Beranda blog Halaman 271

Tafsir Surah Al-Muzzamil ayat 20

0
Tafsir Surah Al-Muzzammil
Tafsir Surah Al-Muzzammil

Tafsir Surah Al-Muzzammil ayat 20 menjelaskan secara rinci mengenai sunnah melaksanakan shalat malam, mulai dari ketetapan waktu, anjuran ayat yang dibaca, serta keutamaannya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Muzzammil ayat 9-19


Ayat 20

Tafsir Surah Al-Muzzammil ayat 20 menjelaskan kembali tafsiran dalam ayat-ayat yang lalu, Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad untuk salat malam, maka dalam ayat ini, Allah menunjukkan kemahapengasihan-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Dia memberikan keringanan pada hamba-Nya dengan tidak mewajibkan salat Tahajud setiap malam.

Tuhan menegaskan bahwa Dia mengetahui sebagian kaum muslimin bersama Nabi mengerjakan salat malam itu sepanjang 2/3 malam, atau 1/2-nya atau 1/3-nya. Waktu itu masih merupakan perintah wajib yang tentu saja terkadang-kadang terasa berat.

Ketika ayat pertama Surah al-Muzzammil turun, para sahabat mengerjakan salat sesuai dengan petunjuk dalam ayat 2 sampai dengan 4. Hal itu kadang-kadang memberatkan, sekalipun salat Tahajud itu khusus difardukan atau diwajibkan kepada Rasulullah saw, dan disunatkan bagi umatnya. Banyak di antara para sahabat tidak mengetahui dengan pasti berapa ukuran 1/2 atau 1/3 malam itu, hingga karena takut luput dari waktu salat malam yang diperintahkan itu, sehingga ada di antara mereka yang berjaga-jaga sepanjang malam. Hal ini sangat melelahkan badan mereka, sebab mereka bangun sampai fajar. Tentu saja bangun dan berjaga-jaga demikian melemahkan fisik. Untuk meringankan itu, Allah menurunkan ayat ini:

عَلِمَ اَنْ لَّنْ تُحْصُوْهُ فَتَابَ عَلَيْكُمْ

…Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menentukan batas-batas waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu… (al-Muzzammil/73: 20)

Dari ayat 20 ini dapat pula diambil pelajaran bahwa mengerjakan perintah fardu itu tidak boleh melebihi batas ukuran yang ditentukan agar tidak memberatkan diri sendiri. Oleh karena itu, Allah memerintahkan bagi yang biasa salat malam apabila terasa agak memberatkan boleh dikurangi waktunya, sehingga dikerjakan tidak dalam keadaan terpaksa. Begitulah Allah memudahkan sesuatu yang berat menjadi ringan, agar seseorang selalu mengerjakan yang mudah itu.

Begitu pula dalam bacaan salat malam (termasuk Magrib dan Isya), hendaklah dibaca ayat-ayat yang pendek-pendek, sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi dan ad-Daruquthni dari Qais bin Hazim bahwa ia salat berjamaah yang diimami oleh Ibnu ‘Abbas. Qais mengatakan bahwa Ibnu ‘Abbas membaca beberapa ayat dari permulaan Surah al-Baqarah setelah al-Fatihah. Selesai salat, Ibnu ‘Abbas mengajarkan kepada yang mengikutinya:

فَلَمَّا انْصَرَفَ أَقْبَلَ عَلَيْنَا فَقَالَ إِنَّ اللهَ يَقُوْلُ فَاقْرَءُوْا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ. (رواه البيهقي والدارقطني)

Selesai salat, Ibnu ‘Abbas menghampiri kami seraya berkata, Allah berfirman “Bacalah olehmu mana yang mudah dari (ayat-ayat Al-Qur’an itu)” (Riwayat al-Baihaqi dan ad-Daruquthni)

Berapa ukuran ayat-ayat yang mudah itu tidak dijelaskan lebih lanjut, demikian pula apakah untuk salat fardu atau salat Tahajud dan sunah-sunah lainnya. Boleh jadi membaca mana yang mudah dari ayat-ayat Al-Qur’an berlaku untuk beberapa salat wajib dan beberapa salat sunah (seperti salat Tahajud).

Kemudian disebutkan pula uzur (halangan) yang kedua yakni karena sakit, sehingga diringankan tuntutan mengerjakan salat malam. Uzur yang ketiga adalah karena sibuk mencari rezeki di siang hari. Keempat karena sedang berjuang dengan senjata (fisik) membela dan mempertahankan agama Allah dari serangan musuh.

Faktor sakit, sibuk mencari rezeki, dan sedang berjihad di jalan Allah menyebabkan seseorang sulit baginya untuk bangun pada malam hari mengerjakan salat Tahajud. Demikianlah pula ternyata ayat ini tidak membeda-bedakan usaha berjihad mengangkat senjata melawan musuh dengan berusaha mencari rezeki, sebab keduanya bermanfaat bagi kaum muslimin, asal dikerjakan menurut perintah Allah. Berjuang berarti mempertahankan agama, sedang berdagang atau berusaha dapat membiayai keluarga dan kegiatan agama (dengan zakat, sedekah, dan lain-lain).

Setelah menyebutkan tiga sebab yang mendatangkan rukh¡ah (keringanan) dalam beribadah pada malam hari yang berarti pula terhapusnya kewajiban salat malam (mansµkh), maka ayat ini menyebutkan pula apa yang mereka kerjakan setelah mendapat keringanan tersebut yakni hendaklah membaca Al-Qur’an dalam salat mana yang mudah-mudah saja.

Selanjutnya Allah memerintahkan untuk menegakkan salat dan mengeluarkan zakat. Selain itu dianjurkan pula untuk memberikan pinjaman kepada Allah, dalam bentuk memberikan nafkah (bantuan) bagi kepentingan sabilillah, baik sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama. Dengan qira« (pinjaman) itulah agama ini bisa ditegakkan, dan urusan sosial kemasyarakatan dapat ditegakkan. Dalam ayat lain dinyatakan:

مَنْ ذَا الَّذِيْ يُقْرِضُ اللّٰهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضٰعِفَهٗ لَهٗٓ اَضْعَافًا كَثِيْرَةً ۗوَاللّٰهُ يَقْبِضُ وَيَبْصُۣطُۖ وَاِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ  ٢٤٥

Barang siapa meminjami Allah dengan pinjaman yang baik maka Allah melipatgandakan ganti kepadanya dengan banyak. Allah menahan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan. (al-Baqarah/2: 245)

Kemudian Tuhan menganjurkan supaya memperbanyak sedekah (memberikan harta kepada yang memerlukannya di luar zakat yang wajib) dan memperbanyak amal saleh. Apa yang dinafkahkan dan dikorbankan dengan bersedekah di jalan Allah, adalah lebih baik dibandingkan dengan apa yang dihabiskan untuk kepentingan duniawi, dan dengan demikian seseorang semakin memperbesar persiapannya untuk menuju kampung yang kekal dan abadi.

Ayat ini diakhiri dengan anjuran agar kita memperbanyak istigfar (mohon ampun kepada Allah), karena dosa dan kesalahan yang kita kerjakan terlalu banyak. Istigfar yang diterima Allah itulah yang akan menutup aib seseorang tatkala diadakan perhitungan dan pertanggungjawaban amal manusia di hadapan-Nya kelak. Allah-lah Yang Maha Pengampun; Dialah yang menutupi dosa seseorang atau menguranginya. Dialah yang Maha Pengasih, yang seseorang tidak akan disiksa bilamana tobatnya telah diterima.

(Tafsir Kemenag)


Baca Juga: Keutamaan Shalat Tahajud, Tafsir Surat Al-Isra Ayat 79


 

Tafsir Surah Al-Muzzamil ayat 9-19

0
Tafsir Surah Al-Muzzammil
Tafsir Surah Al-Muzzammil

Tafsir Surah Al-Muzzammil ayat 9-19 Allah menghibur Nabi Muhammad dengan mengingatkan untuk menyerahkan segala urusan kepada-Nya, terutama dalam menghadapi orang-orang yang mendustakan Allah. Tafsir Surah Al-Muzzammil juga mengingatkan adanya hari kiamat.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Muzzammil ayat 1-8


Ayat 9

Selanjutnya dijelaskan bahwa Allah adalah pemilik timur dan barat. Tidak ada Tuhan selain Dia. Oleh karena itu, hendaklah Muhammad saw menyerahkan segala urusan kepada-Nya. Firman Allah:

فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ

Maka sembahlah Dia dan bertawakallah kepada-Nya. (Hud/11: 123)

Ayat 10

Dalam ayat ini, Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad supaya sabar dan menahan diri menghadapi orang-orang musyrik yang melontarkan kata-kata yang tidak senonoh terhadap dirinya dan Tuhannya, karena kesabaran membawa kepada tercapainya cita-cita. Allah juga memerintahkan supaya Muhammad saw memutuskan pergaulan dengan orang-orang yang seperti itu dengan bijaksana tanpa melontarkan cercaan terhadap mereka. Dalam ayat lain, Allah berfirman:

وَاِذَا رَاَيْتَ الَّذِيْنَ يَخُوْضُوْنَ فِيْٓ اٰيٰتِنَا فَاَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتّٰى يَخُوْضُوْا فِيْ حَدِيْثٍ غَيْرِهٖ

Apabila engkau (Muhammad) melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka hingga mereka beralih ke pembicaraan lain. (al-An’am/6: 68)

Dan firman-Nya:

فَاَعْرِضْ عَنْ مَّنْ تَوَلّٰىۙ عَنْ ذِكْرِنَا وَلَمْ يُرِدْ اِلَّا الْحَيٰوةَ الدُّنْيَاۗ    ٢٩

Maka tinggalkanlah (Muhammad) orang yang berpaling dari peringatan Kami, dan dia hanya menginginkan kehidupan dunia. (an-Najm/53: 29)

Allah juga berfirman:

فَاَعْرِضْ عَنْهُمْ وَعِظْهُمْ وَقُلْ لَّهُمْ فِيْٓ  اَنْفُسِهِمْ قَوْلًا ۢ بَلِيْغًا

Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka nasihat, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang membekas pada jiwanya. (an-Nisa’/4: 63)


Baca Juga: Tafsir Surat Al-Ma’un 1-3: Ingat, Tidak Saleh Sosial Juga Pendusta Agama!


