Beranda blog Halaman 421

Riwayat Manuskrip Al-Qur’an Bone Sulawesi Selatan di Museum Aga Khan Kanada

0
Manuskrip Al-Qur’an Bone
Manuskrip Al-Qur’an Bone

Khazanah mushaf Nusantara selalu menyajikan kekayaan yang luar biasa. Salah satunya adalah manuskrip Al-Qur’an Bone Sulawesi Selatan yang kini ada di Museum Aga Khan Kanada. Rasa penasaran saya membawa pada pencarian riwayat perpindahan mushaf ini, bagaimana bisa ke sana?

Manuskrip Al-Qur’an Bone yang kini ada di Museum Aga Khan Kanada memiliki kode AKM 00488. Ada beberapa penelitian mengenai mushaf ini. Annabel Teh gallop mencatatnya dalam artikel The Bone Qur’an from South Sulawesi”, Kemudian Juhrah M.Adib dan Sabil Mokodenseho mencatatnya dalam “Mushaf Bone: Telaah Aspek Kodikologi, Tulisan, Teks, dan Visual Al-Qur’an”. Sementara Ali Akbar, peneliti Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an hanya membahas sedikit dalam Mushaf Kuno Nusantara Sulawesi & Maluku” .

Ali Akbar menyebut bahwa manuskrip Al-Qur’an Bone dalam inventarisasinya, memiliki kesamaan dengan mushaf-mushaf Bugis yang tersebar di Indonesia. Setidaknya ada 5 mushaf yang masih dalam satu akar yang sama. Pertama mushaf koleksi Masjid Raya Sultan Riau Pulau Penyengat yang berkolofon Kedah (Malaysia sebelah utara) dengan tanggal 25 Ramadan 1166 H (26 Juli 1753), kedua mushaf koleksi Perpustakaan Nasional RI Jakarta nomor A.49 dengan tarikh Sya’ban 1143 H (Februari/Maret 1731, ketiga Mushaf Sultan Ternate bertarikh 9 Zulhijah 1185 (14 Maret 1772), keempat mushaf lain di Museum Babullah istana Ternate (tanpa kolofon), dan kelima Mushaf Bone yang kini di Museum Aga Khan dengan tarikh 25 Ramadan 1219 H (28 Desember 1804).

Mushaf-mushaf Bugis ini memiliki keunikan tersendiri, Ali Akbar menyebut ada 4 aspek keunikannya. Pertama, usia naskah mushaf Bugis rata-rata bertarikh abad ke-18. Kedua, mushaf-mushaf Bugis berpindah-pindah karena sesuai tradisi orang Bugis yang suka berlayar, sehingga tersebar di berbagai wilayah. Ketiga, mushaf Bugis ini memiliki fitur yang paling lengkap di antara mushaf Nusantara lainnya. Sehingga selain ayat-ayat Al-Qur’an, mushaf Bugis juga mencantumkan teks ulumul Qur’an, daftar imam qiraat, doa khatm Al-Qur’an, statistik jumlah huruf, dan catatan lainnya yang antar mushaf berbeda-beda. Keempat, mushaf Bugis pada umumnya memuat iluminasi yang indah.

Baca juga: Jejak Manuskrip Al-Quran Malaysia di Pulau Dewata

Pada kasus Mushaf Bone AKM 00488, mushaf ini bahkan disebut oleh Annabel sebagai the most complex Southeast Asian Qur’an manuscript yet known (manuskrip Al-Qur’an Asia Tenggara paling kompleks yang pernah diketahui). Ini yang kemudian diuraikan dalam artikelnya dan dikuatkan juga oleh Juhrah M.Adib dan Sabil Mokodenseho. Namun dalam tulisan ringan ini hendak menelusuri sisi historisitasnya saja. Kali lain, akan membahas bagaimana keunikan fisiknya.

Kolofon Al-Qur’an Bone

Seperti yang telah disebutkan bahwa mushaf ini begitu kompleks. Maka tak heran jika kolofonnya juga penuh informasi. Kolofon ini ditulis dengan bahasa Arab yang berarti sebagai berikut.

“Maka selesai sudah pembuatan mushaf agung ini, yang indah dan megah, pada hari Selasa di Bulan Ramadhan yang penuh rahmat pada shalat ashar di hari -25 Ramadhan, di Kota Layka, pada masa Raja kita Sultan Ahmad al-Salih, sang pnerang bagi umat dan agama. Semoga Allah memperpanjang hidupnya dan melindungi keadilannya di tanah Bone di tahun 1219 H. Teriring sholawat dan salam melalui mushaf ini dengan tulisan tangan al-faqir al-haqir al-dhaif Ismail ibn Abdullah Al-Jawi al-Makassari, Makassar adalah asal dan tempat kelahirannya. Syafi’i adalah madzhabnya dan Naqashabandiyah adalah thariqahnya. Semoga Allah mengampuninya dan keturunanya dan semua umat Muslimin dan Muslimat, Amin.”

Begitu banyak informasi yang disajikan penulis mushaf untuk sang pembaca. Selain itu, mushaf ini patut disebut sebagai mushaf yang istimewa karena masih terawat dengan baik dan lengkap kondisinya 30 juz.

Dari Indonesia Hingga ke Kanada

Annabel dalam penelitiannya menyebutkan bahwa untuk kali pertama ia meneliti mushaf ini ada di Balai Lelang Christie London, Inggris pada tahun 2004.  Balai Lelang Christie ini merupakan salah satu balai lelang tertua di dunia yang menjual karya seni, furnitur, perhiasan, dan barang lainnya. untuk melihat koleksi lain, dalam liputan 2018 lalu, balai lelang ini pun memamerkan koleksi barang-barang milik Stephen Hawking.

Baca juga: Jejak Manuskrip Qiraat Al-Quran di Kalimantan Selatan

Kemudian manuskrip Al-Qur’an Bone ini berpindah tangan ke Aga Khan Trust for Culture yang bertempat di Jenewa Swiss. Di sinilah penelitian Annabel yang lebih detail dilaksanakan pada bulan Juni tahun 2008.  Aga Khan Trust for Culture merupakan agensi Jaringan Pengembangan Aga Khan yang menangani berbagai koleksi seni rupa dan warisan islam. Sebagai tambahan informasi, Aga Khan yang dimaksud merupakan Pangeran Shah Karim Al Hussaini (Aga Khan IV), seorang imam ke-49 dari Syiah Ismaili Nizari. Selanjutnya pada tahun 2014, Manuskrip Al-Qur’an Bone pun ikut diboyong ke Museum Aga Khan di Toronto Kanada.

Untuk melihat bagaimana kondisi salah satu mushaf terbaik dari Nusantara ini silahkan klik link ini. Dari berbagai riwayat perpindahan mushaf ini, nampaknya kita perlu melakukan refleksi. Al-Qur’an Bone ini ditulis di Indonesia, kemudian dibawa ke London Inggris, berpindah ke Swiss dan saat ini ada di Kanada. Inilah gambaran kecil dari karya intelektual kita yang masih banyak ada di luar negeri, kita tentu akan kesusahan untuk meneliti lebih lanjut naskah-naskah seperti ini, kecuali datang ke sana.

Baca juga: Surat Al-A‘raf [7] Ayat 55: Etika Berdoa Menurut Al-Qur’an

Salah satu usaha yang terbaik yang bisa kita lakukan saat ini adalah menjaga semua peninggalan nenek moyang kita yang masih ada di Indonesia, dan melestarikannya. Sekaligus terus mendukung upaya pihak-pihak berwenang mengembalikan segala kekayaan kita. Karena di berbagai kesempatan, saat saya bertemu dengan para peneliti naskah dan juga pihak Perpustakaan Nasional, selalu menyayangkan aksi jual beli naskah yang masih ada oleh oknum tak bertanggung jawab. Semoga lestari kekayaan negeri.

Wallahu a’lam[]

Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 66-70

0
tafsir surat al baqarah
Penamaan “Surat Al-Baqarah”

Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 66-70 berbicara mengenai maksud dan tujuan dari hukuman yang ditimpakan kepada Bani Israil. Tujuannya tidak lain agar menjadi peringatan bagi hambaNya yang lain untuk tidak melampaui batas-batas ketentuan Allah swt.


Baca juga: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 63-65


Dalam Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 66-70 juga berbicara mengenai perintah Nabi Musa kepada Bani Israil untuk menyembelih seekor sapi. Bani Israil kala itu memiinta secara detail sapi yang apa yang dimaksud oleh Nabi Musa as. Dan pada akhirnya hal tersebut membuat mereka kesusahan sendiri.

Ayat 66

Pada ayat ini Allah menerangkan maksud dari hukuman yang dijatuhkan kepada Bani Israil, untuk menjadi pelajaran bagi manusia agar mencegah perbuatan-perbuatan yang melampaui ketentuan-ketentuan Allah, baik untuk orang yang hidup pada waktu itu maupun yang hidup sesudahnya sampai hari kiamat.

Hukuman itu juga menjadi pelajaran yang baik bagi orang-orang yang bertakwa. Mereka senantiasa mengambil pelajaran dengan segala macam kejadian dan selalu menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang melampaui batas.

Ayat 67

Ketika Nabi Musa memerintahkan Bani Israil untuk menyembelih sapi, mereka berkata kepada Nabi Musa, “Apakah kamu mempermainkan kami? Kami bertanya kepadamu tentang perkara pembunuhan, lalu kamu menyuruh kami menyembelih seekor sapi. Ini ganjil sekali dan jauh daripada yang kami maksudkan.”

