Beranda blog Halaman 421

Memahami Definisi dan Pertanyaan-Pertanyaan Lain Soal Asbabun Nuzul

0
Asbabun Nuzul
Asbabun Nuzul

Asbabun Nuzul mungkin menjadi salah satu perbincangan menarik yang hampir selalu muncul saat ada fenomena-fenomena viral tertentu yang menyinggung dan membawa salah satu ayat al-Qur’an. Terkadang sebagian umat Islam yang belum teredukasi dan mengenal ulumul Qur’an, merasa penasaran sebenarnya apa sih Asbabun Nuzul dan apa sih fungsinya sehingga ditampilkan dalam perdebatan (seandainya terjadi perdebatan) serta dijadikan sebagai penguat argumentasi.

Nah, untuk itu artikel ini akan membahas beberapa pertanyaaan populer seputar Asbabun Nuzul disertai uraian jawabannya.

  1. Apa itu Asbabun Nuzul?

Asbabun Nuzul adalah peristiwa atau kejadian yang mengiringi turunnya wahyu (al-Qur’an), di mana peristiwa atau kejadian ini dapat berupa pertanyaan ataupun memang murni peristiwa atau kejadian yang terjadi bersamaan dengan turunnya wahyu (baik sebelum maupun sesudah) maupun terjadi selama bentang waktu turunnya al-Qur’an yakni selama 23 tahun, dan wahyu atau ayat al-Qur’an tersebut secara kandungan berkaitan dengan peristiwa atau kejadian tertentu itu.

Baca Juga: Inilah Solusi Menyikapi Kontradiksi Riwayat Pada Asbabun Nuzul

Catatan yang harus digarisbawahi adalah bahwa Asbab Nuzul haruslah berupa riwayat yang valid (shahih). Adapun jika menggunakan argumentasi kesejarahan yang memuat informasi keadaan sosial dan antropologis di masyarakat Arab saat wahyu turun, maka harus berdasar pada data yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan.

  1. Apakah Jika Tanpa Sebab, Wahyu tetap Turun?

Untuk menjawab pertanyaan ini maka harus benar-benar memahami definisi Asbabun Nuzul. Jadi pemahaman atas Asbabun Nuzul tidak boleh didasari oleh pemaknaannya secara bahasa, “sebab turun”. Melainkan harus berdasarkan pada makna istilah atau terminologinya.

Maka Asbab Nuzul bukan “sebab” turunnya wahyu, akan tetapi peristiwa atau kejadian yang mengiringi turunnya wahyu dan wahyu tersebut secara kandungannya memang memiliki keterkaitan dengan peristiwa atau kejadian tersebut. Tanpa adanya “sebab” sekalipun, wahyu akan tetap turun dan menjadi petunjuk kepada umat Islam melalui Nabi Muhammad.

Sederhananya lagi, al-Qur’an itu qadim (tidak diawali sesuatu/ sudah ada tanpa ada yang mengadakan), sedang asbab atau sebab itu hadits (baru/ ada karena ada yang mengadakan). Maka tidak mungkin sesuatu yang hadits bisa menjadi pengganjal sesuatu yang qadim.

  1. Mengapa penting mempelajari Asbabun Nuzul?

Asbabun Nuzul merupakan alat bantu dalam memahami isi kandungan al-Qur’an. Mufassir bahkan menetapkan bahwa Asbabun Nuzul merupakan kunci memahami maksud al-Qur’an.

Salah satu pendapat yang populer adalah pendapat al-Wahidi yang menyatakan:

لا يمكن معرفة تفسير الأية دون الوقوف على قصتها وبيان نزولها

La yumkinu ma’rifatu tafsiril ayah duna al-wuquf ‘ala qishshatiha wa bayani nuzuliha

“Tidak mungkin mengetahui penafsiran ayat tanpa bergantung atau mengetahui kisah-kisah (yang ada di baliknya) dan penjelasan turunnya (mengenai keadaan atau peristiwa yang terjadi saat wahyu turun)”.

Sebab dalam realitanya beberapa ayat tertentu yang apabila dipahami secara literal justru akan menjerumuskan pada kesalahpahaman. Contohnya:

Q.S. al-Maidah [5]: 53:

لَيْسَ عَلَى الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ جُنَاحٌ فِيْمَا طَعِمُوْٓا اِذَا مَا اتَّقَوْا وَّاٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ ثُمَّ اتَّقَوْا وَّاٰمَنُوْا ثُمَّ اتَّقَوْا وَّاَحْسَنُوْا ۗوَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ ࣖ

Tidak berdosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan tentang apa yang mereka makan, apabila mereka bertakwa dan beriman, serta mengerjakan kebajikan, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, selanjutnya mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.

Secara literal ayat ini tentu akan membawa pembacanya pada pemahaman bahwa selama masuk dalam kategori orang beriman (dalam hal ini umat Islam), maka makan apapun tidak ada larangan dan tidak berdosa. Padahal ayat ini jika ditinjau Asbabun Nuzulnya menjelaskan bahwa yang dimaksud orang beriman dan beramal shalih di dalam ayat adalah para sahabat yang wafat sebelum adanya larangan minum khamr. Maka bagi mereka yang belum mendapatkan ketentuan larangan, mereka tidak dikenai dosa atau sangsi dari Allah.

Demikianlah penjelasan secara singkat mengenai Asbabun Nuzul. Semoga bisa dipahami para pembaca sekalian. Wallahu A’lam.

Mengenal 7 Cara Membaca Alif dalam Al-Quran Sesuai Ilmu Tajwid

0
Mengenal 7 alif dalam ilmu tajwid
Mengenal 7 alif dalam ilmu tajwid

Salah satu dari bacaan Gharib dalam al-Quran menurut Qiraah Ashim riwayat Ashim adalah tata cara membaca alif yang dapat dibaca panjang (mad) atau pendek (qashr). Alif itu tersebar dalam Al-Quran dan terdapat dalam 7 kata sehingga disebut 7 alif (sab’ah alifat).

Artikel ini menjelaskan letak dan cara membaca 7 alif (al-alifat as-sab’ah) dalam Al-Quran yang dikutip dari Athlas at-Tajwid karya Dr. Ayman Rusydi Suwaid. Ketujuh alif itu adalah (اَنَا), (لَكِنَّا), (الظُّنُوْنَا), (الرَّسُوْلَا), (قَوَارِيْرَا), (السَّبِيْلَا), dan (سَلَاسِلَا).

Kata (اَنَا)

Cara membaca Alif yang terletak pada kata (اَنَا) adalah panjang apabila waqaf (berhenti) pada kata tersebut dan dibaca pendek apabila washal (sambung) ke kata berikutnya. Kata (اَنَا) dapat ditemukan di banyak tempat dalam al-Quran, salah satunya Q.S. Al-Kafirun [109]: 4.

وَلَا اَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ

Cara membaca saat waqaf adalah wa laaaa anaa. Sedangkan cara membaca saat washal adalah wa laaaa ana ‘aabidum ma ‘adattum.

Baca juga: Bacaan Al-Qur’an Agar Proses Melahirkan Lancar dan Mudah

Kata (لَكِنَّا)

Cara membaca Alif yang terletak pada kata (لَكِنَّا) adalah panjang apabila waqaf (berhenti) pada kata tersebut dan dibaca pendek apabila washal (sambung) ke kata berikutnya. Kata (لَكِنَّا) hanya dapat ditemukan di satu tempat dalam al-Quran, yaitu Q.S. Al-Kahf [18]: 38.

لَكِنَّا هُوَ اللهُ رَبِّىْ وَلَا اُشْرِكُ بِرَبِّىْ اَحَدًا

Cara membaca saat waqaf adalah laakinnaa. Sedangkan cara membaca saat washal adalah laakinna huwallahu rabbi.

Kata (الظُّنُوْنَا)

Alif yang terletak pada kata (الظُّنُوْنَا) dibaca panjang apabila waqaf (berhenti) pada kata tersebut dan dibaca pendek apabila washal (sambung) ke kata berikutnya. Kata (الظُّنُوْنَا) hanya dapat ditemukan di satu tempat dalam al-Quran, yaitu Q.S. Al-Ahzab [33]: 10.

… وَتَظُنُّوْنَ بِاللهِ الظُّنُوْنَا

Cara membaca saat waqaf adalah wa tadzunnuuna billahidz-dzunuunaa. Sedangkan cara membaca saat washal adalah wa tadzunnuuna billahidz-dzunuuna hunaalika.

Kata (الرَّسُوْلَا)

Cara membaca Alif yang terletak pada kata (الرَّسُوْلَا) adalah panjang apabila waqaf (berhenti) pada kata tersebut dan dibaca pendek apabila washal (sambung) ke kata berikutnya. Kata (الرَّسُوْلَا) hanya dapat ditemukan di satu tempat dalam al-Quran, yaitu Q.S. Al-Ahzab [33]: 66.

… اَطَعْنَا اللهَ وَاَطَعْنَا الرَّسُوْلَا

Cara membaca saat waqaf adalah atha’nallaha wa atha’nar-rasuulaa. Sedangkan cara membaca saat washal adalah atha’nallaha wa atha’nar-rasuula wa qaaluu.

