Beranda blog Halaman 309

Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 56 (Part 1)

0
Tafsir Surah Al-'Ankabut 66-67
Tafsir Surah Al-'Ankabut 66-67

Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 56 (Part 1) merupakan perintah Allah kepada hamba-Nya yang beriman agar berpindah ke tempat yang hidupnya tidak tertindas dan dapat menjalankan ketentuan-ketentuan agama. 


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 53-55


Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 56 (Part 1) ini mengandung prinsip universal bahwa Allah menciptakan bumi ini untuk kepentingan manusia, sehingga seorang muslim tidak boleh terlalu fanatik dalam membela wilayahnya saja.

Ayat 56

Dalam Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 56 (Part 1) ini, Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman agar meninggalkan tempat tinggal mereka jika di sana mereka tidak dapat melaksanakan ketentuan-ketentuan agama, dan hidup dalam keadaan tertindas. Ayat ini mengandung suatu prinsip universal yang menyatakan bahwa bumi Allah ini diciptakan untuk kepentingan manusia. Seseorang boleh tinggal di mana saja ia inginkan apabila merasa aman di tempat itu.

Di tempat yang baru itu, kaum Muslimin akan menemukan saudara-saudara dan keluarga-keluarga yang baru sebagai ganti dari saudara dan keluarga yang mereka tinggalkan, karena pada asasnya seluruh kaum Muslimin adalah bersaudara, saudara seiman, senasib dan seperjuangan.

Prinsip lain yang terkandung dalam ayat ini ialah agama Islam menyuruh penganutnya agar jangan terlalu fanatik kepada kampung halaman dan tempat kelahirannya. Tanah air wajib dibela, dibina, dan dibangun, demikian pula bangsa wajib dimajukan. Akan tetapi, janganlah sekali-kali karena terlalu mementingkan tanah air dan bangsa sendiri, berakibat merugikan negara dan bangsa lain.

Seakan-akan Allah mengingatkan bahwa alam semesta ini adalah milik Allah dan diciptakan untuk kepentingan manusia. Oleh karena itu, manusia diperintahkan untuk menggunakan alam ini sesuai dengan tujuan Allah menciptakannya. Jangan sekali-kali ada yang mengaku bahwa sesuatu adalah miliknya yang mutlak. Kepemilikan seseorang atas sesuatu hanyalah sementara, dan pada saatnya milik itu akan diambil oleh-Nya kembali.

Ungkapan kalimat ayat di atas juga mengingatkan kaum Muslimin akan luas dan banyaknya milik Allah, agar mereka melayangkan pandangan jauh ke depan, dan tidak berpandangan sempit dan terbatas. Ungkapan itu mengingatkan kaum Muslimin agar jangan hanya melihat tempat kediaman sendiri dan beranggapan bahwa bumi itu hanyalah terbatas pada tempat tinggal mereka saja.

Anggapan yang demikian itu salah. Bumi Allah itu lebih luas dari yang mereka perkirakan semula. Kalau mereka keluar dari negeri sendiri pergi menjelajahi negeri-negeri yang ada di dunia ini, tentu mereka akan melihat dan memperoleh pengalaman yang berharga dalam perjalanan itu. Mereka juga akan memperoleh kelapangan sesudah kesempitan dan sebagainya.

Allah berfirman:

وَمَنْ يُّهَاجِرْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ يَجِدْ فِى الْاَرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيْرًا وَّسَعَةً

Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. (an-Nisa’/4: 100)

Kemudian dalam sebuah hadis, Rasulullah saw bersabda:

اَلْبِلاَدُ بِلاَدُ اللهِ وَالْعِبَادُ عِبَادُاللهِ فَحَيْثُمَا اَصَبْتَ خَيْرًا فَأَقِمْ. (رواه احمد عن الزبير بن العوام)

Semua negeri adalah negeri Allah, dan semua hamba adalah hamba Allah, maka di mana saja kamu mendapat kebaikan (rezeki) maka bertempat tinggallah . (Riwayat Ahmad dari az-Zubair bin al-‘Awwam)

Allah memerintahkan agar hamba-hamba-Nya yang beriman hijrah meninggalkan kampung halaman mereka, karena Ia menjamin kehidupan mereka di bumi tempat mereka hijrah itu. Melaksanakan perintah hijrah meninggalkan kampung halaman adalah suatu perintah yang sangat berat dilaksanakan oleh seseorang, karena hal itu berarti ia berpisah dan meninggalkan famili dan kaum kerabatnya.

Ia juga meninggalkan rumah dan pekarangan yang telah lama dirawat dan dibinanya, serta harta benda dan binatang ternak kesayangannya. Ia akan berpisah dengan negeri dan segala isinya, yang selama ini seakan-akan telah menyatu dengan dirinya sebagaimana bersatunya tubuh dengan anggota-anggota tubuh lainnya.

Oleh karena itu, Allah menyampaikan perintah hijrah itu dengan nada yang lemah lembut dan halus sekali, seakan-akan diperintahkan kepada mereka, “Wahai hamba-hamba-Ku yang telah beriman kepada-Ku, ingatlah olehmu bahwa Aku telah menciptakan bumi yang luas ini untuk kamu semua. Oleh karena itu, manfaatkan dan tempatilah bumi itu olehmu.”

Dalam seruan itu tergambar pula janji yang diharapkan oleh orang-orang yang hijrah itu, yaitu Allah akan membalas amal mereka karena kepatuhan mereka melaksanakan seruan-Nya. Balasan itu berupa rumah-rumah yang lebih baik dari rumah yang mereka tinggalkan, dan harta yang lebih banyak berkahnya dari harta yang mereka tinggalkan.

Demikian pula saudara-saudara dan kerabat-kerabat mereka akan diganti dengan kerabat yang lebih baik dan luhur dari saudara dan kerabat yang mereka tinggalkan selama mereka tetap menghambakan diri kepada-Nya dan melaksanakan dakwah kepada manusia.


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 56 (Part 2)


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 53-55

0
Tafsir Surah Al-'Ankabut 66-67
Tafsir Surah Al-'Ankabut 66-67

Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 53-55 menerangkan bagaimana keras kepalanya kaum musyrikin yang tidak mau menerima petunjuk yang telah disampaikan oleh Nabi Muhammad. Bahkan dalam Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 53-55 ini mereka menantang Allah untuk menyegerakan azab yang akan menimpa mereka.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 51-52


Ayat 53

Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 53-55 khususnya ayt 53 ini menerangkan bahwa kaum musyrik telah mengetahui ancaman Tuhan berupa azab yang akan ditimpakan kepada mereka. Akan tetapi, mereka tidak percaya akan kedatangan azab itu sehingga mereka menantang kalau benar azab itu ada, maka hendaklah segera ditimpakan kepada mereka, seperti yang mereka katakan dalam firman Allah:

فَاَمْطِرْ عَلَيْنَا حِجَارَةً مِّنَ السَّمَاۤءِ اَوِ ائْتِنَا بِعَذَابٍ اَلِيْمٍ

Maka hujanilah kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami azab yang pedih. (al-Anfal/8: 32)

Firman Allah:

وَيَقُوْلُوْنَ مَتٰى هٰذَا الْوَعْدُ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ

Dan mereka mengatakan,  ”Bilakah (datangnya) ancaman itu, jika kamu orang-orang yang benar?” (Yunus/10: 48)

Allah menerangkan bahwa ketentuan datangnya azab itu seluruhnya berada di tangan-Nya, tidak seorangpun yang dapat mengetahuinya. Allah telah menetapkan untuk menangguhkan azab itu sampai waktu yang telah ditentukan-Nya. Seandainya Allah telah menetapkan waktunya untuk mendatangkan azab, tentu ia akan datang kepada orang-orang musyrik secara tiba-tiba, pada saat mereka lengah dan tidak menyadarinya.

Pengunduran azab kepada orang-orang kafir itu tentu ada hikmah dan tujuannya. Di antaranya ialah sebagai ujian bagi manusia, siapa di antara mereka yang sabar dan siapa yang tidak. Bagi orang yang sabar, ujian itu akan menambah kuat keimanannya. Sedangkan orang yang tidak sabar, maka dengan ujian itu ia akan kembali kafir atau bertambah kekafirannya. Firman Allah:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ حَتّٰى نَعْلَمَ الْمُجٰهِدِيْنَ مِنْكُمْ وَالصّٰبِرِيْنَۙ وَنَبْلُوَا۟ اَخْبَارَكُمْ

Dan sungguh, Kami benar-benar akan menguji kamu sehingga Kami mengetahui orang-orang yang benar-benar berjihad dan bersabar di antara kamu; dan akan Kami uji perihal kamu. (Muhammad/47: 31)

Adakalanya penangguhan azab itu bertujuan agar orang yang ingkar itu semakin bertambah keingkarannya. Dengan demikian, mereka akan ditimpa azab yang berlipat ganda.

Allah berfirman:

اَلَّذِيْنَ كَفَرُوْا وَصَدُّوْا عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ زِدْنٰهُمْ عَذَابًا فَوْقَ الْعَذَابِ بِمَا كَانُوْا يُفْسِدُوْنَ

Orang yang kafir dan menghalangi (manusia) dari jalan Allah, Kami tambahkan kepada mereka siksaan demi siksaan disebabkan mereka selalu berbuat kerusakan. (an-Nahl/16 : 88)

Sebenarnya ada azab yang telah menimpa orang-orang musyrik Mekah, tetapi mereka tidak menyadarinya sebagai azab Tuhan, yakni kekalahan mereka pada perang Badar. Ketika itu, mereka melihat dan merasakan bagaimana Allah telah menimpakan azab kepada mereka. Namun demikian, Allah tidak menghancurkan semua orang-orang kafir dalam peperangan itu, sebagaimana terjadi pada umat-umat yang dahulu.