Seharusnya Bani Israil menjalankan perintah Nabi Musa itu dan menyambutnya dengan patuh dan taat, kemudian mereka menunggu apa yang akan terjadi sesudah itu, tetapi mereka berbuat sebaliknya.

Perkataan mereka itu sebagai bukti bahwa mereka sangat kasar tabiatnya dan tidak mengakui kekuasaan Allah. Nabi Musa menjawab, “Saya berlindung kepada Allah dari memperolok-olokkan manusia karena perbuatan itu termasuk perbuatan orang jahil, lebih-lebih bagi seorang rasul yang akan menyampaikan risalah dan hukum-hukum Allah kepada manusia.”

Ayat 68

Bani Israil berkata lagi kepada Nabi Musa, “Tanyakanlah kepada Tuhanmu agar diterangkan kepada kami tanda-tanda sapi yang dimaksudkan itu.” Nabi Musa menjawab, “Sapi yang harus disembelih itu bukan yang tua dan bukan pula yang muda, tetapi yang sedang umurnya. Turutilah perintah itu dan laksanakanlah segera.”

Mereka disuruh segera menaati perintah itu dan dilarang berkeras kepala. Sebenarnya mereka dapat melaksanakan penyembelihan sapi itu dengan keterangan yang sudah diberikan. Tetapi mereka membandel dan terus melanjutkan dan memperbanyak pertanyaan.


Baca juga: Inilah Tiga Sikap Kerukunan Umat Beragama Menurut Quraish Shihab


Ayat 69

Sesudah menanyakan umur sapi itu, mereka berkata, “Terangkanlah kepada kami, bagaimana warna sapi itu.” Mereka diberi jawaban yang cukup jelas yang dapat membedakan sapi yang dimaksud. Musa mengatakan bahwa warna sapi itu kuning tua dan menyenangkan orang yang melihatnya. Tetapi mereka tidak puas dengan jawaban tersebut. Mereka terus bertanya dan menambah pertanyaan yang mempersulit diri mereka sendiri.

Ayat 70

Pada ayat ini mereka menanyakan lagi tentang apa yang telah mereka tanyakan sebelumnya, “Sapi apakah itu, karena sapi itu masih samar bagi kami.” Semua itu sebenarnya sudah diterangkan. Tetapi mereka merasa belum sempurna penjelasan yang telah diberikan, bahkan bagi mereka masih samar-samar karena ciri-ciri sapi itu hampir serupa sehingga tidak dapat menemukan mana yang akan disembelih.

Dengan pertanyaan yang terakhir, mereka mengharapkan mendapat petunjuk tentang sapi yang dibutuhkan atau petunjuk kepada hikmah dan rahasia perintah penyembelihan sapi itu.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 71-73


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat Al-Waqiah Ayat 7-12: Merenungi Tiga Macam Kondisi Manusia

0
Surat Al-Waqiah ayat 7-12
Surat Al-Waqiah ayat 7-12

Masih seputar gambaran tentang keadaan di hari kiamat, surat Al-Waqiah ayat 7-12 menjelaskan tentang klasifikasi kondisi orang-orang pada saat itu. Pada kelompok ayat ini disampaikan bahwa manusia akan dibedakan menjadi tiga golongan, ashab al-maimanah (golongan kanan), ashab al-masy’amah (golongan kiri) dan as-sabiqun as-sabiqun.

Surat Al-Waqiah ayat 7-12 berbunyi,

وَكُنْتُمْ أَزْوَاجًا ثَلَاثَةً (7) فَأَصْحَابُ الْمَيْمَنَةِ مَا أَصْحَابُ الْمَيْمَنَةِ (8) وَأَصْحَابُ الْمَشْأَمَةِ مَا أَصْحَابُ الْمَشْأَمَةِ (9) وَالسَّابِقُونَ السَّابِقُونَ (10) أُولَئِكَ الْمُقَرَّبُونَ (11) فِي جَنَّاتِ النَّعِيمِ (12

dan kamu menjadi tiga golongan, (7) yaitu golongan kanan, alangkah mulianya golongan kanan itu,  (8) dan golongan kiri, alangkah sengsaranya golongan kiri itu, (9)  dan orang-orang yang paling dahulu (beriman), (10) merekalah yang paling dahulu (masuk surga).(11) Mereka itulah orang yang dekat (kepada Allah), Berada dalam surga kenikmatan, (12)

Sebagaimana diinformasikan dalam redaksi ayat, pada hari kiamat manusia akan terbagi menjadi tiga kelompok. kelompok pertama disebut ashab al-maimanah, kelompok kedua dinamakan ashab al-masy’amah, dan kelompok ketiga disebut as-sabiqun as-sabiqun. Klasifikasi ini ada yang menyebutnya dengan tempat atau kedudukan manusia di hari kiamat, seperti penjelasan yang dikutip dalam Tafsir At-Tabari. Jadi, ada dua kelompok yang bertempat di surga dan satu kelompok di neraka. Demikian lanjutan penjelasan At-Tabari.

Baca Juga: Kenali Kandungan Surat Al-Waqiah dan Beberapa Keutamaannya

Siapa itu ashab al-maimanah, ashab al-masy’amah dan as-sabiqun as-sabiqun?

Penggunaan kanan dan kiri dalam surat Al-Waqiah ayat 7-12 ini tidak lain mengambil dari bagian yang sudah familiar dengan kehidupan manusia yaitu sisi kanan dan kiri. Dalam tradisi di masyarakat, menurut Ibnu Asyur sisi kanan biasa diidentikkan dengan kebaikan, kemuliaan, pertolongan dan keberkahan; sedang sisi kiri sebaliknya, diasosiasikan dengan kejelekan. kemudharatan, tidak bermanfaat dan semacamnya. Di sinilah Al-Quran berinteraksi dengan sedikit kebiasaan masyarakat Arab saat itu.

Beragam penjelasan telah disampaikan oleh para mufasir dalam mendefinsikan tiga kelompok di atas. Al-Qurthubi senidri menyajikan banyak versi tentang identitas ashab al-maimanah, ashab al-masy’amah dan as-sabiqun. Ashab al-maimanah yaitu mereka yang dibawa di sisi kanan menuju ke surga, sedang ashab al-masy’amah adalah mereka yang dibawa di sisi kiri menuju ke neraka.

Selain itu, Al-Qurthubi juga mengutip beberapa identitas lain dari ashab al-maimanah yaitu mereka yang berada di sebelah kanan Nabi Adam yang kelak akan masuk surga. As-Samarqandi dalam Bahrul Ulum menambahkan bahwa posisi di sebelah kanan Nabi Adam itu ketika di hari kiamat; mereka juga orang-orang yang diberikan catatan amalnya dengan tangan kanan.

Ashab al-maimanah juga sebutan untuk ahl al-hasanat (orang-orang yang berbuat kebaikan) dan berkomitmen untuk selalu berbuat kebaikan. Syeikh Nawawi Al-Bantani juga menuturkan pengertian yang terakhir ini. Sementara untuk ashab al-masy’amah, singkatnya adalah kebalikan dari semua hal yang diidentikkan dengan ashab al-maimanah.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Waqiah Ayat 1-6: Hari Kiamat itu Pasti, Inilah Visualisasinya

Kemudian, bagaimana dengan kelompok as-sabiqun? Jika ashab al-maimanah adalah simbol kebaikan dan ashab al-masy’amah adalah simbol kejelekan, lalu as-sabiqun simbol dari apa? Ada yang menyebut as-sabiqun dengan mereka yang pernah shalat menghadap dua kiblat (masjid al-aqsha dan ka’bah di masjid al-haram) yang berarti generasi awal Islam, lebih dulu beriman kepada Allah dan rasulNya, lebih dulu melakukan perintah-perintah Allah dan RasulNya. Kurang lebih demikian intisari penjelasan dari para mufasir tentang as-sabiqun.

Selain beberapa pengertian di atas, ada keterangan tambahan dari At-Thabari yang menarik dan sedikit berbeda dalam mendefinisikan tiga kelompok di atas. Pengertian ini dikaitkan dengan ilmu dan hawa nafsu. Mereka yang memenangkan ilmunya daripada hawa nafsunya adalah as-sabiqun, mereka yang bisa menyeimbangkan antara ilmu dan hawa nafsunya ialah ashab al-maimanah dan mereka yang ilmunya tunduk pada hawa nafsunya disebut dengan ashab al-masy’amah.

Penafsiran yang sedikit berbeda juga ditambahkan oleh Al-Qurthubi. Orang-orang yang dari awal istiqamah berbuat kebaikan hingga akhir umurnya maka ia disebut dengan as-sabiqun. Orang-orang yang berbuat dosa yang kemudian menyadari kesalahannya dan bertaubat, mereka lah ashab al-maimanah. Orang-orang yang berbuat dosa, tidak pernah mau menyadari kesalahannya dan juga tidak mau bertaubat dan memperbaiki diri, mereka itu ashab al-masy’amah.

