Beranda blog Halaman 377

Tafsir Surah Al Anfal Ayat 24

0
tafsir surah al anfal
tafsir surah al anfal

Tafsir Surah Al Anfal Ayat 24 berbicara mengenai anjuran untuk memenuhi panggilan Rasulullah. Rasulullah merupakan penyampai hukum-hukum yang berguna untuk seluruh manusia.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al Anfal Ayat 21-23


Tafsir Surah Al Anfal Ayat 24 ini juga berbicara mengenai kedekatan Allah kepada hamba-hambanya. Allah adalah Dzat yang Maha Pengasih dan Penyayang.

Ayat 24

Allah menyerukan kepada orang-orang mukmin, bahwa apabila Allah dan Rasul-Nya menyampaikan hukum-hukumnya yang berguna untuk kehidupan mereka, hendaklah mereka menyambut seruan itu dan menerimanya dengan penuh perhatian serta berusaha untuk mengabulkannya.

Karena seruan itu mengandung ajaran-ajaran yang berguna bagi kehidupan mereka, seperti mengetahui hukum-hukum Allah yang diberikan kepada makhluk-Nya, suri teladan hidup yang dapat dijadikan contoh dan pelajaran yang utama untuk meningkatkan nilai-nilai kemanusiaan serta mengangkat kehidupan mereka kepada martabat yang sempurna, sehingga mereka dapat menempuh jalan lurus yang mendekatkan diri kepada Tuhan.

Akhirnya mereka akan hidup di bawah keridaan Allah; di dunia mereka akan berbahagia dan di akhirat akan mendapat surga.

Di dalam ayat lain perintah mengikuti Rasul itu disertai dengan perintah memegangnya dengan teguh.

Allah berfirman:

خُذُوْا مَآ اٰتَيْنٰكُمْ بِقُوَّةٍ وَّاسْمَعُوْا ۗ

“Pegang teguhlah apa yang Kami berikan kepadamu dan dengarkanlah.” (al-Baqarah/2: 93)

Menaati Rasul hukumnya wajib, baik pada waktu beliau hidup maupun setelah wafatnya. Menaati Rasul ialah menaati segala macam perintahnya dan menjauhi larangannya yang termuat dalam Kitab Al-Qur’an dan yang termuat pula dalam Kitab-kitab hadis yang diketahui kesahihannya.

Allah memerintahkan kepada kaum Muslimin agar mereka betul-betul mengetahui bahwa Allah membatasi antara manusia dan hatinya. Ungkapan ini  mengandung banyak pengertian:

  1. Bahwa Allah menguasai hati seseorang, maka Allah-lah yang menentukan kecenderungan hati itu menurut kehendak-Nya. Allah berkuasa untuk mengarahkan hati orang kafir apabila ia menghendaki orang kafir itu mendapat hidayah dan menguasai hati seseorang yang beriman untuk menyesatkannya apabila Ia berkehendak untuk menyesatkan. Pengertian serupa ini terdapat pula dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Hakim dalam Kitab al-Mustadrak dari Ibnu ‘Abbas dan dari sebagian besar ulama salaf.

Hadis-hadis yang menguatkan pengertian ini antar lain bahwa Nabi Muhammad, seringkali mengatakan:

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ ثَبِّتْ قَلْبِيْ عَلَى دِيْنِكَ. فَقِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ! اٰمَنَّابِكَ وَبِمَا جِئْتَ بِهِ، فَهَلْ تَخَافُ عَلَيْنَا؟ قَالَ نَعَمْ، إِنَّ الْقُلُوْبَ بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ اللهِ تَعَالَى يُقَلِّبُهَا

(رواه أحمد والترمذي عن أنس)

“Wahai Tuhan yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku atas agamamu. Lalu Rasulullah ditanya, “Ya Rasulullah! Kami telah beriman kepadamu dan kepada Kitab yang engkau bawa, maka apakah yang engkau khawatirkan terhadap kami? Maka Rasulullah menjawab, “Ya! Sungguh hati itu berada di antara dua jari dari jari-jari Tuhan. Dialah Yang membolak-balikkannya.” (Riwayat Imam Ahmad dan at-Tirmizi dari Anas)

  1. Bahwa Allah, menyuruh hambanya untuk bersegera menaati Allah sebelum terlepasnya jiwa dari tubuh, tetapi mereka tidak memperdulikan perintah itu. Ini berarti bahwa Allah mematikan hatinya sehingga hilanglah kesempatan yang baik itu, yaitu hilangnya kesempatan seseorang untuk melakukan amal yang baik dan usaha untuk mengobati hati dengan bermacam penawar jiwa sehingga jiwanya menjadi sehat, sesuai dengan kehendak Allah.

Kata-kata membatasi adalah merupakan kata yang digunakan untuk pengertian mati, karena hati itulah biasanya yang dapat memahami sesuatu, maka apabila dikatakan hati seseorang telah mati berarti hilanglah kesempatan seseorang untuk memanfaatkan ilmu pengetahuannya.

  1. Kata membatasi (yahµlu) adalah merupakan kata-kata majaz yang menggambarkan batas terdekat kepada hamba. Karena sesuatu yang memisahkan antara dua buah barang, adalah sangat dekat kepada dua barang itu.

Pengertian serupa ini dinukilkan dari Qatadah, karena pada saat membicarakan makna ayat, ia membawakan firman Allah:

وَنَحْنُ اَقْرَبُ اِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيْدِ

“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (Qaf/50: 16);

Bagaimana juga perbedaan pendapat di kalangan para mufassir mengenai penafsiran ayat ini, tetapi hal yang tidak dapat disangkal ialah bahwa Allah telah membuat bakat-bakat dalam diri seseorang.


Baca juga: Surah Adz-Dzariyat Ayat 20-21, Melejitkan Nilai Tambah dan Potensi Kita


Bakat baik dan bakat buruk kedua-duanya dapat berkembang menurut Sunnah Allah yang telah ditetapkan bagi manusia. Berkembangnya bakat-bakat itu bergantung pada situasi, kondisi dan lingkungan.

Apabila seseorang dididik dengan baik, niscaya jiwanya akan menjadi baik. Sebaliknya apabila jiwa itu dididik dengan jahat, atau berada dalam lingkungan yang jahat niscaya jiwa itu akan menjadi jahat. Hati adalah merupakan pusat perasaan, kemampuan serta kehendak seseorang yang dapat mengendalikan jasmaninya untuk mewujudkan amal perbuatan.

 Pantaslah kalau di dalam ayat ini dikatakan, bahwa Allah membatasi antara seseorang dengan hatinya, karena Allah-lah Yang lebih mengetahui hati nurani seseorang. Dia Yang menguasai hati itu, karena Dialah pula yang menciptakan bakat-bakat yang terdapat dalam hati dan Dia pula yang paling dapat menentukan ke mana hati itu mengarah.

Akhir ayat ini Allah menegaskan bahwa sesungguhnya seluruh manusia itu akan dikumpulkan kepada Allah, di padang Mahsyar untuk mempertanggungjawabkan segala macam amalnya dan menerima pembalasan yang setimpal dengan amal perbuatan mereka.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Anfal Ayat 25-26


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Al Anfal Ayat 21-23

0
tafsir surah al anfal
tafsir surah al anfal

Tafsir Surah Al Anfal Ayat 21-23 ini berbicara mengenai larangan meniru sifat-sifat orang munafik. Salah satu sifat orang munafik adalah berpura-pura iman. Padahal dalam hatinya dipenuhi keingkaran.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al Anfal Ayat 18-20


Tafsir Surah Al Anfal Ayat 21-23 juga membicarakan mengenai sifat-sifat orang munafik yang menyerupai sifat binatang. Hal ini terjadi karena mereka tidak mau mendengarkan seruan dari utusan Allah. Sebab keingkaran dalam hatinya, selamanya mereka tidak akan mendapatkan hidayah.

Ayat 21

Allah melarang orang-orang mukmin berbuat sebagai orang-orang munafik dan orang-orang kafir apabila mendengar seruan Rasul, mereka berbuat seolah-olah mendengar seruan itu, tetapi sebenarnya hati mereka mengingkarinya.

Maka kaum Muslimin pun dilarang berbuat seperti mereka, yang kelihatannya mendengarkan seruan Nabi dengan penuh perhatian, padahal mereka tidak menaruh perhatian sedikit pun apalagi melaksanakannya.

Dalam ayat ini orang-orang munafik dinyatakan sebagai orang-orang yang tidak mau mendengarkan perkataan Nabi, yaitu memeluk agama Islam, hal ini memberikan petunjuk bahwa mereka tidak mau membenarkan sama sekali apa yang diserukan Nabi itu.

Allah berfirman:

وَمِنْهُمْ مَّنْ يَّسْتَمِعُ اِلَيْكَۚ حَتّٰىٓ اِذَا خَرَجُوْا مِنْ عِنْدِكَ قَالُوْا لِلَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ مَاذَا قَالَ اٰنِفًا ۗ اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ طَبَعَ اللّٰهُ عَلٰى قُلُوْبِهِمْ وَاتَّبَعُوْٓا اَهْوَاۤءَهُمْ  ١٦

Dan di antara mereka ada orang yang mendengarkan perkataanmu (Muhammad), tetapi apabila mereka telah keluar dari sisimu, mereka berkata kepada orang yang telah diberi ilmu (sahabat-sahabat Nabi), “Apakah yang dikatakannya tadi?” Mereka itulah orang-orang yang dikunci hatinya oleh Allah, dan mengikuti keinginannya. (Muhammad/47: 16)

Ayat 22

Allah menyamakan orang-orang munafik itu dengan binatang yang paling buruk, karena mereka itu tidak mau mempergunakan pendengarannya untuk mengetahui seruan-seruan yang benar dan tidak memperhatikan nasihat-nasihat yang baik.

