Beranda blog Halaman 376

Tafsir Surah Al Anfal Ayat 33-35

0
tafsir surah al anfal
tafsir surah al anfal

Tafsir Surah Al Anfal Ayat 33-35 berbicara mengenai orang-orang musyrik yang selalu mengingkari dakwah Nabi Muhammad Saw. Sikap mereka ini sudah pantas untuk mengantarkan mereka pada siksaan. Namun Allah masih menundanya.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al Anfal Ayat 30-32


Lebih lanjut Tafsir Surah Al Anfal Ayat 33-35 ini menjelaskan penundaanNya karena Nabi masih bersama mereka. Namun ketika Nabi sudah hijrah, siksa itu pun turun secara perlahan.

Ayat 33

Allah menerangkan kepada kaum Muslimin bagaimana sikap mereka menghadapi tindakan kaum musyrikin itu. Allah menyuruh kaum Muslimin agar membiarkan sikap mereka, karena ia tidak akan memenuhi permintaan mereka. Karena permintaan itu tidak sesuai dengan Sunnatullah dan tidak sesuai pula dengan sifat-sifat Allah yang sangat bijaksana dan Maha Pengasih.

Allah tidak akan mengazab mereka di dunia, sebab Nabi diutus untuk memberikan petunjuk kepada mereka, untuk menginsyafkan mereka dari kekafiran, hingga mereka menunjukkan penyesalan atas perbuatan mereka.

Nabi diutus sebagai rahmat bukan sebagai bencana. Allah tidak akan mengazab mereka, selama Rasulullah berada di antara mereka. Allah baru mengazab mereka setelah Rasulullah hijrah ke Medinah.

Allah menjelaskan bahwa Dia tidak akan menurunkan siksa kepada mereka, apabila mereka mau menghentikan keingkaran dan mau bertaubat, yaitu mengikuti petunjuk yang telah diberikan oleh Rasulullah dan mereka mau memeluk agama Islam.

Ayat 34

Sesudah itu Allah menjelaskan bahwa Allah tidak akan menurunkan azab kepada mereka, meskipun mereka sudah pantas diberi azab, lantaran mereka telah menghalangi orang-orang mukmin memasuki Masjidil Haram untuk menunaikan ibadah haji.

Azab tidak diturunkan karena Nabi Muhammad berada di antara mereka, dan masih ada orang-orang mukmin yang memohon ampun kepada Allah bersama Nabi Muhammad.

Allah menjelaskan bahwa orang-orang kafir itu tidak berhak menguasai Baitullah dan daerah-daerah haram, karena mereka telah berbuat syirik dan telah melakukan berbagai kerusakan di daerah itu.

Akan tetapi yang sebenarnya berhak menguasai Baitullah dan daerah-daerah haram itu hanyalah orang-orang yang bertakwa yang menghormati Baitullah sebagai tempat suci dan peribadatan, yaitu Nabi Muhammad dan pengikut-pengikutnya.

Allah menegaskan bahwa kebanyakan orang-orang kafir itu tidak mengetahui bahwa mereka tidak berhak menguasai Baitullah dan daerah-daerah haram, karena mereka bukanlah penolong-penolong agama. Dan yang berhak menguasai Baitullah itu hanya orang-orang yang bertakwa.


Baca juga: Kriteria Orang Bertakwa dalam Al-Quran Surat Yunus Ayat 133-135


Ayat 35

Allah menerangkan sebab-sebab mereka tidak berhak menguasai Baitullah, dan daerah haram, yaitu karena mereka dalam waktu beribadah, mengerjakan tawaf, mereka bertelanjang dan bersiul-siul serta bertepuk tangan.

رُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا: كَانَتْ قُرَيْشٌ تَطُوْفُ بِالْبَيْتِ عُرَاةً تُصَفِّرُ وَتُصَفِّقُ

(رواه ابن أبي حاتم عن ابن عبّاس)

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra: “Orang-orang Quraisy mengitari Baitullah dalam keadaan telanjang, bersiul-siul dan bertepuk tangan.” (Riwayat Ibnu Abi Hatim dari Ibnu ‘Abbas)

Dan katanya:

وَرُوِيَ عَنْهُ: إِنَّ الرِّجَالَ وَالنِّسَاءَ مِنْهُمْ كَانُوْا يَطُوْفُوْنَ عُرَاةً مُشَبِّكِيْنَ بَيْنَ أَصَابِعِهِمْ يُصَفِّرُوْنَ مِنْهَا وَيُصَفِّقُوْنَ

(رواه ابن أبي حاتم عن ابن عبّاس)

“Bahwa orang-orang Quraisy itu, baik laki-laki maupun perempuan, mengelilingi Ka’bah dalam keadaan telanjang. Mereka saling bergandengan tangan, bersiul-siul dan bertepuk tangan.” (Riwayat Ibnu Abi Hatim dari Ibnu ‘Abbas)

At-Tasti menceritakan sebuah riwayat yang ditanyakan Nafi’ bin al-Azraq bahwasanya dia berkata kepada Ibnu ‘Abbas:

أَخْبِرْنِيْ عَنْ قَوْلِهِ عَزَّوَجَلَّ (اِلاَّ مُكَاءً وَتَصْدِيَةً) قَالَ الْمُكَاءُ صَوْتُ الْقُنْبُرَةِ وَالتَّصْدِيَةُ صَوْتُ الْعَصَافِيْرِ وَهُوَ التَّصْفِيْقُ وَذٰلِكَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ وَهُوَ بِمَكَّةَ كَانَ يُصَلِّي بَيْنَ الْحَجَرِ اْلأَسْوَدِ وَالرُّكْنِ الْيَمَانِيْ يَعْنِيْ أَنَّهُ يَقُوْمُ إِلَى الشِّمَالِ لِلْجَمْعِ بَيْنَ الْكَعْبَةِ وَبَيْتِ الْمَقْدِسِ فِى اْلاِسْتِقْبَالِ) فَيَجِيْءُ رَجُلاَنِ مِنْ بَنِيْ سَهْمٍ يَقُوْمُ أَحَدُهُمَا عَنْ يَمِيْنِهِ وِاْلاٰخَرُ يُصَفِّقُ بِيَدَيْهِ تَصْدِيَةَ الْعَصَافِيْرِ لِيُفْسِدُوْا عَلَيْهِ صَلاَتَهُ

(رواه الطستي عن نافع بن أزرق)

“Beritahukanlah kepadaku tentang makna firman Allah Azza wa Jalla “Illa mukaan wa tasdiyah.” Ia berkata, “Al-Muka ialah suara burung Qunburah dan Tasdiyah ialah suara burung pipit sama dengan bertepuk tangan. Dan demikian itu ialah pada ketika Rasulullah mengerjakan salat, sedang beliau pada tempat di antara hajar aswad dan rukun yamani (yaitu beliau menghadap ke utara agar dapat mempersatukan arah Ka’bah dan Baitul Makdis pada suatu arah tujuan). Maka datanglah dua orang laki-laki dari Bani Sahm yang seorang berdiri di sebelah kanan Nabi, sedang yang lain bertepuk tangan seramai suara burung pipit mengganggu salat Nabi saw.” (Riwayat At-Tasti dari Nafi’ bin Azraq)

Kemudian Allah mengancam perbuatan mereka itu dengan ancaman yang keras, berupa azab karena kekafiran mereka itu. Siksaan ini meliputi siksaan dunia dan siksaan akhirat.