Dari beberapa pengertian di atas, kita juga dapat mengambil petunjuk bahwa hidup bahkan mati pun tidak hanya tentang kebaikan dan kejelekan, melainkan ada sesuatu yang lebih dari itu, di atas kebaikan yaitu kemuliaan. Tidak hanya ashab al-maimanah dan ashab al-masy’amah, tetapi ada pula as-sabiqun.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 8-11: Penyesalan Orang yang Ingkar di Hari Kiamat

Keadaan Manusia di Akhirat Berkaitan Erat dengan Amal Perbuatannya di Dunia

Terkait dengan macam kondisi manusia dalam surat Al-Waqiah ayat 7-12, Ar-Razi dalam Mafatih Al-Ghaib mengaitkannya dengan ayat yang lain, tepatnya di surat Fatir ayat 32 yang juga menyinggung tentang tiga klasifikasi keadaan manusia. Bedanya pada ayat ini konteks ayat tidak sedang menggambarkan keadaan kiamat, melainkan tentang respon penerimaan umat Muhammad terhadap Al-Quran.

Di situ disampaikan bahwa ada tiga respon penerimaan umat Muhammad terhadap ajaran yang dibawa oleh Nabi. Pertama, dhalim li nafsih (mendzalimi dirinya sendiri), kedua, muqtasid (pertengahan), ketiga sabiq bi al-khairat (lebih dulu berbuat kebaikan).

Ibn Abbas sebagaimana dikutip oleh Ibn Katsir dan juga At-Tabari menjelaskan keterkaitan tiga macam penerimaan ini dengan keadaan mereka di akhirat nanti. Dhalim li nafsih ditafsirkan dengan orang yang dzalim pada dirinya sendiri yang kelak akan diampuni (terkecuali syirik dan jika orang itu bertaubat), muqtasid yaitu mereka yang kelak mudah penghitungan amalnya sedang sabiq bi al-khairat adalah mereka yang masuk surga tanpa hisab.

Dengan begitu, keadaan manusia di hari kiamat seperti yang telah dijelaskan dalam surat Al-Waqiah ayat 7-12 itu tidak tiba-tiba saja terjadi tanpa proses dan sebab. Segala keputusan dan perbuatan di dunia juga ikut menentukan keadaan dan nasib mereka di akhirat, sebagaimana disiratkan dalam surat Fatir ayat 32.

Baca Juga: Tafsir Surah Yasin Ayat 32: Pada Akhirnya Semua Akan Menghadap Allah SWT

Selain itu, surat Al-Zalzalah ayat 7-8 semakin memperjelas relasi antara amal perbuatan manusia di dunia dan balasan di akhirat. Pada dua ayat ini, masih mengikut penafsiran At-Tabari dijelaskan bahwa -seakan- Allah menyatakan ‘Maka siapa (di dunia) mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya (di akhirat)’, ‘dan siapa mengerjakan (di dunia) kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya (di akhirat).

Demikian berarti bahwa mengaji tentang keadaan manusia di hari kiamat kelak, khususnya surat Al-Waqiah ayat 7-12 secara tidak langsung meminta kita untuk mengevaluasi amal perbuatan kita selagi masih di dunia. Semoga kita tergolong dari orang-orang yang baik dan mulia.

Wallahu A’lam

Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 63-65

0
tafsir surat al baqarah
Penamaan “Surat Al-Baqarah”

Pada penjelasan yang lalu telah berbicara mengenai perintah Allah agar selalu berpegang teguh atas perintah para Nabi agar mendapatkan ganjaran dari sisi Allah swt, Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 63-65 ini berbicara mengenai nenek moyang orang Yahudi yang ingkar janji kepada Allah swt.


Baca juga: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 61-62


Ingkar janji yang dimaksud dalam Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 63-65 ini adalah ketika Allah mengangkat bukit Sinai karena pembangkangan yang dilakukan oleh Bani Israil kala itu. Namun tetap saja selang beberapa waktu mereka tetap dalam keingkaran.

Selain itu Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 63-65 ini juga berbicara mengenai pelarangan bagi Bani Israil. Pelarangan itu adalah tidak diperbolehkan untuk melakukan aktifitas apapun pada hari Sabtu selain ibadah. Namun lagi-lagi mereka melanggarnya.

Ayat 63

Allah mengingatkan kembali kesalahan lain dari nenek moyang orang Yahudi ketika Allah mengambil janji dari mereka, yaitu bahwa mereka akan beriman dan akan mengamalkan apa yang ada dalam Taurat. Ternyata mereka tidak mengamalkannya, bahkan mengingkarinya.

Lalu Allah mengangkat bukit (Gunung Sinai) ke atas kepala mereka untuk memperlihatkan kekuasaan-Nya agar mereka beriman kepada-Nya dan berpegang teguh kepada kitab Taurat itu.

Isi perjanjian tersebut berupa perintah Allah kepada mereka, “Peganglah kitab Taurat dengan sungguh-sungguh dan tetaplah mengerjakan isinya, pelajarilah Taurat itu, perhatikan isinya dan amalkan hukum-hukum yang termaktub di dalamnya.”

Ayat ini memberi pengertian bahwa orang yang meninggalkan syariat dan meremehkan hukum Allah disamakan dengan orang yang mengingkari dan menentangnya. Maka sudah sepatutnya dia pada hari Kiamat nanti dikumpulkan dalam keadaan buta. Dia tidak dapat melihat jalan kemenangan dan jalan kebahagiaan.

قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِيْٓ اَعْمٰى وَقَدْ كُنْتُ بَصِيْرًا   ١٢٥

  قَالَ كَذٰلِكَ اَتَتْكَ اٰيٰتُنَا فَنَسِيْتَهَاۚ وَكَذٰلِكَ الْيَوْمَ تُنْسٰى   ١٢٦

Dia berkata, ”Ya Tuhanku, mengapa Engkau kumpulkan aku dalam keadaan buta, padahal dahulu aku dapat melihat?” Dia (Allah) berfirman, ”Demikianlah, dahulu telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, dan kamu mengabaikannya, jadi begitu (pula) pada hari ini kamu diabaikan.” (Taha/20: 125 dan 126)

Apabila seseorang mengingkari syariat Allah dan menyia-nyiakan hukum-Nya, berarti syariat itu tidak mempunyai pengaruh apa-apa pada jiwanya. Sehubungan dengan pengertian ayat ini dapat dikatakan bahwa orang-orang yang hanya membaca Alquran tanpa mengamalkan isinya mereka tidak mendapat manfaat dari kandungan Alquran itu. Maksud mengikuti kitab-kitab suci ialah mengamalkan isinya, bukan hanya sekadar membaca dan melagukannya dengan macam-macam lagu yang merdu.

Kemudian Allah memerintahkan agar Bani Israil berpegang teguh dengan Taurat, selalu mempelajarinya, dan mengamalkan isinya agar mereka menjadi orang yang bertakwa.


Baca juga: Fadhilah Taubat dalam Al-Quran: Menghapus Dosa dan Membuka Pintu Rezeki


Ayat 64

Sesudah Bani Israil mengambil perjanjian dari Allah seperti disebutkan pada ayat yang lalu, mereka berpaling dan tidak menepati perjanjian itu. Mereka banyak melanggar ketentuan-ketentuan dalam Taurat, baik oleh nenek moyang mereka zaman dahulu maupun oleh mereka yang hidup kemudian.

Umpamanya pada zaman mereka hidup di padang pasir yang tandus, mereka menentang Nabi Musa, menyakitinya, dan melawan segala perintahnya.

Pada masa berikutnya mereka membunuh Nabi Yahya, mengingkari Nabi Isa bahkan merencanakan akan membunuhnya. Keingkaran mereka terhadap Nabi Muhammad saw, termasuk bukti penyelewengan mereka dari Taurat.

Maka sudah sewajarnya mereka mendapat azab dari Allah, atau Allah melenyapkan nikmat dari mereka untuk selama-lamanya. Tetapi Allah tidak berbuat demikian, karena kasih sayang-Nya. Mereka tidak dibinasakan, dan Allah selalu membuka pintu tobat bagi yang ingin kembali ke jalan yang benar.

Ayat 65

Dalam ketentuan syariat agama Yahudi, pada hari ketujuh, Sabat (dari bahasa Ibrani, shabbath, berarti “istirahat”) orang dilarang mengerjakan apa pun, karena hari itu khusus untuk ibadah. Dalam bahasa Arab sabt (Sabtu), dari kata sabata, yasbitu, sabtan, juga berarti “istirahat” atau “tenang.” Pada hari itu setelah “langit, bumi, dan segala isinya diselesaikan” Tuhan beristirahat.

“Lalu Allah memberkati hari ketujuh itu dan menguduskannya” (Kejadian ii. 1-3), yang juga dipakai untuk merayakan terbebasnya orang Israil dari perbudakan di Mesir. Menurut Perjanjian Lama, mereka yang melanggar kekudusan Sabat, termasuk menangkap ikan pada hari itu, dapat dijatuhi hukuman mati: “Siapa yang melanggar kekudusan hari Sabat itu pastilah ia dihukum mati, sebab orang yang melakukan pekerjaan pada hari itu, orang itu harus dilenyapkan dari antara bangsanya”. (Kitab Keluaran 31. 14).

Pada hari yang sangat dihormati itu biasanya ikan-ikan bebas bermunculan sehingga menutupi permukaan air laut, karena hari itu tidak ada orang yang berani mengganggunya. Di luar hari Sabtu ikan-ikan itu menghilang lagi (al-A’raf/7 : 163).

