Beranda blog Halaman 379

Menyoal Makna Syifa dalam Al-Quran

0
Syifa dalam Al-Quran
Syifa dalam Al-Quran

Kata Asy-Syifa dalam Al-Quran disebut sebanyak 6 kali dengan berbagai bentuk derivasinya. Asy-Syifa (kemudian baca tanpa al-ma’rifah: syifa’) menarik untuk disoal karena ia juga dinobatkan sebagai salah satu laqab dari Al-Quran. Penobatan laqab syifa’ untuk Al-Quran menjadi satu informasi alternatif tentang sifat lain Al-Quran sebagai penyembuh.

Namun, makna kata syifa’ tidak diartikan hanya sependek itu. Menurut mufasir seperti Ibnu Katsir dan Fakhruddin Ar-Razi atau mufasir kontemporer seperti Quraish Shihab memaknai kata syifa’ secara rinci, bahkan Ar-Razi melebarkannya menjadi lebih komprehensif. Adanya diskurus pemaknaan yang lebih kaya dan komprehensif tersebut tentunya akan lebih memudahkan umat Islam dalam mengaplikasikan pesan-pesan Al-Quran.

Baca Juga: Nama-nama Al-Quran dan Tujuannya

Makna syifa’ sebagai laqab Al-Quran

Secara harfiyah kata syifa dalam kamus Alma’any diartikan sebagai kesembuhan, penyembuh, penawar, dan obat. Term As-Syifa’ menurut Ibnu Faris dalam Mu’jam Muqayyis Al-Lughah selalu disandingkan dengan marad (sakit) sebagai lawan katanya. Syifa’ dengan berbagai bentuk posisi katanya dalam Al-Quran disebut sebanyak 6 kali. Disebut dalam bentuk mashdar syifa’ pada surah Al-Isra’ ayat 82:

وَنُنَزِّلُ مِنَ ٱلْقُرْءَانِ مَا هُوَ شِفَآءٌ وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ ۙ وَلَا يَزِيدُ ٱلظَّٰلِمِينَ إِلَّا خَسَارًا

“Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.”

Atau dalam bentuk fi’il mudhari’ yasyfiin seperti dalam surah Asy-Syu’ara ayat 80:

وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ

“Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku,”

Lafadz-lafadz syifa dalam Al-Quran jelas menunjukkan bahwa ia laqab dari Al-Quran, karena memiliki sifat dan fungsi yang disandarkan pada Al-Quran. Sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an al-‘Adhim bahwa Al-Quran adalah syifa’. Artinya, Al-Quran dapat menyembuhkan penyakit-penyakit hati seperti keraguan, kemunafikan, kemusyrikan, kesesatan, dan ketidak-istiqamahan.

Pendapat Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah juga seirama dengan Ibnu Katsir mengenai fungsi Al-Quran sebagai syifa’ atau penyembuh penyakit hati. Namun, penjelasan penyakit hati yang diungkapkan oleh Quraish Shihab lebih interdisipliner karena menyelaraskan dengan konteks keilmuan modern.

Secara praktis, Al-Quran memang tidak bisa instan mengobati penyakit jasmani. Namun, Al-Quran dapat menyembuhkan penyakit rohani yaitu mencakup gangguan mental dan jiwa, dan hal ini akan sangat berdampak pada kesehatan jasmani seseorang.

Baca Juga: Al-Quran Sebagai Obat, Bagaimana Memahaminya?

Selain pendapat diatas, ada beberapa mufasir yang memaknai kata syifa’ secara komprehensif seperti Abu Hayyan al-Andalusy dalam Tafsir al-Bahr al-Muhit, Abd al-hamid Ibn Badis dalam Tafsir Ibn Badis, dan Fakhruddi Ar-Razi dalam Mafatih al-Ghayb. Interpretasi mereka yang demikian mengacu pada posisi nakirah yang disandang kata syifa dalam Al-Quran.

Fakhruddin Ar-Razi misalnya, mengatakan bahwa Al-Quran dapat menjadi penyembuh baik itu dari penyakit ruhani maupun jasmani sekaligus. Ar-Razi sendiri membagi penyakit ruhani menjadi dua macam, yaitu akidah yang keliru dan akhlaq yang tercela. Sedangkan pendapatnya mengenai Al-Quran sebagai penyembuh jasmani, berbeda dengan Quraish Shihab yang memakai wasilah dari ruhaniyah dulu. Ar-Razi berpendapat bahwa Al-Quran dapat menjadi penyembuh penyakit jasmaniyah secara langsung.

Baca Juga: Al-Quran adalah Obat Bagi Penyakit Rohani: Tafsir Surat Al-Isra Ayat 82

Mekanisme dan konsep syifa sebagai penyembuh menurut mufasir

Al-Quran yang berfungsi sebagai syifa’ atau penyembuh, tentu tidak hanya sebatas pada hakikat filosofis lughawi saja. Ia juga memiliki prosedur tersendiri sehingga mekanisme penyembuhan tersebut benar-benar bekerja. Ibnu Katsir menyebutkan bahwa dengan cara menumbuhkan rasa keimanan kepada Al-Quran, kecintaan untuk mewujudkan kebajikan, maka di sanalah Al-Quran menjadi obat atau penawar penyakit hati.

Quraish Shihab dan Fakhruddin Ar-Razi secara subtantif juga menyampaikan pendapat yang senada, bahwa Al-Quran dapat menghidarkan diri dari penyakit jika seseorang bertabarruk, membaca, dan mentadabburinya. Namun, sebagaimana keterangan awal Ar-Razi yang holistik mengenai makna syifa’, ia juga mengorelasikannya dengan beberapa variabel lain dalam Al-Quran. Salah satu variabel yang dimaksud Ar-Razi adalah surah Al-Fatihah yang bisa berfungsi sebagai syifa’ dari penyakit dan digunakan untuk ruqyah.

Variabel lain yang digunakan Ar-Razi terkait fungsi syifa’ Al-Quran adalah madu, yang sifatnya lebih kepada jasmaniyah. Madu dapat menunjang kesembuhan dan kesehatan pada fisik tubuh manusia. Pengaitan Ar-Razi tentang madu sebagai penyembuhan tersebut tidak lain didasarkan pada surah An-Nahl ayat 69, yang jelas tersurat lafadz syifa’ didalamnya.

Karena penafsiran makna syifa’ yang holistik, dalam Mafatih al-Ghayb, Ar-Razi merumuskan konsep syifa’ tersebut menjadi tiga bentuk klasifikasi. Pertama, syifa’ yang bersifat furu’iyyah atau jasmani. Contoh syifa’ jenis ini berkaitan dengan fungsi Al-Fatihah dan minuman madu sebagai penyembuh jasmaniyah.

Kedua, syifa’ ushuliyyah, yaitu berhubungan dengan kerusakan penyakit ruhani atau penyakit hati dan mental sebagaimana yang diungkap di awal. Ketiga, syifa’ ijmali atau bersifat global. Syifa’ jenis terakhir ini berkaitan dengan aktivitas perbaikan spiritualitas dan tindakan manusia demi terwujudnya kesempurnaan lahir batin di hadapan Allah maupun makhluk-Nya.

Adanya definisi makna Syifa dalam Al-Quran yang lebih luas sebagaimana yang dijelaskan oleh para mufassir di atas, otomatis akan memudahkan umat Islam dalam mengaplikasikan pesan-pesan yang terkandung dalam Al-Quran. Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Al Anfal Ayat 3-4

0
tafsir surah al anfal
tafsir surah al anfal

Tafsir Surah Al Anfal Ayat 3-4 ini merupakan kelanjutan dari artikel sebelumnya yang membahas tentang sifat-sifat orang mukmin sejati. Selain tiga sifat yang telah lalu, setidaknya ada dua sifat lain yang menggambarkan mukmin sejati.


Baca juga: Tafsir Surah Al Anfal Ayat 2


Empat sifat yang dimaksud dalam Tafsir Surah Al Anfal Ayat 3-4 itu adalah istikamah menunaikan salat lima waktu dan gemar menginfakkan harta di jalan kebaikan. Orang-orang yang memilliki sifat tersebut layak menjadi mukmin sejati.

Ayat 3

Allah menjelaskan sifat-sifat lahiriyah orang-orang mukmin sebagai kelanjutan dari sifat-sifat yang telah lalu.

