Beranda blog Halaman 381

Membaca Ummatan Wasatan Sebagai Pesan Moderasi dalam Al-Quran

0
Menjaga diri dan keluarga dari api neraka
Menjaga diri dan keluarga dari api neraka

Secara kebahasaan, kata “moderasi” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengandung dua makna, pengurangan kekerasan dan penghindaran keekstreman. Secara lebih luas, moderasi juga bermakna suatu kegiatan untuk melakukan peninjauan agar tidak menyimpang dari aturan yang berlaku yang telah ditetapkan. Sedang Moderasi dalam Al-Quran, salah satunya dapat kita ambil petunjuknya dalam surah Al-Baqarah ayat 143, tepatnya dalam frasa ummatan wasatan.

Berbicara tentang moderasi dalam Al-Quran, Allah SWT telah berfirman dalam Al-Quran surat al-Baqarah [2]: 143 :

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ ۚ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ ۗ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.” (QS. Al-Baqoroh [2]: 143)

Baca Juga: Menilik Makna Ummatan Wasatha dalam Surat Al-Baqarah Ayat 143 Dari Berbagai penafsiran

Ummatan wasatan, simbol moderasi dalam Al-Quran

Penyelaman tafsir wasatan akan ditemukan kata kuncinya ketika melihat definisi yang disampaikan oleh Imam At-Tabari dalam kitab tafsirnya. Kata washat mempunyai arti sesuatu yang berada diantara kedua kutub yang saling berlawanan. Dalam ayat tersebut Allah menjelaskan kata wasat untuk menyifati sikap orang-orang muslim yang moderat dalam beragama, yaitu golongan yang tidak berlebih-lebihan dalam beragama dan juga tidak ceroboh dalam beragama.

Makna ummatan wasatan adalah umat moderat yang posisinya berada di tengah, bisa melihat ke dan dilihat oleh semua pihak dari segala penjuru. Dengan menempatkan Islam di posisi tengah, diharapkan umat Islam tidak seperti umat yang hanyut oleh materialisme, tidak pula mengantarnya membumbung tinggi ke alam ruhani. Posisi tengah adalah memadukan aspek rohani dan jasmani, material dan spiritual dalam segala sikap dan aktivitas.

Menurut al-Qurtubi dalam kitabnya al-Jami’ al-ahkam, Makna al-wast adalah adil. Asal dari kata ini adalah bahwa sesuatu yang paling terpuji adalah yang pertengahan. Sebagaimana ka’bah yang terletak di tengah-tengah bumi, maka demikian pula ‘kami menjadikan kalian umat yang pertengahan’, yakni kami jadikan kalian di bawah para Nabi tapi di atas umat-umat yang lain.

Quraish Shihab memberi penjelasan terkait QS. Al-Baqarah [3]: 143, bahwa ayat ini telah memberi petunjuk tentang posisi yang ideal atau baik, yaitu posisi tengah. Posisi pertengahan menjadikan manusia tidak memihak ke kiri dan ke kanan, sehingga dapat mengantar seseorang berlaku adil. Posisi pertengahan menjadikan seseorang dapat dilihat oleh siapapun dari penjuru yang berbeda, dan ketika itu ia dapat menjadi teladan bagi semua pihak.

Baca Juga: Inilah 3 Syarat Utama Implementasi Islam Wasathiyah Menurut Quraish Shihab

Kenapa moderasi beragama di Indonesia itu penting?

Penguatan moderasi, khususnya moderasi beragama di Indonesia saat ini penting dilakukan. Ini karena fakta bahwa Indonesia adalah bangsa yang sangat majemuk dengan berbagai macam suku, bahasa, budaya dan agama.  Indonesia juga merupakan negara yang agamis walaupun bukan negara agama.

Hal ini bisa dirasakan dan dilihat sendiri dengan fakta bahwa hampir tidak ada aktivitas keseharian kehidupan bangsa Indonesia yang lepas dari nilai-nilai agama, sampai-sampai yang bukan urusan agama pun dibawa-bawa untuk ‘beragama’, dan ketika sudah menyangkut agama maka itu akan menjadi isu yang sangat sensitif. Selain itu moderasi beragama juga penting untuk digaungkan dalam konteks global di mana agama menjadi bagian penting dalam perwujudan peradaban dunia yang bermartabat.

Moderasi beragama bukanlah ideologi. Moderasi agama adalah sebuah cara pandang terkait proses memahami dan mengamalkan ajaran agama agar dalam melaksanakannya selalu dalam jalur yang moderat.

Agama sendiri merupakan sesuatu yang sudah sempurna karena datangnya dari Tuhan yang Maha Sempurna. Namun cara setiap orang dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama memiliki perbedaan. Hal ini karena keterbatasan manusia dalam menafsirkan pesan-pesan agama sehingga muncul keragaman.

Kita semua tahu bahwa sumber utama agama adalah teks yang terwujud dalam bentuk kitab suci dan orang-orang suci yang mendapat risalah untuk disampaikan kepada umat manusia. Dalam memahami ini, bisa saja seseorang terjebak pada pemahaman dua kutub ekstrem yang pada dasarnya sama-sama berlebih-lebihan.

Satu kutub terlalu tertumpu pada teks itu sendiri tanpa melihat konteks dari teks tersebut sehingga memunculkan sikap konservatif maupun ultra konservatif. Sementara kutub lainnya terlalu bertumpu pada otak dan nalar sehingga dalam memahami teks selalu mengandalkan konteks dan mengakibatkan keluar dari teks itu sendiri. Kutub kedua inilah yang memunculkan pemahaman liberal dan ultra liberal.

Dua kutub yang berlebih-lebihan ini sama-sama mengancam kehidupan beragama dalam mewujudkan peradaban yang baik. Karena itulah moderasi dalam beragama juga harus dinamis dengan terus memposisikan diri di tengah.

Baca Juga: Ayat-Ayat Wasathiyah: Tafsir Surah al-Baqarah Ayat 143 Menurut Hasbi al-Shiddiqie

Konsep moderasi dalam Al-Quran seperti dalam QS. al-Baqarah [3]: 143 disebut dengan konsep al-wasathiyah. Umat yang moderat (Ummatan wasathan) merupakan prototipe umat yang memiliki dan memegang teguh prinsip prinsip tidak melampaui batas (ghuluww), baik dalam bersikap, bertutur kata, berbuat, termasuk beribadah. Dalam hal ini Allah berfirman:

قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ

“Katakanlah, hai Ahli kitab janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam beragama … (Q.S. al-Ma’idah [5]: 77).

Ummatan wasathan adalah khaira ummah, umat terbaik yang selalu menyerukan kebaikan dan melarang kemunkaran, dan selalu menjadikan hidupnya penuh keseimbangan dan kebahagiaan dunia dan akhirat, menjadikan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin, rahmat bagi seluruh alam. Wallahu a’lam

Tafsir Surah Asy Syams Ayat 1-10

0
tafsir surah asy syams
tafsir surah asy syams

Tafsir Surah Asy Syams Ayat 1-10 semisal dengan surah-surah sebelumnya yang banyak terdapat sumpah. Kali ini yang menjadi objek dari sumpah-sumpah itu adalah matahari dan waktu duha, siang dan malam, langit dan bumi, dan manusia. Sumpah ini mengindikasikan pesan penting yang akan disampaikan.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al Balad Ayat 14-20


Ayat 1-2

Allah bersumpah dengan matahari dan cahayanya pada waktu duha yang sangat terang dan kontras dengan sesaat sebelumnya di mana kegelapan menutup alam ini. Kemudian Allah bersumpah dengan bulan yang bertolak belakang dengan matahari, sebab ia bukan sumber cahaya tetapi hanya menerima cahaya dari matahari.

Menurut kajian ilmiah, cahaya di pagi hari adalah yang paling lengkap kekayaan panjang gelombangnya. Oleh karena itu, cahaya matahari pagi paling baik khasiatnya bagi manusia. Matahari adalah sumber energi utama bagi manusia, sedang cahayanya terdiri dari cahaya tampak, inframerah, dan ultraviolet.