Banyak mufasir menyebutkan, larangan ini oleh mereka diakali; pada hari-hari sebelum Sabat mereka membuat kolam besar dan air laut dialirkan ke dalamnya. Pada hari Ahad mereka bekerja mengambil ikan yang sudah terjaring itu. Tetapi dalam hukum Tuhan mereka tetap melanggar, maka Allah menjatuhkan hukuman dengan menjadikan mereka kera, sehingga mereka jauh dari kebajikan serta hina dan rendah.

Menurut Mujahid, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, “Fisik mereka tidak ditukar menjadi kera, tetapi hati, jiwa, dan sifat merekalah yang dijadikan seperti kera, sehingga mereka tidak dapat menerima pengajaran dan tidak dapat memahami ancaman.” Pada ayat ini mereka diserupakan dengan kera dan pada ayat yang lain mereka diserupakan dengan keledai, sesuai dengan firman Allah:

مَثَلُ الَّذِيْنَ حُمِّلُوا التَّوْرٰىةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوْهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ اَسْفَارًاۗ

Perumpamaan orang-orang yang diberi tugas membawa Taurat, kemudian mereka tidak membawanya (tidak mengamalkannya) adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal.….(al Jumu’ah/62:5)

Jumhur ulama berpendapat bahwa mereka benar-benar bertukar wujud menjadi kera sebagai hukuman terhadap keingkaran mereka. Di dalam riwayat lain disebutkan bahwa mereka yang diubah menjadi kera tidak beranak, tidak makan, tidak minum, dan tidak dapat hidup lebih dari tiga hari. Di dalam Alquran terdapat ayat yang serupa maksudnya:

وَجَعَلَ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِيْرَ وَعَبَدَ الطَّاغُوْتَۗ

… Dan di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah Tagut.”…(al-Ma′idah/5:60)


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 66-70


(Tafsir Kemenag)

Keistimewaan Buah Delima (Ar-Rumman) yang Disebut dalam Al-Quran

0
Buah Delima
Buah Delima

Di antara nama buah-buahan yang disebutkan al-Qur’an, terdapat nama buah delima. Nama delima dimasukkan ke dalam kalam Tuhan bukan tanpa sebab. Di balik peyebutannya, ternyata dapat ditemukan makna-makna filosofis dan saintifik.

Artikel ini akan mengulas tentang buah ini dan keistimewaannya dalam al-Qur’an. Penulis menggunakan pendekatan saintifik dan historis untuk menguraikan penjelasan dalam ayat-ayat al-Quran terkait buah delima.

Penyebutan term ar-Rummān

Ar-Rummān alias buah delima (Punica granatum), disebut sebanyak tiga kali dalam al-Qur’an, yakni pada ayat-ayat berikut:

  1. (QS. Al-An’am[6]: 99).

وَهُوَ ٱلَّذِيٓ أَنزَلَ مِنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءٗ فَأَخۡرَجۡنَا بِهِۦ نَبَاتَ كُلِّ شَيۡءٖ فَأَخۡرَجۡنَا مِنۡهُ خَضِرٗا نُّخۡرِجُ مِنۡهُ حَبّٗا مُّتَرَاكِبٗا وَمِنَ ٱلنَّخۡلِ مِن طَلۡعِهَا قِنۡوَانٞ دَانِيَةٞ وَجَنَّٰتٖ مِّنۡ أَعۡنَابٖ وَٱلزَّيۡتُونَ وَٱلرُّمَّانَ مُشۡتَبِهٗا وَغَيۡرَ مُتَشَٰبِهٍۗ ٱنظُرُوٓاْ إِلَىٰ ثَمَرِهِۦٓ إِذَآ أَثۡمَرَ وَيَنۡعِهِۦٓۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكُمۡ لَأٓيَٰتٖ لِّقَوۡمٖ يُؤۡمِنُونَ  ٩٩

  1. (QS. Al-An’am[6]: 141).

۞وَهُوَ ٱلَّذِيٓ أَنشَأَ جَنَّٰتٖ مَّعۡرُوشَٰتٖ وَغَيۡرَ مَعۡرُوشَٰتٖ وَٱلنَّخۡلَ وَٱلزَّرۡعَ مُخۡتَلِفًا أُكُلُهُۥ وَٱلزَّيۡتُونَ وَٱلرُّمَّانَ مُتَشَٰبِهٗا وَغَيۡرَ مُتَشَٰبِهٖۚ كُلُواْ مِن ثَمَرِهِۦٓ إِذَآ أَثۡمَرَ وَءَاتُواْ حَقَّهُۥ يَوۡمَ حَصَادِهِۦۖ وَلَا تُسۡرِفُوٓاْۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُسۡرِفِينَ  ١٤١

  1. (QS. Ar-Rahman[55]: 68).

فِيهِمَا فَٰكِهَةٞ وَنَخۡلٞ وَرُمَّانٞ  ٦٨

Dalam beberapa kesempatan, kata rummān dimaknai sebagai fākihah ma’rūfah yu’kalu habbuha (buah yang dikenal secara umum yang bijinya dapat dimakan). (Ibrahim: 1988). Sedangkan menurut penjelasan yang lain, ia dideskripsikan dalam bentuk ‘pohon delima’, bukan buah delima. (Husain al-Baghawi: 2002).

Baca Juga: Mengenal Kuliner Neraka dalam Al-Quran, dari Buah Zaqqum hingga Shadid

Mengenai sedikit perbedaan tersebut, penulis cenderung sesuai dengan pandangan Ibrahim Madzkur yang memaknai kata ar-rummān sebagai buah delima, dan makna ini yang akan dipegangi oleh penulis dalam menguraikan keistimewaan dari penyebutan ar-rummān.

Melihat kemunculan Delima sebagai Fakta Historis

Dalam perspektif ilmu pengetahuan, delima berasal dari kawasan yang sekarang bernama Negara Iran.  Buah delima konon telah mulai dibudidayakan sejak masa Nabi Musa. Pohon ini kemudian menyebar secara cepat, bahkan disebut sebagai tumbuhan asli di sekitar Himalaya dan India Utara.

Pustaka kuno menyatakan bahwa buah ini juga banyak ditemukan di China, Mesir, dan Yunani. Masyarakat China biasa menghidangkan buah delima pada upacara pernikahan. Buah delima juga banyak digunakan oleh masyarakat kuno sebagai simbol yang melambangkan banyak anak, fertilitas, keabadian, dan kemakmuran.

Masyarakat Mesir kuno juga menyertakan buah delima dalam prosesi penguburan jenazah. Sedangkan pada mitologi Yunani, buah ini dikaitkan dengan hilangnya Persephone; putri Demeter; Dewa Tanah.  Konon, Persephone diculik oleh dewa di bawah tanah, Hades, sebab ia telah memakan sebutir biji buah delima. (LPMA dan LIPI).

Pada masa Nabi Musa, tumbuhan ini banyak di tanam di Palestina, Suriah, dan Libanon. Bahkan terdapat kota bernama rimmon, kota ini terletak disekitar Hebron, alkisah penamaan nama rimmon juga dinisbahkan kepada kata ar-rummān (delima).  Penamaan kata rimmon disinyalir dikarenakan karena kota tersebut merupakan penghasil utama dari buah delima.

Apakah hanya itu saja rahasia dibalik penyebutan buah delima? Makna yang lebih menadalam akan tersampaikan melalui data-data saintifik dalam bagian selanjutnya.

Keistimewaan Delima

Sebagaimana kurma dan zaitun, delima banyak digunakan sebagai makanan sehat karena kandungan protein dan lemaknya yang sangat kecil.

Sebaliknya, delima kaya akan sodium, riboflavin, thiamin, niasin, vitamin C, kalsium dan fosfor. Delima juga dipercaya mampun untuk memperlambat penuaan, sekaligus dapat menjadi pertahanan tubuh terhadap penyakit jantung dan kanker.

Di samping sebagai makanan, delima diketahui mempunyai khasiat sebagai obat. Hal ini dibuktikan berdasarkan tulisan dalam Unani Tibb, yakni suatu sistem pengobatan berdasarkan data ilmiah dan prinsip holistik dan pengobatan Yunani, Mesir, Arab, dan India yang dinamai sebagai homeopathy. (LPMA: 2010).

Adapun peyebutan dua nama buah secara khusus, yakni kurma dan delima dalam (QS. Ar-Raḥmān[55]: 68) bukan tanpa sebab. Keduanya memang mempunyai keistimewaan tersendiri jika dibandingkan dengan jenis buah yang lainnya.

Menurut sudut pandang ilmu modern, isi dan perasan dari buah delima mengandung asam sitrat dengan kadar yang sangat tinggi jika dibandingkan dengan jenis buah-buahan lainnya. Asam sitrat yang terkandung yang terkandung dalam buah delima juga dapat membantu membentuk batu ginjal.

Selain itu, kulit buah delima juga mempunyai kegunaan karena mengandung astringen yang dapat melindungi perut dari buang air, dan sekaligus ia dapat dimanfaatkan untuk membasmi cacing pita. (Quraish Shihab: 2005).

Beberapa data sejarah dan data saintifik yang telah dipaparkan di atas, secara tidak langsung menunjukkan bahwa buah delima sarat akan manfaat dan nilai filosofis.

Baca Juga: Kekhasan Al-Quran Sebagai Mukjizat Bagi Nabi Muhammad Saw

Dalam sudut pandang saintifik, delima mengandung banyak khasiat, mulai dari mencegah penyakit jantung, dampai kanker. Sedang dalam sudut pendang sejarah, delima tidak hanya dimaknai sebagai sebuah makanan bagi masyarakat saat itu, namun buah tersebut melambangkan nilai-nilai yang luhur.

