Beranda blog Halaman 272

Memaknai Hari Raya Kurban: Membaca Kembali Surah Al-Kautsar Ayat 2

0
memaknai hari raya kurban
memaknai hari raya kurban

Idul Adha -seperti yang telah kita ketahui bersama- adalah salah satu hari besar atau hari raya dalam tradisi kaum muslimin. Sebenarnya, ia dirayakan untuk kaum muslimin yang telah selesai menunaikan ibadah haji. Ia adalah puncak dari seluruh prosesi ibadah tersebut. Namun, meskipun demikian, hari itu juga dirayakan oleh umat Islam dimanapun. Ia juga sering disebut sebagai hari raya kurban, yang secara harfiah kurban berarti dekat atau mendekatkan diri kepada Allah dengan menyembelih hewan kurban untuk dibagikan kepada kaum fakir miskin.

Pensyariatan berkurban tersebut dalam Al-Quran, salah satunya disampaikan Allah dalam Firman-Nya, surah al-Kautsar ayat 2, yang berbunyi;

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.”

Baca Juga: Surah Al-Hajj [22] Ayat 36-37: Dua Tujuan Ibadah Kurban

Imam al-Qurthuby dalam kitab tafsirnya al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an memaparkan beberapa pendapat mengenai apa yang dikehendaki dari perintah shalat, فَصَلِّ dan perintah menyembelih, وَانْحَرْ pada ayat kedua dari surah al-Kautsar tersebut. Berikut adalah pemaparan beliau:

Mengutip pendapat Imam adh-Dhohak dari Ibn Abbas, bahwasannya yang dimaksud dari perintah shalat فَصَلِّ pada ayat tersebut adalah, “Laksanakanlah shalat yang diwajibkan kepadamu (Shalat Fardhu lima waktu)”.

Sedangkan menurut Imam Qatadah, Atho’, dan Ikrimah, bahwasannya yang dimaksud perintah shalat فَصَلِّ pada ayat tersebut adalah shalat Idul Adha. Adapun yang dimaksud dari perintah menyembelih وَانْحَرْ pada ayat tersebut adalah menyembelih hewan kurban. (al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Juz 10, Hal. 444).

Kata “النحر” pada ayat tersebut, menurut pendapat yang paling banyak dipahami dengan menyembelih hewan kurban. Oleh sebab itu, ayat ini sering dijadikan sebagai dalil teologis ibadah kurban.

Sedang mengenai hukumnya, perintah berkurban dalam ayat di atas oleh Madzhab Syafi’i dihukumi sunah muakkad bagi orang muslim yang baligh, berakal, merdeka dan mampu. Hukum ini berbeda dengan Madzhab Hanafi yang menghukumi wajib.

Baca Juga: Surah Al-Hajj [22] Ayat 34: Berkurban Adalah Syariat Agama Samawi

Memaknai Kembali Hari Raya Kurban

Tradisi menyembelih hewan kurban dan makan daging kurban merupakan kegiatan utama dalam hari raya kurban. Namun, sedikit disayangkan, tidak sedikit di antara kalangan kita (umat Islam) yang mengganggap Idul Adha (hari raya kurban) hanya sebagai momen makan besar belaka, yang hampa makna, padahal ibadah kurban bukanlah peristiwa tanpa makna. Hari raya kurban memiliki banyak rahasia, pesan dan isyarat-isyarat berharga yang akan membukakan kesadaran baru bagi yang menghayatinya.

Syekh Ali Ahmad al-Jurjawy, dalam kitabnya yang berjudul Hikmah at-Tasyri wa Falsafatuhu, mencoba menguak makna tersirat dari pensyariatan ibadah kurban tersebut. Menurut beliau, pesan tersirat dari menyembelih kurban adalah;

  1. Mengikuti lelampah sang Khalilullah, Nabi Ibrahim yang menjalankan perintah Allah untuk menyembelih putranya, Ismail. Dengan ketabahan, ketegaran dan keimanan yang luar biasa, Nabi Ibrahim benar-benar melakukannya. Kemudian Allah menggantinya dengan domba yang besar.
  2. Menunjukkan ketaatan yang sempurna kepada Allah, bahkan jika Allah memerintahkan kita untuk menyembelih dan mengorbankan orang yang paling disayang. Dalam konteks kisah Nabi Ibrahim, yaitu putranya, Nabi Ismail.
  3. Bersyukur kepada Allah atas nikmat yang telah Allah berikan kepadanya, berupa kemampuan untuk menyembelih hewan kurban. Sebab dengan demikian, orang yang berkurban termasuk orang-orang yang bersedekah atas nikmat Allah, dan bukan termasuk golongan orang fakir.

Lebih jauh, dalam kitab Fiqh al-Manhaji  dipaparkan bahwa perintah berkurban merupakan wujud akan rasa solidaritas sosial-ekonomi yang dapat memperkuat tali persaudaraan antar individu umat Islam, karena dengan berkurban, kaum fakir miskin sedikit merasa terhibur dan terlipur laranya saat tiba hari raya kurban. Pun juga dapat menanamkan esensi dari bermasyarakat dan kasih sayang diantara hati mereka, karena menyembelih hewan sejatinya adalah simbol dari menyembelih sifat-sifat kebinatangan yang menyesatkan, yang sering kali tidak peka dan tidak peduli terhadap orang lain.

Satu lagi makna ibdaha kurban disampaikan seorang penafsir kontemporer, M. Rasyid Ridha. Ia menyatakan bahwa ibadah kurban melambangkan perjuangan kebenaran yang menuntut tingkat kesabaran, ketabahan dan pengorbanan yang tinggi, sebagaimana tersurat dalam kisah mulia Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail.

‘Ala kulli hal, selamat hari raya kurban, semoga ‘kurban-kurban’ kita diterima oleh Allah.   Wallahu a’lamu bishowab

Surah Al-Fajr Ayat 2: Waktu Utama Bersedekah di Bulan Dzulhijjah

0
surah Al-Fajr ayat 2_waktu utama bersedekah di bulan Dzulhijjah
surah Al-Fajr ayat 2_waktu utama bersedekah di bulan Dzulhijjah

Belum lama ini Ma‘had Aly Situbondo menyelenggarakan bahtsul masail virtual berjudul Dana Kurban Untuk Korban Covid-19. Sebagaimana judul yang diangkat, pertanyaan yang dikaji telah disusun sedemikian rupa untuk memberikan solusi finansial korban terdampak Covid-19. Tak dapat dipungkiri, Covid-19 memang telah memberikan dampak luar biasa, terutama di sektor perekonomian.

Jika membaca tulisan Muhammad Rafi berjudul Surah Al-Hajj [22] Ayat 36-37: Dua Tujuan Ibadah Kurban, ibadah kurban memiliki tujuan utama yang bersifat sosial, disamping tujuan lain bersifat ritual-spiritual. Dimensi sosial ini lah yang mungkin saja digadang-gadang mampu menjadi solusi bagi masalah finansial seperti dimaksudkan bahtsul masail di atas.

Namun jika berkenan membaca ayat yang lain, QS. Al-Fajr [89] khususnya ayat 2, dalam momen yang sama yakni spirit Hari Raya Idul Adha, solusi finansial sejatinya dapat dihadirkan jauh sebelum pelaksaan penyembelihan hewan kurban. Tepatnya sejak hilal menunjuk pada tanggal 1 bulan Dzulhijjah.

Baca Juga: Surah Al-Hajj [22] Ayat 34: Berkurban Adalah Syariat Agama Samawi

Tafsir surah Al-Fajr [89] ayat 2

Al-Fajr merupakan surah urutan ke 89 dalam tartib mushafi yang masuk dalam kategori surah makkiyah. Surah ini terdiri dari 30 ayat. Secara umum, surah ini berisi ‘ibrah kepada umat-umat terdahulu yang dikuatkan dengan sumpah (qasam) serta berisi peringatan Allah atas umat manusia terhadap pementingan aspek duniawi ketimbang kehidupan akhirat.

Meski masih diperdebatkan, isyarat terhadap konten atau amalan di bulan Dzulhijjah sendiri dapat dijumpai pada ayat kedua,

وَلَيَالٍ عَشْرٍ (2)

“Demi malam-malam yang sepuluh”

Ibn Jarir al-Thabariy dalam tafsirnya menyebutkan bahwa ada dua maksud dari malam-malam yang sepuluh ini, tetapi pendapat yang lebih kuat dan lebih banyak digunakan adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Pendapat ini sebagaimana disebutkan Wahbah al-Zuhailiy, berdasar pada hadis riwayat Imam Bukhari,

مَا مِنْ أَيَّام العَمَلُ الصَّالِحُ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ فِيْهِنَّ مِنْ هذِهِ الأَيَّامِ- يَعْنِي عَشْرُ ذِي الحِجَّةِ- قَالُوا: وَلَا الجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللَّهِ؟ قَالَ:وَلَا الجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللَّهِ، إِلَّا رَجُلًا خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ، ثُمَّ لَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذلِكَ بِشَيْء

“Tiada satu pun hari-hari yang amal kebaikan didalamnya lebih dicintai Allah ketimbang hari-hari lain –yakni sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah- Para sahabat bertanya, “Tidak pula jihad fi sabilillah?” Rasulullah menjawab: “Tidak pula jihad fi sabilillah, kecuali seseorang yang keluar dengan mengorbankan diri dan hartanya, lalu dia tidak kembali membawa apa pun.”