Orang-orang munafik disamakan dengan binatang dalam ayat ini, bukanlah fisik mereka seperti binatang, tetapi sifat kejiwaan merekalah yang seperti binatang. Mereka menolak pengertian dari firman Allah dan tidak mau memikirkan dan memahami kebenaran.

 Dalam hal ini mereka tidak mau membedakan mana seruan yang benar dan mana ajakan yang salah dan mana i’tikad yang benar serta mana kepercayaan yang salah.

Sebagai alasan yang lain dipersamakannya mereka dengan binatang adalah karena tidak mau menuturkan kebenaran, seolah-olah mereka tidak berfikir, karena mereka menyia-nyiakan akal mereka sehingga tidak dapat menuturkan kebenaran itu sebagaimana mestinya. Seandainya mereka menggunakan akal, tentulah mereka mau mendengarkan seruan Rasul serta mau mengikutinya.

Di dalam ayat ini atau ayat yang lain Allah, menerangkan bahwa orang-orang munafik itu lebih sesat dari binatang.

Firman Allah:

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيْرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالْاِنْسِۖ  لَهُمْ قُلُوْبٌ لَّا يَفْقَهُوْنَ بِهَاۖ وَلَهُمْ اَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُوْنَ بِهَاۖ وَلَهُمْ اٰذَانٌ لَّا يَسْمَعُوْنَ بِهَاۗ اُولٰۤىِٕكَ كَالْاَنْعَامِ بَلْ هُمْ اَضَلُّ  ۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْغٰفِلُوْنَ

“Dan sungguh, akan Kami isi neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah.” (al-A’raf/7: 179)

Pendengaran dan penglihatan tidak dapat dibuat manusia, karena keduanya bertalian dengan jiwa, dengan hidup. Tidak bisa diharapkan dari benda mati yang tidak mempunyai pendengaran dan penglihatan itu. Bahkan pendengaran dan penglihatan yang hidup tidak berfungsi jika tidak diarahkan.


Baca juga: Kajian Semantik Kata Nikmat dalam Al-Quran: Perbedaan Kata An-Ni’mah dan An-Na’im


Ayat 23

Allah memberikan pernyataan terhadap orang-orang munafik dan orang-orang musyrik bahwa andaikata mereka mempunyai kemauan untuk beriman dan harapan untuk mengikuti petunjuk yang disampaikan oleh Rasulullah, tentulah Allah menjadikan mereka dapat mendengar.

Tetapi lantaran bakat mereka, untuk menerima petunjuk Allah telah dikotori dengan noda-noda kemusyrikan dan kenifakan, maka tidak ada jalan lain lagi untuk mengarahkan bakat-bakat mereka untuk menerima petunjuk.

Seumpama Allah menjadikan mereka dapat memahami seruan Rasul itu tentulah mereka enggan melaksanakan apa yang mereka dengar, apa lagi untuk mengamalkannya, karena di dalam hati mereka telah bersarang keingkaran dan kekafiran. Dari firman Allah itu dapat dipahami bahwa derajat orang yang mendengarkan seruan Rasul itu bertingkat-tingkat.

  1. Ada orang yang sengaja tidak mau mendengarkan seruan Rasul secara terang-terangan dan menyambutnya dengan permusuhan sejak semula, karena mereka merasa bahwa seruannya itu akan menghancurkan keyakinannya.
  2. Ada orang yang mendengarkan seruan Rasul, akan tetapi tidak berniat untuk memahami dan memikirkan apa yang diserukan, seperti orang-orang munafik.
  3. Ada orang yang mendengarkan seruan Rasul dengan maksud mencari kesempatan untuk membantah dan menolaknya. Hal serupa ini dilakukan oleh orang-orang musyrik dan ahli kitab yang mengingkari kebenaran ayat Al-Qur’an.
  4. Ada orang yang mendengarkan dengan maksud ingin memahami dan memikirkan seruan Rasul. Tetapi adakalanya ajaran Islam itu dijadikan sebagai pengetahuan yang dipergunakan untuk tujuan-tujuan tertentu dan adakalanya ajaran Islam itu dijadikan bahan pembicaraan dan sasaran kritikan. Perbuatan ini dilakukan oleh kebanyakan orang-orang orientalis.

Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Anfal Ayat 24


(Tafsir Kemenag)

Perdebatan Nabi Musa dengan Fir’aun tentang Hakikat Tuhan

0
Perdebatan Nabi Musa dengan Fir’aun tentang Hakikat Tuhan
Perdebatan Nabi Musa dengan Fir’aun tentang Hakikat Tuhan

Debat adalah salah satu tabiat manusia. Hal ini ditegaskan dalam Firman Allah “Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak debatannya” (QS. Al-Kahfi [18]:54). Debat adalah bertukar pikiran dengan cara bersaing untuk mengalahkan argumen lawan (Studi Ilmu-ilmu Al-Quran, halaman 425). Salah satu perdebatan yang dikisahkan al-Quran adalah perdebatan Nabi Musa dengan Fir’aun tentang hakikat Tuhan. Ayat yang menceritakan hal tersebut adalah QS. Al-Syu’arā [26]: 23-29. Dengan mengkaji ayat tersebut, kita dapat mengetahui bagaimana Allah melalui lisan Nabi Musa menjelaskan tentang hakikat dzat-Nya. Kita juga bisa mengetahui bagaimana Allah menunjukkan kebenaran dengan argumen yang kuat.

Adapun ayat-ayat yang menceritakan perdebatan Nabi Musa dengan Firaun tentang hakikat Tuhan adalah sebagai berikut:

قَالَ فِرْعَوْنُ وَمَا رَبُّ الْعَالَمِينَ (23) قَالَ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا إِنْ كُنْتُمْ مُوقِنِينَ (24) قَالَ لِمَنْ حَوْلَهُ أَلَا تَسْتَمِعُونَ (25) قَالَ رَبُّكُمْ وَرَبُّ آبَائِكُمُ الْأَوَّلِينَ (26) قَالَ إِنَّ رَسُولَكُمُ الَّذِي أُرْسِلَ إِلَيْكُمْ لَمَجْنُونٌ (27) قَالَ رَبُّ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَمَا بَيْنَهُمَا إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ (28) قَالَ لَئِنِ اتَّخَذْتَ إِلَهًا غَيْرِي لَأَجْعَلَنَّكَ مِنَ الْمَسْجُونِينَ (29)

Fir’aun bertanya, “Siapa Tuhan seluruh alam semesta itu?” Dia (Musa) menjawab, “Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya (itulah Tuhanmu), jika kamu mempercayai-Nya.” Dia (Fir’aun) berkata kepada orang-orang di sekelilingnya,“Apakah kamu tidak mendengar (apa yang dikatakannya)?” Dia (Musa) berkata, “(Dia) Tuhanmu dan juga Tuhan nenek moyangmu terdahulu.” Dia (Fir’aun) berkata, “Sungguh, Rasulmu yang diutus kepada kamu benar-benar orang gila.” Dia (Musa) berkata, “(Dialah) Tuhan (yang menguasai) timur dan barat dan apa yang ada di antara keduanya, jika kamu mengerti.” Dia (Fir’aun) berkata, “Sungguh, jika engkau menyembah Tuhan selain aku, pasti aku masukkan engkau ke dalam penjara.” (QS. Al-Syu’arā [26]: 23-29).

Kisah Perdebatan Nabi Musa dengan Fir’aun

Fir’aun membuka perdebatan dengan mengajukan pertanyaan kepada Nabi Musa “Siapa Tuhan Semesta Alam itu?yang oleh para ulama ditafsirkan secara berbeda. Pendapat pertama sebagaimana dijelaskan di dalam kitab Mafātiḥ al-Ghaib (juz 24, halaman 497) berpandangan bahwa maksud dari pertanyaan Fir’aun adalah mempertanyakan māhiyah (hakikat) dari Tuhan Semesta Alam.

Al-Zamakhsyari dalam Tafsīr al-Kasysyāf (juz 3, halaman 307) memberi penjelasan bahwa pertanyaan semacam ini menuntut pada sesuatu yang bisa disaksikan dan dikenal secara nyata. Sementara itu, Tuhan Semesta Alam (baca: Allah) adalah Dzat yang laisa kamiṣlihi syaik (tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia), sehingga untuk mengetahui hakikat keberadaannya hanya dengan mengetahui af’al Allah dan sifat yang menunjukkan keberadaan Tuhan Semesta Alam. Meskipun begitu, Al-Zamakhsyari memilih pendapat kedua yang menyatakan bahwa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi Musa hanyalah pengingkaran terhadap keberadaan Tuhan Semesta Alam selain dirinya.