Di antara mufasir ada yang berpendapat bahwa Allah sengaja tidak menghancurkan orang-orang kafir itu semuanya karena di antara mereka masih ada yang diharapkan keimanannya sesudah peperangan itu.

Mereka ini diharapkan akan menjadi tentara Islam yang berpengalaman untuk membawa panji-panji Islam, kemudian dilanjutkan keturunan-keturunan mereka dari suatu generasi ke generasi yang akan datang kemudian, sampai kepada waktu yang ditentukan Allah. Semuanya itu terjadi sesuai dengan rencana dan kebijaksanaan Allah yang tidak diketahui oleh seorang pun, selain Dia sendiri.

Ayat 54

Pada Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 53-55 khususnya ayat ini diterangkan akibat-akibat yang akan dialami oleh orang-orang musyrik karena keingkaran dan kebodohan mereka. Mereka akan dimasukkan ke dalam neraka yang apinya membakar seluruh tubuh.

Ayat ini merupakan peringatan keras bagi orang-orang kafir dengan menerangkan azab yang akan menimpa mereka di akhirat nanti. Ini dikarenakan tuntutan mereka agar disegerakan datangnya azab itu.

Ayat 55

Ayat ini menerangkan bagaimana api neraka itu membakar orang-orang kafir di akhirat nanti. Seluruh bagian tubuh mereka akan merasakan azab, sejak dari ubun-ubun sampai ke ujung-ujung jari kaki, sejak dari bagian-bagian tubuh yang kelihatan sampai ke yang tidak kelihatan.

Mereka akan diselubungi oleh azab dari segala penjuru, dari atas dan dari bawah, serta dari samping kanan dan kiri. Dalam keadaan demikian, kepada mereka dikatakan, “Rasakanlah olehmu pada hari ini azab yang dijanjikan itu, sebagai akibat perbuatan-perbuatanmu dahulu.”

Pada ayat-ayat yang lain dijelaskan bagaimana api neraka itu meliputi orang-orang kafir. Allah berfirman:

لَهُمْ مِّنْ جَهَنَّمَ مِهَادٌ وَّمِنْ فَوْقِهِمْ غَوَاشٍۗ

Bagi mereka tikar tidur dari api neraka dan di atas mereka ada selimut (api neraka). (al-A’raf/7: 41)

Firman-Nya juga:

لَهُمْ مِّنْ فَوْقِهِمْ ظُلَلٌ مِّنَ النَّارِ وَمِنْ تَحْتِهِمْ ظُلَلٌ

Di atas mereka ada lapisan-lapisan dari api dan di bawahnya juga ada lapisan-lapisan yang disediakan bagi mereka. (az-Zumar/39: 16)

(Tafsir Kemenag)


Baca Juga: Doa Agar Terhindar dari Kezaliman dan Fitnah dalam Al-Quran


Konsep Taaddud As-Sabab Wa An-Nazil Wahid di Dalam Ulumul Al-Quran (Bagian 2)

0
Konsep Taaddud As-Sabab Wa An-Nazil Wahid
Konsep Taaddud As-Sabab Wa An-Nazil Wahid

Sebelumnya telah dijelaskan apa itu ta’addud as-sabab wa an-nazil wahid serta dua klasifikasinya. Tulisan ini adalah lanjutan dari bagian 1 yang akan menjelaskan klasifikasi ketiga dan keempat dari konsep taaddud as-sabab wa an-nazil wahid.

  1. Kedua riwayat sama-sama shahih, tidak ada yang diunggulkan namun masih bisa dikompromikan.

Klasifikasi ketiga dari dua riwayat asbab an-nuzul yang berbeda adalah kedua riwayat tersebut derajatnya sama-sama shahih dan tidak ada yang diunggulkan di antara keduanya tetapi masih bisa dikompromikan. Sehingga, ayat yang turun itu bisa disebabkan oleh dua kejadian yang berbeda yang berdekatan waktunya. Imam Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, ‘Tidak ada penghalang untuk taaddud al-asbab (berbilangnya sebab).’

Contoh klasifikasi ini adalah tentang turunnya surah An-Nur [24]: 6

Riwayat pertama adalah mengenai kisah Hilal bin Umayyah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Diceritakan bahwa Hilal bin Umayyah menuduh zina istrinya dengan Syarik bin Sahma’ dan membawa persoalan tersebut kepada Nabi ﷺ. Kemudian Nabi ﷺ bersabda,

الْبَيِّنَةُ أَوْ حَدٌّ فِي ظَهْرِكَ

Artinya: Bawalah bukti (empat orang saksi) atau had (hukuman) cambuk bagimu.

Baca juga: Inilah Delapan Ciri-Ciri Mukmin Sejati Menurut Surah Al-Furqan

Hilal bin Umayyah pun heran dan bertanya kepada Rasulullah ﷺ,

يَا رَسُولَ الِلَّهِ إِذَا رَأَى أَحَدُنَا مَعَ امْرَأَتِهِ رَجُلًا يَنْطَلِقُ يَلْتَمِسُ الْبَيِّنَةَ

Artinya: Wahai Rasulullah, jika salah seorang dari kita melihat laki-laki lain bersama istrinya, haruskah ia mencari saksi?

Nabi ﷺ tetap menjawab sama seperti sebelumnya. Dan Hilal akhirnya berkata,

وَالَّذِيْ بَعَثَكَ بِالْحَقِّ إِنِّي لَصَادِقٌ وَلَيُنْزِلَنَّ اللهُ تَعَالَى مَا يُبَرِّئُ ظَهْرِيْ مِنَ الْحَدِّ

Artinya: Demi Zat Yang Mengutusmu dengan kebenaran, sesungguhnya aku berkata benar. Dan sungguh Allah ta’ala akan menurunkan ayat yang akan membebaskan punggungku dari hukuman cambuk.

Maka, kemudian turunlah Malaikat Jibril dan Allah menurunkan kepadanya Q.S. An-Nur [24]: 6

وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلَّا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ (6)

Artinya: Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar.

Dan riwayat kedua adalah cerita tentang ‘Uwaimir bin Nasr yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari jalur Sahl bin Sa’d, bahwa Uwaimir bin Nasr datang kepada ‘Ashim bin ‘Adi dan berkata,

كَيْفَ تَقُولُونَ فِي رَجُلٍ وَجَدَ مَعَ امْرَأَتِهِ رَجُلًا، أَيَقْتُلُهُ فَتَقْتُلُونَهُ، أَمْ كَيْفَ يَصْنَعُ؟

Artinya: Bagaimana pendapatmu mengenai laki-laki yang menemukan laki-laki lain bersama dengan istrinya, apakah ia boleh membunuhnya hingga kalian membunuh laki-laki itu? Atau apa yang mesti dilakukan?

Baca juga: Mengungkap Makna dan Pesan Lafaz Khusr dalam Al-Quran

Maka kemudian ‘Ashim bertanya kepada Rasulullah ﷺ. Tetapi Rasulullah ﷺ mencela orang yang bertanya tentang hal tersebut. Maka ‘Ashim kemudian memberitahukan hal itu kepada ‘Uwaimir dan dia menjawab,

وَاللَّهِ لَآتِيَنَّ رَسُولَ الله ﷺ فلَأَسْأَلَنَّهُ

Artinya: Demi Allah, aku sungguh akan mendatangi Rasulullah dan menanyakannya kepadanya.

Maka ‘Uwaimir pun datang kepada Rasulullah dan menanyakannya. Rasulullah ﷺ pun menjawab,

إنَّهُ قَدْ أُنْزِلَ فِيكَ وَفِي صاحَبَتِكَ قرآنٌ

Artinya: Sesungguhnya telah diturunkan ayat al-Quran kepadamu dan sahabatmu.

Kemudian Nabi ﷺ membacakan surah An-Nur [24]: 6

Dua riwayat tersebut dapat dipadukan dalam satu jalinan cerita. Ayat tersebut pertama kali turun berkaitan dengan kisahnya Hilal bin Umayyah dan juga bertepatan dengan waktu datangnya ‘Uwaimir kepada Rasulullah ﷺ. Sehingga, kedua riwayat tersebut dapat dikompromikan.

Baca juga: Apakah Bulu Babi Juga Diharamkan? Begini Pendapat Ulama Tafsir

  1. Kedua riwayat sama-sama shahih, tidak ada yang diunggulkan, dan tidak bisa dikompromikan.

Klasifikasi terakhir dari konsep ta’addud as-sabab wa an-nazil wahid adalah kedua riwayat derajatnya sama-sama shahih, tidak ada yang diunggulkan, dan juga tidak bisa dikompromikan disebabkan jarak waktu antara dua asbab an-nuzul tersebut jauh.

Contoh yang dapat kita ambil adalah tentang asbab an-nuzul Q.S. An-Nahl [16]: 126-128.

