Beranda blog Halaman 215

Konsep Kafir dalam Al-Qur’an Perspektif Farid Esack

0
Farid Esack
Farid Esack

Al-Qur’an pada prinsipnya adalah wahyu yang bersifat progresif. Progresivitas ini ditunjukkan melalui teks-teks yang senantiasa berdialog dengan konteks seiring waktu berlalu. Spirit yang dikandung al-Qur’an terus mengilhami para penafsir memecahkan problematika zaman yang harus dihadapi umat muslim. Dinamika dan gagasan tafsir yang diusung oleh para penafsir kontemporer tentunya merupakan modifikasi dan kritik sejalan dengan tuntutan zaman yang melingkupi diri sang mufasir. Sebut saja, Farid Esack, sang mufasir lahir dari tanah Afrika yang mengidealkan munculnya “Islam Afrika Selatan”.

Kegelisahan intelektual Farid Esack terhadap berbagai gejolak kehidupan yang dialaminya telah membentuk bangunan pemikiran dalam membaca pesan al-Qur’an.  Pendekatan kontekstual terhadap al-Qur’an tidak terlepas dari basis teologis dan historis yang mengitari. Kemelaratan dan ketidakadilan yang dirasakan Esack sejak kecil membuat jiwa justice-nya terbentuk. Kepedulian melihat penderitaan lingkungan sekitar membawanya bersemangat memperjuangkan kemerdekaan atas rezim apartheid.

Baca Juga: Farid Esack: Mufassir Pejuang Keadilan di Afrika Selatan

Farid Esack melakukan penafsiran ulang terhadap beberapa kata dalam al-Qur’an yang dianggap relevan dengan masalah ketidakadilan. Salah satu yang mendapat perhatiannya adalah konsep kafir, yang mana telah menyebabkan jarak antara Muslim dan non-Muslim. Dalam karya disertasinya (1996) yang telah diterbitkan, Quran, Liberation and Pluralism: an Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression, Esack menjelaskan penafsiran transformatifnya.

Interpretasi Konsep Kafir

Kata kafir di berbagai belahan dunia sering ditujukan kepada kaum non-muslim. Jelas di sini yang menjadi perhatian adalah ‘subjek’ penganut agama lain. Menurut Esack, hal ini menjadi salah satu “kata” yang membutuhkan pemaknaan atau pembahasan lebih mendalam. Al-Qur’an memang sering menampilkan ayat yang mengecam  kata kufr dan siksaan yang akan diterima. Surah al-Imran [3]: 21-22 menjadi dasar refleksi Esack terkait pemaknaan kata tersebut,

اِنَّ الَّذِيْنَ يَكْفُرُوْنَ بِئَايَتِ اللهِ وَيَقْتُلُوْنَ النَّبِيِّيْنَ بِغَيْرِ حَقٍّ وَيَقْتُلُوْنَ الّذِيْنَ يَأْمُرُوْنَ بِالْقِسْطِ مِنَ النَّاسِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ اَلِيْمٍ ٢١ أُوآئِكَ الَّذِيْنَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الٌدُّنْيَا وَاْلأَخِرَةِ وَمَالَهُمْ مِنَ نَّصِرِيْنَ ٢٢

“Sungguh, orang-orang yang menolak (yakfur) kepada ayat-ayat Allah, dan membunuh para nabi tanpa hak dan membunuh orang-orang yang mengajak pada keadilan, maka kabarkan bahwa mereka akan memperoleh siksa yang pedih. Mereka itu adalah orang-orang yang lenyap amal-amalnya dan mereka sekali-kali tidak akan memperoleh penolong.” (QS. Ali Imran [3]: 21-22)

Teks tersebut menggabungkan doktrinal kufr dengan perihal sosio-politis terkait keadilan. Secara literal, makna Kufr di tengah wacana muslim telah menjadi istilah yang penuh celaan terhadap penganut agama lain. Derivasi katanya, kaffir telah masuk dalam wacana rasialis Afrika Selatan, tepatnya sebagai ekspresi penghinaan bagi mayoritas kulit hitam. Terdapat penggabungan antara chauvinisme agama dan etno-ideologis, kafir sebagai “simbol keras pengucilan agama” dan sebagai penghinaan rasialis terhadap orang lain. Dalam konteks ini dirasa perlu meninjau ulang konsep kufr dimana terkait dengan penegakan keadilan.

Bagi Esack, produk tafsir tersebut menggambarkan kegagalan penjelasan tafsir dalam membedakan kufr sebagai perilaku aktif dari individu atau kolektif dan diidentikkan sebagai identitas sosio-religius suatu kelompok. Secara munasabah, pada surah Ali Imran (3) ayat 23-24, teks ini merujuk pada orang-orang yang diberikan Kitab, namun menolak jika tindakannya dihukumi oleh Kitab tersebut. Penolakan ini berakar dari sikap arogansi keagamaan dan penyangkalan bahwa api neraka tidak akan lama menyentuh mereka (Ahl al-Kitab).

Esack menyatakan bahwa al-Qur’an menggambarkan kafir sebagai faktor penting yang membentuk identitas diri. Konsep kafir di masa awal Islam, berakar pada superioritas kesukuan dan arogansi, mengolok pemeluk Islam karena berasal dari kelas rendahan. Adapun kemungkinan kufr terkait dengan penolakan terhadap agama. Jika meninjau sisi doktrinal kufr dalam al-Qur’an, terdapat beberapa yang perlu diperhatikan agar terhindar dari perlakuan tidak adil pada mereka yang berlabel ‘non-muslim’.

Pertama, ketika al-Qur’an mengaitkan kufr dengan doktrin, itu dilakukan dalam konteks sosio-historis yang nyata dan yakin bahwa kepercayaan yang tulus pada keesahan Tuhan dan pertanggungjawaban akhir akan membawa terwujudnya masyarakat adil. Kedua, al-Qur’an menggambarkan kafir sebagai sosok yang mengetahui keesaan Tuhan dan Nabi Muhammad, namun memilih menolak. Ketiga, al-Qur’an mencela kufr sebagai perilaku permusuhan terhadap Islam dan Muslim. Keempat, al-Qur’an melihat motif keputusan kuffar untuk menolak memegang keyakinan tertentu.

Baca Juga: Kuffar dalam Al-Quran Tidak Selalu Bermakna Orang-Orang Kafir, Lalu

Pemisahan kufr dari perilaku sosial dan personal musuh Nabi sebagai individu di Makkah dan Madinah merupakan hal yang tidak mungkin. Esack mencoba melihat perilaku semacam itu terhadap Islam dan pola perilaku sosio-politik, agar mampu membangun implikasi kontemporer bagi istilah kufr. Proses transfer label saja telah mengakibatkan kesalahan kolektif orang yang beragama lain.Ia menaruh perhatianian penuh antara komitmen al-Qur’an pada keadilan, keterkaitan nabi dengan orang-orang yang mengajak keadilan dan kufr-nya orang yang mendukung ketidakadilan.

Dinamika makna kufr beserta berbagai konteksnya berarti mengakui etos keadilan dalam al-Qur’an. Esack beranggapan bahwa bukan label tersebut yang diperhatikan Tuhan, akan tetapi menunjuk pada perbuatan dan tindakan manusia. Muslim tidak seharusnya melemparkan etos kufr pada orang yang kebetulan lahir sebagai non-Muslim atau diantara yang bukan partisipan kufr. Sebuah fakta identitas kelompok tidak bisa menggantikan prinsip pertanggungjawaban personal. Demikian, menjalin hubungan dalam konteks sosial dan politik dengan non-Muslim tidak ada pelarangan, apalagi dalam konteks genting yang diperlukan untuk saling membahu. Bagi Esack, term kafir ditujukan untuk siapapun yang tidak memiliki rasa keadilan, baik muslim maupun non-muslim. Wallahu A’lam.

Tafsir Surah Az-Zumar Ayat 8-10

0
Tafsir Surah Az- Zumar
Tafsir Surah Az- Zumar

Tafsir Surah Az-Zumar Ayat 8-10 menjelaskan tanda-tanda orang yang ingkar dan taat kepada Allah, untuk mengetahuinya cukup diberikan sedikit ujian, jika ia sabar dan tabah, bersyukur atas setiap keadaan yang menimpanya, maka ia adalah orang yang taat. Sebaliknya, jika ia hanya mengenang Allah disalah satu keadaan saja, maka ia adalah orang yang ingkar.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Az- Zumar Ayat 7


Ayat 8

Allah menjelaskan sikap orang yang mengingkari nikmat Allah. Apabila ia ditimpa kemudaratan baik berupa penyakit atau pun penderitaan yang menimpa kehidupannya, ia memohon pertolongan kepada Allah, agar penyakitnya atau penderitaannya dilenyapkan.

