam kitabnya, Tafsir al-Sa’adi, surah al-Taubah [9] ayat 34-35 adalah ancaman bagi orang yang meninggalkan zakat dan bukan hanya soal mengumpulkan harta. Menurutnya, kecaman hanya dilimpahkan bagi mereka yang tidak mengeluarkan zakat. Adapun orang-orang yang mengumpulkan harta serta mengeluarkan kewajibannya seperti nafkah, zakat dan sedekah, maka ia tidak dikatakan sebagai penimbun harta yang disebut dalam ayat ini.

Siksa yang menimpa para penimbun harta tanpa mau mengeluarkan kewajibannya di jalan Allah dilukiskan surah al-Taubah [9] ayat 34-35 akan menimpa tiga bagian dari tubuh penghimpunnya, yakni dahi yang terletak di wajah, lambung dan punggung. Ketiga bagian tubuh ini disebutkan sebagai isyarat bahwa ketiganya berperan dalam proses penimbunan harta.

Hal serupa disampaikan Syekh Nawawi al-Bantani dalam kitabnya, Marah Labid. Menurutnya, surah al-Taubah [9] ayat 34-35 merupakan ancaman Allah bagi orang yang meninggalkan zakat secara sengaja. Mereka ini melakukan penimbunan harta tanpa mau menginfakkannya di jalan Allah swt seperti nafkah, zakat, haji, kepentingan sosial dan hal-hal lain yang diwajibkan bagi harta tersebut.

Bagi orang yang semacam ini – kata al-Bantani berdasarkan surah al-Taubah [9] ayat 34-35 – sampaikan kabar gembira kepada mereka akan datangnya azab yang pedih, yakni azab neraka Jahanam di mana orang-orang yang menimbun harta benda tanpa mau berzakat dan berinfak di jalan Allah akan disiksa dengan lahar panas dari lelehan emas dan perak yang selama ini mereka timbun di dunia.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Bolehkah Menyerahkan Zakat kepada Keluarga Sendiri?

Berkenaan dengan surah al-Taubah [9] ayat 34-35, Ali ash-Shabuni dalam Shafwat al-Tafasir mengutip hadis nabi riwayat Muslim dari Abu Hurairah yang berbunyi, ”Tidak ada seseorang yang tidak menunaikan zakat hartanya melainkan hartanya itu pada hari Kiamat akan dijadikan kepingan-kepingan api lalu disetrikakan pada lambung, dahi, dan punggungnya.”

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa Al-Qur’an memberikan ancaman bagi orang yang meninggalkan zakat. Ancaman ini berfungsi menyadarkan pembacanya terhadap peran sosial dari harta benda. Seseorang harus memahami pada hakikatnya ia tidak bisa mendapatkan harta sedikit pun tanpa bantuan orang lain. Karenanya, ia diwajibkan untuk membantu sesama semampunya. Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 60-61

0
Tafsir Surah Al-'Ankabut 66-67
Tafsir Surah Al-'Ankabut 66-67

Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 60-61 ini mengisahkan tentang penyiksaan kaum musyrik kepada umat Islam di Makkah. Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 60-61 ini juga mensyaratkan bahwa Allah tidak menyia-nyiakan mahkluknya, selagi hamba-Nya berdoa memohon kepada-Nya Allah akan melindungi dan memudahkan segala rezekinya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 57-59


Ayat 60

Sabab nuzul ayat ini berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Abbas yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad berkata kepada orang-orang yang beriman di Mekah, ketika orang-orang musyrik menyiksa mereka, “Keluarlah kamu sekalian dan hijrahlah. Jangan bertetangga dengan orang yang zalim itu.”

Orang-orang mukmin menjawab, “Ya Rasulullah, di sana kami tidak mempunyai rumah, tidak mempunyai harta, tidak ada orang yang akan memberi makan, dan tidak ada orang yang akan memberi minum.” Maka turunlah ayat ini sebagai jawaban terhadap kekhawatiran orang-orang mukmin itu.