Cahaya tampak memiliki tujuh spektrum yang berbeda dan masing-masing memiliki kegunaan yang berbeda bagi tubuh manusia. Adapun inframerah bermanfaat untuk mengurangi rasa sakit pada otot-otot, dan ultraviolet berfungsi sebagai fitokatalis yang mempercepat perubahan pro-vitamin D yang ada pada kulit manusia menjadi vitamin D.

Ayat 3-4

Selanjutnya Allah bersumpah dengan siang dan malam. Siang menampakkan matahari, sedangkan malam menyembunyikan matahari. Dengan ini, Allah memberikan isyarat tentang sistem perputaran bulan dan bumi terhadap matahari sebagai penanda waktu bagi manusia.

Perputaran bumi terhadap matahari menimbulkan sistem penanda waktu syamsiah sedang perputaran bulan terhadap bumi menimbulkan penanda waktu qomariyah. Pergerakan ketiga benda langit ini yang begitu terstruktur tersebut menunjukkan betapa kuasa Allah.


Baca juga: Tafsir Surah Yasin Ayat 37: Siang dan Malam Sebagai Tanda Kekuasaan Allah Swt


Ayat 5-6

Selanjutnya lagi, Allah bersumpah dengan langit dan bumi. Langit, yaitu kosmos beserta segala isinya, menyangga langit itu sehingga tetap berfungsi sebagai atap bumi. Dan bumi itu terhampar sehingga menyediakan potensi-potensi yang dapat dimanfaatkan manusia untuk hidup di atasnya.

Ayat 7-8

Terakhir, Allah bersumpah dengan diri manusia yang telah Ia ciptakan dengan kondisi fisik dan psikis yang sempurna. Setelah menciptakannya secara sempurna, Allah memasukkan ke dalam diri manusia potensi jahat dan baik.

Ayat 9-10

Dalam ayat-ayat ini, Allah menegaskan pesan yang begitu pentingnya sehingga untuk itu Ia perlu bersumpah.

Pesan itu adalah bahwa orang yang membersihkan dirinya, yaitu mengendalikan dirinya sehingga hanya mengerjakan perbuatan-perbuatan baik, akan beruntung, yaitu bahagia di dunia dan terutama di akhirat.

Sedangkan orang yang mengotori dirinya, yaitu mengikuti hawa nafsunya sehingga melakukan perbuatan-perbuatan dosa, akan celaka, yaitu tidak bahagia di dunia dan di akhirat masuk neraka.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Asy Syams Ayat 11-15


(Tafsir Kemenag)

Peristiwa Isra Mikraj Nabi Muhammad Saw Menurut Ulama Tafsir

0
Isra Mikraj
Isra Mikraj

Isra Mikraj merupakan salah satu peristiwa sejarah hidup nabi Muhammad saw yang sering dirayakan oleh umat Islam di samping perjalanan hijrah beliau. Di Indonesia misalnya, ketika bulan Rajab tiba, masyarakat muslim berbondong-bondong merayakan Isra Mikraj melalui berbagai macam perayaan dengan tujuan mengingat kembali dan meneladani peristiwa tersebut.

Sebenarnya apakah Isra Mikraj itu? Secara istilah, Isra adalah perjalanan Rasulullah saw pada suatu malam dari Masjid al-Haram di Makkah ke Masjid al-Aqsa di Palestina. Sedangkan Mikraj adalah perjalanan naiknya Rasulullah saw ke Sidratul Muntaha yang terletak di ujung semesta, lebih tepatnya bagian paling atas setelah langit ke tujuh (Misteri dan Keajaiban Isra Mikraj).

Peristiwa Isra Mikraj terjadi pada periode akhir kenabian di Makkah sebelum Rasulullah saw hijrah ke Madinah. Menurut al-Maududi dan mayoritas ulama, Isra Mikraj terjadi pada tahun pertama sebelum hijrah, yaitu antara tahun 620-621 M. Menurut al-Allamah al-Manshurfuri, Isra Mikraj terjadi pada malam 27 Rajab tahun ke-10 kenabian, dan inilah yang populer.

Baca Juga: Surat Al-Isra Ayat 1: Makna Kata Asrā dan Ketelitian Pemilihan Diksi Al-Quran

Namun, Syekh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri dalam Rahiq al-Makhtum menolak pendapat tersebut dengan alasan karena Khadijah ra meninggal pada bulan Ramadan tahun ke-10 kenabian, yaitu 2 bulan setelah bulan Rajab, dan saat itu belum ada kewajiban salat lima waktu. Al-Mubarakfuri kemudian menyebutkan 6 pendapat tentang waktu kejadian Isra Mikraj.

Terlepas dari perdebatan kapan terjadinya Isra Mikraj, penulis meyakini bahwa peristiwa ini merupakan bagian realitas sejarah yang benar-benar pernah terjadi di masa lampau, bukan sebagai metafora sebagaimana disebutkan oleh sebagian orang. Sebab Allah swt telah mengisahkan kejadian tersebut sebagai tanda kekuasaan-Nya dalam surah al-Isra’ [17] ayat 1 yang berbunyi:

سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ ١

Mahasuci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.” (QS. Al-Isra’ [17] ayat 1)

Menurut Quraish Shihab, ayat di atas secara jelas menguraikan terjadinya Isra nabi Muhammad saw dari Masjid al-Haram di Mekah menuju Masjid al-Aqsha di Yerusalem, Palestina. Kendati demikian, Allah swt tidak menjelaskan secara rinci apakah Isra Mikraj nabi saw terjadi dengan ruh dan jasad, ruh saja ataukah dengan mimpi saja (Tafsir Al-Misbah [7]: 406).

Berkenaan dengan hal ini, para ulama berbeda pendapat. Masing-masing mengemukakan dalil-dalil yang argumentatif, baik dari segi redaksi ayat ataupun dalil-dalil yang lain. Mereka juga berbeda pendapat tentang Mikraj nabi Muhammad saw yang sama sekali tidak disinggung dalam surah al-Isra’ [17] ayat 1 ini. Namun sebagian ulama berpendapat bahwa keduanya (Isra dan Mikraj) disebutkan sepaket.

Al-Sa’adi menuturkan dalam Taisir al-Karim al-Rahman Fi Tafsir Kalam al-Mannan bahwa surah al-Isra’ [17] ayat 1 bercerita tentang Isra nabi Muhammad saw dari Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsha dengan badan dan ruh beliau bersamaan. Kemudian beliau di-mikraj-kan dari Masjid al-Aqsha menuju langit tertinggi (al-samawat al-ulya).

Dalam perjalanan Mikraj tersebut, nabi Muhammad saw melihat surga, neraka, dan para nabi yang berada pada tempat mereka. Selain itu, pada malam Isra Mikraj beliau juga menerima kewajiban shalat sebanyak 50 waktu. Akan tetapi setelah beberapa kali meminta kemudahan kepada Allah swt – atas saran nabi Musa – kewajiban ini berkurang menjadi 5 waktu dengan catatan tetap diberikan pahala yang sama.

Syekh Nawawi al-Bantani dalam tafsirnya, Marah Labid, menceritakan – berdasarkan riwayat Ibnu Abbas – bahwa ketika nabi Muhammad saw menceritakan peristiwa Isra Mikraj kepada jamaah Masjid al-Haram, Abu Lahab mendustakan dan mencela beliau dengan berbagai argumentasi yang menujukkan ketidakbenaran peristiwa itu. Akibatnya, kala itu sebagian orang berpaling dari Islam (murtad).

Di tengah-tengah keraguan umat Islam, Abu Bakar ash-Shiddiq kemudian maju sebagai orang yang membela nabi saw dan berkata, “Apa yang dikatakan Muhammad adalah kebenaran yang nyata. Bahkan seandainya ia mengatakan sesuatu yang lebih mustahil dari itu aku akan tetap membenarkannya.” Karena sikapnya inilah Abu bakar kemudian diberi gelar ash-Shiddiq.