Baca juga: Mengenal lebih dekat Ilmu Tajwid dan Asal-Usulnya Menurut Para Ulama

Kata (السَّبِيْلَا)

Alif yang terletak pada kata (السَّبِيْلَا) dibaca panjang apabila waqaf (berhenti) pada kata tersebut dan dibaca pendek apabila washal (sambung) ke kata berikutnya. Kata (السَّبِيْلَا) hanya dapat ditemukan di satu tempat dalam al-Quran, yaitu Q.S. Al-Ahzab [33]: 67.

… فَاَضَلُّوْنَا السَّبِيْلَا

Cara membaca saat waqaf adalah fa adhalluunas-sabiilaa. Sedangkan cara membaca saat washal adalah fa adhalluunas-sabiila rabbanaa.

Kata (قَوَارِيْرَا)

Alif yang terletak pada kata (قَوَارِيْرَا) dibaca panjang apabila waqaf (berhenti) pada kata tersebut dan dibaca pendek apabila washal (sambung) ke kata berikutnya. Alif yang dimaksud adalah alif yang terakhir. Kata (قَوَارِيْرَا) dapat ditemukan di dua tempat dan yang dimaksud adalah yang ada pada Q.S. Al-Insan [76]: 15.

… مِنْ فِضَّةٍ وَاَكْوَابٍ كَانَتْ قَوَارِيْرَا

Cara membaca saat waqaf adalah min fidhdhatiw wa akwaabin kaanat qawaariiraa. Sedangkan cara membaca saat washal adalah min fidhdhatiw wa akwaabin kaanat qawaariira qawaariira.

Baca juga: Pengertian Makharijul Huruf dalam Ilmu Tajwid dan Pembagiannya Menurut Ulama

Kata (سَلَاسِلَا)

Alif yang terletak pada kata (سَلَاسِلَا) dibaca panjang apabila waqaf (berhenti) pada kata tersebut dan dibaca pendek apabila washal (sambung) ke kata berikutnya. Khusus untuk kata ini, apabila waqaf juga dapat dibaca sukun huruf lam nya (salaasil). Kata (سَلَاسِلَا) dapat ditemukan di satu tempat dalam al-Quran, misalnya Q.S. Al-Insan [76]: 4.

اِنَّا اَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِيْنَ سَلَاسِلَا وَاَغْلَالًا وَسَعِيْرًا

Cara membaca saat waqaf adalah innaaaa a’tadnaa lilkaafiriina salaasilaa. Sedangkan cara membaca saat washal adalah innaaaa a’tadnaa lilkaafiriina salaasila wa aghlaalaw wa sa’iiraa. Wallahu a’lam[]

Tujuh Tanda Waqaf dalam Mushaf al-Qur’an yang Jarang Diketahui

0
Tujuh Tanda Waqaf dalam Mushaf al-Qur’an
Tujuh Tanda Waqaf dalam Mushaf al-Qur’an

Ketika al-Qur’an diterima oleh orang selain Arab atau orang yang belum paham tata bahasa arab, maka dalam membaca al-Qur’an, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Salah satunya adalah tanda waqaf dalam mushaf al-Qur’an (berhenti) dan ibtida’ (memulai). Pedoman utama dalam tanda waqaf adalah kesempurnaan kalimat yang dibaca. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi kerancuan maksud dari redaksi ayat al-Qur’an.

Imam Ahmad bin Abdul Karim al-Asymuni dalam kitab Manar al-Huda fi al-Waqf wa al-Ibtida mendefiniskan waqaf sebagai berikut:

قَطْعُ الصّوْتِ عَلَى آخِرِ الْكَلِمَةِ زَمَنًا أوْ هُوَ قَطْعُ الْكَلِمَةِ عَمَّا بَعْدَهَا

Artinya: “Menghentikan suara sejenak pada akhir kalimat atau memutuskan suatu kata dari kata berikutnya”

Adapun Ibtida’ menurut Imam Shalih dalam kitab al-Waqf wa al-Ibtida’ wa Shilatuhuma bi al-Ma’na fi al-Qur’an al-Karim, yaitu memulai untuk membaca al-Qur’an baik itu setelah qath’i ataupun waqaf.

Baca juga: Balaghah Al-Quran: Seni Tata Krama dalam Bahasa Al-Quran

Artikel yang anda baca adalah tentang tanda waqaf yang disepakati oleh para ulama. Tidak terkecuali yang digunakan Kementerian Agama Republik Indonesia dalam penerbitan mushaf al-Qur’an. Akan tetapi, dari semua jenis tanda waqaf yang ada, ternyata tidak semuanya digunakan. Disinilah anda akan menemukan jawaban bahwa beberapa tanda waqaf jarang diketahui para pembaca al-Qur’an. Sebelumnya, penulis jelaskan dahulu tanda waqaf dalam mushaf standar Indonesia.

Tanda Waqaf dalam Mushaf al-Qur’an Kementerian Agama RI

Mushaf standar Indonesia yang diterbitkan Tim Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an Kemenag RI, mengambil riwayat dari Imam Hafs dari Imam ‘Ashim dengan menggunakan Rasm Utsmani.

Tanda waqaf yang akan dibahas di sini adalah bagian dari waqaf ikhtiyari. Artinya, berhenti membaca untuk mengambil napas karena memang disengaja dan tanpa ada sebab. Sebagai informasi tambahan, ada tiga jenis waqaf lain, yaitu waqaf ikhtibari; waqaf intidzari; dan waqaf idhtirari.

Waqaf ikhtibari yaitu berhenti membaca untuk mengambil napas dengan maksud untuk melatih para murid untuk mengetahui cara waqaf yang benar ketika harus berhenti mendadak. Adapun waqaf intidzari yakni berhenti untuk mengumpulkan jenis-jenis qira’at dari berbagai riwayat. Waqaf ini dikhususkan bagi yang mempelajari macam-macam qira’ah (bacaan) baik qira’ah sab’ah ataupun qira’ah ‘asyr. Sementara waqaf idhtirari yaitu berhenti membaca karena terpaksa, seperti napas yang tidak kuat, lupa, tidak mampu meneruskan bacaannya, dan sebagainya.

Baca juga: Memahami Konsep Sakralitas Al-Quran dan Berbagai Sikap Terhadapnya

Tanda waqaf ikhtiyari yang digunakan dalam mushaf tersebut terdiri dari enam tanda sebagai berikut:

  1. Waqaf Lazim ( م ), yaitu tanda yang menunjukkan bacaan wajib berhenti dan tidak boleh washal (dilanjutkan)
  2. Waqaf Ja’iz ( ج ), yaitu tanda yang menunjukkan bacaan boleh berhenti boleh juga diteruskan. Karena keduanya sama-sama bagusnya.
  3. Al-Waqfu al-Aula (قلى), yaitu tanda menunjukkan kebolehannya berhenti atau meneruskan bacaan. Akan tetapi lebih utama (baik) berhenti.
  4. Al-Washlu al-Aula ( صلى ), yaitu tanda yang menunjukkan bolehnya berhenti atau diteruskannya bacaan. Akan tetapi lebh utama untuk diteruskan.
  5. Lā Waqfa fihi atau Lā Taqif ( لا ), tidak boleh berhenti pada tanda ini kecuali di akhir ayat.
  6. Waqaf Mu’annaqah (tanda titik tiga berjejer dua) yaitu berhenti pada salah satu titik tiga tersebut dan tidak boleh pada keduanya.

Selain enam tanda tersebut, ada dua tanda waqaf yang juga terdapat dalam mushaf. Yaitu saktah (س) yang berarti berhenti sejenak tanpa mengambil napas dan tanda waru (۵) seperti dalam QS. al-Fatihah[1]: 7. Tanda ini menjadi perbedaan jumlah ayat dalam periwayatan ahli qiraat. Imam Ashim, sebagaimana digunakan riwayatnya oleh Kemenag, menyatakan bahwa tanda tersebut bukanlah untuk akhir ayat.

صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ەۙ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ

Tujuh Tanda Waqaf Lain dalam Kaidah Waqaf

Dalam Buku Petunjuk Praktis Tahsin al-Qur’an Metode Maisûrâ karya dari Dr. KH. Ahmad Fathoni, LC, MA, ada tujuh tanda waqaf lain. Beliau menukil dari kitab Bughyatu ‘Ibad ar-Rahman li Tahqiqi Tajwid al-Qur’an karya Muhammad bin Syahadah al-Ghul. Ketujuh rumus (tanda) waqaf lainnya yaitu sebagai berikut:

  1. Waqaf Mutlaq (ط), yaitu tanda waqaf yang menunjukkan diperbolehkannya untuk berhenti dan bagus (baik) memulai dengan lanjutan bacaannya.
  2. Waqaf Mujawwaz (ز), tanda yang menunjukkan bolehnya berhenti (waqaf) pada satu bacaan akan tetapi lebih baik diteruskan (washal). Tanda ini yang kemudian banyak diganti dengan Al-Washlu al-Aula ( صلى ) pada mushaf-mushaf yang banyak beredar. Contohnya pada QS. al-Baqarah[2]: 86.

أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ ٱشْتَرَوُا۟ ٱلْحَيَوٰةَ ٱلدُّنْيَا بِٱلْأخِرَةِ ۖ فَلَا يُخَفَّفُ عَنْهُمُ ٱلْعَذَابُ وَلَا هُمْ يُنصَرُونَ

  1. Waqaf Murakhkhas Ḍarurah (ص) yaitu diperbolehkan untuk berhenti (waqaf) pada kalimat yang sudah sempurna. Karena biasanya pembaca al-Qur’an yang tidak kuat napasnya atas ayat yang terlalu panjang. Namun tanda waqaf ini dalam banyak cetakan mushaf diganti dengan Waqaf Ja’iz ( ج ) Contohnya pada QS. al-Baqarah[2]: 177.

