Beranda blog Halaman 380

Kegelisahan Umar bin Khattab dan Turunnya Ayat Pengharaman Khamar

0
Ayat Pengharaman Khamr
Ayat Pengharaman Khamr

Umar bin Khattab adalah salah satu sahabat nabi Muhammad saw yang paling setia. Ia merupakan tokoh garda terdepan dalam membela kaum muslimin setelah Abu Bakar ash-Shiddiq. Umar dikenal sebagai sahabat yang cerdas, tegas, bijaksana dan visioner dalam menyelesaikan permasalahan umat. Bahkan disebutkan bahwa ada banyak ayat Al-Qur’an yang turun karenanya seperti ayat pengharaman khamar.

Jika ada suatu permasalahan yang dianggap Umar penting untuk diperbincangkan, maka ia akan langsung menyampaikannya kepada sahabat lain dan nabi Muhammad saw. Misalnya, ketika Umar melihat bahwa nabi saw dan istrinya sering dikunjungi tamu, ia lalu berinisiatif menyarankan kepada beliau agar memerintahkan istrinya menggunakan hijab untuk berjaga-jaga, karena tidak semua tamu berniat baik (al-Tafsir al-Munir).

Umar berkata, “Wahai Rasulullah, yang datang kepada Anda ada orang yang baik, ada yang jahat. Sebaiknya para Ummul Mukminin (Ibu orang-orang beriman) disuruh memakai hijab.” Meskipun awalnya saran ini tidak dilakukan nabi saw, namun pada akhirnya saran tersebut direspons oleh Allah swt dengan menurunkan surah al-Ahzab [33] ayat 32-33 yang memerintahkan istri nabi dan wanita muslimah untuk menggunakan hijab.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Fase-Fase Diharamkannya Khamar, Manfaat dan Mudarat Khamar

Sedangkan menurut Ibnu Jarir al-Thabari – sebagaimana dikutip Ibnu al-Arabi dalam Ahkam al-Qur-an (jilid 3: 587) – ayat ini adalah larangan terhadap perempuan-perempuan merdeka untuk menyerupai cara berpakaian perempuan-perempuan budak ataupun perempuan non-muslim. Hijab berfungsi sebagai cover atau pelindung bagi perempuan sekaligus simbol identitas seorang muslimah.

Tidak hanya sampai di situ, Umar bin Khattab juga berperan dalam sebab-sebab pewahyuan ayat penetapan maqam Ibrahim sebagai tempat shalat, ayat teguran terhadap kecemburuan istri nabi saw dan ayat pengharaman khamar. Karena kecakapannya dalam membedakan hal yang benar dan yang batil ini, Umar dijuluki oleh nabi saw dengan gelar al-faruq (The Life of Muhammad).

Kebiasaan Bangsa Arab dan Ayat Pengharaman Khamar

Sebelum Islam datang, masyarakat Arab sudah akrab dengan minuman beralkohol atau biasa disebut khamar. Bahkan menurut Yusuf Qardhawi – saking akrabnya mereka dengan khamar – dalam bahasa Arab ada sekitar 100 kosa kata berbeda yang merujuk kepada makna minuman beralkohol tersebut. Selain itu, juga terdapat banyak syair Arab yang berisi tentang kecintaan terhadap khamar (History of The Arabs).

Bisa dikatakan bahwa khamar adalah konsumsi utama bangsa Arab. Mereka menjadikannya sebagai minuman harian yang dianggap bermanfaat dan berfaedah bagi badan. Minum khamar bagi orang-orang Arab itu – kurang lebih – seperti minum kopi bagi orang-orang Aceh di zaman ini. Dalam setiap rumah mereka – hampir selalu – tersedia khamar untuk dinikmati atau disajikan bagi para tamu yang berkunjung.

Ketika Islam datang, kebiasaan bangsa Arab tidak serta-merta hilang. Kita dapat menemukan banyak riwayat pada periode awal Mekah di mana bangsa Arab – termasuk sebagian sahabat – masih menikmati khamar sebagai minuman harian. Hal ini dikarenakan ayat pengharaman khamar belum turun dan tidak ada perintah secara langsung dari nabi Muhammad saw untuk meninggalkannya.

 Muhammad Husein Haekal, cendekiawan asal Mesir, menyebutkan dalam Biografi Umar bin Khattab bahwa masyarakat Mekah sangat gemar minum khamar kala itu, dan Umar – sebelum masuk Islam – adalah orang yang sangat kecanduan khamar. Namun kebiasaannya tersebut lambat laun berubah dan hilang tak tersisa sehingga ia sepenuhnya terbebas dari khamar.

Kendati demikian, sebagian kaum muslimin masih gemar meminum khamar. Disebutkan bahwa kebiasaan ini berlangsung hingga periode awal di Madinah. Ketika sebagian kaum muslimin minum khamar, tak jarang terjadi permasalahan atau pertikaian di antara mereka. Singkatnya, kebiasaan meminum khamar kala itu sering menimbulkan kekacauan.

Melihat situasi kaum muslimin sedemikian rupa, tak jarang pula rang-orang Yahudi dan kaum munafik memanfaatkan situasi serta menggunakan kesempatan minum minuman itu untuk membangkitkan pertentangan lama antara bani Aus dengan bani Khazraj. Sehubungan dengan itu Umar kemudian menanyakan soal minuman keras ini kepada nabi Muhammad saw — ketika itu Al-Qur’an belum menyinggungnya (Biografi Umar bin Khattab).

Nabi Muhammad saw lalu berkata, “Allahumma ya Allah, jelaskanlah soal ini kepada kami.” Setelah itu turunlah surah al-Baqarah [2] ayat 219, “Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang khamar dan judi. Katakanlah, “Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya….” (QS. Al-Baqarah [2] ayat 219).

Karena dalam ayat ini khamar belum dilarang, maka kaum Muslimin tetap saja menghabiskan malam dengan meminum khamar. Lama-kelamaan, kegelisahan Umar bin Khattab justru semakin menjadi-jadi karena khawatir akan imbas buruk jangka panjang khamar. Sebagai contoh, sebagian sahabat kerap lalai dalam shalatnya – baik lupa rakaat ataupun salah bacaan – karena mereka beribadah dalam keadaan mabuk.

Umar bin Khattab lantas bertanya lagi kepada nabi Muhammad saw tentang kepastian pelarangan khamar. Beliau bersabda, “Allahumma ya Allah, jelaskanlah tentang khamar itu kepada kami. Minuman ini merusak pikiran dan harta! Kemudian turunlah surah an-Nisa [3] ayat 43: “Wahai orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati shalat ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkan…”

Sejak saat itu muazin sering menambahkan seruan, “orang yang mabuk jangan mendekati shalat.” Pada tahap ini, kaum Muslimin sudah mulai mengurangi minum khamar meskipun belum berhenti seutuhnya. Namun, efek buruk khamar rupanya masih sangat terasa. Sebagian kaum muslimin yang tetap meminum khamar di luar shalat kerap bertikai. Bahkan dikisahkan bahwa ada dua suku yang saling tikam akibat pengaruh alkohol (Sejarah Hidup Muhammad).

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Khamar itu Haram! Fase Terakhir Pengharaman Khamar

Kegelisahan Umar bin Khattab akhirnya memuncak. Ia lantas bertanya lagi kepada Rasulullah kapankah khamar mutlak diharamkan dan kapan ayat pengharaman khamar akan turun. Beliau berkata, “Ya Allah, jelaskanlah kepada kami tentang hukum khamar ini dengan tegas, sebab ini telah merusak pikiran dan harta.” Kemudian turunlah surah al-Maidah [5] ayat 90 sebagai ayat pengharaman khamar secara mutlak.

Menurut Sayyid Qutb dalam tafsirnya, Fi Zhilalil Qur’an, ketika ayat ini turun para sahabat langsung menumpahkan gelas-gelas yang masih berisi khamar tanpa tersisa. Mereka menuju tempat penyimpanan khamar yang terdiri dari gentong-gentong dan seketika itu menghancurkan semuanya. Dikisahkan bahwa kala itu jalanan Madinah berwarna merah akibat tumpahan zat haram tersebut. Wallahu a’lam.

Bolehkah Menulis Mushaf Al-Quran dengan Selain Rasm Utsmani?

0
menulis mushaf Al-Quran dengan rasm Usmani
menulis mushaf Al-Quran dengan rasm Usmani

Ketika membaca Al-Qur’an kita sering menemukan lafal atau teks suatu kata Al-Qur’an yang memiliki perbedaan dalam sisi susunan struktur kata dengan penulisan bahasa Arab konvensional saat ini. Hal ini terjadi dikarenakan mushaf Al-Qur’an tersebut ditulis menggunakan rasm utsmani. Jika demikian, apakah penulisan mushaf Al-Qur’an itu harus menggunakan rasm utsmani? Bolehkah jika menulis mushaf Al-Quran menggunakan standar penulisan bahasa Arab konvensioanl (rasm imla’iy) saat ini?

