Beranda blog Halaman 213

Tafsir Surah Az-Zumar Ayat 54-58

0
Tafsir Surah Az- Zumar
Tafsir Surah Az- Zumar

Tafsir Surah Az-Zumar Ayat 54-58 menerangkan bahwa taubat bisa dipahami sebagai kesempatan,yaitu kesempatan untuk menebus kesalahan yang pernah dilakukan. Maka, akan sangat menyesal, jika kesempatan itu tidak dimanfaatkan dengan baik, karena jika di akhirat tidak ditemukan kesempatan yang serupa.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Az- Zumar Ayat 53


Ayat 54-55

Bagi orang-orang yang menerima seruan ini dengan bertobat kepada Allah dan percaya dengan sepenuh hatinya kepada keluasan rahmat dan ampunan-Nya, Allah memerintahkan agar dia benar-benar kembali kepada jalan yang lurus yang telah dibentangkan-Nya, berserah diri kepada-Nya, dan bernaung di bawah lindungan-Nya.

Di sisi Allah tersedia berbagai macam karunia dan nikmat yang akan dilimpahkan kepadanya, apabila ia telah insaf dan kembali menjadi hamba yang dimuliakan-Nya.

Setiap orang berdosa hendaklah mengambil kesempatan baik ini dengan segera sebelum datang hari Kiamat di mana tobat dan penyesalan tidak akan diterima lagi. Janganlah kesempatan yang baik ini dibiarkan berlalu begitu saja karena yang akan rugi ialah orang yang tidak mengindahkannya.

Dalam ayat lain, Allah berfirman:

اَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَنْ تَخْشَعَ قُلُوْبُهُمْ لِذِكْرِ اللّٰهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّۙ وَلَا يَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْاَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوْبُهُمْۗ وَكَثِيْرٌ مِّنْهُمْ فٰسِقُوْنَ

Belum tibakah waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk secara khusyuk mengingat Allah dan mematuhi kebenaran yang telah diwahyukan (kepada mereka), dan janganlah mereka (berlaku) seperti orang-orang yang telah menerima kitab sebelum itu, kemudian mereka melalui masa yang panjang sehingga hati mereka menjadi keras. Dan banyak di antara mereka menjadi orang-orang fasik. (al-Hadid/57: 16).

Peluang emas yang dikaruniakan Allah hendaklah dimanfaatkan sebaik-baiknya sebelum tiba saat yang menentukan di mana pintu tobat telah tertutup rapat, yaitu pada saat ajal telah tiba atau pada saat hari Kiamat telah datang.

Pada saat itu, tidak seorang yang durhaka pun yang dapat melepaskan diri dari siksaan Allah dan tak ada suatu makhluk pun yang dapat membela dan menghindarkannya dari azab itu.

Hendaklah dia benar-benar mengikuti dan mematuhi semua ajaran yang telah dijelaskan Allah dalam Al-Qur’an al-Karim untuk kebaikan dan kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat.

Janganlah seseorang menunggu sampai besok untuk bertobat karena dia tidak mengetahui apakah ia akan hidup sampai besok. Mungkin seseorang berjanji kepada dirinya bahwa dia akan bertobat esok sore harinya, tetapi siapa tahu, belum lagi waktu sore datang, dia sudah meninggal dan hilanglah kesempatan yang sangat berharga itu.


Baca Juga : Pro Kontra Teori Peminjaman dan Keterpengaruhan Al-Quran Terhadap Yahudi dan Nasrani


Ayat 56-58

Pada ayat-ayat ini, Allah menerangkan bagaimana penyesalan orang-orang yang tidak mempergunakan peluang emas yang diberikan Allah kepada mereka. Di akhirat nanti, mereka akan berulang-ulang mengucapkan kata-kata penyesalan dengan berbagai macam cara, di antaranya:

  1. Sesungguhnya aku sangat menyesal atas kelalaian dan kealpaanku semasa hidup sehingga aku tidak mengindahkan ajaran-ajaran Allah, selalu durhaka terhadap-Nya, meninggalkan kewajiban-kewajibanku terhadap-Nya sebagai hamba, dan melanggar hukum-hukum yang telah ditetapkan-Nya. Kenapa aku tidak mempergunakan kesempatan yang diberikan Allah kepadaku untuk bertobat dan kembali ke jalan yang lurus.

Kenapa aku selalu memperolok-olokkan orang-orang yang telah taat dan patuh menjalankan petunjuk dan ajaran-Nya bahkan termasuk orang-orang yang menghina dan menganggap enteng agama-Nya.

  1. Kenapa aku tidak menerima dengan baik petunjuk yang diberikan-Nya dengan perantaraan rasul-Nya, dan tidak mengamalkan petunjuk ajaran-Nya. Kalau sekiranya aku menerima dan mengamalkan petunjuk dan ajaran itu, tentu aku termasuk dalam golongan orang-orang yang bertakwa yang disediakan bagi mereka surga Jannatun Na’im yang penuh dengan nikmat dan kesenangan serta penuh dengan kebahagiaan dan keridaan Allah.
  2. Ketika dia melihat api neraka dan berbagai macam siksaan yang ditimpakan kepada penghuninya, dan dia merasa pasti akan dilemparkan ke dalamnya, dia berangan-angan dan mengharapkan kalau dapat kembali ke dunia agar dia dapat berbuat amal saleh sebanyak-banyaknya untuk bekal di akhirat sehingga terbebas dari siksaan neraka dan dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang berbuat baik.

 

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Az- Zumar Ayat 59-60


Menelisik Makna Mihrab dalam Al-Qur’an

0
makna mihrab dalam Al-Qur'an
makna mihrab dalam Al-Qur'an

Dalam kajian keagamaan, kata mihrab seringkali digunakan, khususnya berkenaan dengan masjid. Kata mihrab sangat berkaitan dengan tempat untuk beribadah. Selain itu, kata mihrab juga sudah masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menerangkan bahwa mihrab adalah ruang kecil di langgar atau di masjid, tempat imam berdiri waktu salat berjamaah. Yang menarik, kata mihrab yang berasal dari bahasa Arab ini juga digunakan dalam ayat Al-Qur’an, lantas apa makna mihrab dalam Al-Qur’an?.

Oleh karena itu, mari kita telisik bagaimana kata mihrab secara bahasa. Kemudian kita lihat bagaimana penggunaannya dalam rangkaian ayat-ayat Al-Qur’an. Setelah itu, kita akan menggali pesan penting dari kajian mihrab ini di dalam Al-Qur’an.

Baca juga: Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 263: Etika Memberi dan Meminta Bantuan

Mihrab Secara Bahasa

Kata mihrab terambil dari bahasa Arab. Memiliki akar kata harb yang berarti perang. Kemudian, dari arti ini muncul hirbah yang berarti alat untuk perang. Sementara kata mihrab disandingkan dengan masjid, karena masjid adalah ruang untuk berperang melawan setan dan hawa nafsu. (Samīn Halabī, ‘umdatul hifādz fī tafsīr asyrafil alfādz, hal. 20)

Adapun selanjutnya, Ibn Manzūr menjelaskan bahwa kata mihrab berarti bagian depan rumah, tempat termulia dan memiliki bentuk jamak mahārīb. Senada juga dengan pendapat sejarawan Islam Ibnul Athīr, bahwa dalam perkembangannya kata mihrab bermakna tempat yang tinggi dan mulia. (Lisānul A’rab)

Melalui penjelasan di atas, secara bahasa kata mihrab memiliki pergeseran makna yang signifikan. Bermula dari tempat perang secara fisik, kemudian beralih menuju tempat perang yang bersifat non-fisik, yaitu perang dengan melawan setan dan hawa nafsu.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Beda Pendapat Tentang Tata Cara Bertayamum Yang benar

Mihrab dalam Al-Qur’an

Setelah kajian bahasa, selanjutnya kita akan melihat ragam penggunaan kata mihrab di dalam Al-Qur’an. Secara umum, di dalam Al-Qur’an, kata mihrab disebut sebanyak 4 kali dalam bentuk tunggal. Dan dalam bentuk jamak, mahārīb hanya disebut sekali.