Siksaan dunia yang mereka alami ialah tewasnya pemimpin-pemimpin mereka dan tertawannya tentara mereka pada waktu Perang Badar serta kekalahan total mereka pada saat penaklukan Mekah. Sedangkan siksaan mereka di akhirat ialah penyesalan yang tak berkeputusan ketika merasakan dahsyatnya derita akibat panasnya api neraka.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Anfal Ayat 36-37


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Ahkam: Hukum Senggama dengan Istri Sebelum Mandi Wajib dari Haid

0
Senggama dengan istri
Hukum Senggama dengan istri sebelum mandi wajib dari haid

Hukum senggama dengan istri saat sedang haid termasuk haram dan dilarang. Namun bagaimana bila sanggama itu dilakukan setelah istri berhenti mengalami haid, tapi belum melakukan mandi besar yang wajib ia lakukan agar diperbolehkan melakukan ibadah? Apakah tetap diharamkan sampai sang istri mandi besar, atau dihalalkan mengingat bahwa masa haidnya sudah selesai? Simak penjelasan para ulama’ berikut ini:

Larangan Mendekati Istri Yang Sedang Haid

Hukum melakukan sanggama pada istri yang masa haidnya selesai tapi belum melakukan mandi besar, merujuk pada firman Allah yang melarang sanggama pada waktu haid. Firman Allah tersebut berbunyi:

وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ ۗ قُلْ هُوَ اَذًىۙ فَاعْتَزِلُوا النِّسَاۤءَ فِى الْمَحِيْضِۙ وَلَا تَقْرَبُوْهُنَّ حَتّٰى يَطْهُرْنَ ۚ فَاِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ اَمَرَكُمُ اللّٰهُ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ ٢٢٢

Mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang haid. Katakanlah, “Itu adalah suatu kotoran.” Maka, jauhilah para istri pada waktu haid dan jangan kamu dekati mereka hingga mereka suci. Apabila mereka benar-benar suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri. (Al-Baqarah [2] 222)

Ibn Katsir menjelaskan, ayat ini menjadi dasar hukum kewajiban untuk menjauhi perempuan yang sedang mengalami haid. Namun arti dari “menjauhi” disini bukanlah larangan berada di dekat mereka seperti makan bersama atau tidur bersama.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Bolehkah Hanya Membayar Fidyah Bagi Ibu Hamil dan Menyusui?

Berdasar riwayat dari Anas ibn Malik, Nabi sendiri pernah ditanya tentang arti “menjahui” tersebut disebabkan kaum Yahudi enggan makan serta tidur bersama istri mereka saat istri mereka sedang haid. Kemudian Nabi bersabda:

« اصْنَعُوا كُلَّ شَىْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ »

Lakukanlah segala sesuatu kecuali senggama (HR. Muslim).

Sampai disini, makna dari “menjauhi” adalah larangan sanggama. Lalu sampai kapan larangan itu ada? Ibn Katsir kemudian menjelaskan bahwa para ulama telah bersepakat bahwa seorang istri yang selesai masa haidnya tidak boleh diajak senggama sampai ia sudah melakukan mandi besar (Tafsir Ibn Katsir/1/588).

Imam An-Nawawi dari kalangan Mazhab Syafiiyah menjelaskan, larangan senggama sebelum sang istri mandi didasarkan bahwa makna redaksi “hingga mereka suci” dalam ayat di atas, maknanya suci dengan mandi atau bersuci dengan cara mandi besar. Makna ini adalah tafsir yang disampaikan Imam Mujahid, Ibn ‘Abbas dan beberapa ahli tafsir lainnya (Al-Majmu’ Syarah Muhadzdzab/2/371).

Silang Pendapat Antar Ulama’

Meski ada klaim bahwa ulama’ sepakat tidak memperbolehkan senggama sampai sang istri mandi besar, tapi tetap ada beberapa ulama’ yang menyatakan senggama diperbolehkan meski belum mandi. Imam Abu Hanifah dan pengikutnya menyatakan bahwa boleh melakukan senggama meski belum mandi besar, apabila sang istri sudah melewati masa paling banyaknya haid. Dimana masa paling banyak haid menurut Abu Hanifah adalah 10 hari. Imam Auza’i juga menyatakan boleh senggama meski belum mandi, dengan syarat sudah membasuh kemaluan dengan air.

Sumber perbedaan pendapat ini ada pada redaksi  “Apabila mereka benar-benar suci” dalam ayat di atas, dimana ada yang memahami suci sebab selesainya masa haid, ada yang memahami suci adalah dengan bantuan air. Suci dengan bantuan air sendiri ada yang memaknai dengan mandi besar dalam artian bebas dari hadas besar, ada yang memaknai dibasuh kemaluannya atau suci dari najis (Bidayatul Mujtahid/1/88).

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Larangan Melakukan Bunuh Diri dalam Al-Quran

Berdasar berbagai uraian di atas, hukum melakukan senggama dengan istri yang sudah selesai haid tapi belum mandi besar, menurut mayoritas ulama’ adalah haram. Bahkan ada yang mengklaim adanya kesepakatan ulama soal hal ini. Terlepas dari itu, para ulama’ sendiri menyatakan bahwa dalam menjalankan segala sesuatu alangkah baiknya bila kita tidak memilih cara yang masih diperselisihkan ulama’. Sebagaimana senggama dengan istri yang masih belum mandi besar sebab haid (Qawaidul Ahkam/433).

Sehingga dalam persoalan senggama sebelum mandi besar ini, alangkah baiknya bila kita menginginkan dapat meredam gejolak nafsu syahwat dengan cara yang dilegalkan agama, kita sejenak bersabar menunggu. Bersabar menunggu istri yang sudah selesai haid untuk mandi besar, membersihkan diri dari najis dan bau tak enak, dan segala yang membuat tak nyaman pada sang suami dan sang istri. Wallahu a’lam bishshowab.

Tafsir Surah Al Anfal Ayat 30-32

0
tafsir surah al anfal
tafsir surah al anfal

Tafsir Surah Al Anfal Ayat 30-32 berbicara mengenai keingkaran orang-orang kafir terhadap risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Mereka mempertanyakan wahyu yang diterima Nabi.


Baca juga: Tafsir Surah Al Anfal Ayat 28-29


Bentuk keingkaran mereka lainnya yang diungkapan oleh Tafsir Surah Al Anfal Ayat 30-32 ini adalah penyiksaan terhadap orang-orang mukmin. Puncaknya adalah ketika orang-orang kafir ingin menyekap dan membunuh Nabi Muhammad Saw.

Ayat 30

Allah mengingatkan Nabi Muhammad dan sahabatnya tentang suatu peristiwa yang pernah mereka alami, pada saat mereka berada di Mekah. Mereka diselamatkan dari siksaan orang-orang musyrikin.

Ketika itu orang-orang kafir Quraisy merencanakan tipu-daya yang harus dilakukan terhadap Nabi, yaitu menawan Nabi sehingga ia tidak dapat bertemu dengan manusia dan tidak dapat lagi menyebarkan agama Islam, atau membunuh Nabi dengan cara yang menyukarkan kabilahnya untuk menuntut balas, sehingga tidak menyebabkan bahaya bagi siapa yang membunuhnya, atau mengusir Nabi dan mengasingkan ke tempat yang terpencil.

Pada saat itu orang-orang kafir Quraisy merencanakan tipu-daya. Allah memberikan bantuan-Nya kepada Nabi Muhammad, yaitu Allah menggagalkan usaha mereka dengan jalan memerintahkan Nabi dan sahabatnya hijrah ke Medinah, sehingga Nabi dan para sahabatnya terhindar dari tipu-daya orang musyrikin.

Allah menegaskan bahwa Dia adalah sebaik-baik pembalas tipu-daya, yaitu dapat mengalahkan tipu-daya orang-orang musyrikin, dan orang-orang kafir Quraisy yang ingin mencelakakan Nabi.

Ayat 31

Allah menjelaskan keingkaran orang-orang Quraisy serta kesombongan mereka terhadap seruan Nabi, terutama ketika mendengar ayat-ayat yang dibacakan oleh Nabi. Mereka menanggapinya dengan sikap yang sombong.

Mereka menganggap diri mereka dapat membacakan seperti itu. Perkataan ini adalah perkataan yang ditandaskan oleh an-Nadar bin al-Haris dari Bani Abdid Dar. Ia pulang pergi ke Persia dan mendengar dari mereka tentang Rustam dan Isfandiar  dari beberapa orang ‘ajam yang terkemuka. Dia sering bertemu dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani, maka dia mendengar dari mereka isi Kitab Taurat dan Injil.

Lalu Allah menerangkan sebab-sebab mengapa orang-orang Quraisy itu mengemukakan anggapan demikian, yaitu lantaran mereka menganggap ayat-ayat Al-Qur’an yang dibacakan Nabi Muhammad dan pengikut-pengikutnya menyerupai kisah-kisah yang terdapat dalam Kitab Taurat dan Injil.

Itulah sebabnya, mengapa mereka merasa sanggup untuk membacakan ayat-ayat yang dibacakan oleh Nabi. Mereka beranggapan bahwa ayat-ayat yang dibaca oleh Muhammad itu bukanlah wahyu, melainkan dongengan-dongengan orang-orang purbakala.