Di sisi lain, fakta sejarah di atas juga menunjukkan bahwa kesitimewaan delima bukan hanya disebabkan karena ia disebutkan dalam al-Qur’an, namun ternyata delima juga menjadi bagian dalam mitologi Yunani.

Dua argumen ini memberikan pengajaran bahwa keistimewaan al-Qur’an tidak terbatas pada satu aspek saja, sebut saja bahasa. Meski sejak awal ia diciptakan sebagai mukjizat yang penuh dengan dimensi kebahasaan yang tinggi, namun tidak berarti keistemawaannya berhenti sampai di situ.

Al-Qur’an akan selalu menampilkan makna yang beragam jika ia dibaca melalui pembacaan yang beragam pula (baca; multi-perspektif). Karena hakikatnya, al-Qur’an itu ḥamālatul aujuhin. Di mana, ia akan senantiasa menarik untuk diperbincangkan dan dipelajari sampai akhir zaman. Wallahu A’lam bis Showāb.

Inilah Empat Makna Doa Nabi Ibrahim Kepada Allah SWT

0
ilustrasi: doa nabi ibrahim a.s.
ilustrasi: doa nabi ibrahim a.s.

Doa menjadi salah satu sarana komunikasi langsung antara hamba dengan Allah swt tanpa perantara. Karena itu, doa bersifat privasi, personal, dan rahasia. Doa tidak hanya sekadar ungkapan lisan belaka, lebih dari itu adalah ungkapan batin terdalam seorang hamba akan kebutuhannya kepada Allah swt.

Maka tak heran, dalam Mu’jam Maqayis al-Lughah dijelaskan bahwa doa bermakna dasar kecenderungan terhadap sesuatu dan mengungkapkannya dengan suara atau kalimat yang lembut. Kata doa sendiri sebagaimana disebutkan Muhammad Fuad Abd al-Baqi dalam Mu’jam al-Mufahras li Alfadzi Al-Quran al-Karim, disebutkan sebanyak 212 kali dalam berbagai derivasinya. Di dalamnya termasuk memuat doa Nabi Ibrahim, berikut bentuk doa Nabi Ibrahim dalam beberapa makna,

Talab (Permintaan)

Doa-doa Nabi Ibrahim yang bermakna talab setidaknya termaktub dalam empat tempat, yaitu Q.S. As-Syu’ara [26]: 83-86, Q.S. al-Saffat [37]: 100, Q.S. al-Baqarah [2]: 129, Q.S. al-Mumtahanah [60]: 5,

رَبِّ هَبْ لِيْ حُكْمًا وَّاَلْحِقْنِيْ بِالصّٰلِحِيْنَ ۙ وَاجْعَلْ لِّيْ لِسَانَ صِدْقٍ فِى الْاٰخِرِيْنَ ۙ وَاجْعَلْنِيْ مِنْ وَّرَثَةِ جَنَّةِ النَّعِيْمِ ۙ وَاغْفِرْ لِاَبِيْٓ اِنَّهٗ كَانَ مِنَ الضَّاۤلِّيْنَ ۙ

Ibrahim berdoa), “Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku ilmu dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh, dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian, dan jadikanlah aku termasuk orang yang mewarisi surga yang penuh kenikmatan, dan ampunilah ayahku, sesungguhnya dia termasuk orang yang sesat, (Q.S. Al-Syu’ara [26]: 83-86)

Dalam ayat yang lain disebutkan,

رَبِّ هَبْ لِيْ مِنَ الصّٰلِحِيْنَ

Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang yang saleh.” (Q.S. al-Saffat [37]: 100),

Dan pada ayat yang lain juga mengandung permintaan (talab) doa Nabi Ibrahim,

رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيْهِمْ رَسُوْلًا مِّنْهُمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ اٰيٰتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيْهِمْ ۗ اِنَّكَ اَنْتَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ ࣖ

Ya Tuhan kami, utuslah di tengah mereka seorang rasul dari kalangan mereka sendiri, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu dan mengajarkan Kitab dan Hikmah kepada mereka, dan menyucikan mereka. Sungguh, Engkaulah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 129)

Baca juga: Kisah Nabi Musa dan Doa-Doa yang Dipanjatkannya dalam Surat al-Qashash

Kemudian, dalam Q.S. al-Mumtahanah ayat 5,

رَبَّنَا لَا تَجْعَلْنَا فِتْنَةً لِّلَّذِيْنَ كَفَرُوْا وَاغْفِرْ لَنَا رَبَّنَاۚ اِنَّكَ اَنْتَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ

Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan kami (sasaran) fitnah bagi orang-orang kafir. Dan ampunilah kami, ya Tuhan kami. Sesungguhnya Engkau yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (Q.S. al-Mumtahanah [60]: 5)

Istighasah (Meminta Pertolongan)

Layaknya seorang hamba manusia biasa, Nabi Ibrahim pun juga membutuhkan pertolongan kepada Allah swt. Berbagai ujian dan cobaan yang dihadapinya terus menghantam. Maka tak ada solusi lain selain meminta pertolongan Allah swt (istighatsah). Berikut beberapa doa Nabi Ibrahim dalam bentuk istighatsah,

 وَاِذْ قَالَ اِبْرٰهٖمُ رَبِّ اجْعَلْ هٰذَا بَلَدًا اٰمِنًا وَّارْزُقْ اَهْلَهٗ مِنَ الثَّمَرٰتِ مَنْ اٰمَنَ مِنْهُمْ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ قَالَ وَمَنْ كَفَرَ فَاُمَتِّعُهٗ قَلِيْلًا ثُمَّ اَضْطَرُّهٗٓ اِلٰى عَذَابِ النَّارِ ۗ وَبِئْسَ الْمَصِيْرُ

Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berdoa, “Ya Tuhanku, jadikanlah (negeri Mekah) ini negeri yang aman dan berilah rezeki berupa buah-buahan kepada penduduknya, yaitu di antara mereka yang beriman kepada Allah dan hari kemudian,” Dia (Allah) berfirman, “Dan kepada orang yang kafir akan Aku beri kesenangan sementara, kemudian akan Aku paksa dia ke dalam azab neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 126)

Dalam ayat yang lain disebutkan,

رَبَّنَآ اِنِّيْٓ اَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِيْ بِوَادٍ غَيْرِ ذِيْ زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِۙ رَبَّنَا لِيُقِيْمُوا الصَّلٰوةَ فَاجْعَلْ اَفْـِٕدَةً مِّنَ النَّاسِ تَهْوِيْٓ اِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِّنَ الثَّمَرٰتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُوْنَ

Ya Tuhan, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan (yang demikian itu) agar mereka melaksanakan salat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur. (Q.S. Ibrahim [14]: 37)

وَلَا تُخْزِنِيْ يَوْمَ يُبْعَثُوْنَۙ

dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan, (Q.S. As-Syu’ara [26]: 87)

Baca juga: Inilah 4 Doa Taubat Para Nabi dalam Al-Quran

Tahmid (Pujian)

Tidak hanya berdoa untuk meminta pertolongan semata, Nabi Ibrahim pun juga berdoa dalam kerangka memuji Allah swt sebagai bentuk apresiasi atas anugerah Allah swt yang telah diberikan kepada dirinya baik kesabaran, kenikmatan dan penciptaannya sebagai manusia yang sangat mulia. Berikut doa Nabi Ibrahim yang masuk dalam makna tahmid (pujian),

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْ وَهَبَ لِيْ عَلَى الْكِبَرِ اِسْمٰعِيْلَ وَاِسْحٰقَۗ اِنَّ رَبِّيْ لَسَمِيْعُ الدُّعَاۤءِ

Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua(ku) Ismail dan Ishak. Sungguh, Tuhanku benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) doa. (Q.S. Ibrahim [14]: 39)

Ayat ini menggambarkan bentuk rasa syukur Nabi Ibrahim a.s dengan memuji kepada Allah swt karena diberikan keturunan yang telah lama diidam-idamkannya, yaitu Ismail dan Ishak. Di hari tuanya.

Amal Ibadahnya Agar Diterima

Meskipun Nabi Ibrahim tergolong ma’shum (terjaga dari dosa), akan tetapi ia tetap memohon kepada Allah swt agar berkenan menerima amal ibadahnya yang telah dikerjakannya, sebagaimana yang termaktub dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 127-128,

وَاِذْ يَرْفَعُ اِبْرٰهٖمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَاِسْمٰعِيْلُۗ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا ۗ اِنَّكَ اَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَآ اُمَّةً مُّسْلِمَةً لَّكَۖ وَاَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَا ۚ اِنَّكَ اَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ

Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan pondasi Baitullah bersama Ismail, (seraya berdoa), “Ya Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui. Ya Tuhan kami, jadikanlah kami orang yang berserah diri kepada-Mu, dan anak cucu kami (juga) umat yang berserah diri kepada-Mu dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara melakukan ibadah (haji) kami, dan terimalah tobat kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Penerima tobat, Maha Penyayang. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 127-128)

Hikmah Yang Dapat Dipetik

Berdasarkan uraian di atas, maka jelaslah bahwa doa dalam ajaran Islam merupakan ibadah yang amat penting dan bermanfaat. Ia mengandaikan satu kemesraan sekaligus bentuk penghambaan dirinya kepada Allah swt bahwa ia tak lebih sebagai manusia biasa yang membutuhkan pertolongan, rasa aman, dan anugerah dariNya. Karena apapun yang kita lakukan pada akhirnya Dia lah yang menentukan berhasil tidaknya suatu usaha.