وَاَقَامَ الصَّلٰوةَ وَاٰتَى الزَّكٰوةَ ۚ وَالْمُوْفُوْنَ بِعَهْدِهِمْ اِذَا عَاهَدُوْا ۚ

  1. Waqaf Qif (قف), yaitu tanda yang menunjukkan lebih baik waqaf dari pada Karena sama dengan Al-Waqfu al-Aula (قلى), maka tanda waqaf keempat ini diganti penulisannnya dengan Al-Waqfu al-Aula (قلى).
  2. Tanda Waqaf (ق), dalam pendapat para ulama ahli waqaf tanda ini tidak boleh waqaf (berhenti).
  3. Tanda Waqaf ك)كذالك), ketika ada tanda tersebut, maka hukum waqafnya mengikuti dengan tanda sebelumnya. Contohnya ketika tanda waqaf (ك) didahului oleh tanda Waqaf Ja’iz ( ج ), maka tanda yang kedua sama halnya dengan tanda Waqaf Ja’iz ( ج ).
  4. Tanda waqaf (وقفة) tanda ini sebenarnya mirip dengan tanda saktah, hanya saja berhentinya sedikit lebih lama. Pada banyak percetakan mushaf al-Qur’an, tanda ini diganti dengan tanda al-Washlu al-Aula ( صلى ).

Demikian tadi tujuh tanda waqaf yang mungkin belum kita ketahui. Karena pada mushaf-mushaf yang kita baca merupakan bentuk standarisasi Tim Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an dari Kementerian Agama Republik Indonesia. Darimana pun penerbitya, mushaf al-Qur’an di Indonesia terlebih dahulu harus melalui tashih dari Kemenag RI.

Baca juga: Huruf Muqathaah: Cara Baca dan Pembagiannya dalam Ilmu Tajwid

Keterangan catatan kaki dari buku Ahmad Fathoni menyebutkan, tanda-tanda waqaf yang tidak lagi digunakan di Mushaf Kemenag, masih bisa ditemukan dalam Mushaf al-Qur’an “Pojok” terbitan Menara Kudus dan terbitan Bombay (sebelum era 1980an). Menurut M. Ulil Albab Arwani, terkait waqaf ibtida’, Mushaf Pojok Kudus mengikuti mazhab Imam al-Sijawandi(w. 560). Mushaf al-Qur’an “Pojok” dari Kudus juga menambahkan tanda  untuk membantu pembaca dalam waqaf dan ibtida’ ketika napasnya tidak sampai pada akhir kalimat.

Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 83

0
tafsir surat al baqarah
Penamaan “Surat Al-Baqarah”

Sebelumnya telah dibahas mengenai kedurhakaan orang Yahudi yang menganggap mereka tidak kekal di neraka. Untuk pembahasan pada Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 83 ini mengenai berpalingna janji Bani Israil.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 80-82


Bani Israil berpaling dari perintah-perintah Allah, tidak menjalankannya, bahkan menghindarinya. Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 83 ini menjelaskan kebiasaan dan kesukaan Bani Israil tidak menaati petunjuk dan perintah Ilahi.

Allah mengingatkan Nabi Muhammad saw, ketika Dia menetapkan atas Bani Israil akan janji yang harus mereka penuhi, yaitu bahwa mereka tidak akan menyembah sesuatu selain Allah. Allah melarang mereka beribadah kepada selain Allah, biarpun berupa manusia atau berhala dan lain-lain, karena hal itu berarti mempersekutukan Allah dengan benda-benda tersebut. Menyembah kepada selain Allah adakalanya dengan perbuatan-perbuatan yang lain yang berupa mengagungkan sesuatu yang disembah itu.

Agama Allah yang dibawa oleh para utusan-Nya semua menekankan untuk menyembah Allah yang Maha Esa dan tidak mempersekutukan-Nya dengan suatu apa pun, seperti firman Allah:

۞ وَاعْبُدُوا اللّٰهَ وَلَا تُشْرِكُوْا بِهٖ شَيْـًٔا

Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun…. (an-Nisa′/4:36)

Janji dari Bani Israil ini diawali dengan janji memenuhi hak Allah, hak yang tertinggi dan terbesar yaitu hanya Dia semata-mata yang berhak disembah, tidak ada sesuatu pun yang disekutukan dengan Dia. Semua makhluk diperintahkan menyembah-Nya dan untuk tugas inilah sebenarnya mereka diciptakan.

Sesudah menyebutkan hak Allah, disusul dengan perintah berbuat kebajikan kepada orang tua, suatu amal kebajikan yang tertinggi. Karena melalui kedua orang tualah Allah menciptakan manusia. Allah berfirman:

وَّبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسَانًا

…Dan berbuatbaiklah kepada kedua orang tua, … (an-Nisa′/4:36)

Berbuat kebajikan kepada orang tua ialah dengan mengasihi, memelihara dan menjaganya dengan sempurna serta menuruti kemauannya selama tidak menyalahi perintah Allah. Adapun hikmah berbakti kepada ibu dan bapak ialah karena ibu bapak itu telah berkorban untuk kepentingan anaknya pada waktu masih kecil dengan perhatian yang penuh dan belas kasihan.

Mereka mendidiknya dan mengurus segala kepentingan anaknya itu ketika masih lemah, belum dapat mengambil suatu manfaat dan belum dapat pula menghindar dari suatu bahaya. Selain dari itu, orang tua memberikan kasih sayang yang tidak ada tandingannya. Apakah tidak wajib bagi anak memberikan balasan kepada ibu-bapaknya sebagai imbalan atas budi baiknya?

هَلْ جَزَاۤءُ الْاِحْسَانِ اِلَّا الْاِحْسَان

Tidak ada balasan untuk kebaikan selain kebaikan (pula). (ar-Rahman/55:60)

Kecintaan kedua orang tua kepada anaknya disebabkan:

  1. Rasa cinta kasih yang dianugerahkan Allah kepada keduanya untuk menyempurnakan nikmat-Nya demi terpeliharanya jenis manusia.
  2. Rasa syukur terhadap anak-anaknya.
  3. Harapan pada masa depan anaknya untuk dapat menolongnya baik dengan harta maupun dengan tenaga dalam kehidupan.
  4. Dapat melanjutkan misi kedua orang tuanya.

Sesudah Allah menyebutkan hak kedua orang tua, disebutkan pula hak kerabat (kaum keluarga) yaitu berbuat kebajikan terhadap mereka, karena berbuat kebajikan kepada karib kerabat adalah faktor yang memperkuat tali persaudaraan di antara kaum kerabat itu.


Baca juga: Ibnu Athiyyah, Mufasir Al-Quran dari Granada Spanyol


Suatu umat ini terdiri atas keluarga dan rumah tangga. Maka kebaikan dan keburukan umat tergantung kepada kebaikan dan keburukan keluarga dan rumah tangga. Orang yang tidak membina rumah tangga berarti dia tidak ikut membina unsur umat.

Kemudian setiap rumah tangga itu hendaklah menghubungkan tali persaudaraan dengan rumah tangga lainnya berdasarkan tali keturunan, keagamaan atau pun kebangsaan. Dengan demikian akan terbinalah suatu bangsa dan umat yang kuat.

Mengadakan hubungan erat sesama keluarga adalah sesuai dengan fitrah manusia. Agama Islam, agama fitrah memberi jalan yang baik bagi pertumbuhan ikatan kerabat ini. Kemudian Allah menyebutkan pula hak orang-orang yang memerlukan bantuan, yaitu hak orang miskin.

Berbuat baik kepada anak yatim ialah mendidiknya dengan baik dan memelihara segala hak-haknya. Al-Qur′an dan Sunah sangat menganjurkan agar memperhatikan anak yatim walaupun ia kaya, karena yang dipandang ialah keyatimannya. Mereka telah kehilangan orang yang menjadi tempat mereka mengadu.

Allah mewasiatkan anak-anak yatim kepada masyarakat agar menganggap mereka itu sebagai anak sendiri, untuk memberikan pendidikan. Jika mereka terlantar, mereka dapat menimbulkan kerusakan pada anak-anak lainnya, dan akibatnya lebih besar pada bangsa dan negara.

Berbuat ihsan kepada orang miskin ialah memberikan bantuan kepada mereka terutama pada waktu mereka ditimpa kesulitan. Nabi bersabda:

اَلسَّاعِي عَلَى اْلأَرْمَلَةِ وَالْمِسْكِيْنِ كَالْمُجَاهِدِ فِي سَبِيْلِ اللهِ

(رواه مسلم عن أبي هريرة)

Orang yang menolong janda dan orang miskin, seperti orang yang berjuang di jalan Allah. (Riwayat Muslim dari Abu Hurairah)

Allah mendahulukan menyebut anak yatim daripada orang miskin karena orang miskin itu dapat berusaha sendiri untuk mencari makan, sedang anak yatim, dikarenakan masih kecil, belum sanggup berusaha sendiri.

Sesudah mendapat perintah berbuat kebaikan kepada kedua orang tua, kaum keluarga, anak-anak yatim dan orang-orang miskin, kemudian perintah mengucapkan kata-kata yang baik kepada sesama manusia. Bilamana kebajikan itu telah dikerjakan berarti ketinggian dan kemajuan masyarakat telah tercapai.

