Beranda blog Halaman 214

Tafsir Surah Az-Zumar Ayat 39-41

0
Tafsir Surah Az- Zumar
Tafsir Surah Az- Zumar

Tafsir Surah Az-Zumar Ayat 39-41 secara umum menerangkan perihal ancaman Allah Swt melalui lisan Nabi Muhammad Saw. Ancaman tersebut ditujukan untuk semua manusia berupa azab dan siksaan kelak di neraka, terutama untuk mereka yang selalu mengingkari al-Qur’an dan seruan Nabi-Nya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Az- Zumar Ayat 38


Ayat 39

Setelah Rasulullah saw mengemukakan argumen yang tidak dapat dibantah lagi oleh kaum musyrikin, Allah memerintahkan beliau supaya menyampaikan ancaman dengan berkata, “Hai kaumku, berbuatlah sesuai dengan anggapanmu, bahwa kamu mempunyai kekuatan dan keterampilan, dan peraslah keringatmu dalam membuat makar dan tipu dayamu, karena aku pun berbuat pula dalam mengokohkan dan menyiarkan agamaku, nanti kamu akan mengetahui, siapakah di antara kita yang lebih baik kesudahannya.”

Ayat 40

Pada ayat ini, Allah mengancam kita semua dalam bentuk pertanyaan, yaitu siapa yang akan mendapat azab yang menghinakan, dan siapa yang akan terus menerus memperoleh azab itu? Ancaman dalam bentuk pertanyaan ini memberi petunjuk kepada kita bahwa manusia ada saja yang memperoleh azab yang menghinakan, baik di dunia maupun akhirat.

Orang-orang kafir dan durhaka juga dapat saja memperoleh azab itu terus-menerus secara kekal. Oleh karena itu, kita perlu berhati-hati jangan sampai mendapat azab yang diancamkan tersebut dengan cara menjadi mukmin yang taat dan selalu bertawakal kepada Allah.

Ayat 41

Ayat ini menjelaskan bahwa sesungguhnya Allah telah menurunkan Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad saw dengan kebenaran. Beliau lalu diperintahkan untuk menyampaikan ajaran agama Allah kepada seluruh manusia dengan cara memberikan kabar gembira dengan datangnya rahmat Allah dan memberi peringatan akan tibanya siksa Allah bagi mereka yang mendustakannya.

Al-Qur’an mengandung segala petunjuk yang diperlukan oleh manusia dalam mengatur seluruh aspek kehidupannya. Dengan itu, mereka menjadi umat yang berbahagia di dunia dan akhirat karena menempuh jalan yang lurus.


Baca Juga : Rahasia di Balik Redaksi al-Wa’d dan al-Wa’id Allah (Janji dan Ancaman)


Barang siapa yang mendapat petunjuk untuk mengamalkan isi Al-Qur’an, maka kemanfaatan petunjuk itu adalah untuk dirinya sendiri, karena mereka akan mendapat keridaan Allah, dimasukkan ke dalam surga, dan diselamatkan dari neraka.

Dan barang siapa yang menyimpang dari jalan yang lurus itu sehingga tersesat, maka sesungguhnya hal itu semata-mata merugikan dirinya sendiri.

Ia akan terjerumus dalam kehancuran dan kebinasaan karena akan mendapat kemurkaan Allah dan mengalami penderitaan dalam api neraka.

Pada hari Kiamat, tidak ada yang selamat melainkan orang yang benar-benar membawa hati yang bersih sesuai dengan firman Allah:

;يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَّلَا بَنُوْنَ ۙ    ٨٨  اِلَّا مَنْ اَتَى اللّٰهَ بِقَلْبٍ سَلِيْمٍ ۗ   ٨٩

(Yaitu) pada hari (ketika) harta dan anak-anak  tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih. (asy-Syu’ara’/26: 88-89).

Allah lalu menjelaskan bahwa Nabi Muhammad bukanlah orang yang bertanggung jawab terhadap amal perbuatan mereka. Tugas beliau hanya semata-mata menyampaikan risalah seperti dijelaskan dalam firman-Nya:

اِنَّمَآ اَنْتَ نَذِيْرٌ ۗ وَاللّٰهُ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ وَّكِيْلٌ  ۗ

Sungguh, engkau hanyalah seorang pemberi peringatan dan Allah pemelihara segala sesuatu. (Hud/11: 12)

Firman-Nya juga:

فَذَكِّرْۗ اِنَّمَآ اَنْتَ مُذَكِّرٌۙ  ٢١  لَّسْتَ عَلَيْهِمْ بِمُصَيْطِرٍۙ  ٢٢

Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya engkau (Muhammad) hanyalah pemberi peringatan. Engkau bukanlah orang yang berkuasa atas mereka. (al-Gasyiyah/88: 21-22)

 

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Az- Zumar Ayat 42-43


Tafsir Ahkam: Beda Pendapat Tentang Tata Cara Bertayamum Yang benar

0
Tafsir Ahkam: Beda Pendapat Tentang Tata Cara Bertayamum Yang benar
Tafsir Ahkam: Beda Pendapat Tentang Tata Cara Bertayamum Yang benar

Al-Qur’an menetapkan bolehnya bersuci menggunakan debu tatkala tidak menemukan air untuk wudhu mupun mandi. Dan cara bersuci dengan debu ini disebut dengan tayamum, serta dilakukan dengan tata cara mengusapkan debu pada wajah dan kedua tangan. Namun pada kenyataannya, praktik tayamum sesuai yang dijelaskan dalam fikih tidaklah semudah memahaminya dari Al-Qur’an. Salah satunya, apakah bertayamum dilakukan dengan dua kali pukulan ke debu atau cukup satu kali pukulan?

Hal ini disebabkan adanya riwayat dari Nabi yang menyinggung perihal pukulan dalam tayamum dengan jumlah yang berbeda-beda. Dan ini menjadi pertimbangan para ahli fikih dalam memahami redaksi Al-Qur’an tentang tayamum dan bagaimana tata cara bertayamum yang benar menurut syariat Islam. Berikut penjelasan dari para pakar tafsir dan fikih:

Pukulan Dalam Tayamum

Allah berfirman:

وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُوْرًا

Jika kamu sakit, sedang dalam perjalanan, salah seorang di antara kamu kembali dari tempat buang air, atau kamu telah menyentuh perempuan, sedangkan kamu tidak mendapati air, maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci). Usaplah wajah dan tanganmu (dengan debu itu). Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. (QS. An-Nisa’ [4] :43)

Baca juga: Dalil dan Aturan Tayamum, Tafsir Surat An-Nisa Ayat 43

Pukulan dalam tayamum maksudnya adalah hentakan tangan ke area berdebu, agar kemudian debu menempel di telapak tangan dan dapat diusapkan ke wajah dan tangan. Imam Ibn Katsir tatkala mengulas redaksi “فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ” menjelaskan, ulama’ berbeda pendapat mengenai tata cara tayamum yang benar. Salah satunya terkait jumlah pukulan dalam tayamum. Pendapat pertama, yaitu pendapat Imam Syafi’i, mengharuskan dua pukulan. Yakni satu untuk wajah, dan satu untuk kedua tangan. Pendapat kedua, yaitu pendapat Imam Ahmad, memperbolehkan satu pukulan. Yakni debu bagian jari untuk wajah, sedang bagian telapak tangan untuk tangan (Tafsir Ibn Katsir/2/319).