Ayat 11

Ayat ini memerintahkan supaya Muhammad saw mengembalikan urusannya kepada Allah dalam menghadapi pendusta-pendusta agama yang kaya raya dan bermegah-megahan dengan kekayaan itu. Allah-lah yang akan menyiksa mereka dengan azab yang telah disiapkan-Nya untuk mereka. Oleh karenanya, hendaklah Muhammad saw membiarkan mereka bermegah-megahan dengan kekayaan mereka dalam waktu sementara, karena Allah pasti akan memenuhi janji-Nya mengazab mereka sebagaimana telah diperlihatkan-Nya kepada orang-orang mukmin pada hari peperangan Badar yang peristiwanya terjadi tidak lama setelah turun ayat ini. Allah berfirman:

نُمَتِّعُهُمْ قَلِيْلًا ثُمَّ نَضْطَرُّهُمْ اِلٰى عَذَابٍ غَلِيْظٍ  ٢٤

Kami biarkan mereka bersenang-senang sebentar, kemudian Kami paksa mereka (masuk) ke dalam azab yang keras. (Luqman/31: 24)

Ayat 12-13

Ayat ini menggambarkan tentang berbagai macam azab Tuhan di akhirat nanti terhadap pendusta-pendusta tersebut. Allah berkuasa mengazab mereka karena Dia mempunyai belenggu untuk mengikat kaki mereka sebagai penghinaan terhadap mereka dan tidak ada kekhawatiran kalau-kalau mereka melarikan diri. Allah mempunyai api neraka yang menyala-nyala dan dapat menghanguskan serta merusak kulit muka dan badan serta melemahkan sendi-sendi tulang mereka. Allah mempunyai makanan-makanan dalam api neraka yang sifatnya mencekik kerongkongan yang tidak dapat dikeluarkan dan tidak dapat pula ditelan. Hal ini merupakan azab Tuhan yang memedihkan seluruh bagian tubuh mereka.

Ayat 14

Ayat ini menerangkan bahwa azab tersebut terjadi pada hari di mana bumi dan gunung berguncang sekeras-kerasnya sehingga gunung dan bukit menjadi berserakan, bercerai-berai seperti tumpukan pasir yang beterbangan. Firman Allah dalam ayat lain:

وَتَكُوْنُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ الْمَنْفُوْشِۗ  ٥

Dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan. (al-Qari’ah/101: 5)

Ayat 15-16

Tafsir Surah Al-Muzzammil ayat 9-19  khususnya Ayat ini menerangkan bahwa Allah telah mengutus kepada penduduk Mekah seorang rasul yaitu Muhammad saw untuk membawa mereka ke jalan yang benar dan menjadi saksi bagi mereka pada hari Kiamat tentang sikap mereka terhadap ajakan Rasul, apakah mereka menerima atau menolaknya, sebagaimana Allah mengutus seorang rasul kepada Fir‘aun dan kaumnya. Akan tetapi, Fir‘aun menentang kerasulan Musa sehingga Allah membinasakannya beserta pengikut-pengikutnya dengan menenggelamkan mereka ke dalam lautan. Oleh sebab itu, hendaklah penduduk Mekah mengambil pelajaran dari peristiwa ini.

Ayat 17-18

Ayat ini menegaskan bahwa orang-orang kafir tidak takut kepada datangnya hari Kiamat. Padahal pada hari itu, mereka tidak akan merasa aman karena kekufuran mereka. Mereka tidak sanggup menolak azab Tuhan pada hari yang sangat dahsyat yang menjadikan anak-anak muda beruban. Langit pun pada hari itu terpecah-belah. Hal itu menunjukkan sangat dahsyatnya hari tersebut. Kedatangan hari tersebut, yaitu turunnya azab Tuhan kepada orang kafir dan pahala Tuhan berupa nikmat kepada orang mukmin, adalah janji Tuhan yang pasti dipenuhi-Nya. Allah tidak akan memungkiri janji-Nya.

Ayat 19

Allah menegaskan bahwa sesungguhnya hal-hal yang lalu yang mengungkapkan berbagai hal tentang siksaan yang disediakan Allah bagi orang yang mendustakan-Nya, dan bahwa manusia tidak dapat menyelamatkan diri dari azab-Nya, merupakan pengajaran atau peringatan, khususnya bagi orang yang ingin kembali kepada jalan Tuhannya.

Menempuh jalan kepada Tuhan berarti mengimani-Nya, mengerjakan perbuatan yang bersifat menaati-Nya, serta menundukkan diri kepada-Nya. Itulah upaya seseorang untuk mencapai mardhatillah (keridaan Allah). Itulah jalan hidup yang lurus dan kokoh.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Muzzammil ayat 20


 

Tafsir Surah Al-Muzzamil ayat 1-8

0
Tafsir Surah Al-Muzzammil
Tafsir Surah Al-Muzzammil

Tafsir Surah Al-Muzzammil ayat 1-8 berisi tentang amalan-amalan yang diperintahkan Allah, yakni bangun di sepertiga malam untuk melaksanakan shalat, membaca Alquran dengan tartil dan senantiasa mengingat Allah baik itu dengan bertakbir, bertahmid dan lain sebagainya. 


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Muddassir ayat 1


Ayat 1-2

Dalam ayat ini, Allah memerintahkan Nabi Muhammad yang sedang berselimut supaya mendirikan salat pada sebagian malam. Seruan Allah kepada Nabi Muhammad ini didahului dengan kata-kata “Hai orang yang berselimut”.

Ayat 3

Allah menerangkan maksud perkataan sebagian yang terdapat dalam ayat sebelumnya, yaitu separuh atau lebih. Allah menyerahkan kepada Nabi Muhammad untuk memilih waktu melakukan salat malam. Ia dapat memilih antara sepertiga, seperdua, atau dua pertiga malam. Allah memberi kebebasan kepada Nabi Muhammad untuk memilih waktu-waktu tersebut.

Sepertiga malam menurut waktu Indonesia ialah kira-kira antara jam 10 dan jam 11 malam, seperdua malam ialah waktu antara jam 12 dan 1 malam dan dua pertiga malam ialah waktu antara jam 2 dan 3 sampai sebelum fajar.


Baca Juga: Keutamaan Shalat Tahajud, Tafsir Surat Al-Isra Ayat 79


Ayat 4

Dalam Tafsir Surah Al-Muzzammil ayat 1-8 khususnya ayat ini, Allah memerintahkan Nabi Muhammad supaya membaca Al-Qur’an secara seksama (tartil). Maksudnya ialah membaca    Al-Qur’an dengan pelan-pelan, bacaan yang fasih, dan merasakan arti dan maksud dari ayat-ayat yang dibaca itu, sehingga berkesan di hati. Perintah ini dilaksanakan oleh Nabi saw. ‘Aisyah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw membaca Al-Qur’an dengan tartil, sehingga surah yang dibacanya menjadi lebih lama dari ia membaca biasa.

Dalam hubungan ayat ini, al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mugaffal, bahwa ia berkata:

رَاَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ عَلَى نَاقَتِهِ يَقْرَأُ سُوْرَةَ الْفَتْحِ فَرَجَّعَ فِيْ قِرَاءََتِهِ. (رواه البخاري ومسلم عن عبدالله بن مغفّل)

Aku melihat Rasulullah saw pada hari penaklukan kota Mekah, sedang menunggang unta beliau membaca Surah al-Fath di mana dalam bacaan itu beliau melakukan tarji’ (bacaan lambat dengan mengulang-ulang). (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari ‘Abdillah bin Mugaffal)

Pengarang buku Fathul Bayan berkata, “Yang dimaksud dengan tartil ialah kehadiran hati ketika membaca, bukan asal mengeluarkan bunyi dari tenggorokan dengan memoncong-moncongkan muka dan mulut dengan alunan lagu, sebagaimana kebiasaan yang dilakukan pembaca-pembaca Al-Qur’an zaman sekarang. Membaca yang seperti itu adalah suatu bacaan yang dilakukan orang-orang yang tidak mengerti agama.”

