Beranda blog Halaman 273

Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 52-53

0
tafsir surah al-ahzab
tafsir surah al-ahzab

 

Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 52-53 berbicara perihal larangan Allah kepada Nabi Muhammad agar tidak menikah lagi setelah pernihakan-pernikahan sebelumnya. Supaya ada batasan Allah yang ditetapkan kepada Nabi, sama seperti batasan yang ditentukan kepada hamba-Nya yang lain.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 50-51


Selain itu, Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 52-53 juga mengajarkan etika bertamu yang baik, terlebih kepada orang-orang saleh yang menjadi panutan. Oleh karena itu, sebelum berkunjung, perlu kiranya mengecek kondisi tuan rumah yang akan dikunjungi, termasuk memperhatikan waktu berkunjung, agar kita tidak mengganggu aktivitas-aktivitas wajib mereka.

Ayat 52

Allah tidak membolehkan Nabi saw untuk menikahi perempuan-perempuan lain setelah ayat ini turun. Allah juga melarang untuk mengganti mereka dengan istri-istri yang lain, meskipun kecantikannya menarik perhatian Nabi saw, kecuali perempuan-perempuan hamba sahaya yang diperoleh dari peperangan atau yang dihadiahkan kepada beliau.

Abu Dawud dan al-Baihaqi meriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa dia berkata, “Setelah Allah menyuruh memilih kepada istri-istri Nabi, lalu mereka memilih supaya tetap berada di bawah naungan rumah tangga Nabi, maka Allah Ta’ala pun membatasi Nabi untuk menambah istri-istrinya yang sembilan orang itu dengan tidak nikah lagi.” Dan Allah adalah Maha Mengawasi segala sesuatu.

Allah mengizinkan Nabi Muhammad beristri lebih dari empat mengandung hikmah yang sangat tinggi karena pernikahan itu ditentukan oleh Allah Yang Maha Mengetahui dan Mahabijaksana. Di antara hikmah itu ialah:

  1. Menyampaikan hukum khusus kaum wanita yang tidak diketahui kecuali oleh suami istri. Jika istri banyak, maka banyak pula hukum tentang perempuan yang dapat diperoleh. Diterima atau tidaknya riwayat yang berasal dari mereka sangat terpengaruh oleh banyaknya riwayat.
  2. Kebutuhan terhadap pendukung yang kuat bagi dakwah pada permulaan Islam. Hubungan besan dan perkawinan secara tradisi pasti saling mendukung dan menolong.
  3. Setiap orang Islam pasti ingin menjalin hubungan keluarga dengan Nabi saw, agar bebas masuk ke rumah Nabi saw. Bahkan, setiap muslim ingin dapat melayani Nabi.
  4. Nabi saw membalas jasa orang yang membelanya dalam perjuangan Islam. Balasan yang sangat berharga adalah besanan dan menikahi keluarganya, seperti perkawinan Nabi dengan ‘Aisyah binti Abu Bakar dan Hafshah binti Umar.
  5. Menghapus tradisi jahiliah dengan hukum yang lebih bermanfaat, seperti pernikahannya dengan Zainab. Sebetulnya Nabi tidak menginginkannya karena takut pada celaan orang, namun hal ini berguna untuk mempertahankan nasab dan kerabat.
  6. Nabi mampu berbuat adil dan memberikan bimbingan kepada keluarganya, yang tidak dimiliki oleh orang lain.

Baca Juga : Tafsir Surat Al-Hujurat Ayat 13: Apakah Al-Quran Menyetarakan Kasta dalam Pernikahan?


Ayat 53

Pada ayat ini, Allah mengajarkan sopan santun atau etika terhadap rumah tangga Nabi saw. Allah melarang orang-orang yang beriman untuk memasuki rumah-rumah Nabi saw kecuali dengan izin beliau, untuk makan di rumahnya tanpa menunggu waktu masak makanannya.

Pada masa Rasulullah pernah terjadi ada orang-orang yang menunggu waktu makannya. Lalu turun ayat ini yang melarang perbuatan tersebut. Bilamana Rasulullah mengundang beberapa orang sahabat ke rumahnya untuk menghadiri walimah, maka mereka dilarang memasuki rumah Nabi saw, kecuali bila mereka sudah mengetahui bahwa makanannya sudah siap dihidangkan.

Bila hidangan belum siap dan mereka masih sibuk menyiapkan hidangan, maka masuknya tamu itu akan mengganggu ketenangan keluarga Nabi saw. Hal ini juga mengganggu istri Nabi saw yang sedang bekerja karena akan terlihat sebagian anggota tubuhnya yang tidak boleh dilihat oleh para tamu.

Mereka dipersilakan masuk jika telah diundang. Apabila telah selesai makan, supaya segera keluar tanpa memperpanjang percakapan, karena hal itu benar-benar mengganggu Nabi saw, dan beliau sendiri merasa malu untuk menyuruh tamunya keluar. Akan tetapi, Allah tidak segan untuk menerangkan yang benar.

Allah mengajarkan kesopanan di dalam rumah tangga supaya diperhatikan oleh seluruh tamu-tamu yang berkunjung ke rumah orang.

Bilamana ada kepentingan untuk meminta atau meminjam suatu barang ke rumah istri-istri Nabi saw, maka hendaklah permintaan itu dilakukan dari belakang tabir dan tidak berhadapan secara langsung.

Hal yang demikian itu lebih menyucikan hati kedua belah pihak dan tidak pula menyakiti hati Rasulullah.

Termasuk perbuatan yang menyakiti hati Rasulullah ialah menikahi istri-istrinya setelah beliau meninggal dunia. Larangan untuk menikahi bekas istri-istri Nabi saw adalah larangan yang berlaku untuk selamanya karena perbuatan itu amat besar dosanya di sisi Allah.

اَلنَّبِيُّ اَوْلٰى بِالْمُؤْمِنِيْنَ مِنْ اَنْفُسِهِمْ وَاَزْوَاجُهٗٓ اُمَّهٰتُهُمْ

Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dibandingkan diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka. (al-Ahzab/33: 6).

Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Anas bahwa Umar bin Khathab pernah berkata, “Ada tiga pendapatku yang sesuai dengan wahyu yang diturunkan oleh Allah. Pertama, Aku berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, alangkah baiknya bila engkau menjadikan maqam Ibrahim tempat salat, lalu Allah menurunkan ayat

وَاتَّخِذُوْا مِنْ مَّقَامِ اِبْرٰهٖمَ مُصَلًّىۗ

Dan jadikanlah maqam Ibrahim  itu tempat salat. (al-Baqarah/2: 125)

Kedua, saya berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya istri-istrimu sering didatangi tamu orang baik dan orang jahat, seandainya engkau membuat tabir untuk mereka tentu lebih baik,” maka Allah menurunkan ayat hijab ini.

Ketiga, saya pernah berkata kepada istri-istri Nabi ketika mereka berselisih karena rasa cemburu terhadap Nabi, maka turunlah ayat ini:

عَسٰى رَبُّهٗٓ اِنْ طَلَّقَكُنَّ اَنْ يُّبْدِلَهٗٓ اَزْوَاجًا خَيْرًا مِّنْكُنَّ

Jika dia (Nabi) menceraikan kamu, boleh jadi Tuhan akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik dari kamu. (at-Tahrim/66: 5) 

 

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al Ahzab Ayat 54-56


 

Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 50-51

0
tafsir surah al-ahzab
tafsir surah al-ahzab

Sebelumnya telah dijelaskan tentang perceraian yang berlaku secara umum pada ayat-ayat yang lalu. Adapun pada Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 50-51 menjelaskan hukum pernikahan yang berlaku secara khusus diperuntukkan bagi Nabi Muhammad, tidak untuk kalangan Mukmin secara umum.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 47-49


Dijelaskan pula dalam Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 50-51 bahwa sebagaimana laki-laki yang berpoligami, maka wajib bagi sang suami untuk berlaku adil atas istri-istrinya. Hal ini pun berlaku pula untuk Nabi Muhammad, makanya Nabi memberikan contoh bagaimana berlaku adil kepada para istri, diantaranya dengan memahami karakter yang dimiliki istri tersebut.