Demikian pula Ibn kaṡīr di dalam Tafsīr Ibn Kaṡīr (juz 6, halaman 137) menuuturkan bahwa pertanyaan Fir’aun merupakan bentuk pengingkaran, sangkalan, dan penolakan Fir’aun terhadap Allah. Hal ini menurut Ibn Kaṡīr karena di ayat lain Fir’aun berkata “Aku tidak mengetahui ada Tuhan bagimu selain aku” (QS. Al-Qaṣaṣ [28]: 38). Yang menarik adalah ada pendapat di dalam Mafātiḥ al-Ghaib (juz 24, halaman 497) menyatakan bahwa Fir’aun sebenarnya mengenal Allah, berdasarkan Firman Allah “Dia (Musa) berkata, “Sungguh engkau telah mengetahui bahwa tidak ada yang menurunkan (mukjizat-mukjizat) itu kecuali Tuhan (yang memeliha) langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata; dan sungguh aku benar-benar menduga engkau akan binasa.” (QS. Al-Isrā [17]: 102).

Baca juga: Pembagian Warisan Bagi Anak dan Orang Tua Menurut Al-Qur’an

Menurut Penulis, pengingkaran Fir’aun terhadap adanya Tuhan selain dia bukan karena ketidaktahuannya, namun karena sifat takabur. Hal ini sesuai dengan riwayat hadis dari Abdullah ibn Mas’ud di dalam kitab Ṣahīḥ Muslim (hadis nomor 147, juz 1, halaman 93) bahwa takabur adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia dan itulah yang dilakukan Fir’aun. Dia ingkar terhadap Tuhan dan memperbudak Bani Israil.

Terlepas dari pertanyaan Fir’aun untuk menanyakan hakikat Tuhan Semesta Alam atau pengingkaran atas Tuhan, Nabi Musa memberikan jawaban yang sangat logis menurut para ahli ilmu manṭiq (logika). Nabi Musa menjawab “Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya (itulah Tuhanmu), jika kamu mempercayai-Nya.”. Jawaban tersebut merupakan jawaban yang merujuk langsung pada hakikat Tuhan dengan sifat khusus yang melekat padanya, yaitu Tuhan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya.

Menurut Al-Syaukāni (Fatḥ al-Qadīr, juz 4, halaman 113), jawaban tersebut menunjukkan betapa agung kuasa Allah. Jika demikian, maka siapakah yang lebih agung, Tuhannya Nabi Musa yang menciptakan langit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya atau Fir’aun yang tidak memiliki andil apapun dalam penciptaan alam semesta?. Akan tetapi, Fir’aun justru berkata kepada orang-orang di sekitarnya “Apakah kamu tidak mendengar (apa yang dikatakannya)?”. Muhammad Ali Al-Ṣābūnī di dalam Ṣafwah al-Tafāsīr (halaman 828) berpandangan bahwa pertanyaan Fir’aun ke orang di sekelilingnya dimaksudkan untuk mengolok-olok dan mengejek Nabi Musa. Hal ini karena Fir’aun bertanya hakikat, Nabi Musa justru menjawab dengan sifat Allah.

Baca juga: Pengamalan Ayat Kursi: Era Nabi Muhammad hingga Kontemporer

Cara Nabi Musa Memberikan Jawaban Kepada Fir’aun

Nabi Musa kemudian memberi jawaban lagi untuk memperkuat argumennya dengan berkata ” (Dia) Tuhanmu dan juga Tuhan nenek moyangmu terdahulu”.  Ali Al-Ṣābūnī di dalam Ṣafwah al-Tafāsīr (halaman 828) bahwa Dia (Tuhan Semesta Alam) adalah Dzat yang menciptakan Fir’aun dan nenek moyangnya dan hal itu merupakan bukti kongkrit adanya Dzat yang Maha Kuasa, yaitu Tuhan. Hal ini berarti Nabi Musa mengubah argumen dari petunjuk umum menunju ke petunjuk yang lebih khusus karena petunjuk yang berkaitan dengan diri mereka lebih dekat daripada petunjuk yang berlkaitan dengan alam. Logikanya, jika Fir’aun adalah Tuhan, maka kepada siapa nenek moyang Fir’aun ber-Tuhan?.

Mendengar jawaban Nabi Musa, Fir’aun hanya bisa mengejeknya dengan berkata “Sungguh, Rasulmu yang diutus kepada kamu benar-benar orang gila”. Nabi Musa tidak memperhatikan ejekan Fir’aun, lalu Nabi Musa menguatkan lagi argumennya dengan argumen yang lebih jelas dengan berkata “(Dialah) Tuhan (yang menguasai) timur dan barat dan apa yang ada di antara keduanya, jika kamu mengerti”.

Baca juga: Bolehkah Menulis Mushaf Al-Quran dengan Selain Rasm Utsmani?

Masih menurut Ali Al-Ṣābūnī di dalam Ṣafwah al-Tafāsīr, Dia-lah Dzat yang menerbitkan matahari dari Timur dan menenggelamkannya di Barat. Fenomena ini bisa dilihat setiap hari oleh semua orang. Hal ini tidak dapat dilakukan siapapun termasuk Fir’aun. Mendengar jawaban Nabi Musa, Fir’aun kemudian mengancam “Sungguh, jika engkau menyembah Tuhan selain aku, pasti aku masukkan engkau ke dalam penjara.”. Dari setiap jawaban Nabi Musa, Fir’aun hanya mengejek dan mengancam Nabi Musa. Hal ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa orang yang sombong cenderung untuk menyerang pribadi lawan debat.

Wallahu a’lam

Tafsir Ahkam: Kewajiban Salat Lima Waktu dalam Peristiwa Isra Mikraj

0
kewajiban salat lima waktu dalam isra mikraj
kewajiban salat lima waktu dalam isra mikraj

Ada yang menyebut peristiwa Isra Mikraj Nabi Muhammad Saw. dengan anniversary salat. Hal ini karena diketahui bahwa kewajiban salat lima waktu terjadi setelah Isra Mikrajnya Nabi. Salat menjadi kado spesial atau oleh-oleh Nabi Muhammad Saw dari Allah Swt.

Salah satu peristiwa yang agung, fenomenal dan di luar nalar akal manusia, ialah peristiwa Isra Mikraj Nabi muhammad Saw. Ia melakukan perjalanan suci di –sedikit- malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa hingga menembus tujuh lapisan langit, sampai sidratul muntaha, dikumpulkan dengan Nabi-Nabi terdahulu, diperlihatkan hal-hal yang menakjubkan dari tanda-tanda kebesaran Allah dan bermunajat dengan Allah, hingga mendapat perintah salat lima waktu.

Peristiwa ini masyhur terjadi satu tahun sebelum hijrah tepatnya malam senin tanggal 27 bulan Rajab. Peristiwa ini diabadikan Al-Quran surah Al-Isra ayat 1.

سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS. Al isra: 1)

Baca Juga: Peristiwa Isra Mikraj Nabi Muhammad Saw Menurut Ulama Tafsir

Sejarah kewajiban salat lima waktu

Dalam peristiwa Isra Mikraj Rasulullah Saw. mendapat perintah dari Allah untuk melaksanakan salat sebanyak 50 waktu. Perintah tersebut kemudian diceritakan Rasulullah Saw.  kepada Nabi Musa di langit ke enam seusai menghadap Allah SWT. “Kembalilah kepada Allah, lalu memintalah keringanan dari-Nya karena sesungguhnya umatmu tidak akan kuat melaksanakannya; aku telah mencoba Bani Israil dan telah menguji mereka”. Pinta dan pertimbangan dari Nabi Musa As.

Rasulullah Saw. kembali menemui Allah dan meminta “Wahai Rabbku, ringankanlah untuk umatku” Maka Allah meringankan lima waktu kepadaku. Lalu Rasulullah Saw. kembali menemui Nabi Musa As. Nabi Musa bertanya, “Apa yang telah kamu lakukan?” Nabi menjawab “Allah telah meringankan lima waktu kepadaku.” ”Sesungguhnya umatmu tidak akan kuat melakukan hal tersebut, maka kembalilah lagi kepada Rabbmu dan mintalah keringanan buat umatmu kepada-Nya” pinta Nabi Musa untuk kedua kalinya.

Rasulullah Saw. masih tetap mondar-mandir antara Allah dan Nabi Musa, dan Allah meringankan kepada Muhammad lima waktu demi lima waktu. Hingga akhirnya Allah berfirman, “Hai Muhammad, salat lima waktu itu untuk tiap sehari semalam; pada setiap salat berpahala sepuluh salat, maka itulah lima puluh kali salat.”

Mendengar hal itu, Nabi Musa As. masih meminta Rasulullah Saw. untuk kembali kepada Allah dan meminta untuk diringankan kembali. Rasulullah menjawab “Aku telah mondar-mandir kepada Rabbku hingga aku malu terhadap-Nya.” Demikian yang diceritakan oleh Mufasir Jalaluddin Al Mahalli dalam kitabnya, Tafsir Jalalain beliau menukil hadis yang diiriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.