  1. Selalu mendirikan salat lima waktu dengan sempurna syarat-syarat dan rukun-rukunnya, serta tepat pada waktunya, sedang jiwanya khusyu’ mengikuti gerak lahiriyah dan tunduk semata kepada Allah.
  2. Menginfakkan sebagian dari harta yang diberikan kepadanya. Yang dimaksud dengan membelanjakan harta dalam ayat ini ialah meliputi pengeluaran zakat, memberi nafkah kepada keluarga dekat ataupun jauh, atau membantu kegiatan sosial dan kepentingan agama, serta kemaslahatan umat.

Ayat 4

Allah menegaskan bahwa orang-orang yang menghiasi dirinya dengan sifat-sifat tersebut adalah orang-orang mukmin yang sejati.

Ibnu Hazm menjelaskan bahwa sifat-sifat ini adalah sifat-sifat yang dapat diketahui orang lain dari dirinya, maka apabila seseorang mengetahui bahwa dirinya telah beriman kepada Allah, kepada Rasul-Nya Muhammad saw dan meyakini bahwa apa yang dibawa Nabi itu benar, sedang orang itu mengikrarkan semua pengakuannya itu dengan lisan, maka ia wajib  mengatakan bahwa ia telah menjadi orang mukmin yang benar.

Di akhir ayat Allah menjelaskan imbalan yang akan diterima oleh orang-orang mukmin yang benar-benar beriman dan menghiasi dirinya dengan sifat-sifat yang telah disebutkan, yaitu mereka akan memperoleh derajat yang tinggi dan kedudukan yang mulia di sisi Allah, karena kuasa Allah semata.

Baca juga:

Kalau Allah berkuasa menciptakan segala macam bentuk kehidupan. Maka Dia berkuasa pula memberikan keutamaan kepada makhluk-Nya sesuai dengan kehendak-Nya.

Derajat yang tinggi itu, dapat berupa keutamaan hidup di dunia dan dapat berupa keutamaan hidup di akhirat, atau kedua-duanya. Allah berfirman:

اَلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَهَاجَرُوْا وَجَاهَدُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ بِاَمْوَالِهِمْ وَاَنْفُسِهِمْۙ اَعْظَمُ دَرَجَةً عِنْدَ اللّٰهِ ۗوَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْفَاۤىِٕزُوْنَ

Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah, dengan harta dan jiwa mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah. Mereka itulah orang-orang yang memperoleh kemenangan.(at-Taubah/9:20)

Dan firman Allah :

وَهُوَ الَّذِيْ جَعَلَكُمْ خَلٰۤىِٕفَ الْاَرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجٰتٍ

Dan Dialah yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi dan Dia mengangkat (derajat) sebagian kamu di atas yang lain. (al-An’am/6: 165)


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Anfal Ayat 5


(Tafsir Kemenag)

Beberapa Makna Istifham (Kalimat Pertanyaan) dalam Al-Quran

0
makna istifham dalam Al-Quran
makna istifham dalam Al-Quran

Salah satu bentuk gaya bahasa yang digunakan Al-Quran adalah kalimat tanya atau istifham. Dalam Al-Quran sendiri, kalimat pertanyaan atau istifham itu memiliki banyak makna yang disesuaikan dengan konteks kalimat atau pembahasannya. Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani dalam karyanya, Zubdat al-Itqan fi Ulum Al-Quran menjelaskan beberapa makna istifham dalam Al-Quran serta menyebutkan contohnya.

Isitfham dalam ilmu balaghah termasuk dalam kalam insya, yaitu sesuatu yang apabila diucapkan atau diungkapkan tidak mengandung unsur kebenaran atau kebohongan. Berbeda dengan kalam khabar atau berita yang bisa mengandung unsur kebenaran atau kebohongan.

Sebelum dibahas lebih jauh apa saja makna istifham dalam Al-Quran, ada baiknya diketahui terlebih dahulu apa pengertian istifham tersebut serta adat al-istifham atau perangkat apa saja yang bisa digunakan sebagai pertanyaan dalam bahasa Arab.

Istifham (اِسْتِفْهَامٌ) berasal dari asal kata اِسْتَفْهَمَ yang berarti mencari atau meminta kepahaman. Mencari atau meminta kepahaman tersebut biasanya dengan bertanya. Sehingga, kata اِسْتِفْهَامٌ yang merupakan bentuk masdhar dari kata اِسْتَفْهَمَ tersebut diartikan dengan pertanyaan. Kata tersebut juga dapat diartikan dengan mencari sebuah berita.

Adat al-istifham atau perangkat yang bisa digunakan sebagai kata tanya dalam bahasa Arab ada berbagai macam, di antaranya adalah:

الْهَمْزَةُ،َ هَلْ، مَا، مَنْ، أَيُّ، كَمْ، كَيْفَ، أَيْنَ، أَنَّى، مَتَى، أَيَّانَ

Baca Juga: Bahasa Al-Quran dan Perdebatan Ulama’ Tentang Kosa Kata Non Arab

Beberapa makna Istifham dalam Al-Quran

Ada 18 makna istifham dalam Al-Quran yang disebutkan oleh Sayyid Muhammad bin Alawi dalam kitabnya tersebut. Berikut ini penjelasan satu per satu makna tersebut:

  1. Al-Inkar (الْإِنْكَارُ)

Istifham ini disebut dengan istifham inkari. Makna yang terkandung dalam istifham ini adalah penafian atau pengingkaran. Sehingga lafad yang jatuh setelah adat al-istifham adalah sesuatu yang dinafikan. Contohnya seperti terdapat di surah Asy-Syu’ara [26]: 111.

قَالُوا أَنُؤْمِنُ لَكَ وَاتَّبَعَكَ الْأَرْذَلُونَ

Artinya: Mereka berkata: “Apakah kami akan beriman kepadamu, padahal yang mengikuti kamu ialah orang-orang yang hina?.”

Maksud yang terkandung dari pertanyaan dalam ayat tersebut adalah ‘kami tidak akan beriman kepadamu.’

Istifham dengan makna ini juga seringkali disertai dengan adat al-istitsna (perangkat yang digunakan untuk mengecualikan) إلا setelahnya. Seperti yang terdapat dalam Q.S. Al-Ahqaf [46]: 35:

فَهَلْ يُهْلَكُ إِلَّا الْقَوْمُ الْفَاسِقُونَ

Artinya: Maka tidak dibinasakan melainkan kaum yang fasik.

  1. At-Taubikh (التوبيخ) atau at-Taqri’ (التقريع)

Makna istifham dalam Al-Quran yang kedua adalah التوبيخ atau التقريع yang berarti celaan atau teguran. Celaan atau teguran itu seringkali terjadi pada sesuatu hal yang nyata. Dan yang dicela adalah perbuatannya. Contohnya seperti terdapat dalam Q.S. Ash-Shaffat [37]: 125:

أَتَدْعُونَ بَعْلًا وَتَذَرُونَ أَحْسَنَ الْخَالِقِينَ

Artinya: Patutkah kamu menyembah Ba’l dan kamu tinggalkan sebaik-baik Pencipta,

Atau celaan tersebut karena meninggalkan perintah Allah Swt. seperti yang terdapat di dalam Q.S. An-Nisaa’ [4]: 97:

قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا

Artinya: Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?”

Baca Juga: Kompleksitas Bahasa Arab Sebagai Bahasa Al-Quran

  1. At-Taqrir (التقرير)

Kalimat tanya yang bermakna taqrir berarti mendorong mukhotob (orang yang diajak berbicara) untuk berikrar dan mengakui peristiwa yang telah terjadi padanya.

Pertanyaan yang bermakna taqrir hukumnya adalah mujab (positif), bukan manfi (negatif) meskipun ada huruf nafinya. Sehingga, kalimat positif bisa diathafkan kepadanya. Contohnya seperti terdapat dalam Q.S. Al-Insyirah [94]: 1-2

أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ (1) وَوَضَعْنَا عَنْكَ وِزْرَكَ (2)

Artinya: Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu, dan Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu,

Hakikat dari istifham taqrir sebenarnya adalah istifham inkar. Karena istifham inkar – yang bermakna nafi (negatif) – masuk pada kalimat yang dinafikan dengan menggunakan huruf nafi atau kalimat yang secara makna memang bermakna nafi, maka hukumnya menjadi positif.

Contohnya terdapat dalam Q.S. Al-Insyirah [94]: 1-2 di atas atau di dalam Q.S. Ad-Dhuha [93]: 6 berikut:

أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيمًا فَآوَى

Artinya: Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?

Hakikat istifham dalam ayat tersebut adalah istifham inkar. Namun, karena istifham inkar masuk pada lafad لَمْ يَجِدْكَ yang bermakna nafi disebabkan adanya huruf nafi لم, maka maknanya berubah menjadi taqrir dan positif. Sama seperti dalam rumus matematika, negatif bertemu dengan negatif maka hukumnya positif.