Imam Al-Qurthubi menyebutkan diantara ulama’ yang meyakini wajibnya dua pukulan adalah Imam Syafi’i, Abu Hanifah, Al-Auza’i, At-Tsauri, Al-Laits dan Ibn Abi Salamah. Sedang yang meyakini cukup satu pukulan diantaranya Imam Ahmad Ibn Hanbal, Malik, Ishaq, Dawud dan Ath-Thabari (Tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an/5/215).

Salah satu riwayat yang menyebutkan jumlah pukulan dalam tayamum ada dua dan menjadi dasar pendapat pertama, adalah riwayat Jabir ibn Abdullah:

« التَّيَمُّمُ ضَرْبَةٌ لِلْوَجْهِ وَضَرْبَةٌ لِلْيَدَيْنِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ »

Tayamum adalah satu pukulan untuk wajah dan satu pukulan untuk kedua tangan sampai siku (HR. Al-Baihaqi dan selainnya).

Sedang riwayat yang menyebutkan jumlah pukulan dalam tayamum cukup dan menjadi dasar pendapat kedua, adalah riwayat Ammar ibn Yasir:

« التَّيَمُّمُ ضَرْبَةٌ لِلْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ »

Tayamum adalah satu pukulan untuk wajah dan kedua tangan (HR. Ad-Daruqutni dan selainnya).

Imam Al-Jashshash menerangkan, riwayat Ammar ibn Yasir tentang jumlah pukulan tayamum, memiliki redaksi dan keterangan dengan jumlah pukulan berbeda-beda. Ada yang menyebutkan satu pukulan, ada yang menyebutkan dua pukulan. Hal inilah salah satu hal yang mungkin memunculkan kebingungan diantara ahli fikih tentang kejelasan jumlah pukulan dalam tayamum (Ahkamul Qur’an/5/428).

Penutup

Syaikh Wahbah Az-Zuhaili dalam Al-Fiqhu Al-Islami menjelaskan, meski Mazhab Hanbali dan Malikiyah menganggap satu pukulan cukup untuk tayamum, mereka meyakini bahwa yang lebih sempurna adalah dua pukulan. Dan ini dapat menjadi jalan keluar dari perbedaan pendapat. Selain itu, ulama’ sepakat memperbolehkan lebih dari dua pukulan untuk tayamum. Sebab maksud dari pukulan itu adalah membuat debu sampai ke anggota tubuh, sebagaimana dalam masalah wudhu (Al-Fiqhu Al-Islami/1/592). Wallahu a’lam bish shawab.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Benarkah Hanya Debu yang Dapat Dibuat Bertayamum?

Hal Ihwal Pandangan Ulama Seputar Kata Amin

0
Hal Ihwal Pandangan Ulama Seputar Kata Amin
Hal Ihwal Pandangan Ulama Seputar Kata Amin

Kata amin merupakan salah satu bacaan sunah dalam salat. Ia dibaca ketika imam selesai membaca surah Al-Fatihah. Sebagai sesuatu yang sudah menjadi bagian dari keseharian, akan menarik jika kata tersebut dan hal-hal penting yang berkaitan dengannya diulas dan ditelaah secara lebih mendalam. Simak bahasannya sebagai berikut:

Asal-usul kata amin

Menurut Muhyi ad-Din ad-Darwisyi dalam I’rab al-Qur’an al-Karim wa Bayanuhu (1/20), jika ditilik dari sudut pandang kebahasaan, kata Amin merupakan isim yang bermakna istajib atau permohonan pengabulan do’a.

Merujuk kepada penuturan Syekh Mustafa al-Maraghi dalam Tafsir al-Maraghi (1/36), ada dua macam pembacaan kata amin, yakni dibaca panjang (mad) dengan cara memanjangkan bunyi huruf a (Âmîn) dan dibaca pendek (qashar) dengan memendekkan bunyi huruf a (Amîn).

Adapun mengenai statusnya, Syekh Mutawalli asy-Sya’rawi menyebut bahwa amin merupakan kata yang diajarkan Jibril kepada Nabi Muhammad saw. dan bukan bagian dari ayat Al-Qur’an (Tafsir asy-Sya’rawi, 1/90). Hal ini juga sudah menjadi kesepakatan mayoritas mufassir, bahwa kata amin bukan bagian dari ayat Al-Qur’an alias kalamullah, melainkan kalam Jibril.

Baca juga: 5 Hal yang Penting Diketahui tentang Bacaan Amin setelah Surah Al-Fatihah

Hukum membacanya

Pembahasan berikutnya adalah perdebatan mengenai hukum membacanya sebagaimana yang direkam oleh Syekh Muhammad Rasyid Ridha dalam Tafsir Al-Manar (1/99).

Disebutkan ada salah satu pendapat yang menyatakan bahwa membaca amin dalam salat hukumnya bid’ah. Pendapat tersebut didasarkan pada hadis yang diriwayatkan dari Mu’awiyah Ibn al-Hakam as-Sulami:

اِنَّ هَذِهِ صَلاَتُنَا لاَ يُصْلِحُ فِيْهَا شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ النَّاسِ

Dalam salat ini tidak boleh ada perkataan manusia

Sementara itu, di lain sisi, setidaknya terdapat 17 hadis lainnya yang menjadi landasan jumhur ulama menghukumi sunah melafalkan amin setelah pembacaan surah Al-Fatihah. Salah satunya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah:

 كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا تَلَا { غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ } قَالَ آمِينَ حَتَّى يَسْمَعَ مَنْ يَلِيهِ مِنْ الصَّفِّ الْأَوَّلِ

Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca “Ghairil maghdluubi ‘alaihim waladl dlaallin”, beliau mengucapkan; “Amin”, sehingga orang yang berada di belakang beliau di shaf pertama mendengar ucapan beliau.

Menanggapi kesan yang kontradiktif antar hadis di atas, Syekh Muhammad Rasyid Ridha menguraikan bahwa hadis yang diriwayatkan Mu’awiyah Ibn al-Hakam as-Sulami bersifat umum, sedangkan hadis melafalkan amin sesudah Al-Fatihah bersifat khusus. Maka dari itu, kasus pelafalan kata amin pasca pembacaan Al-Fatihah tidak berlaku dalam generalisasi hadis larangan melafalkan perkataan manusia ketika salat sebagaimana yang diriwayatkan oleh Mu’awiyah Ibn al-Hakam as-Sulami.

Tidak sekadar menghukumkan sunah sebagaimana yang diyakini oleh jumhur ulama, mazhab Zahiriah bahkan mewajibkan melafalkan kata amin di setiap salat, hanya saja dengan catatan bahwa kewajiban tersebut berlaku bagi makmum yang mendengar bacaan amin imam. Kewajiban tersebut juga tidak dibebankan bagi imam dan orang yang salat sendirian (munfarid) (Tafsir Al-Manar [1]: 99).

Baca juga: 13 Tempat dalam Al-Qur’an Disunnahkan Baca Doa atau Wirid Khusus (Part 1)

Apakah ia bahasa Arab dan bagian dari Al-Qur’an?