Riwayat yang pertama ditakhrij oleh al-Baihaqi dan al-Bazzar dari Abu Hurairah. Bahwasannya Nabi Muhammad ﷺ berdiri lama di samping Hamzah, paman Rasulullah, ketika beliau syahid di Perang Uhud dalam keadaan termutilasi tubuhnya. Maka Nabi ﷺ bersabda, ‘Sungguh aku akan memutilasi tujuh puluh orang dari mereka sebagai balasan atas perbuatan mereka terhadapmu.’ Kemudian turunlah Malaikat Jibril dengan membawa wahyu, yaitu akhir Q.S. An-Nahl [16]: 126-128

وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ وَلَئِنْ صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِلصَّابِرِينَ (126) وَاصْبِرْ وَمَا صَبْرُكَ إِلَّا بِاللَّهِ وَلَا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَلَا تَكُ فِي ضَيْقٍ مِمَّا يَمْكُرُونَ (127) إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُمْ مُحْسِنُونَ (128)

Artinya: Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar. Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.

Sedangkan riwayat yang kedua ditakhrij oleh at-Tirmidzi dan al-Hakim dari Ubay bin Ka’ab. Bahwa ketika terjadi Perang Uhud, ada 64 orang Anshar yang meninggal. Sedangkan dari kaum Muhajirin berjumlah 6 orang. Mereka semua syahid dalam keadaan termutilasi tubuhnya. Maka kaum Anshar berkata, ‘Jika suatu hari nanti kita berperang lagi dengan mereka, kita pasti akan membalas mereka dengan hal yang serupa.’

Ketika terjadi penaklukan Kota Mekkah, maka Allah Swt. menurunkan akhir Surah An-Nahl tersebut.

Dua riwayat tersebut terjadi dalam rentang waktu yang jauh. Riwayat pertama mengatakan turun ketika Perang Uhud, sedangkan yang kedua turun ketika Fathu Makkah. Sehingga tidak mungkin dua riwayat tersebut dikompromikan dalam satu cerita asbab an-nuzul.

Oleh karena itu, menurut Imam az-Zarqani ayat penutup surah An-Nahl tersebut turun sebanyak tiga kali. Pertama di Mekkah. Karena ada pendapat sebagian ulama yang menyatakan bahwa seluruh Surah An-Nahl adalah Makkiyyah. Kedua ketika terjadi Perang Uhud. Dan ketiga ketika terjadi penaklukan Kota Mekkah.

Baca juga: 3 Dosa Besar Yang Wajib Dihindari Jika Ingin Menjadi Mukmin Sejati

Imam az-Zarqani juga menjelaskan adanya hikmah yang agung dalam pengulangan turunnya ayat al-Quran, yaitu peringatan Allah ﷻ kepada hamba-Nya agar senantiasa memerhatikan pesan yang disampaikan dalam ayat yang diulang tersebut, baik berupa wasiat ataupun faedah yang melimpah.

Itulah konsep tentang ta’addud sabab wa an-nazil wahid yang disarikan dari kitab Manahil alIrfan fi Ulum al-Quran karya Imam az-Zarqani dengan tambahan referensi dari kitab al-Itqan fi Ulum al-Quran karya Imam Jalaluddin as-Suyuthi serta kitab at-Tibyan fi Ulum al-Quran karya Syekh Muhammad Ali as-Shobuni. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 51-52

0
Tafsir Surah Al-'Ankabut 66-67
Tafsir Surah Al-'Ankabut 66-67

Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 51-52 menjelaskan bahwa Alquran merupakan mukjizat yang nyata bagi Nabi Muhammad, namun orang-orang kafir justru mengingkari hal tersebut dan meminta mukjizat dalam bentuk lain seperti Nabi sebelumnya. Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 51-52 juga memperingatkan bahwa Allah Maha Mengetahui apa yang tidak diketahui oleh manusia.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 49-50


Ayat 51

Ad-Darimi dan Abu Dawud meriwayatkan bahwa telah datang serombongan kaum Muslimin kepada Nabi Muhammad dengan membawa kisah-kisah yang mereka tulis sendiri, yang sebagian isinya bersumber dari orang-orang Yahudi.

Nabi saw berkata, “Cukuplah kebodohan dan kesesatan suatu kaum yang menolak apa yang dibawa nabi mereka, dan menginginkan sesuatu yang dibawa oleh seorang nabi yang bukan nabi mereka untuk orang lain. Lalu ayat ini diturunkan oleh Allah.

Ayat ini juga merupakan jawaban yang menolak tuntutan orang-orang musyrik Mekah yang meminta mukjizat yang nyata. Padahal Al-Qur’an telah dibacakan kepada mereka. Apakah tidak cukup bagi mereka dalil-dalil yang menerangkan bukti-bukti kerasulan Muhammad saw, yang termuat dalam kitab-kitab suci yang terdahulu, sedang mereka sendiri tidak mengetahuinya dengan pasti.

Apakah tidak terpikir oleh mereka bahwa seorang yang tidak pandai tulis baca, dan tidak pernah bergaul apalagi belajar kepada Ahli Kitab sanggup menyampaikan Al-Qur’an kepada mereka dengan isi yang benar, agung dan mulia serta dengan nilai sastra yang demikian tinggi. Seandainya mereka mau berpikir dan menginginkan kebenaran, Al-Qur’an saja sebenarnya telah cukup menjadi bukti bagi mereka untuk membenarkan kerasulan Muhammad.

Kemudian Allah menerangkan keutamaan dan kelebihan Al-Qur’an dengan mengatakan bahwa ayat-ayatnya merupakan rahmat bagi mereka, karena di dalamnya tidak terdapat ancaman-ancaman, seperti yang pernah diberikan kepada orang-orang terdahulu.

Karena mereka juga mengingkari, seharusnya mereka mengalami apa yang pernah dialami oleh orang-orang dahulu yang pernah mengingkari rasul-Nya, seperti kaum ‘Ad, Samud, Fir‘aun, dan yang lain-lain. Tidak adanya ancaman kemusnahan bagi kaum musyrik di dalam Al-Qur’an merupakan suatu rahmat Allah yang besar bagi umat Muhammad yang datang kemudian.

Diterangkan pula bahwa ayat-ayat Al-Qur’an adalah pelajaran bagi orang-orang yang beriman. Maksudnya ialah ayat-ayat Al-Qur’an itu menerangkan peristiwa yang dialami umat-umat dahulu, dan bagaimana sikap mereka terhadap para rasul yang diutus untuk menerangkan bukti-bukti keesaan Allah yang kuat dan lengkap.

Al-Qur’an juga menerangkan akhlak mulia yang harus dipunyai oleh seorang manusia yang baik, menerangkan hukum-hukum dan petunjuk mencapai kebahagiaan hidup, memuat pengetahuan yang sangat berguna bagi manusia, dan sebagainya.

Seandainya orang-orang musyrik dan manusia-manusia yang lain mau menjadikan ayat-ayat tersebut sebagai pelajaran, memikirkan serta mengamalkannya, tentulah mereka akan memperoleh jalan yang benar, dan berbahagia di dunia dan di akhirat. Akan tetapi, jika mereka tidak mau dan tidak berniat untuk menghilangkan penyakit yang ada dalam hati, mereka tentu akan menjadi orang yang merugi di dunia dan akhirat.

Ayat 52

Dalam ayat ini, Allah memerintahkan Nabi Muhammad agar menyampaikan kepada orang-orang musyrik yang tetap tidak percaya kepada kerasulannya bahwa Allah mengetahui dan menyaksikan bagaimana ia telah melaksanakan tugas kepada mereka. Ia telah menyampaikan ancaman-ancaman dan kabar gembira kepada mereka, tetapi semua itu mereka ingkari.

Allah mengetahui sikap mereka terhadap seruan Nabi saw, bahkan mengetahui isi hati mereka. Dia akan memberi ganjaran setiap sesuatu yang dikerjakan oleh makhluk-Nya. Seandainya Nabi Muhammad berdusta dan mengada-adakan kebohongan terhadap Allah, ia pasti akan ditimpa azab. Allah berfirman:

وَلَوْ تَقَوَّلَ عَلَيْنَا بَعْضَ الْاَقَاوِيْلِۙ  ٤٤  لَاَخَذْنَا مِنْهُ بِالْيَمِيْنِۙ  ٤٥  ثُمَّ لَقَطَعْنَا مِنْهُ الْوَتِيْنَۖ  ٤٦  فَمَا مِنْكُمْ مِّنْ اَحَدٍ عَنْهُ حَاجِزِيْنَۙ  ٤٧

Dan sekiranya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, pasti Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian Kami potong pembuluh jantungnya. Maka tidak seorang pun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami untuk menghukumnya). (al-Haqqah/69: 44-47)

Allah menerangkan bahwa Dia mengetahui segala yang ada di langit dan di bumi. Dia mengetahui keadaan makhluk-Nya dari yang halus dan tidak kelihatan oleh mata sampai kepada yang besar. Dia juga mengetahui keadaan orang-orang musyrik dan orang-orang beriman.

Dia mengetahui pula tuduhan-tuduhan orang-orang musyrik bahwa Al-Qur’an adalah buatan Muhammad, sekalipun tidak seorang pun dari mereka yang sanggup menandinginya. Orang-orang yang percaya kepada kebatilan dan mengingkari Allah itu adalah orang-orang yang merugi hidupnya di dunia dan akhirat.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 53-55


Inilah Delapan Ciri-Ciri Mukmin Sejati Menurut Surah Al-Furqan

0
Mukmin Sejati
Ciri-Ciri Mukmin Sejati

Menjadi seorang muslim bukan hanya soal percaya atau beriman kepada Allah Swt dan rasul-Nya, tetapi juga melakukan semua perintah-Nya, baik yang bersifat ritual maupun sosial, serta menjauhi segala larangan-Nya. Dengan begitu, barulah seorang muslim bisa dianggap sebagai mukmin sejati. Nah, pada artikel ini akan dijelaskan ciri-ciri mukmin sejati menurut Al-Qur’an.