Syekh Nawawi al-Bantani menegaskan surah al-Isra’ [17] ayat 1 merupakan bukti kekuasaan dan kemuliaan Allah swt. Selain itu, ayat ini juga berfungsi sebagai isyarat keistimewaan nabi Muhammad saw, karena peristiwa Isra Mikraj hanya dikhususkan pada beliau dan tidak dialami oleh nabi atau rasul yang lain (Marah Labid [1]: 615).

Abu al-Qasim Mahmud al-Zamakhsyari dalam kitabnya, al-Kasysyaf ‘An Haqa’iq al-Tanzil Wa ‘Uyun al-Aqawil Fi Wujuh al-Ta’wil, mengisahkan bahwa terjadi perdebatan di kalangan ulama mengenai peristiwa Isra Mikraj tentang kapan terjadinya dan apakah dialami nabi saw dalam keadaan terjaga atau tidur. Dari pemaparannya tersebut, ia condong kepada pendapat yang mengatakan bahwa nabi Mikraj hanya dengan ruh beliau.

Terlepas dari perdebatan kapan dan bagaimana Isra Mikraj terjadi, satu hal yang pasti, yakni bahwa peristiwa ini benar terjadi dan merupakan mukjizat nabi Muhammad saw sekaligus ujian bagi keimanan umat Islam kala itu. Menurut sebagian ulama, Isra Mikraj adalah bentuk hiburan kepada baginda pasca melalui tahun kesedihan (‘am al-huzn), yakni wafatnya dua tokoh pendukung beliau, Siti Khadijah dan Abu Thalib.

Melalui peristiwa Isra Mikraj, kita juga dapat mengetahui bagaimana karakter nabi Muhammad yang sangat peduli dengan kemanusiaan. Muhammad Iqbal dalam The Reconstuction of Religious Thought in Islam dengan piawai membandingkan daya jangkau kenabian (prophetic) dengan daya jangkau manusia biasa. Iqbal mengambil kata-kata Abdul Quddus, penyair sufi, yang mengandaikan dirinya melakukan Isra Mikraj.

Baca Juga: Tafsir Sufistik Ibn Ajibah: Memahami Al-Quran dan Memahami Allah Swt

Abdul Quddus berujar bilamana ia sampai ke langit tertinggi untuk menjumpai Allah Dzat yang dirindukan para salik, maka barang tentu ia enggan kembali lagi ke bumi. Namun tidak demikian halnya dengan nabi Muhammad saw, yang kembali turun ke bumi untuk mengabarkan kewajiban shalat serta firman-firman lainnya dari Allah swt. Hal ini berarti Nabi saw memiliki daya jangkau yang mengutamakan nasib umatnya, bukan pribadi beliau.

Kita sebagai umat nabi Muhammad saw sudah sepantasnya untuk meneladani sikap dan sifat nabi tersebut. Kita tidak boleh diam, sementara dunia dan penduduknya perlahan-lahan tenggelam dalam kemalangan. Kepedulian Nabi saw terhadap manusia dan kemanusiaan perlu diteladani dan diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari dengan sebaik mungkin agar kebahagiaan dunia dan akhirat bisa tercapai. Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Al Balad Ayat 14-20

0
tafsir surah al balad
Tafsiralquran.id

Tafsir Surah Al Balad Ayat 14-20 lebih lanjut memberikan contoh perjuangan sosial lainnya. Misalnya berdonasi ketika bencana. Lebih-lebih yang dibantu adalah anak yatim. Contoh lain adalah saling bernasehat dalam kesabaran dan kemanusiaan. Pada akhirnya terseleksi siapakah golongan kanan dan siapakah golongan kiri.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al Balad Ayat 6-13


Ayat 14

Pekerjaan besar dan berat lainnya yang sulit dikerjakan adalah memberi makan orang pada musim kelaparan, ekonomi morat-marit, dan sebagainya. Hal itu karena yang memberi juga membutuhkannya. Namun demikian, Allah menguji umat Islam, apakah mereka mau dan mampu mengerjakannya.

Ayat 15-16

Memberi makan orang yang lapar pada masa kelaparan pertama sekali ditujukan pada anak-anak yatim yang ada hubungan keluarga dengan pemberi. Siapa lagi yang akan mau memperhatikan mereka bila bukan keluarga sendiri karena orang tuanya sudah tiada?

Perhatian pada keluarga memang harus didahulukan sebagaimana sabda Rasulullah saw berikut:

اَلصَّدَقَةُ عَلَى الْمِسْكِيْنِ صَدَقَةٌ، وَعَلَى ذِى الرَّحِمِ اثْنَتَانِ، صَدَقَةٌ وَ صِلَةٌ.

(رواه أحمد و الترمذي والنسائى)

Sedekah kepada orang miskin adalah sedekah (satu amal), sedekah kepada orang yang punya hubungan keluarga ada dua amal, sedekah dan silaturrahim. (Riwayat Ahmad, at-Tirmizi, dan an-Nasa’i)

Selanjutnya yang perlu mendapat perhatian utama adalah orang-orang miskin yang terhempas ke tanah, yaitu orang-orang yang begitu miskinnya sehingga tidak punya tempat untuk berteduh. Mereka misalnya tunawisma, gelandangan, anak jalanan, dan sebagainya.

Baca juga: Pendidikan Moral dan Etika Sosial dalam Kisah Nabi Musa as. Dalam Q.S. al-Qashshash: 23-28

Ayat 17

Pekerjaan berat lainnya adalah beriman dan saling menasihati untuk sabar dan menyayangi antara sesama Muslim.

Sabar adalah kemampuan menahan diri, tabah menghadapi kesulitan, dan usaha keras mengatasi kesulitan tersebut. Kaum Muslimin harus mampu membuktikan imannya dengan melaksanakan sikap sabar itu, dan mendorong kaum Muslimin lainnya untuk melaksanakannya.

Juga yang berat melaksanakannya adalah menyayangi orang lain seperti menyayangi diri sendiri atau keluarga sendiri. Akan tetapi, umat Islam harus mampu membuktikan imannya dengan melaksanakan sikap saling menyayangi itu, sebagaimana juga diperintahkan Rasulullah:

اَلرَّاحِمُوْنَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمٰنُ، اِرْحَمُوْا مَنْ فِى اْلاَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِى السَّمَاءِ .

(رواه الترمذي وأبو داود و أحمد عن عبد الله بن عمرو)

Orang yang penyayang disayang oleh Yang Maha Penyayang. Sayangilah orang yang ada di bumi, maka yang ada di langit akan menyayangi kalian. (Riwayat at-Tirmizi, Abµ Dawud, dan Ahmad dari Abdullah bin ‘Amr).

Ayat 18

Kaum Muslimin yang berhasil melaksanakan pekerjaan-pekerjaan sulit di atas digolongkan sebagai “golongan kanan”. Balasan bagi “golongan kanan” tersebut adalah surga yang penuh nikmat, sebagaimana dinyatakan dalam Surah al-Waqi’ah/56: 27-40.

Ayat 19-20

Mereka yang ingkar tidak mau melaksanakan pekerjaan-pekerjaan besar dan sulit itu. Mereka disebut ashabul-masy’amah, yaitu golongan kiri. Tempat mereka adalah neraka yang tertutup rapat, sehingga neraka begitu luar biasa panasnya.

Mereka itu tentu akan sangat menderita di dalamnya. Dengan demikian, ia menemukan kesulitan hidup yang tiada taranya di akhirat, tidak sebanding dengan kesulitan mengerjakan perbuat-perbuatan baik waktu di dunia.

Baca setelahnya: Tafsir Surah Asy Syams Ayat 1-10

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Ahkam: Fase-Fase Diharamkannya Khamar, Larangan Salat Ketika Mabuk

0
larangan salat ketika mabuk
larangan salat ketika mabuk

Setelah menyinggung tentang manfaat dan mudarat khamar secara umum, ayat keharaman khamar berikutnya berbicara tentang mudarat khamar terkait ibadah, khususnya salat. Di surah An-Nisa’ ayat 43 disampaikan tentang larangan salat ketika mabuk. Namun demikian, seperti halnya fase larangan khamar pada surah Al-Baqarah ayat 219, pada fase ini khamar belum langsung diharamkan.