Contoh di atas itu untuk kalimat yang dinafikan dengan menggunakan huruf nafi. Sedangkan contoh istifham inkar yang masuk pada kalimat yang memang bermakna nafi seperti terdapat dalam Q.S. Al-A’raf [7]: 172

أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ

Artinya: “Bukankah Aku ini Tuhanmu?”

Lafad  لَسْتُ yang berasal dari  لَيْسَ + تُsecara arti memang telah menunjukkan negatif atau peniadaan, yaitu aku bukanlah.

Baca Juga: Balaghah Al-Quran: Seni Tata Krama dalam Bahasa Al-Quran

  1. Ta’ajjub atau Ta’jib (التعجب او التعجيب)

Ta’ajjub artinya adalah heran, kagum, takjub. Istifham yang bermakna ta’ajjub berarti pertanyaan yang menunjukkan arti keheranan, kekaguman. Salah satu contoh istifham jenis ini terdapat dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 28 dan Q.S. An-Naml [27]: 20

كَيْفَ تَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَكُنْتُمْ أَمْوَاتًا فَأَحْيَاكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (28)

Artinya: Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan?

وَتَفَقَّدَ الطَّيْرَ فَقَالَ مَا لِيَ لَا أَرَى الْهُدْهُدَ أَمْ كَانَ مِنَ الْغَائِبِينَ (20)

Artinya: Dan dia memeriksa burung-burung lalu berkata: “Mengapa aku tidak melihat hud-hud, apakah dia termasuk yang tidak hadir.

Di antara beberapa makna istifham yang telah disebutkan di atas, ada ayat Al-Quran yang mengandung makna istifham tersebut lebih dari satu. Salah satu contohnya terdapat dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 44

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ (44)

Artinya: Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?

Imam Zamakhsyari mengatakan bahwa hamzah yang berfungsi sebagai istifham atau pertanyaan dalam ayat tersebut bermakna taqrir beserta dengan taubikh dan ta’ajjub.

Itu adalah empat makna istifham dalam Al-Quran dari 18 makna yang disebutkan oleh Sayyid Muhammad bin Alawi dalam Zubdat al-Itqan-nya. InsyaAllah makna-makna yang belum disebutkan dalam artikel ini akan dijelaskan dalam artikel selanjutnya. Semoga bermanfaat.

Macam-Macam Khawatimus Suwar dalam Ulumul Qur’an

0
Macam-Macam Khawatimus Suwar
Macam-Macam Khawatimus Suwar

Khawatim merupakan bentuk jamak dari kata khatimah yang memiliki arti penutup, akhir atau penghabisan. Secara etimologi, khawatimus suwar bermakna penutup atau akhir surah-surah Al-Qur’an. Sedangkan menurut terminologi, khawatimus suwar ialah suatu ungkapan yang menjadi penutup dari surah-surah Al-Qur’an. Biasanya, khawatimus suwar memberi isyarat bahwa pembicaraan atau topik tertentu telah berakhir.

Berbeda dengan fawatihus suwar yang banyak dibahas oleh ulama tafsir, pembahasan khawatimus suwar atau awakhirus suwar tidak terlalu panjang. Misalnya Imam al-Suyuthi, sang ensiklopedis ulumul qur’an, hanya membahas sedikit terkait khawatimus suwar dalam kitabnya al-Itqan Fi Ulumil Quran. Kendati demikian, itu sudah cukup untuk dipahami sebagai pengantar dalam memahami diskursus ini.

Setelah Imam al-Suyuthi melakukan pengamatan dan analisa mendalam terhadap setiap akhir surah Al-Qur’an, ia memahami bahwa itu semua memiliki pola serupa nun konsisten. Ia memiliki kesimpulan bahwa akhir surah Al-Qur’an atau khawatimus suwar terdiri dari salah satu di antara beberapa bentuk kalimat, yaitu: doa, wasiat faraid, tahmid, tahlil, nasihat-nasihat, janji, ancaman dan lain-lain.

Baca Juga: Hikmah Penggunaan Huruf-Huruf Hijaiyah Pada Fawatihus Suwar

Abdul Djalal dalam Ulumul Qur’an menerangkan – berdasarkan penelitian yang ada – bahwa pola kalimat dari khawatimus suwar setidaknya terdiri dari 16 macam. Bentuk-bentuk itu biasanya memiliki hubungan erat dengan topik surat sebelumnya atau sesudahnya. Namun, kadangkala hubungan ini (baca: munasabah) tidak bisa dilihat secara langsung, yakni implisit.

Macam-macam bentuk khawatimus suwar adalah sebagai berikut:

  1. Ta’ẓim

Bentuk yang pertama adalah ta’ẓim, yakni penutup surah dengan mengagungkan Allah swt. Bentuk ini terdapat dalam 17 surah, yatitu: surah al-Maidah, surah al-Anfal, surah al-Anbiya’, surah an-Nur, surah Luqman, surah Fathir, surah Fussilat, surah al-Hujurat, surah al-Hadid, surah al-Hasyr, surah al-Jumu’ah, surah al-Munafiqun, surah at-Taghabun, surah at-Thalaq, surah alJin, surah al-Muddassir, surah al-Qiyamah, dan surah at-Thin.

  1. Tasbīh

Bentuk yang kedua adalah tasbih, yakni penutup surah dengan anjuran ibadah dan tasbih. Khawatimus suwar dalam bentuk ini setidaknya terdapat pada 6 surah Al-Qur’an, yaitu: surah al-A’raf, surah Hud, surah al-Hijr, surah al-Thur, surah an-Najm, dan surah al-‘Alq.

  1. Tahmīd

Bentuk yang ketiga adalah tahmid, yakni penutup surah dengan frasa pujian kepada Allah swt. Bentuk ini ada dalam 11 surah Al-Qur’an, yaitu: surah al-Isra’, surah an-Naml, surah Yasin, surah as-Saff, surah as-Saffat, surah az-Zumar, surah al-Jatsiyah, surah ar-Rahman, surah al-Waqiah, surah al-Haqqah, dan surah an-Nashr.

  1. Doa

Bentuk yang keempat adalah doa, yakni akhir surah yang memuat doa-doa kepada Allah swt. Model khawatimus suwar semacam ini terdapat dalam dua surah Al-Qur’an, yaitu surah al-Baqarah dan surah al-Mukminun.

  1. Wasiat

Bentuk yang kelima adalah wasiat, yakni penutup surah yang mengandung wasiat dari Al-Qur’an kepada umat Islam. Model semacam ini terdapat pada 7 surah Al-Qur’an, yaitu: surah ar-Rum, surah ad-Dukhan, surah as-Saff, surah al-A’la, surah al-Fajr, surah ad-Dhuha dan surah al-‘Ashr.

  1. Takwa

Bentuk yang keenam ialah takwa, yakni Allah swt memerintahkan hambanya (pembaca Al-Qur’an) untuk bertakwa kepada-Nya. Bentuk khawatimus suwar ini ada dalam tiga surah, yakni surah Ali Imran, surah an-Nahl, dan surah al-Qamar.

  1. Penutup surah mengenai masalah waris (faraidh), yakni surah an-Nisa’
  2. Penutupan surah dengan janji dan ancaman, yakni surah al-Muzammil dan al-Humazah
  3. Penutup surah dengan frasa hiburan bagi nabi Muhammad saw, yakni surah al-Kautsar dan al-Kafirun.
  4. Penutupan surah dengan sifat-sifat Al-qur’an seperti yang ditemukan dalam surah Yusuf, surah Shad, dan surah al-Qalam.Penutup surah dengan frasa bantahan seperti surah ar-Ra’d
  5. Penutupan surah dengan ketauhidan, terdapat dalam surah at-Taubah, surah Ibrahim, surah al-Kahfi, dan surah al-Qasas
  6. Penutup surah dalam bentuk kisah seperti dalam surah Maryam, surah at-Tahrim, surah ‘Abasa, dan surah al-Fil.
  7. Penutupan surah dengan anjuran jihad seperti dalam surah al-Haj
  8. Penutup surah dalam bentuk takhsis atau perincian maksud ayat sebelumnya. Ini terdapat dalam surah al-Fatihah, surah as-Syura, surah at-Takwir, dan lain-lain.
  9. Penutup surah dalam bentuk pertanyaan seperti dalam surh al-Mulk dan surah al-Mursalat.