Membaca Al-Qur’an secara tartil mengandung hikmah, yaitu terbukanya kesempatan untuk memperhatikan isi ayat-ayat yang dibaca dan di waktu menyebut nama Allah, si pembaca akan merasakan kemahaagungan-Nya. Ketika tiba pada ayat yang mengandung janji, pembaca akan timbul harapan-harapan, demikian juga ketika membaca ayat ancaman, pembaca akan merasa cemas.

Sebaliknya membaca Al-Qur’an secara tergesa-gesa atau dengan lagu yang baik, tetapi tidak memahami artinya adalah suatu indikasi bahwa si pembaca tidak memperhatikan isi yang terkandung dalam ayat yang dibacanya.

Ayat 5

Ayat ini menerangkan bahwa Allah akan menurunkan Al-Qur’an kepada Muhammad saw yang di dalamnya terdapat perintah dan larangan-Nya. Hal ini merupakan beban yang berat, baik terhadap Muhammad saw maupun pengikutnya. Tidak ada yang mau memikul beban yang berat itu kecuali orang yang mendapatkan petunjuk dari Allah.

Ayat 6

Ayat ini menegaskan bahwa ibadah yang dilakukan pada malam hari terasa lebih berkesan dan mantap, baik di hati maupun di lidah, sebab bacaan ayat-ayat itu lebih jelas dibandingkan bacaan pada siang hari di saat manusia sedang disibukkan oleh urusan-urusan kehidupan duniawi.

Ayat 7

Ayat ini memerintahkan supaya Nabi Muhammad dapat membedakan antara suasana melakukan ibadah pada siang hari dan malamnya, saat ketenangan jiwa bermunajat kepada Tuhan, menghendaki kebebasan pikiran. Kesibukan yang terdapat pada siang hari membuat perhatian beliau tidak terfokus kepada kesibukan menjalankan risalah Tuhan.

Ayat 8

Dalam ayat ini, Allah memerintahkan Nabi Muhammad supaya senantiasa mengingat-Nya, baik siang maupun malam, dengan bertasbih, bertahmid, bertakbir, salat, dan membaca Al-Qur’an. Dengan demikian, ia dapat melenyapkan dari hatinya segala sesuatu yang melalaikan perintah-perintah Allah.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Muzzammil ayat 9-19


 

Tafsir Surah Saba’ Ayat 9-10

0
Tafsir Surah Saba'
Tafsir Surah Saba'

Tafsir Surah Saba’ Ayat 9-10 berbicara tentang peringatan Allah kepada mereka yang ingkar tentang hari kiamat, bahwa kelak mereka akan menyaksikannya sendiri bencana alam yang terjadi. Beberapa contohnya sudah pernah dialami oleh umat-umat terdahulu, dan bagi mereka yang hatinya bersih, tentu sudah menyadarinya, dan mengimani sedari awal akan adanya hari kiamat tersebut.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Saba’ Ayat 4-8


Tafsir Surah Saba’ Ayat 9-10 juga berkisah tentang keelokan suara Nabi Daud AS.  Nyanyian Nabi Daud menggambarkan sifat-sifat Allah, keagungan dan kemuliaan-Nya dirangkai oleh Nabi Daud menjadi bait-bait lagu yang indah. Ketika, ia bertasbih dengan bait-bait itu, seluruh alam sekitarnya juga akan bertasbih bersamanya. Itulah mukjizat Nabi Daud, selain mampu melunakkan besi yang keras seperti lelehan lilin yang terkena api.

Ayat 9

Pada ayat ini, Allah memberikan peringatan kepada orang-orang yang tidak percaya akan terjadinya hari Kiamat dan menyuruh mereka memperhatikan kejadian-kejadian alam yang mereka saksikan sendiri.

Betapa banyaknya bencana alam yang terjadi di beberapa negeri seperti gempa dahsyat yang menghancurkan bangunan, menimbulkan korban jiwa dan harta benda yang tak ternilai, banjir besar yang menghanyutkan rumah, manusia, binatang, dan tanaman.

Menurut kajian ilmiah, karena langit berbentuk bola, maka di mana pun manusia menginjak bumi maka langit akan selalu berada di depan dan di belakangnya, serta di atas dan di bawahnya. Penggalan ayat ini juga menunjukkan bahwa bentuk bumi adalah bulat.

Gumpalan dari langit dapat ditafsirkan sebagai pecahan benda langit (planet, bintang, komet, dan lain-lain) setelah mengalami benturan satu sama lain. Pecahan-pecahan ini dikenal dengan nama asteroid, meteorit, dan lain sebagainya. Setiap hari permukaan bumi dihujani oleh bom-bom batuan pecahan, yang bisa mengakibatkan kerusakan bumi dan penghuninya.

Karena Allah Maha Pengasih dan Penyayang, Ia melindungi bumi dengan pelindung berupa lapisan udara yang disebut atmosfer. Lapisan udara itu bagaikan rem yang meredam gerakan bom-bom ini dengan gesekan yang terjadi pada saat bersinggungan dengan asteroid atau meteorit.

Bahkan bisa langsung memusnahkannya karena asteroid atau meteorit hancur atau terbakar habis akibat panas yang ditimbulkan oleh gesekan dengan atmosfer bumi.

Perisai pelindung lain adalah lapisan ozon, medan magnit bumi yang mengerem pecahan-pecahan yang bermuatan. Jika lapisan ozon ini terkoyak karena pencemaran udara, pecahan benda langit itu akan jatuh menghunjam ke bumi, dan bisa saja menimpa manusia atau membenamkannya ke permukaan bumi.

Sejarah mencatat bagaimana Allah menghancurkan beberapa umat terdahulu, dan sisa peninggalan mereka masih dapat dilihat sampai sekarang. Apakah semua ini tidak menginsafkan mereka bahwa bila Allah menghendaki, Ia dapat membenamkan negeri mereka ke dalam tanah, dan dapat pula mengirimkan benda langit seperti meteor atau planet, untuk membentur bumi, dan dengan demikian terjadilah malapetaka yang tidak dapat dibayangkan bagaimana dahsyatnya.

Tidakkah mereka mengambil pelajaran dari kejadian-kejadian alam itu atau dari kejadian yang tertulis dalam sejarah dan sisa-sisa peninggalan yang masih dapat mereka saksikan sendiri?

Bagi orang yang hatinya disinari cahaya iman, berbagai kejadian itu menambah keimanan mereka dan menjadikan mereka meyakini bahwa Allah Mahakuasa, dan bahwa mereka pada hakikatnya akan kembali kepada Allah Pemilik dan Penguasa langit dan bumi Yang Mahabijaksana dan Mahaadil.


Baca Juga : Tafsir Ali Imran Ayat 137: Anjuran Tapak Tilas Kisah Umat-Umat Terdahulu


Ayat 10

Di antara karunia Allah yang dianugerahkan kepada Nabi Daud ialah suaranya yang sangat merdu. Diriwayatkan bahwa Nabi Daud adalah seorang komponis atau pencipta nyanyian yang bersifat keagamaan.

Ketika Daud bertasbih memuja dengan suaranya yang merdu, apalagi lagu-lagu itu menggambarkan pula kebesaran, kemuliaan, dan keagungan Tuhan, maka alam sekitarnya bergema seakan-akan turut bertasbih mengikuti irama suaranya.

Kita tidak mengetahui bagaimana alam sekitarnya bertasbih dan bernyanyi bersama Daud sebagaimana diperintahkan Allah kepadanya. Hal itu memang tidak dapat diketahui oleh manusia sebagai tersebut dalam firman-Nya

تُسَبِّحُ لَهُ السَّمٰوٰتُ السَّبْعُ وَالْاَرْضُ وَمَنْ فِيْهِنَّۗ وَاِنْ مِّنْ شَيْءٍ اِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهٖ وَلٰكِنْ لَّا تَفْقَهُوْنَ تَسْبِيْحَهُمْۗ اِنَّهٗ كَانَ حَلِيْمًا غَفُوْرًا

Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka. Sungguh, Dia Maha Penyantun, Maha Pengampun. (al-Isra’/17: 44)

Mengenai keindahan dan kemerduan suara Daud diriwayatkan dalam sebuah hadis sahih:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ سَمِعَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قِرَاءَةَ أَبِى مُوْسَى فَقَالَ لَقَدْ اُوْتِيَ هَذَا مَزْمَارًا مِنْ مَزَامِيْرِآلِ دَاوُدَ عَلَيْه السَّلام (رواه النسائي)

Dari ‘Āisyah, dia berkata: Rasulullah saw mendengar bacaan Abu Musa al-Asy’ari, kemudian beliau berkata, “Sesungguhnya orang ini telah dikaruniai Allah suara merdu seperti keluarga Daud.” (Riwayat an-Nasa’i)

Nikmat lain yang dikaruniakan Allah kepada Daud ialah dia dapat menjadikan besi yang keras menjadi lunak seperti lilin sehingga dapat dibentuk menjadi alat-alat, terutama alat peperangan. Dengan mukjizat yang dikaruniakan Allah, Daud melakukannya tanpa dipanaskan dengan api sebagaimana yang bisa dilakukan orang.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Saba’ Ayat 11-13


Tafsir Surah Saba’ Ayat 4-8

0
Tafsir Surah Saba'
Tafsir Surah Saba'

Jika orang kafir ingkar terhadap hari kebangkitan, sebaliknya orang mukmin mempercayai fenomena tersebut, sebagaimana penjelasan awal dalam Tafsir Surah Saba’ Ayat 4-8. Tentu perbedaan sikap keduanya diperhatikan oleh Allah dan akan memberi ganjaran sesuai dengan sikap tersebut.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Saba’ Ayat 2-3


Dijelaskan pula dalam Tafsir Surah Saba’ Ayat 4-8 bahwa, sejatinya orang kafir enggan menggunakan akal mereka, seandainya mereka mau berfikir dan merenung, tentu apa yang disampaikan Nabi melalui wahyu sesuai dengan apa yang ada di akal dan di kitab yang mereka yakini. Lalu, yang akan mereka temui adalah kebenaran risalah tersebut.