Ia pun menyatakan diri bertobat, meminta ampun atas perbuatan buruknya di masa yang telah lalu. Akan tetapi, apabila ia mendapatkan nikmat dimana penyakit dan penderitaannya telah hilang lenyap, ia lupa akan perkataan yang diikrarkan pada saat dia berdoa.

Kemudian mereka mengada-adakan tuhan-tuhan yang lain sebagai sekutu bagi Allah. Mereka tidak saja menyesatkan diri mereka, tetapi menyesatkan pula orang lain, menghalang-halangi orang yang mengikrarkan dirinya sebagai orang yang beragama tauhid.

Di akhir ayat, Allah memerintahkan kepada rasul-Nya agar mengatakan kepada orang yang mengingkari nikmat Allah itu, “Puaskanlah dirimu dengan melaksanakan keinginanmu sewaktu hidup di dunia, nikmatilah kelezatannya yang tidak lama masanya, hingga ajal merenggut jiwamu. Pada saat itu kamu akan menyesali perbuatanmu. Pada hari perhitungan nanti, kamu akan mengetahui dengan pasti bahwa kamu akan menjadi penghuni neraka yang penuh dengan siksaan.”

Ayat 9

Kemudian Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya agar menanyakan kepada orang-orang kafir Mekah, apakah mereka lebih beruntung daripada orang yang beribadah di waktu malam dengan sujud dan berdiri dengan sangat khusyuk.

Dalam melaksanakan ibadah itu, timbullah dalam hatinya rasa takut kepada azab Allah di akhirat, dan memancarlah harapannya akan rahmat Allah.

Perintah yang sama diberikan Allah kepada Rasul-Nya agar menanyakan kepada mereka apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui.

Yang dimaksud dengan orang-orang yang mengetahui ialah orang-orang yang mengetahui pahala yang akan diterimanya, karena amal perbuatannya yang baik, dan siksa yang akan diterimanya apabila ia melakukan maksiat.

Sedangkan orang-orang yang tidak mengetahui ialah orang-orang yang sama sekali tidak mengetahui hal itu, karena mereka tidak mempunyai harapan sedikit pun akan mendapat pahala dari perbuatan baiknya, dan tidak menduga sama sekali akan mendapat hukuman dari amal buruknya.

Di akhir ayat, Allah menyatakan bahwa hanya orang-orang yang berakal yang dapat mengambil pelajaran.

Pelajaran tersebut baik dari pengalaman hidupnya atau dari tanda-tanda kebesaran Allah yang terdapat di langit dan di bumi serta isinya, juga yang terdapat pada dirinya atau teladan dari kisah umat yang lalu.


Baca Juga : Tafsir An-Nahl Ayat 12: Tanda Kekuasaan Allah dalam Pergerakan Matahari


Ayat 10

Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya agar menyeru seluruh hamba Allah dan menasihati mereka agar tetap bertakwa kepada Allah, menaati seluruh perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya.

Manusia diperintahkan agar bertakwa karena mereka yang berbuat baik di dunia ini akan mendapat kebaikan pula. Mereka akan dianugerahi kesehatan, kesejahteraan, dan kesuksesan dalam melaksanakan tugas-tugas hidupnya.

Semua itu dapat dicapai karena ia selalu berakhlak baik dan berbudi luhur seperti yang biasa dilakukan oleh orang-orang yang bertakwa. Di samping itu, ia akan mendapat kebaikan pula di akhirat, yaitu mendapat tempat yang penuh dengan kenikmatan, dan mendapat keridaan Allah.

Allah juga menyuruh kaum Muslimin untuk mempersiapkan diri melakukan hijrah ke Medinah, serta menyuruh mereka agar bersikap tabah karena terpisah dari tanah air, sanak keluarga, dan handai taulan.

Perintah itu diberikan dengan penjelasan bahwa apabila kaum Muslimin terganggu kebebasannya dalam melakukan perintah Allah di Mekah, maka hendaklah hijrah ke negeri lain yang memungkinkan untuk memberi ketenangan dalam melakukan perintah-perintah Allah.

Perintah ini terlukis dalam firman Allah yang singkat “Dan bumi Allah itu adalah luas.”

Allah berfirman:

اَلَمْ تَكُنْ اَرْضُ اللّٰهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوْا فِيْهَا

“Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah (berpindah-pindah) di bumi itu?” (an-Nisa’/4: 97).

Di akhir ayat, Allah menjelaskan bahwa hanya orang-orang yang bersabarlah yang akan mendapat pahala yang tak terbatas, seperti dirasakan oleh umat yang terdahulu dari mereka.

 (Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Az- Zumar Ayat 10-15


Tafsir Surah Az-Zumar Ayat 7

0
Tafsir Surah Az- Zumar
Tafsir Surah Az- Zumar

Tafsir Surah Az-Zumar Ayat 7 menegaskan bahwa syukur ataupun ingkarnya seorang hamba sama sekali tidak mempengaruhi kekuasaan Allah. Sejatinya, Allah tidak membutuhkan apa-apa dari keduanya, hanya saja, Dia berhak untuk membalas hambanya yang senantiasa besyukur atas nikmat yang telah dianugerahkan. Sebaliknya, Allah pun berhak mengazab hamba yang ingkar kepada-Nya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Az- Zumar Ayat 6


Ayat 7

Allah menjelaskan bahwa apabila kaum musyrikin itu tetap mengingkari kemahaesaan-Nya, padahal sudah cukup bukti-bukti untuk itu, maka hal itu sedikit pun tidak merugikan Allah. Dia tidak memerlukan apa pun juga dari seluruh makhluk-Nya.

Allah berfirman:

وَقَالَ مُوْسٰٓى اِنْ تَكْفُرُوْٓا اَنْتُمْ وَمَنْ فِى الْاَرْضِ جَمِيْعًا ۙفَاِنَّ اللّٰهَ لَغَنِيٌّ حَمِيْدٌ

Dan Musa berkata, “Jika kamu dan orang yang ada di bumi semuanya  mengingkari (nikmat Allah), maka sesungguhnya Allah Mahakaya, Maha Terpuji.” (Ibrahim/14: 8).

Dalam hadis Qudsi dijelaskan:

يَاعِبَادِيْ لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَ اٰخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوْا عَلَى أَفْجَرِ قَلْبِ رَجُلٍ مِنْكُمْ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِيْ شَيْئًا. (رواه مسلم عن أبى ذرّ الغفار)

“Wahai hamba-hamba-Ku, sekiranya orang-orang yang terdahulu dan yang terakhir dari kamu, manusia dan jin semuanya berkumpul dalam hati seorang yang paling jahat, maka sikap demikian itu tidaklah mengurangi kekuasaan-Ku sedikit pun.” (Riwayat Muslim dari Abu Dzarr al-Gifari).

Allah menjelaskan bahwa Dia tidak merelakan kekafiran bagi para hamba-Nya. Keingkaran itu pada dasarnya bertentangan dengan jiwa manusia.

Jiwa manusia dan seluruh makhluk Allah diciptakan sesuai dengan fitrah kejadiannya, yang semestinya tunduk kepada ketentuan-ketentuan Penciptanya.

Akan tetapi, apabila mereka itu mensyukuri nikmat Allah, tentu Dia menyukainya, karena keadaan serupa itu memang sesuai dengan fitrah kejadiannya, dan sesuai dengan sunatullah.

Allah berfirman:

لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ

Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat. (Ibrahim/14: 7).

Baca Juga :

Kemudian Allah menjelaskan bahwa tiap orang, pada hari Kiamat, akan dituntut untuk mempertanggungjawabkan amal perbuatannya ketika hidup di dunia. Tiap-tiap orang yang berdosa bertanggung jawab atas perbuatan dosanya.

Ia tidak akan memikul dosa orang lain. Sesudah itu tiap-tiap orang akan digiring menghadap Tuhannya untuk menerima penjelasan tentang catatan amalnya selama ia hidup di dunia.

Tak ada satu perbuatan baik atau buruk yang tertinggal. Pada saat itu amal perbuatan masing-masing orang akan mendapat pembalasan yang setimpal.

Apabila catatan amalnya penuh dengan perbuatan baik, niscaya ia mendapat tempat yang penuh dengan kenikmatan. Tetapi apabila catatan-catatan amalnya penuh dengan perbuatan buruk niscaya ia mendapat tempat yang penuh dengan penderitaan. Sebagaimana firman Allah:

وَاَنْ لَّيْسَ لِلْاِنْسَانِ اِلَّا مَا سَعٰىۙ    ٣٩  وَاَنَّ سَعْيَهٗ سَوْفَ يُرٰىۖ  ٤٠  ثُمَّ يُجْزٰىهُ الْجَزَاۤءَ الْاَوْفٰىۙ   ٤١

Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya, dan sesungguhnya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya), kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling  sempurna. (an-Najm/53: 39-41).