Ayat kedua ini termasuk dalam kategori ayat qasam atau ayat yang berisi sumpah. Di dalam Al-Qur’an sendiri terdapat begitu banyak ayat yang berisi qasam. Al-Suyuthiy dalam Al-Itqan-nya menyebutkan, kelaziman Al-Qur’an terhadap qasam merupakan implikasi diturunkannya Al-Qur’an dalam bahasa Arab. Sehingga struktur bahasa seperti qasam menjadi hal yang wajar dipergunakan.

Masih menurut Al-Suyuthiy yang menukil dari Abu al-Qasim al-Qusyairiy, penggunaan objek tertentu sebagai qasam setidaknya didasarkan pada adanya keutamaan (fadlilah) atau kemanfaatan objek (manfa‘ah). Dalam konteks QS. Al-Fajr [89] ayat 2 ini, aspek keutamaan agaknya lebih ditonjolkan dari pada sisi kemanfaatannya. Pertanyaannya sekarang, utama untuk apa?

Baca Juga: Nabi Muhammad Saw Gemar Berkurban Setiap Tahun

Keutamaan 10 Hari Pertama Bulan Dzulhijjah

Berdasar pada hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari sebelumnya dari Ibn ‘Abbas, semua bentuk amal kebaikan sejatinya utama dilakukan pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Hal ini sebagaimana ditunjukkan premis pertama dalam hadis, “ma min ayyamin al-‘amal al-shalih ahabb ila Allah”.

Namun demikian, diantara segala bentuk amal kebaikan yang ada, Rasulullah Saw. tampak memberikan perhatian khusus (takhshish) pada premis terakhir, dimana secara eksplisit beliau menyebut bersedekah sebagai amalan yang paling utama, hingga mengalahkan jihad fi sabilillah, “illa rajul kharaja bi nafsih wa malih”.

Selain berdasar pada hadis, keutamaan bersedekah sejatinya juga dapat dipahami dari keseluruhan rangkaian ayat-ayat QS. Al-Fajr. Wahbah al-Zuhailiy dalam tafsir Al-Munir-nya, pada chapter ayat 15-20, memberikan kesimpulan bahwa umat manusia telah melakukan kesalahan dengan menganggap bahwa pemberian rezeki merupakan bentuk pemuliaan Allah kepada mereka. Sebaliknya, penyempitan pintu-pintu rezeki merupakan bentuk penghinaan bagi mereka.

Padahal, maksud sejati dari pemberian rezeki adalah ujian (imtihan dan ikhtibar). Sehingga pemuliaan sesungguhnya terdapat pada bagaimana umat manusia mempergunakan rezeki yang telah diberikan. Dan lagi-lagi, kemuliaan sesungguhnya berujung pada unsur ketaatan setiap hamba. Itu sebabnya dalam rangkaian ayat selanjutnya, Allah memberikan kritik seraya berfirman,

كَلَّا بَلْ لَا تُكْرِمُونَ الْيَتِيمَ (17) وَلَا تَحَاضُّونَ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ (18) وَتَأْكُلُونَ التُّرَاثَ أَكْلًا لَمًّا (19) وَتُحِبُّونَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا (20)

“Sekali-kali tidak! Bahkan kamu tidak memuliakan anak yatim (17), dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin (18), sedangkan kamu memakan harta warisan dengan cara mencampurbaurkan (yang halal dan yang haram) (19), dan kamu mencintai harta dengan kecintaan yang berlebihan (20).”

Maka realitas masa yang disebut dalam sumpah QS. Al-Fajr [89] ayat 2 memberikan proporsi waktu yang ideal guna para hamba-Nya men-tasharuf-kan rezeki yang dimiliki untuk hal-hal yang semestinya, yang dalam masa pandemi ini boleh jadi menjadi sumbangan finansial bagi masyarakat terdampak Covid-19. Wallahu a‘lam bi al-shawab.

Catatan Kritis Mun’im Sirry terhadap Sumber tentang Kanonisasi Al-Qur’an

0
Mun'im Sirry
Mun'im Sirry

Dalam buku Kontroversi Islam Awal Mun’im Sirry memberi catatan kritis mengenai sumber proses pengumpulan wahyu menjadi Kitab Suci tertulis terutama di era Sahabat. Ia memperlihatkan adanya kontradiksi antar riwayat-riwayat tentang proses penulisan wahyu.

Mun’im Sirry adalah pangajar di Departemen Teologi dan peneliti pada Kroc Institute forInternational Peace Studies, University of Notre Dame, Amerika Serikat. Ia adalah alumnus Pondok Pesantren TMI Al-Amien, Prenduan-Madura. Kemudian lanjut S1 dan S2 di International Islamic University Islamabad (IIUI), Pakistan dan University of California Los Angeles (UCLA), Amerika Serikat. Memperoleh gelar PhD dalam bidang studi Islam di Divinity School, University of Chicago.

Catatan kritis yang dimaksud Mun’im Sirry bukan dalam rangka mengkritisi Al-Qur’an, melainkan mengkritisi sumber-sumber yang disajikan oleh para ulama tentang sejarah Al-Qur’an. Ia menyampaikan bahwa kritik-mengkritik dalam studi Islam diarahkan untuk mencairkan kajian sejarah Al-Qur’an. Sehingga kajian Islam tidak berhenti pada ranah dogmatis (keimanan), tetapi dibahas juga secara ilmiah.

Kanonisasi Al-Qur’an

Sebelum memaparkan catatan-catatan kritis Mun’im Sirry, secara ringkas akan dijelaskan mengenai sejarah Al-Qur’an yang diutarakan oleh ulama tradisional dan yang diyakini oleh mayoritas muslim selama ini. Dalam sejarahnya, Al-Qur’an dinyatakan telah ditulis sejak era Nabi Muhammad SAW.

Namun, Al-Qur’an baru dihimpun dan dikumpulkan dalam satu mushaf beberapa tahun setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Mayoritas ulama mengatakan bahwa Al-Qur’an telah dihimpun dalam satu mushaf pada era khalifah pertama, Abu Bakar. Saat itu, karena banyak sahabat yang hafal Al-Qur’an (hafiz) gugur dalam perang Yamamah, Umar bin Khattab mengusulkan agar Al-Qur’an segera dibukukan.

Usulan Umar bin Khattab tersebut, dengan segala dinamikanya, kemudian disetujui oleh Abu Bakar. Ini mengatasi kekhawatiran Umar dan sahabat lainnya tentang kemungkinan Al-Qur’an “terlupakan” –karena gugurnya sahabat penghafal Al-Qur’an.

Baca Juga: Pengumpulan Al-Quran dan Kisah Diskusi Alot Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit

Zaid bin Tsabit, salah seorang penulis wahyu pada zaman Nabi Muhammad SAW, dipercaya untuk memulai pengumpulan Al-Qur’an. Namun, beberapa lama kemudian terutama ketika wilayah kekuasaan muslim semakin meluas, ternyata muncul masa lain. Berbagai kelompok muslim membaca Al-Qur’an dengan bacaan berbeda-beda, yang kerap menimbulkan konlfik internal di kalangan muslim sendiri.

Dari sini, pada era khalifah ketiga, Utsman bin Affan, kemudian dibentuk komisi untuk menyatukan bacaan Al-Qur’an. Mushaf masa khalifah Utsman inilah yang kita kenal dan pegang sekarang ini, yang dikenal dengan rasm Utsmani.

Catatan Kritis Mun’im Sirry

Mun’im Sirry menilai bahwa proses kanonisasi Al-Qur’an di atas memunculkan beberapa problem jika mengacu pada riwayat yang diterima tentang sumber-sumber yang menjadi dasar pengumpulan Al-Qur’an. Dari berbagai riwayat, disebutkan bahwa pengumpulan atau kanonisasi Al-Qur’an didasarkan pada sumber tertulis dan hafalan sekaligus.

Beberapa sahabat disebutkan memiliki catatan tersendiri. Meskipun demikian, catatan-catatan tersebut tidak serta merta diterima dan dimasukkan ke dalam mushaf resmi, melainkan harus didukung oleh dua saksi yang memberikan kesaksian lisan. Keterangan ini dan yang serupa dengannya didapatkan, misalnya, dari As-Suyuthi dalam kitabnya, Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an.

Keterangan As-Suyuthi disampaikan secara jujur dan apa adanya, yang menurut Mun’im Sirry, sekalipun di dalam keterangan As-Suyuthi tersebut terjadi pertentangan satu riwayat dengan riwayat lainnya. Bahkan riwayat-riwayat yang menyangkut persoalan sangat mendasar, seperti apa yang dimaksud “dua saksi” juga terdapat pertentangan satu riwayat dengan lainnya.

Lebih jauh, Mun’im Sirry mengatakan bahwa jika diamati secara cermat terhadap riwayat-riwayat seputar kanonisasi dan kodifikasi Al-Qur’an, kita akan sampai pada kesimpulan yang tidak konklusif. Sebagaimana dicatat oleh As-Suyuthi dalam kitab al-Iqan-nya dan penulis lainnya seperti Ibnu Abi Daud Al-Sijistani dalam kitab Al-Mashahif. Di sana diperlihatkan berbagai riwayat yang mengandung banyak kontradiksi dan inkonsistensi.

Misalnya, riwayat yang umum diterima adalah bahwa Abu Bakar memerintahkan kanonisasi dan kodifikasi Al-Qur’an atas inisiatif Umar bin Khattab, tetapi riwayat lain ada yang menyebutkan bahwa Umarlah yang memuli kodifikasi Al-Qur’an. Terjemahan riwayat tersebut dari Abdullah bin Faddalah, yang berbunyi:

“Ketika Umar memutuskan untuk mengumpulkan Al-Qur’an, ia mengangkat koleganya untuk mewakilinya, dan berkata ‘Apabila kalian berbeda pendapat, tuliskan dalam dialek suku mudra, karena sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan kepada seorang dari suku Mudar”.