Ayat 4

Adapun orang-orang yang beriman percaya kepada hari kebangkitan dan membuktikan keimanan mereka dengan mengerjakan amal saleh serta menjauhi perbuatan yang dilarang Allah.

Mereka akan memperoleh ampunan dari Allah Yang Maha Pengampun. Allah akan mengampuni kesalahan mereka dan menghapuskan dosa mereka sesuai dengan firman-Nya

اِنَّ الْحَسَنٰتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّاٰتِۗ ذٰلِكَ ذِكْرٰى لِلذَّاكِرِيْنَ

Perbuatan-perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan. Itulah peringatan bagi orang-orang yang selalu mengingat (Allah). (Hud/11: 114)

Mereka akan memperoleh rezeki yang halal dan kehidupan bahagia di dalam surga Na’im.

Ayat 5

Sebaliknya orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Allah, berusaha menghalang-halangi orang lain untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan mendustakan hari kebangkitan serta memperolok-olokkan orang yang memercayainya, menyangka bahwa mereka akan luput dari azab Allah.

Karena kesombongan dan keingkaran, mereka akan memperoleh azab yang sangat pedih dan akan dilemparkan ke dalam neraka Jahim. Demikianlah hikmah kebijaksanaan dan keadilan Allah menyediakan hari kebangkitan supaya manusia menerima balasan sesuai dengan perbuatannya.

Mustahil Allah akan menyamakan hamba-Nya yang berbuat baik dengan hamba-Nya yang berbuat jahat. Allah berfirman pada ayat di bawah ini

اَمْ نَجْعَلُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ كَالْمُفْسِدِيْنَ فِى الْاَرْضِۖ اَمْ نَجْعَلُ الْمُتَّقِيْنَ كَالْفُجَّارِ 

Pantaskah Kami memperlakukan orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di bumi? Atau pantaskah Kami menganggap orang-orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang jahat?  (Shad/38: 28)

Dan firman-Nya:

لَا يَسْتَوِيْٓ اَصْحٰبُ النَّارِ وَاَصْحٰبُ الْجَنَّةِۗ  اَصْحٰبُ الْجَنَّةِ هُمُ الْفَاۤىِٕزُوْنَ

Tidak sama para penghuni neraka dengan para penghuni-penghuni surga; penghuni-penghuni surga itulah orang-orang yang memperoleh kemenangan. (al-Hasyr/59: 20)

Ayat 6

Allah menjelaskan bahwa berbeda dengan orang kafir yang tidak mau mempergunakan akal dan pikirannya dan secara apriori menolak apa yang diberitakan Al-Qur’an, sebagian Ahli Kitab, seperti Abdullah bin Salam, Ka’ab, dan lainnya, mengakui bahwa apa yang diberitakan dalam Al-Qur’an tentang akan datangnya hari kiamat adalah benar dan tidak dapat diragukan lagi.

Mereka juga mengakui bahwa Al-Qur’an adalah petunjuk dari Allah kepada jalan lurus yang harus dipedomani oleh manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Di dalam Al-Qur’an itu terdapat undang-undang, peraturan, dan hukum yang sesuai dengan fitrah manusia dan lingkungan hidupnya serta pasti akan membawa kebahagiaan.


Baca Juga : Tafsir Tarbawi: Larangan Debat Kusir dengan Orang yang Tidak Berilmu


Ayat 7-8

Pada ayat ini, Allah menerangkan keingkaran orang-orang kafir terhadap terjadinya hari kebangkitan dan bagaimana hebatnya cemoohan dan olok-olok mereka terhadap Nabi Muhammad yang memberitakannya.

Mereka saling bertanya tentang seorang laki-laki yang mengatakan bahwa apabila mereka telah mati dan dikuburkan kemudian tubuh dan tulang-belulang mereka telah hancur luluh, sesudah itu akan hidup kembali untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka.

Orang yang mengatakan hal itu adalah Muhammad yang mendakwahkan bahwa dia menerima wahyu dari Tuhannya. Mereka menganggap bahwa ini adalah suatu peluang besar bagi mereka untuk mempengaruhi pendapat umum dan mendiskreditkan Nabi serta mengatakan bahwa dia telah gila atau mengada-adakan suatu kebohongan besar terhadap Allah dengan mengatakan bahwa berita itu adalah wahyu yang diturunkan kepadanya.

Mungkin kebanyakan orang awam akan terpengaruh oleh cemoohan dan olok-olok itu sehingga mereka memandang rendah dan hina terhadap Nabi.

Oleh sebab itu, Allah menegaskan dalam ayat ini bahwa orang-orang yang tidak percaya akan adanya hari akhirat akan mendapat siksaan dan berada dalam kesesatan yang nyata. Mereka akan mendapat siksaan baik di dunia maupun di akhirat.

Di dunia mereka akan menjadi orang-orang yang sesat di tengah perjalanan hidupnya, tidak mengetahui arah yang akan dituju, serta selalu dalam kegelisahan dan keragu-raguan. Orang-orang yang tidak mempunyai akidah dan tidak percaya kepada keadilan Allah dan hari akhirat akan selalu terombang-ambing dalam kebingungan.

Ia tidak mempunyai harapan untuk mendapat keadilan Allah karena apa yang ditemui dan dilihatnya di dunia ini penuh dengan kepincangan dan kezaliman. Orang yang lemah menjadi mangsa bagi yang kuat.

Sedangkan orang-orang yang beriman yang percaya sepenuhnya akan keadilan Allah dan adanya perhitungan perbuatan manusia di akhirat nanti, tentu akan yakin sepenuhnya bahwa bila ia teraniaya, Allah akan membalas orang yang menganiayanya dengan balasan yang setimpal.

Kalau tidak di dunia ini, di akhirat nanti pasti pembalasan itu akan terlaksana. Bahkan di akhirat nanti Allah akan memberi balasan yang berlipat ganda atas kesabaran dan ketawakalan-nya. Kepercayaan kepada adanya hari akhirat adalah suatu rahmat bagi seorang hamba Allah.

 

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Saba’ Ayat 9-10


 

Kisah Rencana Penyembelihan Nabi Ismail dan Asal-Usul Ibadah Kurban

0
Penyembelihan Nabi Ismail
Kisah Penyembelihan Nabi Ismail

Hampir seluruh umat Islam mengetahui bahwa asal-usul ibadah kurban berasal dari peristiwa sejarah penyembelihan Nabi Ismail oleh Nabi Ibrahim. Setiap Idul Adha tiba, peristiwa ini akan selalu disampaikan untuk mengenang pengorbanan keduanya dalam rangka menunaikan perintah Allah swt. Berkat ketulusan hati, Allah menerima ibadah kurban mereka dan menggantikan tempat Nabi Ismail dengan seekor kibas.

Kisah di atas dapat ditemukan dan bersumber dari Al-Qur’an. Ibnu Katsir dalam kitabnya Qashash al-Anbiya menyebutkan bahwa kisah penyembelihan nabi Ismail dan asal-usul ibadah kurban disebutkan dalam surah as-Saffat [37] ayat 99 hingga 111. Kelompok ayat ini berisi tentang penantian Nabi Ibrahim akan kehadiran seorang anak, perintah Allah untuk mengorbankan anak tersebut, hingga anugerah-Nya terhadap keduanya sebab ketaatan pada-Nya.

Peristiwa penyembelihan nabi Ismail dan asal-usul ibadah kurban ini dimulai dari surah as-Saffat ayat 99-100 yang berisi kisah penantian panjang Nabi Ibrahim akan kehadiran seorang anak. Diceritakan bahwa beliau dan istrinya senantiasa berdoa kepada Allah swt agar diberi keturunan guna melanjutkan misi dakwah di muka bumi (Marah Labid). Hal ini diabadikan Allah dalam firman-Nya:

رَبِّ هَبْ لِيْ مِنَ الصّٰلِحِيْنَ ١٠٠

Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang yang saleh.” (QS. As-Saffat [37] ayat 100)

Menurut Ibnu Katsir dalam kitabnya Tafsir Al-Qur’an al-Azhim, tujuan nabi Ibrahim ingin memiliki seorang buah hati – selain sebagai penyambung garis keturunan – adalah agar anaknya menjadi orang yang melanjutkan togkat estafet dakwah untuk mentauhidkan Allah swt serta  menggantikan kaum dan keluarganya yang ingkar kepada-Nya.

Baca Juga: Memaknai Hari Raya Kurban: Membaca Kembali Surah Al-Kautsar Ayat 2

Allah swt kemudian menjawab doa-doa Nabi Ibrahim dan istrinya melalui firman-Nya, “Maka Kami beri kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang sangat sabar” (QS. As-Saffat [37] ayat 101).  Ayat ini merupakan konfirmasi bahwa beliau akan mendapatkan buah hati yang diidam-idamkan selama ini bersama istri tercinta.