Ciri-ciri mukmin sejati tertuang pada surah Al-Furqan, tepatnya pada ayat 63 hingga ayat 74. Seluruh ayat ini berbicara mengenai sifat-sifat hamba ar-Rahman, yakni mukmin sejati. Hal ini disampaikan oleh Imam al-Biqa’i dalam kitabnya, Nuzum al-Durar Fi Tanasub al-Ayati Wa al-Suwar. Menurutnya, pada ayat 63 hingga 74 Allah swt menerangkan tentang sifat hamba yang taat kepada-Nya.

1. Lemah-lembu dan tidak angkuh

Ciri-ciri mukmin sejati yang pertama adalah memiliki sifat lemah lembut dan tidak angkuh. Allah berfirman, “Adapun hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan “salam.” (QS. Al-Furqan [25]: 63).

Baca Juga: 3 Dosa Besar Yang Wajib Dihindari Jika Ingin Menjadi Mukmin Sejati

Menurut Quraish Shihab, ayat ini selain menjelaskan sifat-sifat hamba yang taat, itu juga merupakan kritik terhadap orang-orang kafir yang memiliki sifat keras dan sombong. Mereka durhaka dan menyembah setan serta enggan sujud kepada Ar-Rahman dengan penuh kepongahan. Mereka inilah orang-orang yang berpaling muka ketika dibacakan ayat-ayat Al-Qur’an.

2. Senang beribadah di malam hari

Ciri-ciri mukmin sejati yang kedua adalah senang beribadah di malam hari seperti shalat tahajud. Allah berfirman, “dan orang-orang yang menghabiskan waktu malam untuk beribadah kepada Tuhan mereka dengan bersujud dan berdiri.” (QS. Al-Furqan [25]: 64). Maksud dari ayat ini adalah gemar beribadah di malam hari.

Menurut al-Sa’adi dalam kitabnya, Taisir al-Karim al-Rahman Fi Tafsir Kalam al-Mannan, subjek pada surah al-Furqan [25] ayat 64 adalah orang yang memperbanyak shalat malam dengan penuh keikhlasan, yakni hanya mengharap rida Allah swt semata, dan ia menikmati ibadahnya tersebut sepenuh hati tanpa merasakan letih maupun lelah sedikit pun.

3. Senantiasa berlindung kepada Allah swt dari segala keburukan

Ciri-ciri mukmin sejati yang ketiga adalah senantiasa berlindung kepada Allah Swt dari segala macam keburukan, termasuk neraka Jahanam. Firman-Nya, “Dan orang-orang yang berkata, “Ya Tuhan kami (Allah), jauhkanlah azab Jahanam dari kami, karena sesungguhnya azabnya itu membuat kebinasaan yang kekal.” (QS. Al-Furqan [25]: 65).

Syekh Nawawi al-Bantani menyebutkan dalam Marah Labid, surah al-Furqan [25] ayat 65 ini berkorelasi dengan ayat sebelumnya (64) di mana alasan orang-orang mukmin memperbanyak ibadah malam dan bersungguh-sungguh di dalamnya – salah satunya – karena mereka takut terhadap azab Allah Swt, yakni neraka jahanam yang siksaannya pedih lagi kekal.

4. Bersedekah secara proporsional

Ciri-ciri mukmin sejati selanjutnya adalah bersedekah secara proporsional, tidak kurang dan tidak pula berlebihan sesuai kemampuan mereka masing-masing. Allah Swt berfirman, “Dan (termasuk hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih) orang-orang yang apabila menginfakkan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, di antara keduanya secara wajar.” (QS. Al-Furqan [25]: 67).

Ibnu Katsir dalam kitabnya Tafsir Al-Qur’an al-Azim menuturkan, maksud tidak berlebihan dan tidak pula kikir pada ayat ini adalah tidak mubazir ketika bersedekah. Mereka memberi sedekah kepada orang yang membutuhkan sesuai hajatnya, tidak berlebihan dan tidak pula kurang dari itu. Singkatnya, mereka berlaku adil dalam bersedekah.

5. Tidak berlaku syirik, tidak membunuh, dan tidak berzina

Ciri-ciri mukmin sejati yang kelima adalah tidak berbuat syirik, tidak membunuh dan, tidak berzina. Firman Allah, “Dan orang-orang yang tidak menyekutukan Allah dengan sembahan lain dan tidak membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina; dan siapa melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat hukuman yang berat.” (QS. Al-Furqan [25]: 68).

Ali al-Shabuni menerangkan dalam Shafwat al-Tafasir, maksud dari tidak menyekutukan Allah Swt pada ayat ini adalah bertauhid, baik dari segi rububiyyah maupun uluhiyyah. Kemudian, tidak membunuh artinya tidak menghilangkan nyawa manusia yang telah Allah haramkan, baik sesama muslim maupun non-muslim yang ingin berdamai. Terakhir, tidak berzina maksudnya tidak melakukan perbuatan zina apa pun alasannya.

6. Tidak bersaksi atau bersumpah palsu dan tidak melakukan hal sia-sia

Ciri-ciri mukmin sejati adalah tidak bersaksi atau bersumpah palsu dan tidak melakukan hal yang sia-sia guna menjaga kehormatan. Firman Allah swt, “Dan orang-orang yang tidak memberikan kesaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka berlalu dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al-Furqan [25]: 72).

Surah al-Furqan [25] ayat 72 menegaskan bahwa mukmin sejati tidak akan melakukan sumpah atau penyaksian palsu dan menghindari hal-hal yang sia-sia demi menjaga kehormatan. Laghw pada ayat ini bermakna sesuatu yang tidak memiliki faedah berdasarkan situasi dan kondisi. Sebagai contoh, menegur kekeliruan adalah hal yang baik, namun menegur khatib ketika berkhutbah adalah kekeliruan dan dinilai Rasulullah sebagai laghw (Tafsir al-Misbah [9]: 72).

7. Mengingat Allah Swt setiap kali mendengar ayat-ayat-Nya

Ciri-ciri mukmin sejati yang ketujuh adalah senantiasa mengingat Allah swt, terutama ketika ia mendengar ayat-ayat-Nya dibacakan oleh orang lain. Firman-Nya, “Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka, mereka tidak bersikap sebagai orang-orang yang tuli dan buta.” (QS. Al-Furqan [25]: 73).

Kata zukkiru pada ayat ini merupakan fi’il madhi majhul (kalimat Pasif). Menurut sebagian ulama – sebagaimana dikutip Quraish Shihab – memberi isyarat bahwa bagi mukmin sejati kebenaran harus senantiasa diikuti dan diindahkan, terlepas dari siapa pun yang menyampaikannya. Mereka hanya melihat esensi dari sebuah peringatan, bukan pada penyampainya.

8. Senantiasa meminta kebaikan hanya kepada Allah Swt

Ciri-ciri mukmin sejati yang terakhir disebut dalam surah al-Furqan adalah senantiasa meminta kebaikan hanya kepada Allah Swt, bukan kepada selain-Nya. Firman Allah, “Dan orang-orang yang berkata, “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqan [25]: 74).

Baca Juga: Surah Al-Ashr Ayat 1-3: Empat Prinsip Hidup Bagi Orang-Orang Mukmin

Ayat ini membuktikan bahwa sifat hamba-hamba Allah yang terpuji itu tidak hanya terbatas pada upaya menghiasi diri dengan amal-amal terpuji, tetapi juga memberi perhatian kepada keluarga dan anak keturunan, bahkan masyarakat umum. Doa mereka itu tentu diberangi dengan usaha nyata, karena anak dan pasangan tidak dapat menjadi penyejuk mata tanpa contoh keberagamaan yang baik, budi pekerti yang luhur serta pengetahuan yang memadai.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa ciri-ciri mukmin sejati – setidaknya – mencakup tiga aspek keberagamaan, mulai dari keimanan yang murni, amal saleh, baik saleh ritual maupun sosial, hingga menjauhi larangan-larangan yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. Jika seorang mukmin kekurangan salah satu dari tiga aspek tersebut, keimanannya belum bisa dikatakan sempurna. Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 49-50

0
Tafsir Surah Al-'Ankabut 66-67
Tafsir Surah Al-'Ankabut 66-67

Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 49-50 ditegaskan bahwa ayat-ayat Alquran merupakan petunjuk Allah dan dimudahkan penafsirannya bagi orang-orang yang ingin mencari kebenaran. Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 49-50 ini juga mengisahkan tentang orang musyrik yang meminta mukjizat kepada Rasulullah seperti mukjizat Nabi sebelumnya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 47-48


Ayat 49

Ayat ini menegaskan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an merupakan petunjuk Allah, tidak ada kesamaran sedikit pun tentang pengertiannya. Allah memudahkan penafsirannya bagi orang-orang yang ingin mencari kebenaran yang hakiki. Dalam ayat yang lain, Allah berfirman:

وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْاٰنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُّدَّكِرٍ

Dan sungguh, telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk peringatan, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran? (al-Qamar/54: 17)

Para Ahli Kitab yang ingin mencari kebenaran, dengan mudah dapat memahami Al-Qur’an. Dengan demikian, mereka mau beriman kepadanya dan meyakini bahwa Muhammad adalah benar-benar seorang rasul. Allah berfirman kepada Nabi Muhammad agar mengatakan kepada orang-orang kafir yang tidak percaya kepada kerasulan beliau:

وَيَقُوْلُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لَسْتَ مُرْسَلًا ۗ قُلْ كَفٰى بِاللّٰهِ شَهِيْدًاۢ بَيْنِيْ وَبَيْنَكُمْۙ وَمَنْ عِنْدَهٗ عِلْمُ الْكِتٰبِ ࣖ

Dan orang-orang kafir berkata, “Engkau (Muhammad) bukanlah seorang Rasul.” Katakanlah, “Cukuplah Allah dan orang yang menguasai ilmu Al-Kitab menjadi saksi antara aku, Aisah dan kamu. (ar-Ra‘d/13: 43)

Maksud ayat di atas adalah ulama-ulama Ahli Kitab menjadi saksi atas kerasulan Muhammad, karena telah membaca dalam kitab-kitab mereka akan kedatangannya. Dengan demikian, ada di antara Ahli Kitab yang beriman kepada Nabi Muhammad, di antaranya orang-orang yang telah disebutkan di atas.