Berikut adalah ayat-ayat yang menyebut kata mihrab:

Surat Ali Imran ayat 37:

فَتَقَبَّلَها رَبُّها بِقَبُولٍ حَسَنٍ وَ أَنْبَتَها نَباتاً حَسَناً وَ كَفَّلَها زَكَرِيَّا كُلَّما دَخَلَ عَلَيْها زَكَرِيَّا الْمِحْرابَ وَجَدَ عِنْدَها رِزْقاً قالَ يا مَرْيَمُ أَنَّى لَكِ هذا قالَتْ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللهِ إِنَّ اللهَ يَرْزُقُ مَنْ يَشاءُ بِغَيْرِ حِسابٍ

Artinya: Lalu Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakaria pemeliharanya. Setiap kali Zakaria masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakaria berkata, “Hai Maryam, dari mana kamu memperoleh (makanan ) ini?” Maryam menjawab, “Makanan itu berasal dari sisi Allah Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.

Surat Ali Imran ayat 39:

فَنادَتْهُ الْمَلائِكَةُ وَ هُوَ قائِمٌ يُصَلِّي فِي الْمِحْرابِ أَنَّ اللهَ يُبَشِّرُكَ بِيَحْيى‏ مُصَدِّقاً بِكَلِمَةٍ مِنَ اللهِ وَ سَيِّداً وَ حَصُوراً وَ نَبِيًّا مِنَ الصَّالِحينَ

Artinya: “Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil Zakaria, sedang Zakaria tengah berdiri melakukan salat di mihrab, (seraya berkata), “Sesungguhnya Allah memberi berita gembira kepadamu dengan kelahiran (seorang putramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah, menjadi panutan, menahan diri (dari hawa nafsu), dan seorang nabi yang termasuk keturunan orang-orang saleh.”

Surat Maryam ayat 11:

فَخَرَجَ عَلى‏ قَوْمِهِ مِنَ الْمِحْرابِ فَأَوْحى‏ إِلَيْهِمْ أَنْ سَبِّحُوا بُكْرَةً وَ عَشِيًّا

Artinya: “Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia berkata kepada mereka dengan memberi isyarat, “(Demi mensyukuri nikmat ini) hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang.”

Surat Sad ayat 21:

وَ هَلْ أَتاكَ نَبَأُ الْخَصْمِ إِذْ تَسَوَّرُوا الْمِحْرابَ

Artinya: “Dan adakah sampai kepadamu berita orang-orang yang berperkara ketika mereka memanjat mihrab (Daud)?

Baca juga: Tafsir Surat Al-Qashash Ayat 56: Memahami Hikmah, Ragam dan Proses Hidayah

Keempat ayat di atas menggunakan kata mihrab sebagai tempat beribadah. Sebagaimana dalam konteks Nabi Zakaria, Sayyidah Maryam dan Nabi Daud. Kemudian Asy-Sya’rawi dalam tafsirnya, bahwa mihrab adalah tempat Ibadah. Kerena di dalamnya manusia berperang melawan setan dan hawa nafsunya. Selain itu, di dalam masjid, ia juga harus menyeimbangkan antara kehidupan dunia dan akhiratnya. (Tafsīr Asy-Sya’rawī, jil. 15, hal. 9040)

Adapun dalam bentuk jamak, termuat dalam Surat Saba’ ayat 13:

يَعْمَلُونَ لَهُ ما يَشاءُ مِنْ مَحاريبَ وَ تَماثيلَ وَ جِفانٍ كَالْجَوابِ وَ قُدُورٍ راسِياتٍ اعْمَلُوا آلَ داوُدَ شُكْراً وَ قَليلٌ مِنْ عِبادِيَ الشَّكُورُ

Artinya: Para jin itu membuat untuk Sulaiman gedung-gedung yang tinggi, patung-patung, piring-piring (besar) seperti kolam, dan periuk yang tetap (berada di atas tungku) yang ia kehendaki. Bekerjalah, hai keluarga Daud, untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.”

Secara umum, berkaitan dengan kata mihrab dalam ayat ini, Fakhruddin Ar-Razi menjelaskan, bahwa mihrab adalah tempat khusus untuk beribadah bagi para imam, pembesar dan pemuka. Setidaknya ada dua alasan yang dikemukakan atas penamaan ini.

Pertama, berasal dari kata harb: perang, karena mihrab secara hakikat adalah tempat perang melawan setan dan hawa nafsu. Kedua, secara bahasa mihrab bermakna tempat utama dalam suatu acara. Adapun tempat utama dalam beribadah adalah mihrab. (Tafsīr Mafātīhul Ghaib)

Baca juga: Tidak Hanya Khamar, Pengharaman Riba dalam Al-Quran Juga Bertahap

Kontektualisasi Makna Mihrab

Setelah melihat makna bahasa dan penggunaannya dalam Al-Qur’an. Kata mihrab bisa kita maknai secara kontekstual dengan masa kita saat ini. Ada dua poin utama. Pertama, bahwa dalam beribadah kita harus menempati posisi permulaan dan memilih tempat yang mulia. Jika ibadah itu berupa salat, maka salat kita harus terdepan. Adapun jika ibadah itu berupa bekerja, maka kita harus memilih tempat kerja yang baik dan mulia. Dan begitu seterusnya.

Adapun poin kedua, tempat ibadah harus selalu kita jadikan tempat untuk melawan setan dan hawa nafsu kita. Artinya, beribadah dengan khusyuk dan ikhlas. Selain itu, perang jenis ini dalam hadith dikenal dengan jihad melawan nafsu (jihad an-Nafs).

Oleh karena itu, mari kita jadikan hidup kita sebagai mihrab. Yaitu hidup dengan memilih kemuliaan dan keutamaan, dengan cara terus melawan keburukan, kezaliman dan hawa nafsu kita. Sehingga, kita menjadi manusia yang beruntung dari perang di dunia menuju rumah di surga.

Semoga tulisan sederhana ini dapat bernilai manfaat. Sekaligus menjadi pengingat untuk kita selalu memihak kebenaran di atas kebatilan, kebaikan di atas keburukan, dan kebijaksanaan di atas kezaliman. Wallahu’alam bishawab[].

Kaidah Wadih ad-Dalalah, Contoh Pertentangan dan Cara Penyelesaiannya

0
Kaidah Wadih ad-Dalalah
Kaidah Wadih ad-Dalalah

Pada artikel sebelumnya yang bertajuk Mengenal Makna Wadih ad-Dalalah dan Khafi ad-Dalalah dalam Al-Qur’an telah diuraikan empat macam lafal Wadih ad-Dalalah. Akan tetapi pada tulisan tersebut belum disinggung tentang kontradiksi dan alternatif penyelesaiannya yang merupakan kajian lanjut ulama dalam pembahasan Wadih ad-Dalalah.

Seperti yang disinggung dalam artikel itu pula, bahwa standar hierarki dalam Wadih ad-Dalalah adalah kamungkinan ta’wil dan nasakh. Semakin besar peluang ta’wil maka semakin kecil tingkat kejelasannya. Sebaliknya semakin kecil peluang kemungkinan ta’wil maka semakin besar tingkat kejelasannya. Nah, bila diurut dari yang paling rendah tingkat kejelasannya adalah, Zhohir, Nash, Mufassar, lalu yang tertinggi Muhkam.

Pemetakan hierarki di atas sengaja dibuat sebagai antisipasi sekaligus alternatif bila terjadi kontradiksi antara keempat macam lafal Wadih ad-Dalalah. Pertentangan yang dimaksud adakalanya antara makna Zhohir dengan makna Nash, Nash dengan Mufassar dan Mufassar dengan Muhkam. Saat terjadi pertentangan seperti yang tersebut di atas maka penyelesaiannya menggunakan jalan prioritas. Dengan kata lain yang dimenangkan sebagai dalil adalah yang lebih tinggi tingkat kejelesannya. Dengan demikian Nash dimenangkan dari Zhohir, sedangkan Mufassar menang dari Zhohir dan Nash, begitu pula Muhkam diunggulkan dari Zhohir, Nash, dan Mufassar.