Penetapan bentuk khawatimus suwar biasanya didasarkan pada ijtihad masing-masing mufasir. Oleh karena itu, bisa jadi antara satu mufasir dengan mufasir yang lain memiliki perbedaan pembagian atau bentuk khawatimus suwar. Namun menurut penulis, mayoritas ulama tafsir menggunakan ilmu munasabah untuk mengklasifikasikan macan-macam penutup surah Al-Qur’an.

Baca Juga: Kisah Malik bin Anas dan Keistimewaan Huruf-Huruf Muqaththa’ah

Diskursus khawatimus suwar dapat kita temukan dalam berbagai kitab tafsir tahlili seperti Marah Labid karya Syekh Nawawi al-Bantani, Tafsir Al-Qur’an al-Azhim karya Ibnu Katsir, dan Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razi. Biasanya, penjelasan khawatimus suwar dalam tafsir tersebut dijelaskan dalam rangka menerangkan munasabah atau kaitan akhir surah dengan ayat sebelum dan sesudahnya.

Menurut Juhana Nasrudin dalam bukunya, Kaidah Ilmu Tafsir Al-Qur’an, eksistensi khawatimus suwar memiliki hikmah tersendiri, yakni memberi kesan bagi pembaca berkaitan dengan surah yang dibaca dan merangsang mereka untuk mengetahui hal-hal yang dibacakan sesudahnya. Dengan demikian, pembaca bisa menangkap lebih jeli tentang pesan Al-Qur’an yang ingin disampaikan. Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Al Anfal Ayat 2

0
tafsir surah al anfal
tafsir surah al anfal

Tafsir Surah Al Anfal Ayat 2 berbicara mengenai sifat-sifat yang terkandung dalam diri orang-orang mukmin. Ada tiga ciri-ciri orang mukmin. Pertama bergertanya hati ketika mendengar nama Allah.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al Anfal Ayat 1


Ciri selanjutnya dalam Tafsir Surah Al Anfal Ayat 2 ini adalah bertambahnya iman ketika mendengar ayat-ayat Allah dibacakan. Dan yang terakhir adalah berserah diri sepenuh hati hanya kepada Allah.

Ayat 2

Allah menjelaskan bahwa orang-orang mukmin ialah mereka yang menghiasi dirinya dengan sifat-sifat seperti tersebut dalam ayat ini. Tiga sifat disebutkan dalam ayat ini, sedang dua sifat lagi disebutkan dalam ayat berikutnya.;

  1. Apabila disebutkan nama Allah bergetarlah hatinya karena ingat keagungan dan kekuasaan-Nya.

Pada saat itu timbul dalam jiwanya perasaan penuh haru mengingat besarnya nikmat dan karunia-Nya. Mereka merasa takut apabila mereka tidak memenuhi tugas kewajiban sebagai hamba Allah, dan merasa berdosa apabila melanggar larangan-larangan-Nya.

Bergetarnya hati sebagai perumpamaan dari perasaan takut, adalah sikap mental yang besifat abstrak, yang hanya dapat dirasakan oleh yang bersangkutan dan hanya Allah sendiri yang mengetahuinya. Sedang orang lain dapat mengetahui dengan memperhatikan tanda-tanda lahiriah dari orang yang merasakannya, yang terlukis dalam perkataan atau gerak-gerik perbuatannya.

Sikap mental itu adakalanya tampak dalam perkataan, sebagaimana tergambar dalam firman Allah:

وَالَّذِيْنَ يُؤْتُوْنَ مَآ اٰتَوْا وَّقُلُوْبُهُمْ وَجِلَةٌ اَنَّهُمْ اِلٰى رَبِّهِمْ رٰجِعُوْنَ ۙ  ٦٠

“Dan mereka yang memberikan apa yang mereka berikan (sedekah) dengan hati penuh rasa takut, (karena mereka tahu) bahwa sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhannya”. (al-Mu’minµn/23: 60)

Dan adakalanya tampak pada gerak-gerik dalam perbuatan, firman Allah :

اِذْ دَخَلُوْا عَلَيْهِ فَقَالُوْا سَلٰمًاۗ قَالَ اِنَّا مِنْكُمْ وَجِلُوْنَ

“Ketika mereka masuk ke tempatnya, lalu mereka mengucapkan, “salam.” Dia (Ibrahim) berkata, “Kami benar-benar merasa takut kepadamu.” (al-Hijr/15: 52)


Baca juga: Surah Al-Ashr Ayat 1-3: Empat Prinsip Hidup Bagi Orang-Orang Mukmin


  1. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah, maka akan bertambah iman mereka.

Hal ini terjadi karena ayat-ayat itu mengandung dalil-dalil yang kuat, yang mempengaruhi jiwanya sedemikian rupa, sehingga mereka bertambah yakin dan mantap serta dapat memahami kandungan isinya, sedang anggota badannya tergerak untuk melaksanakannya.

Dalam ayat ini terdapat petunjuk bahwa iman seseorang dapat bertambah dan dapat berkurang sesuai dengan ilmu dan amalnya, Rasulullah bersabda:

َاْلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ شُعْبَةً، أَعْلاَهَا شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلٰهَ إِلاَّ الله ُوَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذٰى عَنِ الطَّرِيْقِ

(رواه البخاري ومسلم عن أبي هريرة)

“Iman itu lebih dari 70 cabang, yang tertinggi adalah pengakuan bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan yang terendah adalah menyingkirkan ganguan dari jalan.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)

Dengan demikian bertambahnya iman pada seseorang dapat diketahui apabila ia lebih giat beramal. Iman dan amal adalah merupakan satu kesatuan yang bulat yang tak dapat dipisahkan.

 Firman Allah swt:

اَلَّذِيْنَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ اِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوْا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ اِيْمَانًاۖ وَّقَالُوْا حَسْبُنَا اللّٰهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ

(Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang ketika ada orang-orang mengatakan kepadanya, “Orang-orang (Quraisy) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka,” ternyata (ucapan) itu menambah (kuat) iman mereka dan mereka menjawab, “Cukuplah Allah (menjadi penolong) bagi kami dan Dia sebaik-baik pelindung.” (Ali Imran/3: 173)

Dan firman Allah:

وَلَمَّا رَاَ الْمُؤْمِنُوْنَ الْاَحْزَابَۙ قَالُوْا هٰذَا مَا وَعَدَنَا اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗ وَصَدَقَ اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗ  ۖوَمَا زَادَهُمْ اِلَّآ اِيْمَانًا وَّتَسْلِيْمًاۗ

Dan ketika orang-orang mukmin melihat golongan-golongan (yang bersekutu) itu, mereka berkata, “Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita.” Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu menambah keimanan dan keislaman mereka. (al-Ahzab/33: 22)

  1. Bertawakal hanya kepada Allah Yang Maha Esa, tidak berserah diri kepada yang lain-Nya.

Tawakal merupakan senjata terakhir seseorang dalam mewujudkan serangkaian amal setelah berbagai sarana dan syarat-syarat yang diperlukan itu dipersiapkan. Hal ini dapat dipahami, karena pada hakikatnya segala macam aktifitas dan perbuatan, hanya terwujud menurut hukum-hukum yang berlaku yang tunduk dibawah kekuasaan Allah. Maka tidak benar apabila seseorang itu berserah diri kepada selain Allah.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Anfal Ayat 3-4


(Tafsir Kemenag)

Bahasa Al-Quran dan Perdebatan Ulama’ Tentang Kosa Kata Non Arab

0
Bahasa Al-Quran
Bahasa Al-Quran

Al-Quran memang diturunkan di daerah Arab. Karena itu, bahasa Al-Quran mengikuti bahasa yang digunakan oleh orang Arab. Meskipun pada hakikatnya yang tahu betul bahasa Al-Quran adalah Allah swt semata, wujud Al-Quran adalah media sampainya perintah-perintah Allah kepada ummat manusia yang diwujudkan dalam bingkai bahasa dan konteks Arab.

Terpilihnya bahasa Arab sebagai bahasa Al-Quran bukan tanpa alasan. Prof Quraish Shihab menuturkan bahwa hanya bahasa Arab yang memiliki kosakata terbanyak di dunia. Semakin variatif kosakatanya maka semakin canggih dan bernilai pesan yang disampaikan. Makna yang dikandung semakin luas, menyeluruh, dan mampu beradaptasi dengan segala konteks zaman.

