Beranda blog Halaman 375

Tafsir Ahkam: Bolehkah Berwudhu dengan Air Laut?

0
Bolehkah Berwudhu dengan Air Laut?
Bolehkah Berwudhu dengan Air Laut?

Air laut memiliki sifat berbeda dengan air tawar yang biasa kita buat bersuci. Salah satu perbedaan sifatnya yang mencolok adalah rasanya yang asin dan tidak bisa dikonsumsi kecuali diolah sedemikian rupa. Perbedaan sifat yang mencolok ini kadang membuat kita bertanya-tanya, apakah air laut memiliki hukum yang sama dengan air tawar, dalam persoalan dapat digunakan bersuci? Baik bersuci dari hadas maupun dari najis? Dengan begitu, bolehkah berwudhu dengan air laut?

Air Laut dalam Al-Qur’an

Dalam membahas persoalan air laut, ulama’ merujuk kepada firman Allah sebagai berikut:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِۗ وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْاۗ وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ مِّنْهُ ۗ ٦

Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berdiri hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku serta usaplah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai kedua mata kaki. Jika kamu dalam keadaan junub, mandilah. Jika kamu sakit, dalam perjalanan, kembali dari tempat buang air (kakus), atau menyentuh perempuan, lalu tidak memperoleh air, bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. (Al-Ma’idah [5] 6)

Imam Ibn Jarir menyatakan, ayat di atas berkaitan dengan ibadah bersuci dari hadas. Secara tidak langsung Allah berfirman, apabila kalian hendak melaksanakan salat dan dalam keadaan belum suci yang kemudian membuat kalian diperbolehkan untuk salat, maka basuhlah wajah dan seterusnya. Dari sini kita bisa mengetahui bahwa ayat di atas berkaitan bersuci dari hadas (Tafsir At-Thabari/10/7).

Baca juga: Penjelasan Al-Quran tentang Orang yang Tidak Bisa Disesatkan Iblis, Siapa Dia?

Dalam persoalan bersuci menggunakan air laut, perhatian ulama’ tertuju pada redaksi ayat “lalu tidak memperoleh air, bertayamumlah dengan debu yang baik (suci)”. Potongan ayat ini menyebutkan bahwa ketiadaan air sebagai syarat bolehnya tayamum. Air dalam ayat ini bersifat umum dan tidak tertentu pada air hujan saja. Secara Bahasa, air laut juga dinyatakan sebagai air sehingga keberadaannya termasuk yang membuat kita tidak diperkenankan tayamum. Dari sini tampak tidak adanya perbedaan antara air laut dan air tawar. Oleh karena itu Imam Ar-Razi menyatakan, boleh berwudhu dengan menggunakan air laut (Mafatihul Ghaib/5/495).

Imam As-Syafi’i di dalam tafsirnya memberi penjelasan hampir sama. Menurutnya, ayat di atas menunjukkan pada kita bahwa ibadah berwudhu menggunakan air, dan air ini tentunya adalah sesuatu yang murni sebagai ciptaan Allah dan tidak tercemar oleh campur tangan manusia. Selain itu, air yang disebutkan adalah air secara umum. Sehingga mencakup air hujan, air sungai, air laut dan sebagainya. Baik yang bersifat tawar maupun tidak tawar. Maka kesemuanya sama saja hukumnya dalam hal dibuat wudhu maupun mandi (Tafsir Imam Syafi’i/2/706).

Hadis Nabi Tentang Berwudhu Dengan Air Laut

Selain berdasar Surat Al-Maidah ayat 6, para ulama’ menghukumi bolehnya berwudhu menggunakan air laut berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Abi Hurairah:

سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ وَنَحْمِلُ مَعَنَا الْقَلِيلَ مِنَ الْمَاءِ فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا أَفَنَتَوَضَّأُ بِمَاءِ الْبَحْرِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ ».

Seorang lelaki bertanya pada nabi Muhammad salallahualaihi wasallam lalu berkata: “Wahai Rasulullah, kami berlayar di lautan dan membawa air sedikit. Apabila kami menggunakannya berwudhu, kami akan kehausan. Apa kami boleh berwudhu dengan air laut?”. Rasulullah kemudian menjawab: “Air laut suci dan mensucikan. Bangkainya halal” (HR. Ad-Daruqutni, Al-Baihaqi, Al-Hakim dan selainnya).

Baca juga: Kajian Semantik Asal Usul Kata Salat dalam Al-Quran

As-Shan’ani menyatakan, hadis tersebut menunjukkan bahwa air laut suci dan mensucikan. Sifat suci dan mensucikan tidak hilang dari air laut kecuali dengan adanya perubahan dalam salah satu sifatnya. Sabda Nabi tersebut seakan menjawab kejanggalan si penanya yang memiliki anggapan air laut memiliki hukum yang berbeda disebabkan sifat airnya yang berbeda pula dengan air yang lain (Subulus Salam/1/19).

Dari berbagai uraian di atas kita bisa mengambil kesimpulan, bahwa dalam persoalan bersuci, tidak ada perbedaan antara air laut dengan air tawar. Sifat air laut yang asin tidak lantas membuatnya berbeda dengan air hujan. Berwudhu menggunakan air laut hukumnya adalah boleh. Wallahu a’lam bishshowab [].

Tafsir Surah Al Anfal Ayat 42-44

0
tafsir surah al anfal
tafsir surah al anfal

Tafsir Surah Al Anfal Ayat 42-44 berbicara mengenai rahmat Allah Swt kepada umat Islam ketika berada dalam pertempuran melawan orang-orang kafir. Secara geografis umat Islam berada dalam posisi yang menguntungkan daripada posisi orang kafir.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Anfal Ayat 40-41


Dalam Tafsir Surah Al Anfal Ayat 42-44 ini dijelaskan pula kekhawatiran yang dirasakan oleh umat Islam. Namun untuk menutupi rasa khawatir itu, Nabi Muhammad Swt memberikan kabar gembira bahwa umat Islam akan mengalami kemenangan berkat rahmat Allah.

Ayat 42

Dalam ayat ini Allah memperlihatkan rahmat-Nya kepada kaum Muslimin ketika terjadi Perang Badar.

Kaum Muslimin menempati tempat yang sangat strategis, sangat memungkinkan untuk memperoleh kemenangan, yaitu memilih tempat yang berada di pinggir lembah dekat Medinah, sedang kaum musyrikin berada di ujung lembah yang jauh dari kafilah unta yang membawa barang dagangan yang dipimpin oleh Abu Sufyan di tepi pantai, kira-kira lima mil dari Badar.

Kaum Muslimin berada di pinggir lembah yang terdekat ke Medinah, ketika itu baru saja turun hujan, sehingga mereka mempunyai persediaan air minum yang cukup dan situasi tanah yang disiram hujan, sedang kaum musyrikin berada di ujung lembah yang jauh, yang kering karena tidak mendapatkan air hujan dan tanah yang diinjak oleh kaum Musyrikin adalah tanah yang mengandung debu, sehingga kaki mereka mudah terperosok.

Seandainya kaum Muslimin mengadakan kesepakatan untuk menentukan waktu pertempuran, niscaya mereka tidak sependapat dalam menentukan waktu pertempuran itu.

Akan tetapi, karena Allah telah menentukan jalannya pertempuran maka saatnya pun tidak direncanakan oleh kaum Muslimin sendiri, apalagi  jika  melihat  jumlah tentara kaum Muslimin amat sedikit dibanding dengan jumlah tentara kaum musyrikin dan persenjataan mereka pun tidak lengkap.

Maksud kaum Muslimin berperang untuk menguasai kafilah unta yang penuh dengan barang dagangan yang dibawa dari Syam di bawah pimpinan Abu Sufyan. Tindakan ini adalah sebagai balasan atas tindakan orang-orang musyrik yang merampas harta orang-orang Muslim yang mereka tinggalkan di Mekah karena hijrah ke Medinah.

Semula kaum musyrikin tidak merasa gentar menghadapi kaum Muslimin yang dipimpin oleh Rasulullah. Tetapi setelah mereka mengetahui posisi dan keadaan mereka, maka mereka merasa gentar menghadapi kaum Muslimin.

Abu Sufyan sebagai pemimpin kafilah perdagangan kemudian mengirim utusan ke Mekah memberi tahu tentang bahaya yang mereka hadapi. Kemudian orang Quraisy dari Mekah mengirim pasukan yang dipimpin oleh Abu Jahal dengan maksud membantu kafilah Abu Sufyan.

Mengetahui kedatangan tentara Quraisy dari Mekah yang cukup besar, Nabi Muhammad mengubah arah dari menghalangi Abu Sufyan menjadi menghadapi tentara Quraisy. Maka terjadilah pertempuran di lembah Badar.