Tak hanya itu, hal lain yang juga menjadi bagian dari perdebatan adalah apakah kata amin merupakan bahasa Arab atau bukan (‘ajam)? Persoalan ini dikupas dengan baik oleh Syekh Mutawalli asy-Sya’rawi. Menurutnya, persoalan kata amin tidak hanya terbatas pada apakah termasuk bahasa Arab atau tidak, akan tetapi melebar dan menimbulkan pertanyaan baru, bagaimana bisa kata Amin yang diyakini sebagai sebuah kata non-arab dimasukkan ke dalam Al-Qur’an yang berbahasa arab?

Perihal ini kemudian diluruskan oleh Syekh Mutawalli asy-Sya’rawi dengan menyatakan bahwa kata amin memang bukan merupakan bahasa  Arab asli dalam Al-Qur’an, namun hal tersebut tidak mengubah status bahwa keseluruhan ayat Al-Qur’an berbahasa Arab.

Menurut Syekh Mutawalli asy-Sya’rawi, yang dimaksud dengan bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur’an adalah bahasa yang populer di lidah orang Arab dan mereka memahami makna dari bahasa tersebut sekalipun bukan berasal dari bahasa Arab asli. Ada sekian banyak kata-kata baru yang digunakan dalam keseharian orang Arab sebelum Al-Qur’an diturunkan, sehingga ketika Al-Qur’an diturunkan, kata-kata tersebut telah menjadi bahasa arab yang umum digunakan (Tafsir asy-Sya’rawi [1]: 90-91).

Demikian ulasan singkat tentang kata amin yang sering kita lafalkan setelah selesai membaca surah Al-Fatihah. Semoga bermanfaat.

Baca juga: Bahasa Al-Quran dan Perdebatan Ulama’ Tentang Kosa Kata Non Arab

Tafsir Surah Az-Zumar Ayat 38

0
Tafsir Surah Az- Zumar
Tafsir Surah Az- Zumar

Tafsir Surah Az-Zumar Ayat 38 secara umum menerangkan bahwa pada dasarnya orang-orang musyrik itu mengakui keesaan Allah. Mereka menyadari bahwa hanya Allah yang mampu menciptakan alam semesta beserta isinya.

Adapun kenapa mereka masih menyembah selain Allah, alasannya adalah mereka menganggap sesembahan itu sebagai perantara atau syafa’at untuk menghubungkan mereka kepada Allah. Sebagaimana yang akan dijelaskan dalam Tafsir Surah Az-Zumar Ayat 38 berikut.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Az- Zumar Ayat 33-37


Ayat 38

Pada ayat ini, Allah menerangkan bahwa kaum musyrikin itu mengakui adanya Tuhan Pencipta alam. Yang Mahabijaksana, karena dalil-dalil kebenarannya tidak dapat diingkari lagi. Jika mereka ditanya, “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” Mereka niscaya akan menjawab, “Allah.”

Jika demikian, mengapa mereka menyembah kepada selain Allah, atau mempersekutukan-Nya dengan yang lain? Mereka telah dikenal sejak dahulu kala sebagai orang-orang yang cerdas pikirannya, tetapi karena mengikuti secara taklid buta kebiasaan nenek moyangnya, maka mereka tidak bertindak sesuai dengan pikirannya yang sehat. Bahkan, mereka melakukan perbuatan orang-orang jahat secara tidak sadar.

Allah memerintahkan Nabi-Nya menyampaikan kritik yang mengandung kecaman yang pedas kepada orang-orang musyrik Mekah dalam bentuk pertanyaan, “Coba terangkan kepadaku tentang patung-patung dan berhala-berhala, yang kamu sembah selain Allah!

Jika Allah hendak mendatangkan kemudaratan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudaratan itu, atau jika Allah hendak melimpahkan rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya?

Apabila mereka ternyata tidak dapat berbuat demikian, maka apa faedahnya menyembah mereka? Bukankah lebih baik menyembah Tuhan Yang Maha Esa saja yang dapat melindungi hamba-hamba-Nya dan mencukupi segala kebutuhan mereka?”

Muqatil meriwayatkan bahwa ketika ayat ini turun, Rasulullah saw, bertanya kepada orang-orang kafir sesudah datang perintah Allah kepadanya. Lalu mereka menjawab, “Memang berhala-berhala itu tidak dapat menghalang-halangi kehendak Allah, akan tetapi mereka itu dapat memberi syafaat kepada kami.”

Maka turunlah firman Allah yang artinya, “Katakanlah, cukuplah Allah bagiku dalam segala urusanku tentang mendatangkan kemanfaatan dan menolak kemudaratan, dan aku sama sekali tidak takut terhadap ancaman berhala-berhalamu dan hanya kepada Allah-lah orang-orang yang berserah diri bertawakal.”

Dalam sebuah hadis dikatakan bahwa:

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَّكُوْنَ أَقْوَى النَّاسِ فَلْيَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَّكُوْنَ أَغْنَى النَّاسِ فَلْيَكُنْ بِمَا فِيْ يَدِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ أَوْثَقَ مِنْهُ بِمَا فِيْ يَدِيْهِ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَّكُوْنَ أَكْرَمَ النَّاسِ فَلْيَتَّقِ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ. (أخرجه ابن أبي حاتم عن ابن عباس)

Barang siapa yang ingin menjadi manusia yang paling kuat, hendaklah ia bertawakal kepada Allah, dan barang siapa yang ingin menjadi manusia terkaya, maka hendaklah ia lebih percaya kepada yang berada di “tangan” Allah daripada yang berada di tangannya sendiri, dan barang siapa yang ingin menjadi manusia yang terhormat, maka ia hendaklah bertakwa kepada Allah. (Riwayat Ibnu Abi Hatim dari Ibnu ‘Abbas)

Baca Juga :

Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas dari Nabi saw bahwa beliau bersabda:

ِاحْفَظِ اللهَ يَحْفَظُكَ، اِحْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ، تَعْرِفُ إِلَى اللهِ فِى الرَّخَاءِ يَعْرِفُكَ فِى الشِّدَةِ، وَإِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ الله، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ. وَاعْلَمْ أَنَّ النَّاسَ لَوِ اجْتَمَعُوْا عَلَى أَنْ يَضُرُّوْكَ بِشَيْءٍ لمَ ْيَكْتُبْهُ الله عَلَيْكَ لمَ ْيَضُرُّوْكَ، وَلَوِ اجْتَمَعُوْا عَلَى أَنْ يَنْفَعُوْكَ بِشَيْءٍ لمَ ْيَكْتُبْهُ الله لَكَ لمَ ْيَنْفَعُوْكَ، رُفِعَتِ اْلأَقْلاَم وَجُفَّتِ الصُّحُفُ، وَاعْمَلَ لله بِالشُّكْرِ فِى الْيَقِيْنِ. وَاْعَلَمْ أَنَّ فِى الصَّبْرِ عَلَى مَا تَكْرَهُ خَيْرًا كَثِيْرًا، وَأَنَّ النَّصْرَ مَعَ الصَّبْرِ، وَأَنَّ الْفَرْجَ مَعَ الْكُرْبِ، وَأَنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا. (رواه أحمد والترمذى والحاكم)