Pada faktanya, tidak semua ulama’ sepakat jika seluruh bahasa Al-Quran adalah bahasa Arab. Ada dua mazhab perihal ini. Mazhab pertama mengatakan bahwa sudah jelas dan disepakati kalau Al-Quran berbahasa Arab. Pendapat ini dianut mayoritas ulama’, seperti ath-Thabari, al-Qurthubi, dan al-Baqilani. Sementara Mazhab kedua menyanggah bahwa tidak semua kosakata di Al-Quran berbahasa Arab. Pendapat ini hanya dianut oleh sebagian ulama’ saja.

Baca Juga: Kontribusi Al-Qur’an terhadap Perkembangan Bahasa Arab

Perdebatan panjang ini diuraikan oleh Syekh Muhammad ‘Ali ash-Shabuni dalam kitabnya at-Tibyan Fi Ulumil Qur’an. Mazhab pertama berargumen bahwa jika memang di dalam Al-Quran ada kosakata yang dianggap mengandung unsur non Arab, itu hanya kebetulan saja. Kebetulan beberapa bahasa Arab yang digunakan Al-Quran bentuknya sama dengan bahasa lainnya seperti bahasa Persia dan Habasyah. Intinya bangsa Arab dan non Arab menggunakan kosakata yang sama dalam berbicara.

Mazhab ini menjabarkan sejumlah dalil untuk meyakinkan kalau memang Al-Quran benar-benar berbahasa Arab murni. Pertama. Al-Quran sendiri telah menegaskan bahwa Al-Quran benar-benar bahasa Arab dari segi lafadznya, susunan kalimat, hingga gaya bahasanya sangat Arab.

Firman Allah ta’ala [قُرآنًا عَرَبِيًّا] yang telah diulang berkali-kali di Al-Quran merupakan dalil kuat. Semakin sering sebuat kalimat diulang, semakin kuat maksud kalimat itu untuk diyakini dan dijalankan. Kata qur’anan di sini berupa isim nakiroah [umum]. Artinya, kata itu mencakup segala sisi Al-Quran tanpa kecuali. Maka tidak benar jika ada satu kata saja dalam Al-Quran yang tidak berbahasa Arab.

Kedua. Maksud turunnya Al-Quran berbahasa Arab adalah agar masyarakat Arab-yang menjadi khithab turunnya al-Qur’an- bisa memahami, mentadabburi, hingga merenungkan makna-makna yang terkandung di dalamnya. Maksud ini dapat dibaca misalnya pada Q.S. Yusuf [12]: 2 dan Fushshilat [37]: 3.

Di surat Yusuf, penegasann tujuan Al-Quran diturunkan berkaitan dengan harapan agar manusia mau merenungkan dan memahami al-Qur’an. Sedangkan di Surat Fushshiilat, penegasan maksud penurunan Al-Quran berkenaan dengan kemampuan kelompok masyarakat yang mampu memahami bahasa al-Qur’an.

Ketiga. Dipilihnya bahasa Arab oleh Al-Quran adalah untuk menolak klaim kelompok musyrikin terhadap Al-Quran yang dikira bahasanya mirip dan bahkan tidak jauh berbeda dengan bahasa ahlul Kitab di era kekaisaran Romawi. Ini tidak lain karena Nabi Muhammad saw diduga memperoleh Al-Quran dari para ahlul kitab itu. Akhirnya, Al-Quran dihadirkan dengan bahasa yang jelas-jelas jauh berbeda-tidak identik sama sekali-dari bahasa orang Romawi.

Keempat. Jika al-Qur’an; sebagian atau seluruhnya, menggunakan bahasa non Arab, sementara masyarakat yang menerima misi al-Qu’ran pertama kali berbahasa Arab, maka pasti akan lebih banyak timbul pertentangan. Mungkin akan muncul dua model pertanyaan sebagaimana diuraikan al-Mawardi, dalam an-Nukat wa al-‘Uyun [Tafsir al-Mawardi]. Kok bisa Al-Quran itu tidak berbahasa Arab, sedangkan Muhammad saja orang Arab, ini kan aneh? Atau, Bagaiman sih, kok Al-Quran bahasanya non Arab, sedangkan kita orang Arab? Bagaimana mungkin kita bisa memahaminya?

Menariknya, selama ini kita memahami kalau penolakan terhadap Al-Quran terjadi bukan karena perbedaan bahasa. Tetapi karena misi kritik tauhid, sosial, hingga budaya terhadap orang-orang musyrik Mekkah. Berbahasa sama saja dikritik, apalagi berbeda bahasa bahasa. Dan sejarah tidak pernah mencatat penolakan orang-orang musyrik terhadap Al-Quran hanya perkara perbedaan bahasa.

Kelima. Di dalam Al-Quran memang terdapat beberapa kata yang biasa diucapkan oleh orang-orang non Arab, seperti orang Persia, Habasyah, dan lain-lain.Tetapi itu bukan berarti kosakata itu bisa diklaim sebagai kata non Arab. Ia tetap Arab. Hanya saja ia bisa diucapkan oleh orang-orang non Arab, misalnya kata Israil [إسرائيل ], Jibril [جبريل], Imran [عمران], Nuh [نوح], dan Lut [لوط].

Mazhab kedua justru sebaliknya. Mazhab ini beranggapan bahwa keberadaan kosakata non Arab di Al-Quran benar adanya. Ini tidak lain karena meskipun masyarakat Arab saat itu terpencil dari peradaban, pengaruh bahasa non Arab yang terjadi dari proses komunikasi perdagangan dan interaksi lain jelas tidak bisa dihindari.

Mazhab kedua ini memberikan beberapa contoh kosakata beserta makananya. Kosakata yang terdeteksi asalnya dari Habasyah adalah seperti kata misykah (مشكاة) [Q.S. An-Nur [24]:35] yang bermakna lubang (الكوة), kata al-kifl (الكفل) [Q.S. Al-Anbiya’ [21]: 85 dan Shad [38]:48] yang maknanya bagian (ضعف), dan kata qaswraah (قسورة) [Q.S. al-Mudatsir[74]: 51] yang makananya berani ( الأسد).

Ada juga beberapa kosakata lain yang dianggap berasal dari daerah selain Habasyah. Misalnya kata al-qisthas (القسطاس) [ yang maknanya timbangan (الميزان) berasal dari Romawi. Lalu, kata sijjil (سجيل) yang bermakna batu (الحجارة) dan tanah liat (الطين) dideteksi asalanya dari Persia. Adapun kata ghassaq (الغساق) yang bermakna dingin (البارد) dan busuk (المنتن) berasal dari bahasa Turki. Termasuk juga kata al-yammu (اليم) [Q.S. Al-A’raf [8]: 136, Ta-Ha [20]: 39 dan 97, Al-Qashash [28]: 7 dan 40, dan Adz-Dzariyat [51]: 40] yang maknanya lautan (البحر) dan kata ath-Thur (الطور) [Q.S. Al-Baqarah [2]: 63 dan 93, An-Nisa [4]: 154 dan 52, Ta-Ha [20]: 80, Al-Qashash [28]: 29 dan 46, dan Ath-Thur [52]: 1] yang makannya gunung (الجبل).

Baca Juga: Isytiqaq Saghir: Cara Kerja dan Perannya dalam Melacak Makna Bahasa

Ibnu ‘Athiyyah menegaskan bahwa beberapa kosakata di atas memang asalnya bukan dari Arab. Tapi karena orang Arab sering menggunakannya entah dalam budaya syair mereka yang kuat atau sekedar percakapan sehari-hari, akhirnya kosakata tersebut dianggap menjadi bagian bahasa Arab. Dari sinilah kemudian terjadi penyerapan bahasa asing. Peristiwa ini memang tidak bisa dipungkiri karena orang Arab –dan ini juga terjadi di berbagai bahasa lain di dunia- berkomunikasi dengan orang non Arab.

Terlepas dari perbedaan pendapat itu, setidaknya kita bisa mengetahui sejauh mana bahasa-bahasa non Arab berpengaruh terhadap kosakata al-Qur’an. Mungkin dari sini kita bisa mengerti bahwa dari perdebatan aspek pengaruh bahasa dalam Al-Quran menunjukkan kepada kita kalau Al-Quran secara budaya memiliki keterkaitan dengan budaya-budaya bangsa dan agama sebelumnya, di mana Al-Quran tetap melakukan seleksi ketat dan kritik terhadapnya. Terlebih lagi, beberapa kosakata yang diklaim akarnya dari non Arab itu ditemui di beberapa surat yang berkisah tentang umat-umat terdahulu. Wallahu A’lam.

