Beranda blog Halaman 422

Tafsir Surat Yasin ayat 36: Hikmah Besar Dari Berpasang-pasangan

0
Yasin Ayat 36
Yasin Ayat 36

Pada artikel sebelumnya telah diterangkan tentang tanda-tanda kekuasaan Allah Swt, khususnya segala macam tumbuhan yang ada di belahan bumi adalah kuasa-Nya, sekalipun tumbuhan itu sudah kering atau mati di tanah yang tandus, niscaya mudah bagi Allah untuk menumbuhkannya kembali.

Pembahasan kali ini, terkait tafsir surat Yasin ayat 36 masih akan meneruskan beberapa tanda kekuasaan Allah yang lain, bahwa segala sesuatu yang telah DIA ciptakan sejatinya tidak tunggal, tetapi berpasang-pasangaan dan pada ayat ini Allah ingin menunjukkan hikmahnya kepada kita semua melalui rangkaian penafsiran para ulama. Allah berfirman:

سُبْحٰنَ الَّذِيْ خَلَقَ الْاَزْوَاجَ كُلَّهَا مِمَّا تُنْۢبِتُ الْاَرْضُ وَمِنْ اَنْفُسِهِمْ وَمِمَّا لَا يَعْلَمُوْنَ

  1. Mahasuci (Allah) yang telah menciptakan semuanya berpasang-pasangan, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka sendiri, maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.

Permulaan ayat ini menggunakan redaksi subhanalladzi khalaqa yang setidaknya memiliki dua makna menurut Qurthubi. Pertama, adalah bentuk pujian Allah atas diri-Nya, dari tingkah kaum durhaka, yakni; mereka yang menyembah selain Allah, berpaling dari tanda-tanda kekuasan-Nya, dan tidak mensyukuri nikmat-nikmat yang telah diberikan kepada mereka. (Sebagaimana yang telah dijelaskan pada ayat-ayat sebelumnya)

Kedua, kata subhana memiliki makna ta’ajjub. Yakni merasa heran atas kedurhakaan kaum tersebut, padahal mereka menyaksikan tanda-tanda kekuasaan Allah akan tetapi mereka berpaling. Seharusnya, ketika menyaksikan tanda-tanda itu mereka berucap, Subhanaallah.

Adapun kata al-azwaj secara umum dipahami dengan berpasang-pasangan. Konteksnya pada ayat ini, memunculkan beberapa makna yang digunakan oleh para  mufassir. Misalnya Zamaksyari, ia menilai kata azwaj dengan al-ajnas/al-ashnaf yang bermakna jenis/golongan tumbuhan, bahwa Allah menciptakan tumbuhan itu dengan beragam jenis, ciri, warna, dan bentuk, untuk saling menyatukan dan memberi manfaat. Ini diperkuat dengan kata yang setelahnya mimma tunbitul ardh yang secara tegas menunjukkan segala sesuatu yang tumbuh di bumi, seperti ; buah, tanaman, dan tumbuhan yang lain.

Disisi lain, kata azwaj juga memiliki makna berpasangan antara betina-jantan, pria-wanita, apabila disandingkan dengan kata min anfusihim. Pendapat ini dipakai oleh Ibnu Kathir, Thabari, Zamaksyari, Qurthubi, dan Zuhaili.

Lebih luas lagi, Tim penulis Tafsir al-Muntakhab sebagaimana yang dikutip oleh Quraish, mengatakan bahwa kata “min” dalam ayat ini berfungsi sebagai penjelas. Bahwa Allah telah mencipatakan pejantan dan betina pada semua makhluk cipataan-Nya, baik itu tumbuh-tumbuhan, hewan, manusia ataupun makhluk hidup lain yang tak kasat mata (seperti jin) dan yang belum diketahui oleh manusia (wa mimma la ya’lamun : ujung ayat 36).

Menurut Quraish, pendapat ini sejalan dengan makna kebahasaan serta kenyataan ilmiah pada saat ini. Dari segi bahasa, kata azwaj menurut pakar bahasa al-Qur’an ar-Raghib al-Ashfahani, digunakan untuk menunjukan dua hal, yakni; yang berpasangan dan bersamaan. Misalnya, yang berpasangan seperti betina-pejantan, pria-wanita. Disaat yang sama ia juga berfungsi menunjukkan pada sesuatu yang sama misalnya “alas kaki”, namun hal yang sma ini bisa diakibatkan karena “kesamaan” atau karena “bertolak belakang”.

Hamka mengilustrasikan yang bertolak belakang seperti positif-negatif, menurutnya dengan keduanya itu mampu melahirkan penemuan baru, sebut saja seperti listrik, yang sampai saat ini menjadi kebutuhan manusia hingga saat ini.  Karena itu, tidak heran jika Allah menciptakan segala sesuatu itu berpasang-pasangan, seperti; pria, wanita, senang, sedih, resah, gembira, cinta, dilema, optimis, pesimis, kaya, miskin, dan sebagainya. Bayangkan jika Allah hanya mencipatakan satu macam saja, apa yang bisa kita nikmati?

Maka, melalui ayat ini, seharunya menjadikan kita menjadi hamba yang lebih bersyukur dan legowo atas nikmat serta kehendak yang telah Allah limpahkan, niscaya ia akan menambahkan nikmat lain yang mungkin belum pernah kita rasakan sebelumnya. Sebagai penutup, penulis igim mengutip salah satu ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan pembahasan kali ini. Allah berfirman:

وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ

Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu mengingat (kebesaran Allah).(QS. Adz-Dzariyat: 49)

Demikian penjelasan ringkas tafsir surat Yasin ayat 36. Ikuti series tafsir yasin selanjutnya, semoga bermanfaat. Terimakasih.Wallahu a’lam

Inilah Tiga Sikap Kerukunan Umat Beragama Menurut Quraish Shihab

0
Tiga Sikap Kerukunan Umat Beragama Menurut Quraish Shihab
Tiga Sikap Kerukunan Umat Beragama Menurut Quraish Shihab

“Sekali lagi agama beranekaragam, biarlah masing-masing dengan pilihan masing-masing untuk mempercayai dan melaksanakan apa yang baik dan benar. Biarlah manusia yang berbeda itu berlomba dalam kebajikan…..Masing-masing mestinya telah mempelajari agamanya dan menemukan yang benar, sehingga tidak mungkin dibenarkan dua agama berbeda dalam saat yang sama.” (Islam yang Saya Anut: 48). Kutipan dari Prof. Dr. Quraish Shihab, pakar tafsir terkemuka Indonesia, sekilas memberikan gambaran pandangannya terhadap konsep kerukunan umat beragama.

Namun, belakangan ini sikap keagamaan umat banyak dijumpai kekeliruan. Seperti sikap fanatik buta, eksklusif, dan mudah menyalahkan kelompok lain. Sementara wacana toleransi dan pluralisme terkadang terjebak dalam jurang runtuhnya akidah yang dianutnya. Lalu bagaimana Quraish Shihab menyikapi fenomena tersebut? Berikut akan penulis jelaskan tiga sikap Quraish Shihab perihal konsep kerukunan umat beragama.

Ayat-ayat Kerukunan Umat Beragama

Konsep kerukunan umat beragama dalam al-Qur’an bisa dijumpai dalam beberapa ayat. Pertama, ayat tentang keselamatan umat beragama seperti dalam QS. al-Baqarah[2]: 62.

إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَٱلَّذِينَ هَادُوا۟ وَٱلنَّصَٰرَىٰ وَٱلصَّٰبِـِٔينَ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْأخِرِ وَعَمِلَ صَٰلِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Sabiin, siapa saja (di antara mereka) yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dan melakukan kebajikan, mereka mendapat pahala dari Tuhannya. Tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati. (QS. al-Baqarah[2]: 62)

Kedua, ayat yang menerangkan kebebasan beragama seperti dalam QS. Yunus[10]: 99. Ayat tersebut memiliki hubungan dengan ayat yang menjelaskan terkait tidak adanya paksaan dan ketulusan dalam memilih agama (QS. al-Baqarah[2] 256 dan QS. al-Kahfi [18] 29). Ketiga, ayat yang menerangkan perbedaan jenis kelamin dan asal suku bangsa manusia yang termaktub dalam QS. al-Hujurat [49]: 13.

Baca juga: Surat Al-A‘raf [7] Ayat 55: Etika Berdoa Menurut Al-Qur’an

Keempat, kebebasan menjalankan ritual keagamaan umat beragama lain dan teguh atas agamanya sendiri. Hal ini seperti dijelaskan dalam QS. al-Kafirun[109]: 6.

 لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ

 “Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku.” (QS. al-Kafirun[109]: 6)

Kerukunan Umat Beragama dalam Tafsir al-Misbah

Pendapat yang mengatakan QS. al-Baqarah[2]: 62 dijadikan sebagai toleransi, akan menjadi keliru ketika menyamakan semua agama. Adapun kaitannya dengan toleransi umat beragama, Shihab menerangkan bahwa akidah dan ibadah tidak bisa disamakan. Antara satu agama dengan agama lain tentu tidaklah sama. Islam sendiri menyatakan kebenaran agamanya seperti disebutkan dalam QS. Ali Imran[3]: 19 dan QS. Ali Imran [3]: 85.

Nilai toleransi yang bisa dipetik dalam ayat ini, menurut Shihab, yaitu bagaimana antarumat beragama hidup berdampingan secara damai. Tentang siapa yang benar di sisi Allah, adalah keputusan-Nya kelak di hari akhir. Kemudian, antara surga dan neraka merupakan hak prerogatif Allah. (Tafsir al-Misbah, vol. 1: 208).