Menyikapi pertanyaan tersebut, terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama terkait hukum menulis mushaf Al-Quran dengan selain rasm utsmani. Secara umum, Musthafa Dib al-Bugha dan Muhyiddin Mastu dalam karyanya al-Wadhih fi ‘Ulum al-Qur’an memaparkan bahwa perbedaan pendapat tersebut sekurang-kurangnya terbagi dalam dua pandangan atau pendapat ulama berikut:

Baca Juga: Sepuluh Pijakan Ilmu Rasm Utsmani Yang Patut Diketahui

Pendapat Pertama

Para ulama kelompok pertama ini berpandangan bahwa rasm utsmani merupakan suatu sistematika penulisan mushaf Al-Qur’an yang bersifat tauqifi. Sehingga tidak diperbolehkan bagi para penulis mushaf Al-Quran untuk menyalahi kaidah penulisan yang telah ditetapkan oleh rasm utsmani.

Argumentasi kelompok pertama ini didasarkan pada persetujuan Nabi atas penggunaan rasm yang sama dengan rasm utsmani sebagai basis dasar penulisan mushaf Al-Qur’an. Sebagaimana disampaikan oleh Musthafa Dib al-Bugha dan Muhyiddin Mastu berikut:

بِأَنَّ النَّبِيَّ ص.م كَانَ لَهُ كُتَّابٌ يَكْتُبُوْنَ الوَحْيَ، وَقَدْ كَتَبُوْا القُرْآنَ فِعْلًا بِهَذَا الرَّسْمِ، وَأَقَرَّهُمْ رَسُوْلُ اللهِ ص.م عَلَى كِتَابَتِهِمْ

“Sesungguhnya Nabi Saw memiliki para penulis yang bertugas menulis wahyu, dan mereka menulis Al-Qur’an berdasarkan rasm ini (rasm ustmani). Dan Rasulullah Saw membenarkan atas hasil penulisan mereka”

Berdasarkan data tersebut, maka rasm utsmani layak dijadikan patokan dalam penulisan mushaf, karena sunnah Nabi itu tidak hanya ucapan, atau perbuatan Nabi, namun juga termasuk ketetapan Nabi (taqrir) atas suatu hal tertentu.

Kemudian, dari sisi historis, penggunaan rasm pada masa Nabi tersebut terus digunakan oleh generasi selanjutnya, mulai dari era pengumpulan pertama yang dilakukan pada masa Abu Bakar hingga era standarisasi mushaf pada masa Utsman ibn Affan. Hingga akhirnya rasm yang digunakan dalam menulis mushaf Al-Qur’an pada masa utsman tersebut dikenal dengan istilah rasm utsmani.

Tidak berhenti disitu, pada era tabi’in dan setelahnya, tidak ada satupun dari para penulis mushaf Al-Qur’an yang menyalahi rasm utsmani. Berdasarkan fakta historis tersebut, maka kelompok pertama ini mewajibkan penulisan mushaf Al-Qur’an dengan rasm ustmani, karena sudah menjadi semacam sunnah mutaba’ah.

Baca Juga: Inilah Potret Mushaf Tertua Nusantara di Rotterdam, Tidak dengan Rasm Usmani

Pendapat Kedua

Berbeda dengan pendapat pertama, terdapat sebagian ulama yang lebih cenderung memandang rasm utsmani hanya sebatas istilah semata yang digunakan oleh sekelompok orang untuk menunjuk kepada suatu sistematika penulisan (rasm) tertentu. Oleh karena itu, rasm utsmani dipandang oleh kelompok kedua ini sebagai suatu hal yang tidak bersifat tauqifi.

Mereka yang berpendapat demikian menggunakan basis argumentasi dikarenakan tidak adanya dalil baik dari Al-Qur’an, Hadis, maupun Ijma’ dari umat tentang kewajiban mengikuti rasm utsmani dalam proses penulisan mushaf Al-Qur’an. Tidak hanya itu, kelompok ini menyatakan bahwa dalam beberapa riwayat hadis justru menunjukkan akan kebolehan menulis dengan perangkat rasm apa saja, selama itu lebih memudahkan dalam proses penulisan mushaf Al-Qur’an.

Selain itu, memang Nabi menyuruh para sahabat yang tergabung dalam kuttab al-wahy untuk menulis wahyu-wahyu ilahi yang disampaikan kepada mereka. Namun, Nabi tidak menjelaskan kaidah atau format penulisan tertentu yang harus dijadikan dasar pijakan dalam proses penulisan mushaf Al-Qur’an. Oleh karena itu, ditemukan adanya perbedaan khat dalam mushaf-mushaf yang ditulis oleh para sahabat.

Sehingga dengan alasan kemudahan tersebut, mereka ingin mengubah rasm utsmani menjadi rasm imla’i, seperti penulisan (طه) menjadi (طاها), kemudian lafal (الله) menjadi (اللاه) dan seterusnya. Beberapa ulama yang berpendapat demikian antara lain adalah Ibnu Khaldun dan Abu Bakar al-Baqillani.

Baca Juga: Memahami Selisih Pendapat Tentang Rasm Yang Dilematik

Pandangan Jumhur Ulama

Mayoritas ulama dan para imam madzhab yang muktabar sepakat bahwa rasm utsmani adalah tauqifi. Oleh karena itu, haram hukumnya menulis mushaf Al-Qur’an dengan selain rasm utsmani sebagaimana disampaikan oleh Abu al-Wafa Ahmad menyebutkan dalam karyanya al-Mukhtar min ‘Ulum al-Qur’an al-Karim berikut:

وَنُقِلَ عَنِ الْإِمَامِ أَحْمَدِ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى أَنَّهُ قَالَ: تَحْرُمُ مُخَالَفَةُ خَطِّ مُصْحَفِ عُثْمَانِ فِيْ وَاوٍ، أَوْ أَلِفٍ، أَوْ بَاءٍ، أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ. وَنَقَلَ الإِمَامُ الجَعْبَرِيُّ وَغَيْرُهُ إِجْمَاعُ الْأَئِمَّةُ الْأَرْبَعَةُ عَلَى وُجُوْبِ اِتِّبَاعِ رَسْمِ الْمُصْحَفِ العُثْمَانِي

“Dikutip dari Imam Ahmad rahimahullah ta’ala, bahwasanya ia berkata: haram untuk menyelisihi khat mushaf Utsman, baik dalam partikel wawu, alif, ba’ ataupun selainya. Dikutip juga dari Imam al-Ja’bariy dan selainya, bahwasanya empat Imam madzhab telah sepakat bahwa wajib hukumnya untuk mengikuti rasm al-mushaf al-utsmani

Selain telah menjadi kesepakatan di antara para ulama’, Sya’ban Muhammad Isma’il dalam karyanya Rasm al-Mushaf wa Dlabthuhu menjelaskan bahwa rasm utsmani memiliki berbagai keistimewaan yang menjadikan rasm utsmani lebih unggul dibanding rasm yang lain. Salah satu keistimewaan tersebut adalah kalimat yang ditulis dengan rasm utsmani dapat mencakup ragam macam qira’at. Misalnya dalam QS. al-Fathir [35] ayat 40:

قُلْ اَرَاَيْتُمْ شُرَكَاۤءَكُمُ الَّذِيْنَ تَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ ۗاَرُوْنِيْ مَاذَا خَلَقُوْا مِنَ الْاَرْضِ اَمْ لَهُمْ شِرْكٌ فِى السَّمٰوٰتِۚ اَمْ اٰتَيْنٰهُمْ كِتٰبًا فَهُمْ عَلٰى بَيِّنَتٍ مِّنْهُۚ بَلْ اِنْ يَّعِدُ الظّٰلِمُوْنَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا اِلَّا غُرُوْرًا – ٤٠

Dalam Al-Qur’an, kata bayyinah disebutkan sebanyak 19 kali, seluruhnya ditulis menggunakan ta’ marbuthah (بينة) kecuali dalam ayat tersebut yang ditulis dengan ta’ ta’nits (بينت). Hal ini dikarenakan adanya qira’at yang membaca kalimat bayyinah dengan bentuk jamak (بينات), namun ada juga yang membacanya dengan bentuk mufrad (بينة). Oleh karena itu, dalam redaksi ayat tersebut kalimat bayyinah oleh rasm utsmani ditulis dengan ta’ ta’nits namun tanpa alif sebagaimana bentuk jamak, sehingga dapat menampung dua bentuk varian qira’at.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penulisan mushaf Al-Qur’an harus menggunakan rasm utsmani. Selain itu, para ulama juga sepakat bahwa rasm utsmani merupakan rasm yang bersifat tauqifi dan memiliki berbagai keistimewaan dibanding rasm lain. Oleh karena itu, mayoritas ulama sepakat bahwa menulis mushaf Al-Quran dengan selain rasm utsmani ataupun menggunakan rasm imla’iy adalah haram. Wallahu A’lam

Banyak Bertanya itu Tidak Baik, Simak Tafsir Surah Al-Maidah Ayat 101-102

0
banyak bertanya itu tidak baik
banyak bertanya itu tidak baik

Ada pribahasa yang sudah dikenal banyak orang yaitu ”malu bertanya sesat di jalan”. Pribahasa tersebut menganjurkan kita untuk tidak segan bertanya mengenai sesuatu yang belum jelas. Al-Quran juga menganjurkan kita untuk bertanya kepada ahlinya sebagaimana Firman Allah QS. Al-Anbiya [21]: 7 “maka tanyakanlah kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui”. Akan tetapi, ternyata ada ayat Al-Quran yang berisi larangan bertanya, tepatnya larangan banyak bertanya.