Allah selanjutnya memerintahkan kepada Bani Israil untuk melaksanakan salat dan zakat seperti yang digariskan Allah untuk mereka. Salat pada tiap agama bertujuan memperbaiki jiwa, membersihkannya dari kerendahan budi dan menghiasi jiwa dengan rupa-rupa keutamaan.

Ruh salat ialah ikhlas kepada Allah, tunduk kepada kebesaran dan kekuasaan-Nya. Apabila salat itu kosong dari ruh tersebut, tidak akan memberi faedah apa pun. Bani Israil selalu mengabaikan ruh salat itu sejak dahulu sampai waktu Alquran diturunkan dan bahkan sampai sekarang.

Zakat juga diperintahkan kepada mereka, karena zakat mengandung maslahat bagi masyarakat. Orang-orang Yahudi dahulu mempunyai beberapa macam kewajiban zakat. Tetapi Bani Israil berpaling dari perintah-perintah itu, tidak menjalankannya, bahkan menghindarinya.

Termasuk penyelewengan mereka ialah menganggap pendeta-pendeta mereka sebagai Tuhan yang menetapkan hukum halal dan haram, menambah upacara-upacara agama menurut keinginan mereka, meninggalkan nafkah terhadap kerabat, melalaikan zakat, tidak melakukan amar makruf nahi mungkar serta perbuatan lain yang meruntuhkan agama.

Hanya sebagian kecil dari mereka pada zaman Musa a.s. atau pada tiap zaman yang taat pada perintah Allah. Pada tiap zaman, pada tiap bangsa atau umat selalu ada golongan orang yang ikhlas berjuang memelihara kebenaran sesuai dengan keyakinan dan kemampuan mereka. Namun demikian bila kemungkaran telah menyebar pada umat itu, kehadiran orang-orang ikhlas itu tidaklah mencegah turunnya azab Allah.

Di akhir ayat ini Allah berfirman, “Dan kamu (hai Bani Israil) selalu berpaling.” Ayat ini menunjukkan kebiasaan dan kesukaan mereka tidak menaati petunjuk dan perintah Ilahi, sehingga tersebarlah kemungkaran dan turunlah azab kepada mereka.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 84-87


(Tafsir Kemenag)

Tuntunan Membersihkan Mulut Sebelum Membaca Al-Qur’an Berdasarkan Kitab At-Tibyan

0
Tuntunan membersihkan mulut sebelum membaca Al-Quran
Tuntunan membersihkan mulut sebelum membaca Al-Quran

Imam An-Nawawi di dalam kitab At-Tibyan fi Adabi Hamlatil Qur’an; sebuah kitab yang mengulas khusus tatakrama saat bersinggungan dengan Al-Qur’an, menyatakan dianjurkan membersihkan mulut tatkala hendak membaca Al-Qur’an. Entah apakah cara membersihkannya itu dengan siwak, maupun selainnya.

Imam An-Nawawi juga mengulas tatacara yang benar dalam bersiwak, alat yang diperbolehkan digunakan untuk bersiwak, area mulut mana saja yang hendaknya dikenai siwak, serta doa dalam bersiwak. Ia juga menyinggung sekilas hukum membaca Al-Qur’an dalam keadaan mulut terkena najis. Tulisan ini akan berusaha merangkum tuntunan membersihkan mulut sebelum membaca Al-Qur’an menurut Imam An-Nawawi di dalam kitab At-Tibyan.

Baca juga: Mengaplikasikan Metode Tadabbur Saat Membaca Al-Quran dan Langkah-Langkahnya

Anjuran membersihkan mulut sebelum membaca Al-Qur’an

Imam An-Nawawi mengutip berbagai pendapat ulama mengenai hukum serta tatacara dalam membersihkan mulut sebelum membaca Al-Qur’an. Berikut kesimpulan uraian An-Nawawi beserta tambahan keterangan dari kitab lainnya:

Pertama, hukum membersihkan mulut tatkala hendak membaca Al-Qur’an. Di dalam kitab At-Tibyan, Imam An-Nawawi hanya menyatakan bahwa “sebaiknya” sebelum membaca Al-Qur’an didahului dengan membersihkan mulut. Baik itu dengan bersiwak serta selainnya.

Imam As-Suyuthi menyatakan lebih jelas, bahwa hukum bersiwak sebelum membaca Al-Qur’an adalah sunnah, sebagai bentuk penghormatan dan langkah mensucikan diri tatkala bersinggungan dengan Al-Qur’an. Imam As-Suyuthi kemudian mengutip sebuah hadis dari sahabat ‘Ali (Al-Itqan/1/125):

إِنَّ أَفْوَاهَكُمْ طُرُقٌ لِلْقُرْآنِ فَطَيِّبُوهَا بِالسِّوَاكِ

Sesungguhnya mulut-mulut kalian adalah jalan bagi Al-Qur’an. Maka bersihkanlah dengan siwak (HR. Ibn Majah dan Al-Bazzar).

Bila membersihkan mulut dapat dilakukan dengan bersiwak serta selainnya, apa saja bentuknya? Perlulah diketahui bahwa bersiwak tidaklah harus menggunakan kayu siwak sebagaimana yang dijual di toko-toko. Bersiwak bisa dilakukan dengan segala alat yang dapat membersihkan gigi. Sedang salah satu tindakan membersihkan mulut selain bersiwak adalah berkumur-kumur (Syi’bul Iman/4/443).

Kedua, alat membersihkan mulut. Dapat dilaksanakan dengan bersiwak menggunakan kayu arok. Boleh juga menggunakan kayu-kayu selainnya. Atau membersihkan dengan menggunakan kain kasar. Menurut sebagian pendapat, boleh juga membersihkan area mulut dengan menggunakan jari-jari kasar.

Baca juga: Konteks dan Keterampilan dalam Memahami Al-Quran Menurut Ingrid Mattson

Kayu yang digunakan bersiwak hendaknya tidak terlalu kering, juga tidak terlalu basah. Apabila terlalu kering, boleh membasahinya dengan air agar lembut. Kayu yang digunakan bersiwak juga tidak harus milik sendiri. Boleh juga milik orang lain, tapi dipakai dengan seizin si pemiliknya.

Ketiga, area yang dikenai siwak. Bersiwak dapat dilakukan dengan bergerak secara horizontal, dimulai dari kanan, serta dengan niat melaksanakan Sunnah Nabi. Area yang dikenai siswak adalah gigi bagian luar, bagian dalam, serta pucuk gigi. Selain itu, dianjurkan menggerakkan siwak secara berlahan diarahkan mengenai pangkal gigi serta langit-langit tenggorokan.

Keempat, doa saat bersiwak. Berikut doa saat bersiwak yang dikutip Imam An-Nawawi dari sebagian ulama:

اَللّٰهُمَّ بَارِكْ لِي فِيْهِ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

Allahumma baarik lii fiihi ya arhamar raahimiin

Ya Allah, berikan aku keberkahan dalam bersiwak. Wahai dzat yang paling pengasih di antara para pengasih.

Baca juga: Inilah Keutamaan Membaca Al-Quran dengan Tartil

Membaca Al-Qur’an tatkala mulut dalam keadaan najis

Imam An-Nawawi menyatakan, membaca Al-Qur’an dengan mulut terkena najis dan belum  membasuhnya, baik itu berupa darah atau selainnya, hukumnya hanya makruh saj. Memang ada yang berpendapat bahwa hukumnya haram. Namun pendapat yang paling sahih adalah tidak haram.

Berbagai uraian di atas diatas dapat dijadikan pedoman untuk mengikuti kesunnahan membersihkan mulut sebelum membaca Al-Qur’an. Yang dianjurkan dalam penjelasan di atas tidaklah secara khusus pada bersiwak, tapi pada membersihkan area mulut. Bersiwak sendiri tidaklah harus menggunakan kayu siwak, tapi bisa juga dengan semacam kain atau bahkan sikat gigi. Selain itu, bila tidak ada alat untuk bersiwak, maka bisa digantikan dengan berkumur-kumur. Wallahu a’lam[]

Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 80-82

0
tafsir surat al baqarah
Penamaan “Surat Al-Baqarah”

Pembahasan sebelumnya telah dipaparkan watak orang-orang Yahudi yang menyerupai orang munafik. Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 80-82 ini masih menyebutkan lagi kedurhakaan orang Yahudi.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 75-79


Kedurhakaan orang Yahudi dalam Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 80-82 ialah menganggap mereka tidak kekal di dalam neraka. Padahal Allah berfirman bahwa orang yang menyekutukan Allah dan orang-orang kafir kekal di dalam neraka. Dan Allah menjanjikan kepada orang yang beramal saleh mendapat ganjaran berupa surga, yang terus-menerus dalam iman.

Ayat 80

Dalam ayat ini disebutkan lagi segi lain dari kedurhakaan orang Yahudi yaitu mengenai anggapan mereka bahwa mereka tidak akan dibakar oleh api neraka kecuali hanya beberapa hari saja. Maksudnya, mereka tidak kekal di dalam neraka karena menganggap diri mereka adalah putra dan kekasih Allah.

Kebanyakan orang Yahudi berpendapat bahwa mereka dimakan api selama tujuh hari. Karena umur dunia menurut pendapat mereka 7000 tahun, maka siapa di antara mereka yang tidak memperoleh keselamatan dan kemenangan serta kebahagiaan, mereka akan mendekam dalam neraka selama 7 hari. Sehari untuk tiap 1000 tahun.