Allah menegaskan lagi bahwa Al-Qur’an itu terpelihara dalam dada kaum Muslimin. Mereka menghafalnya secara turun temurun sehingga tidak seorangpun dapat mengubahnya.

Selanjutnya ayat ini menerangkan bahwa tidak ada seorang pun yang mengingkari ayat-ayat Allah, kecuali orang-orang yang zalim. Ayat ini merupakan isyarat bagi Ahli Kitab bahwa mereka telah mengetahui dari kitab suci mereka tentang kenabian Muhammad dan penurunan Al-Qur’an kepadanya. Namun demikian, banyak di antara mereka yang mengingkari kebenaran itu setelah mengetahuinya. Allah berfirman:

فَلَمَّا جَاۤءَهُمْ مَّا عَرَفُوْا كَفَرُوْا بِهٖ ۖ فَلَعْنَةُ اللّٰهِ عَلَى الْكٰفِرِيْنَ

Ternyata setelah sampai kepada mereka apa yang telah mereka ketahui itu, mereka mengingkarinya. Maka laknat Allah bagi orang-orang yang ingkar. (al-Baqarah/2: 89)

Selain bermakna isyarat bagi Ahli Kitab, ayat ini juga merupakan cercaan Allah yang ditujukan kepada orang-orang musyrik Mekah yang mengingkari ayat-ayat-Nya. Mereka tidak percaya kepada Al-Qur’an dan kerasulan Muhammad saw yang sudah menjadi kebenaran yang nyata. Mereka ini disebut oleh Allah sebagai orang yang zalim. Sifat zalim ini adalah sifat yang paling tepat bagi mereka karena menyembunyikan kebenaran yang sebetulnya telah mereka ketahui. Allah berfirman:

وَمَنْ اَظْلَمُ مِمَّنْ كَتَمَ شَهَادَةً عِنْدَهٗ مِنَ اللّٰهِ ۗ

Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang menyembunyikan kesaksian dari Allah yang ada padanya? (al-Baqarah/2: 140)

Ayat 50

Dalam Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 49-50 khususnya ayat 50 ini, Allah menerangkan bahwa kaum musyrik menuntut agar Muhammad menunjukkan mukjizat yang nyata seperti yang pernah didatangkan kepada nabi-nabi terdahulu, misalnya unta betina Nabi Saleh, tongkat Nabi Musa, dan lain-lain. Permintaan mereka dijawab dengan menjelaskan bahwa persoalan mukjizat adalah ketentuan Allah.

Kemudian dijelaskan pula kepicikan mereka karena menolak mukjizat yang lebih tinggi nilainya dan sesuai untuk mereka. Mereka tidak memahami bahwa Al-Qur’an itu sebenarnya adalah mukjizat yang abadi, tidak tertandingi oleh siapa pun sampai hari Kiamat.

Ayat ini mengisyaratkan bahwa orang-orang kafir Mekah mengingkari Al-Qur’an sebagai mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad. Menurut mereka, Al-Qur’an tidak pantas dijadikan sebagai mukjizat, karena mukjizat semestinya adalah sesuatu yang nyata, dan langsung dapat dilihat dan dirasakan sebagaimana yang diturunkan kepada para rasul yang terdahulu, seperti topan Nabi Nuh, tongkat Nabi Musa, dan sebagainya.

Mereka menyatakan bahwa mukjizat yang nyata itu mudah diterima akal pikiran dan dapat menimbulkan keyakinan bagi orang-orang yang melihatnya.

Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad agar menjawab permintaan orang-orang musyrik Mekah itu dengan mengatakan bahwa persoalan mukjizat adalah urusan Tuhan. Dialah yang menetapkan mukjizat apa yang akan diberikan kepada seorang rasul yang diutus-Nya, karena harus disesuaikan dengan tingkat kemampuan umat yang akan menyaksikan.

Mengenai pengakuan orang-orang Quraisy bahwa mereka tidak dapat menerima Al-Qur’an sebagai mukjizat, Allah Maha Mengetahui isi hati mereka. Sebenarnya hati mereka telah mengakui kemukjizatan Al-Qur’an sebagai mukjizat, tetapi karena keingkaran dan penyakit yang ada dalam hati, mereka tidak mau mengatakan yang demikian. Jika mereka benar-benar akan beriman dengan penurunan mukjizat sesuai dengan permintaan mereka, tentu Allah akan menurunkannya. Tidak ada sesuatu pun yang sukar bagi Allah, semua mudah bagi-Nya. Allah berfirman:

وَمَا مَنَعَنَآ اَنْ نُّرْسِلَ بِالْاٰيٰتِ اِلَّآ اَنْ كَذَّبَ بِهَا الْاَوَّلُوْنَۗ

Dan tidak ada yang menghalangi Kami untuk mengirimkan (kepadamu) tanda-tanda (kekuasaan Kami), melainkan karena (tanda-tanda) itu telah didustakan oleh orang terdahulu. (al-Isra’/17: 59)

Setelah permintaan orang-orang musyrik yang aneh-aneh itu dijawab, Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad agar menyampaikan kepada mereka bahwa dia hanya sekedar memberi peringatan kepada orang-orang yang tidak mengindahkannya. Tugasnya hanya menyam-paikan risalah kepada mereka. Ia tidak dapat mengubah mereka menjadi orang-orang yang beriman. Hanya Allah yang dapat melakukan hal itu. Allah berfirman:

مَنْ يَّهْدِ اللّٰهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ وَمَنْ يُّضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهٗ وَلِيًّا مُّرْشِدًا ࣖ

Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barang siapa disesatkan-Nya, maka engkau tidak akan mendapatkan seorang penolong yang dapat memberi petunjuk kepadanya. (al-Kahf/18: 17)

Firman Allah yang lain:

لَيْسَ عَلَيْكَ هُدٰىهُمْ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ يَهْدِيْ مَنْ يَّشَاۤءُ ۗ

Bukanlah kewajibanmu (Muhammad) menjadikan mereka mendapat petunjuk, tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. (al- Baqarah/2: 272)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 51-52


Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 47-48

0
Tafsir Surah Al-'Ankabut 66-67
Tafsir Surah Al-'Ankabut 66-67

Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 47-48 menjelaskan bahwa Nabi Muhammad sebelum Alquran diturunkan telah dikenal sebagai orang yang baik, orang yang santun lagi jujur. Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 47-48 ini menjelaskan bahwa sebelum Nabi Muhammad diangkat menjadi Rasul masyarakat Arab mengakui bahwa Nabi Muhammad tidak pandai membaca dan menulis, apalagi mengarang buku cerita. Namun sebab adanya penyakit di hati merekalah akhirnya mereka tidak mempercayai Nabi Muhammad.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 46


Ayat 47

Pada Tafsir Surah Al-‘Ankabut yat 47-48 khususnya ayat ini, Allah menerangkan kepada Nabi Muhammad bahwa sebagaimana Ia telah menurunkan kitab kepada para rasul yang diutus sebelumnya, demikian pula Ia menurunkan Al-Qur’an kepadanya. Dalam kitab-kitab itu telah diisyaratkan kedatangan Nabi Muhammad di kemudian hari. Hal ini kemudian benar-benar menjadi kenyataan dengan pengutusan Muhammad saw sebagai nabi dan rasul terakhir.

Para rasul Allah diperingatkan agar menyampaikan kepada umatnya untuk beriman dan mengikuti para rasul yang datang kemudian. Sebab, jika seseorang beriman kepada salah seorang dari para rasul yang diutus Allah, maka ia wajib pula beriman kepada para rasul Allah yang lain, baik yang datang lebih dahulu, maupun yang kemudian.

Oleh karena itu, sebagian dari Ahli Kitab yang ada pada masa Nabi Muhammad beriman kepadanya dan kepada Al-Qur’an, sesuai dengan perintah para nabi mereka. Mereka itu lebih mementingkan akhirat daripada dunia yang fana ini, dan tidak memperturutkan hawa nafsu. Di antara mereka yang bersikap demikian adalah Abdullah bin Salam, Tamim al-Anshari, dan lain-lain.

Adapun orang-orang yang di hatinya ada penyakit, seperti iri hati karena rasul yang ditunggu kedatangannya itu bukan dari golongan mereka, atau tertipu oleh kesenangan dunia karena memperturutkan hawa nafsu, mereka akan mengingkari Al-Qur’an, terutama ayat-ayat yang menyatakan kerasulan Muhammad.