Allah berfirman dalam  al-Qur’an surah An-Nisa’ ayat 43.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَقْرَبُوا الصَّلٰوةَ وَاَنْتُمْ سُكٰرٰى حَتّٰى تَعْلَمُوْا مَا تَقُوْلُوْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah mendekati salat, sedangkan kamu dalam keadaan mabuk sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkan”.

Ayat ini merupakan dalil larangan salat ketika mabuk. Orang Islam tidak dibolehkan salat sehingga mereka menyadari apa yang dibaca dan apa yang dilakukan dalam salat, karena pada waktu keadaan mabuk tidak memungkinkan seseorang untuk beribadah, tidak sadar dengan yang dibaca dan dilakukannya, telebih lagi ia tidak akan khusyuk. Ayat ini belum mengharamkan khamar secara tegas, namun telah memperingatkan orang muslim akan bahaya minum khamar, khususnya tentang salat.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Fase-Fase Diharamkannya Khamar, Manfaat dan Mudarat Khamar

Di balik larangan salat ketika mabuk

Ahmad bin Mustafa Al-Maraghi (w. 1371 H) mengatakan dalam tafsirnya: “yang menjadi khitabnya (sasaran pembicara) adalah orang muslim sebelum mereka mabuk, untuk menjauhinya saat mereka hendak melaksanakan salat supaya mereka berhati-hati dan menghindari mabuk di banyak waktu. Ini merupakan muqodimah diharamkanya mabuk, karena orang yang takut saat datang waktu salat sedangkan ia sedang dalam keadaan mabuk, ia tidak akan mabuk di sepanjang siang hari dan di awal malam untuk memisahkan antara mabuk dan salat lima waktu.

Tidak tersisa waktu mabuk kecuali waktu untuk tidur yakni dari waktu isya sampai waktu sahur akhirnya semakin sedikit waktu mabuk, karena kesempatan hanya di waktu yang pada umumnya digunakan untuk tidur. Sedangkan dari pagi sampai waktu dhuhur adalah waktu kerja bagi umumnya manusia, sehingga mabuk akan terminimalisir kecuali bagi pengangguran dan orang malas. Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa setelah diturunkanya ayat ini orang-orang marak minum khamar setelah isya, sehingga di waktu subuh pengaruh mabuk telah hilang dan mengatahui apa yang diucapkan dan dikerjakan.”

Mengenai sebab turun ayat larangan salat ketika mabuk di atas, Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebutkan,

عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ قَالَ: صَنَعَ لَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ طَعَامًا، فَدَعَانَا وَسَقَانَا مِنَ الْخَمْرِ، فَأَخَذَتِ الْخَمْرُ مِنَّا، وحضرتِ الصلاةُ فقدَّموا فُلَانًا -قَالَ: فَقَرَأَ: قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ، مَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ، وَنَحْنُ نَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ. [قَالَ] فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ} هَكَذَا رَوَاهُ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ، وَكَذَا رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ عَنْ عَبْدِ  بْنِ حُمَيْدٍ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الدَّشْتَكي، بِهِ، وَقَالَ: حَسَنٌ صَحِيحٌ.

“Dari Ali Bin Abi Tholib berkata: Abdurahman Bin Auf membuatkan makanan untuk kami kemudian kami diundang dan kami diberi minuman khamar. Khamar mempengaruhi kesadaran kami, kemudian datanglah waktu mengerjakan salat, mereka mengajukan seseorang (fulan) untuk menjadi Imam. Dan saat membaca surah Al-Kafirun ia membaca

 قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ، مَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ، وَنَحْنُ نَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ

kemudian Allah menurunkan ayat

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ

Riwayat ini diriwayatkan oleh Ibnu abi hatim juga oleh al-Tirmidzi dari Abd Bin Humaid dari Abdurohman ad-Dastaki. At-Tirmidzi menilai hadis ini hasan sahih”

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Selain Haram, Apakah Khamr Itu Najis?

Wahbah Zuhaili menyebutkan dalam tafsirnya sama persis dengan riwayat di atas hanya di sana dijelaskan yang menjadi imam saat itu adalah Abdurrahman din Auf, dan salat yang dikerjakan adalah salat magrib. Kejadian ini terjadi sebelum diharamkannya khamar mengacu pada riwayat Ibnu Jarir dari sahabat Ali ra.

Masih menurut Wahbah Zuhaili, beliau menjelaskan sebab diharamkannya keadaan mabuk dalam salat ialah seseorang tidak akan bisa menghadirkan makna dari bacaan, doa dan dzikir yang ada dalam salat. Ini maksud dari frasa حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkanmaksudnya sampai kamu sadar dengan yakin apa yang kamu ucapkan itu tidak salah. Sedangkan orang yang mabuk tidak mengetahui bahkan tidak menyadari apa yang ia katakan.

Imam Al-Qurtubi turut berkomentar dalam tafsirnya,

فَكَانَ مُنَادِي رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أُقِيمَتِ الصَّلَاةُ يُنَادِي: أَلَا لَا يَقْرَبَنَّ الصَّلَاةَ سَكْرَانُ

“pemanggil salat Rasulullah setiap hendak melaksanakan salat hendaknya juga mengumumkan “ingat jangan mendekati salat orang yang masih dalam keadaan mabuk”.

Walhasil, dalam fase ini sekalipun khamar belum dilarang, namun terlihat semangat Al-Quran untuk meminimalisir kesempatan orang-orang minum khamar. Adanya larangan salat ketika mabuk tentunya mempersempit kesempatan mabuk yang awalnya dapat dilakukan kapanpun, setelah itu hanya tersisa waktu antara isya sampai subuh, yang merupakan waktu istirahat, sedang waktu pagi sampai dzuhur merupakan waktu bekerja, ashar hingga isya pun orang-orang masih banyak berkegiatan dan tentunya masih ada waktu salat. Wallahu a’lam bissowab.

Tafsir Surah Yasin Ayat 71-73: Allah Menegur Kita untuk Bersyukur

0
Yasin ayat 71-73
Yasin ayat 71-73

Tafsir surah Yasin sebelumnya telah berbicara mengenai bantahan terhadap sebagian orang kafir yang menuduh bahwa al-Qur’an merupakan syair yang dikarang oleh Nabi Muhammad Saw. Hal itu merupakan anggapan yang sangat ceroboh dan tidak berdasar serta bersumber dari iri dan dengki.

Sifat iri dan dengki ini yang pada akhirnya mengantarkan mereka pada kekafiran. Mereka lebih memilih menyembah berhala dari pada menyembah Allah yang Esa. Padahal telah banyak anugerah yang Allah limpahkan kepada mereka. Salah satunya adalah nikmat adanya hewan ternak yang tertera dalam surah Yasin ayat 71-73 di bawah ini:

اَوَلَمْ يَرَوْا اَنَّا خَلَقْنَا لَهُمْ مِّمَّا عَمِلَتْ اَيْدِيْنَآ اَنْعَامًا فَهُمْ لَهَا مٰلِكُوْنَ

وَذَلَّلْنٰهَا لَهُمْ فَمِنْهَا رَكُوْبُهُمْ وَمِنْهَا يَأْكُلُوْنَ

وَلَهُمْ فِيْهَا مَنَافِعُ وَمَشَارِبُۗ اَفَلَا يَشْكُرُوْنَ

“Dan tidakkah mereka melihat bahwa Kami telah menciptakan hewan ternak untuk mereka, yaitu sebagian dari apa yang telah Kami ciptakan dengan kekuasaan Kami, lalu mereka menguasainya?”

“Dan Kami menundukkannya (hewan-hewan itu) untuk mereka; lalu sebagiannya untuk menjadi tunggangan mereka dan sebagian untuk mereka makan.”