Allah mempertemukan dua pasukan itu tanpa didahului persetujuan dari kedua belah pihak, untuk menentukan pertempuran. Allah menghendaki kemenangan kepada kaum Muslimin dan menghancurkan kaum musyrikin, agar orang-orang yang beriman mencapai kemenangan berdasarkan bukti-bukti yang dapat disaksikan dengan nyata sebagai bukti kebenaran Islam, dan sebagai bukti bahwa Allah telah melaksanakan janji-Nya kepada Nabi-Nya dan  kaum  Muslimin,  sehingga  keraguan  mereka  lenyap dan kemenangan  ternyata berada di tangan kaum Muslimin.

Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui segala yang diucapkan oleh orang-orang kafir dan orang-orang mukmin dan pasti akan memberikan balasan pula sesuai dengan apa yang didengar dan diketahui-Nya.

Ayat 43

Allah mengetahui apa yang diucapkan oleh sahabat-sahabat Nabi dan mengetahui pula apa yang tersimpan dalam hatinya ketika Allah memperlihatkan kepada Nabi dalam mimpi bahwa jumlah musuh itu sedikit.

Setelah Nabi memberitahukan kepada sahabat-sahabatnya tentang mimpinya itu, maka tenanglah hati mereka dan bertambah besarlah harapan mereka untuk mencapai kemenangan, sehingga mimpi itu memberikan dorongan dan semangat kepada mereka menghadapi medan pertempuran.

Seandainya Allah memperlihatkan kepada Nabi-Nya jumlah kaum musyrikin itu banyak akan timbullah ketakutan dalam hati mereka, mereka gentar menghadapi musuh dan tentu akan menimbulkan pertentangan hebat di kalangan kaum Muslimin yang tidak setuju untuk melangsungkan peperangan, karena di kalangan kaum Muslimin ada yang kuat imannya dan ingin patuh melaksanakan perintah Rasul untuk berperang dan ada pula yang lemah imannya, yang ingin menghindari  peperangan.

Allah  menyelamatkan kaum Muslimin dari ketakutan dan perselisihan yang dapat mengakibatkan kelemahan dan kehancuran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang tersimpan dalam hati, yaitu perasaan takut dan cemas dari orang yang lemah imannya dan keberanian  untuk maju ke medan juang pada orang-orang yang kuat imannya yang selalu tawakal kepada Allah.


Baja juga: Kapankah Datang Pertolongan Allah Swt? Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 214


Ayat 44

Dalam ayat ini Allah memerintahkan Nabi agar mensyukuri nikmat-Nya, ketika Dia menampakkan musuh dalam jumlah yang sedikit pada penglihatan Nabi dan para sahabat, demikian pula Allah menampakkan jumlah tentara kaum Muslimin sedikit pada penglihatan mata musuhnya, agar kedua belah pihak maju perang dengan harapan dapat mencapai kemenangan.

Kaum Muslimin berperang dengan penuh semangat karena hatinya penuh dengan keimanan dan kepercayaan atas janji Allah bahwa mereka akan mencapai kemenangan dan akan dibantu oleh malaikat.

Orang-orang kafir maju ke depan karena terdorong oleh perasaan sombong dan menipu diri sendiri, sehingga Abu Jahal berkata, “Jumlah tentara Muhammad sedikit, cukup diberi makan dengan seekor unta saja.”

Karena masing-masing golongan mempunyai harapan untuk menang, maka terjadilah pertempuran sengit yang berakhir sesuai dengan ketentuan Allah yaitu kemenangan di pihak kaum Muslimin.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Anfal Ayat 45-47


(Tafsir Kemenag)

Kajian Semantik Asal Usul Kata Salat dalam Al-Quran

0
Kata Salat
Kata Salat

Setiap peringatan isra mikraj salah satu yang selalu dibahas adalah seputar kewajiban salat. Kisah seputar disyariatkan salat kepada Nabi Muhammad pun sudah akrab kita dengar dari lisan para penceramah. Setiap tahun tak ada yang berubah dari konten dakwahnya.

Sejenak pernahkah kita bertanya, apa asal usul dari kata salat? Apakah salat juga sama dengan ibadah puasa dan haji yang meneruskan tradisi umat-umat terdahulu?

Menyoroti hal tersebut, ada satu ayat yang menarik untuk didiskusikan yaitu QS. Al-Hajj ayat 40:

 وَلَوۡلَا دَفۡعُ ٱللَّهِ ٱلنَّاسَ بَعۡضَهُم بِبَعۡضٖ لَّهُدِّمَتۡ صَوَٰمِعُ وَبِيَعٞ وَصَلَوَٰتٞ وَمَسَٰجِدُ يُذۡكَرُ فِيهَا ٱسۡمُ ٱللَّهِ كَثِيرٗاۗ وَلَيَنصُرَنَّ ٱللَّهُ مَن يَنصُرُهُۥٓۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ

…dan jika seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian (manusia) yang lain, tentu telah dirobohkan (oleh para penindas) biara-biara, gereja-gereja, sinagoga-sinagoga dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sungguh, Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat, lagi Maha Perkasa (Terjemahan Makna Al-Quran dari Prof. Dr. Quraish Shihab).

Secara umum pesan ayat ini mengajak umat Islam untuk menjaga tempat ibadah sang liyan. Salah satu tempat ibadah yang disebutkan dalam ayat tersebut adalah sinagog, tempat ibadah umat Yahudi. Uniknya kata yang digunakan adalah shalawāt, jamak dari kata salat.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Kewajiban Salat Lima Waktu dalam Peristiwa Isra Mikraj

Sebagai pembaca Al-Quran kita dapat bertanya, ibadah harian umat Islam adalah salat, tetapi, mengapa justru tempat ibadah umat Yahudi yang menggunakan kata shalawāt. Jika menilik beberapa penafsiran, misalnya pendapat Ibn Abbas, Yahya bin Sallam, al-Farra`, dan al-Thabari, maka semuanya memahami kata shalawāt sebagai kanā`is al-yahūd, gereja orang Yahudi.

Gerhard Bowering dalam Encyclopaedia of the Quran jilid 4 ketika menjelaskan kata “Prayer” menegaskan bahwa diksi salat –yang dalam bahasa Arab sering merujuk pada makna ritual doa—belum muncul dalam puisi Arab pra-Quran. Sehingga jelas bahwa penggunaan kata ini dalam Al-Quran dipengaruhi oleh bahasa Semitik.

Sebenarnya pinjam meminjam, saling mempengaruhi, atau memperkaya adalah hal yang wajar dalam proses pembentukan bahasa. Dalam bahasa Indonesia saja, kita bisa mengetahui ada banyak bahasa serapan dari Inggris, Arab, Belanda dan Sansakerta yang menghiasi kosakata. Pun demikian bahasa Arab yang mempunyai rumpun bahasa semitik lainnya seperti Ibrani dan Suryani.

Begitu juga dalam kasus kata salat pada ayat tersebut yang merupakan istilah asing kemudian di-Arab-kan (al-mu’arrab) dari bahasa Suryani. Demikian ulasan dari Dr. Abdul Rahim al-Subhan yang dikutip oleh Muhammad Sayyid Ali Balasi dalam kitab al-Mu’arrab fi al-Quran al-Karim.

Sejalan dengan hal tersebut, Jawwad Ali dalam kitab Tārīkh al-Shalāt fī al-Islām menegaskan bahwa salat pada mulanya difungsikan untuk menggambarkan praktik ritual keagamaan, kemudian digunakan oleh kalangan Yahudi dengan istilah shallutah, selota, yang bermakna denotes the act of bowing, menunjukkan sikap membungkuk.

Salah satu “salat” yang dilakukan dalam tradisi rabbinic judaism adalah melakukan doa harian sebanyak tiga kali dalam sehari, yaitu saat fajar menyingsing, sore dan malam hari, baik secara pribadi maupun berjamaah (komunal).

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa ibadah salat dalam Islam adalah keberlanjutan dari ritual yang telah ada sebelumnya (syar’u man qablana). Selain tradisi Yahudi, dalam liturgi Kristen, khususnya Kristen Timur juga erat dengan ritual doa dan sikap membungkukkan badan.

Bahkan masyarakat Arab sebelum Nabi Muhammad diutus telah mengenal dan menjalankan beragam ritual doa dengan gerakan tertentu sebagai ekspresi keberagamaan mereka.

Hanya saja, masyarakat Arab pra-Islam menolak gerakan rukuk dan sujud karena dalam dua gerakan tersebut dinilai sebagai simbol kehinaan dan kerendahan. Karenanya ibadah salat merupakan ibadah yang sulit diterima oleh masyarakat Arab kala itu.