Seharusnya orang-orang Ahli Kitab memperhatikan seruan dan petunjuk para rasul mereka untuk menyembah kepada Allah, dan mempercayai bahwa Muhammad adalah rasul dan nabi terakhir. Tidak ada seorang nabi atau rasul pun yang diutus Allah sesudahnya.

Ayat 48

Ayat ini menerangkan bahwa sebelum Al-Qur’an diturunkan, Nabi Muhammad telah dikenal dengan baik oleh orang-orang Arab. Ia telah lama hidup di tengah-tengah mereka sebelum diangkat menjadi rasul.

Semua orang Arab waktu itu mengakui bahwa Muhammad mempunyai budi pekerti yang tinggi, dapat dipercaya, tidak pernah berdusta, dan disegani oleh kawan-kawannya. Mereka betul-betul mengetahui bahwa Muhammad tidak pandai membaca dan menulis, apalagi mengarang buku cerita.

Di samping orang-orang Arab, orang-orang Yahudi dan Nasrani pun mengetahui dari kitab-kitab mereka bahwa Muhammad adalah orang yang tidak pandai menulis dan membaca. Mujahid berkata, “Ahli Kitab mengetahui dari kitab-kitab mereka bahwa Nabi Muhammad tidak pandai menulis dan membaca, karena itu turunlah ayat ini.” Dalam ayat lain, Allah berfirman:

اَلَّذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ الرَّسُوْلَ النَّبِيَّ الْاُمِّيَّ الَّذِيْ يَجِدُوْنَهٗ مَكْتُوْبًا عِنْدَهُمْ فِى التَّوْرٰىةِ وَالْاِنْجِيْلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهٰىهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبٰتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبٰۤىِٕثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ اِصْرَهُمْ وَالْاَغْلٰلَ الَّتِيْ كَانَتْ عَلَيْهِمْۗ

(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, nabi yang ummi (tidak bisa baca tulis) yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada pada mereka, yang menyuruh mereka berbuat yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan yang menghalalkan segala yang baik bagi mereka dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka, dan membebaskan beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. (al-A‘raf/7: 157)

Dalam keadaan yang demikian, Allah menurunkan Al-Qur’an kepada Muhammad. Di dalamnya termuat akidah yang sangat tinggi nilainya dan dilengkapi dengan bukti-bukti yang meyakinkan.

Al-Qur’an juga mempunyai gaya bahasa yang sangat indah, sehingga tidak ada seorang pun yang dapat menandinginya, sekalipun pada waktu itu di kalangan bangsa Arab banyak terdapat pujangga-pujangga sastra yang kenamaan karena seni sastra sedang mencapai puncaknya. Akan tetapi, sedikit sekali dari mereka yang beriman.

Seandainya Muhammad saw dapat membaca dan menulis, pernah belajar kepada Ahli Kitab, atau ia bukan seorang yang dipercaya, tidak memiliki budi pekerti yang luhur, dan tidak pula seorang yang disegani, tentu orang-orang kafir Mekah dengan mudah menuduh dan mengatakan bahwa Al-Qur’an itu adalah buatan Muhammad, bukan Kalamullah.

Dari ayat ini dapat dipahami bahwa hati dan pikiran orang-orang kafir Mekah, berdasarkan pengetahuan mereka tentang pribadi Muhammad, dan ketinggian nilai sastra Al-Qur’an, sejak semula telah mempercayai Al-Qur’an dan kerasulan Muhammad. Akan tetapi, karena dalam hati mereka ada penyakit, dan takut kedudukan mereka di antara kaumnya akan jatuh, maka mereka menyatakan sesuatu yang bertentangan dengan hati dan pikiran mereka sendiri.

Pengertian ummi dalam ayat ini ialah tidak pandai menulis dan membaca. Hal ini tidak berarti bahwa Muhammad tidak berilmu pengetahuan, karena Allah telah mengajarkan kepadanya ilmu pengetahuan yang tinggi, bahkan mungkin ilmu pengetahuan yang belum pernah diajarkan-Nya kepada manusia biasa. Dengan demikian, beliau menjadi orang yang alim dan bijaksana. Allah berfirman:

وَاَنْزَلَ اللّٰهُ عَلَيْكَ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُۗ وَكَانَ فَضْلُ اللّٰهِ عَلَيْكَ عَظِيْمًا 

Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) dan Hikmah (Sunnah) kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum engkau ketahui. Karunia Allah yang dilimpahkan kepadamu itu sangat besar. (an-Nisa’/4: 113)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 49-50


 

Mengungkap Makna dan Pesan Lafaz Khusr dalam Al-Quran

0
Mengungkap Makna dan Pesan Lafaz Khusr dalam Al-Quran
Makna dan Pesan Lafaz Khusr dalam Al-Quran

Kata khasira (خَسِرَ) secara etimologi berasal dari kata khasira-yakhsiru-khusranan (خَسِرَ-يَخْسِرُ-خُسْرَانًا) yang berarti merugi atau menderita kerugian. Menurut Al-Asfahani dalam kitabnya yang berjudul Mu’jam Mufradat li Alfadz Al-Qur’an, lafaz khusr dalam al-Quran bermakna merugi yang kemudian dikaitkan dengan kondisi manusia terkait hal-hal duniawi maupun ukhrawi.

Khusr kategori duniawi dapat berupa kerugian dalam perdagangan. Sedangkan khusr kategori ukhrawi ialah kerugian yang disebabkan oleh pembangkangan terhadap nilai-nilai agama. Sementara itu, menurut Al-Mawardi dalam kitabnya yang berjudul al-Nukat wa al-‘Uyun, kata khusr memiliki empat makna, yaitu halak (rusak); naqs (berkurang); shar (keburukan); dan uqubah (siksaan). Adapun penyebutan kata khusr dengan berbagai kata turunannya di dalam al-Quran terdapat sebanyak 65 kali.

Di dalam al-Quran terdapat 5 makna kata khusr yakni kerugian yang besar (QS. An-Nisa’: 119), penyesalan (QS. Al-An’am: 31), tidak konsekuen (QS. Al-Hajj: 11), mengikuti setan (QS. Yusuf: 14, QS. Al-An’am : 140 dan QS. An-Nisa’: 119) dan mengingkari kebenaran ajaran Allah Swt (QS. Yunus : 45).

  1. Kerugian yang Besar

وَلَأُضِلَّنَّهُمْ وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ آذَانَ الْأَنْعَامِ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ ۚ وَمَن يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِّن دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُّبِينًا

Artinya: “Dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu mereka benar-benar merubahnya”. Barang siapa yang menjadikan setan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata.” (QS. An-Nisa: 119).

Dalam menafsirkan ayat ini, At-Thabari berkata bahwa orang yang mendapatkan kerugian besar adalah orang-orang yang bersembunyi dan berlindung di balik setan. Hal ini dapat diketahui pada pengulangan kata khusr yang di-ta’kid-kan. Selain itu, Ar-Razi juga menyampaikan bahwa manusia akan merugi jika percaya pada janji-janji setan yang penuh dengan tipu daya.

Baca juga: Tafsir Surat Yasin Ayat 62: Akal Sebagai Tameng dari Godaan Setan

  1. Penyesalan

قَدْ خَسِرَ ٱلَّذِينَ كَذَّبُوا۟ بِلِقَآءِ ٱللَّهِ ۖ حَتَّىٰٓ إِذَا جَآءَتْهُمُ ٱلسَّاعَةُ بَغْتَةً قَالُوا۟ يَٰحَسْرَتَنَا عَلَىٰ مَا فَرَّطْنَا فِيهَا وَهُمْ يَحْمِلُونَ أَوْزَارَهُمْ عَلَىٰ ظُهُورِهِمْ ۚ أَلَا سَآءَ مَا يَزِرُونَ

Artinya: “Sungguh telah rugilah orang-orang yang mendustakan pertemuan mereka dengan Tuhan; sehingga apabila kiamat datang kepada mereka dengan tiba-tiba, mereka berkata: “Alangkah besarnya penyesalan kami terhadap kelalaian kami tentang kiamat itu!”, sambil mereka memikul dosa-dosa di atas punggungnya. Ingatlah, amatlah buruk apa yang mereka pikul itu.” (QS. Al-Anam: 31).

Ar-Razi dalam Mafatih al-Ghaib menjelaskan bahwa Allah Swt telah memberkati manusia dengan akal, jasmani dan rohani yang sempurna. Dengan hal-hal tersebut, manusia dapat menjadikan hidupnya lebih mudah dan fleksibel. Namun, hal tersebut dapat berakibat sebaliknya jika manusia justru menggunakannya untuk mendustakan ayat-ayat Allah Swt. Sementara itu, At-Thabari dalam Jami’ul Bayan fi Ta’wili Ayi al-Quran mengatakan bahwa orang yang menggadaikan keimanan dengan kekafiran adalah orang yang merugi, sebab ia tidak akan mendapat manfaat dari perbuatannya itu.

  1. Tidak Konsekuen

وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَعْبُدُ ٱللَّهَ عَلَىٰ حَرْفٍ ۖ فَإِنْ أَصَابَهُۥ خَيْرٌ ٱطْمَأَنَّ بِهِۦ ۖ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ ٱنقَلَبَ عَلَىٰ وَجْهِهِۦ خَسِرَ ٱلدُّنْيَا وَٱلْءَاخِرَةَ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلْخُسْرَانُ ٱلْمُبِينُ

Artinya: “Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi; maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” (QS. Al-Hajj: 11).