Abu Ishaq juga meriwayatkan, yang terjemahannya, bahwa “ketika Umar mengumpulkan teks (Al-Qur’an), ia bertanya: ‘Siapa orang yang paling ahli dalam bahasa Arab?’ Mereka merujuk kepada Sa’id bin Al-‘Ash. Umar pergi menemui Sa’id dan berkata: ‘Siapa penulis yang paling baik di antara orang-orang?’ Sa’id menjawab: ‘Zaid bin Tsabit’. Kemudian Umar berkata: ‘Kalau begitu, silakan Sa’id mendikte dan Zaid menuliskannya.’ Mereka pun membuat empat naskah Al-Qur’an dan dikirimkanke Kufah, Basrah, Suriah, dan Hijaz”.

Dua riwayat tersebut tidak terdapat nama Abu Bakar. Bahkan, menurut Mun’im Sirry, dalam riwayat-riwayat yang merujuk kepada Abu Bakar sebagai seorang pembuat kebijakan pembukuan Al-Qur’an, terdapat perbedaan tentang siapakah yang ditugasi menuliskan teks Al-Qur’an. Pada umumnya, Zaid disebut orang yang menulis Al-Qur’an, tetapi riwayat lain mengatakan bahwa Abu Bakar sendirilah yang menulis Al-Qur’an, sementara Zaid diminta meneliti hasil Abu Bakar tersebut.

Baca Juga: Mengenal Mushaf Pra-Utsmani (1): Sejarah Awal Mula Penulisan Mushaf dan Klasifikasinya

Menurut Mun’im Sirry bahwa beberapa riwayat yang bertentangan sangat sulit direkonsiliasi. Misalnya, tentang perbincangan yang melibatkan Umar, Sai’d dan Zaid, sebagaimana yang dikemukakan di atas. Dalam riwayat Mas’ad bin Sa’ad, ternyata bukan Umar yang berinisiatif melakukan pembukuan Al-Qur’an, melainkan Usman bin Affan. Anehnya, dialog Usman dengan Sa’id dan Zaid sama persis dengan yang dikatakan umar.

Pada akhir dialog, Usman berkata: “Kalau begitu, silakan Sa’id mendikte dan Zaid menuliskannya”. Dari sini, Mun’im Sirry mengajukan pertanyaan kritis bahwa Apakah Usman menggunakan naskah yang dihimpun pada zaman Abu Bakar? Pertanyaan ini didiskusikan secara panjang lebar oleh Mun’im Sirri dalam bukunya. Namun, penulis cukupkan sampai di sini, minimal, sebagai bahan refleksi kita terhadap sumber-sumber sejarah Al-Qur’an yang kita terima. [] Wallahu A’lam.

Jawaban Jin Ketika Mendengar Kalimat ‘Fabiayyi Alaa-i Robbikuma Tukadzdziban’ dalam Surah Ar-Rahman

0
Kalimat ‘Fabiayyi Alaa-i Robbikuma Tukadzdziban’ dalam Surah Ar-Rahman
Kalimat ‘Fabiayyi Alaa-i Robbikuma Tukadzdziban’ dalam Surah Ar-Rahman

Dalam surah Ar-Rahman setelah menyebutkan satu persatu nikmat dan anugerah yang telah diberikan kepada jin dan manusia, Allah bertanya (istifham taqriri) dengan kalimat Fabiayyi Alaa-i Robbikuma Tukadzdziban yang ada pada surah ar-Rahman :

فَبِاَيِّ اٰلَاۤءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبٰنِ

Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

Ayat satu ini terbilang unik. Bagaimana tidak, ayat ini diulang sampai 31 kali dalam satu surat dengan redaksi yang sama persis. Ini juga menunjukkan salah satu kemukjizatan Al-Qur’an. Satu kalimat diulang-ulang, tanpa terasa membosankan saat membaca atau mendengarnya. Beda dengan selain Al-Qur’an, bayangkan ada orang yang berbicara kepada anda dengan perkatan yang sama persis dan diulangi 31 kali. Kira-kira apa yang anda rasakan?

Baca juga: Al-Qur’an dan Realitas Sosial: Membincang Makna Adil dalam Islam

Sehingga terbukti gubahan syair yang dinisbatkan kepada Ibn ‘Iraq Ad-Dimasyqi sebagaimana dalam Syadzarotudz Dzahab Fi Akhbari Man Dzahab (X/277) berikut ini:

كَلَامٌ قَدِيْمٌ لَّا يُمَلُّ سَمَاعُهُ # تَنَزَّهَ عَنْ قَوْلٍ وَفِعْلٍ وَنِيَّةِ

Al-Qur’an adalah kalamullah yang qadim yang tidak ada kebosanan untuk didengarkan, yang disucikan dari ucapan, perbuatan dan kehendak

Pengulang ini bertujuan untuk memperkuat dan memperingatkan nikmat-nikmat-Nya, karena ada sebagian makhluk, baik dari bangsa jin maupun manusia yang mendustakan dengan menyembah selain Allah. Adanya mereka mempersekutukan Allah itu bukti pendustaan mereka terhadap Tuhan mereka, karena orang yang bersyukur tentu akan menyembah yang memberikan nikmat-nikmat tersebut.

Jawaban Jin Ketika Merespon Pertanyaan Allah Swt

Saat Nabi Muhammad SAW membacakan surat Ar-Rahman kepada para sahabat, mereka terdiam, tidak ada respon jawaban, Oleh karena itu, Nabi menyindir mereka dengan membandingkan respon jawaban bangsa jin ketika dibacakan surat ini, khususnya melewati ayat di atas. Bagaimana respon jawabannya?

Dalam Tafsir Jalalain disebutkan sebuah riwayat dari sahabat Jabir RA, sebagai berikut:

قَالَ قَرَأَ عَلَيْنَا رَسُوْلُ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُورَةَ الرَّحْمَنِ حَتَّى خَتَمَهَا ثُمَّ قَالَ مَالِيْ أَرَاكُمْ سُكُوْتًا لَلْجِنُّ كَانُوْا أَحْسَنَ مِنْكُمْ رَدًّا مَا قَرَأْتُ عَلَيْهِمْ هَذِهِ الْآيَةَ مِنْ مَرَّة فَبِاَيِّ اٰلَاۤءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبٰنِ إِلَّا قَالُوْا وَلَا بِشَيْءٍ مِنْ نِعَمِكَ رَبَّنَا نُكَذِّبُ فَلَكَ الْحَمْدُ

Rasulullah SAW membacakan kepada kita surat Ar-Rahman sampai selesai. Kemudian beliau berkata: Mengapa kalian saya lihat kok diam saja? Sungguh Bangsa Jin respon jawabannya lebih baik dari pada kalian. Saya tidak membacakan kepada mereka ayat ini dari mulai “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” kecuali mereka menjawabnya: Tak ada satupun dari nikmat-nikmat-Mu yang kami dustakan Wahai Tuhan kami, Segala Pujian hanya milik-Mu.

Baca juga: Salat dan Amar Makruf Nahi Mungkar, Adakah Kaitannya? Simak Tafsirnya

Selain itu, dalam Tafsir Ad-Durul Mantsur (VII/690), Imam Suyuthi mengutip riwayat dari Ibnu Umar RA, sebagai berikut:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ سُوْرَةَ الرَّحْمنِ عَلَى أَصْحَابِهِ فَسَكَتُوْا فَقَالَ: مَا لِيْ أَسْمَعُ الْجِنَّ أَحْسَن جَوَابًا لِرَبِّهَا مِنْكُمْ مَا أَتَيْتُ عَلَى قَوْلِ اللهِ فَبِاَيِّ اٰلَاۤءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبٰنِ إِلَّا قَالُوْا: لَا شَيْءَ مِنْ آلَائِكَ رَبَّنَا نُكَذِّبُ فَلَكَ الْحَمْدُ

Sungguh Rasulullah SAW telah membacakan surat Ar-Rahman kepada para sahabatnya, mereka terdiam. Kemudian beliau berkata: “Mengapa aku mendengar jin lebih baik dari pada kalian dalam hal jawabannya kepada Tuhannya?” Tidak aku baca firman ِ Allah, Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” kecuali mereka menjawabnya: Tak ada satupun dari nikmat-nikmat-Mu yang kami dustakan Wahai Tuhan kami, Segala Pujian hanya milik-Mu.

Dua riwayat di atas inti jawaban dari bangsa jin sama, hanya saja yang pertama menggunakan redaksi النِّعَم bentuk jamak dari kata النِّعْمَة, sedangkan yang kedua dengan redaksi آلَاء jamak dari اْلإِلَى dan  اْلإِلْيُyang artinya sama, yaitu kenikmatan.

Baca juga: Tafsir Surat Ibrahim Ayat 7: Cara Menghilangkan Sikap Insecure

Respon jawaban semacam ini tentu sangat penting. Kenapa? Karena, bayangkan saja saat anda mengajak berbicara orang lain. Kemudian yang diajak bicara tersebut datar-datar saja, tanpa berkata apapun, kira-kira apa yang anda rasakan? Nah, di ayat ini Allah SWT sedang mengajak kita berbicara, tentu selayaknya kita harus merespon dengan menjawab pertanyaannya, tidak malah terdiam seribu kata.