Menjadi jelas bahwa salah satu kado spesial Isra Mikraj adalah kewajiban salat lima waktu yang semula 50 waktu kemudian dikurangi hingga menjadi lima waktu, pun demikian pahalanya tetap 50 waktu salat sebagaimana disebutkan dalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, An-Nasa’i dan At-Tirmidzi sebagai berikut,

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ فُرِضَتْ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِهِ الصَّلَوَاتُ خَمْسِينَ ثُمَّ نُقِصَتْ حَتَّى جُعِلَتْ خَمْسًا ثُمَّ نُودِيَ يَا مُحَمَّدُ إِنَّهُ لَا يُبَدَّلُ الْقَوْلُ لَدَيَّ وَإِنَّ لَكَ بِهَذِهِ الْخَمْسِ خَمْسِينَ

“Dari Anas bin Malik ia berkata; Di malam isra` Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diberi kewajiban untuk melaksanakan shalat sebanyak lima puluh kali. Kemudian bilangan tersebut dikurangi hingga menjadi lima kali, beliau lalu diseru, “Wahai Muhammad, sesungguhnya ketentuan yang ada di sisi-Ku tidak bisa dirubah, maka engkau akan mendapatkan pahala lima puluh (waktu shalat) dengan lima (waktu shalat) ini.”

Baca Juga: Sisi lain dari Isra Mikraj Nabi Muhammad Saw, Tafsir Alternatif Surah Al-Isra ayat 1

Beberapa riwayat di balik perintah kewajiban salat lima waktu

Salat lima waktu yang di fardukan pada malam Mikraj mempunyai hikmah/filosofi tersendiri. Keduanya mempunyai persesuaian yang erat. Pertama, sebelum melalukan mikraj Nabi dibersihkan dhohir batinnya terlebih dahulu, seperti itu juga salat, harus dikerjakan setelah bersuci. Kedua, saat Mikraj Nabi bermunajat kepada Allah, seperti itu juga salat seorang, ketika salat artinya ia sedang bermunajat.

Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Barinya menjelaskan,

وَالْحِكْمَةُ فِي وُقُوعِ فَرْضِ الصَّلَاةِ لَيْلَةَ الْمِعْرَاجِ أَنَّهُ لَمَّا قُدِّسَ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا حِينَ غُسِلَ بِمَاءِ زَمْزَمَ بِالْإِيمَانِ وَالْحِكْمَةِ وَمِنْ شَأْنِ الصَّلَاةِ أَنْ يَتَقَدَّمَهَا الطَّهُورُ نَاسَبَ ذَلِكَ أَنْ تُفْرَضَ الصَّلَاةُ فِي تِلْكَ الْحَالَةِ وَلِيَظْهَرَ شَرَفُهُ فِي الْمَلَأِ الْأَعْلَى وَيُصَلِّي بِمَنْ سَكَنَهُ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ وَبِالْمَلَائِكَةِ وَلِيُنَاجِيَ رَبَّهُ وَمِنْ ثَمَّ كَانَ الْمُصَلِّي يُنَاجِي رَبَّهُ جَلَّ وَعَلَا

“Hikmah difardukanya salat pada malam Mikraj, sesungguhnya Nabi manakal di sucikan dhohir dan batinnya dengan dibasuh air zam-zam dengan keimanan dan hikmah sebagaimana sebelum salat terlebih dahulu bersuci, antara keduanya mempunyai persesuaian dengan di fardukanya salat diwaktu itu. Di nampakannya kemulian Nabi di langit (mala’ al-a’la); Nabi mengerjakan salat dengan penghuninya, yakni para Nabi dan Malaikat supaya Nabi bermujat dengan tuhannya seperti itu juga orang yang melaksanakan solat, ia juga sedang bermunajat dengan tuhannya”.

Seorang Mufasir kontemporer, Muhammad Amin al-Harari dalam tafsirnya Hadzaiqu Ruh Wa Raihan menjelaskan perintah kewajiban salat lima waktu pada malam Mikraj karena Mikraj merupakan waktu paling utama, kedaaan paling mulia, dan paling agungnya munajat, yakni sampainya seorang hamba pada Tuhannya dan berdekatan denganNya. Dengan begitu salat menjadi ibadah yang paling utama setelah iman.

Baca Juga: Menguak Sisi Sains Skenario Perjalanan Isra Mikraj dalam Al-Quran

Dijelaskan pula bahwa difardukanya salat lima waktu ialah karena saat diperjalankan oleh Allah, ketika itu Nabi menyaksikan kerajaan langit (malakut al-samawat); beberapa rahasianya dan ibadah para Malaikat. Sebagian malaikat ada yang beribadah dengan terus berdiri, rukuk, sujud, memuji Allah, bertasbih bertakbir dan lain sebagianya. Kejadian ini menjadikan Nabi semakin berkeinginan kuat untuk menyerupai ibadah malaikat tersebut.

Nabi lantas meminta ibadah yang sama untuk dikerjakan umatnya, lalu Allah mengumpulkan bentuk-bentuk ibadah malaikat tersebut untuk Nabi Muhammad yang kemudian diberi nama salat. Allah memberi pahala orang yang mengerjakan salat lima waktu seperti pahala ibadah penghuni langit.

Riwayat lain tentang perintah kewajiban salat lima waktu dalam sehari semalam juga berkaitan dengan syariat para Nabi terdahulu. Pada umat-umat terdahulu, salat dikerjakan secara terpisah, kemudian Allah mengumpulkannya untuk Nabi Muhammad Saw. dan umatnya. Hal tersebut karena Nabi Muhammad tempat berkumpulnya keutamaan-keutamaan, baik dunia maupun akhirat, umatnya pun demikian.

Ada yang mengatakan bahwa yang pertama kali orang yang melaksanakan salat fajar adalah Nabi Adam As, salat duhur itu Nabi Ibrahim As, salat Ashar adalah Nabi Yunus As, salat Magrib dilakukan oleh Nabi Isa As dan salat Isya’ dilakukan oleh Nabi Musa As. Ada juga yang mengatakan bahwa Nabi Adam melaksanakan salat lima waktu kemudian dilakukan terpisah setelahnya. Demikian yang dijelaskan oleh Muhammad Amin al-Harari dalam tafsirnya Hadzaiqu Ruh Wa Raihan jus 1, halaman 117. Wallahu a’lam bissowab.

Tafsir Surah Al Anfal Ayat 18-20

0
tafsir surah al anfal
tafsir surah al anfal

Tafsir Surah Al Anfal Ayat 18-20 berbicara mengenai karunia Allah untuk menunjang peperangan yang dilakukan oleh orang-orang mukmin, setelah sebelumnya berbicara mengenai larangan melarikan diri dari peperangan, karena Allah telah menjanjikan kemenangan.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al Anfal Ayat 16-17


Karunia yang dimaksud dalam Tafsir Surah Al Anfal Ayat 18-20 ini adalah melemahkan potensi-potensi dari orang-orang kafir. Karunia itu merupakan anugerah Allah kepada orang mukmin karena kepatuhan mereka terhadap perintah Allah dan Rasulullah.

Ayat 18

Allah menegaskan bahwa karunia Allah yang diberikan kepada kaum Muslimin itu bertujuan untuk melemahkan tipu-daya orang-orang kafir dan melemahkan serangan mereka kepada Nabi serta kaum Muslimin seluruhnya. Juga untuk membangun perhatian kaum Muslimin agar tetap berjuang menegakkan agama tauhid serta berbuat baik sesama mereka dalam membela serta menegakkan agama.

Dari ayat ini dapat dipahami bahwa Allah, selalu melindungi setiap perjuangan kaum Muslimin dalam menegakkan agama tauhid serta akan melemahkan perjuangan orang-orang musyrikin pada setiap gerak dan langkah mereka yang ditujukan untuk memerangi orang-orang yang menegakkan agama tauhid dan menyebarluaskan agama Islam.

Ayat 19

Sesudah itu Allah memberikan pernyataan yang ditujukan kepada orang-orang musyrikin bahwa apabila mereka ingin mencari keputusan mana di antara kedua bala tentara yang paling unggul dan paling mendapat petunjuk sehingga memperoleh kemenangan, maka jelaslah yang mendapat kemenangan gilang-gemilang itulah pasukan yang paling unggul dan paling mendapat petunjuk.

Pernyataan ini adalah merupakan ejekan terhadap orang-orang musyrikin karena pada akhir pertempuran Perang Badar kemenangan jelas diperoleh oleh kaum Muslimin, sedangkan mereka kaum musyrikin mengalami kehancuran dan kekalahan.

Pernyataan ini berlaku pada setiap waktu dan tempat, di mana saja dan kapan saja terjadi pergolakan di antara dua golongan maka kemenangan tentu akan diperoleh oleh golongan yang berdiri atas prinsip-prinsip yang benar.

Kemudian Allah menyeru orang-orang musyrikin bahwa apabila mereka setelah menderita kekalahan dalam Perang Badar itu berhenti dari memusuhi Muhammad saw dan pengikut-pengikutnya, maka sebenarnya hal itu lebih baik buat mereka.

Tawaran itu dikemukakan Allah kepada mereka karena mereka telah mengalami pahit getirnya peperangan. Dari pengalaman itu mereka telah melihat kenyataan bahwa betapa pun kuatnya dan betapa pun banyaknya jumlah pasukan yang mereka kerahkan serta perlengkapan perang yang mereka andalkan, namun akhirnya mereka mengalami kekalahan juga.

Apabila mereka itu membangkang seruan ini dan kembali memusuhi serta memerangi Rasul dan pengikut-pengikutnya, maka kenyataan yang mereka alami itu akan terulang kembali, yaitu Allah kembali memberi pertolongan-Nya kepada Rasulullah saw.