Ayat ini turun untuk menenteramkan hati orang-orang yang beriman yang memenuhi seruan Rasulullah saw untuk hijrah, baik mereka yang telah hijrah, maupun kaum Muslimin yang sedang bersiap-siap untuk hijrah, seakan-akan Allah mengatakan, “Hai orang-orang yang beriman, tantanglah musuh-musuh Allah itu.

Janganlah sekali-kali kamu takut kepada kepapaan dan kemiskinan karena betapa banyaknya binatang melata yang tidak sanggup mengumpulkan makanan setiap hari untuk keperluannya, tetapi Allah tetap memberinya rezeki. Kamu wahai orang-orang yang beriman, jauh lebih baik dari binatang dan lebih pandai mencari makan, kenapa kamu khawatir tidak akan mendapat makanan.

Walaupun kamu hijrah tanpa membawa sesuatu, tetapi Allah pasti memberimu rezeki. Allah Maha Mendengar segala macam doa, mengetahui segala keadaan hamba-hamba-Nya.”

Ayat ini mengisyaratkan kepada kaum Muslimin bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan makhluk-Nya sedikit pun. Dia mengemukakan suatu perumpamaan mudah dipahami pengertiannya oleh kaum Muslimin, seperti anak-anak binatang yang tidak sanggup mencari makan sendiri.

Allah menjadikan induknya sayang kepadanya, sehingga mereka mau berusaha dan bersusah payah mencarikan makanan bagi anaknya. Kemudian induk itu menyuapkan makanan yang didapat ke dalam mulut anak-anaknya, sebagaimana kita saksikan pada burung dan sebagainya. Ada pula binatang yang memberi makan anaknya dengan air susu dari induknya, sebagaimana yang terdapat pada binatang menyusui.

Semuanya itu merupakan ketentuan Allah, sehingga dengan demikian setiap makhluk bisa mempertahankan kelangsungan hidup jenisnya.

Demikian pula halnya manusia, ada yang kuat, ada yang lemah, ada yang kaya, ada yang miskin, ada yang kecil, ada yang besar, ada yang tinggal di tempat yang subur, dan ada pula yang tinggal di tempat yang tandus, semuanya diberi rezeki oleh Allah, sesuai dengan kebutuhan mereka. Inilah yang dimaksud dengan ayat ini.

Allah memberikan rezeki kepada semua makhluk-Nya, termasuk kaum Muhajirin, sekalipun harta benda mereka tertinggal di Mekah, dan mata pencahariannya terputus.

Allah berfirman:

وَمَا مِنْ دَاۤبَّةٍ فِى الْاَرْضِ اِلَّاعَلَى اللّٰهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا ۗ كُلٌّ فِيْ كِتٰبٍ مُّبِيْنٍ

Dan tidak satupun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semua-nya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuz). (Hud/11: 6)

Kemudian ayat ini ditutup dengan menegaskan bahwa Allah Maha Mendengar apa yang diminta hamba-Nya dan Maha Mengetahui semua keperluannya.

Dari ayat-ayat di atas dipahami bahwa manusia tidak mengetahui dengan pasti apa-apa yang dilakukannya. Ia hanya mengetahui keperluan dan kebutuhan lahir saja, sedangkan keperluan-keperluan yang bersifat rohani, dan yang lainnya, banyak yang tidak diketahuinya, seperti keperluan akan udara yang harus ia hirup sepanjang hari, air, dan sebagainya.

Meskipun begitu, setiap mukmin diwajibkan berusaha dan berikhtiar dalam hidupnya. Allah telah memberikan potensi untuk berkehendak dan berusaha sehingga kita tetap wajib berusaha, sebagaimana firman Allah:

ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمٍْۗ

Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. (ar-Ra’d/13: 11)

Ayat 61

Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 60-61 khususnya pada ayat ini menerangkan bahwa kaum musyrik mengakui bahwa yang menciptakan langit dan bumi itu adalah Allah Yang Maha Esa. Dialah yang menundukkan matahari dan bulan untuk kepentingan manusia. Pengakuan mereka itu adalah suatu hal yang wajar karena pada mulanya nenek moyang mereka beragama tauhid, yaitu, Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail.