Selanjutnya tentang kebebasan beragama (QS. Yunus[10]: 99), Quraish Shihab, menyebutkan bahwa ayat ini mengisyaratkan kepada manusia untuk berhak memilih percaya atau tidak. Tetapi, kebebasan tersebut tidak semata dari kekuatan manusia, karena semua hidayah adalah anugerah dan atas izin Allah. Hal ini seperti keterangan pada ayat setelahnya (QS. Yunus[10]: 100).

Baca juga: Isyarat Larangan Rasisme Dalam Al-Qur’an, Tafsir Surat Ar-Rum Ayat 22

Lebih lanjut, Shihab menerangkan bahwa Allah sedang menguji manusia melalui anugerah-Nya berupa potensi akal untuk memilah dan memilih, beragama ataupun tidak. (Tafsir al-Misbah, vol. VI: 164) Ayat tersebut juga berhubungan dengan QS. al-Baqarah[2] 256, yakni agama tidak bisa dipaksakan oleh siapa pun yang hendak memilih. Termasuk ketulusan dalam memilih agama (QS. al-Kahfi [18] 29).

Memilih salah satu agama, menurut Shihab, berarti berkewajiban dan terikat dengan segala perintah agama beserta tuntunannya. Karena hal itu menjadi konsekuensi manusia dengan Tuhannya dalam hubungan yang vertikal.

Kedua ayat di atas memberikan keterangan bahwa tidak perlu memaksakan kehendak kepada orang lain. Allah pun telah menjelaskan, kebenaran dan kesesatan adalah dua kondisi yang gamblang perbedaannya. Potensi akal manusia lah yang kemudian mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah.

Keberagaman yang diciptakan Allah, tidak lain merupakan tanda kebesaran yang nyata. Seperti perbedaan jenis kelamin, suku, bangsa, dan ras. Dalam hal ini, Allah menjelaskan bahwa perbedaan tersebut bermaksud agar mereka bisa saling mengenal, memahami satu sama lain seperti di jelaskan dalam QS. al-Hujurat [49]: 13.

Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah, vol. XII: 262, menyebutkan bahwa panggilan yang diserukan Allah dalam ayat ini, mencakup semua jenis manusia. Tidak ada perbedaan di antara suku dan bangsa. Redaksi awal ayat tersebut menjadi pengantar menuju kesimpulan bahwa yang paling bertakwa-lah yang lebih unggul di sisi Allah.

Shihab menambahkan, semakin kuat jalinan antara satu umat dengan yang lainnya, maka potensi untuk saling memberi manfaat akan semakin besar. Saling mengenal berkesempatan untuk saling mengambil pelajaran agar meningkatkan ketakwaan setiap orang. Dengan demikian, akan tercipta kedamaian dan kesejahteraan duniawi dan ukhrawi.

Baca juga: Makna Islam Sebagai Agama Perdamaian dalam Al-Quran

Hubungan antarumat beragama juga bisa dilihat dari sikap seseorang atas ritual keagamaan yang dilakukan oleh umat beragama lain. Tafsir al-Misbah dalam menerangkan QS. al-Kafirun[109]:6, terlebih dahulu menerangkan asbab an-nuzul-nya. Pada awal surat mengisahkan usulan dari kaum musyrikin kepada Nabi untuk pengkompromian akidah dan kepercayaan. Nabi menolaknya dan al-Qur’an menyikapi perbedaan melalui ayat keenam tersebut.

Quraish Shihab menganalisis didahuluinya lafaz (لكم) dan (لي) pada ayat keenam adalah bentuk kekhususan. Masing-masing agama dipersilahkan menjalankan ritual keagamaannya dan tanpa dicampurbaurkan. Nabi Muhammad dalam hal ini tidak berarti membenarkan ajaran mereka, namun hanya memberikan ruang kepadanya untuk melanjutkan ritual keagamaan yang mereka yakini (Tafsir al-Misbah, vol. XV, 581)

Tiga Sikap Kerukunan Umat Beragama Menurut Quraish Shihab

Setelah membaca penafsiran Quraish Shihab seputar kerukunan umat beragama, penulis menarik kesimpulan ada tiga sikap yang dipilih oleh Quraish Shihab. Pertama, bersikap terbuka dan tidak memaksa. Kedua, membangun hubungan yang berorientasi kedamaian. Ketiga, eksklusif yang bersifat ke dalam.

Bersikap terbuka maksudnya, keragaman adalah sunnatullah yang tidak terelakkan. Maka, sikap menerima perbedaan menjadi sebuah keniscayaan dengan cara tidak memaksa kehendak orang lain dalam memilih agama atau bahkan dalam setiap perkara.

Shihab juga berupaya menjembatani keragaman dengan cara menjalin hubungan atau mitra kerja dalam kebajikan. Sehingga, perbedaan yang terjadi  di masyarakat pada gilirannya akan membangun keharmonisan dan kedamaian, bukan pemicu perpecahan.

Perihal sikap eksklusif, dalam pandangan Shihab adalah sebuah pokok ajaran agama. Namun sikap ini diarahkan ke dalam masing-masing individu pemeluk agama. Kebenaran agama yang dianutnya haruslah diyakini sepenuhnya dengan tidak menyatakan ke tataran masyarakat yang multikultural. Hal ini dilakukan untuk menjaga kesatuan dan persatuan, terlebih dalam konteks Indonesia yang memiliki ragam agama dan kepercayaan. Wallahu A’lam[]

Kisah Al-Quran: Beberapa Gelar Yang Disandang Nabi Ibrahim a.s.

0
foto ilustrasi, nabi ibrahim ketika menyembelih anaknya, ismail
foto ilustrasi, nabi ibrahim ketika menyembelih anaknya, ismail

Salah satu sosok Nabi yang sangat mulia bahkan disitir di dalam Al-Quran sebagai al-khalilullah (kekasih Allah), yaitu Nabi Ibrahim. Pembahasan Nabi Ibrahim a.s. menjadi menarik untuk dielaborasi lebih dalam karena ia mempunyai gelar atau julukan (laqab), salah satunya ialah Ulul Azmi. Berikut beberapa julukan atau gelar yang dinisbahkan kepada Nabi Ibrahim a.s,

Ulul Azmi

Ulul Azmi – sebagaimana penjelasan Al-Qurthuby dalam al-Jami’ li Ahkam Al-Quran – dimaknai sebagai orang-orang yang mempunya ghirah yang kuat dan tangguh. Gelar ini teramat istimewa sebab disematkan kepada para rasul yang memiliki keistimewaan, seperti kesabaran yang luar biasa dalam menerima cobaan dan ujian Allah, kepelikan dalam menjalankan dakwah, ujian hidup dan lain sebagainya.

Nabi Ibrahim a.s. merupakan salah satu Nabi yang mendapat gelar ini karena ketaatannya yang luar biasa dan pengorbanan yang tiada tara dalam menjalankan dakwah Islam. Gelar Ulul Azmi dapat dilihat pada Q.S. Al-Ahqaf [46]: 35, dan Q.S. Al-Ahzab [33]: 7,

فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ اُولُوا الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ وَلَا تَسْتَعْجِلْ لَّهُمْ

Maka bersabarlah engkau (Muhammad) sebagaimana kesabaran rasul-rasul yang memiliki keteguhan hati dan janganlah engkau meminta agar azab disegerakan untuk mereka. (Q.S. Al-Ahaqaf [46]: 35)

Dalam ayat yang lain,

وَاِذْ اَخَذْنَا مِنَ النَّبِيّٖنَ مِيْثَاقَهُمْ وَمِنْكَ وَمِنْ نُّوْحٍ وَّاِبْرٰهِيْمَ وَمُوْسٰى وَعِيْسَى ابْنِ مَرْيَمَ ۖوَاَخَذْنَا مِنْهُمْ مِّيْثَاقًا غَلِيْظًاۙ

Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari para nabi dan dari engkau (sendiri), dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putra Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh, (Q.S. Al-Ahzab [33]: 7)

Baca juga: Kisah Al-Quran: Biografi Nabi Ibrahim dan Perjalanan Dakwahnya

Abu Al-Anbiya’

Nabi Ibrahim mendapat gelar sebagai Abu al-Anbiya (bapaknya para Nabi) sebab dari garis keturunannya, ia dianugerahi 2 orang anak laki-laki yaitu Ismail dan Ishaq. Dan dari keturunan Nabi Ismail inilah lahir Rasulullah Muhammad saw, sosok Nabi khatamul anbiya wa mursalin (penutup para Nabi) (Syauqi Khalil dalam Atlas Al-Quran).