Allah menegaskan bahwa angkatan perang kaum musyrikin betapa pun kuatnya, tidak akan dapat menolak bencana malapetaka yang akan ditimpakan oleh Allah kepada mereka. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah tentara yang banyak tidak selalu menentukan jalannya peperangan, terkecuali jumlah yang banyak itu disertai dengan kekuatan jiwa dan kepercayaan kepada Allah Azza wa Jalla.

Betapa pun gigihnya Abu Jahal dan pengikut-pengikutnya untuk mengalahkan kaum Muslimin dalam Perang Badar mereka tidak juga berhasil sebagaimana diterangkan oleh Hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dan an-Nasa’i:

اللّهُمَّ أَيّنُاَ كَانَ أَقْطَعَ لِلرَّحْمِ وَأَتَى بِمَا لاَ يَعْرِفُ فَأَحِنْهُ الْغَدَاةَ فَكَانَ ذٰلِكَ اسْتِفْتَاحًا مِنْهُ

(رواه أحمد والنسائي)

“Ya Allah siapa di antara kami yang telah memutuskan tali persaudaraan dan membawa sesuatu agama yang tidak dikenal, maka hancurkanlah ia sebelum terbitnya fajar, maka yang demikian itu adalah sebagai permintaan kemenangan dari padanya (untuk Rasulullah). (Riwayat Ahmad dan an-Nasa’i)

Menurut riwayat as-Suddi yang berasal dari Mujahid, diceritakan bahwa sebelum pasukan Quraisy berangkat ke medan perang mereka berdoa :

كَانَ الْمُشْرِكُوْنَ حِيْنَ خَرَجُوْا مِنْ مَكَّةَ إِلَى بَدْرٍ أَخَذُوْا بِأَسْتَارِ الْكَعْبَةِ فَاسْتَنْصَرُوا اللهَ وَقَالُوْا: اللّهُمَّ انْصُرْ أَعْلَى الْجُنْدَيْنِ، وَأَكْرَمَ الْفِئَتَيْنِ وَخَيْرَ اْلقِبْلَتَيْنِ فَقَالَ الله ُ(اِنْ تَسْتَفْتِحُوْا) الاٰية

Orang-orang musyrikin pada waktu keluar dari kota Mekah menuju Badar, telah memegang tirai Ka’bah kemudian mereka memohon kemenangan kepada Allah dan berkata: “Aduhai Tuhan berilah kemenangan kepada pasukan yang paling tinggi (derajatnya) kepada golongan yang paling mulia dan kepada kiblat yang paling baik.” Maka turunlah ayat: Jika kamu (orang musyrikin) mencari keputusan.

Ayat 20

Allah menyeru orang-orang mukmin agar menaati Allah dan Rasul-Nya. Menaati Allah dan Rasul-Nya dalam ayat ini ialah melaksanakan jihad, berjuang untuk membela agama tauhid dan meninggalkan kampung halaman serta mempergunakan harta benda dan jiwa apabila diperlukan, dan melarang orang-orang mukmin berpaling dari pada perintah-Nya, sedang pada waktu itu mereka telah mengetahui dan mendengar seruan untuk menaati perintah-Nya dan membantu perjuangannya.

Dimaksud mendengar dalam ayat ini ialah memahami seruan Rasul serta membenarkannya. Sebagai seorang mukmin semestinya ia mengatakan pada waktu mendengar seruan Rasul “samina wa atana” (kami mendengar dan menaati), sebagaimana firman Allah:

اِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِيْنَ اِذَا دُعُوْٓا اِلَى اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ اَنْ يَّقُوْلُوْا سَمِعْنَا وَاَطَعْنَاۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

Hanya ucapan orang-orang mukmin, yang apabila mereka diajak kepada  Allah dan Rasul-Nya agar Rasul memutuskan (perkara) di antara mereka, mereka berkata, “Kami mendengar, dan kami taat.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (an-Nµr/24: 51)

 Dan firman Allah lagi:

لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ اَحَدٍ مِّنْ رُّسُلِهٖ ۗ وَقَالُوْا سَمِعْنَا وَاَطَعْنَا

“Kami tidak membeda-bedakan seseorang pun dari Rasul-Rasul-Nya.” Dan mereka berkata,“Kami dengar dan kami taat.” (al-Baqarah/2: 285)

Yang dimaksud dengan mendengar seruan Rasul dalam ayat ini ialah menaati semua perintah Allah yang disampaikan kepadanya dengan perantara wahyu.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Anfal Ayat 21-23


(Tafsir Kemenag)

Bagaimana Sikap Kita Terhadap Ajaran dalam Kitab Taurat dan Injil?

0
Taurat dan Injil
Taurat dan Injil dalam Al-Quran

Hidup berdampingan bersama orang yang berbeda agama kadang memberikan pengalaman yang berbeda. Di antaranya mengenal kitab suci agama lain seperti kitab Taurat dan Injil. Kita menjadi mengetahui ajaran-ajaran kaum Yahudi dan Nasrani. Ada sebagian ajaran keduanya yang tampak selaras dengan Islam, dan ada pula yang tidak.

Keadaan ini kadang menimbulkan pertanyaan bagi sebagian umat muslim. Bagaimana sikap mereka yang seharusnya, saat berhadapan dengan ajaran-ajaran kitab suci yang termasuk diimani dalam Islam seperti kitab Injil dan Taurat? Apakah membenarkannya, mengabaikannnya, atau memilah-milahnya?

Kaum Yahudi Mengenalkan Taurat Kepada Umat Muslim

Al-Qur’an membicarakan persinggungan antara kaum Muslim dan Yahudi di antaranya di dalam ayat yang berbunyi:

وَلَا تُجَادِلُوْٓا اَهْلَ الْكِتٰبِ اِلَّا بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۖ اِلَّا الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا مِنْهُمْ وَقُوْلُوْٓا اٰمَنَّا بِالَّذِيْٓ اُنْزِلَ اِلَيْنَا وَاُنْزِلَ اِلَيْكُمْ وَاِلٰهُنَا وَاِلٰهُكُمْ وَاحِدٌ وَّنَحْنُ لَهٗ مُسْلِمُوْنَ ٤٦

Janganlah kamu mendebat Ahlul kitab melainkan dengan cara yang lebih baik, kecuali terhadap orang-orang yang berbuat zalim di antara mereka. Katakanlah, “Kami beriman pada (kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu. Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu. Hanya kepada-Nya kami berserah diri.” (Al-‘Ankabut [29] 46).

Ibn Jarir tatkala menafsiri ayat di atas menyatakan, Allah berfirman kepada orang-orang mukmin yang dilarang mendebat ahli kitab kecuali dengan hal yang baik: “Ketika ahli kitab (Taurat dan Injil) menyampaikan sesuatu dari kitab mereka dan memberi tahu sesuatu yang mungkin serta bisa saja mereka berkata jujur atau berdusta, dan kalian tidak tahu bagaimana sejatinya mereka tentang hal itu, maka berucaplah “Kami beriman pada (kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu.” Yaitu yang ada di dalam Taurat dan Injil (Tafsir At-Thabari/20/48).

Baca Juga: Keterkaitan Al-Quran, Kitab-Kitab Terdahulu dan Keragaman Syariat

Imam Ibn Katsir berkomentar tentang ayat ini, bahwa ketika ahli kitab menyampaikan sesuatu tentang ajaran mereka yang tidak kita ketahui kebenaran atau kebohongannya, maka jangan sampai mendustakannya sebab bisa saja benar dan jangan membenarkannya sebab bisa saja bohong. Namun kita perlu meyakininya secara global dan bergantung pada syarat bahwa ajaran tersebut benar dari Allah, belum diganti, dan juga bukan penafsiran. Ibn Katsir kemudian mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan dari Abi Hurairah (Tafsir Ibn Katsir/6/284):

قَالَ كَانَ أَهْلُ الْكِتَابِ يَقْرَءُونَ التَّوْرَاةَ بِالْعِبْرَانِيَّةِ ، وَيُفَسِّرُونَهَا بِالْعَرَبِيَّةِ لأَهْلِ الإِسْلاَمِ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « لاَ تُصَدِّقُوا أَهْلَ الْكِتَابِ وَلاَ تُكَذِّبُوهُمْ ، وَقُولُوا ( آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ ) الآيَةَ

Abi Hurairah berkata: para ahli kitab sama membacakan Taurat dengan Bahasa Ibrani dan menjelaskannya dengan Bahasa arab pada orang Islam. Rasulullah salallahualaihi wasallam kemudian bersabda: “Jangan membenarkan ahli kitab dan jangan mendustakan mereka. Dan ucapakan: ‘Aku beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan’ seterusnya’.” (HR. Imam Bukhari)

Ibn Hajar di dalam Syarah Sahih Bukhari berkomentar, redaksi hadis yang menyebutkan ahli kitab dan kitab Taurat menunjukkan bahwa yang dimaksud hadis tersebut adalah kaum Yahudi. Namun, hukum yang ada dalam hadis tersebut berlaku secara umum, sehingga mencakup kaum Nasrani juga (Fathul Bari/20/426).

Dakwah Ideal

Syaikh Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir Munir mengutip penjelasan Ibn ‘Arabi, bahwa Surat Al-‘Ankabut ayat 46 di atas tidaklah dimansukh dengan ayat tentang perang, tapi hanya dikhususkan saja. Dalam artian, bagi yang berdakwah dengan menempuh jalan berperang dengan pedang, silahkan berperang. Bagi yang tidak, maka ia berkewajiban berdebat dengan kaum ahli kitab dengan cara yang baik (Tafsir Munir/21/5).