Pada mulanya mereka bangga dengan agama tauhid itu, sehingga mereka tidak tertarik dengan agama Yahudi dan Nasrani yang berkembang di Jazirah Arab. Seiring dengan berlalunya masa dan bergantinya generasi, tanpa mereka sadari agama tauhid yang murni itu sedikit demi sedikit telah dimasuki oleh unsur-unsur syirik.

Karena memperturutkan perasaan dan hawa nafsu, mereka makin lama makin jauh menyimpang dari dasar semula. Akhirnya, mereka menyembah patung, jin, dan benda-benda lain di samping menyembah Allah.

Sekalipun kepercayaan yang mereka anut telah jauh menyimpang dari agama tauhid, namun mereka masih tetap mengakui bahwa mereka menganut agama Ibrahim. Kalau ditanyakan kepada mereka tentang siapakah yang menciptakan langit dan bumi serta menundukkan matahari dan bulan, mereka menjawab, “Yang menciptakan ialah Allah dan Allah-lah yang menguasainya.”

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 62-63


Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 57-59

0
Tafsir Surah Al-'Ankabut 66-67
Tafsir Surah Al-'Ankabut 66-67

Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 57-59 menerangkan tentang kehidupan manusia, dijelaskan dalam Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 57-59 ini setiap manusia pasti akan mati dan setelah kematian itu menimpanya ia akan dibangkitkan kembali di akhirat dan itulah kehidupan yang sebenarnya dan selamanya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 56


Ayat 57

Ayat ini menguatkan ayat sebelumnya dengan menerangkan hakikat kehidupan manusia itu sendiri. Diterangkan bahwa tiap-tiap manusia pasti akan mati dan setelah mati, ia akan kembali kepada pemiliknya, yaitu Tuhan semesta alam. Sejak manusia dibangkitkan kembali di akhirat, sejak itu ia akan mengalami kehidupan yang sebenarnya dan selamanya.

Bentuk kehidupan yang sebenarnya itu ditentukan oleh sikap dan tindak-tanduk seseorang selama hidup di dunia. Jika ia seorang mukmin, maka akan memperoleh kebahagiaan yang abadi, sedangkan jika ia kafir, akan mengalami azab yang pedih di neraka.

Ayat ini senada dengan ayat 185 surah Ali ‘Imran dan telah dijelaskan di sana, tetapi diulangi kembali sebagai peringatan bagi kaum Muslimin agar jangan terlalu terpikat dan terpesona oleh kehidupan dunia yang fana ini, karena semuanya itu merupakan kesenangan sementara dan akan berakhir. Hubungan manusia dengan semua yang dimilikinya itu lambat laun akan berakhir.

Janganlah sampai kecintaan seseorang kepada sesuatu menghalanginya untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya, karena sesuatu itu bersifat sementara. Sedangkan yang kekal hanya hasil ibadah dan amal saleh seseorang. Dengan semua itu, ia memperoleh rida Allah dan surga yang dijanjikan-Nya.

Ayat 58-59

Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 58-59 khususnya pada dua ayat ini menerangkan ganjaran yang akan diperoleh orang-orang yang beriman kepada Allah, karena telah hijrah untuk kepentingan agama-Nya. Mereka melepaskan diri dari orang-orang yang menyekutukan Allah dan berani menanggung segala resiko akibat dari hijrah itu.

Janji Allah itu ialah memberi ganjaran orang-orang yang beriman dan beramal saleh surga yang penuh kenikmatan. Di dalamnya terdapat taman-taman yang indah dengan sungai-sungai yang mengalir di bawahnya. Mereka kekal di dalam surga itu selama-lamanya.