Ayat 50

Pada ayat ini, Allah secara jelas telah menghalalkan bagi Nabi Muhammad mencampuri perempuan-perempuan yang dinikahi dan diberikan kepada mereka maskawin. Juga dihalalkan baginya hamba sahaya (jariyah) yang diperoleh dalam peperangan, seperti Sofiyah binti Huyai bin Akhtab yang diperoleh pada waktu perang Khaibar.

Oleh Nabi saw, Sofiyah dimerdekakan, dan kemerdekaan itu dijadikan maskawin. Begitu juga dengan Juwariyah binti al-Harist dari Bani Musthaliq yang dimerdekakan dan dinikahi Nabi saw. Adapun hamba sahaya (jariyah) yang dihadiahkan kepada Nabi adalah Raihanah binti Syam’un dan Mariah al-Qibthiyah yang melahirkan putra Nabi yang bernama Ibrahim.

Allah juga menghalalkan kepada Nabi untuk menikahi anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapaknya dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapaknya, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibunya, anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibunya yang turut hijrah bersama Rasulullah dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi saw kalau Nabi mau menikahinya.

Kelonggaran-kelonggaran ini hanya khusus bagi Nabi, dan tidak untuk semua mukmin, dengan pengertian bahwa jika ada seorang perempuan menyerahkan dirinya untuk dinikahi oleh seorang muslim, walaupun dengan sukarela, tetap wajib dibayar maskawinnya. Berlainan halnya jika perempuan itu menyerahkan dirinya untuk dinikahi oleh Nabi saw, maka ia boleh dinikahi tanpa maskawin.

Maskawin itu jika tidak disebutkan bentuk (nilainya) ketika melangsungkan akad nikah, maka bentuknya itu dapat ditetapkan dengan mahar mi£l, yaitu mahar yang nilainya sama dengan nilai mahar yang biasa diberikan keluarganya.

Ketetapan untuk membayar mahar mi£l itu setelah terjadi percampuran di antara keduanya atau setelah suaminya meninggal dunia tetapi belum sempat bercampur.

Jika terjadi perceraian antara suami-istri sebelum bercampur, maka yang wajib dibayar adalah separuh dari maskawinnya, yang telah ditentukan dan dapat dibebaskan dari membayar maskawin itu bila istrinya merelakannya.

Allah mengetahui apa yang telah diwajibkan kepada kaum mukminin terhadap istrinya dan terhadap hamba sahaya yang mereka miliki seperti syarat-syarat akad nikah dan lainnya, dan tidak boleh menikahi seorang perempuan dengan cara hibah atau tanpa saksi-saksi.

Mengenai hamba sahaya yang dibeli atau yang bukan dibeli haruslah hamba sahaya yang halal dicampuri oleh pemiliknya, seperti hamba sahaya ahli kitab, bukan hamba sahaya yang musyrik atau beragama Majusi. Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang terhadap hamba-Nya yang beriman, jika mereka bertobat dari dosa-dosa yang mereka perbuat sebelum mereka mendapat petunjuk.


Baca Juga : Meneladani Akhlak Nabi Muhammad saw di Akhir Bulan Maulid


Ayat 51

Pada ayat ini, Allah memberi kebebasan kepada Nabi Muhammad untuk menangguhkan siapa di antara istri-istrinya yang beliau kehendaki dan boleh pula menggauli siapa di antara mereka yang beliau kehendaki. Beliau juga diberi kebebasan untuk mengawini kembali istri-istrinya yang telah dicerai mengingat kemaslahatan bagi dirinya dan masyarakat.

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir ath-Thabai³ dari Abu Razin bahwa ketika diturunkan ayat yang menyuruh istri-istri Nabi saw untuk memilih antara tetap menjadi istri Nabi dengan keadaan sederhana tanpa kemewahan atau berpisah dari Nabi saw karena mengejar kesenangan hidup yang lebih sesuai dengan keinginan hawa nafsunya, maka timbullah rasa kekhawatiran pada istri-istri Nabi saw itu.

Mereka secara serentak menyatakan kerelaannya untuk tetap hidup bersama Nabi saw dalam keadaan bagaimanapun juga karena mereka lebih mengutamakan segi kehidupan agama daripada kesenangan duniawi.

Lalu Nabi menangguhkan menggauli beberapa istrinya atas permintaan mereka, seperti Ummu Habibah, Maimµnah, Saudah, Sofiyah, dan Juwariyah. Terhadap kelima istrinya ini, Nabi saw tidak mengatur giliran bermalam secara teratur.

Adapun terhadap istri-istrinya yang empat orang lagi yaitu Aisyah, Hafshah, Zainab dan Ummu Salamah beliau mengatur giliran untuk bermalam, serta mempersamakan pembagian pakaian dan makanan.

Kebebasan Nabi untuk mengatur giliran, makanan, pakaian, dan lain-lain sesuai dengan sifat adil Nabi dalam melaksanakan petunjuk Allah, sehingga tidak menimbulkan rasa cemburu dalam hati para istrinya. Mereka menerima dengan rela perlakuan Nabi.

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ يَزِيْدٍ اَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ يَقْسِمُ بَيْنَ نِسَائِهِ فَيَعْدِلُ. ثُمَّ يَقُوْلُ: اَللَّهُمَّ هَذاَ قِسْمِيْ فِيْمَا اَمْلِكُ فَلاَ تَلُمْنِى فِيْمَا تَمْلِكُ وَلاَ اَمْلِكُ. (رواه أحمد)

Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Yazid bahwa ‘Āisyah pernah berkata, “Adalah kebiasaan Nabi saw untuk membagi-bagi giliran di antara istri-istrinya dengan adil, kemudian Nabi saw berdoa, “Ya Allah, inilah pembagianku tentang apa yang aku kuasai (yaitu soal pembagian benda materi), maka janganlah Engkau mencercaku tentang apa-apa yang Engkau kuasai dan tidak aku kuasai (soal cinta).” (Riwayat Ahmad).

Hadis ini mengandung suatu anjuran supaya tetap memelihara kemurnian hati dan ancaman bagi mereka yang tidak berserah diri kepada ketentuan Allah dan Rasul-Nya.

Allah Maha Mengetahui tentang segala rahasia yang tersimpan di dalam hati, lagi Maha Penyantun, selalu memberi kesempatan untuk bertobat bagi mereka yang telah menyadari akan kesesatannya dan ingin kembali ke jalan yang lurus.;

 

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al Ahzab Ayat 52-53


 

Tafsir Surah Al Muddassir Ayat 52-56

0
Tafsir Surah Al Muddassir
Tafsir Surah Al Muddassir

Tafsir Surah Al Muddassir Ayat 52-56 mengisahkan kaum Quraisy yang sangat keras kepala dan tidak dapat diingatkan dengan Alquran, padahal Alquran merupakan petunjuk bagi umat manusia.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al Muddassir Ayat 42-51


Ayat 52

Dalam Tafsir Surah Al Muddassir Ayat 52-56, khususnya ayat ini, Allah menyebutkan contoh sikap mereka yang keras kepala yang tidak dapat diterima akal sehat atau oleh hati yang berperasaan. Masing-masing mereka berkehendak supaya diberikan kepadanya lembaran-lembaran catatan yang terbuka (kitab). Setiap mereka menginginkan pula diturunkan wahyu seperti yang telah diterima Nabi Muhammad. Ditambah lagi kitab itu agak istimewa buat mereka, yakni dengan lembaran-lembaran terbuka yang turun dari langit.

Diriwayatkan oleh ahli-ahli tafsir bahwa serombongan kaum Quraisy datang kepada Rasulullah dan mengatakan, “Alangkah baiknya kalau setiap pemimpin kami mempunyai kitab dalam lembaran terbuka yang turun dari Allah. Dalam kitab itu dapat kami baca keterangan yang menyebutkan engkau, hai Muhammad, adalah rasul-Nya. Lembaran itu pula yang menyuruh kami mengimani engkau dan mengikuti agama engkau.”

Dari Qatadah diterima keterangan bahwa maksud ayat di atas ialah mereka menghendaki bebas dari segala dosa-dosa tanpa bekerja dan berbuat kebaikan sedikit pun.