Menurut sebagian ulama tafsir, yang dimaksud dari “anak yang sangat sabar” di sini adalah Nabi Ismail, bukan Nabi Ishaq. Disebutkan bahwa Nabi Ismail adalah anak pertama Nabi Ibrahim. Ia dilahirkan pada saat nabi Ibrahim berusia 86 tahun. Sedangkan Nabi Ishaq dilahirkan saat nabi Ibrahim seabad kurang setahun atau tepatnya saat berusia 99 tahun (Mukhtasar Tafsir Ibn Katsir).

Ketika anak yang telah diidam-idamkan Nabi Ibrahim telah lahir dan tumbuh besar, lalu tibalah drama Ilahi yang menjadi ujian baginya. Nabi Ibrahim diperintahkan oleh Allah swt melalui mimpi untuk menyembelih anaknya yang begitu ia cintai. Sulit bagi kita untuk menggambarkan bagaimana perasaan nabi Ibrahim saat itu, namun yang pasti beliau tetap melaksanakannya meskipun teramat berat.

Firman Allah swt, “Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” (QS. As-Saffat [37] ayat 102).

Pada mulanya, sebenarnya Nabi Ibrahim agak ragu terkait mimpinya tersebut. Muqatil bin Sulaiman menyebutkan – sebagaimana dikutip oleh Imam al-Qurthubi dalam Tafsir al-Qurthubi – Nabi Ibrahim baru yakin terhadap mimpinya setelah mimpi tersebut terulang selama tiga malam berturut-turut. Dengan kemantapan hati, ia kemudian melakukan perintah itu.

Nabi Ibrahim melaksanakan perintah Allah dengan penuh keyakinan dan tawakal kepada-Nya. Namun ada hal menarik yang beliau lakukan, yakni memberitahukan perintah tersebut terlebih dahulu kepada sang anak guna menenangkan hatinya. Beliau sama sekali tidak menggunakan jalan kekerasan dan pemaksaan sekalipun apa yang akan dilakukannya adalah perintah Allah Yang Maha Mutlak.

Setelah mengetahui nabi Ismail bersedia menunaikan perintah Allah swt, Nabi Ibrahim kemudian membawa anaknya tercinta untuk bersiap-siap. Firman Allah, “Maka ketika keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrahim) membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (untuk melaksanakan perintah Allah).” Pada saat itu keduanya telah siap dan tawakal menjalankan perintah Allah swt.

Menurut sebagian riwayat dari Ibnu Abbas Mujahid, dan Sa’id bin Jubair, karena hati nabi Ibrahim merasa iba terhadap Ismail, beliau menelungkupkan anaknya dan ingin menyembelih di tengkuk agar tidak melihat wajah anaknya yang tercinta. Sedangkan riwayat lain menyebut Nabi Ibrahim membaringkan anaknya sebagaimana membaringkan hewan kurban ketika hendak disembelih.

Ketika penyembelihan nabi Ismail hampir terlaksana, saat itulah ada sebuah panggilan yang datang dari Allah swt sebagaimana tertuang dalam surah as-Saffat [37] ayat 104-105 yang bermakna, Lalu Kami panggil dia, “Wahai Ibrahim! sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu.” Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.

Nabi Ismail yang sudah siap disembelih digantikan dengan seekor kibas. Firman Allah swt, “Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” Menurut Ibnu Abbas, kibas itu adalah kambing besar yang dipersembahkan oleh Habil untuk mendekatkan diri kepada Allah, yang dipelihara di surga sehingga dipakai menebus Ismail (lihat Tafsir Kemenag).

Baca Juga: Nabi Muhammad Saw Gemar Berkurban Setiap Tahun

Berkat ketabahan, keikhlasan, serta keyakinan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, Allah swt memberikan anugerah yang teramat besar bagi keduanya. Peristiwa asal-usul ibadah kurban ini kemudian diakhiri dengan penegasan bahwa Nabi Ibrahim benar-benar adalah hamba sekaligus utusan Allah swt dan ia termasuk di antara orang-orang yang salih.

Pada ayat-ayat tersebut, Allah seakan menyatakan bahwa penyembelihan nabi Ismail pada hakikatnya adalah ujian yang ia berikan kepada Nabi Ibrahim. Jika ia lulus, maka akan kami beri anugerah. Firman Allah swt, ”Selamat sejahtera bagi Ibrahim. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sungguh, dia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.” (QS. As-Saffat [37] ayat 109-111).

Demikian kisah rencana penyembelihan Nabi Ismail yang merupakan asal-usul ibadah kurban. Peristiwa ini kemudian dijadikan Allah sebagai dasar syariat kurban, sebuah manifestasi dari ketaatan manusia kepada Allah. Di samping itu, ibadah kurban juga memuat nilai humanisme di mana pembagian daging kurban ditujukan untuk kesejahteraan bersama, khususnya para fakir-miskin. Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Saba’ Ayat 2-3

0
Tafsir Surah Saba'
Tafsir Surah Saba'

Tafsir Surah Saba’ Ayat 2-3 menjelaskan bahwa ilmu Allah sangatlah luas. Andaikan semua makhluk dibumi menghabiskan masa hidupnya untuk mengetahui apa yang ada dilangit dan di bumi, niscaya mereka tidak akan sanggup mengetahui semuanya, bahkan yang diketahui pun hanya secuil dari luasnya ilmu Allah Swt.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Saba’ Ayat 1


Salah satu dari ilmu Allah yang benar adalah hari kiamat, Tafsir Surah Saba’ Ayat 2-3 juga menyinggung soal ini, dimana orang kafir seringkali mengingkari adanya hari kiamat. Kelak, setelah hari kiamat, akan ada prose hari kebangkitan, dimana semua makhluk akan dibangkitkan untuk mempertanggungjawabkan amaliyah-nya semasa hidup didunia.

Ayat 2

Pada ayat ini, Allah menjelaskan bagaimana luas dan dalamnya ilmu-Nya. Dia mengetahui semua yang masuk ke dalam bumi, semua yang keluar daripadanya, semua yang turun dari langit dan semua yang naik ke atasnya. Dengan kata-kata yang ringkas dan pendek ini, Allah menggambarkan betapa luas ilmu-Nya.

Andaikata semua penghuni bumi ini menghabiskan waktunya untuk mengetahui apa yang terjadi di langit dan bumi dalam satu saat saja, niscaya mereka tidak akan sanggup mencatat untuk membuat statistiknya. Betapa banyaknya bibit dan benih tumbuh-tumbuhan yang masuk dan bersembunyi di dalam tanah.

Betapa banyaknya binatang kecil seperti ulat, cacing, dan berbagai jenis serangga di dalam perut bumi yang amat luas ini. Betapa banyaknya bahan-bahan tambang yang selalu berproses dan berkembang di perut bumi seperti emas, perak, tambang minyak, gas, dan lain sebagainya.

Betapa banyak pula yang keluar dari bumi seperti tanaman yang bermunculan, mata air yang memancar, gas yang naik menjulang, binatang dan serangga yang ingin menikmati cahaya matahari dan udara bebas dan lain sebagainya.

Betapa banyaknya yang turun dari langit seperti hujan yang tak dapat diperkirakan berapa banyaknya yang merupakan rahmat dari Allah bagi hamba-Nya, cahaya yang memancar dengan panasnya seperti cahaya matahari, dan cahaya yang memancar dengan tenang seperti cahaya bulan.

Kemudian betapa pula banyaknya yang naik ke langit seperti uap dari sungai dan laut, molekul-molekul gas dari tumbuh-tumbuhan, manusia dan binatang serta bumi sendiri. Betapa banyaknya roh manusia yang meninggal dan malaikat yang naik ke langit taat melaksanakan perintah Tuhannya.

Semua ini tidak akan dapat dicatat oleh manusia apalagi untuk mengetahuinya satu per satu. Tetapi, Allah Yang Maha Mengetahui tidak ada satu pun yang tersembunyi bagi-Nya, semuanya telah tercakup dalam ilmu-Nya. Benarlah apa yang difirmankan oleh Allah

وَمَآ اُوْتِيْتُمْ مِّنَ الْعِلْمِ اِلَّا قَلِيْلًا

Sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit. (al-Isra’/17: 85)

Demikian luasnya ilmu Allah dan rahmat serta karunia-Nya kepada hamba-Nya, karena semua yang ada di bumi dan di langit itu diciptakan-Nya untuk kepentingan manusia. Di samping itu, Allah Yang Maha Penyayang memberikan karunia yang tidak terhingga, dan Maha Pengampun terhadap orang yang bersalah bila ia insaf dan tobat dari kesalahannya.


Baca Juga : Tafsir Surat Al-Kahfi Ayat 109: Betapa Luasnya Ilmu Allah


Ayat 3

Pada ayat ini, Allah menerangkan bagaimana kesesatan orang-orang kafir yang mengingkari hari Kiamat dan mengatakan bahwa hidup ini hanya sebatas di dunia saja. Mereka mengatakan bahwa kehidupan akhirat yang diberitakan Muhammad saw adalah omong kosong belaka, sesuatu yang tidak mungkin terjadi karena tubuh manusia setelah masuk kubur akan hancur luluh tidak berbekas apalagi setelah melalui masa yang panjang.

Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad supaya menolak dengan keras anggapan orang-orang kafir yang sesat itu.

Allah memerintahkan supaya Nabi bersumpah dengan menyebut nama Allah bahwa hari Kiamat itu pasti datang. Ayat ini adalah salah satu dari tiga ayat yang menyuruh Nabi Muhammad supaya bersumpah dengan menyebut nama Allah sebagai bantahan terhadap keingkaran orang-orang kafir, seperti ditegaskan Allah dalam firman-Nya

وَيَسْتَنْۢبِـُٔوْنَكَ اَحَقٌّ هُوَ ۗ قُلْ اِيْ وَرَبِّيْٓ اِنَّهٗ لَحَقٌّ ۗوَمَآ اَنْتُمْ بِمُعْجِزِيْنَ

Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad), “Benarkah (azab yang dijanjikan) itu?” Katakanlah, “Ya, demi Tuhanku, sesungguhnya (azab) itu pasti benar dan kamu sekali-kali tidak dapat menghindar.”  (Yunus/10: 53)

Yang kedua dalam Surah at-Tagabun:

زَعَمَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْٓا اَنْ لَّنْ يُّبْعَثُوْاۗ قُلْ بَلٰى وَرَبِّيْ لَتُبْعَثُنَّ ثُمَّ لَتُنَبَّؤُنَّ بِمَا عَمِلْتُمْۗ وَذٰلِكَ عَلَى اللّٰهِ يَسِيْرٌ

Orang-orang yang kafir mengira, bahwa mereka tidak akan dibangkitkan. Katakanlah (Muhammad), “Tidak demikian, demi Tuhanku, kamu pasti dibangkitkan, kemudian diberitakan semua yang telah kamu kerjakan.” Dan yang demikian itu mudah bagi Allah. (at-Tagabun/64: 7)

Demikian kerasnya bantahan yang harus diucapkan oleh Nabi Muhammad terhadap keingkaran orang kafir tentang hari kebangkitan, karena hal itu adalah suatu hikmah dan kebijaksanaan Allah terhadap hamba-hamba-Nya.

Suatu hikmah dan kebijaksanaan yang tidak dipahami oleh orang-orang kafir atau mereka tidak mau memahaminya. Hikmah dan kebijaksanaan itu ialah Allah tidak akan membenarkan hamba-hamba-Nya untuk berbuat sekehendak hatinya.

Allah telah menjelaskan dengan perantaraan para rasul-Nya bahwa barang siapa yang berbuat kejahatan atau kezaliman akan dibalas dengan balasan yang setimpal baik di dunia maupun di akhirat.

Kalau seorang hamba belum mendapat balasan di dunia atas kejahatannya karena kedudukan atau kepintarannya menyembunyikan kejahatan itu, maka balasannya pasti akan diterimanya di akhirat nanti.

Demikian pula halnya hamba-hamba Allah yang berbuat kebaikan. Ini adalah hikmat dan kebijaksanaan Allah Yang Mahaadil, Maha Mengetahui segala perbuatan hamba-Nya.

Pada hari kebangkitan semua perbuatan manusia mendapat balasan yang wajar walaupun di dunia sudah mendapat siksaan, apalagi bagi hamba Allah yang belum menerima balasannya. Mengingkari hari Kiamat dan hari pembalasan berarti meng-ingkari hikmah kebijaksanaan Allah Yang Mahaadil dan Mahakuasa.

Kemudian Allah menerangkan bahwa Dia mengetahui semua yang ada dan yang terjadi di langit dan di bumi, tidak ada suatu pun yang tersembunyi bagi-Nya, sekalipun sebesar zarrah (atom) karena semua itu telah termaktub dalam Lauh Mafuzh.

Janganlah seorang hamba mengira bahwa perbuatannya yang sangat kecil atau yang telah ditutupi rapat dan disembunyikan luput dari pengetahuan Allah. Dia pasti mengetahuinya dan akan membalas perbuatan itu, baik di dunia maupun akhirat, sesuai dengan hikmah kebijaksanaan dan keadilan-Nya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Saba’ Ayat 4-5


Memaknai Ayat Haji Ala Sufi

0
Tafsir sufi ayat haji, surah Ali Imran ayat 96-97
Tafsir sufi ayat haji, surah Ali Imran ayat 96-97

Musim haji ditandai dengan datangnya bulan Zulhijjah. Ritual haji menjadi momen besar dalam rangkaian ibadah umat Islam. Namun, sudah dua tahun ini kuota haji dibatasi. Ini karena pandemi covid-19 yang belum juga berakhir, namun justru meningkat dengan varian barunya. Sehingga, para jamaah haji di Indonesia perlu ekstra sabar untuk menunda ibadah haji tahun ini.

Apakah penundaan tersebut membuat para calon jamaah haji sedih dan kecewa? Jangan ditanya lagi. Jawabanya ya, tentu. Sedih dan kecewa boleh, tapi jangan terus menerus, yakini bahwa ada hikmah di balik semua peristiwa ini. Misalnya, penundaan ini membuat kita semua menghayati kembali makna ritual haji. Sebagai persiapan untuk menjadi haji yang mabrur, di antara cara menghayati haji adalah dengan memahami rahasia dan tujuan dari haji itu sendiri, sebagaimana yang sering dilakukan oleh para sufi.

Pemaknaan tentang haji oleh para sufi, salah satunya terlihat ketika mereka menafsirkan ayat haji dalam Al-Quran. Bagi para sufi, selain makna lahiriah, Al-Qur’an juga memiliki makna batiniyah. Inilah yang membuat penafsirannya menjadi unik dan terlihat sedikit aneh bagi orang biasa. Pemahaman ini sebagaimana terlihat dalam penjelasan berikut.

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 28: Manfaat Ibadah Haji dalam Segi Sosial dan Ekonomi

Tafsir sufi ayat haji

Satu di antara ayat yang berkaitan dengan haji adalah ayat 96-97 dari surah Ali Imran.

إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذي بِبَكَّةَ مُبارَكاً وَ هُدىً لِلْعالَمينَ

Artinya:“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, ialah Baitullah yang berada di Bakkah (Mekah), yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.”

Dalam menafsirkan ayat ini, Al-Qusyairi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan rumah yang dijadikan tempat tawaf adalah hati. Dan tujuan dari hati manusia adalah Allah swt. Dengan demikian, Ka’bah atau baitullah tidak sekadar dimaknai secara lahir. Akan tetapi, juga dimaknai secara simbolik yaitu sebagai hati manusia. (Laṭāiful Ishārāt, hal. 160)

Sebagaimana Al-Qusyairi, Mansur Al-Hallaj juga memiliki penafsiran yang senada. Ia adalah seorang sufi yang dieksekusi di kota Baghdad karena keyakinannya. Ia pernah berkata: “Aku berhaji di rumahku. Di sana kutemukan Ka’bahku.” Ka’bah yang dimaksud oleh Al-Hallaj adalah hatinya, sebagai makna simbolik dari rumah Allah. (Kitab Al-Ṭawāsin)

Untuk memahami hal ini, terdapat hadis qudsi yang juga memaknai frasa ‘rumah Allah’ dengan makna simbolik, yaitu hati manusia. Disebutkan: “Langit dan bumi tidak akan meliputi Tuhan, tetapi cukup untuk Tuhan, hati hamba yang beriman.” Atau dalam hadis yang lain: “Rumahku di dunia adalah hatimu, sudahkah kamu bersihkan rumahku dari setan-setan yang kini menguasainya?”

Dengan demikian, rumah Allah (baitullah) dapat dimaknai secara lahiriah dan batiniah. Sehingga, Ka’bah lahiriah memang berada di dalam Masjidil Haram kota Makkah, namun Ka’bah-Ka’bah batiniah bertebaran pada setiap hati manusia. Namun, apakah kemudian pelaksanaan haji itu bisa sah dengan pemahaman makna batiniyah yang seperti itu? Pertanyaan ini akan dijawab oleh para ulama fiqih dalam kajian tata cara manasik haji.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Syarat Wajib Haji dan Beberapa Ketentuannya

Berhaji sebagai perjalanan fisik-spiritual

Lanjutan dari ayat di atas, yaitu:

فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

Artinya: “Di dalam rumah itu terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqâm Ibrahim; barang siapa memasukinya (Baitullah itu), maka ia akan menjadi aman; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”

Najmuddin Al-Kubro, mufasir sufi asal Persia, menjelaskan bahwa ayat ini memuat tujuan Haji. Menurutnya, Allah menjadikan Ka’bah dan haji hanya untuk-Nya. Adapun, rukun-rukun haji dan manasik seluruhnya adalah sebuah isyarat tersembunyi, yaitu isyarat bagi manusia untuk melakukan perjalanan fisik-spiritual (al-sair wa al-sulūk) menuju Allah swt. beserta adab-adabnya. (Al-Takwilāt Al-Najmiyyah fī Al-Tafsīr Al-Ishārī Al-Ṣūfī, hal. 57)

Selain itu, ia juga menjelaskan rahasia rukun-rukun haji. Baginya, Ihram bertujuan melepaskan diri dari jeratan dunia dan menyucikan manusia dari akhlak yang tercela. Wukuf di Arafah, sebagai pengakuan kelemahan hamba kepada Tuhannya dan berjanji menjadi hamba yang paling hamba. Adapun tawaf 7 putaran, merupakan upaya untuk mencapai tujuh tingkatan spiritual.