Ayat Al-Quran yang dimaksud adalah Firman Allah QS. Al-Maidah [5]: 101. Berikut bunyi ayat dan terjemahnya,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ وَإِنْ تَسْأَلُوا عَنْهَا حِينَ يُنَزَّلُ الْقُرْآنُ تُبْدَ لَكُمْ عَفَا اللَّهُ عَنْهَا وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepada kamu, (justru) at kan menyusahkan kamu. Jika kamu menanyakannya ketika al-Qur’an sedang diturunkan, (niscaya) akan diterangkan kepadamu, Allah telah memaafkan (kamu) tentang hal itu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyantun. (QS. Al-Mā`idah [5]: 101).

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Berbagai Pertanyaan dalam Larangan Jual Beli di Hari Jumat

Berbagai riwayat seputar surah Al-Maidah Ayat 101

Menurut al-Maraghi di dalam Tafsīr al-Marāghī (juz 7, halaman 40) ayat tersebut memberikan arahan kepada orang-orang mukmin tentang larangan banyak bertanya kepada Nabi Muhammad SAW agar pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak menjadi sebab bertambahnya beban syariat yang akan memberatkan orang mukmin.

Dalam kitab Shahih Bukhari hadis nomor 4622 diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa orang-orang yang bertanya kepada Nabi Muhammad SAW untuk mengolok-olok Nabi Muhammad SAW. Mereka berkata kepada Nabi Muhammad SAW “siapakah bapakku?” dan sebagain yang lain berkata “dimanakah untaku?” Maka Allah menurunkan ayat tersebut (HR. Bukhari). Pertanyaan semacam ini dilontarkan oleh orang-orang munafik yang ingin mengolok-olok Nabi Muhammad SAW. Sedangkan khitob (sasaran bicara) dalam ayat tersebut adalah orang-orang beriman.

Hal ini menurut Ibn ‘Asyūr di dalam Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr (juz 7, halaman 66) dimaksudkan sebagai peringatan bagi orang-orang beriman mengenai larangan banyak bertanya kepada Nabi Muhammad SAW sebagaimana yang ditanyakan oleh munafik yang memang tujunnya adalah untuk mengolok-olok Nabi Muhammad SAW.

Menurut Ibn Kaṡīr di dalam Tafsīr Ibn Kaṡīr (juz 3, halaman 203) bahwa ayat tersebut merupakan pendidikan dari Allah bagi hamba-hamba-Nya dan larangan untuk bertanya mengenai sesuatu yang tidak berfaidah. Hal ini karena jika dijelaskan mengenai hal tersebut bisa jadi menjadi keburukan dan memberatkan bagi orang mukmin yang mendengarnya.

At-Tabari di dalam Jāmi’ al-Bayān (juz 11, halaman 104) menyatakan bahwa ayat tersebut berkenaan dengan pertanyaan yang dilontarkan kepada Nabi Muhammad mengenai haji. Ketika diturukan ayat mengenai haji orang-orang bertanya “wahai Rasulullah, apakah kami haji setiap tahun? “. Rasulullah SAW diam. Orang-orang kembali memgulang lagi pertanyaan tersebut dan Rasulullah SAW akhirnya menjawab “tidak. Demi Allah, jika aku berkata “iya” niscaya wajib bagi kalian untuk haji setiap tahun.”

Baca Juga: Tafsir Surah al-Isra’ Ayat 36: Larangan Berkomentar Tanpa Ilmu

Tafsir surah Al-Maidah ayat 102

Ayat selanjutnya memberi penjelasan tentang alasan tentang larangan banyak bertanya mengenai ketentuan syariat. Ayat tersebut adalah

 قَدْ سَأَلَهَا قَوْمٌ مِنْ قَبْلِكُمْ ثُمَّ أَصْبَحُوا بِهَا كَافِرِينَ

sesungguhnya sebelum kamu telah ada segolongan manusia yang meanyakan hal serupa itu (kepada nabi mereka), kemudian mereka menjadi kafir (QS. Al-Mā`idah [5]: 102).

Al-Zamakhsyari dalam Al-Kasysyāf  (juz 1, 684) berkata bahwa Bani Israil banyak meminta fatwa kepada nabi-nabi mereka tentang banyak hal namun ketika mereka diperintah, mereka kemudian mengingkarinya dan karena itulah akhirnya mereka celaka.

Al-Quran sendiri mengisahkan Bani Israil yang banyak sekali bertanya ketika Allah memerintahkan Bani Israil untuk menyembelih seekor sapi.

Mereka berkata “mohonkan kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menjelaskan kepada kami tentang (sapi betina) itu”. Dia (Musa) menjawab, “Dia (Allah) berfirman, bahwa sapi betina itu tidak tua dan tidak musa, (tetapi) pertengahan antara itu. Maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu.”

Mereka berkata ““mohonkan kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menjelaskan kepada kami apa warnanya”. Dia (Musa) menjawab, “Dia (Allah) berfirman, bahwa (sapi) itu adalah sapi betina yang kuning tua warnanya, yang menyenangkan orang-orang yang memandang(nya.”

Mereka berkata “mohonkan kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menjelaskan kepada kami tentang (sapi betina) itu. Karena sesungguhnya sapi itu belum jelas bagi kamu, dan jika Allah menghendaki, niscaya kami mendapat petunjuk.” Dia (Musa) menjawab “Dia (Allah) berfirman, bahwa (sapi) itu adalah sapi betina yang belum dipakai untuk membajak tanah dan tidak (pula) untuk mengairi tanaman, sehat, dan tanpa belang.”

Mereka berkata, “sekarang barulah engkau menerangkan (hal) yang sebenarnya.” Lalu mereka menyembelihnya dan nyaris nereka tidak melaksanakan (perintah) itu. (QS. Al-Baqarah [2]: 68-72).

Baca Juga: Kisah Bani Israil Dalam Al-Quran dan Hidangan Dari Langit

Berdasarkan kisah Bani Israil tersebut, pertanyaan-pertanyaan yang terus dilontarkan oleh mereka membuat kriteria sapi betina yang harus disembelih semakin sulit dicari. Padahal bisa saja seandainya Bani Israil bergegas untuk  melaksanakan perintah menyembelih sapi betina tersebut, niscaya akan jauh lebih mudah mendapatkan sapi betina untuk disembelih. Apa yang dilakukan Bani Israil justru membuat perintah Nabi Musa sulit dilaksanakan dan berat bagi mereka.

Jadi, ada beberapa poin penting yang dapat diambil dari penafsiran QS. Al-Māidah ayaṭ 101-102 antara lain:

  1. Jangan banyak bertanya mengenai perintah syariat yang hanya akan mempersulit kita dalam melaksanakan perintah tersebut. Apalagi sampai membuat kita enggan melakukan perintah tersebut. Lakukan sesuai dengan kemampuan masing-masing individu.
  2. Tidak diperkenankan bertanya mengenai sesuatu yang meskupun dijawab tidak memberi manfaat apapun kepada kita. Apalagi pertanyaan tersebut bertujuan untuk menguji atau mengolok-olok orang yang kita beri pertanyaan.

Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu A’lam

Tafsir Surah Al Lail Ayat 1-11

0
tafsir surah al lail
Surah Al-Lail

Tafsir Surah Al Lail Ayat 1-11 seperti artikel sebelumnya yang memulai surah dengan sumpah. Kali ini yang dijadikan objek sumpah adalah dua hal yang berlawanan, yaitu malam dan siang dan laki-laki dan perempuan.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Asy Syams Ayat 11-15


Pembahasan dalam Tafsir Surah Al Lail Ayat 1-11 ini diakhiri dengan pengemukaan potensi positif dan negatif yaitu berprilaku baik dan buruk. Masing-masing dari keduanya terdapat balasan yang setimpal.

