Beranda blog Halaman 378

Tafsir Sufistik: Kenali Dua Golongan Yang Mempengaruhi Kendali Manusia

0
Kenali Dua Golongan Yang Mempengaruhi Kendali Manusia
Kenali Dua Golongan Yang Mempengaruhi Kendali Manusia

Rahasia dibalik teks al-Quran bagi kalangan sufi –ahli tasawuf- nampaknya tidak akan pernah pudar, dan akan terus melahirkan makna bathiniyah untuk menciptakan jiwa manusia yang suci. Untuk mencapai jiwa yang suci, manusia harus mengetahui elemen yang ada di dalam dirinya, di antaranya, terdapat dua golongan yang mempengaruhi setiap insan. Namun, dua golongan atau pasukan tersebut bersifat kontradiktif sehingga dampaknya berbeda, satu pasukan mengantarkan manusia ke dalam lautan kebahagiaan, sedangkan pasukan yang lain mengantarkan manusia ke jurang kecelakaan.

Tafsir yang beraliran sufistik mengontruksi makna bathiniah tersebut sebagaimana yang ada dalam Q.S Ali Imran [3]: 12-13.

قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا سَتُغْلَبُونَ وَتُحْشَرُونَ إِلَى جَهَنَّمَ وَبِئْسَ الْمِهَادُ (12) قَدْ كَانَ لَكُمْ آيَةٌ فِي فِئَتَيْنِ الْتَقَتَا فِئَةٌ تُقَاتِلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَأُخْرَى كَافِرَةٌ يَرَوْنَهُمْ مِثْلَيْهِمْ رَأْيَ الْعَيْنِ وَاللَّهُ يُؤَيِّدُ بِنَصْرِهِ مَنْ يَشَاءُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَعِبْرَةً لِأُولِي الْأَبْصَارِ (13)

Katakanlah (hai Muhammad) kepada orang-orang kafir, “Kamu nanti akan dihimpun ke neraka Jahanam, dan itu seburuk-buruk tempat tinggal[12] Sungguh, telah ada tanda bagimu pada dua golongan yang berhadap-hadapan. Satu golongan berperang di jalan Allah dan yang lain (golongan) kafir yang melihat dengan mata kepala, bahwa mereka (golongan Muslim) dua kali lipat mereka. Allah menguatkan dengan pertolongan-Nya bagi siapa yang Dia kehendaki. Sungguh, pada ayat demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan (mata hati)[13].

Sebab turun ayat tersebut ialah sebagai jawaban dari komentar orang Yahudi tentang kemenangan Rasulullah dan pengikutnya dalam perang Badar. Pada saat itu, Nabi pulang dari perang Badar, kaum Yahudi sedang berkumpul di pasar Bani Qaynuqa; kemudian Nabi menyeru mereka untuk beriman dan mengikuti langkah Rasulullah, serta mengingatkan akibat tidak taat kepada Allah, sebagaimana apa yang diperoleh (kekalahan) kafir Quraisy di perang Badr.

Baca juga: Menguak Sisi Sains Skenario Perjalanan Isra Mikraj dalam Al-Quran

Akan tetapi, seruan dan ancaman Nabi tidak diindahkan oleh kaum Yahudi bahkan mereka menganggap kekalahan itu disebabkan oleh kurangnya pengetahuan kaum Quraisy tentang perang, sekaligus mereka berkeyakinan tidak akan kalah apabila perang melawan Rasululallah. Dari sikap tersebut turunlah ayat tersebut sebagai jawaban dari keangkuhan kaum Yahudi.

Mengenal Dua Golongan yang Berhadapan

Secara zahir –berdasarkan asbab nuzul- “golongan yang berhadapan” dalam ayat tersebut yaitu antara kaum Muslim dan kafir Quraisy di perang Badr. Perang tersebut dimenangkan oleh kaum Muslim yang secara kuantitas pasukannya di bawah kafir Quraisy; bahkan tidak hanya dalam hal kuantitas, dalam segi persiapan terkait persenjataan dan alat perang kaum Muslim masih kalah.

Pasukan Muslim hanya terdiri dari 313 –atau 314- pasukan, sedangkan dipihak lawan hampir 1000 pasukan. Namun, kemenangan ada di pihak kaum Muslim dengan pertolongan Allah. Imam Ar-Razi dalam mafātīh al-ghaib memberi komentar terkait pertolongan tersebut; bentuk pertolongan Allah kepada kaum Muslim dengan memberikan rasa takut kepada lawan sehingga mereka melihat pasukan Muslim seakan-akan lebih banyak dari mereka. Oleh sebab itu, makna ra’a (ru’yah) “melihat” dalam ayat di atas mengandung makna zan dan husbān “menyangka”. Tafsīr Mafātīh al-Ghaib (7, 157).

Berdasarkan pendapat Ar-Razi di atas, orang yang berpendapat bahwa pasukan Malaikat-lah yang menolongnya atas perintah Allah sehingga pasukan Muslim bertambah banyak adalah lemah; karena yang dimakasud فِي فِئَتَيْنِ (dua golongan) adalah kisah antara kaum Muslim dan kafir Quraisy, sedangkan Malaikat tidak termasuk. Diperkuat dengan melihat asbāb al-nuzūl ayat tersebut.

Alhasil, secara zahir, dua golongan –pasukan- yang berhadapan ialah pasukan kaum Muslim dan pasukan kafir Quraisy. Namun, dikalangan sufi dua pasukan tersebut ditafsirkan melebihi apa yang ditafsirkan oleh kalangan zahir.

Baca juga: Sisi lain dari Isra Mikraj Nabi Muhammad Saw, Tafsir Alternatif Surah Al-Isra ayat 1

Setiap Manusia Memiliki Dua Pasukan

Tidak hanya bentuknya yang sempurna, manusia diciptakan beserta perlengkapan yang ada di dalam dirinya. Perlengkapan tersebut disiapkan oleh Allah untuk menghadapi tugas manusia sebagai hamba-Nya, yaitu beribadah dan menghambakan diri kepada-Nya. Bahkan dapat dijadikan modal bagi seorang hamba ketika akan menuju kepada Tuhannya. Karena seseorang tidak akan menghadap kepada Tuhannya tanpa ada modal kuat dan lengkap.

Disamping berbuat baik kepada sesama, terutama Tuhannya, manusia harus mengenali apa yang ada di dalam dirinya, terutama hati dan nafsu. Karena dua unsur tersebut yang akan menjadi ‘pasukan’ setiap manusia; namun –sebagaimana makna zahir ayat- dua pasukan tersebut bersifat kontradiktif yang berimplikasi pada status akhir manusia, apakah berada di lautan kebahagiaan (Iman dan Islam) atau jatuh ke dalam jurang kecelakaan (tidak beriman).

Oleh karena hati dan nafsu pasti ada di dalam diri manusia, bagi ahli sufi, hal demikian yang menjadi basis terbentuknya “dua pasukan yang ada dalam diri manusia”.

Lebih Dekat Mengenal “Dua Pasukan”

Ibn Ajibah di dalam al-Bahru al-Madīd fī al-Quran al-Majīd (1, 328) dan Syekh Ismail al-Barousawi dalam Rūh al-Bayān (2, 9) telah membahas secara terperinci bagaimana manusia mengenal “dua pasukan” tersebut. Berawal dari perintah Allah, bahwa kejadian yang terkandung dalam dua surat tersebut penuh dengan pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan dan hati, dua tokoh besar sufi tersebut menganalisa kandungan ayat dengan pendekatan sufistiknya. Alhasil, analisa tersebut melahirkan makna “dua pasukan”, yakni جُنْدُ الأَنْوَارِ dan جُنْدُ الأَغْيَارِ.

Pertama, jundu al-anwār “pasukan cahaya”. Yaitu pasukan yang berada di belakang barisan ‘hati’ dan untuk membantunya. Pasukan yang pertama ini bertugas untuk menerangi hati dengan cara mengambil manfaat dari makna yang terkandung dalam nama dan sifat Allah. Tidak sekedar mengetahui dan mengimani banyaknya nama dan sifat Allah, lebih dari itu, manusia harus sanggup memetik buahnya/pelajarannya, tujuannya untuk mengantarkan ruh manusia menuju tempatnya yaitu hadrat al-Asrār.

Baca juga: Masa Mengandung Hingga Persalinan Siti Maryam dalam Al-Quran Surat Maryam Ayat 22-25

Hadrat al-Asrār (حضرة الأسرار) ialah hadirnya segala sesuatu yang tersembunyi sehingga tampak jelas semuanya. Istilah tersebut sering juga diistilahkan dengan hadrat al-Syuhūd (حضرة الشهود), yakni menyaksikan dengan jelas apa yang ia lihat sekaligus mengantarkan hatinya berhadapan dengan Allah swt, seakan-akan ia melihat Allah. Di kalangan sufi (ahli tasawuf) dikenal dengan maqam musyāhadah.