Diriwayatkan pula bahwa Abu Jahal bersama rombongannya yang terdiri dari pemuka-pemuka Quraisy mengatakan kepada Nabi, “Hai Muhammad, kami tidak akan beriman kepada engkau melainkan bila engkau beri masing-masing kami kitab itu alamatnya masing-masing yang berasal dari Tuhan dan terdapat pula di sana suruhan yang memerintahkan kami mengikuti agama engkau.” Ungkapan demikian juga terdapat dalam salah satu ayat   Al-Qur’an:

وَلَنْ نُّؤْمِنَ لِرُقِيِّكَ حَتّٰى تُنَزِّلَ عَلَيْنَا كِتٰبًا نَّقْرَؤُهٗۗ قُلْ سُبْحَانَ رَبِّيْ هَلْ كُنْتُ اِلَّا بَشَرًا رَّسُوْلًا

Dan kami tidak akan mempercayai kenaikanmu itu sebelum engkau turunkan kepada kami sebuah kitab untuk kami baca.” Katakanlah (Muhammad), “Mahasuci Tuhanku, bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi rasul?” (al-Isra’/17: 93)

Ayat 53

Dengan nada cemooh, Allah menolak dengan tegas permintaan itu, sebab sebenarnya mereka tidak takut kepada hari akhirat. Artinya Allah tidak akan mengabulkan tuntutan mereka. Allah tidak akan menurunkan kitab dari langit khusus buat mereka.

Allah mengatakan dengan tegas bahwa sesungguhnya yang membuat jiwa mereka kasar, akhlak mereka jahat, penglihatan mereka tertutup, dan pendengaran mereka tersumbat dari kebenaran, adalah karena tidak percaya kepada hari akhirat dengan segala kedahsyatannya.

Andaikata permintaan mereka itu dikabulkan, tentu masih banyak permintaan-permintaan lain menyusul, sekadar menunjukkan iktikad mereka yang tidak baik kepada Islam. Sebab sudah cukup banyak dalil dan bukti-bukti kebenaran Nabi Muhammad untuk mereka. Lalu mereka minta kebenaran Nabi Muhammad buat mereka dan meminta lagi tambahan lain yang tidak pantas diminta, permintaan yang tidak berarti sama sekali.

Ayat 54

Selanjutnya dalam Tafsir Surah Al Muddassir Ayat 52-56 di ayat 54 ini, Allah menegaskan lagi, “Sekali-kali tidak demikian halnya, sesungguhnya Al-Qur’an itu adalah peringatan.”  Al-Qur’an bukan sebagaimana yang mereka tuduhkan. Al-Qur’an bukan sihir yang dapat dipelajari, melainkan peringatan langsung dari Allah, sehingga tiada seorang pun yang dapat melepaskan diri dari pertanggungjawaban kepada Allah pada hari kemudian nanti.

Ayat 55

Allah mengatakan bahwa barang siapa menghendaki Al-Qur’an sebagai petunjuk, niscaya dia mendapatkan pelajaran darinya. Siapa saja yang selalu ingat kepada Al-Qur’an, tidak melupakannya, dan menjadikan sebagai pedoman hidupnya, maka manfaatnya adalah untuk dirinya sendiri. Dalam Al-Qur’an terdapat kebahagiaan dunia dan akhirat.

Ayat 56

Ayat ini menegaskan bahwa mereka tidak akan mengambil pelajaran dari Al-Qur’an kecuali jika Allah menghendakinya. Hanya Dia yang berhak memberi ampunan.

Tegasnya tidak ada yang memperoleh peringatan dan pengajaran dari Al-Qur’an melainkan siapa yang dikehendaki Allah. Tidak seorang pun yang sanggup berbuat demikian kecuali berdasarkan kekuasaan yang diberikan Allah. Begitulah Allah berbuat sekehendak-Nya tanpa terhalang oleh siapa pun. Oleh karena itulah kepada Allah saja manusia patut bertakwa, hanya Dia saja yang harus ditakuti dan Dia saja yang harus ditaati. Dialah memberikan ampunan kepada hamba-Nya yang beriman.

Dalam sebuah hadis disebutkan:

إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:فِيْ قَوْلِهِ (هُوَ أَهْلُ التَّقْوَى وَأَهْلُ الْمَغْفِرَةِ) قَالَ يَقُوْلُ رَبُّكُمْ أَنْ اُتَّقَى أَنْ يُجْعَلَ مَعِيْ اِلَهٌ وَمَنِ اتَّقَى وَلَنْ يَجْعَلَ مَعِيْ اِلَهًا غَيْرِيْ فَأَنَا أَهْلٌ أَنْ اَغْفِرَ لَهُ. (رواه أحمد والدارمي والترمذي و النسائي و ابن ماجه عن أنس بن مالك)

Bahwasanya Rasulullah saw, membaca ayat ini “huwa ahlut-taqwa wa ahlul-magfirah” dan bersabda, “Tuhanmu berfirman, ‘Sayalah yang paling patut ditakuti, maka janganlah dijadikan bersama-Ku Tuhan yang lain. Barang siapa yang takwa kepada-Ku dan sekali-kali ia tidak menjadikan bersama-Ku Tuhan yang lain, maka Aku-lah yang berhak untuk mengampuninya’.” (Riwayat Ahmad, ad-Darimi, at-Tirmizi, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah dari Anas bin Malik)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al Qiyamah Ayat 1


 

Salat dan Amar Makruf Nahi Mungkar, Adakah Kaitannya? Simak Tafsirnya

0
salat dan amar makruf nahi mungkar
salat dan amar makruf nahi mungkar

Salat merupakan salah satu kewajiban utama dalam Islam. Al-Quran berkali-kali menyebut salat dalam ragam konteks dan nilai. Di antara sekian penyebutan itu, yang menarik untuk diulas adalah penyebutan salat dalam kaitannya dengan amar makruf nahi mungkar. Paling tidak ada dua ayat yang berbicara mengenai salat dalam konteks ini, yaitu QS. Al-Ankabut [29]: 45, dan QS. Luqman [31]: 17.

 … وَاَقِمِ الصَّلٰوةَۗ اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَر  

“. .… dan laksanakanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar..…. “  (QS. Al-Ankabut: 45)

 … اَقِمِ الصَّلٰوةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوْفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلٰى مَآ اَصَابَكَۗ اِنَّ ذٰلِكَ مِنْ عَزْمِ الْاُمُوْرِ

“… Laksanakanlah salat dan suruhlah (manusia) berbuat yang makruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting.” (QS. Luqman: 17)

Baca Juga: Tiga Posisi Amr Ma’ruf Nahi Munkar dalam Tafsir Ar Razi

Tafsir Al-Ankabut ayat 45: Salat adalah ‘benteng pertahanan’

Al-Khazin, dalam tafsirnya yang berjudul Lubabut Ta’wil, mengutip riwayat pernyataan Ibnu Abbas  dan Ibnu Mas’ud ketika menafsiri ayat 45 surah Al-Ankabut di atas. Dalam riwayat itu disebutkan bahwa, siapa saja yang salatnya tidak membuatnya mampu menjauhi perbuatan keji dan mungkar, maka salat itu hanya akan membuatnya semakin jauh dari Allah. Mufasir generasi tabi’in, Qatadah, meriwayatkan pernyataan gurunya, Al-Hasan, mufasir generasi tabi’in lain, juga menyebutkan penjelasan bahwa salat yang tidak mampu membuat pelakunya menjauhi perbuatan keji dan mungkar, adalah suatu musibah.

Sementara itu, Fakhruddin Ar-Razi, dalam karya tafsirnya yang masyhur, Mafatih al-Ghayb, memberikan penjelasan tambahan, bahwa salat yang mampu mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan mungkar adalah salat yang dilakukan dengan khusyuk. Pendeknya, orang yang salat, namun ia masih saja melakukan perbuatan keji dan mungkar, berarti salatnya belum khusyuk.

Sebagian mufasir lain memberikan penjelasan yang sedikit berbeda. Bahwa jika seseorang menjaga salatnya, maka salat itu akan membuatnya meninggalkan perbuatan keji dan mungkar, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam jangka pendek maupun panjang, sekarang ataupun nanti.