Maka dari itu, doa Nabi Ibrahim di atas mengajarkan kepada kita bahwa segala usaha harus dibarengi dengan doa yang tulus kepadaNya agar segala yang kita lakukan mendapat ridha dan keberkahan dari-Nya. Aamiin. Wallahu A’lam.

Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 61-62

0
tafsir surat al baqarah
Penamaan “Surat Al-Baqarah”

Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan mengenai pembangkangan yang dilakukan oleh Bani Israil, dalam Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 61-62 lagi-lagi berbicara mengenai permintaan-permintaan lain dari Bani Israil.


Baca juga: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 59-60


Permintaan lain yang dimaksud dalam Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 61-62 ini adalah sayur-mayur sebagai ganti di Mann dan Salwa. Entah mengapa Bani Israil ini malah meminta sesuatu yang lebih buruk. Padahal Mann dan Salwa merupakan makan penuh gizi yang tidak pernah ada di belahan bumi manapun. Namun sayang Nabi Musa as merasa keberatan dengan permintaan yang satu ini.

Pada akhir pembahasan Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 61-62 ini Allah mengingatkan kepada seluruh hambanya untuk selalu berpegang teguh terhadap ajaran para Nabi mereka agar mendapatkan ganjaran dari sisi Allah swt.

Ayat 61

Ketika Bani Israil tersesat di padang pasir Sinai, mereka berkata kepada Nabi Musa bahwa mereka tidak tahan terhadap satu jenis makanan saja, sedang yang ada hanya mann dan salwa saja (al Baqarah/2:57). Mereka berkata demikian karena keingkaran mereka terhadap Nabi Musa a.s. dan kebanggaan terhadap kehidupan mereka dahulu.

Bani Israil kemudian meminta kepada Musa a.s. agar berdoa kepada Tuhan semoga Dia mengeluarkan sayur-sayuran yang ditumbuhkan bumi sebagai ganti mann dan salwa. Mereka tidak mau berdoa sendiri, tetapi mengharapkan Musa yang berdoa kepada Tuhan, karena mereka memandang Musa orang yang dekat kepada Tuhan dan lagi pula dia seorang Nabi yang dapat bermunajat kepada Allah.

Sayur-mayur dan lain-lain yang mereka minta itu banyak terdapat di kota-kota, tapi tidak terdapat di padang pasir. Sebenarnya permintaan itu tidak sukar dicari, karena mereka dapat memperolehnya asal saja mereka pergi ke kota.

Nabi Musa menolak permintaan itu dengan penuh kekecewaan dan kejengkelan serta mencela sikap mereka karena mereka menolak mann dan salwa, makanan yang sebenarnya mengandung nilai gizi yang tinggi dan sangat diperlukan oleh tubuh, diganti dengan sayur-mayur yang lebih rendah gizinya.

Kemudian Nabi Musa menyuruh mereka keluar dari gurun Sinai dan pergi menuju kota. Di sana mereka akan mendapatkan yang mereka inginkan, sebab gurun Sinai tempat mereka tinggal sampai batas waktu yang telah ditentukan Allah, tidak dapat menumbuhkan sayur-sayuran. Mereka tinggal di gurun Sinai itu karena mereka lemah dan tidak tabah untuk mengalahkan penduduk negeri yang dijanjikan bagi mereka.

Mereka akan lepas dari hal yang tidak mereka sukai, bilamana mereka memiliki keberanian memerangi orang-orang yang di sekitar mereka, yaitu penduduk bumi yang dijanjikan Allah dan menjamin memberi pertolongan kepada mereka. Oleh sebab itu, hendaknya mereka mencari jalan untuk mendapatkan kemenangan dan keuntungan.

Setelah Allah menceritakan penolakan Musa terhadap permintaan mereka dan sebelumnya telah membentangkan pula segala nikmat yang dikaruniakan kepada mereka, dalam ayat ini Allah mengemukakan beberapa kejahatan keturunan Bani Israil yang datang kemudian, yaitu mereka mengingkari ayat-ayat Allah, membunuh nabi-nabi dan pelanggaran mereka terhadap hukum Allah. Oleh sebab itu, Allah menimpakan kepada mereka kehinaan dan kemiskinan sebagai wujud kemurkaan-Nya.


Baca juga: Kisah Bani Israil Pasca Kehancuran Firaun dan Bala Tentaranya dalam Al-Quran


Sudah semestinya mereka menerima murka Ilahi, menanggung bencana dan siksaan di dunia dan azab yang pedih di akhirat. Demikian pula mereka mendapatkan kehinaan dan kemiskinan karena mereka selalu menolak ayat-ayat Allah yang telah diberikan kepada Nabi Musa berupa mukjizat yang telah mereka saksikan sendiri. Kedurhakaan dan penolakan mereka terhadap Nabi Musa adalah suatu bukti bahwa ayat-ayat Allah tidak berpengaruh pada jiwa mereka. Mereka tetap mengingkarinya.

Mereka membunuh para nabi dari golongan mereka, tanpa alasan yang benar. Memang sesungguhnya orang yang berbuat kesalahan kadang-kadang meyakini bahwa yang diperbuatnya adalah benar. Perbuatan mereka yang demikian itu bukanlah karena salah dalam memahami atau menafsirkan hukum, tetapi memang dengan sengaja menyalahi hukum-hukum Allah yang telah disyariatkan di dalam agama mereka.

Kekufuran mereka terhadap ayat-ayat Allah dan kelancangan mereka membunuh para nabi, karena mereka banyak melampaui batas ketentuan agama mereka. Seharusnya agama mempunyai pengaruh yang besar pada jiwa manusia, sehingga penganutnya takut menyalahi perintah Allah. Apabila seseorang melampaui peraturan-peraturan atau batas-batas agamanya berarti pengaruh agama pada jiwanya sudah lemah.

Semakin sering dia melanggar batas hukum agama itu semakin lemah pulalah pengaruh agama pada jiwanya. Sampai akhirnya pelanggaran ketentuan-ketentuan agama itu menjadi kebiasaannya, seolah-olah dia lupa akan adanya batas-batas agama dan peraturan-peraturannya. Akhirya lenyaplah pengaruh agama dalam hatinya.

Ayat 62

Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa tiap-tiap umat atau bangsa pada masa itu yang benar-benar berpegang pada ajaran para nabi mereka serta beramal saleh akan memperoleh ganjaran di sisi Allah, karena rahmat dan magfirah-Nya selalu terbuka untuk seluruh hamba-hamba-Nya.

“Orang-orang mukmin” dalam ayat ini ialah orang yang mengaku beriman kepada Muhammad Rasulullah saw dan menerima segala yang diajarkan olehnya sebagai suatu kebenaran dari sisi Allah. Sabi′in ialah umat sebelum Nabi Muhammad saw yang mengetahui adanya Tuhan Yang Maha Esa, dan mempercayai adanya pengaruh bintang-bintang.

Pengertian beriman ialah seperti yang dijelaskan Rasul saw ketika Jibril a.s. menemuinya. Nabi berkata:

;اَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَاْليَوْمِ اْلاٰخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ

(رواه مسـلم عن عمر)

Agar kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari Kiamat, dan kamu percaya qadar baik atau buruk. (Riwayat Muslim dari ‘Umar r.a.)

Orang Yahudi ialah semua orang yang memeluk agama Yahudi. Mereka dinamakan Yahudi karena kebanyakan mereka dari keturunan Yahudi, salah seorang keturunan Yakub (Israil). Orang-orang Nasrani ialah orang-orang yang menganut agama Nasrani. Kata Nasrani diambil dari nama suatu daerah Nasirah (Nazareth) di Palestina, tempat Nabi Isa dilahirkan.

Siapa saja di antara ketiga golongan di atas yang hidup pada zamannya, sebelum kedatangan Nabi Muhammad saw dan benar-benar beragama menurut agama mereka, membenarkan dengan sepenuh hati akan adanya Allah dan hari Kiamat, mengamalkan segala tuntutan syariat agamanya, mereka mendapat pahala dari sisi Allah.

Sesudah kedatangan Nabi Muhammad saw, semua umat manusia diwajibkan beriman kepadanya dan seluruh ajaran yang dibawanya, yakni dengan menganut lslam.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 63-65


(Tafsir Kemenag)

Reformasi Lingkungan Perspektif Yusuf al-Qaradhawi: Membentuk Manusia Ber-mindset Eko-Teologis

0
Reformasi Lingkungan
Reformasi Lingkungan

Dalam karyanya Ri’ayah al-Bi’ah fi Syari’ah al-Islam, al-Qaradhawi mengulas satu bab khusus yang membahas tentang pilar-pilar Islam dalam upaya melakukan reformasi lingkungan (raka’iz al-Islam li ri’ayah al-bi’ah). Khususnya dalam tulisan ini akan dibahas gagasannya dalam membentuk manusia ber-mindset eko-teologis.

Nilai-nilai penting dalam pembahasan ini diharapkan mampu menjadi referensi yang kontributif bagi upaya membangun kesadaran umat Islam dalam merespon isu-isu lingkungan yang dewasa ini semakin sering didengungkan dengan melihat realita alam yang semakin rusak.