Kedua, jundu al-aghyār “pasukan yang lain”. Maksudnya pasukan yang berlainan dengan fitrah manusia atau yang berada di pihak nafsu, sehingga akan terus menghambakan keinginan –syahwatnya- dan lupa tugas-tugasnya; yang paling parah jiwanya akan gelap karena akhlak tidak baik. Akibatnya, tujuan menghadap Allah tidak tercapai.

Akhirnya, manusia yang bermaksud menghadapkan hatinya kepada Allah akan mengalami perang antara dua pasukan tersebut. Apabila Allah menghendaki kebahagiaan seorang hambah, maka Allah akan memberi kekuatan untuk jundu al-anwār dan melemahkan jundu al-aghyār, sehingga kemenangan ada dipihak jundu al-anwār. Karena itu وَاللَّهُ يُؤَيِّدُ بِنَصْرِهِ مَنْ يَشَاءُ. Wallahu A’lam.

Keterkaitan Al-Quran, Kitab-Kitab Terdahulu dan Keragaman Syariat

0
keterkaitan Al-Quran, kitab-kitab terdahulu dan keragaman syariat
keterkaitan Al-Quran, kitab-kitab terdahulu dan keragaman syariat

Keragaman syariat sebenarnya mempunyai keterkaitan dengan Al-Quran dan kitab-kitab terdahulu. Bagaimana tiga hal ini bisa saling berkaitan? Mengenai keragaman syariat, Al-Quran sedari awal telah menyinggung hal tersebut dalam ayatnya, ayat 48 surah Al-Maidah. Keragaman syariat ini ada kaitannya dengan kandungan kitab-kitab terdahulu dan tentunya Al-Quran. Bagaimana penjelasan lengkapnya?

Disebutkan dalam QS. Al-Hujarat [49]: 13 tentang penciptaan manusia yang beragam, mulai dari bermacam suku, bangsa dan yang lainnya. Tujuannya supaya mereka saling menghargai dan mengenal satu sama lain. Jika hal ini dilanjutkan, maka ini juga termasuk keragaman syariat yang dibawa oleh tiap Rasul Allah. Tujuan keragaman ini tiada lain yaitu agar bisa saling mengenal.

Firman Allah yang lain yang lebih spesifik menyinggung tentang keragaman agama yaitu di surah Al-Maidah ayat 48.

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ ۖ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ ۚ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا ۚ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَٰكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ ۖ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ ۚ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ

“Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu. Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah swt turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu. Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.” (Q.S. al-Maidah [5]: 48)

Baca Juga: Makna Kebebasan Beragama dan Toleransi dalam Al-Quran

Surah Al-Maidah [5]: 48 ini turun karena ada sebuah kejadian. Ketika itu para ahli kitab meminta keputusan Rasulullah Saw. Rasulullah Saw memberi keputusan untuk mengembalikan urusan mereka tersebut kepada kitab mereka masing-masing. Kemudian turunlah ayat ini yang mengatakan bahwa segala keputusan harus berdasarkan Al-Quran, termasuk juga untuk para ahli kitab, karena Al-Quran sudah mengakomodir kitab-kitab sebelumnya.

Intisari dari kandungan surat di atas adalah penjelasan bahwa Allah swt menurunkan kitab Allah yang terakhir yang diturunkan kepada penutup para Nabi, yaitu kitab Al-Quran yang diturunkan kepada NabiNya, Muhammad Saw. Sebagai kitab Allah yang terakhir sudah semestinya dapat mengakomodir kekurangan kitab-kitab sebelumnya. Al-Quran adalah penyempurna, Al-Quran juga membenarkan kitab-kitab sebelumnya.

Dalam tulisan Sulaiman Kurdi dkk, yang bertajuk Konsep Taat Kepada Pimpinan (Ulil Amri) di dalam Surah An-Nisa: 59, al-Anfal: 46 dan al-Maidah: 48-49 (Analisis Tafsir Al-Qurthubi, Al-Misbah, dan Ibnu Katsir), dijelaskan tentang kandungan ayat tersebut, yaitu menjelaskan bahwa Al-Quran diturunkan untuk membenarkan segala macam kandungan yang terhimpun dalam kitab pendahulu kepada Nabi sebelumnya.

Baca Juga: Inilah Rambu-Rambu Toleransi Beragama Menurut Al-Quran: Perbedaan Adalah Keniscayaan

Begitu pun dalam Tafsir Ibn Katsir, ayat di atas yang membenarkan eksistensi kitab-kitab terdahulu, di dalam kitab-kitab terdahulu itu juga disampaikan pujian serta penyebutan kitab terakhir yang akan diwahyukan kepada hambaNya yang bernama Muhammad saw. Maka dari itu, hadirnya Al-Quran melalui Muhammad saw, selaras dengan kabar dalam kitab sebelumnya.

Kitab-kitab terdahulu yang dimaksud adalah Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa As., kitab Zabur yang diturunkan kepada Nabi Daud As., lanjut kitab Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa As.

Selain tentang fungsi Al-Quran, Fahruddin Ar-Razi menafsirkan kalam Allah Swt. di atas sebagai petunjuk bahwa manusia oleh Allah tidak diciptakan dan dihimpun dalam satu syariat, tapi Allah Swt, melalui para utusan dan kitab-kitab yang diturunkan kepada mereka memunculkan beragam bagai aturan.

At-Thabari menjelaskan, kitab Taurat membawa syariat sendiri, kitab Injil mengandung syariat sendiri, Injil juga begitu, dan Al-Quran juga sama. Inilah kemudian kaitan antara berbagai kitab dan perbedaan syariat dan aturan tadi. Namun demikian, menurut At-Thabari, agamanya tetap satu, yaitu tauhid, mengesakan Allah.

Dengan demikian, Al-Quran mengakui eksistensi kitab terdahulu dan menghargai keragaman syariat yang dibawa oleh berbagai kitab dan umat tersebut. Allah sudah membekali manusia dengan akal pikiran yang dengannya diharapkan dapat memilih dan memilah antara yang baik dan buruk dari berbagai syariat tersebut.

Sesuai dengan redaksi ayat, kita manusia dipersilahkan untuk berlomba-lomba dalam hal kebaikan, karena melakukan kebaikan itu tidak harus lahir dari kesamaan keyakinan dan aturan, diharapkan setiap penganut kitab dan aturan tersebut dapat hidup berdampingan, aman, harmoni, damai, sejahtera, membumikan kasih sayang Allah Swt. dan tidak keluar dari koridor ketetapan Allah Swt. Wallahu a’lam

Tafsir Surah Al Anfal Ayat 11

0
tafsir surah al anfal
tafsir surah al anfal

Tafsir Surah Al Anfal Ayat 11 masih berbicara mengenai pertolongan Allah terhadap umat muslim dalam peperangan setelah sebelumnya telah dijelaskan mengenai bantuan berupa 1000 malaikat.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al Anfal Ayat 9-10


Bantuan lain yang dijelaskan dalam Tafsir Surah Al Anfal Ayat 11 ini berupa bantuan psikologis. Dalam peperangan yang tidak seimbang, pihak yang lebih sedikit kuantitasnya tentu akan merasa gentar. Maka dari itu Allah datangkan kantuk dan hujan bagi umat muslim.

Ayat 11

Allah menjelaskan kepada kaum Muslimin bahwa di samping Allah memberikan bantuan berupa malaikat yang datang secara berturut-turut, juga memberikan bantuan yang lain berupa situasi dan kondisi yang menguntungkan bagi kaum Muslimin.

Seperti pertolongan Allah pada saat kaum Muslimin berada dalam ketakutan menghadapi musuh, mereka diselimuti rasa kantuk, sehingga mereka tidak dapat merasakan ketakutan lagi.

Ketakutan disebabkan mereka melihat jumlah bala tentara musuh yang banyak dan persiapannya yang lengkap. Maka dengan adanya rasa kantuk itu, rasa takut tidak lagi mereka rasakan dan mereka kembali menjadi tenteram.

Untuk memberikan gambaran yang lebih luas mengenai mengantuknya orang-orang Muslimin saat berperang, dapatlah diikuti hadis yang diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan al-Baihaqi dari Ali berkata:

مَاكَانَ فِيْنَا فَارِسٌ يَوْمَ بَدْرٍ غَيْرَ الْمِقْدَادِ وَكُلُّنَا نَائِمُوْنَ إِلاَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّيْ تَحْتَ شَجَرَةٍ حَتَّى أَصْبَحَ

(رواه أبو يعلى والبيهقي عن علي)

“Kami tidak mempunyai bala tentara berkuda pada Perang Badar kecuali Al-Miqdad. Semua kami tertidur, kecuali Rasulullah saw, beliau salat di bawah pohon sampai pagi hari”. (Riwayat Abu Ya’la dan al-Baihaqi dari ‘Ali)

Menurut bunyi ayat yang dapat dipahami ialah, bahwa datangnya rasa kantuk itu terjadi pada saat pertempuran berlangsung. Rasa kantuk itu menghilangkan rasa takut dan gentar. Dengan sendirinya hilanglah perasaan takut menghadapi bahaya.