Dalam ungkapan yang lebih afirmatif, bahwa jika orang senantiasa menjaga salatnya, suatu saat pasti ia akan sadar dan menginggalkan kebiasaan buruknya. Penjelasan ini berdasarkan pada salah satu riwayat hadis yang bersumber dari sahabat Anas bin Malik. Dalam riwayat itu disebutkan bahwa ada seorang pemuda dari kalangan sahabat Anshar, yang rajin mengikuti salat  berjamaah bersama Rasulullah saw., tapi ia masih saja gemar melakukan perbuatan keji (al-fakhsyaa’). Perilaku pemuda itu, oleh para sahabat, kemudian disampaikan kepada Rasululllah saw. Rasul kemudian bersabda, “sungguh, salatnya akan segera membuatnya berhenti dari perbuatan buruknya.” Tak berselang lama pemuda itu bertaubat dan menjadi seorang yang baik dan saleh. Riwayat ini banyak dikutip oleh para mufasir, di antaranya Ar-Razi, Al-Khazin, As-Syarbini, dan lain-lain.

Cukup menarik apa yang dijelaskan dalam riwayat di atas, bahwa salat adalah semacam “benteng pertahanan” teologis terakhir bagi seorang mukmin. Walaupun misalnya, ada seseroang yang masih saja melakukan maksiat, padahal ia rajin salat, kita tidak bisa begitu saja memandangnya secara negative, karena sebagaimana sabda Nabi di atas, selama seseorang masih menjaga salatnya, pasti suatu saat ia kan sadar dan bertaubat.

Sampai di sini semakin jelas bahwa salat adalah salah satu kewajiban agama yang paling penting. Tak heran bila dalam salah satu riwayat hadis bersumber dari sahabat Umar bin Al-Khaththab, disebutkan bahwa, “Salat adalah tiang penyangga agama.” Seseorang yang mendirikannya, berarti ia mendirikan agama dengan kokoh. Sebaliknya, meninggalkan salat akan membuat tiang agama roboh, atau bahkan merobohkan agama itu sendiri.

Baca Juga: Makna Fahsya’ dan Munkar dalam Al-Qur’an, Mirip Namun Tak Sama

Tafsir Luqman Ayat 17: rangkaian dari salat, amar makruf nahi mungkar dan sabar

Jika ayat 45 surah Al-Ankabut berbicara tentang salat dalam kaitannya dengan berhenti berbuat keji dan mungkar, maka dalam surah Luqman ayat 17, salat dibicarakan dalam kaitannya dengan ragam aspek, yaitu amar makruf nahi mungkar dan sabar terhadap apa yang menimpa pada diri manusia.

Terkait ayat ini, Al-Imam As-Syarbini dalam tafsir As-Siraaj Al-Muniir, memberikan ulasan yang sangat menarik. Secara paradigmatik, ayat ini diawali dengan perintah salat, lalu perintah amar makruf nahi mungkar, dan ditutup dengan anjuran bersabar. Bahwa, perintah salat dalam ayat ini, secara esensi, maqasidi, dan isyari, adalah perintah kepada diri sendiri agar senantiasa berbuat  baik (makruf), serta meninggalkan perbuatan keji (fakhsya’) dan mungkar.

Pemaknaan ini sesuai dengan kandungan ayat 45 surah Al-Ankabut yang telah diulas sebelumnya. Sedangkan perintah amar makruf nahi mungkar dalam rangkaian kalimat berikutnya mengindikasikan bahwa itu ditujukan untuk orang lain. Jadi, sebelum amar makruf nahi mungkar kepada orang lain, idealnya adalah amar makruf nahi mungkar kepada diri sendiri, yang dalam ayat ini diungkapkan dengan salat. 

Rangkaian kalimat berikutnya, dan menjadi penutup ayat, yang berisi anjuran bersabar, memberikan makna paradigmaatik, bahwa dalam “amar makruf nahi mungkar”, baik pada diri sendiri (salat), maupun pada “liyan”, selalu saja ada halangan, rintangan, dan ujian, yang dalam bahasa Al-Qur’an disebut dengan “maa ashaabaka”.

Dalam konteks inilah perintah sabar dalam ayat tersebut menemukan relevansinya, bahwa dalam amar makruf nahi mungkar harus berbarengan dengan sabar. Bahkan sabar dalam menyikapi segala hal yang menimpa diri manusia adalah salah satu aspek yang paling penting dalam beragama. Al-Qur’an mengungkapkan dengan kalimat, “inna zaalika min ‘azmil umuur” (sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting) di penghujung ayat.

Poin yang perlu digaris bawahi adalah bahwa, yang lebih penting dari semua itu, dan bahkan menjadi kunci keberhasilannya adalah sabar itu sendiri. Salat, sebagai bentuk jihadun nafs, atau memerangi hawa nafsu sendiri agar mau menjauhi perbuatan keji dan mungkar, idealnya harus dilaksanakan dengan penuh kesabaran, karena mustahil orang bisa khusyuk dalam salat, sementara ia terburu-buru dan tidak sabar dalam salatnya.

Begitu juga dengan jihad dakwah amar makruf nahi mungkar, harus dibarengi dengan sabar, sehingga yang muncul nantinya adalah dakwah bil hikmah wal mau’idhatil hasanah. Jika ini yang dipraktikkan, tentu tidak akan ditemukan dakwah-dakwah yang cenderung kaku, keras, memaksa, arogan, dan penuh dengan amarah. Mengutip istilah cukup masyhur yang pernah dilontarkan Gusdur, “dakwah itu yang ramah, bukan yang marah.”

Penulis tafsir As-Siraaj Al-Muniir memberikan penekanan dalam penjelasannya, bahwa meskipun ayat ini secara tekstual adalah ucapan nasehat Luqman kepada anaknya, tapi secara kontekstual, nasehat ini sangat relevan untuk kita semua, umat Islam saat ini. Wallahu a’lam

Tafsir Surah Al Muddassir Ayat 42-51

0
Tafsir Surah Al Muddassir
Tafsir Surah Al Muddassir

Diawal Tafsir Surah Al Muddassir Ayat 42-51 menggambarkan tentang kehidupan di akhirat, kelak manusia akn terbagi menjadi dua golongan yakni golongan kanan yang berada dalam surga dan golongan yang berdosa berada di dalam neraka.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al Muddassir Ayat 32-41


Ayat 42-43

Ayat ini menjelaskan bahwa golongan kanan berada dalam kamar surga yang penuh kenikmatan, sementara golongan yang berdosa bergelimang dalam azab neraka. Namun demikian, mereka saling dapat tanya bertanya, “Kenapa engkau sampai dimasukkan ke dalam neraka itu?”

Mereka menjawab dengan jujur dan terus terang bahwa mereka tidak mengerjakan salat di atas dunia dahulu, berbeda dengan orang-orang mukmin yang tetap melaksanakan salat. Sebab waktu itu mereka tidak yakin sedikit pun bahwa hal itu memang sebenarnya diperintahkan Allah.

Ayat 44

Ayat ini menjelaskan bahwa mereka tidak termasuk golongan yang senantiasa berbuat baik kepada kaum fakir miskin dan duafa. Padahal mereka dapat berbuat demikian karena berlebihnya nikmat dan rezeki Allah yang mereka peroleh. Mereka tidak mau meringankan kesulitan fakir-miskin dengan sedekah yang seharusnya mereka keluarkan.

Ayat 45

Ayat ini menjelaskan bahwa mereka ikut terlibat dalam perbuatan orang yang tercela, yang tidak senang kepada Islam dan Nabi Muhammad dengan menuduh beliau pendusta atau tukang sihir yang gila. Mengenai Al-Qur’an mereka menganggapnya hanyalah sihir, syair, atau mantra untuk tenung. Pokoknya mereka terlibat dalam perbuatan kebatilan.

Ayat 46-48

Ayat ini mengutarakan pengakuan mereka selanjutnya bahwa mereka mendustakan hari kemudian. Artinya mereka mendustakan adanya hari hisab dan pembalasan atas segala perbuatan manusia, sampai datang kepada mereka keyakinan, yakni mati. Tegasnya mereka yakin dan melihat dengan mata kepala sendiri bahwa semuanya akan kembali kepada Allah di negeri akhirat.

Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafaat dari orang-orang yang memberi syafaat. Artinya kalau seseorang telah memiliki watak-watak seperti yang disebutkan dalam ayat di atas (tidak mengerjakan salat, tidak mau menghiraukan nafkah fakir-miskin, terlibat dalam perbuatan orang yang senang mencela, mendustakan kedatangan hari akhirat) syafaat (pertolongan) apa pun tidak berguna untuk menyelamatkan mereka dari siksaan api neraka. Sebab syafaat hanyalah berguna bagi yang berhak menerimanya.


Baca Juga: Fenomena Pengemis Viewers di YouTube dan Perintah Menjaga Kehormatan Diri dalam Al-Qur’an


Ayat 49

Pada ayat ini, dalam nada cercaan, Allah bertanya, “Mengapa orang-orang kafir itu berpaling dari peringatan-Ku?” Maksudnya adalah kenapa orang-orang Mekah dan orang-orang seperti mereka menentang kebenaran Al-Qur’an yang telah memberikan peringatan-peringatan begitu hebat dan dahsyat kepada mereka?

Cara berpaling dari Allah (dari Al-Qur’an itu) ada dua macam, yaitu: pertama, bersifat keras kepala dan sama sekali tidak mengakuinya (mengingkarinya); kedua, meninggalkan amal perbuatan yang disuruh-Nya. Demikian pendapat Muqatil, salah seorang tabi‘in.

Ayat 50-51

Tafsir Surah Al Muddassir Ayat 42-51, Kemudian digambarkan pula sikap orang-orang musyrik dan kafir itu menghindarkan diri dari peringatan agama. Mereka diibaratkan seperti keledai liar yang lari terkejut menjauh dari singa. Artinya mereka orang-orang musyrik itu lari dari Muhammad saw atau mereka yang kafir itu lari dari agama Islam, seperti keledai ketakutan lari dikejar singa, atau lari ketakutan karena diburu manusia (pemburu).

Ayat ini mengisyaratkan pula bahwa orang-orang yang seharusnya telah menerima seruan Islam dan mengambil pelajaran dari peringatan-peringatan yang diberikan Allah, malah justru menentangnya tanpa sebab-sebab yang logis. Di sini pula kita perbandingkan bagaimana seekor keledai lari ketakutan tanpa arah. Demikian pula manusia lari dari agama tanpa alasan yang tepat. Sifat berusaha menghindarkan diri dari kewajiban-kewajiban agama seperti itu kita lihat sekarang, memang sejak dari dulu telah digambarkan oleh Al-Qur’an.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al Muddassir Ayat 52-56


 

Tafsir Surah Al Muddassir Ayat 32-41

0
Tafsir Surah Al Muddassir
Tafsir Surah Al Muddassir

Diawal Tafsir Surah Al Muddassir Ayat 32-41 membahas peringatan Allah terhadap manusia yang masih mengingkari-Nya, kelak di akhirat Allah akan membagi manusia ke dalam golongan surga dan neraka.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al Muddassir Ayat 31


Ayat 32-36

Dalam Tafsir Surah Al Muddassir Ayat 32-41 khususnya ayat-ayat ini, Allah memperingatkan bahwa tidak ada jalan bagi manusia untuk mengingkari kekuasaan-Nya yang nyata-nyata dapat mereka saksikan sendiri.

Kata-kata “kalla” (sekali-kali tidak) juga merupakan bantahan terhadap ucapan-ucapan orang musyrik di atas. Untuk menguatkan hal itu, Allah bersumpah dengan bulan, malam bila ia telah berlalu, dan bila subuh mulai bersinar. Dengan bulan, malam, dan subuh itu Allah menegaskan bahwa neraka Saqar itu merupakan suatu bencana yang amat dahsyat bagi umat manusia.

Ada yang menerangkan bahwa maksud ihdal-kubar (salah satu bencana yang sangat besar) adalah salah satu dari tujuh neraka yang dahsyat. Ketujuh lembah neraka (seperti yang disebutkan dalam ayat-ayat lain) itu adalah: Jahanam, La§a, Huthamah, Sa‘ir, Saqar, Jahim, dan Hawiyah.

Hal tersebut adalah sebagai ancaman bagi manusia. Adanya tujuh neraka itu (satu di antaranya Saqar) merupakan ancaman bagi yang masih tidak mau tunduk kepada kehendak Allah.

Ada yang mengartikan nadzir (yang memberi ancaman) itu adalah sifat Allah, sehingga arti ayat ini adalah: “Aku ini memberikan ancaman kepadamu, karena itu hendaklah kamu takut kepada ancaman itu”. Ada yang mengartikan nadzir sebagai sifat Nabi Muhammad seperti disebutkan dalam ayat kedua di atas tadi.

Ayat 37

Allah menegaskan bahwa ancaman tersebut ditujukan kepada siapa saja yang mau menerima atau menolaknya. Boleh saja ancaman itu ditolak, namun akan merasakan akibatnya, seperti halnya al-Walid yang disebut dalam ayat yang lalu. Yang berkehendak maju atau mundur dalam ayat ini berarti “bagi siapa yang ingin mencapai kebaikan dan perbuatan taat sebanyak-banyaknya atau menjauhi kebaikan dan ketaatan itu sehingga terjatuh ke dalam lembah dosa dan maksiat”.

Secara singkat dapat dijelaskan bahwa orang-orang kafir itu telah memahami tentang adanya neraka Saqar, siksaannya, dan para malaikat penjaganya. Terserah kepada mereka apakah akan segera menghindarinya dengan mengejar sebanyak mungkin perbuatan amal saleh dan taat, ataukah tetap menolak dan mengingkarinya, sehingga pada saat yang dijanjikan, mereka akan melihat sendiri buktinya.

Dari ayat ke-37 ini, Ibnu ‘Abbas menyimpulkan bahwa selain kalimat-kalimatnya bersifat ancaman (tahdid), juga merupakan suatu maklumat bahwa siapa yang beriman dan taat kepada Nabi Muhammad pasti dibalasi dengan pahala yang tiada putusnya, sebaliknya yang menolak kebenaran Muhammad saw serta mendustainya akan disiksa dengan azab yang tiada henti-hentinya.

Ayat 38-39

Dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa setiap jiwa manusia tergadai di sisi Allah. Baik yang muslim maupun yang kafir, yang ingkar atau pun yang taat, semuanya tergantung kepada Allah. Tiap jiwa terikat dengan amal yang dikerjakan sampai hari Kiamat, kecuali golongan kanan. Artinya mereka dapat melepaskan keterikatan mereka di sisi Allah dengan amal-amal baik yang mereka kerjakan, sebagaimana halnya seorang dapat melepaskan diri dari status gadai karena telah membayarkan kewajibannya.

Golongan kanan yang dimaksudkan adalah orang-orang mukmin yang ikhlas, yang menerima buku amalan mereka di sebelah kanan di hari Kiamat. Akan tetapi, ada pula yang mengatakan golongan kanan dalam ayat ini adalah anak-anak yang memang belum diperhitungkan dosa dan kejahatannya. Bahkan ada yang berpendapat golongan kanan itu adalah para malaikat.