Mengenai gambaran surga itu, diterangkan oleh hadis Nabi saw, di mana beliau bersabda:

اِنَّ اَهْلَ الْجَنَّةِ لَيَتَرَاءَوْنَ اَهْلَ الْغُرَفِ مِنْ فَوْقِهِمْ كَمَا تَتَرَاءَوْنَ الْكَوْكَبَ الدُّرِّيَّ الْغَابِرَ مِنَ اْلاُفُقِ مِنَ الْمَشْرِقِ اَوِالْمَغْرِبِ لِتَفَاضُِل مَا بَيْنَهُمْ  قَالُوْ: يَارَسُوْلَ اللهِ تِلْكَ مَنَازِلُ اْلاَنْبِيَاءِ لاَيَبْلُغُهَا غَيْرُهُمْ. قَالَ: بَلَى وَالَّذِيْ نَفْسِى بِيَدِهِ رِجَالٌ اَمَنُوْا بِاللهِ وَصَدَّقُوا اْلمُرْسَلِيْنَ. (رواه مسلم عن سهل بن سعد)

“Sesungguhnya penghuni surga saling melihat penghuni tempat yang tinggi di atas mereka, seperti kamu melihat bintang-bintang gemerlapan yang lewat di ufuk, baik dari timur maupun dari barat, karena perbedaan derajat yang ada pada mereka.” Para sahabat berkata, “Ya Rasulullah, itu adalah tempat-tempat para nabi, manusia yang lain tidak akan sampai ke sana.” Rasulullah menjawab, “Bisa saja, demi Allah yang jiwaku berada di tangan- Nya, itu adalah tempat-tempat yang beriman kepada Allah dan membenarkan para rasul.” (Riwayat Muslim dari Sahl bin Sa’d)

Dalam hadis yang lain Nabi bersabda:

اِنَّ فِى الْجَنَّةِ لَغُرَفًا يُرَى ظُهُوْرُهَا مِنْ بُطُوْنِهَا بُطُوْنُهَا مِنْ ظُهُوْرِهَا. فَقَامَ اِلَيْهِ اَعْرَابِيٌّ فَقَالَ: لِمَنْ هِيَ يَارَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: لِمَنْ اَطَابَ الْكَلاَم َوَاَطْعَمَ الطَّعَامَ وَاَدَامَ الصِّياَمَ  وَصَلَّى لِلَّهِ بِالَّليْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ. (رواه الترمذي عن على بن ابي طالب)

“Sesungguhnya di dalam surga ada tempat-tempat yang tinggi, di belakangnya dapat dilihat tembus dari hadapannya dan hadapannya dapat dilihat tembus dari belakangnya.” Lalu seseorang Arab Badui berdiri dan bertanya, “Untuk siapa tempat-tempat itu, ya Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Tempat-tempat itu untuk orang-orang yang baik perkataannya, memberi makan (orang miskin), selalu berpuasa dan salat karena Allah di malam hari sedang orang lain tidur.” (Riwayat at-Tirmidzi dari ‘Ali bin Abi Thalib)

Demikianlah surga yang dijanjikan Allah kepada orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, bersabar, dan bertawakal kepada-Nya.

Pada ayat ini diterangkan bahwa Allah berjanji akan memberikan ganjaran kepada orang-orang yang beriman. Janji Allah itu dikuatkan dengan kalimat sumpah. Hal ini adalah untuk menenteramkan hati kaum Muslimin, agar langkah mereka mantap dalam menempuh jalan yang lurus dan sulit, seperti hijrah dan sebagainya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 60-61


Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 56 (Part 2)

0
Tafsir Surah Al-'Ankabut 66-67
Tafsir Surah Al-'Ankabut 66-67

Melanjutkan tafsir sebelumnya, Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 56 (Part 2) ini menceritakan perjalanan Hijrah Rasulullah dan umat Islam. Dijelaskan dalam Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 56 (Part 2) bahwa pertama kali Rasulullah dan umat Islam hijrah ke Habsyah yang sekarang dikenal dengan Ethiophia, kemudian hijrah ke Madinah.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 56 (Part 1)