Kemudian, dari jalur Nabi Ishaq lahir Nabi Ya’qub, Yusuf dan Nabi Isa a.s. Gelar Abu Al-Anbiya ini tersirat dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 133 dan 136,

اَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاۤءَ اِذْ حَضَرَ يَعْقُوْبَ الْمَوْتُۙ اِذْ قَالَ لِبَنِيْهِ مَا تَعْبُدُوْنَ مِنْۢ بَعْدِيْۗ قَالُوْا نَعْبُدُ اِلٰهَكَ وَاِلٰهَ اٰبَاۤىِٕكَ اِبْرٰهٖمَ وَاِسْمٰعِيْلَ وَاِسْحٰقَ اِلٰهًا وَّاحِدًاۚ وَنَحْنُ لَهٗ مُسْلِمُوْنَ

Apakah kamu menjadi saksi saat maut akan menjemput Yakub, ketika dia berkata kepada anak-anaknya, “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab, “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu yaitu Ibrahim, Ismail dan Ishak, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami (hanya) berserah diri kepada-Nya.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 133)

Dalam ayat lain,

قُوْلُوْٓا اٰمَنَّا بِاللّٰهِ وَمَآ اُنْزِلَ اِلَيْنَا وَمَآ اُنْزِلَ اِلٰٓى اِبْرٰهٖمَ وَاِسْمٰعِيْلَ وَاِسْحٰقَ وَيَعْقُوْبَ وَالْاَسْبَاطِ وَمَآ اُوْتِيَ مُوْسٰى وَعِيْسٰى وَمَآ اُوْتِيَ النَّبِيُّوْنَ مِنْ رَّبِّهِمْۚ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ اَحَدٍ مِّنْهُمْۖ وَنَحْنُ لَهٗ مُسْلِمُوْنَ

Katakanlah, “Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami, dan kepada apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub dan anak cucunya, dan kepada apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta kepada apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka, dan kami berserah diri kepada-Nya.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 136)

Abu at-Tauhid

Gelar Nabi Ibrahim ketiga ialah Abu at-Tauhid (bapak agama Tauhid). Gelar ini diberikan sebab perjalanan dakwahnya yang sangat panjang dalam menauhidkan umatnya sekaligus pencarian jati dirinya sebagaimana dilukiskan dalam firman Allah swt Q.S. Al-An’am [6]: 76-79,

فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ الَّيْلُ رَاٰ كَوْكَبًا ۗقَالَ هٰذَا رَبِّيْۚ فَلَمَّآ اَفَلَ قَالَ لَآ اُحِبُّ الْاٰفِلِيْنَ فَلَمَّا رَاَ الْقَمَرَ بَازِغًا قَالَ هٰذَا رَبِّيْ ۚفَلَمَّآ اَفَلَ قَالَ لَىِٕنْ لَّمْ يَهْدِنِيْ رَبِّيْ لَاَكُوْنَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّاۤلِّيْنَ فَلَمَّا رَاَ الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هٰذَا رَبِّيْ هٰذَآ اَكْبَرُۚ فَلَمَّآ اَفَلَتْ قَالَ يٰقَوْمِ اِنِّيْ بَرِيْۤءٌ مِّمَّا تُشْرِكُوْنَ اِنِّيْ وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ حَنِيْفًا وَّمَآ اَنَا۠ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَۚ

Ketika malam telah menjadi gelap, dia (Ibrahim) melihat sebuah bintang  (lalu) dia berkata, “Inilah Tuhanku.” Maka ketika bintang itu terbenam dia berkata, “Aku tidak suka kepada yang terbenam.” Lalu ketika dia melihat bulan terbit dia berkata, “Inilah Tuhanku.” Tetapi ketika bulan itu terbenam dia berkata, “Sungguh, jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.”Kemudian ketika dia melihat matahari terbit, dia berkata, “Inilah Tuhanku, ini lebih besar.” Tetapi ketika matahari terbenam, dia berkata, “Wahai kaumku! Sungguh, aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.” Aku hadapkan wajahku kepada (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik. (Q.S. Al-An’am [6]: 76)

Selain itu, dalam dakwahnya yang lain, Nabi Ibrahim juga menghancurkan berhala serta simbol-simbol patung atau mitos-mitos yang ada pada zaman itu.

Baca juga: Tafsir Surat Al-An’am Ayat 76-79 : Mengulik Nalar Tauhid Nabi Ibrahim

Khalilullah

Khalilullah bermakna kekasih Allah. Gelar ini diberikan setidaknya ada dua sebab yaitu kecintaan terhadap Allah swt lebih besar daripada kecintaan terhadap keluarganya, yaitu ayahnya sendiri, Uzair dan istri serta anaknya sendiri, Ismail. Sebagaimana dilukiskan dalam Q.S. Al-Nisa [4]: 125,

وَمَنْ اَحْسَنُ دِيْنًا مِّمَّنْ اَسْلَمَ وَجْهَهٗ لِلّٰهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ وَّاتَّبَعَ مِلَّةَ اِبْرٰهِيْمَ حَنِيْفًا ۗوَاتَّخَذَ اللّٰهُ اِبْرٰهِيْمَ خَلِيْلًا

Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang dengan ikhlas berserah diri kepada Allah, sedang dia mengerjakan kebaikan, dan mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah telah memilih Ibrahim menjadi kesayangan(-Nya). (Q.S. An-Nisa [4]: 125)

Khalil sendiri bermakna teman yang meresap ke dalam kalbu, persahabatan dan kecintaan. Kata khalil ini juga dimaknai celah, celah untuk mengetahui dan mengenal tidak hanya secara umum, melainkan rahasia jiwa temannya. Nabi Ibrahim dianugerahi gelar khalilullah (kekasih Allah) karena relung jiwanya dipenuhi rasa cinta kepada Allah sehingga Allah swt pun menjadikannnya sebagai khalil-Nya. (Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah).

Abu ad-Dhaifan

Gelar kelima yang dinisbahkan kepada Nabi Ibrahim ialah Abu ad-Dhaifan yaitu bapak para tamu. Gelar ini diberikan karena kepribadiannya yang sangat mulia, menjamu para tamu dengan jamuan sebaik-baiknya, menyambutnya dan menyuguhkan daging anak sapi gemuk yang sudah dipanggang.

Ketika Nabi Ibrahim mempersilahkan kepada tamunya untuk menyantap makanan yang telah dihidangkan, mereka merasa ketakutan dan akhirnya tamu itu mengakui bahwa mereka adalah malaikat yang diutus oleh Allah swt untuk membawa kabar gembira tentang kelahiran seorang anak yang ‘alim yaitu Nabi Ishaq) (Abbas Mahmud al-‘Aqad dalam Ibrahim al-Anbiya).

Kisah ini diabadikan oleh Al-Quran dalam Q.S. Al-Zariyat [51]: 24-29,

هَلْ اَتٰىكَ حَدِيْثُ ضَيْفِ اِبْرٰهِيْمَ الْمُكْرَمِيْنَۘ اِذْ دَخَلُوْا عَلَيْهِ فَقَالُوْا سَلٰمًا ۗقَالَ سَلٰمٌۚ قَوْمٌ مُّنْكَرُوْنَ فَرَاغَ اِلٰٓى اَهْلِهٖ فَجَاۤءَ بِعِجْلٍ سَمِيْنٍۙ فَقَرَّبَهٗٓ اِلَيْهِمْۚ قَالَ اَلَا تَأْكُلُوْنَ فَاَوْجَسَ مِنْهُمْ خِيْفَةً ۗقَالُوْا لَا تَخَفْۗ وَبَشَّرُوْهُ بِغُلٰمٍ عَلِيْمٍ فَاَقْبَلَتِ امْرَاَتُهٗ فِيْ صَرَّةٍ فَصَكَّتْ وَجْهَهَا وَقَالَتْ عَجُوْزٌ عَقِيْمٌ

Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tamu Ibrahim (malaikat-malaikat) yang dimuliakan? (Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan, “Salaman” (salam), Ibrahim menjawab, “Salamun” (salam). (Mereka itu) orang-orang yang belum dikenalnya. Maka diam-diam dia (Ibrahim) pergi menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk (yang dibakar),

lalu dihidangkannya kepada mereka (tetapi mereka tidak mau makan). Ibrahim berkata, “Mengapa tidak kamu makan.”Maka dia (Ibrahim) merasa takut terhadap mereka. Mereka berkata, “Janganlah kamu takut,” dan mereka memberi kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang alim (Ishak). Kemudian istrinya datang memekik (tercengang) lalu menepuk wajahnya sendiri seraya berkata, “(Aku ini) seorang perempuan tua yang mandul.” (Q.S. Al-Zariyat [51]: 24-29).

Demikianlah penjelasan mengenai gelar Nabi Ibrahim a.s. Tentu gelar ini tidak didapat secara instan, ada buah kesabaran dan perjuangan yang harus dilewati oleh Nabi Ibrahim hingga Allah swt memberikan gelar kepadanya sebagai bentuk apresiasi dan karunia-Nya kepada hamba-hambaNya yang beriman. Wallahu A’lam.

Kisah Al-Quran: Biografi Nabi Ibrahim dan Perjalanan Dakwahnya

0
nabi ibrahim
nabi ibrahim

Salah satu Nabi yang bergelar Ulul Azmi adalah Nabi Ibrahim. Beliau merupakan abu al-anbiya, bapaknya para Nabi. Dari garis keturunan beliau lahirlah beberapa putra yang menjadi Nabi, yakni Ismail, Ishaq, Ya’qub dan bahkan Rasulullah saw dari garis keturunan Nabi Ismail a.s.

Sungguh pun demikian, tahukah anda biografi Nabi Ibrahim dan bagaimana perjalanan dakwahnya? Berikut penjelasannya di bawah ini.

Sketsa Biografis

Jamaluddin Abu al-Farj ‘Abdurrahman bin ‘Ali bin Muhammad al-Jauzi dalam Muntazam fi Tarikh Umam wa al-Muluk dan Abu Hanifah Ahmad bin Daud al-Dainuri dalam Akhbar al-Tiwal menerangkan bahwa nama Nabi Ibrahim adalah Ibrahim bin Azar bin Tarih bin Nakhur bin Argu bin Syalikh bin Arfakhsyaz bin Salih bin Nuh atau dikenal dengan nama Ibrahim al-Khalil a.s.

Selain itu, Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah mengemukakan pendapat lain terkait asal usul nama  Ibrahim, yakni nama Ibrahim berasal dari dua suku kata, yaitu ab yang berarti ayah dan rahim yang berarti penuh kasih. Maka, Ibrahim berarti ayah yang penuh kasih. Ia merupakan keturunan dari Nabi Nuh a.s. sebagaimana termaktub dalam Q.S. Saffat [37]: 83.