Hal ini sama dengan peristiwa yang terjadi pada mereka sewaktu berlangsungnya perang Uhud, seperti tersebut dalam firman Allah:

ثُمَّ اَنْزَلَ عَلَيْكُمْ مِّنْۢ بَعْدِ الْغَمِّ اَمَنَةً نُّعَاسًا يَّغْشٰى طَۤاىِٕفَةً مِّنْكُمْ ۙ

“Kemudian setelah kamu ditimpa kesedihan, Dia menurunkan rasa aman kepadamu, (berupa) kantuk yang meliputi segolongan dari kamu.” (Ali Imran/3: 154)

Sesudah itu Allah swt menyebutkan pertolongan-Nya yang lain kepada kaum Muslimin, yaitu pada saat terjadinya Perang Badar, Allah swt menurunkan hujan kepada kaum Muslimin dari langit, agar mereka dapat mensucikan diri dengan hujan itu.


Baca juga: Menyeimbangkan Urusan Dunia dan Akhirat, Perhatikan Semangat Doa Al-Quran Berikut!


Gambaran tentang maksud Allah swt menurunkan hujan kepada kaum Muslimin, dan apa  hikmatnya dapat dilihat dari hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Mun§ir melalui Ibnu Jarir dari Ibnu Abbas:

إِنَّ الْمُشْرِكِيْنَ غَلَبُوا الْمُسْلِمِيْنَ فِيْ أَوَّلِ أَمْرِهِمْ عَلَى الْمَاءِ فَظَمِئَ الْمُسْلِمُوْنَ وَصَلُّوْا مُجْنِبِيْنَ مُحْدِِثِيْنَ. وَكَانَ بَيْنَهُمْ رِمَالٌ فَأَلْقَى الشَّيْطَانُ فِيْ قُلُوْبِهِمُ الْحُزْنَ وَقَالَ أَتَزْعُمُوْنَ أَنَّ فِيْكُمْ نَبِيًّا وَأَنَّكُمْ أَوْلِيَاءُ اللهِ وَتُصَلُّوْنَ مُجْنِبِيْنَ مُحْدِثِيْنَ؟ فَأَنْزَلَ الله مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَسَالَ عَلَيْهِمُ الْوَادِيْ فَشَرِبَ الْمُسْلِمُوْنَ وَتَطَهَّرُوْا وَثَبَتَتْ أَقْدَامُهُمْ وَذَهَبَتْ وَسْوَسَتُهُمْ

(رواه ابن منذر عن ابن عبّاس)

“Orang-orang musyrikin di permulaan peperangan telah menguasai sumber-sumber air mendahului kaum Muslimin, sehingga orang-orang Islam menjadi kehausan. Mereka salat dalam keadaan junub dan berhadas (tanpa bersuci dengan air). Sedang di sekitar mereka hanya pasir belaka. Kemudian mereka digoda oleh setan, seolah-olah setan itu berkata;

“Apakah kamu mengira bahwa ada Nabi di antara kamu dan kamu adalah wali-wali Allah. Sedangkan kamu salat dalam keadaan junub dan berhadas? Karenanya Allah swt menurunkan hujan dari langit, sehingga mengalirlah air di lembah itu. Maka kaum Muslimin meminum air dan bersuci dengannya dan kuatlah hati mereka, serta hilanglah was-was mereka.” (Riwayat Ibnu Munzir dari Ibnu ‘Abbas)

Allah juga menjelaskan bahwa Dia menurunkan hujan dari langit untuk menghilangkan gangguan-gangguan setan dan untuk menghilangkan rasa takut dan was-was, lantaran kaum Muslimin pada waktu itu berada dalam posisi yang kurang menguntungkan.

Mereka berada di daerah padang pasir yang tidak strategis dijadikan kubu pertahanan, karena sukar untuk menggerakkan kaki apalagi untuk mengadakan penyerangan, bahkan di daerah tersebut tidak ada sumber air.

Dari segi lain Allah menjelaskan bahwa dengan turunnya hujan agar kaki mereka mudah untuk berjalan di atas padang pasir, sehingga mereka mendapat kemantapan dan kepercayaan penuh agar dapat bertahan dan menyerang musuh serta dapat mempersatukan daya tempur mereka.

Dengan demikian tujuan Allah menurunkan hujan dari langit dalam Perang Badar itu ialah:

  1. Untuk memberikan kemungkinan kepada kaum Muslimin agar mereka dapat bersuci dari junub dan hadas sehingga mereka dapat beribadah dalam keadaan suci lahir batin.
  2. Untuk menghilangkan was-was yang dibisikkan setan, dan menghilangkan rasa takut akibat tidak adanya persediaan air.
  3. Agar kaum Muslimin bebas untuk mengatur gerak dalam pertempuran, karena mereka tidak lagi terganggu oleh pasir yang lunak yang mengganggu gerakan kaki.

Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Anfal Ayat 12-15


 (Tafsir Kemenag)

Mengenal Ma’na Cum Maghza Sebagai Pendekatan Tafsir Ala Sahiron Syamsuddin

0
Sahiron Syamsuddin
ma’na cum maghza ala Sahiron Syamsuddin

Dewasa ini, tren pendekatan tafsir al-Qur’an telah banyak ditawarkan oleh para cendekiawan, salah satunya adalah ma’na cum maghza. Pendekatan ini dipopulerkan oleh Sahiron Syamdudin, tokoh heremeneutik Indonesia. Ma’na cum maghza merupakan hasil racikan dari beberapa pemikiran mufasir modern kontemporer sebelumya. Dalam tulisannya Sahiron mengatakan jika pendekatan ini adalah simplifikasi serta pengembangan dari pemikiran Fazlur Rahman, Nasr Hamid Abu Zayd, Abdullah Saeed dan Muhammad al-Ṭalbi (Sahiron: 2020). Hal tersebut dapat terlihat dari penggunaan istilah maghza yang mencuplik pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd.

Sahiron Syamsuddin menuturkan ma’na cum maghza ialah suatu pendekatan di mana seorang mufassir berupaya menyelisik makna dan pesan utama saat al-Qur’an diturunkan, kemudian mengembangkan pesan utama tersebut untuk konteks masa kini. Secara sederhana, pendekatan ini berupaya mendialogkan teks dan konteks. Sebagaimana kita ketahui hakikat suatu tafsir adalah menjembatani antara teks yang ‘bisu’ dengan realitas yang terus berkembang tanpa batas.

Berdasarkan pengertian di atas, dapat kita pahami bahwa tugas pertama seorang mufassir adalah memahami maksud makna suatu ayat dan pesan di dalamnya yang ‘diinginkan’ oleh Allah atau setidaknya yang dipahami oleh bangsa Arab sebagai audiens pertama yang mendapatkan pesan tersebut. Setelah itu, kreativitas intelektual seorang mufassir dituntut untuk mampu mendialogkannya dengan kondisi saat ia menafsirkan.

Untuk mencapai maksud tersebut, dalam buku Pendekatan Ma’na Cum Maghza Atas Al-Qur’an dan Hadis: Menjawab Problematika Sosial Keagamaan di Era Kontemporer Sahiron Syamsuddin mengenalkan tiga aspek yang harus diperhatikan oleh setiap mufassir yang menggunakan pendekatannya. Di antaranya adalah al-ma’na al-tarikhiy (makna historis), al-maghza al-tarikhi (siginifikansi fenomenal historis), al-maghza al-mutaharrik (signifikansi fenomenal dinamis). Ketiga aspek ini masing-masing memiliki tahapan metodis untuk menyingkap maksud yang ditujunya. Berikut penjelasan Sahiron untuk menyingkap ketiga hal tersebut.

Pada aspek al-ma’na al-tarikhiy dan al-maghza al-tarikhiy, langkah pertama yang harus dilakukan mufassir yaitu menganalisa aspek kebahasaan teks al-Qur’an. Mulai dari ma’na kosakata hingga struktur kaidah bahasa yang dipahami dan digunakan oleh bangsa Arab abad ke-7 M.

Kedua, untuk mempertajam analisanya, seorang mufasir melakukan intratekatualitas, yaitu membandingkan penggunaan kata yang sedang dikaji dengan ayat senada lainnya.

Ketiga, seorang mufassir melakukan intertekstualias. Ia berupaya mengambil informasi dari sumber di luar al-Qur’an, seperti hadis, syair Arab, israiliyat atau teks lainnya yang eksis pada saat proses pewahyuan.

Keempat, seorang mufassir memperhatikan konteks, situasi kondisi yang terjadi ketika al-Qur’an diturunkan. Pengetahuan asbab nuzul dan sejarah Arab sangat dibutuhkan untuk tahap ini.