Tafsir Ahkam: Larangan Melakukan Bunuh Diri dalam Al-Quran

0
Bunuh Diri
Larangan Bunuh Diri

Beratnya problem kehidupan terkadang mendorong orang yang mengalaminya untuk merasa putus asa dalam menjalani hidup, dan kemudian tergerak untuk bunuh diri. Mereka berpikir, dengan bunuh diri segala masalah akan berakhir. Selain itu, bunuh diri adalah tindakan yang bisa dibilang tidak mengganggu orang lain. Sehingga bunuh diri menjadi pilihan hidup yang menurut mereka, seharusnya tidak bisa diganggu siapapun.

Islam menyatakan bahwa bunuh diri adalah tindakan yang terlarang. Islam mendorong pemeluknya untuk tidak putus asa dalam menjalani hidup, serta menghargai kehidupan sebagai sebuah pemberian dari Allah, agar kita memperoleh berbagai nikmat baik di dunia maupun akhirat.

Larangan Bunuh Diri Dalam Al-Qur’an

Larangan bunuh diri dalam Al-Qur’an disinggung di dalam firman Allah yang berbunyi:

وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا ٢٩ وَمَنْ يَّفْعَلْ ذٰلِكَ عُدْوَانًا وَّظُلْمًا فَسَوْفَ نُصْلِيْهِ نَارًا ۗوَكَانَ ذٰلِكَ عَلَى اللّٰهِ يَسِيْرًا ٣٠

  1. Janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. 30. Siapa yang berbuat demikian dengan cara melanggar aturan dan berbuat zalim kelak Kami masukkan dia ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah (QS. An-Nisa’ [4] 29-30).

Imam Ibn Katsir tatkala memberikan penafsiran terhadap ayat di atas menyatakan, diantara bentuk membunuh diri sendiri adalah melakukan hal-hal yang diharamkan atau bersifat mendurhakai Allah, serta memakan harta dengan jalan yang tidak dihalalkan.

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Qasas Ayat 14-15: Tragedi Pembunuhan Juru Masak Fir’aun

Ibn Katsir kemudian mengutip beberapa riwayat hadis yang terkait dengan ayat di atas. Salah satunya hadis yang diriwayatkan dari ‘Amr ibn ‘Ash (Tafsir Ibn Katsir/4/80):

قَالَ احْتَلَمْتُ فِى لَيْلَةٍ بَارِدَةٍ فِى غَزْوَةِ ذَاتِ السَّلاَسِلِ فَأَشْفَقْتُ إِنِ اغْتَسَلْتُ أَنْ أَهْلِكَ فَتَيَمَّمْتُ ثُمَّ صَلَّيْتُ بِأَصْحَابِى الصُّبْحَ فَذَكَرُوا ذَلِكَ لِلنَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ « يَا عَمْرُو صَلَّيْتَ بِأَصْحَابِكَ وَأَنْتَ جُنُبٌ ». فَأَخْبَرْتُهُ بِالَّذِى مَنَعَنِى مِنَ الاِغْتِسَالِ وَقُلْتُ إِنِّى سَمِعْتُ اللَّهَ يَقُولُ (وَلاَ تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا) فَضَحِكَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَلَمْ يَقُلْ شَيْئًا.

Berkata ‘amr ibn ‘ash: Aku mimpi basah di suatu malam yang dingin, saat perang dzatis salaasil. Lalu aku merasa khawatir bila aku mandi, maka aku mati. Lalu akupun bertayamum dan salat subuh bersama kawan-kawanku. Perbuatanku itu kemudian dilaporkan oleh para sahabatku kepada Nabi Muhammad salallahualaihi wasallam, nabi lalu bersabda: “Hai ‘amr, apakah engkau salat bersama kawan-kawanmu dalam keadaan hadas besar?”

lalu aku mengungkapkan alasanku tidak mandi kepada beliau. Dan aku berkata: “Aku mendengar allah berfirman: ‘Janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. Rasulullah salallahualaihi wasallam pun tertawa dan tidak mengatakan apapun (HR. Abi Dawud, al-Hakim dan selainnya).

Lewat pernyataan dan riwayat hadis di atas, Ibn Katsir secara tidak langsung mengatakan bahwa termasuk hal yang dilarang lewat ayat di atas adalah praktik bunuh diri atau membuat diri sendiri dalam bahaya. Hanya saja, Ibn Katsir memberikan gambaran bunuh diri secara luas dan tidak hanya soal menghilangkan nyawa dari diri sendiri. Namun juga membuat diri jatuh pada kubangan dosa.

Imam Al-Alusi menyatakan bahwa ada sekitar 6 pendapat mengenai makna “membunuh diri” di ayat di atas. Beberapa di antaranya adalah membuat diri dapat dengan mudah dibunuh oleh musuh di dalam peperangan. Imam Al-Alusi juga menyebutkan hadis yang disebutkan Ibn Katsir di atas, sebagai salah satu penafsiran (Ruhul Ma’ani/4/30).

Syaikh Wahbah Az-Zuhaili berkomentar terkait ayat di atas, bahwa secara zahir, ayat di atas menyinggung praktik bunuh diri atau mengilangkan nyawa dari diri sendiri. Hanya saja, para pakar tafsir telah bersepakat bahwa makna ayat di atas adalah larangan saling bunuh satu sama lain. Dan frase “diri kalian sendiri” merupakan sebuah kiasan belaka.

Baca Juga: Kritik Al-Quran Terhadap Fenomena Pembunuhan Anak Di Masa Jahiliyah

Hanya saja, Syaikh Wahbah menyatakan bahwa tidak menutup kemungkinan ayat di atas menyinggung larangan membunuh diri sendiri, serta orang lain. Juga larangan membuat diri dalam bahaya seperti memakan makanan yang berbahaya, meminum racun, dan sebagainya (Tafsir Munir/5/29).

Penutup

Tatkala memberikan tafsir Surat Al-Mulk ayat 2, Imam Ar-Razi menyatakan bahwa kehidupan yang diberikan kepada manusia adalah sebagai sumber segala nikmat.  Sumber segala nikmat di dunia, dan juga di akhirat. Di dunia, manusia berkesempatan merasakan nikmat makanan dan sebagainya. Sedang di akhirat, manusia berkesempatan memperoleh nikmat sebagai balasan amal baik di dunia. (Mafatihul Ghaib/15/395).

Hal ini dapat menjadi pertimbangan untuk lebih menghargai hidup sebagai kesempatan merasakan berbagai nikmat. Cara menghargainya adalah dengan tidak secara sengaja menghilangkan kehidupan dari diri sendiri dengan cara bunuh diri. Larangan melakukan bunuh diri secara tidak langsung mendorong diri untuk lebih menghargai hidup. Wallahu a’lam bishshowab.

Tafsir Surah Al Anfal Ayat 1

0
tafsir surah al anfal
tafsir surah al anfal

Surah Al Anfal merupakan surah yang ke-8 dalam susunan mushaf Usmani. Surah yang berjumlah 75 ayat ini termasuk dalam kelompok surah-surah madaniyah. Di dalamnya banyak termuat kisah-kisah peperangan. Sesuai namanya al-Anfal berarti rampasan perang.

Adapun Tafsir Surah Al Anfal Ayat 1 ini berbicara mengenai persilisihan pendapat di antara para sahabat mengenai pembagian harta rampasan. Atas terjadinya perselisihan tersebut Allah menegur bahwa harta rampasan itu adalah karunia Allah. Dengan ini sebenarnya Allah ingin mengajarkan keikhlasan dan ketakwaan kepada orang-orang mukmin.

Ayat 1

Ayat ini membicarakan persoalan harta rampasan perang yang diperoleh kaum Muslimin setelah usainya Perang Badar Kubra. Perang ini berakhir dengan kemenangan kaum Muslimin. Mereka memperoleh harta rampasan perang yang banyak.

Al-Anfal (al-Ganimah) ialah segala macam harta yang diperoleh kaum Muslimin dari musuh dalam medan pertempuran. Harta rampasan perang ini dinamakan al-Anfal (bentuk jamak dari Nafal) karena harta-harta ini menjadi harta kekayaan kaum Muslimin.

Setelah kaum Muslimin memperoleh harta rampasan perang itu, terjadilah perselisihan pendapat di antara mereka yang ikut berperang. Perselisihan itu mengenai cara-cara pembagiannya, dan pihak-pihak manakah yang berhak mendapatkan.

Pihak pemuda ataukah pihak orang-orang tua, pihak-pihak orang Muhajirin atau pihak An¡ar, ataukah pula masing-masing pihak sama-sama mendapat bagian. Persoalan itu dibawa kepada Rasulullah saw agar mendapat keputusan yang adil.