Peliharalah (agama) Allah nanti kamu menemui-Nya di hadapanmu ingatlah Allah pada saat senang, nanti Allah akan mengingatmu dalam kesempitan, dan jika kamu meminta, mintalah kepada Allah, dan jika kamu meminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada-Nya, dan ketahuilah, bahwa jika seluruh umat manusia sepakat untuk membuat mudarat kepadamu dengan sesuatu, yang Allah belum memastikannya kepadamu, niscaya mereka tidak dapat membuat mudarat kepadamu, dan jika mereka semuanya sepakat untuk menyampaikan suatu kemanfaatan kepadamu, yang Allah belum memastikannya untukmu, maka mereka sama sekali tidak dapat berbuat manfaat kepadamu. Qalam (di Lauh Mahfuz) telah diangkat, buku catatan amal telah kering, beramallah karena Allah dengan rasa syukur dan penuh keyakinan, dan ketahuilah bahwa dalam kesabaran untuk menahan kebencian terdapat banyak kebajikan dan setiap kesusahan ada jalan keluarnya dan tiap kesulitan ada kemudahannya. (Riwayat Ahmad, Tirmizi dan al-Hakim).

Pernyataan yang senada dengan ayat ini juga terdapat dalam firman Allah mengenai Nabi Hud:

اِنْ نَّقُوْلُ اِلَّا اعْتَرٰىكَ بَعْضُ اٰلِهَتِنَا بِسُوْۤءٍ ۗقَالَ اِنِّيْٓ اُشْهِدُ اللّٰهَ وَاشْهَدُوْٓا اَنِّيْ بَرِيْۤءٌ مِّمَّا تُشْرِكُوْنَ

“Kami hanya mengatakan bahwa sebagian sesembahan kami telah menimpakan penyakit gila atas dirimu.” Dia (Hud) menjawab, “Sesungguhnya aku bersaksi kepada Allah dan saksikanlah bahwa aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.” (Hud/11: 54).

Pada akhir ayat ini, Allah memerintahkan hamba-Nya untuk mencukupkan diri kepada Allah dan hanya bertawakal kepada-Nya. Firman Allah:

وَمَنْ يَّتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ فَهُوَ حَسْبُهٗ ۗاِنَّ اللّٰهَ بَالِغُ اَمْرِهٖۗ قَدْ جَعَلَ اللّٰهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا

Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu. (at-Thalaq/65: 3)

 

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Az- Zumar Ayat 39-41


Tafsir Surah Az-Zumar Ayat 29-32

0
Tafsir Surah Az- Zumar
Tafsir Surah Az- Zumar

Tafsir Surah Az-Zumar Ayat 29-32 diawali dengan penjelasan tentang perbedaan antara syirik dan tauhid. Tentu saja orang yang syirik adalah mereka yang mendustakan Allah Swt., sementara dusta adalah bagian dari perilaku zalim. Maka, tidak heran jika di neraka kelak mereka akan menyesal atas perbuatan mereka semasa di dunia.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Az- Zumar Ayat 23-28


Ayat 29

Allah membuat suatu perumpamaan untuk menjelaskan perbedaan antara syirik dengan tauhid. Untuk itu Allah mengumpamakan dua orang budak. Budak yang satu dimiliki oleh beberapa orang tuan, mereka berserikat dalam kepemilikannya.

Sedang budak yang lain hanya dimiliki oleh seorang tuan saja, tidak ada orang lain yang memilikinya. Pada suatu saat budak pertama mendapat perintah dari tuan-tuannya itu dengan perintah yang berbeda-beda, seperti tuan pertama memerintahkan membersihkan pekarangan rumahnya, tuan yang kedua menyuruh mencangkul kebunnya, tuan yang ketiga menyuruh membersihkan rumahnya dan sebagainya.

Perintah ini diberikan pada saat yang sama. Perintah tuan yang manakah yang harus dikerjakan oleh budak tersebut? Tidak mungkin budak itu melaksanakan tiap-tiap perintah dari tuan-tuannya itu dalam waktu yang sama. Demikianlah seterusnya sehingga budak itu selalu kebingungan dalam menaati perintah-perintah dari masing-masing tuannya.

Adapun budak yang kedua yang hanya dimiliki oleh seorang tuan, ia dapat melaksanakan perintah tuannya dengan baik, ia tidak akan bingung dalam melaksanakan perintah itu, dan tuannya pun berlega hati karena budaknya itu dapat melaksanakan perintahnya dengan baik. Samakah keadaan kedua budak tersebut dan sama pulakah keadaan tuan dari masing-masing budak itu?

Demikianlah halnya dengan orang yang beragama tauhid dan orang yang beragama syirik. Orang yang beragama tauhid tidak pernah bingung dalam melaksanakan perintah dan larangan dari Tuhannya, karena perintah dan larangan itu bersumber dari Yang Maha Esa.

Seorang yang beragama syirik selalu dalam keadaan bingung, perintah tuhannya yang manakah yang akan diikutinya. Sebaliknya orang yang beragama tauhid hanya menyembah Tuhan Yang Esa, sedang orang yang beragama syirik selalu bingung, tuhan yang manakah yang lebih patut disembah dari tuhan-tuhan yang lain.

Setelah menerangkan kesesatan syirik, Allah menegaskan bahwa segala puji hanyalah untuk-Nya, tidak untuk yang lain. Hanya Dia sajalah yang berhak disembah, tetapi kebanyakan manusia tidak mau mengetahuinya.

Ayat 30-31

Allah menerangkan bahwa semua manusia akan kembali kepada Tuhan dan di hari Kiamat nanti manusia antara yang satu dengan yang lain akan saling berbantah-bantahan dan saling tuduh-menuduh.

Pada hari Kiamat orang-orang musyrik berusaha membela diri mereka masing-masing, tetapi Nabi Muhammad saw dapat menolak alasan mereka itu, dengan menyatakan bahwa dakwah telah disampaikan kepada mereka, tetapi mereka mengingkari dan mendustakannya.

Oleh karena itu, mereka mohon ampunan kepada Allah, tetapi permohonan mereka tidak dapat diterima, karena pada hari itu tobat tidak dapat diterima lagi.

Di antara perbantahan antara orang-orang musyrik dengan sembahan-sembahan mereka itu disebutkan dalam ayat ini. Mereka berkata kepada pemimpin-pemimpin mereka, “Kami ikuti kamu, tetapi kamu menyesatkan kami.” Para pemimpin menjawab, “Kami juga telah ditipu oleh setan-setan dan nenek moyang kita dahulu.”


Baca Juga : Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 8-11: Penyesalan Orang yang Ingkar di Hari Kiamat


Ayat 32

Ayat ini menerangkan bahwa tidak ada orang yang lebih zalim daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah, dengan mengadakan sesembahan yang lain, atau mengatakan bahwa para malaikat adalah anak-anak perempuan Allah.

Mereka juga mendustakan kebenaran Al-Qur’an yang dibawa oleh Nabi Muhammad, yang mengajak kepada ketauhidan, melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar dan memberitahu akan datangnya hari kebangkitan dan pembalasan.

Mereka bersikap mendustakan justru ketika kebenaran datang kepada mereka, seolah-olah mereka menutup akal dan pancaindra untuk mengadakan penyelidikan atau membedakan mana yang hak dan yang batil seperti yang dilakukan oleh manusia yang sadar dan wajar.