“Dan mereka memperoleh berbagai manfaat dan minuman darinya. Maka mengapa mereka tidak bersyukur?” (surah Yasin ayat 71-73)

Ketiga ayat di atas secara garis besar berbicara mengenai nikmat Allah Swt yang telah dianugerahkan kepada manusia. Secara fitrah, Allah menjadikan sebagian hewan tunduk kepada manusia. Khususnya adalah an’am (اَنْعَام) yang berarti hewan ternak. Itulah nikmat yang dianugerahkan kepada manusia.

Secara tegas Allah memilih diksi an’am (اَنْعَام) yang berarti hewan ternak. Semua mufasir sepakat bahwa yang dimaksud hewan ternak di sini adalah unta, sapi dan kambing. Selain ketiganya ada tambahan lain dalam Tafsir Al Azhar. Tafsir karya Buya Hamka ini membaginya dalam dua jenis.

Baca Juga: Buya Hamka, Mufasir Reformis Indonesia Asal Minangkabau

Pertama jenis hewan ternak yang bisa kendarai dan dimakan, yaitu unta, kerbau, sapi, domba, dan kambing. Kedua, jenis binatang yang hanya bisa dikendarai yaitu kuda, keledai dan baghal, yaitu hasil kawin silang antara kuda betina dan keledai jantan. Pembagian ini sebagaimana telah tergambar jelas dalam ayat 72 di atas.

Dalam al-Dur al-Mansur, Suyuti mengutip riwayat dari Qatadah yang menyatakan bahwa Allah menjadikan hewan-hewan tersebut tunduk kepada manusia. Ketundukan itu dibuktikan dengan mudahnya menjadikannya sebagai alat transportasi.

Saking mudahnya sampai-sampai Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-Karim membuat ilustrasinya. Ia mengatakan bahwa seandainya seorang anak kecil mendatangi seekor unta, secara otomastis unta tersebut akan diam dan patuh. Atau seandainya sebuah kereta dengan 100 ekor unta dikusiri oleh seorang anak kecil, 100 unta itu  akan menurut.

Di Indonesia, sejak lama kita temui anak-anak kecil yang menjadi pengembala. Lumrahnya mereka mengembala kerbau, sapi, kambing atau domba. Atau kita tahu dalam sebuah perlombaan pacuan kuda, kebanyakan jokinya (baca: penunggang) adalah anak kecil atau orang yang bertubuh ringan.

Terlepas dari pro-kontranya, sisi yang bisa ambil dari hal ini adalah bagaimana kuda pacu yang tenaganya berkali-kali lipat melebihi penunggangnya itu bisa manut dan dikontrol sedemikian rupa.

Lagi-lagi ini merupakan anugerah Allah Swt kepada manusia. Tinggal bagaimana manusianya sendiri kreatif memaksimalkan potensi yang sudah diberikan dan mensyukurinya.

Tidak hanya bersifat transportasi, hewan-hewan ternak tersebut mempunyai banyak manfaat selain dikonsumsi dagingnya. Air susu misalnya. Air susu ini bisa dinikmati oleh manusia dan baik untuk kesehatan.

Hal ini dibuktikan dengan banyaknya susu unta, sapi dan kambing yang dijual di pasaran. Seain itu juga membuktikan bahwa hewan-hewan tersebut memang dianugerahkan untuk kebaikan manusia.

Belum selesai di situ saja, diksi manafi’ (مَنَافِعُ) pada ayat 73 menurut Wahbah Zuhaili dalam al-Tafsir al-Munir menyatakan adanya manfaat lain yang bisa diolah oleh manusia. Misalnya dari kulitnya dan juga bulu-bulunya.

Hingga kini kulit dari hewan-hewan tersebut dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup. Sebagai busana misalnya. Tentu kita tahu bahwa kulit sapi dan domba lumrah dijadikan sebagai baju, celana, jaket, sepatu, sandal, tas, maupun topi. Berbeda lagi dari sisi pemanfaatan bulunya.

Domba merupakan hewan ternak yang bulunya dijadikan sebagai bahan kain wol. Darinya terbentuk berbagai macam kebutuhan. Untuk kehangatan, bulu domba dapat dijadikan sebagai jaket ataupun selimut. Konon bulu domba juga dapat dijadikan sebagai obat untuk mengatasi ruam pada kulit.

Dari berbagai macam manfaat dari anugerah Allah Swt itu sudah sepantasnya manusia bersyukur. Salah satu bentuk syukur itu adalah meng-EsakanNya. Tidak ada yang bisa menundukkan hewan-hewan yang tenaganya melebihi manusia itu kecuali Allah Swt. namun sayang kebanyakan manusia tidak bersyukur, sebagaiman ungkapan akhir ayat 73 di atas.

Meskipun kalimat terakhir dalam ayat 73 di atas berbentuk istifham (pertanyaan), namun maknanya adalah menetapkan. Ibnu ‘Asyur mengatakan bahwa kalimat tersebut mengindikasikan keheranan atas kebutaan yang dialami orang-orang muysrik waktu itu. Jelas-jelas nikmat itu ada di depan mata tapi mengapa mereka tidak sadar.

Baca Juga: Muhammad Thahir Ibnu ‘Asyur dan Empat Prinsip Penafsirannya

Memang pada awalnya surah Yasin ayat 71-73 ini bertujuan untuk menegur orang-orang musyrik pada zaman Nabi Muhammad Swt yang tidak bersyukur atas nikmat Allah. Meski begitu ayat ini masih relevan dengan masa kini dan akan terus relevan selamanya.

Seyogianya kita jangan sampai menjadi pribadi seperti orang-orang musyirik yang tidak tahu berterimakasih itu. Meskipun mereka dianugerahi nikmat berlipat ganda, namun nyatanya tidak berpengaruh sama sekali terhadap pola pikir dan perilakunya.

Padahal mereka sangat tergantung terhadap hewan-hewan ternak, baik sebagai konsumsi maupun transportasi, tapi mereka lebih memilih menyembah berhala daripada menyembah Tuhan yang Esa. Sedangkan berhala-berhala itu tidak bisa berbuat apa-apa sedangkan Allah Swt berkuasa atas segalanya.

Melalui surah Yasin ayat 71-73 ini Allah Swt menegur kita agar senantiasa bersyukur atas nikmat serta mengesakan Allah Swt. Nikmat-nikmat itu Allah gambarkan begitu jelas kepada kita agar kita menjadi pribadi yang selalu bersyukur dan berterimakasih. Sekian penjelasan singkat tafsir Yasin ayat 71-73. Nantikan artikel menarik berikutnya. Wallahu A’lam.[]

Tafsir Surah Al Balad Ayat 6-13

0
tafsir surah al balad
Tafsiralquran.id

Tafsir Surah Al Balad Ayat 6-13 meneruskan pembicara sebelumnya yang menyinggung tentang larangan untuk bersikap sombong. Manusia tidak pantas menyombongkan dirinya karena ia tidak bisa apa-apa tanpa orang lain. Maka sudah sepatutnya saling membantu satu sama lain.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al Balad Ayat 1-5


Dalam Tafsir Surah Al Balad Ayat 6-13 ini juga membicarakan mengenai perjuangan yang harus selalu diupayakan betapapun beratnya. Pada akhir pembahasan dicontohkan sebuah perjuangan yang sulit itu, yakni memerdekakan budak.

Ayat 6

Kesombongannya itu misalnya berkenaan pengeluarannya untuk membantu orang lain. Pengeluaran itu dalam pandangannya sudah begitu besar, sehingga dianggapnya sia-sia. Ia merasa pengeluaran itu sudah sangat banyak sehingga tidak akan ada seorang pun yang akan mampu menandinginya, karena itu ia menjadi sombong.

Ayat 7

Allah bertanya mengenai orang yang sombong dengan pengeluarannya itu, “Apakah ia mengira bahwa tidak seorang pun yang melihat perbuatannya itu?”