Dalam sebuah riwayat yang dikutip dalam Tafsir Thabari diceritakan, ketika rombongan Tsaqif mengunjungi Rasulullah saw pada tahun 9 Hijriah, mereka berharap dibebaskan dari dua hal, yaitu menghancurkan berhala dengan tangan mereka sendiri dan melaksanakan salat.

Nabi bersabda: “Aku memberi keringanan pada kalian untuk tidak memecah berhala dengan tangan kalian sendiri, namun terkait salat, tidak ada kebaikan bagi sebuah agama tanpa salat”. Lalu mereka berkata, “Wahai Muhammad, kami akan melaksanakan salat, walaupun itu hina”.

Berdasarkan penelusuran tersebut, ada beberapa poin yang dapat digarisbawahi. Pertama, kehadiran Islam tidak menutup diri dari interaksi dengan agama bahkan budaya yang ada di sekitarnya.

Nabi Muhammad tidak menghapus ritual berdoa yang telah dikenal oleh umat Yahudi, justru melanjutkan dan memberikan nuansa tersendiri. Nuansa yang khas dalam Islam, selain lafaz syahadat, juga melantunkan salawat kepada Nabi Muhammad dan Nabi Ibrahim.

Dengan mengetahui sejarah tersebut, dapat menjadi sarana untuk membuka ruang dialog dengan agama yang beragam, khususnya yang masih dalam satu rumpun Abrahamic Religion, Yahudi, Kristen dan Islam. Sayangnya kita lebih masif memupuk kebencian antar anak Abraham daripada membangun ruang perjumpaan secara mendalam.

Kedua, setiap agama mempunyai sarana untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Dalam Islam, ibadah salat hadir sebagai cara kita untuk menenangkan diri, atau bahasa lainnya adalah berkontemplasi.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Dalil Salat Jumat dan Alasan Pemilihan Harinya

Ini yang perlu diperhatikan bahwa salat adalah sarana, bukan tujuan. Sehingga jangan sampai kita hanya melaksanakan salat sebatas ritual dan mengabaikan tujuannya. Aqimis shalāta li zikrī, mendirikan salat untuk mengingat Allah; sesungguhnya salat sebagai pencegah dari perbuatan keji dan munkar, adalah di antara maksud diberlakukannya salat.

Ketiga, gerakan-gerakan shalat seperti rukuk dan sujud adalah sarana penghambaan dan penyerahan diri kepada Tuhan. Ketika kita salat, jabatan keduniaan dilepas, mau kepala negara maupun rakyat jelata, semua merendah di hadapan-Nya. Harapannya dengan minimal lima waktu dalam sehari kita menunduk, maka kehidupan kita pun penuh dengan ketundukan, bukan kecongkakan dan kepongahan.

Dengan demikian, ibadah shalat mengajarkan kita untuk melihat ke luar, bahwa ada banyak agama dan kepercayaan yang juga mengajak untuk “salat”, menundukkan diri pada Sang Pencipta. Di saat yang sama, kita pun diajak untuk melihat ke dalam, bahwa kita hanyalah manusia yang rapuh tanpa kehadiran Tuhan Sang Pengatur semesta. Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Al Anfal Ayat 40-41

0
tafsir surah al anfal
tafsir surah al anfal

Tafsir Surah Al Anfal Ayat 40-41 mula-mula melanjutkan pembahasan sebelumnya, yaitu tawaran Nabi Muhammad untuk berdamai dengan orang-orang kafir agar tidak perlu terjadi peperangan. Sayangnya tawaran itu mereka tolak dan sungguh mereka dalam bahaya yang nyata karena orang-orang mukmin senantiasa bersama Allah yang Maha Penolong.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al Anfal Ayat 38-39


Dalam Tafsir Surah Al Anfal Ayat 40-41 ini juga menjelaskan mengenai pembagian harta ghanimah atau harta rampasan. Pembagian harta ghanimah ini tentunya harus berdasarkan ketentuan Allah dan Rasulullah.

Ayat 40

Allah mengancam mereka bahwa apabila mereka tetap juga menolak seruan damai Rasulullah dan tetap tidak menghentikan keingkaran terhadap seruan Rasul serta tetap memerangi dan memusuhi kaum muslim, maka Allah memerintahkan kepada kaum Muslimin agar memberitahukan kepada mereka bahwa Allah tetap menjadi pelindung yang akan membantu kaum Muslimin.

Dan Allah menjamin kemenangan bagi kaum Muslimin. Dan Allah melarang orang-orang Islam menyerah dan merasa takut kepada tantangan kaum musyrikin itu.

Di akhir ayat Allah menegaskan kepada kaum Muslimin bahwa Dialah Allah sebaik-baik Pelindung. Maka tidak akan sia-sialah yang meminta perlindungan-Nya. Dan memang demikianlah selalu terjadi dalam kehidupan manusia ini baik dari zaman dahulu sampai datangnya agama Islam, yaitu yang berhak menguasai bumi Allah hanyalah orang-orang yang saleh di antara hamba-Nya.

Firman Allah:

وَلَقَدْ كَتَبْنَا فِى الزَّبُوْرِ مِنْۢ بَعْدِ الذِّكْرِ اَنَّ الْاَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِيَ الصّٰلِحُوْنَ

“Dan sungguh, telah Kami tulis di dalam Zabur setelah (tertulis) di  dalam Az-Zikr (Lauh Mahfuz), bahwa bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang saleh.” (al-Anbiya’/21: 105)


Baca juga: Makna Ar-Rahman dan Ar-Rahim dalam Lafaz Basmalah


Ayat 41

Dalam ayat ini Allah menjelaskan pembagian hasil rampasan perang sesuai dengan syariat Islam.

Jumhur ulama berpendapat bahwa ayat ini diturunkan terkait dengan Perang Badar dan merupakan ayat pertama tentang pembagian harta rampasan perang sesudah Perang Badar.

Allah menjelaskan bahwa semua ganimah yang diperoleh kaum Muslimin dari orang-orang kafir dalam peperangan, harus diambil seperlimanya untuk Allah dan Rasul, yaitu untuk hal-hal yang berhubungan dengan agama, seperti kemaslahatan seorang dai dalam berdakwah, mendirikan syiar-syiar agama, untuk memelihara Ka’bah, dan untuk keperluan Rasulullah saw dan rumah tangganya selama satu tahun.

Kemudian dari seperlima ini juga harus diberikan pula kepada kerabat-kerabatnya. Dalam hal ini yang dianggap kerabat Rasulullah itu hanya Bani Hasyim dan Bani Muttalib dan tidak kepada Bani Abdi Syams dan Bani Naufal.

Kemudian diberikan pula kepada kaum Muslimin yang memerlukan bantuan seperti anak-anak yatim, fakir miskin dan ibnussabil (musafir yang kekurangan biaya).Empat perlima ganimah dibagikan kepada tentara yang ikut berperang.

Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari Mut’im bin Jubair dari Bani Naufal, dia berkata, “Saya dengan Usman bin Affan dari kabilah Bani Abdi Syams bersama-sama datang kepada Rasulullah, lalu kami bertanya kepada beliau, “Wahai Rasulullah, engkau telah memberi ganimah kepada kabilah Bani Muttalib dan membiarkan kami tidak dapat bagian, padahal kami dengan mereka sederajat.”

Rasulullah menjawab, “Sesungguhnya kabilah Bani Muttalib dan Bani Hasyim merupakan satu kesatuan.”

Jawaban Rasulullah ini adalah sebagai sindiran kepada Bani Syams dan Bani Naufal, bahwa mereka tidak dapat dipersamakan dengan Bani Muttalib dan Bani Hasyim yang selalu berjuang mendampingi Rasulullah dan tidak pernah memusuhinya.

Mujahid, seorang ahli tafsir mengatakan bahwa Allah mengetahui, di antara kabilah Bani Hasyim dan Bani Muttalib banyak yang miskin. Karena itu mereka diberi bagian dari ganimah, sebab mereka tidak boleh menerima zakat.

Perbedaan dalam perlakuan di atas harus dikembalikan kepada sejarah, yaitu ketika orang Quraisy menulis sebuah risalah yang menentukan sikap mereka terhadap Nabi Muhammad untuk memboikot sahabat-sahabat Nabi. Maka orang Quraisy mengusir Bani Hasyim dari Mekah dan menempatkan mereka di syi’ib (lembah) Bani Hasyim, karena mereka selalu melindungi Nabi Muhammad.

Kemudian datang pula kabilah Bani Muttalib bergabung dengan mereka, sedang kabilah Abdi Syams dan Bani Naufal  tidak bergabung dengan mereka sehingga tidak ikut diboikot oleh orang-orang Quraisy.