Kelima, mufassir mencoba mengungkap pesan utama (maqsad atau maghza ayat) yang terkandung di dalamnya berdasarkan analisa bahasa dan konteks sebelumnya.

Kemudian untuk menyingkap aspek al-maghza al-mutaharrik atau pesan yang selaras dengan konteks masa kini, seorang mufasir perlu menempuh tahapan berikut.

Pertama, seorang mufassir menentukan kategori ayat yang sedang ditafsirkannya masuk dalam ranah tauhid, hukum atau kisah.

Kedua, seorang mufassir berupaya mengembangkan definisi pada ma’na tarikhiy. Selain itu, ia berupaya mengembangkan cakupan pesan utama atau al-maghza al-tarikhiy demi kebutuhan masa kini. Berkembangnya nilai sosial yang terjadi di masyarakat saat kini menjadi perhatian utama mufassir pada tahapan ini.

Ketiga, seorang mufassir diharapkan jeli mengungkap makna simbolik suatu ayat yang ditafsirkan.

Keempat, mufassir mengintegrasikan penafsirannya dengan ilmu bantu yang selaras dengan tema ayat agar mendapatkan perspektif yang lebih luas.

Tawaran pendekatan tafsir dengan langkah-langkah yang disebutkan sebelumnya memperlihatkan konstruksi penafsiran yang cukup sistematis. Berangkat dari pemahaman teks yang selanjutnya disinergikan dengan pemahaman konteks dan ragam keilmuan tertentu sehingga bermuara pada penafsiran yang lebih kontekstual dan komprehensif serta senafas dengan zamannya.

Dengan ma’na cum maghza, mufassir terkesan tidak abai dan mengapresiasi terhadap khazanah keilmuan tafsir klasik pada satu sisi, dan tidak menutup diri dari perkembangan pengetahuan di sisi lain. Sahiron Syamsuddin berupaya menguak aspek ma fi al-Qur’an serta ma haula al-Qur’an yang menjadi kebutuhan penting untuk memperoleh pemahaman ayat yang hendak ditafsirkan.

Namun, tidak dipungkiri pendekatan tafsir al-Qur’an ini bisa jadi ditemukan celah kelebihan dan kekurangannya. Hal tersebut merupakan sesuatu yang lazim dalam diskursus ilmu pengetahuan, wa bil khusus ranah ilmu tafsir yang selalu mengalami perkembangan dan kompleksitas dalam penerapannya.

Meski demikian, ma’na cum maghza paling tidak membantu para mufassir terhindar dari pemahaman yang literal dan mampu memberi kontribusi solutif terhadap permasalahan kontemporer berasaskan ajaran al-Qur’an. Sehingga spirit al-Qur’an sebagai kitab salih li kulli zaman wa makan dapat dirasakan oleh insan sepanjang masa. Wa Allahu a’lam.

Menguak Sisi Sains Skenario Perjalanan Isra Mikraj dalam Al-Quran

0
perjalanan isra mikraj
perjalanan isra mikraj

Setiap tanggal 27 Rajab, agama Islam memperingati perjalanan Isra Mikraj. Hari tersebut dikenang sebagai peristiwa bersejarah sekitar 1400 tahun yang lalu mengenai perjalanan Rasulullah Saw dan malaikat Jibril dari Masjidil Haram, Makkah menuju Masjid al-Aqsa di Baitul Maqdis, Palestina. Kemudian Rasullah melanjutkan perjalannanya menuju langit Sidratul Muntaha dengan menunggangi Buraq hanya dalam kurun waktu satu malam.

Banyak pendangan yang melatarbelakangi peristiwa ini, dikatakan dalam kitab Durratun Nasihin karya Syekh Ustman al Khuwairy bahwa di antara sebab terjadinya peristiwa ini ialah karena doa langit kepada Allah atas kecemburuannya terhadap bumi, lantaran pemimpin para Rasul dan penutup para Nabi berada di atasnya. Namun, jika dikaitkan dengan persoalan ilmu sains, mustahilkah peristiwa ini terjadi ? Benarkah klaim yang menganggap Al-Quran dan sains selalu berujung kontroversial ? Berikut penjelasannya.

Hakikatnya, setiap peristiwa yang diabadikan dalam firman-Nya merupakan suatu mukjizat, tidak terkecuali peristiwa maha hebat perjalanan Rasulullah Saw. mengililingi seantero jagat raya ini, yang di abadikan dalam QS. Al Isra’ ayat 1 dan diperjelas dalam QS. An-Najm ayat 13-18 yang kemudian melahirkan pandangan bahwa Rasulullah Saw. melaksanakan perjalanan bersama dengan jasadnya.

سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ

“Mahasuci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.”

Sedang QS. An-Najm ayat 13-18 seperti berikut,

وَلَقَدْ رَاٰهُ نَزْلَةً اُخْرٰىۙ (13 عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهٰى (14 عِنْدَهَا جَنَّةُ الْمَأْوٰىۗ  (15 اِذْ يَغْشَى السِّدْرَةَ مَا يَغْشٰىۙ  ( 16مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغٰى (17  لَقَدْ رَاٰى مِنْ اٰيٰتِ رَبِّهِ الْكُبْرٰى (18

Dan sungguh, dia (Muhammad) telah melihatnya (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (13) (yaitu) di Sidratul Muntaha, (14) di dekatnya ada surga tempat tinggal, (15) (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya, (16) penglihatannya (Muhammad) tidak menyimpang dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. (17) Sungguh, dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kebesaran) Tuhannya yang paling besar. (18)

Baca Juga: Peristiwa Isra Mikraj Nabi Muhammad Saw Menurut Ulama Tafsir

Perjalanan isra mikraj dalam tinjauan ilmu fisika

Di tengah derasnya perkembangan keilmuan yang semakin pesat ini, perjalanan Isra Mikraj yang ditempuh dalam satu malam dapat dibenarkan dalam ilmu sains fisika. Hal ini merujuk pada temuan pemikiran Albert Einstein mengenai persamaan masa dan energi. Pada abad 19, Albert mengungkapkan bahwa kecepatan tertinggi di alam semesta ialah kecepatan cahaya.

Pada konteks ini, malaikat Jibril merupakan makhluk cahaya (energi cahaya) yang menampilkan dirinya dengan bertransformasi menjadi makhluk (yang memiliki massa). Demikian dalam perjalanan Isra Mikraj ini, Rasulullah Saw. bertransormasi dari wujud yang memiliki massa menjadi makluk berenergi cahaya. Sehingga, hal ini memenuhi teori modern yang bernama  Relativitas, di mana sesuatu yang bergerak menggunakan kecepatan cahaya dapat bertambah masanya.

Menurut teori ini, makhluk atau benda (massa) akan berubah jika kecepatannya berubah. Namun, jika kecepatannya sudah setara dengan kecepatan cahaya, massanya tidak akan berubah meski wujudnya bertranformasi dari cahaya menjadi massa. Begitupun ketika suatu makhluk yang bergerak dengan kecepatan cahaya jika bertransformasi menjadi makhluk (massa) maka kecepatannya akan tetap setara dengan kecepatan cahaya.

Artinya, Rasulullah melaksanakan perjalanan Isra Mikraj bersama Malaikat Jibril menunggani buraq dengan kecepatan melebihi kecepatan cahaya yakni sekitar 300.000 km per detik. Pertanyaan lainnya, bagaimana bisa Nabi mengalami kecepatan cahaya sedangkan Nabi bukanlah makhluk cahaya ?

Nabi merupakan makluk yang berbobot, terdiri dari banyak sel-sel, jaringan, sistem organ yang tersusun dengan energi ikat, dengan percepatan beberapa kali gravitasi saja dapat menyebabkan manusia meninggal dunia. Berbeda dengan buraq dan malaikat Jibril yang tubuhnya tersusun dari unsur cahaya sehingga mudah melakukannya.

Baca Juga: Sisi lain dari Isra Mikraj Nabi Muhammad Saw, Tafsir Alternatif Surah Al-Isra ayat 1

Kendati demikian, menurut Ridwan Abdullah Sani dalam Sains Berbasis Al-Quran, hal ini dapat terjawab oleh penjelasan reaksi annihilasi, yang merupakan suatu proses rekontruksi sebuah materi menjadi sebuah gelombang.  Berdasarkan pembuktian labrotarium nuklir, ini menjadi mungkin terjadi, karena dalam setiap zat (materi) terdapat anti materi yang jika direaksikan keduanya akan berubah menjadi seberkas sinar gama atau cahaya.

Dapat dipastikan hal ini terjadi sesaat setelah Jibril membersihkan hati Nabi Muhammad Saw. dengan air zam-zam. Dikatakan demikian karena dalam sains biologi, hati merupakan pusat sistem energi pada manusia. Dengan kehendak Allah, Jibril diperintahkan untuk memanipulasi sistem enegri yang ada dalam tubuh Rasulullah Saw., sehingga tubuh material dapat diubah menjadi cahaya dengan reaksi annihilasi.