Semua itu timbul karena sifat kesombongan dan keangkuhan. Oleh karena itu, Allah menyampaikan ancaman yang keras dalam bentuk pertanyaan, “Bukankah di neraka Jahanam tersedia tempat tinggal bagi orang-orang yang kafir?” Cara menyampaikan ancaman dengan bentuk pertanyaan itu sering dijumpai dalam Al-Qur’an, karena faedahnya besar sekali bagi mereka yang sedang mencari kebenaran.

Pertanyaan itu menimbulkan kejutan atau paling sedikit perhatian bagi mereka yang lengah dan lalai. Sesuai dengan sunatullah, setelah menyampaikan ancaman terhadap orang-orang kafir, Allah lalu memberi kabar gembira dan pujian kepada Nabi Muhammad dan para sahabat serta pengikutnya yang selalu bertakwa kepada-Nya.

 

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Az- Zumar Ayat 33-36


Tafsir Surah Az-Zumar Ayat 23-28

0
Tafsir Surah Az- Zumar
Tafsir Surah Az- Zumar

Tafsir Surah Az-Zumar Ayat 23-28 menjelaskan bahwa al-Qur’an adalah petunjuk bagi manusia. Salah satu dari petunjuk dalam al-Qur’an adalah berupa kisah-kisah terdahulu yang selalu diulang. Bagi mereka yang beriman (mendapat petunjuk), ketika membaca al-Qur’an hati mereka bergetar meresapi makna dan keindahan al-Qur’an. Sementara mereka yang ingkar (tidak mendapat petunjuk), kelak akan menyesal atas sikap mereka itu, setelah menerima azab dari Allah Swt.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Az- Zumar Ayat 22


Ayat 23

Allah menerangkan bahwa Dia menurunkan perkataan yang paling baik, yaitu Al-Qur’an yang mulia, sebahagian ayat-ayatnya mempunyai kemiripan baik dalam menjelaskan hukum-hukum, kebenaran, pelajaran, mengemukakan hujah, hikmah-hikmah, dan sebagainya, sebagaimana beberapa bagian air menyerupai beberapa bagian udara, beberapa bagian suatu negeri menyerupai beberapa bagian negeri yang lain.

Karena ada suatu kisah diulang-ulang menyebutnya di beberapa tempat, demikian pula perintah-perintah, larangan-larangan, dan sebagainya.

Orang-orang yang beriman, bila mereka mendengar bacaan Al-Qur’an meremang bulu romanya, dan bergoncang hatinya karena takut kepada Allah. Hal itu mendorong hati mereka mengikuti semua perintah-perintah Allah dan menghentikan larangan-larangan-Nya. Jiwa mereka menjadi hidup, semangat mereka bertambah untuk melaksanakan amal-amal yang saleh dan berjihad di jalan-Nya.

Dengan Al-Qur’an, Allah memberikan petunjuk kepada hamba-hamba-Nya, membimbing orang-orang yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus serta mempertebal iman di dalam hatinya.

Tetapi orang yang disesatkan hatinya, mereka hampa dan kosong, mereka tidak akan memperoleh manfaat sedikit pun dari Al-Qur’an itu.

Ayat 24

Pada ayat ini, Allah menegaskan perbedaan keadaan orang yang mendapat petunjuk dengan orang yang tidak mendapat petunjuk. Orang yang sesat dan tidak mendapat petunjuk dihadapkan ke neraka pada hari Kiamat.

Api neraka membakar wajah mereka, dan tangan mereka tidak dapat menutupi wajah mereka dari panas api itu, karena kedua tangan mereka terbelenggu. Lain halnya dengan orang-orang yang beriman.

Mereka selamat dari api neraka dan tidak perlu menghindarkan diri dari azab seperti yang ditimpakan kepada orang-orang kafir. Pada hari itu, orang-orang kafir dituding oleh para malaikat sambil berkata, “Rasakanlah olehmu azab neraka yang membakar itu, karena perbuatan-perbuatan yang telah kamu kerjakan dahulu sewaktu hidup di dunia.”


Baca Juga : Kelebihan Ilmu Pengetahuan dan Keutamaan Orang yang Berilmu Menurut Al-Quran dan Hadis


Ayat 25-26

Pada ayat ini, Allah menerangkan azab yang pernah ditimpakan kepada orang-orang terdahulu yang mendustakan para rasul yang diutus kepada mereka, seperti yang dilakukan oleh orang-orang musyrik Mekah kepada Rasulullah.

Azab itu ditimpakan kepada mereka setelah berkali-kali diseru ke jalan yang benar oleh para rasul yang diutus kepada mereka, namun mereka tidak mengindahkan seruan itu.

Demikianlah mereka ditimpa azab di dunia dan di akhirat nanti mereka akan memperoleh azab yang sangat. Azab dunia jauh lebih enteng dan ringan jika dibanding dengan azab akhirat.

Ayat 27-28

Allah menjelaskan pada ayat ini bahwa Dia telah membuat bermacam-macam contoh dalam Al-Qur’an seperti menerangkan sejarah beberapa umat terdahulu yang mengingatkan malapetaka yang mereka alami.

Contoh dan perumpamaan itu dikemukakan kepada mereka agar mereka mengambil pelajaran darinya, baik yang berhubungan dengan kehidupan dunia maupun yang berhubungan dengan kehidupan di akhirat nanti.

Dengan berpedoman kepada Al-Qur’an, mereka dapat meluruskan kembali kepercayaan mereka yang sesat, memperbaiki tata kehidupan mereka yang kacau, sehingga berubah menjadi kehidupan yang beradab.

Tidaklah sukar bagi mereka memahami Al-Qur’an karena diturunkan dalam bahasa Arab, bahasa mereka sendiri. Tidak ada sesuatu yang bertentangan di dalamnya. Isinya jelas dan tegas baik yang berhubungan dengan akidah, hukum, budi pekerti, dan sebagainya.

Jika mereka mau beriman dan mengikuti petunjuk Al-Qur’an, pastilah mereka dapat menjaga diri dari malapetaka yang mungkin menimpa mereka dan tentulah mereka akan taat hanya kepada Allah saja.

 

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Az- Zumar Ayat 29-32


Tafsir Surah Az-Zumar Ayat 16-19

0
Tafsir Surah Az- Zumar
Tafsir Surah Az- Zumar

Tafsir Surah Az-Zumar Ayat 16-19 setidaknya berbicara tentang tiga ciri manusia yang berbeda. Pertama, adalah manusia yang selalu ingkar kepada Allah. Kedua, manusia yang angkuh, mereka menganggap bisa mengendalikan segala urusan yang ada di dunia tanpa melibatkan Allah. Maka, kedua ciri manusia tersebut, kelak pasti akan mendapatkan azab serta siksa yang pedih. Sementara golongan ketiga, adalah manusia yang bertakwa, jelas golongan ini akan mendapatkan kabar gembira berupa surga dari Allah Swt.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Az- Zumar Ayat 11-15


Ayat 16

Pada ayat ini, Allah menjelaskan derita yang mereka alami. Mereka akan diletakkan di tengah-tengah api neraka yang berlapis-lapis. Di bagian atas terdapat api yang berlapis-lapis dan di bawahnya pun demikian pula. Mereka berada di puncak derita, karena mereka dikepung oleh api neraka.