Nabi saw dan kaum Muslimin telah memenuhi panggilan suci itu. Mereka hijrah kepada Allah baik secara perorangan maupun secara rombongan. Pertama kali mereka hijrah ke Ethiopia (Habsyah).*)

Di sana Allah menempatkan mereka di tempat yang mulia. Kemudian mereka hijrah ke Medinah, yang akhirnya menjadi tempat hijrah kaum Muslimin terutama setelah Rasulullah saw juga hijrah ke sana. Di Medinah orang-orang Muhajirin (kaum Muslimin yang datang dari Mekah) diterima dengan tangan terbuka dan senang hati oleh kaum Anshar (penduduk asli Medinah yang telah masuk Islam), seakan-akan kaum Muhajirin itu adalah tamu-tamu yang mereka nanti-nantikan kedatangannya selama ini.

Rumah-rumah dan harta mereka dimanfaatkan bersama dengan orang Muhajirin yang baru datang, yang tidak membawa sesuatu apa pun dari Mekah. Bahkan terlihat kaum Anshar telah mengutamakan kaum Muhajirin dari diri mereka sendiri. Demikian eratnya hubungan kedua golongan itu sehingga Rasulullah menjadikan keduanya sebagai hubungan karib-kerabat. Bahkan pada permulaan hijrah, kelompok Muhajirin dan Anshar dapat saling mewarisi di antara mereka.

Dengan kedatangan kaum Muhajirin itu, kota Medinah menjadi semakin semarak dan berkembang. Kota itu kemudian menjadi pusat pembinaan masyarakat Islam, tempat berkumpul kaum Muslimin dari segala penjuru dan akhirnya menjadi pusat pemerintahan Islam. Hubungan erat antara golongan Muhajirin dan Anshar dipuji Allah sebagai hubungan yang menjadi dasar terbentuknya masyarakat Islam.

Allah meninggikan kedudukan Muhajirin karena telah mengorbankan semua yang mereka miliki, untuk kepentingan agama Allah, sedangkan kaum Anshar adalah penolong-penolong agama. Mereka bersedia menginfakkan apa yang mereka miliki untuk kepentingan agama.

Semua yang dialami oleh orang-orang Muhajirin setelah sampai dan menetap di Medinah serta membaur dengan penduduk asli Medinah, yaitu golongan Anshar, merupakan bukti kebenaran janji Allah kepada mereka ketika mereka diperintahkan hijrah ke Medinah.

Ayat ini ditutup dengan perkataan, “Karena itu hanya kepada-Nyalah kamu menyembah.” Kalimat ini berarti bahwa bumi ini luas sekali dan merupakan kepunyaan Allah. Di mana saja manusia berada dan bertempat tinggal, maka tempat itu adalah milik Allah. Oleh karena itu, sudah sepantasnya manusia mengesakan dan menghambakan diri kepada-Nya.

Ayat di atas merupakan dakwah samawiyah kepada manusia untuk membebaskan dirinya baik fisik maupun jiwa dari segala macam keterikatan dan belenggu materiil atau spiritual yang dapat mengganggu gerak-geriknya, dan menghalangi kebebasannya.

Dalam kehidupan di mana saja dan dalam situasi apa saja, manusia tidak akan mendapatkan kebebasan, kemerdekaan, kelangsungan hidup dan kelangsungan jenisnya yang hakiki, sebagaimana yang telah ditetapkan Allah, seandainya ia sendiri tidak berusaha dengan sungguh-sungguh ke arah itu. Jika mereka berusaha, tentu mereka akan memperolehnya. Sebaliknya jika mereka tidak berusaha, berarti mereka telah menganiaya diri sendiri dan tidak akan memperoleh apa yang mereka inginkan.