Dengan demikian, berhaji merupakan perjalanan fisik-spiritual menuju Allah swt. Seorang yang ingin berhaji, harus mempersiapkan diri secara fisik dan batin. Para sufi lebih menekankan pada kesiapan secara batin. Karena dengan begitu, rahasia dan tujuan haji akan memberi pengaruh yang besar terhadap seseorang yang ingin berhaji.

Boleh jadi, haji tahun ini ditunda karena belum ada kesempatan. Namun, persiapan haji secara batin harus selalu dipersiapkan, yaitu dengan membersihkan hati kita sebagai Ka’bah batiniah. Dengan hati yang bersih, perjalanan fisik-spiritual menuju Allah akan lebih sempurna. Selain itu, kesucian hati adalah kunci ibadah yang utama dan tak ternilai.

Dengan demikian, tafsir haji secara sufistik bisa menjadi alternatif jawaban bagi para calon jamaah haji yang sempat marah dan kecewa. Tidak mudah untuk menerima kenyataan pahit, namun keadaan ini memberi mereka waktu untuk lebih mempersiapkan diri dengan terus menyucikan hati, agar kelak ibadah haji yang dilakukannya terlaksana dengan penuh kesiapan, terlebih lagi dapat diterima dan menjadi haji yang mabrur. Wallahu a’lam bi shawab.

Tafsir Surah Saba’ Ayat 1

0
Tafsir Surah Saba'
Tafsir Surah Saba'

Pada bagian pungkasan Surah al-Ahzab Allah menegaskan pen-tingnya menunaikan amanat. Di sana Allah juga mengancam orang munafik dan kafir dengan azab yang pedih dan mengampuni dosa orang yang bertobat, karena Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Sementara, kali ini kita akan membahas tafsiran surah Saba’, surah yang tergolong sebagai Makkiyah dan berjumlah 54 ayat. Lantas, Tafsir Surah Saba’ Ayat 1 diawali dengan pujian kepada Allah. Segala puji bagi Allah yang memiliki, menguasai, dan mengatur apa yang ada di langit dan di bumi, begitupula di akhirat. Dan Dialah Yang Mahabijaksana dalam tindakan dan ciptaan-Nya, Mahateliti sehingga mengetahui semua urusan secara rinci.

Ayat 1

Ayat ini menegaskan bahwa Allah-lah yang berhak menerima segala pujian karena Dia yang menciptakan semua yang ada di langit dan di bumi. Dialah pemilik yang sebenarnya, tidak ada seorang pun yang bersekutu dengan Allah dalam menciptakan dan memilikinya.

Allah pula yang mengatur dan mengurusnya serta melimpahkan karunia-Nya agar semuanya berjalan dengan tertib dan teratur. Oleh sebab itu, tidak ada yang patut memperoleh pujian kecuali Allah, tidak ada yang patut disembah dan dipanjatkan doa kecuali kepada Allah. Adapun orang-orang yang menyembah dan memuja patung-patung atau yang lainnya adalah orang-orang yang tidak mempergunakan akal.

Banyak sekali bukti yang menunjukkan wujud dan keesaan Allah yang terdapat di bumi dan di langit. Bila manusia mau memperhatikan, tentu dia akan sampai kepada kesimpulan bahwa Pencipta semua alam ini adalah Allah Yang Maha Esa, Mahakuasa, dan Maha Pencipta.

Hanya Allah yang berhak disembah dan dipuji, walaupun Dia sendiri tidak memerlukan pujian dari hamba dan makhluk-Nya. Hanya makhluk-makhluk-Nya yang harus memuja dan memuji-Nya, karena begitu besar dan banyaknya karunia yang dilimpahkan kepadanya.

Sekiranya tidak ada yang menyembah dan memuji-Nya atau semua makhluk-Nya kafir dan ingkar terhadap nikmat dan karunia-Nya, maka hal itu tidak akan merugikan-Nya sedikit pun sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:

اِنْ تَكْفُرُوْٓا اَنْتُمْ وَمَنْ فِى الْاَرْضِ جَمِيْعًا ۙفَاِنَّ اللّٰهَ لَغَنِيٌّ حَمِيْدٌ

“Jika kamu dan orang yang ada di bumi semuanya mengingkari (nikmat Allah), maka sesungguhnya Allah Mahakaya, Maha Terpuji.” (Ibrahim/14: 8).

Untuk menyadarkan manusia agar mau menggunakan akalnya, Allah menerangkan bahwa semua makhluk-Nya di langit dan di bumi bertasbih memuji-Nya, termasuk burung-burung yang terbang di udara. Allah berfirman:

اَلَمْ تَرَ اَنَّ اللّٰهَ يُسَبِّحُ لَهٗ مَنْ فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَالطَّيْرُ صٰۤفّٰتٍۗ كُلٌّ قَدْ عَلِمَ صَلَاتَهٗ وَتَسْبِيْحَهٗۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌۢ بِمَا يَفْعَلُوْنَ  

Tidakkah engkau (Muhammad) tahu bahwa kepada Allah-lah bertasbih apa yang di langit dan di bumi, dan juga burung yang mengembangkan sayapnya. Masing-masing sungguh, telah mengetahui (cara) berdoa dan bertasbih. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan. (an-Nur/24: 41).


Baca Juga : Tafsir Surah Yasin ayat 39-40: Semua Makhluk Langit Adalah Ciptaan Allah Swt


Ayat selanjutnya menegaskan bahwa Allah yang berhak dipuji di akhirat nanti, karena Dia yang mempunyai kekuasaan di sana, dan bertindak dengan adil dan bijaksana dalam memperhitungkan dan membalas perbuatan hamba-Nya.

Tidak ada seorang pun yang dirugikan dalam perhitungan perbuatannya, yang baik dibalas dengan kebaikan, dan yang jahat dibalas dengan siksa yang setimpal, bahkan dengan rahmat dan karunia-Nya satu perbuatan yang baik dibalas dengan berlipat ganda.

Di dalam ayat lain diterangkan bagaimana besarnya pujian hamba-hamba-Nya yang beriman terhadap nikmat yang dikaruniakan kepada mereka sebagai balasan atas perbuatannya selama hidup di dunia dengan firman-Nya:

 وَقَالُوا الْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْ صَدَقَنَا وَعْدَهٗ وَاَوْرَثَنَا الْاَرْضَ نَتَبَوَّاُ مِنَ الْجَنَّةِ حَيْثُ نَشَاۤءُ ۚفَنِعْمَ اَجْرُ الْعٰمِلِيْن

Dan mereka berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah memenuhi janji-Nya kepada kami dan telah memberikan tempat ini kepada kami sedang kami (diperkenankan) menempati surga di mana saja yang kami kehendaki.” Maka (surga itulah) sebaik-baik balasan bagi orang-orang yang beramal. (az-Zumar/39: 74)

Dan firman-Nya:

وَقَالُوا الْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْٓ اَذْهَبَ عَنَّا الْحَزَنَۗ اِنَّ رَبَّنَا لَغَفُوْرٌ شَكُوْرٌۙ   ٣٤   ۨالَّذِيْٓ اَحَلَّنَا دَارَ الْمُقَامَةِ مِنْ فَضْلِهٖۚ  لَا يَمَسُّنَا فِيْهَا نَصَبٌ وَّلَا يَمَسُّنَا فِيْهَا لُغُوْبٌ   ٣٥ 

Dan mereka berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan kesedihan dari kami. Sungguh, Tuhan kami benar-benar Maha Pengampun, Maha Mensyukuri, yang dengan karunia-Nya menempatkan kami dalam tempat yang kekal (surga); di dalamnya kami tidak merasa lelah dan tidak pula merasa lesu.” (Fathir/35: 34-35).

Kemudian Allah menegaskan bahwa Dialah Yang Mahabijaksana, berbuat dan bertindak, serta mengatur dan mengendalikan urusan dunia dan akhirat serta alam seluruhnya. Dialah Yang Maha Mengetahui segala sesuatu dan segala urusan. Dia Mengetahui segala-galanya dengan ilmu-Nya Yang Mahaluas.

 

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Saba’ Ayat 2-3


 

Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 61-73

0
tafsir surah al-ahzab
tafsir surah al-ahzab

Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 61-73 merupakan series terakhir dari tafsir surah al-Ahzab. Secara umum, ada beberapa aspek yang dijelaskan dalam tafsir kali ini, diantaranya Allah mengecam perilaku orang munafik, dimanapun mereka berada. Mereka seperti orang terdahulu yang dilaknat oleh Allah, maka laknat itu berlaku pula bagi mereka.

Dalam Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 61-73 diceritakan pula pertanyaan orang kafir kepada nabi tentang hari kiamat dengan nada mengejek. Akibat sikap tersebut, mereka mendapat laknat dari Allah, kekal di dalam neraka. Tidak ada yang bisa  menolong mereka, yang tersisa hanya penyesalan dan dendam kepada orang-orang yang telah menyesatkan mereka.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 57-60


Dalam Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 61-70 juga berbicara tentang perintah Allah kepada kaum mukmin agar tidak berperilaku seperti orang munafik, serta seperti Bani Israil di masa Nabi Musa dan Harun yang lalai atas tugas yang diamanati kepada mereka. Karena itu, Allah juga mengingatkan bahwa tugas manusia di muka bumi adalah sebagai Khalifah, maka amanat tersebut harus diemban dengan sebaik-baiknya oleh manusia.