Baca juga: Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 263: Etika Memberi dan Meminta Bantuan

Contoh Pertentangan dan Penyelesaiannya

Pertentangan Nash dan Zhohir

Dalam Q.S. an-Nisa’ ayat 24, Allah berfiman;

وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَآءَ ذَٰلِكُمْ

“Dan dihalalkan bagimu selain (perempuan-perempuan) yang demikian itu”

Ayat sebelumnya berbunyi “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Baca juga: Tafsir Ahkam: Beda Pendapat Tentang Tata Cara Bertayamum Yang benar

Kemudian disusul dengan ayat di atas yang menyatakan “dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina.

Nah, dengan melihat rentetan ayat sebelumnya itu, maka maksud ayat di atas adalah halalnya mengawini selain wanita-wanita yang telah disebutkan, termasuk wanita yang mau dijadikan istri kelima. Sehingga menurut ayat ini -melalui makna Zhohir-nya- seorang lelaki yang telah beristri empat boleh menikahi wanita selain wanita yang telah disebutkan oleh ayat di atas.

Sementara itu, di tempat lain Allah berfirman dalam Q.S. an-Nisa’ ayat 3

فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ

“maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.”

Makna Nash yang diperoleh dari ayat di atas adalah, pembatasan jumlah istri yang diperbolehkan dalam syariat yaitu empat orang istri. Sehingga wanita yang hendak menjadi istri ke lima menurut ayat ini haram dinikahi yang diproleh dari makna Nash ayat.

Baca juga: Tafsir Surat Al-Qashash Ayat 56: Memahami Hikmah, Ragam dan Proses Hidayah

Sampai di sini, dapat diketahui bahwa letak pertentangan kedua ayat di atas adalah menyangkut boleh tidaknya menikahi wanita yang hendak dijadikan istri ke lima. Ayat pertama mengatakan boleh, asalkan bukan wanita-wanita yang telah diharamkan. Sedangkan ayat kedua sebaliknya yaitu tidak boleh.

Nah, dengan menerapkan kaidah dalam Wadih ad-Dalalah yang telah disebutkan sebelumnya, maka makna Nash lah yang dimenangkan dari pada makna Zhohir, karena makna Nash lebih jelas ketimbang makna Zhohir.

Sehingga kesimpulan hukum yang diperoleh adalah seorang lelaki haram menikahi wanita yang hendak dijadikan istri kelima baik itu wanita lain apalagi wanita yang diharamkan (Mahrom). Wallahu a’lam. (lihat:Usul fiqh Wahab Khalaf 148)

Hakikat dan Majas Beserta Contohnya dalam Al-Qur’an

0
Hakikat dan Majas
Hakikat dan Majas

Ulama mengklasifikasikan lafaz dari segi penggunaan maknanya menjadi dua macam yakni hakikat dan majas. Amir Syarifuddin dalam bukunya Ushul Fiqih Jilid 2, hakikat (denotatif) dan majas (konotatif) merupakan pembahasan tentang lafaz dan maknanya yang dikaji oleh sastrawan, pakar ushul fikih, dan ulama ulumul qur’an untuk memperoleh isi kandungan suatu lafaz sehingga dapat dikeluarkan dari teks tersebut suatu hukum atau hikmahnya.

Kemudian Imam As-Suyuthi dan Imam Jalaluddin menjelasan bahwa hakikat adalah kalimat yang pada awalnya digunakan dalam makna yang ditetapkan oleh pengguna bahasa dan yang terlitas pertama kali dalam pikiran apabila kalimat tersebut diucapkan atau dituliskan. Sedangkan, Quraish Shihab menjelaskan majas adalah makna yang berbeda dengan makna hakikat, karena adanya indikator yang mengalihkannya dari makna tersebut. Keberadaan hakikat banyak ditemukan dalam Al-Qur’an dan tidak ada pertentangan mengenai pembahasannya dalam Al-Qur’an, sebaliknya keberadaan majas dalam Al-Qur’an masih menjadi perdebatan, masih banyak ulama yang mempertentangkan adanya majas dalam Al-Qur’an.

Hakikat dalam pengertian bahasa, berasal dari bahasa Arab yakni haqqa yang artinya murni, kenyataan atau asli. Secara etimologi hakikat (haqīqah) merupakan asal kata dari haqqa yang berarti tetap. Ia bisa bermakna subjek (fa’il), sehingga memiliki arti yang tetap atau objek (maf’ul) yang berarti ditetapan.

Baca juga: Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 263: Etika Memberi dan Meminta Bantuan

Menurut Ibnu Subki istilah hakikat diartikan dengan lafaz yang digunakan untuk apa lafaz itu ditentukan pada mulanya. Sedangkan Ibnu Qudamah mendefinisikan hakikat sebagai lafaz yang digunakan untuk sasarannya semula. Begitupun dengan Al-Sarkhinsi menurutnya hakikat ialah setiap lafaz yang ditentukan menurut asalnya untuk sesuatu yang tertentu.

Makna Majas dan Hakikat Serta Contohnya

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hakikat yakni suatu kata atau kalimat yang maknanya digunakan menurut asalnya serta untuk maksud tertentu. Maksudnya, kata atau kalimat tersebut mengacu kepada makna asal atau makna dasar, tanpa mengundang kemungkinan makna lain. Contohnya seperti pada kata “kursi”; menurut asalnya kata kursi merupakan tempat duduk yang memiliki sandaran dan kaki, akan tetapi untuk bisa saja kata kursi dipalingkan arti kekuasaan, jabatan (majas), namun secara hakikat kursi adalah tempat duduk.

Sedangkan majas merupakan kebalikan dari hakikat. Majas (majāz) berasal dari kata al-jawaz yang berarti melampaui. Majas digunakan untuk menjelaskan suatu lafaz selain pada makna yang tersurat di dalam nash atau teks. Hal itu karena di dalam teks tersebut terdapat persamaan atau keterkaitan baik makna yang tersurat di dalam teks maupun yang terkandung di dalam teks tersebut. Majas merupakan bentuk perpindahan dari makna dasar ke makna lainnya karena alasan tertentu yang dibenarkan oleh kaidah bahasa.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Beda Pendapat Tentang Tata Cara Bertayamum Yang benar

Menurut Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman (1993) lafaz majas adalah suatu lafaz yang digunakan untuk suatu arti yang semula lafaz itu bukanlah diciptakan untuknya. Dalam artian bahwa lafaz yang digunakan itu dipinjam untuk menyampaikan pesan tapi tidak dengan makna aslinya lafaz itu diciptakan untuknya.

Ibnu Qadamah memberikan definisi majas sebagai lafaz yang digunakan bukan untuk apa yang ditentukan dalam bentuk yang dibenarkan. Sedangkan menurut Al-Sarkhisi, majas ialah nama untuk setiap lafaz yang dipinjam untuk digunakan bagi maksud diluar apa yang ditentukan. Begitupun dengan Ibnu Subki yang mendefinisikan majas sebagai lafaz yang digunakan untuk pembentukkan kedua karena adanya keterkaitan.

Berikut contoh penggunaan lafaz majas dalam Al-Qur’an terdapat dalam Q.S. Al-Anfal [18] : 2

اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ اِذَا ذُكِرَ اللّٰهُ وَجِلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَاِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ اٰيٰتُهٗ زَادَتْهُمْ اِيْمَانًا وَّعَلٰى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَۙ

Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal.

Penambahan keimanan yang sebenarnya merupakan pekerjaan Allah Swt. itu dinisbatkan kepada ayat-ayat-Nya, karena ayat-ayat itu menjadi penyebab atau perantaranya seseorang memperoleh bertambahnya keimanan.