Sebagai jawaban atas pertanyan kaum Muslimin itu, Allah memerintahkan kepada Rasulullah saw untuk menetapkan hukumnya, bahwa harta rampasan perang itu adalah hak Allah dan Rasul-Nya.

Oleh sebab itu yang menentukan pembagian harta rampasan itu bukan kelompok pemuda atau kelompok orang tua, bukan orang Muhajirin atau orang Ansar, bukan pula tim penyerang, tim pelindung, atau tim pengumpul harta rampasan perang, tetapi Allah-lah yang menentukan dengan wahyu yang diturunkan kepada Rasul-Nya.

Rasulullah membagi harta rampasan perang itu secara merata di antara kaum Muslimin.


Baca juga: Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 39-40: Membaca Pesan Perdamaian di Balik Ayat-Ayat Perang


Dalam ketentuan ini terkandung pelajaran yang tinggi bagi kaum Muslimin agar mereka tidak beranggapan, bahwa harta rampasan perang yang mereka peroleh itu, merupakan imbalan jasa peperangan, tetapi semata-mata mereka peroleh karena karunia Allah.

Kalau mereka beranggapan bahwa harta rampasan perang itu mereka peroleh sebagai imbalan jasa, maka perjuangan mereka tidak murni karena Allah dan mengikuti perintah Rasul-Nya.

Ayat ini memberi dorongan pula kepada kaum Muslimin, agar mereka dalam menghadapi  tanggung jawab yang berat, hendaklah mereka hadapi secara  bersama-sama, dan apabila mendapat kenikmatan, agar dirasakan bersama-sama pula.

Mengenai pembagian harta rampasan perang secara rinci akan diuraikan penafsirannya pada ayat 41 surah ini.

Allah memerintahkan pula kepada Rasulullah saw agar kaum Muslimin bertakwa, menjauhi perselisihan dan persengketaan yang menimbulkan kesusahan dan menjerumuskan mereka kepada kemurkaan Allah.

Takwa diperlukan dalam setiap keadaan, terlebih dalam perang dan pembagian harta rampasan perang, akibat perselisihan dapat dirasakan, yaitu terganggunya persatuan dan timbulnya perpecahan yang mengakibatkan kekalahan.

Sesudah itu Allah memerintahkan agar kaum Muslimin memperbaiki hubungan sesama muslim, yaitu menjalin cinta kasih dan memperkokoh kesatuan pendapat. Hal inilah yang dapat mengikat mereka dalam kesatuan gerak dalam mencapai cita-cita bersama, yaitu mempertinggi kalimat Allah.

Persatuan dan kesatuan ini menjadi dasar kekuatan umat dalam segala bidang. Itulah sebabnya, memperbaiki hubungan di antara sesama muslim diwajibkan, agar kaum Muslimin menyadari akan pentingnya menghindari bahaya yang mengancam mereka, bahaya keretakan yang menggoyahkan kesatuan umat.


Baca juga: Tafsir Surat Al-Hajj Ayat 39: Perang itu Diizinkan Bukan Diperintahkan


Hal ini jelas tergambar pada saat terjadinya perselisihan yang terjadi di antara kelompok-kelompok karena yang satu merasa lebih berjasa dari kelompok yang lain. Demikian pula hal ini terjadi karena mereka melupakan tugas mereka yang penting, yaitu bahwa tugas mempertahankan kebenaran itu adalah tugas bersama.

Pada akhir ayat, Allah menegaskan agar kaum Muslimin menaati Allah dan Rasul, dalam hal ini menaati ketentuan perang, yang disampaikan kepada Rasulullah saw dengan perantaraan wahyu.

Ketentuan Allah wajib ditaati, Dia adalah Tuhan seru sekalian alam dan Yang Mahakuasa, sedang taat kepada Rasul, dalam urusan agama, berarti taat kepada Allah karena dialah yang menyampaikan agama itu dan memberikan penjelasan yang tertuang dalam perkataan, perbuatan serta keputusannya.

Perintah ini ditegaskan pada saat kaum Muslimin dalam keadaan bersengketa mengenai pembagian harta rampasan perang, untuk mengingatkan mereka bahwa dalam saat-saat bagaimanapun juga kaum Muslimin harus tetap menaati Allah dan Rasul-Nya, agar mereka tidak menimbulkan perpecahan karena ambisi golongan dan kemauan hawa nafsu, yang biasanya menjerumuskan mereka kepada kehancuran.

Di dalam ayat ini terdapat beberapa unsur penting yang dapat memelihara kesatuan umat yaitu; takwa, memperbaiki hubungan sesama muslim, dan menaati Allah dan Rasul di dalam setiap keadaan.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Anfal Ayat 2


(Tafsir Kemenag)

Masa Mengandung Hingga Persalinan Siti Maryam dalam Al-Quran Surat Maryam Ayat 22-25

0
persalinan Siti Maryam
persalinan Siti Maryam

Pada tahun 2019, sempat viral sebuah tehnik persalinan Siti Maryam di media sosial. Tehnik tersebut diklaim mampu mengurangi cidera dan minim sobekan, dilansir dari laman detikHealtcom. Lantas bagaimana sebenarnya masa mengandung hingga proses bersalin Siti Maryam dalam Al-Quran?

Siti Maryam dikenal dengan sebutan perempuan suci, karena penjagaan atas dirinya, dan penghambaannya pada Allah SWT., yang penuh kekhusyukan. Kesucian Siti Maryam tercatat dalam QS. Maryam (19): 18-19, ketika Allah mengutus Jibril untuk menganugerahkan seorang anak laki-laki suci yang kelak akan menjadi seorang Nabi. Telah banyak diketahui, bahwa Siti Maryam mengandung tanpa tersentuh seorang laki-laki, hingga siti Maryam bertanya pada malaikat Jibril yang diutus oleh Allah saat itu, “bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki -laki sedang tidak pernah seorang manusia pun menyentuhku dan aku bukan (pula) pezina!” Demikianlah, hal mudah bagi Allah untuk menjadikan sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin. Kisah Siti Maryam yang mengandung tanpa berhubungan badan, adalah tanda bahwa Allah Maha Kuasa.

Bahkan kuasa Allah bukan hanya berhenti pada itu saja, masa kehamilan hingga masa kelahiran seorang bayi ke muka bumi adalah kuasa-Nya. Proses persalinan, menjadi proses yang singkat, namun juga panjang. Proses dimana seorang bernama ibu menjalani syahidnya, hingga Nabi menyebutnya tiga kali diatas penyebutan seorang ayah.

Baca juga: Banyak Bertanya itu Tidak Baik, Simak Tafsir Surah Al-Maidah Ayat 101-102

Mengandung hingga Melahirkan Nabi Isa as.

فَحَمَلَتْهُ فَٱنتَبَذَتْ بِهِۦ مَكَانًا قَصِيًّا

فَأَجَآءَهَا ٱلْمَخَاضُ إِلَىٰ جِذْعِ ٱلنَّخْلَةِ قَالَتْ يَٰلَيْتَنِى مِتُّ قَبْلَ هَٰذَا وَكُنتُ نَسْيًا مَّنسِيًّا

“Maka, dia mengandungnya, lalu menyisihkan diri dengannya ke tempat yang jauh. Maka, rasa sakit akan melahirkan anak memaksa dia kepangkal pohon kurma, ia berkata, “aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini,dan aku menjadi sesuatu yang tidak berarti.”

Ketika Malaikat Jibril as., meniupkan ruh ke tubuh Maryam as., maka saat itu pula Siti Maryam mengandung anak laki-laki, yakni Nabi Isa as., sebagaimana yang putuskan. Dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan, bahwa Malaikat Jibril meniupkan ruh ke dalam baju kurung Siti Maryam hingga masuk pada farji nya, dengan atas izin Allah ia mengandung. Saat itu, siti Maryam merasa kebingungan, dan menemui istri Nabi Zakariya, yang juga kebetulan mengandung Nabi Yahya sebagaimana yang dikatakan Imam Malik rahimahumullah, bahwa Nabi Isa dan Nabi Yahya dikandung dalam masa bersamaan.

Dalam masa mengandungnya, Ibnu Katsir menegaskan bahwa menurut jumhur Ulama, Siti Maryam mengandung Nabi Isa selama sembilan bulan sebagaimana yang lumrah terjadi pada masa kehamilan seorang perempuan. Namun, ada juga yang mengatakan, masa kehamilan Siti Maryam terbilang singkat, akan tetapi menurut Ibnu Katsir hal ini terlihat aneh, karena menurut para jumhur ulama fa dalam ayat tersebut bermakna ta’qib (urutan) sebagaimana dalam surat al-Mu’minun ayat 12-14 yang menceritakan tentang proses penciptaan manusia dari saripati, mani, segumpal darah, segumpal daging, kemudian janin. Dari bagian-bagiannya, ditetapkan 40 hari pembentukan. Tentu jika melihat dari proses penciptaan manusia ini, para jumhur ulama sepakat mengatakan masa kehamilan Siti Maryam sebagaimana wanita pada umumnya -sembilan bulan masa kehamilan.