Allah berfirman:

يَوْمَ يَغْشٰىهُمُ الْعَذَابُ مِنْ فَوْقِهِمْ وَمِنْ تَحْتِ اَرْجُلِهِمْ وَيَقُوْلُ ذُوْقُوْا مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ

Pada hari (ketika) azab menutup mereka dari atas dan dari bawah kaki mereka dan (Allah) berkata (kepada mereka), ”Rasakanlah (balasan dari) apa yang telah kamu kerjakan!” (al-Ankabut/29: 55).

Dan firman-Nya:

لَهُمْ مِّنْ جَهَنَّمَ مِهَادٌ وَّمِنْ فَوْقِهِمْ غَوَاشٍ

Bagi mereka tikar tidur dari api neraka dan di atas mereka ada selimut (api neraka). (al-A’raf/7: 41).

Siksa-siksa yang dahsyat itu dikemukakan Allah tiada lain hanyalah untuk menakut-nakuti hamba-Nya, agar mereka sadar dan insaf serta kembali kepada jalan yang lurus, jalan yang ditunjukkan Rasulullah saw serta suka memohon ampun kepada Allah atas dosa-dosa yang telah mereka kerjakan.

Pada akhir ayat, Allah memerintahkan Rasul-Nya agar menyeru para hamba-Nya agar bertakwa, suka menaati perintah-Nya, dan menjauhi larangan-Nya. Seruan itu menunjukkan sifat kasih sayang Allah terhadap hamba-hamba-Nya dan kebijaksanaan-Nya yang tak ternilai tingginya.

Ayat 17-18

Ayat ini menerangkan orang-orang yang selalu menjaga dirinya dan menghindarkan diri dari menyembah Thagut, berhala, serta tabah dalam menghadapi godaan setan, menghambakan diri dan menyembah kepada Allah semata, tidak menyembah selain-Nya.

Mereka akan memperoleh kabar gembira dari para rasul bahwa mereka akan terhindar dari azab kubur sesudah mati, kesengsaraan di Padang Mahsyar. Mereka akan mendapat kenikmatan yang abadi di dalam surga.

Oleh karena itu, Nabi Muhammad diperintahkan untuk memberi kabar gembira kepada umatnya yang selalu menyembah Allah, dan selalu mendengar perkataan yang benar, serta mengerjakan mana yang paling baik dari semua perkataan yang benar itu.


Baca Juga : Ali Imran Ayat 139: Berdamai dengan Mental Health, Sebab Allah Swt Memberikan Kabar Gembira yang Kurang Percaya Diri


Mereka pun akan memperoleh apa yang diperoleh oleh hamba-hamba Allah yang takwa. Mereka adalah orang-orang yang selalu mengikuti petunjuk Allah dan selalu menggunakan akal yang sehat.

 Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Zaid bin Aslam bahwa ayat ini diturunkan berhubungan dengan tiga sahabat Rasulullah, yaitu Zaid bin ‘Amr, Abu Dzar Al-Gifari, dan Salman al-Farisi, ketiga orang itu adalah orang-orang yang pernah mengucapkan kalimat “La ilaha illallah” di masa Arab Jahiliah.

Ayat 19

Pada ayat ini diterangkan kebalikan dari sifat-sifat orang yang disebutkan pada ayat sebelum ayat ini, yaitu mereka yang mengatakan sanggup melaksanakan segala sesuatu dan sanggup pula mengatasi segala macam kesulitan.

Mereka dicela Allah dengan mengatakan, “Apakah kamu yang mengendalikan segala urusan manusia, mengatur dan mengendalikan keadaan mereka? Apakah kamu dapat mengubah keputusan-Ku dengan membatalkan ketetapan azab yang telah Aku tetapkan terhadap orang-orang yang selalu mengotori jiwanya dengan mengerjakan segala macam perbuatan dosa dan mengerjakan perbuatan-perbuatan yang Aku larang?”

Allah menegaskan bahwa mereka sekali-kali tidak dapat menghapus dan mengubah segala macam keputusan-Nya sedikit pun, karena ketentuan segala sesuatu berada di tangan-Nya.

 (Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Az- Zumar Ayat 20-21


Tafsir Surah Az-Zumar Ayat 11-15

0
Tafsir Surah Az- Zumar
Tafsir Surah Az- Zumar

Tafsir Surah Az-Zumar Ayat 11-15 secara umum berbicara tentang perintah Allah kepada Nabi Muhammad dan kaumnya agar senantiasa hanya menyembah Allah. Perintah ini diulang beberapa kali dalam ayat-ayat berikut seagai bentuk peringatan, bukan pemaksaan. Karena itu, Allah juga memerintahkan Muhammad untuk membiarkan mereka yang ingkar, apabila sudah diserukan kebenaran.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Az- Zumar Ayat 8-10


Ayat 11

Pada ayat ini, Allah memerintahkan kepada rasul-Nya agar mengatakan kepada kaum musyrikin Mekah bahwa dia diperintahkan untuk menyembah Allah dan menaati perintah-Nya dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan urusan agama. Dari keterangan ini dapat dipahami bahwa sembahan-sembahan selain Allah harus dibasmi sampai ke akar-akarnya. Begitu pula mengenai urusan-urusan keagamaan, pedomannya adalah perintah yang datang dari Allah, tidak boleh berdasarkan pendapat orang.

Ayat 12

Pada ayat ini, Allah memerintahkan kepada rasul-Nya agar mengatakan kepada kaum musyrikin Mekah bahwa dia diperintahkan untuk menyembah Allah dan menaati perintah-Nya dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan urusan agama. Dari keterangan ini dapat dipahami bahwa sembahan-sembahan selain Allah harus dibasmi sampai ke akar-akarnya. Begitu pula mengenai urusan-urusan keagamaan, pedomannya adalah perintah yang datang dari Allah, tidak boleh berdasarkan pendapat orang.

Ayat 13

Pada ayat ini, Rasulullah juga diperintahkan agar merasa takut melanggar larangan-larangan Allah, seperti tidak berbuat ikhlas dalam menjalankan perintah dan mengesakan-Nya. Apabila ia takut melanggar larangan-larangan-Nya berarti takut akan siksa yang amat dahsyat yang akan ditimpakan pada hari perhitungan. Pada hari itu semua perbuatan manusia baik atau pun buruk diperiksa dan diberi balasan yang setimpal.

Ayat 14

Sesudah itu Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya agar mengatakan kepada kaumnya bahwa hanya Allah saja yang ia sembah dan hanya untuk-Nya ia memurnikan ketaatan dalam menjalankan urusan agama. Dari ayat ini dapatlah diambil pengertian bahwa dalam melaksanakan urusan keagamaan harus ada garis pemisah yang tegas, tidak boleh dicampuradukkan antara mengesakan Allah dengan mempersekutukan-Nya. Antara yang diperintahkan oleh agama dan mana yang tidak diperintahkan. Dalam urusan akidah dan ibadah tidak ada kompromi, sedang dalam urusan dunia dan kemaslahatan, boleh dipecahkan dengan ijtihad, asal prinsipnya tidak bertentangan dengan ajaran agama.