Penggunaan pemaknaan majas dalam ayat-ayat Al Qur’an dapat dilihat ketika Ulama memberikan penakwilan terhadap Q.S. Shad ayat 75:

قَالَ يَٰٓإِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَن تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَىَّ ۖ أَسْتَكْبَرْتَ أَمْ كُنتَ مِنَ ٱلْعَالِينَ

Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?“.

Pada ayat di atas kalimat “khalaqtu biyadayy” (Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku) ditakwilkan sebagai kekuasaan, ketentuan, anugerah Allah. Ada sebagian ulama yang enggan menggunakan kata majâz, bahkan menolak adanya apa yang dinamai majâz dalam Al-Qur’an. Alasan mereka, bahwa majâz adalah bagian dari kebohongan dan mustahil ada kebohongan dalam Al-Quran. Mayoritas ulama menerima adanya majâz dalam Al-Quran dan berusaha mengalihkan maknanya. Namun demikian, semua menegaskan bahwa tidak layak beralih ke makna majâz (metafora) kecuali jika makna hakiki tidak lurus dipahami atau sulit dipahami.

Baca juga: Tafsir Surat Al-Qashash Ayat 56: Memahami Hikmah, Ragam dan Proses Hidayah

Majas (majāz) merupakan bagian pokok bahasan ilmul bayān yang termasuk bagian dari susastra Arab. ilmul bayān digunakan untuk mempelajarai kebahasaan dan susastra Arab, maka upaya memahami isi kandungan Al-Qur’an, menurut Quraish Shihab dalam Kaidah Tafsir tidak dapat mengabaikan pembahasan tentang majas, karena dalam Al-Qur’an terdapat banyak kata dan kalimat yang dapat dikategorikan sebagai majas. Dengan memahami majas mufasir dapat melakukan penakwilan terhadap suatu kata atau kalimat dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Dengan demikian pemahaman tentang majas tidak boleh dihiraukan oleh para cendikiawan muda yang ingin mempelajari penafsiran Al-Qur’an. Wallahu a’lam[]

Tafsir Surah Az-Zumar Ayat 68

0
Tafsir Surah Az- Zumar
Tafsir Surah Az- Zumar

Tafsir Surah Az-Zumar Ayat 68 menggambarkan situasi alam semesta ketika hari Kiamat tiba. Dimana manusia akan mengalami kepanikan yang nyata ketika menyaksikan peristiwa dahsyat itu terjadi, sesuatu yang tidak pernah terbayangkan, dan semua makhluk akan mengalami kematian masal, kecuali yang dikehendaki-Nya untuk tetap hidup.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Az- Zumar Ayat 67


Ayat 68

Pada ayat ini, Allah menerangkan bahwa nanti pada hari Kiamat akan terjadi dua kali tiupan sangkakala. Pada tiupan pertama akan mati semua yang hidup baik yang di langit maupun yang di bumi.

Karena kedahsyatan suara tiupan itu, semua yang bernyawa menjadi lumpuh tak berdaya dan akhirnya mati seperti orang terkena sambaran petir atau strum listrik bertegangan tinggi.

Ada makhluk Allah yang tidak mati pada saat itu karena Allah tidak menghendaki kematiannya, tetapi siapakah mereka itu tidak disebutkan dalam Al-Qur’an, begitu pula dalam hadis-hadis sahih. Oleh karena itu, kita serahkan saja pengetahuan tentang ini kepada Allah.

Mungkin Dia tidak menyebutkan makhluk-Nya yang tidak mati itu karena suatu sebab atau hikmah yang tidak kita ketahui hakikatnya.

Akan tetapi, menurut sebuah riwayat dari Abu Ya’la al-Mushili, makhluk-makhluk yang tidak mati itu ialah Malaikat Jibril, Mikail, dan Izrail. Setelah itu, makhluk-makhluk itu pun meninggal satu per satu.

Sesudah tiupan pertama itu, di mana hampir semua makhluk yang hidup telah mati, maka menyusullah tiupan sangkakala yang kedua.

Dengan tiupan yang kedua ini, semua makhluk yang telah mati baik yang mati sebelum terjadinya tiupan pertama maupun yang mati di waktu terjadinya tiupan itu, menjadi hidup kembali.

Masing-masing berdiri menunggu apa yang akan terjadi terhadap dirinya. Ada beberapa hadis mengenai tiupan sangkakala ini di antaranya:

  1. Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Sa’id al-Khudri yaitu:

ذَكَرَ رَسُوْلُ اللهِ صَاحِبَ الصُوْرِ وَقَالَ عَنْ يَمِيْنِهِ جِبْرِيْلُ وَعَنْ يَسَارِهِ مِيْكَائِيْلُ.

Rasulullah pernah menyebut tentang yang meniup sangkakala dan berkata, “Di sebelah kanannya ada Jibril dan sebelah kirinya ada Mikail.”


Baca Juga : Tafsir Surah Yasin ayat 51-52: Penyesalan di Hari Kebangkitan


  1. Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah al-Bazzar dan Ibnu Mardawaih dari Abµ Sa’id al-Khudri yaitu:

إِنَّ صَاحِبَيِ الصُّوْرِ بِأَيْدِيْهِمَا قَرْنَانِ يُلاَحِظَانِ النَّظَرَ مَتٰى يُؤْمَرَانِ.

Sesungguhnya di tangan kedua peniup sangkakala itu ada dua buah tanduk yang akan ditiupnya. Mereka berdua selalu mengawasi keadaan sekelilingnya, seraya  kapan keduanya akan  diperintah.; Di samping itu, dalam Al-Qur’an tiupan sangkakala itu disebut dengan az-Zajrah, seperti tersebut dalam ayat:

فَاِنَّمَا هِيَ زَجْرَةٌ وَّاحِدَةٌ فَاِذَا هُمْ يَنْظُرُوْنَ

Maka sesungguhnya kebangkitan itu hanya dengan satu teriakan saja; maka seketika itu mereka melihatnya. (ash-Shaffat/37: 19).

Dan dalam ayat:

فَاِنَّمَا هِيَ زَجْرَةٌ وَّاحِدَةٌۙ  ١٣  فَاِذَا هُمْ بِالسَّاهِرَةِۗ  ١٤

Maka pengembalian itu hanyalah dengan sekali tiupan saja. Maka seketika itu mereka hidup kembali di bumi (yang baru). (an-Nazi’at/79: 13-14).

Pada ayat-ayat yang lain disebutkan juga dengan “dakwah” (panggilan), seperti pada ayat:

وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ تَقُوْمَ السَّمَاۤءُ وَالْاَرْضُ بِاَمْرِهٖۗ  ثُمَّ اِذَا دَعَاكُمْ دَعْوَةًۖ مِّنَ الْاَرْضِ اِذَآ اَنْتُمْ تَخْرُجُوْنَ

Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah berdirinya langit dan bumi dengan kehendak-Nya. Kemudian apabila Dia memanggil kamu sekali panggil dari bumi, seketika itu kamu keluar (dari kubur). (ar-Rum/30: 25)

 

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Az- Zumar Ayat 69


Tafsir Surah Az-Zumar Ayat 53

0

Tafsir Surah Az-Zumar Ayat 53 berbicara tentang esensi dari taubat, bahwa segala macam dosa dan kesalahan seorang hamba akan diampuni oleh Allah, dengan syarat bertaubat yang sebenar-benarnya, dan berjanji untuk tidak mengulanginya kembali.

Diterangkan pula dalam Tafsir Surah Az-Zumar Ayat 53 bahwa ada satu kesalahan yang tidak akan pernah diterima oleh Allah, yaitu menyekutukan-Nya dengan sesuatu yang lain. Artinya, kesalahan ini tidak akan diampuni, sampai hamba tersebut beriman hanya kepada Allah, dan tidak menyekutukan-Nya kembali.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Az- Zumar Ayat 47-52


Ayat 53

Pada ayat ini, Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad agar menyampaikan kepada umatnya bahwa Allah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang dan sangat luas rahmat dan kasih sayang-Nya terhadap hamba-Nya yang beriman, akan mengampuni segala dosa yang telah terlanjur mereka kerjakan seperti meninggalkan perintah-Nya atau mengerjakan larangan-Nya apabila benar-benar tobat dari kesalahan mereka.