Perlu diingat bahwa seseorang yang berbuat kemungkaran, kemudian ada orang lain yang mengikutinya, maka ia akan mendapat tambahan dosa dari kemungkaran yang dilakukan orang yang menirunya. Sehubungan dengan hal ini, Rasulullah pernah mengungkapkan sebagai berikut:

مَنْ سَنَّ فِى اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْهُ شَيْئٌ وَمَنْ سَنَّ فِى اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْهُ شَيْئٌ. (رواه مسلم والنسائى عن ابى ذرّ)

Siapa saja yang membuat kebiasaan yang baik dalam Islam, maka ia akan mendapat pahalanya ditambah pahala orang yang melakukannya sampai hari Kiamat tanpa mengurangi pahala orang itu sedikit pun. Dan siapa saja yang melakukan kebiasaan buruk dalam Islam, maka ia akan mendapat dosanya, ditambah dosa orang yang melakukannya sampai hari Kiamat, tanpa dikurangi dosa orang itu sedikit pun. (Riwayat Muslim dan an-Nasa’i dari Abu Dzarr).

Pada penghujung ayat ini Allah menjelaskan, bahwa Dia Maha Mengetahui apa yang tersimpan dalam dada para hamba-Nya.

Dengan demikian tidak mungkin ada amal perbuatan yang luput dari perbuatan Allah, baik perbuatan yang dapat disaksikan oleh orang lain atau pun perbuatan yang hanya diketahui oleh si pelaku itu sendiri.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Az- Zumar Ayat 8-10


Tafsir Surah Az-Zumar Ayat 6

0
Tafsir Surah Az- Zumar
Tafsir Surah Az- Zumar

Tafsir Surah Az-Zumar Ayat 6 bericara tentang pencipataan manusia sebagai bukti dari kekuasaan Allah. Bermula dari satu manusia saja, hingga terlahir milyaran manusia dengan berbagai macam karakter. Jika hal ini diresapi dengan baik, tentu banyak manusia yang akan beriman kepada Allah Swt.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Az- Zumar Ayat 5


Ayat 6

Allah menunjukkan tanda-tanda kekuasaan-Nya yang ada pada penciptaan diri manusia. Allah menjelaskan bahwa Dia menciptakan manusia pada mulanya seorang saja.

Allah menciptakan manusia yang beraneka ragam warna dan bahasanya dari diri Adam. Kemudian Allah menciptakan pasangannya Hawa.

Allah juga menjelaskan bahwa Dia pula yang menciptakan delapan ekor binatang ternak yang berpasang-pasangan. Kambing sepasang, biri-biri sepasang, unta sepasang, dan sapi sepasang.

Allah menjelaskan lebih jauh tentang kejadian manusia. Manusia diciptakan melalui proses kejadian demi kejadian. Proses kejadiannya yang pertama ialah sebagai nutfah, sesudah itu melalui proses demi proses sebagaimana darah kental kemudian sebagai janin.

Pada saat sempurna menjadi janin itulah Allah menciptakan roh di dalamnya sehingga menjadi makhluk hidup. Tanda-tanda kehidupannya dapat diketahui dari detak jantungnya dengan menempelkan telinga ke perut sang ibu.

Tentang proses kejadian manusia dalam perut ibu, Nabi Muhammad bersabda:

إِنَّ أَحَدَكُمْ بِجَمْعِ خَلْقِهِ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا نُطْفََةً ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلُ ذَلِكَ ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلُ ذَلِكَ ثُمَّ يُرْسِلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الُّروْحُ وَ بِأَمْرٍ يَكْتُبُ أَرْبَعُ كَلِمَاتٍ رِزْقُهُ وَأَجَلُهُ وُعَمَلُهُ وَشَقِيَّ أَوْسَعِيْد. (رواه مسلم عن ابن مسعود)

Sesungguhnya kejadian seseorang di antara kamu dalam perut ibunya adalah 40 hari pertama berupa air mani (sperma), kemudian menjadi ‘alaqah (sesuatu yang menggantung)pada masa seperti itu lagi (40 hari), lalu menjadi “mu«gah”(segumpal daging) dalam masa seperti itu (40 hari. Kemudian malaikat di utus (oleh Allah), lalu dia meniupkan roh kepada janin, dan Allah memerintahkan untuk menetapkan 4 hal: rezekinya, umurnya, amalnya, apakah dia orang yang celaka atau bahagia.( Riwayat Muslim dari Ibnu Mas’ud).

Di samping itu, Allah menjelaskan bahwa ketika bayi berada dalam kandungan, ia berada dalam tiga kegelapan, yaitu pada bagian dalam selaput yang menutupi bayi dalam rahim sehingga bayi itu terlindung dari pengaruh pembusukan.

Menurut pandangan mata, sepintas kilas selaput itu seakan-akan hanya selapis saja, namun bila diteliti dengan seksama, selaput itu ada tiga lapis.


Baca Juga : Inilah Beberapa Argumentasi Orientalis dalam Mematahkan Autentisitas Al-Quran


Para ilmuwan menjelaskan bahwa tiga lapis membran yang dapat mengamankan janin selama berada di dalam rahim, adalah:

  1. Lapisan membran amnion yang mengandung cairan sehingga janin dalam keadaan berenang. Kondisi demikian ini melindungi janin apabila ada benturan dari luar. Di samping itu, posisi berenang ini memberikan kesempatan kepada janin dalam memposisikan diri saat akan dilahirkan.
  2. Lapisan membran chorion
  3. Lapisan membran decidua

Beberapa peneliti menghubungkan tiga lapisan kegelapan dalam ayat di atas dengan lapisan membran amniotik yang mengelilingi rahim, dinding rahim itu sendiri, dan dinding abdomen di bagian perut .

Allah menandaskan bahwa yang berbuat demikian itu ialah Allah Pencipta manusia dan yang menguasai langit dan bumi serta isinya. Oleh sebab itu, Dia yang berhak disembah. Tidak ada Tuhan yang patut disembah kecuali Dia, Yang Maha Esa dan tidak mempunyai sekutu.

Pada penghujung ayat, Allah menanyakan kepada kaum musyrikin pertanyaan yang mengandung cemoohan terhadap mereka, mengapa mereka dapat dipalingkan dari beribadah hanya kepada Allah, menjadi penyembah patung-patung, padahal mereka telah mempunyai kemampuan untuk membaca tanda-tanda keesaan dan kekuasaan Allah yang ada di alam semesta dan ada pada diri mereka sendiri.;

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Az- Zumar Ayat 7


Tafsir Surah Az-Zumar Ayat 3-4

0
Tafsir Surah Az- Zumar
Tafsir Surah Az- Zumar

Tafsir Surah Az-Zumar Ayat 3-4 berbicara tentang keesaan Allah Swt., bahwa tidak ada yang berhak disembah melainkan dirinya. Maka, sangat keliru perbuatan orang musyrik yang menyembah berhala dengan dalih sebagai perantara ibadah kepada Allah.

Kesesatan lainnya adalah anggapan mereka yang menilai bahwa malaikat merupakan anak Allah. Maka, ditegaskanlah dalam Tafsir Surah Az-Zumar Ayat 3-4 bahwa Allah adalah Tuhan Yang Esa, tidak memiliki anak dan tidak memiliki orang tua.

Sebab itulah Nabi Muhammad diutus sebagai pembawa risalah ilahi untuk menyampaikan agama tauhid, yakni hanya menjadikan Allah sebagai Tuhan, dan tidak menerima ada tuhan yang lain, sebagaimana penjelasan dalam Tafsir Surah Az-Zumar Ayat 3-4 berikut.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Az- Zumar Ayat 1-2


Ayat 3

Allah lalu memerintahkan kepada rasul-Nya agar mengingatkan kaumnya bahwa agama yang suci adalah agama Allah. Maksud agama dalam ayat ini ialah ibadah dan taat.

Oleh sebab itu, ibadah dan taat itu hendaknya ditujukan kepada Allah semata, bersih dari syirik dan ria.

Penyembah berhala berpendapat bahwa Allah adalah Zat yang berada di luar jangkauan indera manusia. Oleh sebab itu, tidak mungkin manusia dapat langsung beribadah kepada-Nya.

Apabila manusia ingin beribadah kepada-Nya, menurut mereka, hendaknya memakai perantara yang diserahi tugas untuk menyampaikan ibadah mereka itu kepada Allah.