Maksud ayat ini sebagaimana yang diterangkan dalam Tafsir Al-Muyassar yakni; Dan di antara manusia ada orang yang gamang, dia menyembah Allah Swt dalam keadaan ragu. Apabila ia memperoleh kebaikan berupa kesehatan dan kekayaan, ia akan terus beriman dan beribadah kepada Allah Swt, namun apabila ia memperoleh suatu cobaan berupa penyakit atau kemiskinan, ia akan putus asa dari agamanya hingga murtad.

  1. Mengikuti Setan

Di antara beberapa kasus yang terjadi akibat mengikuti bisikan setan yakni: berbohong (QS. Yusuf: 14), membunuh anak karena kebodohan (QS. Al An’am: 140) dan memotong telinga binatang ternak yang akan dipersembahkan kepada berhala serta mengubah agama Allah Swt (QS. An Nisa: 119).

  1. Mengingkari Kebenaran Ajaran Allah Swt

وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ كَأَن لَّمْ يَلْبَثُوٓا۟ إِلَّا سَاعَةً مِّنَ ٱلنَّهَارِ يَتَعَارَفُونَ بَيْنَهُمْ ۚ قَدْ خَسِرَ ٱلَّذِينَ كَذَّبُوا۟ بِلِقَآءِ ٱللَّهِ وَمَا كَانُوا مُهْتَدِينَ۟

Artinya: “Dan (ingatlah) akan hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka, (mereka merasa di hari itu) seakan-akan mereka tidak pernah berdiam (di dunia) hanya sesaat di siang hari, (di waktu itu) mereka saling berkenalan. Sesungguhnya rugilah orang-orang yang mendustakan pertemuan mereka dengan Allah dan mereka tidak mendapat petunjuk.” (QS. Yunus: 45).

Mengacu pada Tafsir Al-Muyassar, penafsiran ayat ini adalah bahwa pada hari kiamat Allah Swt akan mengumpulkan manusia di padang mahsyar untuk menghitung amalnya. Mereka merasa hidup di dunia dan alam barzakh seolah-olah tidak lebih dari sesaat. Demikian akibat dahsyatnya kegaduhan di hari kiamat yang mereka saksikan itu. Mereka yang telah saling mengenal satu sama lain, kemudian tidak saling mengenal lagi. Sungguh merugi orang-orang yang selama di dunia tidak percaya akan adanya Hari Kebangkitan hingga  mendustakan perjumpaan dengan Tuhan mereka di hari kiamat.

Baca juga: Tafsir Surah Yasin ayat 51-52: Penyesalan di Hari Kebangkitan

Selain itu, di dalam al-Quran dijelaskan pula contoh kerugian dan cara terhindar dari kerugian. Bentuk-bentuk kerugian di antaranya iman di waktu azab tiba tidak membawa hasil (QS. Ali-Imran: 149), penyesalan selalu datang terlambat (QS. Al-A’raf: 53), kerugian fisik dan mental (QS. At-Thalaq: 9) dan tidak beriman kepada Allah Swt (QS. Al-Baqarah: 144).

Adapun cara terhindar dari kerugian yaitu jeli memperhatikan realitas untuk melakukan klasifikasi dan analisis (QS. Al-Anfal: 37), tidak lalai dalam mengingat Allah Swt (QS. Al-Munafiqun: 5), peka, efisien dan berusaha dalam mengemukakan yang terbaik, serta bersabar dalam berjuang (QS. Al-Ashr: 2).

Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa lafaz khusr memiliki berbagai macam pengertian serta bentuk. Akan tetapi, penggunaan lafaz khusr dalam al-Quran tentu juga diiringi dengan cara terhindar dari khusr tersebut serta pesan bagi setiap manusia, yakni agar dapat memanfaatkan kesempatan yang dimilikinya dengan sebaik mungkin dan jangan sampai meninggalkan ajaran Allah Swt karena tergoda hawa nafsu ataupun terpengaruh bisikan setan yang menyesatkan.

Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 46

0
Tafsir Surah Al-'Ankabut 66-67
Tafsir Surah Al-'Ankabut 66-67

Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 46 berupa petunjuk kepada Nabi Muhammad dan umat Islam untuk berdakwah dengan cara yang penuh hikmah dan bijaksana. Dijelaskan pula dalam Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 46 ini bahwa Ahl Kitab yang tidak menerima bahkan merintangi dakwah Rasulullah disebabkan hatinya ada penyakit iri, benci, dan dengki kepada kaum Muslimin, karena rasul dan nabi terakhir tidak diangkat dari kalangan mereka.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 45 


Ayat 46

Dalam Tafsir Surah Al-‘Ankabut Ayat 46 ini, Allah memberi petunjuk kepada Nabi Muhammad dan kaum Muslimin tentang materi dakwah dan cara menghadapi Ahli Kitab, karena sebagian besar mereka ini tidak menerima seruannya.

Ketika Rasulullah menyampaikan ajaran Islam, kebanyakan dari mereka mendustakannya. Hanya sedikit sekali di antara mereka yang menerimanya. Padahal mereka telah mengetahui Muhammad dan ajaran yang dibawanya, sebagaimana mereka mengetahui dan mengenal anak-anak mereka sendiri.

Allah berfirman:

اَلَّذِيْنَ اٰتَيْنٰهُمُ الْكِتٰبَ يَعْرِفُوْنَهٗ كَمَا يَعْرِفُوْنَ اَبْنَاۤءَهُمْ ۗ وَاِنَّ فَرِيْقًا مِّنْهُمْ لَيَكْتُمُوْنَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ

Orang-orang yang telah Kami beri Kitab (Taurat dan Injil) mengenalnya (Muhammad) seperti mereka mengenal anak-anak mereka sendiri. Sesungguhnya sebagian mereka pasti menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui(nya) (al-Baqarah/2: 146)

Pada ayat yang lain, Allah menerangkan dan menjelaskan cara berdakwah yang baik, sebagaimana firman-Nya:

اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ   

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk. (an-Nahl/16: 125)

Menyeru manusia ke jalan Tuhan dengan hikmah dan bijaksana serta mendebat mereka dengan cara yang baik dilakukan kepada orang-orang yang tidak melakukan kezaliman. Adapun terhadap orang-orang yang melakukan kezaliman, yaitu orang-orang yang hatinya telah terkunci mati, tidak mau menerima kebenaran lagi, dan berusaha untuk melenyapkan Islam dan umatnya, tidak bisa dihadapi dengan cara-cara di atas.

Ahli Kitab yang zalim ialah mereka yang dalam hatinya ada penyakit iri, benci, dan dengki kepada kaum Muslimin, karena rasul dan nabi terakhir tidak diangkat dari kalangan mereka. Mereka memerangi Rasulullah dan kaum Muslimin dengan mengadakan tipu daya dan fitnah secara tersembunyi dan terang-terangan.

Mereka selalu berusaha merintangi dakwah yang dilakukan Rasulullah dan para sahabatnya, seperti mengadakan perjanjian persekutuan dengan orang-orang kafir yang lain. Sangat banyak contoh-contoh yang terjadi dalam sejarah yang berhubungan dengan hal ini. Oleh karena itu, mereka dinamai orang-orang yang zalim, dan berusaha merugikan kaum Muslimin. Di akhirat nanti, mereka menjadi orang-orang yang merugi dengan menerima azab yang setimpal dengan perbuatan mereka.

Selanjutnya Allah memperingatkan bahwa jika Ahli Kitab mengajak kaum Muslimin membicarakan kitab suci mereka, dan memberitahukan kepadanya apa yang patut dibenarkan dan ditolak, sedang mereka sendiri mengetahui keadaan mereka itu, maka seharusnya kaum Muslimin berkata, “Kami percaya kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepada kami dan juga percaya kepada Taurat dan Injil yang diturunkan kepadamu.

Tuhan yang kami dan kamu sembah sebenarnya sama, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, marilah kita bersama-sama tunduk dan patuh kepada-Nya serta melaksanakan segala perintah dan menghentikan larangan-Nya.”

Sehubungan dengan maksud ayat ini, Abu Hurairah berkata, “Para Ahli Kitab itu membaca Taurat dengan bahasa Ibrani dan menafsirkan dengan bahasa Arab untuk orang-orang Islam. Lalu Nabi saw bersabda:

لاَ تُصَدِّقُوْا اَهْلَ الْكِتَابِ وَلاَتُكَذِّبُوْهُمْ وَقُوْلُوْا اَمَنَّا بِالَّذِيْ اُنْزِلَ اِلَيْنَا وَاُنْزِلَ اِلَيْكُمْ وَاِلَهُنَا وَاِلَهُكُمْ وَاحِدٌ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُوْنَ ( رواه البخاري والنسائى عن ابى هريرة)

Janganlah kamu membenarkan Ahli Kitab dan jangan pula kamu mendustakan mereka. Katakanlah kepada mereka, “Kami beriman dengan apa yang telah diturunkan kepada kami dan yang telah diturunkan kepadamu. Tuhan kami dan Tuhan kamu adalah satu dan kami berserah diri hanya kepada Nya saja. (Riwayat al-Bukhari dan an-Nasa’i dari Abu Hurairah).

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 47-48


 

Menjawab Anggapan Inkonsistensi Kaidah Pengulangan Isim Dalam Penafsiran Bag. 2

0
Inkonsistensi Kaidah
Inkonsistensi Kaidah Pengulangan Isim bag. 2

Pada artikel sebelumnya telah dibahas bagaimana jawaban atas anggapan inkonsistensi kaidah pertama dalam kaitannya dengan penafsiran. Sebetulnya ketika kita merenungi sanggahan ayat-ayat yang diajukan sebagai bantahan sangat mungkin justru ditemukan mutiara penafsiran yang lain dengan menerapkan kaidah-kaidah tersebut. Kali ini, mari kita lanjutkan perenungan pada kaidah kedua.