Oleh karena itu, belajar dari respon jawaban jin yang telah ditetapkan Rasulullah SAW sebagaimana di atas, Syekh Nawawi Al-Bantani dalam tafsirnya Marah Labid (II/476) menyebutkan, disunnahkan bagi orang yang mendengar ayat ini menjawab dengan mengatakan:

وَلَا بِشَيْءٍ مِنْ نِعَمِكَ رَبَّنَا نُكَذِّبُ فَلَكَ الْحَمْدُ

Dengan demikian, maksud utama Al-Qur’an berupa mentadabburi dan memahami isinya dapat tercapai. Karena, dia merasa sedang diajak bicara oleh Tuhannya, sehingga dia menjawab apa yang ditanyakan oleh-Nya. Apalagi kontek ayat ini sedang menanyakan dalam rangka menetapkan dan mengingatkan nikmat-nikmat yang telah diberikan oleh-Nya, tentu yang paling tepat adalah menjawabnya sebagai bentuk pengakuan. Semoga Allah memaafkan dan memaklumi sikap kita yang saat ditanya malah diam saja. Amin…

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 45-46: Menguak Makna Eksoteris dan Esoteris Ayat Khusyuk

0
Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 45-46: Menguak Makna Eksoteris dan Esoteris Ayat Khusyuk
Surah Al-Baqarah Ayat 45-46

Al-Qur’an banyak menyinggung kata khusyuk dalam beragam derivasinya. Berdasarkan data dalam kitab Al-Mu’jam Al-Mufahras li Ma’ani al-Qur’an al-Adhim, karya Muhammad Bassam Rusydi al-Zayn, terdapat 16 ayat yang menggunakan akar kata yang sama dengan kata khusyuk. Dari jumlah itu, tujuh di antaranya berbicara mengenai khusyuknya orang-orang mukmin tatkala masih di dunia. Sementara sisanya memakai term khusyuk dalam konteks eskatologis dan benda mati. Tulisan ini akan mengulas salah satu dari tujuh ayat tersebut, yakni surah Al-Baqarah ayat 45-46 baik secara eksoteris maupun esoteris;

 وَاسْتَعِيْنُوْا بِالصَّبْرِ وَالصَّلٰوةِ ۗ وَاِنَّهَا لَكَبِيْرَةٌ اِلَّا عَلَى الْخٰشِعِيْنَۙ

“Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat. Dan (salat) itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.”

 الَّذِيْنَ يَظُنُّوْنَ اَنَّهُمْ مُّلٰقُوْا رَبِّهِمْ وَاَنَّهُمْ اِلَيْهِ رٰجِعُوْنَ ࣖ

“(yaitu) mereka yang yakin, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.”

Penafsiran Eksoteris Surah Al-Baqarah Ayat 45-46

Makna literal dari ayat ini adalah, mohonlah pertolongan kepada Allah dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan kalian dengan bersabar. Ismail Haqqi, seorang mufasir asal Brousse, Turki, menjelaskan maksud dari ayat ini, bahwa dalam menunggu tercapainya keinginan, hendaknya dengan bertawakal kepada Allah Ta’ala. Sabar dalam surah Al-Baqarah ayat 45-46 ini bisa dimaknai dengan berpuasa, yang merupakan upaya menahan diri dari segala hal yang bisa membatalkan puasa, karena puasa merupakan usaha memutus syahwat (kasr asy-syahawaat) dan membersihkan jiwa.

Selain bersabar, memohon pertolongan Allah juga hendaknya dengan melakukan salat. Artinya, bertawasul-lah kepada Allah Ta’ala dalam memohon pertolongan melalui sabar dan salat, agar kalian segera memperoleh pemenuhan kebutuhan dan terhindar dari musibah. Diriwayatkan dari sahabat Abd al-Aziz bin al-Yaman, bahwa ketika Nabi disusahkan dengan suatu hal, Nabi bergegas melaksanakan salat.

QS. Al-Baqarah ayat 45-46 ini juga menjelaskan bahwa sabar dan salat merupakan sesuatu yang berat (kabirah), kecuali bagi orang-orang yang khusyu’. Yakni orang-orang yang tunduk (mukhbitiin), dan takut (kha’ifiin) kepada Allah Ta’ala. Khusyu’ diartikan untuk anggota badan (al-jawaarih) sedangkan khudlu’ diartikan untuk hati (al-qalb). Bisa juga diartikan khusyu’ berkaitan dengan pandangan, sedangkan khudlu’ dalam kaitannya anggota badan yang lain.

Orang-orang yang khusyu’ tidak merasa berat dalam sabar dan salat, karena dalam dua kondisi tersebut mereka telah merasa dekat dengan Allah, Tuhan yang mereka cintai, sehingga tidak ada rasa capek, bosan  ataupun malas. Karena pada saat itulah mereka sedang bermunajat dengan Rabb-Nya. Hal ini sebagaimana terjadi dan dialami oleh Nabi Muhammad saw. Nabi pernah mengatakan sebagaimana yang diriwayatkan dari Anas dalam Musnad Ahmad, “waju’ilat qurratu ‘ayni fi al-shalah” (Kebahagiaanku adalah ketika aku melakukan salat). Nabi merasa tenang dan nyaman serta bahagia justru ketika beliau salat, karena salat merupakan masa atau waktu di mana beliau istirahat (raahatan) dari kesibukan-kesibukan duniawi yang melelahkan.

Pada ayat selanjutnya, dijelaskan bahwa orang-orang yang khushu’ (alkhasyi’in) adalah mereka yang meyakini bahwa mereka kelak akan bertemu Tuhan. Kalimat (yadhunnuuna) artinya adalah yuqiinuun (mereka yang meyakini), karena kata “al-dhanna” bisa bermakna “yaqin” (yakin) dan juga bermakna “ syakk” (ragu), sebagaimana kata “ar-rajaa’” (harapan) bisa bermakna “aman” (aman) dan “khawfan”(takut) sekaligus.

Sedangkan kalimat “annahum mulaaquu rabbihim” merupakan sebuah kinayah (kiasan) tentang kesadaran suatu penyaksian (syuhuud) akan hari ditampakkannya amal perbuatan manusia ketika di dunia dan pertanyaan-pertanyaan kelak di hari kiamat. Pendapat lain mengatakan, bahwa makna kata “yadhunnuuna” adalah “ya’lamuuna”, yakni orang-orang yang mengetahui bahwa mereka kelak akan sampai pada kematian. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw. dalam hadis sahih riwayat Imam Muslim:

“مَنْ أَحَبَّ لِقَاءَ اللهِ أَحَبَّ اللَّهُ لِقَاءَهُ ، وَمَنْ كَرِهَ لِقَاءَ اللهِ كَرِهَ اللَّهُ”

“Barang siapa senang bertemu Allah, maka Allah akan senang bertemu dengannya. Dan barang siapa tidak senang bertemu Allah, maka Allah juga tidak senang bertemu dengannya.”

Isma’il Haqqi menjelaskan satu makna isyari, bahwa yang dimaksud oleh Nabi dengan ungkapan hadis ini adalah kematian (al-mawt). Sedangkan yang dimaksud dengan “wa annahum ilayhi raaji’uun” adalah, mereka mengetahui bahwa kelak pada hari kiamat akan kembali kepada Allah Ta’ala. Yakni, kembali kepada-Nya untuk mendapatkan balasan dari amal perbuatannya saat di dunia. Oleh karena itu, orang-orang yang tidak mengharapkan pahala dan tidak pula takut siksa, akan merasa berat dalam menjalankan salat, seperti yang terjadi pada orang-orang munafik dan orang-orang yang pamer.

Sabar terhadap kesulitan dan sabar dalam menjalani ketaatan merupakan salah satu bentuk jihad an-nafs, yakni memerangi hawa nafsu, dan mengekangnya dari syahwat. Ini adalah perilaku para nabi dan orang-orang yang saleh. Yahya bin al-Yaman mengatakan, sabar adalah tidak mengharapkan keadaan lain, kecuali apa yang telah ditetapkan oleh Allah ta’ala, serta rela dengan ketetapan-ketetapan Allah, baik hal yang berkaitan dengan dunia maupun akhirat. Sabar itu seperti kepala dalam satu tubuh (bi manzilat al-ra’s min al-jasad).

Baca juga: Jadikan Sabar Dan Sholat Sebagai Penolongmu! Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 45

Penafsiran Esoteris: Khusyuk Sebagai Bentuk “Tajalli”

Seorang mufasir cum sufi, al-Imam al-Qusyairi, memberikan penafsiran yang menarik terkait sabar dan salat dalam surah Al-Baqarah ayat 45-46 di atas. Menurutnya, sabar dalam ayat tersebut, secara isyari, bisa dimaknai sebagai “menyendiri dan menjauh dari khalayak ramai”, sedangkan salat adalah simbol atau isyarat dari “selalu merasa dekat dengan Tuhan”.

Memohon pertolongan kepada Allah dengan sabar dan salat (dalam konteks makna isyari di atas) adalah sesuatu yang amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah mengalami fase tajalli (ketersingkapan penghalang antara hamba dan Tuhan). Tajalli hanya bisa dicapai oleh mereka yang telah mampu mencapai fase khusyuk dalam ibadah.

Untuk menguatkan pemahamanya ini, al-Qusyairi mengutip satu riwayat hadis  yang berbunyi:

“إن الله تعالى إذا تجلَّى لشيءٍ خشع له”

(Sesungguhnya tatkala Allah ber-tajalli kepada sesuatu, maka ia akan “khusyu” kepadaNya).