Artinya, bila ia sombong dengan pengeluarannya itu, berarti ia mengorbankan kekayaannya hanya untuk mencari nama, maka pengorbanan itu tidak akan diterima-Nya. Jangan ia menyangka bahwa Allah tidak melihat perbuatannya itu dan tidak mengetahui motif di balik perbuatan baiknya itu, yang tidak diketahui oleh manusia.

 Ayat 8-10

 Allah selanjutnya bertanya mengenai orang itu, “Tidakkah Kami beri ia dua mata?” Artinya, untuk dapat mencari kekayaan, ia perlu dua mata, lalu siapakah yang memberinya dua mata itu bila bukan Allah?

Untuk mencari rezeki ia perlu berbicara, lalu siapakah yang telah memberinya lidah dan dua bibir untuk mampu bicara?

Dalam membesarkannya, ia telah menyusu pada kedua susu ibunya, siapakah yang telah menyediakan air susu ibunya itu bila bukan Allah?

Dengan demikian, keberhasilannya adalah karena bantuan dan kasih sayang Allah. Oleh karena itu, ia tidak perlu menyombongkan dirinya karena hartanya.

Di samping itu, mata, lidah, dan nafsu adalah nikmat Allah kepadanya yang tiada taranya. Ia akan bertemu dengan dua jalan yang disediakan Allah, yaitu jalan yang benar dan jalan yang salah. Ia perlu menggunakan mata, lidah, dan nafsu itu untuk jalan yang diridai oleh Allah.

Ayat 11

Dalam ayat ini, Allah bertanya, “Apakah tidak sebaiknya ia merapikan jalan mendaki yang terjal?” Artinya, manusia seharusnya bekerja keras dan berjuang semaksimal mungkin mengatasi segala rintangan supaya berhasil menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan besar dan meninggalkan jasa-jasa besar.

Ayat 12

Allah bertanya kepada manusia untuk memotivasi mereka, “Apakah jalan mendaki yang terjal itu?” Artinya, pekerjaan-pekerjaan besar itu memang sulit dikerjakan tetapi harus diatasi.

Baca juga: Tafsir Surah Yasin ayat 47: Kemanusiaan Sebagai Tanggung Jawab Bersama

Ayat 13

Allah menegaskan bahwa pekerjaan besar yang sulit dilaksanakan itu adalah memerdekakan budak. Hal itu karena perbudakan pada waktu itu sudah sangat dalam merasuk ke dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, baik di dunia Arab maupun di luarnya.

Segala aktivitas manusia, seperti perdagangan, pertanian, kemiliteran, bahkan kehidupan sehari-hari, dan sebagainya, tidak akan bisa berjalan dengan baik pada waktu itu tanpa adanya budak yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan berat.

Namun Allah meminta umat Islam agar menghapus perbudakan. Pelaksanaannya memang tidak sekaligus, tetapi berangsur-angsur. Seorang tuan seharusnya dapat memerdekakan budaknya, inilah yang dirasakan mereka sangat berat.

Pemerdekaan budak juga dilakukan melalui cara-cara lain, misalnya dengan sanksi pelanggaran-pelanggaran yang hukumannya adalah memerdekakan budak. Juga dengan cara memberi kesempatan kepada budak itu untuk menebus dirinya.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Balad Ayat 14-20


(Tafsir Kemenag)

Potret Penafsiran Al-Quran Hari Ini: Era Modern-Kontemporer

0
Potret Penafsiran Al-Quran
Potret Penafsiran Al-Quran

Ilmu pengetahuan dari masa ke masa senantiasa berkembang, begitupun dengan cara berpikir manusia yang turut bergerak dinamis. Hal ini juga berdampak pada bagaimana perubahan yang terjadi dalam diskursus penafsiran al-Quran.

Sebut saja bagaimana model penafsiran bi al-ma’ṡur pada masa klasik dilakukan oleh Nabi SAW dan para Sahabat, serta perbedaannya dengan potret penafsiran yang ditawarkan oleh Fazlur Rahman di masa modern. Keduanya hadir atas dasar keresahan sosial dan ritual (dibaca: ibadah) yang dialami umat manusia. Konteks zaman yang berbeda, menjadikan keduanya berlainan dalam metode, hasil penafsiran, bahkan variatif keresahan yang ditemui.

Berbicara mengenai dinamisasi penafsiran al-Qur’an, tentu akan menyinggung kecenderungan pola berpikir manusia dalam suatu masa atau periode. Sebut saja salah satunya disampaikan oleh Abdul Mustaqim (Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta: LKiS, 2010, hlm. 10) yang memotret sejarah penafsiran al-Qur’an dalam kacamata the history of idea ala Ignaz Goldziher.

Secara singkat terbagi dalam tiga periode, formatif (Masa Nabi dengan nalar kuasi-kritis), afirmatif (Abad pertengahan Islam dengan nalar ideologis), dan reformatif (Abad modern-kontemporer dengan nalar kritis). Dan tulisan ini akan penulis fokuskan pada klasifikasi poin terakhir tersebut.

Baca juga: Pendekatan Maqashid dalam Penafsiran Al-Quran, Prof. Mustaqim: Tafsir itu Tidak Hanya On Paper 

Penafsiran modern-kontemporer, jika ditilik dari awal kemunculannya dapat ditarik dari pergumulan pada pertengahan abad ke 19 M sampai sekarang. Bermula dari kegelisahan akan penafsiran yang selalu datang dalam balutan tekstualis—membahas kosa kata atau kedudukan kalimat dari sisi i’rab maupun penjelasan dari segi kebahasaan (Syaikh Muhammad Abduh, Fātihah al-Kitāb, Kairo: Kitāb al-Tahrīr, 1382 H, hlm. 5)—dan semakin tidak relevan dengan kondisi umat manusia pada saat itu.

Belum lagi penafsiran yang hanya mengulang penafsiran sebelumnya, sehingga kering akan wajah baru dalam memahami al-Qur’an. Namun, Muhammad Abduh mengecualikan kondisi gersang ini pada beberapa kitab tafsir yang memiliki kualitas penafsiran dengan redaksi yang informatif, seperti tafsir al-Zamakhsyari (Syaikh Muhammad Abduh, Fātihah al-Kitāb, Kairo: Kitāb al-Tahrīr, 1382 H, hlm. 5)

Juga pada kitab-kitab yang ditulis oleh mufassir kompatibel dalam menyusun pola pikir, diantaranya adalah tafsir al-Thabari, tafsir al-Asfahani dan tafsir al-Qurthubi. Kedatangan model penafsiran modern-kontemporer ini, tentu tidak terlepas dari pihak yang pro dan kontra. Hal ini dapat diakibatkan oleh karakteristik penafsiran yang jika dirinci oleh Abdul Mustaqim akan penuh dengan kritisisme, objektivitas dan keterbukaan atas kritik.

Namun, terlepas dari keengganan sebagian umat manusia untuk menyambut kebangkitan mode pemahaman al-Qur’an ini, terdapat better value, diantaranya adalah referensi yang digunakan senantiasa menggunakan kitab tafsir klasik, namun dengan penyajian dan pengolahan penafsiran yang berbeda. Karenanya, mayoritas akan berupaya untuk objektif, meskipun dengan meniscayakan selalu ada penafsiran yang lahir dari tujuan dan balas dendam.

Baca juga: Radikalisme dan Upaya Deradikalisasi: Inspirasi Metode Ishlah dari Ibn ‘Asyur

6 Pola Penafsiran Modern-Kontemporer Menurut Rotraud Wielandt

Rotraud Wielandt membaginya—pola penafsiran modern-kontemporer—ke dalam enam klasifikasi. Pertama, penafsiran dengan perspektif rasionalis, yang mana diprakarsai oleh Ahmad Khan—Bapak tafsir Modern—dan Muhammad Abduh. Kedua, penafsiran saintifik. Hal ini berdasar kepada semakin tumbuh suburnya sains pada saat itu, namun, Wielandt pun menyebutkan bahwa model penafsiran ini juga kerap kali digunakan oleh Fakhr al-Din al-Razi yang tidak lain adalah mufassir klasik.