Ayat 61

Ketiga golongan itu dilaknat di mana saja mereka berada, karena sikapnya yang selalu bermusuhan dan merugikan agama dan negara, mereka selalu dikejar-kejar untuk ditangkap dan dibunuh. Nasib orang yang seperti itu telah pula dialami oleh orang-orang sebelumnya karena begitulah sunah Allah.

Ayat 62

Dengan demikian, sunah Allah yang telah berlaku atas orang-orang yang terdahulu sebelum diutusnya Nabi Muhammad saw akan berlaku pula bagi generasi yang datang kemudian. Hal itu tidak mungkin berubah dan pasti berlaku.

Ayat 63

Banyak manusia bertanya kepada Nabi Muhammad tentang kapan datangnya hari Kiamat. Orang-orang musyrik menanyakan tentang kiamat tersebut secara mengejek dan mencemooh, serta menantang supaya hari Kiamat segera didatangkan.

Orang-orang munafik menanyakan tentang hari Kiamat karena terdorong oleh anggapan bahwa Nabi saw akan menjawab seperti yang mereka perkirakan. Adapun orang-orang Yahudi bertanya dengan maksud menguji kebenaran Nabi saw, apakah jawabannya akan sama atau tidak dengan yang tercantum dalam kitab Taurat, bahwa soal hari Kiamat itu sesungguhnya berada di tangan Allah.


Baca Juga : Apa Makna “Kiamat Sudah Dekat” dalam Al-Quran? Ini Penjelasannya


Ayat 64

Kemudian Allah menerangkan bahwa yang mengetahui kapan terjadinya hari Kiamat hanya Allah. Mungkin saja waktu datangnya hari Kiamat sudah dekat, karena setiap yang akan datang memang selalu mendekat dan mungkin dekat. Pepatah Arab mengatakan:

كُلُّ آتٍ قَرِيْبٌ

“Setiap yang akan datang adalah dekat.”

Kemudian Allah akan melaknat dan menjauhkan orang-orang kafir dari kebaikan dan rahmat-Nya. Allah juga menyediakan bagi mereka neraka sa’ir.

Ayat 65

Mereka kekal di dalam neraka selama-lamanya, dan tidak menemukan seorang pun yang dapat melindungi mereka dari azab Allah. Mereka juga tidak mendapatkan seorang penolong yang dapat menyelamatkan dari siksaan-Nya.

Ayat 66

Mereka tidak memperoleh pelindung dan penolong seorang pun ketika mereka dibolak-balikkan di dalam neraka. Dengan penuh penyesalan mereka berkata, “Alangkah bahagianya seandainya kami dahulu di dunia taat kepada Allah dan taat pula kepada Muhammad utusan-Nya.”

Ayat 67

Mereka berkata dengan penuh perasaan mendongkol karena tertipu oleh para pemimpin dan pembesar mereka di dunia, “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami di dunia telah mengikuti pemimpin dan pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan yang benar.”

Ayat 68

Mereka dengan perasaan dendam terhadap orang-orang yang telah menyesatkan itu berkata, “Ya Tuhan kami, berikanlah kepada mereka azab dua kali lipat, pertama karena mereka telah tersesat, dan keduanya telah pula menyesatkan orang lain, dan kutuklah mereka dengan kutukan yang sangat besar.” Keluhan mereka itu diperkuat dengan ayat lain seperti pada firman Allah:

وَيَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلٰى يَدَيْهِ يَقُوْلُ يٰلَيْتَنِى اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُوْلِ سَبِيْلًا   ٢٧  يٰوَيْلَتٰى لَيْتَنِيْ لَمْ اَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيْلًا   ٢٨  لَقَدْ اَضَلَّنِيْ عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ اِذْ جَاۤءَنِيْۗ وَكَانَ الشَّيْطٰنُ لِلْاِنْسَانِ خَذُوْلًا   ٢٩

Dan (ingatlah) pada hari (ketika) orang-orang zalim menggigit dua jarinya, (menyesali perbuatannya) seraya berkata, “Wahai! Sekiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama Rasul.  Wahai, celaka aku! Sekiranya (dulu) aku tidak menjadikan si fulan itu teman akrab(ku), sungguh, dia telah menyesatkan aku dari peringatan (Al-Qur’an) ketika (Al-Qur’an) itu telah datang kepadaku. Dan setan memang pengkhianat manusia.” (al-Furqan/25: 27-29)

Ayat 69

Allah melarang kaum mukminin agar tidak berlaku seperti segolongan Bani Israil yang menyakiti Nabi Musa. Allah membersihkan beliau dari tuduhan-tuduhan yang mereka lontarkan kepadanya. Beliau adalah seorang yang mempunyai kedudukan yang sangat terhormat di sisi Allah. Di dalam ayat ini tidak disebutkan bagaimana caranya mereka menyakiti Nabi Musa itu.

Dalam suatu riwayat tentang meninggalnya Harun, seperti diriwayatkan Ibnu Jarir ath-Thabari dari Ibnu ‘Abbas dari Ali bin Abi Thalib bahwa beliau berkata, “Ketika Nabi Musa dan Harun naik ke gunung, Nabi Harun kemudian wafat. Orang-orang Bani Israil lalu marah kepada Nabi Musa, “Kamu telah membunuh Harun, padahal beliau orang yang lebih kami  sukai daripada engkau.”

 Dalam sebuah hadis, Rasulullah bersabda:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ: قَسَمَ رَسُوْلُ اللهِ ذَاتَ يَوْمٍ قَسْمًا فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ اْلأَنْصَارِ: إِنَّ هٰذِهِ الْقِسْمَةَ مَا أُرِيْدَ بِهَا وَجْهُ اللهِ، فَأَحْمَرَّ وَجْهُهُ ثُمَّ قَالَ: رَحْمَةُ اللهِ عَلَى مُوْسَى فَقَدْ أُوْذِىَ بَأَكْثَرَ مِنْ هَذَا فَصَبَرَ. (رواه البخاري و مسلم)

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah saw pada suatu hari membagi-bagikan harta ganimah kepada sahabatnya, lalu ada seorang laki-laki dari kaum Ansar berkata bahwa pembagian itu tidak dimaksud untuk memperoleh keridaan Allah. Mendengar ucapan itu, Nabi saw tersinggung sampai merah wajahnya seraya berkata, “Semoga Allah merahmati Musa yang pernah disakiti orang lebih dari ini, tetapi beliau tetap berlaku sabar.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Ayat 70

Pada ayat ini, Allah memerintahkan kepada orang-orang beriman supaya tetap bertakwa kepada-Nya. Allah juga memerintahkan orang-orang beriman untuk selalu berkata yang benar, selaras antara yang diniatkan dan yang diucapkan, karena seluruh kata yang diucapkan dicatat oleh malaikat Raqib dan ‘Atid, dan harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Firman Allah:

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ اِلَّا لَدَيْهِ رَقِيْبٌ عَتِيْدٌ

Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat).  (Qaf/50:18)

Ayat 71

Bila mereka tetap memelihara keimanan dan ketakwaan dan selalu mengatakan kebenaran, pasti Allah akan memperbaiki perbuatan dan mengampuni dosa-dosa mereka. Siapa yang menginginkan kebahagiaan di dunia dan akhirat, maka jalan yang harus ditempuh hanyalah satu, yaitu menaati Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian, mereka akan mendapatkan kebahagiaan yang besar di dunia dan akhirat.

Ayat 72

Sesungguhnya Allah telah menawarkan tugas-tugas keagamaan kepada langit, bumi, dan gunung-gunung. Karena ketiganya tidak mempunyai persiapan untuk menerima amanat yang berat itu, maka semuanya enggan untuk memikul amanat yang ditawarkan Allah itu.

Kemudian amanat untuk melaksanakan tugas-tugas keagamaan itu ditawarkan kepada manusia dan mereka menerimanya dengan konsekuensi barang siapa yang melaksanakan itu akan diberi pahala dan dimasukkan ke dalam surga. Sebaliknya, barang siapa yang mengkhianatinya akan disiksa dan dimasukkan ke dalam api neraka.

Walaupun bentuk badannya lebih kecil dibandingkan dengan ketiga makhluk yang lain (langit, bumi, dan gunung-gunung), manusia berani menerima amanat tersebut karena manusia mempunyai potensi.

Tetapi, karena pada diri manusia terdapat ambisi dan syahwat yang sering mengelabui mata dan menutup pandangan hatinya, Allah menyifatinya dengan amat zalim dan bodoh karena kurang memikirkan akibat-akibat dari penerimaan amanat itu.

Ayat 73

Allah lalu menerangkan bahwa akibat dari penerimaan amanat ini ialah Dia mengazab orang-orang munafik dan orang-orang musyrik, baik laki-laki maupun perempuan, bila mereka mengabaikan pelaksanaan amanat yang telah dipikulnya.

Allah akan menerima tobat orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan yang taat melaksanakan amanat itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

(Tafsir Kemenag)