Dengan demikian, khusyuk hanya akan diperoleh oleh mereka yang telah bertajalli. Ini sesuai dengan penjelasan sebelumnya, tentang apa yang dialami Nabi Muhammad saw. Bahwa beliau merasakan kebahagiaan tatkala salat, karena pada saat itulah beliau berada dalam fase tajalli, kondisi ketika ‘jarak’ beliau dan Allah sangat dekat. Pendeknya, khusyuk adalah salah satu bentuk tajalli, atau dalam kata lain, al-khasyi’iin (orang-orang yang khusyuk) adalah al-mutajalliin (orang-orang yang sedang tajalli).

Baca juga: Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 45-46: Khusyuk dalam Al-Quran

Tafsir Surah Ali ‘Imran Ayat 54: Belajar Mewaspadai Makar dari Kisah Nabi Isa

0
Tafsir Surah Ali ‘Imran Ayat 54: Belajar Mewaspadai Makar dari Kisah Nabi Isa
Surah Ali ‘Imran Ayat 54

Makar, sebuah kata yang diserap dari bahasa Arab dan telah menjadi kosa kata umum dalam bahasa Indonesia. Kata ini seringkali digunakan pada suatu perbuatan yang dilakukan seseorang untuk menjatuhkan pemerintahan yang sah dalam sebuah negara. Jika ditinjau secara bahasa Indonesia, makar berarti akal busuk atau tipu muslihat, perbuatan yang bermaksud untuk menyerang atau membunuh orang dan dapat pula diartikan usaha untuk menggulingkan pemerintahan yang sah (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, 879).

Makar dalam bahasa Arab diambil dari kata makarayamkurumakran yang berarti tipu daya atau khid’ah (Mujamma’ al-Lughat al-‘Arabiyyat, Mu’jam al-Wasit, Cet 4, 881). Menurut Rohi al-Ba’albaki dalam kamus Al-Mawrid kata makrun diartikan dengan Sly, Cunning, Wily, Crafty, Vulpine. Jika dibaca makara, maka berarti try to deceive.

Makar dengan segala kata turunannya terdapat dalam al-Qur`an dengan jumlah 41 kata (M. Fuad ‘Abd al-Baqi, al-Mu`jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur`an al-Karim, 671). Kata ini salah satunya terdapat pada surah Ali ‘Imran ayat 54 berikut:

وَمَكَرُوْا وَمَكَرَ اللّٰهُ ۗوَاللّٰهُ خَيْرُ الْمٰكِرِيْنَ ࣖ

Mereka (orang-orang kafir) membuat tipu daya, maka Allah pun membalas tipu daya. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya. (QS. Ali ‘Imran (3): 54).

Baca juga: Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 51-55

Makar pada masa Nabi Isa as.

Apabila meninjau hubungan antara surah Ali ‘Imran ayat 54 di atas dengan ayat-ayat sebelumnya terkait dengan kisah Nabi Isa as. yang ketika itu dimusuhi oleh kaumnya serta menjadi buronan pemerintahan imperial Romawi atas Nazareth. Bukan hanya oleh pihak eksternal yang memusuhi Nabi Isa as., bahkan dari kalangan al-Hawariyyun atau pengikut putra Maryam ini terdapat musuh dalam selimut. Sehingga ketika Nabi Isa direncanakan untuk ditangkap dan dibunuh, Allah Swt. pun membongkar konspirasi yang dilakukan oleh para musuh-Nya.

Ketika akan ditangkap oleh pasukan Romawi dengan bantuan seorang pengkhianat, Allah Swt. menyerupakan wajah pengkhianat tersebut dengan Nabi Isa hingga akhirnya pengkhianat tersebut lah yang ditangkap dan disalib. Sedangkan Nabi Isa as. diangkat ke langit oleh Allah Swt. Sebagaimana yang diterangkan pada ayat selanjutnya (Abu Ja’far al-Tabari, Jami’ al-Bayan ‘an Ta`wil Ay al-Qur`an, Jilid 2, hal. 264).

Wahbah al-Zuhaili pun menjelaskan hikmah dari surah Ali ‘Imran ayat 54 di atas dengan mengambil ibrah dari kisah Nabi Isa as. bersama kaum al-Hawariyyun dalam mendakwahkan risalah Ilahi kepada kaumnya. Kemudian terjadi permusuhan keras dari kalangan Yahudi hingga terjadi rencana penangkapan, juga pembunuhan terhadap Nabi Isa as. beserta para pengikutnya. Pembunuhan tersebut bukan saja pembunuhan fisik, tetapi juga pembunuhan karakter terhadap Nabi Isa as. terlebih ketika beliau dihadapkan pada situasi penjajahan imperial Romawi di negerinya yang menjadikan tantangan dakwahnya lebih besar.

Senada dengan al-Tabari yang menyatakan bahwa Allah Swt. menyelamatkan Nabi Isa as. dan pengikutnya dari segala tipu daya, juga spionase yang dilakukan oleh penentang dakwah Nabi Isa as. dengan adanya penyerupaan wajah salah seorang pengkhianat dengan wajah sang Nabi. Al-Zuhaili pun menambahkan bahwa kisah ini menjadi penguat bagi keimanan seseorang untuk terus menyuarakan kebenaran walau terdapat sejumlah tantangan dan risiko (Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir fi al-’Aqidah wa al-Shari’ah wa al-Manhaj, Juz 3, hal 264-265).

Baca juga: Tafsir Ahkam: Konsep Bughat (Pemberontakan) dalam Penafsiran al-Quran

Praktik makar dalam konteks sekarang

Surah Ali ‘Imran ayat 54 di atas jika dikontekstualisasikan dengan kehidupan sehari-hari dapat kita ambil pelajaran berkenaan dengan kewaspadaan terhadap orang-orang munafik yang bisa jadi merupakan musuh dalam selimut. Seyogianya dalam sebuah konflik bukan hanya waspada terhadap musuh yang nampak di depan, tetapi musuh yang tidak tampaklah yang lebih patut dicurigai. Karena mereka lah yang dapat menusuk seseorang dari arah yang tidak disangka.

Begitu pula dalam konteks kenegaraan, juga kebangsaan Indonesia. Hendaknya pemerintah lebih mewaspadai segala hal yang dapat mengarah pada upaya subservif. Berkaca dari sejarah perjalanan bangsa ini yang penuh dinamika. Pasca revolusi fisik selama 4 tahun sejak era 1950-an, bangsa menghadapi berbagai cobaan yakni adanya gerakan-gerakan pemberontakan bersenjata.

Berawal dari Peristiwa PKI 1948 di Madiun dengan tokohnya, Musso; DI/TII dengan tokohnya SM. Kartosuwirjo; lalu berlanjut kepada APRA dengan tokohnya Raymond Westerling hingga prahara 1965.

Bukan hanya itu saja konflik yang terjadi dalam tubuh bangsa ini. Berbagai konflik berikutnya seperti Konflik Ambon, Sampit, Poso dan lain-lain turut serta memberikan pelajaran bagi kita semua. Tak hanya pemerintah, tetapi semua anak bangsa harus mewaspada berbagai hal yang dapat mengarah pada makar. Maka, hendaknya memperkuat nilai-nilai keagamaan yang moderat juga toleran serta paham ideologi kebangsaan juga kemanusiaan. Wallahu a’lam bisshawab.

Baca juga: Tafsir Surat Al-An’am Ayat 108: Pentingnya Tindakan Preventif dalam Bersikap

Membaca Al-Qur’an sebagai Fenomena Resepsi dalam Kehidupan Sehari-hari

0
Membaca Al-Qur'an
Membaca Al-Qur'an

Dalam kahidupan umat Islam, sangat banyak ditemukan berbagai bentuk resepsi Al-Qur’an, baik dilakukan perkelompok maupun secara individu. Bentuk resepsi tersebut direkam pada kajian Abdullah Saeed dalam bukunya, the Qur’an: an Introduction (2008). Sekalipun hanya berkisar pada resepsi membaca Al-Qur’an (dengan melihat mushaf atau hafalan), tetapi di dalamnya melibatkan berbagai aspek sosial yang kemudian menjadikannya sebagai tradisi dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut Abdullah Saeed bahwa semua bentuk praktik tersebut merupakan bentuk penghormatan kepada Al-Qur’an sebagai Kalamullah, dan karenanya disebut sebagai Kitab yang sakral. Dengan paparannya ini, kajian Abdullah Saeed ini menarik dibahas dalam kaitannya dengan diskursus Studi Al-Qur’an terkait interaksi umat Islam dengan Al-Qur’an, atau dikenal sebagai kajian Resepsi-Living Qur’an.

Tradisi Membaca Al-Qur’an

Abdullah Saeed mengatakan bahwa umat Islam membaca, setidaknya, satu surah setiap melaksanakan shalat lima waktu. Bacaan Al-Qur’an lainnya dalam shalat biasanya berupa beberapa ayat, surah pendek, atau terkadang surah panjang untuk waktu-waktu tertentu.

Membaca Al-Qur’an yang diyakini sebagai bagian/bentuk ibadah telah berlangsung sejak lama, dan membentuk sebuah tradisi dalam sejarah yang sudah sangat panjang. Letak ibadahnya tidak hanya karena saat shalat, tetapi dengan sendirinya adalah ibadah. Ini diyakini berdasarkan dalil-dalil, misalnya, dalam QS. Al-Isra’: 106, QS. Al-Muzzammil: 20, serta hadis yang memerintahkan “Percantiklah Al-Qur’an dengan suaramu”.

Baca Juga: Tafsir Ahkam : Apakah Boleh Membaca Al-Qur’an dengan Dilanggamkan Atau Dilagukan?