Perantara-perantara itu ialah malaikat dan jin, yang kadang-kadang menyerupai bentuk manusia. Mereka ini dianggap Tuhan. Adapun patung-patung yang dipahat yang diletakkan di rumah-rumah ibadah adalah patung yang menggambarkan tuhan, tetapi bukanlah Tuhan yang sebenarnya.

Hanya saja pada umumnya kebodohan menyebabkan mereka tidak lagi membedakan antara patung dan Tuhan sehingga mereka menyembah patung itu sebagaimana menyembah Allah, seperti keadaan orang-orang yang menyembah binatang.

Mereka itu tidak lagi membedakan antara menyembah binatang dan menyembah Pencipta binatang.

Orang-orang Arab Jahiliah melukiskan patung-patung dengan bermacam-macam bentuk, ada patung yang menggambarkan bintang-bintang, malaikat-malaikat, nabi-nabi, dan orang-orang saleh yang telah berlalu. Mereka menyembah patung-patung itu sebagai simbol bagi masing-masing sembahan itu.

Demikianlah anggapan kaum musyrikin di masa lalu dan menjelang diutusnya Muhammad saw sebagai rasul. Kemudian datanglah Rasulullah dengan mengemban perintah untuk membinasakan sembahan-sembahan mereka itu dan mengikis habis anggapan yang salah dari pikiran mereka, serta menggantinya dengan ajaran yang menuntun pikiran agar beragama tauhid.

Allah berfirman:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِيْ كُلِّ اُمَّةٍ رَّسُوْلًا اَنِ اعْبُدُوا اللّٰهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوْتَۚ

Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah, dan jauhilah Thagut.” (an-Nahl/16: 36)

Dan firman-Nya:

وَمَآ اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا نُوْحِيْٓ اِلَيْهِ اَنَّهٗ لَآ اِلٰهَ اِلَّآ اَنَا۠ فَاعْبُدُوْنِ

Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku. (al-Anbiya’/21: 25).


Baca Juga : Peran Bahasa Arab dan Cabang Keilmuannya dalam Penafsiran Al-Qur’an


Sebagai penjelasan lebih luas tentang pengakuan orang-orang Quraisy terhadap adanya Allah, dituturkan oleh Qatadah bahwa apabila orang-orang musyrik Mekah itu ditanya siapa Tuhan mereka, siapa yang menciptakan mereka, dan siapa yang menciptakan langit dan bumi serta menurunkan hujan dari langit, mereka menjawab, “Allah.”

Kemudian apabila ditanyakan kepada mereka, mengapa mereka menyembah berhala-berhala, mereka pun menjawab, “Supaya berhala-berhala itu mendekatkan mereka kepada Allah dengan sedekat-dekatnya dan berhala-berhala itu memberi syafaat pada saat mereka memerlukan pertolongan dari sisi Allah.”

Kemudian mengenai sikap kaum musyrikin yang serupa itu Allah berfirman:

فَلَوْلَا نَصَرَهُمُ الَّذِيْنَ اتَّخَذُوْا مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ قُرْبَانًا اٰلِهَةً  ۗبَلْ ضَلُّوْا عَنْهُمْۚوَذٰلِكَ اِفْكُهُمْ وَمَا كَانُوْا يَفْتَرُوْنَ

Maka mengapa (berhala-berhala dan tuhan-tuhan) yang mereka sembah selain Allah untuk mendekatkan diri (kepada-Nya) tidak dapat menolong mereka? Bahkan tuhan-tuhan itu telah lenyap dari mereka? (al-Ahqaf/46: 28).

Allah mengancam sikap dan perbuatan mereka serta menampakkan kepada mereka akibat yang akan mereka rasakan. Allah akan memutuskan apa yang mereka perselisihkan itu pada hari perhitungan. Pada hari itu, kebenaran agama tauhid tidak akan dapat ditutup-tutupi lagi dan kebatilan penyembahan berhala akan tampak dengan jelas.

Masing-masing pemeluknya akan mendapat imbalan yang setimpal. Orang-orang yang tetap berpegang kepada agama tauhid akan mendapat tempat kembali yang penuh kenikmatan. Sedang orang-orang yang selalu bergelimang dalam lembah kemusyrikan akan mendapat tempat kembali yang penuh dengan penderitaan.

Pada bagian akhir ayat ini, Allah menandaskan bahwa Dia tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang mendustakan kebenaran dan mengingkari agama tauhid karena kesesatan mereka yang tak dapat dibetulkan lagi.

Macam-macam cara yang mereka tempuh untuk menyekutukan Allah dengan tuhan-tuhan yang lain, seperti menyembah berhala, atau beranggapan bahwa Allah mempunyai anak dan sebagainya. Semua itu tiada lain hanyalah anggapan mereka yang jauh dari kebenaran dan menyeret mereka ke lembah kesesatan.

Ayat 4

Allah menjelaskan dengan lebih rinci perbuatan yang menyebab-kan mereka terjerumus ke dalam kesesatan. Allah mengemukakan bahwa sekiranya Dia berkeinginan untuk mengambil anak, tentulah Dia tidak akan mengambil anak seperti yang mereka katakan. Sudah tentu Allah berkuasa memilih anak menurut kehendak-Nya, dan yang dipilih itu tentunya anak lelaki.

Akan tetapi, mengapa orang-orang kafir Mekah itu mengatakan bahwa Allah mempunyai anak perempuan, padahal mereka sendiri enggan mempunyai anak perempuan?

Allah berfirman:

اَمْ لَهُ الْبَنٰتُ وَلَكُمُ الْبَنُوْنَ

Ataukah (pantas) untuk Dia anak-anak perempuan sedangkan untuk kamu anak-anak laki-laki? (at-Thur/52: 39)

Dan firman-Nya:

اَلَكُمُ الذَّكَرُ وَلَهُ الْاُنْثٰى   ٢١  تِلْكَ اِذًا قِسْمَةٌ ضِيْزٰى   ٢٢

Apakah (pantas) untuk kamu yang laki-laki dan untuk-Nya yang perempuan? Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil. (an-Najm/53: 21-22).

Anggapan bahwa Allah mempunyai anak bagaimana pun juga bentuknya, adalah termasuk mempersekutukan Allah dengan tuhan-tuhan yang lain. Hal ini berarti memecah-belah kekuasaan Tuhan.

Bagaimana pun juga anak itu tentunya mewarisi kekuasaan dari ayah, dan apabila kekuasaan itu terbagi, maka hilanglah kemahakuasaan Allah. Hal ini tidak bisa terjadi karena Allah yang menciptakan langit dan bumi serta isinya, tentu mempunyai kekuasaan tidak terbatas, sehingga kekuasaan-Nya pun tidak mungkin terbagi-bagi.

Itulah sebabnya maka Allah menandaskan bahwa Mahasuci Dia dari sifat-sifat yang dikemukakan oleh orang-orang musyrik itu. Sebaliknya Allah menandaskan bahwa Dia Maha Esa, tidak beranak dan tidak berbapak. Dia tidak memerlukan sesuatu apa pun, bahkan Dia Maha Mengalahkan.

Dia berkuasa menundukkan apa saja yang ada di langit dan di bumi serta seluruh isinya, dan memaksanya tunduk takluk di bawah kekuasaan-Nya dan patuh menurut kehendak-Nya.

 (Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Az- Zumar Ayat 5


Tafsir Surah Az-Zumar Ayat 1-2

0
Tafsir Surah Az- Zumar
Tafsir Surah Az- Zumar

Surah az-Zumar termasuk dari surah Makkiyah yang berjumlah 75 ayat, nama lain dari surah az-Zumar adalah al-Ghuraf (kamar-kamar), yang diambil  dari ayat 20 dalam surah ini. Adapun tafsir kali ini diawali dengan Tafsir Surah Az-Zumar Ayat 1-2, yang berbicara tentang kemuliaan al-Qur’an.

Sama seperti Kitab Samawi yang lain, Tafsir Surah Az-Zumar Ayat 1-2 juga menerangkan bahwa al-Qur’an merupakan kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara berangsur-angsur, melalui perantara malaikat Jibril untuk disampaikan kepada umat manusia sebagai pedoman dan petunjuk meniti jalan yang benar.

Maka, sudah seharusnya bagi orang mukmin menjadikan al-Qur’an sebagai bagian dari kebutuhan sehari-hari, utamanya untuk mengisi ruhani, sebab bukan hanya tubuh fisik saja yang membutuhkan asupan, namun ruhani/jiwa juga memerlukan asupan agar ia tidak keras dan mati. Bahkan, kebutuhan atas jiwa jauh lebih penting untuk diperhatikan, sebab baiknya jiwa juga akan mempengaruhi fisik manusia.