Ayat 40-41

Ayat ini menjelaskan lebih lanjut bahwa golongan kanan itu tempatnya di surga, mereka saling bertanya bagaimana nasib golongan yang durhaka. Mereka disambut oleh malaikat dengan ucapan salam sebagaimana firman Allah:

فَسَلٰمٌ لَّكَ مِنْ اَصْحٰبِ الْيَمِيْنِۗ    ٩١

Maka,“Salam bagimu (wahai) dari golongan kanan!” (sambut malaikat). (al-Waqi’ah/56: 91);Dan firman Allah:

وَقَالَ لَهُمْ خَزَنَتُهَا سَلٰمٌ عَلَيْكُمْ طِبْتُمْ فَادْخُلُوْهَا خٰلِدِيْنَ

…Penjaga-penjaganya berkata kepada mereka, “Kesejahteraan (dilimpahkan) atasmu, berbahagialah kamu! Maka masuklah, kamu kekal di dalamnya.” (az-Zumar/39: 73)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al Muddassir Ayat 42-51


 

Tafsir Surah Al Muddassir Ayat 31

0
Tafsir Surah Al Muddassir
Tafsir Surah Al Muddassir

Tafsir Surah Al Muddassir Ayat 31 disebutkan bahwa malaikat ditugaskan Allah untuk mengurus urusan neraka, jumlah malaikat dalam Tafsir Surah Al Muddassir Ayat 31 ini dikatakan hanya ada 19 dan hal ini menjadi olok-olokkan orang kafir, padahal Allah Maha Mengetahui segala sesuatu tentang hal Ghaib.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al Muddassir Ayat 24-30


Ayat 31

Pada permulaan ayat ini, Allah menegaskan bahwa petugas yang diangkat oleh Allah untuk mengurus urusan neraka dan memberikan siksaan kepada penghuninya adalah para malaikat. Mereka diberi kepercayaan mengatur dan mengawasinya. Mereka adalah makhluk Allah yang hebat dan perkasa serta bertindak atas perintah-Nya. Mereka bukan manusia dan bukan pula jin, sebab yang disiksa di sana adalah kedua makhluk itu. Andaikata penjaga neraka itu dari jenis manusia atau jin, tentu mereka akan kasihan dan lemah lembut kepada makhluk yang sejenis dengan mereka.

Adapun jumlah mereka yang sedikit itu (19 malaikat) dibandingkan dengan begitu luas neraka yang tiada bertepi yang harus diawasi serta puluhan miliar jin dan manusia yang mengisinya, hanyalah sekadar ujian dan cobaan bagi golongan yang tidak percaya. Sehingga mereka berkata seenaknya bahwa mereka sanggup berkelahi dengan malaikat, seperti ucapan Ibnu Kaladah di atas. Allah dengan sengaja menyebutkan jumlah yang sedikit itu agar orang kafir itu semakin congkak, sehingga berlipat-ganda pula pembalasan yang harus mereka derita.

Fitnah (cobaan) yang dimaksudkan di sini tentulah karena jumlah mereka yang terlalu sedikit. Hal itu bagi orang yang tidak percaya akan menimbulkan tanda tanya, “Bagaimana pula malaikat yang tidak sampai 20 itu sanggup mengendalikan jutaan bahkan ribuan juta jin dan manusia yang menghuni neraka? Padahal kalau mereka menyadari, sesungguhnya malaikat itu hanyalah sekadar alat belaka (atribut) yang bekerja atas perintah dan kekuasaan Allah. Biar pun hanya dua atau tiga malaikat, akan tetapi kalau Zat Yang Mahakuasa di belakangnya, pasti pekerjaan itu berjalan lancar.

Sebaliknya untuk orang yang telah diturunkan kitab (kaum Yahudi dan Nasrani) keterangan ayat ini seharusnya menambahkan keyakinan mereka akan kebenaran yang diucapkan oleh Nabi Muhammad. Sebab, jumlah yang 19 itu sesuai dengan keterangan yang mereka peroleh dalam kitab-kitab suci mereka (Taurat dan Injil). Allah sekaligus menegaskan bahwa antara kitab-kitab suci yang telah diturunkan-Nya itu tidak mungkin ada pertentangan satu sama lain. Orang beriman pasti akan bertambah yakin dengan keimanannya, sebab mereka melihat bagaimana orang ahli kitab membenarkan dan mengakui ayat Al-Qur’an, karena sesuai isinya dengan Taurat dan Injil.

Dengan demikian, orang-orang beriman dan golongan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) yang bersifat jujur tidak meragukan lagi pengertian kalimat 19 malaikat itu. Mereka (ahli kitab) juga tidak ragu lagi bagaimana hakikat iman seorang muslim, bahkan mereka diharapkan pula dapat menjelaskan hal demikian kepada orang yang masih ragu-ragu, seperti kepada golongan munafik dan lain-lain.

Di sini disebutkan tentang ahli kitab dan munafik, padahal ayatnya diturunkan di Mekah, dan orang ahli Kitab dan munafik baru muncul setelah Rasulullah saw berada di Medinah. Oleh karena itu, ayat ini harus dipandang sebagai berita gaib yang pasti akan terjadi yang disampaikan Allah kepada Nabi Muhammad. Menceritakan yang masih gaib atau belum terwujud termasuk salah satu bentuk mukjizat Nabi seperti disebutkan dalam kitab-kitab hadis.

Bagi orang-orang yang tidak percaya kepada kebenaran yang dibawa Nabi saw akan mempertanyakan kembali soal malaikat yang 19 itu. Apa sesungguhnya yang dikehendaki Allah dengan menyebutkan bilangan terlalu sedikit ini, dan kenapa tidak disebutkan 20 saja? Karena kebiasaan yang berlaku menyebut contoh/misal selalu menggunakan bilangan genap, maka perumpamaan Allah ini dipandang ganjil.

Lalu Allah menjelaskan, “Demikianlah Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dari golongan munafik dan musyrik yang selalu mempersoalkan jumlah bilangan malaikat itu. Akan tetapi, Dia pula yang memberikan petunjuk ke jalan yang benar bagi orang yang dikehendaki-Nya sehingga mereka paham dengan maksud ayat ini.

Dari keterangan ini jelaslah bagi kita bahwa perbedaan pendapat di kalangan manusia bahkan antara orang muslim adalah wajar, dan itu merupakan sunatullah. Hanya orang yang mendapat bimbingan akan memperoleh hakikat yang sebenarnya dari masalah yang dipersoalkan.

Allah kembali menegaskan kekuasaan-Nya bahwa hanya Dia yang tahu hakikat malaikat yang diperintahkan untuk mengawasi orang-orang kafir di neraka. Hanya Dia saja yang mengerti bagaimana sesungguhnya malaikat yang bertugas itu. Tidak ada seorang pun manusia yang mengerti hikmah menjadikan jumlah 19 itu. Ada yang menerangkan bahwa ayat ini turun sebagai jawaban dari ucapan Abu Jahal ketika mendengar ayat tentang penjaga neraka 19 orang itu, “Tahukah engkau bahwa Tuhan Muhammad itu cuma 19 malaikat saja penolong-Nya?” Yang jelas 19 malaikat itu dibantu oleh tentara Allah yang lain yang banyaknya tiada yang tahu melainkan Dia saja.

Ayat ini menegaskan bahwa neraka Saqar yang disertai dengan gambaran seperti diturunkan ayat di atas, merupakan peringatan bagi sekalian manusia.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al Muddassir Ayat 32-41


 

Tafsir Surat Ibrahim Ayat 7: Cara Menghilangkan Sikap Insecure

0
Tafsir Surat Ibrahim Ayat 7: Cara Menghilangkan Sikap Insecure
Tafsir Surat Ibrahim Ayat 7: Cara Menghilangkan Sikap Insecure

Fenomena sikap insecure sering terjadi pada kebanyakan generasi muda. Ada banyak hal yang membuat insecure, mulai dari tampilan fisik, kekayaan, dan berbagai hal lain yang membuat tidak percaya diri. Insecure ini kemudian berdampak pada rasa minder yang juga membuat seseorang tidak berkembang.

Dilansir dari suara.com insecure dapat dikatakan sebagai suatu kondisi psikis dimana seseorang merasa tidak aman, menganggap dunia sebagai hutan yang mengancam dan kebanyakan manusia berbahaya dan egois. Seseorang yang mengalami insecure biasanya merasa ditolak, terisolasi, cemas, tidak bahagia, tidak percaya diri. Mereka akan berusaha untuk kembali ke kondisi yang secure (aman).

Keadaan diperparah ketika bibit-bibit insecure mulai menjamur di media sosial. Misalnya saja ketika ada postingan yang menampilkan kecantikan, kemewahan, dan hal-hal mentereng lainya terkadang akan memancing komentar-komentar insecure para netizen yang melihat. Hal ini tentu berdampak pada semakin kuatnya wabah insecure ini terus dipertahankan.

Baca juga: Nabi Muhammad Saw Gemar Berkurban Setiap Tahun

Kemudian pada kompas.com, rasa insecure yang berlebihan terjadi di media sosial ini disebabkan oleh social comparison. Maksudnya adalah seseorang membandingkan keadaan dirinya dengan orang lain yang berada di atasnya baik dari segi fisik, finansial, dan sebagainya.