Dalam sejarah, tradisi membaca Al-Qur’an telah ditemukan sejak awal Islam. Nabi Muhammad SAW sendiri senantiasa membaca seluruh Al-Qur’an setidaknya sekali dalam setahun, terutama selama bulan Ramadhan. Tradisi ini terus berlanjut dari era sahabat, tabi’in hingga sekarang. Dengan kata lain, Ramadhan menjadi waktu tradisi membaca seluruh Al-Qur’an. Pada bulan ini, Al-Qur’an senantiasa dikhatamkan oleh ribuan kelompok dan individu di berbagai belahan dunia.

Selanjutnya, Abdullah Saeed mengatakan bahwa di berbagai komunitas Muslim, orang-orang sering membaca Al-Qur’an sebagai bagian praktik keagamaan pribadi mereka. Banyak juga anak kecil yang telah membaca dan menghafal Al-Qur’an sejak usia dini. Terdapat tradisi berupa perayaan bagi mereka, biasanya untuk anak kecil, yang mengkhatamkan Al-Qur’an. Perayaan ini umum ditemui, baik skala keluarga, sekolah, maupun skala masyarakat secara umum.

Di sisi lain, orang-orang yang menghafal Al-Qur’an, disebut hafiz, kerapkali mendapat hak istimewa di negaranya, mengenai pendidikan misalnya. Di beberapa Negara, menghafal Al-Qur’an menjadi standar dalam pendidikan Islam, yang menjadi kurikulum di berbagai sekolah. Bahkan, menghafal Al-Qur’an kerap dijadikan syarat masuk ke dalam jurusan studi Islam di perguruan tinggi.

Pembacaan Al-Qur’an juga banyak ditemui dalam ajang perlombaan, seperti lomba tartil, tilawah, dan hafidz Al-Qur’an. Ini dilakukan dari tingkat paling bawah (kelompok kecil), hingga tingkat internasional. Dan ini tentu saja mengandalkan suara-suara yang indah dari para pembaca Al-Qur’an (qari).

Beberapa Ayat yang Sering Dibaca

Sebagai teks (kitab) yang sering dibaca, ada beberapa ayat atau surah dalam Al-Qur’an yang secara khusus dibaca paling sering dan pada kegiataan dan moment tertentu. Misalnya, surah Al-Fatihah (surah pembuka Al-Qur’an) sering dibacakan untuk membuka pengajian, rapat, kelas, ataupun pertemuan lainnya. Di akhir pertemuan, biasanya surah Al-Ashr (surah Demi Masa) menjadi pilihan untuk dijadikan do’a sekaligus refleksi singkat.

Dalam sebuah acara pernikahan, orang-orang biasanya mengutip surah Al-Rum: 21. Ini diyakini sebagai ayat yang menjadikan pernikahan sebagai bagian dari tanda kekuasaan Allah SWT; “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah bahwa Dia menciptakan pasangan dari jenis kamu sendiri, agar kamu merasa tentram kepadanya…”

Ketika ada orang yang sedang mengalami sakaratul maut, atau setelah ia meninggal, biasanya keluarganya atau orang-orang dekatnya berkumpul dan membaca bersama Al-Qur’an, biasanya yang dibaca adalah surah Yasin, yang sering disebut sebagai ‘Jantung Al-Qur’an’. Ini diyakini dapat memudahkan penderitaan seseorang, dan menggambarkan tentang penciptaan dan kematian.

Di sisi lain, ada surah atau ayat Al-Qur’an yang digunakan sebagai pelindung, sebagai jimat. Misalnya, ada yang mempercayai bahwa surah Al-Falaq dan surah Al-Nas, ayat Kursi dalam surah Al-Baqarah diyakini mengandung kekuatan perlindungan yang dapat menangkal kejahatan. Selain membacanya ketika dalam keadaan ‘bahaya’, surah dan ayat tersebut juga ditulis kemudian ditempelkan di dinding.

Adab Ketika Membaca Al-Qur’an

Karena yang dibaca adalah Al-Qur’an, Kalam Tuhan, sehingga ada adab yang biasanya berlaku bagi umat Islam ketika, di antaranya, hendak dan dalam membaca Al-Qur’an. Menurut Al-Qurtubi, dalam kutipan Abdullah Saeed, ketika hendak membaca Al-Qur’an, seseorang mesti menyikat gigi dengan siwak dan membilas mulut dengan air, sehingga mulu akan segar sebelum membaca.

Kemudian membaca Al-Qur’an dengan duduk tegak, berdandan seakan-akan hendak mengunjungi seorang pangeran, dan Al-Qur’an ditempatkan di pangkuan atau di atas landasan. Berada di tempat yang tenang sehingga tidak terganggu, menghadap Mekkah. Dan ketika memulai bacaan, orang harus meminta perlindungan kepada Tuhan dari godaan setan (ta’awudz).

Baca Juga: Membaca Ayat-Ayat Antropomorfisme: Tafsir Tajsim Muqatil Ibn Sulaiman

Al-Qurtubi juga menyarankan agar membaca Al-Qur’an secara keseluruhan, bukan beberapa ayat dan secara acak. Membaca Al-Qur’an dengan konsentrasi, dan mengucapkan setiap huruf dengan jelas. Setelah membacanya, Al-Qur’an disimpan atau dikembalikan di tempat yang tinggi, sebagai tanda rasa hormat (adab) kepada Al-Qur’an.

Sampai di sini, paparan di atas menunjukkan bahwa kegiatan membaca Al-Qur’an yang selama ini ditemui dalam kehidupan, baik yang kita lakukan sendiri maupun yang disaksikan dari orang lain, merupakan sebuah fenomena yang unik untuk dijabarkan dan dikaji. Beberapa dalam fenomena tersebut mengandung makna yang dalam, dan kontruksi sosial. Dengan kata lain, fenomena membaca Al-Qur’an bukan hanya tentang beribadah, tetapi pemaknaan ibadah itu sendiri ke dalam kehidupan sehari-hari. [] Wallahu A’lam.

Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 57-60

0
tafsir surah al-ahzab
tafsir surah al-ahzab

Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 57-60 menejelaskan tentang kecaman Allah atas orang-orang yang menyakiti-Nya, seperti menjalankan perintah atau mengingkari kebenaran. Allah juga mengecam sikap zalim, dengan menyakiti orang beriman, baik melalui ucapan maupun perbuatan. Disaat yang sama, dalam tafsir ini,akan dijelaskan pula perintah menjulurkan jilbab bagi istri-istri Nabi dan anak keturunannya.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 54-56


Ayat 57

Pada ayat ini dijelaskan bahwa Allah mengutuk orang-orang yang menyakiti-Nya dengan melakukan perbuatan yang tidak diridai-Nya, seperti mengingkari perintah-Nya, yaitu ucapan orang-orang Nasrani bahwa Isa adalah putra Allah, atau seperti kaum musyrikin yang mengatakan bahwa malaikat adalah putri-putri Allah, atau menyekutukan-Nya. Allah juga mengutuk orang-orang yang menyakiti Rasul-Nya, seperti menuduh beliau seorang penyair, tukang sihir, atau seorang gila dan sebagainya.

Kutukan Allah itu meliputi kutukan di dunia dan akhirat. Di dunia mereka dijauhkan dari rahmat Allah dan karunia-Nya, sehingga mereka bergelimang dalam kesesatan dan kemaksiatan. Di akhirat mereka dijerumuskan ke dalam api neraka yang merupakan seburuk-buruknya tempat kembali, dan Allah menyediakan bagi mereka azab yang sangat pedih dan menghinakan.


Baca Juga : Kecaman Al-Quran Terhadap Perilaku Korupsi: Tafsir Surat Ali-Imran Ayat 161


Ayat 58

Orang yang menyakiti para mukmin, baik laki-laki maupun perempuan, tanpa kesalahan yang mereka perbuat, dan hanya berdasarkan kepada fitnah dan tuduhan yang dibuat-buat, maka sungguh mereka itu telah melakukan dosa yang nyata. Menurut Ibnu ‘Abbas, ayat ini diturunkan sehubungan dengan tuduhan ‘Abdullah bin Ubay terhadap ‘Aisyah yang dikatakannya telah berbuat mesum dalam perjalanan pulang beserta Nabi Muhammad setelah memerangi Bani Mu¡taliq, yang terkenal dengan hadis al-ifk.

Dalam hadis Nabi saw dijelaskan:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّهُ قِيْلَ يَا رَسُولَ الله مَا الْغِيْبَةُ؟ قَالَ ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ، قِيْلَ أَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُوْلُ: قَالَ: إِنْ كَانَ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ، وَإِنْ لمَ ْيَكُنْ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدْ بَهَتَّهَ.(رواه ابوداود)

Abµ Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah ditanya tentang apa artinya bergunjing. Beliau menjawab, “Engkau menyebut-nyebut saudaramu dengan sesuatu yang dibencinya.” Nabi ditanya lagi, “Bagaimana jika yang disebut itu memang benar atau suatu kenyataan?” Nabi menjawab, “Bila yang diucapkan itu benar, engkau telah mengumpat kepadanya, dan bila itu tidak benar maka engkau telah membuat kedustaan terhadapnya.”  (Riwayat Abu Dawud)

Ayat 59

Allah memerintahkan kepada seluruh kaum muslimat terutama istri-istri Nabi sendiri dan putri-putrinya agar mengulurkan jilbab ke seluruh tubuh mereka. Hal itu bertujuan agar mereka mudah dikenali dengan pakaiannya karena berbeda dengan jariyah (budak perempuan), sehingga mereka tidak diganggu oleh orang yang menyalahgunakan kesempatan. Seorang perempuan yang berpakaian sopan akan lebih mudah terhindar dari gangguan orang jahil. Sedangkan perempuan yang membuka auratnya di muka umum mudah dituduh atau dinilai sebagai perempuan yang kurang baik kepribadiannya. Bagi orang yang pada masa lalunya kurang hati-hati menutupi aurat, lalu mengadakan perbaikan, maka Allah Maha Pengampun lagi Maha Pengasih. Karena perbuatan yang menyakiti itu seringkali dilakukan oleh orang-orang munafik, maka pada ayat berikut ini Allah mengancam mereka dengan ancaman yang keras sekali.