Banyak orang yang menyangka bahwa karena dosanya telah bertumpuk-tumpuk, tidak akan diampuni Allah lagi. Jadilah ia seorang yang berputus asa terhadap ampunan, rahmat, dan kasih sayang-Nya. Dunia sudah menjadi gelap menurut pandangannya karena selama ini dia tidak mengindahkan ajaran-ajaran agamanya dan selalu membelakangi petunjuk-petunjuk yang terdapat di dalamnya.

Hatinya sudah penuh diliputi kekotoran dan kedurhakaan, tak tampak lagi olehnya jalan kebenaran dan kebaikan yang akan ditempuhnya. Dia telah dibingungkan oleh rasa putus asa dan tak ada harapan yang tampak olehnya untuk kembali dari kesesatan dan kemaksiatan yang selalu diperbuatnya.

Tetapi Allah, meskipun besar dosa hamba-Nya, Dia tetap mengasihi dan menyantuninya dan melarangnya berputus asa terhadap rahmat dan kasih sayang-Nya, Dia tetap memandangnya sebagai hamba-Nya yang berhak menerima kasih sayang-Nya itu apabila ia telah menginsyafi kesalahannya dan memohon ampun kepada-Nya.

Jangankan untuk orang-orang yang beriman, untuk orang-orang musyrik pun masih terbuka pintu tobat apabila mereka masuk Islam dan beriman kepada Allah dan rasul-Nya.

Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu ‘Abbas bahwa banyak di antara orang-orang musyrik yang telah banyak melakukan pembunuhan dan sering berzina datang kepada Nabi Muhammad. Mereka berkata kepadanya, “Sesungguhnya apa yang engkau serukan kepada kami adalah baik. Dapatkah engkau terangkan kepada kami bahwa yang kami kerjakan dahulu itu akan diampuni-Nya.”


Baca Juga : Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 5-7: Balasan Bagi yang Tak Patuh Perintah


Nabi menjawab dengan membacakan firman Allah:

وَالَّذِيْنَ لَا يَدْعُوْنَ مَعَ اللّٰهِ اِلٰهًا اٰخَرَ وَلَا يَقْتُلُوْنَ النَّفْسَ الَّتِيْ حَرَّمَ اللّٰهُ اِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُوْنَۚ وَمَنْ يَّفْعَلْ ذٰلِكَ يَلْقَ اَثَامًا ۙ  ٦٨  يُّضٰعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ وَيَخْلُدْ فِيْهٖ مُهَانًا ۙ  ٦٩  اِلَّا مَنْ تَابَ وَاٰمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَاُولٰۤىِٕكَ يُبَدِّلُ اللّٰهُ سَيِّاٰتِهِمْ حَسَنٰتٍۗ وَكَانَ اللّٰهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا   ٧٠

Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan Allah dengan sembahan lain dan tidak membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina; dan barang siapa melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat hukuman yang berat, (yakni) akan dilipatgandakan azab untuknya pada hari Kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertobat dan beriman dan mengerjakan kebajikan; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebaikan. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (al-Furqan/25: 68-70).

Dalam hadis Nabi saw juga dijelaskan:

عَنْ عَمْرِو بْنِ عَنْبَسَة رَضِيَ لله عَنْهُ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيّ صَلَّى لله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْخٌ كَبِيْرٌ يَدْعُمُ عَلَى عَصَاهُ فَقَالَ: يَارَسُوْلَ الله، إِنَّ لِي غَدَرَاتٌ وَفُجُرَاتٌ، فَهَلْ يَغْفِرْ ِلي؟ فَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَلَسْتَ تَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله؟ قَالَ: بَلَى، وَأَشْهَدُ أَنَّكَ رَسُوْلُ الله، فَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: قَدْ غَفَرَ لَكَ غَدَرَاتُكَ وَفُجُرَاتُكَ. (رواه أحمد)

Diriwayatkan dari ‘Amr bin ‘Anbasah bahwa telah datang menemui Nabi saw seorang yang telah tua bangka bertelekan di atas tongkatnya dan berkata kepada beliau, “Hai Rasulullah, saya banyak mengerjakan kesalahan dan maksiat. Apakah mungkin kesalahan itu diampuni?” Nabi saw menjawab, “Apakah engkau telah mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah?” Orang tua itu menjawab, “Benar, bahkan aku mengakui bahwa engkau utusan Allah.” Rasulullah saw menegaskan, Allah mengampuni semua kesalahan dan maksiat yang telah engkau lakukan itu.” (Riwayat Ahmad).

Hadis-hadis tersebut menegaskan bahwa Allah mengampuni semua kesalahan bagaimanapun besar dan banyaknya, bila seseorang itu benar-benar bertobat dengan setulus hati, berikrar tidak akan kembali melakukan kesalahan, dan akan tetap melakukan amal saleh.

Hamba Allah tidak boleh berputus asa terhadap ampunan, rahmat, dan kasih sayang-Nya, karena pintu rahmat-Nya terbuka seluas-luasnya bagi orang yang bertobat, sebagai ditegaskan dalam firman-Nya:

وَمَنْ يَّعْمَلْ سُوْۤءًا اَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهٗ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللّٰهَ يَجِدِ اللّٰهَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا

Dan barang siapa berbuat kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian dia memohon ampunan kepada Allah, niscaya dia akan mendapatkan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (an-Nisa’/4: 110).

Setelah melarang hamba-Nya berputus asa terhadap rahmat dan kasih sayang-Nya, Allah mendorong hamba-Nya agar segera meminta ampun dan bertobat kepada-Nya atas segala keterlanjuran dan kesalahan yang telah dilakukan. Allah juga menegaskan bahwa Dia mengampuni segala dosa kecuali dosa syirik sebagai tersebut dalam firman-Nya:

اِنَّ اللّٰهَ لَا يَغْفِرُ اَنْ يُّشْرَكَ بِهٖ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذٰلِكَ لِمَنْ يَّشَاۤءُ ۚ وَمَنْ يُّشْرِكْ بِاللّٰهِ فَقَدِ افْتَرٰٓى اِثْمًا عَظِيْمًا

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Barang siapa mempersekutukan Allah, maka sungguh, dia telah berbuat dosa yang besar. (an-Nisa’/4: 48)

Memang besar dan luas rahmat Allah terhadap hamba-Nya. Hamba yang telah mendurhakai karena mengabaikan perintah-Nya, melanggar hukum-hukum yang telah ditetapkan-Nya, dan bergelimang dalam dosa dan maksiat, masih saja dipanggil sebagai hamba-Nya dan dinasihati supaya jangan berputus asa terhadap ampunan dan rahmat-Nya.

 

(Tafsir Kemenag)

Baca Setelahnya : Tafsir Surah Az- Zumar Ayat 54-58

Tafsir Surah Az-Zumar Ayat 47-52

0
Tafsir Surah Az- Zumar
Tafsir Surah Az- Zumar

Tafsir Surah Az-Zumar Ayat 47-52 menerangkan bahwa sikap yang dimiliki oleh orang musyrik tidak jauh berbeda dengan umat terdahulu, mereka golongan yang ingkar, dan sering berjanji akan bertaubat, namun mengingkarinya. Sementara, di akhirat  kelak, barulah mereka menyesal dan memohon ampunan kepada Allah.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Az- Zumar Ayat 44-46


Ayat 47

Pada ayat ini, Allah menjelaskan bahwa seandainya orang-orang musyrikin yang zalim itu mempunyai seluruh kekayaan yang ada di muka bumi dan ditambah sebanyak itu pula niscaya mereka akan menebus dirinya dengan kekayaan itu untuk azab yang buruk dan dahsyat yang akan ditimpakan kepada mereka pada hari Kiamat.