۞ وَاِنَّ مِنْ شِيْعَتِهٖ لَاِبْرٰهِيْمَ ۘ

Dan sungguh, Ibrahim termasuk golongannya (Nuh). (Q.S. Saffat [37]: 83)

Baca juga: Kisah Nabi Ibrahim as Yang Tak Hangus Dibakar Api

Pada ayat tersebut disebutkan bahwa Nabi Ibrahim a.s. berasal dari golongan Nabi Nuh a.s. sebab keduanya merupakan pemberi peringatan yang diutus oleh Allah swt. Kendati demikian, Hamka dalam Tafsir al-Azhar menuturkan bahwa ada perbedaan syariat di antara keduanya, yakni antara syariat Nabi Nuh dengan Nabi Ibrahim. Di antara perbedaan ini adalah karena mengikuti perkembangan zaman, namun pada intinya ajaran mereka sama yaitu mengesakan Allah swt (ajaran tauhid).

Sebagaimana penjelasan Hadyah Salim dalam Qissatul Anbiya bahwa Nabi Ibrahim adalah sosok manusia atau Nabi yang dapat dijadikan imam. Dalam artian sosok yang sangat patuh dan taat kepada segala perintah Allah swt. Ia wafat pada tahun 175 SM dan dimakamkan di samping makam salah satu istrinya, yaitu Siti Sarah.

Perjalanan Dakwah

Beliau diangkat menjadi seorang Nabi sekitar tahun 1990 SM. Ia diutus untuk menyeru dan memberi peringatan kepada Kaum Kaldan yang terletak di Kota ‘Ur, daerah selatan Irak, tempat ini ditengarai sebagai tempat kelahirannya. Akan tetapi Syihabuddin Qalyubi dalam Stilistika Al-Quran Makna Dibalik Kisah Nabi Ibrahim, menerangkan satu pendapat yang mengatakan bahwa dia dilahirkan di Damaskus, Syiria.

Nabi Ibrahim tumbuh besar dalam sebuah gua di wilayah Babylon sebagaimana penjelasan Kamal al-Sayyid dalam Kisah-Kisah Terbaik Al-Quran, di mana pada zaman itu diperintah oleh seorang raja yang sangat kejam bernama Namrud bin Kan’an. Ia adalah sosok raja yang bengis dan otoriter cum lalim.

Dawam Raharjo dalam Ensiklopedi Al-Quran menjelaskan bahwa beliau menjalani masa kecilnya hampir tidak jauh berbeda dengan keadaan Nabi Musa, yakni dipisahkan dari ibunya karena adanya kebijakan sang raja yang akan membunuh semua bayi laki-laki yang lahir di masa itu.

Singkat cerita, tatkala Nabi Ibrahim berusia 16 tahun, ia tidak menyembah berhala padahal semua orang kala itu menyembah berhala. Mengetahui hal itu, seluruh warga geger dan mencemoohnya karena tidak mengikuti tradisi saat itu. Namun demikian, Allah swt berkehendak lain kepada Nabi Ibrahim, ia diberikan oleh Allah swt kecerdasan sehingga mampu berdakwah dengan berpikir logis empiris kepada sang ayah dan kaumnya.

Baca juga: Ingin Dikenang Baik di Dunia dan Akhirat? Amalkan Doa Nabi Ibrahim Ini!

Melihat sang ayah dan kaumnya yang menyembah berhala, hatinya gundah gulana. Ia lantas mengajak ayah dan kaumnya untuk beribadah kepada Allah swt dan meninggalkan pemujaan berhala. Akan tetapi, ajakan itu tak diindahkan oleh kaum, justru mereka berbalik memusuhi Nabi Ibrahim a.s.

Meski demikian, Nabi Ibrahim a.s, tidak kehabisan ide, ia mencari cara bagaimana menyadarkan ayah dan kaumnya. Lalu ia menemukan cara yaitu menghancurkan semua sesembahan berhala dan menyisakan satu patung berhala yang paling besar. Dengan dalih, bahwa berhala yang paling besar itulah yang menghancurkan berhala yang kecil.

Tatkala kaumnya menjumpai sesembahan mereka hancur berkeping-keping, mereka langsung menuduh Ibrahim sebagai biang keladinya, lalu diadililah Nabi Ibrahim. Dan hakim memutuskan hukuman bahwa Nabi Ibrahim harus dibakar. Hal ini dikisahkan dalam Q.S. al-Anbiya; [21]: 66-69,

قَالَ اَفَتَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ مَا لَا يَنْفَعُكُمْ شَيْـًٔا وَّلَا يَضُرُّكُمْ ۗ اُفٍّ لَّكُمْ وَلِمَا تَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ ۗاَفَلَا تَعْقِلُوْنَ قَالُوْا حَرِّقُوْهُ وَانْصُرُوْٓا اٰلِهَتَكُمْ اِنْ كُنْتُمْ فٰعِلِيْنَ قُلْنَا يٰنَارُ كُوْنِيْ بَرْدًا وَّسَلٰمًا عَلٰٓى اِبْرٰهِيْمَ ۙ

Dia (Ibrahim) berkata, “Mengapa kamu menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikit pun, dan tidak (pula) mendatangkan mudarat kepada kamu? Celakalah kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah! Tidakkah kamu mengerti?” Mereka berkata, “Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak berbuat.” Kami (Allah) berfirman, “Wahai api! Jadilah kamu dingin, dan penyelamat bagi Ibrahim!” (Q.S. Al-Anbiya [21]: 66-69)

Ibrah bagi Umat Islam

Banyaknya cobaan dan ujian yang dilimpahkan kepada Nabi Ibrahim tidak menyurutkan semangatnya untuk berdakwah dalam mensyiarkan Agama Islam. Meski ia harus melawan raja Namrud sekalipun. Bahkan ia dianugrahi sang anak yang sangat dicintainya yaitu Nabi Ismail, yang kemudian Allah swt memerintahkan untuk menyembelihnya.

Sungguh, maka tak heran Nabi Ibrahim digelari sebagai Ulul Azmi (nabi yang diuji oleh Allah dengan ujian yang berat melebihi batas kemampuan manusia biasa dan mempunyai tingkat ketabahan dan kesabaran yang luar biasa dalam menebar ajaran tauhid.

Semoga spirit perjuangan Nabi Ibrahim dapat kita teladani di era kekinian. Terlebih di tengah suasana sulit, pandemi Covid-19 benar-benar menghancurkan sendi kehidupan. Meskipun begitu kita harus tetap optimis melangkah maju ke depan bahwa badai pasti berlalu. Dan wabah pandemi Covid-19 segera hilang dan kita menjalani hidup normal seperti sedia kala. Wallahu A’lam

Prinsip Tafsir Husein Muhammad dalam Ayat Relasi Laki-laki dan Perempuan (2)

0
Prinsip tafsir Husein Muhammad dalam ayatrelasi laki-laki dan perempuan
Prinsip tafsir Husein Muhammad dalam ayatrelasi laki-laki dan perempuan

Selain empat prinsip yang ditampilkan dalam tulisan sebelumnya, terdapat empat prinsip lain yang juga dipegang oleh Buya Husein saat menafsirkan ayat relasi laki-laki dan perempuan. Mengutip Eni Zulaikha dalam Analisa Gender, empat prinsip itu ialah; memahami konteks pembicara dan audiensi, selaras dengan maqasidus syari’ah, penggunaan nalar rasional, dan menjadikan Sunnah Nabi sebagai metode ijtihad. Berikut ini ulasan sederhananya.

Baca juga: Prinsip Tafsir Husein Muhammad dalam Ayat Relasi Laki-laki dan Perempuan (1)

Selaras dengan maqashidus syariah

Tafsiran Husein atas ayat relasi laki-laki dan perempuan cukup konsisten dengan maqashidus syariah. Ia mengembangkan apa yang oleh Al-Ghazali disebut dengan penjagaan al-kulliatul khams. Menyitir Auda, al-kulliyatul khams rumusan al-Ghazali meliputi; keyakakinan (ad-din), jiwa (an-nafs), akal (al-‘aql), keturunan (an-nasl), dan harta benda (al-mal)). Lima hal itu itu ia jadikan acuan dan mensinergikannya dengan humanisme universal, berupa; keadilan, kebersamaan, kesetaraan, kebebasan, dan penghargaan terhadap hak orang lain.

Karena prinsip ini, kita akan sering temui tiap penafsiran Husein atas ayat relasi laki-laki dan perempuan selalu mempertimbangkan kemashlahatan yang terwujud dalam prinsip humanisme universal itu sendiri. Misalnya, prinsip kesetaraan yang kentara saat ia memaknai Surat Ar-Rum ayat 21 dalam Fiqh Perempuan, tentang penciptaan manusia berpasang-pasangan. Husein, menyebutkan bahwa maksud ayat ini ialah terciptanya kecenderungan dan kasih sayang satu kepada yang lainnya. Alih-alih menjadikan ayat ini sebagai justifikasi bahwa perempuan adalah ciptaan sepihak untuk laki-laki, dan tidak sebaliknya, Husein lebih memilih untuk memaknai ayat ini sebagai kesalingan kecenderungan dan kasih sayang laki-laki dan perempuan.

Baca juga: Husein Muhammad dan Pembacaan Al-Quran Berperspektif Gender

Paham konteks pembicara dan audiensi

Prinsip ini ditekankan Husein tatkala membaca ayat relasi laki-laki dan perempuan agar dapat memahami posisi pembicara (mukhatib) apakah sebagai pembawa informasi (mukhbir), pendebat (naqid), dan lain sebagainya. Di sisi lain, dengan tahu posisi audiensi (mukhatab/objek yang disapa) sebagai apa, dapat mengindarkan dari kesalahpahaman atas maksud ayat.