Baca Juga : Rahasia Makna Adanya Perintah Allah dalam Al-Qur’an


Ayat 15

Pada ayat ini, Allah memerintahkan Rasul-Nya agar membiarkan kaum musyrik Mekah menyembah patung-patung itu menurut kehendak mereka. Mereka telah diberi peringatan berulang-ulang dan diberi bimbingan berkali-kali. Akan tetapi, mereka masih tetap juga pada pendirian mereka mengikuti jejak nenek moyang mereka yang hanya berdasarkan dugaan-dugaan yang jauh dari kebenaran.

Sebagai penegasan yang terakhir, Rasulullah diperintahkan untuk menyatakan kepada mereka bahwa orang-orang yang rugi ialah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri. Berarti apabila mereka nanti diberi pembalasan dengan azab yang dahsyat, tiada lain penderitaan itu karena perbuatan mereka sendiri. Kerugian dan penderitaan itu tidak hanya menimpa mereka, tetapi juga menimpa keluarga mereka yang sependirian dengan mereka.

Pada penghujung ayat ini, Allah menandaskan bahwa kerugian dan penderitaan serupa itu adalah kerugian dan penderitaan yang nyata, karena tidak ada kerugian dan penderitaan yang lebih dahsyat daripada kerugian yang mereka derita di hari kiamat.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Az- Zumar Ayat 16-19


Tafsir Surat Al-Qashash Ayat 56: Memahami Hikmah, Ragam dan Proses Hidayah

0
Surat Al-Qashash Ayat 56
Surat Al-Qashash Ayat 56

Al-Qur’an dan Nabi Muhammad adalah wujud kasih sayang Allah Swt kepada umat manusia. Keduanya adalah anugerah besar, agar manusia dapat memperoleh hidayah. Melalui keduanya Allah ingin membawa manusia dari kegelapan hidup menuju hidup yang penuh cahaya petunjuk.

Pertanyaan kemudian apakah kehadiran Al-Qur’an dan Nabi Muhammad dapat menjamin seluruh manusia mendapat hidayah dan beriman? Jika tidak ada jaminan, lalu bagaimana proses hidayah tersebut, dan adakah syarat untuk mendapat petunjuk? Pertanyaan inilah yang akan mengawali tulisan sederhana ini.

Untuk memahami tema hidayah, banyak ayat-ayat yang menjelaskannya. Namun, tulisan ini hanya memfokuskan pada surat Al-Qashash ayat 56. Dengan alasan, bahwa ayat ini lebih relevan dengan pembahasan dan berkaitan dengan fenomena dakwah Rasulullah SAW.

Nabi Muhammad dan Hidayah

Surat Al-Qashash ayat 56 menjadi menarik dikaji, karena ayat ini menjelaskan bahwa ada sejenis petunjuk yang tidak dapat dilakukan oleh Nabi sekalipun. Kemudian, Allah memberi isyarat bahwa hidayah jenis ini hanya dalam gengaman tangan-Nya.

Baca Juga: Makna Kata Hidayah dalam Al-Quran dan Macamnya Menurut Al-Maraghi

Untuk itu, mari kita perhatikan redaksi dan terjemahan ayatnya berikut ini:

إِنَّكَ لا تَهْدي مَنْ أَحْبَبْتَ وَ لكِنَّ اللهَ يَهْدي مَنْ يَشاءُ وَ هُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدين

“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu cintai, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.”

Ayat ini ditujukan kepada Nabi Muhammad. Melihat ayat sebelumnya, dijelaskan bahwa mereka dari masyarakat Mekkah enggan untuk menerima hidayah. Betapapun, mereka memiliki hubungan dekat, bahkan kekerabatan dengan Nabi. Fenomena inilah yang membuat hati Nabi bersedih.

Asy-Sya’rawi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa Surat Al-Qashash ayat 56 ini berkaitan dengan keindahan pribadi Nabi. Dengan kondisi masyarakat yang enggan beriman, Nabi berusaha dengan semaksimal mungkin (harīshan) untuk menjadikan mereka beriman. Akan tetapi, hidayah yang menjadikan mereka menerima dan beriman hanya dating dari Allah semata. (Tafsir Asy-Sya’rawi, jil. 17, hal. 10963)

Melalui ayat ini, dapat kita lihat betapa bersemangatnya Nabi dalam proses dakwah. Bahkan disebutkan dalam ayat lain, seakan-akan Nabi ingin membinasakan dirinya karena melihat mereka yang tidak beriman. Dengan kata lain, Nabi rela melakukan apapun yang bahkan mencelakakan dirinya demi umatnya beriman. Dalam surat Al-Kahfi ayat 6:

فَلَعَلَّكَ باخِعٌ نَفْسَكَ عَلى‏ آثارِهِمْ إِنْ لَمْ يُؤْمِنُوا بِهذَا الْحَديثِ أَسَفاً

Artinya: “Sepertinya kamu akan mencelakakan dirimu karena bersedih hati sesudah mereka berpaling, apabila mereka tidak beriman kepada keterangan (Al-Qur’an) ini.

Dua Ragam Hidayah Keagamaan

Berkaitan dengan Surat Al-Qashash ayat 56, Quraish Shihab menjelaskan dua ragam hidayah keagamaan. Menurutnya, ada hidayah yang bersifat irsyadī dan taufīqī. Hidayah yang pertama adalah petunjuk yang disampaikan kepada orang lain atau dengan memberi contoh penerapannya. Nah, hidayah model ini bisa diperankan oleh Allah dan manusia.

Sebagai contoh dalam surat Asy-Syurā ayat 52:

وَ إِنَّكَ لَتَهْدي إِلى‏ صِراطٍ مُسْتَقيمٍ

Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.”

Sementara hidayah yang kedua; hidayah taufīqī, berbeda dengan hidayah yang pertama. Hidayah model ini adalah petunjuk keagamaan serta pemberian kemampuan untuk melaksanakan isi petunjuk. Nah, hidayah ini tidak bisa dilakukan kecuali oleh Allah semata. (Tafsir Al-Misbah, jil. 10, hal. 371)

Dalam ayat ini, model hidayah yang dsebutkan adalah hidayah yang taufīqī. Oleh karena itu, Nabi tidak memiliki peran dalam hal ini. Betapapun terhadap orang yang Nabi cintai sekalipun. Artinya, Sekelas Nabi pun hanya bisa menunjukkan jalan petunjuk, perkara diterima atau ditolak, itu kembali kepada pihak yang terkait.

Beberapa Hikmah Penting

Melalui rangkaian ayat dan penafsirannya, ada beberapa hikmah penting yang dapat kita ambil berkaitan dengan hidayah. Pertama, menjadi pendakwah tidak boleh dengan paksaan. Artinya, tugas pendakwah adalah menyampaikan kebenaran dan mencontohkan keteladanan. Adapun, dakwah kita diterima atau tidak itu tidak berada di kendali pendakwah.

Baca Juga: Baca Ayat Ini Sebagai Doa Agar Orang Mendapatkan Hidayah Islam

Kedua, hidayah bukan berkaitan dengan kekerabatan dan kecintaan. Melainkan hidayah berkaitan dengan hati dan pikiran. Jika hati dan pikiran sudah terbuka, maka Allah akan memudahkan seseorang untuk menjemput hidayah tersebut.