Ayat 81

Pada ayat ini dengan tegas Allah menyatakan tidak benar sama sekali apa yang mereka katakan itu. Bahkan api akan membakar diri mereka dan orang-orang lain dalam waktu yang lama sesuai dengan dosa mereka. Dosa di sini ialah dosa mempersekutukan Allah. Maka orang yang mempersekutukan Allah dan orang-orang kafir kekal di dalam neraka.

Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan dosa di sini ialah kesalahan pada umumnya. Mereka berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kekal di sini ialah mendekam dalam neraka dalam waktu yang lama sampai batas waktu yang telah dikehendaki Allah. Orang yang berbuat maksiat dan mengerjakan dosa-dosa besar, dia mendekam di dalam neraka beberapa lama waktunya, kemudian keluar dari neraka, kapan Allah menghendakinya.

Apabila manusia bertobat dengan jujur atas segala macam dosa dan meninggalkan dengan sungguh-sungguh dosa-dosanya itu, maka dirinya tidak akan diliputi oleh kesalahan-kesalahan dan jiwanya tidak akan berkarat dengan kesalahan-kesalahan itu.


Baca juga: Mengenal Kuliner Neraka dalam Al-Quran, dari Buah Zaqqum hingga Shadid


Ayat 82

Ayat ini menjanjikan kepada orang yang beramal saleh akan mendapat ganjaran berupa surga. Biasanya ayat ancaman selalu diikuti dengan ayat janji baik (harapan). Faedahnya antara lain sebagai berikut:

  1. Untuk menunjukkan keadilan Ilahi. Bilamana Allah menetapkan azab yang abadi bagi orang yang terus-menerus dalam kekafiran, maka Allah juga menetapkan pahala abadi (surga) bagi mereka yang terus-menerus dalam iman.
  2. Bahwa janji baik (harapan) dan janji buruk (ancaman) dari Allah itu menanamkan rasa harap dan cemas yang seimbang ke dalam jiwa orang mukmin.
  3. Bahwa Allah dengan janji baik-Nya menunjukkan kesempurnaan rahmat-Nya dan dengan ancaman-Nya Allah menunjukkan kesempurnaan keadilan-Nya.

Semua orang yang membenarkan Allah dan Rasul-Nya dan beriman kepada hari akhirat serta mengerjakan perbuatan baik, menunaikan kewajiban-kewajiban dan menjauhkan diri dari maksiat, mereka itulah yang pantas masuk surga sebagai balasan yang setimpal terhadap ketundukan mereka kepada Allah dan keikhlasan mereka kepada-Nya, baik secara rahasia maupun nyata. Di dalam ayat ini jelas terbukti bahwa masuk surga itu dikaitkan dengan iman yang benar dan amal saleh seperti tersebut di dalam hadis:

;ِإنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِسُفْيَانَ بْنِ عَبْدِ اللهِ الثَّقَفِيِّ وَقَدْ قَالَ لَهُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ قُلْ لِي فِى اْلإِسْلاَمِ قَوْلاً لاَ أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا غَيْرَكَ. قَالَ: قُلْ اٰمَنْتُ بِاللهِ ثُمَّ اسْتَقِمْ

(رواه مسلم عن سفيان بن عبد الله الثقفي)

 Bahwa Nabi saw bersabda kepada Sufyan bin Abdillah as-Saqafi, tatkala Sufyan bertanya kepada Rasul,  Ya Rasulullah, terangkanlah kepadaku mengenai Islam, suatu petunjuk yang tidak perlu lagi saya bertanya tentang hal itu kepada orang lain. Nabi menjawab,  Katakanlah, saya beriman kepada Allah, kemudian istiqamahlah kamu. (Riwayat Muslim dari Sufyan bin Abdillah as-Saqafi)


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 83


(Tafsir Kemenag)

Balaghah Al-Quran: Seni Tata Krama dalam Bahasa Al-Quran

0
Balaghah Al-Quran
Balaghah Al-Quran

Balaghah al-Quran adalah salah satu alternatif untuk mengetahui seni tata krama dalam bahasa al-Quran. Alasan Allah Swt memilih bahasa Arab sebagai bahasa Al-Quran bukan tanpa maksud. Bahasa Arab sendiri merupakan bahasa yang paling akurat untuk mewakili firman-firman Allah yang diturunkan pada umat manusia. Imam As-Syafi’i dalam kitab Ar-Risālah menyebutkan:

” ولسان العرب أوسع الألسنة مذهباً، وأكثرها ألفاظاً، ولا نعلمه يحيط بجميع علمه إنسان غيرُ نبي

“Bahasa Arab adalah bahasa yang paling luas madzhabnya, paling banyak kosa-katanya, dan kami belum pernah mendapati manusia yang menguasai seluruh ilmunya kecuali Nabi”.

Para ulama telah mengerahkan kemampuannya dalam menghimpun keindahan-keindahan bahasa Arab khususnya bahasa Al-Quran dalam satu disiplin ilmu khusus, yakni Ilmu Balāghah. Salah satu kandungan Balaghah Al-Quran adalah Fann At-Taaddub (seni bertata krama).

Contoh konkritnya terdapat dalam QS. al-Fatiha [1]:7

صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ ٱلْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ

“(yaitu) jalannya orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”.

Menurut Dr. M. Afifuddin Dimyathi, Lc, MA dalam kitab beliau tentang Balaghah Al-Quran, As-Syāmil fī al-Balāghah al-Qurān, dalam ayat tersebut terdapat Fann at-Taaddub (seni tata krama). Yaitu ketika berbicara tentang nikmat, maka perbuatan ‘memberi nikmat’ itu langsung disandarkan pada Allah Swt dengan menyebutkan fā’il (pelaku) yakni Dzāt pemberi nikmat tersebut dengan redaksi أَنْعَمْتَ (menyebutkan dlamir mukhatab ت pada lafadz tersebut, yaitu Allah). Hal itu bertujuan untuk menjelaskan bahwa yang memberi segala macam nikmat dan karunia hanyalah Allah Swt semata.

Baca Juga: Menilik Pengertian ‘Amud Al-Quran dan Metodologinya ala Hamiduddin Farahi

Berbanding terbalik ketika membicarakan sesuatu yang berkaitan dengan kemurkaan, kesesatan dan semacamnya, Al-Quran tidak menyandarkannya langsung kepada Allah Swt, sebagaimana redaksi ٱلْمَغْضُوبِ (menggunakan shīgāt maf’ūl, tanpa menyebut Fā’il, yaitu Dzāt yang memurkai, yakni Allah), begitu juga redaksi ٱلضَّآلِّينَ (menggunakan shīghat Fā’il) itu karena semata-mata mereka sendirilah yang melakukan kesesatan.

Syaikh Ali As-Shabuni dalam Shafwah At-Tafasir menerangkan jika redaksi di atas konsisten mengikuti uslub (gaya bahasa) sebelumnya sebagaimana أَنْعَمْتَ, maka akan berbunyi غَضِبْتَ عَلَيْهِمْ وَالَّذِيْنَ أَضْلَلْتَهُمْ , yang artinya, “bukan jalannya orang-orang yang Engkau murkai dan orang-orang yang Engkau sesatkan.”

Beliau juga menambahkan:

فالشرّ لا ينسب إلى الله تعالى أدباً وإن كان منه تقديراً. الخير كله بيدك والشر لا ينسب إليك

“Adapun suatu keburukan tanpa dinisbatkan kepada Allah untuk menjaga adab. Walaupun hal itu sejatinya merupakan takdir dari-Nya. Kebaikan ada pada kuasa-Mu seluruhnya tanpa menisbatkan suatu keburukan pun pada-Mu”.

Memang benar, ada hakikatnya segala sesuatu baik berupa nikmat ataupun adzab tidak lain dari sisi Allah Swt tanpa terkecuali. Jika itu berupa nikmat, maka semata-mata karunia Allah. Dan jika berupa adzab, maka yang demikian adalah bentuk keadilan dari Allah.

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī menjelaskan dalam Nadzam Jauharatut Tauhīd-nya:

فَإِنْ يُثِبْنَا فَبِمَحْضِ الْفَضْلِ # وَ إِنْ يُعَذِّبْ فَبِمَحْضِ العَدْلِ

“Maka jika Dia memberi pahala, itu adalah semata-mata karena karunia-Nya, dan jika dia memberi adzab (menyiksa) pada kita, adalah semata-mata karena keadilan-Nya”.

Pembahasan mengenai Fann At-Taaddub pada QS. al-Fatihah [1]:7 senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Prof. Dr. Fadhil Shalih As-Samarrai, seorang pakar nahwu dan konsentrasi Ta’bīr Qur’ānī (ungkapan-ungkapan dalam Al-Quran). Beliau meneliti perbedaan antara redaksi آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ (mereka yang telah Aku beri Kitab) dan أُوتُواْ الْكِتَابَ (yang yang telah diberikan Kitab).

Menurut beliau, uslūb آتَيْنَاهُمْ الْكِتَابَ yang menyebutkan fā’il (pelaku) yakni Dzāt Sang Pemberi Kitab pada pada dlamīr (نَا) yang kembali pada Allah Swt menunjukkan suatu kebaikan serta digunakan untuk memuji mereka yang diberi Kitab.