Dalam menerapkan prinsip ini, Husein Muhammad menggunakan Sababun Nuzul atau penggolongan Makki-Madani suatu ayat. Misalnya, saat memaknai Surat An-Nisa ayat 34 tentang kepemimpinan laki-laki atas perempuan. Mengutip Husein dalam Fiqh Perempuan, ayat tersebut turun untuk merespons keputusan Nabi untuk memperbolehkan Habibah binti Zaid meng-qishash (membalas dengan setimpal) suaminya yang telah bertindak KDRT terhadapnya. Husein kemudian menganalisis konteks masyarakat Arab secara umum pada waktu itu, yang memegang teguh sistem patriarkhi. Audiensi pada saat ayat turun –baik berdasarkan dari apa yang ada dalam sababun nuzul atau pun konteks masyarakat Arab secara umum- berada dalam keadaan laki-lakinya sebagai pemegang otoritas.

Lalu kemudian, Husein berpendapat, posisi mukhatib di ayat ini adalah untuk membawa informasi (mukhbir), sehingga, menunjukkan bahwa ayat itu tidak mengindikasikan perintah.

Menjadikan Sunnah Nabi sebagai metode ijtihad

Tidak seperti mainstream ulama fikih klasik yang menjadikan Sunnah Nabi sebagai referensi dalam ijtihad, Husein justru menganggapnya sebagai produk ijtihad Nabi yang dinamis.  Sehingga, yang penting tidak hanya memahami sunnah secara literal, tetapi lebih jauh, menelusuri sabab wurud-nya atau kondisi Nabi dan masyarakat sekitarnya tatkala hadis itu ia sabdakan.

Bagi Husein, dengan menjadikan Sunnah Nabi sebagai metode ijtihad, memahami Al-Quran akan lebih mudah. Hal ini karena, ada ketersinambungan antara hadis dan Al-Quran, yaitu sama-sama bersifat situasional. Dan, adalah muhal bila ayat-ayat yang difirmankan Allah, yang berfungsi sebagai pedoman manusia, itu tidak bersinggungan dengan aktivitas Nabi.

Baca juga: Surat Al-Baqarah Ayat 187: Isyarat Relasi Kesetaraan Antara Suami dan Istri

Penggunaan nalar rasional

Husein juga memegang prinsip nalar rasional dalam menafsirkan ayat relasi laki-laki dan perempuan. Baginya, nalar rasional dapat dijadikan alat untuk memahami teks Al-Quran. Mengutip Zulaikha, memahami teks dengan nalar rasional akan berbuah melalui beberapa indikasi meliputi; simbol, perubahan, konteks yang mendahuluinya (as-sawabiq), dan konteks yang menyertainya (al-lawahiq).

Penerapan prinsip ini tampak dari cara Husein membaca ayat secara kontekstual. Seperti saat ia membaca ayat tentang aurat perempuan (Surat An-Nur ayat 31). Sebagaimanya yang tertuang dalam Fiqh Perempuan, ia berpendapat bahwa berbagai interpretasi ulama atas ayat tersebut yang variatif itu turut dipengaruhi oleh realitas yang melingkupinya. Seperti qaul yang membolehkan muka, telapak tangan dan kaki, atau lengan perempuan merdeka atas dasar kebutuhan. Selain itu, di banyak tempat, Husein juga konsisten menggunakan logika hukum (‘illat) dalam tafsir ayat relasi laki-laki dan perempuan, yang kebanyakan berupa ayat legal-formal.

Demikianlah 8 prinsip penafsiran Buya Husein dalam ayat relasi laki-laki dan perempuan. Dari prinsip-prinsip tersebut, terlihat nuansa tafsir kontekstual yang khas. Tentu karena Husein berhasil mensinergikan keilmuan Islam seperti Ushul Fiqh dan susastra Bahasa Arab dalam membaca ayat-ayat itu.

Wallahu a’lam[]

Surat Al-Isra Ayat 1: Makna Kata Asrā dan Ketelitian Pemilihan Diksi Al-Quran

0
Surat al-Isra Ayat 1
Surat al-Isra Ayat 1

Bagian ayat yang akan diuraikan penulis adalah terkait makna asrā yang hanya dapat ditemukan dalam surat Al-Isra ayat 1.

سُبۡحَٰنَ ٱلَّذِيٓ أَسۡرَىٰ بِعَبۡدِهِۦ لَيۡلٗا مِّنَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ إِلَى ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡأَقۡصَا ٱلَّذِي بَٰرَكۡنَا حَوۡلَهُۥ لِنُرِيَهُۥ مِنۡ ءَايَٰتِنَآۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡبَصِيرُ  ١

Artinya:

“Maha suci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat. (QS. Al-Isra Ayat 1).”

Ahli bahasa berpendapat, bahwa kata sarā dan asrā merupakan dua kata yang sama yang dapat bermakna perjalanan. Dalam al-Qur’an, kata asrā ini hanya dapat ditemukan dalam satu tempat, yakni pada surat al-Isrā’ ayat pertama.

Kalaupun ada yang mirip dengan Surat Al-Isra Ayat 1, dapat ditemukan dalam surat Hūd: 81, al-Ḥijr: 65, Ṭāha; 77, as-Syu‘arā‘: 52, dan ad-ḍukhān: 23.

فَأَسۡرِ بِأَهۡلِكَ بِقِطۡعٖ مِّنَ ٱلَّيۡلِ وَلَا يَلۡتَفِتۡ مِنكُمۡ أَحَدٌ إِلَّا ٱمۡرَأَتَكَۖ

Artinya:

Pergilah beserta keluargamu pada akhir malam dan jangan ada seorang pun di antara kamy yang menoleh ke belakang, kecuali istrimu.

Namun redaksi yang digunakan semua surat tersebut berbeda dengan bentuk  yang ditemukan dalam surat Al-Isra Ayat 1. Di tempat lain menggunakan bentuk fi’il amar (bentuk perintah) “asrī”, dan bukan bentuk kata kerja “asrā’”. Hal yang menarik, bahwa semua bentuk kata asrā maupun asrī itu selalu diiringi oleh kata lail dibelakangnya. (Ibrahim: 1988).

Baca Juga: Tafsir Surat Yasin Ayat 5-6: Diutusnya Nabi Muhammad SAW Sebagai Pemberi Peringatan

Untuk argumen logisnya, dapat dirujuk melalui Tafsir al-Kasyāf. Di sana Imam Az-Zamakhsyari berpendapat, bahwa kata asrā’ itu secara otomatis mengandung makna ‘di malam hari’. Jadi makna yang kemudian hadir melalui redaksi kata asrā adalah “perjalanan di malam hari”.

Kalau kita kaitkan dengan konteks ayat tersebut, berarti kata asrā itu mengimplikasikan sebuah perjalanan yang dilakukan oleh seseorang pada malam hari. Di mana orang yang dimaksud adalah Nabi Muhammad, saw.

Pertanyaannya bagaimana makna kata lain yang jatuh setelah kata asrā ? Padahal secara sepintas kata lail (malam) tidak diperlukan lagi setelah kata asrā yang telah mencakup makna perjalanan malam hari.

Menanggapi pemaknaan ini, para ulama menjadikan kata asrā mengandung makna sedikit, sehingga dari sini dapat dipahami bahwa perjalanan malam itu tidak berlangsung sepanjang malam, tetapi hanya mengambil beberapa waktu dari keseluruhan waktu malam.

Begitu singkatnya perjalanan tersebut, tergambarkan melalui riwayat yang menyatakan bahwa sekembalinya Rasulullah saw.,dari perjalanan isrā’, ia masih menemukan kehangatan di tempat tidur beliau. (Hasbi ash-Shiddieqy: 2000).

Sedikit berbeda dengan az-Zamakhsyari, baginya kata lail yang terletak di belakang redaksi kata asrā’ hanyalah sebagai bentuk “pengingkaran” atau penolakan terhadap kebiasaan perjalanan dari Makkah ke Syam itu membutuhkan waktu selama 40 malam. Dalam kasus tertentu seperti pada peristiwa isrā’ mi’rāj perjalanan dari Makkah menuju Syam dapat ditempuh dalam kurun waktu semalam. (Az-Zamakhsyari: 2009).

Tidak jauh beda dengan pendahulunya, Quraish Shihab juga berargumen bahwa kata asrā itu bermakna perjalanan pada malam hari. Akan tetapi Quraish Shihab cenderung lebih teliti ketika mendefinikasn bagian-bagian kata yang berada sebelum dan sesudah kata asrā. Seperti halnya keberadaan huruf bā’ dalam frase berikut ٓ أَسۡرَىٰ بِعَبۡدِهِۦ yang mengisyaratkan bahwa perjalanan Isra’ Mi’raj yang dilalui oleh Nabi, terjadi di bawah bimbingan dan petunjuk Allah. Swt. (Quraish Shihab: 2005).

Melalui frase tersebut juga mengandung makna, bahwa Nabi saw. bukan saja diisra’kan lalu kemudian dilepas begitu saja, tetapi Isrā’ yang dilakukan Nabi itu berada dalam bimbingan Allah secara terus-menerus, bahkan “disertai” oleh-Nya.

Maka dapat ditarik benang merah, bahwa sebenarnya perjalanan yang dilakukan oleh Nabi saw., bukanlah atas kehendak beliau, dan tidak juga terjadi atas kemampuan beliau. Tetapi, perjalanan tersebut benar-benar berdasarkan atas kehendak Allah swt. Dia-lah yang memperjalan kan Nabi Muhammad saw., pada malam hari. (Quraish Shihab: 2005).