Ayat 1

Allah menjelaskan bahwa Al-Qur’an yang bernilai tinggi ini, diturunkan dari sisi Allah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.

Disebutkan sifat Allah Yang Mahaperkasa dan Mahabijaksana dalam ayat ini agar tergambar bagi orang yang mendengar atau membacanya bahwa Al-Qur’an itu mengandung petunjuk-petunjuk yang benar.

Nilai-nilai kebenarannya tidak dapat disanggah atau dibantah oleh siapa pun juga, dan nilai-nilai kebijaksanaan di dalamnya tidak dapat diragukan.

Bukti-bukti kebenaran bahwa Al-Qur’an itu diturunkan dari Allah dan mengandung petunjuk yang benar dijelaskan juga dalam ayat-ayat yang lain.

Allah berfirman:

وَاِنَّهٗ لَتَنْزِيْلُ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ ۗ    ١٩٢  نَزَلَ بِهِ الرُّوْحُ الْاَمِيْنُ ۙ   ١٩٣  عَلٰى قَلْبِكَ لِتَكُوْنَ مِنَ الْمُنْذِرِيْنَ ۙ    ١٩٤  بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُّبِيْنٍ ۗ   ١٩٥

Dan sungguh, (Al-Qur’an) ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan seluruh alam, yang dibawa turun oleh ar-Ruh al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar engkau termasuk orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas. (asy-Syu’ara’/26: 192-195).

Dan firman-Nya:

اِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِالذِّكْرِ لَمَّا جَاۤءَهُمْ ۗوَاِنَّهٗ لَكِتٰبٌ عَزِيْزٌ ۙ  ٤١  لَّا يَأْتِيْهِ الْبَاطِلُ مِنْۢ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهٖ ۗتَنْزِيْلٌ مِّنْ حَكِيْمٍ حَمِيْدٍ   ٤٢

Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari Al-Qur’an ketika (Al-Qur’an) itu disampaikan kepada mereka (mereka itu pasti akan celaka), dan sesungguhnya (Al-Qur’an) itu adalah Kitab yang mulia,   (yang) tidak akan didatangi oleh kebatilan baik dari depan maupun dari belakang (pada masa lalu dan yang akan datang), yang diturunkan dari Tuhan Yang Mahabijaksana, Maha Terpuji. (Fusshilat/41: 41-42)

Demikianlah yang pernah dilakukan oleh para utusan Allah hingga Nabi Muhammad Saw. yang selalu memperhatikan soal jiwa, dan tidak lelah untuk mengajak ummatnya untuk senantiasa membersihkan jiwanya dari sifat-sifat yang buruk, seperti; dengki, iri hati, marah, sombong, menghasut, dan sebagainya.

Diantara jalan yang sering disampaikan oleh Nabi dan pewarisnya untuk menghidupkan dan membersihkan hati adalah dengan cara membaca, memahami, dan mengamalkan al-Qur’an dalam menjalani kehidupan di dunia ini.


Baca Juga : Pentingnya Kurikulum Pendidikan Multikultural Menurut Al Quran


Ayat 2

Allah menjelaskan bahwa Dia menurunkan kepada rasul-Nya Kitab Al-Qur’an, dengan membawa kebenaran dan keadilan. Maksud “membawa kebenaran” dalam ayat ini ialah membawa perintah kepada seluruh manusia agar mereka beribadah hanya kepada Allah Yang Maha Esa.

Kemudian Allah menjelaskan cara beribadah yang benar itu hanyalah menyembah Allah semata, dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya, bersih dari pengaruh syirik dan ria.

Kebenaran yang terdapat dalam Al-Qur’an itu sesuai dengan kebenaran yang termuat dalam kitab-kitab yang diturunkan kepada rasul sebelumnya.

Dengan demikian, semua peribadatan yang ditujukan kepada selain Allah atau peribadatan yang tidak langsung ditujukan kepada-Nya adalah peribadatan yang tidak benar.

 (Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Az- Zumar Ayat 3-4


Ali Imran Ayat 139: Berdamai dengan Mental Health, Sebab Allah Swt Memberikan Kabar Gembira yang Kurang Percaya Diri

0
Berdamai dengan Mental Health
Berdamai dengan Mental Health

Hal penting yang perlu kita ajarkan pada diri sendiri untuk saat ini yaitu berdamai dengan mental health dan bersahabat pada diri sendiri. Meskipun mau marah, mau kecewa, mau nangis rasanya sudah tidak ada gunanya. Apalagi pada masa pandemi ini, tidak semua orang benar-benar betah untuk di rumah lebih lama. Lalu akhirnya, saya mencoba membuat pertanyaan untuk saya sendiri, bagaimana caranya, agar bisa betah dirumah dengan mental yang terjaga dan percaya pada diri sendiri, bahwa kita semua bisa melewati masa pandemi ini.

Dan ternyata Allah Swt pernah menghibur hambaNya yaitu Nabi Muhammad beserta pengikutnya yang sedang dilanda kegagalan, dalam firmanNya turun untuk mewujudkan rasa percaya diri yang berlandaskan iman. Tepat pada surah ali imran ayat 139:

وَلَا تَهِنُوا۟ وَلَا تَحْزَنُوا۟ وَأَنتُمُ ٱلْأَعْلَوْنَ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ

Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.

Baca juga: Tafsir Surah Ali Imran Ayat 3-4: Bagaimana Cara Beriman Kepada Kitab-Kitab Allah?

Tafsir Surah Ali Imran Ayat 139

Ayat di atas sangat memberi semangat bagi kita yang sedang mengalami keterpurukan atau kurangnya percaya diri. Rasyid Ridha dalam Tafsirnya yang berjudul  Tafsir al-Manar, kata tahinu dari kata al-wahnu yang bermakna lemah dalam suatu urusan atas sebab sesuatu yang sedang menimpa atau menyakiti jiwa. Allah memerintahkan untuk janganlah lemah dalam berperang, walaupun dalam berperang kalian akan ditimpa kesusahan berupa kegagalan. Ayat ini turun ketika Nabi Muhammad dan pasukkannya kalah dalam perang uhud.

Kemudian kata wa la tahzanu bermakna janganlah bersedih hati terhadap apa yang menimpa diri kalian pada hari ini. Dan janganlah kamu bersedih yang bisa membuat hatimu patah semangat.

Adapun kata antum al-a’launa, makna ini ditunjukkan kepada orang-orang yang sanggup bertaqwa kepada Allah Swt. Karena mereka yang bertakwa, Allah akan isikan hatinya kebahagiaan dan keberhasilan. Dan orang-orang yang bertakwa yaitu yang mengikuti sunnah-Nya dalam menerapkan tatanan kemasyarakatan, sehingga sifat-sifat tenang, percaya diri, rasa bahagia akan berada pada diri kita.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Benarkah Hanya Debu yang Dapat Dibuat Bertayamum?

Al-Maraghi dalam tafsirnya juga menjelaskan al-a’launa yang dimaksud di sini adalah Allah Swt. menghibur Nabi Muhammad saw. dan sahabatnya dimana sesungguhnya mereka berada dalam derajat yang tinggi. Meskipun umat muslim kalah di medan perang, akan tetapi orang-orang beriman di perang Uhud lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan orang-orang kafir.

Sesungguhnya Allah melarang merasa susah terhadap apa yang telah lewat, karena hal tersebut, akan mengakibatkan seseorang kehilangan semangatnya. Sebaliknya Allah tidak melarang hubungan seseorang dengan apa yang dicintainya, yaitu harta, kekayaan atau teman yang dapat memulihkan kekuatannya, serta dapat mengisi hatinya dengan kegembiraan. Akan tetapi bentuk larangan Allah di sini adalah mengobati jiwa dengan cara bekerja dengan perbuatan yang dilarang oleh Allah.

Kemudian ada pesan bagus dari Musthafa al-Maraghi dalam menafisrkan ayat di atas, pada Tafsir al-Maraghi, menjelaskan janganlah kalian merasa lemah dalam menghadapi pertempuran, seperti membuat persiapan dan siasat perang, lantaran luka dan kekalahan dalam perang Uhud. Dengan adanya tekad yang kuat untuk mengatasi kesulitan, maka kesulitan akan segera musnah. Jika kita memiliki sikap demikian, maka otak bawah sadar kita akan terus berfikir bagaimana cara mewujudkannya.

Baca juga: Benarkah Umat Islam Harus Bersikap Tegas Kepada Non-Muslim?