Baca Juga: Inilah Para Perawi Israiliyat yang Menjadi Sumber Rujukan di Kitab-Kitab Tafsir

Dari sini kita bisa mengambil kesimpulan, sikap untuk tidak serta merta membenarkan Taurat dan Injil maupun mendustakan keduanya, adalah berkaitan dakwah yang ideal. Kita perlu menjauhi sikap sentimen kepada pemeluk agama lain secara berlebihan sehingga terdorong mencela ajaran agama lain, tapi juga tidak secara lebay menyatakan ajaran semua agama adalah benar menurut Islam. Wallahu a’lam.

Pengamalan Ayat Kursi: Era Nabi Muhammad hingga Kontemporer

0
Ayat Kursi
Ayat Kursi

Perapalan ayat kursi dalam rajah diyakini mendatangkan kemanfaatannya sendiri bagi masyarakat Muslim. Ayat Kursi atau ayat 255 surah al-Baqarah ternyata tidak hanya berfungsi dalam bentuk informatif, melainkan juga performatif. Performasi ini salah satunya ditunjukkan dalam praktik rajah.

Di desa Tawing misalnya, sebagaimana riset Himatil Ula dalam Performative Analysis of Rajah Syekh Subakir in Tawing, ayat kursi digunakan salah satunya sebagai ritual dalam merajahi suatu hajatan baik hajat besar, hajat desa maupun hajat kecil. Maka, artikel ini akan menjelaskan sisi performatif surah al-Baqarah ayat 255 dalam berbagai generasi.

Era Nabi Muhammad SAW

Nabi Muhammad saw sendiri pernah mengamalkan ayat-ayat Al-Quran baik sebagai wirid, pengobatan, perlindungan diri maupun hal-hal yang sifatnya temporer. Sebagaimana disampaikan Imam An-Nawawi dalam Al-Tibyan fi Adabi Hamalah Al-Quran,

ويستحب أن يقرأ عنده قل هو الله أحد وقل أعوذ برب الفلق، وقل أعوذ برب الناس مع النفث في اليدين، فقد ثبت فى الصحيحين من فعل رسول الله ص.م

Disunnahkan pula untuk membacakan kepada orang yang sedang sakit yaitu, surah al-Ikhlas, al-Falaq, dan al-Nas disertai dengan meniupkan telapak tangan lalu disapukan ke seluruh tubuh dan kepala. Keterangan tersebut sungguh telah ditetapkan dalam kitab al-sahihain dari apa yang telah dilakukan oleh Rasul saw.

Baca Juga: Gus Baha dan Dahsyatnya Ayat Kursi yang Tidak Banyak Orang Tahu

Sementara itu, surah al-baqarah ayat 255 dalam beberapa khazanah kitab tafsir disebut sebagai sayyid al-ayat (tuannya ayat) dan a’dzam al-ayat (ayat paling agung).

حدثنا محمود بن غيلان قال: حدثنا حسين الجعفي عن زائدة عن حكيم بن جبير عن أبى صالح عن أبى هريرة قال: قال رسولاللهصلى الله عليه و سلم: لكل شيئ سنام و ان سنام القرآن سورة البقرة و فيها آية هي سيدة آي القرآنو هي آية الكرسي

“Diceritakan dari Mahmud bin Ghailan berkata dari Husain al-Ja’fi dari Zaidah dari Hakim dari Jabir dari Abi Shalih dari Abi Hurairah berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Tiap-tiap sesuatu ada pangkalnya, dan pangkal Al-Quran ialahh Surat al-baqarah dan di dalamnya terdapat sayyidah ayat (tuannya ayat Al-Quran) yaitu ayat kursi”. (Muhammad bin Isa bin Surah al-Tirmidzi dalam Sunan al-Tirmidzi dan Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir).

Di era Rasulullah saw, ayat ini dipraktikkan dalam beragam hal, seperti wirid, doa pagi dan petang, serta doa sebelum tidur.

إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشَكَ فَاقْرَأْ آيَةَ الْكُرْسِيِّ (أَللهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ) َحتَّى تَخْتِمَ اْلآيَةَ، فَإِنَّكَ لَنْ يَزَالَ عَلَيْكَ مِنَ اللهِ حَافِظٌ وَلَا يَقْرَبَنَّكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ

Jika pergi ke tempat tidur, sebaiknya kamu membaca Ayat Kursi sampai selesai, yaitu membaca Allahu la ilaha illa huwal hayyul qayyum. Sesungguhnya kamu akan senantiasa berada dalam penjagaan dari Allah swt dan setan tidak akan mendekatimu sampai pagi hari. (H.R. al-Bukhari)

Era Sahabat

Di era sahabat, performasi ayat kursi tidak jauh berbeda dari era Nabi saw. Hal ini direkam oleh al-Qurthuby dalam tafsirnya bahwa sahabat Abdurrahman bin ‘Auf setiap memasuki rumahnya senantiasa mendawamkan ayat kursi guna menjaga diri sekeluarga dan mengusir setan.

Praktik serupa juga dilakukan oleh seorang Bani Kaib sebagaimana disampaikan Ahmad al-Dairabi dalam Kitab al-Mujarabat al-Dairabi al-Kubra, yang membuat jin ifrit penunggu rumah kosong hangus terbakar menjadi abu karena bacaan ayat kursi. Lebih dari itu, dalam beberapa riwayat juga mewartakan bahwa sahabat Nabi seperti Umar bin Khattab dan Abu Ayyub al-Ansari pernah berinteraksi dengan setan dan mendapat pesan darinya (setan) untuk membaca ayat ini sebagai pengusir setan.

Era Pasca Sahabat

Pasca sahabat, ayat kursi diperfomasikan dalam berbagai tataran yang lebih praktis. Dalam catatan al-Mujarabat karya Imam al-Dairabi misalnya, ayat kursi difungsikan sebagai obat untuk orang gila, ketempelan (baca: kerasukan) jin, dan orang pisan. Di lain itu, Al-Bunni dalam Syamsul Ma’arif wa Lathaif al-‘Awarif, ayat kursi berfungsi untuk mempermudah dan melancarkan hajat dengan riyadah-riyadah atau ritual-ritual tertentu.

Baca Juga: Merasa Diganggu Setan? Amalkan Doa Ayat Kursi

Tokoh sufi besar kenamaan, Al-Ghazali dalam kitabnya al-Aufaq bahwa mendawamkan ayat 255 surah al-Baqarah akan mendatangkan keberakahan, serta mampu mengusir jin dan setan. Berawal dari itu, maka bermunculan kitab-kitab karangan ulama tentang wafaq (azimat, rajah, jimat) termasuk praktik riyadah (ritual) ayat-ayat tertentu dalam Al-Quran seperti Al-Aufaq karya Imam al-Ghazali, Syamsul Ma’arif al-Kubra dan Manbaul Ushul al-Hikmah karya al-Bunni, Mujarrabat karya al-Dairabi, Khazinatul Asrar karya al-Nazili, dan lain sebagainya.

Dari sini nampak bahwa Al-Quran tidak hanya dipahami sebagai tekstual atau firman Allah swt semata lagi suci, melainkan juga berkhasiat sebagai obat penyembuhan, mempermudah hajat, memperlancar segala urusan, perlindungan diri, wirid, dan lain sebagainya sesuai konteks sosial-budaya masyarakat itu sendiri. Wallahu A’lam.

Pembagian Warisan Bagi Anak dan Orang Tua Menurut Al-Qur’an

0
Pembagian Warisan
Pembagian Warisan

Al-Qur’an – bagi umat Islam – adalah kitab suci yang mengatur berbagai seluk beluk kehidupan manusia, mulai dari ketentuan yang bersifat personal hingga yang bersifat komunal. Salah satu permasalahan yang diatur Al-Qur’an ialah tata cara pembagian waris. Kita akan menemukan ada banyak ayat yang berbicara mengenai hal tersebut. Ayat-ayat inilah yang kemudian menjadi objek pembahasan dalam diskursus fikih mengenai pembagian warisan atau sering disebut ilmu faraid.

Ilmu faraid adalah ilmu yang diketahui dengannya siapa yang berhak mendapat waris, siapa yang tidak berhak, dan juga berapa ukuran untuk setiap ahli waris. Pokok bahasan ilmu faraid ialah pembagian warisan yang ditinggalkan seseorang (wafat) kepada mereka yang berhak mendapatkannya serta memproses perhitungan jumlahnya agar diketahui berapa bagian masing-masing berdasarkan tuntunan Al-Qur’an dan hadis (Fath al-Mu’in).

Dengan demikian, ilmu faraid mengatur bagaimana distribusi harta orang yang telah meninggal dunia kepada ahli waris yang berkah. Dalam hal ini, syariat Islam – melalui Al-Qur’an – telah menetapkan ketentuan pembagian warisan secara rincis, sistematis, teratur dan penuh dengan nilai-nilai keadilan. Di dalamnya terdapat hak-hak kepemilikan bagi setiap pihak yang terkait, baik laki-laki maupun perempuan.