Ancaman seperti ini pernah pula disebut dalam Surah ‘Ali ‘Imran. Tampak jelas bagi mereka azab dari Allah yang belum pernah mereka pikirkan tentang adanya dan kedahsyatannya.

Kaum musyrikin jika mengamalkan sesuatu dianggapnya sebagai kebaikan, padahal hakikatnya apa yang mereka lakukan itu termasuk suatu keburukan.

Ayat 48

Tampak jelas bagi mereka, ketika disodorkan kepada mereka kitab-kitab yang memuat catatan amal perbuatan ketika hidup di dunia, semua amal perbuatan mereka yang buruk tercantum di sana.

Mereka yakin bahwa pelanggaran itu akan dihisab dan diperhitungkan satu demi satu. Sebagai akibatnya, mereka akan menerima azab yang pedih yang meliputi seluruh penjuru, yang semuanya tidak lain karena mereka selalu memperolok-olokkan ajaran agama Allah.

Ayat 49

Ayat ini menerangkan keadaan orang-orang musyrik yang aneh. Jika ditimpa bahaya kemudaratan seperti kefakiran dan penyakit, mereka segera memohon perlindungan dan berdoa kepada Allah.

Tapi bila keadaan sudah berubah, seperti sembuh dari penyakit, mendapat nikmat, dan kelapangan rezeki, mereka melupakan masa penderitaan dan mengatakan bahwa semua itu karena jasa, keterampilan, kepintaran, dan pengalaman mereka sendiri.

Itulah sikap mereka yang sangat aneh. Ketika mengalami penderitaan, mereka lari menjerit memohon pertolongan kepada Allah. Setelah keadaan berubah menjadi kesenangan dan kenikmatan, mereka memutuskan hubungan dengan Khaliknya dan menyatakan bahwa semua perbaikan nasib itu disebabkan kepandaian dan kemahiran mereka sendiri.

Mereka tidak mengetahui bahwa sesungguhnya nasib baik dan buruk yang diberikan Allah kepada mereka merupakan ujian untuk mengetahui siapa yang mensyukuri nikmat-nikmat pemberian Allah dan siapa yang mengufurinya. Bagi yang bersyukur akan ditambah dengan nikmat yang lain, sedangkan bagi yang mengingkarinya akan ditimpakan azab yang pedih.

Ayat 50

Pada ayat ini, Allah menerangkan bahwa ucapan seperti itu pernah didengar pula dari umat-umat sebelum mereka, sehingga anggapan seperti itu bukanlah anggapan yang baru. Apa-apa yang mereka usahakan dahulu itu tidak berguna untuk menolak datangnya azab dari Allah karena mereka selalu bersikap mendustakan dan mencemooh kedatangan utusan Allah.


Baca Juga : Cara Menghayati Kebaikan Allah Swt dan Kebesaran-Nya dalam Al-Quran


Ayat 51

Ayat ini menjelaskan bahwa mereka ditimpa oleh akibat buruk dari apa yang mereka lakukan. Allah mempercepat datangnya azab kepada mereka seperti Karun yang ditelan bumi, gelegar halilintar yang menyambar kaum Lut, dan bencana abadi yang akan menimpa mereka di akhirat.

Orang-orang yang zalim di antara mereka akan ditimpa akibat buruk dari usahanya, termasuk pula orang-orang musyrikin yang selalu menentang Rasulullah saw. Mereka pasti akan ditimpa azab sebagai akibat buruk dari kekafiran mereka seperti azab yang ditimpakan kepada orang-orang terdahulu.

Di antara contoh azab itu ialah bencana kelaparan yang melanda mereka selama tujuh tahun, pemuka-pemuka mereka terbunuh dan ditawan pada waktu Perang Badar. Mereka juga tidak akan dapat lolos dan melarikan diri dari azab Allah pada hari Kiamat.

Ayat 52

Pada ayat ini, Allah memperlihatkan bukti atas kekuasaan, keagungan dan kebijaksanaan-Nya. Orang-orang musyrikin itu tidak mengetahui bahwa Allah-lah yang melapangkan rezeki kepada siapa yang Ia kehendaki dan menyempitkan bagi siapa yang dikehendaki-Nya.

Suatu kenyataan yang tak dapat dibantah bahwa keadaan manusia berbeda-beda tentang milik dan kekayaannya, ada yang sangat kaya dan ada yang sangat miskin. Hal yang demikian itu tidak dapat dikaitkan hanya dengan kepandaian atau keterampilan saja. Kadang-kadang yang berpendidikan tinggi hidupnya serba kekurangan sebaliknya yang berpendidikan rendah hidupnya serba berkecukupan.

Sesungguhnya pada kejadian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang beriman. Mereka mengetahui bahwa semua itu diatur oleh Allah. Tidak ada suatu kejadian pun dalam kehidupan ini yang di luar aturan-Nya.

 

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Az- Zumar Ayat 53


Tafsir Surah Az-Zumar Ayat 44-46

0
Tafsir Surah Az- Zumar
Tafsir Surah Az- Zumar

Sebelumnya, telah dijelaskan perihal orang musyrik yang mengaggap bahwa patung-patung yang mereka sembah akan menjadi syafa’at dihadaoan Allah. Adapun Tafsir Surah Az-Zumar Ayat 44-46 mempertegas bahwa syafa’at itu hanya ditangan Allah, dan hanya Dialah yang berhak memberikan syafa’at sesuai kehendak-Nya.

Diterangkan pula, bagaimana sikap orang yang tidak beriman saat nama Allah disebutkan, mereka berpaling, sementara ketika nama berhala – yang mereka anggap tuhan – disebutkan, mereka justru gembira. Allah mengecam sikap mereka, dan memperingatkan orang beriman, agar senantiasa berlindung dari sikap yang demikian.

Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Az- Zumar Ayat 42-43

Ayat 44

Pada ayat ini, Allah menyuruh Nabi-Nya mengatakan bahwa hanya kepunyaan Allah semua syafaat itu. Tidak seorang pun yang dapat memberikan syafaat melainkan dengan izin Allah seperti tersebut dalam firman-Nya:

مَنْ ذَا الَّذِيْ يَشْفَعُ عِنْدَهٗٓ اِلَّا بِاِذْنِهٖ

…Tidak ada yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya tanpa izin-Nya…. (al-Baqarah/2: 255)

Dan seperti firman-Nya:

وَلَا يَشْفَعُوْنَۙ اِلَّا لِمَنِ ارْتَضٰى

… dan mereka tidak memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridai (Allah)… (al-Anbiya’/21: 28)

Semua syafaat itu hanya dimiliki Allah karena Dia yang memiliki kerajaan langit dan bumi dan semua isinya termasuk berhala yang disembah orang-orang musyrik. Oleh karena itu, sembahlah Allah saja yang mempunyai kerajaan yang sempurna, yang kekuasaan-Nya tidak terbatas.

Kemudian kepada-Nya kamu sekalian akan dikembalikan pada hari kebangkitan. Dialah nanti yang akan menimpakan siksa yang sangat pedih kepada orang-orang musyrik. Tidak diragukan lagi bahwa ayat ini mengandung ancaman yang pedih sekali. Kemudian Allah menerangkan pula satu sifat yang sangat buruk dari orang-orang yang mengingkari keesaan-Nya.

Ayat 45

Pada ayat ini, Allah menjelaskan bahwa jika hanya nama Allah yang disebut, dan tidak ada Tuhan yang berhak disembah dengan sebenarnya melainkan Dia, maka menjadi liar dan marahlah hati orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat. Hati mereka kesal dan mendengar kalimat tauhid itu.

Akan tetapi, apabila nama sembahan-sembahan selain Allah yang disebut, tiba-tiba mereka menjadi gembira dan bersuka ria.