Pentingnya Percaya Diri untuk Membentuk Pribadi yang Tangguh

Sikap percaya diri telah melahirkan pribadi-pribadi yang tangguh. Mengapa demikian? Coba kita mengingat sejarah para pendahulu, para penjuru penyebar agama Islam di seluruh pelosok dunia, begitu banyak pelajaran yang bisa kita raih. Dan karakter seorang pemenang  diraih oleh orang yang memiliki sikap yang tangguh, optimis, dan percaya diri.

Akan tetapi jika mental lemah, mudah merasa putus asa, dan pasrah dan tidak mampu keluar dari kesulitan, kita akan benar benar tetap berada dalam kesulitan. Jadi kuncinya adalah sikap mental dulu. Kalau kita berfikir bisa, Insya Allah kita bisa. Dan jika kita berfikir sebaliknya, berfikir tidak bisa, maka kita tidak akan pernah bisa.

Hal demikian perlu kita coba dengan menerapkan pada diri kita sendiri, yaitu berdamai dan bersahabat pada diri sendiri. Apapun kondisinya pada masa pandemi ini dimanapun kita berada, keadaan apapun yang kita rasakan, dan keterpaksaan apapun, mau itu di rumah, di jalan, di negeri orang, betah itu bisa diciptakan, caranya dengan belajar untuk nyaman pada diri sendiri. kalau sama diri sendiri aja musuhan, kecewa, dengki, terus bagaimana mau betah? kalau mau punya rumah, mari kita rumahin diri sendiri agar tetap nyaman dan yakin untuk berproses yang lebih baik lagi. Wallahu a’lam[]

Tafsir Surah Ali Imran Ayat 3-4: Bagaimana Cara Beriman Kepada Kitab-Kitab Allah?

0
surah Ali Imran ayat 3-4_Bagaimana Cara Beriman Kepada Kitab-Kitab Allah?
surah Ali Imran ayat 3-4_Bagaimana Cara Beriman Kepada Kitab-Kitab Allah?

Beriman kepada Kitab-kitab Allah menjadi salah satu konsekuensi wajib bagi umat Islam melengkapi kewajiban iman pada empat hal lainnya, iman kepada Allah, Malaikat, Rasul dan hari akhir. (QS. al-Baqarah [2]: 285; QS. al-Nisa’ [4]: 136). Uniknya, kitab yang harus diimani oleh umat Islam tidak hanya kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad yaitu Al-Quran, kitab-kitab Allah yang diturunkan kepada para Nabi sebelum Nabi Muhammad juga wajib diimani. Ini terjadi karena ada ketersinambungan antara kitab-kitab tersebut yang tidak lain berasal dari sumber yang sama.

نَزَّلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ وَأَنْزَلَ التَّوْرَاةَ وَالإنْجِيلَ (3) مِنْ قَبْلُ هُدًى لِلنَّاسِ وَأَنْزَلَ الْفُرْقَانَ إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ ذُو انْتِقَامٍ (4)

Artinya: (3) Dia menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil. (4) Sebelum (Al Qur’an), menjadi petunjuk bagi manusia, dan Dia menurunkan Al Furqaan. Sesungguhnya orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah akan memperoleh siksa yang berat; dan Allah Maha Perkasa lagi mempunyai balasan (siksa).

Baca Juga: Keterkaitan Al-Quran, Kitab-Kitab Terdahulu dan Keragaman Syariat

Pengakuan Al-Quran atas eksistensi kitab-kitab suci sebelumnya

Kandungan pembuka surah Ali Imran ini memang tidak bisa dilepaskan dari situasi dan kondisi ketika ayat ini diwahyukan. At-Tabari dalam sebuah riwayatnya mengatakan bahwa awal surah Ali Imran (ayat 1-80 ada yang mengatakan hingga 83) turun berkenaan dengan kasus perdebatan Rasulullah dengan kaum Nasrani Najran mengenai ketuhanan Isa putra Maryam. Empat ayat ini bermaksud untuk merespon beberapa pertanyaan yang menantang kerasulan dan ajaran Nabi Muhammad.

Uniknya, Al-Quran menanggapi masalah tersebut dengan malah memberikan pengakuan terhadap kitab suci kaum Nasrani Najran. Melalui ayat ini Allah menegaskan bahwa Ia tidak hanya menurunkan kitab Al-Quran, sebelum Al-Quran dan sebelum Nabi Muhammad sudah ada beberapa kitab Allah lainnya yang diturunkan kepada para Nabi sebelumnya. Pernyataan Allah ini mempunyai konsekuensi logis bahwa pada hakikatnya kitab-kitab Allah itu satu, dalam arti bahwa misi yang dibawa sama, karena berasal dari sumber yang sama pula.

Lebih luas lagi, kitab-kitab Allah selain Al-Quran tidak hanya Taurat dan Injil, di ayat yang lain Allah juga menyatakan bahwa ada kitabNya yang bernama Zabur yang diberikan kepada Nabi Dawud, (QS. al-Nisa’ [4]: 163; QS. al-Isra’ [17]: 55) selain itu juga ada suhuf Nabi Ibrahim (QS. al-A’la [87]: 19) dan sebagainya. Sampai di sini Al-Quran berarti mengakui eksistensi adanya kitab-kitab Allah selain Al-Quran yang harus diimani.

Baca Juga: Surat at-Tin dan Simbol Ketersinambungan Antaragama

Setiap kitab suci punya tantangan dan respon penolakan

Namun demikian, di tempat yang berbeda Al-Quran memberikan isyarat lain mengenai Taurat dan Injil. Di surah al-Maidah [5]: 13 dinyatakan bahwa “mereka telah mengubah-ubah kalimat Allah dari tempatnya, dan mereka tinggalkan sebagian dari (isi kitab) yang telah dijadikan peringatan untuk mereka.”

Dalam hal ini Hamka (Tafsir Al-Azhar, Juz III, hal. 104) telah menjelaskan perihal persepsi-persepsi tentang Taurat yang berbeda-beda, mulai dari Islam, Nasrani dan Yahudi sendiri. Islam dengan Al-Qurannya menamakan Taurat pada wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Musa. Sedangkan menurut Yahudi dan Nasrani, dengan mengutip keterangan ahl al-Kitab (Yahudi dan Nasrani) ia mengatakan bahwa kitab Taurat yang diyakini oleh Yahudi hanya meliputi lima Kitab: Kitab Kejadian, Kitab Keluaran, Kitab Imamat, Kitab Ulangan dan Kitab Bilangan. Menurut Yahudi, lima kitab ini ditulis sendiri oleh Musa atau paling tidak Musa menyuruhnya untuk ditulis.

Berbeda dengan keyakinan Yahudi tersebut, Mukhlisin Purnomo dalam Sejarah Kitab-Kitab Suci, hal. I menjelaskan bahwa Nasrani mempunyai persepsi bahwa Taurat adalah semua kitab Nabi-nabi, sejarah para Raja dan para Hakim Bani Israil sebelum Isa Almasih. Mereka juga menyebutnya dengan Perjanjian Lama (Old Testament) atau Wasiat Yang Lama.

Mengutip keterangan dalam Kitab Ulangan. 31. Hamka menyampaikan terkait historisitas Taurat. Di situ dijelaskan bahwa Musa menulis Taurat dan menyampaikan pada kaumnya, memerintah mereka untuk membacanya secara berulang-ulang, mematuhi isinya, mengabarkan ajal Musa yang sudah dekat dan memberitahu perihal keadaan Bani Israil selepas wafatnya. Salah satu ayat dalam pasal ini mengabarkan bahwa kelak umat Musa akan berpaling ke tuhan yang lain dan mengingkari perjanjian dengan Tuhannya.

Rekaman tertulis dalam Kitab Ulangan tersebut menjadi penegas sekaligus penguat tentang originalitas kitab Taurat yang benar-benar ditulis oleh Musa. Akan tetapi ahli sejarah menyatakan pula bahwa Taurat yang ditulis oleh Musa itu telah terbakar tatkala Nebukadnezar membakar dan menjarah Jarusalem dan membumi-hanguskan Baitul Maqdis. Setelah kemudian dibebaskan dan dipulangkan oleh raja Persia yatu Korusy, maka mereka mulai menyusun kembali pesan-pesan pusaka Musa dan sejarah Bani Israil sejak keluar dari Mesir. Sejak inilah muncul Taurat yang baru dan kemudian beredar hingga sekarang.

Sementara itu, Injil berbeda dengan Taurat. Taurat sudah menyinggung mengenai pencatatannya yang memang ditulis oleh Musa dan dihafal oleh pengikutnya, sedangkan Injil tidak demikian, tidak ada keterangan dalam Perjanjian baru yang menyatakan bahwa Isa pernah menulis Injil. Murid-muridnyalah yang mencatat ajaran yang Isa sampaikan. Dari sekian banyak murid yang mencatat ajarannya tersebut, hanya empat yang diakui oleh Kristen, yaitu Injil Markus, Matius, Lukas dan Yohannes. Demikian penjelasan Mukhlisin Purnomo dalam Sejarah Kitab-Kitab Suci, hal. 147. Adapun Injil yang dimaksud Al-Quran adalah wahyu Allah yang turun kepada Nabi Isa yang kemudian disampaikan kepada umatnya.