Menjaga keberlangsungan peradaban manusia merupakan tujuan utama dalam konteks reformasi lingkungan, sebab ditundukkannya alam oleh Tuhan memiliki maksud untuk memberikan manusia kemudahan dalam menjaga keberlangsungan hidupnya di dunia. Lihat al-Jatsiyah [45]: 13:

وَسَخَّرَ لَكُمْ مَّا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِ جَمِيْعًا مِّنْهُ ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ

Dan Dia menundukkan apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi untukmu semuanya (sebagai rahmat) dari-Nya. Sungguh, dalam hal yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berpikir.

Ada beberapa prinsip fundamental yang diberikan oleh Islam dan dapat dijadikan pegangan dalam upaya melakukan reformasi lingkungan:

1. Konsep syukur dalam bingkai eko-teologis

Syukur menjadi salah satu konsep dalam Islam yang menekankan adanya rasa terimakasih atas kenikmatan yang telah diberikan Tuhan. Dalam Alquran, ayat tentang syukur yang paling masyhur dikemukakan adalah Q.S Ibrahim [14]: 7:

وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.”

Namun konsep syukur ini dalam konteks eko-teologi tidak boleh hanya dicukupkan dengan ungkapan ekspresif semata, namun harus lebih luas yakni dengan menjaga kenikmatan yang telah diberikan (muhafadzah ‘ala al-ni’mah).

Baca Juga: Tafsir Ekologi: Mengenal Ayat-Ayat Lingkungan dalam Al-Quran

Dalam konteks penyadaran umat Islam, pemahaman ini akan memberikan implikasi nyata bagi umat Islam agar tidak hanya mencukupkan diri dengan berucap “alhamdulillah”. Akan tetapi lebih dari itu yakni menekankan pada umat Islam untuk mengaktualisasikan rasa syukur dengan menjaga nikmat yang disyukuri. Dalam konteks eko-teologis, rasa syukur tidak cukup hanya dihadirkan tatkala melihat pemandangan yang indah saat melakukan wisata, namun juga diaktualisasikan dengan tidak mengotori lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.

2. Hifdz al-‘aql bi Tanhidh al-‘Aql (Menjaga Akal dengan Mengasahnya)

Dalam mengkonstruksi konsep hifdz al-‘aql-nya, Qaradawi tidak hanya memperhatikan aspek proteksional sebagaimana yang digagas para pendahulunya yakni dengan memberikan contoh larangan meminum khamr yang dapat menghilangkan kemampuan akal (tajnib al-nahy). Namun, ia juga menekankan bahwa hifdz al-‘aql juga harus dilakukan dengan mengasah kemampuan akal itu sendiri (tanhidh bi al-‘aql).

Dalam upaya mengasah kemampuan akal, ia menekankan akan pentingnya menuntut ilmu baik itu yang sifatnya wajib ‘ain maupun kifayah. Sebab baginya, umat Islam sebagai ummatan wasathan tidak boleh menjadi beban (penonton) bagi selainnya (dalam lingkup masyarakat), sebab tidak menguasai keilmuan yang dibutuhkan dalam memajukan peradaban masyarakat dan hanya mempelajari ilmu yang sifatnya wajib ‘ain.

Apa yang digagas oleh Qaradawi menjadi salah satu gagasan yang sangat penting untuk disampaikan kepada masyarakat. Jika pemahaman yang diberikan diperluas dalam konteks eko-teologis, maka umat Islam—khususnya di Indonesia sebagai basis umat Islam terbesar—haruslah mampu menjadi pemeran utama dalam upaya menyelesaikan masalah-masalah lingkungan yang terjadi.

Dalam konteks kehidupan kontemporer saat ini, umat Islam harus mampu melahirkan ahli-ahli dalam bidang-bidang keilmuan yang berpengaruh bagi peradaban (al-‘ilm al-madani) dan khususnya yang mampu memberikan inovasi dan solusi bagi permasalahan-permasalahan yang lahir di dunia kontemporer termasuk di dalamnya masalah lingkungan.

3. Tarbiyah al-Aulad (Memelihara Generasi Penerus)

Dalam menjelaskan konsep ini, Qaradawi menekankan akan pentingnya dua hal yang harus diperhatikan yakni pertama, bahwa anak-anak atau generasi muda masihlah tergolong sebagai insan yang lemah dan masih sangat memerlukan bimbingan dan pengawasan.

Kedua, bahwa anak-anak atau generasi muda adalah penerus peradaban, jika mereka diberikan bimbingan, pengawasan serta pendidikan yang baik maka akan baik pula masa depan peradaban manusia dan juga itu berlaku sebaliknya jika bimbingan, pengawasan dan pendidikan yang diberikan salah.

Baca Juga: Momentum Hijrah di Tahun Baru, Penjelasan Surat An-Nisa Ayat 100

Dalam konteks eko-teologis, konsep tarbiyah yang dibawa oleh Qaradawi harus dispesifikan dengan memperjelas arah pendidikan yang akan diberikan kepada generasi muda. Generasi muda haruslah dikenalkan sejak dini tentang masalah-masalah yang melanda kehidupan kontemporer sehingga nantinya mereka memiliki pandangan yang jelas terkait hal-hal yang akan mereka hadapi di masa yang akan datang.

Di sini, peran orang tua sangatlah dibutuhkan, sebab orang tua yang tidak memiliki kepekaan terhadap masalah-masalah yang melanda dunia kontemporer dan cenderung melihat pendidikan dari sisi materialismenya saja hanya akan mengarahkan generasi muda pada kehidupan yang pragmatis.

Dalam konteks eko-teologis, pemberian pendidikan lingkungan sejak dini merupakan salah satu cara menumbuhkan kepekaan generasi muda akan masalah lingkungan. Mengajarkan mereka dengan prinsip utama ajaran Islam yang menjunjung tinggi pembangunan etika sebagai tujuan utama. Etika yang berlandaskan atas rasa kasih sayang, tidak hanya kepada sesama manusia namun juga semesta alam.

Ketiga poin pembahasan tersebut sekaligus menjadi respon atas beberapa fenomena kerusakan lingkungan yang terjadi di tengah fenomena cuaca ekstrem saat ini. Sebagaimana dikatakan bahwa “mencegah lebih baik daripada mengobati”, maka salah satu cara mencegah kerusakan alam yang lebih parah di masa depan adalah dengan membentuk mindset peduli lingkungan sejak dini. Wallahu a’lam.

Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 59-60

0
tafsir surat al baqarah
Penamaan “Surat Al-Baqarah”

Pada ayat yang lalu bebicara mengenai anugerah Allah kepada Bani Israil ketika berada di belantara Sinai dengan memberikan Mann dan Salwa, dalam Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 59-60 ini Allah swt mengemukakan sikap Bani Israil yang malah membangkang dengan tetap tidak mau melaksanakan perintah Allah swt.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 56-58


Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 59-60 in juga berbicara mengenai anugerah lain yang Allah swt berikan kepada Bani Israil, yaitu ketika Nabi Musa as berdo’an kepada Allah swt agar memberikan sumber air kepada dua belas suku pengikut Nabi Isa as.

Ayat 59

Dalam ayat ini diterangkan, bahwa Bani Israil tidak mau melaksanakan perintah dan petunjuk-petunjuk Allah, bahkan sebaliknya mereka melakukan hal-hal yang bertentangan dengan perintah-perintah tersebut, seolah-olah mereka tidak mengakui adanya segala perintah itu. Mereka mengatakan bahwa hal-hal sebaliknyalah yang diperintahkan kepada mereka.

Demikianlah orang yang fasik dengan mudah memutarbalikkan kenyataan. Orang-orang yang durhaka senantiasa menyalahi perintah, apabila mereka ditugaskan melakukan pekerjaan yang terasa berat bagi mereka.

Pada akhir ayat ini dijelaskan bahwa karena sikap mereka yang ingkar dan tidak mematuhi perintah itu, Allah menurunkan azab kepada mereka. Dalam ayat ini tidak dijelaskan macam azab yang diturunkan itu. Allah menguji Bani Israil dengan bermacam-macam cobaan setiap kali mereka melakukan kefasikan dan kezaliman.

Ayat 60

Pada permulaan ayat ini, Allah swt mengisahkan bagaimana Nabi Musa a.s. berdoa kepada Allah untuk mendapatkan air minum bagi para pengikutnya yang terdiri dari dua belas suku. Allah mengabulkan doa tersebut, lalu memerintahkan Nabi Musa memukulkan tongkatnya ke sebuah batu besar yang ada di padang pasir itu.

Tiba-tiba memancarlah air dari batu itu sebanyak dua belas sumber, sehingga masing-masing suku dari kaum Nabi Musa itu mendapatkan air minum secukupnya. Kejadian ini merupakan mukjizat bagi Musa untuk membuktikan kerasulannya, dan untuk menunjukkan kekuasaan Allah.

Sesungguhnya Allah kuasa memancarkan air dari batu, tanpa dipukul dengan tongkat lebih dahulu, tetapi Allah hendak memperlihatkan kepada hamba-Nya hubungan sebab dengan akibat. Apabila mereka menginginkan sesuatu harus berusaha dan bekerja untuk mendapatkannya sesuai proses hubungan antara sebab dan akibat.


Baca juga: Inilah 3 Syarat Utama Implementasi Islam Wasathiyah Menurut Quraish Shihab


Allah telah menyediakan rezeki untuk setiap makhluk-Nya yang hidup di bumi ini, tetapi rezeki itu tidak datang sendiri, melainkan harus diusahakan, dan harus ditempuh cara-caranya. Siapa yang malas berusaha tentu tidak akan mendapatkan rezeki yang diperlukan.