Ketiga, penafsiran yang menggunakan sudut pandang psikolinguistik dan digagas oleh Amin al-Khuli lalu dilanjutkan oleh Bint al-Syathi. Pola ini cukup menarik perhatian penulis karena mengelaborasikan antara pemahaman atas psikologi masyarakat pertama yang menerima al-Qur’an dan sisi kebahasaan yang digunakan. Karenanya, dapat meminimalisir subjektivitas dalam penafsiran.

Keempat, menggunakan kacamata historisitas ayat dalam penafsiran al-Qur’an. Tentu hal ini menjadi sarana untuk mengambil makna utuh suatu ayat. Yang mana beberapa diantara pemahaman seringkali mengesampingkan konteks yang dibicarakan ayat.

Kelima, akrab disebut sebagai penafsiran adab ijtima’I atau model penafsiran yang menelisik melalui pola sosial-budaya masyarakat pertama dalam hal ini yang menerima al-Qur’an. Misalnya yang diterapkan oleh Sayyid Qutb dalam Fī Zilāl al-Qur’an.

Keenam, penafsiran yang dapat dikatakan lebih massif diproduksi hari ini, yakni tafsir tematik. Model ini, memberikan sumbangan pemahaman yang utuh atas suatu tema atau wacana, sehingga mudah untuk diimplikasikan dalam keseharian.

Penyajian model penafsiran Wielandt cukup rapi. Hanya saja, penulis melihat adanya signifikansi lain dalam penafsiran era modern-kontemporer diantaranya penafsiran dengan paradigma feminis atau kesetaraan gender, maupun pola penafsiran lain yang lebih kontekstual-fungsional.

Baca juga: Teladan Maulana Habib Luthfi: Belajar Tak Mudah Mengeluh dari Tafsir Ali Imran Ayat 139

Salah satu diantaranya adalah penafsiran Abdullah Saeed, Muhammad Syahrur, Asghar Ali Engineer, Amina Wadud dan mufasir lainnya yang menganut tafsir sebagai suatu paradigma, meskipun tidak atau belum sampai menghasilkan suatu karya dalam bentuk kitab tafsir. Pembahasan Wielandt secara garis besar lebih kepada lingkup penafsiran sebagai produk—meminjam istilah Abdul Mustaqim—semata. Sehingga hal ini berimplikasi logis pada bagaimana posisi penafsiran yang berhenti pada sudut pandang dan metodologi.

Tafsir Surah Al Balad Ayat 1-5

0
tafsir surah al balad
Tafsiralquran.id

Tafsir Surah Al Balad Ayat 1-5 diawali dengan pengemukaan sumpah. Setelah itu dikemukakan mengenai keadaan yang harus dihadapi oleh manusia ketika hidup di dunia. Hidup mereka akan penuh perjuangan melewati berbagai cobaan. Dan siapapun tidak diperkenankan untuk bersifat sombong sedikitpun.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al Fajr Ayat 17-30


Ayat 1

Ayat ini secara harfiah terjemahannya, “Aku tidak bersumpah dengan negeri ini.” Kata “tidak” () dalam ayat itu berfungsi menguatkan, karena itu maksudnya, “Aku benar-benar bersumpah dengan negeri ini.” Atau ayat itu dibaca, “Tidak! Aku bersumpah dengan negeri ini,” yang juga bermakna menekankan.

Allah bersumpah dengan kota Mekah, tempat di mana terdapat Ka’bah yang dituju oleh manusia dari segala penjuru semenjak didirikan oleh Nabi Ibrahim sampai sekarang untuk melaksanakan ibadah haji.

Di samping itu, kota ini juga menjadi pusat perdagangan semenjak lama sekali. Karena didatangi setiap tahun dari segenap penjuru itu, maka kota itu dinamai juga Ummul-Qura (Induk Negeri-negeri). Kota itu makmur sekalipun sekelilingnya padang pasir.

Ayat 2

Kata hill dalam ayat itu berarti “bertempat”. Maksudnya adalah bahwa kota ini adalah juga tempat lahir Nabi Muhammad yang merupakan nabi terbesar dan terakhir yang membawa agama Islam.

Dengan demikian, Allah bersumpah dengan kota Mekah yang agung karena tempat kelahiran manusia agung, yaitu Muhammad saw. Ada pula yang menafsirkan hill dalam ayat itu “halal”, yaitu halal bagi Nabi berperang dalam kota itu bila diperangi, apa yang tidak dihalalkan bagi orang lain.

Ayat 3

Allah bersumpah dengan seorang ayah, yaitu Ibrahim, dan anaknya, yaitu Ismail yang nanti menurunkan Nabi Muhammad. Dengan demikian, Allah bersumpah dengan nenek moyang Nabi Muhammad setelah sebelumnya Allah bersumpah dengan beliau dan kota kelahiran beliau, yang menunjukkan pertalian kedua nabi tersebut.

Ada pula yang menafsirkan “ayah” dengan Adam yang merupakan ayah umat manusia dan anak cucunya yang lahir sesudah itu siapa saja.

Ayat 4

Setelah bersumpah, Allah menyampaikan pesan penting yang hendak dikemukakan-Nya yang karena itu Ia perlu terlebih dahulu bersumpah. Pesan itu adalah bahwa manusia terlahir dalam kesulitan.

Maksudnya, manusia tidak bisa lagi hidup tanpa susah payah sebagaimana dialami oleh nenek moyang mereka, Adam dan Hawa, di surga, karena semuanya tersedia. Tetapi mereka harus hidup dengan terlebih dahulu bersusah payah: berusaha, mencari rezeki, mengatasi berbagai rintangan, dan sebagainya.

Berdasarkan perjuangan itulah, Allah menilai manusia tersebut. Semakin besar perjuangan yang dilakukan manusia dan semakin besar manfaat yang diberikan hasil perjuangannya itu bagi umat manusia, semakin tinggi nilai manusia itu dalam pandangan Allah.

Begitu pulalah Nabi Muhammad di kota ini, beliau perlu berjuang agar kebenaran menjadi nyata dan kebatilan menjadi sirna. Demikian pula seluruh manusia. Oleh karena itu, manusia mati seharusnya meninggalkan jasa.

Baca juga: Inilah Huruf Qasam dalam Al-Quran dan Sebabnya

Ayat 5

Dalam ayat ini, Allah bertanya apakah manusia yang selalu berada dalam kesulitan, dan untuk bisa hidup harus mampu mengatasi kesulitan itu, dapat menyombongkan dirinya setelah berhasil dalam perjuangan itu.

Menyombongkan diri itu misalnya menyangka dirinya begitu kuasanya sehingga berpandangan bahwa tidak akan ada seorang pun yang akan mampu menyaingi dan mengalahkannya, termasuk Allah sendiri.

Ia tidak boleh berpandangan demikian karena bila ada seorang yang hebat, pasti akan ada lagi orang yang lebih hebat darinya. Di atas segala yang hebat itu, Allah adalah yang terhebat dari segala yang hebat, sebagaimana difirmankan-Nya:

وَفَوْقَ كُلِّ ذِيْ عِلْمٍ عَلِيْمٌ

Dan di atas setiap orang yang berpengetahuan ada yang lebih mengetahui. (Yµsuf/12: 76)


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Balad Ayat 6-13


(Tafsir Kemenag)

Konsep Nasikh Mansukh Menurut Syah Waliyullah al-Dahlawi

0
Nasikh Mansukh Menurut Syah Waliyyullah Al-Dahlawi
Nasikh Mansukh Menurut Syah Waliyyullah Al-Dahlawi

Syah Waliyullah al-Dahlawi memiliki nama lengkap Qutb-ud-Din Ahmad Waliullah Ibn Abd al-Rahim Ibn Wajih al-Din Ibn Mu’azhzham bin Mansur Al-‘Umari Ad-Dahlawī. Beliau merupakan salah satu tokoh pembaru Islam di India-Pakistan yang menjadi pelopor konsep asbabun nuzul makro. Pemikirannya di kemudian hari banyak dikutip oleh sarjana kontemporer seperti Muhammad Sharur dan Abdullah Saeed.