Namun demikian, boleh jadi yang mengeluarkan kata-kata itu ialah an-Na«ar, kemudian diikuti oleh yang lain. Tetapi mereka itu tidak meyakini bahwa ayat-ayat yang dibaca itu adalah dongengan-dongengan orang-orang dahulu, yang bersimpang-siur dan tidak pula beranggapan bahwa Muhammad yang membuat-buatnya, karena mereka tidak pernah menuduh Muhammad seorang pendusta.

Allah berfirman:

فَاِنَّهُمْ لَا يُكَذِّبُوْنَكَ وَلٰكِنَّ الظّٰلِمِيْنَ بِاٰيٰتِ اللّٰهِ يَجْحَدُوْنَ

Karena sebenarnya mereka bukan mendustakan engkau, tetapi orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah. (al-An’am/6: 33);Dan firman Allah:

وَقَالُوْٓا اَسَاطِيْرُ الْاَوَّلِيْنَ اكْتَتَبَهَا فَهِيَ تُمْلٰى عَلَيْهِ بُكْرَةً وَّاَصِيْلًا

Dan mereka berkata, “(Itu hanya) dongeng-dongeng orang terdahulu, yang diminta agar dituliskan, lalu dibacakanlah  dongeng itu kepadanya setiap pagi dan petang.” (al-Furqan/25: 5)

Sebenarnya mereka bukan tidak meyakini kebenaran ayat-ayat itu, karena mereka sebenarnya telah mengetahui bahwa Nabi Muhammad itu adalah ummi, tetapi mereka mengatakan demikian itu hanyalah untuk merintangi orang-orang agar tidak mau mendengarkan Al-Qur’an.

Ada pula yang beranggapan bahwa pemimpin-pemimpin Quraisy seperti an-Na«ar bin al-¦aris, Abu Jahal, dan al-Walid bin Mugirah sama-sama bersepakat untuk menyuruh orang agar tidak mendengarkan Al-Qur’an.

Kemudian mereka datang ke rumah Nabi pada waktu malam untuk mendengarkannya dan mereka tertarik kepada Al-Qur’an itu. Karena begitu berkesannya bacaan Al-Qur’an pada hati mereka sehingga al-Walid bin Mugirah mengucapkan kata-kata yang terkenal, “Sesungguhnya Al-Qur’an bernilai tinggi”.

Itulah sebabnya mereka menghalang-halangi orang-orang Arab mendengarkan ayat-ayat Al-Qur’an dan menjauhkan orang-orang Arab dari Al-Qur’an, mereka mengatakan bahwa Al-Qur’an itu sihir.


Baca juga: Kisah Kedermawanan Dua Sahabat Nabi Saw yang Diabadikan Al-Qur’an


Ayat 32

Allah mengingatkan kepada orang-orang mukmin tentang suatu peristiwa, di mana orang-orang kafir Quraisy menentang Nabi Muhammad bahwa apabila benar Al-Qur’an yang disebarluaskan oleh Muhammad itu betul-betul diturunkan dari Allah, seperti dikatakan oleh Nabi dan dijadikan dasar agamanya, maka orang-orang Quraisy meminta kepada Allah agar diberikan bukti, sebagai penguat perkataannya itu.

Mereka minta agar diturunkan hujan batu dari langit atau diberi siksaan yang pedih kepada mereka.

Di dalam ayat ini terdapat satu isyarat, sebenarnya orang-orang kafir Quraisy tidak akan mau menjadi pengikut Nabi Muhammad, meskipun apa yang dikatakan Muhammad itu benar-benar ayat-ayat yang diturunkan dari Allah.

Hal ini membuktikan bahwa mereka lebih menyukai kehancuran dari pada beriman kepada Muhammad. Mereka meminta kepada Allah agar dihujani batu dari langit atau disiksa dengan siksaan yang pedih.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al Anfal Ayat 33-35


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Al Anfal Ayat 28-29

0
tafsir surah al anfal
tafsir surah al anfal

Tafsir Surah Al Anfal Ayat 28-29 berbicara mengenai cobaan dari Allah swt. Wujud cobaan itu bermacam-macam. Ada yang berupa kenikmatan dan ada pula yang berupa kesengsaraan. Namun, harta kekayaan merupakan cobaan yang terhitung berat karena bisa terlena olehnya.


Baca juga: Tafsir Surah Al Anfal Ayat 27


Cobaan lain yang dikemukakan dalam Tafsir Surah Al Anfal Ayat 28-29 ini adalah anak. Orang tua sangat berperan terhadap tumbuh kembang anak. Jika didikannya baik akan menjadi rahmat. Jika buruk akan menjadi bala’.

Ayat 28

Allah memperingatkan kaum Muslimin agar mereka mengetahui bahwa harta dan anak-anak mereka itu adalah cobaan.

Maksudnya ialah bahwa Allah menganugerahkan harta benda dan anak-anak kepada kaum Muslimin sebagai ujian bagi mereka itu apakah harta dan anak-anak banyak itu menambah ketakwaan kepada Allah, mensyukuri nikmat-Nya serta melaksanakan hak dan kewajiban seperti yang telah ditentukan Allah.

Apabila seorang muslim diberi harta kekayaan oleh Allah, kemudian ia bersyukur atas kekayaan itu dengan membelanjakannya menurut ketentuan-ketentuan Allah berarti memenuhi kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan Allah terhadap mereka.

Tetapi apabila dengan kekayaan yang mereka peroleh kemudian mereka bertambah tamak dan berusaha menambah kekayaannya dengan jalan yang tidak halal serta enggan menafkahkan hartanya, berarti orang yang demikian ini adalah orang yang mengingkari nikmat Allah.

Dalam kehidupan manusia di masyarakat, harta benda adalah merupakan kebanggaan dalam kehidupan dunia. Sering orang lupa bahwa harta benda itu hanyalah amanah dari Allah yang dititipkan kepada mereka, sehingga mereka kebanyakan tertarik kepada harta kekayaan itu dan melupakan kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan.

Demikian juga anak adalah salah satu kesenangan hidup dan menjadi kebanggaan seseorang. Hal ini adalah merupakan cobaan pula terhadap kaum Muslimin.

Anak itu harus dididik dengan pendidikan yang baik sehingga menjadi anak yang saleh. Apabila seseorang berhasil mendidik anak-anaknya menurut tuntutan agama, berarti anak itu menjadi rahmat yang tak ternilai harganya.

Akan tetapi apabila anak itu dibiarkan sehingga menjadi anak yang menuruti hawa nafsunya, tidak mau melaksanakan perintah-perintah agama, maka hal ini menjadi bencana, tidak saja kepada kedua orang tuanya, bahkan kepada masyarakat seluruhnya.

Oleh sebab itu, wajiblah bagi seorang muslim memelihara diri dari kedua cobaan tersebut. Hendaklah dia mengendalikan harta dan anak untuk dipergunakan dan dididik sesuai dengan tuntutan agama serta menjauhkan diri dari bencana yang ditimbulkan oleh harta dan anak tadi.

Allah menegaskan bahwa sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar. Maksudnya ialah barang siapa yang mengutamakan keridaan Allah dari pada mencintai harta dan anak-anaknya, maka ia akan mendapat pahala yang besar dari sisi Allah.

Peringatan Allah agar manusia tidak lupa kepada ketentuan agama lantaran harta yang banyak dan anak yang banyak disebutkan pula dalam ayat yang lain.

Firman Allah:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُلْهِكُمْ اَمْوَالُكُمْ وَلَآ اَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللّٰهِ ۚوَمَنْ يَّفْعَلْ ذٰلِكَ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْخٰسِرُوْنَ

Wahai orang-orang yang beriman! janganlah harta-bendamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Dan barang siapa berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi. (al-Munafiqµn/63: 9)


Baca juga: Pengertian dan Penyebab Datangnya Musibah Menurut Al-Quran


Ayat 29

Allah menyeru orang-orang yang beriman bahwa apabila mereka bertakwa kepada Allah yaitu memelihara diri mereka dengan melaksanakan apa yang mereka tetapkan berdasar hukum-hukum Allah serta menjauhi segala macam larangan-Nya.

Misalnya tidak berkhianat, lebih mengutamakan hukum-hukum-Nya, Allah akan memberikan kepada mereka petunjuk yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang batil, dan petunjuk itu merupakan penolong bagi mereka dikala kesusahan dan sebagai pelita dikala kegelapan.