Dalam Al-Qur’an, ada tiga ungkapan kata yang merujuk kepada makna warisan, yakni al-irs, al-faraid,  dan tirkah. Masing-masing kata ini diugunakan untuk menjelaskan pengertian yang berbeda. Pertama, al-irs merupakan bentu masdar dari kata warisa-yarisu-irsan yang memiliki makna dasar perpindahan kepemilikan harta atau perpindahan pusaka. Kata ini jua semakna dengan miras, turas, dan tirkah yang berarti warisan.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Hukum Memberikan Zakat Kepada Orang Tua dan Kerabat Dekat

Kedua, faraid adalah bentuk jamak dari kata al-faridah yang bermakna al-mafrudah, yakni sesuatu yang diwajibkan (Fath al-Qarib). Kata faridah sendiri berasal dari farada yang berarti ketetapan atau ketentuan (takdir) Allah swt. Kata ini dan derivasinya disebutkan sebanyak 18 kali dalam Al-Qur’an; 8 kali dalam bentuk fi’il madhi, 1 kali dalam bentuk fi’il mudhari’, dan 9 kali dalam bentuk masdar (Ensiklopedi Hukum Islam).

Ketiga, tirkah berasal dari bahasa Arab taraka yang berarti meninggalkan atau ditinggalkan. Kata ini disebutkan Al-Qur’an dalam surah an-Nisa’ [4] ayat 7, 11, 12, 33 dan 176. Kata taraka pada ayat-ayat tersebut merujuk pada harta warisan yang ditinggalkan oleh seseorang bagi ahli warisnya. Biasanya, harta warisan berupa benda atau sesuatu yang memiliki nilai kebendaan seperti emas, tanah, rumah, dan uang (Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosakata).

Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa konsep warisan terdiri dari tiga macam, yakni al-irs, al-faraid,  dan tirkah. Istilah pertama merujuk sebab terjadinya warisan dengan unsur utamanya adalah perkawinan, hubungan nasab hubungan wala’. Istilah kedua merujuk pada format saham yang akan diterima ahli waris. Dan istilah ketiga merujuk pada kewajiban yang harus ditunaikan sebelum harta warisan dibagikan kepada ahli waris (Kewarisan Dalam Al-Qur’an: Tafsir Tematik).

Surah an-Nisa [4] Ayat 11: Pembagian Warisan Bagi Anak dan Orang Tua

Salah satu ayat Al-Qur’an yang berbicara mengenai pembagian warisan bagi anak dan orang tua adalah surah an-Nisa [4] ayat 11 yang berbunyi:

يُوْصِيْكُمُ اللّٰهُ فِيْٓ اَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِ ۚ فَاِنْ كُنَّ نِسَاۤءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۚ وَاِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ ۗ وَلِاَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ اِنْ كَانَ لَهٗ وَلَدٌ ۚ فَاِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهٗ وَلَدٌ وَّوَرِثَهٗٓ اَبَوٰهُ فَلِاُمِّهِ الثُّلُثُ ۚ فَاِنْ كَانَ لَهٗٓ اِخْوَةٌ فَلِاُمِّهِ السُّدُسُ مِنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُّوْصِيْ بِهَآ اَوْ دَيْنٍ ۗ اٰبَاۤؤُكُمْ وَاَبْنَاۤؤُكُمْۚ لَا تَدْرُوْنَ اَيُّهُمْ اَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيْمًا حَكِيْمًا ١١

Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.” (QS. an-Nisa [4] ayat 11).

Menurut Quraish Shihab, ayat ini merupakan rincian ketetapan Allah swt terkait pembagian warisan bagi anak, baik perempuan maupun laki-laki, dewasa maupun belia. Diterangkan bahwa bagian seorang anak laki-laki, kalau bersamanya ada anak perempuan, dan tidak ada sesuatu yang membuatnya terhalang dari pewarisan seperti beda agama, maka ia berhak mendapatkan harta warisan sebanyak sama dengan bagian dua orang anak perempuan.

Apabila anak laki-laki hanya berdua dengan saudara perempuannya, maka dia mendapatkan dua pertiga dan saudara perempuannya mendapatkan sepertiga. Jika anak yang ditinggalkan semuanya perempuan lebih dari dua dan tidak ada anak lak-laki, maka bagi mereka dua pertiga dari harta warisan yang ditinggalkan. Jika anak perempuan itu seorang diri, tidak ada ahli waris lain bersamanya, maka ia memperoleh setengah dari harta warisan itu (Tafsir al-Misbah [2]: 361).

Pandangan serupa disampaikan oleh al-Sa’adi dalam Taisir al-Karim al-Rahman Fi Tafsir Kalam al-Mannan. Menurutnya, surah an-Nisa [4] ayat 11 merupakan wasiat Allah swt kepada kedua orang tua untuk mengajarkan anak-anaknya tentang ketakwaan dan bahwa anak laki-laki mendapatkan bagian harta warisan sebanyak dua bagian anak perempuan jika tidak ada pewaris lain selain dirinya.

Menurut sebagian ulama, perbedaan porsi dalam pembagian harta warisan ini antara laki-laki dan perempuan memiliki alasan tertentu, yakni karena secara umum tanggung jawab anak laki-laki lebih banyak daripada anak perempuan, seperti menafkahi dirinya, anak-anaknya, istrinya, dan kerabat yang berada di bawah tanggungannya. Sedangkan anak perempuan dalam konteks jazirah Arab tidak memiliki tanggung jawab atau kewajiban sedemikian rupa.

Lantas apakah pembagian harta warisan tidak adil bagi perempuan dan Al-Qur’an bias gender? Jawabannya tidak. Pada faktanya Islam – melalui Al-Qur’an –menegaskan posisi tinggi perempuan. Muhammad Sayyid Thanthawi dalam  Tafsir al-Washit menerangkan bahwa sesungguhnya agama Islam telah memuliakan hak perempuan, yaitu dengan memberinya bagian dalam kewarisan. Padahal, pada masa Jahiliyah, perempuan sama sekali tidak mendapatkan hak waris.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Dalil Larangan Riba dan Ancamannya

Kemudian, surah an-Nisa [4] ayat 11 menjelaskan pembagian warisan bagi orang tua atau ibu bapak anak yang meninggal, yakni sebanyak seperenam dari harta yang ditinggalkan jika ia mempunyai anak. Jika orang terebut tidak memiliki anak dan hanya diwarisi oleh ibu-bapaknya, maka ibunya mendapatkan sepertiga dan selebihnya untuk si ayah. Namun, jika ia memiliki saudara, seibu-sebapak atau hanya salah satunya, dan tidak memiliki anak, maka si ibu mendapatkan seperenam dan si ayah mendapatkan sisanya.

Pembagian-pembagian ini dilaksanakan sesudah wasiat yang ditinggalkan almarhum atau almarhumah terpenuhi dan segala hutang-piutangnya telah dilunasi. Pada bagian akhir surah an-Nisa [4] ayat 11 ditegaskan bahwa ini semua merupakan ketetapan dari Allah swt. ini memiliki makna implisit keharusan melaksanakan pembagian berdasarkan ketentuan terebut, karena Allah swt Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana terhadap kehidupan hamba-Nya. Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Al Anfal Ayat 16-17

0
tafsir surah al anfal
tafsir surah al anfal

Tafsir Surah Al Anfal Ayat 16-17 melanjutkan pembicaraan sebelumnya, yakni larangan melarikan diri dari pertempuran. Hal tersebut diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu. Misalnya melarikan diri untuk menyusun strategi yang baru.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al Anfal Ayat 12-15


Mundur untuk menyusun strategi baru yang dimaksud dalam Tafsir Surah Al Anfal Ayat 16-17 ini misalnya untuk memancing musuh agar keluar ke medan laga yang lebih menguntungkan atau menjebak musuh agar dapat dikalahkan.

 Ayat 16

Allah mengancam kaum Muslimin yang melarikan diri dari pertempuran bahwa mereka akan pulang dengan membawa kemurkaan Allah. Kemurkaan Allah itu berupa ancaman yang akan ditimpakan kepada mereka, yaitu mereka akan disiksa dengan neraka Jahannam tempat kediaman yang sangat menakutkan.

Dari ayat ini dapat diambil pengertian bahwa melarikan diri dari peperangan adalah dosa besar. Nabi Muhammad saw bersabda:

اِجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوْبِقَاتِ ) أَيِ الْمُهْلِكَاتِ (، قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَا هُنَّ؟ قَالَ الشِّرْكُ بِاللهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِيْ حَرَّمَ الله ُإِلاَّ بِالْحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ اْليَتِيْمِ وَالتَّوَلِّيْ يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلاَتِ الْمُؤْمِنَاتِ

(رواه البخاري ومسلم عن أبي هريرة)

“Jauhilah olehmu sekalian tujuh perkara yang membinasakan. Mereka bertanya: “Apakah yang tujuh perkara itu ya Rasulullah? Nabi menjawab: “Menyekutukan Allah, melakukan sihir, membunuh seseorang yang Allah haramkan membunuhnya, kecuali ada sebab-sebab yang membolehkan, makan riba, makan harta anak yatim, melarikan diri dari pertempuran (peperangan), dan menuduh berzina wanita mukmin yang baik-baik yang tidak berniat berbuat zina”. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)

Dalam hal ini Allah menjelaskan beberapa pengecualian dari membelakangi musuh dan melarikan diri dari pertempuran, yaitu apabila kaum Muslimin pada saat perang terjadi, mundur untuk mengatur siasat seperti mencari posisi yang lebih menguntungkan dalam pertempuran, memancing musuh agar mengejar keluar medan pertempuran yang lebih strategis sehingga dengan demikian musuh dapat dimusnahkan, atau dengan mengadakan gerak tipu sehingga sasaran tempur menjadi kacau balau, atau membagi pasukan-pasukan untuk menyerang dari segala arah, agar kesatuan musuh dapat dipecah-belah dan sebagainya.