Rasa insecure yang berlebihan ini sejatinya tidaklah dibenarkan. Sebab dapat memengaruhi kesehatan mental dengan tidak merasa cukup atas apa yang diterima dalam hidup. Selain itu, sikap yang insecure juga menggambarkan tingkat bersyukur yang rendah. Padahal dalam ajaran agama, setiap orang dituntut untuk bersyukur atas segala nikmat yang telah didapat.

Oleh karena itu,untuk mengatasi sikap insecure, maka ditekankan untuk menumbuhkan sikap syakir (pandai bersyukur). Karena sesungguhnya sikap syakir ini tertuang di dalam al-Qur’an pada surah Ibrahim ayat 7:

وَإِذۡ تَأَذَّنَ رَبُّكُمۡ لَئِن شَكَرۡتُمۡ لَأَزِيدَنَّكُمۡۖ وَلَئِن كَفَرۡتُمۡ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٞ

Terjemah: “7. Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim [14]: 7)

Tafsir surah Ibrahim Ayat 7

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa Allah SWT berfirman, “Ingatlah tatkala Allah mengumumkan janji-Nya bahwa bila kamu mensyukuri nikmat-Ku, pasti Aku akan menambah nikmat kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari nikmat-nikmat-Ku itu serta menyembunyikannya, maka sesungguhnya siksa-Ku amatlah pedih” yang termasuk di dalam siksa-Nya yaitu pencabutan segala karunia daripada orang-orang yang kufur sebagai hukuman atas kekufuran yang telah mereka lakukan.

Baca juga: Mengenal Terjemahan Tematik Berbasis Kata Kunci dalam “Kamus Pintar Al-Qur’an” Karya Muhammad Chirzin

Quraish Shihab dalam kitab tafsirnya juga menjelaskan ayat ini secara tegas menyatakan bahwa jika bersyukur maka pasti nikmat Allah akan ditambahnya, tetapi ketika berbicara tentang kufur nikmat, tidak ada penegasan bahwa pasti siksa-Nya akan jatuh. Ayat ini hanya menegaskan bahwa siksa Allah pedih.

Jika demikian, penggalan akhir ayat ini dapat dipahami sekedar sebagai ancaman. Disisi lain, tidak menutup kemungkinan keterhindaran dari siksa duniawi bagi yang kufur terhadap nikmat Allah, atau melalui bertambahnya nikmat dengan mengulur kedurhakaan kepada-Nya.

Kemudian Hamka pada kitab Tafsir Al-Azhar menambahkan ayat tersebut tentang peringatan Allah kepada Bani Israil setelah mereka dibebaskan dari penindasan Fir’aun. Kebebasan itu merupakan perkara besar dan wajib disyukuri. Dalam bersyukur hendaklah terus berusaha guna mengatasi kesulitan. Demikian Allah menggambarkan keuntungan jika bersyukur dan kerugian jika berbuat kufur.

Dalam ayat selanjutnya, Allah Swt berfirman:

وَقَالَ مُوسَىٰٓ إِن تَكۡفُرُوٓاْ أَنتُمۡ وَمَن فِي ٱلۡأَرۡضِ جَمِيعٗا فَإِنَّ ٱللَّهَ لَغَنِيٌّ حَمِيدٌ

Artinya: “8. Dan Musa berkata: “Jika kamu dan orang-orang yang ada di muka bumi semuanya mengingkari (nikmat Allah) Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. (QS. Ibrahim [14]: 8)

Tafsir Surah Ibrahim Ayat 8

Hamka (pada kitab Tafsirnya menjelaskan bahwa timbulnya kufur, yaitu rasa tidak puas, rasa tidak mengenal terima kasih, dan menghitung sesuatu dari segi kekurangannya saja, adalah siksa bagi jiwa sendiri. Pelakunya akan memandang bahwa hidup ini suram dan tidak ada yang dapat dikerjakannya. Demikian Nabi Musa berpesan kepada seluruh manusia yang hidupnya serba tidak puas sesungguhnya tidaklah mengurangi kebesaran dan kekayaan Allah.

Shihab (2009): 332) juga menambahkan bahwa ayat tersebut mengisyaratkan tentang keharusan bersyukur dan menghindari diri dari kekufuran. Hal tersebut merupakan sebagian dari peringatan Nabi Musa, namun harus diingat bahwa pelaksanaan perintah itu sama sekali bukan untuk kepentingan Allah. Karena Allah tidak memerlukan siapapun untuk bersyukur kepada-Nya.

Baca juga: Surah Al Fatihah dan Ijazah Doa KH Achmad Asrori  Al-Ishaqi

Menjadi Syakir untuk Menghilangkan Insecure

Dapat dipahami bahwa perintah syukur ini begitu penting sehingga dalam al-Qur’an Allah memberi penghargaan dengan menambah kembali nikmat yang diberikan. Sementara jika kufur, maka timbal balik yang didapat adalah azab yang pedih.

Jika dihubungkan dengan fenomena insecure yang banyak terjadi pada generasi muda, maka anjuran menjadi syakir ini sangatlah penting. Sebab realita yang ada menunjukkan minimnya kesadaran yang tertanam dalam diri untuk tidak terus-terusan melihat ke atas, namun tidak pernah melihat ke bawah.

Para pelaku insecure hanya berfokus pada keindahan-keindahan yang dimiliki orang lain, tetapi tidak pernah menyadari anugerah Allah yang terdapat pada dirinya sendiri. Oleh sebab itu, untuk menekan fenomena ini, maka diperlukan penanaman sikap syukur melalui pembiasaan-pembiasaan sehari-hari.

Langkah yang bisa diambil misalnya dengan merubah mindset berpikir untuk tidak selalu membandingkan kemampuan diri dengan yang lebih tinggi, melainkan lebih bersyukur karena diberikan kesempatan yang lebih daripada orang lain yang kurang beruntung.

Menjadi generasi yang syakir bukan perkara mudah, melainkan memerlukan latihan yang kontinyu. Belajar menjadi sederhana dan berterima kasih atas segala yang diterima merupakan kunci utamanya. Ketika pribadi syakir dapat dijalankan, maka insecure pun juga dapat ditekan. Wallahu A’lam.

Tafsir Surah Al Muddassir Ayat 24-30

0
Tafsir Surah Al Muddassir
Tafsir Surah Al Muddassir

Tafsir Surah Al Muddassir Ayat 24-30 menerangkan bahwa al-Walid mengingkari Alquran dengan mengatakan Alquran hanyalah sihir yang dipelajari dari orang-orang terdahulu. Tafsir Surah Al Muddassir Ayat 24-30 juga ditegaskan bahwa kelak al Walid akan dimasukkan ke dalam neraka Saqar yang dijaga oleh 19 malaikat.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al Muddassir Ayat 17-23


Ayat 24-25

Ayat ini menegaskan bahwa al-Walid lalu mengatakan bahwa Al-Qur’an ini tidak lain hanyalah sihir yang dipelajari (dari orang-orang dahulu). Menurut dugaannya, Al-Qur’an adalah suatu ucapan yang disalin Muhammad dari orang lain yang lebih dahulu daripadanya, diterima dari orang yang bercerita kepadanya.

Al-Walid juga mengatakan bahwa Al-Qur’an ini tidak lain hanyalah perkataan manusia. Maksudnya selain menuduh Al-Qur’an sebagai sihir yang bisa dipelajari, juga perkataan manusia biasa dan Muhammad mencurinya dari ucapan-ucapan orang lain. Secara ringkas, ia mengatakan bahwa        Al-Qur’an bukan kalamullah seperti yang didakwahkan oleh Muhammad.

Andaikata tuduhan al-Walid itu benar, bahwa Al-Qur’an itu perkataan manusia biasa, tentu orang lain selain Muhammad saw sanggup pula menyusun seperti itu atau membuat tantangan yang lebih bagus lagi. Padahal di kalangan bangsa Arab banyak sekali terdapat tokoh-tokoh sastrawan yang lidahnya fasih bersyair dan berpidato. Di antara mereka, juga ada yang mendalam penguasaannya tentang berbagai macam ilmu pengetahuan. Namun demikian, tidak ada seorang pun yang sanggup menandingi ucapan yang keluar dari mulut Muhammad itu.