Ayat 60

Jika orang-orang munafik dan orang-orang berpenyakit di hatinya, dan orang-orang yang menyebar berita bohong di Medinah itu tidak berhenti mendustakan Allah, menyakiti Rasul-Nya, dan kaum mukminin, niscaya Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk memerangi mereka sehingga tidak akan dapat lagi untuk hidup lebih lama di Medinah bertetangga dengan Nabi saw. Mereka yang diancam akan diperangi dan dimusnahkan oleh Nabi itu adalah tiga golongan manusia:

  1. Orang-orang munafik yang selalu menentang Allah secara tersembunyi.
  2. Orang-orang berpenyakit di dalam hatinya, seperti dengki dan dendam yang selalu menyakiti orang mukmin seperti mengganggu para perempuan.
  3. Orang-orang yang menyiarkan kabar bohong di Medinah sehingga menyakiti Nabi saw, dengan ucapan mereka bahwa Nabi Muhammad saw akan dikalahkan dan diusir dari Medinah dan sebagainya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al Ahzab Ayat 61-73


 

Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 54-56

0
tafsir surah al-ahzab
tafsir surah al-ahzab

Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 54-56 diawali dengan asbabun nuzul ayat 54, yang mengisahkan teguran kepada seseorang yang berniat menikahi istri nabi setelah wafatnya. Dengan turunnya ayat tersebut, jelas tidak diperbolehkanbagi siapapun untuk menikahi istri-istri nabi yang digelari Ummahatul Mu’minin.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 52-53


Disisi lain, Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 54-56 juga menerangkan bahwa tidak ada larangan bagi istri-istri nabi untuk berinteraksi dengan kerabatnya, namun wajib bagi mereka menggunakan tabir, dan hal itu demi menjaga martabat mereka sebagai istri dari orang yang mulia. Dan Allah menganjurkan kepada hamba-Nya untuk senantiasa bershawalat atas Nabi Muhammad, seperti yang dilakukkan oleh Allah dan Malaikat-malaikat-Nya.

Ayat 54

Sebab turunnya ayat ini, sebagaimana diriwayatkan oleh Juwaibir dari Ibnu ‘Abbas, bahwa ada seorang yang telah datang kepada sebagian istri-istri Nabi saw yang menjadi anak pamannya, lalu bercakap-cakap dengan istri Nabi secara langsung.

Nabi saw menegur hal itu dengan sabdanya, “Janganlah engkau berbuat seperti ini pada kesempatan yang lain.” Orang itu menjawab, “Wahai Rasulullah, ini adalah anak paman saya, dan saya tidak pernah mengatakan sesuatu yang mungkar, dan perempuan itu tidak boleh pula berkata yang tidak baik kepadaku.”

Nabi bersabda, “Kami telah mengetahui yang demikian itu. Tidak ada yang lebih cemburu daripada Allah, dan tidak ada seorang pun yang lebih cemburu daripada aku.” Lalu laki-laki itu pergi sambil berkata, “Siapa yang dapat mencegahku untuk bercakap-cakap dengan anak pamanku; aku pasti akan menikahinya setelah Muhammad wafat.”

Maka turunlah ayat hijab ini, dan laki-laki itu merasa menyesal atas ucapan yang telah dikeluarkannya. Untuk menutupi kesalahan dan menebus dosanya, ia mengeluarkan kifarat dengan memerdekakan seorang hamba sahaya, memberi bekal untuk jihad dengan sepuluh ekor unta, dan naik haji dengan berjalan kaki.


Baca Juga : Tafsir Ahkam: Mengapa Menikah dengan Non-Muslim itu Dilarang?


Ayat 55

Tidak ada dosa atas istri-istri Nabi untuk berjumpa tanpa memakai tabir dengan bapak-bapak mereka, baik bapak kandung maupun bapak sesusuan, anak-anak mereka, baik yang seketurunan maupun yang sesusuan, saudara-saudara mereka, atau anak saudara-saudaranya, baik laki-laki maupun perempuan, perempuan-perempuan muslimat yang dekat maupun yang jauh, atau hamba sahaya yang mereka miliki, baik laki-laki maupun perempuan.

Adanya hijab di antara mereka itu akan menimbulkan banyak kesulitan karena mereka selalu berkhidmat dalam urusan rumah tangga. Tetapi, yang perlu diingat adalah agar selalu bertakwa kepada Allah untuk mengikuti perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, karena Allah selalu menyaksikan segala sesuatu yang mereka perbuat.

Orang-orang yang disebutkan dalam ayat ini, yaitu ayah para istri Nabi, anak-anak mereka, saudara-saudara mereka, keponakan atau anak saudara mereka, baik saudara laki-laki maupun saudara perempuan, atau perempuan-perempuan lain dan juga budak mereka adalah mahram yaitu orang-orang yang tidak boleh menikahi mereka.

Adapun orang-orang selain tersebut di atas yaitu yang bukan mahram tidak boleh menemui istri-istri Nabi tanpa hijab. Hal ini untuk menjaga kehormatan istri-istri Nabi yang merupakan ummahatul   mu’minin.

Ayat 56

Sesungguhnya Allah memberi rahmat kepada Nabi Muhammad, dan para malaikat memohonkan ampunan untuknya. Oleh karena itu, Allah menganjurkan kepada seluruh umat Islam supaya bersalawat pula untuk Nabi saw dan mengucapkan salam dengan penuh penghormatan kepadanya.

عَنْ اَبِى سَعِيْدِ اَلْخُدْرِيِّ قُلْنَا: يَارَسْولَ اللهِ هَذَا السَّلاَمُ عَلَيْكَ قَدْ عَلِمْنَا فَكَيْفَ الصَّلاَةُ عَلَيْكَ؟ قَالَ: قُوْلُوْا: اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى اٰلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى اِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى اٰلِ اِبْرَاهِيْمَ اِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. اَللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى اٰلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى اِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى اٰلِ اِبْرَاهِيْمَ اِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. (رواه البخاري واحمد والنسائى وابن ماجه وغيرهم)

Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri bahwa ia bertanya, “Wahai Rasulullah, adapun pemberian salam kepadamu kami telah mengetahuinya, bagaimana kami harus membaca salawat?” Nabi menjawab, ucapkanlah: Allahumma Shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad kama shallaita ‘ala Ibrahim wa ‘ala ‘ali Ibrahim innaka Hamid majid. Allahumma barik ‘ala Muhammad wa ‘ala ‘ali Muhammad kama barakta ‘ala Ibrahim wa ‘ala ali Ibrahim innaka Hamid majid. (Riwayat al-Bukhari, Ahmad, an-Nasa’i, Ibnu Majah, dan lainnya).

Diriwayatkan juga oleh ‘Abdullah bin Abu Thalhah dari ayahnya:

أَنَّ رَسُوْلَ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَاءَ ذَاتَ يَوْمٍ وَالْبُشْرَى تُرَى فِيْ وَجْهِهِ، فَقُلْنَا إِنَّا لَنَرَى الْبُشْرَى فِيْ وَجْهِكَ، فَقَالَ: جَاءَنِيْ جِبْرِيْلُ فَقَالَ: يَا مُحَمَّد إِنّ رَبَّكَ يَقْرَئُكَ السَّلاَمَ وَيَقُوْلُ: أَمَّا يُرْضِيْكَ أَنْ لاَ يُصَلِّيَ عَلَيْكَ أَحَدٌ مِنْ أُمَّتِكَ إِلاَّ صَلَّيْتُ عَلَيْهِ عَشْرًا، وَلاَ يُسَلِّمُ عَلَيْكَ أَحَدٌ مِنْ أُمَّتِكَ إِلاَّ سَلَّمْتُ عَلَيْهِ عَشْرًا.

Bahwa Rasulullah datang pada suatu hari dan terlihat tanda-tanda kegembiraan di wajahnya. Lalu kami bertanya, “Kami telah melihat tanda-tanda kegembiraan di wajahmu.” Nabi  menjawab, “Memang, Jibril telah datang kepadaku dan berkata, “Wahai Muhammad sesungguhnya Tuhanmu telah menyampaikan salam kepadamu dan berfirman, “Tidakkah kamu merasa puas bahwa tidak ada seorang pun dari umatmu yang membaca salawat untukmu melainkan Aku membalasnya dengan sepuluh kali lipat. Dan tidak seorang pun yang menyampaikan salam kepadamu dari umatmu melainkan Aku membalas dengan salam sepuluh kali lipat.”

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al Ahzab Ayat 57-60


Al-Qur’an dan Realitas Sosial: Membincang Makna Adil dalam Islam

0
Al-Qur’an dan Realitas Sosial: Membincang Makna Adil dalam Islam
Adil dalam memutuskan perkara

Berbicara tentang Islam, bukan saja berbicara tentang kemanusiaan dan revolusi damai yang diproklamirkan pemegang tonggak karir Islam pertama kali, Nabi Muhammad saw. Akan tetapi turut serta membincang keadilan yang menjadi nilai penting mengapa ajaran Islam bisa klop dan mudah diterima.