Atas dasar itu, narasi ayat tersebut mengingatkan semua manusia bahwa peristiwa isra’ mi’raj tidak bisa diukur berdasarkan kemampuan makhluk, karena peristiwa itu terjadi murni karena kehendak Allah swt. Meski tidak dipungkiri, beberapa ulama juga menafsirkan kata isrā’ dengan dibumbuhi tambahan-tambahan makna. Sekiranya, agar redaksi ayat yang dimaksud dapat memberikan pemahaman yang lebih logis kepada manusia.

Baca Juga: Inilah 9 Ayat yang Menjelaskan Nabi Muhammad saw Sebagai Sosok Panutan

Sebagaimana segolongan berpendapat bahwa isrā’ itu hanyalah perjalanan yang dilakukan Nabi melalui ruhnya saja. Di antara alasan yang dikemukakan oleh golongan ini adalah pendapat Muawiyah. Beliau berpendapat bahwa isra’ adalah suatu mimpi yang benar. Sedangkan Aisyah menyatakan bahwa Nabi berisra’ dengan ruhnya. (Hasbi ash-Shiddieqy: 2000). Tetapi secara umum para ulama’ berpendapat bahwa perintah perjalanan yang dilakukan Nabi dilakukan dengan menggunakan jasadnya.

Jadi dapat disimpulkan, bahwa kata asrā’ tidak hanya bermakna perjalanan, namun lebih kepada perjalanan pada malam hari, dan hal ini tentu berbeda dengan kata-kata seerti safār, zahāb, atau riḥlah.

Melalui penjelasan di atas sekaligus menunjukkan bahwa keistimewaan al-Qur’an dapat dilihat melalui bagian-bagiannya yang terkecil, termasuk dalam pemilihan diksi yang terkandung di dalamnya. Wallahu alam.

3 Klasifikasi Kitab Tafsir dan Perkembangan Diskursusnya dalam Pandangan Walid Saleh

0
Walid Saleh

Dalam buku The Studi Qur’an: A New Translation And Commentary yang ditulis oleh Seyyed Hossein Nasr dan kawan-kawan, Walid Saleh – seorang sarjana barat dalam bidang islamic studies asal Universitas Toronto – menulis sebuah artikel berjudul Quranic Commentaries. Pada artikel tersebut, ia berbicara mengenai sejarah dinamika tafsir Al-Qur’an dan bagaimana posisinya dalam tradisi intelektual Islam.

Tradisi penafsiran Al-Qur’an, tafsir, adalah salah satu literatur terbanyak dalam sejarah intelektual muslim, tepatnya nomor dua setelah literatur hukum (fikih). Setiap generasi muslim dari berbagai kawasan Islam secara konsisten memproduksi tafsir Al-Qur’an yang mencerminkan isu-isu fundamental yang dihadapi oleh masyarakat mereka. Akibatnya, topik yang muncul untuk didiskusikan ada beragam dan hampir tak terbatas.

Tafsir merupakan genre yang sulit diprediksi. Tidak seperti islamic sciences yang metode dasarnya telah tersistematisasi, tradisi penafsiran Al-Qur’an tidak pernah menetapkan aturan dengan bulat bagaimana cara untuk memahami Al-Qur’an. Pada Islam abad pertengahan misalnya, terdapat lebih dari satu teori hermeneutika (cara memahami). Bahkan, tak jarang sebuah kitab tafsir kala itu menggunakan lebih dari satu metode penafsiran.

Di antara kecenderungan sarana muslim klasik – menurut Walid Saleh – adalah persaingan selalu mengarah ke ekstensif perdebatan antara kelompok teologi atau background sekolah. Meskipun begitu, pada periode klasik, tradisi tafsir terlihat jauh lebih menyatu dibanding tradisi penafsiran pada periode modern. Karena banyak tafsir beraliran modern yang meninggalkan doktrin Islam dan tradisi metodologi klasik.

Walid Saleh menegaskan bahwa menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan pendirian ideologis yang mereduksi seluk-beluk wahyu merupakan kecenderungan manusia di dunia sekarang. Pendirian ideologis di sini bukan hanya terbatas pada doktrin-doktrin teologis, tetapi juga semua ideologi yang – mungkin – membatasi makna Al-Qur’an dalam diri seorang mufasir, termasuk bias-bias gender, pengaruh politik, dan falsafah hidup.

Salah satu permasalahan yang ditekankan Walid Saleh ketika berbicara mengenai quranic studies, yakni sulitnya menilai kitab-kitab tafsir klasik, khususnya periode pasca al-Thabari. Oleh karena itu, sebagian besar studi ilmiah Barat yang tersedia saat ini dikhususkan untuk fase paling awal tradisi penafsiran Al-Quran, yakni periode pra-al-Ṭabarī (d. 310/923). Hanya Ada sedikit studi tentang literatur tafsir klasik setelah itu.

Hal serupa disebutkan oleh El Shamsy – sebagaimana dikutip Annas Rolli Muchlisin – bahwa Tafsir al-Thabari sendiri bahkan tidaklah dikenal sampai tahun 1890an, lalu naskahnya ditemukan dan baru dicetak pada tahun 1903. Hal yang sama juga terjadi pada teks-teks ‘babon’ Islam klasik lainnya, seperti karya Sibawaih (w. 796), al-‘Asy’ari (w. 936), al-Makki (w. 998), al-Syafi’i (w. 820), dan Ibn Khaldun (w. 1406).

Kategori Kitab Tafsir dalam Pandangan Walid Saleh

Sejak era klasik hingga era modern, telah lahir berbagai macam tafsir Al-Qur’an dengan beragam metode penafsiran. Menurut Walid Saleh, secara umum Karya-karya tersebut dapat dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan fungsi dan tingkat pemahamannya, yakni tafsir ensiklopedis, tafsir madrasah, khasiyah tafsir madrasah.

Kategori kitab tafsir ini berbeda dengan kategorisasi yang selama ini dilakukan oleh para sarjana barat berdasarkan metode atau konten. Misalnya, Ignaz Goldziher yang membagi tradisi komentar ke dalam mode-mode diskrit seperti tata bahasa, doktrinal, mistik, sektarian, dan modern. Kategori seperti ini – menurut Saleh – memiliki masalah-masalah tertentu yang sulit dihindari.

Kategori kitab tafsir yang pertama adalah kitab tafsir ensiklopedis. Tafsir ini adalah kitab tafsir yang ditulis pada saat-saat penting dalam sejarah dan biasanya merupakan akumulasi dari tren-diskursus di masanya. Ia berfungsi sebagai gudang material dan biasanya sangat  rigit berkenaan pandangan-pandangan tertentu dan bertujuan untuk memasukkan sebanyak mungkin pandangan baru.

Di antara tokoh-tokoh utama yang menulis karya-karya tersebut adalah al-Māturīdī, al-Ṭabarī, al-Tsaʿlabī, al-Ṭūsī, al-Ṭabrisī, Abu al-Futūḥ al-Rāzī (w. 525/1131), Muḥammad bin Aḥmad al-Qurṭubī (w. 671/1272), Fakhr al-Dīn al-Rāzī, al-Biqā’ī, dan Abū Ḥayyān al-Gharnāṭī, dan lain-lain. Mereka menulis karya multi-volume yang bertujuan untuk mengkonsolidasikan perkembangan utama dalam tradisi. Tafsir semacam ini dalam tradisi muslim disebut sebagai muṭawwalāt al-tafsir atau “karya yang panjang.”

Kategori kitab tafsir yang kedua adalah kitab tafsir madrasah atau al-muktasar (ringkasan). Tafsir ini biasanya didasarkan pada karya ensiklopedis atau ditulis dengan metode tertentu dalam pikiran, seperti hanya memberikan interpretasi Sufi ke seluruh Al-Qur’an. Di antara toloh yang menulis komentar bergaya madrasah adalah Naṣr bin Muḥammad al-Samarqandī (w. 373/983), al-Sulamī, al-Wāḥidī, al-Zamakhsharī, dan al-Bayḍāwī.

Kategori kitab tafsir yang ketiga adalah ḥāshiyyah pada tafsir gaya madrasah. Dua karya yang biasanya dipoles adalah karya al-Zamakhsharī dan al-Bayḍāwī. Sangat disayangkan bahwa tidak ada satu studi pun dalam kesarjanaan yang pernah dikhususkan untuk hal-hal ini. Tokoh-tokoh utama dari tradisi skolastik, seperti Saʿd al-Dīn al-Taftāzānī (wafat 792/1390), meninggalkan banyak gambaran tentang kedua komentar tersebut, dan ini adalah sumber penting bagi sejarah budaya Islam klasik.

Apapun kategorinya, tafsir selalu menjadi pusat sejarah intelektual Islam. Dalam dunia Islam tradisional, Al-Qur’an telah dan dipahami melalui bahasa tafsir, dan sebagian besar umat Islam meyakini bahwa makna Al-Qur’an yang sebenarnya adalah sebagaimana makna yang dikatakan tafsir. Akibatnya, tafsir seakan-akan sejajar dengan Al-Qur’an itu sendiri. Berdasarkan latar belakang tersebut, bisa dikatakan bahwa tafsir dalam sejarah agama Islam adalah hal yang terpenting.

Hingga saat ini, tafsir masih memainkan peran sentral dalam mendefinisikan pandangan religius banyak Muslim. Ini adalah salah satu bidang paling aktif didiskusikan dalam islamic studies dan banyak diskusi di antara Muslim kontemporer terjadi dalam karya tafsir. Sayangnya menurut Walid Saleh, studi ilmiah tentang tafsir modern telah mati di Barat, dan ia tidak memiliki gambaran umum tentang perkembangan diskursus tafsir selama dua ratus tahun terakhir.