Kaum Muslimin pada saat perang berkobar melarikan diri untuk bergabung dengan kesatuan yang lain agar sasaran tempur lebih kuat atau untuk memperoleh bantuan dari pasukan pada saat musuh dipandang mempunyai pasukan yang lebih kuat.

Ayat 17

Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah memerintahkan Ali bin Abi Talib: Ambilkan segenggam tanah, Ali mengambilnya dan diberikan kepada Rasul lalu dilemparkan kepada orang-orang musyrik, maka tidak seorangpun dari mereka kecuali terkena matanya, maka turunlah ayat ini.

Kemudian Allah memberikan penjelasan mengenai alasan kaum Muslimin dilarang membelakangi musuh yaitu karena kemenangan tidak akan dicapai kaum Muslimin kecuali dengan maju menyerang musuh, melemparkan tombak atau melemparkan kepalan tanah kepada mereka.

Dari kemenangan dan bantuan Allah tersebut dapat dipahami bahwa setiap kali orang Muslimin menancapkan tombak untuk membunuh musuh dan setiap lemparan segenggam tanah dari mereka dijamin akan memenuhi sasaran, karena Allah-lah yang menjamin dan membantu mereka.

Allah berfirman:

قَاتِلُوْهُمْ يُعَذِّبْهُمُ اللّٰهُ بِاَيْدِيْكُمْ وَيُخْزِهِمْ وَيَنْصُرْكُمْ عَلَيْهِمْ وَيَشْفِ صُدُوْرَ قَوْمٍ مُّؤْمِنِيْنَۙ

Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tanganmu dan Dia akan menghina mereka dan menolongmu (dengan kemenangan) atas mereka, serta melegakan hati orang-orang yang  beriman. (at-Taubah/9: 14)


Baca juga: Ayat-Ayat Jihad dalam Al-Quran: Klasifikasi dan Kontekstualisasinya Di Era Kekinian


Di samping itu keadaan yang menguntungkan bagi kaum Muslimin ialah keyakinan bahwa perjuangan mereka akan menang, dan Allah akan membantu mereka. Sedangkan orang kafir tujuannya hanyalah untuk memperoleh kepuasan hidup di dunia.

Allah berfirman:

وَلَا تَهِنُوْا فِى ابْتِغَاۤءِ الْقَوْمِ ۗ اِنْ تَكُوْنُوْا تَأْلَمُوْنَ فَاِنَّهُمْ يَأْلَمُوْنَ كَمَا تَأْلَمُوْنَ ۚوَتَرْجُوْنَ مِنَ اللّٰهِ مَا لَا يَرْجُوْنَ ۗ

“Dan janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuh mu). Jika kamu menderita kesakitan, maka ketahuilah mereka pun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu rasakan, sedang kamu masih dapat mengharapkan dari Allah apa yang tidak dapat mereka harapkan”. (an-Nisa’/4: 104)

Firman Allah :

كَمْ مِّنْ فِئَةٍ قَلِيْلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيْرَةً ۢبِاِذْنِ اللّٰهِ ۗ

“Betapa banyak kelompok kecil mengalahkan kelompok besar dengan izin Allah.” (al-Baqarah/2: 249)

Allah menerangkan bahwa segala macam bantuan yang diberikan kepada kaum Muslimin dalam Perang Badar itu adalah merupakan alasan yang kuat terhadap larangan Allah kepada kaum Muslimin, lari dari pertempuran, dan merupakan anugerah kemenangan yang diberikan Allah kepada orang-orang mukmin, yaitu kemenangan dan harta rampasan yang banyak.

Di akhir ayat Allah menegaskan bahwa Allah Maha Mendengar segala permintaan hamba-Nya yang betul-betul menjalankan perintah serta menjauhi larangan-Nya lagi Maha Mengetahui akan segala macam bisikan hati para hamba-Nya dan mengetahui siapakah di antara hamba-Nya yang pantas mendapat kemenangan dan siapa pula yang pantas menderita kekalahan.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Anfal Ayat 18-20


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Al Anfal Ayat 12-15

0
tafsir surah al anfal
tafsir surah al anfal

Tafsir Surah Al Anfal Ayat 12-15 kembali berbicara mengenai pertolongan Allah dalam perang Badar yang berupa 1000 Malaikat. Selain untuk menambah pasukan umat Islam, adanya 1000 malaikat itu juga untuk menekaى psikologis dari orang kafir.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al Anfal Ayat 11


Selain itu Tafsir Surah Al Anfal Ayat 12-15 ini juga berbicara mengenai pelarangan menjadi pengecut. Umat muslim dilarang untuk melarikan diri dari peperangan karena takut.

Ayat 12

Dalam ayat ini Allah mengingatkan kaum Muslimin kepada pertolongan-Nya, yang lain lagi dalam Perang Badar, yaitu pada saat Allah swt mewahyukan kepada para malaikat untuk memberikan bantuan kepada kaum Muslimin.

Malaikat-malaikat diperintahkan Allah agar menyertai kaum Muslimin untuk sewaktu-waktu dapat memberikan bantuan.

Bantuan itu adalah memantapkan hati kaum Muslimin dalam pertempuran. Dan meyakinkan mereka agar Allah menciptakan ketakutan di dalam hati orang-orang kafir, lantaran mereka melihat jumlah malaikat yang menyertai tentara Islam itu.

Dengan demikian kaum Muslimin dapat menguasai pertempuran, mereka dapat maju dengan tangkas dan dengan mudah pula mereka mematahkan serangan musuh.

Ayat 13

Allah menerangkan sebab-sebab kemenangan kaum Muslimin dan kekalahan kaum musyrikin, yaitu karena bantuan Allah yang diberikan kepada kaum Muslimin dalam menghadapi kaum musyrikin dan perjuangan mereka dilandasi kebenaran, yaitu menegakkan agama tauhid.

Sedang kaum musyrikin menderita kekalahan karena mereka itu memusuhi Allah dan Rasul-Nya dan perjuangan mereka dilandasi kebatilan yaitu perjuangan-perjuangan mempertahankan berhala.

Allah swt memberikan ancaman keras kepada siapa saja yang menentang Allah dan Rasul-Nya, baik menantang hukum-hukumnya atau mengingkari nikmat yang diberikan kepada mereka, bahwa Allah akan memberikan siksaan kepada mereka. Permusuhan orang-orang musyrikin kepada Allah dan Rasul-Nya berupa tantangan mereka terhadap seruan Rasul pada saat menyampaikan dakwah Islamiyah.

Pada waktu itu Rasulullah bukan hanya didustakan dan dihina, bahkan dia diusir dari negerinya sehingga beliau hijrah ke Medinah. Sedang mereka berpegang teguh kepada agama nenek moyang mereka, yaitu agama syirik dan pemujaan berhala.

Setelah Nabi Muhammad saw berada di Medinah bersama para sahabatnya mereka berusaha melenyapkan kaum Muslimin dari muka bumi dan melenyapkan ajaran Islam. Maka pantaslah mereka diberi siksaan yang keras yaitu kekalahan mereka dalam Perang Badar dan siksaan Allah yang akan ditimpakan kepada mereka yaitu siksaan api neraka di akhirat nanti.


Baca juga: Ashabul Kahfi: Representasi Perjuangan Pemuda dalam Al-Quran


Ayat 14

Allah swt menegaskan ancamannya kepada orang-orang kafir bahwa hukuman dunia yang ditimpakan atas mereka adalah hukuman yang harus dirasakan sebagai imbalan keingkaran mereka terhadap hukum-hukum dan nikmat Allah.

Di samping itu Allah menegaskan pula bahwa bagi mereka ada lagi siksaan yang paling pedih dirasakan yaitu siksaan api neraka yang akan ditimpakan kepada mereka di akhirat.

Ayat 15

Allah menyeru orang-orang beriman bahwa apabila berhadapan dengan orang-orang kafir yang sedang datang menyerang, kaum Muslimin dilarang lari dari pertempuran.

Orang-orang kafir itu bergerak dari Mekah dengan membawa jumlah pasukan yang banyak. Mereka sengaja menemui kaum Muslimin yang sudah ada di Badar. Mereka sudah mengetahui rencana kaum Muslimin yang akan menghadang kafilah yang dipimpin Abu Sufyan dengan alasan melindungi perdagangan mereka.

Mereka bergerak dari Mekah, padahal sebenarnya mereka berniat untuk memusnahkan kaum Muslimin.

Itulah sebabnya, Allah swt melarang kaum Muslimin membelakangi mereka. Lebih-lebih melarikan diri dari pertempuran melawan mereka, meskipun mereka membawa bala tentara yang cukup banyak dan peralatan perang yang lengkap.

Yang dilarang adalah melarikan diri dari pertempuran, tanpa alasan yang dibenarkan karena takut menghadapi musuh. Sedangkan mundur untuk mengatur siasat, bukan termasuk dalam larangan yang dikandung ayat ini.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Anfal Ayat 16-17


(Tafsir Kemenag)