Keadilan merupakan tema sentral yang terus diperbincangkan umat manusia. Dalam bidang teologi, filsafat, hukum, politik, sampai pada ekonomi dan sosial pun keadilan akan ada dan menjadi denyut nadi dalam topik pembahasannya (Konsep Keadilan dalam Al-Qur’an, 8).

Al-Qur’an lebih dari sekadar kompleks dalam menyusun rancangan hukum-hukum yang serasi dengan kebutuhan manusia. Salah satunya konsep sikap adil. Manusia sebagai makhluk sosial, dalam tatanan dan hubungan sosial, kemampuan bersikap adil sangat dibutuhkan. Adil dalam bersosialisasi dibutuhkan dalam segala aspek. Tidak terkecuali dalam berpikir dan menentukan sikap ketika harus berhadapan dengan mereka yang seagama maupun tidak.

Makna adil dalam Al-Qur’an

Hasil kajian beberapa literatur menyimpulkan bahwa setidaknya ada dua terma yang dipakai Al-Qur’an untuk menyebut “keadilan”. Yaitu kata ‘adl dan qist (Mufradat Alfaz Al-Qur’an, 75). Masing-masing digunakan dengan macam-macam derivasi katanya. Jumlah kata yang mengandung makna adil ada 51 buah dan tersebar dalam 44 ayat. Dengan rincian sebagaimana berikut: kata ‘adl 28 buah dalam 24 ayat dan kata qist 23 buah dalam 20 ayat (al-Mu’jam alMufahras li Alfadz al-Qur’an al-Karim, 165-166)

Untuk memfokuskan pembahasan, dalam tulisan ini hanya akan dibahas makna adil dalam surah Al-Maidah ayat 8 yang berbunyi:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ لِلّٰهِ شُهَدَاۤءَ بِالْقِسْطِۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْا ۗاِعْدِلُوْاۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al Ma’idah: 8).

Surah al-Maidah ayat 8 ini turun kepada Nabi Muhammad saw berkenaan dengan orang-orang Yahudi yang hendak membunuh beliau. Al-Tabari menukil riwayat dari Abdullah bin Katsir yang berkata; “Rasulullah saw pergi ke orang-orang Yahudi untuk meminta pertolongan kepada mereka tentang diyat namun mereka malah hendak membunuh beliau, oleh karena itu Allah Swt berfirman: “Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.” (Tafsir alTabari, Vol VIII, 550).

Menurut Ibnu Kasir, surah al-Maidah ayat 8 ini menyeru kepada orang-orang beriman supaya menjadi orang-orang yang menegakkan kebenaran dan keadilan, bukan kezaliman. Menegakkan keadilan karena Allah, bukan karena manusia atau karena harga diri.

Dalil hadits yang mendukung pesan ayat tersebut antara lain sebagaimana yang disebut­kan dalam kitab al-Sahihain:

عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ أَنَّهُ قَالَ: نَحَلَنِي أَبِي نَحْلا فَقَالَتْ أُمِّي عَمْرَةُ بِنْتُ رَوَاحَةَ: لَا أَرْضَى حَتَّى تُشْهد رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَجَاءَهُ لِيُشْهِدَهُ عَلَى صَدَقَتِي فَقَالَ: “أُكَلَّ وَلَدِكَ نَحَلْتَ مِثْلَهُ؟ ” قَالَ: لَا. قَالَ: “اتَّقُوا اللَّهَ، وَاعْدِلُوا فِي أَوْلَادِكُمْ”. وَقَالَ: “إِنِّي لَا أَشْهَدُ عَلَى جَوْر”. قَالَ: فَرَجَعَ أَبِي فَرَدَّ تِلْكَ الصَّدَقَةَ.

Dari An-Nu’man ibnu Basyir, ia men­ceritakan bahwa ayahnya telah menghadiahkan kepadanya suatu pemberian yang berharga. Ibunya, Amrah binti Rawwahah ber­kata; “Aku tidak rela sebelum kamu mempersaksikan pemberian ini kepada Rasulullah saw.” Ayahnya kemudian datang menghadap Rasulullah saw. untuk meminta kesaksian atas pemberian tersebut. Maka Ra­sulullah saw. Bertanya; “Apakah semua anakmu diberi hadiah yang semisal?” Ayahku menjawab; “Tidak.” Lalu Rasulullah Saw. Bersabda; “Bertakwa­lah kepada Allah, dan berlaku adillah kepada anak-anak­mu. Sesungguhnya aku tidak mau bersaksi atas kezaliman.” Lalu ayahku pun pulang dan mencabut kembali pemberian darinya tersebut. (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Selain itu, lanjut Ibn Kasir, ayat tersebut juga menyeru supaya jangan sekali-kali seseorang membiarkan perasaan bencinya terhadap ­suatu kaum mendorongnya berlaku tidak adil kepada me­reka. Akan tetapi ia hendaknya berusaha tetap berlaku adil terhadap setiap orang, baik teman ataupun musuh, sebab sikap adil lebih dekat kepada takwa daripada mening­galkannya.

Baca juga: Tafsir Surat Al-Maidah Ayat 8: Dalil Sila Kelima Pancasila, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Makna adil menurut para ahli

Berbicara tentang keadilan, semua kita tahu ia merupakan gagasan agama paling sentral. Tidak hanya dunia Islam, semua agama, bahkan tradisi sosial, dan etika kemanusiaan turut serta mengajarkannya.

Hal ini ditegakkan dalam rangka upaya meraih cita-cita kemanusiaan dalam kehidupan bersama. Abu Bakar al-Razi – salah satu filsuf abad pertengahan – bahkan menegaskan, “Tujuan tertinggi untuk apa manusia diciptakan dan ke mana ia diarahkan bukan untuk memenuhi kesenangan fisik. Akan tetapi lebih pada pencapaian ilmu pengetahuan dan praktik keadilan.” Senada dengan pernyataan al-Razi di atas, filsuf klasik paling terkemuka, Aristoteles juga menyatakan bahwa keadilan merupakan kebajikan tertinggi. (Teologi Keadlan Perspektif Al-Qur’an, 155).

Gagasan yang dibangun Aristoteles ini terlihat seulur dengan latar belakang ayat tersebut difirmankan dan diturunkan. Dalam tafsirnya, al-Tabari menyebutkan sebuah hadis yang menceritakan pada zaman Nabi terjadi ketimpangan sosial, bahkan permusuhan antara orang fakir dan orang kaya.

Saat itu, pembelaan Nabi jatuh pada kelompok fakir, dengan anggapan orang fakir tidak akan bisa menyentuh atau menzalimi orang yang kaya. Dan tidak berlaku sebaliknya. Maka turunlah ayat ini sebagai teguran untuk Nabi agar senantiasa berlaku adil dan menjadi penegak keadilan.

Secara nalar kemanusiaan, apa yang dilakukan Nabi tidaklah menyimpang dari jalur “kebenaran” sehingga beliau harus mendapat teguran. Akan tetapi, secara mutlak, kacamata dan sudut pandang Tuhan jauh lebih jeli dan tajam. Tidak semua orang miskin dianiaya orang kaya. Dan tidak semua orang kaya bisa menganiaya orang kelas bawah. Andai saja keputusan Nabi untuk meletakkan pembelaannya terhadap kelas bawah yang lumrahnya memang teraniaya, barangkali jenis kebaikan yang coba ditawarkan Nabi tidak dapat dipahami.

Dalam salah satu tulisannya, Ibn Qayyim al-Jauziyyah  mengatakan:

“Sesungguhnya Allah Swt mengutus rasulNya dan menurunkan kitab suciNya agar manusia memutuskan urusan mereka dengan adil. Yang dengannya langit dan bumi berdiri tegak. Jika telah tampak bukti-bukti keadilan dengan jalan apapun ia diperoleh, maka di situlah hukum Allah dan agamaNya. Maka cara apapun yang menghasilkan keputusan yang adil adalah bagian dari agama dan tidak bertengan dengannya.” (al-Thuruq al-Hukmiyah fi al-Siyasah al-Syar’iyyah, 153).

Adapun terkait masalah larangan berbuat zalim, disebutkan dalam sebuah hadith Qudsi, Allah Swt menyampaikan:

يا عبادى إنى حرمت الظلم على نفسى وجعلته بينكم محرما فلا تظالموا

Wahai hamba-hambaKu, Aku telah mengharamkan kezaliman atas DiriKu dan kepada kalian. Maka janganlah kalian saling menzalimi” (Shahih Muslim, Vol VIII, 16).

Nabi juga pernah bersabda:

اتقوا الظلم فإن الظلم ظلمات يوم القيامة

Hindarilah kezaliman, karena ia adalah kegelapan berlapis-lapis di hari kiamat kelak” (Shahih Muslim, Vol VIII, 18).

Baca juga: Berkat Kegigihan Muslimah Memperjuangkan Keadilan, Firman Allah Turun dalam Surat Mujadilah

Penutup

Dari beberapa bidang gagasan mengenai makna adil di atas setidaknya dapat disimpulkan, bahwa upaya penegakan keadilan memiliki dua sisi yang harus diperjuangkan secara simultan: menciptakan moralitas kemanusiaan yang adiluhung dan menghapuskan segala bentuk kekerasan, tirani, penyimpangan, penyalahgunaan wewenang, penipuan, dan segala moralitas rendah lainnya. Wallahu a’lam.

Baca juga: Semangat Filantropi dalam Al-Quran dan Keadilan Ekonomi