Bersadarkan  temuan-temuan di atas, dapat diketahui bahwa fenomena perpindahan lokasi, dengan perjalanan deminsional telah ditemukan secara ilmiah pada masa ini. Meski perjalanan Isra Mikraj tidak bisa dijelaskan secara detail dan tuntas, namun penjelasan ilmiah ini cukup memadai untuk memberikan pemaknaan bahwa Al-Quran memuat pesan-pesan ilmiah yang tersirat didalamnya. selebihnya, temuan-temuan dan penjelasan ilmiah yang dipelajari merupakan media yang akan menambah keyakinan kita terhadap kekuasaan dan mukjizat Allah. wallahu a’lam bisshowab

Tafsir Surah Al Anfal Ayat 9-10

0
tafsir surah al anfal
tafsir surah al anfal

Tafsir Surah Al Anfal Ayat 9-10 berbicara mengenai pertolongan Allah kepada umat muslim dalam peperangan. Allah memberikan pertolongan berupa 3000 malaikat. Secara matematis tentara muslim yang berjumlah 313 melawan 1000 tentara musyrik.


Baca juga: Tafsir Surah Al Anfal Ayat 6-8


Maksud dari pertolongan yang termaktub dalam Tafsir Surah Al Anfal Ayat 9-10 adalah bahwa kemenangan itu berasal dari Allah. Karena Allah sendiri yang berjanji. Tugas umat muslim hanyalah taat dan berusaha. Pada akhirnya pertolongan akan datang sebagai kabar gembira.

Ayat 9

Allah mengingatkan kaum Muslimin akan pertolongan Allah yang diberikan kepada mereka pada saat mereka menghadapi kesulitan dan berusaha untuk mengatasi kesulitan-kesulitan itu dengan jalan berdoa kepada Allah swt agar Allah memberikan pertolongan kepada mereka dalam menghadapi musuh-musuh-Nya, karena usaha mereka untuk mengatasi kesulitan dengan usaha lahir tidak memungkinkan.

Menurut kenyataan, kekuatan bala tentara Islam pada waktu itu adalah terdiri dari 313 orang lebih, sedang tentara musyrikin 1000 orang, apalagi kalau ditinjau dari segi alat persenjataan. Mereka membawa alat-alat perang yang lebih lengkap dari pada perlengkapan kaum Muslimin.

Sesudah itu Allah mengabulkan doa kaum Muslimin dengan jalan mendatangkan bala bantuan berupa malaikat yang datang berturut-turut. Mengenai bantuan Allah kepada kaum Muslimin dengan jumlah malaikat yang banyaknya 3.000 dijelaskan dalam ayat lain, yaitu dengan firman Allah:

اِذْ تَقُوْلُ لِلْمُؤْمِنِيْنَ اَلَنْ يَّكْفِيَكُمْ اَنْ يُّمِدَّكُمْ رَبُّكُمْ بِثَلٰثَةِ اٰلَافٍ مِّنَ الْمَلٰۤىِٕكَةِ مُنْزَلِيْنَۗ

(Ingatlah), ketika engkau (Muhammad) mengatakan kepada orang-orang beriman, “Apakah tidak cukup bagimu bahwa Allah membantu kamu dengan tiga ribu malaikat yang diturunkan (dari langit)?” (Ali ‘Imran/3: 124)

Dan firman Allah swt:

بَلٰٓى ۙاِنْ تَصْبِرُوْا وَتَتَّقُوْا وَيَأْتُوْكُمْ مِّنْ فَوْرِهِمْ هٰذَا يُمْدِدْكُمْ رَبُّكُمْ بِخَمْسَةِ اٰلَافٍ مِّنَ الْمَلٰۤىِٕكَةِ مُسَوِّمِيْنَ

“Ya” (cukup). Jika kamu bersabar dan bertakwa ketika mereka datang menyerang kamu dengan tiba-tiba, niscaya Allah menolongmu dengan lima ribu malaikat yang memakai tanda. (Ali Imran/3: 125)

Mengenai bantuan Allah, yaitu malaikat yang jumlahnya berbeda-beda seperti disebutkan dalam ayat-ayat tersebut, para mufasir berbeda pendapat:

Bagi mereka yang berpendapat bahwa ayat-ayat tersebut mengenai kisah Perang Badar, maka hendaklah dipahami, bahwa pada pertama kalinya Allah swt membantu kaum Muslimin dengan seribu malaikat.

Sesudah itu bantuan tersebut dilengkapi dengan tiga ribu malaikat. Bantuan yang diberikan secara berturut-turut ini, dengan jumlah yang terus bertambah adalah untuk memberi kesan yang lebih tegas pada mental musuh, agar mereka lebih merasa takut dalam peperangan.

Tetapi bagi mereka yang memahami bahwa kedua ayat ini adalah kisah Uhud, maka jumlah 3.000 itu akan diberikan kepada kaum Muslimin, bahkan kalau mereka bersabar akan diberi bantuan lima ribu malaikat lagi. Tetapi hal ini adalah merupakan janji, tetapi karena mereka tidak patuh, maka janji itu tidak dilaksanakan oleh Allah.


Baca juga: Kapankah Datang Pertolongan Allah Swt? Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 214


Ayat 10

Ayat ini memberikan penjelasan bahwa Allah tidak mengirimkan bala bantuan kecuali sebagai kabar gembira, yaitu agar kaum Muslimin menjadi tenteram karenanya, dan mempunyai semangat tempur yang tinggi serta mempunyai keyakinan yang kuat.  Bahwa kemenangan akan diperoleh mereka seperti yang telah dijanjikan Allah.

Selain itu juga agar terhindar dari kegoncangan jiwa, terlepas dari rasa takut karena melihat jumlah kekuatan dari daya tahan dan keyakinan yang kuat dalam mencapai kemenangan yang gemilang.

Di dalam ayat ini dijelaskan pula bahwa kemenangan yang mereka peroleh, bukanlah karena kekuatan dan persenjataan, tetapi semata-mata karena bantuan Allah, dan hanya Allah sajalah yang dapat memberikan pertolongan dengan jalan mengirimkan bala tentara dari malaikat.

Pernyataan Allah ini amat penting artinya bagi kaum Muslimin, agar mereka tidak merasa congkak dan takabur pada saat menghadapi musuh. Karena kedua sifat ini dapat menghilangkan kehati-hatian dan kontrol terhadap diri pribadi dalam peperangan.

Di akhir ayat ini Allah menandaskan bahwa sesungguhnya Allah Maha kuasa lagi Mahabijaksana.

Mahakuasa berarti kuasa memberikan kemenangan kepada umat Muhammad menurut yang Dia kehendaki. Sedangkan Mahabijaksana berarti memberikan kemenangan kepada hamba-Nya yang beragama tauhid dan menghancurkan hamba-Nya yang terjerumus ke dalam kemusyrikan.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Anfal Ayat 11


 (Tafsir Kemenag)

Sisi lain dari Isra Mikraj Nabi Muhammad Saw, Tafsir Alternatif Surah Al-Isra ayat 1

0
sisi lain dari isra mikraj
sisi lain dari isra mikraj

Meski bagi sebagian ulama waktu isra mikraj masih menjadi perbedaan, semisal di Tafsir Al-Qurtubi yang dinyatakan bahwa isra mikraj terjadi pada tangggal 27 Rabiul Awal, namun mayoritas umat Islam memperingati isra mikraj Nabi Muhammad Saw. tersebut di tanggal 27 Rajab. Euforia peringatan isra mikraj banyak dihadirkan kembali di tanggal ini, mulai dari mengisahkan kembali peristiwa bersejarah tersebut, menguak hikmah hingga meneladaninya, termasuk membincang sisi lain dari isra mikraj.

Peristiwa bersejarah ini sudah terdokumentasi rapi dalam Al-Quran surah Al-Isra ayat 1. Al-Quran menceritakan isra mikraj dengan diawali kalimat tasbih, kalimat takjub atas kuasaNya,

سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ

“Mahasuci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.

Setidaknya ada tiga sisi lain dari isra mikraj yang disampaikan oleh beberapa ulama ketika memperingati salah satu mukjizat Nabi Muhammad Saw. tersebut.

Baca Juga: Peristiwa Isra Mikraj Nabi Muhammad Saw Menurut Ulama Tafsir

Isra mikraj adalah persiapan Nabi Muhammad sebelum hijrah ke Madinah

Syekh Ali Jum’ah dalam suatu kesempatan menyampaikan hikmah dan sisi lain dari isra mikraj, sebagaimana video yang diunggah di channel youtube  SANAD MEDIA. Di situ Syekh Ali Jum’ah menyampaikan bahwa isra mikraj adalah persiapan bagi Nabi Muhammad Saw untuk mengawali fase baru dalam kenabiannya.