Sedangkan uslub أُوتُواْ الْكِتَابَ yang menggunakan shīghāt kata kerja mabnī majhūl (bentuk pasif) dalam arti lain menyembunyikan fā’il (pelaku), yakni Dzāt yang memberi Kitab menunjukkan sesuatu yang buruk atau digunakan untuk mencaci dan menghinakan.

Beliau mengumpulkan beberapa ayat yang terkait uslub الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ, di antaranya:

 (الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلاَوَتِهِ 121) البقرة)

 (أُوْلَئِكَ الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ (89) الأنعام)

 (وَالَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَفْرَحُونَ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ (36) الرعد)

Mari kita coba telisik lebih dalam salah satu dari ayat di atas, pada surah Al-Baqarah:121:

ٱلَّذِينَ ءَاتَيْنَٰهُمُ ٱلْكِتَٰبَ يَتْلُونَهُۥ حَقَّ تِلَاوَتِهِۦٓ أُو۟لَٰٓئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِۦۗ وَمَن يَكْفُرْ بِهِۦ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْخَٰسِرُونَ

“Orang-orang yang telah Kami beri Kitab, mereka membacanya sebagaimana mestinya, mereka itulah yang beriman kepadanya. Dan barangsiapa ingkar kepadanya, mereka itulah orang-orang yang rugi”.

Pada ayat di atas, mereka yang telah diberi Kitab oleh Allah merupakan hamba-hamba yang baik dan terpuji, mereka membaca Kitab sebagaimana mestinya Kitab tersebut harus dibaca.

Ayat-ayat lain yang senada, jika kita telisik lebih dalam maka akan ditemukan fakta yang sama.

Berikut beberapa ayat yang menggunakan redaksi أُوتُواْ الْكِتَابَ.

 (وَلَمَّا جَاءهُمْ رَسُولٌ مِّنْ عِندِ اللّهِ مُصَدِّقٌ لِّمَا مَعَهُمْ نَبَذَ فَرِيقٌ مِّنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ كِتَابَ اللّهِ وَرَاء ظُهُورِهِمْ كَأَنَّهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ (101) البقرة)

 (وَلَئِنْ أَتَيْتَ الَّذِينَ أُوْتُواْ الْكِتَابَ بِكُلِّ آيَةٍ مَّا تَبِعُواْ قِبْلَتَكَ (145) البقرة)

(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوَاْ إِن تُطِيعُواْ فَرِيقًا مِّنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ يَرُدُّوكُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ كَافِرِينَ (100) آل عمران)

Jika kita teliti salah satu ayat di atas, misalnya pada Al-Baqarah 2:101:

وَلَمَّا جَآءَهُمْ رَسُولٌ مِّنْ عِندِ ٱللَّهِ مُصَدِّقٌ لِّمَا مَعَهُمْ نَبَذَ فَرِيقٌ مِّنَ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ كِتَٰبَ ٱللَّهِ وَرَآءَ ظُهُورِهِمْ كَأَنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ

“Dan setelah datang kepada mereka seorang Rasul (Muhammad) dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, sebagian dari orang-orang yang diberi Kitab (Taurat) melemparkan Kitab Allah itu ke belakang (punggung), seakan-akan mereka tidak tahu”.

Ayat tersebut menegaskan bahwa mereka yang telah diberi Kitab adalah orang-orang yang enggan menerima kebenaran dan mengamalkan isi dari Kitab tersebut, seakan-akan mereka berlagak tidak mengetahui bahwa apa yang ada di dalam Kitab (Taurat) adalah kebenaran yang harus mereka jalankan.

Baca Juga: Uraian Lengkap Soal Terjemah Al-Quran dan Perbedaannya dengan Tafsir

Demikianlah di antara kemukjizatan bahasa Al-Qur’an yang berhasil diteliti oleh para ulama. Tentu saja masih banyak sekali yang belum ditemukan karena keterbatasan akal manusia. Sedangkan Al-Quran sendiri adalah samudera yang amat dalam dan tak bertepi. Dan salah satu keindahan tersebut adalah Fann Taaddub (seni tata krama) yang terdapat di dalamnya.

Jika pada sesama makhluk kita dituntut untuk bertata krama yang baik dan santun, apalagi terhadap Allah Sang Khāliq?

Maka, dari Balaghah Al-Quran kita bisa meneladani adab-adab kepada Allah Swt. Rahasia Al-Quran sangatlah melimpah, sedangkan kemampuan manusia amatlah terbatas. Wallahu a’lam bis Showab

Huruf Muqathaah: Cara Baca dan Pembagiannya dalam Ilmu Tajwid

0
Huruf Muqathaah
Huruf Muqathaah

Salah satu diantara sepuluh macam bentuk fawatih as-suwar (pembuka-pembuka surat) di dalam al-Quran adalah huruf-huruf muqathaah. Dikenal juga dengan sebutan huruf-huruf fawatih as-suwar. Huruf-huruf muqatha’ah merupakan huruf-huruf yang cara membacanya terputus-putus.

Artikel ini mengulas cara membaca huruf-huruf muqathaah dalam ilmu Tajwid, yang berbeda dengan cara membaca rangkaian huruf hijaiah lainnya. Selain itu, diharapkan para pembaca al-Quran juga mengetahui pembagian huruf-huruf muqatha’ah dari segi panjang bacaannya, yang dikutip dari kitab al-Mufid fi ‘Ilm at-Tajwid karya Abdurrahman bin Sa’dullah Aytani.

Cara Membaca Huruf Muqathaah

Cara membaca huruf muqathaah adalah dengan mengeja atau menyebutkan nama hurufnya. Misalnya membaca dengan “nun” pada huruf muqatha’ah yang terdapat dalam Q.S. Al-Qalam [68], bukan dibaca seperti memberi harakat atau dibaca “na”.

Baca Juga: Pengertian dan Macam-Macam Shifatul Huruf dalam Ilmu Tajwid

Huruf muqathaah berjumlah 14 huruf dan menjadi pembuka (fawatihus as-suwar) di 29 surat dalam al-Quran. Keempat belas huruf itu adalah

ا ح ر س ص ط ع ق ك ل م ن ه ي

اَلِفْ، حَا، رَا، سِيْنْ، صَادْ، طَا، عَيْنْ، قَافْ، كَافْ، لَامْ، مِيْمْ، نُوْنْ، هَا، يَا

Membaca keempat belas huruf di atas adalah dengan menyebutkan nama hurufnya yaitu alif, ha, ra, sin, shad, tha, ain, qaf, kaf, lam, mim, nun, ha, dan ya. Selain itu, disesuaikan dengan panjang bacaannya juga yang akan dibahas berikutnya.

Hal lain yang juga perlu diperhatikan ketika membaca huruf-huruf muqatha’ah adalah ghunnah (dengung). Misalnya dengung diantara huruf lam dan mim ketika membaca huruf muqatha’ah yang ada di Q.S. Al-Baqarah [2]

(الم (اَلِفْ لَامْ مِّيْمْ

Pembagian Huruf Muqathaah

Ditinjau dari segi panjang bacaannya (madd), huruf-huruf muqatha’ah terbagi menjadi 4 macam: tidak dibaca panjang, panjang 2 harakat, panjang 4 atau 6 harakat, dan panjang 6 harakat. Rinciannya sebagai berikut:

Pertama, huruf muqatha’ah yang tidak dibaca panjang. Hanya ada 1 huruf yaitu huruf alif. Ketika membaca alif, cukup mengatakan “alif” tanpa ada madd atau bacaan panjang baik di bunyi “a” maupun “lif” nya. Huruf muqatha’ah berupa alif dapat ditemukan misalnya pembuka Q.S. Al-Baqarah [2].

Kedua, huruf muqatha’ah yang dibaca panjang sekitar 2 harakat. Terdapat 5 huruf yaitu huruf ya, tha, ra, ha (ح), dan ha (ه). Cara membacanya cukup dengan memanjangkan tanpa ada tambahan bunyi hamzah mati di akhir.

Contoh membaca huruf muqatha’ah yang ada dalam Q.S. Thaha [20] dengan mengatakan “thaa – haa”. Contoh lainnya dalam Q.S. Yasin [36] dengan membaca “yaa – siiiiiin”, bukan dibaca “yasa”.

Ketiga, huruf muqatha’ah yang dibaca panjang sekitar 4 atau 6 harakat. Dua pilihan panjang bacaan ini disebabkan terdapat bacaan lin di dalam hurufnya. Huruf muqatha’ah tersebut adalah huruf ain.

Baca Juga: Pengertian Makharijul Huruf dalam Ilmu Tajwid dan Pembagiannya Menurut Ulama

Huruf muqatha’ah ain dapat ditemukan di Q.S. Maryam [19] dan Q.S. as-Syura [42]. Contoh membaca huruf muqatha’ah yang ada di Q.S. Maryam [19] adalah “kaaaaaaf – haa – yaa – aiiiin – shaaaaaad” atau “kaaaaaaf – haa – yaa – aiiiiiin – shaaaaaad”.

Keempat, huruf muqatha’ah yang dibaca panjang sekitar 6 harakat. Ada 7 huruf yang dibaca demikian. Ketujuh huruf itu adalah huruf sin, shad, qaf, kaf, lam, mim, dan nun. Dalam mushaf, ketujuh huruf ini diberi tanda garis melengkung di atas hurufnya yang menandakan dibaca panjang sekitar 6 harakat.

Contoh membaca huruf muqatha’ah yang ada di Q.S. Al-Araf [7] dengan mengatakan “alif – laaaaaam – miiiiiim – shaaaaaad”, bukan dibaca alamasha atau tidak dipanjangkan sekitar 6 harakat.