Di samping itu Allah telah menciptakan manusia mempunyai pikiran dan perasaan yang terbatas, sehingga dia hanya dapat memahami yang berada dalam daerah jangkauan indera, pikiran, dan perasaannya. Apabila dia melihat adanya sesuatu yang berada di luar kemampuannya, dia berusaha untuk mengembalikan persoalannya kepada yang telah diketahuinya.

Bila dia tidak dapat memahaminya sama sekali, dia menjadi bingung, apalagi hal itu terjadi di hadapannya berulang kali. Maka Allah memperlihatkan mukjizat melalui para nabi sesuai dengan keadaan umat pada masa nabi itu. Allah menyuruh mereka makan dan minum dari rezeki yang telah dilimpahkan kepada mereka, dan mereka dilarang untuk berbuat kezaliman.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 61-62


(Tafsir Kemenag)

Inilah 3 Syarat Utama Implementasi Islam Wasathiyah Menurut Quraish Shihab

0
Fungsi Al-Qur'an
Fungsi Al-Qur'an menurut Quraish Shihab

Belakangan ini, istilah Islam wasathiyah kembali berdengung di tengah masyarakat Indonesia. Diskursus ini muncul ke permukaan karena maraknya perilaku-perilaku agresif kelompok tertentu terhadap kelompok lain dalam persoalan keagamaan. Tindakan tersebut dianggap tidak mencerminkan Islam – sama sekali – yang mengajarkan untuk hidup damai dan beragama secara moderat.

 Sebenarnya apa makna Islam wasathiyah dan bagaimana implementasinya? Dalam suatu kesempatan di salah satu stasiun televisi, Quraish Shihab menjelaskan bahwa Islam sering kali diasosiasikan dengan istilah wasathiyah atau Islam moderat. Menurutnya, hal ini tidaklah salah dan benar adanya karena Allah swt dalam Al-Qur’an juga menggunakan istilah demikian.

Firman Allah swt:

وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِيْ كُنْتَ عَلَيْهَآ اِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَّتَّبِعُ الرَّسُوْلَ مِمَّنْ يَّنْقَلِبُ عَلٰى عَقِبَيْهِۗ وَاِنْ كَانَتْ لَكَبِيْرَةً اِلَّا عَلَى الَّذِيْنَ هَدَى اللّٰهُ ۗوَمَا كَانَ اللّٰهُ لِيُضِيْعَ اِيْمَانَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ ١٤٣

Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ”umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menjadikan kiblat yang (dahulu) kamu (berkiblat) kepadanya melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sungguh, (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sungguh, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia. (QS. Al-Baqarah [2]: 143).

Secara bahasa, kata wasath berarti sesuatu yang ada di tengah. Dalam Mufradât al-fâzh Al-Qur’ân Raghib al-Isfahani disebutkan bahwa secara etimologi kata wasath ini berarti, “Sesuatu yang memiliki dua belah ujung yang ukurannya sebanding.” Kata ini juga bisa bermakna sesuatu yang terjaga, berharga, dan terpilih. Sebab, sesuatu yang ada di tengah-tengah tidak mudah untuk dijangkau secara langsung sehingga dapat menjadi tempat untuk menyimpan hal baik.

Menurut Quraish Shihab, meskipun secara bahasa wasath berarti sikap di tengah, namun tidak selamanya maksud Islam wasathiyah bermakna di tengah atau sama, melainkan keadilan (al-qisth). Ia berkata, “Jangan menghitung matematis ukuran wasathiyah dan pasti di tengah, yang terbaik adalah melihat washatiyah dengan ukuran agama Islam itu sendiri.”

Pandangan Quraish Shihab ini senada dengan pendapat Fakhrudin al-Razi. Ia menyebutkan bahwa wasath atau memiliki beberapa makna, yakni: Pertama, wasath berarti adil. Makna ini didasarkan pada hadis riwayat al-Qaffal dari al-Tsauri dari Abu Sa’id al-Khudry dari nabi Muhammad saw bahwa ummatan wasathan adalah umat yang adil.

Kedua, wasath berarti pilihan. Ketiga, wasath berarti yang paling baik. Keempat, wasath berarti orang-orang yang dalam beragama berada di tengah-tengah antara ifrath (berlebih-lebihan hingga mengada-adakan yang bbaru dalam agama) dan tafrith (mengurang-ngurangi ajaran agama). (Tafsir al-Razi, [2]: 389-390).

Makna-makna di atas tidak bertentangan satu sama lain. Oleh sebab itu, al-Sa’di menyimpulkan bahwa ummat wasath yang dimaksud adalah umat yang adil dan terpilih. Allah swt telah menjadikan umat ini pertengahan (wasath) dalam segala urusan agama (dibanding dengan agama-agama lain) seperti dalam hal kenabian, syari’at, dan lainnya.

Mengapa demikian? Quraish Shihab menegaskan bahwa tujuan Allah swt memerintahkan umat Islam untuk menampilkan Islam wasathiyah adalah agar kita menjadi saksi-saksi kebenaran manusia sekaligus menjadi sosok-sosok yang disaksikan oleh manusia. Oleh karena itu, sudah sepantasnya kita (umat Islam) menjadi umat yang adil dan moderat.

Syarat Utama Implementasi Islam Wasathiyah Menurut Quraish Shihab

Pakar Tafsir Al-Qur’an Indonesia, yakni Prof. Quraish Shihab dalam pada acara Shihab & Shihab di Masjid Al-Azhar, Jakarta, mengemukakan tiga kunci seseorang bisa menerapkan Islam wasathiyah atau Islam moderat. Tiga kunci ini ialah pengetahuan, mengganti emosi keagamaan dengan cinta agama, selalu berhati-hati dalam setiap situasi  dan kondisi serta mempertimbangkan konteks masyarakat.

Syarat pertama Islam wasathiyah adalah pengetahuan. Pengetahuan yang dimaksud adalah mengetahui tentang ajaran agama dan kondisi masyarakatnya. “Tanpa mengetahui itu, tidak akan bisa (menerapkan moderasi). Semua (perbedaan) bisa ditampung oleh Islam wasathiyah.” Dalam konteks ini, pengetahuan yang komprehensif terhadap ajaran Islam normatif maupun historis mutlak adanya.

Contoh pengetahuan tentang ajaran agamanya ialah seperti zakat fitrah dengan menggunakan uang. Quraish Shihab mengatakan, ulama mazhab berbeda pendapat mengenai kebolehan uang sebagai alat pembayaran zakat fitrah. Mazhab Hanafi membolehkan. Sedangkan mazhab Syafi’i tidak membolehkan. Perbedaan antara kedua mazhab juga terjadi misalnya dalam hal apakah qunut saat shalat subuh itu sunnah atau bukan.

Untuk menyikapi perbedaan-perbedaan yang ada, maka seseorang diharuskan memiliki pengetahuan komprehensif mengenai ajaran Islam, sehingga ia tidak akan mudah menyalahkan orang lain yang berbeda pendapat. Baginya, selama  prinsipnya sama, seperti Tuhan itu Esa, Nabi Muhammad adalah utusan Allah, dan meyakini kebenaran Al-Qur’an, maka seseorang atau sekelompok orang tidak perlu saling menyalahkan.

Syarat Islam wasathiyah kedua ialah mengganti emosi keagamaan dengan cinta keagamaan. Quraish Shihab menyatakan, emosi keagamaan seseorang bisa memembuatnya melanggar agama. Misalnya, ada seseorang yang rajin shalat tahajud dan yang lainnya tidak. Menurutnya, jika orang yang gemar tahajud ini tidak bisa mengubah emosi keagamaan menjadi cinta keagamaan, maka akan mudah menyalahkan orang yang tidak rajin shalat tahajud.

Syarat Islam wasathiyah ketiga adalah selalu berhati-hati dalam setiap situasi dan kondisi. Quraish Shihab mengatakan, tidak ada satu kegiatan positif seseorang yang setan tidak mengganggunya. Setan akan selalu meminta seseorang tersebut untuk melebihkan atau menguranginya. Ia memberi contoh, saat seseorang hendak memberikan uang 50 ribu ke pengemis, setan datang dengan membisiki. Bisikan itu berupa permintaan untuk melebihi atau mengurangi nilainya.

Quraish Shihab berkata, “Boleh jadi dia (setan) berkata begini, ‘50 ribu, waduh terlalu sedikit, tambah, dong’. Bisa jadi dia (setan) juga mengurangi, ‘terlalu banyak (50 ribu itu)’. Itu setan begitu. Jadi harus hati-hati. Kalau tidak Anda tidak bisa menerapkan Islam wasathiyah.” Dengan demikian, kita harus berhati-hati dan mawas diri dalam berbuat kebaikan maupun dalam menjauhi keburukan agar tidak terpengaruh bisikan setan.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa Islam wasathiyah ialah sikap adil, toleran, dan moderat yang ditunjukkan seorang muslim sebagai representasi umat pilihan Allah swt. Implementasi keadilan tersebut harus disesuaikan dengan konteks masyarakat yang ada. Dengan demikian – bisa jadi – wajah Islam wasathiyah setiap tempat berbeda, namun semuanya tetap memuat prinsip dasar ajaran Islam yang sama. Wallahu a’lam.