Allah berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَاٰمِنُوْا بِرَسُوْلِهٖ يُؤْتِكُمْ كِفْلَيْنِ مِنْ رَّحْمَتِهٖ وَيَجْعَلْ لَّكُمْ نُوْرًا تَمْشُوْنَ بِهٖ وَيَغْفِرْ لَكُمْۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌۙ

Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya (Muhammad), niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan cahaya untukmu  yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan serta Dia mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (al-Hadid/57: 28)

Allah menjanjikan kepada mereka itu akan menghapus segala kesalahan mereka dan mengampuni dosa-dosa mereka lantaran  mereka itu bertakwa, dan diberi pula furqan, sehingga mereka dapat mengetahui mana perbuatan yang harus dijauhi, karena dilarang Allah, serta dapat pula memelihara dirinya dari hal-hal yang membawa kepada kerusakan.

rang-orang yang mendapat pengampunan Allah berarti ia hidup bahagia. Hal yang demikian ini dapat mereka capai karena karunia Allah semata.

Allah menegaskan bahwa Allah mempunyai karunia yang besar karena Dialah yang dapat memberikan keutamaan kepada makhluk-Nya, baik keutamaan kepada hamba-Nya di dunia ataupun maghfirah dan surga-Nya yang diberikan kepada hamba-Nya yang dikasihi di akhirat.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Anfal Ayat 30-32


(Tafsir Kemenag)

Kiai Abdul Basith Abdullah Sajjad dan Tafsir Surah Yasin

0
Kiai Abdul Basith Abdullah Sajjad
Kiai Abdul Basith Abdullah Sajjad/ foto: matamaduranews.com

Kiai Abdul Basith termasuk penulis beken dan populer di kalangan penulis 60-an. Ia adalah seorang putra pahlawan sekaligus putra pejuang kemerdekaan, Kiai Abdullah Sajjad. Dari usia remaja sampai usia senja saat ini, Kiai Basith masih aktif menulis bermacam-macam buku. “Banyak karangan saya yang sudah dibukukan. Dari saking banyaknya, saya sendiri sampai lupa apa saja yang pernah saya tulis.” Tutur Kiai Basith kepada matamaduranews.com.

Sekilas Biografi KH. Abdul Basith

Kiai Abdul Basith bernama lengkap KH. Abdul Basith bin Abdullah Sajjad. Ia lahir di Sumenep pada tanggal 4 Juni 1944 di sebuh desa beralamat Jl. PP. Annuqayah Karang Jati, Sabajarin, Guluk-guluk, Sumenep. Kiai Basith adalah putra ke tiga dari Kiai Abdullah Sajjad dengan istri ke duanya, Nyai Aminah binti Kiai Abu Ahmad. Kiai Basith merupakan salah satu penerus Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep.

Kiai Basith tumbuh dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga pesantren yang kental dengan nilai-nilai keagamaan. Ia belajar Al-Quran pertama kali kepada ibunda, Nyai Aminah. Sementara untuk keilmuan dan persoalan agama seperti Fiqih, Nahwu dan Sharraf, ia belajar kepada saudara-saudaranya yang lain. Selama itu, Kiai Basith lebih banyak menimba ilmu kepada sang kakak, Kiai Ahmad Basyir Abdullah Sajjad yang juga merupakan alumnus Pondok Pesantren Sidogiri.

Baca Juga: Mengenal Thaifur Ali Wafa Al-Muduri, Mufasir Kontemporer Asal Madura

Kiai Basith memulai perjalanan keilmuannya di bangku sekolah dasar SDN Guluk-Guluk yang ketika itu baru diresmikan. Selang waktu yang tak begitu lama, ia pindah ke Madrasah pesantren Annuqayah, kemudian melanjutkan studinya ke tingkat Muallimin selama 4 tahun. Tidak sampai kelas 5 dan 6, Kiai Basih lalu pindah untuk menyelesaikan studinya di Pondok Pesantren Darul Ulum, Paterongan, Jombang.

Sepanjang karirnya, Kiai Abdul Basith pernah belajar di Fakultas Tarbiyah IAIN Malang (sekarang UIN) dan kursus Bahasa Arab selama 6 bulan di Surabaya. Selain itu, ia juga pernah mengikuti pelatihan ‘Keahlian Pengembangan Masyarakat’ yang diadakan oleh LP3ES selama 6 bulan, bertempat di Pondok Pesantren Pabelan, Muntilan, Jawa Tengah. Berkat kedekatan dengan Nasihin Hasan dan Gus Dur serta turut terlibat dalam pendirian ACFOD di Bangkok, Kiai Basith berkesempatan dua kali menimba ilmu di Bangkok, 15 hari di Bangladesh, 15 hari di Nepal dan 15 hari di Chiang Mai, Thailand.

Dalam kesehariannya, Kiai Basith dikenal akrab dan membaur di tengah-tengah masyarakat sekitar. Selain untuk kehidupan masyarakat, ia juga membawa perubahan besar terhadap perkembangan Pondok Pesantren Annuqayah. Melalui kerjasama dengan LSM-LSM luar negeri, Kiai Basith berhasil mendirikan lembaga TK (Taman Kanak-Kanak) dan MI (Madrasah Ibtidaiyah) di pesantren asuhannya itu, termasuk melengkapi dan merenovasi bangunan-bangunan di area pesantren.

Kiai Basith sempat terjun ke dunia politik. Tercatat ia pernah menjabat sebagai pengurus dewan pakar PKB selama satu periode. Pernah menjabat Mukhtasar dan Wakil Rais Syuriah PCNU Sumenep periode 2000-2005. Selain itu, ia juga pernah aktif di LP3ES pusat di Jakarta. Namun, semenjak Kiai Abdullah Sajjad meninggal, Kiai Basith memilih meninggalkan kesibukan-kesibukan di luar dan melepas karir politiknya. Ia memikul tanggung jawab mengasuh pesantren dan meneruskan perjuangan sang ayah.

Baca Juga: Mengenal Sosok Muhammad Irsyad, Mufasir Modernis Asal Madura

Tafsir Surah Yasin dan Karya-karya Lain

Sejak masih muda, Kiai Abdul Basith adalah aktivis yang memiliki pemikiran metropolis dan inklusif. Meski lahir dan besar dari keluarga pesantren salaf, ia tidak segan-segan berkunjung ke berbagai negara walaupun mayoritas non-muslim. Kiai Basith termasuk sosok yang produktif. Ia banyak mengisi waktu luangnya dengan mengarang buku-buku baik dalam bahasa Arab, Inggris ataupun bahasa Indonesia. Bahkan, saking banyaknya, ia sampai lupa apa saja yang pernah ditulis.

Meskipun dalam keadaan sakit, ia tidak pernah lelah untuk terus berkarya. Sudah lebih dari 20 tahun ia menderita sakit kencing manis, dan sekitar 10 tahun lebih ia tidak bisa berjalan sampai terkena serangan struk. Dalam berkarya, Kiai Basith dibantu putranya, Gus A. Wajid Muntaqa dan juga putrinya, Ning Shafieqah El-Nabilah.

Melansir keterangan matamaduranews.com, karya pertama yang ditulis Kiai Basith adalah Pribahasa 3 Bahasa pada tahun 60-an, tetapi baru dicetak dan dibukukan sekitar tahun 1999. Karya lain berjudul Sekumpulan Hadis Pilihan dan Nibrah al-Nufus. Kemudian Antologi Dzikir dan Doa Sehari-hari yang diterbitkan oleh Muara Progresif Surabaya.

Sementara karya-karya lain yang masih berbentuk arsip kini menjadi koleksi dan beberapa disimpin di Pascasarjana INSTIKA (Institut Ilmu Keislaman Annuqayah). Selain produktif berkarya, Kiai Basith juga membentuk sekaligus menjadi redaktur utama majalah Annajah.

Baca Juga: Mengenal Majid Tamim, Mufasir dan Penerjemah Kitab Klasik dari Madura

Tafsir Surah Yasin adalah salah satu dari beberapa karya Kiai Abdul Basith. Pada mulanya, tafsir ini ditulis dengan tiga bahasa; bahasa Indonesia, Bahasa Ingris dan bahasa Arab. Hanya saja, yang telah berhasil diterbitkan adalah versi bahasa Indonesianya. Tafsir ini diterbitkan oleh Muara Progresif Surabaya yang bekerjasama dengan LTN NU Sumenep pada Juni 2013 lalu.