Ibnu Athiyyah, Mufasir Al-Quran dari Granada Spanyol

0
ibnu athiyyah
ilustrasi ibnu athiyyah (islami.co)

Kegemilangan Islam di Andalusia (sekarang Spanyol) telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap peradaban dan pemikiran Islam. Hal ini dibuktikan dengan kemajuan dalam bidang keilmuan baik sains maupun agama. Banyak para ilmuwan filsuf dan ahli tafsir yang lahir dari rahim Islam di Andalusia, salah satunya adalah Ibnu Athiyyah.

Ibnu Athiyyah adalah seorang ahli tafsir Al-Quran yang lahir dari peradaban Islam di Granada, Andalusia. Ia mempunyai satu karya terbesar di bidang tafsir yaitu Tafsir al-Muharrar al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-Aziz. Tafsir ini menjadi salah satu rujukan kelompok Aswaja dalam kajian tafsir. Berikut penjelasan biografi Ibnu Athiyyah, kiprah, dan karya-karyanya.

Biografi Ibnu Athiyyah

Sebelum mengemukakan lebih jauh terkait biografi Ibnu Athiyyah, perlu ditegaskan bahwa Ibnu Athiyyah yang dimaksud dalam artikel ini ialah orang Andalusia bukan orang Damaskus (al-Dimasyqi). Ibnu Athiyyah bernama lengkap Abu Muhammad ‘Abd al-Haqq bin Galib bin ‘Abdurrahman bin Ghalib bin ‘Abd al-Rauf bin Tamam bin ‘Abd Allah bin Tamam bin Athiyyah bin Khalid bin Athiyyah al-Muharibi al-Dakhil (Abdul Wahab Fayid, Manhaj Ibnu Athiyyah fi Tafsir al-Quran al-Karim).

Terkait nasab beliau, terdapat khilafiyah (perbedaan pendapat) di kalangan ulama sebagaimana diungkapkan oleh Al-Rahalliy al-Faruq, et.al dalam al-Ta’rif bi al-Muallif dalam Ibnu Athiyyah, Al-Muharrar al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-Aziz. Syamuddin al-Dzahaby misalnya, Abdurrahman bin Ghalib bin Tammam bin Athiyyah. Sedangkan al-Suyuthi mengatakann Abdul Malik bin Ghalib bin Tamam bin Athiyah. Bahkan versi Syamsuddin al-Dawudi lebih panjang Abdurrahman bin Abdul Rauf bin Tammam bin Abdullah bin Tammam bin Athiyyah. Dengan demikian, nama Athiyyah bukan nama ayahnya melainkan kakeknya.

Ibnu Athiyyah lahir di Granad, Spanyol pada penghujung abad ke-5 atau 481 H pada masa awal pemerintahan Bani Murobitin. Bani Murobitin atau Dinasti Murobitun adalah produk politik dalam sejarah Islam Andalusia bersama Dinasti Muwahhidun. Ia wafat pada 25 Ramadhan 541 H di Lorca (Luraqah Andalusia), Murcia, Spanyol (Abu al-Hasan ‘Ali bin Abd Allah bin al-Hasan al-Nabahy, Tarikh Qudhah al-Andalus dan al-Hafidz Syams al-Din Muhammad bin Ahmad al-Dawudiy, Thabaqat al-Mufassirin dan Hasan Yunus Abidu, Dirasah wa Mabahits fi Tarikh al-Tafsir wa Manahij al-Mufassirin dan Muhammad Syakir al-Katbi, Fawat al-Wafayat wa al-Dzayl ‘alaiha).

Beliau hidup di lingkungan keluarga akademis dan agamis sebagaimana disampaikan Abd Wahhab Fayid dalam Manhaj Ibnu Athiyyah. Ayahnya merupakan ulama besar pada masanya, yakni Al-Imam al-Hafidz Abu Bakr Ghalib bin ‘Athiyyah. Ia adalah keturunan Arab dari Bani ‘Athiyyah. Kakenya adalah seorang pejuang yang membebaskan Andalusia bersama Tariq bin Ziyad.

Sejak kecil Ibnu ‘Athiyyah memang dididik untuk mencintai ilmu. Maka tak heran, jika ia banyak melakukah rihlah intelektual (rihlah ilmiyyah) dan nyantri kepada para berbagai ulama (Ibnu Farhun, al-Dibaj al-Muhadzab dan al-Dzahaby, Al-Tafsir wa al-Mufassirun).

Abd Wahhab Fayid mennyampaikan bahwa ada dua hal esensial yang sangat berpengaruh terhadap Ibnu ‘Athiyyah sehingga menjadikannya ulama besar, yaitu nasab dan lingkungan keluarga ilmiah serta kecerdasan dan ketekunannya dalam menuntut ilmu. Selain itu penguasaan berbagai disiplin keilmuannya semakin melengkapi dirinya sebagai seorang pakar.

Perjalanan Intelektual

Sebagaimana tradisi para ulama, Ibnu Athiyyah juga berkunjung ke berbagai wilayah untuk menimba ilmu, seperti fikih, hadits, qiraat, tafsir dan bahasa. Tercatat ada berbagai daerah yang dikunjunginya yaitu Cordoba, Murcia, Valencia, dan Sevilla. Ibnu Athiyyah juga seorang Malikiyah dan qadhi (hakim) di daerah Almeria, Andalusia.

Fayid mengutip al-Fahrasat, karya Ibnu Athiyyah bahwa ada 30 orang guru Ibnu Athiyyah, 7 orang di antaranya sangat mendominasi pemikiran Ibnu Athiyyah, yakni (1) ayahnya sendiri, seorang ahli hadits; (2) Abu Ali al-Husain bin Muhammad al-Gasaani (427-498 H/ 1035-1104 M), ahli hadits; (3) Abu Ali al-Husain bin Muhammad al-Shadafy (w. 514 H); (4) bu al-Hasan Aliy bin Ahmad bin Khalaf al-Anshariy atau Ibnu al-Badzis (444-528 H/ 1052-1133 M), ahli bahasa dan qiraaat;

(5) Abu Muhammad Abdurrahman bin Muhammad bin Itab al-Qurthuby, ahli fiqih, qiraat dan tafsir; (6) Abu Bahr Sufyann bin al-Ashi’ bin Ahmad al-Asadi, ahli fiqih; (7) Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ali bin Abdul Aziz bin Hamadin al-Taglabi, ahli fiqih dan sastra Arab.

Dari latar belakang kepakaran guru-gurunya sangat membentuk kepribadian Ibnu Athiyyah dan pemikirannya sebagai ulama yang menguasai di berbagai disiplin keilmuan (ahli tafsir, hadits, fiqih, qiraat, bahasa dan sastra Arab). Selain mewarisi keilmuan guru-gurunya, ia juga memiliki banyak murid yang terkenal di antaranya,

Al-Hafidz al-Tsiqah Abu Bakr Muhammad bin Khair bin Umar al-Isybilli (w. 575 H/ 1179 M), al-Imam al-Faqih Abu Bakar Muhammad bin Ahmad bin Abdul Malik bin Abi Jamrah al-Mursiy (w. 599 H/ 1202 M), al-Imam al-Hafidz Abu Qasim Abdurrahman bin Muhammad bin Abdullah al-Anshariy atau dikenal dengan Ibnu Hubaysy (w. 584 H/ 1188 M), al-Imam al-Faylasuf Abu Bakr Muhammad bin Abd al-Malik bin Thufayl al-Qaysiy (w. 581 H/ 1185 M) atau dikenal Ibnu Thufayl, al-Imam al-‘Alim al-Tsiqah Abu Ja’far Ahmad bin Abdurrahman bin Muhammad bin Madha al-Nakhamiy al-Qurthubiy (w. 592 H/ 1195 M).

Karya-karya

Ibnu Athiyyah merupakan ulama produktif yang banyak menghasilkan karya, akan tetapi yang sampai kepada kita atau generasi sekarang hanya tiga buah karya, yaitu Tafsir Al-Muharrar al-Wajiz, Al-Ansab fi al-I’tiqad ‘ala Iqtibas al-Anwar wa al-Tamas al-Azhar fi Ansab al-Shahabah li al-Rasyathi dan Al-Fahrasat fi Kitab al-Tarajim al-Andalusiyah. Bahkan konon, penulisan karya terbesarnya al-Muharrar dimulainya sejak belia. Sungguh luar biasa. Ia seringkali dibangunkan ayahnya 2 kali dalam semalam untuk menulis. Semangat menulis ilmiahnya sudah dipupuk sejak dini oleh keluarganya. Sebuah hal yang patut diteladani bagi keluarga di era kekinian.

Kesan Para Ulama

Beliau juga mendapat pujian dari berbagai ulama akan ke’aliman dan kepakarannya. Az-Zahaby dalan Siyaar ‘Alam al-Nubala menyebut beliau sebagai imam al-‘Allamah, Imam dalam fiqih, tafsir, bahasa Arab, mufassirin, pintar, cerdas. Senada dengan al-Zahaby, Ibnu Furhun dalam al-Dibaj al-Mudzhib dan Ibn Basykuwaal dalam al-Shilah menyematkan mutafannin fi al-ulum (pakar dalam berbagai ilmu) dan waasi’ al-ma’rifah (luas cakrawala pandang).