Anggapan Inkonsistensi Kaidah Kedua

Kaidah kedua pengulangan isim berbunyi:

إِنْ كَانَا نَكِرَتَيْنِ فَالثَّانِي غَيْرُ الْأَوَّلِ غَالِبًا

Jika keduanya berupa nakirah, maka umumnya yang kedua tidak sama dengan yang pertama.

Kaidah yang kedua ini juga dibantah dengan beberapa ayat, antaralain QS. Az-Zukhruf [43]:84:

وَهُوَ الَّذِى فِى السَّمَاءِ أِلَهٌ وَفِى الْاَرْضِ اِلَهٌ وَهُوَ الْحَكِيْمُ الْعَلِيْمُ

Dan dialah Tuhan yang disembah di langit dan Tuhan yang disembah di bumi

Dan Firman-Nya pada QS. Al-Baqarah [2]: 217, yaitu:

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ قُلْ قِتَالٌ فِيهِ كَبِيرٌ

Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah, ‘Berperang pada bulan itu adalah dosa besar.

Baca Juga: Kaidah Nakirah dan Ma’rifah: Bagaimana Jika Kata (Isim) yang Sama Disebutkan Dua Kali?

Menurut mereka yang punya anggapan inkonsistensi tadi, jika kaidah kedua ini diterapkan maka akan disimpulkan ada dua tuhan, yaitu Tuhan di langit dan Tuhan di bumi, tentu tidak demikian. Begitu pula ayat yang kedua, kata qital di ayat tersebut akan dipahami sebagai bentuk qital yang berbeda. Padahal jawaban itu sesuai dengan apa yang ditanyakan, sehingga kata qital pertama dan kedua itu maksudnya sama. Dengan demikian ada inkonsistensi dalam penerapan kaidah ini.

Jawaban Atas Anggapan

Sebetulnya kaidah kedua ini jika diterapkan tidak masalah. Bahkan justru akan menambah ragam penafsiran tanpa menghasilkan kesimpulan keliru sebagaimana anggapan itu.

Dalam Al-Itqon Imam Suyuthi mengutip jawaban Ath-Thibi yang mengatakan bahwa ayat ini masuk bab takrir (pengulangan). Begitu juga bisa dilihat dalam Al-Burhan Fi Ulumil Qur’an (IV/98-99). Termasuk dari syarat kaidah-kaidah pengulangan ini tidak dikehendaki dengan takrir. Pembahasan takrir ini terkait bentuk-bentuk ithnab dalam cabang ilmu ma’ani.

Ada juga jawaban dari penafsiran yang lain. Misalnya, Quraish Shihab dalam bukunya Kaidah Tafsir (51), mengutip pendapat para pakar tafsir yang mengartikan ilah dengan arti “Ketuhanan sehingga dimaknai dengan “Dia (Allah), yang ketuhanan-Nya terbentang di langit dan terbentang juga di bumi”.

Selain itu, beliau juga menampilkan pendapat yang setidaknya bisa “menyelamatkan” kaidah ini dari anggapan inkonsistensi. Beliau mengatakan: “bisa saja kedua bentuk tersebut berbeda, antaralain, bahwa di langit ketuhanan-Nya sangat jelas, tidak ada atau hampir tidak ada satu makhluk pun yang membangkang. Sedang ketuhanan-Nya di bumi tidak sejelas itu, karena di sini sekian banyak makhluk yang membangkang, bahkan ada yang tidak mengakui wujud-Nya“.

Penafsiran di atas sejalan dengan kaidah kedua yang berkonsekuensi ilah kedua berbeda dengan ilah pertama, tanpa bertentangan dengan akidah yang benar, yaitu hanya ada satu Tuhan yang di sembah. Bagi penduduk langit, ilah (ketuhanan) tuhan sangat tampak nyata, berbeda bagi penduduk bumi yang diliputi kesamaran.

Pertanyaannya, mungkinkan satu Dzat mempunyai sifat-sifat yang bertentangan? Jawabannya tentu mungkin. Misalnya, Allah punya sifat Azh-Zhahir (Yang Jelas) dan Al-Batin (Yang Samar). Dua sifat yang paradoks berkumpul dalam satu Dzat Allah.

Atau bisa juga dilihat dari sisi perbedaan sesuatu yang dijadikan sekutu oleh orang-orang musyrik. Sebagian mereka menyekutukan Allah di langit dengan menganggap-Nya punya anak perempuan berupa para malaikat. Sedangkan di bumi ada sebagian mereka yang menyekutukan-Nya dengan berbagai macam berhala.

Mufasir asal Tunisia dalam kitabnya At-Tahrir Wa At-Tanwir (XXV/267) itu berkomentar:

فَكَانَ قَوْلُهُ: فِي السَّماءِ إِلهٌ وَفِي الْأَرْضِ إِلهٌ إِبْطَالًا لِلْفَرِيقَيْنِ مِمَّا زُعِمَتْ إِلَهِيَّتُهُمْ

Maka Firman-Nya: فِي السَّماءِ إِلهٌ وَفِي الْأَرْضِ إِلهٌ itu membatalkan kedua belah pihak dari persangkaan ketuhanan mereka.

Dalam tulisan yang lalu, disebutkan beberapa syarat berlakunya kaidah pengulangan isim. Selain semua itu, ada syarat lagi yaitu kedua isimnya berasal dari satu pembicara. Maka dengan syarat ini, Firman-Nya pada QS. Al-Baqarah [2]: 217 sudah terjawab sendiri. Jawaban ini bisa dilihat dalam Al-Itqon.

Kata qital pertama itu ucapan orang-orang yang bertanya, sedangkan kata qital kedua muncul dari orang yang ditanya (Rasulullah SAW). Mengenai siapa orang yang bertanya ada dua pendapat, yaitu orang-orang islam dan orang-orang kafir. Namun, kebanyakan mufasir ikut pendapat yang kedua.

Sebagaimana dalam kitab-kitab siroh, Rasulullah SAW mengutus Abdullah bin Jahsy untuk memimpin suatu pasukan yang terdiri dari 8 orang di bulan Jumadil Akhiroh, kira-kira 2 bulan sebelum peperangan Badar. Pasukan ini bertugas untuk menghadang rombongan yang membawa harta orang-orang kafir Quraisy. Pemimpin rombongan tersebut dibunuh, dua orang lainnya ditawan, dan ada satu yang melarikan diri.

Kejadian itu terjadi pada awal bulan Rojab. Sebagaimana yang sudah maklum, bulan Rojab merupakan salah satu bulan yang diharomkan untuk melakukan peperangan. Sehingga pihak kafir Quraisy menggugat kepada Rasulullah SAW atas kejadian tersebut dengan mengatakan: “Sungguh Muhammad telah menghalalkan peperangan di bulan harom (mulia). Bulan dimana orang yang ketakutan merasa aman, karena mengalirkan darah terjaga di bulan itu”

Imam Ar-Razi dalam Mafatih Al-Ghaib (6/33) telah mengulas ayat di atas dengan sangat apik. Menurut mufasir kenamaan ini, penggunaan isim nakirah pada qul qitalin fiihi kabir mengingatkan bahwa perang yang berimbas dosa besar ini bukanlah perang yang mereka tanyakan. Melainkan peperangan lain yang bertujuan menghancurkan islam dan menguatkan kekafiran. Karena kata qital pertama itu peperangan yang dipimpin oleh Abdullah bin Jahsy dalam rangka menolong islam dan merendahkan kekafiran.

Pemilihan diksi isim nakirah dalam dua kata ini karena alasan yang lembut ini. Allah tidak berkata dengan terang-terangan supaya hati mereka tidak merasa sempit. Bahkan Allah menyamarkan makna pembicaraan ini, sekiranya tampak seperti tuduhan terhadap apa yang mereka inginkan, dan pada hakikatnya (makna yang tersembunyi) sesuai dengan kebenaran.

Baca Juga: Mengenal Muthlaq-Muqayyad: Definisi, Pembagian, dan Kaidah Penerapannya

Sisi keindahan makna ini hanya bisa diperoleh dengan menggunakan isim nakirah pada kedua kata tersebut. Andaikan keduanya menggunakan bentuk ma’rifat, atau salah satunya saja maka faidah agung ini tidak diperoleh. Imam Ar-Razi mengakhiri pembahasannya dengan uangkapan tasbihnya:

فَسُبْحَانَ مَنْ لَهُ تَحْتَ كُلِّ كَلِمَةٍ مِنْ كَلِمَاتِ هَذَا الْكِتَابِ سِرٌّ لَطِيفٌ لَا يَهْتَدِي إِلَيْهِ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ

Maha suci Dzat yang memiliki rahasia lembut di setiap kata dari perkataan Kitab ini (Al-Qur’an), hanya orang berakal saja yang mendapatkan petunjuk rahasia itu.

Itu sebabnya, kita perlu merenungkan lagi penafsiran ayat-ayat yang dianggap terdapat inkonsistensi. Semoga kita dijadikan oleh-Nya termasuk diantara orang-orang yang dimaksudkan dalam ungkapan tasbih tersebut. Amin Ya Mujibas Sailin. Walllahu Ta’ala A’lam.