Tujuan utama penulisan tafsir ini adalah dalam rangka agar para pecinta dan pengamal surah Yasin dapat mengetahui manfaat penggunaannya, merasa mudah membaca dan memahi artinya, serta mampu mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi Kiai Basith, berkarya dalam bentuk tulisan merupakan saluran kecintaan tanpa perlu menghitung hasilnya. “Berkarya bisa memberi manfaat bagi pembaca dan tentu saja dinilai pahala di sisi-Nya. Mengabadikan kebaikan adalah dengan tidak mengingat-ingatnya.” Begitulah kira-kira pesan yang siampaikan Kiai Basith. Semoga kita semua dapat meneladani beliau yang tak pernah lelah dan selalu istiqomah dalam berkarya. Amin.

Wallahu a’lam

Performasi Surat Al-Ikhlas: Era Nabi Muhammad hingga Kontemporer

0
Surat Al-Ikhlas
Surat Al-Ikhlas

Surat al-Ikhlas mempunyai keutamaan (fadhilah) yang banyak. Surat ini kerap kali dijuluki tsulutsu al-Quran (sepertiga Al-Quran). “Apabila salah seorang dari kalian tidak mampu jika membaca sepertiga dari Al-Quran di setiap malamnya, maka hendaknya membaca Allahul wahid al-shamad (yaitu surat al-Ikhlas) nilanya adalah sepertiga dari Al-Quran.” (H.R. al-Bukhari)

Hadits di atas juga mengisyaratkan bahwa apabila kita membaca surat Al-Ikhlas 3 kali maka pahalanya sebanding dengan mengkhatamkan Al-Quran. Dalam konteks ini, menarik ditelusuri karena ayat Al-Quran mempunyai keutamaan yang beraneka ragam. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini akan diulas terkait performasi surat al-Ikhlas dari masa Nabi saw hingga dewasa ini.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Kewajiban Salat Lima Waktu dalam Peristiwa Isra Mikraj

Performasi Surat Al-Ikhlas

Pada masa Nabi saw, surat al-Ikhlas dipahami sebagai dasar-dasar tauhid umat Islam yang diwahyukan sebagai respon atas tuduhan orang kafir yang menyoal wujud Allah swt sebagaimana penuturan Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir. Di era berikutnya, yakni Madinah, ada salah satu sahabat dalam setiap shalatnya ia senantiasa membaca surat al-Ikhlas karena kecintaannya pada surat ini.

Fenomena sahabat ini ternyata mengonfirmasi temuan J.G. Frazer dalam The Golden Bough: A Study of Magic and Religion, yang menyatakan bahwa manusia dengan berbagai problematikanya ia berpedoman pada akal dan ilmu pengetahuan. Namun adakalanya akal dan ilmu pengetahuan mereka sangat terbatas, maka untuk mengatasi kebuntuan persoalan salah satunya dengan magis, yaitu hal-hal yang berbau mistis atau supranatural. Magis diartikan sebagai segala perbuatan manusia untuk mencapai tujuan tertentu melalui kekuatan-kekuatan yang terkandung pada alam atau di luar itu, serta atmosfir yang menyelimutinya.

Dalam perjalanannya, performasi surat al-Ikhlas, sebagaimana riset Senata Adi dan Nurul Himatil Ula dalam Performative Analysis of Rajah Syekh Subakir, dapat diklasifikasikan dalam 4 kategori, yaitu pembacaan sebelum tidur, obat bagi orang sakit, mempermudah atau melancarkan hajat dengan riyadah atau ritual tertentu, serta menghindari kefakiran.

Baca juga: Bagaimana Sikap Kita Terhadap Ajaran dalam Kitab Taurat dan Injil?

Bahkan tidak hanya dibaca, surat al-Ikhlas juga ditulis dalam bentuk rajah sebagaimana keterangan berikut,

ويقرأ عليه سورة الإخلاص سبعة وأربعين مرة والعزيمة مثل ذلك ويقول اللهم بحق هذا الاسم أو السورة أن تنزل البركة في كذا وكذا الإشارة إلى هذا الوقت

Barang siapa yang membaca surah al-Ikhlas sebanyak 47 kali dan menuliskannya pada azimah lalu berdoa, “Ya Allah, dengan kebenaran asma ini (surah al-Ikhlas) turunkanlah keberkahan di dalam (sebutkan hajatnya) melalui isyarah azimat ini. (Al-Ghazali dalam Al-Aufaq)

Fungsi lain dari surat al-Ikhlas juga dipaparkan al-Nazili dalam Khazinatul Asrar yaitu untuk mempermudah hajat. Berikut penuturannya,

روي عن أنس رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من صلى ليلة الأحد اربع ركعات يقرأ في كل ركعة بفاتحة الكتاب مرة و قل هو الله أحد ثلاث مرات فإذا فرغ من صلاته يستغفر الله سبعين مرة فيبعث الله تعالى إليه ألف ملك يدعون له و يستغفرون له الى يوم ينفخ في الصور و يكتب له أجر شهيد و تمحى ذنوبه عنه و لو كانت بعدد نجوم السماء و زبد البحر وصلاة يومه أيضاً أربع مروية

Dari Anas r.a berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Siapa yang shalat pada malam ahad sebanyak empat rakaat di setiap rakaatnya membaca surat al-Fatihah satu kali, surat al-Ikhlas sebanyak tiga kali. Apabila telah selesai shalatnya membaca istighfar sebanyak tujuh puluh kali maka Allah mengutus seribu maikat kepadanya agar mendoakannya, memohonkan ampunan untuknya sampai waktu ditiup sangkakala, baginya dicatatat sebagai ganjaran orang yang mati syahid, dan dosa-dosanya dihapuskan sekalipun sejumlah bintang di langit dan sebanyak busa di laut. Shalat pada hari ahadnya juga sebanyak empat rakaat”.

Baca juga: Pembagian Warisan Bagi Anak dan Orang Tua Menurut Al-Qur’an

Dari keterangan di atas baik hadits, atsar sahabat maupun pendapat ulama ternyata performasi surat al-Ikhlas tidak hanya terpaku pada teks saja, melainkan dapat dimanfaatkan dalam berbagai aspek baik secara estetis, bacaan, tulisan maupun kontekstualis. Artinya, selain sebagai wahyu, surat Al-Ikhlas juga dirapal sebagai “mantra” atau wirid, termasuk juga ditulis dalam bentuk simbol-simbol dalam maksud dan tujuan tertentu.

Dalam konteks ini, performasi ayat-ayat Al-Quran termasuk surat al-Ikhlas menjadi perekat sosial masyarakat atau dalam bahasa Durkheim, kohesi sosial (pemersatu masyarakat). Wallahu A’lam.

Tafsir Surah Al Anfal Ayat 27

0
tafsir surah al anfal
tafsir surah al anfal

Tafsir Surah Al Anfal Ayat 27 berbicara mengenai larangan berkhianat. Melalui kisah Abu Lubabah yang sempat menjadi pengkhianat namun segera bertaubat, Allah melarang umat islam untuk berkhianat, apalagi kepada Allah dan Rasulullah.


Baca sebelumnya:  Tafsir Surah Al Anfal Ayat 25-26


Ayat 27

Abdullah bin Abi Qatadah berkata, “Ayat ini turun berkenaan dengan Abu Lubabah pada ketika Rasulullah saw, mengepung suku Quraizah dan memerintahkan mereka untuk menerima putusan Saad. Sesudah itu Quraizah berunding dengan Abu Lubabah tentang menerima putusan Saad itu, karena keluarga Abu Lubabah dan harta bendanya berada dalam kekuasaan mereka. Kemudian Quraizah menunjuk ke lehernya (yakni sebagai tanda untuk disembelih).

Abu Lubabah berkata, “Sebelum kedua telapak kakiku bergerak, aku telah mengetahui bahwa diriku telah berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya.” Kemudian ia bersumpah tidak akan makan apa pun sehingga ia mati, atau Allah menerima taubatnya.

Kemudian ia pergi ke mesjid dan mengikat dirinya ke tiang, dan tinggal beberapa hari di sana sehingga jatuh pingsan, karena badannya sangat lemah. Kemudian Allah menerima taubatnya. Dan ia bersumpah, bahwa dia tidak boleh dilepaskan dirinya dari ikatannya selain oleh Rasulullah sendiri.

Kemudian ia berkata, “Hai Rasulullah! Saya bernazar untuk melepaskan hartaku sebagai sadaqah.” Rasulullah bersabda, “Cukuplah bersadaqah sepertiganya.” (Riwayat Sa’ad bin Mansur dari Abdillah bin Abi Qatadah).