Baca juga: Tafsir Surat Yasin Ayat 74-75; Celaan Pada Mereka yang Menuhankan Selain Allah

Ketika masa melahirkan akan tiba, Siti Maryam sebagaimana wanita pada umunya juga merasakan sakit akibat kontraksi. Kata  al-makhadh, dalam Tafsir Al Misbah dimaknai gerak yang sangat keras. Hal ini disebabkan karena desakan janin yang ingin keluar dari rahim. Gerakan inilah yang mengakibatkan sakit -kontraksi rahim.

Dalam masa-masa ini, perasaan seorang wanita yang hendak melahirkan berkecamuk. Jika yang terjadi pada Siti Maryam adalah perasaan sedih hati karena kaum bani Israil yang mengolok dan menfitnahnya hingga Siti Maryam berputus asa dan berkata,“aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini,dan aku menjadi sesuatu yang tidak berarti.” Biasanya, para wanita pada masa kontraksi yang sakit ini,  merasa cemas akan diri dan anaknya. Maka, dalam masa-masa ini, butuh adanya sebuah dukungan, support dari pasangan, dan keluarga wanita yang akan melahirkan atau telah melahirkan ini. Sebagaimana malaikat Jibril yang pada ayat selanjutnya oleh Allah disebutkan.

فَنَادَىٰهَا مِن تَحْتِهَآ أَلَّا تَحْزَنِى قَدْ جَعَلَ رَبُّكِ تَحْتَكِ سَرِيًّا

وَهُزِّىٓ إِلَيْكِ بِجِذْعِ ٱلنَّخْلَةِ تُسَٰقِطْ عَلَيْكِ رُطَبًا جَنِيًّا

“maka dia menyerunya dari tempat yang rendah (di bawahnya): ‘Janganlah bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu. Dan goyanglah pangkal pohon karma itu ke arahmu, niscaya ia akan menggugurkan buah kurma yang masak padamu.’

Kataمن تحتها   menurut Quraish Shihab ada yang membacanya min tahtiha –dari tempat rendah (di bawahnya) dan man tahtiha – siapa yang rendah (dibawahnya). Mayoritas ulama memahami ayat tersebut, bahwa yang menyeru adalah Malaikat Jibril. Namun, juga ada sebagian kecil ulama mengatakan Nabi Isa yang baru lahir. Salah satunya yang mengatakan bahwa Nabi Isa menyerukan pada Siti Maryam adalah Ibn Jarir Ath-Thabari, hal ini disebabkan karena adanya pengganti nama yang paling dekat disebut dalam redaksi tersebut adalah anak Maryam.

Terlepas dari perbedaan pendapat siapa yang dimaksud, ayat 24-25 ini memiliki pesan untuk para ibu hamil akan kasiat buah kurma di masa kehamilan, proses persalinannya, hingga pasca melahirkan (nifas). Di website alodokter.com disebutkan bahwa terdapat penelitian yang dilakukan untuk mempelajari manfaat buah kurma pada proses persalinan. Hal tersebut dilakukan pada 69 ibu hamil, ditemukan hal baik dalam pengonsumsian buah kurma tersebut, seperti; ketuban tidak mudah pecah, angka persalinan normal lebih tinggi, dan kebutuhan oksitosin lebih rendah.

Jangan Bersedih Hati ketika Masa Kehamilan

Kembali pada tafsiran Quraish Shihab, bahwa ayat di atas terlihat bagaimana Siti Maryam sangat lemah setelah melahirkan, diperintahkan untuk menggoyangkan pohon kurma untuk memperoleh rezeki. Hal ini mengisyaratkan kepada semua makhluknya agar senantiasa tidak berpangku tangan menanti rezeki, akan tetapi harus tetap berusaha dengan kemampuan yang dimiliki.

Terakhir, kesimpulann penulis dan pesan yang ingin disampaikan, terutama umtuk para perempuan yang sedang dalam masa mengandung, atau menunggu proses bersalin, bahwa proses ini harus dijalani dengan sabar, penuh kesadaran, dan senatiasa terus dipenuhi rasa ikhlas. Jangan bersedih hati, karena pertolongan Allah itu nyata sebagaimana Ia melancarkan proses persalinan Siti Maryam. Yakinlah, sakit akibat kontraksi, akan terbayar dengan lahirnya buah hati.

Semoga untuk para perempuan yang sedang mengandung, Allah lancarkan hingga proses persalinannya. Dan untuk para perempuan yang sedang ikhtiar untuk hamil, Allah segera berikan amanah. Aamiin.

Wawwahu a’lam bissowab.

Tafsir Surah Al Lail Ayat 12-21

0
tafsir surah al lail
Surah Al-Lail

Tafsir Surah Al Lail Ayat 12-21 melanjutkan pembicaraan sebelumnya yang menyatakan bahwa manusia memiliki dua potensi, yaitu positif dan negatif. Keduanya mempunyai akibatnya masing-masing.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al Lail Ayat 1-11

Dalam Tafsir Surah Al Lail Ayat 12-21 Allah menegaskan bahwa Ia akan memberi tahu manusia mana jalan yang benar dan mana yang salah. Orang yang memilih kebenaran akan memasuki surga. Sebaliknya, yang memilih keburukan akan berakhir di neraka.

Ayat 12

Allah menegaskan bahwa Ia berkewajiban menunjuki manusia mana jalan yang benar dan mana jalan yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk, sebagaimana dinyatakan-Nya dalam ayat lain:

وَاِذَا جَاۤءَكَ الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِاٰيٰتِنَا فَقُلْ سَلٰمٌ عَلَيْكُمْ كَتَبَ رَبُّكُمْ عَلٰى نَفْسِهِ الرَّحْمَةَۙ اَنَّهٗ مَنْ عَمِلَ مِنْكُمْ سُوْۤءًاۢ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ تَابَ مِنْۢ بَعْدِهٖ وَاَصْلَحَ فَاَنَّهٗ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ    ٥٤

Dan apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami datang kepadamu, maka katakanlah, “Salamun ‘alaikum  (selamat sejahtera untuk kamu).” Tuhanmu telah menetapkan sifat kasih sayang pada diri-Nya, (yaitu) barang siapa berbuat kejahatan di antara kamu karena kebodohan, kemudian dia bertobat setelah itu dan memperbaiki diri, maka Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang. (al-An’am/6: 54);

Ayat 13

Allah juga pemilik alam ini, baik alam akhirat maupun alam dunia. Bila Allah pemilik segala-galanya, maka tiada jalan bagi manusia selain meminta semuanya itu kepada-Nya dengan jalan mengimani dan bertakwa kepada-Nya.

Ayat 14-16

Di samping Allah telah menunjuki manusia jalan yang benar, Ia juga memperingatkan manusia tentang adanya neraka yang senantiasa menyala-nyala. Penghuni neraka itu adalah mereka yang paling durhaka, yaitu orang-orang yang senantiasa memandang dusta wahyu-wahyu yang disampaikan kepadanya, dan karena itu tidak mau mengimaninya dan menjalankannya.


Baca juga: Mengenal Kuliner Neraka dalam Al-Quran, dari Buah Zaqqum hingga Shadid


Ayat 17-18

Sebaliknya adalah orang yang takwa, yaitu orang yang memberikan kekayaannya untuk membantu orang lain untuk menyucikan dirinya. Orang yang takwa itu akan terjauh dari neraka.

Contoh orang yang paling takwa adalah Abu Bakar as-siddiq yang telah menggunakan seluruh kekayaannya untuk memerdekakan orang-orang lemah dan perempuan-perempuan yang masuk Islam dan membantu mereka.

Ayat 19-20

Orang-orang yang bertakwa membantu orang lain bukan karena orang itu berjasa kepadanya yang karena itu ia perlu membalasnya. Ia membantu orang itu semata-mata karena mengharapkan rida dan surga Allah di akhirat.

Ayat 21

Orang takwa yang membantu orang lain untuk mencari rida Allah itu akhirnya akan memperolehnya. Orang itu terjauh dari neraka, dan pasti masuk surga.

(Tafsir Kemenag)