Melihat historisitas Injil yang demikian, yang sangat memberi peluang terhadap perselisihan dan perubahan, maka dapat dimaklumi ketika Al-Quran mengingatkan untuk berhati-hati dalam ‘membaca’ Injil, terlebih Injil yang beredar sekarang. (QS. Al-Maidah [5]: 14)

Baca Juga: Bagaimana Sikap Kita Terhadap Ajaran dalam Kitab Taurat dan Injil?

Tidak hanya Taurat dan Injil yang mempunyai masalah terkait otentisitas, Al-Quran pun juga demikian. Problem ini datang dari kajian orientalis tentang Al-Quran, khususnya mengenai sejarah kodifikasinya. Salah satu dari mereka yakni Arthur Jeffery mengatakan –sebagaimana dikutip oleh Muhammad Yusuf dalam “Sejarah dan Kritik Terhadap Al-Quran (Studi Pemikiran Arthur Jeffery)”- bahwa teks Al-Quran yang dihimpun pada zaman Abu Bakar itu bukan teks revisi resmi dari Nabi, melainkan hanya koleksi pribadi Zayd bin Tsabit yang dibuat untuk Abu Bakar, karena menurut Jeffery Nabi Muhammad tidak pernah berniat untuk mengumpulkan wahyu.

Selain itu Jeffery juga mengaggap penyusunan Mushaf Usmani hanya political reasons. Mushaf ini menurutnya tidak shahih karena berbeda dengan koleksi mushaf sahabat yang lain, yatu mushaf Ibn Mas’ud yang di situ tidak dicantumkan surah al-Fatihah dan Mu’awwidzatain). Jeffery pun berpendapat bahwa tiga surah itu bukan Al-Quran, melainkan hanya tambahan dari produk agama.

Tuduhan Jeffery ini sudah terjawab oleh kalangan Muslim dengan diwakili oleh Mustafa A’zami dan al-Qattan. Menurut A’zami, The History of The Qur’anic Text From Revelation to Compilation hal. 338, Nabi tidak menyerahkan naskah kepada sahabat untuk dijadikan pedoman, karena kekhawatiran Nabi akan masih adanya nasikh-mansukh, wahyu baru ataupun perpindahan urutan ayat-ayat di kemudian hari, mengingat wahyu masih akan terus berproses. Kenapa Umar takut kehilangan Al-Quran? Karena tradisi penurunan Al-Quran melalui otoritas yang saling beruntun, mulai dari Nabi hingga sahabat dan kematian mereka mengancam terputusnya kesaksian.

Penjelasan di atas setidaknya memberi pesan bahwa setiap kitab suci yang hadir di masanya mempunyai tantangan dan penolakannya tersendiri, terlebih jika disandingkan dengan kitab suci sebelumnya. Nah, melalui surah Ali Imran ayat 3-4 ini Al-Quran menyontohkan cara beriman kepada kitab-kitab Allah.

Tafsir Ahkam: Benarkah Hanya Debu yang Dapat Dibuat Bertayamum?

0
benarkah hanya debu media untuk bertayamum?
benarkah hanya debu media untuk bertayamum?

Tayamum adalah alternatif bersuci tatkala tidak mendapati, tidak bisa mendekati atau tidak dapat menggunakan air. Banyak umat muslim juga yang meyakini bahwa tayamum adalah praktik bersuci dari hadas dengan menggunakan debu. Pemahaman umum ini tidaklah salah, tapi juga tidaklah sepenuhnya benar. Sebab sebenarnya syarat tayamum ‘hendaknya menggunakan debu’ hanyalah syarat yang diyakini sebagian ulama saja. Ada beberapa ulama lain yang berpendapat bahwa media bertayamum itu tidak hanya debu. Dengan demikian berarti definisi di awal belum selesai, masih bisa dilanjutkan.

Memang benar masih ada perbedaan tentang status debu dalam ‘satu-satunya’ media bertayamum. Perbedaan pendapat tentang apakah hanya debu yang dapat digunakan bertayamum ataukah yang lain juga bisa, bisa ditelisik bermuara pada redaksi “Ash-Sha’id” dalam ayat-ayat tentang tayamum. Ulama’ tidaklah sepakat dalam menafsiri redaksi tersebut dengan hanya “debu”. Berikut penjelasan singkat para pakar tafsir dan fikih.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Tata Cara Tayamum dan Syarat Sahnya

Ash-Shaid: segala yang ada di atas bumi

Salah satu ayat al-Quran yang membahas tentang tayamum yaitu  surah An-Nisa’ ayat 43,

وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُوْرًا

Jika kamu sakit, sedang dalam perjalanan, salah seorang di antara kamu kembali dari tempat buang air, atau kamu telah menyentuh perempuan, sedangkan kamu tidak mendapati air, maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci). Usaplah wajah dan tanganmu (dengan debu itu). Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. (QS. An-Nisa’ [4]: 43)

Imam Ibn Katsir tatkala mengulas redaksi “فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا” menjelaskan perbedaan pendapat dari empat madzhab fikih, Imam Malik, mazhab Abi Hanifah dan mazhab Syafii. Imam Malik meyakini bahwa Ash-Sha’id bermakna segala sesuatu yang ada di permukaan tanah, sehingga mencakup debu, pasir, kayu, batu dan tumbuh-tumbuhan. Mazhab Abi Hanifah meyakini bahwa Ash-Sha’id adalah benda sejenis debu, yang berarti hanya mencakup debu, pasir, arsenik dan kapur. Sedang Mazhab Syafi’i dan Ibn Hanbal meyakini bahwa Ash-Sha’id hanyalah mencakup debu saja  (Tafsir Ibn Katsir/2/318).

Imam Al-Qurthubi menjelaskan, para pakar ahli bahasa diantaranya Imam Al-Khalil, Ibnul Arabi dan Az-Zujaj menyatakan bahwa makna Ash-Sha’id adalah permukaan tanah. Baik terdapat debu padanya, atau tidak. Bahkan Az-Zujaj menyatakan bahwa ia tidak mengetahui perihal perbedaan ahli bahasa tentang pemaknaan ini.

Imam Al-Qurthubi juga menguraikan secara panjang lebar, bahwa dengan mempertimbangkan adanya redaksi Ath-Thayyib setelah Ash-Shaid yang juga masih diperselisihkan maknanya, serta berbagai dasar lain dari Al-Qur’an dan hadis Nabi, para ulama’ kemudian berbeda pendapat mengenai apa yang dimaksud dengan redaksi Ash-Sha’id dalam ayat di atas (Tafsir Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an/5/236).

Baca Juga: Dalil dan Aturan Tayamum, Tafsir Surat An-Nisa Ayat 43

Imam Ar-Razi menjelaskan, Mazhab Syafi’i meyakini bahwa Ash-Sha’id hanyalah debu sebab melihat ayat tayamum dalam Surat Al-Maidah ayat 6 yang menunjukkan agar mengusap wajah dan tangan dengan bagian dari Ash-Sha’id. Hal ini menunjukkan bahwa Ash-Sha’id adalah sesuatu yang bisa dibagi, sehingga tidak mungkin batu yang tidak terdapat debu padanya, dapat dibuat tayamum. Selain itu, makna Ath-Thayyib adalah tanah yang dapat menumbuhkan sesuatu. Sehingga Ash-Sha’id disini tidak lain adalah debu, bukan batu semisal yang tidak dapat menumbuhkan tanaman (Tafsir Mafatihul Ghaib/5/217).

Imam An-Nawawi; seorang pakar perbandingan mazhab yang juga menganut Mazhab Syafi’i, menyebutkan banyak hadis yang mendukung pendapat yang meyakini bahwa hanyalah debu yang dapat dibuat bertayamum. Beliau juga mengutip pernyataan Imam Al-Azhari dan Qadhi Abu Thayyib, bahwa mayoritas ulama’ meyakini hanya debu yang dapat dibuat bertayamum  (Al-Majmu’/2/212).

Dari berbagai keterangan di atas kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa meski banyak Al-Qur’an terjemah menerjemahkan bahwa Ash-Sha’id adalah debu, tapi sebenarnya ulama belum sepakat soal pemaknaan ini, masih dimungkinkan ada makna yang lain. Pemaknaan ini kemudian berpengaruh pada kesimpulan tentang status debu sebagai media bertayamum. Ada beberapa ulama yang meyakini bolehnya bertayamum menggunakan selain debu. Meski begitu, ada pula keterangan bahwa pendapat yang menyatakan tayamum hanya bisa dengan debu adalah pendapat mayoritas ulama’. Wallahu a’lam bish showab.