Allah menyeru kaum Muslimin agar mereka tidak mengkhianati Allah dan Rasul-Nya, yaitu mengabaikan kewajiban-kewajiban yang harus mereka laksanakan, melanggar larangan-larangan-Nya, yang telah ditentukan dengan perantaraan wahyu.

Tidak mengkhianati amanat yang telah dipercayakan kepada mereka, yaitu mengkhianati segala macam urusan yang menyangkut ketertiban umat, seperti urusan pemerintahan, urusan perang, urusan perdata, urusan kemasyarakatan dan tata tertib hidup masyarakat.

Untuk mengatur segala macam urusan yang ada dalam masyarakat itu diperlukan adanya peraturan yang ditaati oleh segenap anggota masyarakat dan oleh pejabat-pejabat yang dipercaya mengurusi kepentingan umat.

Peraturan-peraturan itu secara prinsip telah diberikan ketentuannya secara garis besar di dalam Al-Qur’an dan Hadis. Maka segenap yang berpautan dengan segala urusan kemasyarakatan itu tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip yang telah ditentukan. Karenanya segenap peraturan yang menyangkut kepentingan umat tidak boleh dikhianati, dan wajib ditaati sebagaimana mestinya.

Hampir seluruh kegiatan dalam masyarakat ini berhubungan dengan kepercayaan itu. Itulah sebabnya maka Allah, melarang kaum Muslimin mengkhianati amanat, karena apabila amanat sudah tidak terpelihara lagi berarti hilanglah kepercayaan. Apabila kepercayaan telah hilang maka berarti ketertiban hukum tidak akan terpelihara lagi dan ketenangan hidup bermasyarakat tidak dapat dinikmati lagi.

Allah menegaskan bahwa bahaya yang akan menimpa masyarakat lantaran mengkhianati amanat yang telah diketahui, baik bahaya yang akan menimpa mereka di dunia, yaitu merajalelanya kejahatan dan kemaksitan yang mengguncangkan hidup bermasyarakat, ataupun penyesalan yang abadi dan siksaan api neraka yang akan menimpa mereka di akhirat nanti.

Khianat adalah sifat orang-orang munafik, sedang amanah adalah sifat orang-orang mukmin. Maka orang mukmin harus menjauhi sifat khianat itu agar tidak kejangkitan penyakit nifak yang dapat mengikis habis imannya.;

Anas bin Malik berkata:

مَا خَطَبَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلاَّ قَالَ  لاَ إِيْمَانَ لِمَنْ لاَ عَهْدَ لَهُ وَلاَ دِيْنَ لِمَنْ لاَ عَهْدَ لَهُ

(رواه أحمد وابن حبان عن أنس بن مالك)

“Rasulullah saw pada setiap khutbahnya selalu bersabda: “Tidak beriman orang yang tak dapat dipercaya, dan tidak beragama orang yang tak dapat dipercaya.” (Riwayat Ahmad dan Ibnu Hibban dari Anas bin Malik)

Sabda Nabi saw:

 اَيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ ( رواه مسلم عن أبي هريرة)

“Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga. Apabila menuturkan kata-kata ia berdusta, dan apabila berjanji ia menyalahi, dan apabila diberi kepercayaan ia berkhianat.” (Riwayat Muslim dari Abu Hurairah)


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Anfal Ayat 28-29


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Ahkam: Bolehkah Hanya Membayar Fidyah Bagi Ibu Hamil dan Menyusui?

0
bolehkah hanya membayar fidyah bagi ibu hamil dan menyusui?
bolehkah hanya membayar fidyah bagi ibu hamil dan menyusui?

Menjelang Ramadhan, kajian seputar keringanan orang yang boleh tidak berpuasa menjadi marak Kembali. Di antara orang-orang yang mendapatkan keringanan tidak berpuasa Ramadhan adalah orang yang sakit, bepergian, orang tua, orang hamil dan menyusui. Yang boleh membayar fidyah saja tanpa qadha puasa adalah orang yang memiliki penyakit kronis dan susah diharapkan kesembuhannya. Sedangkan orang hamil dan menyusui seperti orang sakit yang masih ada harapan sembuh, ia akan berakhir jika masa hamil dan menyusui sudah lewat.

Menurut Imam as-Syafi’i dan Imam Ahmad, orang hamil dan menyusui masuk ke dalam ayat 184 surah Al-Baqarah,

وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ

“Dan wajib bagi orang yang berat melaksanakannya, maka cukup membayar fidyah.”

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Wajibkah Seorang Ibu Menyusui Anaknya?

Termasuk di dalam ayat tersebut adalah orang tua dan setiap orang yang berat melaksanakan puasa maka wajib membayar fidyah sebagaimana ketentuan bagi orang yang sudah sangat tua.” Demikian penjelasan Muhammad ‘Ali as-Shabuni, Rawai’ al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, Juz I: 209.

Menurut Imam Abu Hanifah, alasan pertama adalah orang hamil dan menyusui itu ibarat orang sakit. Seperti apa yang disampaikan as-Syaikh Hasan Basri: “Adakah sakit yang lebih berat daripada mengandung?” maka cukup baginya mengqadha puasa saja tanpa membayar fidyah.

Alasan Kedua, orang tua yang sudah pikun dan lumpuh, ia tidak mungkin mengqadha puasa yang ditinggalkan, karena itu gugurlah kewajibannya mengqadha puasa tetapi cukup baginya menggantinya dengan fidyah saja. Adapun orang hamil dan menyusui termasuk orang yang berudzur secara sementara, maka baginya cukup mengqadha puasa. Tidak mungkin menghimpun keduanya (antara fidyah dan qadha sekaligus) karena menurut al-Jashas, qadha itu merupakan ganti dan fidyah juga demikian. (al-Jashash, Ahkam al-Qur’an, Juz I: 211).

Jumhur ulama fiqih (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah) sepakat, bahwa ibu hamil dan menyusui yang meninggalkan puasa Ramadhan, tidak diperbolehkan baginya hanya membayar fidyah saja tanpa qadha puasa.

Baca Juga: Ini Golongan Orang yang Mendapat Rukhsah Tidak Puasa

Khusus dalam madzhab Syafi’i, kewajiban Ibu hamil dan menyusui bila meninggalkan puasa Ramadhan dapat dirinci sebagai berikut:

  1. Jika ia tidak berpuasa karena khawatir pada dirinya, maka ia hanya wajib mengqadha puasa saja.
  2. Jika ia tidak berpuasa karena khawatir pada bayinya, maka wajib baginya mengqadha dan membayar fidyah sekaligus.
  3. Jika ia tidak berpuasa karena khawatir pada diri dan bayinya, maka baginya hanya wajib mengqadha saja. (Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Juz II: 141).

Az-Zuhaili menjelaskan maksud kekhawatiran terhadap diri ibu maupun janin yang menjadi bolehnya ia mendapatkan rukhsah adalah:

  1. Pernah mencoba berpuasa tetapi dirinya merasa lemah.
  2. Berdasar pada keterangan dokter muslim yang adil. (Wahbah az-Zuhaili, Fiqh al-Islam wa Adillatuh, Juz III: 1700).

Baca Juga: Hikmah Puasa Dalam Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 183

Bolehkah mengikuti pendapat yang membolehkan fidyah saja bagi ibu hamil dan menyusui? Bukankah kebolehan membayar fidyah saja bagi ibu hamil dan menyusui adalah pendapat Ibn Abbas dan Ibn Umar?

أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرٍ، وَأَبُو زَكَرِيَّا، وَأَبُو سَعِيدٍ، قَالُوا: حَدَّثَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ قَالَ: أَخْبَرَنَا الرَّبِيعُ قَالَ: أَخْبَرَنَا الشَّافِعِيُّ قَالَ: أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، عَنْ نَافِعٍ: أَنَّ ابْنَ عُمَرَ، سُئِلَ عَنِ الْمَرْأَةِ الْحَامِلِ، إِذَا خَافَتْ عَلَى وَلَدِهَا، فَقَالَ: ” تُفْطِرُ، وَتُطْعِمُ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا: مُدًّا مِنْ حِنْطَةٍ

“Mengabarkan kepada kami Abu Bakr, Abu Zakariya dan Abu Sa’id, mereka berkata: menceritakan kepada kami Abu al-‘Abbas, ia berkata: mengabarkan kepada kami ar-Rabi’ berkata: mengabarkan kepada kami as-Syafi’i berkata: mengabarkan kepada kami Imam Malik dari Nafi’: Sesungguhnya Ibn Umar ditanya seorang wanita yang hamil, Ketika ia khawatir akan janin yang dikandungnya, maka Ibn Umar berkata: “Berbukalah, dan beri makanlah orang miskin setiap harinya 1 mud dari gandum.”