Selain memaparkan tentang konsep asbabun nuzul makro, Syah Waliyullah al-Dahlawi dalam kitabnya al-Fawz al-Kabir fi Ushul al-Tafsir juga menerangkan tentang konsep nasikh mansukh. Bisa dikatakan bahwa ia merupakan mufasir modern yang pertama kali melakukan kritik terhadap konsep nasikh mansukh. Meskipun secara teoritis ia masih menerima konsep ini, namun ia telah menjadi tonggak awal penolakan terhadap konsep tersebut.

Selama ini, nasikh mansukh secara singkat dipahami sebagai pembatalan atau pemindahan suatu hukum syariat ditandai dengan adanya dalil syariat setelahnya yang menunjukkan pembatalan atau pemindahan hukum tersebut. Hal ini dikarenakan perubahan konteks dan kondisi sosial-kultural pada saat syariat tersebut diberlakukan. Pandangan ini disampaikan oleh al-Zarqoni dalam kitabnya Manahil al-Irfan fi Ulumil Qur’an.

Baca Juga: Perbedaan Pandangan Ulama tentang Nasikh dan Mansukh

Menurut Ahmad Izzan, Ulama yang melopori konsep nasakh mansukh dalam Al-Quran adalah asy-Syafi`i, al-Suyuti, al-Nahas, dan al-Syaukani. Persoalan nasikh mansukh bagi kelompok pendukungnya merupakan salah satu cara menyelesaikan pertentangan dalil syariat apabila tidak bisa dikompromikan dengan cara salah satunya dinasakhan atau dibatalkan (Ulumul Quran, Telaah Tekstual dan Kontekstuals al-Quran).

Namun konsep nasikh mansukh kemudian banyak dipertanyakan kembali karena dianggap mem-batil-kan Al-Qur’an. Kelompok penolak yang dipelopori oleh Abu Muslim al-Isfahani, yang menyatakan bahwa dalam Al-Quran tidak terdapat nasikh mansukh dengan berbagai argumentasi. Menurutnya, jika seseorang mengakui adanya nasakh berarti ia mengakui adanya kebatilan dalam Al-Quran (Pengantar Ilmu Tafsir).

Nasikh dan Mansukh Menurut Syah Wali Allah Al-Dahlawi

Ketika melihat perdebatan di antara ulama berkenaan dengan nasikh mansukh, Syah Waliyullah al-Dahlawi berinisiatif untuk melakukan verifikasi dan moderasi. Ia menerangkan bahwa naskh dan mansukh adalah salah satu diskursus yang sulit dan banyak terjadi ikhtilaf ulama di dalamnya, khususnya berkenaan dengan perbedaan penggunaan istilah di antara ulama mutaqaddimin dan ulama mutaakhirin.

Oleh sebab itu, hal pertama yang harus didudukkan adalah pengertian nasikh mansukh itu sendiri agar dapat dipahami secara komprehensif. Ia kemudian menjelaskan secara umum menjelaskan bahwa ulama mutaqaddimin memaknai naskh dengan makna lugawi, yakni menghapus atau menghilangkan sesuatu dengan sesuatu, tidak dengan makna istilah ushul yang khas.

Dalam konteks ini, mereka tidak membatasi istilah nasikh mansukh pada penghapusan ayat dan hukum saja, melainkan juga ‘am, khas (takhsis) dan sebagainya. Atas dasar inilah, diskursus naskh di kalangan mutaqaddimin  sangatlah luas dan banyak. Akibatnya, ayat yang dinasakh menurut mereka mencapai 500 ayat, bahkan tidak terbatas bilangannya (al-Fawz al-Kabir fi Ushul al-Tafsir: 53).

Sedangkan makna nasikh mansukh di sisi ulama mutaakhirin adalah membatalkan pelaksanaan hukum syara’ yang telah ada sebelumnya dengan dalil yang datang kemudian. Impikasinya, ayat yang dinasakh bagi mereka sedikit. Namun tetap saja ia memberikan catatan khusus terkait konsep nasikh mansukh menurut ulama mutaakhirin.

Dari dua pandangan di atas, Syah Waliyullah al-Dahlawi menggunakan istilah nasikh mansukh dalam hal penghapusan hukum syariat dengan syariat yang datang setelahnya. Dari penjelasannya juga, penulis menemukan ad-Dahlawi tetap mengakui adanya takhsis al-Qur’an bi al-sunnah sebagaimana yang dilakukan al-Suyuthi. Akan tetaapi ada perbedaan antara keduanya, di mana analisa al-Dahlawi lebih presisi dibanding analisa al-Suyuthi.

Al-Dahlawi menjadikan al-Suyuthi sebagai acuan utama dalam menjelaskan ayat-ayat yang dinasakh, namun dengan beberapa perbedaan yang mendasar. Ia menyebutkan bahwasanya al-Suyuthi dalam kitabnya al-Itqan Fi Ulumil Quran telah mendeskripsikan dengan rinci ayat-ayat yang telah dinasakh dan ayat yang menasakhnya. Dari 21 ayat yang dianggap al-Suyuthi dinasakh, al-Dahlawi hanya mengakui 5 sebagai ayat yang dinasakh.

Ayat-ayat Al-Qur’an yang dinaskh menurut al-Dahlawi ialah QS. Al-Baqarah [2] ayat 180, QS. Al-Baqarah [2] ayat 234, QS. Al-Anfal [8] ayat 65, QS. Al-Ahzab [33] ayat 52, dan QS. Al-Mujadilah ayat 12. Semua ayat tersebut dinaskh oleh ayat Al-Qur’an, bukan hadis. Ketika menyebutkan kelima ayat ini, al-Dahlawi turut menjelaskan kekeliruan al-Suyuthi.

Sebagai contoh, al-Suyuthi berpendapat bahwa QS. Al-Baqarah [2] ayat 180 dinasakh dengan ayat waris, dikatakan juga dengan hadis “tidak ada wasiat bagi ahli waris” dan dikatakan pula dengan ijma’. Al-Dihlawi setuju dengan naskh tersebut, akan tetapi ia secara tegas menyebutkan bahwa ayat ini dinasakh dengan ayat waris, bukan dengan hadis yang disebutkan al-Suyuthi, karena hadis tersebut merupakan penjelasan bagi naskh bukan sebagai pe-nasakh.

Baca Juga: Hikmah Adanya Nasakh dan Mansukh Dalam Al-Quran, Begini Penjelasannya

Ada hal yang menarik dari penjelasan al-Dihlawi berkenaan dengan ayat apa saja yang telah dinaskh, di mana ia tidak memasukkan ayat al-kamr ke dalam kategori ayat yang di nasakh sebagaimana yang dilakukan mayoritas ulama lainnya. Jika kita melihat ke dalam kitab-kitab tafsir yang memakai metode tah}li>li>/analitik dan berlandaskan sumber yang ma’tsur, semua itu mengemukakan bagaimana perjalanan pengharaman khamar.

Berdasarkan hal itu penulis menyimpulkan bahwa ad-Dihlawi tidak menganggap rentetan ayat khamar sebagai bentuk naskh-menasakh, akan tetapi melihatnya sebagai satu kesatuan dengan konteksnya tersendiri, di mana ayat an-Nahl ayat 67 tidak menunjukkan bahwa khamar boleh diminum karena ada shigat  baik sebagai lawannya khamar yang berarti buruk.

Secara implisit ayat ini sebenarnya menunjukkan bahwa khamar tidak baik bagi manusia. Kemudian ayat khamar lainnya, surah al-Baqarah ayat 219, an-Nisa’ ayat 43 dan al-Ma’idah ayat 90 bukan berlaku sebagai pe-naskh, akan tetapi penegas tentang keharaman khamar. Dengan kata lain ayat-ayat ini sebenarnya memiliki tujuan yang sama namun dalam konteks yang berbeda. Wallahu a’lam.