Sebagian besar sarjana Islam modern tidak begitu memperhatikan apa yang diterbitkan dari karya klasik dan menganggap bahwa untuk mempelajari tafsir modern seseorang hanya perlu mempelajari karya-karya kontemporer. Masalah dengan sikap ini adalah bahwa ia mengabaikan kitab tafsir klasik sebagai inspirasi untuk karya modern dan sebagai karya “ideologis” dalam hak mereka sendiri. Pemahaman ini membuat diskursus tafsir klasik menjadi terpinggirkan Wallahu a’lam.

Belajar Tafsir dari Youtube? Berikut 9 Daftar Rekomendasi Pengajiannya! (Part 2)

0
Belajar Tafsir dari Youtube
Belajar Tafsir dari Youtube

Sebelumnya, telah disajikan empat daftar pengajian belajar tafsir dari Youtube. Berikut ini adalah lanjutan daftar tersebut:

  1. KH. Abdul Ghofur Maimoen

Gus Ghofur merupakan ulama muda putra dari Mbah Moen Zubair. Alumnus Universitas Al-Azhar Kairo ini mengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar 3 dan menyajikan ragam pengajian di kanal youtube-nya yang bernama PP. Al-Anwar 3. Di antara pengajian yang disiarkan kanal ini adalah pengajian Tafsir Jalalain yang diasuh langsung oleh Gus Ghofur.

Dalam channel ini ada beberapa playlist, seperti Ngaji Tafsir Jalalain dengan 43 video, Tafsir Jalalain Surah Al-Haqqah 1 video, Tafsir Jalalain Surah Al-Qolam 5 video, dan Tafsir Jalalain Surah al-Mulk 6 video. Pengajian Gus Ghofur ini diunggah dengan judul tematik berbasis problem masyarakat, dimaknai dengan bahasa Jawa, namun juga disampaikan keterangan bahasa Indonesianya.

  1. Ahmad Bahauddin Nursalim

Gus Baha’ adalah salah satu ulama yang videonya paling banyak diunggah ulang. Ceramah-ceramah santri Mbah Moen ini tersebar di berbagai kanal dengan kitab yang beragam. Jika kita mudah mendapatkan potongan ceramahnya dengan judul yang variatif di channel Santri Gayeng, maka kita juga dapat mendengarkan ceramah tafsirnya berdasarkan nama surat dan ayat di channel AL Muhibbin Channel dan Rekaman Ngaji KH. Ahmad Bahauddin Nursalim.

Kanal yang paling banyak menyimpan ceramahnya yaitu Rekaman Ngaji KH. Ahmad Bahauddin Nursalim. Di sini ada ratusan video dengan pembagian playlist yang beragam berdasarkan judul kitab-kitabnya. Mayoritas tafsir yang dikaji adalah Tafsir Jalalain, namun ada juga pengajian Tafsir Munir Karya Syekh Nawawi Banten, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al Qurthubi, Tafsir At-Thabari, dan Tafsir Rawa’il Bayan fi Ayat Ahkam.

  1. A. Mustofa Bisri

Gus Mus dikenal sebagai Kyai sekaligus sastrawan. Banyak karya-karya sastranya dibaca oleh berbagai kalangan. Selain itu, ia juga putra dari mufassir ternama KH Bisri Mustofa yang menulis Tafsir Al-Ibriz. Tak hanya itu, Gus Mus juga menulis kitab Al-Ubraiz, sebuah kitab tafsir ijmali (global) yang khusus membahas kata-kata gharib atau aneh dalam Al-Qur’an.

Baca juga: Pionir Penulis Tafsir Tahlili di Media Massa, Bernama KH A. Musta’in Syafi’i

Saat ini, Gus Mus menyajikan seluruh pengajian pesantren Raudlatut Thalibin Leteh Rembang di kanal youtube GusMus Channel. Di pesantrennya ini, Gus Mus membacakan karya ayahnya sendiri. Dalam unggahan terakhir pada 1 Januari lalu, pengajiannya sudah sampai pada surat Al Baqarah ayat 266. Pengajian ini hampir mencapai 100 video.

Baca juga: Krisis Kemanusiaan, Gus Mus Serukan Para Kyai Memviralkan Kandungan Surat Al-Hujurat

  1. Syarofuddin IQ dan KH. Yahya Cholil Staquf

Di pesantren Raudlatut Thalibin, ada dua kyai lagi yang mengampu pengajian Tafsir Jalalain dan disiarkan di GusMus Channel. Mereka yaitu KH. Syarofuddin IQ dan KH. Yahya Cholil Staquf. KH. Syarofuddin merupakan santri senior yang kini menjadi penanggung jawab Pon Pes Radlatut Tholibin. Sementara KH. Yahya Cholil Staquf merupakan putra dari KH. Cholil Bisri yang merupakan kakak dari Gus Mus.

Pengajian KH Syarofuddin IQ kini telah mencapai edisi yang ke-97, terakhir membahas surat Al-Baqarah ayat 132. Sementara pengajian KH. Yahya Cholil Staquf telah mencapai edisi ke-86, terakhir membahas surat Al-Hajj ayat 40. Pengajaran tafsir ini dituturkan ala pesantren Jawa, yakni memaknai kata perkata dengan bahasa pengantar bahasa Jawa.

  1. Abdul Moqsith Ghozali

Kyai Moqsith merupakan salah satu dosen tafsir UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain itu, Ia aktif di berbagai lembaga kajian dan beberapa tahun belakangan rutin menggelar pengajian online. Dalam kanal youtube-nya, Abdul Moqsith Ghozali menyimpan beberapa pengajian tafsir. Di antara pengajiannya yaitu kitab Tafsir Al-Wasith Lil Qur’anil Karim karya Sayyid Tantawi, dan Tafsir Jalalain yang juga banyak dikaji oleh ulama Indonesia.

Baca juga: Tiga Tantangan Pembelajaran Tafsir Menurut Quraish Shihab

Pengajian Kyai Moqsith ini bisa dinikmati oleh seluruh masyarakat karena menggunakan bahasa Indonesia. menariknya, tetap disajikan khas ala pesantren yang mengurai kata per kata dan juga memberikan pandangan yang aktual sesuai dengan konteks kemasyarakatan.

Demikian, 9 daftar pengajian yang memudahkan kita untuk mempelajari Tafsir Al-Qur’an dari youtube. Tentu 9 rekomendasi ini tidak bisa mewakili seluruhnya, terlebih banyak ulama yang menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantarnya. Paling tidak, rekomendasi ini bisa menjadi ‘katalog mini’ pengajian tafsir di youtube. Akan sangat senang jika daftar pengajian seperti ini dikumpulkan dari berbagai daerah, sehingga tradisi ngaji online lebih hidup. Semoga bermanfaat!

Wallahu a’lam[]

Artikel Sebelumnya

Surat Al-A‘raf [7] Ayat 55: Etika Berdoa Menurut Al-Qur’an

0
Etika Berdoa
Etika Berdoa

Doa merupakan salah satu ibadah yang dianjurkan agama. Sebagaimana ibadah lain, Islam juga mengatur adab yang meliputi tata cara dan etika berdoa. Salah satunya adalah keterjagaan hati. Doa merupakan komunikasi langsung antara hamba dan Sang Pencipta. Maka tidak heran kalau sebagian ulama memaknai doa sebagai bentuk ekspresi kebutuhan hamba-Nya kepada Allah Yang Maha Kaya.

Dalam Al-Qur’an, Allah swt berjanji kepada hamba-Nya jika ia berdoa kepada-Nya, maka doa tersebut akan dikabulkan. Hal ini tercantum dalam surat al-Baqarah ayat 186:

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku Kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran.”

Dari ayat ini kita belajar bahwa doa seorang mukmin juga tidak akan ditolak. Tetapi Allah swt akan memberikan pilihan terbaik untuk kita, apakah doanya dikabulkan segera atau Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik baginya di dunia dan di akhirat atau Allah akan menabungkan baginya di akhirat yang lebih baik dari apa yang dia minta.

Menurut para ulama – seperti Imam Ahmad bin Muhammad as-Shawi al-Maliki dalam kitabnya berjudul Hasyiatus Shawi ‘Ala Tafsiril Jalalain – doa lebih mudah terkabul jika memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu sebagai bentuk etika berdoa bagi seorang mukmin. Menurut al-Maliki, tanpa syarat dan etika berdoa tersebut – bisa saja – doa seseorang akan sulit terkabul.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-A’raf Ayat 180: Anjuran Berdoa dan Berdzikir dengan Asmaul Husna

Persyaratan terkabulnya doa meliputi dua hal, yakni persyaratan yang melekat pada manusia dan persyaratan yang melekat pada Allah swt. Persyaratan yang melekat pada manusia – berdasarkan beberapa dalil di dalam Al-Qur’an dan hadis – antara lain adalah ikhlas, mengikuti petunjuk Rasulullah saw, mempercayai atau meyakini bahwa Allah swt akan mengabulkan, dan doa itu dipanjatkan dengan hati yang khusyu’ serta penuh harap kepada Allah swt.

Rendah Hati dan Suara Yang Lembut Adalah Bagian Dari Etika Berdoa

Salah satu ayat Al-Qur’an yang berbicara mengenai etika berdoa kepada Allah swt adalah surat al-A’raf [7] ayat 55 yang berbunyi:

اُدْعُوْا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَّخُفْيَةً ۗاِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَۚ ٥٥

Berdoalah kepada Tuhanmu dengan rendah hati dan suara yang lembut. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-A‘raf [7] ayat 55).

Menurut Quraish Shihab, ayat ini merupakan kelanjutan ayat sebelumnya yang berbicara mengenai keesaan Allah swt dan kemutlakan kehendak-Nya, serta pengaturan-Nya atas segala sesuatu dan bahwa Dia Maha Kuasa lagi Bijaksana. Karena itu, manusia harus beribadah dan berdoa kepada-Nya guna mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat yang berada di bawah kendali Allah swt.