Riwayat di atas seolah-olah menyatakan, bahwa ibu hamil dan menyusui boleh membayar fidyah saja tanpa perlu qadha puasa. Padahal konteksnya, Ibn Abbas dan Ibn Umar saat itu ditanya: “Kalau ada seorang ibu, sedang dirinya sendiri kuat berpuasa tetapi tidak mampu berpuasa karena janinnya, apa yang harus dia lakukan? Lalu Ibn Abbas dan Ibn Umar menjawab: “Bayarkan fidyah (Karena ia sudah tidak puasa demi nyawa pihak lain). (al-Bayhaqi, as-Sunan wa al-Atsar , Juz III: 379)

أَخْبَرَنَا أَبُو عَلِيٍّ الرُّوذْبَارِيُّ قَالَ: أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ دَاسَةَ قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ قَالَ: حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُثَنَّى قَالَ: حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عَدِيِّ، عَنْ سَعِيدٍ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: {وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينَ} [البقرة: 184]، فَذَكَرَ الْحَدِيثَ، وَذَكَرَ فِيهِ ثُبُوتَهَا فِي الْحَامِلِ وَالْمُرْضِعِ إِذَا خَافَتَا عَلَى أَوْلَادِهِمَا أَفْطَرَتَا وَأَطْعَمَتَا “

Jadi, kewajiban fidyah itu dikarenakan ia tidak berpuasa karena khawatir akan janinnya, saat dirinya mampu berpuasa. Riwayat ini tidak menghilangkan kewajiban qadha sebagaimana yang berada dalam al-Quran surah al-Baqarah (2) ayat 184. Maka, jawaban Ibn umar ini sesungguhnya merupakan tambahan dari dzahir ayat, bukan menghapus dzahir ayat. Jadi tidak cukup membayar fidyah yang merupakan dzan dan menafikan qadha di dalam al-Quran yang sudah kategori yaqin.

Dalam kajian ushul al-fiqh, riwayat Ibn Abbas dan Ibn Umar tersebut harus dikompromikan (al-Jam’u wa at-Taufiq) dengan QS. Al-Baqarah [2] ayat 184 yang mewajibkan qadha bagi yang tidak berpuasa. Ia tidak bisa disimpulkan hukum hanya berdasarkan satu riwayat saja. Karenanya, sudah seyogyanya kita mengambil hukum dari pendapat yang mu’tabar melalui jalur keilmuan yang dapat dipertanggung jawabkan. Wallahu A’lam

Tafsir Surah Al Anfal Ayat 25-26

0
tafsir surah al anfal
tafsir surah al anfal

Tafsir Surah Al Anfal Ayat 25-26 berbicara mengenai himbauan Allah kepada seluruh manusia, khususnya umat Islam. himbauannya terkait dua hal. Pertama agar selalu menjaga diri potensi kezaliman. Kedua agar selalu mensyukuri nikmat yang telah diberikan.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al Anfal Ayat 24


Ayat 25

Allah menyerukan kepada orang-orang beriman, agar memelihara diri mereka dari siksaan, yang tidak hanya khusus menimpa orang-orang zalim itu saja di antara orang-orang beriman.

Maksudnya ialah apabila di dalam suatu kaum perbuatan maksiat telah merata maka Allah akan menyiksa mereka itu secara keseluruhan. Siksaan itu tidak hanya bagi orang yang melakukan kemaksiatan itu saja, akan tetapi siksaan itu akan menimpa mereka secara merata tanpa pilih kasih, meskipun di dalamnya terdapat juga orang-orang yang saleh yang berada di antara mereka itu.

Rasulullah saw bersabda:

مَامِنْ قَوْمٍ يَعْمَلُ بِهِمْ بِالْمَعَاصِيْ هُمْ أَغَرُّ وَأَكْثَرُ مِمَّنْ لاَ يَعْمَلُوْنَ ثُمَّ لَمْ يُغَيِّرُوْهُ إِلاَّ عَمَّهُمُ الله ُبِعِقَابٍ

(رواه أحمد عن جرير)

“Tidak ada suatu kaum yang sebagian besar orang-orangnya lebih terpedaya melakukan kemaksiatan dari yang tidak melakukan, kemudian mereka tidak mau mengubahnya selain Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan yang merata.” (Riwayat Ahmad dari Jarir)

Oleh sebab itulah di dalam masyarakat ada institusi yang mengurus kemaslahatan dan mengurus amar ma’ruf dan nahi mungkar. Lembaga ini hendaknya bertugas meneliti kemaksiatan yang timbul dalam masyarakat, serta berusaha pula untuk mencari cara-cara pencegahannya.

Juga lembaga ini berusaha untuk menggiatkan masyarakat melakukan segala yang diperintahkan oleh agama dan menghentikan segala sesuatu yang dilarang.

Apabila kemaksiatan itu telah merata, dan masyarakat telah melupakan agama, maka bencana yang akan menimpa masyarakat itu tidak hanya akan menimpa suatu kelompok atas golongan tertentu saja, tetapi bencana itu akan dirasakan oleh anggota masyarakat, secara keseluruhan dan merata.

Di akhir ayat ini Allah memperingatkan orang-orang mukmin agar mereka itu mengetahui bahwa Allah amat pedih siksaan-Nya. Siksaan Allah ditimpakan atas siapa saja yang melanggar hukum-Nya.

Ancaman Tuhan yang sangat keras ini akan berlaku apabila kejahatan itu telah merajalela dan merata di segenap anggota masyarakat itu tanpa pandang bulu. Sedangkan ancaman-ancamannya di akhirat ditimpakan kepada orang-orang, yang melakukannya sesuai dengan berat ringannya perbuatan yang dilakukan oleh orang itu.


Baca juga: Tafsir Surat Al-Ahzab Ayat 21: Dakwah Rasulullah itu Menyampaikan Kebenaran dengan Cara yang Benar Pula 


Ayat 26

Allah mengingatkan kaum Muslimin kepada nikmat Allah yang telah diberikan kepada mereka pada peristiwa hijrah. Pada saat itu mereka yang berhijrah dari Mekah ke Medinah berjumlah sedikit, dan mereka termasuk golongan yang tertindas.

Pada saat permulaan Islam, kaum Muslimin merasa khawatir apabila orang-orang musyrik Quraisy menculik mereka. Kemudian Allah menghilangkan kekhawatiran itu. Allah, memberikan tempat yang aman buat mereka yaitu Medinah.

Sesudah itu Allah, memberikan pertolongan kepada kaum Muslimin sehingga mereka menjadi umat yang kuat, baik berupa pertolongan yang diberikan oleh orang-orang Ansar ketika beliau dan pengikut-pengikutnya berada di Medinah, ataupun bantuan-bantuan Allah yang diberikan ketika mereka berhadapan dengan kaum musyrikin dalam Perang Badar.

Allah juga mengingatkan kepada kaum Muslimin kepada nikmat-Nya yang lain yaitu rezeki yang baik dan halal, baik berupa kemakmuran bumi Medinah yang mereka alami ataupun kemenangan dalam Perang Badar.

Nikmat-nikmat Allah yang diberikan kepada kaum Muslimin yang disebutkan dalam ayat-ayat ini, adalah untuk memberikan rangsangan agar kaum Muslimin mensyukuri nikmat-nikmat itu.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Anfal Ayat 27


(Tafsir Kemenag)

Ragam Kekhasan Kajian Madrasah Tafsir al-Qur’an Mekkah Masa Tabiin

0
Madrasah Tafsir Al-Qur'an
Madrasah Tafsir Al-Qur'an

Sebagaimana realita pendidikan yang ditemui dewasa ini, bahwa setiap lembaga pendidikan memiliki visi dan misi tertentu yang spesifik dan berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya. Begitupun yang terjadi pada madrasah tafsir al-Qur’an yang hadir di periode tafsir era Tabi’in. Salah satu madrasah tafsir al-Qur’an yang akan dibahas kekhasan kajiannya kali ini ialah madrasah tafsir al-Qur’an Mekkah yang dipimpin oleh Tarjumanul Qur’an, Abdullah Ibn Abbas.