Abu Sufyan dari keturunan Bani Umaiyah sering pula memerangi Nabi Muhammad bersama-sama kaum musyrikin dan orang Yahudi sampai Mekah dikuasai oleh Nabi Muhammad dan baru ketika itulah Abu Sufyan masuk Islam.

Adapun hikmah dari pembagian ganimah untuk Allah dan Rasul ialah karena pemerintahan Islam dalam mengurus umatnya perlu mempunyai dana untuk dipergunakan bagi kemaslahatan umum, untuk menegakkan syiar-syiar agama dan untuk pertahanan. Semuanya itu diambil dari seperlima untuk Allah.

Kemudian untuk kepentingan kepala negara diberikan bagian Rasulullah dan rumah tangganya. Kemudian diberi pula karib kerabatnya yang berdekatan dengan Nabi, yaitu Bani Hasyim dan Bani Muttalib sebagai penghargaan atas dukungan mereka untuk perjuangan Nabi.

Kemudian juga kepada orang-orang yang memerlukan bantuan, dan umat Islam yang lemah ekonominya. Cara pembagian ini senantiasa dipraktikkan di sebagian besar negara-negara Islam walaupun ada sedikit perbedaan dalam praktek menghadapi keperluan masyarakat dan rakyatnya.

Cara pembagian itu wajib diterima dan dilaksanakan jika kaum Muslimin sungguh-sungguh beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan-Nya.

Perang Badar diberi nama yaum al-furqan. Hari furqan ialah hari yang memisahkan antara keimanan dan kekafiran.

Kemenangan kaum Muslimin pada Perang Badar adalah kemenangan yang pertama terhadap kaum musyrikin, walaupun jumlah mereka tiga kali lipat banyaknya dari kaum Muslimin, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, kuasa memberi kemenangan kepada kaum Muslimin  sesuai  dengan janji-Nya. Perang Badar di samping disebut sebagai “yaum al-furqan” juga “yaum iltaqa al-jam’an” yang berarti hari bertemunya dua pasukan, pasukan Muslim di bawah pimpinan Nabi Muhammad saw dan pasukan Quraisy di bawah pimpinan Abu Jahal dan kawan-kawannya.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Anfal Ayat 42-44


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Al Anfal Ayat 38-39

0
tafsir surah al anfal
tafsir surah al anfal

Tafsir Surah Al Anfal Ayat 38-39 berbicara mengenai tawaran perdamaian bagi orang-orang kafir. Nabi Muhammad menawarkan agar permusuhan dihentikan serta tidak lagi menghalang-halangi dakwah Nabi. Ini adalah esensi agama Islam yang sesungguhnya.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al Anfal Ayat 36-37


Namun, jika orang-orang kafir bersikukuh memusuhi dan menghalangi dakwah dakwah Nabi, maka tidak ada jalan lain selain membela diri. Salah satunya adalah berperang melawan mereka agar fitnah bisa dihentikan secepatnya.

Ayat 38

Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad dan pengikut-pengikutnya untuk menyatakan kepada orang-orang kafir Quraisy, yaitu Abu Sufyan dan pengikut-pengikutnya.

Pernyataan itu adalah bahwa Allah memberikan tawaran kepada mereka, apabila mereka mau menghentikan permusuhannya kepada seruan Nabi Muhammad dan menghentikan tipu-dayanya dalam menghalang-halangi tersebarnya agama Allah.

Mereka masih diberi kesempatan untuk bertaubat dan Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang sudah mereka lakukan dan mereka tidak akan mengalami siksaan di akhirat.

Demikian juga Rasulullah tidak akan memerangi mereka dan tidak akan menuntut balas terhadap tindakan-tindakan mereka yang telah mereka lakukan baik berupa penyiksaan, pengusiran, pembunuhan, perampasan, maupun lain-lainnya.

Hal ini adalah merupakan ketentuan Islam yaitu mencintai perdamaian selama ajaran Islam dapat tersebar di muka bumi dan tidak dihalang-halangi. Akan tetapi apabila seruan agama Islam dihalang-halangi maka umat Islam akan bertindak terhadap orang-orang yang menghalang-halangi tersebut.

Allah memberikan ancaman dan peringatan bahwa apabila mereka tetap tidak menghiraukan seruan itu dan mereka tetap bersikap keras dalam memusuhi ajaran Islam, serta menghalang-halangi dan memerangi kaum muslim, maka sunnah Allah yang telah berlaku terhadap orang-orang dahulu kembali berlaku, yaitu Allah akan membantu perjuangan orang-orang mukmin dan menghancurkan tipu-daya orang-orang kafir.

Allah berfirman:

اِنَّا لَنَنْصُرُ رُسُلَنَا وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ يَقُوْمُ الْاَشْهَادُۙ

Sesungguhnya Kami akan menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari tampilnya para saksi (hari Kiamat). (al-Mu’min/40: 51)

Untuk memberikan gambaran bahwa apabila orang-orang musyrikin itu betul-betul menghentikan tindakan mereka yang memusuhi Nabi Muhammad menerima seruannya dan masuk Islam, niscaya mereka dapat pengampunan dari Allah. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan Amr bin al- ‘As berkata:

فَلَمَّا جَعَلَ الله ُاْلإِسْلاَمَ فِيْ قَلْبِيْ أَتَيْتُ النَّبِيَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ اُبْسُطْ يَدَكَ أُبَايِعْكَ فَبَسَطَ يَمِيْنَهُ فَقََبَضْتُ يَدِيْ قَالَ  مَالَكَ  قُلْتُ أَرَدْتُ أَنْ أُشْتَرِطَ، قَالَ  تَشْتَرِطُ بِمَاذَا؟  قُلْتُ أَنْ يَغْفِرَ لِيْ. قَالَ  أَمَا عَلِمْتَ يَا عَمْرُو أَنَّ اْلإِسْلاَمَ يَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلَهُ وَأَنَّ الْهِجْرَةَ تَهْدِمُ مَاكَانَ قَبْلَهَا وَأَنَّ الْحَجَّ يَهْدِمُ مَاكَانَ قَبْلَهُ؟  (رواه مسلم عن عمرو بن العاص)

“Setelah Allah meresapkan agama Islam betul-betul ke dalam hatiku, aku pun datang kepada Nabi dan berkata: “Ulurkan tanganmu, aku akan membai’at kamu. Maka Rasulullah mengulurkan tangan kanannya, lalu aku menarik tanganku. Nabi bertanya: “Mengapa engkau menarik tanganmu?” Aku menjawab: “Aku akan menentukan suatu syarat”. Rasulullah bertanya: “Engkau akan mensyaratkan apa?” Aku menjawab: “Aku ingin agar Allah mengampuni aku.” Rasulullah bersabda: “Tidakkah engkau mengetahui hai Amr, bahwasanya Islam itu menghapuskan apa yang terjadi sebelumnya, dan bahwasanya hijrah itu telah menghapuskan apa yang sebelumnya dan haji itu menghilangkan dosa-dosa yang sebelumnya.” (Riwayat Muslim dari Amr bin al- ‘As)


Baca juga: Tafsir Surat Al-Hajj Ayat 39: Perang itu Diizinkan Bukan Diperintahkan


Ayat 39

Allah mengobarkan semangat juang orang-orang mukmin yaitu apabila orang-orang musyrikin tetap menolak seruan menghentikan permusuhan, Allah memerintahkan Rasulullah dan pengikut-pengikutnya agar memerangi mereka agar tidak terdapat lagi fitnah yang mengganggu umat Islam dan agamanya.

Sehingga tidak akan ada lagi rasa takut dan kekhawatiran yang mencekam hati sanubari seseorang bila masuk agama Islam. Hal ini adalah jaminan bagi manusia bahwa mereka mempunyai kemerdekaan di dalam memeluk agama dan menjalankan syariatnya.

Allah berfirman:

لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ  قَدْ تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ

“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat.” (al-Baqarah/2: 256)

Kemudian Allah menawarkan sekali lagi kepada orang-orang musyrikin bahwa apabila mereka menghentikan kekafiran dan permusuhan, maka Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan, dan akan memberikan balasan kepada mereka terhadap amalan-amalan mereka.