Belajar Puasa Media Sosial Melalui Dua Kisah dalam Al-Quran

0
Puasa Media Sosial
Puasa Media Sosial

Hari ini kita melihat media sosial telah menjadi kebutuhan manusia modern. Hampir tidak ditemukan seseorang yang tidak memiliki akun media sosial. Artikel ini akan menguraikan dua kisah dalam Al-Quran yang bisa dijadikan pelajaran untuk puasa media sosial.

Dua Wajah Media Sosial

Di satu sisi, media sosial menjadi wadah yang memudahkan manusia. Kemudahan itu bisa berbentuk dalam berbagai hal. Seperti, kemudahan berkomunikasi, berbisnis, berkarya, berekspresi bahkan di masa pandemi ini sebagai wadah untuk pembelajaran jarak jauh.

Namun, di sisi yang berseberangan, media sosial dapat menjelma menjadi “penjara”. Tak sedikit manusia modern mengalami kecanduan media sosial. Kecanduan ini kemudian mengganggu sisi psikologis manusia. Jika kita merasa sulit fokus, sering cemas, insecure bahkan merasa tak punya waktu untuk berbuat apa-apa, boleh jadi kita mulai terperangkap dalam “penjara” medsos.

Salah satu cara untuk merespon kecanduan ini adalah dengan detox media sosial. Sebuah upaya untuk mengurangi atau menghentikan penggunaan media sosial sama sekali. Artinya, seseorang melakukan revaluasi antara media sosial dan dirinya. Sehingga, ia dapat mengontrol penggunaan media sosial, bukan malah sebaliknya.

Baca Juga: Surah An-Nahl [16]: 125: Pentingnya Kontra Narasi di Media Sosial

Detox media sosial adalah istilah lain dari apa yang disebut dengan puasa media sosial. Jika puasa dari makan dan minum dapat menyehatkan tubuh, maka puasa media sosial dapat menyehatkan mental dan emosi manusia modern.

Wacana Puasa Media Sosial dalam Al-Qur’an

Merujuk kepada Al-Qur’an, wacana puasa media sosial juga disinggung dalam dua ayat Al-Qur’an. Pertama, ayat kisah Sayyidah Maryam yang melakukan puasa berbicara ketika kembali kepada kaumnya dengan menggendong Nabi Isa. Ini tertuang dalam surat Maryam ayat 26. Kedua, ayat tentang kisah Nabi Zakaria yang tidak berbicara selama tiga hari tiga malam. Tertuang dalam surat Maryam ayat 10.

Tentu, kedua ayat ini bukan secara eksplisit membahas puasa media sosial. Akan tetapi, puasa dari berbicara dan berkomunikasi dengan masyarakat. Tentu, dengan konteks zaman dan masyarakat yang berbeda. Namun, ada hikmah dan pesan yang bisa diambil, karena sesuai dengan konteks puasa bermedia sosial di masa sekarang.

Sebelum itu, Al-Qur’an memiliki dua konsep puasa, shiyām dan shaum. Bentuk shiyām adalah puasa yang menahan diri dari makan, minum dan hal-hal terlarang, sebagaimana ibadah puasa bulan Ramadan, surat Al-Baqarah ayat 183. Sementara, bentuk shaum adalah puasa untuk tidak berbicara, sebagaimana dalam ayat kisah Sayyidah Maryam yang akan kita uraikan.

Puasa Berbicara Sayyidah Maryam

Kisah puasa bicara yang dilakukan Sayyidah Maryam adalah dalam konteks menghindari komentar dan tuduhan dari masyarakat. Tatkala, ia yang tak memiliki suami, kembali dengan menggendong bayinya. Kisah ini direkam dalam surat Maryam ayat 26:

فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْنًا ۖ فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَٰنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا

Artinya: Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah: “Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini”.

Qurasih Shihab dalam tafsirnya, menjelaskan bahwa bentuk shaum serupa dengan mengheningkan cipta, tidak berbicara. Kemudian, dalam konteks ini Allah bermaksud membungkam semua yang meragukan kesucian Sayyidah Maryam melalui ucapan bayi yang dilahirkan. Selain itu, ia juga menegaskan satu pesan untuk tidak berdiskusi dengan orang yang hanya mencari-cari kesalahan, karena tidak memiliki kejernihan hati dan pikiran. (Tafsir Al-Misbah, jil. 8, hal. 172)

Sementara, Abdurrahman bin Nashir menerangkan bahwa puasa berbicara adalah termasuk hal yang sulit dilakukan. Namun, hal ini harus dilakukan dalam upaya menunjukkan sesuatu di luar kebiasaan, yaitu dengan berbicaranya Nabi Isa yang masih dalam buaian. Sehingga, ini menunjukkan bahwa bayi itu bukanlah bayi biasa, sehingga hilanglah tuduhan buruk dari masyarakat. (Tafsir As-Sa’dī)

Puasa Berbicara Nabi Zakaria

Dalam kisah Nabi Zakaria, konteks untuk tidak berbicara adalah sebagai tanda akan kebenaran kabar gembira. Yaitu, kabar dianugerahinya anak bernama Yahya dalam kondisi yang mustahil baginya. Karena, ia sudah tua dan istrinya adalah seorang yang mandul. Peristiwa ini diabadikan dalam surat Maryam ayat 10:

قَالَ رَبِّ اجْعَلْ لِي آيَةً ۚ قَالَ آيَتُكَ أَلَّا تُكَلِّمَ النَّاسَ ثَلَاثَ لَيَالٍ سَوِيًّا

Artinya: Zakaria berkata: “Ya Tuhanku, berilah aku suatu tanda”. Tuhan berfirman: “Tanda bagimu ialah bahwa kamu tidak dapat bercakap-cakap dengan manusia selama tiga malam, padahal kamu sehat”.

Berkaitan dengan ayat ini, Asy-Sya’rawi menerangkan bahwa perkara tidak berbicaranya Nabi Zakaria adalah perkara kaunī. Artinya, Nabi Zakaria tidak memiliki pilihan atasnya. Betapapun, keadaan lisan dan tubuh Nabi Zakariya sehat. Akan tetapi, ia tidak dapat berbicara. Namun, pendapat lain menyebutkan bahwa ia tidak memiliki dorongan untuk bercakap-cakap, karena jiwanya telah dipenuhi oleh kegembiraan dan rasa syukur kepada Allah. (Tafsir Asy-Sya’rawī, hal. 9039)

Dua Hikmah Yang Relevan

Melalui dua ayat dan dua kisah di atas, dapat kita ambil beberapa hikmah yang relevan dengan konteks sekarang. Bermedia sosial adalah wadah untuk berbicara dan berkomunikasi dengan orang lain. Untuk itu, kita perlu memposisikan kembali relasi kita dengan media sosial. Melalui puasa media sosial, kita dapat menentukan posisi yang bijak dalam bermedia sosial.

Baca Juga: Kisah Rencana Penyembelihan Nabi Ismail dan Asal-Usul Ibadah Kurban

Hikmah pertama adalah upaya untuk menghindari informasi dan pembicaraan yang sia-sia. Dengan banyaknya banjir informasi, atensi kita menjadi tersedot oleh media sosial. Apalagi banyak diskusi yang hanya menyulut perselisihan. Sebagaimana Sayyidah Maryam, yang mengetahui kapan harus berbicara dan kapan untuk tidak berbicara. Artinya, dalam konteks sekarang, kita perlu menjaga jarak dari media sosial dan menggunakannya dengan bijak.

Adapun hikmah kedua adalah untuk merasakan anugerah hidup di dunia nyata. Sebagaimana Nabi Zakaria, yang sudah dipenuhi dengan rasa syukur dengan nikmat seorang anak. Sehingga, ia tidak memiliki dorongan untuk berkomunikasi dengan orang lain, secara berlebihan. Dalam konteks sekarang, kita perlu lebih merasakan hal di sekitar kita, merasakan kehadiran, ketimbang harus hanyut dalam dunia maya yang tidak nyata.

Semoga, melalui tulisan ini kita dapat memposisikan diri secara bijak dalam menggunakan media sosial. Tulisan ini tidak berharap agar meninggalkan media sosal secara keseluruhan dan selamanya, melainkan kita memiliki kontorl penuh atas penggunaan media sosial. Selanjutnya, kita akan hidup lebih nyaman, penuh syukur dan lebih bahagia.

Wallahu’alam bishawab.