Dalam disertasinya, Tafsir al-Tabi’in, Muhammad ibn Abdullah ibn ‘Ali al-Khudhairi menampilkan beberapa kekhasan kajian tafsir di madrasah tafsir al-Qur’an Mekkah. Ia menyebutkan empat poin yang membedakan antara madrasah tafsir al-Qur’an Mekkah dengan mdarasah tafsir al-Qur’an lainnya pada periode tafsir era Tabi’in. Keempat poin tersebut ialah 1) banyaknya aktivitas ijtihad dan istinbat; 2) memiliki spesialisasi (takhasus) pada ilmu tafsir; 3) Sedikitnya riwayat keilmuan selain tafsir; 4) memberikan keleluasaan pada penggunaan israilliyah.

Baca Juga: Tiga Tabiin Utama Jebolan Madrasah Tafsir Ibn Abbas (Edisi Mujahid Ibn Jabir)

Untuk memperjelasnya, setiap poin akan dibahas satu per-satu baik dari sisi rasionalisasinya maupun aplikasinya dalam ranah penafsiran. Namun bagi pembaca yang belum mengetahui madrasah-madrasah tafsir al-Qur’an yang hadir di periode tafsir era Tabi’in, tidak perlu risau. Langsung klik saja di sini dan silakan menikmati tulisan tentang pengantar periode tafsir di era Tabi’in.

Banyaknya Aktivitas Ijtihad dan Istinbath

Berbeda dengan madrasah-madrasah tafsir lainnya yang cenderung lebih aplikatif dalam penggunaan riwayat maupun atsar dalam penafsiran, madrasah tafsir Mekkah lebih sering dijumpai dengan kekhasan ijtihad dan istinbathnya. Hal ini menyebabkan madrasah tafsir Mekkah terlihat lebih sedikit kontribusinya dalam menyampaikan riwayat maupun atsar. Ciri khas ini tentu tidak begitu saja lahir tanpa adanya latar belakang yang mendasarinya.

Salah satu faktor utama di balik ciri khas yang dibangun oleh madrasah tafsir ini ialah peran dari Abdullah Ibn Abbas sendiri selaku pemimpin dan guru utama di madrasah tersebut. Ibn Abbas sebagai seorang sahabat utama dan secara khusus mendapatkan doa dari Rasulullah sehingga dinobatkan dengan gelar tarjumanul Qur’an, memang begitu lihai dalam berijtihad maupun bertistinbath. Tentu selain anugerah ilahiyah, kompetensi tersebut juga dimiliki oleh Ibn Abbas berkat keluasan dan kedalaman ilmu yang ia miliki.

Abdullah Ibn Abbas dikatakan tidak pernah hanya berperan sebagai guru yang sekedar mentransfer ilmu. Namun ia juga dikenal sebagai mentor yang mendorong murid-muridnya untuk mampu mengaplikasikan keilmuan yang mereka miliki. Sederhananya, Ibn Abbas tidak hanya sekedar mengajarkan tafsir namun juga mendorong murid-muridnya untuk mampu melakukan aktivitas penafsiran dan menghasilkan tafsir.

Sebagaimana kisah Said ibn Jubair tatkala ber-mujalasah bersama gurunya Ibn Abbas, datang seseorang yang ingin menanyakan sesuatu pada Ibn Abbas (tidak dijelaskan perihal apa yang ditanyakan, apakah tafsir atau hukum). Lalu Ibn Abbas meminta Said untuk menjawab pertanyaan tersebut sebagai latihan sekaligus bimbingan terhadapnya agar mampu melakukan ijtihad.

Takhasus pada Ilmu Tafsir

Kepiawaian para punggawa madrasah tafsir Mekkah dalam melakukan ijtihad dan istinbath tidak bisa dilepaskan dari fokus spesialisasi mereka dalam bidang ilmu Tafsir. Oleh Ibn Abbas, para Tabi’in yang menjadi muridnya benar-benar digembleng dan mencurahkan seluruh kemampuannya dalam menguasai bidang keilmuan Tafsir maupun ilmu-ilmu penunjang aktivitas penafsiran secara luas dan mendalam.

Salah satu bukti spesialisasi ilmu Tafsir yang dimiliki oleh para punggawa madrasah tafsir Mekkah dapat disaksikan dari lahirnya ilmu Asybah wa Nadzha’ir. Ilmu yang membahas ayat-ayat yang saling menyerupai satu sama lain baik dari sisi dalalat al-hukm maupun bayan (maqsud al-ayah). Ilmu ini wajib dimiliki oleh seorang mufasir sebab tanpa adanya kemampuan yang mumpuni dalam menganalisis ayat, seorang mufasir dapat dengan mudah terjerumus pada kesalahpahaman dalam memahami ayat-ayat yang terlihat sama namun secara esensi memiliki maksud maupun ketentuan hukum yang berbeda.

Lahirnya ilmu Asybah wa Nadzha’ir dari rahim para punggawa madrasah tafsir Mekkah, memperlihatkan metode qira’ah istiqra’iyah (pembacaan yang detail dan jeli) yang mereka terapkan. Artinya dalam mengkaji al-Qur’an, mereka benar-benar memperhatikan kata-kata perkata dan implikasinya secara detail. Maka tidak mengherankan jika mereka juga menguasai keilmuan lainnya seperti Gharibil Qur’an, I’rabul Qur’an serta Mubhamat (Muhkam-Mutasyabih), yang kesemua itu memperlihatkan kompetensi dan spesialisasi mereka dalam ilmu Tafsir.

Sedikitnya Riwayat Keilmuan Selain Tafsir

Sebagian besar para punggawa madrasah tafsir Mekkah merupakan para Tabi’in yang masyhur dalam spesialisasinya bidang Tafsir. Meskipun mereka maupun gurunya Abdullah Ibn Abbas merupakan orang-orang yang juga memiliki kompetensi di bidang-bidang keilmuan lainnya, namun sangat jarang ditemukan riwayat yang berasal dari para punggawa madrasah tafsir ini selain riwayat-riwayat yang berkaitan dengan bidang tafsir.

Salah satu riwayat populer yang berasal dari para punggawa madrasah tafsir Mekkah yang dinilai memuat tidak hanya keilmuan tafsir ialah riwayat mengenai pembahasa ayat Haji. Sebab mereka berada di lingkungan terdekat dengan pelaksanaan haji maupun umrah. Ibn Uyainah pernah berkata dan menganjurkan bahwa dalam urusan Manasik hendaknya mengambil dari Mekkah (baik dari sisi penafsiran maupun fatwa hukum).

Memberikan Keleluasaan Pada Penggunaan Israilliyah

Madrasah tafsir Mekkah terkenal sebagai madrasah yang paling luwes dalam penggunaan israilliyah. Sekali lagi bahwa kecenderungan tersebut dibentuk oleh Abdullah Ibn Abbas sebagai aktor utama madrasah tafsir Mekkah. Ibn Abbas kerapkali memperlihatkan dirinya mengutip riwayat-riwayat yang berasal dari Ka’ab al-Ahbar (seorang rabbi Yahudi yang masuk Islam dan banyak meriwayatkan riwayat israilliyah) sebab menurutnya Nabi pun dalam sebuah hadis yang membahas riwayat mengenai Bani Isra’il tidak melarang penggunaan israilliyah.

Baca Juga: Tafsir Ibnu Abbas: Mengenal Dua Kitab yang Menghimpun Penafsiran Ibnu Abbas

Manhaj atau metode yang ditampilkan oleh Ibn Abbas ini pun diadopsi dan diterapkan oleh murid-muridnya, sehingga penggunaan isarilliyah menjadi salah satu corak penafsiran khas dari madrasah tafsir Mekkah. Riwayat-riwayat israilliyah tersebut difungsingkan sebagai alat bantu dalam memahami isi kandungan ayat terutama pada ayat-ayat yang memuat informasi sejarah serta mempermudah dalam mengambil ibrah dan waidzhah (pesan dan teladan).

Berbagai kekhasan yang dipertunjukkan oleh madrasah tafsir Mekkah yang dipimpin oleh Abdullah Ibn Abbas telah memberikan sumbangsih yang begitu besar dalam ranah penafsiran al-Qur’an. Mereka telah memberikan role model corak penafsiran yang tidak hanya bertumpu pada aplikasi penggunaan riwayat (al-tafsir al-atsari) namun penafsiran yang memadukan penggunaan riwayat dan analisa berdasarkan keilmuan-keilmuan pendukung penafsiran yang dimiliki mufasir (al-tafsir al-atsari al-nadhzri). Wallahu a’lam