Ayat 1-2

Allah bersumpah dengan malam apabila menutupi, yaitu ketika malam sudah merata menutupi alam ini. Ini adalah waktu isya yaitu ketika cahaya merah sudah hilang di ufuk barat. Waktu itu manusia pada umumnya sudah mengakhiri aktivitasnya, dan ingin istirahat dan pergi tidur.

Kemudian Allah bersumpah dengan aktivitas alam sebaliknya, yaitu siang ketika terang benderang. Waktu itu adalah waktu duha ketika cahaya matahari sudah merata menyinari alam ini, yang kontras dengan malam yang baru saja berakhir, dan manusia mulai bekerja.

Ayat 3

Selanjutnya, Allah bersumpah dengan laki-laki dan perempuan yang telah diciptakan-Nya. Ini adalah juga dua makhluk yang berlawanan jenis dan kodratnya.

Ayat 4

Setelah bersumpah dengan dua-dua makhluk-Nya yang berlawanan jenis dan sifatnya, Allah menegaskan bahwa perbuatan atau tingkah laku manusia itu memang bermacam-macam. Perbedaan itu terjadi karena perbedaan kemauannya, apakah mengikuti potensi positifnya ataukah mengikuti potensi negatifnya.


Baca juga: Tafsir Surah Yusuf Ayat 11-14: Waspadai Firasat Buruk Orang Tua terhadap Anaknya!


Ayat 5-7

Dalam ayat ini, Allah menerangkan adanya tiga tingkah laku manusia. Pertama, suka memberi, yaitu menolong antara sesama manusia. Ia tidak hanya mengeluarkan zakat kekayaannya, yang merupakan kewajiban, tetapi juga berinfak, bersedekah, dan sebagainya yang bukan wajib. Kedua, bertakwa, yaitu takut mengabaikan perintah-Nya atau melanggar larangan-Nya.

Ketiga, membenarkan kebaikan Allah, yaitu mengakui nikmat-nikmat yang telah diberikan kepadanya lalu mensyukurinya. Nikmat terbesar Allah yang ia akui adalah surga. Oleh karena itu, ia tidak segan-segan beramal di dunia untuk memperolehnya, di antaranya membantu antara sesama manusia.

Kepada mereka yang melakukan tiga aspek perbuatan baik di atas, Allah akan memberikan kemudahan bagi mereka, yaitu kemudahan untuk memperoleh keberuntungan di dunia maupun di akhirat.

Ayat 8-11

Sebaliknya, ada manusia yang bertingkah laku sebaliknya. Ia bakhil, pelit, tidak mau menolong antar sesama, apalagi mengeluarkan kewajibannya yaitu zakat. Di samping itu, ia sudah merasa cukup segala-galanya. Oleh karena itu, ia merasa tidak memerlukan orang lain bahkan Allah.

Akibatnya, ia sombong dan tidak mengakui nikmat-nikmat Allah yang telah ia terima dan tidak mengharapkan nikmat-nikmat itu. Akibatnya ia tidak mengindahkan aturan-aturan Allah. Orang itu akan dimudahkan Allah menuju kesulitan, baik kesulitan di dunia maupun di akhirat. Kesulitan di dunia misalnya kejatuhan, penyakit, kecelakaan, musibah, dan sebagainya. Kesulitan di akhirat adalah ketersiksaan yang puncaknya adalah neraka.

Manusia, bila sudah mati tanpa memiliki amal dan kemudian masuk neraka di akhirat, maka harta benda dan kekayaan mereka tidak berguna apa pun. Hal itu karena harta itu tidak akan bisa digunakan untuk menebus dosa-dosa mereka.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Lail Ayat 12-21


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat Yasin Ayat 74-75; Celaan Pada Mereka yang Menuhankan Selain Allah

0
Yasin ayat 74-75
Yasin ayat 74-75

Artikel sebelumnya telah menjabarkan bagaimana besarnya nikmat yang diberikan Allah Swt kepada manusia. Salah satunya adalah nikmat hewan ternak yang nyata dirasakan dalam kehidupan sehari-hari. Namun sebagian mereka malah berlaku kufur nikmat, bahkan menuhankan sesuatu selain Allah. Dalam tafsir surat Yasin ayat 74-75 berikut ini Allah Swt mencela hal tersebut:

وَاتَّخَذُوا مِن دُونِ اللَّهِ آلِهَةً لَّعَلَّهُمْ يُنصَرُونَ

لَا يَسْتَطِيعُونَ نَصْرَهُمْ وَهُمْ لَهُمْ جُندٌ مُّحْضَرُونَ

Mereka mengambil sembahan-sembahan selain Allah agar mereka mendapatkan pertolongan.

Berhala-berhala itu tiada dapat menolong mereka, padahal berhala-berhala itu menjadi tentara yang disiapkan untuk menjaga mereka. (Surah Yasin Ayat 74-75)

Wahbah Az-Zuhaili berkomentar, berbagai kenikmatan yang diberikan Allah pada manusia sebagaimana yang disinggung pada ayat-ayat sebelumnya hendaknya disyukuri dengan cara hanya menyembah dan menaati Allah Swt. Namun orang-orang kafir dan musyrik mengingkari kewajiban ini. Mereka kufur nikmat, tetap bertahan dalam kesesatan dan enggan menyembah Allah. Mereka justru menyembah sesuatu yang tidak mampu memberikan manfaat maupun mudharat.

Baca Juga: Wahbah az-Zuhaili: Mufasir Kontemporer yang Mendapat Julukan Imam Suyuthi Kedua

Hamka menjelaskan, sesembahan selain Allah ini tidak hanya terbatas pada patung-patung berhala, apalagi di masa sekarang di mana banyak orang yang menuhankan beragam hal. Antara lain batu, kayu, pohon atau gunung tertentu, termasuk kuburan orang yang telah mati. Mereka yang memuja dan meminta pertolongan pada tuhan-tuhan buatan inilah yang dituju oleh ayat di atas.

Alasan mereka menyekutukan Allah Swt, menurut at-Tabataba’i karena mereka meyakini bahwa Allah Swt telah menyerahkan pengaturan alam semesta kepada sesembahan-sesembahan tersebut; yang baik maupun yang buruk. Mereka menyembah sesembahan itu supaya mendapatkan kerelaannya, sehingga tidak dimurkai atau dihambat rizkinya.

Adapun menurut Nawawi al-Bantani, mereka menyembah selain Allah sebab berkeyakinan bahwa sesembahan tersebut akan mampu menolong mereka dari azab Allah Swt. Keyakinan ini diberitakan pula dalam QS. Yunus: 18 berikut:

وَيَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَٰؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِندَ اللَّهِ ۚ قُلْ أَتُنَبِّئُونَ اللَّهَ بِمَا لَا يَعْلَمُ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ ۚ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَىٰ عَمَّا يُشْرِكُونَ

Dan mereka menyembah selain Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan. Mereka berkata: “Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah.” Katakanlah: “Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya baik di langit dan tidak (pula) dibumi?” Maha Suci Allah dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka mempersekutukan (itu).

Menurut Hamka, tanpa penegasan Allah pada QS. Yasin ayat 75 itu pun, akal cerdas manusia sebenarnya akan membenarkan pernyataan bahwa tuhan yang dibuat dan dikhayalkan manusia tidak akan sanggup menolongnya sedikitpun. Sebuah perbuatan bodoh atau jahiliah manakala seseorang meminta tolong kepada buah hasil tangannya sendiri.

Baca Juga: Buya Hamka, Mufasir Reformis Indonesia Asal Minangkabau

Terkait dengan yang dimaksud “tentara yang dihadirkan” pada ujung ayat ke-75 itu ulama berbeda pendapat. Apakah ungkapan itu merujuk kepada berhala ataukah para penyembahnya.

Menurut Quraish Shihab, ungkapan tersebut merujuk kepada para penyembah yang menjadi seperti tentara bagi sesembahannya. Mereka senantiasa menemani, memberikan persembahan dan melindungi berhala yang mereka anggap sebagai tuhan dari berbagai ancaman.

Dapat pula dipahami bahwa sesembahan itu disiapkan sebagai tentara untuk menjaga penyembahnya. Berhala itu dihadirkan di dekat mereka, namun demikian tidak mampu membantu atau membela mereka yang telah menyembahnya. Ketika berada dekat bersama mereka saja tidak mampu, maka apalagi ketika berada di tempat yang jauh.

Adapun menurut Wahbah Az-Zuhaili, berhala itu akan dihadirkan untuk membantu mengazab penyembahnya di hari kiamat, karena kelak berhala merupakan salah satu bahan bakar api neraka.