Ibnu ‘Athiyyah adalah orang yang cerdas, rajin dan cinta akan ilmu pengetahuan. Karena itulah, ia senang berkelana ilmiah mendatangi guru-guru atau ulama di beberapa kota besar di wilayah Andalusia sebagaimana penjelasan di muka. Ibnu Athiyyah merupakan mu’awwil al-Asy’ari (orang yang suka mena’wil ayat dan berpaham Asy’ari).

Kelahiran tafsir al-Muharrar menjadi penting sebab dibuktikan dengan kemunculan beberapa tafsir di Barat setelahnya, seperti Tafsir al-Bahr al-Muhith karya Ibnu Hayyan, Tafsir Jami’ al-Ahkam karya Imam al-Qurthuby dan Jawahir al-Hisan fi Tafsir al-Quran karya al-Sa’alabi di Maghrib (Maroko). Sebagai tafsir yang berhaluan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, kita perlu untuk mempelajarinya untuk menambah wawasan dalam beragamal. Wallahu A’lam.

Menilik Makna Ummatan Wasatha dalam Surat Al-Baqarah Ayat 143 Dari Berbagai penafsiran

0
ummatan wasatha
ummatan wasatha

Cita-cita yang diharapkan oleh Al-Quran adalah keseimbangan dalam menjalani kehidupan. Kesimbangan yang dimaksud yaitu keseimbangan antara kebutuhan jasmani dan rohani, serta seimbang dalam antara kehidupan duniawi dan ukhrawi. Allah merekam konsep umat yang berkeseimbangan atau yang disebut ummatan wasatha dalam Al-Quran QS. al-Baqarah [2]: 143,

وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا

Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ”umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (Q.S. al-Baqarah [2]: 143)

Asbab an-Nuzul

Mayoritas ulama berpendapat bahwa turunnya ayat 143 pada surah al-Baqarah di atas berawal dari penantian Rasulullah akan turunnya perintah untuk memindahkan arah kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah. Imam Ibn Katsir dalam kitab tafsirnya, Tafsir al-Quran al-‘Adhim, juz 1, 458, menyatakan bahwa:

قال علي بن أبي طلحة عن ابن عباس: كان أول ما نُسخ من القرآن القبلة، وذلك أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لما هاجر إلى المدينة، وكان أكثر أهلها اليهود، فأمره الله أن يستقبل بيت المقدس، ففرحت اليهود، فاستقبلها رسول الله صلى الله عليه وسلم بضَعةَ َ عشَر ً شهرا

Peristiwa pemindahan kiblat shalat merupakan hukum pertama yang dinasakh dalam Al-Quran. Ketika Rasulullah hijrah ke kota Madinah, saat itu mayoritas penduduk Madinah masih beragama Yahudi. Allah SWT memerintahkan beliau untuk menghadap ke arah Baitul Maqdis untuk menarik simpati penduduk Madinah yang merasa senang dengan hal tersebut. Maka, pada masa awal di Madinah Rasulullah menghadap ke Baitul Maqdis selama beberapa puluh bulan. Setelah itu turunlah QS. al-Baqarah[2]: 144.

Baca juga: Inilah Tinjauan Tafsir Ummatan Wasatha Menurut M. Thalibi

Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. (QS. al-Baqarah [2]: 144)

Kemudian ada seorang muslim berkata “kami ingin tahu tentang orang-orang muslim yang meninggal sebelum kiblat kita berubah dan bagaimana shalat kita ketika msih menghadap ke baitul maqdis?” lalu Allah swt menurunkan QS. al-Baqarah[2]: 143.

Makna ummatan wasatan dari ragam penafsiran

Ahmad Musthafa al-Maraghi dalam karya tafsirnya al-Maraghi juz 2: 93 menjelaskan bahwa ummatan wasaṭha merupakan sikap umat Islam yang berada di tengah-tengah atau sebagai penengah di antara dua kubu. Pertama, orang-orang yang selalu cenderung pada kepentingan dunia, seperti kaum Yahudi dan Musyrikin.

Kedua, orang-orang yang membelenggu diri dengan adat kebiasaan dan kepentingan rohaniah, sehingga meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawiyah, termasuk kebutuhan jasmani mereka. Di antara mereka adalah kaum Nasrani dan Sabi’in.

Pandangan al-Maraghi tersebut tidak jauh berbeda dengan pendapat ath-Thabari yang memahami kata al-wasaṭ dengan keadilan atau proporsional. Dan kata ini pun semakna dengan kata al-khiyār yang disebut sebelumnya. Sebab hanya orang-orang adil (bersikap seimbang) yang disebut orang-orang terpilih di antara manusia.

Selanjutnya, ath-Thabari mengemukakan empat belas riwayat yang menjelaskan mengenai makna al-wasaṭ. Tiga belas riwayat sama-sama mengartikannya dengan keadilan. Berikut salah satu riwayatnya sebagimana dalam Tafsir al-Maraghi, terjemahan dari K. Anshori Umar Sitanggal, Hery Noer Aly, Bahrun Abu Bakar, Cet. 2.

عن أبي صالح، عن أبي سعيد، عن النبي صلى الله عليه وسلام في قوله: (وكذالك جعلناكم أمة وسطا) قال: عدول

Pengertian kedua mufassir tersebut dapat dipahami bahwa konsep ummatan wasaṭha merupakan masyarakat yang seimbang, yang berdiri di tengah tengah antara dua kelompok ekstrem, yaitu kecenderungan berlebihan kepada kepentingan dunia dan kebutuhan jasmani seperti yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi, dan kecenderungan membelenggu diri secara total dari hal-hal yang bersifat duniawi seperti yang dilakukan oleh orang-orang Nasrani.

Baca juga: Inilah 3 Syarat Utama Implementasi Islam Wasathiyah Menurut Quraish Shihab

Dalam At-Tafsîr al-Munîr juz 2, 102, Wahbah az-Zuhayli menjelaskan bahwa wasath merupakan sesuatu yang berada ditengah-tengah atau intisari sesuatu, kemudian makna tersebut digunakan juga untuk sifat atau perbuatan yang terpuji. Karena semua sifat yang terpuji adalah selalu bermuara pada sikap pertengahan, seperti contoh, keberanian merupakan sikap pertengahan dari sifat pengecut dan nekad. Tetapi ia juga menambahkan bahwa disebut juga sebagai al-khiyar (terbaik) karena ia mampu memadukan antara ilmu (teori) dan amal (praktek)

Demikian pula, M. Quraish shihab dalam tafsirnya al-Misbah juz 2, 98. Beliau menambahkan bahwa konsep ummatan wasatha. Selain kalimat ummatan wasatha, Al-Qur‟an juga menyebutkan sebuah istilah untuk sebuah kelompok masyarakat yang memiliki makna kurang lebih sama yaitu; ummatan muqtashidah. Kalimat tersebut terdapat dalam QS. al-Ma’idah [5]: 66 sebagai berikut:

وَلَوْ اَنَّهُمْ اَقَامُوا التَّوْرٰىةَ وَالْاِنْجِيْلَ وَمَآ اُنْزِلَ اِلَيْهِمْ مِّنْ رَّبِّهِمْ لَاَكَلُوْا مِنْ فَوْقِهِمْ وَمِنْ تَحْتِ اَرْجُلِهِمْۗ مِنْهُمْ اُمَّةٌ مُّقْتَصِدَةٌ ۗ وَكَثِيْرٌ مِّنْهُمْ سَاۤءَ مَا يَعْمَلُوْنَ ࣖ

Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil dan (Al-Qur’an) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka. Di antara mereka ada sekelompok yang jujur dan taat. Dan banyak di antara mereka sangat buruk apa yang mereka kerjakan. (Q.S. al-Maidah [5]: 66)

Menurut al-Maraghi, kelihatan bahwa makna ummah muqtashidah ini hampir identik dengan ummatan wasata karena keduanya mengandung makna moderat dan ketidakterjebakan pada titik ekstrim. Keduanya juga berfungsi memelihara konsistensi penerapan nilai-nilai utama di tengah-tengah berbagai komunitas di sekitarnya yang telah menyimpang.

Bedanya, cakupan ummah muqtashidah adalah sub komunitas seagama (Yahudi atau Nashrani), yang berprilaku pertengahan dalam melakukan ajaran agamanya, dan kelompok pertengahan itulah yang cepat menerima kebenaran dan menyambut upaya-upaya perbaikan atau pembaharuan.

Sedangkan ummatan wasatha adalah komunitas seagama itu sendiri, yakni Islam yang berada di antara dua komunitas Yahudi dan Nashrani. (Al-Maraghi, Jami’ al-Bayan, Juz 2, 102)

Demikian pemaknaan ummatan wasatha yang dilihat dari ragam penafsiran. Dari sini, setidaknya ada dua poin penting yang bisa ditarik sebagai kesimpulan. Pertama, Allah swt. menyebut umat Nabi Muhammad saw. sebagai Ummatan Wasatha karena konsep keseimbangan mereka dalam beragama, tidak cenderung kepihak kanan seperti orang-orang Yahudi maupun pihak kiri sebagaimana umat Nasrani.

Kedua, Ummatan Wasatha adalah potret masyarakat yang seimbang, masyarakat ideal yang berada di tengah-tengah dua kutub ekstrem, yaitu kecenderungan berlebihan kepada kepentingan dunia (kebutuhan jasmani) dan kecenderungan berlebihan membelenggu diri secara total dari hal-hal yang bersifat duniawi. Wallahu A’lam.