Rasulullah bersabda:

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُوْلُوْا: لاَإِلٰهَ إِلاَّ الله ُفَإِذَا قَالُوْهَا عَصَمُوْا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بَحَقِّهَا وَحِسَابُهَا عَلَى اللهِ عَزَّوَجَلَّ

(رواه البخاري ومسلم عن ابن عمر)

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka itu mengucapkan “La ilaha illallahu”. Apabila mereka mengatakan kalimat itu, mereka telah memelihara darah dan harta benda mereka dari tindakanku, terkecuali karena ada alasan yang benar, sedang perhitungan amal mereka terserah kepada Allah Azza wa Jalla”. (Riwayat al-Bukhāri dan Muslim dari Ibnu Umar)

Perintah perang ini merupakan jalan terakhir, ada ayat lain yang menganjurkan untuk mengajak ke jalan yang benar dengan bijaksana, seperti yang tercantum dalam Surah an-Nahl/16 ayat 125.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Anfal Ayat 40-41


(Tafsir Kemenag)

Gus Awis: Tidak Cukup Menafsirkan Al-Quran Hanya Bermodalkan Bahasa Arab

0
menafsirkan Al-Quran tidak cukup hanya bermodal bahasa arab
menafsirkan Al-Quran tidak cukup hanya bermodal bahasa arab

Kendati diturunkan menggunakan bahasa Arab, syarat menafsirkan Al-Quran bukan berarti sesimpel hanya dengan memiliki wawasan kebahasaan saja.  Jika memang benar adanya demikian, seharusnya para mufasir akan lahir dan tumbuh di kalangan para Arab Badui, yang saat itu dijadikan parameter kefasihan bahasa Arab sebelum Dinasti Abbasiyah melahirkan pakar–pakar bahasa Arab dari Basrah dan Kufah. Nyatanya, para Mufasir periode pertama berasal dari para sahabat Nabi yang menyaksikan proses turunnya Al-Quran secara langsung, seperti Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Anas bin Malik, dan lain sebagainya.

Artinya, pertimbangan mereka dalam menentukan syarat menafsirkan Al-Quran tidak hanya didasari pengetahuan bahasa saja, bahkan dalam At-Tafsir wal Mufassirun, Az-Zahabi pernah menceritakan bahwa beberapa sahabat sekelas Umar bin Khattab pernah berdiskusi dengan Ibnu Abbas tentang sebuah ayat lantaran tidak mengerti maksud ayatnya. Padahal secara genealogis, Umar lahir di kalangan Quraisy yang dialeknya dijadikan standarisasi bahasa Al-Qur’an.

Selain itu, banyak kata di dalam Al-Quran yang bukan bahasa Arab asli. Beberapa diantaranya adalah kata–kata yang sudah mengalami Ta’rib atau Arabisasi, sehingga orang dengan kefasihan tingkat tinggi pun akan kesulitan memaknainya.

Baca Juga: Kontribusi Al-Qur’an terhadap Perkembangan Bahasa Arab

Pendapat Gus Awis Soal Tafsir Berbasis Linguistik

Dalam sebuah video yang diunggah di kanal youtube Tafsir Al-Qur’an ID, KH. Afifuddin Dimyathi yang akrab disapa Gus Awis, pakar ilmu tafsir dan linguistik Arab UIN Sunan Ampel Surabaya menjelaskan bahwa porsi bahasa dalam penafsiran Al-Quran hanya berkisar 25%, sehingga tidak cukup jika  seorang mufasir hanya berbekal pengetahuan bahasa Arab.

Bahasa hanya bisa meraba kata–kata gharib dalam Al-Quran, seperti Ibnu Abbas yang menggunakan Syawahid As-Syi’r Al-Jahili (konten puisi Arab pra-Islam) untuk melacak kata–kata asing dalam Al-Quran. Banyak hal yang tidak bisa dijangkau bahasa dalam proses penafsiran Al-Quran.

Di antaranya adalah Asbabun Nuzul. Aspek ini sangat penting dijadikan pertimbangan dalam penafsiran Al-Qur’an. Sebab Al-Quran menurut jumhur ulama’ tafsir adalah obyek yang punya sisi historis. Kondisi dan situasi saat ayat turun sangat berpengaruh pada makna yang akan dihasilkan. Misalkan pada surat Al-An’am 145

قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Artinya : “Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi — karena sesungguhnya semua itu kotor — atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al-An’am : 145)

Jika dilihat dari sudut pandang bahasa saja, maka tentu mufasir akan menyimpulkan bahwa ayat tersebut telah menyebutkan segala bentuk makanan yang dihalalkan. Yakni bangkai, babi, darah, dan hewan–hewan yang disembelih atas nama selain Allah. Ada potensi penafsiran bahwa ayat ini mengisyaratkan bahwa hanya 4 hal tersebut yang diharamkan untuk dimakan.

Padahal nyatanya tidak demikian, Az-Zarkasy dalam Al-Burhan fi ‘Ulumil Qur’an menjelaskan bahwa potensi penafsiran tersebut akan tereduksi setelah mengetahui Asbabun Nuzul ayat, bahwa ayat tersebut tidak ditujukan untuk pembatas mutlak atas keharaman makanan, melainkan sebagai bantahan atas perilaku kafir Quraisy yang memutarbalikkan hukum Allah dengan menghalalkan segala yang diharamkan Allah. Di antara kebiasaan mereka adalah mengonsumsi keempat hal tersebut.

Baca Juga: Kompleksitas Bahasa Arab Sebagai Bahasa Al-Quran

Selain itu, ada beberapa ayat Al-Quran yang lafadnya dimaknai dengan sangat berbeda dari makna leksikal ayat berdasarkan keputusan ijtihad jumhur ulama’ tafsir. Di antaranya adalah makna Yaqin pada ayat berikut

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

Kata Yaqin dalam kamus–kamus dwibahasa Arab-Indonesia pasti dimaknai keyakinan. Dalam beberapa kamus ekabahasa Arab, seperti Al-‘Ain karya Khalil bin Ahmad Al-Farahidi mendefinisikan Yaqin sebagai Izahatu As-Syak, wa Tahqiq Al-Amr (menyingkirkan keraguan dan menghadirkan sesuatunya).  Sedangkan mayoritas mufasir, seperti Ibnu Katsir, Mujahid, Hasan, Qatadah,  Abdurrahman bin Zaid, Salim bin Abdullah bin Umar, dan At-Tabari menyepakati bahwa kata Yaqin disitu berarti kematian. Sangat jauh bukan?

Baca Juga: Dosen di Korea pun Bertafsir, Kyai Mustain: Ada Dua Model Orang Menafsirkan Al-Quran 

Syarat Kompetensi Mufasir

Syarat menjadi seorang mufasir setidaknya bisa kita rinci menjadi 2 kelompok besar, yakni syarat yang bersifat esensional dalam diri mufasir dan syarat kompetensi disiplin keilmuan. Sebagai syarat esensional, As-Suyuti dalam Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Quran mengutip pendapat At-Thabari bahwa peorang mufasir harus memiliki itikad yang baik dan benar, taat pada sunnah Rasul, memiliki wawasan keagamaan yang luas, Zuhud, serta lemah lembut dalam menyampaikan pendapat.

Sedangkan syarat kompetensi disiplin keilmuan, Manna’ Al-Qattan dalam Mabahits fi ‘Ulum Al-Quran menyebutkan bahwa setidaknya seorang mufasir harus menguasai 6 disiplin keilmuan untuk dianggap valid penafsirannya. Keenam keilmuan tersebut adalah Ilmu bahasa Arab (termasuk semua kaidah dan fenomenologinya), Ilmu Qira’ah, ilmu tauhid, ilmu Ushul At-Tafsir, ilmu Naskh wal Mansukh, dan ilmu Asbabun Nuzul.

Dengan demikian, penguasaan bahasa Arab memang menjadi salah satu syarat menafsirkan Al-Quran, meski demikian syarat tersebut bukan satu-satunya, hanya sebagian saja. Wallahu a’lam

Tafsir Surah Al Anfal Ayat 36-37

0
tafsir surah al anfal
tafsir surah al anfal

Tafsir Surah Al Anfal Ayat 36-37 berbicara mengenai persiapan orang-orang kafir untuk memerangi Nabi Muhammad, tepatnya ketika perang Badar. Salah satu orang yang menjadi diplomat mereka adalah Abu Sufyan yang sekaligus menjadi penggalang dana.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al Anfal Ayat 33-35


Namun sia-sia saja apa yang diusahakan oleh orang-orang kafir itu. Lebih lanjut Tafsir Surah Al Anfal Ayat 36-37 mengatakan bahwa Allah pasti akan memberikan kemenangan bagi orang mukmin. Tentunya berbeda perlakuan Allah terhadap golongan yang baik dan yang buruk.

Ayat 36

Para mufassir meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Sa’id bin Jubair, dan lain-lainnya sebagai berikut, “Ayat ini turun mengenai diri Abu Sufyan dan harta bendanya yang diserahkan untuk membiayai orang-orang musyrikin pada waktu Perang Badar, serta bantuannya terhadap mereka pada waktu perang Uhud dan lainnya.”