Nabi Muhammad yang awalnya bergaul dengan kaumnya di Makkah, setelah isra mikraj sang Nabi akan berpindah, bertemu dan berkumpul dengan kaum barunya di Madinah. Kaum ini yang nantinya mengelilingi Nabi dan di tanah kaum ini pula Nabi akan dimakamkan, yaitu kaum Anshar. Nabi mulai membangun Negara di Madinah, memperkenalkan Islam lebih luas lagi, mengirim pesan dan surat kepada para raja Negara-negara tetangga. Inilah awal baru bagi sejarah dakwah Nabi, era baru bagi umat Islam

Sisi lain dari isra mikraj yang juga disinggung Syekh Ali Jumah yaitu perihal kisah Nabi Muhammad yang mengimami Nabi-Nabi yang lain ketika dalam perjalanan isra. Ketika menafsirkan surah Al-Isra ayat 1, At-Thabari juga menyinggung ini. Tepat di bagian ini, syekh Ali Jum’ah memaknainya sebagai bukti nyata bahwa Nabi Muhammad adalah pemimpin para Nabi sekaligus Nabi terakhir.

Sebagai Nabi terakhir, Nabi Muhammad mengemban amanah yang tidak mudah, yaitu menyatukan umat, menjadi umat yang satu, ber-Tuhan pada Dzat yang Maha Esa, Nabinya satu, kiblatnya satu yaitu Ka’bah, kitabnya satu, ibadahnya pun satu (salat, puasa, haji dan seterusnya).

Berdasar pada ini, selama seseorang itu ahlul kiblat (berkiblat ke ka’bah) maka dia adalah umat Islam, tidak peduli kelompok dan madzhabnya, baik sunni, syi’i, dzahiri dan lainnya, apalagi jika hanya berbeda partai politiknya. ‘Jangan sampai kita mengkafirkan sekelompok orang karena mereka telah berbuat kerusakan di bumi, mereka hanya tersesat’ begitu pesan Syekh Ali Jum’ah.

Baca Juga: Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 97-98 tentang Hijrah

Mikraj Nabi Muhammad Saw: kepedulian Nabi-Nabi terdahulu terhadap umat Nabi Muhammad

Sisi lain dari isra mikraj berikutnya datang dari syekh Yusri Rusydi. Cerita kisah ini dapat ditonton di channel youtube SANAD MEDIA. Syekh Yusri menyoroti pertemuan Nabi Muhammad Saw. Khususnya dengan Nabi Ibrahim As. dan Nabi Musa As. dalam perjalanan mikraj. Di bagian ini tidak hanya mengisahkan tentang silaturahim Nabi Muhammad dengan oara pendahulunya, tetapi juga memperlihatkan kepedulian Nabi-Nabi terdahulu terhadap kita semua, umat Nabi Muhammad.

Nabi yang telah wafat seperti Nabi Musa As masih bisa mengajari orang yang masih hidup, dalam konteks mikraj yaitu memberi pendapat kepada Nabi Muhammad Saw., akhirnya kita umat Nabi Muhammad yang masih hidup ini mendapat faidah dari Nabi Musa As, meski setelah wafatnya. Sebagaimana diketahui riwayat yang sudah sangat populer, bahwa perintah salat awalnya berjumlah 50 waktu sebelum Nabi Muhammad Saw. diberi saran oleh Nabi Musa As. untuk memohon kepada Allah untuk menguranginya. Akhirnya kewajiban salat menjadi 5 waktu, satu waktu salat berpahala 10, jadi pada hakikatnya tetap 50.

Nabi Ibrahim yang juga sudah wafat, di alam barzakh masih dapat mengajari dan membimbing kita. Diceritakan bahwa Nabi Ibrahim mengirim salam kepada kita, umat Muhammad seraya memberi tahu amalan atau dzikir yang bisa mengarahkan seseorang menuju surga, yaitu subhanallah wal hamdulillah wa la ilaha illallah wallahu akbar. Berawal dari kisah ini, kita membaca shalawat ibrahimiyah dalam setiap shalat kita, tepatnya ketika tasyahud akhir. Ini dalam rangka menjawab salam dari Nabi Ibrahim As.

Baca Juga: Akhlak Nabi saw yang Mempersatukan Umat dan Tafsir Surat At-Taubah Ayat 107-109

Allah tidak butuh waktu, jangan samakan Allah dengan manusia

Sisi lain dari isra mikraj kali ini disampaikan oleh mufasir Indonesia, Quraish Shihab. Ia mengungkap sisi menarik dari ayat deklarasi isra mikraj ini yang berkaitan erat dengan surah sebelumnya, yaitu surah An-Nahl. Hal ini dapat kita dengarkan di podcast beliau, Quraish Shihab

Quraish Shihab menganalisa ayat 1 surah Al-Isra ini dengan ilmu munasabah. Menurutnya, muqaddimah uraian tentang peristiwa isra mikraj ini sudah disampaikan oleh Al-Quran di surah An-Nahl, tepatnya di ayat 1.

…..اَتٰىٓ اَمْرُ اللّٰهِ فَلَا تَسْتَعْجِلُوْهُ

‘Telah datang ketetapan Allah, maka janganlah kamu meminta agar dipercepat (datang)nya……’

Ayat ini menurut Quraish Shihab dapat membantu memudahkan kita untuk memahami isra, khususnya tentang durasi waktu isra mikraj yang di luar nalar manusia. Bagaimana mungkin peristiwa selama itu terjadi dalam waktu yang sangat singkat? Di sini menurut Quraish Shihab bisa berlaku rumus relativitas waktu.

Namun untuk Allah, Ia tidak butuh waktu. Melalui awal surah An-Nahl ini Allah mengisyarakan bahwa Allah itu tidak butuh waktu, berbeda dengan manusia. Oleh sebab itu, frasa awal surah An-Nahl tadi bisa dikomentari dengan ‘telah datang ketetapan Allah –walaupun manusia menganggap belum datang-’.

Di ayat lain juga disampaikan, di akhir surat Yasin disampaikan bahwa Apabila Allah menghendaki sesuatu, maka sesuatu itu pasti terjadi (kun fatakun). ‘Jadi jangan pernah mengukur kemampuan Tuhan dengan kemampuan manusia.’ Begitu pesan Quraish Shihab.

Demikian sekilas tentang sisi lain dari isra mikraj Nabi Muhammad Saw. Sangat yakin bahwa masih banyak sisi-sisi lain yang belum diungkap dari peristiwa kuasa Allah tersebut. Akhir kata, selamat memperingati isra mikraj Nabi Muhammad Saw., semoga kita senantiasa bisa meneladani beliau dan mendapat syafaat beliau kelak di hari kiamat. Amin

Ilmu Rasm dalam Filologi Mushaf Al-Quran Kuno dan Upaya Kritik Teks

0
Dalam Filologi
Ilmu Rasm dalam Filologi

Tujuan dari kajian filologi sejatinya adalah mengupayakan teks sajian yang dapat dinikmati khalayak umum, ‘making a text available’. Sehingga dengan ini, ia mampu menjembatani gap yang terjadi antara pengarang di masa lalu dengan pembaca di masa kini. Setidaknya hal itu yang coba disampaikan Oman Fathurahman dalam Filologi Indonesia.

Masih menurut Oman, untuk dapat mencapai tujuan ini, salah satu unsur terpenting dalam filologi adalah kritik teks (textual criticism). Upaya rekonstruksi yang sedapat mungkin menghasilkan versi terbaik yang mendekati ‘bentuk semula’ tulisan pengarang (autograph).

Mengapa ‘bentuk semula’ ini begitu penting? Dalam sudut pandang filologi tradisional, tradisi penulisan umumnya dilakukan dengan tulisan tangan yang sangat mungkin membuka variasi bacaan ‘baru’, entah karena kesengajaan atau murni kesalahan dari penyalin.

Baca Juga: Disimpan British Library, Beginilah Potret Empat Al-Qur’an Kuno dari Jawa

Lantas bagaimana jika teks yang tengah dikaji secara filologis adalah mushaf Al-Qur’an? Kitab suci yang menjadi petunjuk umat Islam dan ditransmisikan secara mutawatir dari generasi ke generasi. Yang karenanya ia akan terus disalin, lagi dan lagi, sampai ratusan, ribuan atau bahkan jutaan kali.

Mengacu pada ulasan ‘bentuk semula’ Oman sebelumnya, ada fakta menarik yang membedakan mushaf Al-Qur’an dengan naskah-naskah kuno lainnya. Ia, mushaf Al-Qur’an, memiliki ‘bentuk semula’ yang cukup jauh berbeda dari ‘bacaan semula’-nya. Adalah rasm ‘utsmany yang dalam banyak kesempatan memiliki perbedaan dengan versi bacaannya.

Perbedaan ‘bentuk’ dan ‘bacaan semula’ ini yang menurut penulis mengharuskan perbedaan standar acuan dalam melakukan kritik teks. Ia, kritik teks, tidak diperkenankan menghasilkan ‘bentuk terbaik’, produk transkripsi suara bacaannya. Tetapi ia, diharuskan menghasilkan ‘bentuk terasli’, sebagaimana mushaf Al-Qur’an ditulis untuk pertama kali.