Sementara itu, at-Tabataba’i menyatakan sesembahan didatangkan ketika penyembahnya diazab di neraka untuk menunjukkan ketidakmampuannya menolong mereka.

Pendapat lain mengatakan, kelak setiap kaum akan didatangkan apa yang mereka sembah selain Allah ketika di dunia. Mereka diperintahkan mengikuti sesembahan ini menuju neraka sebagaimana layaknya sebuah rombongan tentara.

Berkaitan dengan pendapat terakhir ini, al-Qurtubi dalam tafsirnya mengutip potongan awal dari sebuah hadis sahih yang diriwayatkan oleh Muslim dan at-Timidzi sebagai berikut:

 عن  أبي هريرة أن النبي – صلى الله عليه وسلم – قال : يجمع الله الناس يوم القيامة في صعيد واحد ، ثم يطلع عليهم رب العالمين فيقول : ألا ليتبع كل إنسان ما كان يعبد . فيمثل لصاحب الصليب صليبه ، ولصاحب التصاوير تصاويره ، ولصاحب النار ناره ، فيتبعون ما كانوا يعبدون ويبقى المسلمون

Dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah mengumpulkan manusia pada hari kiamat di satu tanah lapang, kemudian Ia mendatangi mereka dan berfirman; ‘Ingat, setiap manusia mengikuti apa yang pernah disembahnya.’ Lalu penyembah salib diperlihatkan penjelmaan salibnya, penyembah patung diperlihatkan penjelmaan patungnya dan penyembah api diperlihatkan penjelmaan apinya lalu mereka mereka mengikuti yang pernah mereka sembah. Semntara kaum muslimin tetap tinggal.” (HR. at-Tirmidzi no. 2480)

Demikianlah tafsir singkat dari surah Yasin ayat 74-75 tentang celaan Allah pada orang-orang yang menuhankan sesuatu selain diri-Nya. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

DJohan Effendi: Pembaharu Islam dan Penulis Tafsir Ijmali Al-Quran Puitis

0
DJohan Effendi
DJohan Effendi

Bagi kalangan pemikir muslim Indonesia, nama Djohan Effendi terdengar sudah tidak asing. Ia disebut sebagai salah satu pelopor pembaharu pemikiran Islam di Indonesia, di samping Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wachid, dan Ahmad Wahid. Jika menilik rekam jejak para pembaru Islam Indonesia, jarang sekali ditemukan karya mereka yang berkenaan dengan tafsir Al-Quran. Kebanyakan karya mereka biasanya menyangkut persoalan pemikiran yang tidak lagi membicarakan teks secara literal. Namun, sedikit bukan berarti tidak ada sama sekali. Di akhir hidupnya, Djohan Effendi sempat menulis karya tafsir ringkas Al-Quran atau yang disebut tafsir ijmali dengan sajian bahasa yang puitis. Karya tersebut ia beri nama “Pesan-Pesan Al-Quran: Mencoba Mengerti Intisari Kitab Suci”.

Djohan Effendi, Sosok Pembaharu Islam Indonesia

Djohan Effendi lahir di Kota Banjarmasin pada tanggal 1 Oktober 1939 dari pasangan H. Mulkani dan Hj. Siti Khadijah. Ia dibesarkan oleh keluarga yang relijius, di mana sejak dini Djohan telah diperkenalkan dengan teks-teks berbahasa Arab. Ahmad Gaus dalam bukunya Sang Pelintas Batas: Biografi Djohan Effendi menyebutkan bahwa kakek beserta ayah dan ibu Djohan menganut paham tradisionalis. Maka, tak salah lagi, jika Djohan mewarisi pendidikan agama yang bercorak tradisionalis.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Khamar itu Haram! Fase Terakhir Pengharaman Khamar

Selain dari lingkungan keluarga, riwayat pendidikan Djohan juga mempengaruhi pemikirannya kelak. Pendidikan formalnya dimulai dengan masuk di Sekolah Rakyat selama 6 tahun, lalu Sekolah Arab selama 3 tahun, kemudian masuk ke Pendidikan Guru Agama Pertama (PGAP). Setelah menamatkan pendidikannya di PGAP, Djohan menerima beasiswa ikatan dinas ke Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN) Yogyakarta. Bersamaan itu pula ia diangkat mejadi pegawai negeri yang bekerja di Kerapatan Qadhi (Kantor Pengadilan Agama) di Amuntai, Hulu, Sungai Utara.

Sekitar tahun 1960, saat Djohan bekerja, ia mendapat tugas belajar di fakultas Syariah dari Departemen Agama. Pada saat-saat inilah, pemikirannya mulai kritis karena ia banyak bergumul dengan para aktivis dan mendalami literatur secara lebih mendalam. Ia mengusulukan kepada Mukti ali, Dosen Senior UIN Sunan Kalijaga pada waktu itu untuk membuat kelompok kajian terbatas. Kelompok diskusi tersebut dinamai limited group yang beranggotakan calon-calon pembaharu Islam kelak.

Setelah lulus dari IAIN Sunan Kalijaga, DJohan ditempatkan di Sekretariat Jenderal Departemen Agama, kemudian diangkat menjadi staf pribadi Menteri Agama Mukti Ali. Pada tahun 1993, ia meraih gelar peneliti utama Departemen Agama, setingkat dengan guru besar di perguruan tinggi. Karena pemikirannya yang moderat, dalam sambutan pidato pengukuhannya ia seringkali menyinggung eksistensi kelompok penganut kepercayaan minoritas yang sering diperlakukan tidak adil seperti Kong Hu Chu, dan Baha’i. Selain itu Djohan juga dikenal sangat gencar membela kelompok minoritas Ahmadiyah.

Baca juga: Membaca Ummatan Wasatan Sebagai Pesan Moderasi dalam Al-Quran

Djohan memanglah sosok yang sangat terbuka, moderat, kritis, dan humanis. Greg Barton, seorang sarjana dari Monash University Monash mengakui dalam disertasinya bahwa Djohan Effendi setara dengan Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wachid, dan Ahmad Wahib, sebagai seorang neo-modernis Islam. Di usianya yang sudah tua, ia lebih mengurangi aktivitasnya, dan memilih tinggal di Australia. Pada saat-saat inilah ia mulai konsen menyelami Al-Quran hingga melahirkan karya terakhir sebelum ia wafat pada 17 November 2017. Karya terakhir tersebut merupakan sebuah tafsir Al-Quran ringkas yang diberi judul Pesan-Pesan Al-Quran.

Pesan-Pesan Al-Quran Sebagai Karya Tafsir Ijmali Al-Quran yang Puitis

Karya-karya Djohan Effendi terbilang cukup banyak. Namun, sebagaimana pembaharu Islam lainnya, kebanyakan tulisan Djohan adalah menyangkut pemikiran. Kendati demikian, di akhir hidupnya ia menuliskan sebuah karya tafsir Al-Quran yang ia beri nama “Pesan-Pesan Al-Quran: Mencoba Mengerti Intisari Kitab Suci”.

Karya tersebut merupakan sebuah tafsir ijmali Al-Quran. Dinamakan tafsir ijmali karena dalam setiap surahnya, Djohan hanya menafsirkan surah secara umum, meski dalam beberapa surah panjang penjelasannya dibagi dalam beberapa sub bab. Barangkali Djohan juga menghendaki keringkasan tersebut, karena ia juga tidak menuliskan ayat-ayat Al-Quran di dalamnya. Namun meski tafsir ini sangat ringkas, bahasa yang disajikan Djohan dalam tafsirnya sangat puitis dan memikat.

Secara kaar, tafsir yang berisi 544 halaman tersebut dibagi dalam 9 bab. Urutan per banya adalah biografi penulis, daftar isi, pendahuluan, pembahasan, lampiran, terjemah puitis, indeks, dan senarai bacaan. Secara metode, karya tafsir tersebut memakai metode maudhu’i (tematik), dan urutan pembahasan surahnya secara tertib mushaf. Penafsirannya pertama-tama adalah surah Al-Fatihah sebagai prolog, diikuti kemudian ke-110 surah yang lain, lalu ditutup dengan epilog penafsiran surah Al-Ikhlas dan Al-Mu’awizatain (Al-Falaq dan An-Nas).

Baca juga: Women’s Day: Raden Ajeng Kartini dan Peradaban Penafsiran Al-Quran di Indonesia

Karya tafsir Djohan tentu memiliki banyak kekurangan, selain juga memiliki kelebihan-kelebihan yang tak kalah banyak. Namun, kekurangan itu terlindungi oleh kerendahan hati Djohan dalam senarai “bahwa buku ini pasti subjektif”, sebagaimana yang diungkapkan laJalaluddin Rakhmat dalam diskusi yang diadakan di Teater Utan Kayu, Jakarta.