Ayat 26

Dalam ayat ini, Allah menggambarkan balasan yang setimpal bagi orang yang begitu lancang menuduh Al-Qur’an sebagai ucapan manusia. Allah akan memasukkan al-Walid ke dalam neraka Saqar. Saqar adalah salah satu nama neraka.

Ayat 27-28

Ayat ini menggambarkan sifat neraka Saqar. Perkataan wa ma adra ka (dan tahukah engkau) dalam bahasa Arab menunjukkan besar dan sangat dahsyatnya masalah yang dipertanyakan. Apakah yang engkau ketahui tentang Saqar? Dan pasti tidak seorang pun mengetahuinya dan mencapai hakikatnya kecuali dengan keterangan yang diberikan oleh wahyu.

Saqar itu tidak meninggalkan dan tidak mengembalikan. Artinya setiap tubuh manusia yang di bakarnya, tidak satu pun yang tersisa dari daging maupun tulang. Kemudian tubuh yang telah hangus itu dikembalikan lagi menjadi baru dan segar, tetapi dibakar lagi sampai hangus untuk kedua kali dan seterusnya. Keterangan seperti itu kita peroleh dari ayat yang lain berbunyi:

كُلَّمَا نَضِجَتْ جُلُوْدُهُمْ بَدَّلْنٰهُمْ جُلُوْدًا غَيْرَهَا لِيَذُوْقُوا الْعَذَابَ

Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti dengan kulit yang lain, agar mereka merasakan azab.  (an-Nisa’/4: 56)

Ayat 29

Ayat ini menegaskan bahwa neraka Saqar itu pembakar kulit manusia. Maksudnya, Saqar itu membakar hangus kulit manusia sampai hitam warnanya. Makna kata lawwahah dalam ayat ini sebenarnya adalah “yang mengubah kulit menjadi hitam”. Lebih hitam dari kegelapan malam.

Ayat 30

Ayat ini menegaskan bahwa Saqar itu dijaga oleh 19 malaikat yang dikepalai oleh Malik. Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dan Ibnu Mardawaih dari al-Bara’ bahwa serombongan orang Yahudi pernah bertanya kepada sebagian sahabat Nabi tentang penjaga-penjaga neraka Jahanam. Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Kemudian turunlah Jibril kepada Rasulullah menerangkan tentang apa yang mereka tanyakan itu, seperti dalam ayat ke-30 ini.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al Muddassir Ayat 31


 

Tafsir Surah Al Muddassir Ayat 17-23

0
Tafsir Surah Al Muddassir
Tafsir Surah Al Muddassir

Tafsir Surah Al Muddassir Ayat 17-23 mengisahkan tentang al-Walid, dengan pikirannya al-Walid mendengar dan merenungi ayat Alquran yang didenganya, tetapi agar orang Quraisy tetap menyukainya. Allah mencela dan menyatakan bahwa kelak al-Walid akan celaka. 


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al Muddassir Ayat 14-16


Ayat 17

Dalam Tafsir Surah Al Muddassir Ayat 17-23 khususnya ayat ini, Allah menegaskan bahwa Dia akan memikulkan kepada al-Walid pendakian yang memayahkan. Maksudnya adalah Tuhan melemparkannya ke dalam neraka yang sangat dahsyat yang tidak ada sanggup ditahan sakitnya. Diibaratkan Allah bahwa kesukaran yang kelak dirasakan pada hari Kiamat diibaratkan seperti pendaki gunung yang disuruh memikul beban yang berat.

Dalam sebuah hadis diriwayatkan bahwa arti sha‘ud (pendakian) dalam ayat ini adalah sebagai berikut:

الصَّعُوْدُ جَبَلٌ مِنْ نَارٍ يَتَصَعَّدُ فِيْهِ الْكَافِرُ سَبْعِيْنَ خَرِيْفًا ثُمَّ يَهْوِىْ بِهِ كَذَلِكَ فِيْهِ أَبَدًا. (رواه أحمد والترمذي عن أبي سعيد)

Sa’ud adalah gunung api (di neraka) yang akan didaki oleh orang-orang kafir selama 70 tahun dan kemudian mereka (yang mendakinya) jatuh lagi ke bawah. Begitulah berulang-ulang untuk selama-lamanya. (Riwayat Ahmad dan at-Tirmidzi dari Abu Sa‘id)

Ada yang mengartikan sha‘ud itu dengan suatu azab yang kalau sudah menimpa seseorang, tidak akan pernah berhenti.

Ayat 18

Ayat ini menerangkan bahwa sesungguhnya al-Walid memikirkan dan memahami wahyu Allah yang telah didengarnya. Akan tetapi, dia berusaha pula hendak menyusun kata-kata sendiri dengan maksud hendak mencela apa yang ada dalam Al-Qur’an. Dia mereka-reka perkataan lain yang bersifat menentang Al-Qur’an, sehingga orang Quraisy merasa senang dengannya, merasa cocok keinginan mereka dengan al-Walid.

Ayat 19

Allah mengutuk al-Walid dengan kata-kata “celakalah dia, bagaimana dia menetapkan?” Terkutuklah al-Walid dan orang Quraisy yang berbuat seperti itu. Sehubungan dengan hal ini, Allah berfirman:

وَقَالَتِ الْيَهُوْدُ عُزَيْرُ ِۨابْنُ اللّٰهِ وَقَالَتِ النَّصٰرَى الْمَسِيْحُ ابْنُ اللّٰهِ ۗذٰلِكَ قَوْلُهُمْ بِاَفْوَاهِهِمْۚ يُضَاهِـُٔوْنَ قَوْلَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ قَبْلُ ۗقَاتَلَهُمُ اللّٰهُ ۚ اَنّٰى يُؤْفَكُوْنَ   ٣٠

Dan orang-orang Yahudi berkata, “Uzair putra Allah,” dan orang-orang Nasrani  berkata, “Al-Masih putra Allah.” Itulah ucapan yang keluar dari mulut mereka. Mereka meniru ucapan orang-orang kafir yang terdahulu. Allah melaknat mereka; bagaimana mereka sampai berpaling? (at-Taubah/9: 30)

Ayat 20

Maka celakalah al-Walid bagaimana dia menetapkan. Kata-kata ini diulang lagi oleh Allah. Begitu kerasnya kutukan Allah kepada al-Walid, karena dia telah menetapkan begitu saja bahwa apa yang diucapkan oleh Nabi Muhammad adalah sihir dan menuduh beliau sebagai tukang sihir, seperti disebutkan dalam ayat ke-24 di depan.

Ayat 21

Kemudian al-Walid memikirkan berulang-ulang kalau-kalau ada suatu kesalahan dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Ia juga berharap kalau-kalau ada ayat Al-Qur’an yang sesuai dengan keinginannya. Lalu dia teliti kembali boleh jadi ada titik kelemahan ayat yang dapat dijadikan senjata untuk mengkritik dan mencela Nabi Muhammad.

Ayat 22

Ayat ini mengungkapkan bahwa al-Walid bermasam muka dan cemberut karena gagal mencari kelemahan Al-Qur’an, dan tidak tahu lagi apa yang harus diucapkan untuk mencelanya. Hal ini merupakan isyarat bahwa al-Walid dan orang-orang yang ahli seperti dia sebenarnya dalam hati kecilnya telah mengakui kebenaran Nabi Muhammad. Hanya saja sikap keras kepalanya (kufur ‘inad) mendorongnya untuk mencaci dan mencela Nabi. Andaikata ia mantap pada keyakinannya akan kebenaran tersebut, tentu dia mendapat yang ia inginkan. Tidak mungkin dia berwajah cemberut yang melambangkan perasaan yang tidak puas.

Ayat 23

Ayat ini mengungkapkan bahwa al-Walid berpaling dari kebenaran dan menyombongkan diri dengan memalingkan muka dari menatap kebenaran tersebut. Sambil menunjukkan keangkuhannya, ia sama sekali tidak mau tunduk dan patuh kepada kebenaran yang dibawa Nabi Muhammad.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al Muddassir Ayat 24-30