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa, Setelah Abu Sufyan dapat menyelamatkan kafilahnya (dalam Perang Badar) dengan menempuh jalan pantai menuju Mekah ia berjalan dengan disertai satu regu dari tentara kaum musyrikin menghasut orang-orang agar tidak memerangi mereka.

Maka datanglah mereka kepada orang-orang yang mempunyai barang dagangan dalam kafilah seraya berkata, “Wahai orang-orang Quraisy, ketahuilah: Bahwa Muhammad telah mengucilkan kamu dan membunuh pemimpin-pemimpinmu. Maka bantulah kami dengan mengorbankan harta bendamu untuk memerangi Muhammad. Barangkali kami dapat mencapai kemenangan dari padanya.”

Kemudian mereka melaksanakan anjuran itu. Sa’id bin Jubir berkata, “Bahwasanya Abu Sufyan pada waktu perang Uhud menyewa 2.000 orang dari suku Bani Kinanah untuk memerangi Rasulullah selain orang Arab yang memang sudah menjadi tentara.” (Riwayat At-Tasti dari Nafi’ bin Azraq)

Dalam ayat ini Allah menjelaskan persiapan-persiapan orang-orang kafir Quraisy pada saat menjelang terjadinya Perang Badar, yaitu mereka mengerahkan tenaga dan harta benda mereka untuk menghalang-halangi tersiarnya agama Islam dan perjuangan Rasulullah.

Betapa banyak kekuatan bala tentara yang mereka miliki dan harta benda yang mereka pergunakan, namun mereka akan mengalami kegagalan dalam menafkahkan harta benda itu, tidak lain karena perbuatan mereka seperti perbuatan setan yang tidak disandarkan pada pendirian yang benar.

Akibatnya ialah penyesalan belaka, karena kekuatan jiwa dan harta mereka hilang tanpa faedah dan perjuangan mereka sia-sia. Kemudian perjuangan mereka secara berturut-turut akan dipatahkan, sehingga akhirnya yang menjulang tinggi hanyalah kalimat Allah semata. Allah mengancam orang-orang kafir dengan ancaman yang keras, bahwa pada hari Kiamat nanti mereka akan digiring ke dalam api neraka.


Baca juga: Mengenal Kuliner Neraka dalam Al-Quran, dari Buah Zaqqum hingga Shadid


Ayat 37

Allah menjelaskan, bahwa Dia akan memberikan kemenangan kepada orang-orang mukmin dan memberikan kekalahan kepada orang-orang kafir. Maksudnya ialah untuk memisahkan golongan yang buruk dari yang baik dan menjadikan golongan yang buruk itu sebagai kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain.

Golongan yang baik ialah, mereka yang bergerak di bawah naungan agama tauhid dan berjuang untuk meninggikan kalimat Allah di bawah pimpinan Rasulullah untuk mewujudkan apa yang diperintahkan oleh Allah serta untuk menghancurkan segala sesuatu yang merintanginya.

Dan mencegah segala sesuatu yang menjadi larangan Allah serta menghancurkan segala sesuatu yang menyebabkan terjadinya larangan itu. Mereka ini berjuang dengan tenaga, pikiran dan harta benda untuk kepentingan agama.

Sedang golongan yang buruk ialah mereka yang bergelimang dalam kemusyrikan dan menghalang-halangi agama Islam serta melanggar hukum-hukum Allah dan mengobarkan permusuhan dan kekejaman. Pemisahan antara kedua golongan tersebut merupakan suatu ketentuan yang berlaku terus. Sedang yang kekal ialah yang baik di antara kedua golongan.

Firman Allah:

فَاَمَّا الزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَاۤءً ۚوَاَمَّا مَا يَنْفَعُ النَّاسَ فَيَمْكُثُ فِى الْاَرْضِۗ  كَذٰلِكَ يَضْرِبُ اللّٰهُ الْاَمْثَالَ ۗ

Adapun buih, akan hilang sebagai sesuatu yang tidak ada gunanya; tetapi  yang bermanfaat bagi manusia, akan tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan. (ar-Ra’d/13: 17)

Allah juga menjelaskan bahwa golongan yang buruk itu akan ditumpuk menjadi satu tumpukan seperti barang-barang yang tidak berguna dan mereka akan dimasukkan ke dalam api neraka Jahanam.

Mereka ini digambarkan oleh Allah sebagai orang-orang yang benar-benar merugi akibat harta benda dan jiwa mereka dikorbankan kepada perjuangan yang sia-sia. Mereka akan mengalami penyesalan yang tak berguna lagi, karena mereka tidak dapat melepaskan diri dari siksaan Allah yang sangat pedih itu.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Anfal Ayat 38-39


(Tafsir Kemenag)

Penjelasan Al-Quran tentang Orang yang Tidak Bisa Disesatkan Iblis, Siapa Dia?

0
orang yang tidak bisa disesatkan iblis
orang yang tidak bisa disesatkan iblis

Setelah Iblis diusir dari surga karena kesombongannya, Iblis meminta izin kepada Allah untuk memberi penangguhan atasnya agar bisa menyesatkan manusia. Cara Iblis menyesatkan manusia dengan menghiasi kejahatan seolah terlihat baik sehingga manusia tertipu dengan tampilan itu. Namun demikian, ada orang yang tidak mampu disesatkan Iblis, yaitu orang yang ikhlas. Siapa orang yang ikhlas itu? Simak penjelasannya berikut.

Permintaan izin Iblis kepada Allah untuk mengganggu manusia dan selamatnya orang yang ikhlas dari godaan Iblis tercantum dalam surah Al-Hijr ayat 34-42

قَالَ فَاخْرُجْ مِنْهَا فَإِنَّكَ رَجِيمٌ (34) وَإِنَّ عَلَيْكَ اللَّعْنَةَ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ (35) قَالَ رَبِّ فَأَنْظِرْنِي إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ (36) قَالَ فَإِنَّكَ مِنَ الْمُنْظَرِينَ (37) إِلَى يَوْمِ الْوَقْتِ الْمَعْلُومِ (38) قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الْأَرْضِ وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ (39) إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ (40)قَالَ هَذَا صِرَاطٌ عَلَيَّ مُسْتَقِيمٌ (41) إِنَّ عِبَادِي لَيْسَ لَكَ عَلَيْهِمْ سُلْطَانٌ إِلَّا مَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْغَاوِينَ (42)

Dia (Allah) berfirman “(kalau begitu) Keluarlah dari surga, (karena) sesungguhnya kamu terkutuk. Dan kutukan ini kutukan itu tetap menimpamu hingga hari kiamat”. Ia (Iblis) berkata “Tuhanku, (kalau begitu) berilah aku penangguhan sampai hari (manusia) dibangkitkan”. Allah berfirman “(baikllah) maka sesungguhnya kamu termasuk yang diberi penangguhan sampai hari yang elah ditentukan (kiamat)”. Ia (iblis) berkata “oleh karena Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi mereka (manusia) di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya. Kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih di antara mereka. Dia (Allah) berfirman”ini adalah jalan yang lurus (menuju) kepada-Ku. Sesunguhnya kamu (iblis) tidak kuasa atas hamba-hamba-Ku, kecuali mereka yang mengikutimu, yaitu orang-orang sesat.”  (QS. Al-Hijr [15]: 34-42)

Baca Juga: Tafsir Surat Al-A’raf Ayat 16-17: Kisah Iblis Mengganggu Manusia

Al-Ṭabari di dalam Jāmi’ al-Bayān (juz 17, halaman 103) menafsirkan bahwa maksud dari ayat adalah orang-orang yang Allah murnikan dengan pertolongan dan hidayah-Nya. Kemudian beliau mengutip dari al-Daḥāk bahwa maksud ayat tersebut adalah orang-orang beriman. Menurut Muqātil ibn Sulaimān mereka adalah ahl al-tauḥīd (orang yang meng-Esa-kan Allah).

Sementara Al-Alusi dalam kitab Rūḥ al-Ma’ānī (juz 7, halaman 294) menafsirkan al-mukhlaṣīn (hamba-hamba yang terpilih) menurut bacaan ulama Kufah, Nafi’, dan al-A’raj adalah orang-orang yang oleh Allah dimurnikan untuk taat kepada-Nya dan disucikan dari segala sesuatu yang menghalangi ketaatan kepada Allah.

Jelas bahwa  orang yang penuh keikhlasan dan kemurnian hanya lillāhi ta’ālā (karena Allah semata) adalah orang yang tidak bisa digoda/disesatkan iblis, sebagaimana telah dideklarasikan sendiri oleh Iblis. Sedangkan menurut selain imam tujuh dan jumhur ulama mereka membaca al-mukhliṣīn, yaitu orang-orang yang murni beramal karena Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan siapapun.