Yang menarik dari tafsir ringkas Djohan adalah penggunaan bahasanya yang puitis dan memikat. Hal ini diakui oleh Ahmad Mustafa Bisri yang dikutip Diponegoro dalam buku Kabar Wigati dan Kerajaan, Puitisasi Terjemahan al-Qur’an Juz ke-29 dan ke-30. Diksi dalam penafsiran tersebut sangat romantis di setiap surah. Tak hanya itu, setiap penutupan penafsirannya pada semua surah ia berikan terjemahan puisi.

Salah satu bunyi puisi yang memikat itu bisa kita temukan pada penutupan surah An-Nahl:

Lebah

Dia Mahakaya

Segala Ciptaan-Nya tak percuma

Sekadar dicipta lalu dibiarkan binasa

Hilang ditelan waktu

Tengoklah lebah

Biar seekor hewan kecil

Lemah, Tapi hidupnya berguna

Tidak sia-sia, Hinggap dari bunga ke bunga

Mengisap sari makanan

Diolah Menjadi madu

Bersi,

Berkhasia,

Bagi manusia

Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Asy Syams Ayat 11-15

0
tafsir surah asy syams
tafsir surah asy syams

Tafsir Surah Asy Syams Ayat 11-15 berbicara lebih lanjut mengenai pesan penting yang telah disinggung pada artikel sebelumnya, yaitu agar berbuat baik dan mampu mengendalikan diri dengan baik agar selamat di akhirat.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Asy Syams Ayat 1-10


Sebaliknya, apabila lebih memilih keingkaran maka azab akan menimpanya. Seperti azab yang menimpa kaum Nabi Saleh As. Karena kaum Samud itu telah melewati batas dalam keingkaran, maka Allah turunkan azab kepada mereka.

Ayat 11

Kaum Samud adalah umat Nabi Saleh. Mereka telah mendustakan dan mengingkari kenabian dan ajaran-ajaran yang dibawa Nabi Saleh dari Allah.

abi Saleh diberi mukjizat oleh Allah sebagai ujian bagi kaumnya, yaitu seekor unta betina yang dijelmakan dari sebuah batu besar, untuk menandingi keahlian kaum itu yang sangat piawai dalam seni patung dari batu.

Bila mereka piawai dalam seni patung sehingga patung itu terlihat bagaikan hidup, maka mukjizat Nabi Saleh adalah menjelmakan seekor unta betina yang benar-benar hidup dari sebuah batu. Akan tetapi, mereka tidak mengakuinya, dan berusaha membunuh unta itu.

Ayat 12

Awal kecelakaan bagi kaum Samud adalah ketika tampil seorang yang paling jahat dari mereka, yaitu Qudar bin Salif. Ia adalah seorang yang sangat berani, perkasa, dan bengis. Ia datang memprovokasi kaumnya untuk membunuh unta betina mukjizat Nabi Saleh.


Baca juga: Epidemiologi Al-Qur’an (2): Virus Sampar Dalam Kisah Nabi Shalih dan Kaum Tsamud


Ayat 13

Nabi Saleh memperingatkan kaumnya agar tidak mengganggu unta itu. Ia memperingatkan bahwa unta itu adalah mukjizat dari Allah, dan haknya untuk memperoleh minum berselang hari dengan mereka, harus dihormati. Ia memperingatkan pula bahwa bila mereka mengganggunya, mereka akan mendapat bahaya.

Ayat 14

Akan tetapi, kaumnya memandang Nabi Saleh bohong, begitu juga unta itu sebagai mukjizat, dan menganggap sepi peringatan Nabi Saleh tersebut. Unta itu mereka tangkap beramai-ramai, lalu Qudar bin Salif membunuhnya dengan cara memotong-motongnya.

Akhirnya Allah meratakan negeri mereka dengan tanah, dengan mengirim petir yang menggelegar yang diiringi gempa yang dahsyat, sebagai balasan pembangkangan dan dosa-dosa mereka.

Ayat 15

Allah tidak peduli bencana yang Ia timpakan kepada mereka dengan korban yang begitu besar. Hal itu karena pembangkangan mereka yang sudah sangat keterlaluan, yaitu membunuh unta betina (mukjizat) yang diturunkan-Nya kepada nabi-Nya.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Lail Ayat 1-11


(Tafsir Kemenag)

Women’s Day: Raden Ajeng Kartini dan Peradaban Penafsiran Al-Quran di Indonesia

0
Raden Ajeng
Raden Ajeng Kartini

Membincang tentang Raden Ajeng Kartini, tidak hanya membahas tentang perannya sebagai pahlawan perempuan yang mempelopori emansipasi perempuan pribumi kala itu. Selain memikirkan nasib kemerdekaan feminisme di Negeri ini, Kartini juga menunjukkan posisi pemikirannya terhadap agama Islam.

Dobrakan pemikirannya yang gemilang, tidak lepas dari pengaruh teman-teman dan bacaan yang ia baca. Salah satunya adalah surat-surat yang dikirimkan kepada teman-temannya dan pertemuan dengan Maha Guru Kyai Sholeh Darat di Demak. Sisi relegiusitas ini menjadi hal yang tersisihkan dan jarang diketahui oleh banyak orang.

Baca Juga: Mufasir-Mufasir Indonesia: Biografi Sholeh Darat As-Samarani

Gelar “Raden Ajeng” yang tersemat pada namanya menjadi tanda bahwa Kartini merupakan golongan yang terlahir dari keluarga priayi. Sementara posisi Islam dalam golongan priayi cenderung digunakan sebagai narasi mistik kala itu, peradaban Islam yang masih kental dengan kultur Hindu-Budha menimbulkan konsepsi yang dikenal dengan Islam Kejawen. Larangan untuk memahami kendungan Al-Quran pada masa itu membuat Kartini resah dan kecewa.

Di tambah lagi intraksi dengan teman pena dan buku-buku bacaan Eropa yang melingkupinya, kesempatan untuk bertukar pikiran yang minim, keterbatasan gerak oleh Belanda, pun semakin membuat Kartini memikirkan persoalan agama yang pelik dalam kehidupan batinnya. Keresahan ini ditulis Kartini dalam suratnya yang dikirim kepada Stella Zehander, pada tanggal 6 November 1899:

“Mengenai agamaku, Islam, aku harus menceritakan apa? Islam Melarang umatnya mendiskusikan agamanya dengan umat lain. Lagi pula, aku beragama Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tak boleh mengerti dan memahaminya? Al-Quran terlalu suci sehingga tidak boleh diterjemahkan dalam bahasa apapun, agar bisa dipahami setiap Muslim. Di sini, tidak ada yang mengerti bahasa Arab. Di sini, orang belajar Al-Quran tapi tidak memahami apa yang dibaca. Itu sama halnya engkau menyuruhku menghafal bahasa Inggris, tapi tidak memberi artinya. Aku pikir, tidak jadi orang saleh pun tidak apa-apa asal menjadi orang baik hati. Bukan begitu Stella?”

Sehingga, takdir mempertemukan Kartini dengan Kiai Sholeh pada acara pengajian di pendopo Bupati Demak, Pangeran Ario Hadiningrat, yang merupakan paman Kartini. Dalam pengajian itu, Kartini sangat terkesan saat Kiai Sholeh memberikan ceramah seputar tafsir Al-fatihah.

Ditambah lagi selama ini Kartini hanya membaca Al-Quran tanpa mengetahui maknanya. Pada kesempatan ini, Fadhilah Sholeh, cucu dari Kiai Sholeh darat menuturkan bahwa di akhir acara, Kartini mengajak kakeknya, Tjondronegoro IV untuk menyampaikan sesuatu kepada Kiai Sholeh, di antara percakapannya adalah sebagai berikut:

“Kiai, Perkenankan saya bertanya bagaimana hukumnya apabila seorang berilmu menyembunyikan ilmunya?”, Kiai Sholeh tertegun. “Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?” Kiai Sholeh kembali bertanya.

“Kiai, selama hidupku baru kali ini aku berkesempatan memahami makna surat al-Fatihah, surat pertama dan induk Al-Quran. Isinya begitu indah, menggetarkan sanubariku”,  jawab Kartini. “

Bukan buatan rasa syukur hati ini kepada Allah. Namun, aku heran mengapa selama ini para Ulama melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Quran ke dalam bahasa Jawa. Bukankah Al-Quran adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”

Baca Juga: Emansipasi Tiga Sahabat Perempuan dan Asbab Nuzul Turunnya Ayat-Ayat Kesetaraan

Pada percakapan ini telah mengetarkan Kiai Sholeh, sehingga menggugah untuk melakukan pekerjaan besar, yaitu menafsirkan Al-Quran ke dalam bahasa Jawa. Kiai Sholeh memutuskan untuk memberi tafsirnya dari surat al-Fatihah sampai surat Ibrahim dalam bahasa Jawa-Arab (pegon), kitab ini kemudian di beri nama kitab Faidhur Rahman dan dihadiahkan pada pernikahannya. Konon, kitab ini dikenal sebagai tafsir Al-Quran pertama yang menggunakan Jawa-Arab (Pegon) Sayangnya, penerjemahan kitab ini tidak selesai, hanya 13 Juz, ini dikarenakan Kiai Sholeh darat lebih dulu wafat.