Ketiga, proses hidayah harus terjadi dua arah. Maksudnya, selain keaktifan pemberi hidayah, perlu juga ada kesiapan yang menerima hidayah. Karena, jika hanya pemberi hidayah yang aktif tanpa kesiapan penerima, maka hidayah tidak akan terjadi, begitu pula sebaliknya.

Alhasil, semoga melalui tulisan sederhana ini kita dapat memahami konsep dan proses hidayah. Dengan begitu, kita dapat menjadi pemberi dan penerima hidayah yang bijak. Kemudian, semoga Allah senantiasa menambah hidayah kepada kita, dan kita selalu mempunyai kesiapan untuk menerimanya. Wallahu’alam bishawab.

Tidak Hanya Khamar, Pengharaman Riba dalam Al-Quran Juga Bertahap

0
Pengharaman Riba
Pengharaman Riba

Penerapan hukum Islam dari awal, sejak masa Nabi dilakukan secara bertahap. Istilah ini dikenal dengan tadarruj. Syeikh Mustafa Az-Zuhaili dalam At-Tadarruj fi at-Tasyri’ wa Tathbiq fi Syari’ah Al-Islamiyah, hal. 27 menyampaikan bahwa praktik tadarruj itu dimaksudkan untuk dua hal; pertama yaitu pembiasaan secara bertahap, mulai dari yang dekat ke yang jauh, dari yang ringan ke yang berat, dari yang mudah ke yang sulit; kedua yaitu menetapkan peraturan atau hukum yang awalnya hanya bersifat kebiasaan menjadi menjadi hukum atau peraturan yang mengikat.

Tahapan pengharaman khamar merupakan salah satu contoh penerapan model tadarruj yang sangat popular. Dan ternyata tidak hanya khamar yang berlaku demikian, pengharaman riba pun juga begitu, dilarang secara bertahap.

Tahapan pengharaman riba

Menurut As-Shabuni dalam Tafsir Ayat al-Ahkam, jilid I, hal. 389, tahap-tahap pengharaman riba sama dengan tahapan Al-Quran tentang khamr. Pada tahap pertama hanya sekadar menggambarkan adanya unsur negatif di dalam riba, sebagaimana tertera dalam surah Ar-Rum ayat 39,

وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ (39)

“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar harta manusia bertambah, maka tidak bertambah dalam pandangan Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk memperoleh keridaan Allah, maka itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya).” (QS. Ar-Rum [30]: 39)

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Kebolehan Memakan Makanan Haram dalam Situasi Darurat

Ayat pertama tentang riba ini merupakan ayat Makkiyah, turun ketika Nabi di Makkah yang notabene fokus dakwahnya tentang ajakan tauhid, mengesakan Allah, bukan tentang hukum atau yang lainnya. Keterangan Ibn Abbas tentang pengertian riba pada ayat ini juga bisa diambil dasar bahwa memang praktik riba pada masa ini memang tidak sama dengan masa Nabi di Madinah, apalagi masa sekarang.

Dikutip oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir bahwa Ibn Abbas memberi pengertian riba dalam ayat tersebut sebagai tradisi pemberian hadiah kepada orang-orang yang mengharap imbalan lebih. Praktik riba yang ‘hanya’ seperti ini pada awalnya yang kemudian membuat Al-Qurtubi dan Ibn al-Arabi menyebutnya dengan ‘riba halal’, sedang Ibnu Katsir menamainya dengan ‘riba mubah’.

Tahap kedua kemudian disusul oleh ayat tentang keharaman riba, meski dalam bentuk talwih (memberi isyarat), bukan sharih (jelas). Ini tercantum dalam surah An-Nisa’ ayat 161,

وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا (161)

“Dan karena mereka menjalankan riba, padahal sungguh mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan cara tidak sah (batil). Dan Kami sediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka azab yang pedih.” (QS. An-Nisa [4]: 161)

Pemaknaan dan praktik riba kemudian berubah pada tahap yang kedua ini. Ayat yang kedua ini merupakan ayat Madaniyah. Praktik riba dilukiskan dalam Tafsir Ibnu Athiyyah dengan berhutang satu dirham harus dibayar dua dirham. Tuntutan untuk membayar lebih ini termasuk cara batil dalam memakan harta seseorang. Inilah yang kemudian menjadi alasan pelarangan riba.

Selanjutnya, pada tahap ketiga, Al-Quran secara eksplisit (sharih) menyatakan keharaman riba, tetapi tidak secara keseluruhan, hanya riba fahisy saja yang diharamkan. Ini dapat dilihat dalam surah Ali Imran ayat 130,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (130)

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.​” (QS. Ali Imran [3]: 130)

Di ayat ini, At-Tabari dalam tafsirnya menukil riwayat dari Atha’ bahwa seseorang dari Bani Tsaqif berhutang ke salah seorang dari Bani Al-Mughirah, ketika sudah jatuh tempo, Bani Al-Mughirah tadi meminta tambahan karena yang berhutang tadi mengakhirkan bayarannya. Sampe di sini riba berarti bukan hadiah yang diberikan secara suka rela, tapi pemberian terpaksa oleh seseorang karena keterlambatannya dalam membayar hutang.

Oleh karena unsur dzalim, menyakiti dan menyengsarakan pihak yang berhutang ini berkali lipat, ia belum bisa membayar di saat yang sama malah bebannya sengaja ditambah, karena usnur ini maka riba secara jelas dilarang.

Pada tahap terakhir, riba diharamkan secara keseluruhan, apapaun bentuk dan namanya. Tahapan terakhir ini ada dalam surah Al-Baqarah ayat 278,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (278) فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ (279)

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang beriman.​ Jika kamu tidak melaksanakannya, maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya. Tetapi jika kamu bertobat, maka kamu berhak atas pokok hartamu. Kamu tidak berbuat zalim (merugikan) dan tidak dizalimi (dirugikan). ” (QS. Al-Baqarah [2]: 278-279)

Sebagaimana penutup, ayat terakhir pengharaman riba ini semakin memperjelas dan mempertegas larangan riba. Di ayat ini disampaikan bahwa tradisi riba itu tidak boleh untuk diteruskan, harus stop. Hutang-hutang yang masih belum dibayar dilarang untuk dimintai kelebihannya. Pada tahap ini Allah tidak sekadar melarang, tetapi juga memberikan ancaman pada siapapun yang masih melanjutkan praktik riba, yaitu berperang dengan Allah dan RasulNya.

Baca Juga: Kegelisahan Umar bin Khattab dan Turunnya Ayat Pengharaman Khamar

Setidaknya ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari penjelasan di atas. Antara lain Al-Quran dalam menerapkan aturan-aturannya masih memperhatikan tradisi, sekalipun tradisi itu tidak baik. Ia kemudian merubahnya pelan-pelan, tujuannya tidak lain agar orang-orang bisa terbiasa dan tidak terasa berat untuk menghadapi aturan yang baru. Ini yang kemudian disebut dengan metode tadarruj (bertahap).

Selain itu, dari segi keilmuan Al-Quran, status ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah ini menjadi salah satu faktor penting yang tidak bisa dilewati dalam mempelajari dan memahami ayat Al-Quran, khususnya ketika membahas ayat-ayat hukum. Wallahu a’lam