Sahl al-Tustāri (Tafsīr al-Tustāri, halaman 88) berkomentar mengenai ayat ini bahwa semua manusia akan meninggal kecuali ulama. Ulama semuanya tertidur kecuali ulama yang mengamalkan ilmunya. Ulama yang mengamalkan ilmunya semuanya akan tertipu kecuali orang yang ikhlas, sedang orang yang ikhlas akan senantiasa dalam bahaya yang besar. Hal ini karena jika sedikit saja sebuah amalan tercampur dengan niat atau motif selain Allah, maka runtuhlah status ikhlas dari amal tersebut.

Baca Juga: Memahami Makna Kata Ikhlas dan Penafsirannya dalam Al-Quran

Dzun Nun menberi penjelasan bahwa ada tiga tanda orang yang ikhlas. Pertama, orang yang ikhlas tidak terpengaruh oleh pujian dan celaan manusia. Kedua, ketika beramal kebajikan dia tidak sadar bahwa dia sedang mengerjakan amal kebaikan. Ketiga, dia tidak lagi berpikir akan mendapat pahala atau tidak karena amal baiknya (Risalah Sufi al-Qusyairi, halaman 184).

Masih di dalam buku yang sama, Al-Junaid mengatakan bahwa keikhlasan adalah rahasia antara Allah dan hamba-Nya. Bahkan malaikat pencatat tidak mengetahui sedikit pun mengenainya, Iblis juga tidak mengetahuinya sehingga tidak bisa merusaknya, bahkan nafsu pun tidak menyadarinya sehingga nafsu tidak mampu mempengaruhinya.

Firman Allah “ini adalah jalan yang lurus (menuju) kepada-Ku” menurut Ibn Ajibah  di dalam al-Baḥr al-Madīd fi al-Tafsīr al-Qur’ān al-Majīd (juz 3, halaman 89) merupakan isyarat selamatnya orang-orang yang ikhlas. Lebih lanjut Ibn Ajibah menjelaskan bahwa jalan yang ditempuh orang-orang ikhlas dalam beribadah kepada Allah merupakan jalan menuju Allah sehingga tidak ada jalan bagi iblis untuk menyesatkannya karena jalan ini merupakan jalan yang lurus dan tidak ada bengkok di dalamnya.

Lalu Allah menegaskan lagi bahwa  “Sesunguhnya kamu (iblis) tidak kuasa atas hamba-hamba-Ku, kecuali mereka yang mengikutimu, yaitu orang-orang sesat.”. Maksud “hamba-hamba-Ku” menurut al-Qusyairi dalam Laṭā`if al-Isyārāt (juz 2, halaman 271) adalah orang-orang khusus dari yang khusus.

Mereka adalah orang-orang yang oleh Allah sudah dihapuskan syahwatnya, dijaga dari keberpisahan dari sisi Allah. Hal ini karena Allah ada di setiap gerak-gerik hamba-Nya tersebut, menjadikan Allah sebagai prioritas dalam semua perbuatannya dan tenggelam dalam kondisi syahādah kepada-Nya. Maka dari arah mana Iblis bisa menguasai hamba tersebut?

Wallahu a’lam

Fenomena Ghosting dan Pentingnya Memenuhi Janji: Tafsir Surah An-Nahl Ayat 92

0
Fenomena Ghosting dan Pentingnya Memenuhi Janji
Fenomena Ghosting dan Pentingnya Memenuhi Janji

Akhir-akhir ini keluar istilah gaul yang menjadi perbincangan dikalangan anak muda maupun di jagat maya, yaitu istilah ghosting. Ghosting di sini tidak diartikan dengan ‘berbayang’ sebagaimana terjemahan dari bahasa Inggrisnya. Akan tetapi, fenomena ghosting merupakan sebuah istilah untuk menunjukan suatu tindakan mengakhiri hubungan dengan cara menghilang tiba-tiba. Biasanya orang yang melakukan ghosting menarik diri dan tidak melakukan komunikasi lagi dengan kita.

Pelaku ghosting cenderung menghilang begitu saja tanpa pamit atau memberi penjelasan sebelumnya. Fenomena ghosting ini semakin marak karena sering dikaitkan dalam kasus percintaan. Namun, secara umum hubungan sesama manusia beragam macamnya, seperti hubungan profesional antara client dengan vendor, majikan dan anak buah, hubungan antar sesama rekan kerja, hubungan persahabatan, pertemanan dan lain-lain. Pada hubungan-hubungan tersebut tidak menutup kemungkinan terjadi ghosting, bisa jadi kita yang melakukan atau orang lain terhadap kita.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Hukum Senggama dengan Istri Sebelum Mandi Wajib dari Haid

Fenomena ghosting tersebut, jika dipotret secara menyeluruh berkaitan dengan akhlak sosial kita terhadap orang lain. Suatu hal dalam Islam yang jelas-jelas merugikan orang lain, memutus tali silaturahmi, mendzalimi, ingkar janji, atau apapun yang dapat merugikan orang lain tentunya dilarang. Al-Qur’an telah berbica mengenai larangan-larangan tersebut, namun kali ini mari kita mentadaburi ayat perintah untuk selalu menepati janji apabila kita berjanji pada orang lain.

Tafsir Surah An-Nahl Ayat 92

Surah An-Nahl [16]: 92

وَلَا تَكُوْنُوْا كَالَّتِيْ نَقَضَتْ غَزْلَهَا مِنْۢ بَعْدِ قُوَّةٍ اَنْكَاثًاۗ تَتَّخِذُوْنَ اَيْمَانَكُمْ دَخَلًا بَيْنَكُمْ اَنْ تَكُوْنَ اُمَّةٌ هِيَ اَرْبٰى مِنْ اُمَّةٍ  . اِنَّمَا يَبْلُوْكُمُ اللّٰهُ بِهٖۗ وَلَيُبَيِّنَنَّ لَكُمْ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ مَا كُنْتُمْ فِيْهِ تَخْتَلِفُوْنَ

“Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali. Kamu menjadikan sumpah (perjanjian) mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain. Allah hanya menguji kamu dengan hal itu, dan pasti pada hari Kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu”.

Ayat ini berbicara mengenai perintah untuk memenuhi (menyempurnakan) janji dan memelihara sumpah. Menurut riwayat Ibnu Abi Hatim, ayat ini turun sebagai perumpamaan bagi orang yang selalu mengingkari  janji, akan tetapi ia tidak menepatinya. Orang yang ingkar terhadap janjinya diibaratkan dengan seorang yang memintal benang kemudian ia mengurai kembali dan membiarkan benang-benang tersebut terpisah. Sehingga terbuang tenanganya secara percuma tanpa kemanfaatan. Padahal kuat dan teguhnya janji tersebut laksana teguhnya kain yang baru selesai ditenun.  

Sayyid Qutb dalam tafsirnya Fi Dzilalil Qur’an, menambahkan penjelasan mengenai ayat ini, menurutnya menepati janji adalah jaminan atas keberlangsungan unsur kepercayaan penuh (tsiqah) dalam etika pergaulan di antara manusia. Tanpa tsiqah tersebut, sebuah masyarakat dan kemanusiaan tidak akan tegak sempurna.

Baca juga: Bolehkah Menulis Mushaf Al-Quran dengan Selain Rasm Utsmani?

Dalam ayat ini pula Al-Qur’an memberikan contoh pelanggaran terhadap janji dan meniadakan sebab-sebab yang terkadang dijadikan alasan oleh pembuat janji. Sebagian kaum kafir menjadikan alasan untuk ingkar janji karena ia berada pada kelompok yang sedikit dan lemah. Sedangkan kaum Quraish adalah kelompok kuat dan banyak. Karena itu, Allah swt memperingatkan dalam ayat ini bahwa itu bukanlah sebuah alasan untuk tidak bertanggung jawab terhadap janjinya.

Ghosting dan Pentingnya Memenuhi Janji

Mereka menjadikan janji-janji atau sumpah hanya ketika terdesak saja, namun ketika sudah menemukan jalan untuk mengelak ia tidak merasa berat melanggar janji yang telah diikat. Demikian pula dalam konteks kekinian, orang yang melakukan ghosting khususnya dalam perihal perjanjian dia dengan orang lain itu tidak dibenarkan.

Misalnya, orang yang mempunyai hutang dan berjanji akan melunasi hutang tersebut pada hari yang disepakati, namun orang tersebut malah meng-ghosting atau memutuskan komunikasi dan menghilang begitu saja, hal tersebut tidak dibenarkan menurut Islam. Begitupun janji-janji dalam segala jenis hubungan manusia seperti pertemanan, persahabatan maupun dalam berpasangan antara laki-laki dan perempuan.