Sejak itu, Kartini melakukan perjalanan transformasi spiritualnya, ia bertekad untuk memperbaiki citra Islam yang kerap dalam ruang perdebatan kala itu. Bahkan, Kartini kembali mengirim surat-surat kepada teman-temannya dengan banyak mengulang “Dari gelap menuju cahaya” dalam bahasa Belanda Door Duisternis Toot Lict. Kalimat ini merupakan pemikiran Kartini dari serapan makna Q.S. Al-Baqarah ayat 257, yaitu “Orang-orang yang dibimbinng Allah dari gelap menuju cahaya (iman)”. Wallahu a’lam

Beragam Bentuk Rajah dan Pandangan Para Ulama, Simak Penjelasannya

0
Bentuk-Rajah
Ragam Bentuk-Rajah dan Pandangan para Ulama

Pergumulan Islam dan Jawa melalui pendekatan budaya telah menyisakan beragam resepsi terhadap Al-Quran termasuk dalam bentuk rajah. Ahmad Rafiq mengkategorikan rajah termasuk bagian daripada living quran. Secara historis penggunaan ayat-ayat tertentu dalam Islam sejatinya bukanlah hal baru. Rasulullah saw sendiri pernah membaca ayat-ayat tertentu guna bermacam hal hal, mulai pengobatan, perlindungan dan lain sebagainya.

Aisyah menjelaskan bahwa Rasulullah saw setiap malam tatkala hendak tidur, beliau membaca surat al-Ikhlas, al-Falaq dan al-Nas lalu ditiupkan dengan kedua tangan dan kemudian disapukan ke seluruh tubuh dan kepala. Praktik ini terekam dalam At-Tibyan fi Adabi Hamalah Al-Quran karangan Imam An-Nawawi. Mengarifi hal ini, William Graham dalam Beyond the Written Word: Oral Aspects of Scripture in History of Religion menjelaskan bahwa kitab suci Al-Quran tidak sekadar teks yang dibaca, melainkan berkelindan dalam suatu kelompok tertentu yang mengkultuskannya.

Dari genealogi ini, beragam bentuk rajah dengan keutamaannya telah berurat akar nadi di masyarakat Indonesia. Karena itu, dalam konteks ini rajah memainkan peran penting bagi resepsi Al-Quran di Indonesia.

Pengertian Rajah

Rajah, azimat, wafaq, jimat, dan sejenisnya adalah terminologi populer di masyarakat Indonesia. Di Jawa sendiri entah tak terhitung berapa banyak masyarakat yang mempraktikkan hal-hal tersebut. Rajah, jika merujuk pada KBBI, didefinisikan sebagai suratan (gambar, tanda dan lain-lain) yang digunakan sebagai azimat (untuk bala’ (musibah), wabah (seperti halnya Covid-19 saat ini, atau pagebluk), penyakit, dan sebagainya.

Baca Juga: Living Quran; Melihat Kembali Relasi Al Quran dengan Pembacanya

Ali Nurdin sebagaimana dikutip oleh Senata Adi dan Nurul Himatil Ula dalam Performative Analysis Of Rajah Syekh Subakir In Tawing Village, Trenggalek Perspective Of Living Qur’an menjelaskan bahwa rajah merupakan tulisan terpisag huruf Arab yang dipadukan dengan serpihan ayat Al-Quran tertentu, adakalanya penggunaannya bersifat insidental maupun berkesinambungan.

Lebih lanjut, Nurul Himati Ula juga mengklasifikasikan kajian rajah dalam konteks Nusantara dalam tiga hal, yakni rajah dimaknai sebagai keyakinan atau kepercayaan (faith), rajah dimaknai sebagai estetis-magis dan rajah dimaknai sebagai aspek performatif atau praksis.

Ahmad Rafiq, pakar Living Quran asal UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menjelaskan dalam rentang waktu tertentu Al-Quran tidak hanya sekadar informatif, melainkan juga performatif atau dipraksiskan dalam kehidupan sehari-hari, misal: sebagai wirid, azimat, rajah, suluk, dan sebagainya).

Beragam Pendapat

Farid Esack dalam The Quran: A Short Introduction memberikan pandangannya bahwa fenomena rajah, dan sejenisnya muncul karena masyarakat sangking cintanya kepada Al-Quran sehingga menghilangkan nalar kritisnya (the uncritical lover). Pokoknya yang penting Al-Quran selalu hidup dalam kehidupan sehari-hari mereka, kurang lebih begitu.

Biasanya tipologi masyarakat ini menggunakan ayat-ayat tertentu baik dipraktikkan dalam bentuk rajah maupun wirid, azimat atau amalan tertentu digunakan sebagai pengobatan (syifa), semangat hidup, pelaris dagangan, tolak bala’, musibah, wabah, dan gangguan jahat lainnya.

Martin van Bruinessen bahkan menyebut Banten sebagai sentra pusat praktik magis (the centre of magical practices) yang diijazahkan langsung oleh kiai atau tetua masyarakat. Lebih dari itu, Didi Junaedi dalam Living Quran: Sebuah Pendekatan Baru dalam Kajian Al-Quran menuturkan bahwa praktik semacam ini pada mulanya berawal dari fenomena Qur’an in Everyday Life, artinya teks, makna dan fungsi Al-Quran diresepsi, dipraktikkan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Sederhananya, Al-Quran telah menghiasai kehidupan masyarakat Muslim.

Fungsi Rajah

Sebagaimana penjelasan di muka, rajah mempunyai fungsi baik secara teologis maupun sosio-kultural. Fungsi teologis misalnya, masyarakat meyakini rajah mampu melindungi mereka dari mara bahaya, bala’, musibah, wabah Covid-19. Selain itu, rajah juga difungsikan sebagai penyembuhan atau pengobatan, di samping juga penglaris daganan dan sebagainya.

Adapun fungsi sosio-kultural, rajah mampu menyatukan masyarakat. Di Tawing, Trenggalek misalnya, penggunaan rajah selalu disertakan dengan perayaan hari-hari besar baik hari besar lokal maupun nasional, mulai hajatan kecil hingga besar ritual rajah mesti digunakan. Meminjam istilah Emile Durkheim, rajah berperan sebagai kohesi sosial.

Aspek Performatif Rajah

Salah satu bentuk Rajah dengan penulisan ayat-ayat atau anotasi huruf-huruf Al-Quran tertentu dalam suatu benda, misalnya kertas, batu, kayu, dan lain-lain ternyata dapat ditelusuri aspek performatifnya berdasarkan Al-Quran.

Imam An-Nawawi dalam al-Tibyan fi Adabi Hamalah Al-Quran, persisnya pada bab al-Ayat wa al-Suwar al-Mustahabbah fi Auqatin Makhshushatin dijelaskan bahwa disunnahkan membaca ayat kursi, surat al-Ikhas, surat Mu’awwidzatain dan akhir surat al-Baqarah tatkala hendak tidur.

Kesunnahan ini berasal dari apa yang disabdakan Nabi Muhammad saw, “Barang siapa membaca dua ayat terakhir dari surat al-Baqarah, maka kedua ayat itu melindunginya”. Sebagian ulama menafsirkannya dengan mampu melindungi dari gangguan malam tersebut.

Baca Juga: Melihat Tradisi Khataman Al-Quran Sebagai Objek Penelitian

Tidak jauh berbeda, As-Suyuthi dalam al-Dur al-Mantsur, ia menukil sabda Nabi saw, “innaha a’dzamu ayatin fil qur’an kitabillah”, sesungguhnya ayat kursi merupakan ayat teragung dalam Al-Quran”. Dalam riwayat lain mengemukakan, “Bacalah ayat kursi sebab ia mampu menjaga dirimu, anak-anakmu, keluargamu, dan lingkungan sekitarmu. Jika dibaca pada pagi dan petang hari maka terhindar dari gangguan jin. Jika dibaca hendak tidur maka Allah swt akan menjaga sepanjang malammu dan setan tak akan mampu mengusikmu hingga pagi hari.