Dakwah Islam adalah untuk membebaskan manusia dari penindasan dan kesesatan. Oleh karena itu, kaum Muslimin diwajibkan berjihad menentang penindasan dan kesesatan itu dengan jalan mengorbankan harta dan jiwa mereka.

Jihad yang paling tinggi nilainya dan paling utama bagi seorang mukmin ialah jihad yang dilakukan untuk membebaskan diri sendiri dari penindasan dan kesesatan, sesudah itu jihad baru dilanjutkan kepada orang lain. Seorang mukmin harus membebaskan diri dari segala penindasan yang bersifat merendahkan dan menghinakan, sehingga ia harus memberantas kedua penyakit itu. Allah berfirman:

اِنَّ الَّذِيْنَ تَوَفّٰىهُمُ الْمَلٰۤىِٕكَةُ ظَالِمِيْٓ اَنْفُسِهِمْ قَالُوْا فِيْمَ كُنْتُمْ ۗ قَالُوْا كُنَّا مُسْتَضْعَفِيْنَ فِى الْاَرْضِۗ  قَالُوْٓا اَلَمْ تَكُنْ اَرْضُ اللّٰهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوْا فِيْهَا ۗ فَاُولٰۤىِٕكَ مَأْوٰىهُمْ جَهَنَّمُ ۗ وَسَاۤءَتْ مَصِيْرًاۙ 

Sesungguhnya orang-orang yang dicabut nyawanya oleh malaikat dalam keadaan menzalimi sendiri, mereka (para malaikat) bertanya, “Bagaimana kamu ini?” Mereka menjawab, “Kami orang-orang yang tertindas di bumi (Mekah).” Mereka (para malaikat) bertanya, “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah (berpindah-pindah) di bumi itu?” Maka orang-orang itu tempatnya di neraka Jahanam, dan (Jahanam) itu seburuk-buruk tempat kembali, (an-Nisa’/4: 97)

Pada ayat di atas, Allah menjanjikan azab yang sangat pedih di akhirat nanti kepada orang-orang yang hina dan lemah itu karena telah merendahkan agama dan meremehkan diri di hadapan orang-orang kafir.

Mereka tidak ubahnya seperti barang dagangan yang berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain. Mereka tidak sanggup menyatakan kehendak dan keinginan mereka, apalagi berdakwah ke jalan kebaikan.

Oleh karena itu, dakwah Islam ditujukan untuk membebaskan manusia, mengembangkan akal, dan menghilangkan segala macam tekanan pada hati dan jiwa, sebagaimana dakwah itu ditujukan untuk mempertahankan kelangsungan hidup manusia, sebagai makhluk yang diciptakan untuk beribadah kepada-Nya.


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 57-59


(Tafsir Kemenag)

Pro Kontra Tentang Hukum Babi Laut Menurut Ulama Tafsir

0
Tentang Hukum Babi Laut Menurut Ulama Tafsir
Tentang Hukum Babi Laut Menurut Ulama Tafsir

Salah satu tafsir ahkam yang menjadi perbincangan para ahli tafsir di dalam kitab tafsir mereka terkait keharaman babi, adalah soal khinzirul ma’ atau babi laut. Babi laut dinyatakan oleh ahli tafsir sebagai jenis hewan yang memicu pro kontra antar ulama’ terkait kehalalan atau keharamannya. Hal ini dapat dilihat dalam tafsir karya Imam Ar-Razi dan Imam Al-Qurthubi. Lalu sebenarnya seperti apakah babi laut itu? Dan seperti apakah pro kontra para ulama’ terkait hukum babi laut? Simak penjelasannya sebagai berikut:

Keberadaan Babi Laut

Allah berfirman:

اِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيْرِ وَمَآ اُهِلَّ بِهٖ لِغَيْرِ اللّٰهِ ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَّلَا عَادٍ فَلَآ اِثْمَ عَلَيْهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah. Akan tetapi, siapa yang terpaksa (memakannya), bukan karena menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. Al-Baqarah [2] :173).