‘Abdullah bin ‘Abbas menjelaskan pengertian ayat ini, “Telah menjadi keras dan liarlah hati empat orang yang tidak percaya kepada hari Kiamat, yaitu: Abu Jahal bin Hisyam, al-Walid bin Utbah, Shafwan, dan Ubay bin Khalaf, seperti tersebut dalam firman-Nya:

وَاِذَا ذَكَرْتَ رَبَّكَ فِى الْقُرْاٰنِ وَحْدَهٗ وَلَّوْا عَلٰٓى اَدْبَارِهِمْ نُفُوْرًا

Dan apabila engkau menyebut Tuhanmu saja dalam Al-Qur’an, mereka berpaling ke belakang melarikan diri (karena benci). (al-Isra’/17: 46).

Dalam tafsir Ruh al-Ma’ani, al-Alusi berkata, “Kami sering menjumpai orang-orang pada zaman sekarang yang sifatnya menyerupai orang-orang musyrik yang tersebut dalam ayat ini, yaitu suka memohon pertolongan kepada orang-orang yang telah mati, dan senang sekali mengenang dan mengungkap sejarah hidupnya yang berlebih-lebihan, yang berjalan seirama dengan hawa nafsu mereka.

Mereka sangat mengagungkan orang-orang yang dikultuskannya. Hati mereka menjadi kesal jika yang disebut hanya nama Allah atau dikatakan bahwa hanya Allah saja yang berhak disembah dengan sebenarnya, dan hanya Allah saja yang boleh dimohon pertolongan-Nya.”


Baca Juga : Tafsir Al-Azhar (1): Penggunaan Bahasa Lokal dalam Mengagungkan Nama Allah


Ayat 46

Dalam ayat ini, Allah mengajarkan kepada nabi-Nya supaya mengucapkan kalimat-kalimat berikut ini untuk mempertebal keimanan dan memohon tambahan taufik dan hidayah-Nya, “Wahai Allah, Pencipta langit dan bumi, Yang mengetahui hal-hal yang gaib dan nyata, Engkau memutuskan segala pertikaian antara hamba-Mu tentang apa yang selalu mereka perselisihkan.

Engkaulah yang nanti akan memberi keputusan pada hari Kiamat siapa di antara kami yang benar dan yang salah, siapa yang dapat petunjuk dan siapa yang sesat.

Melalui hadisnya, Rasulullah mengajarkan doa yang dibaca ketika bangun tidur untuk salat malam:

اَللَّهُمَّ رَبَّ جِبْرِيْلَ وَمِيْكَائِيْلَ وَإِسْرَافِيْلَ فَاطِرَ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيْمَا كَانُوْا فِيْهِ يَخْتَلِفُوْنَ، إِهْدِنِي لِمَا اخْتَلَفَ فِيْهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ ِإنَّكَ تَهْدِي مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ. (رواه مسلم و أبو داود و البيهقي)

 “Wahai Allah, Tuhan Jibril, Mikail, dan Israfil, Pencipta langit dan bumi, Yang Maha Mengetahui segala hal yang gaib dan nyata. Engkau memutuskan perkara di antara hamba-hamba-Mu dalam hal yang mereka perselisihkan. Tunjukilah aku pada kebenaran yang diperselisihkan dengan (dasar) izin-Mu. Sungguh Engkau menunjuki siapa yang Engkau kehendaki ke jalan yang lurus. (Riwayat Muslim, Abu Dawud, dan al-Baihaqi)

 

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Az- Zumar Ayat 47-51


Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 263: Etika Memberi dan Meminta Bantuan

0
Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 263: Etika Memberi dan Meminta Bantuan
Etika Memberi dan Meminta Bantuan

Salah satu etika baik yang diajarkan oleh Islam kepada para pemeluknya adalah mereka diperintahkan agar selalu berkata baik kepada orang lain. Al-Qur’an membandingkan perkataan baik dengan sedekah yang diiringi dengan menyakiti orang lain. Hal ini sebagaimana dalam Q.S. Al-Baqarah (2): 263:

قَوْلٌ مَّعْرُوْفٌ وَّمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِّنْ صَدَقَةٍ يَّتْبَعُهَآ اَذًى ۗ وَاللّٰهُ غَنِيٌّ حَلِيْمٌ

Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari pada sedekah yang diiringi tindakan yang menyakiti. Allah Mahakaya, Maha Penyantun.

Beberapa ulama berpendapat bahwa ayat ini mengisyaratkan tentang etika bagi pemberi dan peminta dalam perspektif al-Qur’an. Berikut penjelasan tentang etika memberi dan meminta bantuan dalam Islam:

Etika Memberi Bantuan

Di antara perkataan baik menurut Sayyid Tantawi dalam al-Tafsir al-Wasit (1/606) adalah saat seseorang merespon dengan kata-kata yang indah dan baik kepada orang yang meminta agar diberikan sebagian dari hartanya. Hal ini bertujuan untuk menjaga martabat orang yang meminta itu. Perilaku ini merupakan upaya seseorang untuk meningkatkan derajatnya di sisi Allah, memurnikan jiwanya, dan mewujudkan perdamaian hati antara dia dan orang lain.

Perkataan yang baik juga mendapat pujian dari Rasul saw. Berdasarkan riwayat dari Imam Muslim, beliau saw. bersabda: “Perkataan yang baik adalah sedekah, dan yang termasuk perilaku baik adalah menampakkan wajah ceria saat bertemu dengan saudaramu.

Menurut Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah (1/570-571) memberi dengan menyakiti hati penerima adalah aktivitas yang menggabungkan kebaikan dan keburukan, atau sisi plus dan sisi minus. Namun, keburukan atau sisi minus yang dilakukan lebih banyak dari sisi plus yang diraih, sehingga hasil akhirnya adalah minus. Karena itu, ucapan yang baik lebih terpuji daripada memberi dengan menyakitkan hati, karena yang pertama adalah plus dan yang kedua adalah minus.

Sedangkan menurut Sayyid Qutb dalam tafsir Fi Dzilal al-Qur’an, sedekah itu bukan sebagai suatu kelebihan si pemberi atas si penerima, melainkan sebagai pinjaman kepunyaan Allah Swt. Maka, ayat ini diakhiri dengan ungkapan “Allah Maha Kaya Lagi Maha Penyantun”.

“Allah Maha Kaya” berarti tidak membutuhkan sedekah yang diiringi dengan menyakiti perasaan si penerima. Allah juga “Maha Penyantun” yang memberi rezeki kepada para hamba-Nya, meski ada di antara mereka yang tidak bersyukur. Namun demikian, Dia tidak segera menghukum atau mengazab mereka. Padahal, Dialah yang memberi mereka segala sesuatu, yang memberikan kepada mereka eksistensi di dunia ini.

Karena itu, manusia hendaknya belajar dari sifat kepenyantunan Allah Swt, yaitu tidak tergesa-gesa menyakiti dan memarahi orang yang mereka beri sebagian dari rezeki yang diberikan Allah kepada mereka, saat mereka tidak mendapatkan kesenangan dari si penerima atau tidak mendapatkan ucapan terima kasih.

Baca juga: Jangan Ragu Untuk Bersedekah! Inilah 4 keutamaan Sedekah Menurut Al-Quran

Etika Meminta Bantuan

Menurut al-Asfihani dalam tafsirnya (1/554), khitab (sasaran yang dituju) pada ayat ini mencakuap dua hal: pertama, ditujukan kepada orang yang memberi. Kedua, ditujukan kepada orang yang meminta. Dengan demikian, ayat ini tidak saja memerintahkan seorang pemberi agar berkata baik kepada orang yang diberi. Ayat ini juga memerintahkan kepada peminta agar meminta kepada orang lain dengan perkataan yang baik.