Dari penjelasan di atas, kiranya dapat kita tarik benang merahnya bahwa penggunaan beberapa bentuk rajah tidak menjadi masalah yang berarti apabila kita senantiasa menyandarkannya kepada Allah swt. Maksudnya, rajah, azimat, bahkan barang apapun tidak akan bernilai atau berpengaruh apa-apa, tanpa disandarkan kepada Allah swt. Tiada daya dan kekuatan melainkan Allah swt (la haula wala quwwata illa billah). Semoga kita semua mampu memurnikan niat hanya karena Allah swt. Aamiin. Wallahu A’lam.

Tafsir Ahkam: Khamar itu Haram! Fase Terakhir Pengharaman Khamar

0
khamar itu haram
khamar itu haram

Kita tiba di fase terakhir pengharaman khamar, yaitu penetapan bahwa khamar itu haram. Dua fase sebelumnya yang tercatat dalam surah Al-Baqarah ayat 219 dan An-Nisa’ ayat 43 sudah cukup untuk dijadikan muqaddimah dan pengantar larangan untuk kebiasaan berat masyarakat Arab saat itu, yakni minum khamar.

Tahapan pertama, surah Al-Baqarah ayat 219, ayat ini mengandung larangan yang tidak mutlak. Pada tahapan ini masih banyak yang minum khamar kecuali orang-orang yang teramat kuat ketakwaanya. Fase kedua, sahabat Umar ra. berdoa “Ya Allah, berilah kami penjelasan yang memuaskan mengenai masalah khamar.” Kemudian turun surah An-Nisa’ ayat 43. Dalam fase ini, muslim yang masih minum khamar menjauhi waktu-waktu yang sekiranya efek mabuk masih ada saat waktu salat.

Fase ketiga, sahabat umar berdoa lagi dengan doa yang sama kemudian turunlah Al-Maidah ayat 90-91 yaitu penetapan keharaman khamar. Demikian keterangan Ibnu Asyur dalam At-Tahrir wa At-Tanwir.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Fase-Fase Diharamkannya Khamar, Larangan Salat Ketika Mabuk

Surah Al-Maidah ayat 90-91 tentang hukum khamar itu haram berbunyi,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (90) إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ (91)

“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji (dan) termasuk perbuatan setan. Maka, jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung. (90) sesungguhnya setan hanya bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu melalui minuman keras dan judi serta (bermaksud) menghalangi kamu dari mengingat Allah dan (melaksanakan) salat, maka tidakkah kamu mau berhenti? (91)”

Pendapat yang masyhur mengatakan bahwa khamar itu diharamkan pada tahun ketiga setelah hijrah, yakni setelah peristiwa perang uhud. Imam Mujahid, Muqatil dan Qotadah mengatakan kedua ayat ini menghapus (nasikh) dua ayat terkait khamar sebelumnya, yakni Al-Baqarah ayat 219 dan An-Nisa ayat 43.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Fase-Fase Diharamkannya Khamar, Manfaat dan Mudarat Khamar

Kejadian di balik Larangan tegas tentang khamar di surah Al-Maidah ayat 90-91

Ada kejadian khusus yang melatar belakangi turunnya dua ayat keharaman khamar di atas. Ibnu Asyur menceritakan kejadian tersebut  dalam tafsirnya sebagai berikut,

وَرُوِيَ أَنَّ هَذِهِ الْآيَةَ نَزَلَتْ بِسَبَبِ مُلَاحَاةٍ جَرَتْ بَيْنَ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ وَرَجُلٍ مِنَ الْأَنْصَارِ. رَوَى مُسْلِمٌ عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ قَالَ: أَتَيْتُ عَلَى نَفَرٍ مِنَ الْأَنْصَارِ، فَقَالُوا: تَعَالَ نُطْعِمْكَ وَنُسْقِكَ خَمْرًا- وَذَلِكَ قَبْلَ أَنْ تُحَرَّمَ الْخَمْرُ- فَأَتَيْتُهُمْ فِي حُشٍّ، وَإِذَا رَأْسُ جَزُورٍ مَشْوِيٌّ وَزِقٌّ مِنْ خَمْرٍ، فَأَكَلْتُ وَشَرِبْتُ مَعَهُمْ، فَذَكَرْتُ الْأَنْصَارَ وَالْمُهَاجِرِينَ عِنْدَهُمْ، فَقُلْتُ: الْمُهَاجِرُونَ خَيْرٌ مِنَ الْأَنْصَارِ، فَأَخَذَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ لَحْيَ جَمَلٍ فَضَرَبَنِي بِهِ فَجَرَحَ بِأَنْفِي فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ فَأَخْبَرْتُهُ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى فِيَّ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصابُ وَالْأَزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطانِ فَاجْتَنِبُوهُ.

“Diriwayatkan bahwa ayat ini diturunkan sebab kejadian yang terjadi antara Saad Bin Abi Waqos dan seorang laki-laki dari kaum Ansor. Meriwayatkan Imam Muslim dari Saad Bin Abi Waqos berkata: aku mendatangi sekelompok kaum Ansor, mereka berkata mari kami akan memberimu makan dan minuman khamar (kejadian ini sebelum khamar di haramkan), aku mendatangi mereka di sebuah kebun, di sana telah terhidangkan kepala unta bakar dan botol (terbuat dari kulit) yang berisi khamar, lalu aku makan dan minum bersama mereka, di samping mereka aku menuturkan tentang kaum Ansor dan Muhajirin. Aku berkata: kaum Muhajirin lebik baik dari pada kaum Ansor, kemudian seorang laki-laki kaum ansor mengambil janggut onta digunakan untuk memukulku, hidungku terluka. Aku mendatangi Nabi dan mengkhabarkan kejadian itu, kemudian Allah menurunkan ayat yang berkenaan denganku إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصابُ وَالْأَزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطانِ فَاجْتَنِبُوهُ

Dalam sabab nuzul ayat tersebut terlihat dengan lebih nyata tentang mudarat khamar, yaitu perkelahian. Di dua fase sebelumnya sudah disampaikan tentang mudarat khamar meski secara garis besarnya saja. Ibarat orang yang masih bertanya-tanya lagi dan meminta lebih jelas bukti dan bentuk mudarat khamar, maka riwayat sabab nuzul di atas bisa dijadikan sebagai jawabannya.

Minum khamar akan membuat seseorang tidak dapat berpikir jernih, ia akan cepat emosi dan melakukan tindakan di luar kesadarannya mengikuti emosinya. berawal dari emosi, kemudian marah, benci, berkelahi, bermusuhan dan seterusnya. Inipun masih menjadi tahap awal bagi mudarat-mudarat berikutnya. Na’udzu billah.

Ayat 90-91 surah Al-Maidah ini sebagai ayat pamungkas dari fase-fase diharamkannya khamar sekaligus menegaskan bahwa khamar itu haram. Ayat ini juga merupakan perintah untuk menjauhi khamar secara mutlak dari segala macam pemanfaatannya, diminum, diperjualbelikan, sebagai obat dan sebagainya. Semuanya tidak diperbolehkan sebagaimana dijelaskan oleh Al-Qurtubi dalam tafsirnya,

قَوْلُهُ:” فَاجْتَنِبُوهُ” يَقْتَضِي الِاجْتِنَابَ الْمُطْلَقَ الَّذِي لَا يُنْتَفَعُ مَعَهُ بِشَيْءٍ بِوَجْهٍ مِنَ الْوُجُوهِ، لَا بِشُرْبٍ وَلَا بَيْعٍ وَلَا تَخْلِيلٍ وَلَا مُدَاوَاةٍ وَلَا غَيْرِ ذَلِكَ.

“Firman Allah: فَاجْتَنِبُوهُ (Maka, jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu) menghendaki untuk meninggalkan secara mutlak. Khamar tidak boleh diambil manfaatnya dari segala macamnya, tidak boleh diminum, dijual belikan, dijadikan cuka (takhlil), untuk pengobatan dan lain sebagainya.” 

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Selain Haram, Apakah Khamr Itu Najis?

Setelah ayat ini diturunkan Nabi memerintahkan penyiarnya untuk menyiarkan di jalanan Madinah “Ingat! Sesungguhnya khamar telah diharamkan” seketika itu, kendi, guci besar tempat penyimpanan khamar dipecah, khamar ditumpahkan sampai-sampai khamar mengalir di jalanan kota Madinah. Demikian gambaran respon sahabat setelah adanya larangan khamar secara mutlak yang dijelaskan oleh Al-Qurtubi dalam tafsirnya.

Semoga penjelasan tentang fase-fase keharaman khamar ini dapat mengedukasi kita tentang khamar. Nabi, para sahabat, para ulama dan guru-guru kita sudah menjelaskan bahwa khamar itu haram. Selanjutnya tinggal kita yang harus berperan. Wallahu a’lam bissowab.