Baca juga: Ragam Kekhasan Kajian Madrasah Tafsir al-Qur’an Mekkah Masa Tabiin

Demikian tadabur surah An-Nahl ayat 92 yang berbicara mengenai pentingnya memenuhi (menyempurnakan) janji. Hal tersebut tentunya menjadi salah satu ilmu bagi kita semua bahwa pentingnya menjaga hubungan baik dengan orang lain. Sikap ghosting yang disebutkan di awal jika dimaknai konteksnya dengan seseorang yang mempunyai janji kemudian ia menghilang begitu saja, maka yang demikian merupakan perbuatan dosa. Semoga kita senantiasa dijauhkan dari sifat-sifat yang bisa mengecewakan orang lain termasuk ghosting. Wallahu a’lam.  

Tafsir Surah Al Anfal Ayat 33-35

0
tafsir surah al anfal
tafsir surah al anfal

Tafsir Surah Al Anfal Ayat 33-35 berbicara mengenai orang-orang musyrik yang selalu mengingkari dakwah Nabi Muhammad Saw. Sikap mereka ini sudah pantas untuk mengantarkan mereka pada siksaan. Namun Allah masih menundanya.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al Anfal Ayat 30-32


Lebih lanjut Tafsir Surah Al Anfal Ayat 33-35 ini menjelaskan penundaanNya karena Nabi masih bersama mereka. Namun ketika Nabi sudah hijrah, siksa itu pun turun secara perlahan.

Ayat 33

Allah menerangkan kepada kaum Muslimin bagaimana sikap mereka menghadapi tindakan kaum musyrikin itu. Allah menyuruh kaum Muslimin agar membiarkan sikap mereka, karena ia tidak akan memenuhi permintaan mereka. Karena permintaan itu tidak sesuai dengan Sunnatullah dan tidak sesuai pula dengan sifat-sifat Allah yang sangat bijaksana dan Maha Pengasih.

Allah tidak akan mengazab mereka di dunia, sebab Nabi diutus untuk memberikan petunjuk kepada mereka, untuk menginsyafkan mereka dari kekafiran, hingga mereka menunjukkan penyesalan atas perbuatan mereka.

Nabi diutus sebagai rahmat bukan sebagai bencana. Allah tidak akan mengazab mereka, selama Rasulullah berada di antara mereka. Allah baru mengazab mereka setelah Rasulullah hijrah ke Medinah.

Allah menjelaskan bahwa Dia tidak akan menurunkan siksa kepada mereka, apabila mereka mau menghentikan keingkaran dan mau bertaubat, yaitu mengikuti petunjuk yang telah diberikan oleh Rasulullah dan mereka mau memeluk agama Islam.

Ayat 34

Sesudah itu Allah menjelaskan bahwa Allah tidak akan menurunkan azab kepada mereka, meskipun mereka sudah pantas diberi azab, lantaran mereka telah menghalangi orang-orang mukmin memasuki Masjidil Haram untuk menunaikan ibadah haji.

Azab tidak diturunkan karena Nabi Muhammad berada di antara mereka, dan masih ada orang-orang mukmin yang memohon ampun kepada Allah bersama Nabi Muhammad.

Allah menjelaskan bahwa orang-orang kafir itu tidak berhak menguasai Baitullah dan daerah-daerah haram, karena mereka telah berbuat syirik dan telah melakukan berbagai kerusakan di daerah itu.

Akan tetapi yang sebenarnya berhak menguasai Baitullah dan daerah-daerah haram itu hanyalah orang-orang yang bertakwa yang menghormati Baitullah sebagai tempat suci dan peribadatan, yaitu Nabi Muhammad dan pengikut-pengikutnya.

Allah menegaskan bahwa kebanyakan orang-orang kafir itu tidak mengetahui bahwa mereka tidak berhak menguasai Baitullah dan daerah-daerah haram, karena mereka bukanlah penolong-penolong agama. Dan yang berhak menguasai Baitullah itu hanya orang-orang yang bertakwa.


Baca juga: Kriteria Orang Bertakwa dalam Al-Quran Surat Yunus Ayat 133-135


Ayat 35

Allah menerangkan sebab-sebab mereka tidak berhak menguasai Baitullah, dan daerah haram, yaitu karena mereka dalam waktu beribadah, mengerjakan tawaf, mereka bertelanjang dan bersiul-siul serta bertepuk tangan.

رُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا: كَانَتْ قُرَيْشٌ تَطُوْفُ بِالْبَيْتِ عُرَاةً تُصَفِّرُ وَتُصَفِّقُ

(رواه ابن أبي حاتم عن ابن عبّاس)

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra: “Orang-orang Quraisy mengitari Baitullah dalam keadaan telanjang, bersiul-siul dan bertepuk tangan.” (Riwayat Ibnu Abi Hatim dari Ibnu ‘Abbas)

Dan katanya:

وَرُوِيَ عَنْهُ: إِنَّ الرِّجَالَ وَالنِّسَاءَ مِنْهُمْ كَانُوْا يَطُوْفُوْنَ عُرَاةً مُشَبِّكِيْنَ بَيْنَ أَصَابِعِهِمْ يُصَفِّرُوْنَ مِنْهَا وَيُصَفِّقُوْنَ

(رواه ابن أبي حاتم عن ابن عبّاس)

“Bahwa orang-orang Quraisy itu, baik laki-laki maupun perempuan, mengelilingi Ka’bah dalam keadaan telanjang. Mereka saling bergandengan tangan, bersiul-siul dan bertepuk tangan.” (Riwayat Ibnu Abi Hatim dari Ibnu ‘Abbas)

At-Tasti menceritakan sebuah riwayat yang ditanyakan Nafi’ bin al-Azraq bahwasanya dia berkata kepada Ibnu ‘Abbas:

أَخْبِرْنِيْ عَنْ قَوْلِهِ عَزَّوَجَلَّ (اِلاَّ مُكَاءً وَتَصْدِيَةً) قَالَ الْمُكَاءُ صَوْتُ الْقُنْبُرَةِ وَالتَّصْدِيَةُ صَوْتُ الْعَصَافِيْرِ وَهُوَ التَّصْفِيْقُ وَذٰلِكَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ وَهُوَ بِمَكَّةَ كَانَ يُصَلِّي بَيْنَ الْحَجَرِ اْلأَسْوَدِ وَالرُّكْنِ الْيَمَانِيْ يَعْنِيْ أَنَّهُ يَقُوْمُ إِلَى الشِّمَالِ لِلْجَمْعِ بَيْنَ الْكَعْبَةِ وَبَيْتِ الْمَقْدِسِ فِى اْلاِسْتِقْبَالِ) فَيَجِيْءُ رَجُلاَنِ مِنْ بَنِيْ سَهْمٍ يَقُوْمُ أَحَدُهُمَا عَنْ يَمِيْنِهِ وِاْلاٰخَرُ يُصَفِّقُ بِيَدَيْهِ تَصْدِيَةَ الْعَصَافِيْرِ لِيُفْسِدُوْا عَلَيْهِ صَلاَتَهُ

(رواه الطستي عن نافع بن أزرق)

“Beritahukanlah kepadaku tentang makna firman Allah Azza wa Jalla “Illa mukaan wa tasdiyah.” Ia berkata, “Al-Muka ialah suara burung Qunburah dan Tasdiyah ialah suara burung pipit sama dengan bertepuk tangan. Dan demikian itu ialah pada ketika Rasulullah mengerjakan salat, sedang beliau pada tempat di antara hajar aswad dan rukun yamani (yaitu beliau menghadap ke utara agar dapat mempersatukan arah Ka’bah dan Baitul Makdis pada suatu arah tujuan). Maka datanglah dua orang laki-laki dari Bani Sahm yang seorang berdiri di sebelah kanan Nabi, sedang yang lain bertepuk tangan seramai suara burung pipit mengganggu salat Nabi saw.” (Riwayat At-Tasti dari Nafi’ bin Azraq)

Kemudian Allah mengancam perbuatan mereka itu dengan ancaman yang keras, berupa azab karena kekafiran mereka itu. Siksaan ini meliputi siksaan dunia dan siksaan akhirat.

Siksaan dunia yang mereka alami ialah tewasnya pemimpin-pemimpin mereka dan tertawannya tentara mereka pada waktu Perang Badar serta kekalahan total mereka pada saat penaklukan Mekah. Sedangkan siksaan mereka di akhirat ialah penyesalan yang tak berkeputusan ketika merasakan dahsyatnya derita akibat panasnya api neraka.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Anfal Ayat 36-37


(Tafsir Kemenag)