Imam al-Ghazali dalam kitab Majmu’ah Rasa’il al-Imam al-Ghazali (438) menjelaskan enam adab yang harus dimiliki oleh peminta, yaitu: memperlihatkan kefakiran sebagaimana adanya, mengungkapkan permintaannya secara halus, menerima apa yang diberikan dengan penuh rasa syukur meski hanya sedikit, mendoakan yang baik kepada pemberi. Adapun jika tidak diberi, sebaiknya pulang dan mau menerima dengan baik apapun alasannya serta tidak mengulangi permintaannya, apalagi memaksa.

Saat seorang peminta meminta dengan cara dan perkataan yang baik, maka ia pasti akan diperlakukan baik oleh orang yang memberinya. Sebab, terkadang peminta itulah yang menyulut emosi pemberi karena perilakunya yang tidak baik. Padahal, peminta itu sudah dibantu kebutuhan hidupnya oleh pemberi.

Baca juga: Surat Al-Baqarah [2] Ayat 264: Jangan Merusak Pahala Sedekah

Manfaat Perkataan yang Baik

Perkataan yang baik akan selalu dikenang oleh orang lain dan dapat mencegah munculnya konflik dalam kehidupan bermasyarakat. Seseorang dituntut agar dapat menjaga lisannya dari ucapan-ucapan yang dapat memicu terjadinya konflik. Tidak sedikit permasalahan besar yang muncul karena diawali dengan perkataan yang buruk.

Karena itu, pantas jika perkataan baik dapat meningkatkan derajat seseorang dihadapan Allah Swt. Seseorang yang selalu berkata baik dihadapan siapapun adalah orang yang berilmu. Allah akan mengangkat derajat siapapun di antara hamba-Nya yang berilmu dan beriman, sebagaimana dinyatakan dalam Q.S. Al-Mujadalah (22): 11 yang artinya: “Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.”

Menurut al-Zuhayli dalam Al-Tafsir Al-Munir (3/49), QS. Al-Baqarah: 263 merupakan dalil tentang asas yang sangat penting dalam syari’at Islam, yaitu: “dar’ al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-masalih}” (mencegah kerusakan lebih diprioritaskan daripada mengambil manfaat). Seorang pemberi harus mengucapkan kata-kata yang tidak menyinggung perasaan orang yang diberi, begitu juga sebaliknya. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya konflik antara kedua belah pihak.

Seorang pemberi berdoa dan memohon kepada Allah agar sebagian harta yang disedekahkan kepada peminta dapat bermanfaat. Sedangkan seorang peminta berdoa dan memohon kepada Allah agar orang yang memberinya sedekah diberikan keberkahan umar dan harta. Itulah etika memberi dan meminta bantuan kepada orang lain. Allah akan selalu mengampuni dosa-dosa orang yang saling mendoakan kebaikan. Wallahu A’lam.

Baca juga: Surah Al-Furqan [25] Ayat 67: Anjuran Bersedekah Secara Proporsional

Tafsir Surah Az-Zumar Ayat 42-43

0
Tafsir Surah Az- Zumar
Tafsir Surah Az- Zumar

Tafsir Surah Az-Zumar Ayat 42-43 menerangkan bahwa tidak ada tuhan melainkan hanya Allah Swt. Dialah yang berkuasa atas mahluk-Nya, diantara kekuasaan Allah adalah ruh dan ajal. Hidup dan mati ada digenggaman-Nya, tidak ada satu pun yang dapat menganggu, apalagi menyaingi kekuasaan Allah. Maka, apa yang disembah oleh orang musyrik sebagai tuhan, yaitu berhala-berhala, jelas sesat dan tidak bisa memberi manfaat kepada mereka.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Az- Zumar Ayat 39-41


Ayat 42

Pada ayat ini, Allah menerangkan satu macam kekuasaan-Nya yang sempurna dan sifat-Nya yang mengagumkan. Yaitu Dialah yang memegang roh manusia ketika tiba ajalnya dengan memutuskan hubungan roh dengan raganya dan memegang roh orang itu pada lahirnya saja sehingga tidak dapat mengemudikan raganya, akan tetapi hubungan di antaranya tetap masih ada.

Allah menahan jiwa orang yang telah Dia tetapkan kematiannya dengan tidak mengembalikan roh itu, dan melepaskan jiwa yang lain dengan mengembalikan jiwa ke dalam raganya, sehingga ia dapat bangun dari tidurnya sampai kepada waktu yang ditentukan.

Orang yang mati itu rohnya ditahan Allah sehingga tidak dapat kembali kepada tubuhnya dan orang yang belum mati hanya tidur saja, rohnya dilepaskan sehingga dapat kembali ke raganya lagi.

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa dalam tubuh manusia itu ada jiwa dan roh yang hubungannya seperti sinar matahari. Akal dan jiwa dapat berpikir dan menentukan pilihan, sedang rohnya yang menyebabkan ia dapat hidup dan bergerak.

Kedua-duanya dimatikan ketika tiba ajalnya, dan dimatikan jiwanya saja ketika ia tidur, sedang rohnya tetap masih ada.

Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan sebuah hadis dari Abµ Hurairah yang berbunyi:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا اٰوَى أَحَدُكُمْ إِلَى فِرَاشِهِ فَلْيَنْفُضْهُ بِدَاخِلَةِ إِزَارِهِ طَرْفِهِ الَّذِيْ يَلِى الْجَسَدَ وَيَلِيْ لِلْجَانِبِ اْلأَيْمَنِ فَإِنَّهُ لاَ يَدْرِيْ مَا خَلَفَهُ عَلَيْهِ، ثُمَّ لْيَقُلْ بِاسْمِكَ رَبِّيْ وَضَعْتُ جَنْبِيْ وَ بِاسْمِكَ أَرْفَعُهُ، إِنْ أَمْسَكْتَ نَفْسِيْ فَارْحَمْهَا، وَإِنْ أَرْسَلْتَهَا فَاحْفَظْهَا بِمَا تَحْفَظُ بِهِ عِبَادَكَ الصَّالِحِيْنَ. (رواه البخارى ومسلم)

Rasulullah saw bersabda, “Jika salah seorang di antara kamu akan tidur, maka hendaklah ia meniupkan ke dalam pakaiannya di sebelah dalam, karena ia tidak mengetahui apa yang tertinggal di dalamnya, kemudian hendaklah ia mengucapkan, “Ya Tuhanku dengan nama-Mu aku meletakkan lambungku ini, dan dengan nama-Mu pula aku mengangkatnya. Jika Engkau menahan jiwaku maka sayangilah dia, dan jika Engkau melepaskannya kembali, maka peliharalah dia seperti Engkau memelihara orang-orang yang saleh.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)


Baca Juga :


Imam al-Bukhari, Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan sebuah hadis dari Abu Qatadah yang berbunyi:

إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهُمْ لَيْلَةَ الْوَادِي: أَنَّ اللهَ تَعَالَى قَبَضَ أَرْوَاحَكُمْ حِيْنَ شَاءَ وَرَدَّهَا عَلَيْكُمْ حِيْنَ شَاءَ.

Sesungguhnya Nabi saw bersabda kepada para sahabat pada malam (ketika tidur) di lembah, ”Sesungguhnya Allah menahan roh kamu bila dikehendaki-Nya, dan mengembalikannya bila dikehendaki-Nya.”

Ayat 43

Pada ayat ini, Allah membantah anggapan kaum musyrik bahwa berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah dapat memberikan syafaat kepada mereka pada hari Kiamat, dan memberikan pertolongan kepada mereka untuk mencapai cita-cita dan harapan. Hal yang seperti itu tidak mungkin dibenarkan orang yang mempunyai pikiran yang sehat.

Oleh karena itu, Nabi Muhammad disuruh Allah supaya menegur orang-orang musyrik yang beranggapan demikian itu dengan ucapan, “Apakah kamu akan memandang berhala-berhala itu dapat memberi manfaat meskipun mereka tidak mempunyai apa-apa dan tidak berakal?” Kemudian Allah menjelaskan bahwa sebenarnya yang dapat memberikan syafaat hanyalah Allah.

 

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Az- Zumar Ayat 44-46