Oleh karenanya, metode kritik teks yang digunakan pun menjadi berbeda. Tidak menempuh langkah inventarisasi naskah, yang lantas dipilih mana yang dianggap paling otoritatif dengan berdasar usia naskah, kejelasan bacaan, kelengkapan isi dan lain sebagainya. Melainkan dengan mengacu kaidah-kaidah yang telah disusun dalam disiplin ilmu rasm.

Mungkin pembaca akan bertanya-tanya, bukankah seharusnya langkah metodis yang ditempuh juga sama, mengingat hal itu akan membawa pada naskah mushaf tertua yang menjadi bagian awal Islam, atau paling tidak mendekati? Jawabannya adalah Ya! Memang seharusnya dilakukan inventarisasi naskah sebagaimana pada naskah yang lain. Akan tetapi, apakah hal itu memungkinkan?

Dalam tulisan penulis yang lain berjudul, Sejarah yang Hilang dalam Penulisan Rasm Mushaf Al-Qur’an, disebutkan setidaknya enam mushaf yang berasal dari abad pertama hingga kedua hijriyah. Keenam mushaf itu adalah mushaf Dar al-Kutub al-Misriyya (The Egyptian National Library), mushaf Masjid Al-Hussein, keduanya berada di Kairo; mushaf Turkish and Islamic Art Museum, mushaf Museum Topkapi, keduanya di Istanbul; mushaf Tasykent Uzbekistan; dan mushaf St. Petersburg Rusia.

Mushaf St. Petesburg Rusia
Mushaf St. Petesburg Rusia

Keenam mushaf ini dipercaya sebagai mushaf salinan tertua yang ada saat ini. Beberapa diantaranya bahkan diklaim menjadi bagian masa khalifah ‘Utsman. Namun setelah melalui kajian dan penelitian lebih lanjut, klaim itu pun dengan sendirinya terbantahkan.

Kalau pun ada mushaf yang benar-benar menjadi bagian dari salinan periode ‘Utsman, langkah verifikasi yang dilakukan, sebagaimana mushaf-mushaf lainnya, pun juga akan menggunakan rasm ‘utsmany sebagai standar penilaiannya. Jika demikian, mengapa tidak sejak awal menggunakan rasm ‘utsmany?

Baca Juga: Edwin Wieringa, Tentang Al-Qur’an Kuno-kunoan dan Santri NU

Disamping itu, menurut catatan yang diberikan Zainal Arifin dalam Perbedaan Rasm Usmani Mushaf Standar Indonesia dan Mushaf Madinah, literatur yang menjadi acuan rasm ‘utsmany saat ini, seperti Al-Muqni‘ fi Rasm Mashahif al-Amshar karya Abu ‘Amr al-Dany (w. 444 H.) dan Al-Tabyin li Hija’ al-Tanzil karya Abu Dawud Sulaiman Najah (w. 496 H.), jika dirunut secara genealogis akan membawa pada karya-karya yang berisi perbandingan antara mushaf-mushaf periode ‘Utsman, seperti Ikhtilaf Mashahif al-Syam wa al-Hijaz wa al-‘Iraq dan Maqthu‘ al-Qur’an wa Maushuluhu karya ‘Abdullah bin ‘Amir al-Yahsubi (w. 118 H./736 M.), salah satu imam qira’ah yang masyhur dengan sebutan Ibn ‘Amir.

Maka dari itu, katimbang harus melakukan inventarisasi naskah mushaf Al-Qur’an, menggunakan kaidah rasm sebagai langkah kritik teks terdengar lebih masuk akal.

Atas dasar ini penulis kemudian berkesimpulan bahwa kajian filologis terhadap naskah mushaf Al-Qur’an kuno mau tidak mau harus menyertakan kajian terhadap rasm-nya, sebagai upaya rekonstruksi atas ‘bentuk terasli’ sebagaimana dilakukan para sahabat dan diikuti oleh tabi‘in, radliyallahu ‘anhum. Wallahu a‘lam bi al-shawab.

Tafsir Surah Al Anfal Ayat 6-8

0
tafsir surah al anfal
tafsir surah al anfal

Tafsir Surah Al Anfal Ayat 6-8 berbicara mengenai bantahan yang dilakukan oleh sebagian orang mukmin yang tipis imannya. Mereka lebih memilih nafsunya sendiri daripada mematuhi perintah Allah Swt dengan dalih kurangnya persiapan.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al Anfal Ayat 5


Padahal Allah telah menjanjikan kemenangan bagi orang-orang mukmin, dan janji Allah sangat nyata. Selain itu Tafsir Surah Al Anfal Ayat 6-8 juga berbicara mengenai kecenderungan nafsu orang-orang yang tipis imannya itu.  I’tikad perang mereka bukan semata ingin menegakkan agama, melainkan karna harta.

Ayat 6

Allah menjelaskan bahwa di antara orang-orang mukmin ada yang membantah keputusan yang telah ditetapkan, yaitu keputusan menyerang musuh yang datang dari Mekah di bawah pimpinan Abu Jahal, padahal keputusan itu adalah kebenaran yang sudah nyata dan mereka telah dijanjikan kemenangan oleh Allah di mana saja mereka berada.

Akan tetapi mereka mengelak dari keputusan itu, karena lebih menyukai menghadapi rombongan musuh di bawah pimpinan Abu Sufyan. Mereka mengelak untuk bertempur dengan pasukan musuh yang datang dari Mekah dan digambarkan oleh Allah, seolah-olah mereka itu dihalau kepada kematian.

Mereka memberikan alasan bahwa mereka belum mempersiapkan segala-galanya untuk berperang.

Dalam hal ini mereka seolah-olah berusaha membelokkan pengertian bahwa janji kemenangan yang akan diberikan Allah kepada orang-orang Muslimin ialah kafilah Abu Sufyan. Itulah sebabnya maka Allah menggambarkan keadaan mereka seolah-olah mereka melihat sebab-sebab kematian itu.

Apabila ditinjau dari segi strategi perang maka keputusan Nabi untuk menghadapi bala tentara Quraisy meskipun yang dilengkapi dengan perlengkapan perang yang cukup adalah tepat, karena seumpama serangan Rasul ditujukan kepada rombongan unta yang datang dari Syam, niscaya kaum Muslimin akan menjadi sasaran yang empuk bagi bala tentara Quraisy yang datang memberi perlindungan kepada Abu Sufyan.

Orang-orang Quraisy dapat memukul kaum Muslimin dari belakang. Hal ini karena bala tentara Quraisy sudah menduga sebelumnya bahwa orang-orang Islam sudah siap untuk menghadang rombongan unta Abu Sufyan.

Ayat 7

Dalam ayat ini Allah mengingatkan kaum Muslimin akan suatu peristiwa yang penting, yaitu pada saat Allah menjanjikan kemenangan kepada kaum Muslimin melawan salah satu dari dua golongan yang dihadapi yaitu salah satu diantara rombongan unta yang membawa harta dagangan atau bala tentara Quraisy yang membawa peralatan perang yang lengkap.

Pada saat itu kaum Muslimin cenderung memilih berhadapan dengan rombongan yang membawa dagangan yang jumlahnya tidak lebih dari 40 unta. Hal ini adalah sebagai sindiran kepada sebagian kaum Muslimin yang takut terlibat dalam peperangan, tetapi mereka ingin mendapat harta yang banyak.

Kecenderungan mereka ini jauh dari kebenaran, karena tujuan mereka telah berbalik pada kesenangan materiil. Mereka telah berbelok dari menegakkan tauhid dan menghancurkan kemusyrikan.

Itulah sebabnya Allah menjelaskan kepada meraka bahwa yang dikehendaki Allah tidak seperti yang mereka inginkan. Allah menghendaki agar kaum Muslimin menegakkan kebenaran sesuai dengan wahyu yang telah diturunkan kepada Rasul-Nya, yang menyatakan bahwa kemenangan itu akan diperoleh kaum Muslimin dari salah satu di antara dua rombongan.

Sasaran tempur yang harus dipilih itu tidak dijelaskan adalah untuk melatih kaum Muslimin agar dapat menentukan pilihan serta menetapkan strategi perang dengan jalan menanggapi situasi dan menilainya dengan jalan bermusyawarah serta mendidik mereka agar menaati hasil keputusan.

Kemudian Allah menandaskan kehendak-Nya, yaitu untuk memusnahkan orang-orang musyrikin yang membangkang kepada agama Allah secara keseluruhan termasuk pula pendukung-pendukung mereka.


Baca juga: Tafsir Surah Al-Qasas Ayat 14-15: Tragedi Pembunuhan Juru Masak Fir’aun


Allah menggambarkan hancurnya keseluruhan bala tentara kafir Quraisy dengan ungkapan hancurnya barisan belakang adalah usaha yang paling sulit, yang hanya dapat dilaksanakan apabila barisan depan telah dihancurkan terlebih dahulu.