Pada surat al-A’raf [7] ayat 55, Allah seakan-akan berfirman, “Berdoalah kepada Tuhan yang selalu membimbing dan berbuat baik kepada kamu, serta beribadahlah secara tulus sambil mengakui keesaan-Nya dengan berendah hati menampakkan kebutuhan yang sangat mendesak, serta dengan merahasiakan, yakni melembutkan suara kamu seperti halnya orang yang merahasiakan sesuatu. Siapa yang enggan berdoa, maka dia telah melampaui batas. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.

Menurut as-Sa’adi, doa yang dimaksud di sini adalah doa meminta sesuatu ataupun doa dalam makna beribadah. Perintah berdoa dengan sikap tadarru’an yakni rendah hati bermakna agar manusia memiliki etika berdoa. Selanjutnya, perintah berdoa dengan sikap khufyah atau dengan lemah lembut, tidak terlalu keras atau terang-terangan memiliki tujuan agar seorang mukmin terhindar dari sikap ria dan agar ia ikhlas berdoa – murni – karena Allah swt.

Ia juga menegaskan agar seseorang tidak berlebihan dalam berdoa, karena sesungguhnya Allah swt tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Maksudnya, Allah swt tidak menyukai orang-orang yang melampaui ketentuan-Nya dalam segala perkara, termasuk berdoa. Di antara contoh orang yang tidak memiliki etika berdoa adalah orang yang meminta sesuatu yang tidak pantas untuknya atau berlebih-lebihan mengangkat suara ketika berdoa.

Secara umum, surat al-A’raf [7] ayat 55 – menurut Quraish Shihab – mencakup syarat dan etika berdoa kepada Allah swt, yaitu khusu’ dan ikhlas memohon kepada Yang Maha Esa dengan suara yang tidak keras sehingga memekakkan telinga, serta tidak pula bertele-tele sehingga seperti dibuat-buat. Tindakan seperti ini – menurut Sayid Thantawi – merupakan salah satu bentuk melampaui batas (Tafsir Al-Misbah [5]: 122).

Kata yuhibbu atau menyukai pada ayat di atas, “sesungguhnya Allah swt tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas,” tidak bisa dimaknai dalam pengertian manusawi, karena cinta atau suka bagi manusia adalah kecenderungan hati kepada sesuatu. Sedangkan yang dimaksud di sini adalah dampak dari cinta atau suka itu. Jadi, makna yang sesungguhnya adalah Allah swt tidak mencurahkan rahmat dan kebajikan-Nya kepada siapapun yang tidak Dia cintai.

Baca Juga: Kisah Nabi Musa dan Doa-Doa yang Dipanjatkannya dalam Surat al-Qashash

Berkenaan dengan etika berdoa ini, Allah swt juga memerintahkannya di ayat lain, yakni surat al-An’am [6] ayat 63 yang bermkna

Katakanlah (Muhammad), “Siapakah yang dapat menyelamatkan kamu dari bencana di darat dan di laut, ketika kamu berdoa kepada-Nya dengan rendah hati dan dengan suara yang lembut?” (Dengan mengatakan), “Sekiranya Dia menyelamatkan kami dari (bencana) ini, tentulah kami menjadi orang-orang yang bersyukur.” (QS. Al-An’am [6] ayat 63).

Menurut Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, etika berdoa ada sepuluh, yakni: mencari waktu mustajab, memanfaatkan kondisi mustajab seperti waktu sujud, menghadap kiblat, mengatur volume suara, jangan bertele-tele seperti sajak, berdoa dengan penuh ketundukan dan kekhusyukan, memantapkan hati akan terkabulnya doa, terus-menerus berdoa, memuat lafaz dzikir dan shalawat terhadap nabi Muhammad saw, serta bertaubat atas segala perbuatan dosa.

Berdasarkan penjelasan di atas, seorang muslim seyogyanya berdoa kepada Allah swt guna kebaikan dunia dan akhirat. Dalam prosesi tersebut, ia sebaiknya memenuhi syarat dan etika berdoa seperti sepenuhnya tunduk kepada Allah swt dan mengatur volume suaranya. Dengan itu, diharapkan doa-doanya akan segera kabul. Sekalipun tidak sama, yakinlah bahwasanya Allah swt akan mengganti dengan hal yang jauh lebih baik, di dunia ataupun di akhirat kelak. Wallahu a’lam.

Belajar Tafsir dari Youtube? Berikut 9 Daftar Rekomendasi Pengajiannya! (Part 1)

0
Belajar Tafsir dari Youtube
Belajar Tafsir dari Youtube

Ngaji Online menjadi tradisi yang lumrah dan semarak saat menjalani era kenormalan baru. Berbagai pengajian yang ada, menyajikan ragam materi mulai dari fiqih, tasawuf, hingga tafsir. Youtube merupakan salah satu platform yang menyajikan keragaman pengajian itu semua. Tentu di tengah keramaian ‘pasaraya youtube’ itu, perlu adanya pilah-pilih agar belajar tafsir dari youtube pun tetap bereferensi dengan kitab tafsir yang otoritatif dan ulama yang mumpuni.

Dalam artikel ringan ini, ada beberapa pengajian yang cocok dan recommended untuk para pembelajar tafsir. Daftar pengajian ini berdasarkan nama ulama, bukan berdasarkan nama channelnya. Karena banyak sekali rekaman pengajian seorang ulama tersebar di berbagai channel youtube. Bahkan, ulama yang sudah wafat pun ceramahnya masih dapat kita akses dan dengarkan. Berikut beberapa rekomendasi pengajian untuk belajar tafsir dari youtube.

  1. KH. Maimoen Zubair

Mbah Moen merupakan salah satu ulama yang pengajian tafsirnya tercecer di berbagai kanal youtube. Secara rihlah keilmuan, Mbah Moen belajar kepada abahnya sendiri KH. Zubair, kemudian di Lirboyo, Mekkah, dan berbagai pesantren di Jawa. Karena kedalaman ilmunya, kyai yang menjunjung tinggi nasionalisme ini memang menjadi rujukan berbagai kalangan, dari santri hingga petinggi negeri. Maka dari itu, beberapa pengajian beliau di youtube masih sangat layak kita dengarkan.

Baca juga: Amalan Untuk Mengatasi Krisis Kepercayaan Diri dalam Al-Quran

Salah satu kanal yang menyimpan ceramah tafsir Mbah Maimoen adalah Kang Santri. Meski hanya 13 video, namun ini tetap menarik untuk didengarkan. Mbah Moen menjelaskan dengan gaya khas pesantren Jawa, yakni membaca potongan ayat dan memaknainya dengan bahasa Jawa. Menariknya, di pengajian ini Mbah Moen sering berinteraksi dengan para jamaahnya dan mengulang-ngulang pesan yang penting.

  1. KH. Muhammad Sya’roni Ahmadi

Kyai Sya’roni merupakan salah satu ulama kharismatik di Kudus. Ia merupakan sosok yang ahli dalam ilmu-ilmu Al-Qur’an dan murid dari KH. Arwani Amin Kudus. Salah satu peran pentingnya adalah mentashih dan mengoreksi mushaf Menara Kudus yang banyak digunakan santri untuk menghafal Al-Qur’an. Peran ini dikerjakan bersama KH. Arwani Amin dan KH. Hisyam Hayat yang akhirnya disahkan Kemenag tahun 1974.

Salah satu kanal youtube yang banyak menampung pengajiannya yaitu Kudus Top dan Official Menara Kudus. Pengajian di kanal Kudus Top menyimpan 194 video yang mencakup video-video lama Kyai Sya’roni. Sementara di kanal Official Menara Kudus, banyak menyimpan pengajian live yang terbaru, yakni setahun terakhir. Menariknya, gaya pengajian tafsirnya dilengkapi contoh-contoh pelafalan qiraah sab’ah dan secara umum, pengaiannya menggunakan pengantar bahasa Jawa.

  1. Prof Dr. Quraish Shihab

Kepakaran Prof. Quraish Shihab dalam bidang tafsir tentu menjadi alasan mengapa kita perlu menyimak pengajian-pengajian beliau. Menulis dan ceramah adalah hal yang terus dilakukannya untuk menyampaikan ilmu-ilmu keagamaan berbasis Al-Qur’an. Selain mendirikan Pusat Studi Al-Qur’an, banyak sekali pengajiannya yang tersebar di youtube. Kanal Quraish Shihab  adalah wadah resmi yang menaungi ceramah-ceramah beliau, baik dengan gaya tafsir tematik maupun tafsir tahlili.

Baca juga: Prinsip Tafsir Husein Muhammad dalam Ayat Relasi Laki-laki dan Perempuan (1)

Dalam channel ini, ada banyak playlist tematik baik tentang ibadah, hukum, tasawuf dan lainnya. kemudian ada juga khusus pengajian Tafsir Al-Misbah yang sudah mencapai 31 video. Saat ini, Prof Quraish Shihab rutin membuat podcast.

  1. KH. Musta’in Syafi’i

Kyai Musta’in Syafi’i merupakan Mudir Madrasatul Qur’an Tebuireng, Jombang. Kiprahnya dalam dunia tafsir memberikan warna yang berbeda. Rubrik tafsirnya di Harian Bangsa/ bangsaonline.com dikenal masyarakat luas untuk memudahkan memahami makna Al-Qur’an sesuai konteks dan aktual.

Selain itu, ia juga rutin menggelar pengajian setiap hari Rabu pukul 20.00 sampai 21.00 WIB yang disiarkan secara langsung melalui kanal youtube Tebuireng Official. Pengajian ini menggunakan kitab Tafsir Jalalain anggitan Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Al-Suyuthi, dan saat ini telah menampung 50 video.

Bersambung…