Imam Al-Qurthubi tatkala mengulas ayat di atas menyatakan, tidak ada perbedaan di antara para ulama’ terkait keharaman babi darat. Sedang mengenai babi laut, ada pro kontra antar ulama’. Imam Ar-Razi menyatakan, ulama’ berbeda pendapat mengenai babi laut. Imam Ibn Abi Laila, Imam Malik, Imam As-Syaf’i dan Imam Al-Auza’i menyatakan bahwa segala apa yang ada di laut boleh dimakan. Ini menunjukkan bahwa babi laut hukumnya halal. Sedang Imam Abu Hanifah menyatakan babi laut tidak boleh dimakan (Tafsir al-jami’ li ahkamil qur’an/2/223 dan Tafsir Mafatihul Ghaib/3/33).

Baca juga: Inilah Delapan Ciri-Ciri Mukmin Sejati Menurut Surah Al-Furqan

Keterangan Imam Al-Qurthubi dan Imam Ar-Razi menunjukkan bahwa ada istilah babi laut di kalangan para ulama’. Dan ini menunjukkan bahwa hewan tersebut adalah selain dari hewan babi yang sebagaimana kita kenal. Lalu sebenarnya jenis binatang laut apakah babi laut tersebut? Apakah ini mirip dengan istilah anjing laut?

Apabila kita memasukkan kata kunci khinzirul ma’ (babi laut) di kolom pencarian situs Google, maka akan muncul keterangan bahwa hewan tersebut adalah hewan pengerat yang memiliki nama lain Kapibara. Sayangnya sepertinya ini bukanlah babi laut yang dimaksud oleh ulama’. Sebab babi laut yang disebut ulama’ mengarah ke jenis hewan laut, sedang Kapibara adalah hewan darat.

Keterangan yang cukup dekat dengan apa yang dimaksud ulama’ adalah pernayataan Ad-Damiri dalam kitab Hayatul Hayawan, bahwa menurut pendapat mashur babi laut adalah Dolphin atau ikan lumba-lumba. Ad-Damiri juga mengulas panjang lebar tentang perbedaan ulama’ mengenai hukum mengkonsumsi babi laut (Hayatul Hayawan/1/309).

Baca juga: Mengungkap Makna dan Pesan Lafaz Khusr dalam Al-Quran

Hukum Mengkonsumsi Babi Laut

Imam Al-Mawardi menyatakan hewan laut yang diperdebatkan oleh para ulama’ mengenai hukumnya adalah yang memiliki kemiripan dengan hewan darat. Seperti tikus laut, anjing laut dan babi laut. Mayoritas ulama’ menyatakan hewan-hewan tersebut halal untuk dikonsumsi. Sedang ulama’ yang menyatakan haram adalah Imam Abu Hanifah serta sebagian pengikut Mazhab Syafiiyah (Al-Hawi Al-Kabir/15/141).

Imam Ar-Razi menyatakan, mayoritas ulama’ menyatakan babi laut halal berdasar Surat Al-Maidah ayat 96 yang menerangkan bahwa hewan laut hukumnya halal. Sedang dasar yang dipakai Abu Hanifah untuk mengharamkan babi laut adalah, bagaimana pun babi laut adalah termasuk hewan yang dinamai babi. Dan sudah ada keterangan tentang diharamkannya babi di dalam Al-Qur’an (Tafsir Mafatihul Ghaib/3/33).

Berbagai uraian di atas menjelaskan kepada kita bahwa babi laut atau biasa kita kenal sebagai ikan lumba-lumba, hukum mengkonsumsinya masih diperdebatkan oleh para ulama’. Mayoritas ulama’ menyatakan halal, sedang Imam Abu Hanifah dan sebagian pengikut Mazhab Syafiiyah menyatakan haram. Wallahu a’lam bish showab.