Tujuan utama perang ini ialah memusnahkan kaum musyrikin karena kemenangan kaum Muslimin melawan mereka dalam Perang Badar adalah kemenangan pertama yang akan disusul oleh kemenangan-kemenangan yang lain pada peperangan-peperangan berikutnya, dan berakhir dengan penaklukan Mekah sebagai kemenangan total yang gilang gemilang bag kaum Muslimin dan kehancuran orang-orang kafir Quraisy secara menyeluruh.

Ayat 8

Allah menjelaskan kepada kaum Muslimin bahwa kemenangan yang mereka peroleh itu tiada lain agar kebenaran agama Islam tegak menjulang dan lenyaplah kebatilan syirik dari muka bumi. Inilah tujuan utama yang harus dipilih kaum Muslimin pada waktu melakukan peperangan.

Tujuan untuk menegakkan agama Islam dan menghancurkan kemusyrikan itu tidak akan tercapai, kecuali apabila kaum Muslimin dapat mengalahkan bala tentara Quraisy yang datang dari Mekah dengan peralatan perang yang lengkap dengan tujuan menghancurkan kaum Muslimin.

Di akhir ayat Allah menegaskan bahwa tujuan untuk menegakkan agama Islam dan menghancurkan kemusyrikan itu pasti terwujud, betapapun sengitnya permusuhan dan kebencian orang-orang musyrikin.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Anfal Ayat 9-10


 (Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Al Anfal Ayat 5

0
tafsir surah al anfal
tafsir surah al anfal

Tafsir Surah Al Anfal Ayat 5  membicarakan sebagian orang yang berselisih paham dengan Nabi Muhammad Saw dalam situasi perang. Perselisihan tersebut terkait dengan keputusan Nabi untuk menyerang musuh ke luar kota karena kurangnya persiapan.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al Anfal Ayat 3-4


Namun meskipun ada sebagian yang berselisih paham, dalam Tafsir Surah Al Anfal Ayat 5  ini paparkan pula pihak-pihak yang sepenuh hati percaya dan patuh terhadap perintah Allah dan Rasulnya.

Ayat 5

Allah menjelaskan bahwa Dia mengatur harta rampasan perang itu secara adil, sebagaimana juga Allah memerintahkan kepada mereka pergi bertempur untuk membela agama Allah secara adil pula.

Kemudian timbullah perselisihan pendapat mengenai harta rampasan perang sama halnya dengan perselisihan pendapat sewaktu mereka pergi untuk menghadapi kafilah yang dipimpin Abu Sufyan atau pasukan kafir Quraisy yang datang dari Mekah untuk membela kafilah Abu Sufyan itu.

Apabila ada sebagian orang yang tidak menyukai ketetapan Allah mengenai pembagian harta rampasan perang, maka hal itu adalah tanda bahwa iman mereka belum sempurna, sebagaimana juga halnya yang demikian itu terjadi pada saat menjelang Perang Badar.

Mereka tidak mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya enggan meninggalkan rumah untuk bertempur ke medan perang. Karena mereka masih belum menjadi orang mukmin yang sempurna imannya.

Di akhir ayat Allah menjelaskan bahwa sebagian dari orang mukmin ada yang tidak senang akan keputusan Nabi Muhammad untuk menyerang musuh ke luar kota. Hal ini disebabkan karena persiapan perang mereka belum lengkap.

Namun anggapan serupa ini tidak benar, karena betapapun juga kesulitan yang akan mereka hadapi, semestinya mereka tidak boleh mengelak lagi, karena hal itu telah menjadi keputusan yang harus ditaati.

Perselisihan yang terjadi di antara mereka disebutkan dalam riwayat di bawah ini:

“Setelah Rasulullah mendengar berita bahwa Abu Sufyan bin Harb membawa rombongan unta dari Syam, Nabi menggerakkan kaum Muslimin untuk menghadangnya.

Nabi bersabda, “Kafilah ini membawa harta benda (barang dagangan) maka pergilah kamu untuk menghadapinya boleh jadi Allah menjadikan harta benda itu sebagai rampasan perang bagi kamu.” Maka bergeraklah para sahabat.

Di antara kaum Muslimin itu ada yang tidak merasa keberatan, dan ada pula yang merasa keberatan, hal ini karena mereka tidak yakin bahwa Rasulullah saw akan menghadapi peperangan, sedang Abu sufyan ketika mendekati Hijaz telah mengerahkan beberapa orang yang mematai-matai, untuk memperoleh keterangan dengan jalan menanyakan kepada orang-orang yang berkendaraan yang ditemuinya, sehingga ia memperoleh berita dari mereka bahwa Muhammad telah mengerahkan para sahabatnya untuk menghadang kafilahnya.

Maka Abu Sufyan mengupah amdam bin Amr al-Giffari untuk pergi ke Mekah dan menyuruhnya agar menemui orang-orang Quraisy agar mereka mengirim orang-orang yang akan melindungi harta mereka dan agar disampaikan berita bahwa Muhammad telah menghadang harta benda itu.

Maka pergilah amdam bin Amr dengan segera ke Mekah, dan rasul pun pergi bersama para sahabatnya sehingga sampai ke lembah, yang disebut ¨afran. Setelah beliau sampai di wadi itu, sampailah berita keberangkatan orang-orang Quraisy kepada beliau untuk melindungi kafilah mereka.

Karena itu Rasulullah bermusyawarah dengan para sahabatnya. Lalu Abu Bakar bangkit dan berkata mengemukakan tanggapan yang baik pula. Sesudah itu Miqdad bin Amir bangkit dan berkata:

“Ya Rasulullah! Laksanakanlah apa yang telah diperintahkan Allah, kami selalu menyertaimu. Demi Allah, kami tidak akan berkata kepadamu seperti apa yang telah dikatakan Bani Israil kepada Musa pergilah kamu bersama Tuhanmu dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanyalah duduk menanti di sini saja, tetapi pergilah engkau bersama-sama Tuhanmu, maka sungguh kami akan menyertaimu demi Tuhan yang mengutusmu dengan benar. Andaikata kamu pergi membawa kami ke Barkil Gimad (sebuah kota di Habasyah) niscaya kami tetap bersamamu menuju kota itu, sehingga engkau sampai ke sana.”


Baca juga: Maqashid Al-Quran dari Ayat-Ayat Perang [1]: Mempertahankan Agama Tidak Selalu Harus dengan Kekerasan


Kemudian Rasulullah saw mengucapkan perkataan yang baik dan berdoa untuknya dengan doa yang baik pula. Sesudah itu Rasullah saw bersabda:

“Wahai manusia, berilah pertimbangan kepadaku. Perkataan itu ditujukan kepada orang-orang Ansar. Hal ini karena mereka telah membaiat Nabi di Aqabah. Mereka berkata, “Hai Rasulullah! Sebenarnya kami telah melindungi engkau sebagaimana kami melindungi anak-anak kami dan isteri-isteri kami.”

Rasulullah saw sebenarnya khawatir bahwa orang-orang Ansar tidak merasa perlu membantunya, terkecuali apabila musuh menyerang ke dalam kota, dan mereka tidak merasa berkewajiban membela Nabi apabila Nabi menyerang.

Maka setelah Rasulullah saw mengatakan demikian, Sa’ad bin Mu’az berkata:

“Demi Allah! Rupanya yang engkau maksud ialah kami (para Ansar).”

Nabi menjawab:

“Ya”.

Kemudian Sa’ad berkata:

“Sebenarnya kami telah beriman kepadamu dan telah  membenarkan agamamu, serta menyaksikan bahwa apa yang engkau bawa itu telah memberikan perjanjian untuk dipatuhi, maka laksanakanlah apa yang telah diperintahkan Allah.

Maka demi Tuhan yang mengutusmu dengan benar, andaikata engkau mengajak kami menyeberang lautan, tentulah kami akan menyeberanginya, tidak ada seorangpun di antara kami yang berkeberatan dan tidak pula yang mengingkari, apabila engkau mengajak kami menghadap musuh esok pagi. Sebenarnya kami ini adalah orang-orang yang tabah dalam peperangan serta ikhlas menghadapi musuh.

Semoga Allah menampakkan kepadamu apa yang menyenangkan hatimu.” Maka pergilah bersama kami di bawah lindungan Allah. Rasulullah merasa gembira dengan pendapat Sa’ad dan ketangkasannya menghadapi perang.

Kemudian Rasulullah saw bersabda:

“Pergilah kamu di bawah lindungan Allah dan bergembiralah bahwa Allah telah menjanjikan kemenangan di antara dua barisan musuh. Demi Allah seolah-olah kami melihat musuh dalam keadaan tersungkur.” (Riwayat Ibnu Ishak dari Ibnu Abbas)


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Anfal Ayat 6-8


(Tafsir Kemenag)